Anda di halaman 1dari 3

Nama : Gede Budi Artana

No : 04

Kelas : X MIPA 1

SANG JARATKARU

Tersebutlah seorang pertapa sakti yang baik budinya bernama Sang Jaratkaru. Setiap hari
pekerjaannya mengambil biji butir - butir padi yang tersebar di jalan. Biji butir - butir padi itu
dikumpulkannya dan dicucinya, kemudian ditanaknya dan dipergunakan untuk korban kepada para
Dewa. Demikianlah hal yang ia kerjakan setiap hari. Ia tidak memikirkan istri, malahan hanya
bertapa dan memuja para Dewa yang ia lakukan. Karena rajin bertapa, ia pun menguasai berbagai
macam mantra. Ia diperbolehkan masuk ke segala tempat yang ia kehendaki
Suatu hari, ia berziarah ke Ayatanasthana, tempat diantara surga dan neraka, dimana
leluhurnya menunggu apakah ia akan naik ke surga atau masuk neraka. Ketika berziarah ke
Ayatanasthana, ia melihat leluhurnya tergantung pada sebuah buluh petung, mukanya tertelungkup,
kakinya diikat, di bawahnya terdapat sebuah jurang dalam jalan ke neraka. Orang akan tepat masuk
ke dalamnya, kalau buluh tempat bergantung itu putus. Seekor tikus tinggal di dalam buluh di tepi
jurang itu, setiap hari mengerat buku batang.
Sang Jaratkaru, berlinang - linang air matanya melihat hal itu. Maka timbulah belas
kasihannya. Sang Jaratkaru pun mendekati leluhurnya yang berpakaian sebagai seorang petapa,
berambut tebal, berpakaian kulit kayu dan tiada makan selamanya. Sang Jaratkaru bertanya pada
leluhur itu, “Apakah sebabnya tuanku sekalian bergantung pada buluh yang hampir putus oleh
gigitan tikus, sedang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya ?” seru Sang Jaratkaru.
Leluhur itu pun menjawab, “Keadaan saya seperti ini adalah karena keturunan kami ini putus.
Itulah sebabnya saya pisah dengan dunia leluhur dan bergantung di buluh petung ini, seakan - akan
sudah masuk neraka. Ada seorang keturunanku bernama Jaratkaru, ia pergi berkeinginan
melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tidak beristri, karena menjadi seorang brahmacari dari
kecil. Itulah yang menyebabkan saya berada di buluh ini, karena brata semadhinya kepada asrama
sang pertapa. Kalau engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kepada Sang Jaratkaru supaya
memiliki keturunan, agar saya dapat pulang ke tempat para leluhur.” Kata sang leluhur itu.
Sang Jaratkaru tersayat hatinya melihat leluhurnya menderita. “Saya inilah yang bernama
Jaratkaru, seorang keturunanmu yang gemar bertapa dan bertekad menjadi brahmacari. Apapun
kalau itu menjadi jalanmu untuk kembali ke surga, janganlah khawatir, saya akan menghentikan
kebrahmacarian saya dan mencari anak istri. Yang saya kehendaki istri yang namanya sama dengan
nama saya supaya tiada bertentangan dalam perkawinan. Bila sudah mempunyai anak, akan
menjadi brahmacari lagi, senanglah hatimu.” Demikianlah kata Sang Jaratkaru. Pergilah ia mencari
istri yang senama dengannya. Ia pergi ke semua penjuru, tetapi tidak menemukan istri yang senama
dengannya. Karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, ia pun mencari pertolongan kepada ayahnya
agar dapat menghindarkan dirinya dari sengsara. Masuklah ke hutan sunyi, menangislah ia sambil
mengeluh kepada semua Dewata. Berkatalah ia pada semua makhluk, “Hai segala makhluk
termasuk makhluk yang tidak bergerak, saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri.
Berilah saya istri yang senama dengan saya, biar saya mempunyai anak, supaya leluhur saya bisa
pulang ke surga.”
Tangis Sang Jaratkaru itu terdengar oleh para naga. Sang Naga Basuki pun mencari Sang
Jaratkaru dan memberikannya adiknya Sang Naga Ngini yang diberi nama Jaratkaru, supaya
berputra seorang brahmana yang akan menghindarkan dirinya dari korban ular (yadnya sarpa).
Akhirnya Sang Jaratkaru pun memiliki istri yang senama dengannya yang akan memberikannya
putra dan membebaskan roh leluhurnya dari kesengsaraan. Selama dia (Jaratkaru) duduk di tempat
duduk, berkatalah Jaratkaru kepada istrinya, “Saya berjanji dengan engkau, jika engkau
mengucapkan apa yang tidak menyenangkan kepadaku, apalagi melakukan perbuatan yang tidak
pantas, jika seandainya hal itu dilakukan olehmu, maka aku akan meninggalkan engkau.”
Demikianlah kata Jaratkaru kepada istrinya. Kemudian mereka hidup bersama.
Setelah beberapa lama mereka hidup bersama, mengandunglah si Naga perempuan yang
bernama Jaratkaru juga. Terlihatlah tanda kehamilan itu oleh si suami. Maka dia meminta supaya
ditunggui ketika tidur, ketika dia bermaksud mau meninggalkan istrinya. Memohonlah dia untuk
dipangku kepalanya oleh istrinya, dengan berkata, “pangkulah kepalaku olehmu waktu tidur.”
Sangat lama ia tidur, hingga waktu senja, waktu sembahyang. Teringatlah si Naga perempuan
Jaratkaru, ia berkata, “Sekarang adalah waktu sorenya para Dewa. Waktu ini tuan brahmana harus
membuat doa. Sebaiknya dia dibangunkan. Jika menunggu sampai ia terbangun, pasti dia akan
marah, karena dia sangat takut kalau terlambat sembahyang, karena juga itu bagi dia merupakan
tugas agama kepada para Dewa. Lalu dibangunkanlah suaminya dengan berkata, “Hai tuanku Maha
Brahmana, bangunlah tuanku. Sekarang waktunya telah senja tuanku, waktu untuk mengerjakan
tugas agama. Bunga telah tersedia serta bau - bauan dan padi.” Demikianlah katanya sambil
mengusap wajah si suami. Kemudian bangunlah Jaratkaru. Cahaya kemarahan memancar pada
matanya dan memerah pada mukanya karena kemarahan besarnya. Ia berkata, “Engkau naga
perempuan yang sangat jahat, engkau sebagai istri menghinaku, engkau sampai hati mengganggu
tidurku. Tidak layak lagi tingkah lakumu sebagai istri. Oleh karena itu akan kutinggalkan engkau
sekarang ini.” Demikian katanya, kemudian Sang Jaratkaru pun meninggalkan istrinya. Diikutilah
oleh si Naga perempuan dan ia lari memeluk suaminya sambil berkata, “Hai tuanku, maafkan
hamba tuanku. Bukan maksud hati menghina, jika hamba membangunkan tuanku. Hamba hanya
mengingatkan sembahyangmu tiap senja. Salahkah itu, sehingga aku menyembah tuanku.
Semestinyalah engkau kembali, tuan yang terhormat. Jika hamba telah beranak, dimana anak itu
akan menghapuskan korban ular bagi saudara - saudaraku, maka tuan dapat membuat tapa lagi.”
Demikian kata si Naga perempuan meminta belas kasih. Jaratkaru pun menjawab, “Alangkah
pantas sikap si Naga perempuan. Engkau mengingatkan hamba untuk memuja Dewa ketika senja
tiba. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah kataku untuk meninggalkan engkau. Aku tidak akan
tersesat. Itu kehendakku. Janganlah engkau khawatir. Asti, itulah nama anak itu. Anak itu akan
menolong engkau kelak dari korban ular. Tenangkanlah hatimu.” Kemudian pergilah Jaratkaru. Dia
tidak dapat ditahan lagi. Si Naga perempuan memberitahukan kepada Naga Basuki akan kepergian
suaminya. Dia memberitahukan semua ucapan Jaratkaru dan memberitahukan juga bahwa ia
sedang mangandung anak. Mendengar Hal itu, Naga Basuki pun bersuka cita. Setelah beberapa
waktu, lahirlah anak laki - laki dengan tubuh sempurna. Anak itu dinamai Astika, karena ayahnya
pernah mengucapkan “Asti.”
Dibesarkanlah Astika oleh ibunya dan Naga Basuki. Dia dididik serta diasuh menurut
segala apa yang diharuskan bagi brahmana, dirawat dan diberi kalung brahmana. Dengan lahirnya
Astika, maka arwah yang menggantung di ujung bambu itu melesat pulang ke Pitraloka, menikmati
pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Karena kepatuhan Astika, sehingga ia dapat membaca
Weda. Ia diijinkan untuk mempelajari segala sastra, mengikuti ajaran Bhrgu. Demikianlah cerita
tentang Astika Dia adalah orang yang membuat Naga Taksaka terhindar dari korban ular Maharaja
Janamejaya.

Anda mungkin juga menyukai