Anda di halaman 1dari 7

JAKA TARUB

(latar di sawah, Jaka Tarub nyangkul)

Pada jaman dahulu di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Hidup seorang pemuda tampan bernama
Jaka Tarub. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Randha. Ayahnya sudah lama
meninggal. Sehari-hari Jaka Tarub dan Mbok Randha bertani padi di sawah.

(Jeda, ganti latar di rumah)

Pada suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari
nan cantik jelita dari kayangan.

Begitu terbangun dari tidur.......,

Adegan 1 (rumah)

Jaka Tarub: Ah! Ternyata aku Cuma mimpi.(sambil tersenyum) Mimpiku indah sekali... Duuuh aku jadi
tidak bisa tidur lagi! Aku keluar sajalah.(duduk di beranda rumah menatap ke langit)

Narator: Sesaat Jaka tarub sedang melamun, Ibu Jaka Tarub mencarinya.

Mbok Randha: Jaka Tarub dimana ya? (membuka jendela) oh! Itu dia pagi-pagi sudah duduk melamun di
depan rumah. Apa dia memikirkan ingin segera berumah tangga? Teman-teman sebayanyapun rata-rata
telah menikah, apakah tidak ada perempuan yang menyukainya? (menghela napas) Kasihan anakku.
Aku harus membantu Jaka Tarub mencari istri yang baik untuknya.

Adegan 2 (sawah)

Narator: Siang hari ketika Mbok Randha sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak Ranu pemilik
sawah sebelah menghampirinya...

Pak Ranu: Mbok, mengapa anakmu sampai saat ini belum menikah juga ?

Mbok Randha: Entahlah! (sambil mengingat kejadian tadi pagi)

(heran) Ada apa kau menanyakan itu Pak?

Pak Ranu: Tidak ada apa-apa Mbok. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan anakku Laraswati.

Mbok Randha: (terkejut) haah?

Narator: Mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia sangat senang. Laraswati adalah
seorang gadis perparas cantik yang tutur katanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau
menjadikan Laraswati sebagai istrinya. Walaupun demikian Mbok Randha tidak ingin mendahului
anaknya untuk mengambil keputusan. Biar bagaimanapun ia menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa
dan mempunyai keinginan sendiri.
Mbok Randha: Saya setuju dengan Pak Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya dulu pada anak kita masing
masing.

Pak Ranu: (mengangguk-angguk) Baiklah. Nanti coba kita tanyakan pada anak kita masing-masing.

Adegan 3 (halaman rumah)

Narator: Hari berganti hari. Mbok Randha belum juga menemukan waktu yang tepat untuk
membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub tersinggung. Mungkin
juga Jaka Tarub telah memiliki calon istri yang belum dikenalkan padanya. Lama kelamaan Mbok Randha
lupa akan niatnya semula.

(Jeda sebentar)

Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang pemburu yang handal.
Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya. Oleh karena itu, pagi sekali Jaka Tarub
mempersiapkan peralatan untuk berburu di hutan.

Jaka Tarub: Bu, aku pergi berburu dulu ya.(sambil merapikan busur, panah, pisau dan pedang telah
disiapkannya)

Mbok Randha: Hati-hati ya, Nak.

Adegan 4 (hutan)

Narator: Tak lama kemudian di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya
senang. Namun sayang, begitu Jaka Tarub sedang berjalan pulang membawa hasil buruannya, tiba-tiba
datang seekor harimau menyerangnya dan membawa menjangan itu pergi,

Jaka Tarub: Sialll! Siaaaalll!Baru kali ini aku mengalami nasib sesial ini! Pertanda apa, ini ? Ah sudahlah!
Sebaiknya aku lanjutkan saja perjalananku.

Narator: Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali,
tak ada satupun hewan buruan yang ia dapatkan.

Jaka Tarub: (terduduk lemas) haaahh. Aku capek dan lapar sekali. Sebaiknya aku pulang saja.

(Latar di jalan deket rumah)

Narator: Jaka Tarub terus berjalan sampai akhirnya ia sampai di desanya. Ia terheran-heran karena
sepanjang jalan, tatapan orang-orang tertuju padanya.

Jaka Tarub: Ada apa ya? Kenapa banyak orang yang memandangku dengan pandangan aneh?(terus
jalan)

Narator: Melihat bannyak orang berkerumun di depan rumahnya dan orang-orang yang tergesa-gesa
menuju rumahnya, Jaka Tarub mulai tidak enak hati. Ia segera berlari menuju rumahnya.
Jaka Tarub: (setengah teriak) Ada apa ini ?!

(Orang orang terkejut dan menoleh kearahnya. )

Pak Ranu: (menghampiri dan menepuk nepuk bahu lalu membimbing masuk Jaka Tarub)

Sabar ya, Nak!

Jaka Tarub:

Ibu....ibu....ibuuu!(teriak lalu menangis)

Narator: Jaka Tarub menyadari jika ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tak sanggup menahan air mata.
Inilah bukti atas firasat buruk yang dirasakan sejak pagi, pikirnya.

Jaka Tarub tak sanggup berbuat apa apa. Ia hanya termenung memandang wajah ibunya. Cerita Pak
Ranu bahwa istrinya yang menemukan Mbok Randha telah meninggal dunia dalam tidurnya tadi pagi tak
dihiraukannya. Ia merenungi nasibnya yang kini sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal belum
memenuhi keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal
kenangan. Kini ibunya telah beristirahat dengan tenang.

Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu. Hanya dengan berburu, Jaka Tarub
bisa melupakan kesedihannya.

Di suatu pagi hari, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan santai ia berjalan
menuju Hutan Wanawasa karena hari masih pagi. Ketika sampai di hutanpun Jaka tarub hanya
menunggu hewan buruan lewat di depannya. Tak terasa hari sudah siang.

Adegan 5 (hutan)

Jaka Tarub: (melamun) Aaahh! Dari tadi pagi aku menunggu hewan buruan, tapi tak ada satupun hewan
buruan yang kudapat.

Duuuh aku haus sekali. Sebaiknya aku cari sumber air disekitar sini.

Narator: Jaka Tarub pun segera berjalan mencari sumber air terdekat dihutan guna meredakan dahaga
yang ia rasakan. Setelah dekat dengan danau, ia mendengar suara dari sekitar danau tersebut.

(Danau)

Jaka Tarub: (menghentikan langkah) aku seperti mendengar suara gadis-gadis sedang bersenda gurau.
Ah! Ini mungkin cuma khayalanku saja! Mana mungkin ada gadis-gadis bermain-main di tengah hutan
belantara begini?

Narator: Dengan mengendap-endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau. Suara tawa
gadis-gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub mengintip dari balik pohon besar kearah danau.
Jaka Tarub: (Terkejut) haaahhh?? Ada 7 gadis cantik di Danau. Jantungku jadi berdegub makin kencang
begini, gadis-gadis itu semuanya berparas sangat cantik-cantik.

Narator:Tiba tiba jaka Tarub teringat mimpi dimana ia mendapatkan istri cantik jelita dan berpikir bahwa
mimpi itu adalah sebuah pertanda bahwa salah satu bidadari akan menjadi istrinya. Ia melihat ke seliling
danau dan menemukan setumpuk selendang yang ia yakini milik para bidadari. Tiba tiba-tiba sebuah ide
terlintas di kepalanya.

Jaka Tarub: Jika aku mengambil salah satu pakaian bidadari ini, tentu yang punya tidak akan dapat
kembali ke kayangan.

Heeemmm!(senyum dan membayangkan) sang bidadari yang selendangnya kucuri pasti akan bersedia
menjadi istriku.

Narator: Dengan hati-hati Jaka Tarub berjalan menghampiri tumpukan selendang itu. Ia berjalan sangat
perlahan. Jika para bidadari itu menyadari kehadirannya, tentu semua rencananya akan buyar. Jaka
Tarub memilih selendang berwarna merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru-buru menyelinap ke balik
semak-semak.

Adegan 6 (danau)

Bidadari tertua: Ayo, kita pulang sekarang. Hari sudah sore

6 bidadari: Ya benar. Sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari terbenam.

Narator: Para bidadari itu keluar dari danau dan mengenakan selendang mereka masing masing.

Bidadari Nawang wulan: (mencari selendang) Selendangku tidak ada. Dimana selendangku ?(menangis)

Bidadari tertua: Dimana kau taruh selendangmu Nawangwulan ?

Bidadari Nawang Wulan: (menangis dan panik) Disini. Sama dengan selendang kalian... Kalau
selendangku tidak ada, aku tidak bisa pulang ke kayangan.

Narator: Teman temannya yang lain membantu mencari baju Nawangwulan. Usaha mereka sia-sia
karena baju Nawangwulan sudah dibawa pulang Jaka Tarub ke rumahnya.

Akhirnya seorang bidadari berkata...

Bidadari tertua: Nawangwulan, maafkan kami. Kami harus segera pulang ke kayangan dan
meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore.

Nawang Wulan: Baiklah (berkata dengan sedih)

Narator: Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa. Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan
tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan meninggalkan Danau.
Nawang Wulan: (sambil menangis) aku harus gimana coba? masa aku harus berendam di danau ini
selamanya.

Narator: Nawang Wulanpun merasa putus asa. Dan tiba-tiba berucap....

Nawang Wulan: Barangsiapa yang bisa memberiku tempat tinggal akan kujadikan saudara bila ia
perempuan, tapi bila ia laki laki akan kujadikan suamiku.

Narator: Jaka Tarub yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Nawangwulan dari balik pohon
tersenyum senang.

Jaka Tarub: Ha ...ha...ha....! (bergumam) Akhirnya mimpiku menjadi kenyataan!

Narator: Jaka Tarubpun keluar dari persembunyiannya dan berjalan kearah danau. Jaka Tarub segera
mendekat ke arah Nawang Wulan sambil berkata....

Jaka Tarub: Hei, Sedang apa seorang gadis seperti mu malam-malam berada di hutan sendirian?

Nawang Wulan: Aku Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa kembali kesana karena
selendangku hilang dan sekarang aku tidak memiliki tempat tinggal.

Jaka Tarub: Ah, begitu ya. (Pura pura berpikir) ah, Bagaimana jika sementara kau tinggal di rumahku
saja?

Nawang Wulan: Benarkan? Baiklah kalau begitu.

Jaka, Karena aku tadi sudah bersumpah, aku bersedia menerimamu untuk jadi suamiku.

Adegan 7(rumah)

Narator: Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa rumah tangga Jaka Tarub dan Nawangwulan
telah dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nawangsih. Tak seorangpun penduduk desa yang
mencurigai siapa sebenarnya Nawangwulan. Jaka Tarub mengakui istrinya itu sebagai gadis yang berasal
dari sebuah desa yang jauh dari kampungnya.

Sejak menikah dengan Nawangwulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Namun ada satu hal yang
mengganggu pikirannya selama ini. Ia terheran heran, walau dimasak setiap hari mengapa padi di
lumbung kelihatannya tidak berkurang. Justru Lama-lama tumpukan padi itu semakin meninggi.

Pada suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai, ia berpesan kepada Jaka Tarub.

Nawang Wulan: Kang Mas, Jaga Nawangsih dulu ya. Aku mau mencuci dulu dan tutup kukusan nasi yang
sedang dimasak, jangan dibuka ya.

Jaka Tarub: Iya,


Narator: Ketika sedang asyik bermain dengan anaknya, Nawangsih, Jaka Tarub teringat akan nasi yang
sedang dimasak istrinya. Ia menidurkan anaknya dan berjalan ke dapur. Tanpa sadar Jaka Tarub
membuka kukusan nasi itu. Ia lupa akan pesan Nawangwulan.

Jaka Tarub: (terkejut)Haaahh? Di dalam kukusan ini hanya ada setangkai padi?

Narator: Sesaat Jaka Tarub masih dalam kebingungan, tiba-tiba Nawang Wulan, telah sampai di rumah
menatap marah kepada suaminya di pintu dapur.

Nawang Wulan: Kang Mas! Kenapa kau melanggar pesanku?

Jaka Tarub: (terdiam tidak bisa menjawab)

Nawang Wulan: Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi!

Duuuuhh!(muka kesal) Mulai sekarang aku harus menumbuk padi untuk kita masak. Karena itu kau
harus menyediakan lesung untukku!

Jaka Tarub: Maafkan aku. Aku menyesal tidak menghiraukan perkataanmu.

Nawang Wulan: Ya. apa mau dikata, semua sudah terlambat.

Narator: Sejak kejadian itu, mulailah terlihat persediaan padi mereka semakin lama semakin menipis.
Bahkan sekarang padi itu sudah tinggal tersisa di dasar lumbung.

Seperti biasa pagi itu Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang untuk mengambil
padi. Ketika sedang menarik batang batang padi yang tersisa sedikit itu, Nawangwulan merasa
tangannya memegang sesuatu yang lembut. Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu.

Adegan 8

Nawang wulan: (terkejut dan wajah pucat, kesal)

Haaahh? Ini kan baju dan selendangku yang berwarna merah. Kenapa bisa ada disini? Jadi, jadi yang
mengambil baju dan selendangku selama ini adalah Jaka Tarub. Sama sekali aku tidak menyangka
ternyata yang tega mencuri bajuku adalah Jaka Tarub. Ah! Aku, aku ingin segera pulang ke kayangan.
Aku rindu dengan saudara-saudaraku di kayangan. Aku ingin kembali ke asalku.

Narator: Sore hari ketika Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawangwulan dan
anaknya Nawangsih.

Adegan 9 (halaman)

Jaka Tarub: (berteriak) Wulan! Wulan! Wulan! Dimana kau?

Narator: Tiba tiba Jaka Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah melihat sesuatu melayang menuju
ke arahnya. Dia mengamatinya sesaat.
Jaka Tarub terpana. Beberapa saat kemudian ia mengenali ternyata.....

Jaka Tarub: Haaahh? Wulan? Wulan? Aku mencari-carimu kemana-mana. Darimana kau Wulan?

(Gemetar) Kau Kau memakai selendang bidadari, Wulan. Kau Kau cantik sekali memakai selendangmu
itu.

Nawang Wulan: (sedih) Kenapa kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub?

Jaka Tarub: Maafkan aku Nawangwulan. A, aku menyesal Nawang Wulan.

Nawang Wulan: Sekarang kau harus menanggung akibat perbuatanmu Jaka Tarub!

Aku akan kembali ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang bidadari. Tempatku bukan disini!

Nawang Wulan: (suara tegas) Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan suami
istri! Dan ini aku serahkan Nawangsih padamu!

Nawang Wulan: (sambil menatap wajah Nawangsih) Betapapun salahmu padaku Jaka Tarub, Nawangsih
tetaplah anakku. Jika ia ingin bertemu denganku suatu saat nanti, bakarlah batang padi, maka aku akan
turun menemuinya

Hanya satu syaratnya, kau tidak boleh bersama Nawangsih ketika aku menemuinya. Biarkan ia seorang
diri di dekat batang padi yang dibakar!

Jaka Tarub: Iya, Nawang Wulan. Akan aku turuti segala yang kau katakan.

Narator: Jaka Tarub hanya bisa menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar.

Setelah Jaka Tarub menyatakan kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi dengan Nawangwulan, sang
bidadaripun terbang meninggalkan dirinya dan Nawangsih. Jaka Tarub hanya sanggup menatap
kepergian Nawangwulan sambil mendekap Nawangsih. Sungguh kesalahannya tidak termaafkan. Tiada
hal lain yang dapat dilakukannya saat ini selain merawat Nawangsih dengan baik seperti pesan
Nawangwulan

Anda mungkin juga menyukai