Anda di halaman 1dari 11

JAKA TARUB & TUJUH BIDADARI

SCENE 1
Pada jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah
Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Milah. Ayahnya sudah
lama meninggal. Sehari hari Jaka Tarub dan Mbok Milah bertani padi di sawah. Pada suatu
pagi bersamaan dengan ayam berkokok, Jaka Tarub keluar dan duduk di ambengan depan
rumahnya sambil menatap ke arah halaman rumahnya. Mbok Milah yang baru terbangun
dari tidurnya menyadari kalau Jaka Tarub tidak ada di dalam rumah. Begitu ia melihat keluar
jendela, dilihatnya Jaka Tarub sedang melamun.

“Apa yang dilamunkan anak ku itu”, pikir Mbok Milah.

Ia menebak mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya
sudah lebih dari cukup.

SCENE 2

Hari berganti hari, saat Jaka Tarub pergi ke sawah bersama 5 temannya.

“Dilihat – lihat tanaman di desa ini subur dan bagus bagus ya kawan,” ucap teman 1

“Iya ya, sebentar lagi mencapai musim panen, pasti warga desa senang menikmati hasil
panen yang melimpah kali ini,” timpal Jaka Tarub

“Pasti, tanaman subur dan bagus begini mana mungkin tidak panen banyak,” ucap teman 2

“Kalau begini terus, bisa cepat kaya kita hahahahaha,” ucap teman 3

“Wah benar sekali kamu, ayo ayo kita buat tanaman ini semua menjadi lebih subur. Ayo
semangat menjadi kaya kawan kawan” ucap teman 4 dengan sangat bersemangat.

(Musikal Lagu Cangkul)

SCENE 3

Tak lama kemudian datanglah seorang warga bernama Pak Danu berlari tergopoh-gopoh
menuju ke arah sekumpulan pemuda yang sedang beristirahat di gubuk sawah sambil
bercanda tawa.

“Jak, Jaka, Jaka Tarub” ucap Pak Danu dengan terengah-engah.


“Ada apa pak? Kenapa berlarian begitu?” Tanya Jaka Tarub

“Mungkin pak danu melihat alien di kebun sebelah” Ujar Teman 1

(Teman 3 memarahi teman 1, teman 3 memukul dan membekap mulut teman 1)

“i.. itu Jak. Ibumu, Mbok Milah baru saja meninggal dunia” Ujar Pak Danu.

Pak Danu memberi kabar bahwa Mbok Milah, Ibu Jaka Tarub ditemukan meninggal oleh
salah satu tetangganya yang datang ke rumahnya untuk memberi beberapa makanan yang
telah dimasaknya. Jaka Tarub terduduk lemas, kaget akan berita yang telah disampaikan oleh
pak Danu.

Mengetahui fakta yang tiba-tiba ini, Jaka Tarub tak sanggup menahan air mata. Jaka Tarub
bersama teman – temannya pun berlari tergopoh-gopoh menuju desa, meninggalkan semua
peralatan berkebunnya begitu saja. (Teman 1 memunguti peralatan berkebun, lalu dimarahi
teman 3 dan kemudian ditarik untuk berlari menyusul Jaka Tarub)

Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia melihat banyak orang yang berjalan tergesa
gesa menuju ke arah yang sama. Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah
nampak dari kejauhan. Banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Ternyata ini bukan
mimpi, ibu yang sangat ia sayangi telah pergi untuk selamanya tanpa memberi pertanda
sedikitpun.

SCENE 4

Sehari setelah kematian ibunya Jaka Tarub duduk termenung bersama kelima temannya.

“Sabar ya Jak, semua ini sudah kehendak Tuhan” ucap teman 5.

“Aku kini sendiri, sebatang kara, tak punya siapapun lagi. Rumah terasa sepi tanpa kehadiran
ibu, aku belum terbiasa,” ujar Jaka Tarub dengan matanya yang berkaca kaca.

“Jangan bersedih Jak, ada kami kawanmu disini” Ucap teman 2.

“Benar Jak, Kami semua ada disini, Kau tidak perlu takut merasa sendiri” Timpal teman 3.

Ia merenungi nasibnya yang kini sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal belum memenuhi
keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi itu semua sekarang
hanya kenangan. Kini ibunya telah beristirahat dengan tenang.

“Semoga Ibu bahagia diatas sana bersama bapak,” lirihnya


SCENE 5

Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu bersama teman-
temannya. Hampir setiap hari ia berburu ke hutan. Hasil buruannya selalu ia bagi bagikan ke
tetangga atau dijual kepasar. Hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan
kesedihannya.

Seperti pagi biasanya, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan santai
ia berjalan menuju Hutan karena hari masih pagi. Ketika sampai di hutan, Jaka tarub
menunggu hewan buruan yang lewat di depannya. Namun tak satupun hewan liar yang
didapat Jaka Tarub. Ia justru lebih banyak melamun dan tak terlalu memperhatikan
percakapan yang di bahas teman-temannya.

“Sudah siang, bagaimana kalau kita pulang saja?” Ajak teman 1.

“Ayo, jika disini terus hanya akan membuang waktu.” Ucap teman 4 dan di iyakan oleh yang
lain.

Diperjalanan menuju ke desa, enam sekawan itu tidak diam saja membiarkan suasana sunyi
hutan membelenggu mereka. Salah satu teman Jaka Tarub membahas hal yang mustahil ada,
yaitu tentang bidadari yang turun dari bumi. Konon katanya bidadari itu turun dari kayangan
untuk bermain di danau atau sungai. Bukankah alasan itu saja sudah sangat aneh didengar
oleh semua manusia yang ada di muka bumi.

“Ayolah kalian semua, ceritaku ini benar dan bukan sebuah tipuan.” Ucap teman 3
meyakinkan. (Berjalan sedikit kemudian berhenti)

“Coba pikirkan saja alasan mereka turun ke bumi, memangnya di langit tidak ada air? Lalu
hujan datangnya dari mana?” Ujar teman 5.

“Tapi bagaimana jika mereka benar ada? Jak menurutmu bagaimana?” Ucap teman 2 sambil
menepuk pelan bahu Jaka Tarub.

“Aku tak tau pasti, sudah ya kalian duluan saja aku ingin berkeliling hutan sebentar.” Pamit
Jaka Tarub kepada teman-temannya kemudian pergi begitu saja.

(Teman 2 tetap fokus berburu, kemudian dipukul pelan belakang kepalanya oleh teman 3
kemudian ditarik mengikuti temannya yang lain)

SCENE 6
Ditengah perjalanannya berkeliling hutan Jaka Tarub melihat pelangi yang indah tiba-tiba
saja muncul. Dalam hati ia heran dari mana asal pelangi itu. Entah ide dari mana, Jaka Tarub
mengikuti lengkungan pelangi tadi dan mencari ujungnya. Ia sedikit terkejut saat mendengar
suara perempuan yang diperkirakan lebih dari dua ditengah kegiatannya mencari ujung
pelangi. Fokusnya terganti, Jaka Tarub berjalan kedepan mengikuti sumber suara. Ia terkejut
melihat pemandangan tujuh bidadari cantik dari balik pohon. Sungguh sangat cantik dan
menawan semakin lama Jaka melihatnya. Ia langsung merasa jatuh cinta setengah mati.

(Musikal Sempurna)

Jaka Tarub teringat cerita temannya tadi, tentang bidadari yang turun kebumi. Ia ingin
menjadikan salah satu bidadari itu sebagai istrinya, pasti ia akan bahagia jika bisa menikahi
salah satunya. Melihat selendang tujuh bidadari di depan matanya, Jaka Tarub berniat
mengambil satu selendang tersebut dan membawanya pulang untuk di sembunyikan.

“Apa benar kalau aku ambil salah satu selendang bidadari itu, maka bidadari itu pasti tidak
akan bisa kembali ke khayangan? Kita lihat saja nanti, aku akan mengambil satu dan ku
sembunyikan dirumah.” Ujar Jaka Tarub.

Setelah Jaka Tarub mengambil satu selendang itu, dia berlari dengan cepat melewati
pepohonan yang menjulang tinggi. Sesampainya ia dirumah, Jaka Tarub bingung harus
dimana ia sembunyikan selendang bidadari yang ia bawa. Akhirnya setelah mengelilingi
rumah ia memutuskan untuk meletakkan selendang itu di lumbung padi. Selesai dengan
menyembunyikan selendang di tempat yang aman, Jaka Tarub segera bergegas kembali ke
danau tempat tujuh bidadari tadi. Ia berlari semakin cepat dan cepat, takut jika bidadari tadi
berjalan sendiri dan tersesat atau ditemukan orang lain.

SCENE 7

Disisi lain tujuh bidadari memutuskan untuk segera kembali ke khayangan karena hari sudah
mulai sore, mereka takut terlambat dan dimarahi oleh Ibunda Ratu.

“Hari sudah mulai sore, ayo semua adik ku kita harus segera pulang” Ajak sang kakak
bidadari 1.

“Baik kak” Jawab semua adik adiknya.

“Dimana selendang ku? Kenapa tidak ada ditempatnya?” Panik Nawang wulan.

“Bagaimana bisa hilang? Ayo kita cari, pasti ada di sekitar sini.” Tegas sang kakak bidadari
kedua.

JEDA SEBENTAR
"Bagaimana? Apakah ada yang sudah menemukan selendang Nawang Wulan?" Tanya
bidadari 3.

"Aku sudah mencari dimana mana tetapi tetap tidak ada kak" Jawab bidadari 4.

"Disini juga tidak ada kak" Ucap bidadari 5.

"Hari sudah mulai gelap, kita harus segera pulang sebelum terlambat." Ucap bidadari 6.

"Maaf Nawang Wulan kami harus meninggalkan mu sendiri disini." Ucap bidadari 1.

"Jagalah dirimu baik baik adik ku, jangan sampai terluka." Ucap bidadari 5 kemudian
meninggalkan Nawang Wulan sendirian dibumi.

"Kumohon kakak jangan tinggalkan aku sendiri disini." Mohon Nawang Wulan tetapi semua
kakaknya tetap meninggalkan ia sendiri.

SCENE 8

Hari semakin gelap, Nawang Wulan yang ditinggal sendirian di pinggir danau mulai
menangis.

"Sungguh, apa yang harus aku lakukan sekarang" Ucap Nawang Wulan yang meratapi
kesedihannya.

(Musikal)

Jaka Tarub yang melihat Nawang Wulan mulai menangis merasa iba dan ingin segera
menemuinya.

"Kasian sekali bidadari itu, aku harus segera menolongnya." Ujar Jaka Tarub dari balik
pohon

“Bagi siapapun yang bisa memberiku pakaian, jika dia perempuan akan kujadikan saudara
ku, dan jika dia laki – laki akan aku jadikan ia suamiku”, Ujar Nawang Wulan ditengah
isakan tangisnya.

Jaka Tarub pun melanjutkan langkahnya mendekati Nawang Wulan, “Maaf aku tidak
sengaja mendengar suara tangisanmu. Perkenalkan aku Jaka Tarub, apa yang telah terjadi?
Apakah ada yang bisa ku bantu?”
“A.. aku adalah seorang bidadari. Aku datang bersama ke enam saudara perempuan ku.
Namun saat selesai berendam di danau ini aku kehilangan selendangku. Tanpa selendang itu
aku tidak bisa kembali ke khayangan.” Jawab Nawang Wulan.

“Jadi kau bidadari? Apakah kain jarik yang aku kenakan ini bisa sedikit membantu mu?”
tanya Jaka Tarub sambil melepas kain jarik di pinggangnya.

“Terimakasih Jaka Tarub. Nama ku Nawang Wulan, sesuai janji ku, laki laki yang
membantuku akan aku jadikan suami.” Ucap sang bidadari.

"Menjadikan ku suami mu? Benarkah? Semudah itu?" Tanya Jaka Tarub yang keheranan.

“iya, benar. Suamiku” jawab Nawang Wulan

"Baiklah, itu bisa dibicarakan nanti, bagaimana kalau kita keluar dulu dari hutan ini dan
pergi ke rumah ku? Hari semakin gelap dan hutan sangat berbahaya dimalam hari." Tawar
Jaka Tarub dan di balas anggukan setuju oleh Nawang Wulan.

Setelahnya, Jaka Tarub dan Nawang Wulan membahas perihal pernikahan keduanya yang
akan di selenggarakan dengan sederhana. Namun, bisa memberi berkesan untuk keduanya.
Setelah menyelesaikan persiapan dan menetapkan tanggal pernikahan, akhirnya Jaka Tarub
dan Nawang Wulan menikah.

(Musikal Kamu Yang Ku Tunggu + dansa)

SCENE 9

(Musik kicauan burung, suara derap langkah)

Setelah pernikahan Jaka Tarub dan Nawang Wulan terlaksana, mereka kemudian dikaruniai
seorang putri yang mereka beri nama Nawangsih. Namun Jaka Tarub merasakan keanehan
dimana lumbung padi yang seharusnya berkurang justru bertambah banyak. Kemudian Jaka
Tarub berjalan mendekati lumbung.

“Aneh sekali, kenapa padinya tidak berkurang?” Heran Jaka Tarub.

“Pagi – pagi begini mau pergi kemana dek?” Tanya Jaka Tarub yang melihat Nawang
Wulan berjalan mendekat.

“Mencuci baju disungai mas, ada apa? Kenapa raut wajahmu gelisah seperti itu?” Tanya
Nawang Wulan.
"Aku sedang bingung, mengapa padi di lumbung ini tidak habis habis, bahkan sepertinya
juga tidak berkurang sedikitpun." Ucap Jaka Tarub.

"Sudahlah jangan dipikirkan, kita harusnya bersyukur karena padi masih banyak." Jawab
Nawang Wulan.

"Benar juga, yasudah lanjutkan pekerjaan rumah yang akan kau lakukan, aku harus pergi ke
sawah untuk bekerja." Pamit Jaka Tarub kemudian mereka berdua pergi ke arah yang
berlawanan.

Saat Nawang Wulan telah sampai di sungai dengan seember baju kotor yang akan dicucinya,
ia bertemu dengan tiga orang tetangganya yang juga sedang mencuci pakaian kotor mereka.

“Eh Dek Wulan, nyuci dek?” Sapa seorang tetangganya yang sedang mencuci itu

“iya mbak, kebetulan cucian sedang banyak – banyaknya” jawab Nawang Wulan dengan
senyum yang menghiasi wajahnya.

“Wahh dek Wulan ini ternyata memang cantik sekali ya? Seperti bidadari hahaha” Ujar
tetangga ke2

“iya ya, sudah cantik, sopan, senyumnya pun manis. Beruntung sekali ya Jaka Tarub bisa
menikah dengan dek Wulan yang seperti bidadari ini” Timpal tetangga ke 1

“ah bisa saja mbak.” Jawab Nawang Wulan tetap dengan senyum yang tidak hilang dari
wajah cantiknya.

Setelah Nawang Wulan menyelesaikan cuciannya, ia pun pamit pada para tetangganya.

“Saya pamit pulang dulu ya mbak, sudah selesai mencuci. Kasian Nawangsih sendirian di
rumah, bapaknya sedang pergi ke sawah” pamit Nawang Wulan

“Wah kebetulan kita juga sudah selesai semuanya, ayo kembali ke desa bersama – sama”
Jawab salah satu tetangganya. Kemudian mereka pulang ke desa bersama sama, di iringi
canda dan tawa.

SCENE 10

Di suatu pagi yang cerah, seperti kebiasaan sebuah keluarga kecil pada umumnya. Nawang
Wulan sedang menanak nasi dan Jaka Tarub bermain bersama NawangSih
“wah anak bapak sudah besar ya, cantik seperti ibumu” Ujar Jaka Tarub sambil mengelus
pucuk kepala NawangSih dengan sayang. (Duduk berdua diatas tikar)

“wah hahahah Terima kasih bapak” ucap NawangSih dengan senyum kegirangan

“sebentar ya nak, kamu bermain sendiri dulu ya, Bapak mau melihat ibumu di dapur” pamit
Jaka Tarub pada NawangSih lalu berjalan menuju dapur. Saat sampai di dapur Jaka Tarub
tidak melihat sosok Nawang Wulan disana.

“dimana istriku? Sepertinya sudah waktunya nasi yang dimasaknya matang. Apa aku buka
saja ya untuk memastikan?”

Kemudian Jaka Tarub membuka wadah diatas tungku dan hanya menemukan setangkai padi
yang belum berubah menjadi nasi. Jaka Tarub pun bertanya tanya mengapa hanya setangkai
padi yang dimasaknya.

“loh apa ini? Kenapa hanya setangkai padi yang dimasaknya? Dan kenapa padi ini tidak
ditumbuk dan dicuci dulu? Apa sebenarnya yang terjadi?”

Disaat yang bersamaan Nawang Wulan datang dan melihat suaminya tengah membuka
wadah. Nawang Wulan pun marah mengapa suaminya membuka dandang itu.

“Mas, apa yang kau lakukan? Mengapa kau membuka dandang ini?”

“Aku hanya takut nasi yang kau masak menjadi hangus. Jadi aku membukanya. Mengapa
kau hanya memasak setangkai padi yang belum ditumbuk dan dicuci ini?”

“yang kau lakukan membuat kekuatanku untuk mengubah setangkai padi menjadi sebakul
nasi menjadi hilang. Kini aku harus menumbuk dan mencuci semua padi yang akan ku
masak terlebih dulu.”

Maafkan aku Nawang Wulan, aku tidak sengaja melakukannya.” Mohon Jaka Tarub.

“Sudahlah, semuanya telah berlalu dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk merubahnya.”
Jawab Nawang Wulan kemudian pergi begitu saja dengan hati yang kesal. Sedangkan Jaka
Tarub hanya bisa memandang kepergian Nawang Wulan dengan nelangsa.

SCENE 11

Beberapa hari kemudian, saat Nawang Wulan akan memasak nasi. Ia pergi melihat ke
lumbung. Dan saat ia melihat ke lumbung, persediaan padi mulai menipis. Suatu hari,
Nawang Wulan melihat sebuah kain merah di bawah tumpukan padi di lumbungnya.
“kain apa itu? Mengapa ada kain yang ditaruh di bawah tumpukan padi?” Nawang Wulan
pun mendekati tumpukan padi tersebut dan kemudian mengambil kain tersebut.

“Kain ini… seperti selendang ku yang hilang dulu?”

“Aku harus menanyakan tentang ini pada Mas Jaka” Nawang Wulan pun berlari masuk ke
dalam rumah sambil membawa selendang yang ditemukannya itu.

“Mas, mas, mas” Teriak Nawang Wulan memasuki rumah

“ada apa? Kenapa kau berteriak begitu? Aku sedang di kamar bersama NawangSih.” Jawab
Jaka Tarub keluar dari dalam kamar.

“Ini apa? Kenapa ada selendangku di lumbungmu? Tanya Nawang Wulan dengan mata yang
berkaca kaca.

“I.. ini.. bagaimana bisa kau menemukannya?” tanya Jaka Tarub dengan raut wajah tegang.

“Jadi benar ini selendang ku? Selama ini ternyata kamu yang telah mencuri selendang ku.”
Ucap Nawang Wulan kecewa.

“Tunggu Nawang Wulan dengarkan dulu penjelasan ku.” Ucap Jaka Tarub, berusaha
mendekat ke arah Nawang Wulan yang justru berjalan mundur menghindari sang suami.

“Cukup, tidak ada yang perlu di jelaskan lagi. Ternyata selama ini aku sudah di tipu,
ternyata… suami ku sendiri yang telah mencuri selendang ku dan membuat aku terjebak
disini.” Ucap Nawang Wulan sambil berlari keluar dari rumah. Jaka Tarub pun mengejarnya,
namun Jaka Tarub tidak bisa mencegah kepergian Nawang Wulan karena Nawang Wulan
langsung terbang ke khayangan menggunakan selendang miliknya yang telah ia temukan.

(Musikal Tak Sanggup Lagi )

SCENE 12

Saat Nawang Wulan sampai di khayangan, ia menemui keenam kakaknya sambil menangis.

“ada apa Nawang Wulan? Bagaimana kau bisa kembali?” Tanya kakak Nawang Wulan,
bidadari 2 dengan raut kebingungan. Namun Nawang Wulan tetap menangis tersedu-sedu.
Akhirnya ke enam kakaknya berinisiatif untuk memeluk dan menenangkan Nawang Wulan
terlebih dahulu sebelum bertanya.
Saat Nawang Wulan sudah tenang, ia menjawab pertanyaan kakaknya tadi. “Kak, ternyata
suamiku sendiri yang mengambil selendangku. Bagaimana dia bisa setega itu pada ku?”

“apa?!! Suamimu sendiri yang menyembunyikan nya?” Sang kakak, bidadari ke 4 terjekut
akan pengakuan adiknya.

“apa yang ada dipikiran Jaka Tarub sampai tega mengambil selendangmu?” timpal bidadari
6.

“Manusia sudah pasti seperti itu, sekarang yang terpenting adalah Nawang Wulan sudah
kembali bersama kita.” Ucap bidadari 1.

“Tapi Wulan, bagaimana dengan anak mu? Apa kau akan meninggalkannya begitu saja?”
Tanya bidadari 3.

“Aku bingung, tempat tinggal ku disini tapi aku sedih harus meninggalkan NawangSih.”
Ujar Nawang Wulan dengan raut sedih.

“sebaiknya kau kembali untuk berpamitan kepada anakmu, kasian dia kalau kau
meninggalkannya begitu saja” saran bidadari ke 5

“baiklah, aku akan kembali dan berpamitan kepada anakku” Ujar Nawang Wulan kemudian
pergi untuk menuju rumah Jaka Tarub.

SCENE 13

Saat Jaka Tarub sedang merenung di teras rumahnya. Nawang Wulan turun dan berdiri di
depan Jaka Tarub.

“Nawang? Nawang Wulan? Kau benar Nawang Wulan istriku?” tanya jaka tarub dengan
tidak percaya. (Berjalan mendekati Nawang Wulan)

“Aku sudah bukan istrimu lagi Mas karena kau sudah bertahun-tahun berbohong padaku.
Sekarang aku datang kesini hanya untuk berpamitan pada NawangSih bukan untuk bertemu
denganmu. Dimana anakku?” Jawab Nawang Wulan dengan nada dingin.

NawangSih yang mendengar suara ibunya pun bergegas keluar rumah. (Berlari dari pintu
masuk)

“Ibu, ibu darimana saja? Mengapa ibu tiba tiba pergi begitu saja tanpa berpamitan padaku?”
tanya NawangSih pada Nawang Wulan
“Ibu pergi dulu ya nak. Ibu ada diatas sana, baik baik ya sama Bapakmu” ucap nawnag
wulan sambil menunjuk ke arah langit kemudian memeluk anaknya.

“Nak, bisakah kau masuk ke rumah dulu? Ada yang mau bapak bicarakan dengan ibumu”
Tanya Jaka Tarub menginterupsi Nawang Wulan dan NawangSih yang sedang berpelukan.

“Baik bapak, Ibu aku masuk dulu ya, Aku sayang ibuu” Teriak NawangSih sambil berlari
memasuki rumah. (Berlari keluar panggung)

“Kau benar benar akan meninggalkanku berdua dengan NawangSih disini? Kau tega?”
Tanya Jaka Tarub

“Aku tega? Lalu bagaimana dengan mu yang tega menyembunyikan selendangku dan
membohongi ku selama bertahun-tahun?” Tanya Nawang Wulan dengan nada marah

“Lalu aku harus bagaimana semua itu sudah terjadi.” Jawab Jaka Tarub.

“Ya karena ini semua sudah terjadi. Kau harus menerima akibat dari perbuatan mu” Ucap
Nawang Wulan pada Jaka Tarub

Jaka Tarub yang mendengarnya pun hanya bisa menangis sambil berlutut di depan istrinya
itu.

“Aku pamit, jaga anak ku. Jika NawangSih ingin bertemu denganku, cukup bakar jerami
kemudian tinggalkan dia di dekat jerami yang kau bakar itu. Namun kau harus pergi dari
sana karena aku benar benar tidak mau melihatmu lagi. Selamat Tinggal” Ucap Nawang
Wulan kemudian kembali terbang menuju khayangan.

(Nawang Wulan dan Jaka Tarub keluar panggung dengan arah yang berbeda)

(Musikal Andaikan Kau Datang)

END

Anda mungkin juga menyukai