Anda di halaman 1dari 6

BAGIAN 1

Pada zaman dahulu, seorang pemuda yang bernama Jaka Tarub tinggal bersama
ibunya yang bernama Mbok Milah. Sedangkan ayah Jaka Tarub, sudah lama
meninggal. Jaka Tarub dan Mbok Milah memenuhi kebutuhan sehari-harinya
dengan bertani di sawah.

Lalu, di suatu malam, Jaka Tarub bermimpi bertemu dan menikah dengan seorang
perempuan yang sangat cantik, bahkan seperti seorang bidadari. Saat Jaka Tarub
terbangun, ia tersenyum karena ia merasa senang dengan mimpinya semalam.
Hingga di siang hari, Jaka Tarub masih memikirkan mimpi indahnya itu. Jaka Tarub
duduk di halaman rumahnya sambil termenung bahagia.

Mbok Milah pun merasa bingung dengan apa yang sedang dipikirkan anaknya ini,
“Apa yang sedang ada di pikiranmu, nak?” Tanya Mbok Milah penasaran. Namun,
Jaka Tarub masih termenung dan seperti tidak mendengar pertanyaan yang
dilontarkan oleh ibunya itu. Mbok Milah pun berpikir mungkin Jaka Tarub sedang
memikirkan seorang perempuan dan ingin menikah. Akhirnya, Mbok Milah berniat
untuk mencarikan Jaka Tarub seorang istri dari desanya.

Di hari itu juga, saat Mbok Milah sedang berada di sawahnya, Pak Ranu, pemilik
sawah sebelah menghampirinya. Pak Ranu bertanya apakah Jaka Tarub sudah
menikah atau setidaknya sudah memiliki rencana untuk menikah. Mbok Milah pun
berkata tidak ada, ia pun juga merasa sedikit bingung mengapa Pak Ranu
menanyakan hal itu padanya. Ternyata, Pak Ranu berniat untuk menjodohkan Jaka
Tarub dengan anak perempuannya, Laraswati.
BAGIAN 2

Mbok Milah terkejut dan senang di saat yang bersamaan, karena anak Pak Ranu
adalah gadis yang baik hari dan lemah lembut, tapi sebelum ia menerima tawaran
Pak Ranu, Mbok Milah merasa ia harus bertanya dan memastikannya dulu pada
anaknya. Pak Ranu pun memahami pertimbangan Mbok Milah itu.

Sesampainya di rumah, Mbok Milah berniat untuk langsung menanyakan hal tadi
pada anaknya. Namun, ia mengurungkan niatnya karena ia takut anaknya
tersinggung atau ternyata Jaka Tarub sudah memiliki calon, hanya saja belum
memperkenalkannya. Akhirnya, Mbok Milah menunda melontarkan pertanyaan itu
hingga berhari-hari kemudian, hingga ia pun lupa.

Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang senang dan handal berburu seperti
ayahnya dahulu. Lalu, pada suatu pagi ia memutuskan untuk pergi berburu, bukan
ke sawah. Jaka Tarub pun mempersiapkan segala macam peralatan berburu yang
ia butuhkan; busur, panah, pisau, dan pedang. Setelah ia siap, ia pamit izin pergi
pada ibunya. Setelah Jaka Tarub pergi, Mbok Milah masuk kembali ke kamarnya
untuk beristirahat karena ia tiba-tiba merasa lelah.

Di hutan, Jaka Tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya merasa


senang dan puas karena menjangan ini bisa ia masak bersama ibunya selama
beberapa hari ke depan. Saat ia sedang jalan pulang, tiba-tiba ada seekor macan
tutul yang menghampirinya. Jaka Tarub pun panik dan ia melepaskan menjangan
yang ada di panggulnya agar ia bisa melarikan diri dengan cepat. Macan tutul itu
pun langsung memakan menjangan hasil buruan Jaka Tarub.
BAGIAN 3

Tentunya Jaka Tarub merasa kesal dan merasa harinya sangat sial karena
sekarang ia akan pulang dengan tangan kosong. “Pertanda apa ini, ya,” gumam
Jaka Tarub sambil terduduk lemas. Jaka Tarub pun berjalan kembali pulang ke
rumah dengan rasa lapar karena ia tidak menemukan hewan buruan apa pun juga
di sepajang perjalanan. Ia juga tidak membawa bekal apa pun karena ia tidak
mengira ia akan menghabiskan waktu yang cukup lama di hutan hari ini.

Saat Jaka Tarub sudah memasuki daerah desanya, ia melihat banyak warga yang
berjalan tergesa-gesa menuju arah yang sama dengannya. Semakin ia mendekati
rumahnya, semakin banyak warga yang berkumpul. Hati Jaka Tarub pun semakin
bingung, ia tidak tahu apa yang terjadi. Saat ia memasuki rumahnya, Pak Ranu dan
banyak orang yang menepuk pundaknya untuk mengatakan ia harus bersabar dan
menerima nasibnya.

Ternyata, ibu Jaka Tarub telah meninggal dunia. Mbok Milah sudah berbaring kaku
di ruang tengah rumah mereka tidak tersadarkan diri. Jaka Tarub pun lemas dan
tangisannya mengisi ruangan. Jaka Tarub hanya bisa termenung melihat tubuh
ibunya. Pak Ranu pun bercerita bahwa yang menemukan ibunya meninggal
pertama adalah istrinya. Namun, Jaka Tarub sangat sedih hingga ia tidak
menghiraukan ucapan Pak Ranu.

Setelah ibunya dikebumikan dan semua orang sudah pulang, ia merasa sangat
kesepian, karena kini ia hanya tinggal sendirian. Jaka Tarub juga merasa bersalah
karena ia belum memenuhi keinginan ibunya, yaitu melihat anaknya menikah dan
menggendong cucu.
BAGIAN 4

Di hari-hari selanjutnya, Jaka Tarub menghabiskan waktunya dengan berburu dan


membagikan hasil buruannya pada warga. Hanya dengan berburu Jaka Tarub bisa
melupakan kesedihannya sejenak. Hingga pada suatu pagi, saat ia sedang berburu
di Hutan Wanawasa ia merasa bosan karena ia tidak mendapatka hewan apa pun.
Karena merasa haus dan lelah, ia pun pergi ke arah telaga yang disebut dengan
Telaga Toyawening. Saat ia hampir sampai, ia mendengar suara beberapa wanita
yang sedang berbicang sambil tertawa kecil, tapi ia berpikir mungkin ini semua
hanya khayalannya saja. Lagi pula, tidak ada perempuan yang bermain di hutan,
kan?

Namun, suaranya semakin jelas dan semakin kencang saat Jaka Tarub mendekati
telaga. Ternyata, ada tujuh orang gadis cantik yang sedang mandi di telaga itu.
Jaka Tarub tekejut bukan main dan jantungnya berdegum sangat kencang. Jaka
Tarub memperhatikan satu per satu gadis di telaga itu. Semuanya berparas sangat
cantik. Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah
bidadari yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti mimpiku waktu itu?” Pikirnya
dengan hati yang sangat senang.

Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar. Semua
pakaian itu memiliki warna yang berbeda-beda. Jaka Tarub pun berpikir jika ia
mengambil salah satu pakaian ini, ia tidak akan bisa kembali ke kayangan.
Akhirnya, ia diam-diam mengambil salah satu pakaian yang berwarna merah.

Saat mendekati terbenamnya matahari, para bidadari ini ingin kembali ke kayangan.
“Cepat adik-adikku, saatnya kita kembali ke kahyangan. Ayah sudah memanggil
kita untuk pulang.” Ucap salah satu Bidadari. Namun, salah satu bidadari tidak bisa
menemukan pakaiannya. Keenam bidadari yang lain mencoba membantu mencari
pakaiannya tapi tidak juga berhasil. Dari kejadian ini, Jaka Tarub mendengar bahwa
bidadari yang bajunya ia ambil bernama Nawangwulan. Nawangwulan menangis
panik karena tanpa pakaian dan selendangnya, ia tidak akan bisa kembali ke
kayangan. Dengan terpaksa, para bidadari yang lain harus pergi meninggalkan
Nawangwulan karena hari akan semakin gelap.
BAGIAN 5

Nawangwulan kelihatan putus asa. Tiba-tiba tanpa sadar, ia berucap “Barangsiapa


yang bisa memberiku pakaian akan, aku jadikan saudara bila ia perempuan, tapi
bila ia laki-laki, akan aku jadikan suamiku,” Jaka Tarub pun buru-buru pulang untuk
menyembunyikan pakaian Nawangwulan dan membawa baju mendiang ibunya
untuk dipinjamkan pada Jaka Tarub.

Setelah sampai kembali ke telaga, Jaka Tarub pun menghampiri Nawangwulan dan
memberikannya pakaian. Setelah Nawangwulan berpakaian, ia memenuhi janji
yang sudah ia ucap, ia akan menikahi Jaka Tarub. Pernikahan mereka pun
berlangsung lama dan mereka dikaruniai seorang anak yang mereka namakan
Nawangsih.

Sejak menikah, Jaka Tarub akhirnya bisa menemukan kebahagiaannya kembali,


tapi ada satu hal yang masih mengganjal di pikirannya. Ia merasa heran mengapa
padi di lumbung mereka tidak berkurang walau dimasak setiap hari. Bahkan, panen
yang diperoleh secara teratur membuat lumbung mereka hampir tidak muat lagi.

Lalu, di suatu pagi saat Nawangwulan ingin pergi mencuci ke sungai, ia menitipkan
anaknya pada Jaka Tarub. Ia juga mengingatkan suaminya agar tidak membuka
tutup kukusan nasi yang sedang ia masak. Karena terasa sudah lama, Jaka Tarub
ingin melihat apakah nasi itu sudah matang—ia pun membukanya dan lupa dengan
pesan Nawangwulan. Betapa terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu.
Nawangwulan hanya memasak setangkai padi. Ia langsung teringat akan
persediaan padi mereka yang semakin lama semakin banyak. Terjawab sudah
pertanyaannya selama ini.
BAGIAN 6

Saat Nawangwulan sampai ke rumah, ia melihat suaminya dengan amarah karena


suaminya telah melupakan titipannya. “Hilang sudah kesaktianku untuk mengubah
setangkai padi menjadi sebakul nasi,” ucap Nawangwulan. Mulai saat itu
Nawangwulan harus menumbuk nasi untuk dimasak dan suaminya harus
menyediakan lesung untuknya.

Sejak hari itu, persediaan padi mereka semakin lama semakin menipis. Bahkan
sekarang padi itu sudah tinggal tersisa di dasar lumbung. Seperti biasa, di pagi
selanjutnya, Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang untuk
mengambil padi. Ketika sedang menarik batang batang padi yang tersisa sedikit itu,
Nawangwulan merasa tangannya memegang sesuatu yang lembut. Karena
penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah Nawangwulan seketika
pucat karena terkejut melihat benda yang baru saja berhasil diraihnya adalah baju
bidadari dan selendangnya yang berwarna merah. “Ternyata selama ini Jaka Tarub
yang menyembunyikan selendangku. Dan karena isi lumbung terus berkurang pada
akhirnya aku bisa menemukannya kembali. Ini pastisudah menjadi kehendak yang
diatas.” Ucap Nawang Wulan.

Nawangwulan merasa kecewa dan marah pada Jaka Tarub karena ia merasa
sudah ditipu selamam ini. Saat ia bertemu Jaka Tarub ia memutuskan untuk
kembali ke kayangan dan meninggalkan suami dan anaknya. “Kakang, maafkan
aku, aku harus pergi.” Ucap Nwang Wulan. Namun, Nawangwulan tidak akan
melupakan anaknya, jika Nawangsih ingin bertemu ibunya, Jaka Tarub harus
membakar batang padi dan diletakkan di dekat Nawangsih. Tentunya, dengan
syarat Jaka Tarub tidak boleh ada di dekatnya.

Nawang Wulan pun kembali ke kahyangan, meninggalkan Jaka Tarub dan kedua
anaknya.Sejak saat itu Jaka Tarub dan kedua anaknya selalu menatap rembulan di
malam hari untuk mengenang Nawang Wulan. Jaka Tarub hanya bisa meratapi ini
semua. Ia tahu bahwa ini semua adalah salahnya dan ia harus menanggung segala
akibatnya.

Anda mungkin juga menyukai