KELAS : X MIPA 6
BAHASA INDONESIA
Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani.
Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib
setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan
membaca Al-Qurâ’an pagi dan petang.
Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak
encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga
potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap
rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya
memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya.
Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.
Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-
laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.
“Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka
menolong. Tolonglah saya, selamatkan lah saya agar tidak dibunuh oleh
laki-laki yang sedang mengejar saya itu.
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia tak kan melakukan
itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka
mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.
“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan
kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan
geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula
yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah.
Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu
tampak terpaku, terkejut dengan kejadian yang tak pernah ia duga
sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu
belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar
membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada
sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya
jauh dari keluargaku.”
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang
yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah
menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu
tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang
pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah
sentiasa membantumu.”
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari
mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek
itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan
main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga
saya dapat selamat?”
Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap
pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu
dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri
(Allah) saya datang menyelamatkanmu.”
Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu
persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-
pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan
maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka
menghambur-hamburkan uang.
Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak
seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah
dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku
ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini,
merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan
kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan
menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara
yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda
Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh
pertimbangan.
TAMAT