Anda di halaman 1dari 18

1.

Masuk Surga dan Masuk Neraka karena Seekor Lalat

Imam Thariq bin Syihab menuturkan sebuah kisah indah, “Ada dua orang
melakukan pengembaraan. Suatu hari mereka memasuki daerah yang didiami oleh
sebuah kaum yang menyembah berhala. Kaum tersebut memiliki berhala yang
disembah dan dikeramatkan. Orang yang melewati daerah mereka, harus
memberikan korban sebagai sesembahan berhala tersebut. Jika tidak mau
memberikan korban, maka mereka tidak akan dibiarkan keluar dari daerah
tersebut dalam keadaan hidup.

Dua orang itu pun mengalami hal yang sama. Mereka harus memberikan
korban sebagai sesembahan pada berhala. Lelaki pertama sangat takut pada
kematian. Karena dia tidak memiliki apa-apa, akhirnya dia menangkap seekor
lalat kemudian memberikannya kepada berhala tersebut sebagai sesembahan

Sedangkan lelaki yang kedua, tetap teguh memegang akidahnya. Dia tidak
mau berkorban kepada berhala meskipun dengan seekor lalat. Dia memilih untuk
taat terhadap agamanya. Akhirnya, dia dibunuh. Dia mati syahid mempertahankan
akidahnya dan masuk surga.

Adapun lelaki yang satunya, meneruskan perjalanan. Namun naas, baru


berjalan beberapa puluh langkah ia digigt ular berbisa dan akhirnya mati. Dia mati
dalam keadaan musyrik. Dan dia masuk neraka karena menyekutukan Allah
dengan memberikan sesembahan kepada berhala dengan seekor lalat.”

2. Pahala Takut kepada Allah

Dalam sebuah Hadits Qudsi, ada riwayat mengenai balasan yang diberikan
Allah kepada orang yang takut kepada-Nya.

Rasulullah saw bersabda, “ada seorang lelaki yang tidak pernah berbuat
kebajikan sama sekali. Lelaki itu berwasiat kepada keluarganya, ‘Jika aku mati,
maka bakarlah aku hingga lumat menjadi abu. Kemudian, taburkanlah sebagian
abu itu di daratan, dan sebagian lagi di laut. Demi allah, jika Allah sampai
menghisabku, pasti Dia akan mengazabku dengan azab yang tidak pernah
ditimpakan kepada seorangpun di alam semesta!’

Tatkala lelaki itu meninggal, keluarganya melaksanakan apa yang telah


diwasiatkan kepada mereka. Lalu, Allah memerintahkan daratan untuk
mengumpulkan abu yang disebar di daratan itu dan memerintahkan lautan untuk
mengumpulkan debu yang disebar di lautan itu.

Kemudian, Allah swt bertanya kepada lelaki itu (setelah dihidupkan kembali),
‘Mengapa kau lakukan ini?’

1
Lelaki itu menjawab, ‘Karena aku takut kepada-Mu Tuhanku, dan Engkau lebih
tahu itu.’

Allah Swt lalu mengampuninya.”

Kisah dalam Hadits Qudsi ini begitu menggelitik dan penuh hikmah.
Seseorang yang selalu berbuat maksiat dan tidak pernah beramal shalih
sedikitpun, masih memiliki rasa takut kepada Allah Swt. Keagungan Allah di
depan matanya, sehingga dia takut akan hisab dan azab Allah atas perbuatannya
di dunia.

Ketakutannya ini membuatnya berwasiat bodoh. Setelah mati, dia ingin


mayatnya dibakar dan abunya disebar di daratan dan lautan. Dengan begitu, dia
berharap tidak akan bisa dihisab oleh Allah Swt. Dia ingin selamat dari azab Allah
Swt. Dia yakin Allah itu ada. Dia pun yakin, hisab Allah itu ada dan hisab itu
menunggu setelah kematiannya. Dia ingin menyelamatkan dirinya dengan cara
menyebar lumatan tubuhnya di darat dan di laut.

Namun, Allah Mahakuasa untuk tetap menghisabnya. Tidak ada yang


luput dari hisab-Nya. Pada akhirnya, Allah mengampuni lelaki itu berkat rasa
takutnya pada keagungan Allah Swt.

Hikmah yang dapat diambil dari kisah tadi adalah, sekecil apapun
keimanan dalam dada seseorang (yaitu keyakinan akan adanya Allah, hisab dan
keadilan Allah) dapat mendatangkan ampunan dan rahmat Allah Swt. Bagaimana
jika rasa takut kepada Allah itu dihadirkan setiap saat dengan disertai amal
shalih?Tentu, pahala yang disediakan Allah, akan lebih besar dan agung.

Di dalam Al-Quran, Allah Swt telah berfirman dan memberikan kabar


gembira, “Dan adapun orang-orang yang takut pada keagungan Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal (nya).” (QS an-Naazi’aat [79]:40-41).

3. Kalimat Pengusir Maksiat

Seorang ulama terkemuka, Imam Sahl bin Abdullah Al-Tastari


menuturkan kisah dirinya, “Ketika berumur tiga tahun, aku ikut pamanku yaitu
Muhammad bin Sanwar untuk melakukan qiyamullail. Aku melihat cara shalat
pamanku dan aku menirukan gerakannya.

Suatu hari, paman berkata kepadaku, “Apakah kau mengingat Alloh, yang
menciptakanmu?”

Aku menukas, “Bagaimana caranya aku mengingatnya?”

2
Beliau menjawab, “Anakku, jikau kau berganti pakaian dan ketika hendak
tidur, katakanlah tiga kali dalam hatimu, tanpa menggerakkan lisanmu, ‘Allohu
ma’i…Allohu naadhiri … Allohu syaahidi!” (Artinya, Alloh bersamaku, Allohu
melihatku, Allohu menyaksikan aku!).

Aku menghafal kalimat itu, lalu mengucapkannya bermalam-malam.


Kemudian, aku menceritakan hal ini kepada paman.

Pamanku berkata, “Mulai sekarang, ucapkan zikir itu sepuluh kali setiap malam.”

Aku melakukannya, aku resapi maknanya, dan aku merasakan ada


kenikmatan dalam hatiku. Pikiran terasa terang. Aku merasa senantiasa bersama
Alloh swt.

Satu tahun setelah itu, paman berkata, “Jagalah apa yang aku ajarkan
kepadamu, dan langgengkanlah sampai kau masuk kubur. Zikir itu akan
bermanfaat bagimu di dunia dan di akhirat.

Lalu, pamanku berkata, “Hai Sahl, orang yang merasa selalu disertai
Alloh, dilihat Alloh, dan disaksikan Alloh, akankah dia melakukan maksiat?”

Kalimat Allohu ma’i, Allohu naadhiri, Allahu syaahidi! Sangat terkenal di


kalangan ulama arif billah. Bahkan, Syekh Al-Azhar; Imam Abdul Hamid
Mahmud, yang dikenal sebagai ulama yang arif billahmenganjurkan kepada kaum
muslimin untuk menancapkan kalimat ini di dalam hati. Maknanya dahsyat, jika
dihayati dengan sungguh-sungguh, akan mendatangkan rasa ma’iyatullah (selalu
merasa disertai, dilihat, dan disaksikan oleh Alloh swt, di mana dan kapan saja)

Pada akhirnya, rasa ini akan menumbuhkan takwa yang tinggi kepada
Alloh swt. Kalau sudah begitu, apakah orang yang merasa selalu disertai, dilihat,
dan disaksikan Alloh akan melakukan maksiat?

4. Gadis Cerdas, Gadis Impian

ADA SEORANG pemuda Arab yang tampan, shalih, dan sangat cerdas.
Dia ingin menikah dengan seorang gadis shalihah dan cerdas seperti dirinya.
Maka, mulailah dia mengembara dari satu kabilah ke kabilah lain, untuk mencari
gadis impiannya.

Suatu ketika, dia berjalan menuju kabilah di Yaman. Di tengah perjalanan,


dia berjumpa dengan seorang lelaki. Akhirnya, dia berjalan bersama leleki itu.
Pemuda itu menyapa, “Hai Tuan, apakah kau bisa membawaku dan aku
membawamu?”
Spontan lelaki itu menjawab, “Hai bodoh, kau ini bagaimana? Aku
menunggang kuda kau juga menunggang kuda. Bagaimana kita bisa saling

3
membawa?”
Pemuda itu diam saja mendengar jawaban lelaki itu.

Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Lalu, mereka melewati


sebuah kampung. Kampung itu yang dikelilingi oleh kebun yang sudah tiba masa
panennya.

Pemuda itu bertanya, “Menurutmu, buah-buahan itu sudah dimakan oleh


pemiliknya, atau belum ya?”

Seketika, lelaki itu menjawab, “Pertanyaan itu aneh sekali! Kamu sendiri
melihat dengan mata kepalamu, buah-buahan itu masih ada di pohonnya dan
belum di panen, kok kamu bertanya, apakah buah-buahan itu sudah di makan oleh
pemiliknya atau belum?”

Kemudian, keduanya melanjutkan perjalanan. Baru sebentar berjalan, mereka


bertemu dengan orang-orang yang sedang mengiring jenazah.

Pemuda itu berkata, “Menurutmu yang diiring dalam keranda itu masih hidup atau
sudah mati, ya?”

Lelaki itu menjawab, “Aku semakin tidak paham denganmu. Aku tidak pernah
menemukan pemuda yang lebih bodoh darimu. Ya, jelas! Jenazah itu akan dibawa
untuk dikuburkan. Tentu dia sudah mati.”

Pemuda itu kembali diam dan tidak menjawab sepatah kata pun atas komentar
lelaki itu. Akhirnya, keduanya sampai di rumah lelaki itu. Dia mengajak pemuda
itu menginap di rumahnya. Dia merasa kasihan, sebab pemuda itu terlihat sudah
sangat letih.

Lelaki itu memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik. Begitu tahu ada
seorang tamu menginap, anak gadisnya bertanya, “Ayah siapa dia?”. “Dia itu
pemuda yang paling bodoh yang pernah aku temukan,”jawab ayahnya. Anak
gadis itu malah penasaran. Dia mengejar dengan pertanyaan berikutnya, “Bodoh
bagaimana?”

Ayahnya langsung menceritakan awal pertemuannya dengan pemuda itu dan


segala perkataan serta pertanyaannya.

Mendengar cerita ayahnya, anak gadis itu berkata,”Ayah ini bagaimana?


Dia itu tidak bodoh. Justru dia sangat cerdas dan pandai. Kata-katanya
mengandung makna tersirat. Ketika dia mengatakan, ’Apakah kau bisa
membawaku dan aku membawamu?’, sebenarnya maksudnya adalah, ’Apakah
kita bisa saling berbincang-bincang sehingga bisa membawa kita pada suasana
yang lebih akrab?’ Ketika dia mengatakan,’ Buah-buahan itu sudah dimakan oleh
pemiliknya atau belum?’ Ia memaksudkan, ’Apakah pemiliknya sudah

4
menjualnya ketika sebelum di panen, atau belum?’ Sebab, jika telah menjualnya,
pemiliknya tentu menerima uangnya dan membelanjakannya untuk makan dia dan
keluarganya. Kemudian, ketika dia bertanya,’Apakah jenazah di dalam keranda
itu masih hidup atau sudah mati?’ Maksudnya,’Apakah jenazah itu memiliki anak
yang bisa melanjutkan perjuangannya atau tidak?’

Setelah mendengar apa yang dikatakan putrinya, lelaki itu keluar menemui
pemuda itu. Dia meminta maaf atas perkataannya yang membodoh-bodohkan
pemuda itu. Keduanya berbincang-bincang.

Mendengar itu, sang pemuda bertanya, “Saya yakin itu bukan lahir dari pikiranmu
sendiri dan bukan perkataanmu, demi Allah, katakanlah padaku siapa yang
mengatakannya?”

Yang mengatakan hal itu adalah putriku, “jawab lelaki itu.


Spontan pemuda itu berkata, “Apakah kau mau menikahkan aku dengan
putrimu?”
“Ya.”
Begitulah, setelah melalui pengembaraan panjang, akhirnya pemuda itu
menemukan pandamping hidup yang dia impikan.

5. Karena Dendam pada Serigala

Baginda nabi sangat halus hatinya, sangat pengasih, dan penyayang.


bahkan terhadap binatang pun, beliau sangat sayang.

6. Tiga Lelaki Berjiwa Malaikat

Malam hari raya Idul Fitri telah tiba. Kota Damaskus terang benderang
oleh cahaya lampu beraneka warna. Takbir bergemuruh terdengar membahana.
Dalam sebuah rumah yang sederhana, seorang wanita berjilbab putih berkata
kepada suaminya.

"Abu Abdillah suamiku, besok hari raya. Anak kita tidak memiliki pakaian baru
seperti anak-anak tetangga lainnya. Ini semua disebabkan oleh tindakan
borosmu!" "Aku tidak boros, aku hanya menginfaqkan hartaku dalam kebaikan
dan demi membantu orang-orang miskin yang membutuhkan. Ini bukan suatu
pemborosan, Ummu Abdillah," jawab suaminya. "Baiklah, kumohon sekarang
tulislah surat dan kirim kepada salah seorang sahabatmu yang baik hati dan ikhlas,
agar mereka menyisihkan sebagian hartanya pada kita. Jika keadaan kita
membaik, insya Allah akan kita ganti."

Abu Abdillah memiliki dua teman karib yang berhati ikhlas, Hamdi dan Usamah.
Mendengar permintaan isterinya itu ia segera menulis surat, lalu memberikan
pada pembantunya agar membawa ke tempat sahabatnya, Hamdi. Pembantu itu

5
lalu pergi ke tempat Hamdi menyerahkan surat yang ditulis tuannya. Hamdi
membacanya dengan seksama, segera ia tahu bahwa sahabatnya yang pemurah
sedang dalam kesempitan dan kesusahan, tidak memiliki apa-apa. Hamdi berkata
pada utusan Abu Abdillah, "Aku tahu tuanmu menginfaqkan semua hartanya
dalam kebaikan. Ambillah kantong ini dan katakan pada tuanmu, hanya inilah
harta yang aku miliki pada malam hari raya ini."Pembantu Abu Abdillah bergegas
kembali kepada tuannya dan menyerahkan kantong pemberian Hamdi. Abu
Abdillah membuka kantong itu. Ternyata berisi seratus dinar. Ia berkata pada
isterinya, "Ummu Abdillah, lihat ini. Allah telah mengantarkan seratus dinar pada
kita. "Sang isteri pun gembira dan berkata pada suaminya, "Cepatlah pergi ke
pasar untuk membelikan pakaian dan sandal baru untuk anak-anak kita. Jangan
lupa beli daging dan makanan."

Pada saat Abu Abdillah bersiap-siap hendak pergi ke pasar terdengar seseorang
mengetuk pintu, ternyata yang datang adalah pembantu sahabatnya, Usamah. Ia
datang dengan membawa surat minta pertolongan Abu Abdillah agar berkenan
meminjami uang untuk membayar hutang yang telah jatuh tempo. Tanpa pikir
panjang, Abu Abdillah langsung menyerahkan kantong yang ada di tangannya
pada pembantu Usamah. Ia menyerahkan semua tanpa mengambil barang satu
dinar pun. "Katakan pada Usamah, tuanmu. Segera lunasi hutangnya malam ini
juga," pesan Abu Abdillah pada pembantu itu. Mengetahui hal itu, terang saja
Ummu Abdillah marah pada Abdi Abdillah yang lebih mementingkan sahabatnya
daripada anak-anaknya. "Kau ini tega melihat anak kita bersedih dan kelaparan.
Kalaupun kau membantu Usamah, kenapa tidak ambil setengah dari uang itu saja?
" ucap Ummu Abdillah sewot.

Sang suami menjawab, "Temanku meminta pertolonganku, bagaimana mungkin


aku tidak memberinya? Aku juga tidak tahu apakah uang dalam kantong itu cukup
untuk melunasi hutangnya atau tidak."

Ummu Abdillah terdiam dan beristighfar untuk meredam kejengkelan pada


suaminya yang terlalu baik pada orang lain. Beberapa jam kemudian terdengar
orang mengetuk pintu. Abu Abdillah membuka pintu. Ia kaget bukan kepalang,
ternyata yang datang adalah sahabatnya, Hamdi. Serta merta ia memeluknya dan
menyambutnya dengan hangat lalu mempersilakan masuk. Setelah duduk Hamdi
berkata, "Aku datang untuk bertanya kepadamu tentang kantong ini. Apakah
kantong ini yang aku kirim padamu dan di dalamnya ada seratus dinar?" Abu
Abdillah mengamati kantong itu penuh seksama. Dengan kaget ia berkata,
"Ya..ya..benar. Ini adalah kantong itu. Ceritakan padaku, Hamdi, bagaimana
kantong ini bisa kembali lagi padamu?"

6
Hamdi lalu bercerita, "Ketika pembantumu datang kepadaku membawa suratmu,
aku berikan kantong itu. Dan itu adalah satu-satunya harta yang aku punya.
Karena aku tidak punya apa-apa lagi, maka aku langsung minta bantuan pada
Usamah. Dan betapa terkejutnya aku ketika Usamah memberikan kantong yang
aku kirim kepadamu tanpa kurang satu dinar pun. Aku takjub, untuk lebih yakin
apakah benar kantong ini yang aku berikan kepadamu, maka aku datang ke sini
untuk menguak rahasia ini." Abu Abdillah tertawa dan berkata, "Usamah lebih
mengutamakan kamu daripada dirinya sendiri dan memberikan kantong itu,
sebagaimana kamu lebih mengutamakan diriku daripada dirimu sendiri, Hamdi."
"Dan kamu lebih mengutamakan Usamah atas dirimu dan keluargamu. Apa
pendapatmu, Abu Abdillah, jika kita bagi uang ini bertiga?" kata Hamdi sambil
tersenyum. Abu Abdillah menjawab, "Barakallah fika, semoga Allah
memberkahimu, Hamdi." Akhirnya, uang seratus dinar itu dibagi tiga.

Kisah keluhuran budi tiga lelaki ini didengar oleh Khalifah.


Subhanallah, dan Khalifah sangat tersentuh mendengarnya. Masih ada di antara
umat Muhammad SAW yang berjiwa mulia laksana malaikat. Khalifah langsung
memerintahkan bendaharawan negara untuk memberikan hadiah pada tiga lelalaki
berjiwa malaikat itu dengan masing-masing sepuluh ribu dinar. Begitu menerima
uang dari Khalifah, Abu Abdillah langsung sujud syukur lalu menemui isterinya
dengan muka berseri-seri, "Ummi Abdillah, sekarang lihatlah, apa pendapatmu,
apakah Allah menelantarkan kita?" Sang istri menjawab, "Tidak suamiku. Demi
Allah, Dia Maha Pemurah, Dia tidak mungkin menelantarkan kita. Bahkan Dialah
yang melimpahkan rizki-Nya pada kita tiada putusnya." "Sekarang kau tahu,
isteriku, bahwa menginfaqkan harta di jalan Allah adalah bisnis yang pasti
untungnya dan tidak akan pernah rugi selamanya."

7. Jujur itu Surga

Dia semakin sadar bahwa dengan meninggalkan rezeki yang haram, Allah
menggantinya dengan rezeki yang halal, dan jauh lebih banyak. Amin semakin
yakn akan ajaran Rasulullah bahwa kejujuran adalah pintu menuju surga; surga di
dunia dan di akhirat.

8. Ketika Cinta Berbuah Surga

Seorang Ulama terkemuka, Imam Sahl bin Abdullah Al-Tastari menuturkan kisah
dirinya, “Ketika berumur tiga tahun, aku ikut pamanku yaitu Muhammad bin

7
Sanwar untuk melakukan qiyamullail. Aku melihat cara shalat pamanku dan aku
meniru gerakannya.

Suatu hari, paman berkata kepadaku, ‘Apakah kau mengingat Allah, yang
menciptakanmu?’

Aku menukas, ‘Bagaimana caranya aku mengingatnya?’

Beliau menjawab, ‘Anakku, jika kau berganti pakaian dan ketika hendak tidur,
katakanlah tiga kali dalam hatimu, tanpa menggerakkan lisanmu, ‘Allahu ma’i…
Allahu naadhiri… Allahu syaahidi!’ (Artinya, Allah bersamaku, Allah melihatku,
Allah menyaksikan aku!).

Aku menghafalkan kalimat itu, lalu mengucapkannya bermalam-malam.


Kemudian, aku menceritakan hal ini kepada paman.

Pamanku berkata, ‘Mulai sekarang, capkan zikir itu sepuluh kali setiap malam.’

Aku melakukannya, aku resapi maknanya, dan aku merasakan ada kenikmatan
dalam hatiku. Pikiran terasa terang. Aku merasa senantiasa bersama Allah Swt.

Satu tahun setelah itu, paman berkata, ‘Jagalah apa yang aku ajarkan kepadamu,
dan langgengkanlah sampai kau masuk kubur. Zikir itu akan bermanfaat bagimu
di dunia dan di akhirat.’

Lalu, pamanku berkata, ‘Hai Sahl, orang yang merasa selalu disertai Allah, dilihat
Allah, dan disaksikan Allah, akankah dia melakukan maksiat?’

Kalimat Allahu ma’i. Allahu naadhiri. Allahu syaahidi! sangat terkenal di


kalangan ulama arif billah. Bahkan, Syeikh Al-Azhar; Imam Abdul Halim
Mahmud, yang dikenal sebagai ulama yang arif billahmenganjurkan kepada kaum
Muslimin untuk menancapkan kalimat ini di dalam hati. Maknanya yang dahsyat,
jika dihayati dengan sungguh-sungguh, akan mendatangkan rasa ma’iyatullah
(selalu merasa disertai, dilihat, dan disaksikan olehAllah Swt, di mana dan kapan
saja).

Pada akhirnya, rasa ini akan menumbuhkan takwa yang tinggi kepada Allah Swt.
Kalau sudah begitu, apakah orang yang merasa selalu disertai, dilihat, dan
disaksikan Allah akan melakukan maksiat?.

9. Kayu Ajaib

8
Dia membaca surat itu dengan seksama. Dia terharu dan takjub. Seketika, dia
menangis dan bersujud kepada Allah. Dia merasa, betapa maha kuasanya Allah.
Allah tidak pernah mengecewakan hambaNYA yang bertawakal dan percaya
sepenuh hati kepadaNYA.

10. Tongkat Sang Penghianat

Dua orang lelaki memasuki ruang pengadilan dan berdiri di depan hakim. Orang
yang satu bertubuh tinggi dan kekar. Wajahnya masih segar dan tampak muda.
Usianya sekitar empat puluh tahun. Sedangkan yang satunya, seorang lelaki yang
tampak tua renta. Punggungnya seperti sudah bongkok. Dia berdiri dengan
bertumpu pada tongkatnya.

Lelaku muda berkata, “Wahai Tuan Hakim, aku meminjamkan sepuluh keping
uang emas kepada sahabatku ini. Dia berjanji akan mengembalikannya jika
keadaannya telah membaik. Setiap kali aku meminta, dia selalu menghindar dan
mengelak”.

Sang hakim bertanya kepada orang tua itu,”Apa yang akan kau katakan setelah
mendengar perkataan temanmu itu?”

Orang tua menjawab, “Kuakui, dia memang pernah meminjamiku sepuluh keping
uang emas, tetapi sudah aku kembalikan, Tuanku.”

Hakim lalu berdiri dan berkata, “Apakah kau berani bersumpah di depan
pengadilan bahwa kamu telah mengembalikan sepuluh keping uang emas itu
kepada temanmu?”

Orang tua itu langsung menjawab dengan suara lantang, “Ya, aku berani, Tuan
Hakim”
Sang Hakim berkata, “Baiklah, sekarang angkat tangan kananmu dan
bersumpahlah!”

Orang tua itu menoleh kepada lelaki muda yang ada disampingnya dan meminta
agar lelaki itu memegangkan tongkatnya sebentar. Dengan begitu, dia
mengangkat tangan kanannya ketika bersumpah.

Orang tua itu pun mengangkat tangan kanannya dan berkata, “Aku bersumpah
demi Allah bahwa aku telah mengembalikan sepuluh keping uang emas
kepadanya.”

9
Tuan hakim pun mengecam lelaki muda yang telah menuduh tidak baik kepada
orang tua itu. Lelaki muda itu seketika minta maaf kepada tuan hakim, mungkin
dia telah lupa bahwa orang tua itu telah mengembalikannya.

Orang tua itu lalu mengambil kembali tongkatnya, dia hendak pergi dengan
bertumpu pada tongkatnya. Sebelum keduanya pergi meninggalkan pengadilan,
tiba-tiba terlintas pemikiran yang mengejutkan dalam kepala tuan hakim. Dia
segera memanggil keduanya.

Keduanya kembali menghadap tuan hakim.


Lalu, tuan hakim bertana kepada orang tua,“Apakah kau bisa memakai tongkat,
Pak Tua?”
Orang tua itu menjawab, “Kadang-kadang,
Tuanku.”
Tuan hakim juga menanyakan hal yang sama kepada lelaki muda.
Dia menjawab, ”Tidak tuanku. Aku tidak pernah melihat sebelumnya dia
memakai tongkat.”

Tuan hakim meminta orang tua itu menyerahkan tongkatnya. Hakim memegang
tongkat itu dan memeriksanya dengan seksama. Tuan Hakim merasakan tongkat
itu agak berat. Hakim memegang lekukan di pangkal tongkat yang biasa dibuat
pegangan dan mencoba memutarnya, ternyata bisa.

Saat itu, wajah lelaki tua pemilik tongkat pucat pasi. Lalu tuan hakim menariknya
kuat-kuat, dan lepaslah lekukan itu. Ternyata, tongkat itu berlubang. Lubangnya
disumpal dengan menggunakan secarik kain. Tuan hakim menarik kain yang
menyumpal lubang itu. Lalu, dia memiringkan tongkat itu; mengarahkan
lubangnya ke bawah. Seketika, terdengar suara gemerincing. Kepingan-kepingan
uang emas berjatuhan di hadapan hadirin. Seketika, tubuh orang tua itu gemetar.

Lalu, tuan hakim meminta agar lelaki muda memunguti kepingan-kepingan uang
emas itu. Setelah terkumpul semua, lelaki muda menghitung dan ternyata
berjumlah sepuluh keping.

Tuan hakim langsung berkata kepada orang tua itu, “Hai, orang tua busuk, kau
kira bisa menipu lelaki ini dan mengelabui aku! Aku sudah curiga kepadamu sejak
kau menyerahkan tongkat kepada temanmu sebelum bersumpah. Apakah kau kira
sumpahmu benar?”

Kemudian, tuan hakim menoleh pada lelaki muda pemilik sepuluh keping emas
itu seraya berkata padanya, “Orang tua ini licik dan pendusta. Dia menyerahkan

10
tongkat yang di dalamnya ada sepuluh keping emas kepadamu. Sementara itu, kau
tidak tahu. Inilah tipu daya dia.”

Akhirnya, hakim menoleh kepada para prajurit pengadilan dan memberi perintah
tegas, “Tangkap orang tua busuk ini dan masukkan dia ke dalam penjara sampai
aku menemukan hukuman yang pantas untuk orang yang mempermainkan
sumpah dan mengkhianati amanah.

Kemudian, lelaki muda itu keluar dari pengadilan dengan hati gembira. Dia
seperti tidak percaa bahwa uang emasnya akan kembali. Orang-orang yang
menghadiri persidangan itu terkagum-kagum oleh kecerdasan dan keadilan hakim
yang telah mampu membuka rahasia yang tersimpan dalam tongkat orang tua
yang berkhianat itu

11. Malaikat dan Tiga Lelaki Cacat

Ada tiga lelaki bertemu. Semuanya cacat. Lelaki pertama, terkena penyakit
belang, kulitnya dipenuhi bercak-bercak putih. Lelaki kedua botak; kepalanya
tidak ditumbuhi sehelai rambut pun. Sedangkan lelaki ketiga, buta; kedua matanya
tidak bias melihat apa-apa.

Lelaki yang terkena penyakit belang, berdoa kepada Allah, “Ya Allah, ya
Tuhanku, sembuhkanlah aku dari penyakit belang yang menutupi kulitku dan
membuat buruk rupa serta bentukku ini.”

Lelaki botak tidak mau kalah. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit dan
berdo’a, “Ya Allah, Ya Tuhanku, sembuhkanlah diriku dari penyakit botak ini.
Tumbuhkanlah rambut di atas kepalaku sebagaimana manusia pada umumnya.”

Tak ketinggalan, lelaki buta juga berdo’a, “Ya Allah, ya Tuhanku sembuhkanlah
diriku dari kebutaan dan jadikanlah mataku bisa melihat sebagaimana manusia
lainnya.”

langit. Malaikat itu menjelma dalam bentuk seorang lelaki yang berwajah tampan
bercahaya. Dia diutus oleh Allah Swt untuk menguji ketiga lelaki tadi.

Lalu, sang malaikat mendekati ketiga lelaki. Dia menanyai mereka satu per satu,
ihwal apa yang mereka minta, serta harta apa yang paling mereka sukai.

Lelaki berkulit belang menjawab, “Aku minta tubuhku berbentuk indah dan
berkulit bersih dan mulus. Harta yang aku sukai adalah unta.”

Lelaki botak berkata, “Kalau aku, minta rambut lebat dan hitam, yang membuat
indah kepalaku. Sedangkan harta yang paling kuinginkan adalah sapi.”

11
Lelaki buta menyahut, “Adapun aku, aku berharap Allah berkenan
menyembuhkan mataku dan mengembalikan penglihatanku. Harta yang aku suka
adalah kambing.”

Setelah mendengar itu semua malaikat mengusap kulit si belang dengan


tangannya. Seketika itu juga, kulitnya berubah menjadi indah seperti yang
dimintanya. Lelaki itupun mendapatkan seekor unta yang sedang hamil tua.

Lalu, malaikat mengusap kepala lelaki botak. Tiba-tiba, rambut yang hitam lebat
telah menghiasi kepala yang tadinya botak. Lantas, malaikat itu memberinya
seekor sapi yang sedang hamil tua.

Terakhir, sang malaikat mengusap mata lelaki buta. Mata itu sembuh dan bisa
melihat seketika. Lalu, malaikat itu juga memberinya kambing yang sedang hamil
tua.

Waktu terus bergulir. Hari-hari telah berlalu, dan tahun telah berganti tahun.
Ketiga lelaki itu hidup dalam kemakmuran dan kecukupan. Mereka semua
menjadi orang kaya yang terpandang dan dihormati orang. Lelaki pertama
memiliki ratusan unta. Lelaki kedua, sapinya telah beranak-pinak tak terhitung
jumlahnya. Sementara itu, lelaki ketiga telah memiliki kandang kambing yang
banyak jumlahnya.

Allah ingin menguji ketiga lelaki itu. Dia mengirim kembali malaikat yang dulu
pernah dikirim untuk menyembuhkan mereka. Kali ini, malaikat itu menjelma
sebagai lelaki yang miskin, pakaiannya kumuh dan compang-camping.

Mula-mula, malaikat itu pergi menemui lelaki pertama dan berkata, “Aku minta
padamu, dengan nama Allah yang memberimu tubuh indah dan harta melimpah,
aku minta engkau berkenan memberiku bekal untuk melanjutkan perjalanan.”

Lelaki pertama itu menjawab, “Ini hartaku. Aku warisi dari kakekku. Aku banyak
urusan. Pergilah, tak ada bagian untuk pengemis kumuh dan pemalas sepertimu!”

Malaikat itupun pergi meninggalkan lelaki pertama dan beranjak menuju lelaki
kedua dan berkata, “Aku minta padamu, dengan nama Allah, Tuhan yang
memberimu rambut indah dan harta melimpah, sudilah kiranya kau membantu
saudaramu yang miskin ini dengan sedikit kenikmatan yang ada padamu?”

Lelaki kedua menjawab, “Aku warisi harta ini dari nenek moyangku. Pergilah kau
dari sini wahai pengemis gembel!”

Malaikat itu pun pergi meninggalkannya untuk menemui lelaki ketiga.

12
Setelah bertemu, dia berkata, “Aku minta padamu dengan nama Allah, Tuhan
yang mengembalikan penglihatanmu, berilah aku seekor kambing saja dari yang
kau punya, agar aku bisa minum susunya dalam perjalanan.”

Lelaki ketiga menjawab, “Ya aku dulu memang buta, lalu Allah mengembalikan
penglihatanku. Sebagai rasa syukurku, ambillah berapa kambing yang kau suka
dan sisakan sebagian. Demi Allah aku tidak akan menghalangimu untuk ikut
menikmati rezeki yang telah diakruniakan Allah kepadaku.”

Malaikat itu lalu berkata, “Hartamu akan tetap menjadi milikmu. Allah Swt telah
menguji kalian bertiga. Allah memberikan ridha-Nya padamu, karena kamu mau
mensyukuri nikmat dan mau menyedekahkan sebagian rezeki yang diberikan
Allah padamu. Namun, Allah murka pada dua temanmu yang mengingkari
nikmat-Nya dan tidak mau bersedekah. Kini, mereka berdua kembali seperti sedia
kala, yang satu kulitnya kembali belang dan hartanya lenyap, dan yang satunya
lagi botak dan miskin, tidak memilliki apa-apa.”

“…Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)


kepadamu, dan jika kiamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azabku
sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7).

12. Sang Dermawan

Dengan hati bergetar Mahmud berkata,”Sungguh menakjubkan apa yang


aku alami hari ini. Aku kehilangan selera makan sejak pagi. Aku juga tidak bisa
tidur. Aku disergap rasa cemas yang tidak kuketahui sebabnya. Tiba-tiba di
tengah teriknya panas matahari, aku ingin pergi dengan menunggang kuda.
Ternyata, ini semua telah diatur Allah SWT, hingga aku bisa bertemu dan
mendengarkan deritamu.”

13. Ulama Penakluk Singa

Thulun Adalah budak milik Amir Nuh bin Asad, anak buah Khalifah Makmun
yang diberi kekuasaan memerintah daerah Bukhara dan Khurasan. Oleh Amir
Nuh, Thulun dihadiahkan pada khalifah bersama puluhan budak lainnya.
Ternyata, Thulun memiliki kecerdasan, ketangkasan dan pengabdian yang hebat.
Akhirnya, khalifah mengangkat derajatnya dengan menjadikan dia sebagai
komandan yang menguasai para budak dan pekerja kasar.
Pada tahun 220 Hijriah, anak Thulun lahir. Dia diberi nama Ahmad, Anak
itu tumbuh dan berkembang dalam kondisi rendah diri berbalut kekerasan. Ahmad
berusaha menutupi kekurangannya. Dia tumbuh lebih dewasa dari usia
sebenarnya.

13
Karena pengaruh lingkungan, Ahmad bagaikan memiliki dua akal dari dua
manusia yang berbeda; akalnya yang satu seakan bersama malaikat, dan yang
satunya bersama setan.
Ahmad bin Thulun atau lebih dikenal Ibnu Thulun, telah hafal al-Qur’an
secara baik waktu kecil. Dia termasuk anak yang suaranya indah dan sangat tekun
belajar. Dia cukup menguasai mazhab imam Abu Hanifah.
Tatkala ayahnya wafat, Ibnu Thulun diangkat menjadi komandan,
menggantikan ayahnya. Keadaan terus berubah, sampai akhirnya dia bisa menjadi
raja besar yang menguasai Mesir dan Syam sekaligus.
Saat memerintah, dia bagai dua orang dalam satu tubuh. Suatu ketika, dia
bagai malaikat yang suci. Namun, dilain waktu, dia seperti setan yang sangat
jahat.
Ketika jiwa malaikat dalam dirinya muncul, dia cinta pada kebaikan dan
beramal baik. Dia menyantuni fakir miskin, membangun masjid dan rumah sakit,
serta mencintai ulama dan para penuntut ilmu. Namun, kerap kali jiwa setannya
juga keluar sehingga dia bersikap jahat, lalim dan kejam.
Tatkala kelaliman dan kekejamannya memuncak, rakyat tidak tahan lagi.
Mereka mengadukan kezaliman Raja Ahmad bin Thulun kepada Imam Abil
Hasan Ahmad bin Banan atau dikenal dengan sebutan Ibnu Banan. Beliau adalah
seorang ulama yang dikenal berani menegakkan kebenaran dan tidak takut kepada
celaan siapapun.
Ibnu Banan langsung bergegas pergi menemui Ibnu Thulun. Dia
menerobos masuk istana. Saat itu, Ibnu Thulun sedang mengumpulkan seluruh
menteri dan para pemuka masyarakat.
Tanpa basa-basi, di hadapan Ibnu Thulun dan seluruh menterinya, Imam
Ibnu Banan berkata, “Wahai Ibnu Thulun, penguasa Mesir dan Syam, bertakwalah
kepada Allah dan jangan menzalimi rakyat. Kelak, dihadapan Allah yang Maha
Adil, engkau akan mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu, yaitu di hari
ketika harta dan anak tidak bisa memberi manfaat apa-apa kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan hati yang lurus dan bersih. Ketahuilah, orang yang
mendustai rakyatnya tidak akan mencium bau surga!’
Seketika itu, suasana di dalam istana dicekam keheningan. Ibnu Thulun
dan orang-orang yang hadir di situ tidak percaya pada apa yang mereka dengarkan
dan mereka lihat. Bagaimana mungkin seorang Ibnu Banan berani berbicara
dengan begitu lantang di hadapan Raja Ibnu Thulun.
Semua mata tertuju pada sang Raja. Mereka menanti apa yang akan
dilakukannya, dan titah apa yang keluar dari mulutnya. Saat itu, mereka benar-
benar terpaku dan terkejut oleh keberanian Ibnu Banan.
Ternyata sang Raja Ibnu Thulun bergetar. Mukanya merah padam.
Matanya menyorotkan ribuan kejahatan.
Dengan suara keras, dia berteriak memberikan perintah pada pengawal
yang ada, ‘Tangkap orang gila ini dan jebloskan ke dalam penjara!”

14
Secepat kilat, para pengawal yang kekar itu meringkus Imam Abil Hasan
bin Banan dan menggelandangnya ke penjara. Majelis pertemuan raja dan para
menterinya itu pun bubar. Ibnu Thulun masuk ke kamarnya untuk beristirahat
mendinginkan kemarahannya. Namun, kasurnya yang empuk terasa bagaikan
tumpukan duri-duri panas. Akalnya benar-benar telah mendidih mendengar
perkataan Ibnu Banan tadi.
Dia langsung memanggil pengawalnya, ‘Bawa kemari orang gila itu!”
Tak lama kemudian, Imam Ibnu Banan telah berada di hadapan Raja Ibnu
Thulun dengan menegakkan kepalanya.
Ibnu Thulun berkata padanya, ‘Hai Abu Hasan, bagaimana kau berani
melakukan hal seperti itu di depan orang banyak?... Tetapi tak apa, aku akan
mengampunimu jika kamu mau meminta maaf kepadaku di hadapan orang
banyak.”
Dengan tegas, Ibnu Banan menjawab, ‘Aku tidak melakukan dosa! Aku
hanya memberi nasihat.”
Dengan gusar, Ibnu Thulun berteriak kepada para prajuritnya, “Seret orang
gila ini ke penjara! Siapkan singa paling ganas, jangan beri makan selama tiga
hari! Biar orang gila ini yang akan jadi santapannya! Aku tidak mau mataku
melihat tampangnya lagi.”
Ibnu Banan menyahut tenang, ‘Umur ada di tangan Allah, Ibnu Thulun.
Kau hanyalah seorang hamba dari sekuan banyak hamba Allah. Kau tidak akan
memendekkan atau memanjangkan umurku sama sekali.
Para prajurit menyeret Ibnu Banan yang kedua tangan dan kakinya dirantai
dengan besi. Mereka menjebloskannya kembali ke dalam penjara.
Anak lelaki Ibnu Thulun sangat suka memelihara singa dan harimau. Jika
dia mendengar ada singa di suatu daerah, pasti diburunya dan diletakkan di dalam
kerangkeng dan ada di dalam istana. Tidak heran jika dia memiliki koleksi
kumpulan singa yang sangat banyak.
Kemudian, seorang pengawal mengambil singa yang paling ganas dan
kuat lalu membuatnya lapar selama tiga hari.
Tiga hari kemudian, Ibnu Banan diambil dari selnya dan diletakkan di
sebuah tempat yang cukup lapang yang menyerupai kolosium (arena tempat para
ksatria pada zaman Romawi bertarung).
Disana, orang-orang dipersilahkan menonton bagaimana singa yang
kelaparan itu akan mencabik-mencabik Ibnu Banan. Kerangkeng singa itu dibuka.
Singa yang tidak makan tiga hari itu langsung meloncat dan mengaum keras bagai
suara guntur. Orang-orang yang menontonnya sudah merinding. Sementara, Imam
Ibnu Banan masih tenang sujud pada Allah swt.
Tatkala singa itu sudah dekat dengan Ibnu Banan, tiba-tiba singa itu
berhenti lalu duduk dan menundukkan kepalanya. Setelah itu, ia bangkit dan
mendekati Ibnu Banan. Ternyata, ia tidak memangsa Ibnu Banan. Akan tetapi,

15
singa itu malah menjilati kaki beliau dan menggesekkan-gesekkan kepalanya pada
tubuh Ibnu Banan dengan penuh persahabatan.
Seolah-olah, singa itu ingin berkata pada Raja Ibnu Thulun, “Pertarungan
ini bukan pertarungan antara singa dengan Ibnu Banan. Juga bukan pertarungan
antara Ibnu Banan dengan ibnu Thulun. Akan tetapi pertarungan antara kehendak
Allah swt dengan kehendak Raja Ibnu Thulun.”
Menyaksikan hal itu, semua orang yang menonton, menjadi takjub tak
terkira. Lebih-lebih Ibnu Thulun dan para prajuritnya. Lalu, Ibnu Thulun
memerintahkan kepada para prajurit untuk mengembalikan singa itu ke
kandangnya dan membawa Ibnu Banan ke hadapannya.
Ibnu Banan akhirnya kembali berdiri di hadapan Sang Raja Ibnu Thulun
dengan menegakkan kepalanya.
Sang Raja bertanya, “Bagaimana keadaanmu, Abu Hasan?”
“Alhamdulillah, baik-baik saja seperti yang kau lihat, ‘Jawab Ibnu Banan.
“Apa yang ada di dalam hatimu? Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanya
raja.
“Aku tidak apa-apa, aku hanya membaca firman Allah. ‘Dan bersabarlah
dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, sesungguhnya kamu berada dalam
penglihatan Kami.” (Qs 52:48)
“Aku juga sedang berfikir tentang jilatan singa, suci ataukah najis?” lanjut
Ibnu Banan.
Seketika itu, Raja Ibnu Thulun bangkit dan mencium kepala Imam Ibnu
Banan, lalu meminta maaf kepadanya dan membebaskannya.

14. Lelaki Sejati

“Sekarang tiba giliran kami, wahai Amirul Mukminin, kami bersaksi


dihadapanmu bahwa pemuda ini telah kami maafkan, dan kami tidak meminta apa
pun darinya! Tidak ada yang lebih utama dari memberi maaf dikala mampu. Ini
kami lakukan agar orang tidak mengatakan bahwa tidak ada lagi orang berjiwa
besar, yang mau memaafkan saudaranya di kalangan umat Muhammad SAW.

15. Di mana Allah?

“Lalu dimana Allah? Pemilik kambing ini memang tidak akan tahu dan bisa
dibohongi, tetapi ada Dzat yang Mahatahu, yang pasti melihat dan mengetahui
apa yang kita lakukan. Apa kau kira Allah tidak ada?” jawab Penggembala itu
mantap.

16. Pemuda Penakluk Syahwat

Seketika itu, Umar berkata,”Segala puji bagi Allah yang menjadikan orang yang
mirip dengan Nabi Yusuf ditengah-tengah kita.”

16
17. Raja, Pengemis, dan Hakim

Kabar itu sampai ke telinga sang raja di ibu kota Kurdi. Sang raja merasa gembira
karena memiliki hakim yang adil dan bijaksana, serta dipercaya oleh manusia.

18. Malu kepada Allah

Abu Muslim menjawab,”Na’udzubillah, aku berlindung kepada Allah, kalau


sampi aku melakukan hal itu. Aku sangat malu kepada Allah. Kalau sampai minta
bantuan kepada makhluk ciptaan allah, padahal Allah Maha Pemurah. Aku tidak
mungkin meminta bantuan kepada selain Allah."

19. Si Kaslan dan Kakek Tua

Kaslan adalah seorang lelaki pemalas. Dia tidak suka bekerja. Kerjanya hanya
melamun dan tidur. Dia hidup bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil
dalam kemiskinan dan kemelaratan.

20. Manusia Paling Pemurah

Orang-orang mengatakan,”Tiga orang itu semuanya sangat pemurah, tetapi


Arabah adalah yang paling pemurah dan dermawan. Dia memberikan semua harta
yang dimilikinya. Padahal dia sangat memerlukannya, yaitu budak yang
menuntun jalannya.

21. Membela Tamu

“Wahai Amirul Mukminin, aku kirim kepadamu Yazid, dan keponakanmu.


Sebenarnya, aku ingin jadi orang ketiga yang ikut dalam rantai itu. Jika Amirul
Mukminin tetap hendak membunuh Yazid, maka demi Allah, aku minta engkau
memulainya dengan membunuh Ayyub terlebih dahulu. Bunuhlah keponakanmy
itu sebelum Yzid. Setelah itu, bunuhlah Yazid. Jika kau mau, yang ketiga,
bunuhlah aku. Wassalam.”

22. Suara dari Langit

“Setelah aku menjual hasil kebunku dan mendapatkan uang. Uang itu
sepertiganya aku sedekahkan kepada fakir miskin. Aku dan keluargaku makan
sepertiga, yang sepertiga untuk biaya perawatan kebun.”

23. Khalid dan Komandan Romawi yang Syahid

Pagi harinya, pertempuran kembali berkecamuk sengit. Pasukan Romawi


mendesak kaum Muslimin. Khalid menunggang kudanya dan memacunya ke

17
tengah medan pertempuran seperti anak panah. Kali ini dia tidak sendirian. Dia
diikuti Jurjah dibelakangnya.

24. Rahasia Tiga Pertanyaan

Al-Isra’[17] ayat 85 “Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang


ruh. Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhanku dan aku tidak diberi ilmu
kecuali sedikit.”

25. Karena Mimpi Melihat Neraka

“Nabi mengatakan bahwa kau adalah sebaik-baik lelak jika kau mau shalat
malam. Dalam mimpimu itu, malaikat yang terakhir kau temui mengatakan bahwa
kau belum terjaga dari api neraka. Itu karena kau tidak melakukan shalat tahajud.
Jika kau ingin terselamatkan dari api neraka, dirikanlah salat tahajud setiap
malam. Jangan kau sia-siakan waktu sepeeertiga malam; waktu di mana Allah Swt
memanggil-manggil hamba-NYA; waktu ketika Allah mendengar doa hamba-
NYA.

26. Keutamaan Sedekah

Dia sadar bahwa yang paling penting dalam ibadah adalah niat karena Allah.
Bukan sekedar mengikuti perkataan orang banyak. Hanya Allah-lah yang berhak
menilai, diterima atau tidaknya amal ibadah seseorang.

27. Nuaim dan Anak Unta

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya.”

28. Khalifah dan Gubernur Miskin

khalifah Umar memberi titah pada mereka,”Tulislah nama-nama orang miskin di


daerah kalian untuk aku beri bantuan dari harta baitul mal!”
Mereka pun segera menulis nama-nama orang fakir dan miskin. Dalam dafta itu
tertera juga nama Said bin Amr; Gubernur Homs.

29. Orang Terakhir Masuk Surga

“Ya Allah, masukkanlah kami, umat Nabimu Muhammad saw, kedalam surgamu,
dan selamatkan kamu dari api neraka” (QS Ath Thuur [52]:48)

18

Anda mungkin juga menyukai