Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia
dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap
waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an
pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan
berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu
menjaga potensi itu.
“Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka
menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki
yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil
menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-
lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah
kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.”
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu
sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya
sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.
Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini,
kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.”
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu
mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana
orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang
berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan
antara makhluk hidup dan benda mati.”
“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan
kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan
geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang
hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup
bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku,
shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya
berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu
belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar
membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada
sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh
dari keluargaku.”
Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada
sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah
rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.”
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang
baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan
musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara
untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil
daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.”
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari
mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu
dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main
sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat
selamat?”
Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku
kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka
atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang
menyelamatkanmu.”
Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu
persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya
mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat,
bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-
hamburkan uang.
Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang
begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu
mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan
menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk
membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku
menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.
Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak
seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan
menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke
penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan
berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta
kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi
agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya
pada isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda
Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.
Unsur Ekstrinsik
1. Nilai Moral : Kita dapat belajar bahwa menolong orang itu memang baik, namun
kita juga harus memikirkan pula tentang akibat dari pertolongan kita itu.
2. Nilai Pendidikan : Kita dapat belajar bahwa perbuatan baik juga akan
mendapatkan balasan yang baik pula.
3. Nilai Religius: Allah akan selalu melindungi hamba-Nya yang taat kepada-Nya.
4. Nilai Sosial : Menolong sesama yang membutuhkan adalah hal yang baik, apalagi
bila memang sedang membutuhkan pertolongan.
5. Nilai Budaya: Budaya tolong-menolong antara kiat memang harus selalu diterapkan
dimanapun dan kapanpun.
6. Nilai Estetika: Hubungan antar umat manusia yang saling tolong-menolong dan
pertolongan Allah yang terkadang tak terduga.
‘’SEORANG KAKEK DAN SEEKOR ULAR’’
D
I
S
U
S
U
N
1. RANI
2. ALISA
3. RISWANDI
4. ENDY ROYMANSAH
5. HERWIN
6. JUSRIANDI
SMAN 5 BONE