Anda di halaman 1dari 2

NAMA : I GEDE WAHYU ADI PUTRA

NIM :

ADIPARWA: DHOMYA DAN MURID-MURIDNYA

Ada Seorang Brahmana bernama Bhagawan Dhomya, berpertapaan di negara Ayodhya.


Muridnya berjumlah tiga orang, namanya sang Utamanyu. Sang Arunika dan sang Weda. Semua
di uji akan ketahanan dan baktinya kepada guru, Arunika disuruhnya ke bersawah, sebelum di
anugerahi ilmu Dharma. Sang Arunika dengan hati-hati mengerjakan sawah yang diserahkan
kepadanya dengan segala macam cara.

Ketika biji yang ditanam sedang tumbuh dengan baiknya, hujanpun turun dengan lebatnya,
berantakanlah pematang sawahnya. Karena khawtir kalau padinya tergenang air. Di tahannya lah
air itu, tidak lama kemudian pematang jebol, di tahan lagi (putus lagi, di tahan lagi begitu
berulang kali). Sang Arunika tiada berdaya lagi, akhirnya badannya digunakan untuk
membendung air, direbahkan diriya tidak bergerak dari tempatnya itu siang dan malam.
Terlihatlah oleh sang guru akan keadaan itu, seru Dhomya kepadanya, ia di suruh bangun :

"Yasmat kedharakande twam, dharanenasi samstitah, tasmad undharako bhutwa. udhalakas


twam arunih". "Anakku sang Arunika, sangat tahan engkau, bangkitlah anakku. Namamu
sekarang sang Uddalaka, karena melentangkan badanmu dalam air sebagai tanda baktimu kepada
guru". Sreyo wapsyasiyo siddhirastu, bahagialah yang akan engkau dapat dan terlaksana segala
perkataan dan kehendakmu.

Demikian ujian begawan Dhomya kepada sang Arunika, yang di uji berikutnya adalah
Utamanyu, disuruhnya ia mengembala lembu. Sangat hati-hati ia mengembalanya. Selama itu
sang Utamanyu menderita lapar, ia meminta-minta, hasilnya meminta-minta tidak di serahkan
kepada guru (dimakan sendiri). Berkatalah guru kepadanya: "Anakku sang Utamanyu! Tingkah
laku murid yang berbakti kepada guru, menyerahkan segala yang di peroleh karena meminta-
minta, itulah caranya: Swayam asramaya makopajiwana: " Segala yang engkau peroleh dari
meminta-minta tak patut menjadi makananmu!"

Demikianlah kata guru, sang Utamanyu menghormat, minta maaf atas perbuatannya yang salah.
Keesokan harinya ia mengembala lagi, diselingi dengan meminta-minta. Akan tetapi segala yang
diperolehnya di serahkan kepada guru. Sesudah itu meminta-minta lagi untuk penghidupanya
mengembala lembu. Terlihatlah (oleh guru) ia meminta-minta lagi yang kedua kalinya, lalu
dilarang oleh gurunya, karena yang demikian itu di anggap lobha, sejak saat itu tidak meminta-
minta lagi ke dua untuk penghidupannya, menurut (akan) perintah guru. Karenanya ia minum air
susu sisa anak sapi menusu induknya. Ketika ditanya oleh guru mengatakan bahwa yang
diminum adalah sisa anak lembu. Kata guru kepannya:
"Aduh, makin tak pantas perbuatanmu itu, karena mengambil kepunyaan guru sebagai milikmu,
tidak sepantasnya seorang murid mengambil kepunyaan gurunya".

Demikianlah kata guru. ia sekarang tidak lagi minum susu. Kalau ada buih yang keluar dari
mulut anak lembu ketika menyusu induknya, itulah yang di jilatnya, menjadi makan selama
mengembala. Waktu ia di tanya lagi oleh guru, apakah yang menjadi makanannya, menjawablah
ia, bahwa menjilati buih yang jatuh di tanah ketika anak lembu menusu induknya.

Berkatalah sang Guru: "Hai anakku Utamanyu. Tidak sepatutnya itu menjadi makananmu.
Anaklembu itu tahu, mengerti akan laparmu, karena belas kasihannya, ia memuntahkan air susu
yang telah diminumnya. Sungguhpun itu berupa buih tidak selayaknya engkau mengambil
makanan anak lembu. Pendek kata, (kau) turut menikmati makanan orang lain, yang tidak patut
menjadi penghidupan, janganlah engkau makan, karena kalau demikian anak lembu itu akan
lekas jadi kurus".

Demikian kata guru, sang Uttamanyu menyembahnya. Pada pagi harinya ia pergi mengembala
lagi, tidak makan apapun juga. Karena laparnya ia menghisap daun widuri. Getah tadi rasanya
agak anas karenannya, tembuslah kematanya andhibhuta, menyebabkan buta matanya, tidak tahu
mata angin lagi, ribut ia mencari lembu yang digembalakannya. Ada sebuah sumur mati,
terjerumuslah ia kedalamnya, karena tiada tahu jalan yang ditermpuhnya. Petang hari lembu
pulang ke kandangnya, dengan tiada penggiring. Ia sendiri tidak pulang. hal itu diketahui oleh
guru: ributlah ia mencari muridnya.

Sampai pada keesokan harinya, dicari oleh gurunya, kedapatan didalam sumur mati. Ditanyalah
ia akan sebebnya ia terjatuh ke dalam sumur itu. Sang Utamanyu mengatkan, bahwa ia buta
minum getah daun widuri karena laparnya, sebab dilarang oeh guru menjilati buih anak sapi.
Karena belas kasihan Begawan Dhomya, sang Utamanyu di anugerahi mantra, mantra (obat)
dewa Aswino supaya di ucapkan olehnya, dengan maksud menghilangkan buta yang dideritanya,
karena sang Hyang Aswino itu dewabhisak, dokter para dewa yang menderita sakit. Itulah yang
menyebabkan ketentraman, sembuhlah sakit orang yang berbakti kepadanya. Demikianlah
karena itu Utamanyu di anuerahi mantra dewa Aswino dapat di percaya memberikan tuahnya,
tumihangin (nama makanan) dipakai sebagai penolak buta, supaya dimakan sebagai obat
penyakitnya biar sembuh kembali. Terus dimakan olehnya.

Caksur arogyam bhawati, biji matanya sempurna kembali, matanya kemudian tidak bercacat
sedikitpun. Senanglah bengawan Dhomya melihat Utamanyu, siddhi sastranugrahomi. ia selalu
menghadiahi ilmu ang sempurna "lagi pula anakku tidak akan mengalami tua". Demikianlah kata
Begawan Dhomya menganugerahinya.

Anda mungkin juga menyukai