Anda di halaman 1dari 19

Terimakasih Pak Jaya. Sebelumnya saya ceritakan dulu latar belakang saya. Saya lahir tahun 1983.

Ketika
berusia 2 tahun ortu saya bercerai, lalu saya dirawat oleh paman dan bibi sampai usia 13 tahun. Bapak
saya menikah lagi dan punya seorang Anak. Saat ini saya tinggal dengan Ibu dan adik kandung saya.
Adik2 saya laki2 semua. Bapak saya, ibu tiri, dan adik tiri beragama Kristen. Ibu saya kong hu chu, dan
adik kandung beragama Kristen. Hanya saya yang beragama Buddha, itupun sejak tahun 2005,
sebelumnya saya juga beragama Kristen. Bapak saya orangnya sangat keras, arogan dan pemarah,
sehingga saya kurang dekat dengan beliau sejak lama, dan ada beberapa konflik yang terjadi.

Kehidupan ekonomi Bapak dan Ibu saya sudah lama morat-marit. Namun sekitar 3 tahun lalu Bapak saya
memulai usaha menjual ayam serta bebek goreng dengan resep khusus yang sangat enak. Dan ternyata
sangat diminati oleh warga Mataram. Saat ini dagangan Bapak saya meledak. Omzetnya sangat besar. Ibu
tiri dan Adik tiri saya berperan besar membantunya. Sedangkan saya karena hubungan yang kurang dekat
dengan Bapak tidak banyak berperan membantunya. Saya bekerja sebagai Hipnoterapis.

Beberapa bulan ini Bapak saya meminta saya untuk fokus membantunya jualan ayam goreng. Dan
kemungkinan ke depannya jika Bapak saya membuka system waralaba, saya diijinkan untuk membuka
cabang, sementara ayam dan bebeknya ngambil ke beliau yang sudah matang, tinggal saya goreng sendiri.
Jadi saya tidak memesan langsung ke tempat pemotongan bebek dan ayam tersebut, saya tinggal terima
jadi saja (Karena Bapak saya juga menjaga kerahasiaan resepnya dengan baik2)

Yang menjadi ganjalan bagi diri saya apakah jika nanti saya membuka waralaba dengan system tersebut,
saya melanggar sila pertama?

Terkadang saya merasa seperti tersedot menuju pekerjaan ini / terpaksa, karena di pekerjaan saya sebagai
hipnoterapis belum bisa mencukupi kebutuhan hidup dengan layak. Tapi di satu sisi saya merasa kawatir
juga dengan karma buruk yang bisa saya timbun jika dengan berjualan waralaba saya berperan
mengakibatkan pembunuhan makhluk hidup sedemikian banyaknya. Seperti makan buah simalakama
jadinya. Terjepit diantara kebutuhan ekonomi yang mendesak, dan karma buruk.

Saya mohon masukan, pandangan, dan bimbingan dari Pak Jaya berhubungan dengan masalah ini.
Terimakasih banyak Pak Jaya “,

PANDANGAN SANG BUDDHA TENTANG MAKAN


DAGING
August 4, 2011 at 7:34pm
Pendahuluan
Makan daging merupakan topik yang sangat sensitif. Ada beragam pandangan tentang makan
daging dan setiap pandangan mungkin benar pada batas tertentu, tetapi pandangan-pandangan
tersebut mungkin saja tidak bijaksana. Dalam hal ini, kita harus mengesampingkan pandangan
pribadi kita dan bersikap lebih terbuka untuk melihat pandangan Sang Buddha. Hal ini penting
sekali karena Beliau adalah Tathagata yang mengetahui dan melihat.

Sutta dan Vinaya akan menjadi sumber referensi kita karena di AN 4.180, Sang Buddha berkata
bahwa jika bhikkhu tertentu mengatakan sesuatu, yang diklaim sebagai sabda Sang Buddha,
maka perkataan tersebut haruslah dibandingkan dengan Sutta (kumpulan khotbah) dan Vinaya
(disiplin kebhikkhuan). Jika perkataan tersebut sesuai dengan Sutta dan Vinaya, maka kita dapat
menerimanya sebagai sabda Sang Buddha.

Pertimbangan selanjutnya adalah Sutta dan Vinaya mana yang menjadi acuan kita? Walaupun
berbagai mazhab Buddhis mempunyai penafsiran yang berbeda tentang ajaran Sang Buddha,
umumnya semua setuju bahwa empat Nikaya (Kumpulan-kumpulan), yaitu, Digha Nikaya,
Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Anguttara Nikaya, dan beberapa buku dari Khuddhaka
Nikaya, adalah khotbah-khotbah tertua otentik Sang Buddha. Lebih lanjut, buku-buku kumpulan
tertua ini konsisten secara keseluruhannya, mengandung rasa pembebasan, sementara buku-buku
belakangan terkadang berisikan ajaran yang kontradiktif.

Buku-buku Vinaya dari berbagai mazhab Buddhis semuanya cukup serupa dengan Vinaya
Theravada. Untuk alasan ini, Sutta-sutta kumpulan tertua dan Vinaya Theravada akan menjadi
sumber referensi kita.

REFERENSI SUTTA

Majjhima Nikaya 55

Khotbah ini penting sekali karena disini Sang Buddha menyatakan dengan jelas pendapat Beliau
tentang makan daging.

Tabib Raja, Jivaka Komarabhacca, datang mengunjungi Sang Buddha. Setelah memberi
penghormatan, dia berkata: “Yang Mulia, saya telah mendengar hal ini: ‘Mereka menyembelih
makhluk hidup untuk Samana Gotama (yaitu Sang Buddha); Samana Gotama dengan sadar
memakan daging yang dipersiapkan kepadanya dari binatang yang dibunuh untuk dirinya’…”;
dan bertanya apakah hal ini memang benar.

Sang Buddha menyangkal hal ini, menambahkan “Jivaka, saya nyatakan bahwa dalam tiga hal
daging tidak diijinkankan untuk dimakan: apabila dilihat, didengar atau dicurigai (bahwa
makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) … Saya nyatakan bahwa
dalam tiga hal daging diijinkan untuk dimakan: ketika tidak dilihat, didengar, atau dicurigai
(bahwa makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) ….”
Lebih lanjut, Sang Buddha menambahkan: “Jika seseorang menyembelih suatu makhluk hidup
untuk Tathagata (yaitu Sang Buddha) atau para siswanya, dia menimbun banyak kamma buruk
dalam lima hal … (i) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan giring makhluk hidup itu’ … (ii) Ketika
makhluk hidup itu menderita kesakitan dan kesedihan ketika dijerat dengan lehernya yang terikat
… (iii) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan sembelihlah makhluk hidup itu’ … (iv) Ketika makhluk
hidup itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena disembelih … (v) Ketika dia
mempersembahkan kepada Tathagata atau para siswanya dengan makanan yang tidak diijinkan
…. ”

Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Sang Buddha membedakan antara daging yang diijinkan1
dengan tiga kondisi dan daging yang tidak diijinkan. Ini adalah kriteria yang paling penting
sehubungan dengan makan daging.

Anguttara Nikaya 8.12

Jendral Siha, seorang pengikut Nigantha, beralih ke ajaran Buddha setelah dia belajar Dhamma
dari Sang Buddha.

Dia mengundang Sang Buddha dan rombongan bhikkhu ke rumahnya hari berikutnya untuk
bersantap, dan menyediakan daging dan makanan lainnya. Para Nigantha, yang cemburu karena
seorang umat awam yang terkemuka dan berpengaruh telah pergi ke perkemahan Buddha,
menyebarkan rumor bahwa Jendral Siha telah membunuh seekor binatang besar dan
memasaknya

untuk samana Gotama, “… dan samana Gotama akan memakan daging tersebut, mengetahui
bahwa daging itu memang dimaksudkan untuk dirinya, perbuatan itu dilakukan untuk
kepentingannya.’

Ketika berita ini sampai ke telinga Jendral, dia menolak tuduhan mereka, berkata: “ … Sudah
lama tuan–tuan yang terhormat ini (Nigantha) sudah berniat untuk meremehkan Buddha …
Dhamma… Sangha: tetapi mereka tidak dapat mengganggu Yang Terberkahi dengan fitnahan
kejam, kosong, bohong, yang tak benar. Tidaklah demi menopang hidup, kita dengan sengaja
merampas hidup makhluk manapun.

Ini adalah salah satu khotbah yang dengan jelas menunjukkan bahwa Sang Buddha dan
bhikkhunya makan daging. Juga, kita lihat bahwa daging dari binatang yang sudah mati ketika
dibeli, diijinkan untuk dimakan, tetapi tidak diijinkan apabila binatangnya masih hidup.

Anguttara Nikaya 5.44


Ini tentang seorang umat awam, Ugga, yang mempersembahkan beberapa pilihan makanan yang
baik untuk Sang Buddha: di antaranya adalah daging babi yang dimasak dengan buah jujube
yang diterima oleh Sang Buddha.

Sekali lagi, ini jelas bahwa Sang Buddha dan para siswanya makan daging.

Sutta Nipata 2.2

Disini Sang Buddha mengingat kembali suatu peristiwa pada kehidupannya yang lampau pada
masa Buddha Kassapa. Buddha Kassapa adalah gurunya saat itu.

Pada suatu ketika saat seorang petapa sekte luar bertemu dengan Buddha Kassapa dan
mencacinya karena makan daging, yang dikatakannya sebagai noda dibandingkan dengan
konsumsi makanan vegetarian.

Buddha Kassapa membalas: “Membunuh … melukai …. mencuri, berbohong, menipu …


berzinah; inilah noda. Bukan makan daging.

… Mereka yang kasar, sombong, memfitnah, curang, jahat … kikir … inilah noda. Bukan makan
daging.

… Kemarahan, keangkuhan, sifat keras kepala, kebencian, penipuan, keirihatian, pembualan…


inilah noda. Bukan makan daging.

… Mereka yang bermoral buruk, …. dengki … congkak … menjadi orang yang paling keji,
melakukan perbuatan demikian, inilah noda. Bukan makan daging.”

REFERENSI VINAYA

Patimokkha: Pacittiya 39

Dalam disiplin kebhikkhuan, seorang bhikkhu tidak diijinkan untuk meminta makanan khusus
tertentu. Tetapi, sebuah pengecualian diijinkan di Patimokkha (peraturan kebhikkhuan) ketika
bhikkhu itu sakit. Dalam keadaan ini, bhikkhu diijinkan untuk meminta produk dari susu, minyak
makan, madu, gula, ikan, daging … Dengan jelas, ikan dan daging diijinkan untuk para bhikkhu.
Buku Kedisiplinan: Buku Keempat2

Dalam Mahavagga, sepuluh jenis daging dilarang bagi para bhikkhu: manusia, gajah, kuda,
anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul. Kita dapat menyimpulkan dari sini
bahwa daging dari binatang lain diijinkan, dengan terpenuhinya tiga kondisi untuk ‘daging yang
diijinkan’, misalnya daging babi, daging sapi, ayam, dan lain sebagainya.

Buku Kedisiplinan : Buku Keempat3

Sup daging yang jernih diijinkan bagi bhikhhu yang sakit.

Buku Kedisiplinan : Buku Pertama4

Beberapa bhikkhu menuruni lereng dari Puncak Burung Nasar. Mereka melihat sisa hewan yang
mati terbunuh oleh singa, menyuruh umat memasaknya dan memakannya. Di lain waktu,
bhikkhu yang lain melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh harimau … sisa hewan yang mati
terbunuh oleh macan tutul … dan lain sebagainya … menyuruh umat memasaknya dan
memakannya.

Kemudian para bhikkhu ragu apakah itu sudah termasuk mencuri. Sang Buddha memberikan
pengecualian kepada mereka dengan mengatakan tidak ada pelanggaran dalam mengambil apa
yang menjadi milik binatang. Sekali lagi, di sini kita melihat bahwa para bhikkhu makan daging
dan Sang Buddha tidak mengkritik atau melarang hal itu.

Buku Kedisiplinan : Buku Kedua5

Ini adalah kejadian ketika Arahat bhikkhuni Uppalavanna ditawarkan sebagian daging matang.
Keesokan paginya, setelah mempersiapkan daging di biara wanita, dia pergi ketempat dimana
Sang Buddha sedang tinggal untuk mempersembahkan kepadanya. Seorang bhikkhu, mewakili
Sang Buddha, menerima persembahan itu dan mengatakan bahwa Uppalavanna telah
menyenangkan Sang Buddha.

Jelaslah bahwa Sang Buddha memakan daging; apabila tidak, Arahat bhikkhuni Uppalavanna
tidak akan mempersembahkannya.

Buku Kedisiplinan : Buku Kelima6


Bhikkhu Devadatta merencanakan untuk memecah-belah komunitas para bhikkhu dengan
meminta Sang Buddha untuk menetapkan lima aturan, salah satunya adalah para bhikkhu tidak
diijinkan makan ikan dan daging.

Sang Buddha menolak, dengan berkata : “Ikan dan daging sepenuhnya murni berdasarkan tiga
hal: jika tidak dilihat, didengar atau dicurigai (telah dibunuh secara khusus untuk seseorang).”

Sang Buddha bersabda bahwa seorang bhikkhu harus mudah disokong. Jika seorang bhikkhu
menolak untuk memakan jenis makanan tertentu (baik daging maupun sayuran) maka dia tidak
mudah disokong.

BERBAGAI ALASAN SANG BUDDHA MENGIJINKAN MAKAN DAGING

Tidak Ada Kamma Langsung dari Pembunuhan

Sang Buddha berkata: “Ikan dan daging sepenuhnya murni (parisuddha) ….”7 artinya tidak ada
kamma langsung8 (perbuatan yang disertai kehendak) dari pembunuhan jika binatang itu tidak
dilihat, didengar atau dicurigai telah dibunuh secara khusus untuk seseorang.

Tanpa tiga kondisi ini, ada unsur kamma tak bajik dan, oleh karenanya, daging jenis itu tidak
diijinkan.

Walaupun Sang Buddha mengijinkan makan daging, Beliau berkata di AN 4.261 bahwa kita
menciptakan kamma tak bajik jika kita secara langsung mendorong terjadinya pembunuhan,
menyetujui dan berbicara dengan bangga akan hal itu. Karena itu di AN 5.177 Sang Buddha
berkata bahwa seorang umat awam tidak boleh berdagang daging, yang dijelaskan di kitab
komentar sebagai pengembangbiakan dan menjual babi, ternak, ayam dan lain sebagainya untuk
disembelih. Demikian pula, tidak diijinkan untuk memesan, misalnya sepuluh ekor ayam untuk
keesokan harinya jika sejumlah binatang tersebut dimaksudkan disembelih untuk seseorang.

Vegetarian Tidak Cocok dengan Cara Hidup Para Bhikkhu Buddhis

Seorang bhikkhu seyogianya pergi ber Pindapatta untuk makanannya kecuali dia (i) diundang
untuk bersantap, (ii) makanan itu dibawa ke Vihara, atau (iii) makanan itu dimasak di Vihara.
Dia tidak diijinkan untuk memasak makanan, menyimpan makanan untuk keesokan harinya, atau
melibatkan diri dalam kegiatan bercocok tanam untuk menyokong dirinya sendiri. Dengan
begitu, Berpindapata adalah salah satu dari dasar/landasan dari cara hidup para bhikkhu Buddhis.

Hal ini dapat dilihat di suatu negara Buddhis (misalnya Thailand) dimana seorang bhikkhu
mempunyai kebebasan dan dukungan untuk sepenuhnya berlatih sesuai dengan ajaran Sang
Buddha. Di sana kita melihat bukan hanya para bhikkhu tradisi kehutanan yang pergi meminta
berpindapata tetapi juga para bhikkhu dari kota kecil dan besar berpindapata makanan setiap
hari.

Karena seorang Bhikkhu tidak pantas memilih-milih, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya,
vegetarianisme tidak cocok dengan cara hidup para bhikkhu Buddhis – - yang mungkin
merupakan alasan lain mengapa Sang Buddha menolak permintaan Devadatta seperti yang
disebutkan sebelumnya.

Argumentasi Permintaan dan Penyediaan

Beberapa orang beragumen bahwa walaupun dengan tiga kondisi yang disebutkan sebelumnya,
seseorang pantas dicela karena makan daging menyebabkan adanya permintaan yang harus
diimbangi dengan penyediaan dengan pembunuhan binatang. Dengan kata lain, makan daging
dalam keadaan apapun mendorong pembunuhan binatang.

Kita harus paham bahwa ada dua jenis sebab dan akibat : (i) sebab dan akibat duniawi, di mana
kehendak tidak dilibatkan, dan (ii) kamma-vipaka Buddhis, atau tindakan yang disertai
kehendak/kesengajaan dan akibatnya. Makan daging yang diijinkan dengan tiga kondisi
melibatkan hanya sebab dan akibat duniawi, dan tidak ada kamma dari membunuh. Makan
daging yang tidak diijinkan melibatkan kamma tak bajik dan, karenanya, juga vipakanya. Oleh
karena itu, makan daging harus dibagi dengan jelas menjadi dua bagian.

Argumentasi permintaan dan penyediaan tidaklah berlaku. Di bumi ini, sejumlah besar manusia9
dan binatang-binatang yang tidak terhitung jumlahnya terbunuh oleh kendaraan bermotor setiap
hari. Hanya dengan mengendarai kendaraan atau bahkan duduk di atasnya, kita mendorong
industri motor untuk membuat lebih banyak kendaraan bermotor. Jika kita menggunakan
argumentasi permintaan dan penyediaan, maka hanya dengan menggunakan kendaraan bermotor
kita mendukung pembunuhan binatang-binatang yang tak terhitung jumlahnya dan sejumlah
besar manusia di jalanan setiap hari – - yang lebih buruk daripada makan daging!

Memang benar bahwa kita secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan binatang-binatang
tetapi, seperti yang dijelaskan sebelumnya, tidak ada kamma-vipaka dari membunuh.
Keterlibatan tidak langsung dalam pembunuhan adalah benar, jika kita makan daging maupun
tidak, dan merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Kita akan mendiskusikannya di bawah.

Vegetarianisme juga Mendorong Pembunuhan

Kita mendorong pembunuhan walau sekalipun kita berpola makan vegetarian. Setiap hari
monyet, tupai, rubah, kumbang, dan hama perusak lainnya dibunuh karena mereka makan dari
pohon buah yang ditanam petani. Petani sayuran juga membunuh ulat bulu, keong, cacing,
belalang, semut, dan serangga lainnya, dll.. Seperti di Australia contohnya, kangguru dan kelinci
dibunuh setiap hari karena mereka memakan hasil panen.
Banyak barang yang umumnya dimanfaatkan setiap orang dengan mengorbankan nyawa
berbagai makhluk hidup. Sebagai contoh, sutera dibuat dengan pengorbanan ulat sutera yang
tidak terhitung jumlahnya, dan lapisan lak putih10 dari serangga lak yang tidak terhitung
jumlahnya.

Kosmetik mengandung sejumlah besar unsur pokok hewani. Banyak zat tambahan makanan,
seperti: pewarna, penyedap, pemanis, juga menggunakan unsur pokok hewani. Produk keju
menggunakan dadih susu yang diekstrak dari perut anak sapi untuk mengentalkan susu.

Produk kulit dan bulu tentunya terbuat dari kulit binatang yang dibunuh untuk tujuan ini. Film
fotografis menggunakan gelatin yang diperoleh dengan mendidihkan kulit, urat daging dan
tulang dari binatang.

Bahkan pupuk untuk sayur-sayuran dan pohon buah sering menggunakan tulang ikan kering
yang digiling, dan sisa potongan ikan lainnya. Penggunaan susu sapi dan madu juga melibatkan
banyak kekejaman terhadap binatang dan serangga terkait.

Semua ini menunjukkan bahwa sungguh sulit untuk tidak terlibat dalam satu cara atau yang lain
dalam kekejaman yang terjadi pada binatang-binatang.

Jadi seandainya seseorang menjadi vegetarian, seseorang hendaknya merenungi hal di atas dan
menghindari kritik yang berlebihan terhadap mereka yang makan daging.

Binatang Tetaplah Dibunuh Walaupun Semua Manusia Menjadi Vegetarian

Walaupun semua manusia menjadi vegetarian, binatang masih saja akan dibunuh. Ini karena
binatang berkembang biak sangat cepat daripada manusia sehingga mereka dengan mudah
menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia.

Sebagai contoh beberapa tahun yang lalu, dibeberapa daerah Afrika, gajah adalah binatang yang
dilindungi. Akan tetapi, sekarang mereka telah berkembang-biak dengan cepat dan menjadi
ancaman, dan hukum perlindungan harus dilonggarkan untuk mengurangi jumlah mereka.

Di beberapa negara, anjing yang tidak terdaftar dibunuh agar tidak menjadi rabies dan
menyerang manusia. Bahkan kelompok perlindungan terhadap kekejaman binatang membunuh
jutaan anjing dan kucing dalam kandang setiap tahun karena akomodasi yang tidak memadai. –
di Amerika Serikat, setiap tahunnya 14 juta dibinasakan dalam waktu seminggu setelah
diselamatkan oleh kelompok kemanusiaan.

Pada akhirnya, pendapat bahwa vegetarianisme mencegah pembunuhan binatang adalah tidak
benar. Meskipun demikian, adalah terpuji untuk berlatih vegetarianisme atas belas kasih, tetapi
tidak sampai menjadi ekstrim akan hal itu.
Setiap Orang secara Tidak Langsung Terlibat dalam Pembunuhan Binatang

Apakah kita vegetarian atau sebaliknya, kita semua secara tidak langsung terlibat dalam
pembunuhan binatang.

Area hutan yang luas harus digunduli untuk perumahan karena kita ingin tinggal di dalam rumah.
Ini mengakibatkan kematian sejumlah besar binatang. Karena kita ingin menggunakan peralatan
rumah tangga dan peralatan serba canggih lainnya, lagi, area hutan yang luas digunduli untuk
lokasi-lokasi pabrik dan industri. Karena kita ingin menggunakan listrik, sungai-sungai
dibendung untuk pemanfaatan listrik tenaga air. Ini mengakibatkan banjir di area hutan yang luas
dengan mengorbankan hidup binatang.

Karena kita mengendarai kendaraan bermotor, binatang yang tak terhitung jumlahnya dan
sejumlah besar manusia terbunuh di jalanan setiap harinya.

Lagi, demi keselamatan kita, anjing liar dibunuh agar tidak menjadi rabies. Dalam produksi
berbagai produk yang kita gunakan setiap hari, seperti: makanan, obat-obatan, sutera, kosmetik,
film, dan lain sebagainya., unsur pokok hewani digunakan dengan mengorbankan hidup
binatang.

Jika kita menggunakan argumentasi permintaan dan penyediaan seperti yang dijelaskan
sebelumnya maka kita tidak seharusnya tinggal dalam rumah, atau menggunakan barang-barang
rumah tangga yang diproduksi pabrik, atau menggunakan tenaga listrik, atau mengendarai mobil,
dsbnya.

Perumpamaan Pembunuhan Berseri

Andaikan ada kasus pembunuhan berseri di suatu kota, dengan adanya sejumlah wanita yang
telah diperkosa kemudian dibunuh sehingga tidak ada wanita yang berani mengambil resiko
keluar malam. Seisi kota gempar dan penduduk menuntut agar pihak berwenang menjalankan
tugas mereka dan menangkap pembunuhnya. Jadi polisi, setelah beberapa bulan berusaha keras,
akhirnya menangkap dalangnya. Setelah pemeriksaan panjang, hakim menjatuhkan hukuman
mati pada dirinya. Pada hari yang ditentukan, pembunuh dibawa ke ruang eksekusi dimana
petugas eksekusi menarik pengungkil untuk menghabisi nyawa si pembunuh.

Cerita ini menimbulkan pertanyaan: “Siapa yang terlibat dalam kamma buruk dari pembunuhan
manusia (yakni si pembunuh berseri)?” Menurut hukum kamma-vipaka, petugas eksekusi
melakukan pelanggaran yang paling berat karena dia secara sengaja melakukan pembunuhan.
Berikutnya adalah hakim yang mengumumkan hukuman mati. Kedua orang ini secara langsung
terlibat dalam kamma pembunuhan atas eksekusi dari pembunuh berseri. Polisi hanya terlibat
secara tidak langsung dan tidak bertanggung jawab atas eksekusinya. Bagaimana dengan
penduduk? Pada dasarnya pembunuh berseri dieksekusi untuk melindungi penduduk, yakni
dieksekusi atas kebaikan penduduk, atau dengan kata lain, penduduk adalah orang-orang yang
diuntungkan atas eksekusi tersebut. Jadi apakah penduduk bertanggung jawab atas keterlibatan
kamma pembunuhan? Tidak, karena mereka tidak meminta eksekusi atas pembunuh berseri.
Tetapi mereka turut terlibat apabila mereka meminta si pembunuh untuk dieksekusi.

Skenario di atas serupa dengan penyembelihan binatang untuk makanan. Orang yang
menyembelih binatang tersebut menanggung kamma pembunuhan yang paling berat. Orang yang
membiakkan binatang untuk disembelih juga terlibat dalam kamma pembunuhan. Mereka serupa
dengan hakim yang menjatuhkan hukuman pada orang tersebut untuk dieksekusi. Tetapi orang
yang membeli daging dari binatang yang sudah disembelih tidak terlibat dalam kamma
pembunuhan walaupun, serupa dengan penduduk kota diatas, mereka adalah orang-orang yang
diuntungkan. Akan tetapi jika seseorang memesan daging dari binatang yang hidup untuk
disembelih, maka ada keterlibatan dalam pembunuhan.

’Chi Zhai’, bukan ’Chi Su’

Banyak umat Buddhis Tionghoa beranggapan salah bahwa Buddhisme Mahayana mengajari
praktik vegetarian, dan bingung akan ’Chi Su’ (Vegetarianisme) dengan ’Chi Zai’ (tidak makan
setelah petang hari sampai keesokan subuh). Dalam Sutta kumpulan tertua, ’Chi Su’ disebutkan
sebagai praktek petapa sekte luar yang tidak bermanfaat. ’Chi Su’ dijalankan oleh Han Chuan
(Buddhisme Tionghoa), bukan Bei Chuan (Buddhisme Mahayana), karena Buddhisme di Tibet
dan di Jepang bukan vegetarian. Kaisar Liang Wu Di memerintahkan bhikshu dan bhikshuni
Buddhis untuk berpola makan vegetarian.

Kata ’Zhai’ berarti tidak makan pada jam-jam tertentu, yakni berpuasa. Itu sebabnya bulan puasa
umat Muslim disebut ’Kai Zhai’. Sang Buddha mengajari muridnya untuk ’Chi Zai’, yakni tidak
makan (dengan pengecualian obat-obatan) setelah petang sampai keesokan subuh (jam 1 siang
sampai 7 pagi di Malaysia). Di Han Chuan, makna dari ’Chi Zhai’ ini menjadi sinonim dengan
’Chi Su’.

KESIMPULAN

Sang Buddha tidak mendorong kita untuk makan daging atau menjadi vegetarian. Pilihan ini
sepenuhnya tergantung kepada kita. Pokok pentingnya adalah memperhatikan dengan baik
petunjuk dari Sang Buddha dalam MN 55 atas tiga kondisi untuk daging yang tidak diijinkan dan
yang diijinkan.

Seorang Bhikkhu tidak diijinkan untuk memasak dan harus sepenuhnya tergantung pada
persembahan dari para penyokong (umat awam). Bhikkhu juga diharuskan agar mudah disokong
dan dirawat. Karena bhikkhu tidak diijinkan untuk meminta makanan tertentu (kecuali selama ia
sakit), maka bhikkhu tidak dapat memilih makanannya. Dia harus menerima apapun yang
dipersembahkan.

Umat awam mempunyai lebih banyak kebebasan untuk memilih makanan mereka, dan untuk
umat awam adalah sepenuhnya tergantung pada pilihan pribadi masing-masing untuk makan
daging atau menjadi vegetarian. Untuk alasan-alasan yang sudah dijelaskan sebelumnya, adalah
penting untuk tidak terlalu kritis terhadap orang lain terkait dengan apapun yang menjadi pilihan
kita.

Cara yang paling efektif untuk mengurangi pembunuhan dan kekejaman di dunia adalah
pemahaman akan ajaran Sang Buddha. Pada akhirnya, penderitaan (dukkha) adalah karateristik
dari kehidupan, dan cara untuk mengakhiri penderitaan adalah dengan melatih Jalan Mulia
Berunsur Delapan ajaran Sang Buddha untuk keluar dari lingkaran kelahiran kembali.

SELESAI

Catatan :

1. Dengan pengecualian dari sepuluh jenis daging yang dilarang untuk para bhikkhu: manusia,
gajah, kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul. Rujuklah pada
Mahavagga, Book of the Discipline: Buku 4, halaman 298 s.d. 300. The Book of Discipline
adalah terjemahan berbahasa Inggris dari kitab Vinaya (dalam Bahasa Pali) oleh Pali Text
Society, Inggris.

SILA pertama ( PANCASILA BUDDHIST)


December 2, 2011 at 10:54am

 SILA PERTAMA

Banyak umat Buddha yang salah mengartikan lima aturan sila, kurangnya pengetahuan tentang
Dharma sehingga 5 latihan sila menjadi rancu dan menakutkan bagi sebagian umat Buddha utk
menjalani nya, ada lagi sebagian umat Buddha yang mengunakan pemahaman sendiri
menterjemahkan 5 sila dengan sangat kaku, bahkan sering ada propokasi dari luar sprt yang
baru2 ini terjadi mengkait2kan Vinaya dgn 5 sila. Pernah saya tuliskan di artikel saya yang
terdahulu...bahwasannya Sang Buddha bkn lah men ciptakan ajaran tapi sang Buddha
menemukan Hukum universal, hukum yang berlaku bagi bagi semua mahkluk apa pun
keyakinannya bahkan yg enggak memiliki keyakinan sekali pun. Ok sebelum kita lanjutkan lagi
kita bahas dulu apa sebenarnya 5 sila itu dan bagaimana penerapannya.....5 sila adalah syarat kita
bisa terlahir kembali ke alam bahagia" Mereka yang tidak melaksanakan 5 sila yang merupakan
latihan moral minimal berarti mereka telah memotong akar kelahirannya sebagai manusia "
tertera di Dhammapada Bab XVIII syair 246~247 [ tentang murid2 awan/ perumah tangga ].kita
uraikan satu persatu dan klo ada yg kurang saya berharap saudara2 seDharma bisa
menambahkannya.
1.PANNATIPATA VERAMANI SIKKHAPADAM SAMADIYAMI.[ saya akan berusaha
melatih diri utk menghidari  pembunuhan mahkluk hidup ]

~ suatu pembunuhan telah terjadi bila memenuhi 5 faktor sbb :

- ada mahkluk hidup [ panno ]

- mengetahui mahkluk itu masih hidup [panasannnita ]

- berniat utk membunuhnya [vaddhakacittam

- melakukan usaha utk membunuh nya [upakkamo]

- mahkluk itu mati melalui usaha itu [tena maranam]

Apa kah nyamuk jg gak boleh di bunuh.....? sebagian umat Buddha menjawab "YA" dgn kaku
tanpa memberikan penjelasan....dan sebabnya. Memang semua mahkluk hidup apa pun
bentuknya hindari lah utk membunuhnya karna setiap mahkluk hidup ingin hidup lebih lama dan
pembunuhan mahkluk hidup ada konsekuensi karma buruknya, besar kecil karma buruk yang
diterima pelaku jg tergantung kesadaran mahkluk yang di bunuh tersebut dan niat dari si
pembunuh....membunuh seekor nyamuk beda karma buruknya dgn membunuh seekor
anjing....membunuh seekor ular beda karmanya dgn membunuh manusia....membunuh manusia
yang jahat berbeda karma buruknya dgn membunuh manusia yang baik .Membunuh dengan
kesenangan beda karma buruknya dgn keterpaksaan atau perlindungan,misalnya..membunuh
seekor nyamuk yg terjebak didalam kamar[ karna kita takut anak atau kita terkenak penyakit
demam berdarah ] berbeda karma buruknya dgn membunuh nyamuk menggunakan raket
listrik ....tak ada nyamuk pun di cari sampai dapat bhkn sampai halaman rumah, Kita juga harus
memiliki kebijaksanaan dalam hal ini.

   Sprt seorang NELAYAN ....mrk menangkap ikan ...jelas nelayan melakukan karma buruk tapi
hasil penjualannya utk menghidupi anak istrinya....apa kah nelayan yang beragama Buddha harus
meninggalkan pekerjaannya.....? bagaimana dgn anak istrinya.....? menangkap ikan adalah karma
buruk tapi menghidupi anak dan istri adalah karma baik.....sebagai umat Buddha seharusnya
menghidari pekerjaan2 yg melibatkan pembunuhan....tapi klo mrk gak punya keahlian lain selain
pekerjaan tersebut imbangi lah dgn banyak2 berbuat kebajikan.

   Dari semua pembunuhan pembunuhan manusia lah yg memiliki karma buruk yg besar, di
samping sangat sulit terlahir kembali sebagai manusia,manusia jg memiliki sifat mulia, apa lagi
membunuh orang tua kita sendiri atau orang yang mejalani hidup suci karma buruk yg paling
berat. Bunuh diri dan Eutanasia jg melanggar sila pertama Dan ingat sekali lagi dalam ajaran
Buddha gak ada kata larangan tapi kita di suruh berlatih untuk menghindari....kenapa di
kehidupan ini ada yg berumur pendek....? kenapa ada yang sakit2an dan cacat pisik.....? karna
mereka dikehidupan lampau sering melakukan hal2 yg berkaitan dgn sila pertama.

Mau sprt apa di kemudian hari dan terlahir sbg apa.....? jawabannya ada pada diri saudara
sendiri.......!!!!
2. sila kedua lanjut ke artikel berikutnya....................

Diskusi Kalyanamitta 01: Mata Pencaharian


yang Benar
Posted by Hendry Filcozwei Jan
Apa yang tertulis di sini adalah hasil diskusi kami (group BBM: Diskusi Kalyanamitta =
Diskusi Dhamma BUKAN Debat Kusir). 

Saat ini beranggotakan 15 orang: Hendry F.Jan, Hadi, Juniarti Salim, Johan W., Romo
Suyanto, Hendra Widjaja, Aldo Sinatra, Lingga Waty Komah, Djonni Issalim, Henz
Hendri, Kolim, Dedy J. Lesmana, Suherjati, Lani, dan Budi Priatna.
Agar diskusi yang kami lakukan memberi manfaat lebih (tidak hanya diketahui anggota
Diskusi Kalyanamitta saja dan hilang begitu saja), saya (Hendry F.Jan) berinisiatif
mencoba merangkum hasil diskusi. Diskusinya berlangsung seru tapi sopan dan
panjaaang. Rangkuman ini dibuat hanya berdasarkan ingatan saya (saat dilihat ke
riwayat diskusi, bagian atas sudah banyak yang hilang dan parahnya saya orang yang
pelupa). Waduh...

Rangkuman hasil diskusi ini hanya sebagai rangkuman pendapat kami (yang belum
tentu benar). Anda boleh mengoreksi jika kami salah, maklum saja, kami semua masih
dalam proses belajar.

***********

Kita bisa berpedoman pada Pancasila Buddhis, apakah pekerjaan kita selaras dengan
Pancasila Buddhis atau tidak. Kemudian dalam Dhamma ada 5 jenis mata pencaharian
yang sebaiknya dihindari:

1. Memperdagangkan barang-barang yang dipergunakan untuk membunuh


makhluk hidup, atau dengan kata lain berdagang senjata. 
2. Memperdagangkan manusia (budak, anak, pelacur, dan organ tubuh manusia). 
3. Memperdagangkan makhluk hidup untuk disembelih. 
4. Memperdagangkan minuman keras, narkotika, dan obat-obatan berbahaya yang
dapat memabukkan, melemahkan kesadaran/ kewaspadaan. 
5. Memperdagangkan racun.

Diskusi dimulai dengan pertanyaan:

Jual ayam goreng (membeli ayam yang memang sudah terpotong di pasar, setahu saya
tidak bertentangan Dhamma karena hanya membeli daging bangkai). Membeli daging
ayam di pasar tidak memenuhi unsur melanggar sila pertama Pancasila Buddhis.

Lantas bagaimana jika usaha ayam goreng ini berkembang pesat atau dapat orderan
banyak? Dari stok daging ayam di pasar kecil atau tempat langganan tidak mencukupi.
Apa yang harus dilakukan? Pesan sekian ratus ekor ayam, jelas melanggar sila pertama
(meminta pedagang memotong sekian ratus ekor ayam). Atau berkeliling ke berbagai
pasar untuk membeli daging ayam yang sudah tersedia?

Diskusi ramai dan melebar ke berbagai aspek tentang mata pencaharian yang benar.

1. Banyak pekerjaan yang menjadi dilema selain kasus penjual ayam goreng yang
sukses. Bagaimana nelayan yang kerjanya menangkap (membunuh) ikan?
Bagaimana jika jadi tentara ditugaskan ke medan perang? Bagaimana polisi yang
ditugaskan melakukan eksekusi terpidana mati? Sawah diserang hama, petani
semprotkan pestisida?
2. Jika hal itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindari, lakukanlah. Vipaka (hasil
atau akibat perbuatan) sangat tergantung dari cetana (niat). Jangan lupa untuk
selalu melakukan kebajikan. Perbuatan baik ibarat air (tawar) dan perbuatan
buruk ibarat garam. itu yang kita masukkan ke dalam gelas, yang isinya kelak
kita minum. Garam yang sudah dimasukkan tidak akan hilang tapi semakin
banyak air yang kita masukkan, kadar asinnya akan berkurang.    
3. Hendra Widjaja mengatakan: Dihadapkan pada masalah etika moral, Ajahn
Brahm dalam ceramahnya pernah memberikan pedoman berupa 4 pertanyaan
yang perlu dijawab sebelum melakukan sesuatu. Kata-kata persisnya saya lupa,
tapi kalau tidak salah ingat begini: (1.) Apakah saya melakukan ini karena
ketidaktahuan, keinginan, dan kebencian? Ataukah saya melakukan sesuatu ini
terdorong oleh kasih dan kewelasan? (2.) Apakah saya melakukan ini demi
kebaikan orang lain itu atau demi kepentingan saya sendiri? (3.) Sudahkah saya
mempertimbangkan semua pilihan dan kemungkinan? Adakah sesuatu cara lain
yang lebih baik untuk melakukannya? (4.) Renungkan dan rasakan dalam dalam,
dan tanyakan pada hati kita melalui perasaan hati, apakah saya tengah
melakukan sesuatu yang baik? Apakah ini sesuatu yang baik? Kebenaran harus
dirasakan melalui hati, bukan dicapai melalui pikiran. Pencerahan tidak dapat
dicapai melalui pemikiran, tetapi melalui hati.
4. Djonni Issalim: Penyampaian mata pencaharian yang benar ini harus
disampaikan secara hati-hati. Ada yang sulit menerima, terlebih jika
pekerjaannya dianggap tidak sesuai Dhamma. Harus bisa sampaikan materi yang
sesuai dengan tingkat kesadaran orang yang menjadi pendengar. 
5. Hendra Widjaja: Yang menyampaikannya memang harus dengan bahasa lembut,
bijak, penuh kasih dan kewelasan. Memang ada yang lebih suka mencari
pembenaran (atas pendapatnya) daripada mencari kebenaran (sejati). Kebenaran
tetap harus disampaikan meski pahit.
6. Suherjati: Melakukan karma buruk  jika dalam keadaan terpaksa, akibatnya tetap
ada meski kecil. Beda jika dilakukan dengan senang hati. Jika belum mampu alih
profesi, sebaiknya dibarengi dengan banyak melakukan kebajikan. 
7. Aldo Sinatra; Selama kita masih putthujjana (umat awam) segala kemungkinan
dapat terjadi. Melakukan karma baik dan karma buruk. hanya kita harus eling,
selalu berusaha melakukan kebajikan di setiap kesempatan.
8.  Suherjati: Di Myanmar (kalau tidak salah) ada petani yang mengajak bicara
sawahnya. ia tidak pakai pestisida tapi pakai bahan organik, panennya bagus
(ceramah master Cheng Yen). Pernah baca juga ada petani bertemu penjual
burung. Karena kasihan pada burung, petani membeli semua burung dan dilepas
(fang sen). pada saat panen, sawah-sawah di sekitarnya gagal panen karena
dimakan hama, kecuali sawah petani tadi. Setelah diselidiki, ternyata hama yang
ada di sawahnya dimakan burung-burung,  yang kemungkinan dilepas (fang sen)
oleh petani tadi.  
9. Romo Suyanto: Di Thailand, petani menggunakan puntung rokok yang dicampur
air lalu disemprotkan ke tanaman. Hama menjauh, tanaman subur (tidak
membunuh makhluk/ hama). Tapi jika menggunakan pestisida pun, yang
terpenting dalam pikiran kita tidak ada niat untuk membunuh. Pembunuhan
terjadi jika memenuhi 5 unsur: (1.) adanya makhluk hidup, (2.) mengetahui
bahwa makluk itu hidup, (3.) berpikir untuk membunuhnya, (4.) berusaha untuk
membunuhnya, (5.) makhluk mati karena usaha tersebut. Atau bisa juga dengan
membacakan Khanda Paritta.
10. Hendry F.Jan: Apakah sih kriteria makhluk hidup versi Dhamma? Kuman, virus
bakteri itu makhluk hidup atau bukan?
11. Romo Suyanto: Makhluk hidup menurut Dhamma terdiri dari batin dan jasmani
atau Panca Kandha. Kemunculan makhluk bisa melaui: kandungan, telur,
kelembaban, dan spontan. 
12. Kolim: Syarat makhluk hidup menurut Buddhis: (1.) mempunyao lesadaran dan
pikiran, (2.) membutuhkan makanan dan nutrisi, (3.) bisa bergerak atas usaha
sendiri, (4.) memiliki kehendak, (5.) bisa dilihat dengan mata biasa. jadi bila kita
memasak nasi atau makan antibiotik yang mungkin mengakibatkan kuman,
virus, bakteri yang tidak terlihat mata mati, maka tidak dianggap melanggar sila.
13. Hendry F.Jan: kerja sebagai pembantu tapi di lokalisasi (kerjaannya murini
sebagai pembantu: menyapu, ngepel, mencuci pakaian), apakah melanggar sila?
Apakah itu pekerjaan yang sebaiknya dihindari?   
14. Romo Suyanto: Pekerjaan baik (pembantu) tapi di lingkungan tidak baik,
sebaiknya dihindari. Sebaiknya cari pekerjaan bai di tempat yang baik. Seperti
dalam Manggala Sutta, tempat tinggal yang sesuai adalah berkah utama.
Lingkungan bisa mempengaruhi perilaku seseorang.
15. Johan W.: Selama pekerjaannya murni pembantu, tidak masalah. Tapi jika ada
pekerjaan baik di lokasi baik, sebaiknya alih profesi. Kalau pemilik rumah yang
rumahnya dikontrak untuk usaha prostitusi? Kalau tahu akan digunakan untuk
prostitusi termasuk pelanggaran sila ke-3. Atau paling tidak membantu
pelanggaran sila tersebut untuk terjadi. 
16. Suherjati: Solusi untuk gangguan nyamuk sesuai Dhamma: pakai kelambu,
minyak sereh. Saya pernah dengar cerita (sebut saja Ko A). Ko A orangnya
penyabar, nyaris tak pernah marah. Dia diajak mai n ke Bali (ke kampung
temannya) , Ko A tidur hanya pakai kaos lengan pendek, nyamuk banyak tapi
sama sekali tidak digigit nyamuk. Kemudian soal lain: pengalaman seorang
Bhikkhu di Thailand. Saat pindapata. Ada PSK yang dana (PSK ini pernah ke
vihara dan konsultasi Dhamma dengan Bhikkhu), Bhikkhu tampak ragu-ragu
menerima dana dari wanita tersebut. Tapi seorang Bhikkhu senior (guru beliau)
menjelaskan: Walau pekerjaannya tidak baik, jika tidak diberi kesempataan
berbuat baik, bagaimana ia bisa mengumpulkan kebajikan. jadi yang menerima
dana bisa memancarkan metta.   
17. Aldo Sinatra: Soal sawah kena serangan hama, semprot pestisida atau tidak? Dari
buku yang saya baca, yang vege (vegetarian) pun tidak menutup kemungkinan
melakukan pembunuhan. Sebab penggunaan pestisida tetap sedikit banyak
terjadi  dan mengakibatkan matinya makhluk-makhluk renik. Oleh sebab itu
Bhante menganjurkan agar seorang vege tidak mencela orang yang nonvege.
Dalam Sutta Pitaka banyak contoh pelanggar sila yang bakal suci seperti
Angulimala dan Ambapali. dalam Dhammapada dikisahkan Naga Erapatta (kalau
tak salah) terlahir sebagai naga karena thinamida dan vicikiccha (gelisah dan
keragu-raguan) apakah perbuatan yang dilakukannya melanggar sila atau tidak.
kata Bhante Uttamo, gunakan hati sebagai pemberi tanda apakah perbuatan kita
baik atau buruk. Jika hati kita tidak nyaman, gelisah, dan tentu tidak bahagia, itu
perbuatan buruk dan sebaliknya. Jika muncul tanda bahwa itu bukan perbuatan
baik, segera stop. Perbuatan itu sudah dilakukan, sesali dan segera bertekad
untuk memperbanyak kebajikan. 
18. Apa sih kategori senjata menurut Dhamma? Senjata adalah sesuatu yang
memang dibuat untuk melukai atau membunuh. Tapi meski termasuk senjata
tapi saat pembuatannya bukan untuk melukai atau membunuh, bukanlah senjata
versi Dhamma. yang bukan senjata versi Dhamma: cutter (yang dibuat untuk
memotong kertas dan fungsi lainnya), pistol atau senapan olahraga menembak,
silet (untuk mencukur), gunting, dan yang lainnya. Jika kita menjual cutter lalu
cutter digunakan untuk membunuh? Sejauh kita tidak tahu cutter itu untuk apa,
tidak ada karma buruk. Itu tanggung jawab "The Man Behind The Gun." Lain
halnya orang sedang berantem dan dalam keadaan emosi, lalu masuk ke toko
kita dan minta cutter dan kita berikan. 
19. Berdagang hewan (pet shop) bukan termasuk kategori mata pencaharian yang
sebaiknya dihindari. Perdagangan hewan yang dimaksud adalah untuk dibunuh
(dijadikan hidangan, dijadikan hiasan, pakaian, dan lain-lain). Selama perlakuan
kepada hewan itu layak (kandang cukup luas dan nyaman, diberi makan yang
cukup, kesehatannya diperhatikan, tidak disiksa). 
20.

Diskusi masih terus berlangsung dalam topik "Mata Pencaharian yang Benar." Mungkin
masih akan ditambah lagi catatan-catatan hasil diskusi kami.

Mohon maaf rangkuman ini seingat saya saja (ada bagian-bagian awal yang sudah
hilang sebelum sempat saya catat). Sangat mungkin ada yang salah. Anda boleh
memberi saran di kolom komentar. Anumodana...

Semoga rangkuman hasil diskusi kami ini bermanfaat bagi Anda.


Hati nurani seorang penjual ayam

Pada suatu ketika, hiduplah seorang penjual ayam yang bertempat tinggal di propinsi PeiCing,
Tiongkok. Ia menyadari pekerjaan yang di tekuninya akan membangun sebuah karma buruk bagi
dirinya. Kepada istri dan anak – anaknya, ia tidak mengizinkan mereka membantunya dalam
menjalankan usaha yang di tekuninya.

Setiap hari puluhan bahkan ratusan ekor ayam di bunuhnya untuk memenuhi pesanan para
pelanggannya. Setiap sayatan pisau yang di lakukannya ke leher ayam, suara hatinya selalu
berkata,

“Maafkan saya saudaraku. Semoga anda bertumimbal lahir ke alam yang lebih baik. Amitofo”

Demikianlah yang di ucapkannya setiap ia menyembelih ayam. Kita sebut saja nama penjual
ayam ini Wang Hui.

Sebenarnya sudah lama Wang Hui mencari pekerjaan lain, tetapi apa mau di kata, ia tak berhasil
mengganti profesi pekerjaannya sebagai seorang penjual ayam. Ia di hadapkan pada posisi yang
serba salah. Pilihannya adalah ‘membunuh ayam – ayam atau biaya untuk menghidupi
keluarganya tidak ada.’

Suatu pagi, seorang pembeli ayam menegur Wang Hui yang sedang menyembelih puluhan ekor
ayam untuk memenuhi pesanan para pelanggannya.

Pembeli : Saudaraku, tidakkah engkau merasa kasihan kepada ayam – ayam ini?

Wang Hui : Rasa kasihan terhadap nasib – nasib mereka pasti ada, Tuan. Tetapi apa boleh buat,
saya sangat terpaksa harus melakukan dosa ini.

Pembeli : Tidakkah anda berusaha mencari pekerjaan lain?

Wang Hui : Hingga saat saya masih selalu berusaha dan berharap dapat menemukan pekerjaan
lain. Pernah saya menghentikan pekerjaan ini, namun melihat kondisi keluarga saya, saya tak
dapat melepaskan tanggung jawab saya sebagai seorang kepala keluarga yang menelantarkan
biaya hidup keluarganya.

Tidak seorangpun yang akan memberikan jalan saat kami hidup dalam kesusahan. Yang dapat
kulakukan semoga mereka ( ayam ) yang kubunuh dapat segera bereinkarnasi ke alam yang lebih
baik.

Pembeli : Itukan hanya anggapan kamu. Apakah anda tidak berpikir bagaimana bila anda di
bunuh dengan leher anda di gorok dengan pisau tajam?
Wang Hui : Adatuan. Bahkan saya dapat membayangkan sakit yang di alami jika leherku di
gorok.

Pembeli : Jadi kenapa anda begitu kejam masih melakukannya? Tidakkah anda takut
menghadapai neraka kelak?

Wang Hui : Setiap manusia pasti takut akan neraka. Tetapi mengapa mereka harus terlahir
menjadi ayam, tuan? Kemungkinan akibat karena perbuatan di kehidupan yang lalu, kini mereka
terlahir sebagai hewan untuk mengalami nasib seperti ini.

Bila saja mereka banyak melakukan kebaikan di kehidupan masa lalu, mereka tak akan terlahir
sebagai hewan dan menjalani karma seperti ini. Menurut saya, semua ini telah merupakan takdir
dalam siklus kehidupan. Dapatkah tuan bayangkan jika ayak semakin banyak di dunia ini?
Bahkan populasinya memenuhi setiap jengkal tanah?

Pembeli : (Kebingungan sendiri). “Benar juga alasanmu, saudaraku. Tetapi anda tetap bersalah.
Sebaiknya anda bertani menanam sayuran saja.

Wang Hui : Kalau menurut saya, menanam sayuran juga berdosa, Tuan. Pernahkan Tuan
pikirkan berapa banyak hama yang harus kita bunuh setiap saat penyemprotan racun serangga ke
sayur – sayuran yang kita tanam? Dapatkah Tuan bayangkan bagaimana bila Tuan di semprot
dengan gas beracun dan mati?

Pembeli : Betul juga ya. Namun anda tetap saja bersalah, saudaraku!

Wang Hui : Telah kukatakan dari tadi, saya menyadari kesalahan ku. Dan telah kujelaskan saya
sangat terpaksa melakukan pekerjaan ini.

Jika detik ini ada yang menawarkan sebuah pekerjaan yang lebih baik kepada saya, saya akan
segera meninggalkan pekerjaan ini. Ataukah anda memiliki pekerjaan lain untukku, Tuan?

Pembeli : Untuk sementara saya tidak ada pekerjaan untukmu. Benar juga, saya sendiri sangat
suka makan ayam. Memang kadang kalau hanya berbicara, semuanya kelihatan sangat mudah,
saudaraku. Maafkan atas kelancangan ku tadinya.

Wang Hui : Tidak apa – apa, Tuan. Hampir setiap hari ada yang menegur saya atas pekerjaan
yang saya lakukan. Semoga mereka dapat memaklumi keterpaksaan saya melakukan pekerjaan
ini. Saya yakin pada umumnya setiap penjual ayam menyadari pekerjaan mereka akan
membentuk karma buruk.

Namun mereka pun tak ada pilihan lain dan terpaksa melakukannya demi biaya hidup
keluarganya. Jadi setiap ada kesempatan berbuat baik, saya tak akan pernah melewatinya. Hitung
– hitung untuk menebus sedikit dosa yang telah banyak saya lakukan. Nurani mereka pasti sering
bertanya, mengapa takdir harus menjadikan mereka sebagai seorang penjual atapun seorang
pejagal ayam? Mengapa tidak ada yang memberikan pekerjaan yang lebih baik?
Sobat, demikianlah hati nurani / suara hati seorang penjual ayam yang bernama Wang Hui. Ia
menyadari kesalahan yang di lakukannya. Ia dapat merasakan sakit yang di alami ayam – ayam
yang di sembelihnya. Namun ketika ia berteriak memohon pertolongan dalam kesusahan, tidak
seorangpun yang memperdulikan nasibnya.

Salahkah pekerjaan yang di tekuni Wang Hui? Adakah jalan keluar yang lebih baik untuknya?
Mengingat ia telah lama berusaha mengganti profesinya tetapi belum menemukannya.
Sedangkan perut manusia tidak mungkin di isi dengan batu dan pasir bukan? Namun kita semua
menyadari dengan pasti, bahwa setiap pembunuhan pasti berdosa. Apalagi di sertai adanya
Tanha ( Niat / Kehendak ) untuk melakukannya.

Anda mungkin juga menyukai