I. Pendahuluan
II. Parajika
Dalam esai ini, penulis hanya akan mengulas tentang peraturan 1, yaitu
Larangan terhadap hubungan seksual. Oleh sebab itu, ide tentang bhikkhu
yang memiliki istri sangat bertentangan dalam ajaran Buddha.
Ketika itu tak jauh dari Wesali ada sebuah dusun bernama Kalandaka. Di
sana ada seorang putra saudagar besar namanya Sudinna Kalandakaputta (putra
kaum Kalandaka). Arkian Sudinna Kalandakaputta bersama banyak sahabatnya
pergi ke Wesali [11] karena suatu urusan. Kala itu Sang Bhagawan sedang duduk
membabarkan Dhamma dikelilingi banyak orang. Sudinna Kalandakaputta pun
melihat Sang Bhagawan sedang duduk membabarkan Dhamma dikelilingi banyak
orang. Setelah melihat ini, ia berpikir, “Bagaimana kalau saya juga mendengarkan
Dhamma?” Lantas Sudinna Kalandakaputta menghampiri kerumunan orang
tersebut lalu duduk di satu sisi. Kemudian dalam diri Sudinna Kalandakaputta
muncul pemikiran demikian, “Sejauh yang kupahami dari pembabaran Dhamma
Sang Bhagawan adalah tidak mudah untuk menjalankan kehidupan suci seutuh-
utuhnya dan semurni- murninya laksana kulit kerang nan gemilap sambil hidup
sebagai perumah tangga. Bagaimana kalau saya meninggalkan kehidupan
berumah tangga, menjalankan kehidupan tidak berumah tangga dengan mencukur
rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning?”
Sementara itu seusai diwejang, digugah, digairahkan, dan dihibur oleh
Sang Bhagawan dengan wejangan Dhamma, orang- orang bangkit dari tempat
duduk masing-masing, memberi hormat kepada Beliau, beranjak pergi sambil
berpradaksina (tetap mengarahkan sisi kanan badan pada Beliau). Tak lama
setelah orang-orang tinggal pergi, Sudinna Kalandakaputta datang menghampiri
Sang Bhagawan, memberi hormat kepada Beliau lalu duduk di satu sisi. Setelah
itu, kepada Sang Bhagawan, Sudinna Kalandakaputta berkata demikian,
Pada waktu itu hamba wanita keluarga Sudinna Yang Mulia sedang
berniat membuang bubur barli31 semalam. Lantas, kepada hamba wanita itu,
Sudinna Yang Mulia berkata, “Apabila itu untuk dibuang, Saudari, tuanglah ke
dalam patta saya di sini.”
Saat hamba wanita keluarga Sudinna Yang Mulia menuangkan bubur barli
semalam itu ke dalam patta Sudinna Yang Mulia, ia mengenali ciri-ciri tangan,
kaki, dan suaranya. Didatanginyalah ibunda Sudinna Yang Mulia, kepada ibunda
Sudinna Yang Mulia, ia berkata, “Nyonya, tahukah Anda tuan muda Sudinna
telah tiba?” “Amboi, kalau perkataanmu betul, Anda takkan dijadikan hamba
lagi.”
Ketika itu Sudinna Yang Mulia sedang menyantap bubur barli semalam itu
sambil bersandar pada dinding sebuah perteduhan. Ayahnya [15] yang baru
kembali dari bekerja melihat Sudinna Yang Mulia sedang menyantap bubur barli
semalam sambil bersandar pada dinding sebuah perteduhan. Melihat itu, ia
menghampiri Sudinna Yang Mulia dan berkata kepadanya, “Kan ada
..., Anakda Sudinna, Anda mau menyantap bubur barli semalam!
Bukankah sepantasnya Anakda Sudinna masuk ke dalam rumah sendiri?”
“Telah kami datangi, Kepala Rumah Tangga, rumah Anda.
Inilah bubur barli semalamnya.”
“Cukup, Kepala Rumah Tangga, saya telah usai makan hari ini.” “Besok,
Anakda Sudinna, terimalah makanan (dari saya).” Sudinna Yang Mulia
menyatakan persetujuannya dengan berdiam diri. Kemudian Sudinna Yang Mulia
bangkit dari tempat duduknya dan beranjak pergi.
Sementara itu, dengan berlalunya malam hari, ibu Sudinna Yang Mulia
menyuruh orang melumuri lantai dengan kotoran sapi segar, menyuruh orang
membuat dua onggokan: satu onggokan emas kepingan, satu lagi onggokan emas
lantakan. Sedemikian besarnya onggokan itu sehingga orang yang berdiri di sini
tak dapat melihat orang yang berdiri di sisi seberang; orang yang berdiri di sisi
seberang tak dapat melihat orang yang berdiri di sisi ini.
“Ya, Nyonya,” sahut mantan istri Sudinna Yang Mulia. Arkian pada pagi
hari, setelah mengenakan jubah, sambil membawa serta patta dan jubah (luar),
Sudinna Yang Mulia mendatangi kediaman ayahnya. Setelah itu duduk di kursi
yang telah disediakan. Sementara itu ayah Sudinna Yang Mulia datang
menghampiri Sudinna Yang Mulia, menyingkap onggokan-onggokan itu, kepada
Sudinna Yang Mulia, ia berujar, “Inilah, Anakda Sudinna, harta ibunda Anda,
mahar seorang istri, yang diperuntukkan bagi seorang wanita; lainnya milik ayah,
milik kakek. Bisa saja Anakda Sudinna kembali ke kehidupan yang rendah lalu
menikmati harta kekayaan dan melakukan jasa-jasa kebajikan. Datanglah Anakda
Sudinna, kembalilah ke kehidupan nan rendah, menikmati harta kekayaan sambil
melakukan jasa-jasa kebajikan.” [16]
“Tak sanggup kulakukan itu, Ayahanda, tak kuasa kulakukan itu. Saya
merasa betah menjalani kehidupan suci.”
“Kami mau memberi saran, Kepala Rumah Tangga, apabila itu tidak
menyinggung perasaan Anda.” “Katakanlah, Anakda Sudinna.” “Baiklah kalau
begitu, Anda, Kepala Rumah Tangga, suruhlah orang membuat karung rami yang
besar-besar, penuhilah dengan emas kepingan dan emas lantakan itu. Setelah
diangkut dengan kereta, hanyutkanlah di tengah-tengah arus sungai Gangga. Apa
sebabnya? Lantaran merekalah, Kepala Rumah Tangga, Anda menjadi ketakutan,
gentar tak berdaya, merasa seram berjaga-jaga. Anda takkan begitu setelah
melakukan ini.”
Lalu sambil memegangi Kaki Sudinna Yang Mulia, mantan istri Sudinna
Yang Mulia berkata, “Seperti apakah bidadari-bidadari itu, Putra Tuanku, sampai
membuat Anda menjalani kehidupan suci?”
Sahut mantan istri Sudinna Yang Mulia, “Oh, Sudinna Putra Tuanku sudah
mulai memanggil saya ‘Saudari.’” Ia jatuh pingsan di tempat itu juga. Kepada
sang ayah, Sudinna Yang Mulia berucap, “Apabila Kepala Rumah Tangga ingin
berderma makanan, berikanlah; jangan mengganggu kami lagi.” “Makanlah,
Anakda Sudinna.” Lantas ibu dan ayah Sudinna Yang Mulia turun tangan sendiri
melayani dan memuaskannya dengan makanan pendamping dan makanan utama
nan mewah.
Lalu kepada Sudinna Yang Mulia yang telah usai makan dan
menyingkirkan tangannya dari patta, ibunya berkata, “Keluarga ini, Anakda
Sudinna, hidup makmur, kaya raya, berharta melimpah, memiliki banyak emas
dan perak, banyak milik jamak sarana, berlimpah dalam kekayaan dan panenan.
Bisa saja Anakda Sudinna kembali ke kehidupan yang rendah lalu menikmati
harta kekayaan dan melakukan jasa-jasa kebajikan. Datanglah Anakda Sudinna,
kembalilah ke kehidupan nan rendah, menikmati harta kekayaan sambil
melakukan jasa-jasa kebajikan.”
“Tak sanggup kulakukan itu, Ibunda, tak [17] kuasa kulakukan itu. Saya
merasa betah menjalani kehidupan suci.”
Untuk kedua kalinya …. Untuk ketiga kalinya, kepada Sudinna Yang
Mulia, ibunya berujar, “Keluarga ini, Anakda Sudinna, hidup makmur, kaya raya,
berharta melimpah, memiliki banyak emas dan perak, banyak milik jamak sarana,
berlimpah dalam kekayaan dan panenan. Karena itu, Anakda Sudinna, berilah
keturunan, jangan sampai kaum Licchawi merenggut harta kekayaan kita karena
ketiadaan putra pewaris.”
“Ini, Ibu, dapat kulakukan.” “Sekarang, Anakda Sudinna, di mana Anda
tinggal?”
“Di Mahawana, Bu.” Lalu Sudinna Yang Mulia bangkit dari tempat
duduknya dan beranjak pergi. ||8||
Sementara itu ibu Sudinna Yang Mulia berkata kepada mantan istri
Sudinna Yang Mulia, “Kalau begitu, Menantu, apabila Anda datang bulan,
muncul darah menstruasi, maka kabarilah saya.” “Ya, Nyonya,” kepada ibu
Sudinna Yang Mulia, mantan istri Sudinna Yang Mulia menyahut.
Tak lama kemudian mantan istri Sudinna Yang Mulia datang bulan,
muncul darah menstruasi. Lalu mantan istri Sudinna Yang Mulia berkata kepada
ibu Sudinna Yang Mulia, “Saya datang bulan, Nyonya, pada diriku muncul darah
menstruasi.” “Kalau begitu, Menantu, berhiaslah dengan hiasan sehingga terhadap
Anakda Sudinna Anda (tampak) menyenangkan dan menawan hati, berdandanlah
dengan dandanan.” “Ya, Nyonya,” kepada ibu Sudinna Yang Mulia, mantan istri
Sudinna Yang Mulia menyahut.
Lantas ibu Sudinna Yang Mulia bersama-sama mantan istri Sudinna Yang
Mulia mendatangi Sudinna Yang Mulia di Mahawana dan berkata kepadanya,
“Keluarga ini, Anakda Sudinna, hidup makmur, kaya raya, berharta melimpah,
memiliki banyak emas dan perak, banyak milik jamak sarana, berlimpah dalam
kekayaan dan
panenan. Karena itu, Anakda Sudinna, berilah keturunan, jangan sampai
kaum Licchawi merenggut harta kekayaan kita karena ketiadaan putra pewaris.”
“Tidak, Awuso, saya bukan sudah jenuh menjalani kehidupan suci. Saya
telah melakukan perbuatan nista dengan berhubungan seks bersama mantan istri
saya. Oleh karena itu, Awuso, saya diliputi kecemasan … kehidupan suci nan
utuh dan murni sepanjang hidup.”
“Pantas bagi Anda, Awuso Sudinna, untuk merasa cemas. Pantas bagi
Anda untuk merasa menyesal. Di bawah Dhammawinaya yang telah sempurna
dibabarkan, Anda telah meninggalkan kehidupan berumah tangga. Namun Anda
tak sanggup menjalani kehidupan suci nan utuh dan murni sepanjang hidup.
Bukankah, Awuso, oleh Sang Bhagawan dengan berbagai cara telah dipaparkan
Dhamma untuk peniadaan nafsu bukan untuk bernafsu, telah dipaparkan Dhamma
untuk peniadaan belenggu bukan untuk terbelenggu, telah dipaparkan Dhamma
untuk peniadaan kemelekatan bukan untuk melekat? Tetapi Awuso, di sana
sementara oleh Sang Bhagawan diajarkan Dhamma untuk peniadaan nafsu, Anda
malah memikirkan nafsu; sementara diajarkan Dhamma untuk peniadaan
belenggu, [19] Anda malah memikirkan keterbelengguan; sementara diajarkan
Dhamma untuk peniadaan kemelekatan, Anda malah memikirkan kemelekatan.
Bukankah, Awuso, oleh Sang Bhagawan dengan berbagai cara telah dipaparkan
Dhamma demi memudarnya nafsu, telah dipaparkan Dhamma demi pengikisan
keangkuhan, pengenyahan kehausan, penyingkiran kemelengketan, pemutusan
siklus kelahiran kembali, pengakhiran haus-damba, peniadaan nafsu, demi
penghentian, demi kepadaman (nibbāna)? Bukankah, Awuso, oleh Sang
Bhagawan dengan berbagai cara telah dikemukakan penanggalan kesenangan
indriawi, telah dikemukakan pemahaman kesan-kesan kesenangan indriawi, telah
dikemukakan penanggulangan dambaan kesenangan indriawi, telah dikemukakan
penyingkiran kecondongan batin terhadap kesenangan indriawi, telah
dikemukakan peredaan kobaran api kesenangan indriawi? Ini, Awuso, tidak baik
bagi mereka yang tidak yakin pun tidak baik untuk melipatgandakan mereka yang
sudah yakin. Sebaliknya, Awuso, ini membuat mereka yang tidak yakin semakin
tidak yakin dan membuat mereka yang sudah yakin beralih ke yang lain.” ||10||
Parajika pertama atau larangan kedua bagi para bhikkhu adalah larangan
untuk Larangan terhadap hubungan seksual. Buddha mengatakan bahwa Bhikkhu
siapa saja yang melakukan percabulan, maka ia sudah takluk (pārājika), tak lagi
sepersekutuan.”
Lalu dalam kesempatan lainnya, Buddha juga mengatakan bahwa
“Bhikkhu siapa saja yang melakukan percabulan, sekalipun dengan seekor hewan
betina, maka ia sudah takluk (pārājika), tak lagi sepersekutuan.”
Bhikkhu siapa saja—yang telah bergabung dalam latihan dan jalan hidup
para bhikkhu, tanpa melepaskan latihannya, tanpa memaklumkan
ketidaksanggupannya—melakukan percabulan, sekalipun dengan seekor hewan
betina, maka ia sudah takluk, tak lagi sepersekutuan Pelanggaran terhadap
peraturan ini menyebabkan seorang bhikkhu dikeluarkan dari anggota Sangha.
Sang Buddha mengucapkan bahwa peraturan latihan diperuntukkan bagi bhikkhu
adalah karena sepuluh alasan, yaitu demi kebaikan Sangha, demi kenyamanan
Sangha, demi pengekangan individu-individu berpikiran jahat, demi ketentraman
bhikkhu yang berperilaku baik, demi pengendalian bathin dalam kelahiran ini
juga, demi penanggulangan leleran batin dalam kelahiran yang akan datang, demi
keyakinan mereka yang tidak yakin, untuk melipatgandakan mereka yang yakin,
untuk melestarikan Dhamma nan sejati, untuk menjaga tata laku para bhikkhu.