Anda di halaman 1dari 23

ETIKA HUKUM DAN KESEHATAN

JUAL BELI ORGAN

Disusun oleh:

KELOMPOK 4

1. Arisa Mesti
2. Evi Artha Ulina Ritonga
3. Nida Hanif Afifah
4. Nur Karimah
5. Sri Nurlita
6. Sentioradja

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIkes)


KHARISMA PERSADA
JL. Padjajaran – Pamulang Barat, Tangeran Selatan, Banten
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadiran ALLAH.SWT. yang Maha Esa karena Rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayat-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Etika Hukum Kesehatan ini tentang
HUKUM JUAL BELI ORGAN, kami sangat berharap Makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita dan kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam Makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan Makalah yang kami buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah ini dapat di pahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa
depan.

Tangerang Selatan, Mei 2020


DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3

BAB I..........................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................................4

1.1 Latar belakang.................................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................................5

1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................................5

BAB II........................................................................................................................................................6

PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6

2.1 Hukum jual beli organ tubuh.........................................................................................................6

2.2 Donor organ yang diperbolehkan...................................................................................................8

2.3 Hukum jual ginjal dan organ lain di dalam tubuh manusia......................................................11

2.4 Sejarah Transplantasi Organ Tubuh..........................................................................................13

BAB III.....................................................................................................................................................21

PENUTUP................................................................................................................................................21

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................................21

3.2 Saran..............................................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Di era modern nan serba canggih ini, banyak sekali orang yang ngawur di dalam mencari
rejeki. Ada yang mencuri mayat-mayat bayi, kemudian dijual. Ada yang melalui prostitusi
dengan menggunakan pekerja sek komersial (PSK). Ada juga yang sengaja menjual gadis-
gadis muda kepada lelaki hidung belang. Ada juga yang menjual organ tubuhnya, demi
kebutuhan dapurnya. Inilah puncak dari “capitaslisme”. Orang akan menghalalkan segala
cara untuk memperkaya diri, walaupun harus menari-nari di atas penderitaan orang lain.

Terkait dengan manusia. Allah SWT sangat memulyakan , banyak ayat dan hadis yang
mengisaratkan bawah manusia itu makhluk yang paling mulia. Benih manusia (sperma)-pun
sangat dimuliakan. Oleh karena itu, Nabi SAW mewanti-wanti agar jangan membuang
sperma sembarangan. Apalagi, ketika sudah menjadi wujud manusia. islam mengajarkan agar
mengubur manusia dengan baik. Ini juga menjadi bukti, betapa mulia manusia itu, baik
dalam keadaan hidup maupun telah meninggal dunia.

Masih membincangkan manusia. merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi orang


jika mampu memberikan sebagian dari apa yang dimilikinya (rejeki). Hampir semua agama
dan keyakinan mengajarkan berbuat baik kepada orang lain. islam dengan lantang mengajak
para pengikutnya agar supaya gemar bersedekah (berbagi). Dalam sebuah hadis, Nabi SAW
menjelaskan bahwa sedekah itu bisa menambah dan membuka pintu rejeki dan menambah
usia. Yusuf Mansyur secara terang-terangan mengajak umat islam agar supaya tidak ragu-
ragu didalam urusan sedekah. Sebab, bersedekah satu (rupiah), tuhan akan melipatgandakan
menjadi sepuluh kebaikan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum jual beli organ tubuh ?
2. Bagimana donor organ yang diperbolehkan ?
3. Bagaimana hukum jual ginjal dan organ lainnya ?
4. Etika dalam jual beli kasus transplantasi organ ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui Bagaimana hukum jual beli organ tubuh
2. Untuk mengetahui Bagimana donor organ yang diperbolehkan
3. Untuk mengetahui Bagaimana hukum jual ginjal dan organ lainnya
4. Untuk mengetahui Etika dalam jual beli kasus transplantasi organ
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hukum jual beli organ tubuh

Tindakan jual beli organ tubuh kembali mengemuka. Orang-orang rela menjual organ
tubuhnya kepada sindikat karena mendapat iming-iming uang yang tidak sedikit. Secara hukum
positif, praktik jual beli organ tubuh dilarang. Tindakan ini bisa mendapatkan ancaman pidana.
Lalu bagaimana hukum Islam memandangnya? Anggota Dewan Fatwa Al Washliyah, KH Ovied
R berpendapat, sesuai dengan ijma ulama praktik jual beli organ tubuh dikategorikan haram.
Tindakan menjual organ tubuh adalah tindakan batil dengan alasan donor anggota tubuh
hukumnya haram.
Landasannya terdapat dalam Alquran surah al-Maidah ayat 32. "Barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-
rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi."
Haramnya jual tubuh organ tubuh juga dikarenakan praktik donor organ tubuh masih
terdapat silang pendapat. Ada yang mutlak mengharamkannya. Sementara yang
memperbolehkan berpendapat donor harus bersifat kemanusiaan. Artinya jika praktik pemberian
organ tubuh itu disertai transaksi jual beli, maka jatuhnya menjadi haram. Menurut Kiai Ovied,
sebahagian ulama yang mengharamkan donor organ tubuh beralasan karena organ tubuh manusia
tidak boleh diubah-ubah dari tempatnya.  Mengubah bentuk manusia sama dengan menyakiti
manusia itu sendiri atau mengubah ciptaan Allah baik manusia masih hidup maupun sudah mati.
Namun sebahagian ulama ada yang membolehkan donor organ tubuh. Mereka beralasan
untuk kepentingan dan kemaslahatan yang lebih besar seperti donor mata dan ginjal yang
diambil dari orang yang telah mati agar dapat digunakan untuk orang yang masih hidup sehingga
manfaatnya dan kemaslahatannya lebih besar. 
Berdasarkan kaidah fikih yang menyebutkan, Idza Ta'aradhat Al Mashalih Bada'a
Biahammiha (Apabila bertentangan sebuah kemaslahatan, maka diutamakanlah kemaslahatan
yang lebih besar). Dari kaidah ini disebutkan donor itu merupakan tindakan pertolongan dalam
kebaikan dan membawa kemaslahatan yang lebih besar. Namun ada beberapa persyaratan cukup
ketat dalam donor jenis ini. Pertama harus sesuai dengan syari'ah agama artinya donor organ
tubuh tidak dilakukan dengan cara-cara yang zalim, pencurian, kecurangan, atau jalan yang batil.
Kedua, tidak dibenarkan dan hukumya haram menjual organ tubuh dengan alasan donor karena
miskin atau ingin mencari keuntungan finansial. Selanjutnya, harus sesuai menurut undang-
undang kesehatan dan kedokteran terhadap donor organ tubuh manusia atau donor darah. Lalu
harus ada izin orang yang ingin mendonorkan atau izin ahli warisnya, tidak ada paksaan bagi
yang ingin mendonorkan, semata-mata untuk kemaslahatan yang dibenarkan oleh
syar'i.Kemudian, tidak menyebabkan kemudratan yang lebih besar bagi yang mendonorkan.
Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam kumpulan fatwanya juga berpendapat hampir
sama. Meski jawaban yang diberikan khusus donor mata, namun bisa diqiyaskan dengan donor
organ tubuh secara umum. Soal donor organ tubuh diperbolehkan asalkan pendonor melakukan
dengan niat kemanusiaan. Tidak boleh karena motivasi komersil. Sehingga harus ikhlas karena
Allah.Si penerima donor pun harus dipastikan bahwa setelah mengalami penyembuhan benar-
benar berkecenderungan untuk menyempurnyakan pengabdiannya kepada Allah SWT.
Bagi pendonor yang memiliki ahli waris izin ahli waris sangat diperlukan. Setidaknya
tidak ada ahli waris yang merasa keberatan. Kecuali si pendonor berwasiat semasa hidup akan
mendonorkan organ tubuhnya di hadapan ahli waris, maka donor jenis ini tidak masalah. Hal ini
juga sejalan dengan fatwa MUI tentang donor kornea mata. Seseorang yang semasa hidupnya
berwasita akan menghidupkan kornea matanya sesudah wafat dengan diketahui ahli waris, wasiat
itu dapat dilaksanakan. Melihat berbagai pendapat tadi, maka dapat disimpulkan jika praktik jual
beli organ tubuh tidak dapat dibenarkan secara agama. Yang diperbolehkan hanya donor organ
tubuh dengan niat membantu bukan komersil. Selain itu juga harus memenuhi beberapa
persyaratan agar donor organ tubuh bisa dilaksanakan. Allahua'lam.
FENOMENA jual beli organ tubuh manusia sudah lama mencuat kepermukaan, dan ini
sudah banyak terjadi di setiap negara bahkan di Indonesia. Berbagai sebab musabab terjadinya
penjualan organ tubuh di antaranya, karena kemiskinan, karena ingin menolong sesama, karena
bisnis tindak kejahatan seperti penjualan orang yang bertujuan untuk dibunuh (dimatikan) lalu
organ tubuhnya akan digunakan untuk keperluan medis, karena pencurian seperti pihak rumah
sakit menjual tubuh orang yang telah mati disebabkan keluarganya tidak ada seperti orang gila
yang sudah ditelantarkan keluarganya atau orang yang mati tidak ada keluarga yang bertanggung
jawab mengurusnya. Adapun kandungan tubuh manusia yang biasa dijual atau didonorkan
seperti: Ginjal, mata, jantung, darah, kulit, daging, otak, dll
Sekitar tahun 2011 pernah terjadi penangkapan terhadap warga China di bandara Internasional
Prancis, kedapatan membawa kapsul fitamin, dimana kandungan kapsul fitamin setelah diuji di
labolaturium ternyata bahan kapsul fitamin tersubut terbuat dari bahan baku daging bayi
manusia. Bahkan daging manusia atau ari-ari dan ketuban manusia diberbagai negara sudah
menjadikannya sebagai bahan baku kosmetika untuk alat kecantikan wanita. Fenomena di atas
sudah menggurita terdapat diberbagai negara.
Ijmak ulama, bahwa tindakan-tindakan seperti di atas menjual organ tubuh secara batil dengan
alasan donor mutlak hukumnya “Haram” dalam Islam. Sebagaimana di dalam Alqur’an
disebutkan QS. Almaidah [5] :32 : ” Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-
sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. ”

2.2 Donor organ yang diperbolehkan

Mendonorkan organ tubuh atau mendonorkan bahagian kandungan yang terdapat di


dalam tubuh manusia untuk kemaslahatan orang lain seperti donor darah, donor mata, donor
ginjal, dll terdapat perbedaan di kalangan ulama. Untuk donor darah sepakat mayoritas para
ulama hukumnya “Halal” yaitu membolehkannya selagi disana tidak ada unsur-unsur merusak
menurut ahli medis kedokteran, kebatilan dan kezaliman seperti masyarakat digalakkan untuk
donor darah oleh lembaga tertentu tetapi hasil donor darah tersebut dibisniskan atau dijual untuk
mencari keuntungan yang berlebihan kepada orang yang membutuhkannya. Atau donor darah
yang diambil dengan cara paksa tanpa ada izin yang bersangkutan, maka ini tidak dibenarkan.
Sedangkan donor untuk organ tubuh para ulama berbeda pendapat. Sebahagian ulama
mengharamkannya karena organ tubuh manusia tidak boleh diubah-ubah dari tempatnya, karena
jika merobah bentuk manusia sama dengan menyakiti manusia itu sendiri atau mengubah ciptaan
Allah sama ada manusia itu masih hidup ataupun sudah mati.

Namun sebahagian ulama ada yang membolehkannya. Mereka beralasan untuk


kepentingan dan kemaslahatan yang lebih besar seperti donor mata dan ginjal yang diambil dari
orang yang telah mati agar dapat digunakan untuk orang yang masih hidup sehingga manfaatnya
dan kemaslahatannya lebih besar. Alqur’an menyebutkan di dalam QS. Alimran [3] :92 : “Lan
Tanalul Birra Hatta Tunfiqu Mimma Tuhibbun ; kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan harta apa yang kamu cintai”, dan QS. Almaidah
[5] : 2 : “Wata’a Wanu ‘Alalbirri ; Dan bertolong-toonganlah kamu dalam kebaikan”.
Sebagaimana kaidah Fikih menyebutkan : “Idza Ta’aradhat Al Mashalih Bada’a Biahammiha ;
Apabila bertentangan sebuah kemaslahatan, maka diutamakanlah kemaslahatan yang lebih
besar”. Kaidah lain juga menyebutkan : “Idza Ta’aradhat Al Mashlahah wal Mafsadah Quddima
Arjahu-huma ; Apabila ada bertentangan antara kemaslahatan dan kerusakan, maka
dahulukanlah yang lebih baik dari keduanya”.

Dari ayat-ayat Alqur’an dan kaidah Fikih di atas disimpulkan bahwa donor itu merupakan
tindakan pertolongan dalam kebaikan dan membawa kemaslahatan yang lebih besar. Maka
pendapat inilah yang lebih masyhur dipakai oleh mayoritas umat Islam diseluruh dunia. Dengan
ketentuan syarat bagi pendonor organ tubuh atau donor darah diantaranya sebagai berikut :

1. Harus sesuai dengan syari’ah Agama artinya donor organ tubuh/donor darah tidak dilakukan
dengan cara-cara yang zalim, pencurian, kecurangan, kebatilan dan memudratkan.
2. Tidak dibenarkan dan hukumya “Haram” menjual organ tubuh dengan alasan donor karena
miskin atau ingin mencari keuntungan finansial. Ini banyak terjadi dinegara-negara
berkembang karena tuntutan ekonomi mereka menjual organ tubuhnya seperti ginjal. Bahkan
lebih naif lagi di Indonesia ada masyarakat menjual ginjalnya karena ingin mebeli HP
Blackbarry.
3. Harus sesuai menurut undang-undang kesehatan dan kedokteran terhadap donor organ tubuh
manusia atau donor darah.
4. Harus ada izin orang yang ingin mendonorkan atau izin ahli warisnya, tidak ada paksaan bagi
yang ingin mendonorkan, semata-mata untuk kemaslahatan yang dibenarkan oleh syar’i.
5. Tidak menyebabkan kemudratan yang lebih besar bagi yang mendonorkan.
6. Pemerintah atau lembaga yang berkompeten “Wajib” membuat aturan undang-undang yang
permanen sebagai payung hukum untuk memberikan konpensasi berupa uang atau harta
kepada pendonor atau kepada ahli waris pendonor yang sesuai dan seadil-adilnya, sama ada
yang mendonorkan tersebut ikhlas (tanpa pamrih) ataupun tidak. Meskipun Pendonor tidak
mau dibayar, pemerintah tetap wajib memberikan konpensasi yang sesuai dan seadil-adilnya
kepada yang bersangkutan atau kepada ahli warisnya. Terkecuali yang mendonorkan organ
tubuhnya kepada ahli warisnya sendiri, maka ini tidak wajib diberi konpensasi. Cara seperti
ini yang lebih disepakati oleh para ulama.

Adapun yang terjadi di Indonesia untuk syarat poin 6 (tentang konpensasi) di atas belum
terealisasi dengan baik dan bijak, maka ini belum dapat dibenarkan kehalalannya. Kita tidak
boleh menjebak dan menggalakkan donor organ tubuh kepada masyarakat seperti donor mata,
ginjal atau darah jika payung hukum dan syarat di atas tidak terpenuhi. Yang perlu kita
renungkan bersama bahwa ada seorang pendiri yayasan donor organ tubuh begitu gesit
menggalakkan misi-misi manfaat kemaslahatan untuk donor organ tubuh seperti donor mata,
ginjal, dll. Tetapi ketika dia sudah mau meninggal dunia, malah yang bersangkutan sendiri atau
ahli warisnya tidak mau mendonorkan organ tubuhnya. Artinya kenapa kita menggalakkan orang
lain untuk mendonorkan organ tubuhnya, tetapi malah kita sendiri enggan ikut berpartisipasi
untuk mendonorkan apa yang kita miliki. Oleh karena itulah bahwa kemuliaan donor organ
tubuh untuk kemaslahatan orang lain harus dimuliakan juga dengan payung hukum yang ‘arif,
bijak dan seadil-adilnya. Wallahua’lam.

2.3 Hukum jual ginjal dan organ lain di dalam tubuh manusia

Perihal jual organ tubuh manusia ini, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat
di kalangan ulama perihal kasus ini didasarkan pada cara pandang mereka melihat sejauh mana
tingkat maslahat dan mafsadat dari jual-beli organ tubuh manusia dan seberapa vital organ yang
diperjualbelikan.
Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri secara jelas mengharamkan jual-beli organ tubuh
manusia. Menurutnya, menjual organ tubuh dapat merusak fisik manusia. Berikut ini kutipannya.
Artinya, “Hukum menjual organ tubuh manusia: tidak boleh menjual organ atau salah satu
anggota tubuh manusia baik selagi hidup maupun setelah wafat. Bila tidak ada unsur terpaksa
kecuali dengan harga tertentu, ia boleh menyerahkannya dalam keadaan darurat. Tetapi ia
diharamkan menerima uangnya. Jika seseorang menghibahkan organ tubuhnya setelah ia wafat
karena suatu kepentingan mendesak, dan ia menerima sebuah imbalan atas hibahnya itu saat ia
hidup, ia boleh menerima imbalannya. Seseorang tidak boleh menjual atau menghibahkan organ
tubuhnya selagi ia hidup kepada orang lain. Karena praktik itu dapat merusak tubuhnya dan
dapat melalaikannya dari kewajiban-kewajiban agamanya. Seseorang tidak boleh
mendayagunakan (menjual, menghibah, dan akad lainnya) milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya.”
Dalam membahas masalah ini, kita bisa menyimak uraian Syekh Wahbah Zuhaili perihal
ketentuan barang yang sah dijual menurut syara’ (agama). Menurut Az-Zuhaili, produk yang sah
dijual harus berupa harta, dapat dimiliki, dan bernilai.
Artinya, “Syarat sah produk yang dijual adalah barang yang boleh sesuai syariat. Barang yang
menjadi tempat akad disyaratkan bisa menerima jual-beli secara hukum syara’. Sesuai
kesepakatan ulama, produk yang dijual itu harus berupa harta, bisa dimiliki, dan bernilai. Kalau
syarat produk itu tidak terpenuhi, akad terhadap barang itu batal (tidak sah). Menjual,
menghibahkan, menggadaikan, mewakafkan, atau mewasiatkan produk bukan harta seperti
bangkai dan darah, batal (tidak sah). Karena barang bukan harta pada dasarnya tidak menerima
status kepemilikan. Berbeda dengan Imam Hanafi dan Imam Malik, ulama madzhab Syafi’i dan
madzhab Hanbali membolehkan akad-jual beli air susu perempuan untuk suatu kepentingan dan
sebuah manfaat. Sementara ulama madzhab Hanbali membolehkan akad jual-beli organ tubuh
manusia seperti bola mata atau potongan kulit bilamana dimanfaatkan untuk menambal tubuh
orang lain sebagai kepentingan mendesak menghidupkan orang lain. Atas dasar ini, menjual
darah untuk kepentingan operasi bedah seperti sekarang ini dibolehkan,” (Lihat Wahbah Az-
Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, juz 10, Darul Fikr, Beirut).
Syekh Wahbah Az-Zuhaili lebih lanjut memberikan batasan kategori harta. Dengan kategori
ini, kita memiliki batasan yang jelas terkait produk yang boleh dijual.

Artinya, “Produk yang dijual harus berupa harta dan bernilai. Menurut Madzhab Hanafi
sebagaimana kita ketahui, harta adalah sesuatu yang disenangi secara alamiah dan bisa disimpan
untuk suatu saat diperlukan. Dengan ungkapan lain, harta adalah sesuatu yang bisa dimiliki dan
diambil manfaatnya oleh seseorang pada lazimnya. Menurut pendapat yang lebih ashah, harta
adalah setiap benda yang bernilai dan berupa material dalam pandangan manusia. Benda bernilai
adalah sesuatu yang boleh disimpan menurut syara’. Dengan kata lain, harta bisa dipahami
sebagai sesuatu yang harus dipelihara dan bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu secara bebas.
Karenanya, transaksi jual-beli barang bukan harta seperti manusia merdeka, bangkai, dan darah,
tidak boleh... demikian juga menjual semua benda-benda itu (yang bukan kategori harta) tidak
boleh karena dapat membawa mafsadat,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuh, juz 4, halaman 357-358, Darul Fikr, Beirut).

Meskipun membolehkan jual-beli organ tubuh, sebagian madzhab Syafi’i tetap tidak bisa
menerima jual-beli ginjal. Pasalnya produk dijual hanya satu dari dua bagian ginjal. Sedangkan
transaksi jual-beli separuh produk yang dapat mengurangi nilai barang itu sendiri, tidak sah.

Artinya, “Tidak sah menjual separuh dari suatu benda tertentu seperti wadah, pedang, dan selain
keduanya. Katakan menjual potongan baju mahal. Harganya yang mahal menjadi merosot
lantaran berupa potongan. Karenanya menjual sebagian benda tertentu tidak sah karena kurang
syarat dalam hal penyerahannya secara utuh menurut syara’ (agama). Penyerahan suatu produk
dalam kasus ini hanya mungkin dengan mematahkan atau memotongnya yang menjadi
kekurangan dan penyia-nyiaan harta. Dan Itu haram,” (Lihat Al-Khatib As-Syarbini, Mughnil
Muhtaj fi Ma'rifati Ma'anil Minhaj, juz 2, halaman 19, Darul Ma’rifah, Beirut).

Tetapi sebagian madhzab Syafi’i mengharamkan secara mutlak jual-beli organ tubuh
manusia bahkan rambut sekali pun. Demikian pendapat guru kami Rais Syuriyah PBNU periode
1994-1999 KHM Syafi’i Hadzami berikut ini yang mengutip Asnal Mathalib karya Syekh Abu
Zakariya Al-Anshori.
Menurut guru kami, “Menjual adalah termasuk salah satu daripada wujuhul intifa’, artinya jalan-
jalan memanfaatkan. Sedang memanfaatkan segala juzu’-juzu’ anak Adam adalah diharamkan
karena firman Allah SWT, ‘Wa laqad karramnâ banî âdama’, dan telah
kami takrimkan (permuliakan) akan anak-anak Adam,” (Lihat KHM Syafi’i Hadzami, Taudhihul
Adillah [100 Masalah Agama], juz III, halaman 284-285, Menara Kudus, 1982).
Dari berbagai keterangan di atas, penulis lebih setuju pada pendapat ulama yang mengharamkan
jual beli ginjal. Kalau pun pemerintah memperbolehkan donor ginjal, regulasi yang mengatur ini
harus betul-betul ketat dan mengikat. Pasalnya ginjal merupakan organ yang sangat vital dalam
tubuh manusia. Menurun dan berkurangnya fungsi ginjal karena dijual salah satu bagiannya
menimbulkan berbagai mudharat luar biasa secara medis.
Di samping itu, pengharaman terhadap jual-beli ginjal dapat mengantisipasi potensi kapitalisasi
yang bisa saja melibatkan mafia-mafia di kalangan medis sendiri atau orang tua. Pada lain sisi,
kita tidak mengharapkan perampasan ginjal orang-orang jalanan yang diculik atau diiming-
imingi oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari transaksi jual-beli ginjal.
Sementara orang-orang jalanan tidak memiliki jaminan perlindungan hukum yang memadai di
Indonesia. Dan ini sangat rawan sekali.
2.4 Sejarah Transplantasi Organ Tubuh

Tahun 600 SM di India, susruta telah melakukan transplantasi kulit. Sementara jaman 
Renaissance, seorang ahli bedah dari Italia bernama Gaspare Tagliacozzi juga telah melakukan
hal  yang sama. Diduga  John Hunter (1728-1793) adalah pioneer bedah eksperimental, 
termasuk bedah transplantasi.  Dia  mampu membuat kriteria  teknik bedah untuk menghasilkan
suatu jaringan transpalntasi yang tumbuh di  tempat baru. Akan tetapi sistem golongan darah dan
sistem histokompatibilitas yang erat hubungannya dengan reaksi terhadap transplantasi belum
ditemukan. Pada abad ke-20 wiener dan landsteiner menyokong  perkembangan transplantasi
dengan menemukan golongan darah sistem ABO dan system Rhesus. Saat ini perkembangan
ilmu kekebalan tubuh makin berperan  dalam keberhasilan tindakan  transplantasi.
Perkembangan teknologi kedokteran terus meningkat  searah dengan perkembangan teknik
transplantasi. Ilmu  transplantasi modern makin berkembang dengan ditemukannnya metode-
metode pencangkokan, seperti :

1) Pencangkokkan  arteria mammaria interna didalam operasi lintas koroner oleh Dr. George
E.Green.
2) Pencangkokkan jantung, dari jantung kera kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernhard,
walaupun resepiennya kemudian meninggal dalam waktu 18 hari.
3) Pencangkokkan sel-sel substansia nigra dari bayi  yang  meninggal ke penderita parkinson
oleh Dr. Andreas Bjornklund.
1. PENGERTIAN TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH
Transplantasi organ adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu
tempat ketempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan
kondisi  tertentu. Tujuan utama transplantasi organ adalah mengurangi penderitaan dan
meningkatkan kualitas hidup pasien. Transplantasi  ditinjau dari sudut si penerima dapat
dibedakan menjadi :
1) Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh
orang itu sendiri.
2) Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatau jaringan atau organ dari  tubuh seseorang ke 
tubuh  orang lain.
3) Heterotransplantasi,  yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari  suatu spesies ke tubuh
spesies lainnya.

2. JENIS-JENIS TRANSPLANTASI
Hingga waktu ini telah dikenal beberapa jenis transplantasi atau pencangkokan, baik berupa
sel, jaringan maupun organ tubuh yaitu sebagai berikut :
1) Autograft, yaitu pemindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh itu sendiri.
2) Allograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang sama spesiesnya.
3) Isograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang identik, misalnya pada
kembar identik.
4) Xenograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh yang lain yang tidak sama ke
spesiesnya.
Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup
atau dari jenazah orang yang baru meninggal (untuk keperluan ini, definisi meninggal
adalah mati batang otak). Organ atau jaringan yang dapat diambil dari donor hidup adalah
kulit, ginjal, sumsum tulang dan darah (transfusi darah). Organ/ jaringan yang diambil dari
jenazah adalah jantung, hati, ginjal, kornea, pankreas, paru-paru dan sel otak. Dalam dua
dasawarsa terakhir ini telah pula dikembangkan teknik transplantasi seperti transplantasi
arteria mamaria interna dalam operasi lintas koroner oleh George E. Green, dan
transplantasi sel-sel substansi nigra dari bayi yang meninggal kepada pasien penyakit
Pakinson. Semua upaya dalam bidang transplantasi tubuh, jaringan dan sel manusia itu
tentu memerlukan dari sudut hukum dan etik kedokteran.
3. MASALAH ETIK DAN MORAL DALAM TRANPLANTASI ORGAN
Beberapa pihak yang ikut terlibat dalam usaha transplantasi adalah donor hidup, jenazah dan
donor mati, keluarga dan ahli waris, resepien, dokter dan pelaksana lain, dan masyarakat.
Hubungan pihak-pihak itu dengan masalah etik dan moral dalam transplantasi akan
dibicarakan dalam uraian dibawah ini :
1) Donor Hidup.
Adalah orang yang memberikan jaringan atau organnya kepada orang lain (resepien).
Sebelum memutuskan untuk menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti
resiko yang dihadapi, baik resiko di bidang medis, pembedahan, maupun resiko untuk
kehidupannya lebih lanjut sebagai kekurangan jaringan atau organ yang telah
dipindahkan. Disamping itu, untuk menjadi donor, sesorang tidak boleh mengalami
tekanan psikologis. Hubungan psikis dan emosi harus sudah dipikirkan oleh donor hidup
tersebut untuk mencegah timbulnya masalah.
2) Jenazah dan donor mati.
Adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau berniat dengan sungguh-
sungguh untuk memberikan jaringan atau organ tubuhnya kepada yang memerlukan
apabila ia telah meninggal kapan seorang donor itu dapat dikatakan meninggal secara
wajar, dan apabila sebelum meninggal, donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan
dari dokter yang merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga
donor atau pihak lain bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya
mempercepat kematian seseorang hanya untuk mengejar organ yang akan
ditransplantasikan.
3) Keluarga donor dan ahli waris.
Kesepakatan keluarga donor dan resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling
pengertian dan menghindari konflik semaksimal mungkin atau pun tekanan psikis dan
emosi di kemudian hari. Dari keluarga resepien sebenarnya hanya dituntut suatu
penghargaan kepada donor dan keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila
dibuat suatu ketentuan untuk mencegah tinmulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.
4) Resipien.
Adalah orang yang menerima jaringan atau organ orang lain. Pada dasarnya, seorang
penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat memperpanjang
hidup atau meringankan penderitaannya. Seorang resepien harus benar-benar mengerti
semua hal yang dijelaskan oleh tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan
transplantasi diharapkan dapat memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resepien.
Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa hasil transplantasi terbatas dan ada kemungkinan
gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam
percobaan yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan
datang.
5) Dokter dan tenaga pelaksana lain.
6) Untuk melakukan suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat parsetujuan dari
donor, resepien, maupun keluarga kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal-hal yang
mungkin akan terjadi setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan
emosi di kemudian hari dapat dihindarkan. Tanggung jawab tim pelaksana adalah
menolong pasien dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan
demikian, dalam melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh
pertimbangan-pertimbangan kepentingan pribadi.
7) Masyarakat.
Secara tidak sengaja masyarakat turut menentukan perkembangan transplantasi.
Kerjasama tim pelaksana dengan cara cendekiawan, pemuka masyarakat, atau pemuka
agama diperlukan untuk mendidik masyarakat agar lebih memahami maksud dan tujuan
luhur usaha transplantasi. Dengan adanya pengertian ini kemungkinan penyediaan organ
yang segera diperlukan, atas tujuan luhur, akan dapat diperoleh.
4. ASPEK ETIK TRANSPLANTASI
Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan
fungsi salah satu organ tubuhnya. Dari segi etik kedokteran, tindakan ini wajib dilakukan jika
ada indikasi, berlandaskan beberapa pasal dalam KODEKI, yaitu:
1) Pasal 2

Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi.

2) Pasal 10

Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup insani.

3) Pasal 11

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya
untuk kepentingan penderita

5. ASPEK HUKUM TRANSPLANTASI


Dari segi hukum, transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu usaha
mulia dalam upaya menyehatkan dan menyejahterakan manusia, walaupun ini adalah suatu
perbuatan yang melawan hukum pidana, yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena
adanya alasan pengecualian hukuman, atau paham melawan hukum secara material, maka
perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana dan dibenarkan. Dalam PP no. 18 tahun 1981
tentang bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis dan transplantasi alat kerja serta jaringan
tubuh manusia, tercantum pasal-pasal tentang transplantasi sebagai berikut:
1. Pasal 1
a) Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa
jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut.
b) Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang sama dan
tertentu.
c) Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan
tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk
menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
d) Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain
untuk keperluan kesehatan.
e) Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang
bahwa fungsi otak, pernapasa, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Ayat yang
di atas mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas, karena itu IDI dalam seminar
nasionalnya telah mencetuskan fatwa tentang masalah mati yang dituangkan dalam SK PB
IDI No. 336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret 1988 yang disusul dengan SK PB IDI No.
231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seseorang dikatakan mati, bila
fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti (irreversibel), atau
terbukti telah terjadi kematian batang otak. Selanjutnya dalam PP di atas terdapat pasal-
pasal berikut:
2. Pasal 10
Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a dan huruf b, yaitu harus
dengan persetujuan tertulis penderita dan/ atau keluarganya yang terdekat setelah penderita
meninggal dunia.
3. Pasal 11
a) Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh dokter
yang ditunjuk oleh menteri kesehatan.
b) Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang
merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
4. Pasal 12
Dalam rangka transplantasi, penentuan saat mati ditentukan oleh dua orang dokter yang tidak
ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.
5. Pasal 13
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a, pasal 14 dan pasal 15
dibuat di atas kertas bermaterai dengan 2 orang saksi.
6. Pasal 14
Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau Bank
Mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan persetujuan tertulis
keluarga yang terdekat.
7. Pasal 15
a) Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diberikan
oleh donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter
yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai operasi, akibat-akibatnya, dan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
b) Dokter sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 harus yakin benar, bahwa calon donor
yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.

8. Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas kompensasi material
apapun sebagai imbalan transplantasi.
9. Pasal 17
Dilarang memperjualbelikan alat atau jaringan tubuh manusia.
10. Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk
ke dan dari luar negeri. Sebagai penjelasan pasal 17 dan 18, disebutkan bahwa alat dan atau
jaringan tubuh manusia sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan tidaklah
sepantasnya dijadikan objek untuk mencari keuntungan. Pengiriman alat dan atau jaringan
tubuh manusia ke dan dari luar negeri haruslah dibatasi dalam rangka penelitian ilmiah,
kerjasama dan saling menolong dalam keadaan tertentu.

Selanjutnya dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, dicantumkan beberapa pasal
tentang transplantasi sebagai berikut:

11. Pasal 33
a) Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi
organ dan atau jaringan tubuh, transfusi darah, implant obat dan atau alat kesehatan, serta
bedah plastik dan rekonstruksi.
b) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat 1 dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
tujuan komersial.
12. Pasal 34
a) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan
tertentu.
b) Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan
kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya.
c) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Apabila diperhatikan kedua pasal di atas, isi dan tujuannya hampir sama dengan yang diatur
dalam PP Nomor 18 Tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis dan
transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia. Dalam Undang-Undang Kesehatan kembali
ditegaskan bahwa transplantasi organ atau jaringan tubuh dan transfusi darah hanya dapat
dilakukan untuk tujuan kemanusiaan, dilarang untuk dijadikan objek untuk mencari
keuntungan, jual beli dan komersialisasi bentuk lain.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kemajuan teknologi dibidang kedokteran memungkinkan terjadinya transplantasi organ


tubuh manusia. Hal ini saat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia karena dengan
transplantasi organ-organ tubuh manusia yang telah rusak atau tidak berfungsi lagi dengan
normal dapat digantikan dengan organ yang masih berfungsi dengan baik. Akan tetapi tidak
dapat dipungkiri banyaknya masalah yang muncul akibat kemajuan teknologi ini seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya.

Transplantasi boleh saja dilakukan dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan berupa


hukum kesehatan dan etika kedokteran yang berlaku di Indonesia. Dengan memperhatikan
hukum kesehatan dan etika yang berlaku maka usaha  mulia untuk menolong pasien yang
memiliki masalah dengan salah satu organ tubuhnya dapat terlaksana.

3.2 Saran

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat di
dalamnya. Oleh karena itu kami mengharap saran yang membangun dari pembaca sebagai
penyempurna dari makalah asuhan kebidanan komunitas yang kami susun.
DAFTAR PUSTAKA

 Abdul Wahab Bakri. Capita Selecta Hukum Medik. 1998th ed. Bandung: Unisba, n.d.
 Ali, Zainuddin. “Hukum Pidana Islam, Cet. I.” Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
 Al-Quran, Lajnah Pentashih Mushaf. “Al-Quran Dan Terjemahannya.” Bandung: CV
Diponegoro, 2005.
 Arofah, Aini Silvy. Wakaf Organ Tubuh Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam.
Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2013.
 Barder Johan Nasution. Hukum Kesehatan Dan Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta:
Rineka Cipta, 2005.

Anda mungkin juga menyukai