Anda di halaman 1dari 136

Buku ini dibagikan tanpa dipungut biaya sebanyak 2500 eksemplar

Memahami Duka dan Terbebas Darinya


Sebuah Ulasan atas Empat Kebenaran Arya
Dibabarkan oleh:
Yang Mulia Dagpo Rinpoche
pada tanggal 5–10 Desember 2005
di Kadam Tashi Choe Ling, Malaysia
Penerjemah lisan dari bahasa Tibet ke bahasa Inggris: Rosemary Patton
Penerjemah dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia: Tenzin Tringyal dan Candri
Jayawardhani
Penyunting: Stanley Khu
Perancang sampul: Lulu Wiratama
Penata letak: Dwi Cahyadi dan Kezya Demetrius
Hak cipta naskah terjemahan Inggris © 2007 Kadam Tashi Choe Ling, Malaysia
Hak cipta naskah terjemahan Indonesia © 2019 Penerbit Padi Emas
ISBN 978-602-52501-4-9
Penerbit Padi Emas
Email: penerbitpadiemas@gmail.com
Distributor Lamrimnesia
Care: +6285 2112 2014 1
Info: +6285 2112 2014 2
Fb: Lamrimnesia & LamrimnesiaStore
Ig: @Lamrimnesia & @Lamrimnesiastore
Tiktok: @Lamrimnesia_
Email: info@lamrimnesia.org
Website: www.lamrimnesia.org; www.store.lamrimnesia.com
UU RI Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana Pasal 113 ayat (3) dan (4):
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
Pasal 114:
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan
sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil
pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar v
Transkrip Ajaran vii
Biografi Singkat Dagpo Rinpoche xi

1. Pendahuluan 1
2. Empat Kebenaran Arya 5
3. Pemutaran Perdana Roda Dharma 7
4. Kebenaran Arya tentang Penderitaan 11
4.1. Enam Pintu Pencemaran 12
4.2. Lima Skandha 19
4.3. Empat Karakteristik Penderitaan Sejati 22
4.4. Empat Pandangan Salah 26
4.5. Tubuh sebagai Barang Pinjaman 28
a. Bagaimana Kita Dilahirkan dan Akhirnya
Menderita 30
b. Pembebasan dapat Diraih Sekarang Juga 32
c. Menuju Pembebasan 35
d. Mengatasi Kemelekatan pada Kehidupan
Saat Ini 38
e. Merenungkan Kematian 40
f. Penderitaan Samsara 48
5. Kebenaran Arya tentang Asal-mula Penderitaan 67
5.1. Empat Karakteristik Asal-mula 68
5.2. Empat Pandangan Salah 69
6. Karma dan Klesha I 73
7. Karma dan Klesha II 83
8. Kebenaran Arya tentang Penghentian Penderitaan 95
8.1. Empat Karakteristik Penghentian pada Kehidupan
Saat Ini 97
8.2. Empat Pandangan Salah 98
9. Kebenaran Arya tentang Jalan Menuju Penghentian
Penderitaan 101
9.1. Empat Karakteristik Jalan Menuju Penghentian
Sejati 101
10.Mempraktikkan Kebenaran Arya 103

Menghormati Buku Dharma 111


Dedikasi 113
Tentang Penerbit 115
Kata Pengantar
Transkrip edisi kali ini bisa dibuka dengan membahas
judulnya: kenapa 4 Kebenaran Arya, alih-alih 4 Kebenaran Mulia?
Meskipun terjemahan dalam bahasa Inggrisnya adalah Four
Noble Truths, dan meskipun kata ‘mulia’ mungkin lebih akrab
di telinga kita, Dagpo Rinpoche menjelaskan bahwa kata ‘noble’
lebih tepat merujuk pada orang-orang dengan tindak-tanduk yang
mulia; dengan kata lain, para Arya. Sebagai tambahan, istilah
Sanskertanya sendiri adalah aryasatyani: kebenaran dari para
Arya, atau kebenaran bagi mereka yang mengikuti jalan para Arya.
Selaku ajaran pertama yang dibabarkan oleh Sang Buddha,
selain salah satu ajaran terpenting dalam filsafat Buddhisme,
apakah gerangan kebenaran Arya ini? Ada 4 kebenaran: tentang
duka sebagai hakikat dari keberadaan kita di dalam samsara,
tentang asal-mula duka, tentang lenyapnya duka, dan tentang
jalan menuju lenyapnya duka. Kenapa urutannya seolah-olah
secara logis terbalik? Jawabannya juga bisa kita temukan di dalam
transkrip ini.
Lantas, apa sebenarnya arti penting dari 4 Kebenaran
Arya ini? Sebagai satu kesatuan, ia mewakili kondisi pencerahan
sempurna yang dialami oleh Sang Buddha. Lalu, berhubung 4
kebenaran ini diajarkan oleh beliau, ia pada gilirannya juga
mewakili potensi tercapainya pengalaman Kebuddhaan yang
sama oleh para pengikutnya (asalkan mereka mau mengikuti
tahapan jalan yang sama).
Kebenaran Arya yang berjumlah 4 adalah cara Sang Buddha
untuk menjelaskan kepada kita betapa menipu dan sementaranya

v
semua suka dan duka yang kita alami di dunia. Lebih lanjut, kalau
kita tidak segera menyadari ilusi dan ketidakkekalan yang menjadi
aspek utama dari fenomena duniawi yang selama ini kita alami,
maka diajarkan bahwa kita tidak akan pernah dapat mencapai
kondisi pembebasan penuh. Malah sebaliknya, kita akan terus-
menerus lahir dan mati, terlempar dari satu kehidupan ke
kehidupan lainnya dalam lingkaran samsara yang tak berujung-
pangkal.
Sebagai ajaran pertama yang dibabarkan oleh Sang Buddha,
kiranya tidak perlu diragukan lagi arti penting dari 4 Kebenaran
Arya bagi umat Buddhis mana pun yang ingin mengikuti teladan
Sang Buddha di sepanjang jalan spiritual. Untuk alasan inilah
Penerbit Saraswati menerbitkan transkrip edisi kali ini, tentunya
disertai harapan agar semua makhluk hidup bisa semakin
mendalami Dharma dan meraih kebahagiaan sejati karenanya.

vi
TRANSKRIP AJARAN
Secara harfiah, “transkrip” artinya salinan kata per kata dari
sebuah tuturan lisan yang disampaikan oleh seseorang atau lebih.
Transkrip ajaran artinya salinan kata per kata yang disampaikan
oleh seorang guru pada suatu sesi ajaran tertentu.
Karya tulis atau literatur beraliran transkrip dalam tradisi
Tibet disebut sintri (zin bris) yakni transkripsi berdasarkan
ingatan. Dahulu kala, seorang murid akan mendengarkan ajaran
gurunya dengan penuh perhatian dan setelah itu sang murid
akan menuliskan kembali apa yang telah didengarnya. Kitab suci
buddhis Tripitaka adalah transkrip yang disusun oleh murid-murid
Sang Buddha berdasarkan kekuatan ingatan.
Referensi transkrip paling penting di abad ke-20 adalah
transkrip yang disusun oleh Kyabje Trijang Rinpoche berdasarkan
ingatan Beliau dari sesi ajaran yang disampaikan oleh Pabongka
Rinpoche. Transkrip asli berbahasa Tibet ini yang kemudian
diterbitkan menjadi tiga jilid literatur legendaris berjudul Liberation
in Our Hands.
Di zaman modern, para murid menyimpan dan
mempertahankan ajaran-ajaran lisan yang disampaikan oleh
seorang guru dalam bentuk rekaman audio. Materi rekaman audio
ini kemudian diolah menjadi teks tertulis yang dikenal sebagai
buku transkrip.
Cara membaca buku transkrip berbeda dengan cara
membaca buku pada umumnya. Membaca buku transkrip
haruslah didukung oleh keyakinan disertai tambahan rujukan
teks akar dan teks-teks pendukung lainnya. Membaca buku

vii
transkrip bisa diibaratkan mendengarkan ajaran secara langsung.
Ketika membaca buku transkrip, kita harus menerapkan teknik
mendengarkan ajaran Lamrim, yaitu menghindari tiga kesalahan
sebuah bejana dan menerapkan enam ingatan. Dengan demikian,
barulah aktivitas membaca buku transkrip menjadi benar-benar
efektif dan memberikan manfaat.

viii
BIOGRAFI SINGKAT
DAGPO RINPOCHE
Dagpo Rinpoche, juga dikenal dengan nama Bamchoe
Rinpoche, lahir pada tahun 1932 di distrik Konpo, sebelah
tenggara Tibet. Pada usia 2 tahun, beliau dikenali oleh Dalai Lama
ke-13 sebagai reinkarnasi dari Dagpo Lama Rinpoche Jhampel
Lhundrup. Ketika berusia 6 tahun, beliau memasuki Biara
Bamchoe, dekat distrik Dagpo. Di sana, beliau belajar membaca
dan menulis, juga mulai mempelajari dasar-dasar sutra dan tantra.
Pada usia 13 tahun, beliau memasuki Biara Dagpo Shedrup Ling
untuk mempelajari 5 Topik Utama filsafat Buddhis, yaitu: Logika,
Paramita, Madhyamika, Abhidharma, dan Winaya.
Setelah belajar selama 11 tahun di Dagpo Shedrup Ling,
beliau melanjutkan studinya di Biara Universitas Drepung. Biara
ini terletak di dekat kota Lhasa. Beliau belajar di salah satu dari
4 kolese dalam biara ini, yaitu Gomang Dratsang. Di sana, beliau
memperdalam pengetahuan tentang filsafat Buddhis, khususnya
yang berdasarkan buku ajar Gomang Dratsang, yaitu komentar
filosofis dari Jamyang Shepa. Selama tinggal di Gomang Dratsang
(dan kemudian juga ketika berada di pengasingan), beliau belajar
di bawah bimbingan guru dari Mongolia yang termasyhur, Geshe
Gomang Khenzur Ngawang Nyima Rinpoche. Karena tempat
belajar beliau tak jauh dari Lhasa selaku ibukota Tibet, beliau juga
berkesempatan untuk menghadiri banyak pengajaran Dharma
dan menerima banyak transmisi lisan dari beberapa guru yang
berbeda. Oleh karena itu, Dagpo Rinpoche adalah salah satu dari
sedikit guru pemegang banyak silsilah ajaran Buddha.

xi
Selama ini, Dagpo Rinpoche, yang bernama lengkap Dagpo
Lama Rinpoche Lobsang Jhampel Jhampa Gyatso, telah belajar
dari 34 guru, khususnya dari 2 pembimbing utama Dalai Lama
ke-1–Kyabje Ling Rinpoche dan Kyabje Trijang Rinpoche–dan juga
dari Dalai Lama ke-14 sendiri. Di bawah bimbingan mereka, beliau
mempelajari 5 Topik Utama dan tantra (beliau telah menerima
banyak inisiasi dan menjalani retret). Selain filsafat Buddhis, beliau
juga menekuni astrologi, puisi, tata bahasa, dan sejarah.
Beliau belajar di Gomang Dratsang sampai invasi komunis
ke Tibet tahun 1959. Pada tahun itu, di usia 27 tahun, beliau
menyusul Dalai Lama ke-14 dan guru-guru Buddhis lainnya
menuju pengasingan di India. Tak lama setelah ketibaannya di
India, beliau diundang ke Perancis untuk membantu para Tibetolog
Perancis dalam penelitian mereka tentang agama dan budaya
Tibet. Para ilmuwan ini tertarik untuk mengundang beliau karena
intelektualitas serta pemikiran beliau yang terbuka. Dengan nasihat
dan berkah dari para gurunya, beliau pun memenuhi undangan
tersebut dan mendapat beasiswa Rockefeller. Beliau adalah guru
Tibet pertama yang tiba di Perancis. Di sana, beliau mengajar
bahasa dan budaya Tibet selama 30 tahun di School of Oriental
Studies, Paris. Setelah pensiun, beliau tetap melanjutkan studi dan
riset pribadinya. Beliau telah banyak membantu menyusun buku-
buku tentang Tibet dan Buddhisme, juga berpartisipasi dalam
berbagai program di televisi dan radio.
Setelah mempelajari bahasa Perancis dan Inggris serta
menyerap pola pikir orang Barat, pada tahun 1978 beliau akhimya
bersedia untuk mulai mengajar Dharma mulia dari Buddha
Shakyamuni. Pada tahun itu, beliau mendirikan pusat Dharma
yang bernama Institut Ganden Ling di Veneux-Les Sablons,
Perancis. Di sana, beliau memberi pelajaran tentang Buddhisme,
doa, serta meditasi. Sejak tahun 1978 hingga sekarang, beliau
telah banyak mengunjungi berbagai negara, di antaranya Italia,

xii
Belanda, Jerman, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.
Beliau mulai mengunjungi Indonesia pada tahun 1988.
Sejak saat itu, setiap tahun beliau secara rutin datang ke Indonesia
untuk membabarkan Dharma, memberikan transmisi ajaran
Buddha (khususnya ajaran Lamrim atau Tahapan Jalan menuju
Pencerahan), dan memberikan beberapa inisiasi serta berkah.

RIWAYAT LAMPAU DAGPO RINPOCHE


Dagpo Rinpoche dikenali oleh Dalai Lama ke-13 sebagai
reinkarnasi dari Dagpo Lama Rinpoche Jhampel Lhundrup.
Dagpo Rinpoche terdahulu ini sebelumnya sudah dikenali
sebagai reinkarnasi seorang guru dari Indonesia yang bernama
Suwarnadwipa Dharmakirti atau Serlingpa. Serlingpa terlahir
dalam keluarga penguasa Sriwijaya, yang juga merupakan bagian
dari wangsa Sailendra di Jawa, berhubung Balaputradewa selaku
Raja Sriwijaya adalah putra dari Samaratungga, pewaris takhta
Sailendra. Wangsa Sailendra sendiri dikenal sebagai pembangun
Candi Borobudur.
Keluarga Serlingpa juga berperan dalam pelestarian
Universitas Agama Buddha Nalanda, yang berkembang di masa
pemerintahan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7. Serlingpa
kemudian menjadi biksu dengan nama tahbis Dharmakirti. Beliau
melatih diri di berbagai tempat, termasuk menuntut ilmu sampai
ke India. Berkat usahanya yang keras dan himpunan kebajikannya
yang sangat banyak, akhimya beliau berhasil mencapai realisasi
tertinggi sebagai seorang Bodhisatwa. Kemasyhuran beliau
sebagai seorang guru Buddhis, khususnya sebagai pemegang
silsilah bodhicita (batin pencerahan), tersebar jauh hingga ke
India, Cina, serta Tibet. Di Tibet sendiri, beliau dikenal dengan
nama Lama Serlingpa.
Guru besar lainnya, Atisha Dipankara Srijnana, menempuh

xiii
perjalanan laut dari India selama 13 bulan semata-mata untuk
bertemu dengan Serlingpa di Indonesia dan mendapatkan
instruksi tentang bodhicita dari beliau. Serlingpa memberikan
transmisi ajaran yang berasal dari Manjushri, yaitu "Menukar Diri
dengan Makhluk Lain." Setelah belajar dari Serlingpa, Atisha
kembali ke India dan kemudian diundang ke Tibet. Di sana,
Atisha memainkan peranan yang sangat penting untuk membawa
pembaharuan bagi ajaran Buddha. Atisha menjadi salah satu
mahaguru yang sangat dihormati dalam Buddhisme Tibet.
Kedua guru besar ini kelak akan bertemu kembali di masa depan
dalam hubungan guru-murid yang sama, yaitu ketika Atisha
terlahir kembali sebagai Pabongkha Rinpoche dan menerima
ajaran tentang bodhicita dari Dagpo Lama Rinpoche Jhampel
Lhundrup. Dagpo Lama Rinpoche Jhampel Lhundrup sendiri
berperan penting dalam menghidupkan kembali ajaran Lamrim di
bagian selatan Tibet. Beliau sangat terkenal karena penjelasannya
yang gamblang tentang Lamrim dan realisasinya akan bodhicita.
Banyak guru Lamrim pada masa itu yang mendapatkan transmisi
dan penjelasan Lamrim dari beliau sehingga akhirnya meraih
realisasi atas ajaran Lamrim.
Silsilah reinkarnasi Dagpo Rinpoche yang lain adalah
sebagai berikut. Pada masa Buddha terdahulu, beliau pernah lahir
sebagai Bodhisatwa Taktunu, yang rela menjual dagingnya sendiri
untuk memberi persembahan kepada gurunya. Selain itu, yogi
India bernama Wirupa dan cendekiawan bernama Gunaprabha
juga diyakini sebagai inkarnasi dari Dagpo Rinpoche.
Di Tibet sendiri, guru-guru yang termasuk ke dalam silsilah
reinkarnasi Dagpo Rinpoche adalah Marpa Lotsawa Sang
Penerjemah, sang pendiri mazhab Kagyu. Beliau terkenal sebagai
guru yang membimbing Jetsun Milarepa mencapai pencerahan
dengan latihan yang sangat keras. Selain itu, juga ada Londroel
Lama Rinpoche, guru meditasi dan cendekiawan penting pada

xiv
abad ke-18 yang merupakan siswa dari Dalai Lama ke-7. Seperti
Milarepa, Londroel Rinpoche juga mempunyai masa muda yang
sulit sebelum akhirnya menjadi salah satu guru terkemuka yang
menyusun risalah Buddhis sebanyak 23 jilid. Sejumlah kepala
biara Dagpo Shedrup Ling juga termasuk ke dalam silsilah
reinkarnasi Dagpo Rinpoche.

xv
1
PENDAHULUAN

A
da 3 kategori utama dari cara berpikir yang kita miliki.
Salah satu dari kategori ini dikenal dengan istilah klesha–
faktor mental pengganggu yang secara langsung menyakiti
kita. Mengapa demikian? Karena mereka menyebabkan kita
menghasilkan banyak karma buruk yang akan menuntun kita
menuju penderitaan. Untungnya, mereka tidak bangkit dalam diri
kita terus­menerus, namun hanya hadir sewaktu-waktu.
Kategori kedua adalah faktor mental bajik, yakni pikiran bajik
yang kadang-kadang timbul dalam diri kita setelah dibangkitkan
dengan upaya. Kadang kala, dengan kekuatan dari jejak karma
baik kita, pikiran bajik bangkit secara spontan dalam kondisi
tertentu. Jadi, dengan kekuatan kebajikan kita, berikut kekuatan
dan berkah dari guru dan Buddha, pikiran seperti ini bisa tertanam
di dalam diri kita sewaktu-waktu.
Kategori ketiga adalah cara berpikir yang sifat alaminya
kurang lebih netral, contohnya, pikiran yang berhubungan
dengan pekerjaan kita, kegiatan kita, apa yang terjadi di negara
kita, ini dan itu; pikiran-pikiran macam ini jamaknya akan bersifat
netral. Klesha yang tidak terlalu kasar, seperti ketertarikan dan
kegirangan, juga termasuk ke dalam kategori ini. Meski netral,
kategori ketiga bisa dikatakan berbahaya, karena ia tanpa kita
sadari akan memakan banyak waktu kita.

1
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

Kita harus mencoba sekuat tenaga untuk membangkitkan


faktor mental bajik dalam diri kita dan sebisa mungkin mencegah
klesha mengambil alih batin kita. Menyangkut pikiran yang
netral, kita juga harus mencoba mengurangi mereka sebisa
mungkin, meski prosesnya tak bisa serta-merta. Butuh banyak
latihan dan meditasi untuk bisa menggantikan pikiran yang netral
dengan pikiran bajik. Apa yang bisa kita lakukan saat ini adalah
meyakinkan diri bahwa dengan kekuatan dari motivasi kita, pikiran
yang seharusnya netral bisa berubah menjadi bajik. Dengan
demikian, alih-alih menghasilkan akibat yang netral, mereka akan
menghasilkan akibat yang bajik. Jadi, ini adalah sesuatu yang bisa
kita latih. Dengan kekuatan dari motivasi kita, jenis pikiran yang
netral akan menjadi bajik.
Pikiran yang kita miliki dalam kehidupan sehari-hari
berhubungan dengan kegiatan yang kita lakukan dan hal-
ihwal yang tercakup di dalamnya, seperti bekerja, menyiapkan
makanan, dsb, yang kebanyakan bersifat netral. Namun, sekali
lagi, dengan kekuatan motivasi yang kita bangkitkan, pikiran
yang netral ini bisa berubah menjadi bajik atau positif. Kita harus
mencoba melatih motivasi kita dan percaya bahwa ia cukup kuat
untuk mengubah pikiran yang netral menjadi bajik. Singkatnya,
inilah yang harus kita lakukan ketika menyimak ajaran.
Sering kali kita banyak menghabiskan waktu mengamati
sesuatu di luar diri kita. Kita cenderung mengamati apa yang terjadi
di sekeliling kita dan benar-benar memperhatikan apa yang dilakukan
orang-orang, bagaimana mereka bersikap, dsb. Setelahnya, kita
cenderung menghakimi tindak-tanduk mereka dengan kritis.
Kebanyakan energi kita dihabiskan dengan cara demikian, walaupun
semua ini sebenarnya bukan urusan kita. Jadi, kita mesti belajar
untuk mengalihkan sebagian besar pikiran kita ke dalam diri daripada
mengamati dan menghakimi orang lain. Lebih baik kita menghakimi
diri sendiri dan menentukan apa yang tidak benar di dalam diri kita.

2
Pendahuluan

Ini adalah poin penting lainnya dalam menyimak ajaran.


Kita telah melakukan banyak kesalahan, baik dalam
kehidupan saat ini maupun kehidupan lampau, dan seringnya
kita malah tak sadar bahwa apa yang kita lakukan adalah salah.
Untungnya, kondisi ini masih bisa diubah. Arya Nagarjuna
mengatakan, "Jika seseorang ceroboh di masa lampau, bukan
berarti bahwa kekuatan kesadarannya tak bisa mengubah sikap
ini dan mengubah dirinya menjadi langit dengan sinar rembulan
yang bebas dari awan." Beliau kemudian memberikan contoh
kasus seperti kisah Nanda, Angulimala, dan putra raja Bimbisara
(Ajatashatru). Meski begitu, apa yang dimaksud dengan kutipan
ini? Artinya, dengan menjadi lebih sadar dan melatih praktik
disiplin-diri tertentu, kita akan berubah menjadi indah laksana
langit dengan sinar rembulan yang telah menyingkirkan halangan
awan. Beliau mencontohkan Angulimala, yang telah membunuh
999 orang dan sedang mencari korban ke-1000, namun akhirnya
bertobat setelah bertemu dengan Buddha. Lalu, ada kisah
Ajatashatru yang membunuh ayahnya sendiri kemudian bertobat,
dst. Jadi, kita juga bisa mengubah keburukan menjadi kebaikan
dan membawa perubahan yang drastis di dalam diri kita.
Jika kita tak pernah melakukan kesalahan dalam hidup ini,
maka tak ada alasan untuk berubah. Tapi karena hal ini mustahil,
maka terdapat setiap alasan untuk mencoba berlatih dan mengubah
diri menjadi sosok yang lebih baik. Ini sangat mungkin dilakukan,
karena batin adalah sesuatu yang bisa diubah. Berbeda dengan
tubuh kita yang memiliki sistemnya sendiri, batin dapat ditempa
dari waktu ke waktu. Lebih lanjut, batin bukan sesuatu yang
berdiri sendiri dan otonom; sebaliknya, ia merupakan fenomena
relatif, sehingga mungkin untuk mengubahnya menjadi sesuatu
yang lebih baik. Di sisi lain, tubuh yang tinggi tak bisa diubah
menjadi pendek, dan tubuh yang jelek tak bisa diubah menjadi
indah. Singkatnya, apa yang bisa kita lakukan terhadap tubuh

3
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

kita sangat terbatas. Ketika tubuh berubah seiring bertambahnya


usia, perubahan takkan menuju ke arah yang baik. Ini berbeda
dengan batin, karena seiring berlalunya waktu, kita dapat
meningkatkannya menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Dikatakan bahwa batin kita terus berubah dari momen
ke momen. Apa itu 'momen'? Dalam Buddhisme, satu momen
berjalan sangat cepat, yakni 1/64 dari waktu yang dibutuhkan
untuk menjentikkan jari. Atau, menurut filsafat tertinggi dalam
Buddhisme, satu momen adalah 1/365 dari waktu yang dibutuhkan
untuk menjentikkan jari. Artinya, batin kita berubah dalam selisih
waktu yang teramat kecil, yang pada gilirannya memberi kita
banyak peluang untuk mengarahkan batin ke arah yang lebih baik.
Selanjutnya, ketika kita membangkitkan tekad untuk
menjadi sosok yang lebih baik, kita sebaiknya menetapkan tujuan
kita setinggi-tingginya dan berjanji pada diri sendiri bahwa kita
akan menjadi sosok dengan kapasitas sempurna yang sanggup
memenuhi kesejahteraan semua makhluk di dalam samsara.
Pastikan bahwa kita akan menjadi sosok yang mampu mengakhiri
penderitaan semua makhluk dan membimbing mereka menuju
kebahagiaan tertinggi. Kalau kita hanya memikirkan pembebasan
dan kebahagiaan pribadi, maka ini akan menjadi pemikiran dan
motivasi yang sangat sempit dan egois.

4
2
EMPAT KEBENARAN ARYA

A
da 2 pendekatan dalam membahas topik Empat
Kebenaran Arya. Yang pertama adalah murni
mempraktikkannya, dalam artian menghabiskan banyak
waktu untuk merenungi masing-masing poin dari Empat
Kebenaran Aryadan kemudian memeditasikannya.Yang kedua
adalah mempelajarinya.
Setelah mencapai pencerahan, Buddha mengajar selama 45
tahun. Dari 84 ribu aspek Dharma yang beliau babarkan, Empat
Kebenaran Arya merupakan salah satu topik yang terpenting. Salah
satu alasannya adalah karena inilah ajaran pertama dari Buddha
setelah beliau mencapai pencerahan; inilah ajaran pertama yang
dibabarkan ketika beliau pertama kali memutar roda Dharma.
Kita tahu bahwa setelah Siddhartha menjadi Buddha,
selama 49 hari beliau sama sekali tak mengajar. Namun, meski tak
mengajar, Buddha tak menghabiskan waktunya dengan berlibur
atau nongkrong. Tujuan Buddha menunda pengajaran adalah
untuk menekankan nilai agung dari Dharma, yang terdiri dari 5
karakteristik: mendalam, memiliki sifat damai, bebas dari eksistensi
inheren, memiliki pandangan yang jernih, dan tidak majemuk.
Dengan kata lain, semua ini adalah karakteristik dari kesunyataan,
batin yang memahami kesunyataan. Beliau merenung, "Ajaran
ini sangat mendalam. Siapa yang sanggup memahaminya? Oleh

5
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

karena itu, aku akan tetap diam dan bersemayam dengan tenang
di dalam hutan." Beliau menyamakan ajaran Dharma yang murni
ini dengan amerta. Dalam bahasa Tibet, istilah untuk amerta
adalah dütsi, yang bermakna sesuatu yang mengatasi 4 jenis
mara. Guru-guru di masa lampau menjelaskan istilah dütsi dalam
3 aspek berbeda: amerta obat yang menyembuhkan penyakit,
amerta umur panjang yang mengatasi kematian, dan amerta
kebijaksanaan unggul yang mengatasi klesha.
Dütsi berakar dari istilah Sanskerta, yakni amerta. ‘Merta’
artinya ‘kematian,’ dan 'a' adalah awalan yang bermakna ‘tidak’;
jadi, istilah ‘amerta’ bermakna ‘keabadian’ atau ‘takkan mati.’
Dalam bahasa Tibet, istilah ini diterjemahkan menjadi dütsi. Dü
merujuk keempat jenis mara, yaitu: mara skandha, mara Raja
Kematian (kematian dan ketidakkekalan), mara klesha, dan mara
Putra Dewa (kemelekatan pada kesenangan duniawi). Jadi, ketika
kita membicarakan mara, jangan membayangkan bahwa ia adalah
sosok menakutkan dengan nyala api yang keluar dari tubuhnya.
Definisi mara lebih luas daripada itu. Suku kata kedua, tsi, secara
harfiah bermakna mengatasi atau menghancurkan. Jadi, dütsi
bermakna penghancur 4 jenis mara.

6
3
PEMUTARAN PERDANA
RODA DHARMA

M
elihat bahwa Buddha tak kunjung mengajar, Dewa
Brahma, sang penguasa ketiga alam, mempersembahkan
roda emas dengan seribu jeruji kepada Buddha seraya
memohon agar beliau berkenan memutar roda Dharma. Buddha
mengiyakan permohonan ini dan segera meninggalkan Bodhgaya.
Beliau berangkat ke Varanasi untuk memutar roda Dharma. Di
sana, di sebuah tempat bernama Taman Rusa yang berlokasi di
Sarnath, beliau memutar roda Dharma untuk pertama kalinya.
Hadirin yang menerima ajaran perdana Buddha terdiri
dari 5 manusia (para petapa yang dulunya adalah rekan
Buddha dalam praktik menyiksa diri) dan 84 ribu dewa. Ketika
pertama kali mengajar, Buddha mengatakan: "Inilah kebenaran
Arya tentang penderitaan; inilah kebenaran Arya tentang asal-
mula penderitaan; inilah kebenaran Arya tentang penghentian
penderitaan; inilah kebenaran Arya tentang jalan menuju
penghentian penderitaan."
Ketika Buddha selesai membabarkan 4 baris kalimat ini, yang
paling senior dari 5 petapa, Kondanna, segera mencapai marga
penglihatan; dengan kata lain, ia merealisasikan ke-tanpaaku-
an atau kesunyataan secara langsung. Empat petapa lainnya
mencapai tahap akhir dari marga persiapan yang disebut ‘Dharma
yang unggul.’ Untuk mendorong mereka agar segera memasuki

7
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

marga penglihatan, Buddha kemudian membabarkan 4 baris


kalimat sebelumnya dengan ungkapan yang berbeda: "Mengenali
kebenaran dari penderitaan; mengatasi kebenaran dari asal-mula
penderitaan; mencapai kebenaran dari penghentian penderitaan;
memeditasikan kebenaran dari Sang Jalan."
Melalui ajaran yang kedua, 4 petapa segera merealisasikan
kesunyataan secara langsung. Kondanna sendiri mencapai
tingkat Arhat setelah mendengar ajaran yang kedua. Untuk
mendorong agar 4 petapa lainnya segera mencapai tingkat Arhat,
Buddha kemudian membabarkan 4 baris kalimat sebelumnya
dengan ungkapan yang berbeda lagi: "Mengenali kebenaran dari
penderitaan walaupun tak ada yang harus dikenali; mengatasi
kebenaran dari asal-mula penderitaan walaupun tak ada yang
harus diatasi; mencapai kebenaran dari penghentian penderitaan
walaupun tak ada yang harus dicapai; memeditasikan kebenaran
dari Sang Jalan walaupun tak ada yang harus dimeditasikan."
Melalui ajaran yang ketiga, 4 petapa segera mencapai tingkat
Arhat. Ketika ajaran ini selesai dibabarkan, bisa dikatakan bahwa
saat itu Triratna (3 Permata) pun terbentuk untuk pertama kalinya.
Buddha sendiri adalah Permata Buddha, Dharma yang diajarkan
saat pemutaran roda Dharma adalah Permata Dharma (dalam
artian capaian spiritual), dan 5 petapa yang menjadi Arhat adalah
Permata Sangha (sesungguhnya, ketika Kondanna menjadi seorang
Arhat, maka Permata Sangha bisa dikatakan sudah terbentuk; di
sisi lain, jika tak ada Arhat yang hadir, maka dibutuhkan 4 orang
biksu untuk membentuk Permata Sangha).
Setelah Buddha selesai membabarkan 12 baris ini, para
dewa yang hadir di angkasa menangis dengan penuh sukacita.
Tangisan "ah-la-la" berkumandang ke segala penjuru, yang berarti
“sungguh menakjubkan.” Roda Dharma telah diputar untuk
pertama kalinya di dunia. Ajaran pertama ini hanya terdiri dari 12

8
Pemutaran Perdana Roda Dharma

baris pendek, namun ia sungguh merupakan ajaran yang sangat


penting dan berarti.
Untuk memahami betapa pentingnya ajaran ini, kita
tinggal merujuk pada fakta bahwa inilah ajaran pertama yang
dibabarkan oleh Buddha setelah beliau bersusah-payah meraih
pencerahan dengan tubuh manusianya; Empat Kebenaran Arya
adalah pernyataan pertama dari Buddha. Ajaran ini dipahami
oleh Buddha sebagai cara yang paling efektif untuk menolong kita
semua, sehingga inilah ajaran pertama yang dibabarkan beliau.
Jadi, bisa dikatakan bahwa di antara semua instruksi Buddha,
Empat Kebenaran Arya adalah intisari dari semuanya. Dengan
cara ini, kita bisa memahami betapa pentingnya ajaran yang
ringkas ini. Untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa yang
mudah dimengerti, apa yang Buddha maksudkan adalah: "Jika
Anda tak ingin menderita, jika Anda benar-benar ingin bahagia,
maka inilah yang harus Anda lakukan. Inilah yang sudah saya
lakukan. Dengan melakukannya, saya telah berhasil menyeberang
hingga mencapai pantai seberang. Jika Anda ingin mencapai hal
yang sama, inilah yang juga harus Anda lakukan."
Penting untuk dicatat bahwa Buddha tak berkata, “Jika Anda
ingin mencapai hasil ini, Anda harus memeditasikan bodhicita; jika
Anda ingin ke sana, Anda harus memeditasikan kesunyataan.”
Beliau juga tak meminta kita untuk memeditasikan Segel Agung
ataupun penyerapan. Beliau hanya berkata, "lnilah kebenaran
Arya tentang penderitaan." Artinya, beliau menekankan langkah
pertama, sehingga kita harus benar-benar memahami betapa
pentingnya ajaran ini.

9
10
4
KEBENARAN ARYA
TENTANG PENDERITAAN

J
adi, apa yang bisa kita simpulkan sejauh ini? Menekankan
Empat Kebenaran Arya sebagai ajaran pertama tak berarti
bahwa topik seperti Segel Agung dan kesunyataan tak perlu
dipelajari; alih-alih, maksudnya adalah kita belum siap untuk
mempraktikkan ajaran-ajaran tingkat tinggi ini sehingga lebih baik
bila memulai dari awal. Jika kita tak dapat mengenali bahwa kita
saat ini menderita, kita takkan memperoleh hasil dari praktik apa
pun yang kita lakukan. Inilah sebabnya kalimat pertama Buddha
adalah: "Inilah kebenaran Arya tentang penderitaan."
Definisi dari kebenaran Arya yang pertama bergantung pada
tafsir kita atasnya. Ia dapat diterjemahkan sebagai ‘kebenaran
ihwal penderitaan’ atau ‘penderitaan sejati.’ Saya telah meninjau
kedua terjemahan ini dan saya tak yakin mana yang terbaik, tetapi
di sini saya akan memilih yang terakhir karena lebih mudah untuk
dimengerti saat ini.
Penderitaan sejati diartikan sebagai akibat tercemar yang
utamanya dihasilkan dari sebabnya, yaitu asal-mula penderitaan
sejati. Untuk memahami penderitaan sejati, kita harus benar-benar
memahami asal­mula penderitaan sejati, karena penderitaan sejati
dihasilkan oleh sebabnya, yaitu asal-mula penderitaan sejati. Asal-
mula penderitaan sejati adalah karma dan klesha yang tercemar. Jadi,
penderitaan sejati disebabkan oleh karma atau klesha yang tercemar.
Istilah lain untuk penderitaan sejati adalah ‘fenomena

11
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

komposit’ atau ‘fenomena tak kekal,’ dan kedua istilah ini pada
gilirannya juga bisa dirujuk sebagai ‘akibat.’ Karena penderitaan
sejati selalu merupakan fenomena komposit–dan sebaliknya, tak
ada fenomena non-komposit yang merupakan penderitaan sejati–
inilah alasan kenapa istilah ‘akibat’ digunakan di sini; akibat
adalah fenomena yang tak kekal dan komposit, jadi penderitaan
sejati adalah akibat-akibat yang dihasilkan oleh asal-mulanya
yang sejati–karma dan klesha.
Ada lagi istilah lain yang digunakan di sini, yaitu ‘yang
tercemar’ atau ‘pencemaran.’ Istilah ini berasal dari kata Tibet,
sak cheh. Dalam konteks ini, sak cheh akan ditafsirkan menurut
Abhidharmakosha1, atau menurut Abhidharmasamuccaya2
karangan Arya Asanga (yang merupakan aliran filsafat
Abhidharma3 yang lebih tinggi). Secara umum, ketika Lamrim
menjelaskan Empat Kebenaran Arya, biasanya topik ini lebih sering
dijelaskan menurut Abhidharmasamuccaya, meskipun penjelasan
dalam kedua teks kurang lebih sama dan tak mengandung
perbedaan berarti. Dalam Abhidharmasamuccaya, Arya Asanga
menjelaskan sak cheh atau pencemaran dalam 6 cara berbeda.
Kita bisa menamainya Enam Pintu Pencemaran, yang terdiri dari:
1] tercemar secara alami; 2] pencemaran karena pertautan; 3]
terikat oleh pencemaran; 4] tercemar oleh pertautan selanjutnya;
5] selaras dengan pencemaran; 6] muncul dari pencemaran.

Enam Pintu Pencemaran


1. Tercemar secara alami
Pintu pertama digambarkan sebagai 6 klesha akar
(kemelekatan, kebencian, ketidaktahuan, keraguan, pandangan

1
Secara harfiah bermakna: Harta Karun Abhidharma.
2
Secara harfiah bermakna: Ikhtisar Abhidharma.
3
Secara harfiah bermakna: Pengetahuan yang lebih tinggi.

12
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

salah, kesombongan) berikut 20 klesha tambahan. Kenapa


dikatakan tercemar secara alami? Karena ketika mereka muncul,
mereka muncul dengan kondisi pencemaran yang alamiah,
yang pada gilirannya selalu merujuk pada klesha. Jadi, secara
alamiah, jika klesha muncul, maka ia telah tercemar. Inilah
definisi paling mendasar dari pencemaran, yaitu klesha atau
dikondisikan oleh klesha. Jadi, apa itu tercemar secara alami?
Klesha itu sendiri, karena baik klesha akar atau tambahan
sudah tercemar dengan sendirinya.

2. Pencemaran karena pertautan


Pintu kedua adalah pencemaran karena pertautan. Ketika
klesha muncul dalam batin, ia tak muncul sendiri, berhubung
selalu ada faktor mental lain (berikut batin utama) yang
mendampinginya. Klesha sendiri merupakan faktor mental,
tapi ia tak pernah muncul sendiri di dalam batin. Kapan pun
klesha muncul dalam batin, ia akan mencemari faktor mental
lain dan batin utama yang sedang berfungsi, yaitu persepsi
yang sedang berfungsi pada saat yang sama dengan klesha.
Jadi, kita menggunakan istilah pencemaran karena pertautan.
Di sini, istilah 'pertautan' merujuk pada cara batin utama
dan faktor mental saling berbagi hal tertentu. Mereka yang telah
mempelajari topik batin dan faktor mental pasti mengetahui
bahwa faktor-faktor mental akan bekerja bersamaan dalam 5
cara, misalnya, mereka akan berbagi objek dan hakikat yang
sama, dsb. Karena adanya proses berbagi yang otomatis terjadi di
antara faktor-faktor mental dan batin utama yang menemaninya,
maka ketika salah satu faktor mental mengandung klesha, secara
bertautan ia akan mencemari faktor mental lainnya yang hadir
di batin seseorang pada saat yang sama.
Apakah ini berarti faktor mental yang lain juga berubah
menjadi klesha? Tidak, mereka tidak berubah, tapi secara

13
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

harfiah mereka berdampingan dengan klesha. Jadi, jangan


bayangkan bahwa mereka ibarat wadah yang meleleh sehingga
faktor mental lainnya juga menjadi klesha dengan sendirinya.
Bukan demikian caranya; alih-alih, mereka dicemari oleh klesha
yang hadir di dalam batin pada saat itu.
Misalnya, ketika kita marah, ada klesha amarah yang
muncul dalam batin kita. Sebagai faktor mental, klesha ini
memiliki objek. Jadi, katakanlah kita sedang marah pada teman.
Karena kita tahu bahwa faktor mental tak berfungsi sendirian,
maka ketika klesha amarah muncul dan terarah ke seseorang,
batin utama juga otomatis akan terarah ke objek yang sama.
Tak mungkin batin utama memikirkan orang lain ketika amarah
sedang menyasar orang tertentu. Inilah yang disebut dengan
berbagi sifat. Faktor mental yang ada di dalam batin harus
berbagi objek yang sama dengan batin utama, atau sebaliknya.
Apa lagi yang mereka bagi? Dalam kasus ini, mereka
berbagi aspek amarah. Bukan berarti bahwa batin utama
berubah menjadi amarah. Ia tetaplah batin utama, namun
ia bertautan dengan amarah karena hadirnya klesha amarah
bersamanya. Hal yang sama juga berlaku untuk faktor mental
lain yang hadir di dalam batin pada saat yang sama.
Kira-kira faktor mental apa di dalam batin yang muncul
bersamaan dengan amarah? Kontak dan perhatian adalah dua
di antaranya. Mereka berbagi objek, aspek, durasi, dll. Jadi,
kapan pun sebuah klesha muncul dalam batin, faktor mental
yang muncul bersamaan dengannya akan berbagi sifatnya.
Artinya, faktor mental yang lain dicemari oleh klesha meski
mereka tak berubah menjadi klesha; dengan kata lain, mereka
bukan klesha dan tak menjadi klesha.

3. Terikat oleh pencemaran


Pintu ketiga adalah terikat oleh pencemaran. Inilah yang

14
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

kita sebut sebagai karma pelempar, karma yang melemparkan


kita ke dalam kelahiran kembali di dalam samsara. Mengapa
karma pelempar adalah penjelasan dari terikat oleh
pencemaran? Karena karma pelempar terikat oleh sikap
memegang dan mencengkeram yang merupakan 2 jenis klesha,
atau 2 jenis kemelekatan. Karena terikat oleh mereka, karma
pelempar menyebabkan kita mengalami akibat. Artinya, klesha
kemelekatanlah yang mematangkan karma pelempar.
Karena telah dimatangkan oleh mereka, karma pelempar
pun memaksa kita untuk mengalami akibat. Tak ada pilihan lain
kecuali harus mengalami akibat dari karma ini.
Namun, karma pelempar sendiri tak cukup untuk
membuat seseorang mengalami akibat; dengan kata lain, ada
kemungkinan untuk memiliki karma pelempar namun tak
mengalami akibatnya. Contohnya adalah Arhat. Karena telah
mengatasi semua klesha, maka tak peduli berapa banyak pun
karma pelempar yang masih dimiliki dalam arus batin seorang
Arhat, karma pelempar ini takkan pernah membuahkan hasil
karena faktor untuk mematangkan mereka, yakni kemelekatan,
telah hilang.
Di sisi lain, makhluk biasa seperti kita telah memiliki banyak
karma pelempar di dalam diri untuk terlahir kembali di alam
rendah. Meski begitu, jika kita bisa mengurangi kemelekatan
pada dunia fana ini, kita dapat mencegah matangnya karma
pelempar sehingga tak perlu mengalami akibatnya. Inilah alasan
kenapa kita harus berupaya sekuat tenaga dalam memeditasikan
penolakan terhadap samsara.

4. Tercemar oleh pertautan selanjutnya


Pintu keempat adalah tercemar oleh pertautan
selanjutnya. Contohnya adalah makhluk biasa seperti kita.
Mengapa demikian? Karena makhluk biasa berada di bawah

15
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

pengaruh benih pencemaran dari tiga alam. Artinya, kita masih


memiliki benih klesha di dalam batin berikut kemampuan
untuk memunculkan klesha yang baru di dalam batin kita.
Dan karena benihnya memang ada di sana, maka ketika
lingkungan mendukung pematangannya, klesha akan muncul
di dalam batin kita. Melalui pengaruh klesha ini, kita akan
menghasilkan karma pelempar baru untuk terlahir kembali di
dalam samsara. Karma pelempar ini cepat atau lambat akan
dimatangkan oleh kemelekatan. Ketika benar-benar telah
matang, ia akan melemparkan kita ke kelahiran yang baru di
dalam samsara; dengan demikian, kita terus-menerus berputar
di dalam samsara. Dengan kata lain, ketika kita telah benar-
benar mampu menyingkirkan semua benih klesha di dalam diri
kita, klesha takkan pernah muncul lagi di dalam diri kita.

5. Selaras dengan pencemaran


Pintu kelima adalah selaras dengan pencemaran. Dalam
komentarnya atas teks Abhidharmakosha, Wasubandhu
merinci 3 faktor yang memunculkan klesha. Salah satunya
adalah kedekatan dengan objek yang memancing kemunculan
klesha dalam diri kita. Misalnya, jika tak ada objek amarah
yang muncul–kita tak ingat, mendengar, atau pernah bertemu
dengan objek amarah–maka kita takkan marah. Amarah takkan
bangkit dalam diri kita. Sebaliknya, amarah akan bangkit jika
objek amarah muncul di depan kita.
Ada pepatah dari para guru Kadampa di masa lampau
yang berbunyi, “Memang lebih baik menghindari klesha, namun
yang terbaik adalah menghindari objeknya.” Dengan kata lain,
meski mengatasi klesha adalah tujuan terbaik, namun jika kita
kesulitan melakukannya, maka hal terbaik berikutnya adalah
berusaha menghindari objek yang cenderung memunculkan
klesha di dalam diri kita. Contohnya adalah kemelekatan. Jika

16
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

kita tak memikirkan objek kemelekatan kita, maka kemelekatan


takkan muncul dalam diri kita. Sebaliknya, jika kita terus
mengingat objek kemelekatan, hal ini akan menguatkan klesha
kemelekatan di dalam diri kita.

6. Muncul dari pencemaran


Pintu keenam adalah muncul dari pencemaran. Inilah
yang kita sebut sebagai akibat yang matang sepenuhnya.
Hal ini khususnya berkaitan dengan skandha penyusun diri
kita–tubuh dan berbagai aspek yang berbeda dalam batin.
Mereka dikatakan muncul dari pencemaran karena dihasilkan
melalui pengaruh klesha yang merupakan sebab. Contohnya
membunuh. Jika karma membunuh yang kita hasilkan sangat
kuat, akibat yang matang sepenuhnya adalah kelahiran
kembali di alam neraka. Terlahir kembali di alam neraka
dengan skandha makhluk neraka adalah akibat yang matang
sepenuhnya. Akibat yang matang sepenuhnya adalah salah
satu dari 3 kemungkinan akibat dari karma; dua yang lain
adalah akibat yang mempengaruhi lingkungan dan akibat yang
menyerupai sebab. Akibat yang mempengaruhi lingkungan
berkaitan dengan jenis lingkungan yang kita miliki saat terlahir
kembali. Akibat yang menyerupai sebab adalah akibat yang
sama dengan karma yang kita buat. Sebaliknya, apakah
akibat yang matang sepenuhnya dari kebajikan menghindari
pembunuhan? Kelahiran sebagai manusia atau sebagai dewa di
kamaloka (alam keinginan) atau rupaloka (alam bentuk).
Demikianlah uraian ihwal Enam Pintu Pencemaran.
Ada satu poin tambahan yang perlu ditambahkan terkait pintu
pencemaran kedua, yaitu pencemaran karena pertautan.
Kita telah membahas bahwa pintu ini merujuk pada faktor
mental dan batin utama yang menemani klesha. Namun, ada
penjelasan lain yang kita sebut sebagai ‘kondisi yang dominan,’

17
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

yang berkaitan dengan indra. Salah satu dari 6 indra harus hadir
agar kesadaran persepsi terjadi, dan ia juga bisa dicemari oleh
klesha. Misalnya, dalam kasus kemelekatan, ketika kita berpikir
tentang objek kemelekatan, kita memikirkan sesuatu yang akan
membangkitkan kemelekatan dalam batin kita. Sebelum kita
memersepsikan objek yang menimbulkan kemelekatan, ada
suatu sebab atau kondisi dominan, yakni indra yang mencerap
objek. Melalui indra, klesha pun terkondisikan untuk muncul.
Pengondisian inilah yang disebut sebagai pencemaran karena
pertautan. Singkatnya, pencemaran karena pertautan bisa
terjadi dalam 2 cara: klesha yang didampingi oleh faktor mental
lain dan batin utama, dan munculnya kondisi dominan (indra)
yang mengondisikan kemunculan klesha.
Penderitaan sejati terdiri dari 2 jenis: penderitaan dalam
dan luar. Penderitaan dalam berkaitan dengan 5 skandha
tercemar yang merupakan akibat yang matang sepenuhnya.
Penderitaan luar adalah akibat yang mempengaruhi lingkungan.
Apa maksudnya? Hal ini berkaitan dengan dunia tercemar tempat
kita tinggal. Cara lain untuk menjelaskan penderitaan sejati
adalah melalui hakikatnya. Hal ini merujuk pada penderitaan
akibat penderitaan, penderitaan akibat perubahan, dan
penderitaan akibat keberadaan yang berkondisi (penderitaan
laten). Istilah penderitaan sejati meliputi akibat apapun, semua
fenomena tak kekal yang dihasilkan oleh karma dan klesha yang
merupakan asal-mula penderitaan sejati. Jadi, ia tak hanya
meliputi skandha tercemar, tapi juga akibat lingkungan dari
dunia tercemar tempat kita tinggal.
Ketika Buddha pertama kali mengajar, beliau berkata,
"lnilah kebenaran Arya tentang penderitaan." Kata "inilah"
merujuk pada skandha tercemar yang didapatkan dan lingkungan
tempat kita tinggal. Meskipun lingkungan tempat kita tinggal
adalah suatu penderitaan sejati, namun ia bersifat sekunder.

18
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

Yang ditekankan oleh Buddha adalah skandha tercemar kita.


Dengan kata lain, beliau mengajarkan bahwa skandha kita
sendirilah yang membentuk dasar bagi pemahaman tentang
adanya 'aku'; inilah penderitaan sejati. Inilah yang diajarkan
oleh Buddha kepada kita.
Demikianlah yang bisa kita pahami dari kalimat pertama
Buddha. Namun lebih tepatnya, apa yang dimaksud di sini adalah
4 karakteristik penderitaan sejati sehubungan dengan skandha
kita: skandha tak kekal, skandha berhakikat penderitaan, skandha
berhakikat kesunyataan, dan skandha tak berinti. Kebalikan dari
karakteristik ini adalah pandangan salah yang kita miliki tentang
skandha kita. Jadi, sekali lagi, ketika Buddha membicarakan
penderitaan sejati, beliau merujuk pada skandha tercemar kita.
Skandha kita bersifat tak kekal. Hal ini tak begitu sulit
dipahami. Namun di sini, ‘tak kekal’ bukan berarti berubah
dari momen ke momen. Dalam konteks ini, skandha dikatakan
‘tak kekal’ karena mereka muncul dari sebab dan kondisi yang
sesekali. Istilah 'sesekali' atau 'kadang-kadang' bermakna bahwa
jika sebab dan kondisi bagi kemunculan skandha telah hadir,
maka mereka akan dihasilkan; sebaliknya, skandha takkan
muncul jika sebab dan kondisinya tak hadir. Jika segala sesuatu
kekal, maka ia takkan bergantung pada sebab dan kondisi. Jadi,
sekali lagi, ketika sebab dan kondisi bagi kemunculan skandha
telah hadir, atau ketika karma dan klesha yang dibutuhkan
untuk menghasilkan skandha hadir secara bersamaan, maka
semua skandha tercemar akan dihasilkan.

Lima Skandha
Ada 5 skandha yang kita miliki. Mereka adalah:
1. Bentuk (rupa): skandha ini merujuk ke tubuh fisik kita.

Ada 4 skandha lain yang merupakan fenomena batin:

19
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

2. Perasaan: faktor mental yang memungkinkan kita merasakan


kebahagiaan, kesedihan, sakit, dsb.
3. ldentifikasi: faktor mental yang memampukan kita mengenali
karakteristik dari sesuatu sehingga kita takmencampuradukkannya
dengan sesuatu yang lain. Istilah lain untuk skandha ini adalah
pembedaan atau diskriminasi.
4. Faktor-faktor pembentuk: yang utama dari skandha ini adalah
faktor mental niat. Kenapa? Karena niat juga merupakan karma.
Skandha ini juga termasuk semua faktor mental yang tersisa
selain perasaan dan identifikasi. Meski begitu, skandha ini juga
meliputi fenomena non-batin, seperti ketidakkekalan kita, usia
kita, serta kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian kita.
Semua ini adalah bagian dari skandha faktor-faktor pembentuk.
5. Kesadaran: merujuk pada 6 jenis kesadaran dari batin utama
yang dibutuhkan agar persepsi terjadi.

Dalam setiap penjelasan, istilah skandha muncul berkali-


kali. Ketika kita berbicara mengenai tubuh kita, misalnya,
mengapa tak cukup bila sekadar menyebutkan tubuh atau
bentuk fisik kita? Jika Buddha memilih untuk memakai istilah
skandha dalam kaitannya dengan tubuh kita, tujuannya adalah
untuk menggarisbawahi bahwa tubuh kita bukan hanya sekadar
satu padatan secara keseluruhan, namun merupakan campuran
antara unsur-unsur penyusunnya. Sebenarnya ini mudah untuk
dipahami. Kita tahu bahwa tubuh kita adalah sesuatu yang
kompleks, yang tersusun oleh berjuta-juta sel dan unsur lainnya,
namun kita berpura-pura mengabaikannya. Jadi, sebagai
pengingat, Buddha menyebut tubuh kita sebagai skandha
bentuk. Prinsip yang sama berlaku untuk skandha lainnya.
Contohnya skandha perasaan dan semua skandha lain
yang bersifat mental. Kita tahu bahwa batin bukan hanya sekadar
satu zat tunggal, namun merupakan campuran momen­momen

20
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

batin. Misalnya, ketika berkata bahwa kita memiliki perasaan,


kesannya seolah-olah perasaan itu adalah suatu barang, padahal
faktanya ia merupakan kumpulan sejumlah besar perasaan
singkat yang menyebabkan kita merasa sedang mengalami
sesuatu. Inilah alasan kenapa kita berbicara mengenai skandha
perasaan dan bukan hanya perasaan. Hal yang sama berlaku
untuk skandha lainnya.
Jadi, ketika Buddha menyebut tubuh kita sebagai skandha
bentuk, beliau mengajarkan kita bahwa tubuh bukan hanya
merupakan satu barang tunggal, namun merupakan kumpulan
sejumlah besar unsur. Hal yang sama juga berlaku untuk skandha
yang lain. Agar kesadaran terjadi, harus terdapat keseluruhan
rangkaian momen dari batin. Gagasan ini bertujuan untuk
menetralkan pandangan ihwal diri sebagai satu benda padat dan
tunggal. Dengan kata lain, Buddha sedang mengajarkan siapakah
kita sebenarnya. Dan siapakah kita? Kita adalah sosok tanpa diri;
dengan kata lain, kita bukan sebuah diri yang bebas, tunggal, dan
permanen (meski demikianlah kecenderungan kita memandang
diri sendiri). Dengan demikian, 5 skandha adalah cara Buddha
untuk secara perlahan memperkenalkan gagasan bahwa diri kita
tidaklah bebas, tunggal, dan permanen. Diri kita tersusun dari
berbagai unsur, yang dikenal dengan nama liima skandha.
Dengan membahas skandha, kita secara simultan juga
telah membahas karakteristik pertama dari penderitaan sejati,
bahwa ‘skandha tak kekal.’ Menyangkut karakteristik kedua,
bahwa ‘skandha berhakikat penderitaan,’ kita harus berhati-
hati. Kurang begitu tepat untuk berkata bahwa skandha tercemar
kita adalah penderitaan itu sendiri; ungkapan yang lebih tepat
adalah: hakikat skandha adalah penderitaan. Kita harus bisa
membedakan keduanya, karena pada dasarnya penderitaan
adalah sebuah perasaan. Kita tahu bahwa perasaan adalah
salah satu dari 5 skandha dan juga merupakan faktor mental,

21
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

sehingga bila kita berkata bahwa skandha adalah penderitaan


(yakni: sebuah perasaan), ini ibarat mengatakan bahwa
skandha sama dengan faktor mental. Tentu saja pernyataan
macam ini keliru. Skandha meliputi lebih dari sebuah faktor
mental, lebih dari sekadar perasaan. Untuk memahami 4
karakteristik dari penderitaan sejati lebih lanjut, berikut akan
dijabarkan penjelasannya.

Empat Karakteristik Penderitaan Sejati


1. Skandha tak kekal
Buddha mengajarkan 4 segel, yang merupakan 4
prinsip dasar Buddhisme dan ajaran Buddhis. Salah satunya
berbunyi bahwa semua fenomena komposit tak kekal. lni
mudah dipahami. Segala sesuatu yang muncul dari sebabnya
adalah tak kekal dan harus mengalami perubahan. Inilah segel
pertama, tapi bukan merupakan topik kita.

2. Skandha berhakikat penderitaan


Yang kedua adalah semua fenomena tercemar berhakikat
penderitaan. Buddha tak berkata bahwa semua fenomena
tercemar adalah penderitaan karena itu tak masuk akal (poin
ini sudah diulas di atas). Meski benar bahwa semua fenomena
tercemar berhakikat penderitaan, namun mereka berbeda dengan
penderitaan. Apa maksudnya berhakikat penderitaan? Artinya,
ia memiliki kemampuan untuk memunculkan penderitaan atau
perubahan menuju penderitaan. Contoh untuk hal ini adalah jenis
penderitaan ketiga, penderitaan akibat keberadaan yang berkondisi.
Jenis penderitaan ini merujuk pada perasaan netral, yang tak
menyakitkan maupun menyenangkan. Mengapa perasaan netral
disebut penderitaan akibat keberadaan yang berkondisi? Karena
ketika kondisi-kondisi tertentu hadir secara bersamaan, perasaan
netral akan berubah menjadi penderitaan. Ini mengacu pada jejak

22
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

karma dan sebagainya yang bertautan dengan perasaan netral ini.


Ketika jejak-jejak ini diaktifkan, mereka mengubah perasaan netral
menjadi penderitaan. Inilah makna dari berhakikat penderitaan,
yang tak sama dengan penderitaan itu sendiri.
Mengapa skandha tercemar dikatakan berhakikat
penderitaan? Karena mereka dikondisikan oleh karma dan klesha,
dan oleh sebab itu merupakan fenomena yang tak bebas. Saat
sesuatu bergantung pada sesuatu yang lain, maka ia tak bebas.
Dan ketika tak ada kebebasan, maka tak ada pula kebahagiaan.
Apa maksudnya tak ada kebebasan? Artinya, kita harus terus lahir,
sakit, menua, dan mati tanpa bisa memilih opsi lain yang lebih
baik. Kita menjadi subjek ketidakbebasan di bawah pengaruh
karma dan klesha kita. Inilah satu cara untuk memahami bahwa
sesungguhnya skandha tercemar kita berhakikat penderitaan.
Karena mereka, kita harus menderita dalam satu atau lain
cara. Tanpa memurnikan skandha tercemar ini, kita akan terus
mengalami penderitaan di masa yang akan datang.
Cara lain untuk memahami poin ini telah dipaparkan oleh
Arya Asanga dalam karyanya, Ikhtisar. Di sini, beliau mengatakan
bahwa skandha tercemar kita berhakikat penderitaan karena
mereka adalah dasar bagi kita untuk mengalami penderitaan di
masa yang akan datang. Mereka akan mengantar kita menuju
penderitaan di masa mendatang. Ini adalah rujukan yang
pertama. Rujukan kedua adalah kenyataan bahwa di atas dasar
skandha tercemar kita, kita harus menderita karena lahir, sakit,
usia tua, dan mati. Rujukan ketiga dan keempat menyatakan
bahwa skandha tercemar kita berhakikat penderitaan karena
mereka seperti punya kemampuan untuk memunculkan
penderitaan akibat penderitaan dan penderitaan akibat
perubahan di dalam diri kita. Rujukan kelima menyatakan
bahwa ketika skandha tercemar muncul dalam diri kita, maka
hakikat kemunculannya adalah penderitaan.

23
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

Untuk menyimpulkan, kita bisa mengatakan bahwa


skandha kita berhakikat penderitaan karena mereka bergantung
pada karma dan klesha, terlepas dari jenis kehidupan kita
dalam samsara–yang terlahir dengan skandha manusia akan
mengalami penderitaan manusia, yang terlahir dengan skandha
makhluk neraka akan mengalami penderitaan makhluk
neraka, yang terlahir dengan skandha dewa akan mengalami
penderitaan dewa, dsb. Karena hakikat penderitaan yang
dimiliki skandha tercemar ini, Panchen Rinpoche ke-1 menulis
dalam Jalan Mudah, “Terlahir dengan skandha tercemar adalah
ibarat selalu membawa beban duri ke mana pun kita pergi.”
Jadi, layaknya beban duri yang kita usung di bahu kita, skandha
tercemar selalu berpotensi untuk membuat kita menderita,
bahkan ketika penderitaan tak benar­benar terasa dalam artian
harfiah.
Jadi, ketika kita memeditasikan penderitaan samsara,
objek utamanya haruslah penderitaan yang dibawa oleh
skandha tercemar. Cara lainnya adalah dengan memeditasikan
jenis penderitaan ketiga, yaitu penderitaan akibat keberadaan
yang berkondisi. Dengan merenungkan bahwa sesuatu yang
netral pun suatu saat akan berubah menjadi penderitaan, kita
akan mulai membangkitkan keinginan untuk menghindari
penderitaan. Dan ketika keinginan ini menjadi lebih kuat
dan semakin kuat, kita akan mengembangkan apa yang
disebut sebagai penolakan terhadap samsara. Merealisasikan
penolakan terhadap samsara adalah langkah pertama menuju
pembebasan. Intinya, ketika kita berbicara ihwal kekurangan
samsara, ini sebenarnya ditujukan untuk melihat kekurangan
skandha tercemar kita.
Jenis penderitaan yang pertama, penderitaan akibat
penderitaan, tak sulit untuk dimengerti. Bahkan binatang pun tak
menginginkannya. Jenis penderitaan yang kedua, penderitaan

24
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

akibat perubahan, sudah ditolak oleh para dewa di alam yang


lebih tinggi. Baik dewa di alam rupaloka maupun arupaloka
telah mengatasi hasrat akan perasaan menyenangkan. Mereka
hanya memiliki penolakan terhadap hal tersebut. Meski begitu,
mereka masih belum mencapai pembebasan dari samsara.
Jenis penderitaan yang ketiga adalah yang paling penting.
Faktanya, ketika Buddha mengajarkan bahwa kita harus
merenungkan hakikat penderitaan, beliau merujuk terutama
pada jenis penderitaan ini–penderitaan akibat keberadaan
yang berkondisi. Poin ini dibenarkan oleh Dharmakirti. Menurut
logikawan tersohor ini, ketika Buddha mengatakan meditasi
penderitaan, yang utamanya beliau rujuk adalah penderitaan
akibat keberadaan yang berkondisi.

3. Skandha berhakikat kesunyataan


Yang ketiga menyatakan bahwa skandha kita tak
terbentuk oleh berkah seorang dewa yang kekal atau sosok
pencipta dunia. Dengan kata lain, skandha kita tak diciptakan
oleh sesosok makhluk agung di luar sana atau sejenisnya.

4. Skandha tak berinti


Yang keempat menyatakan bahwa skandha tak berinti.
Maksudnya, skandha kita tak bebas. Mereka tak punya diri
yang bebas dan kekal. Sebaliknya, mereka adalah kombinasi
atau campuran berbagai unsur, yang bermakna bahwa mereka
tak kekal. Kemunculan mereka bergantung pada sebab dan
kondisi, yang secara alamiah bermakna bahwa mereka tak
bebas. Ketiadaan diri yang bebas, kekal, dan sebagainya
inilah yang menjadi makna dari pernyataan bahwa ‘skandha
tak berinti.’ Demikianlah Buddha mengajarkan 4 karakteristik
ini untuk menetralkan 4 pandangan salah yang kita pegang
mengenai skandha kita.

25
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

Empat Pandangan Salah


1. Kita beranggapan bahwa skandha tercemar kita adalah sesuatu
yang murni
2. Kita meyakini bahwa skandha kita adalah sumber kebahagiaan.
3. Kita meyakini kekekalan skandha.
Ini terbukti dari bagaimana kita berperilaku. Kita terus
merencanakan masa depan dengan berpikir apa yang akan
dilakukan besok, apa yang akan dilakukan tahun depan, dan
bahkan menjelang kematian pun, kita terus memikirkan apa
yang akan kita lakukan. Kita menyusun semua rencana ini
karena jauh di lubuk hati, kita percaya bahwa kita akan selalu
hidup dan tak berubah dari waktu ke waktu. Secara alamiah,
sikap mencengkeram membuat kita tak percaya bahwa kita
pasti akan mati (minimal tidak dalam waktu dekat).
4. Kita beranggapan bahwa skandha berdiri sendiri dan bebas.
Inilah 4 pandangan salah yang merupakan sumber
masalah bagi diri kita. Sebenarnya, semua masalah datang dari
4 pandangan salah ini.

Menetralkan Empat Pandangan Salah tentang Skandha


Pandangan salah yang pertama menganggap skandha
tercemar sebagai sesuatu yang murni. Misalnya saja tubuh jasmani.
Kita tak pernah melihat tubuh kita apa adanya, yang pada dasarnya
hanyalah kumpulan berbagai jenis barang yang tak menarik. Kita
memandikan tubuh kita dan menghiasinya dengan barang-barang
yang indah. Namun, coba kita buka tirai yang menyelubungi
tubuh kita. Kulit kita adalah tirai yang menyembunyikan wujud
asli tubuh kita. Jadi, coba bayangkan tubuh kita tanpa kulit. Apa
yang akan kita lihat? Tak lain daripada cairan, darah, tulang, dan
daging; sama sekali tak ada yang menarik. Lagipula, tanpa kulit,
wujud semua orang di dunia ini pada dasarnya sama belaka.

26
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

Namun tetap saja, kita melihat tubuh kita sebagai sesuatu yang
bersih dan menarik. Bagaimana dengan skandha kita yang lain?
Mari kita lihat ke dalam batin kita. Dapatkah kita mengatakan
bahwa pemikiran kita sepenuhnya bersih? Akan sangat sulit untuk
mengakuinya. Di dalam batin, kita memiliki 6 klesha akar dan 20
klesha tambahan. Ini, sekali lagi, sama sekali tak menarik.
Pandangan salah yang kedua menganggap skandha adalah
sumber kebahagiaan. Kadang-kadang, memang bisa muncul
perasaan bahwa samsara tidaklah seburuk yang dijelaskan dalam
teks. Dan kalaupun kita akhirnya bisa memahami bahwa samsara
itu buruk (entah karena sekadar ikut-ikutan atau karena sedikit
jejak karma baik yang kita miliki), tingkat pemahamannya masih
sangat kecil. Potowa mengibaratkannya sebagai menaruh sedikit
tepung di atas segelas arak; tepung hanya akan mengapung
di atas dan tak tenggelam ke dasar. Penolakan kita terhadap
samsara adalah ibarat tepung yang mengapung ini; dengan kata
lain: masih sangat dangkal. Jika kita benar-benar ingin menolak
samsara, kita harus paham bahwa samsara bukanlah tempat yang
membahagiakan. Mustahil untuk berbahagia selama kita tetap
menjadi makhluk samsara. Jika kita menganggap penderitaan
sebagai kebahagiaan, maka tak ada jalan untuk membebaskan
diri dari samsara. Meski poin ini bisa dipahami secara intelektual,
namun dalam sebagian besar waktu kita, jangankan merasakan
penolakan, kita malah semakin menyukai samsara dan segala
tetek-bengek di dalamnya. Meskipun kita telah mengamini
ketidakkekalan (dalam bentuk kematian), memahami penderitaan
di alam rendah, memiliki praktik berlindung yang murni dengan
Triratna, dan melatih diri sesuai hukum karma, namun jika tujuan
di balik semua praktik ini masih untuk mengejar kenikmatan
samsara, kita takkan pernah bisa membebaskan diri darinya,
karena kita masih menganggapnya sebagai sumber kebahagiaan.
Jadi, apa penawar bagi pandangan salah yang kedua ini?

27
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

Penawarnya sama dengan penawar bagi pandangan salah yang


pertama, yaitu memeditasikan hakikat penderitaan yang dimiliki
oleh skandha tercemar kita. Selanjutnya, penawar bagi pandangan
salah yang ketiga dan keempat, secara berurutan, adalah
memahami hakikat ketidakkekalan kita dan melihat skandha kita
sebagai sesuatu yang sunyata.
Poin ini menyimpulkan penjelasan singkat mengenai
kebenaran Arya yang pertama. Meskipun Buddha hanya
membabarkan "inilah kebenaran Arya tentang penderitaan"
dalam satu baris yang sangat pendek, ajaran yang demikian tentu
akan sukar untuk kita pahami, sehingga kita butuh penjelasan
yang lebih panjang. Demikianlah kita telah membahas kebenaran
Arya yang pertama. Pada dasarnya, pembahasan kita adalah versi
panjang dari satu baris kalimat Buddha.
Poin penting lain yang perlu ditambahkan adalah pemakaian
istilah ‘mulia’, yang terkadang dipakai untuk menggantikan istilah
‘Arya’ dalam ‘Empat Kebenaran Arya.’ Dalam konteks ini, kita
memakai istilah ‘Arya’ karena 4 jenis kebenaran hanya bisa
dipahami oleh para Arya (Makhluk Unggul atau Mulia) yang
telah merealisasikan hakikat ketidakkekalan dan penderitaan
dengan sempurna. Dengan kata lain, ketika kita mengatakan
‘Empat Kebenaran Arya,’ yang ingin dimaksud adalah 4 jenis
kebenaran yang hanya dan telah dipahami oleh para Arya. Bila
kita melihatnya dari sudut pandang ini, maka istilah ‘Empat
Kebenaran Arya’ lebih tepat ketimbang ‘Empat Kebenaran Mulia.’

Tubuh sebagai Barang Pinjaman


Yogi India yang agung, Maitriyogi, menulis surat kepada
sahabatnya, seorang raja. Dalam surat ini, beliau mengatakan, "Sang
penguasa dunia, tubuh ini bagaikan sesuatu yang dipinjam untuk
jangka waktu tertentu. Ketika ia masih terbebas dari penyakit, usia
tua, dan kematian, kita harus menggunakannya untuk memastikan

28
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

bahwa kita takkan pernah lagi mengalami penyakit, usia tua, dan
kematian." Dalam baris pertama, Maitriyogi mengibaratkan tubuh
kita sebagai barang pinjaman. Kita tahu bahwa ketika meminjam
sesuatu dari seseorang, kita dapat menggunakannya untuk periode
waktu tertentu (bisa dalam hitungan hari, bulan, atau bahkan
tahun), namun cepat atau lambat, kita harus mengembalikannya
kepada si pemilik karena barang tersebut bukan milik kita. Tubuh
jasmani kita sesungguhnya juga adalah barang pinjaman. Tak
peduli berapa lama kita telah memakainya, cepat atau lambat kita
akan dan harus berpisah darinya; kita harus mengembalikannya.
Meski kenyataannya demikian, kita masih cenderung melihat
tubuh kita sebagai sesuatu yang kita miliki, sebagai harta kita,
bukan sebagai barang pinjaman.
Ketika mendengar analogi tubuh sebagai barang pinjaman,
kita mungkin berpikir bahwa analogi ini tak terlalu tepat karena
tubuh kita sudah kita miliki sejak awal kehidupan kita, terlepas
dari fakta bahwa kita harus meninggalkannya kelak. Akan tetapi,
ketika kita mengakui bahwa diri kita yang hadir di kehidupan saat
ini berasal dari diri kita di kehidupan lampau yang mengambil
wujud dalam kehidupan saat ini, kita akan sadar bahwa kita
tak datang dengan sebuah tubuh. Kesadaran batin kitalah yang
datang dan masuk ke dalam campuran sel sperma dan sel telur
orangtua kita. Dengan penalaran ini, kita tak bisa mengatakan
bahwa tubuh kita adalah milik kita. Tubuh kita adalah sesuatu
yang kita dapatkan dari orang lain, sama seperti barang pinjaman.
Banyak orang yang saat ini meyakini konsep reinkarnasi.
Namun apa maksudnya? Ketika kita mengambil kelahiran dalam
kehidupan saat ini, kita datang dari kelahiran sebelumnya. Apa
yang datang itu? Ia adalah kesinambungan batin–diri kita yang
hidup dalam kesinambungan batin tersebut. Ketika kita muncul
untuk pertama kalinya dari pembuahan di kehidupan saat ini,
kita tak datang dengan sebuah tubuh. Kesinambungan batin ini,

29
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

arus kesadaran yang kita sebut sebagai 'aku' ini, masuk ke dalam
diri orang tua kita selama proses pembuahan. Dari sanalah kita
memperoleh tubuh kita saat ini, dan inilah alasan kenapa tubuh
kita sebenarnya adalah barang pinjaman.

Bagaimana Kita Dilahirkan dan Akhirnya Menderita


Saat ini, temuan para ilmuwan di bidang proses pembuahan
benar-benar selaras dengan yang diungkapkan oleh Buddhisme.
Perihal kesinambungan batin yang masuk ke dalam sel telur yang
dibuahi atau zigot, mungkin pemahaman kaum ilmuwan masih
belum sejelas pemahaman dalam Buddhisme, karena Buddhisme
berbicara mengenai kesinambungan batin yang masuk ke dalam
kombinasi sel telur dan sel sperma.
Apa pun itu, satu hal yang kita tahu adalah: penyatuan
antara sel sperma dan sel telur dinamai zigot. Embrio adalah
perkembangan lanjutan dari zigot. Ukuran dari entitas ini
benar-benar kecil dan, oleh karenanya, sangat mudah rusak.
Kita barangkali terheran­heran mengetahui bagaimana sel yang
demikian kecil dapat menjadi sebuah dasar bagi tubuh fisik kita,
namun demikianlah faktanya. Keheranan kita mungkin akan
hilang melalui pemahaman bahwa kekuatan karmalah yang
memungkinkan sel teramat kecil ini menghasilkan kehidupan.
Sebagai tambahan, kita dapat menganalogikan sel kecil
penghasil kehidupan ini dengan serangga-serangga berukuran
teramat kecil. Kita tahu bahwa ada serangga yang ukurannya tak
lebih besar ketimbang sebutir partikel debu di ujung meja kita.
Namun toh kita tahu bahwa serangga ini hidup. Meskipun teramat
kecil, serangga ini juga punya tubuh dan batin. Faktanya, ia juga
punya 5 skandha. Skandha miliknya lengkap, sama seperti yang
kita miliki dengan tubuh besar kita. Dengan pemahaman ini, kita
akan paham bahwa kepemilikan tubuh dan batin tak bergantung
pada ukuran makhluk.

30
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

Setelah momen pertama pembuahan, yakni setelah


tubuh mikroskopis bergabung dengan arus batin kita, perasaan
kepemilikan atas tubuh mikroskopis akan muncul dengan
kuat dalam batin kita. Dalam Bodhicaryawatara4, Shantidewa
mengatakan hal yang sama, “Partikel kecil ini, yang merupakan
gabungan antara sel telur dan sel sperma orang tua kita, dipahami
sebagai ‘aku’.” Jadi, bahkan dari momen terawal hidup kita, kita
telah mencengkeram tubuh kita (betapa pun kecilnya ia) sebagai
milik kita; dari sana, kita lalu berpandangan bahwa tubuh kita
adalah milik kita sendiri dan bukan milik siapa pun. Kita tak sadar
bahwa apa yang kita namai ‘tubuh kita’ sebenarnya berasal dari
orang tua kita.
Dalam konteks apakah Shantidewa menjelaskan hal ini?
Dalam konteks menukar diri dengan makhluk lain; dengan kata
lain, mengganti sikap mementingkan diri sendiri dengan sikap
mementingkan makhluk lain. Beliau menyampaikan ajaran ini
karena pandangan salah yang kita miliki terhadap tubuh kita. Karena
sudah terbiasa, kita senantiasa berpikir bahwa benda yang kita
namai ‘tubuh kita’ adalah benar-benar milik kita, kepunyaan kita.
Demikianlah kutipan dari Shantidewa membenarkan baris pertama
dari nasihat Maitriyogi: bahwa tubuh kita pada dasarnya adalah
barang pinjaman yang cepat atau lambat harus kita kembalikan.
Ketika kita mampu menggunakan kehidupan kita saat ini
dengan baik untuk memberi faedah bagi diri sendiri dan orang
lain, maka inilah makna dari nasihat Maitriyogi ketika beliau
meminta kita untuk tak lagi merasa takut pada penyakit, usia tua,
dan kematian. Apa yang dimaksud dengan tak lagi merasa takut?
Artinya, ketika penyakit, usia tua, dan kematian terjadi pada kita,
mereka tak lagi menyebabkan penderitaan bagi kita. Capaian
inilah yang harus kita pastikan dalam kehidupan saat ini. Kalau

4
Lakon Hidup Bodhisatwa.

31
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

kita masih merasa takut dan menderita karena penyakit, usia


tua, dan kematian, pada dasarnya ketakutan dan penderitaan ini
berasal dari kurangnya kekuatan batin.
Mengapa perubahan membuat kita menderita? Karena apa
yang kita pikirkan tidak sesuai dengan hakikat segala sesuatu. Kita
memiliki tubuh jasmani, jadi logikanya, tubuh ini akan menua
dan sakit dari waktu ke waktu. Kejadian ini tak terelakkan, namun
kita tetap tak menginginkannya terjadi; jadi, ketika mereka terjadi,
dampaknya akan menyakitkan bagi kita. Kita harus realistis. Tubuh
kita bisa menua, sakit, dan mati. Tubuh yang terbebas dari semua
itu memang bisa diraih, tetapi jalan menuju ke sana masih sangat
panjang.
Sementara itu, kita harus berhadapan dengan apa yang
kita miliki sekarang. Saat ini, yang kita miliki adalah tubuh yang
bisa merasakan sakit secara fisik dan batin yang bisa mengalami
Kesedihan mendalam.
Namun, ada kemungkinan untuk terbebas dari semua
penderitaan ini. Dengan praktik spiritual yang tekun dan
bertahap, semua penderitaan ini takkan lagi bisa mempengaruhi
kita, meskipun mereka datang bertubi-tubi. Tanpa praktik yang
demikian, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan ketika menderita
adalah merasa cemas dan membalas apa pun yang kita anggap
sebagai pemicunya.
Ketika cara ini yang kita pilih, penderitaan atau
ketidaknyamanan akan semakin menguasai kita, semakin
membawa masalah bagi kita, dan menyebabkan kita kehilangan
keseimbangan batin.

Pembebasan Dapat Diraih Sekarang Juga


Kita telah mengambil kelahiran sejak waktu tak bermula.
Walaupun demikian, kita masih belum sanggup menempatkan diri

32
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

kita di posisi di mana kita tak perlu lagi terpengaruh oleh kematian,
penuaan, dsb. Kita tentu saja memiliki kesempatan untuk terbebas
dari mereka di banyak kehidupan lampau kita, namun kita gagal
melatih diri dengan baik. Sekarang, dalam kehidupan saat ini,
kita disodori kesempatan yang sama, tetapi jangan bayangkan
bahwa kesempatan ini pasti diperoleh kembali di masa yang akan
datang. Kesempatan ini sungguh sangat langka dan berharga.
Jadi, gunakanlah ia dengan sebaik-baiknya.
Ada kemungkinan untuk mengembangkan cara berpikir
kita, yakni dengan membalikkan peristiwa-peristiwa yang tak
menyenangkan menjadi menyenangkan. Hal ini dijelaskan dalam
bait latihan Yoga Guru, atau Lama Chöpa, atau Persembahan
Kepada Guru. Dalam bait ini dikatakan, "Bahkan ketika penderitaan
yang tak diinginkan terjadi padaku ibarat guyuran hujan sebagai
akibat dari karma burukku, berkahilah aku agar menyadari
bahwa karma burukku akhirnya telah berbuah, dan setelahnya,
bimbinglah aku agar dapat mengubah kondisi ini menjadi kondisi
yang mendukung praktikku." Inilah realisasi yang bisa kita raih di
kehidupan saat ini tanpa perlu mencapai tingkat Arhat.
Inilah realisasi yang bisa kita capai asalkan kita tahu tata
caranya. Pertama, kita mempelajari bagaimana dan mengapa
kita berada di dalam samsara, proses terlahir kembali di dalam
samsara, dan juga proses membebaskan diri dari samsara. Jika
kita memahami semua ini, kita dapat meraih pembebasan dari
samsara. Jika tidak, maka tak peduli seberapa banyak kita berdoa,
bermeditasi, dan melafal mantra, pembebasan takkan tercapai
meski kebajikan mungkin akan diraih. Semua praktik akan
menjadi sia-sia jika kita tak paham mengapa kita berada di dalam
samsara dan tata cara terbebas darinya.
Dalam Empat Kebenaran Arya, 2 kebenaran pertama
menjelaskan bagaimana dan mengapa kita berada di dalam

33
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

samsara berikut situasi di dalamnya, sedangkan 2 kebenaran


terakhir memberitahu kita bagaimana membebaskan diri dari
samsara. Proses memasuki dan berdiam di dalam samsara
dijelaskan oleh 2 kebenaran pertama. Proses membebaskan diri
dari samsara dijelaskan oleh 2 kebenaran terakhir. Demikianlah
Empat Kebenaran Arya diajarkan untuk, pertama-tama,
membuat kita memahami bagaimana dan mengapa kita terus
berada di dalam samsara berikut definisi samsara. Oleh karena
itu, kita memiliki 2 kebenaran pertama, yang masing-masing
adalah sebab (asal-mula penderitaan) dan akibat (penderitaan
itu sendiri). Lalu, kita juga memiliki 2 kebenaran terakhir, yang
masing-masing adalah sebab (jalan menuju pembebasan) dan
akibat (pembebasan itu sendiri).
Dalam Empat Kebenaran Arya, terdapat baris sebab dan
akibat masing-masing di bagian samsara dan pembebasan.
Namun, urutannya seolah-olah terbalik; di bagian samsara
maupun pembebasan, baris akibat dibabarkan terlebih dulu,
baru kemudian sebabnya. Padahal, secara logis, seharusnya asal-
mula penderitaan dijelaskan terlebih dulu sebelum menjelaskan
penderitaan itu sendiri, dan jalan menuju pembebasan dijelaskan
terlebih dulu sebelum menjelaskan pembebasan itu sendiri.
Namun, bukan begitu urutan yang dipilih oleh Buddha untuk
memaparkan Empat Kebenaran Arya. Beliau sengaja membalik
urutannya dan menjelaskan akibat terlebih dahulu sebelum
sebabnya. Apa alasannya? Demi kesuksesan praktik kita.
Jika, misalnya, Buddha mengajarkan asal­mula penderitaan
lebih dulu dan seseorang mengambil topik ini sebagai objek
perenungan, bisa jadi ia takkan benar-benar memahami kerugian
samsara dengan tepat. Karena ia tak punya gambaran yang jelas
ihwal apa itu penderitaan, bagaimana mungkin ia bisa benar-
benar memahami kerugian karma dan klesha. Dari sudut pandang
psikologi, merenungkan penderitaan terlebih dulu akan membawa

34
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

kita ke pertanyaan berikutnya, “Dari manakah datangnya


penderitaan ini dan bagaimana cara menyingkirkannya? Untuk
mencari jawabannya, kita akan melihat ke asal-mulanya, yaitu
skandha tercemar kita, dan berupaya mengatasinya. Jadi, demi
alasan praktis, inilah alasan kenapa akibat didahulukan ketimbang
sebab.
Dalam nasihat Maitriyogi, dikatakan bahwa kita harus
mengatasi rasa takut pada penyakit, usia tua, dan kematian.
Namun, jika kita hanya berlatih demi diri sendiri, cakupan tujuan
kita akan menjadi sangat sempit. Alangkah baiknya bila kita juga
berlatih demi kepentingan makhluk lain yang berada di dalam
samsara dan dalam posisi yang benar-benar sama seperti kita.
Mereka menginginkan pembebasan dari penderitaan, sesuatu
yang juga kita inginkan. Jadi, kita harus membangkitkan tekad
pembebasan demi semua makhluk di dalam samsara dan
memastikan bahwa mereka mencapai kebahagiaan tertinggi.

Mengembangkan Aspirasi menuju Pembebasan


Jika kita melihat garis besar dari 2 teks Lamrim karangan
kedua Panchen Lama–Jalan Cepat dan Jalan Mudah–dan
melihat penjelasan ihwal jalan yang dijalankan bersama makhluk
motivasi menengah, kemudian membandingkannya dengan garis
besar dari Lamrim Agung dan Lamrim Menengah karangan Je
Tsongkhapa, kita akan menemukan urutan yang sedikit berbeda.
Sebenarnya, kedua Panchen Lama mengikuti urutan dari Lamrim
karangan Je Tsongkhapa yang lebih pendek, yang disebut Baris-
Baris Pengalaman.
Dalam Lamrim mereka, bagian awal dari garis besar jalan
yang dijalankan bersama makhluk motivasi menengah memiliki
2 topik: menuju pembebasan dan menuju hakikat Sang Jalan
yang membimbing ke pembebasan. Topik yang pertama, menuju
pembebasan, terbagi menjadi 2 bagian: merenungkan penderitaan

35
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

umum samsara dan merenungkan penderitaan khusus samsara.


Dalam konteks kita kali ini, prosesnya serupa. Penjelasan
yang diberikan dalam Empat Kebenaran Arya adalah untuk
membangkitkan sebuah aspirasi menuju pembebasan, dan hal
pertama yang harus kita lakukan adalah tak berpikir tentang
pembebasan, melainkan tentang samsara. Kita harus melihat dengan
dekat apa itu samsara, apa artinya menjadi makhluk samsara, dan
mengenali hakikat penderitaan samsara. Setelah kita benar-benar
memahami bahwa hakikat samsara adalah penderitaan, barulah
kita akan memiliki keinginan untuk membebaskan diri darinya. Jika
tidak, mengapa pula kita harus repot-repot? Jadi, penjelasan yang
kita miliki di dalam garis besar Lamrim dan Empat Kebenaran Arya
adalah sama. Pertama, kita harus melihat penderitaan. Kemudian,
setelah benar-benar memahaminya dan ingin terbebas darinya,
barulah kemudian kita melihat asal-mulanya. Poin yang senada bisa
kita temukan di dalam Baris-­Baris Pengalaman, “Tanpa memahami
kerugian samsara, bagaimana mungkin kita bisa beraspirasi untuk
terbebas darinya?'
Poin pertama dalam jalan yang dijalankan bersama makhluk
motivasi menengah adalah menuju pembebasan. Kita mungkin
berpikir: “Jika aspirasi menuju pembebasan dari samsara ingin
dikembangkan, mengapa tak langsung saja membicarakan betapa
menyenangkannya pembebasan itu, keuntungan besarnya,
manfaatnya, dsb?” Seharusnya memang demikian, namun bukan
begitu cara yang dipaparkan di sini. Dalam Lamrim, diajarkan
bahwa untuk membangkitkan keinginan meraih pembebasan, kita
harus berpikir sebaliknya; yang harus dilihat adalah samsara itu
sendiri. Hanya ketika kita telah benar-benar merenungkan hakikat
sejati dari samsara dan betapa tak menyenangkan untuk berdiam
di dalamnya, barulah kita akan mencari jalan keluar darinya dan
mulai berpikir tentang pembebasan dari samsara, ibarat seorang
narapidana yang pasti ingin kabur dari penjara. Mengapa? Karena

36
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

penjara bukan tempat yang menyenangkan. Di sini, samsara


dianalogikan sebagai penjara.
Di sisi lain, jika yang kita renungkan adalah keuntungan
pembebasan, maka akan butuh waktu yang lama bagi perenungan
macam ini untuk benar-benar bisa menginspirasi kita mencari
pembebasan, dan tak ada jaminan bahwa aspirasi pembebasan
bisa diperoleh. Namun, ketika kita memikirkan lawan dari
pembebasan, ketika kita memikirkan kenyataan bahwa makhluk
samsara seperti kita takkan pernah bisa mengalami sedikit pun
momen kebahagiaan sejati, maka secara alamiah dan spontan
kita akan beraspirasi untuk mencari pembebasan dari samsara.
Hanya dengan pola pikir seperti inilah kita akan mampu menuju
pembebasan secara lebih efisien.
Dalam Uttaratantra, Buddha Maitreya berkata, "Sakit adalah
sesuatu yang harus dikenali. Jika kita tak tahu kalau kita sakit,
kita takkan mau minum obat, mencari dokter, dan lain-lain untuk
menjadi lebih baik." Dalam konteks ini, jika kita tak mengenali
hakikat kondisi kita saat ini, kita takkan pernah tahu kalau kita
sakit karena samsara, dan akibatnya, kita pun tak punya keinginan
untuk mencari dokter dan meminum obat yang diresepkan untuk
sembuh. Kita tak ingin sembuh karena kita tak pernah ingin
membebaskan diri dari samsara.
Sekarang, bagaimana kita memeditasikan kebenaran Arya
yang pertama, yaitu penderitaan? Ketika Buddha memaparkan
Empat Kebenaran Arya, 5 petapa segera merealisasikan
pembebasan dari samsara. Mengapa demikian? Karena mereka
telah siap. Mereka telah melatih diri pada tahapan jalan yang
dijalankan bersama makhluk motivasi awal, sehingga telah siap
untuk mendengar dan memahami Empat Kebenaran Arya.
Namun, makhluk biasa seperti kita masih harus memeditasikan
topik ini. Di manakah kita bisa menemukan instruksi untuk
melakukan meditasi ini? Pertama, jika kita melihat karakteristik

37
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

dari kebenaran Arya yang pertama, yaitu ketidakkekalan, kita akan


menemukan bahwa ia terbagi menjadi 2 jenis: ketidakkekalan
halus dan kasar. Dalam konteks Empat Kebenaran Arya, apa yang
diajarkan adalah ketidakkekalan yang halus. Walaupun demikian,
sebelum kita dapat benar­benar memahami ketidakkekalan yang
halus, kita harus terlebih dulu memahami ketidakkekalan yang
kasar. Apa itu? Keharusan untuk mati, kenyataan bahwa semua
kehidupan yang menyenangkan akan berakhir dan takkan terjadi
selamanya, bahwa kematian kita dapat terjadi kapan saja, dsb.

Mengatasi Kemelekatan pada Kehidupan Saat Ini


Jika kita buru-buru mencoba untuk memeditasikan
kekurangan dan penderitaan samsara, kita takkan sanggup
memperoleh realisasi. Mengapa demikian? Tanpa perlu
menyebutkan bahwa kita masih sangat melekat pada samsara, tak
ada keraguan bahwa kita masih sangat melekat pada kehidupan
sekarang. Jadi, memeditasikan penderitaan samsara dan
sebagainya tanpa terlebih dulu melepaskan diri dari kehidupan
sekarang takkan menghasilkan faedah apa pun. Sesungguhnya,
kemelekatan kita pada kehidupan saat inilah yang menahan
dan menghalangi kita untuk memahami hakikat samsara. Oleh
karena itu, pertama-tama, kemelekatan kita pada kehidupan
sekarang harus diatasi terlebih dulu. Je Tsongkhapa menjelaskan
bagaimana cara melakukannya, yakni dengan merenungkan
kelahiran kita sebagai manusia yang unggul dengan kebebasan
dan keberuntungannya. Dengan merenungkan betapa sulitnya
tubuh manusia yang berharga ini diperoleh dan betapa tak
kekalnya ia, kita akan tergerak untuk terus-menerus memperoleh
tubuh berharga yang sama di kehidupan berikutnya, dan ini pada
gilirannya dapat mengatasi kemelekatan pada kehidupan saat ini.
Cara yang terbaik adalah dengan merenungkan keharusan
kita untuk mati. Alasannya, ketika kita tak memikirkan kematian,

38
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

pikiran kita akan tersedot ke tetek-bengek kehidupan sekarang


dan kita mungkin akan terperangkap di dalamnya. Mencari dan
mengalami kesenangan sebanyak mungkin dalam kehidupan
sekarang akan menjadi prioritas kita. Prioritas ini muncul karena kita
lupa bahwa kita harus mati. Tak peduli seberapa menyenangkan
hidup yang kita miliki, kehidupan ini tetap akan berakhir. Ia
bukanlah sesuatu yang berlangsung lama. Bahkan, ia adalah
sesuatu yang sangat singkat, dan sebelum kita menyadarinya, ia
tiba-tiba saja sudah berakhir. Kemelekatan kita yang kuat pada
kehidupan sekarang berasal dari keyakinan bahwa kita akan hidup
selamanya, bahwa kehidupan ini takkan pernah berakhir. Ketika
kita menyadari bahwa kenyataannya bukan demikian, kesadaran
inilah yang akan membantu kita mengurangi kemelekatan pada
kehidupan saat ini.
Apakah ini berarti tak ada yang bisa kita nikmati dalam
kehidupan saat ini, tak ada waktu indah, dan tak ada barang bagus
yang bisa kita nikmati? Tentu saja ada. Kita memiliki banyak sensasi
atau perasaan menyenangkan yang terjadi sepanjang hidup kita,
tapi masalahnya adalah: semua ini takkan berlangsung lama.
Perasaan itu sendiri juga takkan berlangsung lama. Jika seluruh
hidup kita hanya terdiri dari rangkaian satu momen kesenangan
ke momen kesenangan lainnya, seberapa panjang hidup kita
bisa berlangsung? Kehidupan kita sekarang mungkin hanya akan
berlangsung maksimal 100 tahun, dan tak ada jaminan bahwa
hidup akan terus menyenangkan sampai 100 tahun. Ketika kita
beranjak tua, indra kita melemah dan kemampuan kita menikmati
barang akan berkurang; jadi, mungkin kita hanya mampu untuk
mengalami kesenangan sampai 80 tahun saja. Intinya adalah:
segala kesenangan yang kita nikmati hanya bisa bertahan sampai
kehidupan saat ini saja.
Jika kita sanggup membawa waktu yang indah dan perasaan
yang menyenangkan dari kehidupan sekarang ke kehidupan

39
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

berikutnya, maka ceritanya akan berbeda. Tapi bukan itu


ceritanya. Ketidakmampuan untuk membawa semua kesenangan
ke kehidupan selanjutnya bukanlah hal yang baik, namun, yang
bahkan lebih buruk daripada itu adalah fakta bahwa kemelekatan
kita yang kuat pada kesenangan ini akan terus menciptakan
karma pelempar untuk terlahir kembali di dalam samsara. Dan
karena karma pelempar ini berasal dari kemelekatan, tentunya ia
takkan menghasilkan akibat yang membahagiakan; alih-alih, ia
akan melempar kita ke alam rendah.
Jadi, dengan merenungkan betapa singkatnya kehidupan
kita saat ini dan fakta bahwa kita tak bisa membawa segala
kesenangan ke kehidupan yang akan datang, kita harus segera
melepas kehidupan saat ini dan mulai mencemaskan kehidupan
mendatang, karena jangka waktu kehidupan yang akan datang
jauh lebih panjang daripada kehidupan saat ini. Selanjutnya, kita
mulai bertanya pada diri sendiri, "Bagaimana cara memastikan
kebahagiaan di kehidupan yang akan datang?" Jawabannya:
dengan memahami betapa singkatnya kehidupan kita saat ini.
Inilah alasan kenapa kita harus mulai dengan memeditasikan
kematian. Inilah alasan kenapa di awal tahapan jalan menuju
pencerahan yang dijalankan bersama makhluk motivasi awal,
dikatakan bahwa kita harus berlatih mengembangkan ketertarikan
pada kehidupan yang akan datang.

Merenungkan Kematian
Cara pertama yang dijelaskan dalam garis besar adalah
merenungkan bahwa hidup ini takkan berlangsung lama dan
bahwa kita harus mati. lni diikuti dengan merenungkan hakikat
dari kelahiran kembali kita di kehidupan yang akan datang, yang
bergantung pada jenis kelahiran yang kita miliki (bisa berupa
kebahagiaan atau penderitaan). Jadi, kita memiliki 2 langkah untuk
membangkitkan perhatian kita pada kehidupan kita yang akan

40
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

datang: merenungkan kepastian kematian kita dan merenungkan


hakikat dari kelahiran kembali kita.
Merenungkan kematian dilakukan dalam 3 langkah.
Pertama, kita harus memikirkan kerugian tak mengingat kematian
dan manfaat mengingat kematian. Alasannya, jika kita tak sadar
akan kerugian akibat tak memikirkan kematian, kita takkan
mau memikirkannya, dan jika kita tak memikirkan manfaatnya,
kita akan berhenti memikirkan dan memeditasikan kematian.
Langkah kedua adalah tata cara untuk merenungkan kematian.
lni dilakukan dalam 2 cara: memeditasikan 9 poin pada kematian
dan memeditasikan proses kematian.
Jika kita mengikuti urutan di dalam Lamrim, dengan kata
lain, jika kita mulai dengan memeditasikan kematian selaku wujud
ketidakkekalan, maka ada harapan bagi kita untuk memperoleh
realisasi. Sebaliknya, jika kita mengabaikan dasar dari perenungan
penderitaan sejati dan melompat langsung pada meditasi
penderitaan samsara secara umum (jalan makhluk motivasi
menengah), kita takkan meraih hasil apapun dari meditasi kita.
Mungkin pemahaman kita akan bertambah, tapi hal ini takkan
membawa perubahan drastis dalam pola pikir kita.
Kita harus menghormati urutan yang diberikan karena
itulah satu-satunya cara untuk membawa perubahan dalam pola
pikir kita. Jika kita tak mengikuti urutan, jika kita melompat ke
depan atau maju berputar­putar, kita takkan mendapatkan hasil
apa pun dari dari meditasi kita. Ini ibarat membangun sebuah
dinding bata. Pertama-tama, kita harus membangun fondasinya,
baru kemudian kita dapat membentangkan beberapa lapis bata
untuk membangun dinding yang kita inginkan. Jika kita telah
membangun fondasinya, jika kita telah menyadari tahapan jalan
yang dijalankan bersama makhluk motivasi awal di dalam diri kita,
maka takkan ada masalah. Kita dapat bergerak maju ke tahapan
jalan makhluk motivasi menengah.

41
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

3 Sudut Pandang dalam Memeditasikan Kematian


1. Sekarang kita harus berkata pada diri sendiri bahwa walaupun
kita telah memperoleh kelahiran kembali yang unggul dengan
kebebasan dan keberuntungannya, cepat atau lambat kita
harus melepaskan tubuh kita; dengan kata lain, kehidupan
kita akan berakhir. Hal ini sangat pasti dan tak ada harapan
ataupun kemungkinan untuk berdebat atau mendiskusikan
kesahihannya. Hal ini seratus persen pasti terjadi. Inilah hal
pertama yang harus kita pikirkan tentang diri kita sendiri.

2. Selanjutnya, walaupun kita sudah pasti harus mati, namun


waktu kematian kita tidaklah pasti. Ini bukan hanya masalah
umur, karena umur sama sekali tak ada kaitannya dengan
waktu kematian. Seseorang bisa mati kapan saja. Ini juga bukan
masalah kesehatan. Semua itu tak bisa menentukan seberapa
lama kita bisa bertahan hidup. Sesungguhnya, satu-satunya
faktor penentu adalah karma kita. Karmalah yang menentukan
apakah hidup kita akan berakhir sekarang atau tidak.

3. Ketika hidup kita akan berakhir, apa yang dapat kita bawa
bersama dengan kita? Pastinya bukan teman kita, anggota
keluarga kita, ataupun orang yang kita cintai. Tak peduli
seberapa sayangnya mereka terhadap kita, kita tetap harus
meninggalkan mereka. Dalam waktu yang singkat, kita
harus meninggalkan segala sesuatu dan berangkat sendirian.
Inilah 3 sudut pandang dalam memeditasikan kematian kita.

Apa yang Terjadi Setelah Kematian?


Cepat atau lambat, kita harus meninggalkan hidup ini, dan
ketika waktunya tiba, kita harus berangkat sendirian ke tempat
yang asing. Pertama, ke alam bardo (alam antara), yang bagaikan
jalan berbahaya yang tak kita kenal. Kita pergi ke sana sendirian,

42
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

di mana ada banyak hal menakutkan yang akan terjadi pada kita.
Ketika ini terjadi, kita tak bisa berharap bahwa kita akan menghilang
dan lenyap begitu saja. Kita tak punya pilihan kecuali mengambil
kelahiran yang lain dan terlahir kembali. Ada 2 kemungkinan
ketika kita terlahir kembali: terlahir di alam tinggi atau rendah.
Sayangnya, kita benar-benar tak bebas untuk memilih. Kelahiran
kembali kita ditentukan oleh karma, bukan kehendak bebas kita.
Jadi, kita harus bertanya pada diri sendiri, “Ketika ajal
sudah tiba, jenis karma seperti apa yang paling mungkin
matang?” Jika kita mau jujur dan melihat bagaimana tingkah
laku kita dalam kehidupan ini, kita harus mengakui bahwa
kebajikan kita sangat sedikit dan jarang. Faktanya, cara berpikir
kita masih banyak dipengaruhi oleh klesha, yang membuat kita
mengumpulkan karma yang buruk dan berbahaya bagi diri kita.
Setelah mengetahui bahwa kebanyakan dari karma yang kita
miliki adalah karma buruk, kita tentu sepenuhnya sadar bahwa di
kelahiran yang berikutnya kita akan terlahir di alam rendah dan
harus mengalami penderitaan yang hebat.
Jika, misalnya, kita terlahir sebagai makhluk neraka di
kehidupan mendatang, penderitaan yang harus kita terima
sangat besar, dan kita mesti mengalaminya untuk jangka waktu
yang sangat panjang, terlalu panjang bahkan untuk sekadar
dibayangkan. Ketika kita mati, entah kapan pun itu, kehidupan
ini akan berakhir dan kita akan menemukan diri kita di kehidupan
berikutnya. Namun, meski telah mengambil bentuk kehidupan
yang lain, pengalaman kita akan rasa sakit dan sebagainya takkan
berubah. Kita tetap harus mengalami penderitaan yang sangat
besar. Tak ada bedanya dengan jenis tubuh kita sekarang.
Jadi, sekali lagi, kematian dapat terjadi kapan saja. Hidup
ini dapat berakhir dalam waktu yang sangat singkat, dimulai dari
sekarang. Dan ketika ini terjadi, kita akan merasa seolah-olah baru
saja bangun dari mimpi. Kehidupan kita yang lampau akan terasa

43
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

seperti mimpi, di mana kita akhirnya bangun dan menemukan


diri kita dalam situasi yang sepenuhnya berbeda, dengan siksaan
tanpa henti dan tak terbayangkan yang harus kita alami. Kita harus
merenungkan poin ini dan menyadari betapa menipunya hidup ini.

Triratna sebagai Penawar Samsara


Sekarang ini kita berada dalam posisi yang sangat berbahaya,
namun pada saat yang sama, kita juga memiliki keberuntungan
yang bagus, yakni peluang untuk melakukan sesuatu agar bahaya
ini terhindarkan. Peluang ini hadir dalam wujud Triratna. Jika kita
dapat melihat Buddha sebagai sosok yang telah menunjukkan
perlindungan, melihat Dharma sebagai perlindungan yang
sesungguhnya, dan melihat Sangha sebagai penyokong praktik
berlindung kita, secara otomatis kita akan meletakkan seluruh
keyakinan kita kepada Triratna. Jika kita sudah sepenuhnya
berlindung pada Triratna, kita bisa yakin bahwa kita akan terhindar
dari kejatuhan ke alam rendah.
Sebagai tambahan, kita juga harus memastikan bahwa
kita mempraktikkan sila-sila yang ada dalam praktik berlindung,
terutama menjalani hidup sesuai hukum karma, karena inilah sila
yang paling utama dan penting. Kita harus berlatih mengakrabkan
batin kita dengan sila-sila dan hidup sesuai dengannya agar mampu
menghindari karma buruk, terutama 10 jalan karma hitam. Jika kita
juga mempraktikkan purifikasi karma buruk yang telah kita lakukan
di kehidupan sekarang dan kehidupan sebelumnya, lengkap
dengan pengakuan dan penerapan 4 kekuatan, hal ini akan sangat
bermanfaat. Melalui praktik-praktik ini, kita bisa menetralkan karma
untuk terlahir kembali di alam rendah, dan sebaliknya, menghasilkan
karma untuk terlahir kembali di alam tinggi.
Dengan demikian, berlindung kepada Triratna tak hanya
bermakna memercayakan diri kita pada Triratna atau pada Buddha
selaku sosok yang telah menunjukkan Sang Jalan. Berlindung juga

44
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

bermakna mempraktikkan ajaran dan instruksi beliau, dengan kata lain:


berupaya untuk hidup sesuai dengan sila-sila dari praktik berlindung.
Dengan praktik yang terus-menerus dan berulang-ulang, batin kita,
secara perlahan tapi pasti, akan menjadi akrab dengan ajaran. Kita
akan terlatih dengan sendirinya. Ketika kematian akhirnya tiba, yang
akan muncul dalam batin kita adalah apa yang akrab dengan kita,
dan dalam kasus ini, ia adalah ajaran yang kita latih.
Memeditasikan kematian akan membuat kita menjadi
tak terlalu melekat pada kehidupan saat ini. Kita memunculkan
ketertarikan pada kehidupan mendatang dan kemudian melakukan
apa yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa kita terhindar dari
penderitaan di masa yang akan datang. Dengan cara ini, kita
dapat menghindari kelahiran kembali di alam rendah, setidaknya
untuk sementara waktu. Namun, seperti yang telah kita bahas,
tidaklah cukup jika kita hanya mengatasi kemelekatan pada
kehidupan saat ini, berhubung dalam rangkaian kelahiran baik
kita di masa mendatang, selalu ada risiko yang sangat besar untuk
kembali jatuh ke alam rendah dan menderita sekali lagi. Jadi,
selain mengatasi kemelekatan pada kehidupan saat ini, kita juga
harus mengatasi kemelekatan pada samsara secara keseluruhan.
Jika kita tetap melekat pada samsara, maka tak ada kemungkinan
untuk membebaskan diri darinya. Inilah alasan kenapa kita
harus melatih batin kita pada tahapan jalan yang dijalankan
bersama makhluk motivasi menengah; kumpulan makhluk yang
mengaspirasikan pembebasan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk
pembebasan, ada 2 tahapan yang harus diikuti: merenungkan
penderitaan umum samsara dan merenungkan penderitaan
khusus samsara. Untuk alasan inilah Buddha mengajarkan:
"Inilah kebenaran Arya tentang penderitaan”; dan selanjutnya:
“Mengenali kebenaran dari penderitaan walaupun tak ada yang
harus dikenali.” Untuk merenungkan penderitaan samsara, tahap

45
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

pertama adalah merenungkan 6 jenis penderitaan umum yang


berkaitan dengan semua kondisi di dalam samsara, kemudian
merenungkan penderitaan khusus karena kelahiran kembali yang
berbeda-beda di dalam samsara.

Sesi Tanya-jawab I
Tanya: Ketika ingin bermeditasi, haruskah kita memeditasikan
semua topik (kelahiran sebagai manusia yang berharga, dst)
dalam satu meditasi penuh, atau lebih baik jika kita menyisihkan
satu hari untuk setiap topik?
Jawab: Apa yang saya jelaskan adalah tata cara memeditasikan
Lamrim. Tidak ada satu cara baku untuk melakukannya.
Beberapa orang menyelesaikan keseluruhan Lamrim dalam satu
hari; beberapa orang akan memeditasikan jalan makhluk motivasi
awal selama satu hari, jalan makhluk motivasi menengah di
hari yang lain, dan jalan makhluk motivasi agung di hari yang
berbeda; orang lain akan memecahnya menjadi bagian yang lebih
kecil lagi dan hanya memeditasikan, misalnya, kemuliaan terlahir
sebagai manusia di satu hari, ketidakkekalan di hari berikutnya,
penderitaan alam rendah di hari berikutnya lagi, dsb. Tak ada
program yang baku. Semuanya terserah masing-masing individu,
terserah pada kemampuan dan keberanian mereka, serta seberapa
banyak usaha yang ingin mereka lakukan.
Tanya: Jika misalnya perlindungan kita tak kuat, haruskah kita
lebih berkonsentrasi pada topik berlindung tanpa lanjut ke topik
berikutnya?
Jawab: Jika kita ingin menekankan praktik berlindung, maka
kita bisa melakukan meditasi ringkas pada aspek-aspek lain dari
Sang Jalan dan mengulanginya dengan sangat singkat. Dengan
kata lain, jika kita ingin menekankan praktik berlindung, maka
untuk topik lain yang tak terlalu berhubungan dengan praktik ini,

46
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

kita hanya perlu memikirkannya saja, mengulang mereka secara


singkat; setibanya di topik berlindung, barulah kita berhenti dan
mengambil waktu sejenak untuk benar­benar merenungkannya.
Mengapa kita tetap perlu meluangkan waktu untuk memikirkan
topik-topik lain meski hanya sejenak? Karena meskipun singkat,
meluangkan waktu untuk memasukkan semua aspek Sang
Jalan ke dalam perenungan akan mengakrabkan batin kita
dengan mereka. Dengan demikian, ketika waktunya tiba untuk
memeditasikan mereka, kita tinggal melakukannya tanpa perlu
lagi mereka-reka. Singkatnya, walaupun hanya sejenak atau
dibuat-buat, perenungan yang demikian akan meninggalkan jejak
dalam arus batin kita, dan ini merupakan sesuatu yang positif.
Tanya: Apabila ada keinginan untuk menguntungkan semua
makhluk, apakah itu adalah sebuah kemelekatan?
Jawab: Bukan.
Tanya: Jika kita berkeinginan untuk menolong orang lain dan
kemudian menjadi marah, akankah kita jatuh ke alam rendah?
Jawab: Ya, jika kita berkeinginan untuk menolong orang lain
dan kemudian menjadi marah, maka pada saat itu juga keinginan
tersebut sudah lenyap. Ini bukan lelucon. Ini benar. Motivasi awal
kita telah hilang. Seseorang yang sedang marah tak bisa menolong
orang lain.
Tanya: Dalam situasi ini, apakah artinya orang ini tetap akan
jatuh ke alam rendah?
Jawab: Karena telah menghasilkan sebab untuk terlahir kembali
di alam rendah, bukan berarti kita pasti terlahir kembali di alam
rendah. Jika kita berusaha untuk menetralkan karma buruk ini,
maka kita takkan terlahir kembali di alam rendah. Dalam konteks
ini, ada baiknya kita meluangkan waktu untuk mempelajari topik
hukum karma agar bisa lebih memahami cara kerjanya.

47
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

Penderitaan Samsara
Dalam garis besar Lamrim, perenungan penderitaan terbagi
menjadi 2 bagian: penderitaan umum samsara (terbagi menjadi 6
jenis kekurangan) dan penderitaan khusus samsara. Terkait 6 jenis
kekurangan dalam penderitaan umum samsara, kekurangan karena
ketidakpastian dan karena ketidakpuasan adalah yang terburuk.
Bisa dikatakan bahwa mereka mencakupi semua kekurangan
lainnya. Mustahil untuk mengalami kebahagiaan sejati di dalam
samsara karena ketidakpastian yang menjadi sifatnya. Tak peduli
betapa baik hidup yang kita miliki dan betapa bagus barang
yang kita punyai dalam samsara, kita tahu bahwa mereka bukan
kebahagiaan sejati karena sifat tak pasti mereka. Karena segala
sesuatu tak pasti, maka sifatnya adalah menderita. Ketidakpastian
inilah masalah terbesar yang kita hadapi di dalam samsara. Jadi,
jika kita bisa memahami poin ini, bahwa ketidakpastian adalah
aspek hakiki dari samsara, maka masalah kita akan berkurang,
dan kita takkan terkejut lagi ketika masalah bermunculan. Dengan
kata lain, kita takkan terluka oleh perubahan dan masalah yang
timbul karenanya, berhubung kita tahu pasti bahwa semua itu tak
terelakkan selama kita masih berdiam di dalam samsara.

Enam Jenis Kekurangan Samsara


1. Kekurangan karena ketidakpastian
Ada 4 sudut pandang untuk melihat 4 kekurangan ini: 1]
ketidakpastian terkait tubuh yang kita miliki; 2] ketidakpastian
terkait siapa yang akan menyakiti dan menolong kita, dan kapan
mereka akan melakukannya; 3] ketidakpastian terkait hal-hal
baik yang bisa kita alami di dalam samsara; 4] ketidakpastian
terkait hubungan persahabatan kita.
Semua sudut pandang ini sangat menolong, sebab jika
tidak, ketidakpastian itu sendiri adalah kenyataan yang sangat
luas. Pertama, kita akan melihat ketidakpastian terkait tubuh

48
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

yang kita miliki. Kita harus merenungkan bahwa tak peduli


betapa indahnya tubuh yang kita miliki, katakanlah tubuh
seorang raja atau presiden yang berstatus tinggi, tubuh macam
ini takkan bertahan selamanya; cepat atau lambat kita harus
melepasnya pergi. Kita tak dapat mengandalkannya terus-
menerus. Ini bukanlah sesuatu yang sulit dipahami, namun kita
perlu merenungkannya dengan baik.
Kedua, kita akan melihat ketidakpastian terkait siapa
yang akan menyakiti dan menolong kita. Kita mungkin memiliki
seseorang yang kerap menolong kita dalam berbagai fase
hidup kita, namun bukan berarti ia yang pernah menolong
kita akan terus melakukannya selamanya. Bisa saja hubungan
kita dengan orang ini berubah karena satu peristiwa kecil
atau remeh. Orang yang tadinya kerap menolong kita
akhirnya malah berubah menjadi orang yang menyakiti kita.
Sebaliknya, orang yang biasanya tak banyak membantu dan
malah menimbulkan masalah bagi kita bisa saja akan berbalik
menolong kita, seiring dengan semakin membaiknya hubungan
kita dengannya. Ini adalah sesuatu yang kita semua alami. Ini
adalah satu aspek dari ketidakpastian. Ketika ia terjadi, kita
butuh merenungkannya berulang-ulang. Situasi seperti ini sudah
dijelaskan oleh Nagarjuna. Beliau mengatakan bahwa orang
yang sekarang adalah ayah kita telah menjadi putra kita berkali-
kali, dan ibu kita telah menjadi istri atau suami kita berkali-kali
di masa lampau. Kita tak boleh berpikir bahwa ketidakpastian
hanya berkaitan dengan kehidupan saat ini saja. Makhluk yang
sama bisa punya hubungan yang berbeda dengan kita dari satu
kehidupan ke kehidupan lainnya. Itulah sebabnya mengapa
Shantidewa berkata bahwa seseorang yang namanya saja
sudah menakutkan kita, dalam waktu yang singkat setelah ia
mati, bisa saja berubah menjadi orang yang sangat kita kasihi.
Ketiga, kita akan melihat ketidakpastian terkait hal-hal

49
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

baik yang bisa kita alami di dalam samsara. Kita mungkin berada
dalam posisi yang sangat baik pada masa waktu tertentu, namun
tak ada jaminan bahwa kondisi ini akan terus berlanjut. Kita
mungkin jatuh ke status yang sangat rendah, dan sebaliknya,
seseorang dengan status yang rendah dapat dengan sangat
mudah bangkit ke posisi yang lebih tinggi dalam masyarakat.
Hal ini berlaku untuk kekayaan kita juga. Seorang hartawan
bisa berubah menjadi gembel dalam satu malam, dan sama
halnya, seorang gembel juga bisa menjadi hartawan dalam satu
malam. Untuk merenungkan ketidakpastian ketiga ini, kita tak
perlu membaca teks Buddhis. Yang perlu kita lakukan adalah
membaca sejarah. Ketika kita membaca banyak buku sejarah,
kita akan tahu bahwa ada banyak raja yang pada satu waktu
menjadi penguasa besar namun harus berakhir di penjara atau
dipenggal kepalanya. Dengan membaca buku sejarah, kita akan
memahami betapa tak pastinya segala hal baik yang kita miliki.
Tentu saja, kita harus menghubungkan poin ini dengan diri kita
sendiri. Kita tak boleh hanya melihat ke luar, tapi juga harus
melihat ke dalam diri kita sendiri.
Untuk ketidakpastian terkait hubungan persahabatan
kita, saya kira poin ini cukup jelas dan tak perlu diulas secara
panjang lebar.
Pada umumnya, kapan pun kita berada di dalam
samsara, kita harus mengalami 6 jenis kekurangan, yang
dimulai dari ketidakpastian. Di sini, kita dapat merenungkan
4 aspek ketidakpastian dari samsara. Ketika merenungkan
ketidakpastian samsara, kita bisa melakukannya secara umum,
dalam artian melihat dunia di sekeliling kita, tapi mungkin
akan lebih baik jika ini dikaitkan dengan pengalaman kita
sendiri, dimulai dengan ketidakpastian terkait tubuh yang kita
miliki. Di sini, kita melihat bahwa tubuh kita akan mengalami
proses penuaan, dan ketika ini terjadi, kita benar-benar akan

50
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

mengalami proses kemerosotan. Jadi, tubuh sehat yang kita


miliki sekarang bukanlah sesuatu yang dapat kita andalkan,
karena sebenarnya tubuh kita tak dapat dipercaya.
Kita harus bisa menyadari bahwa betapa pun baiknya
situasi yang kita temukan di dalam samsara, bahkan katakanlah
kita menemukan kemungkinan terbaik yang bisa kita bayangkan,
hal tersebut tetap bukan sesuatu yang bisa kita andalkan. Mengapa
demikian? Karena cepat atau lambat ia akan berubah. Segala
sesuatu di dalam samsara memiliki hakikat perubahan, dan cepat
atau lambat, bahkan situasi yang terbaik pun akan menjadi tak
terandalkan. Inilah sebabnya mengapa dalam Dasar Semua
Kebajikan, Je Tsongkhapa mengatakan: "Setelah memahami
bahwa sumber daya yang sempurna dalam samsara tak dapat
diandalkan, bangkitkanlah aspirasi sukacita akan pembebasan."
Kalimat di atas sangat ringkas, hanya dua baris, namun
mereka tentunya membawa makna yang sangat mendalam dan
relevan. Tak peduli betapa hebatnya posisi yang kita nikmati
dalam masyarakat, tak peduli betapa besarnya kekayaan atau
status kita, tak peduli betapa menyenangkannya keluarga yang
kita miliki dan betapa cantiknya anak kita, tak peduli betapa
bagus dan menakjubkannya lingkaran pertemanan kita, tak
peduli betapa baiknya kesehatan dan kecantikan kita, semua
itu hanya sempurna dari sudut pandang duniawi. Bagaimana
dengan sisi spiritualnya? Tak peduli betapa sempurnanya guru
yang kita temui, tak peduli betapa indahnya ajaran yang kita
dapatkan dari mereka dan betapa baiknya sahabat Dharma
yang kita miliki di sekeliling kita, semua ini tetap tak bisa
diandalkan. Mereka bukan sesuatu yang benar-benar bisa kita
andalkan, karena cepat atau lambat mereka akan berubah.
Jadi, tak ada satu pun situasi atau aspek yang dapat kita
andalkan; segala sesuatu akan berubah. Ketika kita melihat
situasi kita dari sudut pandang ketidakkekalan yang halus, semua

51
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

ini akan semakin jelas. Tak peduli betapa menakjubkannya


sebuah situasi, ia adalah sesuatu yang berubah setiap saat,
dari momen ke momen; ia bangkit di satu momen dan hilang
di momen selanjutnya. Ia berubah menjadi sesuatu yang lain,
berakhir dan menghasilkan momen yang lain, menjadi sesuatu
yang bakal berubah lagi kelak. Ketika kita memahami ini, kita
akan sadar bahwa segala sesuatu tak bisa diandalkan, bahwa
cepat atau lambat ia akan berakhir dan berubah sepenuhnya.
Kita memiliki kesan bahwa sesuatu bisa bertahan dalam
jangka waktu tertentu. Kita berharap demikian karena kita
memiliki pandangan salah ihwal hakikat berbagai hal di sekeliling
kita dan diri kita sendiri. Kita memegang dan mengganggap
mereka kekal, sedangkan faktanya tak demikian. Tentu saja,
kesalahpahaman ini menuntun ke semua jenis masalah.
Singkatnya, karena kesalahpahaman ini, kita terus-menerus
berputar di dalam samsara. Karena 4 jenis ketidakpastian ini,
kita dituntun untuk memutari samsara berulang-ulang.

Tinjauan Ulang
Guru Atisha mengatakan, "Hidup ini singkat, dan banyak
hal yang harus dipelajari. Kita tak tahu seberapa lama kita akan
hidup, jadi kita harus menarik intisari terdalam dari kehidupan
kita bagaikan seekor angsa yang dapat memisahkan susu dari
air." Jadi hidup ini singkat. Hal ini tak butuh penjelasan apapun.
Kita paham bahwa ketika dikatakan “banyak hal yang harus
dipelajari,” artinya ada banyak hal yang harus kita ketahui,
sedangkan kita tak tahu berapa lama kita akan hidup. Inilah alasan
kenapa kita harus mengabaikan segala sesuatu yang tak penting
dan tak menghamburkan tenaga kita untuk berbagai jenis aktivitas
yang sia-sia. Lakukanlah apa yang benar-benar bermakna untuk
meraih sesuatu yang berharga, tak hanya untuk diri sendiri tapi
juga untuk semua makhluk yang tak terhitung jumlahnya.

52
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

Guru Atisha mengatakan bahwa ada banyak hal yang


harus dipelajari, dan sesungguhnya, kita tak akan pernah selesai
mempelajari semua hal yang harus diketahui, kecuali bila kita sudah
menjadi Buddha. Bahkan dari sudut pandang duniawi, ada banyak
hal yang kita sukai dan ingin lakukan, namun kita takkan mungkin
merampungkan semuanya. Kita takkan mungkin bisa memuaskan
segala nafsu duniawi kita; kalau begitu, mengapa terus berusaha?
Akan jauh lebih baik jika kita melakukan apa yang memang
seharusnya kita lakukan. Tentu saja untuk bertahan hidup, kita
harus mencari nafkah, dan jika kita memiliki tanggungan keluarga,
maka juga menjadi tanggung jawab kita untuk menjaga mereka.
Namun, tak ada artinya melebih-lebihkan urusan duniawi
dan berusaha memuaskan segala nafsu duniawi. Dengan
mencukupkan diri pada pemenuhan kebutuhan hidup, kita akan
punya lebih banyak waktu untuk melakukan hal-ihwal yang jauh
lebih bermakna. Meski begitu, bahkan urusan duniawi pun dapat
menjadi kegiatan yang bermakna jika kita melakukannya dengan
kerangka berpikir tertentu. Jika motivasi kita mencari nafkah
adalah agar bisa bertahan hidup sehingga bisa memiliki waktu
untuk berpraktik spiritual dan mengupayakan kebahagiaan semua
makhluk, maka urusan duniawi kita akan menjadi bermakna.
Jadi, mengapa kita terus berusaha memperoleh lebih
daripada pemenuhan kebutuhan hidup? Karena kita tak bebas.
Kehidupan kita terus-menerus berada di bawah pengaruh karma
dan klesha, dan ini bukanlah sesuatu yang membahagiakan.
Untuk mengubahnya, kita harus membawa perubahan besar
dalam cara berpikir kita agar kita sanggup meraih pembebasan.
Namun, jika kita hanya ingin meraih pembebasan pribadi, ini
akan menjadi tujuan yang terbatas. Kita harus sadar bahwa
bukan hanya diri kita yang dikendalikan oleh karma dan klesha,
dan oleh karenanya tak bebas. Sesungguhnya, semua makhluk
di dalam samsara juga berada dalam posisi yang sama. Jika kita

53
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

menginginkan kebahagiaan, begitu pula dengan mereka; jika kita


ingin menghindari penderitaan, begitu pula dengan mereka. Kita
semua sepenuhnya sama dalam kasus ini.
Lebih lanjut, walaupun kita tak sepenuhnya menyadari
hal ini, namun lingkaran samsara yang tak berawal menyiratkan
bahwa semua makhluk pasti pernah menjadi ibu kita, ayah kita,
dan orang-orang yang mencurahi kita dengan kebaikan. Bahkan
dalam konteks kehidupan saat ini, tak ada keraguan bahwa semua
hal baik yang kita nikmati sekarang adalah hasil dari usaha makhluk
lain; jadi, akan sangat tak adil bila kita mengabaikan kebahagiaan
mereka. Untuk membahagiakan mereka semua, tentu saja kita
harus melatih diri hingga mencapai tingkat Kebuddhaan. Dengan
demikian, tiap ajaran yang disimak haruslah dibarengi dengan niat
untuk mempraktikkannya. Namun, jika niat ini ditujukan untuk
mengejar kebahagiaan kita sendiri, maka kita akan menjadi sosok
yang amat egois, sedangkan kita tahu bahwa keegoisan kitalah
yang membimbing kita untuk tetap berdiam di dalam samsara.
Keegoisan kitalah yang membuat kita tak sanggup bangkit
melangkah lebih jauh dari posisi kita sekarang. Sesungguhnya,
kita tetap terjerumus di kedalaman samsara sampai saat ini karena
keegoisan kita. Poin ini dikemukakan oleh Shantidewa. Beliau
meminta kita untuk melihat perbedaan antara makhluk biasa
yang masih egois dan makhluk agung yang hanya mementingkan
kebahagiaan semua makhluk.
Sebelumnya, telah dibahas bahwa dalam upaya kita
mengaspirasikan pembebasan, Lamrim tak mengajarkan kita untuk
merenungkan manfaat pembebasan dan sebagainya. Sebaliknya,
kita diajarkan untuk merenungkan lawan dari pembebasan, yaitu
samsara. Dan ketika berbicara tentang kekurangan samsara, kita
tak boleh membayangkan samsara sebagai sesuatu yang berada di
luar diri kita; apa yang dimaksud dengan samsara adalah skandha
tercemar milik kita sendiri. Untuk lebih jelasnya, samsara adalah

54
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

ihwal 5 skandha, ihwal tubuh dan batin kita. Namun, kita tak
sedang membicarakan diri kita sendiri. Di sini, kita harus berhati-
hati: kita bukanlah tubuh maupun batin, tapi kita memiliki sebuah
tubuh dan batin. Keduanya bukan hal yang sama. Jadi, samsara
adalah tubuh dan batin yang kita miliki, yang dipengaruhi oleh
karma dan klesha. Jadi, ketika Buddha membabarkan “Inilah
kebenaran Arya tentang penderitaan,' yang beliau maksud adalah
skandha kita, batin dan tubuh kita yang berhakikat penderitaan.
Buddha juga sering membandingkan penderitaan samsara
dengan lautan yang luas. Poin ini tentu saja telah diulang oleh
para pengikut beliau. Misalnya, Aryadewa berkata, “Lautan
penderitaan samsara sama sekali tak berbatas; anakku, bagaimana
mungkin engkau tak takut tenggelam di dalamnya?” Setelah
mengetahui dalam dan luasnya penderitaan samsara, kita tetap
tak merasa takut kalau-kalau kita akan tenggelam di dalamnya.
Mengapa? Karena pandangan kita terhalang oleh ketidaktahuan.
Kita bagaikan memakai sebuah cadar yang menutupi mata kita dan
menghalangi kita melihat kondisi kita sekarang; cadar penghalang
pandangan kita ini adalah ketidaktahuan.
Saat ini, tak hanya kelihatan tak mampu melihat hakikat
penderitaan dari samsara, kita justru menganggapnya sebagai
kebahagiaan. Kita benar-benar memiliki pandangan yang bertolak
belakang dengan kebenaran. Ketidaktahuan dan kesalahpahaman
yang demikian akan membimbing kita menuju penderitaan yang
lebih besar. Kita bagaikan sedang tertidur dan bermimpi bahwa
hakikat samsara adalah kebahagiaan. Untuk membangunkan
kita dari tidur ini dan mengguncang kita untuk keluar dari
kesalahpahaman total ini, hal paling pertama yang dilakukan
oleh Buddha adalah mengajarkan kebenaran yang pertama,
“Inilah kebenaran Arya tentang penderitaan.” Di sini, yang beliau
rujuk sebagai penderitaan adalah samsara kita, skandha tercemar
kita. Beliau mengatakan bahwa mereka berhakikat penderitaan,

55
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

bahwa mereka adalah penderitaan sejati. Semua realisasi


bergantung pada poin ini. Jika kita tak melihat samsara dengan
cara demikian, kita takkan bisa membebaskan diri kita darinya.
Jadi, jika kita tak lagi ingin menderita, maka hal ini sepenuhnya
bergantung pada cara kita melihat skandha tercemar kita sebagai
berhakikat penderitaan. Jika kita ingin bahagia, jika kita ingin
mengatasi penderitaan, sudah pasti kita tak punya pilihan selain
menyingkirkan skandha tercemar kita. Kita tak bisa mencari
pembebasan dari samsara sembari menyimpan skandha tercemar
kita; keduanya benar-benar bertentangan. Jika kita menginginkan
yang satu, maka kita harus menyingkirkan yang lain.
Kita tak bisa memiliki panas dari api tanpa apinya. Jika tak
ada panas, maka tak ada api. Kita tak bisa memisahkan keduanya.
Dengan cara yang sama, demikian pula penderitaan dan skandha
tercemar sepenuhnya bertautan. Kita tak dapat memisahkan
keduanya. Dengan kata lain, jika kita menyingkirkan penderitaan,
maka kita juga menyingkirkan skandha tercemar; keduanya ada
atau tidak sama sekali. Jadi, jika kita benar-benar tak lagi ingin
menderita, maka kita tak punya pilihan selain menyingkirkan
skandha tercemar kita. Untuk alasan inilah Je Tsongkhapa
mengatakan dalam Lamrim Agung, “Jika kita tak menghasilkan
rasa jijik yang murni terhadap samsara, yang hakikatnya adalah
skandha tercemar kita, kita takkan pernah meraih sebuah aspirasi
sejati untuk pembebasan.” Beliau lanjut mengatakan, “Jika kita
tak membangkitkan rasa jijik terhadap samsara atau penderitaan
samsara, maka mustahil untuk benar­benar merealisasikan welas
asih.” Tentu saja ini sepenuhnya benar. Jika kita tak merasa jijik
terhadap penderitaan samsara, kita takkan mampu berwelas asih
terhadap para pengembara samsara. Beliau lanjut mengatakan,
“Untuk alasan inilah, tak peduli kendaraan mana yang kita ikuti,
penolakan terhadap samsara menjadi hal terpenting.”
Beliau lanjut mengatakan bahwa untuk mencapai hal

56
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

tersebut, kita tak punya pilihan selain membangkitkan pemahaman


atas perkataan Buddha, baik yang tercantum di dalam sutra, winaya
atau Tripitaka secara umum, dan juga yang tercantum dalam risalah
atau komentar atas perkataan Buddha (seperti karya Nagarjuna
dan Asanga). Jadi, beliau menekankan bahwa pemahaman kita
atas hakikat samsara haruslah tepat; jika tidak, kita takkan punya
dasar yang tepat untuk mencari pembebasan dari samsara.
Pemahaman yang tepat adalah sebuah keniscayaan, karena
praktik kita akan menjadi keliru jika kita salah memahami ajaran.
Welas asih dan kesabaran yang keliru tentunya hanya akan
menghabiskan waktu kita. Welas asih yang keliru adalah merasa
kasihan pada mereka yang tak membutuhkannya, dan kesabaran
yang keliru adalah merasa sabar dengan sesuatu yang tak perlu
disabari. Contoh welas asih yang keliru adalah mengasihani Jetsun
Milarepa. Jetsun Milarepa adalah seorang praktisi tingkat tinggi.
Beliau membaktikan waktunya untuk praktik spiritual, dan sebagai
hasilnya, beliau meraih pencapaian tertinggi. Meski demikian,
beliau adalah seorang yang sangat miskin. Beliau tinggal di dalam
gua dan tak memiliki apapun untuk dimakan, dipakai, dsb. Di sini,
jika kita merasa kasihan pada Jetsun Milarepa, tentu ini adalah
welas asih yang keliru. Kita sama sekali tak perlu mengasihani
sosok agung seperti Jetsun Milarepa.
Jetsun Milarepa memiliki saudara perempuan. Kita tak tahu
apakah ia lebih tua atau muda. Saudaranya bernama Peta Gonkyi,
dan ia benar-benar sangat miskin. Ia benar-benar tak memiliki
harta benda apa pun. Ketika mengetahui apa yang dilakukan
saudara laki-lakinya di dalam gua, ia segera merasa kasihan
padanya dan berkelana mengemis ke mana-mana untuk membeli
sepotong kain wol tenun untuk diberikan kepadanya. Setelah
berhasil membeli kain wol tenun, ia pun pergi ke gua Jetsun
Milarepa dan memberikan kain tersebut sambil berkata, "Sungguh
memalukan. Engkau berdiam di sini tanpa barang apa pun. Apa

57
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

yang dimiliki guru besar yang lain? Mereka memiliki pakaian


yang indah untuk dikenakan, mereka memiliki banyak pembantu,
mereka memiliki makanan enak untuk dimakan, mereka memiliki
penutup kepala untuk menutup kepala mereka ketika berkelana
dari satu tempat ke tempat lain. Di sisi lain, engkau tak punya
penutup kepala, tak punya pembantu, tak punya makanan untuk
dimakan, tak punya pakaian untuk dikenakan. Ada sesuatu yang
salah! Apakah Dharma yang sedang engkau praktikkan bukan
Dharma yang benar, ataukah Dharma orang lain yang keliru? Apa
pun itu, setidaknya terimalah sepotong kain ini sehingga engkau
punya sesuatu untuk dikenakan. Sangat memalukan untuk duduk
di dalam gua ini tanpa apa pun untuk dikenakan.” Dan Peta
Gonkyi menangis. Ia sangat tergerak dan merasa sangat kasihan
pada saudaranya. Ini adalah contoh kasus welas asih yang keliru,
karena tak ada alasan untuk mengasihani sosok agung seperti
Milarepa. Jika kita tak berhati-hati, kita juga dapat memiliki
pemahaman keliru mengenai samsara dan apa itu samsara, persis
seperti yang dilakukan oleh Peta Gonkyi.
Setelah memberikan kain pada saudaranya, Peta Gonkyi
pun pergi. Apa yang dilakukan Jetsun Milarepa dengan kain ini?
Bukannya membuat pakaian yang sepantasnya, beliau malah
memotongnya kecil-kecil. Beliau membuat potongan kecil untuk
menutupi satu bagian dari tubuhnya, dan potongan kecil lainnya
untuk menutupi bagian tubuh yang lain. Ketika Peta Gonkyi
datang mengunjunginya kembali, ia pun terkejut bukan main,
"Astaga, apa yang telah engkau lakukan? Engkau merusak kain
yang telah begitu susah kudapatkan. Maksudku memberikan kain
ini adalah agar engkau bisa menyembunyikan rasa malumu dan
menutupi dirimu, bukannya bepergian telanjang ke mana-mana;
namun, engkau malah menyia-nyiakan pemberianku."
Pertanyaannya: kenapa Jetsun Milarepa rela mengorbankan
waktu praktiknya hanya untuk membuat potongan pakaian yang

58
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

aneh? Karena beliau ingin menunjukkan pada saudara perempuannya


dan berusaha membuatnya sadar bahwa ia tak paham apa definisi
rasa malu yang sebenarnya, apa yang harus seseorang malui, dan
apa yang seseorang tak perlu malui. Intinya, Peta Gonkyi tak paham
apa hakikat sejati dari samsara dan sebagainya.
Kembali ke bait dari Je Tsongkhapa. Selanjutnya, beliau
mengatakan, “Ketika kita telah mencapai pemahaman yang benar-
benar tepat, kita tak boleh lantas berpuas diri, melainkan harus
menggunakan kebijaksanaan dan meditasi analitis sepanjang waktu
untuk membawa perubahan yang drastis dalam cara berpikir kita.”
Jadi, memiliki pemahaman tepat saja tak cukup, karena ia masih
belum stabil. Agar ia stabil, kita harus terus-menerus menganalisis
segala sesuatu melalui kebijaksanaan kita. Dengan cara ini,
transformasi yang besar akan terjadi dalam cara berpikir kita.
Transformasi ini sangat penting. Tidaklah cukup bila kita
hanya duduk dan berpikir bahwa hakikat samsara memang
adalah penderitaan; hal ini sama sekali tak efektif. Kalaupun ada
hasil yang muncul, maka ia hanya akan berupa hasil sementara
yang dinamai 'penolakan bulu kuduk,' yang muncul segampang
berdirinya bulu kuduk angsa dan akan menghilang secepat kilat.
Guru Mongolia saya yang merupakan Gomang Khensur Rinpoche,
Geshe Ngawang Nyingma, pernah berkata, “Kalian orang Tibet
memiliki penolakan samsara yang menggelikan. Kalian memiliki
penolakan samsara bulu kuduk.”
Demi transformasi besar inilah kita merenungkan penderitaan
samsara dalam kerangka 8 bentuk penderitaan. Sebenarnya, di
dalam sutra, Buddha menjelaskan penderitaan samsara dengan cara
yang berbeda: ada penjelasan 6 bentuk, 8 bentuk, dan 3 bentuk;
bahkan dalam sutra Mahayana, beliau menjelaskannya dalam 110
bentuk. Beliau melakukan penggolongan ini bukan untuk membuat
segala sesuatu menjadi rumit atau demi kepuasan intelektual,
melainkan untuk memperdalam pemahaman kita dan membuat kita

59
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

memahami topik penderitaan dengan cara yang berbeda-beda.


Kedua Pelopor Agung, Asanga dan Nagarjuna,
mengumpulkan semua penggolongan yang terpencar di berbagai
sutra ke dalam susunan yang membantu kita untuk lebih mudah
memahami topik ini. Misalnya, dalam Ikhtisar, Asanga memaparkan
susunan 8 bentuk dan 3 bentuk penderitaan samsara. Di sisi lain,
dalam Surat untuk Sahabat, Nagarjuna memaparkan susunan 7
penderitaan.
Semua paparan ini terdapat di dalam Lamrim Agung Je
Tsongkhapa. Mereka dihimpun di sana. Apa yang lebih mampu
diakses oleh kita adalah paparan di dalam Jalan Cepat dan Jalan
Mudah. Di dalam kedua teks ini, paparannya jauh lebih mudah
dipahami oleh kita. Pertama-tama, dijelaskan soal 2 kategori
penderitaan samsara: penderitaan umum samsara dan penderitaan
khusus samsara. Untuk penderitaan umum samsara, susunan
didasarkan pada Surat untuk Sahabat, meski 7 penderitaan yang
seharusnya tercantum dikurangi menjadi 6. Penderitaan khusus
samsara dipecah menjadi 2 bagian: penderitaan di alam rendah
dan penderitaan di alam tinggi. Pada jalan makhluk motivasi
menengah, penderitaan di alam rendah tak diulang lagi karena
telah dibahas dalam jalan makhluk motivasi awal. Meski merujuk
pada penderitaan makhluk neraka, setan kelaparan, dan binatang,
namun di sini, penjelasan lebih difokuskan pada penderitaan
manusia, asura, dan dewa. Dan di antara ketiga kelahiran
tinggi ini, yang lebih ditekankan adalah penderitaan manusia.
Mengapa demikian? Karena penderitaan asura dan dewa jauh
lebih abstrak bagi kita. Kita tak bisa melihat mereka dan takkan
sanggup mengaitkan diri dengan penderitaan mereka. Di sini,
7 penderitaan didasarkan pada 8 penderitaan susunan Asanga
yang telah dikurangi satu, karena jelas lebih mudah bagi kita
untuk memikirkan penderitaan yang berkaitan langsung dengan
pengalaman pribadi kita sebagai manusia.

60
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

Intinya, semua hal baik di dalam samsara bersifat tak pasti,


dan tepatnya karena sifat inilah maka mereka tak dapat diandalkan.
Mereka sesungguhnya berubah dari momen ke momen, dan ini
disebabkan oleh ketidakpastian yang menjadi hakikat mereka.
Upaya mengejar kebahagiaan duniawi adalah pandangan salah
yang disebabkan oleh sikap mencengkeram pada keabadian dan
kekekalan. Merenungkan ketidakkekalan akan sangat bermanfaat
bagi pemahaman kita atas hakikat sejati dari samsara.

2. Kekurangan karena ketidakpuasan


Setelah kekurangan karena ketidakpastian, kita memiliki
kekurangan karena ketidakpuasan, yakni ketidakmampuan
untuk merasakan kepuasan. Ini, sekali lagi, adalah salah satu
dari yang terburuk dari aspek samsara, berdampingan dengan
ketidakpastian. Ia adalah sesuatu yang kita rasakan terus-
menerus. Dalam satu bait dari Parchin Dupa, Ashwaghosha
menyebutkan bahwa meski kita memperoleh objek-objek
yang menggairahkan dan menggunakannya setiap hari, kita
tak pernah merasa puas. Kita selalu ingin lebih dan lebih, dan
sesungguhnya tak ada penyakit yang lebih parah ketimbang
ketidakpuasan. Ketika kita menginginkan sesuatu untuk
memuaskan hasrat, kita mencari barang tersebut, meraihnya,
menggunakannya, dan pada akhirnya tetap tak merasa puas.
Hakikat hasrat memang tak bisa puas, dan inilah alasan kenapa
ia dikatakan sebagai penyakit terparah yang bisa dibayangkan.
Kita harus ingat bahwa kepuasan hanya bisa diperoleh ketika
kita telah menghilangkan semua hasrat.
‘Hasrat’ yang dimaksud di sini adalah salah satu klesha
akar yang disebut nafsu keinginan atau kemelekatan. Ini
penting untuk dicatat, berhubung tak semua hasrat adalah
klesha. Misalnya, hasrat untuk membahagiakan semua makhluk
dan melenyapkan pendertaan mereka tentu saja merupakan

61
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

kualitas yang positif. Mereka adalah kebajikan dan tak ada


kaitannya dengan klesha. Di dalam Dasar Semua Kebajikan, Je
Tsongkhapa berkata, “Ketidakpuasan merupakan pintu menuju
semua penderitaan.” Hal ini cukup mudah dipahami dan bisa
menjadi dasar yang baik untuk merenungkan kekurangan
samsara yang kedua, yaitu ketidakpuasan.
“Jadi, apa yang tak pernah memberikan kepuasan ketika
kita menggunakannya? Apa pintu menuju semua penderitaan?
Apa yang sepenuhnya tak dapat diandalkan atau dipercayai?
Jawabannya: segala sesuatu yang baik di dalam samsara.”
Dalam dua baris ini, Je Tsongkhapa telah memaparkan inti
terdalam dari keberadaan samsara.

3. Kekurangan karena harus meninggalkan tubuh kita berulang kali


Kekurangan yang berikutnya adalah keharusan
meninggalkan tubuh kita berulang kali. Inilah persisnya yang
terjadi di dalam samsara. Kita berputar terus-menerus: kita lahir,
lalu mati, lalu lahir lagi, kemudian mati lagi, dst. Setiap saat kita
dilahirkan, kita harus mati. Tentu saja, kematian bukan sesuatu
yang menyenangkan; ia sangat menyakitkan. Dan parahnya,
kita tak hanya mengalaminya sekali saja, namun berkali-kali
dan terus-menerus. Inilah maksud dari kekurangan yang ketiga.
Inilah keharusan yang kita alami; proses kematian terus­menerus
di dalam samsara. Ketika kita harus menyerahkan tubuh kita,
atau dengan kata lain, ketika kita meninggal, apa rasanya?
Tentunya sangat menakutkan.
Apa yang membuat kematian terasa begitu menakutkan?
Kemelekatan. Lebih tepatnya, kemelekatan pada diri sendiri,
khususnya pada tubuh jasmani kita. Ini juga berkaitan dengan
kesalahpahaman bahwa tubuh jasmani adalah diri itu sendiri,
sehingga ketika kita melihat bahwa kita harus menyerahkan
tubuh kita, kita percaya bahwa kita sendiri juga akan lenyap tak

62
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

berbekas, dan hal tersebut sangat menakutkan bagi kita.

4. Kekurangan karena harus dilahirkan terus-menerus


Kita tak hanya harus meninggalkan tubuh kita berulang
kali, namun juga harus dilahirkan berulang kali. Kelahiran juga
bukan merupakan hal yang menyenangkan. Ketika batin kita
memasuki entitas rapuh yang merupakan kombinasi antara
sel telur dan sel sperma, kita merasa seperti dilempar ke
dalam air panas yang mendidih, dan tentu saja hal ini sangat
menyakitkan. Dan parahnya, ini bukan sesuatu yang hanya kita
rasakan sekali atau dua kali; kita harus mengalaminya berulang
kali setiap kali kita terlahir kembali di dalam samsara.
Ketika kesadaran batin memasuki kombinasi sel sperma
dan sel telur pada waktu proses pembuahan, batin utama dan
5 skandha turut hadir menemaninya. Jadi, ketika batin yang
teramat halus memasuki kombinasi sel telur dan sel sperma yang
jauh lebih kasar (betapa pun kecil kekasarannya), proses ini
akan terasa seperti sebuah kejutan. Karena sudah ada perasaan
dan kontak yang menyertai batin, proses ini takkan terasa
menyenangkan. Hal Ini adalah sesuatu yang dipahami oleh
Buddhisme, meskipun para ilmuwan yang mengamati proses
pembuahan belum tentu menganut pemahaman yang sama.

5. Kekurangan karena status yang terus berubah


Kekurangan ini adalah sesuatu yang harus kita alami
terus-menerus selama kita berputar di dalam samsara. Jika
status tinggi kita stabil kapan pun kita dilahirkan, maka tak ada
yang perlu dicemaskan. Namun sayangnya, bukan demikian
kasusnya, karena faktanya, kita akan terus-menerus mengalami
perubahan status, dan dalam satu kelahiran tertentu, kita bisa
saja menemukan diri kita dalam posisi yang buruk. Perubahan
ini terjadi sepanjang waktu.

63
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

6. Kekurangan karena tak memiliki sahabat


Kalaupun kita harus mengalami masalah dan
kesengsaraan karena terus berganti status, namun bila kita
setidaknya memiliki beberapa sahabat baik yang benar-benar
bisa kita percaya dan andalkan, maka perubahan status takkan
begitu bermasalah. Kita mungkin masih sanggup bertahan.
Namun sekali lagi, bukan demikian kasusnya, karena faktanya,
mustahil untuk menemukan seorang sahabat sejati di dalam
samsara, seseorang yang takkan pernah mengecewakan kita.
Sebelumnya, telah dijelaskan bahwa orang yang merupakan
teman kita hari ini mungkin akan menjadi musuh kita esok
harinya, dan sebaliknya. Namun, kalaupun kita memiliki cukup
kebajikan untuk memiliki seorang sahabat sejati, sahabat ini
juga tak bisa diandalkan selamanya, karena ketika kematian
kita tiba, kita takkan bisa membawanya menemani kita ke
kehidupan berikutnya.

Perenungan
Ada sebuah bait dalam Sutra Barisan Tangkai yang
berbunyi, “Karena nafsu keinginan, kita menyia-nyiakan tubuh
kita.” Dengan kata lain, kita menyia-nyiakan kesempatan kita
untuk meraih pencerahan ketika kita memiliki kemungkinan untuk
melakukannya, dan sebab bagi hilangnya kesempatan ini adalah
nafsu keinginan.
Kemudian, ada bait lain yang senada, “Karena nafsu
keinginan dan kegiatan yang tak bermakna, kita menyia-nyiakan
kesempatan kita, menyia-nyiakan tubuh kita; kita telah terlahir
sejak waktu tak bermula, namun kita belum melakukan apa pun
untuk menyenangkan para Buddha; kita belum mempelajari kata-
kata Buddha.” Dengan kata lain, meski kita tahu kalau kita tak
punya kesempatan di masa lampau untuk bertemu dengan ajaran

64
Kebenaran Arya Tentang Penderitaan

Buddha, di kehidupan saat ini kita nyatanya juga tak menaruh


minat untuk mempelajari ajaran yang berharga ini.
Gagasan yang ingin disampaikan oleh bait-bait ini adalah:
kita telah menyia-nyiakan sejumlah besar tubuh yang telah kita
peroleh sejak waktu tak bermula di dalam samsara. Bagaimana
kita telah menyia-nyiakan mereka? Dengan tetap melekat pada
samsara. Dan jika kita tak melakukan apa pun untuk mengatasi
kemelekatan ini, maka ia akan terus berlanjut, dan di masa yang
akan datang kita akan terus menyia-nyiakan tubuh kita tanpa henti.
Je Tsongkhapa menyimpulkan baris-baris dari sutra
ini dengan mengatakan bahwa apa pun hal menakjubkan di
dalam samsara sudah pernah kita nikmati. Maksudnya, segala
hal terbaik yang ditawarkan oleh samsara telah kita alami di
semua kehidupan lampau kita. Segala hal yang menarik–entah
itu kekayaan, ketenaran, tubuh yang bagus, teman yang baik,
dsb–sudah pernah kita miliki sebelumnya, namun nyatanya kita
telah ditipu oleh mereka. Kita telah terkecoh dan ditarik masuk
ke dalam kegiatan-kegiatan tak bermakna yang membuat kita
merasa melekat pada mereka. Akibatnya, kita harus mengalami
penderitaan tanpa akhir. Beliau lanjut mengatakan bahwa jika
kita tak mengubah kondisi ini, maka semuanya akan berjalan
sama persis untuk jangka waktu yang sangat panjang. Dengan
memikirkan ini, sesungguhnya kita harus merasa jijik dan sedih
pada kondisi kita saat ini.
Setelah merenungkan hakikat penderitaan dari samsara
dan kemudian memunculkan aspirasi untuk terbebas darinya,
maka langkah selanjutnya adalah bertanya pada diri kita sendiri,
“Mengapa saya memiliki penderitaan ini? Dari manakah asalnya?”
Untuk menjawabnya, kini kita berpaling ke kebenaran kedua
yang dibabarkan oleh Buddha untuk pertama kalinya, “lnilah
kebenaran Arya tentang asal-mula penderitaan”; untuk kedua

65
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

kalinya, “Mengatasi kebenaran dari asal-mula penderitaan”;


dan untuk ketiga kalinya, “Mengatasi kebenaran dari asal-mula
penderitaan walaupun tak ada yang harus diatasi.”

66
5
KEBENARAN ARYA
TENTANG ASAL-MULA
PENDERITAAN

A
pa definisi ‘asal-mula’? Asal-mula didefinisikan sebagai
faktor yang tercemar, utamanya adalah karma dan klesha
yang menghasilkan penderitaan sejati. Jadi, karma
dan klesha adalah sebab utama, dan penderitaan sejati adalah
akibatnya.
Asal-mula terbagi menjadi 2: karma dan klesha. Kita harus
berhati-hati ketika membicarakan karma sebagai asal-mula
penderitaan, karena karma juga termasuk karma para Buddha.
Karma para Buddha tidaklah tercemar. Demikian pula karma para
Arya. Semua karma ini tak tercemar sehingga tak bisa disebut
sebagai asal-mula penderitaan.
Bagaimana kita membedakan asal-mula dan penderitaan
sejati? Asal-mula merupakan penderitaan sejati, namun
penderitaan sejati belum tentu merupakan asal-mula. Bagaimana
cara memahami poin ini? Dengan merujuk ke definisi asal-mula.
Asal-mula menghasilkan penderitaan sejati; dengan kata lain:
karma dan klesha menghasilkan penderitaan sejati. Namun, karma
dan klesha juga dihasilkan oleh karma dan klesha sebelumnya;
dengan kata lain: apa pun yang tercemar dihasilkan oleh asal­mula
atau sebab ketercemarannya. Jadi dengan kata lain: asal-mula
adalah akibat dari asal-mula. Intinya, asal-mula apa pun dihasilkan
oleh sebabnya, yang juga merupakan asal-mula. Ilustrasi yang

67
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

paling jelas adalah: dunia tercemar yang kita tinggali sekarang


dihasilkan oleh karma dan klesha, namun dunia ini bukan sebuah
karma maupun klesha.

Empat Karakteristik Asal-mula


Di antara berbagai asal-mula, yang paling penting
adalah asal-mula yang terbagi menjadi 2: sikap memegang dan
mencengkeram (atau 2 jenis kemelekatan). Karena peranan
penting yang mereka mainkan, mereka dikatakan memiliki 4
karakteristik. Apa itu? Mereka adalah sebab, asal-mula, produsen
yang kuat, dan kondisi.
Mereka adalah sebab karena mereka adalah akar yang
memberi jejak bagi kelahiran kembali. Melaluinya, seseorang
memberikan jejak bagi kelahiran kembali di dalam arus batinnya.
Yang kedua, mereka adalah asal-mula karena sesungguhnya
merekalah pemula yang utama, merekalah yang menghasilkan
makhluk hidup terus-menerus. Tak hanya sekali atau dua kali,
mereka menghasilkan kelahiran baru secara berkelanjutan.
Yang ketiga, mereka adalah produsen yang kuat karena mereka
dapat membangkitkan semua jenis kelahiran dengan sendirinya.
Yang keempat, mereka adalah kondisi (kadang disebut kondisi
pendukung), karena walaupun karma adalah sebab utama, namun
merekalah sebab kuat yang memicu karma, yang pada gilirannya
menghasilkan kehidupan secara terus­menerus.
Apa yang membedakan karakteristik kedua dan ketiga?
Karakteristik kedua merujuk pada fakta bahwa kemelekatan
menghasilkan kehidupan terus-menerus; sebuah produksi
kehidupan tanpa henti. Di sisi lain, karakteristik ketiga merujuk
pada variasi kehidupan yang dihasilkan oleh kemelekatan.
Misalnya, ketika kita melihat dunia serangga, kita akan menyadari
betapa banyak jenis serangga yang terdapat di dunia ini.

68
Kebenaran Arya Tentang Asal-Mula Penderitaan

Empat Pandangan Salah


Sama seperti dalam kasus penderitaan sejati, 4 karakteristik
asal-mula bertindak untuk mengatasi 4 pandangan salah. Apa
sajakah pandangan salah ini? Yang pertama adalah: penderitaan
kita tak memiliki sebab. Ada orang yang percaya bahwa kita harus
menderita secara sembarangan tanpa satu sebab sejati untuk itu.
Misalnya, ada orang yang tak meyakini reinkarnasi. Mereka akan
mengatakan bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan ini adalah
sesuatu yang unik dan tak ada kaitannya dengan apa yang kita
lakukan di masa lampau. Penawar bagi pandangan salah ini adalah
karakteristik pertama.
Yang kedua adalah: ada sebab yang abadi dan unik yang
menghasilkan segala sesuatu; misalnya: dunia ini dihasilkan
oleh sebab yang tunggal dan abadi. Pandangan ini dianut oleh
doktrin tertentu. Namun, Buddhisme menolak pandangan ini
karena pemahaman bahwa akibat dihasilkan oleh sejumlah
sebab, dan pastinya, sebab yang abadi mustahil menghasilkan
akibat yang tak kekal. Contoh yang jelas adalah bunga. Bunga
dihasilkan oleh berbagai sebab yang hadir secara bersamaan
untuk menghasilkannya. Bunga tak dihasilkan oleh sebab yang
tunggal dan abadi. Sama halnya, pola pikir kita (klesha ataupun
kebajikan) dihasilkan oleh sejumlah kondisi dan sebab. Penawar
bagi pandangan salah ini adalah karakteristik kedua.
Yang ketiga adalah: ada semacam kekuatan atau potensi
yang menyebar ke segala sesuatu, yang abadi dan kekal namun
juga secara temporer bersifat tak kekal (dan oleh karenanya dapat
menghasilkan akibat seperti penderitaan). Ini adalah doktrin lain
yang juga tak dianut oleh Buddhisme. Penawar bagi pandangan
salah ini adalah karakteristik ketiga.
Yang keempat adalah: dunia dan segala sesuatu di dalamnya
diciptakan oleh sosok pencipta. Penawar bagi pandangan salah ini

69
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

adalah karakteristik keempat.


Meskipun saat ini tampaknya tak ada yang menganut
pandangan ini dengan kuat dan sadar di antara kita semua, kita
pastinya memiliki jejak dari pandangan ini dalam arus batin kita.
Dengan kata lain, dalam berbagai kehidupan lampau, ada satu
momen ketika kita menganut pandangan ini, sehingga jejaknya
pun tertanam dalam arus batin kita. Lebih lanjut, walaupun kita
tak menganutnya, pandangan salah yang demikian mungkin saja
kita amini tanpa sadar. Apa buktinya? Misalnya, ketika sesuatu
yang menjijikkan terjadi pada kita atau ketika kita menghadapi
penghalang yang besar, kita dengan spontan akan berkata, "Apa
yang terjadi? Mengapa ini terjadi?" Kita cukup sering berpikir
seperti itu. Ketika kesukaran menimpa kita, pikiran pertama yang
terlintas adalah, "Mengapa ini terjadi pada saya? Ini tak adil!"
Kedua reaksi ini adalah bukti bahwa kita tak sungguh-sungguh
mengakui bahwa penderitaan kita ada sebabnya, bahwa mereka
dihasilkan oleh sebab, dan bahwa mereka adalah akibat dari
sebab yang kita hasilkan sendiri. Jika kita benar-benar meyakini
dan menyadari hal ini sepenuhnya, maka kita takkan merasa
terkejut atau dicurangi ketika segala sesuatu berjalan salah dan
tak sesuai kehendak kita.
Bukti lainnya: ketika kita tiba-tiba jatuh sakit, kita suka
meyakini kepercayaan setempat bahwa sakit ini disebabkan
oleh naga atau makhluk halus lainnya. Jika kita tak berhati-hati,
keyakinan semacam itu sesungguhnya adalah pandangan salah.
Semua penderitaan kita tak secara langsung disebabkan oleh
makhluk halus atau siapa pun. Mereka sesungguhnya dihasilkan
oleh diri kita sendiri di masa lampau. Jika kita tak punya karma
buruk, makhluk halus atau setan atau apapun takkan mampu
menyakiti kita.
Bukti yang lain: ketika kita sering merasa jengkel, kita
berpikir bahwa semua masalah yang timbul berasal dari kesalahan

70
Kebenaran Arya Tentang Asal-Mula Penderitaan

orang lain. Pandangan macam ini juga sangat umum. Kita berpikir
bahwa sumber masalah kita adalah orang lain, bahwa orang
lainlah yang membuat masalah bagi kita. Tentu saja, di permukaan
mungkin akan begitu kelihatannya. Namun, sebab utama semua
masalah kita adalah karma kita sendiri; karma kita sendirilah
yang menciptakan masalah bagi kita. Menyalahkan orang lain
akan membuat kita menganut pandangan salah di mana kita
membayangkan bahwa akibat dapat diciptakan oleh sebab yang
tak bersesuaian dengannya. Tentu saja, ada orang yang mampu
dan memang melakukan sesuatu untuk menyakiti pihak lain.
Namun sesungguhnya, sebab utama dari penderitaan kita bukan
individu tertentu, tetapi karma kita. Karena kita memiliki karma
untuk disakiti, maka mereka dapat dan memang menyakiti kita.
Bukti yang lain adalah pemikiran seperti berikut, "Baiklah,
sekarang saya berada dalam kehidupan yang baik. Saya berusaha
untuk berpraktik. Saya berbuat baik. Namun, mengapa segala
macam masalah menimpa diri saya? ini tak masuk akal." Ini juga
merupakan sebuah pandangan salah yang dimiliki orang-orang.
Mereka merasa bahwa hal buruk yang sedang menimpa diri mereka
adalah akibat dari praktik bajik mereka. Sekali lagi, ini adalah
pandangan salah di mana kita membayangkan bahwa akibat
dapat diciptakan oleh sebab yang tak bersesuaian dengannya.
Masih ada banyak contoh lainnya dari pandangan salah
ini, yaitu akibat dapat diciptakan oleh sebab yang tak bersesuaian
dengannya. Kita sering menganggap bahwa sejumlah harta
tertentu atau situasi baik atau wajah rupawan yang kita miliki
disebabkan oleh hasil kerja keras dan kepintaran kita. Jika kita
bekerja keras, tentunya kemungkinan untuk memiliki kehidupan
yang baik akan lebih besar (daripada kalau kita hanya sekadar
duduk dan tak melakukan apapun). Namun, harus diingat bahwa
kerja keras hanya menyiratkan bahwa kita memang memainkan
peranan dalam akibat yang akan kita peroleh; kerja keras bukan

71
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

sebab utama dari situasi baik yang kita miliki. Jika memang benar
bahwa status baik dan kekayaan kita adalah akibat dari usaha
kita, maka logikanya, setiap orang yang benar-benar bekerja keras
seharusnya juga hidup makmur, tapi kita tahu bukan demikian
kasusnya. Kita tahu ada banyak orang yang telah bekerja sangat
keras sampai mengabaikan kesehatan mereka sendiri dan berisiko
jatuh sakit. Mereka bekerja sangat keras, namun mereka masih
saja tak mendapatkan hasil yang baik. Sesungguhnya, faktanya
adalah: orang-orang yang memiliki kebajikan yang banyak akan
hidup makmur tanpa benar-benar berusaha, orang-orang yang
memiliki kebajikan yang sedang akan hidup makmur dengan
sedikit usaha, dan orang-orang yang memiliki kebajikan yang
sedikit takkan hidup makmur meski berusaha keras.
Ketika Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Arya, beliau
tak menyebutkan 4 karakteristik ini secara gamblang. Meski demikian,
Kondanna dan 4 petapa memahami apa yang beliau sampaikan.
Namun, di tempat lain, Buddha menjelaskan dengan gamblang 4
pandangan salah dan karakteristik untuk mengatasi mereka. Ada
satu sutra yang memuat ajaran Buddha ini, yaitu Sutra Tangkai
Padi. Sutra ini dibabarkan ketika Buddha dan para pengikutnya
sedang berada di dekat sawah sebelum masa panen tiba. Beliau
memetik setangkai padi dan menjelaskan 12 mata rantai yang saling
bergantungan, bahwa dari ini muncul itu dan sebagainya, bahwa
dari ketidaktahuan timbul karma yang selanjutnya menghasilkan
ini dan sebagainya. Beliau menjelaskan 12 mata rantai yang saling
bergantungan dalam urutan terjadinya mereka. Kemudian, beliau
menjelaskan bahwa jika kita ingin mengatasi proses tersebut, kita
harus berlatih pada sebab sehingga akibatnya takkan terjadi, dan
sebagainya. Dengan kata lain, beliau menjelaskan dalam urutan
yang sebaliknya. Beliau juga menjelaskan sedikit tentang 12 mata
rantai dalam sutra lainnya, namun penjelasan yang paling jelas bisa
ditemukan dalam Sutra Tangkai Padi ini.

72
6
KARMA DAN KLESHA I

J
ika kita telah memutuskan untuk tak lagi ingin menderita, maka
satu-satunya pilihan yang kita miliki adalah menghancurkan
sebab penderitaan. Seperti yang telah kita bahas, asal-
mula adalah karma dan klesha, dan kita dapat mengatakan
bahwa karma adalah sebab langsung dari penderitaan, dalam
artian bahwa ketika karma kita matang, ia akan menghasilkan
penderitaan. Namun di sisi lain, kita takkan memiliki karma yang
tercemar tanpa klesha, karena klesha kitalah yang menghasilkan
karma yang tercemar. Di sini, kita berbicara tentang karma
pelempar atau karma tercemar, karma untuk terlahir kembali
di dalam samsara. Jadi, jika bukan karena klesha, kita takkan
menghasilkan karma pelempar. Agar karma pelempar matang dan
menciptakan akibatnya, ia bergantung pada klesha tertentu yang
memainkan peranan dalam mematangkan karma pelempar ini.
Jadi, mengapa klesha dikatakan sebagai sebab akar walaupun
baik klesha dan karma adalah asal-mula? Karena karma yang kita
kumpulkan takkan pernah matang jika bukan karena klesha. Tanpa
klesha, karma pelempar takkan pernah menghasilkan akibat.
Contohnya adalah Arhat. Mereka memiliki karma pelempar
di dalam diri mereka, namun karma ini takkan pernah matang
karena mereka telah sepenuhnya menghilangkan semua klesha;
dengan kata lain, mereka tak punya klesha untuk mematangkan
karma pelemparnya.

73
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

Jadi, di antara karma tercemar dan klesha, klesha merupakan


faktor terpenting walaupun karma kitalah yang menciptakan
masalah bagi kita. Ketika karma buruk kita matang, ia akan
menghasilkan akibat berupa penderitaan. Walaupun demikian,
jangan lupa bahwa karma ini dihasilkan karena klesha. Dan juga,
tak peduli seberapa banyak kita memurnikan karma buruk kita,
kita akan terus menghasilkan karma buruk yang baru jika tak ada
upaya untuk mengatasi klesha, terutama klesha ketidaktahuan
akar, yaitu sikap mencengkeram diri.
Bentuk ketidaktahuan yang disebut akar dari samsara
adalah sikap mencengkeram diri. Tak peduli seberapa banyak kita
berlatih mengatasi klesha yang lain–kemelekatan, kebencian, dll–
kita takkan pernah bisa membuang mereka sepenuhnya sampai
kita berupaya mengatasi klesha akarnya, yaitu ketidaktahuan yang
berhubungan dengan hakikat diri. Selama kita mempertahankan
ketidaktahuan akar ini, maka cepat atau lambat klesha lainnya
akan bangkit dari klesha akar ini.
Perumpamaan yang digunakan oleh Buddha untuk
memahami ini adalah sebuah pohon. Beliau membandingkan
situasi kita dengan sebatang pohon yang ingin kita enyahkan dari
taman. Untuk melakukannya, yang harus kita lakukan adalah
memotong batang dan cabang-cabangnya. Namun, tak peduli
seberapa sering kita melakukannya, pohon akan menghasilkan
cabang dan batang yang baru. Satu-satunya cara untuk benar-benar
menyingkirkan pohon tersebut adalah dengan menghancurkan
akarnya. Hal yang sama persis berlaku untuk klesha. Tak peduli
seberapa banyak kita menerapkan penawar untuk klesha lainnya,
hal tersebut akan sia-sia jika kita tak memfokuskan diri pada
akarnya: ketidaktahuan.
Agar sanggup memotong akar samsara, pertama-tama kita
harus memahami proses di mana kita bangkit sebagai seorang
makhluk di dalam samsara dan bagaimana kita terus berdiam

74
Karma dan Klesha I

di dalamnya. Dalam Baris-Baris Pengalaman, Je Tsongkhapa


menerangkan bahwa jika kita tak merenungi urutan di mana kita
masuk dan bertahan di dalam samsara, dengan kata lain asal-
mula samsara, kita takkan pernah sanggup untuk memotong akar
keberadaan. Oleh karenanya, kita harus membangkitkan rasa jijik
terhadap samsara. Di sini, beliau merujuk pada memeditasikan
penderitaan sejati, dengan kata lain, kerugian samsara. Beliau
juga menekankan pentingnya mempelajari bagaimana kita terikat
di dalam samsara dan apa yang mengikat kita di dalam samsara.
Untuk membantu kita memahami ini, Panchen Lama telah
memberi kita garis besarnya dalam Lamrim yang disebut dengan
Instruksi Guru yang Berharga. Di sana, beliau mengatakan
bahwa kita harus merenungkan bagaimana sebab penderitaan
menempatkan dan menahan kita di dalam samsara; setelahnya,
barulah kita bisa memastikan hakikat Sang Jalan yang akan
membimbing kita menuju pembebasan.
Poin ihwal bagaimana sebab penderitaan menempatkan dan
menahan kita di dalam samsara terbagi menjadi 3 tahap: tata cara
klesha muncul dalam diri kita, bagaimana kita menghimpun karma
melalui klesha, dan bagaimana kita mati dan dilahirkan kembali.
Perihal tata cara klesha muncul dalam diri kita, pertama-
tama yang harus dilakukan adalah mengetahui terlebih dulu
apa yang dimaksud dengan klesha, baru setelahnya kita bisa
melihat bagaimana ia muncul di dalam diri kita, merenungkan
sebabnya, dan memeditasikan kerugiannya. Kalau kita tak bisa
mengenali jenis-jenis klesha yang muncul dalam diri kita, maka
pengetahuan kita tentang klesha akan menjadi sia-sia. Jadi,
apa itu klesha? Dalam Abhidharmasammuccaya, Arya Asanga
menjelaskan bahwa klesha adalah fenomena apa pun yang
kemunculannya menyebabkan kita kehilangan kedamaian batin
dan kebangkitannya membawa masalah bagi batin kita; jadi, bisa
dikatakan bahwa klesha punya 2 fungsi. Di sini, ‘fenomena apa

75
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

pun’ tak merujuk pada fenomena secara umum, namun pada


fenomena batin. ‘Apa pun’ merujuk pada berbagai jenis klesha
yang akan merongrong batin kita. Misalnya, jika kemelekatan
yang muncul dalam diri kita, maka dengan caranya sendiri, ia akan
menyebabkan kita kehilangan kedamaian batin; jika amarah yang
muncul, maka dengan caranya sendiri juga, ia akan menyebabkan
kita kehilangan kedamaian batin; dst. Jadi, ketika klesha apa pun
muncul dalam diri kita, mereka akan dengan segera mengganggu
kedamaian batin kita.
Ini adalah sesuatu yang dialami oleh kita semua. Bayangkan
pada suatu saat ketika kita berada di rumah, sedang bersantai
dan merasa bahwa semuanya baik-baik saja, namun kemudian
tiba-tiba kita kepikiran seseorang atau sesuatu yang menjadi
objek klesha kita. Kita segera saja merasa cemburu, terlukai,
dst. Pada dasarnya, hakikat batin kita adalah netral. Ia tak baik
maupun buruk. Ibarat sepotong kain putih, batin akan diwarnai
secara berbeda menurut apa yang datang menghampirinya. Jika
kebajikan yang muncul di dalam batin kita, maka ia akan menjadi
bajik. Di sisi lain, jika klesha yang muncul di dalam batin kita,
maka ia akan ternodai oleh tinta hitam klesha.
Analogi lainnya adalah: hakikat batin ibarat sebuah keluarga
yang tinggal di dalam rumah, sementara klesha dan kebajikan
adalah pengunjung yang sekadar bertamu dan bisa datang dan
pergi kapan saja. Karena klesha kita tampaknya selalu berada di
dalam rumah, kita harus mengakui bahwa status mereka sudah
meningkat menjadi pengunjung tetap, namun pengunjung
tetaplah pengunjung, yang artinya mereka bukanlah bagian yang
tak terpisahkan dari batin kita. Mereka bukanlah anggota keluarga
kita, melainkan hanya pengunjung yang telah menetap untuk
jangka waktu yang lama. Jadi, sebenarnya kita bisa mengusir
mereka kapan saja, meskipun lebih mudah untuk mengatakannya
ketimbang melakukannya.

76
Karma dan Klesha I

Jadi, kita punya 2 jenis pengunjung di dalam rumah kita,


yaitu kebajikan dan klesha. Mereka cukup berbeda. Kita dapat
mengatakan bahwa kebajikan adalah sahabat sejati. Mereka
stabil, dapat diandalkan, dan bisa ditemukan dalam kebenaran.
Mereka sesuai dengan kebenaran yang berlaku dan karenanya
dapat dikembangkan secara berkelanjutan. Klesha, di sisi lain, tak
dapat diandalkan. Mereka tak dapat dipercaya. Cara mereka hadir
tak selaras dengan cara kebenaran berlaku, sehingga mereka tak
dapat dikembangkan dan disempurnakan. Tentu saja, klesha
dapat dikembangkan dalam artian bahwa mereka dapat menjadi
lebih kuat. Namun, tak seperti kebajikan, mereka tak dapat
dikembangkan hingga ke titik yang paling sempurna. Mereka
takkan pernah menjadi kemahatahuan layaknya kebajikan.
Perbedaan ini datang dari objeknya. Objek kebajikan adalah
sahih dan sungguh-sungguh ada, sementara objek klesha adalah
keliru dan tak benar-benar ada ketika dilihat dengan sungguh-
sungguh. Artinya, objek klesha mungkin saja ada, namun klesha
menyebabkan kita melihat objek-objek tersebut secara tak tepat.
Di sisi lain, kebajikan menyebabkan kita melihat objek secara
benar; objek kebajikan muncul sesuai dengan cara kebajikan
menyebabkan kita melihat mereka. Berikut akan dipaparkan
beberapa contoh klesha akar dan objeknya.

Amarah
Kita bisa saja marah pada seseorang. Orang yang membuat
kita marah muncul dalam cara tertentu, namun melalui amarah,
kita melihat orang tersebut dengan cara yang tak semestinya.
Ketika kita sangat marah pada seseorang, kita melihatnya sebagai
objek amarah kita, sesuatu yang sangat jelek, sangat tak menawan,
sangat tak menarik, dst, namun orang tersebut sebetulnya tak
muncul dengan aneka kualitas yang kita pahami melalui amarah
kita. Jika kualitas orang tersebut memang seperti cara amarah kita

77
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

melihatnya, maka setiap orang yang bertemu dengannya pasti


akan merasakan hal yang sama dengan kita. Namun, tentu saja
bukan demikian kasusnya.
Amarah memiliki kerugian besar karena sifatnya yang
sangat destruktif. Ketika ia masih dalam bentuk yang halus, kita
dapat menggunakan kata 'kejengkelan.' Ketika ia tampak lebih
nyata, maka ia telah menjadi amarah yang sesungguhnya. Ketika
amarah bangkit dalam diri kita, ia akan segera menghancurkan
kebajikan kita; amarah adalah sesuatu yang keras, negatif, dan
merusak. Inilah alasan kenapa Chandrakirti mengatakan, "Tak
ada yang lebih buruk daripada tiadanya kesabaran." Beliau
melanjutkan, “Semua kebajikan yang telah kita peroleh dari
mempraktikkan kemurahan hati, sila, dan sebagainya selama 100
kalpa akan hancur dalam sekejap ketika kita memarahi makhluk
unggul (Bodhisatwa)." Demikianlah kesimpulan beliau: bahwa tak
ada yang lebih buruk daripada ketidaksabaran.
Dalam Bodhicaryawatara, Shantidewa mengatakan hal
senada, “Semua kebajikan yang telah kita hasilkan selama
1000 kalpa dengan mempraktikkan kemurahan hati, memberi
persembahan kepada para Buddha, dan sebagainya dapat
dihancurkan oleh amarah yang singkat.” Dalam kedua kutipan
ini, ada perbedaan soal jangka waktu, yakni ‘100 kalpa’ dan ‘1000
kalpa.’ Di sini, perbedaan merujuk pada siapa yang memarahi
siapa. Jika seorang makhluk biasa memarahi seorang Bodhisatwa,
maka ini merupakan karma buruk yang sangat berat, sehingga tak
heran bila bobot kebajikan yang hangus adalah kebajikan 1000
kalpa. Di sisi lain, jika seorang Bodhisatwa memarahi rekan sesama
Bodhisatwa, maka karma buruknya tak terlalu berat, sehingga
bobot kebajikan yang hangus hanya kebajikan 100 kalpa.
Poin ini sangat penting untuk dipahami dan tak boleh
dianggap remeh. Kita tahu seberapa sering kita marah, sedangkan
kita sama sekali tak tahu apakah ada di antara mereka yang

78
Karma dan Klesha I

kita marahi yang merupakan seorang Bodhisatwa. Seorang


Bodhisatwa tak mesti seseorang yang duduk di atas takhta tinggi
dan bergelar 'Lama.' Bodhisatwa bisa kita temukan di mana­mana
dalam wujud apa pun. Mereka bisa muncul sebagai manusia biasa
seutuhnya, bahkan juga dalam wujud binatang. Jadi, berhubung
kita tak tahu siapa yang Bodhisatwa dan siapa yang bukan, kita
harus lebih berhati-hati. Jangan bayangkan bahwa Bodhisatwa
akan mengakui bahwa ia adalah Bodhisatwa. Sesungguhnya, jika
seseorang mengatakan bahwa ia adalah Bodhisatwa, maka bisa
dipastikan bahwa ia bukanlah seorang Bodhisatwa. Inilah alasan
kenapa di antara 12 sila yang berhubungan dengan pembangkitan
aspirasi bodhicita dengan komitmen, di antara 4 aktivitas putih
ada satu bagian yang meminta kita untuk menganggap semua
makhluk sebagai guru kita. Tujuannya adalah menghindarkan kita
dari amarah terhadap siapa pun.

Kesombongan
Kesombongan juga merupakan klesha akar lain yang
sangat destruktif, yang bisa memakan habis semua kebajikan kita.
Jika kita sombong, maka kita bukan wadah yang cocok (orang
yang sesuai) untuk menerima ajaran Dharma. Bahkan kalaupun
seorang yang sombong mendengarkan Dharma, ajaran tersebut
takkan berguna baginya.
Selama masa Buddha, ada beberapa kejadian ketika
dewa-dewa datang untuk mendengar ajaran beliau. Mereka ini
sangat sombong karena merasa punya tubuh fisik yang jauh
lebih unggul daripada manusia. Tubuh mereka mengeluarkan
banyak cahaya dan mereka sangat menawan. Inilah salah satu
alasan kesombongan mereka. Untuk mengurangi kesombongan
mereka dan membuat mereka menjadi wadah yang cocok untuk
mendengarkan Dharma, Buddha mengeluarkan cahaya yang
jauh lebih besar dari tubuhnya sehingga mereka benar-benar

79
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

sadar akan posisinya. Mereka diperlihatkan apa yang tak mereka


miliki, dan kesombongan mereka akhirnya hilang dan berganti
menjadi sikap rendah hati. Ketika kesombongan mereka lenyap,
Buddha pun siap untuk mengajar mereka. Sebuah bait dari
Abhisamayalamkara mengatakan hal senada. Dikatakan bahwa
untuk membuat para dewa menjadi penerima yang baik dari ajaran
Dharma, Buddha memancarkan seberkas cahaya besar sehingga
kecemerlangan para dewa pun terlihat seperti kegelapan.
Jika kita sombong, kita takkan sanggup menarik manfaat
apa pun dari ajaran. Dengan kesombongan, takkan ada realisasi
yang akan diperoleh. Jika seseorang sombong, hasil studinya
akan dikalahkan oleh kesombongannya. Kesombongan adalah
penghalang yang menahan perkembangan studi kita; dengan
kata lain, apa yang kita pelajari benar-benar takkan berguna bagi
mereka. Guru-guru Kadampa sering berkata, "Hujan kualitas baik
akan tertahan oleh bola kesombongan." Kita tahu bahwa jika
sebuah bola menahan cucuran air, maka air hanya akan menetes
dari bola ini. Kesombongan adalah bola yang sama. Ia akan
membuat diri kita menjadi kedap kualitas–kualitas baik.

Kemelekatan
Orang-orang yang memiliki kemelekatan yang sangat kuat
akan memperkuat kualitas dari objek kemelekatan mereka dan tak
ingin berpisah darinya. Mereka membayangkan segala sesuatu
yang mereka senangi sebagai lebih baik, lebih menyenangkan, dan
lebih indah daripada kualitas sebenarnya. Ada ketidaksesuaian
yang besar antara cara kemelekatan membuat kita melihat sesuatu
dan cara sesuatu ini seharusnya muncul. Kemelekatan membuat
kita melihat segala jenis kualitas baik dari objek kemelekatan
kita, kualitas-kualitas yang sebenarnya tak mereka miliki. Sekali
lagi, dengan cara yang sama, jika objek kemelekatan kita benar-
benar punya semua kualitas baik seperti yang kita bayangkan,

80
Karma dan Klesha I

maka setiap orang pastinya juga akan merasakan hal yang sama.
Namun, tentu saja bukan demikian kasusnya.
Namun, menyadari sesuatu sebagai menarik, indah, dan
menawan tak serta-merta berarti bahwa kita harus melekat padanya;
kita bisa saja sekadar menghargai kualitasnya tanpa perlu melekat
padanya. Langkah pertamanya adalah ketika kita melihat sesuatu
sebagai menarik. Dari sini, muncul 2 kemungkinan: apakah kita
hanya berhenti sampai di sana ataukah kita punya harapan untuk
melihatnya lagi dan tak ingin berpisah darinya? Jika kemungkinan
kedua yang terjadi, maka ia disebut kemelekatan. Lebih lanjut,
bagi seorang Arhat, sesuatu yang kita anggap menarik malah akan
dilihatnya sebagai fenomena tercemar, ibarat kobaran api yang
menakutkan. Mengapa demikian? Karena seorang Arhat sudah
mengatasi kemelekatannya.
Kita dapat menghasilkan karma pelempar dengan klesha apa
pun, namun hanya kemelekatan yang dapat mematangkan karma
pelempar kita. Faktanya, menjelang tibanya ajal kita, kemelekatan
pada tubuhlah yang menyebabkan kita terlahir kembali di alam
bardo. Melekat pada tubuh tak melulu mewujud dalam bentuk
yang kasar, seperti menyukai tubuh kita. Ia juga bisa mengambil
wujud halus berupa rasa khawatir bahwa kita akan kehilangan
tubuh kita, dan akhirnya diri kita. Tanpa harus membicarakan
tentang makhluk biasa seperti diri kita, bahkan Arya pada tingkatan
Sotapanna (“memasuki arus”) dan Sakadagami (“terlahir sekali
lagi”) pun memunculkan perasaan melekat yang sama ketika ajal
mereka hampir tiba. Meski demikian, pada saat yang sama mereka
sepenuhnya sadar bahwa perasaan tersebut adalah kemelekatan,
dan mereka tak membiarkannya menguasai diri mereka. Mereka
sanggup untuk memeriksa dan mengendalikan perasaan ini. Arya
pada tingkatan Anagami disebut “takkan kembali lagi” karena
mereka sudah mengatasi kemelekatan halus ini.
Kemelekatan adalah ibarat noda minyak pada pakaian.

81
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

Ketika pakaian kita dikotori oleh debu, masih mungkin untuk


membersihkannya dengan sedikit menggosoknya. Namun,
ketika kita memiliki noda minyak, akan sangat sulit untuk
membersihkannya. Kita harus menggunakan penghilang noda atau
deterjen yang kuat untuk membersihkan noda minyak pada pakaian.
Kemelekatan adalah ibarat noda minyak; ia meresap dan sangat
sulit untuk disingkirkan. Dalam Lamrim Agung, Je Tsongkhapa
mengatakan bahwa kemelekatan memegang objeknya, dalam
artian ia meresap dan menyebar ke dalam objeknya. Artinya, batin
kita seperti meresap ke dalam objek, dan akibatnya, akan sangat
sulit untuk memisahkan batin dengan objeknya.
Inilah perbedaan besar antara kebajikan dan klesha.
Kebajikan didasarkan pada fondasi yang kokoh dan sahih,
sementara klesha memiliki fondasi yang rapuh dan tak sahih.

82
7
KARMA DAN KLESHA II

P
ada dasarnya, terdapat 6 klesha akar dan 20 klesha tambahan.
Namun, penggolongan ini tergantung pada karya yang kita
rujuk. Kita juga dapat menyebutkan 10 klesha akar. Ini adalah
penjelasan yang dipaparkan oleh Je Tsongkhapa dalam Lamrim
Agung. Beliau membicarakan tentang 10 klesha akar, karena salah
satu dari 6 klesha akar dibagi lagi menjadi 5. Di sisi lain, klesha
tambahan sesungguhnya diturunkan dari klesha akar. Mereka adalah
turunan dari klesha akar, dan inilah alasan kenapa mereka disebut
‘tambahan.’ Penjelasan 10 klesha akar bukanlah sesuatu yang
dikarang sendiri oleh Je Tsongkhapa. Beliau mendasarkan penjelasan
ini pada penjelasan Arya Asanga mengenai 10 klesha akar.
Kita tak punya waktu untuk melihat semua jenis klesha,
bahkan semua klesha akar. Namun, menurut filsafat yang lebih
tinggi, akar yang paling dalam dari samsara adalah ketidaktahuan
dalam bentuk sikap mencengkeram diri. Selain ketidaktahuan,
kita bisa mengatakan bahwa klesha paling parah lainnya
adalah kemelekatan, karena klesha ini seperti kelembapan yang
mematangkan benih-benih karma kita. Tanpa kondisi yang lembap,
benih karma takkan bisa berkecambah. Lebih lanjut, kemelekatan
bagaikan lumpur yang menahan kita di dalam samsara.
Inilah alasan kenapa Gungthang Rinpoche mengatakan
bahwa kemelekatan adalah ibarat lem yang menahan kita di dalam
samsara. Kita tahu bahwa jika seekor lalat tiba-tiba menempel di

83
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

dinding yang kita olesi lem, ia akan terjebak di sana. Dengan cara
yang sama, kemelekatan menahan kita di dalam samsara. Kita
tak sanggup untuk terbang dan membebaskan diri kita menuju
pembebasan karena kemelekatan menjerat kita dan menjaga agar
kita tetap tertahan di dalam samsara. Jadi, meskipun ketidaktahuan
menyebabkan kita terlahir kembali di dalam samsara, kemelekatan
kitalah yang mematangkan karma pelempar yang melempar kita
ke dalam samsara.
Karma pelempar memang dapat dihasilkan oleh klesha
apapun, namun hanya ada satu jenis klesha yang dapat
mematangkan karma pelempar, yaitu kemelekatan dalam bentuk
sikap memegang dan mencengkeram. Inilah alasan kenapa Je
Tsongkhapa, dalam 3 Aspek Utama Sang Jalan, mengatakan
bahwa kemelekatan adalah ibarat belenggu yang menahan kita di
dalam penjara samsara. Bagaimana cara kerjanya? Objek apapun
muncul di hadapan kita sebagai sesuatu yang menyenangkan
melalui kemelekatan kita. Tanpanya, objek-objek kemelekatan ini
takkan tampak menyenangkan bagi kita. Mereka takkan menarik
hati kita. Jadi, kalau kita mau jujur, sebenarnya tak ada urusannya
apakah sebuah objek itu menarik atau tidak. Namun, melalui
pengaruh kemelekatan, kita pun menganggapnya sebagai objek
yang menarik.
Sebelumnya kita telah menyinggung bagaimana sebab
penderitaan menempatkan dan menahan kita di dalam samsara,
yang terbagi menjadi 3 tahap. Berikut uraian singkatnya.
Perihal tata cara klesha muncul dalam diri kita, urutannya
dimulai dari ketidaktahuan, yang membuat kita mencengkeram
'aku' dan menyebabkan diri kita eksis dengan cara yang tak
semestinya. Dengan landasan ini, kita membayangkan 'aku'
dalam kadar yang terlalu banyak dari yang seharusnya. Kita
menekankan pentingnya ‘aku’ dan mendasarkan segala sesuatu
dalam kaitannya dengan ‘aku.’ ‘Aku’ menjadi penting bagi kita.

84
Karma dan Klesha II

Akibatnya, semua yang tak berada di sisi 'aku' menjadi 'yang lain.'
Mereka menjadi objek penolakan dan ketidaksukaan, dan kita pun
menjadi melekat dengan diri sendiri dan dengan segala sesuatu
yang berada di sisi kita. Kita merasa marah atau benci terhadap
segala sesuatu yang lain, dan dari sini tentu saja semua klesha lain
akan bangkit. Demikianlah urutan kebangkitan klesha.
Terkait sebab klesha, ada berbagai penjelasan yang berbeda.
Menurut Wasubandhu, ada 3 sebab utama: tak mengatasi benih
klesha, tak mengatasi objek yang dekat dengan klesha, dan
perhatian tak benar. Dalam Abhidharmasamuccaya, Asanga
memperluas poin ini dengan memberikan 6 sebab, namun untuk
sementara kita akan membatasi diri dengan versi Wasubandhu.
Perhatian tak benar berarti memberikan perhatian atau
memperhatikan aspek tertentu dari objek klesha kita. Misalnya,
jika seseorang telah menyakiti kita dan kita terus mengingat dan
memikirkan hal ini, maka inilah perhatian tak benar. Kita seolah-
olah sedang menyiram minyak ke dalam api dan mendorong
diri kita sendiri untuk marah pada orang tersebut. Kasusnya
sama dengan kemelekatan. Jika sesuatu tampak menarik hati
kita dan kita terus menaruh perhatian padanya dan memikirkan
keindahannya sepanjang waktu, tentu saja ini berarti kita telah
melekat padanya.
Terkait kerugian klesha, kita bisa mengatakan bahwa segala
sesuatu yang buruk di dunia ini adalah akibat dari klesha. Jadi,
inilah kerugian utama klesha. Ada banyak kerugian lain dari klesha
yang tercatat dalam berbagai karya. Misalnya, bab kesabaran dari
Bodhicaryawatara menjelaskan aneka kerugian ini dengan panjang
lebar. Kita juga bisa membaca bab kesabaran dari Lamrim Agung.
Pembebasan di Tangan Kita juga mengulas poin ini.
Perihal bagaimana kita menghimpun karma melalui klesha,
Lamrim Agung membaginya menjadi 2 bagian: mengenali
karma dan bagaimana kita mengumpulkan karma. Poin pertama

85
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

menjelaskan hakikat karma dan berbagai klasifikasinya. Tata cara


karma dibagi menjadi kategori tertentu tergantung pada kriteria
yang berbeda. Apa itu karma? Ada berbagai jenis yang berbeda,
namun karma yang paling penting adalah faktor mental yang
selalu hadir, yaitu niat. lnilah karma. lnilah karma yang hakikatnya
berhubungan dengan batin. Ada lagi kategori karma yang lain,
yaitu jejak karma atau kemampuan yang ditinggalkan oleh faktor
mental niat ini di dalam arus batin kita. Ia bukan fenomena
mental, melainkan fenomena tak kekal. Dan karena bukan bentuk
maupun fenomena mental, ia termasuk ke dalam kategori ketiga
yang disebut faktor­faktor pembentuk yang tak berasosiasi. Kedua
jenis karma ini diakui oleh semua aliran filsafat Buddhis.
Kembali ke faktor mental niat. Ia didefinisikan sebagai faktor
mental yang bergerak bersama batin utama menuju sebuah objek.
Jadi, fungsinya adalah memastikan mobilitas dari batin. Lalu,
bagaimana karma dikumpulkan? Dalam konteks kali ini, karma
yang dimaksud adalah karma pelempar yang melempar kita ke
dalam samsara. Jadi, pertanyaannya: siapa yang mengumpulkan
karma pelempar? Jawabannya: makhluk biasa atau non-Arya.
Siapa pun yang belum mencapai tahapan akhir dari marga
persiapan (disebut ‘Dharma yang unggul’) adalah makhluk biasa
yang masih menghasilkan karma pelempar untuk terlahir kembali
di dalam samsara.
Jadi, bagaimana kita mengumpulkan karma? Melalui
sikap mencengkeram diri yang muncul begitu kuat dalam diri
kita, misalnya, keinginan untuk menyakiti atau membunuh.
Jika kita kemudian benar-benar membunuh makhluk lain, kita
mengumpulkan karma untuk terlahir kembali di alam rendah. Sikap
mencengkeram diri juga bisa mengambil aspek lain. Misalnya,
jika kita melakukan kebajikan karena ingin terlahir kembali di
alam yang membahagiakan–dengan kata lain, kebajikan kita
dimotivasi oleh keprihatinan akan kelahiran di masa yang akan

86
Karma dan Klesha II

datang–maka karma yang akan kita hasilkan adalah karma untuk


terlahir kembali di kamaloka. Aspek lain dari sikap ini: jika kita
memeditasikan samatha (ketenangan) atau salah satu dhyana
(tingkat penyerapan), kita akan menghasilkan karma untuk terlahir
kembali di rupaloka maupun arupaloka. Dalam semua kasus ini,
karma masih bersifat samsarik.
Perihal bagaimana kita mati dan dilahirkan kembali,
penjelasannya dimulai dengan memeditasikan proses kematian.
Kemudian, kita melihat apa yang terjadi setelah kematian,
bagaimana kita dilahirkan di alam bardo, dan bagaimana dari
sana kita dilahirkan kembali ke dalam kehidupan yang baru. Poin
ini menyimpulkan penjelasan tentang sebab penderitaan dan
bagaimana sebab penderitaan menempatkan dan menahan kita
di dalam samsara.
Sebagai tambahan, topik lain yang tak kalah pentingnya bila
kita ingin lebih memahami karma dan klesha adalah Batin dan
Faktor Mental, yang merupakan topik dasar dalam Buddhisme.
Apa pun posisi kita di dalam Buddhisme, kita tak bisa menghindari
topik Batin dan Faktor Mental. Ia melingkupi seluruh Dharma. Ia
membuat topik Dharma apa pun dari Buddhisme menjadi 'lezat.'
Inilah sebabnya ia diibaratkan sebagai garam Dharma.
Ada satu kisah tentang Potowa yang berkaitan dengan hal
ini. Ketika masih kecil, suatu hari beliau melihat orang-orang
yang sedang mengusung sesosok mayat. Ketika kejadian tersebut
berlangsung, sebuah pelangi muncul di atas mayat, atau muncul
dari mayat. Apa pun itu, kemunculan pelangi ini membuat Potowa
terkesan, dan beliau lalu bertanya, "Mengapa hal ini terjadi?"
Beliau bertanya ke sekelilingnya, dan kemudian seseorang
menjawab bahwa pelangi muncul karena orang yang meninggal
ini menghabiskan sepanjang hidupnya dengan bermeditasi. Reaksi
dari Potowa muda adalah, “Baiklah, saya ingin bermeditasi juga.”
Beliau memiliki aspirasi yang begitu cepat. Beliau kemudian

87
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

menemui ayahnya dan menjelaskan keinginannya untuk menjadi


seorang meditator. Ayahnya setuju dan berkata, "Itu bagus.
Engkau boleh pergi. Yang terbaik bagimu adalah pergi ke Biara
Rateng dan mencari sesepuh Dromtonpa."
Dromtonpa ketika itu telah cukup tua. Beliau pastinya
sudah cukup tua karena si ayah memanggilnya sebagai 'sesepuh
Dromtonpa.' Nasihat yang diberikan oleh ayahnya kepada Potowa
adalah: ketika berangkat ke Biara Rateng nanti, ia harus sekuat
tenaga mempelajari karya yang disebut Pembagian Lima Skandha.
lni adalah karya dari Wasubandhu yang cukup ringkas. Jika
berwujud buku, mungkin tebalnya hanya sekitar 15-20 halaman.
Karya ini berisi penjelasan skandha dan juga faktor mental. Ayah
Potowa lanjut mengatakan bahwa topik faktor mental ini adalah
garam dari Dharma. Topik inilah yang membuat semua Dharma
berasa. Jadi, kita semua juga harus mempelajari topik ini sebaik
mungkin jika benar-benar ingin merasakan Dharma.

Tinjauan Ulang
Dalam sebuah pujian kepada Buddha Maitreya, Je
Tsongkhapa mengatakan: "Walaupun kita mungkin meraih
kelahiran sebagai seorang manusia yang unggul dengan
kebebasan dan keberuntungan, yang ibarat sebuah kapal besar
untuk menyeberangi lautan penderitaan samsara, namun dengan
membiarkan diri kita berada di bawah pengaruh kemalasan,
kecerobohan, tidur, omong kosong, dan hasrat untuk meraih
untung dan penghormatan, maka kelahiran ini sudah kita gunakan
demi tujuan yang tak bermakna; kelahiran yang seharusnya dapat
membantu kita meraih tujuan tertinggi pun akhirnya tersia-siakan.
Jika ini yang kita lakukan, maka walaupun kita bertubuh manusia,
perilaku kita tak ada bedanya dengan binatang."
Sesungguhnya, dalam bait ini Je Tsongkhapa menggunakan
kata ganti orang pertama, seolah-olah beliau sedang membicarakan

88
Karma dan Klesha II

dirinya sendiri ketika berdoa kepada Buddha Maitreya. Namun,


walaupun beliau kelihatannya membicarakan diri sendiri dalam
kasus ini, kita paham bahwa tak ada satupun pengakuan beliau
yang sesuai dengan tindak-tanduknya. Tingkah laku beliau adalah
kebalikan dari pengakuannya. Alangkah baiknya bila kita sanggup
mengaitkan pengakuan beliau pada diri kita sendiri; dengan kata
lain, alangkah baiknya bila kita bisa mengikuti nasihat beliau.
Guru-guru Kadam juga pernah berkata: "Sekarang adalah
waktunya untuk membedakan diri kita dari ternak, secara harfiah."
Sekali lagi, apa maksudnya ini? Apa yang dilakukan binatang?
Mereka mencari makan; mereka berusaha melindungi diri sendiri
dari gangguan; mereka melindungi yang lebih muda; mereka
mencari tempat perlindungan. Mereka menjalankan hidupnya
dengan cara demikian. Jika secara mendasar kita melakukan hal
yang sama dan tak lebih daripada itu–hanya mencari lebih banyak
kekayaan, mencari perlindungan untuk diri sendiri dan orang-
orang terdekat kita, melawan musuh-musuh kita, dsb–maka apa
bedanya kita dengan binatang?
Jadi, bagaimana kita membedakan diri dari binatang?
Binatang tak dapat mengubah pola pikirnya untuk menatap masa
yang akan datang, sehingga mereka tak memahami kelahiran yang
akan datang atau bahkan peduli untuk memastikan kebahagiaan
diri mereka di kelahiran yang akan datang. Namun, sebagai
manusia, kita dapat melakukannya; kita punya kapasitas untuk
mempersiapkan kebahagiaan kita di masa yang akan datang,
paling tidak kebahagiaan di kehidupan mendatang. Inilah yang
paling minimum. Namun, meski kelahiran yang baik di dalam
samsara sungguh baik, ia masih sangat rapuh dan tak stabil; ia
takkan berlangsung selamanya. Karena kita memiliki kapasitas
untuk meraih lebih banyak, akan jauh lebih baik untuk menetapkan
tujuan yang lebih tinggi dan berusaha meraih bentuk kebahagiaan
yang lebih stabil, kebahagiaan yang takkan merosot lagi.

89
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

Kalau mau jujur, kita semua ingin berbahagia sepanjang


waktu dan tak menginginkan penderitaan secuil pun. Untuk meraih
tujuan ini, kita harus menyadari bahwa kelahiran kembali yang
baik di dalam samsara saja tak cukup untuk memenuhi hasrat kita
yang besar, yakni hasrat akan kebahagiaan yang konstan. Satu-
satunya cara untuk meraih tujuan kita adalah dengan membuang
skandha tercemar kita. Walaupun demikian, apakah tujuan ini
cukup? Keinginan kita sendiri memang akhirnya tercapai, namun
capaian ini takkan ada gunanya bagi semua makhluk yang berdiam
di dalam samsara, sedangkan kita tahu bahwa mereka semua
pernah menjadi ibu-ibu terkasih kita di kehidupan lampau. Jika
kita tetap mengabaikan kebahagiaan mereka setelah mengetahui
fakta ini, maka apa lagi yang lebih menyedihkan, tak berharga,
dan egois ketimbang aspirasi pembebasan pribadi kita?
Akan tetapi, kalaupun kita memiliki keinginan sejati untuk
membantu semua makhluk dan memasukkan mereka ke dalam
aspirasi kebahagiaan kita, apakah mungkin untuk memenuhi
aspirasi tersebut dengan kondisi kita sekarang? Jawabannya:
tentu saja tidak. Tanpa harus membicarakan manusia biasa
seperti kita semua, bahkan Shrawaka dan Pratyekabuddha pun
tak punya kemampuan penuh untuk mengupayakan kebahagiaan
semua makhluk. Shrawaka dan Pratyekabuddha tentu saja telah
membebaskan diri mereka dari samsara. Artinya, mereka takkan
lagi mengalami penderitaan samsara. Meski demikian, hal tersebut
tak berarti bahwa mereka telah sepenuhnya mengembangkan
semua kualitas baik secara sempurna. Yang menjadi penghalang
bagi mereka adalah klesha ketidaktahuan mereka, yang belum
sepenuhnya hilang. Mereka baru mampu menolong semua
makhluk setelah merealisasikan Kebuddhaan. Inilah alasan
kenapa kita harus mencapai pencerahan dan menjadi Buddha
sebelum bisa menolong semua makhluk dan, pastinya, diri kita
sendiri.

90
Karma dan Klesha II

Sesi Tanya-jawab II

Tanya: Bisakah makhluk biasa seperti kita mengumpulkan karma


yang akan menjadi sebab tercapainya pembebasan?
Jawab: Bisa. Jika seseorang memiliki perasaan jijik terhadap
samsara dan segala sesuatu yang berada di dalamnya serta
melihatnya sebagai sumber penderitaan yang sejati, dan jika
berdasarkan kesadaran tersebut ia memiliki aspirasi yang kuat untuk
membebaskan diri dari samsara, maka sebab bagi pencapaian
pembebasan akan tercipta. Contoh lain: jika seseorang mencapai
realisasi ke-tanpaaku-an, maka semua faktor mental yang
menemani faktor mental kebijaksanaan, termasuk faktor mental
niat, akan menciptakan karma bagi pencapaian pembebasan.
Tanya: Apakah kita perlu memiliki penolakan terhadap samsara
yang spontan agar mampu membangkitkan sebab pembebasan?
Jawab: Tentu saja. Jika kita memiliki penolakan terhadap
samsara yang spontan, apa yang kita lakukan akan menjadi
sebab pembebasan. Tak ada keraguan. Bahkan, kalaupun
tingkat penolakan kita belum spontan, dalam artian masih
dibuat-buat atau diraih melalui usaha, itu sudah cukup bagi
kita untuk membangkitkan sebab pembebasan. Tentu saja,
semakin baik kualitas penolakan kita, semakin nyata pula sebab
pembebasannya.
Tanya: Dalam konteks karma bagi pencapaian pembebasan yang
barusan disinggung, apakah karma ini juga merupakan asal-mula?
Jawab: Dalam Lamrim Agung, dikatakan bahwa tingkat penolakan
yang dibutuhkan agar sanggup menciptakan sebab pembebasan
adalah rasa jijik yang kita bangkitkan terhadap samsara, bahkan
kalaupun itu masih dibuat-buat. Faktor mental yang menemani
penolakan terhadap samsara meliputi faktor mental niat, yaitu
karma, dan faktor mental lainnya. Ini adalah contoh yang pertama.

91
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

Contoh yang lain adalah kebijaksanaan yang memahami ke-


tanpaaku-an, dan yang menemaninya adalah faktor mental niat
ditambah dengan faktor mental lainnya.
Jadi, akankah dua jenis niat dan faktor mental lainnya yang
menemani penolakan menjadi asal-mula? Kita telah melihat bahwa
penolakan terhadap samsara adalah penawar bagi kemelekatan, yang
merupakan asal-mula. Di sisi lain, kebijaksanaan yang memahami
ke-tanpaaku-an adalah penawar bagi sikap mencengkeram diri,
yang juga merupakan asal-mula. Karena pemahaman ke-tanpaaku-
an bertentangan dengan sikap mencengkeram diri, maka jika yang
satu adalah asal-mula, yang lain tak bisa menjadi bukan asal-mula.
Ia serupa dengan asal-mula, namun bukan asal-mula. Arya Asanga
mengatakan hal yang senada dalam Ikhtisar. Demikian juga Je
Tsongkhapa dalam Lamrim Agung. Beliau mengatakan bahwa
perasaan penolakan dan pemahaman ke-tanpaaku-an adalah
sebab pembebasan. Mereka dikatakan sebagai serupa dengan asal-
mula, meski bukan asal-mula. Beliau menasihati kita untuk melatih
2 kualitas ini: penolakan terhadap samsara dan kebijaksanaan yang
memahami ke-tanpaaku-an.
Kalimat berikutnya dalam Lamrim Agung berbunyi, “Ketika
kita tak merenungi keburukan dari hal-hal baik dalam samsara
dan membangkitkan beberapa bentuk penolakan, ketika kita tak
melatih kebijaksanaan yang memahami ke-tanpaaku-an, ketika
kita tak melatih bodhicita, tak punya realisasi bodhicita dan tak
bertumpu pada ladang yang unggul, maka semua kebajikan
yang kita hasilkan akan menjadi asal-mula.” Artinya, tanpa
semua pemikiran ini, kebajikan yang kita hasilkan hanya akan
menyebabkan kita berputar terus-menerus di dalam samsara.
Ketika dikatakan “bertumpu pada ladang yang unggul,” ini
merujuk pada kebajikan yang berkaitan dengan Buddha. Ini adalah
pengecualian. Artinya, meski kita tak punya penolakan terhadap
samsara, pandangan benar, atau bodhicitta, karma baik yang

92
Karma dan Klesha II

kita ciptakan takkan menjadi asal-mula jika ia berkaitan dengan


Buddha. Kita perlu mengingat poin ini dengan baik agar ketika
kita membangkitkan kebajikan, kebajikan yang bangkit takkan
melempar kita ke dalam samsara; pastikan bahwa kebajikan
yang kita lakukan dimotivasi oleh penolakan terhadap samsara,
bodhicita, dan pandangan benar.
Pada tingkatan ini, kita tak wajib mencapai pandangan benar,
namun minimal kita memiliki sedikit pemahaman ihwal ke-tanpaaku-
an atau kesunyataan. Untuk bodhicita, tampaknya kasusnya juga
sama. Jadi, di antara 3 kualitas utama ini, yang paling mudah
dicapai adalah penolakan terhadap samsara, dan satu-satunya cara
untuk mencapai penolakan ini adalah dengan mengingatkan diri
kita terus-menerus ihwal semua kerugian samsara.
Untuk kebajikan terkait ladang yang unggul (mis: membuat
persembahan kepada Buddha), apakah ia akan menjadi sebab
untuk sesuatu yang di luar samsara atau tidak sepenuhnya
bergantung pada motivasi kita. Jika perbuatan kita dimotivasi
oleh keprihatinan pada kehidupan ini saja, maka hasilnya takkan
terlalu positif meski ia berkaitan dengan Buddha.

93
94
8
KEBENARAN ARYA
TENTANG PENGHENTIAN
PENDERITAAN

S
etelah dua kebenaran yang pertama, selanjutnya kita
memiliki kebenaran yang ketiga. Di sini, Buddha berkata:
"lnilah kebenaran Arya tentang penghentian penderitaan."
Jika kita banyak memeditasikan kebenaran tentang penderitaan,
maka semakin dekat pula kita dengan pembebasan dari penderitaan.
Kita lalu bertanya pada diri sendiri: "Dapatkah saya menghilangkan
penderitaan?"
Ini adalah pertanyaan besar. Apakah mungkin untuk
menyingkirkan penderitaan, atau dengan kata lain, menghilangkan
skandha tercemar Anda? Untuk menjawabnya, pertama-tama,
kita harus melihat apa yang menjadi sebab dari skandha tercemar.
Kita tahu bahwa sebab utamanya adalah karma yang dihasilkan
oleh klesha. Kemudian, kita dapat melihat lebih dekat, mana di
antara klesha­–klesha ini yang menyebabkan kita menghasilkan
karma untuk menderita. Jawabannya: Klesha akar dalam bentuk
ketidaktahuan yang mencengkeram diri, yang menganggap diri
muncul dengan sendirinya, dsb.
Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah diri hadir dengan
sendirinya atau tidak? Apakah cara kita mengamati diri tepat
atau salah? Jika kita telah menyadari bahwa cara pandang
kita salah, kita akan paham bahwa kita bisa menyingkirkan
ketidaktahuan ini. Logikanya, karena ia salah, ia pastilah sesuatu

95
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

yang dapat dihilangkan atau dibuang. Oleh karena itu, adalah


mungkin untuk memisahkan diri dari ketidaktahuan ini. Di sinilah
Buddha mengajarkan kebenaran selanjutnya, kebenaran tentang
penghentian penderitaan.
Pada kebenaran pertama, kita menjadi sadar akan hakikat
samsara yang menderita dan secara alamiah ingin mengatasi
penderitaan tersebut. Kita ingin menyingkirkannya, namun kita
belum benar-benar yakin apakah ini bisa dilakukan atau diraih.
Langkah selanjutnya adalah melihat dari manakah penderitaan
berasal, dan hal ini akan membimbing kita ke kebenaran kedua.
Setelah kita memeriksa asal-mula penderitaan dengan seksama,
kita menemukan bahwa akarnya adalah ketidaktahuan dalam
bentuk sikap mencengkeram diri. Kita kemudian menganalisis
hal ini dan berusaha menemukan apakah objek dari sikap
mencengkeram diri ini hadir dengan sendirinya atau tidak. Ketika
kita menemukan bahwa ia tak hadir dengan sendirinya, kita
paham bahwa sikap mencengkeram diri adalah persepsi yang
salah. Karena ia salah, kita paham bahwa ia dapat dihilangkan
dan diatasi. Pada poin ini, kita paham bahwa penderitaan
bisa dihentikan bila kita bisa menghancurkan akarnya. Ketika
kita menyadari bahwa sikap mencengkeram diri itu salah, dan
bahwa objek dari sikap ini tak hadir dengan sendirinya, kita
akan memahami ke-tanpaaku-an atau kesunyataan. Setelah
pemahaman ini diraih, maka lawannya–sikap mencengkeram
diri–akan segera lenyap dalam diri kita. Kedua hal ini sepenuhnya
bertentangan. Mereka tak bisa hadir secara bersamaan dalam
batin kita.
Apa definisi dari penghentian penderitaan? Penghentian
analitis yang menolak penghalang (yang merupakan lawan
langsung) dari jalan tanpa interupsi (yang merupakan alat untuk
meraih penghentian sejati).
Setiap jalan punya objek yang ingin ditentang atau ditolak

96
Kebenaran Arya Tentang Penghentian Penderitaan

secara spesifik. Jadi, setiap jalan punya penghalang yang ingin


dibuang; masing-masing jalan adalah alat untuk membuang
penghalang tertentu. Dalam jalan tanpa interupsi, beberapa
jenis penghalang (disebut pandangan bawaan) dibuang. Ketika
ini tercapai, kita menghasilkan penghentian analitis. lstilah
penghentian analitis berarti 'ketidakhadiran sesuatu,' yaitu sebuah
kondisi yang terpisah dari sesuatu. Ia dinamai penghentian
analitis karena hanya bisa diraih melalui kebijaksanaan analitis
atau kebijaksanaan diskriminatif.
Jadi, apa itu pandangan bawaan? Pandangan tentang
keabadian, pandangan bahwa segala sesuatu adalah kekal, dll.
Namun, apa arti 'bawaan?’ Segala sesuatu yang berlawanan
dengan yang lahiriah. 'Bawaan' berarti segala sesuatu seperti sebuah
pandangan atau cara berpikir yang kita peroleh melalui perenungan
atau analisis. Jadi, meskipun salah, ia tetap merupakan kesimpulan
yang kita tarik melalui perenungan. Penghentian sejati adalah kondisi
batin yang telah terpisah dari pandangan bawaan ini.
Apakah pembagian dari penghentian sejati? Masing-
masing kendaraan punya kategorinya senddiri: penghentian sejati
bagi Shrawaka, penghentian sejati bagi Pratyekabuddha, dan
penghentian sejati bagi Mahayana.

Empat Karakteristik Penghentian Sejati


1. Penghentian
Penghentian sejati adalah penghentian dari penderitaan
yang harus dihilangkan. Dengan kata lain, ia adalah penghentian
karena terdapat pengakhiran penderitaan yang pasti.

2. Kedamaian
Penghentian sejati juga dikatakan sebagai kedamaian
karena ia adalah pengakhiran klesha.

97
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

3. Kebaikan
Penghentian sejati adalah kebaikan karena terdapat
pengakhiran semua penderitaan dan klesha, sehingga ia adalah
kemurnian dan kebaikan sementara dan tertinggi.

4. Pembebasan
Penghentian sejati juga merupakan pembebasan penuh,
karena ketika kita meraihnya, penderitaan dan klesha takkan
pernah bangkit lagi.
Jadi, karakteristik pertama menekankan aspek
pengakhiran penderitaan dan karakteristik kedua menekankan
aspek pengakhiran klesha. Ini adalah penjelasan yang
bisa ditemukan dalam Pramanawartika. Di sisi lain, dalam
Abhidharmasamuccaya, Asanga menempatkannya sedikit
berbeda, yaitu pengakhiran klesha sebagai karakteristik pertama
dan pengakhiran penderitaan sebagai karakteristik kedua.

Empat Pandangan Salah


Untuk setiap 4 karakteristik, ada 4 pandangan salah yang
ditentang secara berurutan. Yang pertama menyatakan bahwa tak
ada yang namanya pembebasan, bahwa mustahil untuk meraih
pembebasan atau pengakhiran penderitaan secara pasti.
Yang kedua menyatakan bahwa pembebasan adalah tempat
tercemar di dalam samsara; jadi, pembebasan diibaratkan seperti
surga, sebuah tempat yang sebenarnya masih berada di dalam
samsara.
Yang ketiga adalah sebuah doktrin dari Samkhya, yang
menyatakan bahwa pembebasan adalah 'diri yang terbebaskan';
dengan kata lain, sebuah diri yang telah bebas. Jadi, penganut
doktrin ini akan melakukan aneka macam praktik menyiksa diri–
bertapa di dalam hutan, membakar diri, dll–karena keyakinan

98
Kebenaran Arya Tentang Penghentian Penderitaan

bahwa diri yang tahan siksaan adalah diri yang telah terbebaskan.
Hal ini bertentangan dengan pandangan Buddhis. Bagi Buddhisme,
pembebasan bukanlah diri, melainkan sebuah kondisi. Ia adalah
fenomena yang kekal, sementara diri itu tak kekal.
Yang keempat menyatakan bahwa ada kemungkinan
untuk terbebas dari penderitaan, namun sifatnya tak pasti. Ia
tak meyakini penghentian yang pasti dan takkan merosot lagi.
Ia meyakini bahwa kita sewaktu-waktu bisa terbebaskan dari
penderitaan, namun pada akhirnya akan jatuh kembali ke dalam
kondisi penderitaan.
Empat pandangan salah ini adalah pandangan bawaan
dan sepertinya tak satu pun dari kita yang memiliki pandangan
tersebut. Meski demikian, kita mungkin memiliki pandangan
yang demikian di kehidupan lampau, sehingga ada kemungkinan
bahwa jejak pandangan ini bisa saja muncul sewaktu-waktu di
dalam diri kita. Misalnya, karena kita merasa bahwa tak ada
perkembangan yang cukup berarti setelah usaha yang keras, kita
mungkin saja berpikir bahwa benar-benar mustahil untuk meraih
pembebasan dan menghentikan penderitaan. Perasaan semacam
itu sudah termasuk ke dalam pandangan salah.
Ringkasnya, apa yang dijelaskan di atas adalah pemisahan
yang pasti dari penderitaan, dan kita dapat meraihnya. Mengapa
demikian? Karena sebab penderitaan sepenuhnya dapat
dihapuskan. Ketika kita mencari tahu sebab penderitaan, kita pada
akhirnya akan mencapai sebab akar, yaitu persepsi salah tentang
‘aku’ yang berdiri sendiri. Ketika melalui analisis kita menemukan
bahwa sesungguhnya diri tak hadir dengan cara yang disajikan
oleh persepsi, kita akan paham bahwa persepsi adalah sebuah
kebohongan yang membodohi dan menyesatkan. Kita kemudian
dapat menggantikannya dengan persepsi tentang hakikat 'aku'
yang benar.

99
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

Pemahaman tentang hakikat sejati dari ‘aku’ ini adalah


sesuatu yang pertama-tama diraih dengan cara yang dibuat-
buat. Kemudian, melalui analisis, kita meningkatkannya. Melalui
meditasi, ia akhirnya akan berkembang dari persepsi tak langsung
menjadi persepsi langsung atau realisasi. Dalam kasus ini, kita
menjadi seorang Arya. Kita menyadari marga penglihatan dan akan
berhenti menghasilkan sebab penderitaan samsara. Kita berhenti
menghasilkan karma pelempar. Jadi, ketika kita merealisasikan
ke-tanpaaku-an atau kesunyataan secara langsung, kita akan
bebas dari pengaruh sikap mencengkeram diri, dan hasilnya,
kita akan berhenti menghasilkan karma pelempar yang baru
untuk terlahir kembali di dalam samsara. Jika sebab penderitaan
adalah fenomena yang kekal, maka tak ada yang bisa kita lakukan
terhadapnya. Kita tak dapat mengubah atau menghancurkannya.
Tapi, kita tahu bahwa sebab penderitaan–sikap mencengkeram
diri, dsb–itu tak kekal, sehingga pada dasarnya mereka sanggup
untuk dihapuskan dari batin kita. Ketika kondisi ini diraih, inilah
yang kita sebut sebagai pembebasan atau penghentian sejati.
Kemudian, langkah logis selanjutnya adalah bertanya pada
diri sendiri: "Apakah mungkin untuk meraihnya? Bagaimana
saya dapat meraihnya?" Pertanyaan ini akan membawa kita ke
kebenaran selanjutnya, kebenaran tentang Sang Jalan.

100
9
KEBENARAN ARYA
TENTANG JALAN MENUJU
PENGHENTIANPENDERITAAN

D
efinisi dari jalan sejati adalah sebagai berikut: jalan Arya
yang utamanya adalah metode untuk meraih penghentian
sejati.'
Bagi masing-masing kendaraan (Shrawaka, Pratyekabuddha,
Mahayana), ada 3 jalan: marga penglihatan, marga meditasi, dan
marga tanpa pembelajaran apa pun lagi. Di antara semua ini, jalan
sejati yang utama adalah realisasi ke-tanpaaku-an secara langsung.

Empat Karakteristik Jalan Menuju Penghentian Sejati


1. Sang Jalan
Jalan sejati adalah kebijaksanaan yang memahami ke-
tanpaaku-an secara langsung. Ia adalah sebuah jalan karena ia
menuntun ke pembebasan yang akan dijalani oleh 3 kendaraan.
Tanpanya, pembebasan menjadi mustahil, apa pun kendaraan
yang kita ikuti. Kita tak dapat mencapai marga penglihatan
kecuali jika telah mencapai kebijaksanaan yang memahami ke-
tanpaaku-an secara langsung.

2. Kesadaran
Kebijaksanaan yang memahami ke-tanpaaku-an secara
langsung adalah kesadaran karena ia adalah penawar langsung
yang benar-benar menentang klesha ketidaktahuan.

101
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

3. Pencapaian
Kebijaksanaan yang memahami ke-tanpaaku-an secara
langsung adalah pencapaian karena ia bertentangan dengan
penyimpangan batin, atau batin yang berkelana ke objek
dan persepsi yang salah dan sebagainya. Setelah menentang
penyimpangan batin, ia mencapai keadaan yang sebenarnya,
atau kesunyataan. Dalam bahasa Tibet, ada istilah drup ba yang
diartikan sebagai 'pencapaian,' atau mungkin 'perampungan.'
Drup ba berarti menempatkan batin pada sesuatu, tapi di sini
ia lebih dari sekadar itu karena ia tak hanya berpikir tentang
objek, namun juga tentang kesunyataan; atau lebih tepatnya,
ia merealisasikan kesunyataan secara langsung. Tingkatan yang
lebih rendah adalah proses menarik kesimpulan. Maksudnya,
ketika menarik kesimpulan, kita menghapuskan apa yang
bukan objek, dan akhirnya yang tersisa adalah objek yang
sedang kita amati: objek kesunyataan. Di sisi lain, drup ba
adalah realisasi atau persepsi langsung yang tak perlu melalui
proses penghapusan ini; kita menembusi objek secara langsung
tanpa harus melalui proses penghapusan.

4. Pembebasan penuh
Kebijaksanaan yang memahami ke-tanpaaku-an
secara langsung adalah pembebasan penuh karena setelah
meraih kebijaksanaan ini, kita akan selamanya terbebas dari
4 pandangan salah yang telah dipaparkan di sub-bab Empat
Pandangan Salah dari bab Kebenaran Ketiga.

102
10
MEMPRAKTIKKAN
KEBENARAN ARYA

P
ertanyaan yang tersisa adalah: bagaimana mempraktikkan
kebenaran tentang penghentian dan kebenaran tentang
Sang Jalan? Kita bisa melihat garis besar Lamrim pada
bagian akhir jalan makhluk motivasi menengah. Di sana, dikatakan
bahwa untuk memastikan hakikat dari jalan menuju pembebasan,
ada 2 aspek yang perlu diperhatikan:
1. Bentuk kehidupan seperti apa yang dapat mengatasi samsara?
Jawabannya tentu saja kehidupan sebagai manusia, baik
dengan tubuh pria maupun wanita, atau dengan menjadi umat
awam maupun biksu. Meski demikian, tak perlu dijelaskan lagi
bahwa di antara semua ini, bentuk terbaik adalah kehidupan
sebagai biksu.

2. Jalan seperti apa yang dapat mengatasi samsara?


Jalan yang akan membimbing kita mengatasi samsara
terdiri dari 3 latihan tertinggi: disiplin moral (sila), konsentrasi
(samadhi), dan kebijaksanaan (prajna). Dengan mempraktikkan
3 latihan tertinggi ini, kita akan meraih pembebasan. Jika tujuan
kita adalah pembebasan pribadi dari samsara, maka kita akan
mencapai tingkat Shrawaka ataupun Pratyekabuddha.
Jika tujuan kita adalah kepentingan semua makhluk
hidup, hasil akhirnya adalah Kebuddhaan.

103
Memahami Duka dan Terbebas Darinya

lni menyimpulkan penjelasan yang sangat ringkas


mengenai Empat Kebenaran Arya. Saya telah menanam sedikit
benih ajaran di dalam batin kita semua, meski masih ada
banyak lagi yang harus dipelajari mengenai topik ini. Kita harus
mempelajari topik ini dengan perlahan namun pasti. Berhubung
kita semua ingin mengakhiri penderitaan, menekuni topik ini
adalah salah satu cara terbaik untuk melakukannya.

104
GLOSARIUM

Abhidharma: secara harfiah bermakna “ajaran yang lebih tinggi”.


Merupakan kumpulan teks Buddhis yang berisi pengerjaan dan
penafsiran ulang atas ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Sutra.

Arhat: secara harfiah bermakna “seorang yang berharga atau


sempurna”. Merujuk pada seseorang yang telah mencapai
pembebasan namun belum meraih Kebuddhaan.

Arupaloka: alam dewa-dewa yang tidak memiliki bentuk tubuh


fisik dan hanya tersusun atas batin.

Arya: secara harfiah bermakna “yang mulia”. Merujuk pada


seseorang yang telah memasuki jalan spiritual dan membaktikan
diri di dalamnya dengan tekun.

Bardo: alam transisi yang berada di antara kehidupan saat ini


dan kehidupan selanjutnya. Semua makhluk di dalam samsara
yang akan terlahir kembali pasti melalui alam ini.

Berlindung: dalam Buddhisme, istilah ini dikenal dengan nama


“Trisarana”. Merujuk pada upaya mencari perlindungan kepada
Triratna dalam rangka menghindari penderitaan dan menemukan
kebahagiaan sejati.

Bodhicita: secara harfiah bermakna “batin pencerahan”. Merujuk


pada kondisi batin yang secara tulus mendambakan kebahagiaan
sejati bagi semua makhluk.

Bodhisatwa: secara harfiah bermakna “makhluk pencerahan”.


Merujuk pada seseorang yang, setelah dimotivasi oleh bodhicita,
terdorong untuk mencapai Kebuddhaan demi kepentingan semua
makhluk.

105
Buddhisme: keseluruhan sistem ajaran atau filsafat yang
diajarkan oleh Buddha Shakyamuni, sosok historis dari India
yang telah berhasil mencapai pencerahan dan kemahatahuan,
serta memutus rantai keberadaannya di dalam samsara. Tujuan
tertinggi yang ingin diraih oleh sistem filsafat ini tentu saja adalah
Kebuddhaan, sebuah keadaan di mana seseorang memiliki semua
kualitas yang dimiliki oleh seorang Buddha.

Dharma: secara harfiah bermakna “ajaran”. Dalam konteks


ini, ajaran yang dimaksud adalah ajaran yang asli berasal dari
perkataan Sang Buddha.

Dhyana: bisa diartikan sebagai “meditasi”. Tujuannya adalah


untuk meraih tingkat kestabilan dan kesadaran yang sempurna.

Jalan karma hitam: atau 10 ketidakbajikan. Terdiri dari:


membunuh, mencuri, tindakan seksual tak pantas, berbohong,
ucapan kasar, ucapan memecah-belah, omong-kosong, niat
buruk, keserakahan, dan pandangan salah.

Kalpa: satuan waktu dalam kosmologi Buddhis yang merujuk


pada pembentukan, eksistensi, dan penghancuran semesta.

Karma: secara sederhana bermakna “tindakan”. Dengan


demikian, hukum karma merujuk pada suatu hukum yang
mengatur tindakan, atau lebih tepatnya, hukum yang mengatur
bagaimana terjadinya dan berbuahnya sebuah tindakan.

Kebenaran Arya: kebenaran tentang hakikat penderitaan, asal-


mulanya, pelenyapannya, dan jalan menuju pelenyapannya.

Kesunyataan: pemahaman bahwa tidak ada satu hal pun di


dunia ini yang berdiri sendiri atau eksis secara inheren dari dalam
dirinya sendiri; dengan kata lain, paham ini adalah sebuah konsep
tentang kesalingtergantungan antara semua hal-ihwal di dunia ini.

106
Klesha: secara harfiah bermakna “racun mental”. Merujuk pada
kondisi-kondisi mental yang kemunculannya akan menyebabkan
kita menjadi tidak bahagia dan menderita. Misalnya: amarah, iri
hati, kesombongan, kemelekatan, dst.

Lamrim: secara harfiah bermakna “jalan bertahap menuju


pencerahan”. Merujuk pada kumpulan kitab yang menjelaskan
dan mengajarkan tata cara untuk mencapai Kebuddhaan secara
lengkap dan sistematis, sesuai dengan kapasitas setiap individu
yang mempelajarinya.

Mahayana: secara harfiah bermakna “kendaraan besar”. Sama


halnya dengan kasus Hinayana, kata “besar”di sini tidak merujuk
pada semacam tingkatan atau hierarki, melainkan pada kapasitas
batin yang dimiliki oleh seorang praktisi, atau lebih tepatnya, pada
fakta bahwa seorang praktisi menapaki jalan spiritual dengan
tujuan untuk membantu semua makhluk terbebas dari samsara.

Amerta: merupakan minuman surgawi yang dipercaya mampu


memberikan aneka khasiat, seperti umur panjang, kesehatan, dan
lain-lain.

Paramita: secara harfiah bermakna “penyempurnaan/


kesempurnaan”. Di sini, ada 6 hal yang hendak disempurnakan,
yaitu: dana (kemurahan hati), sila (disiplin moral), kshanti
(kesabaran), wirya (upaya bersemangat), samadhi (konsentrasi),
prajna (kebijaksanaan).

Pratyekabuddha: secara harfiah bermakna “Buddha yang


sendiri”. Merujuk pada seseorang yang mampu mencapai
pembebasan dengan upaya sendiri tanpa bantuan guru. Ini
utamanya merujuk pada fakta bahwa seseorang mampu mencapai
pembebasan bahkan di masa ketika Buddha dan ajarannya tidak
atau belum muncul di dunia ini.

107
Rinpoche: secara harfiah bermakna “yang berharga”. Digunakan
untuk merujuk pada sosok guru yang dimuliakan dalam tradisi
Buddhisme Tibet.

Rupaloka: alam dewa-dewa yang masih memiliki bentuk tubuh


fisik tertentu.

Samsara: lingkaran keberadaan yang tak mempunyai awal


ataupun akhir. Setiap makhluk yang belum terbebas dari lingkaran
ini harus mengalami siklus kelahiran dan kematian tanpa henti.
Terdiri dari: manusia, binatang, setan kelaparan, neraka, asura,
dan dewa.

Sangha: secara harfiah bermakna “majelis” atau “komunitas”.


Dalam Buddhisme, istilah ini secara umum merujuk pada
komunitas kebiaraan yang terdiri dari para biksu atau biksuni,
atau dengan kata lain, kumpulan orang-orang yang menjaga
ikrar-ikrar kebiaraan.

Shrawaka: secara harfiah bermakna “pendengar”. Di masa


Buddha Shakyamuni masih hidup, istilah ini digunakan untuk
merujuk pada murid-murid yang meraih realisasi setelah
mendengar ajaran dari beliau.

Skandha: secara harfiah bermakna “agregat” atau “kumpulan“.


Merujuk pada 5 aspek yang menyusun keberadaan diri kita:
bentuk, sensasi/perasaan, persepsi/identifikasi, faktor-faktor
pembentuk, dan kesadaran/diskriminasi.

Sutra: secara harfiah bermakna “wacana” atau “benang”.


Meskipun pada awalnya hadir dalam bentuk lisan, di kemudian
hari Sutra merujuk pada kumpulan kitab yang menjadi landasan
bagi tradisi-tradisi keagamaan di India.

Tantra: secara harfiah bermakna “tenunan”. Merujuk pada tradisi

108
esoterik dalam Hinduisme dan Buddhisme yang memungkinkan
tercapainya pencerahan dalam waktu singkat.

Tripitaka: secara harfiah bermakna “tiga keranjang/kumpulan”.


Merujuk pada kitab-kitab acuan dalam Buddhisme.

Triratna: secara harfiah bermakna “tiga permata”. Merujuk pada


Buddha, Dharma, dan Sangha.

Winaya-wastu: teks besar yang berisi 17 bab atau topik tentang


aturan kebiksuan.

Yana: secara harfiah bermakna “kendaraan”. Merujuk pada


jalan atau metode yang diusung oleh sebuah sistem filsafat untuk
mencapai tujuannya secara sistematis. Misalnya: Sutrayana,
Tantrayana, Mahayana, dst.

109
110
MENGHORMATI BUKU DHARMA
Buddhadharma adalah sumber sejati bagi kebahagiaan
semua makhluk. Buku ini menunjukkan kepada kita bagaimana
mempraktikkan ajaran dan memadukan mereka ke dalam hidup
kita, sehingga kita menemukan kebahagiaan yang kita idamkan.
Oleh karena itu, apapun benda yang berisi ajaran Dharma, nama
dari guru kita atau wujud-wujud suci adalah jauh lebih berharga
daripada benda materi apapun dan harus diperlakukan dengan
hormat. Agar terhindar dari karma tak bertemu dengan Dharma
lagi di kehidupan yang akan datang, mohon jangan letakkan
buku-buku (atau benda-benda suci lainnya) di atas lantai atau
di bawah benda lain, melangkahi atau duduk di atasnya, atau
menggunakannya untuk tujuan duniawi seperti untuk menopang
meja yang goyah. Mereka seharusnya disimpan di tempat yang
bersih, tinggi dan terhindar dari tulisan-tulisan duniawi, serta
dibungkus dengan kain ketika sedang dibawa keluar Ini hanyalah
beberapa pertimbangan.
Jika kita terpaksa membersihkan materi-materi Dharma,
maka mereka tidak seharusnya dibuang begitu saja ke tong
sampah, namun sebaiknya dibakar dengan perlakuan khusus.
Singkatnya, jangan membakar materi-materi tersebut bersamaan
dengan sampah-sampah lain, namun sebaiknya terpisah
sendiri, dan ketika mereka terbakar, lafalkanlah mantra OM AH
HUM. Ketika asapnya membubung naik, bayangkan bahwa ia
memenuhi seluruh angkasa, membawa intisari Dharma kepada
seluruh makhluk di 6 alam samsara, memurnikan batin mereka,
mengurangi penderitaan mereka, serta membawa seluruh
kebahagiaan bagi mereka, termasuk juga pencerahan. Beberapa
orang mungkin merasa bahwa praktik ini sedikit kurang biasa,
namun tata cara ini dijelaskan menurut tradisi. Terima kasih.

111
112
DEDIKASI
Semoga kebajikan terhimpun dengan mempersiapkan,
membaca, merenungkan dan membagikan buku ini kepada pihak
lain, semoga semua Guru Dharma berumur panjang dan sehat selalu,
semoga Dharma menyebar ke seluruh cakupan angkasa yang tak
terbatas, dan semoga semua makhluk segera mencapai Kebuddhaan.
Di alam, negara, wilayah atau tempat mana pun buku
ini berada, semoga tiada peperangan, kekeringan, kelaparan,
penyakit, luka cedera, ketidakharmonisan atau ketidakbahagiaan,
semoga hanya terdapat kemakmuran besar, semoga segala
sesuatu yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan mudah, dan
semoga semuanya dibimbing hanya oleh Guru Dharma yang
terampil, menikmati kebahagiaan dalam Dharma, memiliki cinta
kasih dan welas asih terhadap semua makhluk, semata memberi
manfaat pada sesama, serta tak pernah menyakiti satu sama lain.

113
114
tentang penerbit
TERIMA KASIH TELAH MEMBACA BUKU TERBITAN
PENERBIT PADI EMAS. SEKARANG APAKAH KAMI
BOLEH MEMINTA BANTUAN ANDA?

Penerbit Padi Emas adalah sebuah organisasi non-profit.


Misi kami adalah untuk berbagi kebijaksanaan dari ajaran Buddha
seluas mungkin, terutama yang dibabarkan oleh Yang Mulia Dagpo
Rinpoche. Melalui buku-buku yang kami terbitkan, terselip upaya
untuk menginspirasi, menghibur, mendukung, dan mencerahkan
pembaca di seluruh Indonesia. Kami memiliki sebuah mimpi,
membuat seluruh buku terbitan Penerbit Padi Emas tersebar
seluas-luasnya sehingga dapat menginspirasi banyak orang, baik
pemula yang penasaran, hingga praktisi yang telah berkomitmen.
Apakah Anda setuju dengan mimpi kami ini? Karena tentu saja
kami tidak dapat mewujudkan mimpi ini tanpa bantuan Anda.

Buku Dharma ini dapat Anda UNDANG tanpa biaya berkat


kebajikan berdana para dermawan. Mari turut bermudita dan
mendoakan para dermawan yang telah memungkinkan ini terjadi.
Apabila Anda berminat pula untuk terlibat dalam kebajikan seperti
ini, silakan bergabung sebagai Dharma Patron Lamrimnesia dan
berdana ke:

BCA 0079 388 388 a.n. Yayasan Pelestarian dan


Pengembangan Lamrim Nusantara

Mandiri 119 009 388 388 0 a.n Yayasan Pelestarian dan


Pengembangan Lamrim Nusantara

115
Kemudian mohon konfirmasikan dana Anda dengan
menghubungi Call Center Lamrimnesia.

Dengan menjadi Dharma Patron, Anda secara langsung


terlibat dalam (1) penerbitan dan penyaluran buku Dharma,
(2) penyelenggaraan kegiatan Dharma, (3) pendanaan biaya
operasional dan mobilisasi Dharma Patriot dalam rangka
mendukung aktivitas (1) dan (2) di atas.

Untuk mengetahui lebih lanjut serta memesan buku terbitan


Penerbit Padi Emas, silakan hubungi kontak di bawah ini:

Care: +6285 2112 2014 1

Info: +6285 2112 2014 2

Fb: Lamrimnesia & LamrimnesiaStore

Ig: @Lamrimnesia & @Lamrimnesiastore

Tiktok: @Lamrimnesia_

Email: Info@lamrimnesia.org

Website: www.lamrimnesia.org; www.store.lamrimnesia.com

116

Anda mungkin juga menyukai