Anda di halaman 1dari 5

Mata Kuliah : Teologi Kontemporer

Dosen : Pdt. Jemmy Matheos, M.Th


Kelompok 6 : Regri Pesak
Florida Moningka
Rissy Runtu
Noverensia Bawembang
Yanti Pesik

Teologi Pembebasan

1. LATAR BELAKANG
Berbagai teologi yang sudah dibahas dalam materi teologi kontemporer, mereka lahir dengan
masing-masing latar belakang, namun pada intinya pasti akan kembali pada arti dari teologi tersebut.
Secara formal teologi selalu mengasumsikan bahwa substansinya adalah pro-humanisme sekaligus
transendensi, teologi dianggap sebagai area yang paling imparsial dalam mengatasi kontradiksi-
kontradiksi. Semua persoalan yang dijelaskan dari sisi teologis akan bermuara pada keseimbangan.
Namun justru dari sisi tersebut kritik-kritik terhadap teologi muncul; Aforisme dari Nietzsche tentang
“Tuhan telah mati” atau juga Karl Marx “agama adalah candu masyarakat”. Maksudnya di sini teologi
tetap dianggap menyimpan perasaan tidak sadar terhadap situasi-situasi seperti itu, sehingga ia tidak
bisa menjalankan praksis sesuai tuntutan realitas. Di hamparan ketidakadilan, teologi tampak
kebingungan mengambil tindakan. Karena lembaga-lembaga keagamaan dalam beberapa hal
memiliki kesamaan dengan struktur tindasan di masyarakat 1 (adanya superordina dan subordinat)2.
Mungkin cara pandang ini terkesan simplitis namun pengalaman sejarah telah banyak menunjukan
adanya distorsi dari kelembagaan agama semacam itu. Latar belakang seperti inilah yang mendorong
munculnya teologi pembebasan khususnya di Amerika Latin. bukan saja di Amerika Latin tempat asal
teologia ini, tetapi juga di Asia dan Afrika. Walaupun Teologi Pembebasan timbul di mana-mana,
namun yang secara “vokal” dan sistematis berbicara tentang Teologi Pembebasan adalah yang
berasal dari Amerika Latin.3

2. TOKOH
Tulisan ini ingin memfokuskan diri pada pembahasan mengenai konsep teologi pembebasan
dengan bercermin pada tokoh gerakan teologi pembebasan, yakni Gustavo Gutiérrez. Walau banyak
yang berbicara dan menulis tentang teologi pembebasan seperti seorang aktivis pertama dan
seorang martir di gerakan ini yaitu Camillo Torres, seorang imam Kolombia yang bergabung dalam
gerilya gerakan sayap kiri dan terbunuh dalam bentrokan dengan tentara pemerintah pada tahun
1966. Kemudian karya pertama dan penting dalam teologi pembebasan datang dari seorang Gustavo
Gutiérrez, seorang lelaki keturunan campuran Spanyol dan Indian Amerika Latin yang dilahirkan di
Monserat, sebuah kawasan kumuh di Lima, Peru, pada tahun 1928. Gutiérrez juga berasal dari
sebuah keluarga yang relatif miskin. Balutan kemiskinan ini kemudian akan sangat berpengaruh pada
hidup Gutiérrez khususnya dalam membangun kepekaannya terhadap penderitaan sesamanya.
Begitu juga ketika ia menderita penyakit osteomiletis yakni penyakit yang membuatnya pincang
permanen. Ia terdorong untuk menekuni farmasi pada Universitas San Marco, Lima. Tujuannya agar
ia dapat menolong orang yang sakit serupa dengan dirinya. Namun kemudian ia memutuskan masuk
seminari dan belajar filsafat dan teologi pada Seminari Santiago de Chile. Pada tahun 1951-1955, ia
melanjutkan studi di Louvain, Belgia dan memperoleh gelar master pada bidang filsafat dan psikologi.

Pada tahun 1955-1959, Gutiérrez melanjutkan studinya di Universitas Lyon, Perancis dan
mendapatkan gelar Ph.D. Gutiérrez juga sempat mengeyam pendidikan di Universitas Katolik
Gregoriana dari tahun 1959- 1960 namun ia kembali ke Lima dan menjadi dosen di Universitas

1 Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016),
281. Dikatakan kesulitan disebabkan adanya struktur yang tidak adil, baik di dalam masing-masing
Negara itu sendiri (rezim yang menindas) maupun antara wilayah itu dan dunia “maju” (kapitalisme
yang menindas).
2 A. Suryawasita, Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez, (Yogyakarta: Jendela, 2001), 1.
3
A. A. Yewangoe. Implikasi Teologi Pembebasan Amerika Latin Terhadap Misiologi dalam
Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual (Jakarta: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di
Indonesia, 1995), 69.

1
Katolik di Lima. Selain mengajar, Gutiérrez menjadi pastor di Rimac (6 Januari 1959, ia ditahbiskan
imam di Roma) dan hidup di antara kaum miskin di daerah itu.4
Kembali ke Rimac, Lima, Gutiérrez berhadapan kembali dengan realita kemiskinan dan
penderitaan masyarakat di sana. Rimac adalah kota yang dihuni oleh orang-orang miskin dan mereka
benar-benar harus berjuang keras untuk memperoleh makan dan minum. Ia merasa bahwa teologi
yang dipelajarinya di Eropa “kurang cocok” untuk situasi gereja dan masyarakat di mana ia melayani.
Karena itu, ia berusaha menemukan teologi yang tepat dan relevan di tengah-tengah situasi yang
demikian miris.5 Menurut Gutiérrez, Teologi Barat itu lupa membaca konteks keberadaan teks itu dan
konteks keberadaan jemaat yang sedang membaca teks Kitab Suci itu. Pembacaan Kitab Suci harus
sampai pada penemuan pesan dasar dari Kitab Suci bahwa kebenaran iman harus dipraktekkan
dalam hidup sehari-hari. Iman itu harus menggerakkan orang untuk menentang dan mendobrak dosa-
dosa yang terstruktur yang menindas manusia. Gutierrez berpendapat, bahwa iman gereja secara
konkret di Amerika Latin, tidak cukup membantu perbaikan hidup kemasyarakatan namun justru
menjadi penghalang.

Dalam konteks Amerika Latin, menurut Gutiérrez, dibutuhkan iman yang bersifat praksis
(liberating praxis): iman yang menggerakkan orang untuk membebaskan diri dari belenggu
kemiskinan. Yang terjadi di Amerika Latin bukan sekedar kemiskinan melainkan juga orang dibuat
miskin. Ada sistem-sistem tertentu yang membuat orang tetap terpasung pada kemiskinan. Menurut
Gutierrez, gereja masih banyak berhubungan dan bersahabat dengan mereka yang mengendalikan
ekonomi dan politik. Persahabatan pimpinan gereja dengan kaum penindas seolah-olah melegitimasi
tindakan-tindakan korup mereka. Hal ini ia katakan sebagai keprihatinannya terhadap sikap dan
tindakan Gereja Katolik sebagai Gereja yang mempunyai pengaruh sangat besar di Amerika Latin.
Mayoritas penduduk Amerika Latin memeluk agama Katolik. Namun dalam pengamatan Gutiérrez,
Gereja Katolik tidak “netral” dalam keter-libatannya pada kancah sosial-politik. Gereja terkesan lebih
berpihak pada kaum kapitalis yang memasung orang dalam kemiskinan, agama menjadi ideology
kelas penguasa dan dipergunakan untuk mempertahankan hak-hak sosial yang istimewa serta
kekuasaan politik. Gutiérrez sendiri yakin bahwa gereja untuk orang miskin (Church for the poor)
adalah dasar bagi keberadaan Gereja itu sendiri dan basis teologi itu sendiri ketika berefleksi kritis. 6

Gutierrez mendapat pengaruh dari seorang Revolusione Argentina Che Guevara yang
menganut paham Marxisme. Meskipun dia tidak pernah menjadi seorang Marxisme, tapi dia tidak
ragu untuk menggunakan analisis sosial Marxixme dalam usahanya untuk mengerti keadaan buruk
kemiskinan yang ada di Amerika Latin. Walaupun demikian perlu diingat bahwa beliau adalah
seorang pelayan yang memiliki kedalaman spiritual.

Usahanya terus berlanjut, Gutiérrez terlibat aktif di dalam konferensi para uskup Amerika
Latin (CELAM). Pada Konferensi di Medellin, tahun 1968, Gutiérrez berusaha agar para uskup betul-
betul mengerti tentang situasi Amerika Latin yang dilanda kemiskinan. Sampai pada tahun 1971, ia
pun resmi menerbitkan yang namanya “Teologi Pembebasan”. Kemudian Gutierrez demi
menyuarakan keadilan dan kebenaran aktif menghasilkan tulisan-tulisan; The Power of the Poor in
History (1979) yang merupakan kumpulan intervensinya (esai) selama Konferensi CELAM di
Medellin, We Drink from our Own Wells (1983) yang berbicara tentang spiritualitas perjuangan
pembebasan, On Job: God talk and the Suffering of Innocent (1986),Gutiérrez melukiskan Ayub-
ayub masa kini yang menderita dan penderitaan mereka malah dicemooh oleh sesamanya karena
dianggap mereka memang terlahir dan ditakdir sebagai orang miskin dan menderita, kemudian the
God of Life (1990),Gutiérrez berbicara mengenai Allah dalam Kitab Suci dari sudut pandang Amerika
Latin, kemudian Las Casas: In Search of the Poor of Jesus Christ (1992), mengulas Bartolomeus
de la Casas, tokoh yang hidup pada abad ke-16 dan berjuang demi pembebasan orang-orang Indian
dari perbudakan orang-orang Spanyol atas nama agama.

Teologi pembebasan oleh Gutierrez ini tidak muncul begitu saja, tapi terkonsepkan sesuai
dengan latar belakang yang sudah dipaparkan di penjelasan sebelumnya. Waktu demi waktu lah
yang membentuk konsep teologi pembebasan ini, seperti yang dapat dilihat pada hasil karya tulis

4 Gustavo Gutiérrez, The Power of the Poor in History, translated by Robert R. Barr, (Quezon
City Claretian Publications , 1985), vii.
5 Baskara T. Wardaya. Spiritualitas Pembebasan: Refleksi Atas Iman Kristiani dan Praksis

Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 106.


6
A. Suryawasita, 6-7.

2
oleh Gutierrez mengenai Las Casas: In Search of the Poor of Jesus Christ (1992), perjuangan
seorang tokoh di abad ke 16. Menjelaskan perjuangan teologi pembebasan sebenarnya sudah di
mulai jauh sebelum tulisan-tulisan Gutierrez muncul. Las Casas atau Bartolome de Las Casas salah
satu tokoh yang adalah bagian dari terkonsepnya teologi pembebaan Guttierrez, La Casas
mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang
Spanyol, walaupun ia seorang uskup dan berdarah Spanyol namun dengan tegar berdiri bersama
orang-orang Indian.7 Las Casas memiliki pengaruh yang amat mendalam terhadap Gutierrez dan
amat mewarnai pandangan-pandangan teologisnya.
Selain konsep yang berkembang akibat bertumbuh dalam situasi sosial ekonomi seperti
digambarkan di atas, Gutiérrez sendiri juga banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang dijumpainya
selama studi dan berkarya sebagai imam di Lima. Di Louvain, ia berjumpa dengan Francóis Houtart
seorang teolog sosialis dan bertemu dengan Camilo Torres, pastor gerilyawan di Amerika Latin.
Gutiérrez juga berjumpa dengan José Maria Arguedas, seorang penyair Peru yang betul-betul
menyuarakan kaum tertindas lewat karya-karyanya. Munculnya gerakan-gerakan religius dan sekuler
pada pertengahan abad ke-20, seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika Utara
yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox memberikan inspirasi yang
sangat kuat kepada Gutiérrez untuk membangun suatu teologi yang khas Amerika Latin. Teologi
bukan sekedar refleksi transesdental melainkan refleksi bersama umat Allah yang hidup dalam
konteks sosial yang penuh dengan penindasan, kemiskinan dan keterbelakangan. Hasil dari refleksi
itu menuntut adanya suatu tindakan “praksis”. Iman harus berwujud praksis.8

3. TEOLOGI PEMBEBASAN GUTIERREZ


Dengan situasi yang dipenuhi oleh konflik antara penindas dan yang ditindas di Amerika
Latin, maka menurut Gutierrez aspirasi serta usaha untuk merubah paling tepat dirumuskan sebagai
usaha pembebasan daripada sebagai usaha perkembangan. Kata pembebasan lebih tepat
mengungkapkan perlunya perubahan radikal, serta kesukaran-kesukaran yang ada, yang kurang
diungkapkan oleh kata perkembangan. Menurut Gutierrez kata pembebasan digunakan karena
sejarah manusia merupakan sejarah pembebasan. Kata pembebasan menurut Gutierrez juga lebih
dapat mengungkapkan gagasan Kitab Suci, di dalam kitab suci mengandung ide pembebasan yang
mencolok, Gutierrez mengambil contoh Yesus Kristus yang lewat inkarnasi diri-Nya, menjadi miskin,
untuk memfokuskan diri-Nya berada di antara orang miskin dan kaum tertindas9 yang kemudian Ia
menjadi pembebas manusia dari dosa (sumber segala penindasan dan ketidakadilan). Karya
penyelamatan menyangkut seluruh dimensi kehidupan manusia, terutama menyangkut keadilan
sebagai nilai sosial yang telah hilang dari Bumi Amerika Latin. Gutiérrez tidak segan-segan
menggunakan analisa sosial marxis sebagai bentuk analisa sosial yang paling efektif memperlihatkan
adanya kesenjangan sosial dan ketidakadilan itu.
Bagi Gutiérrez, Amerika Latin membutuhkan teologi pembebasan, sebagai sebuah refleksi
yang tidak hanya melihat iman yang transenden saja melainkan juga melihat iman yang praksis.
Refleksi macam itu akan memperlihatkan sisi kritis dimana teologi dapat menjawab tantangan zaman
dengan segala permasalahan sosialnya. Teologi bukan hanya mencari otensitas dasar iman
(depositum fidei) kristiani, tetapi haruslah memiliki praksis sebagai wujud konkret penghayatan iman.
Dari penjelasan di atas, Teologi Pembebasan dapat dirumuskan secara singkat sebagai usaha
bersama kelompok basis gerejawi untuk merealisasikan pengajaran Alkitab mengenai pembebasan
ke dalam praksis, suatu teologi yang memperhatikan situasi dan penderitaan orang miskin. “Keadilan
sosial dan solidaritas” dengan orang miskin dianggap sebagai bagian utama amanat misi Gereja dan
sekaligus menjadi locus theologicus (tempat dan alasan berteologi).
Teologi pembebasan mempunyai dua mata pisau yakni “menantang dan mencerahkan”. Dua
hal ini akan mengantar teologi lebih bersifat bibilis-Hermeneutik. Menantang (challenge) adalah
sebuah argumen filosofis (Imanuel Kant), yang merujuk kepada alasan-alasan yang menyangkut
otonomi manusia. Teologi bukanlah sekedar refleksi atas pewahyuan diri Allah yang terbaca di dalam
Kitab Suci. Refleksi seperti itu akan bernuansa “berada di luar” kehidupan sejarah manusia dan
terkesan “terpaksa” untuk ditempatkan pada matriks interaksi manusia di dalam sejarah. Teologi

7http://e-journal.usd.ac.id/index.php/job/article/viewFile/1099/871, (diakses pada Minggu, 21


Oktober 2018 Pukul 13.49 WITA).
8
A. Suryawasita, 18-19. Teologi pembebasan Gutierrez adalah refleksi kritis dalam terang
Sabda Allah atas praxis hidup orang Kristen, yang ikut melibatkan diri dalam usaha pembebasan.
9
http://e-journal.usd.ac.id/index.php/job/article/viewFile/1099/871, (diakses pada Minggu, 21
Oktober 2018 Pukul 16.35 WITA).

3
sejati adalah refleksi tentang pewahyuan diri Allah yang hidup dalam sejarah manusia yang
dicerahkan lewat pembacaan Kitab Suci. Pencerahan (enlightenment) muncul melalui perspektif
politik yang didirikan oleh Karl Marx, yang berargumen bahwa keseluruhan manusia dapat terwujud
hanya kalau kita dapat mengatasi struktur sosial, ekonomi dan politik yang membelenggu manusia.
Peran marxisme dalam Teologi Pembebasan harus dimengerti secara positif dan jujur. Memang
benar Teologi Pembebasan dan marxisme perlu dibedakan secara akurat namun Teologi
Pembebasan setuju pendapat Marx yang terkenal itu, “sampai sekarang ini, para filsuf telah
menerangkan dunia ini; tugas kita adalah mengubahnya.” Teolog pembebasan bukanlah seorang
yang berteori belaka. Ia seorang praktisi yang berjuang membawa transformasi sosial. Untuk maksud
itu, ia mesti menggunakan pisau analisa sosial marxisme, yang memisahkan manusia sebagai
penindas dan manusia sebagai tertindas. Pisau analisis sosial-konflik ini bertujuan untuk
mengidentifikasi ketidakadilan dan eksploitasi yang terjadi di tengah masyarakat.
Marxisme dan Teologi Pembebasan mengutuk agama yang melanggengkan status quo dan
yang membenarkan kekuasaan para penindas. Namun berbeda dengan marxisme, Teologi
Pembebasan selalu kembali ke iman kristiani yakni berjuang demi pembebasan. Marx gagal untuk
melihat kekuatan emosional, simbolik dan sosiologis. Gereja menggunakan hal-hal itu demi
perjuangan keadilan. Para teolog pembebasan mengklaim diri bahwa mereka berjuang tidak
berangkat dari tradisi kristianitas yang kuno ketika menggunakan pemikiran marxisme sebagai alat
untuk melakukan analisa sosial. Mereka juga tidak menggunakan marxisme untuk melihat dunia ini
secara filosofis atau melihat rencana yang komprehensif untuk aksi politik. Pembebasan manusia
harus mulai dengan perubahan infrastruktur ekonomi namun tidak berakhir pada ekonomi saja.
Perubahan ekonomi sebagai pintu masuk untuk perjuangan; akhir dari perjuangan itu adalah
perubahan manusia secara keseluruhan.

4. KESIMPULAN & REFLEKSI


Pencerahan menantang situasi Amerika Latin untuk membangun hermeneutic praksis dari
teologi pembebasan. Kunci terpenting pada hermeneutik ini adalah privilege (perhatian khusus)
terhadap kaum miskin. Pada benua yang dihuni oleh mayoritas miskin dan katolik ini, teologi
pembebasan menuntut perjuangan untuk memanusiakan manusia yang tertindas dan bukan untuk
menjadikan mereka beragama. Para teolog pembebasan terlebih khususnya Gutierrez telah mengukir
tempat spesial bagi orang miskin di dalam teologi. Tekanan Teologi Pembebasan ada dalam
keberpihakkannya pada orang miskin dan keyakinannya bahwa seorang Kristen tidak boleh tinggal
pasif dan tidak peduli pada penderitaan manusia. ketidakmanusiawian manusia (man’s inhumanity)
terhadap sesamanya adalah dosa dan berhak mendapat hukuman dari Tuhan serta perlu dilawan.
Namun bagi kelompok teologi pembebasan ini juga memiliki kelemahan. Penggunaan pisau
kritis dari marxisme memang dapat digunakan dalam mengidentifikasi perjuangan kelas. Masalahnya
sejauh mana peran Marxisme dibatasi hanya sebagai alat analisa sosial dan sejauh mana dapat
menjadi solusi politis. Kemudian penekanan teologi pembebasan terhadap orang miskin memberikan
kesan bahwa orang miskin bukan saja obyek dari perhatian Tuhan melainkan juga subyek
penyelamatan Allah. Hanya tangisan orang tertindas adalah suara Allah dan didengarkan Allah,
selain dari pada itu, segala sesuatu diproyeksikan sebagai usaha yang sia-sia untuk mengerti Allah
secara menyeluruh. Hal ini adalah tekanan yang membingungkan dan bahkan juga dapat
menyesatkan.
Terlepas dari kelemahannya sebenarnya teologi pembebaan mengajak semua komunitas
untuk memilih dan berdiri di antara orang miskin dan kelas sosial yang diperas sambil
mengidentifikasi diri dlam situasi mereka yang mengenaskan dan berbagi dengan mereka tentang
deritanya. Kita diajak untuk mengerti tentang Tuhan melalui sejarah hidup kaum miskin. Tuhan tidak
diingat secara analogi pada keindahan dan kekuatan ciptaanNya saja tapi juga secara dialektik mesti
diingat dalam penderitaan dan hilangnya ciptaan-ciptaanNya. Nah lewat refleksinya, teologi
pembebasan sebenarnya ingin menghadirkan Gereja sebagai “Sakramen Keselamatan” dalam
sejarah umat manusia. Gereja harus terlibat (immersion) dalam konteks kehidupan orang miskin.
Pengikut Kristus yang benar, menurut teologi pembebasan, haruslah membangun masyarakat yang
lebih adil, membawa perubahan sosial-politik dan berdiri di antara orang miskin.

4
DAFTAR PUSTAKA

Gutiérrez, Gustavo, The Power of the Poor in History, translated by Robert R. Barr, Quezon City
Claretian Publications , 1985.

Lane, Tony, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.

Suryawasita, A., Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez, Yogyakarta: Jendela, 2001.

Wardaya, Baskara T., Spiritualitas Pembebasan: Refleksi Atas Iman Kristiani dan Praksis Pastoral,
Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Yewangoe, A. A., Implikasi Teologi Pembebasan Amerika Latin Terhadap Misiologi dalam
Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual, Jakarta: Perhimpunan Sekolah-Sekolah
Theologia di Indonesia, 1995.

SUMBER:

http://e-journal.usd.ac.id/index.php/job/article/viewFile/1099/871, (diakses pada Minggu, 21


Oktober 2018 Pukul 13.49 WITA).
http://e-journal.usd.ac.id/index.php/job/article/viewFile/1099/871, (diakses pada Minggu, 21
Oktober 2018 Pukul 16.35 WITA).

Anda mungkin juga menyukai