7
Paul Enns, The Moody Hanbook of Theology (Malang: SAAT, 2004), 233
8
Harun Hadiwijono, Pemikiran Reformatoris Abad Ke-20, 59
9
Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, 229
10
David L. Smith, A Handbook of Contempporary Theology, 173
11
Harun Hadiwijono, Pemikiran Reformatoris Abad Ke-20, 115
12
Paul Enns, The Moody Hanbook of Theology, 222-223
yang ditawarkannya sebagai sebuah pendekatan baru adalah, menyamakan Allah dengan alam
semesta. Hal-hal yang bersifat agamawi digantikan dengan keterlibatan sosial di tengah
masyarakat. Orang kristen yang mengasihi Allah, dituntut untuk menjadi lebih peka bagi orang-
orang lapar, yang tanpa sandang serta yang terpenjara. Ini adalah bentuk panggilan kekristenan
di dunia sekuler yang oleh Robinson disebut sebagai panggilan kekudusan melalui
penyembahan.13 Gereja adalah pelayan di tengah-tengah dunia yang sekuler dengan menjadikan
diri sebagai persekutuan kenabian. Secara radikal Robinson mengatakan bahwa dunia adalah bait
Allah dan gereja menjadi alat pelayanan di dalam rumah Allah. Sependapat dengan teori
Gogarten, Robinson setuju bahwa gereja dan orang kristen bertugas untuk mengubah
sekularisme dan humanisme di Barat menjadi sekularisasi yang sebenarnya.14
Harvey Cox, seorang teolog protestan menulis sebuah buku yang diberinya judul The
Secular City pada tahun 1965. Sub judul buku ini adalah tentang Sekularisasi dan urbanisasi
dalam perspektif teologi. Buku ini menimbulkan perdebatan karena Cox mensistematiskan
teologi sekularisasi, bahkan memberikan justifikasi teologis melebihi konsep dari para
pendahulunya. Menurut Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari proteksi agama dan
metafisika, pengalihan dari alam lain kepada dunia ini. 15Cox menyetujui gagasan bahwa pusat
modernitas adalah dunia dan bukan agama. Cox juga memandang adanya perbedaan yang sangat
signifikan antara sekularisasi dengan sekularisme. Menurutnya sekularisme adalah nama sebuah
ideologi yang tertutup. Sedangkan sekularisasi akan membebaskan masyarakat dari kontrol
agama dan pandangan-alam metafisik yang tertutup (closed metaphysical worldviews).
Sekularisme akan membahayakan keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh sekularisasi.
Seperti konsep Gogarten, sekularisme perlu dikawal dan diawasi agar tidak berkembang menjadi
ideologi negara. Bobot teologi dari sekularisasi dalam argumentasi Cox adalah penekanan bahwa
sekularisasi berakar dari kepercayaan Alkitab.16
Terdapat tiga komponen penting dalam Alkitab yang menjadi kerangka dasar kepada
sekularisasi, yaitu: disenchantment of nature; yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation),
desacralization of politics; dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir dan
deconsecration of values; dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant). Dengan menjustifikasi
sekularisasi berasal dari ajaran Alkitab, Cox menyimpulkan bahwa sekularisasi adalah
konsekuensi sah dari keimanan Kristiani. Manusia pra-sekular seperti bangsa Sumeria, Mesir
kuno dan Babilonia memercayai bahwa dunia ini adalah mistis.
Jadi fokus dalam teologi sekularisasi yaitu menjadikan manusia sebagai pembahasan
utama, menggantikan teologi tradisional yang masih menekankan Tuhan. Dengan teologi
sekular, Tuhan, hukum Tuhan dan agama harus dimanusiawikan.
13
David L. Smith, A Handbook of Contempporary Theology, 174
14
Harun Hadiwijono, Pemikiran Reformatoris Abad Ke-20, 121
15
Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The
Macmillan Company, 1967), 15
16
David L. Smith, A Handbook of Contempporary Theology, 168
Teologi sekularisasi memberikan kebebasan masyarakat dari belenggu dan ikatan agama;
dan menjadikan dunia sebagai pusat segala sesuatu. Hal ini pula yang sekaligus menjadi
kelemahan teologi sekularisasi. Selain bahaya penyimpangan ke arah sekularisme dan
ekstrimnya ke arah atheisme, teologi sekularisasi dapat membuat manusia kehilangan pandangan
terhadap Allah yang berdaulat “di atas sana” terhadap kehidupan manusia “di bawah sini”.
Teologia sekularisasi juga dapat mengarah pada jebakan humanis. Seperti dikatakan oleh
Robinson, bahwa dalam konteks teologi sekularisasi, pertanyaan “Bagaimana saya dapat
menemukan Allah yang pemurah?” harus diganti dengan pertanyaan “Bagaimana saya dapat
menemukan sesama yang pemurah?”17
Dalam teologi sekularisasi, eksistensi Allah, Alkitab dan manusia serta relasi di antara
ketiganya, tidak mendapat tempatnya sama sekali. Apalagi jika hal tersebut berhubungan dengan
sesuatu yang supranatural. Demikian halnya gereja, perannya mengalami reduksi sedemikian
rupa sehingga tidak lagi dianggap sebagai “umat pilihan Allah” yang terpisah dari dunia, yang
dipilih oleh Kristus; tempat persekutuan; pemuridan dan pengenalan akan Allah, sebagai
mempelai-Nya, melainkan berhenti pada satu fungsi pelayanan semata di dalam dan di tengah
dunia. Pandangan teologi sekularisasi tentang eskatologi Alkitab, mengenai hal kerajaan yang
akan datang, tidak diterima. Kerajaan yang dimaksud adalah kerajaan yang sekarang dan hadir
pada masa kini. Demikian halnya penekanan teologi ini yang difokuskan pada akal budi manusia
dan kemampuan penalarannya, sangat bertentangan dengan ajaran Alkitab tentang Allah yang
menjadi sumber segala sesuatu.18 Nalar bukanlah wewenang tertinggi. Persepsi manusia yang
telah jatuh ke dalam dosa mengenai kebenaran sangat terbatas, khususnya dalam bidang moral
dan spiritual.19 Kendati demikian, teologi sekularisasi sebagai satu wujud teologi kontemporer
telah berusaha melakukan tugasnya untuk membuat dunia ini tidak mengarah pada sekularisme
dan mengupayakan berbagai usaha untuk membuat dunia bisa lebih mengenal Allah, gereja,
Alkitab dan kekristenan dengan caranya sendiri. Khususnya mengenal penderitaanNya untuk
menanggung dosa manusia dengan “membeli” pengampunan lewat karya Salib. 20Teologi
sekularisasi dapat menjadi refleksi tentang tugas manusia yang sesungguhnya.
17
Harun Hadiwijono, Pemikiran Reformatoris Abad Ke-20, 81
18
Harvie M Conn, Teologia Kontemporer (Malang: SAAT, 2008), 83-85
19
Bruce Milne, Mengenali Kebenaran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 32
20
Sonny Eli Zaluchu, “Penderitaan Kristus Sebagai Wujud Solidaritas Allah Kepada Manusia,” DUNAMIS (Jurnal
Teologi dan Pendidikan Kristiani) 2, no. 1 (2017): 61–74
pada gilirannya menunjuk pada objek sungguhan yang berkaitan dengan kerinduan tersebut.
puncak dari kerinduan tersebut bersumber kepada pemuasan segala kerinduan yaitu Allah
sendiri.
Konsep tentang Allah yang jauh dari kehidupan seseorang menjadikan dirinya bebas,
sehingga dapat melakukan apa saja yang diinginkan tetapi sekaligus memikul tanggung jawab
tidak terbatas. Ini memberikan gambaran yang cukup baik bagi manusia karena pada dasarnya
manusia harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Namun dengan demikian maka
seolah-olah menunjukan bahwa manusia dapat melakukan apa saja dengan kekuatannya sendiri
sehingga manusia tidak lagi membutuhkan Tuhan. Pada dasarnya kebutuhan paling utama dari
manusia adalah kebutuhan akan Tuhan. Akibat menolak Tuhan dalam kehidupannya. Kehidupan
semakin jahat dan selalu menghindari bahkan tidak melakukan kebaikan sama sekali. Setiap
manusia hanya peduli dengan dirinya saja dan tidak memperdulikan orang lain yang ada di
sekitarnya. Menyangkali Allah sama halnya dengan menjadikan sumber, makna dan nilai
kehidupan menjadi sampah yang tidak dapat dipandang baik oleh siapa saja termasuk oleh
orang-orang yang paling rendah kedudukannya sekalipun. Dengan demikian manusia akan
menganggap bahwa tidak ada sedikitpun dalam kehidupan manusia yang turut dirasakan oleh
Tuhan karena Tuhan tidak hadir dalam budaya manusia, dalam hal ini tidak menyatakan diri
melalui apapun di dunia ini.
Paham ini harus disadari bahwa keberadaannya sudah mempengaruhi banyak hal dari
kehidupan manusia dengan konsepnya mengenai Tuhan yang mati dan harus ditinggalkan
Namun pada dasarnya gerakan ini menuntut perhatian Allah bagi pengikutnya untuk dinyatakan.
Jikalau ini dibiarkan maka gerakan ini akan terus berlangsung dan mempengaruhi gereja
sehingga gereja jauh dari ajaran-ajaran yang benar, dan tidak lagi mengutamakan Tuhan dalam
kehidupannya.
Teologi Misi yang mempunyai arti mencolok dari kata Misi adalah pengutusan keluar
kepada banga-bangsa (bangsa non Kristen) di dunia untuk menyampaikan suatu berita
keselamatan dan kesukaan (injil) datangnya Kerajaan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus, yang
dilakukan baik melalui pemberitaan secara lisan maupun melalui pelayanan diakonal, yang
bersifat kesaksian dan pelayanan secara holistic (keseluruhan). Maka dari itu, usaha-usaha yang
perlu dilakukan dalam misi untuk menganggulangi pengaruh atau dampak negative dari
sekularisme:
Pertama, mengusahakan peningkatan dan kedalaman kadar keimanan orang percaya
berdasarkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan Firman Tuhan, sehingga orang Kristen
dapat menjadi orang Kristen yang dewasa agar tidak mudah goyah imannya sebagaimana nasihat
Rasul Paulus di dalam Efesus 4:13 dan 14. Atau sebagaimana yang dikatakan Rasul Paulus di
dalam surat Kolose 2:0-7: "Kamu telah menerima Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu
hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di
atas Dia, hendaklah kamu bertambah teg dalam iman yang telah diajarkan kepadamu..."
Kedua, penghayatan dan pengamalan Pancasila, karena bersama pemerintah Indonesia
yakin bahwa Pancasila sebagai dasar negara mampu menghindarikan orang Indonesia dari
kecenderungan negara agama dan negara sekuler.
Ketiga, yang dapat dilakukan adalah menyadarkan orang percaya, akan fungsi dan
peranan kenabiannya dengan melaksanakan fungsi kritisnya dalam pelaksanaan pembangunan,
namun dalam reaksi terhadap idealogi modernisasi yang datang dari luar yang telah membawa
serta semangat sekularisasi. Dengan kata lain, Gereja harus berani memberikan koreksi-koreksi
yang membangun agar orang percaya tidak salah dalam membangun, dan Gereja harus berdoa
agar Pemerintah diberi hikmat dan akal budi oleh Tuhan dalam melaksanakan Pembangunan (1
Tim 2:1-4).
Sebagai orang Kristen, harus yakin bahwa hidupnya telah dipanggil dari dalam dunia.
tetapi juga telah diutus ke dalam dunia untuk menjadi "garam dan terang" (Mat. 5:13,14).
Kehidupan orang ada hubungannya dengan dunia, namun juga dituntut untuk tidak menjadi
serupa dengan dunia, tetapi harus merubah dunia melalui pembaharuan hidup pribadi (Roma
12:2). Dunia memang telah dikuasai oleh dosa sebagai akibat kejatuhan manusia, tetapi Kristus
telah memenangkan dunia ini melalui karya penyelamatan-Nya disalib, dan Kristus telah
memberikan amanat pembaruan, dalam Perintah Agung (Mat. 28:19) agar manusia dapat
diciptakan baru (2 Kor. 5:17), sementara Kristus juga akan menciptakan dunia yang baru
(Wahyu 21:5).
Akhirnya orang percaya juga harus hidup dalam konteks negara dan bangsa Indonesia,
menyadari bahwa modernisasi pembangunan yang sedang dilaksanakan membutuhkan bukan
hanya tenaga saja namun doa yang selalu dinaikan sehingga sekularisme dan pembangun yang
ada bukan membuat orang percaya justru menjauh dari Allah tertapi dengan adanya sekularisme,
orang percaya semakin mendekatkan diri kepada Allah.