Anda di halaman 1dari 10

Nama: Brenda Hana Moningka

Mata Kuliah Teologi Misi Pasca Sarjana UKIT


SEKULARISASI DALAM GEREJA
I. PENDAHULUAN
Sekularisasi berawal dari perkembangan peradaban manusia yang semakin modern.
Percepatan dan kemajuan di dalam banyak hal, seperti teknologi, ilmu pengetahuan dan sistem
kemasyarakatan, telah mempercepat dan memperkuat sekularisasi. Muncul sebuah generasi yang
beranggapan bahwa hal-hal yang berbau agama dan moral sudah tidak relevan lagi dalam
menjawab berbagai isu-isu kemasyarakatan yang ada. Sebelum sekularisasi, orang mendapat
jawaban dari berbagai pertanyaan melalui agama, tetapi dengan sekularisasi, pengetahuan
menjadi satu-satunya acuan dan penjawab berbagai persoalan masyarakat yang ada.
Pada awal munculnya paham sekularisme sampai sekarang ini telah menarik perhatian
banyak kalangan, baik Ilmuwan, Teolog, Agamawan, Pemikir juga oleh kelompok-kelompok
kajian tertentu. Dikarenakan paham tersebut mengandung banyak kejanggalan, khususnya
apabila paham ini dimasukkan kedalam ideologi Agama. Karena sekularisme merupakan paham
yang diyakini berasal dari budaya Barat yang cenderung untuk mencampuradukan kekristenan
dengan suatu paham tertentu. Sejak munculnya paham ini, banyak kalangan mencoba untuk
mengkritiknya. Hasil dari kritik tersebut terbagi menjadi dua golongan yaitu ada yang menolak
paham sekuler dan ada juga yang sedikit menerima paham ini. Namun, pada kenyataannya
paham ini terus berkembang bukan hanya dalam bidang pendidikan saja tetapi sudah masuk dan
bahkan paham ini berkembang pesat di dalam gereja.
Era sekularisasi ditandai dengan bangkitnya akal budi manusia dalam memberi
penjelasan atas berbagai realitas kehidupan manusia. Dengan demikian, sekularisasi sekaligus
melahirkan respon manusia yang kritis terhadap agama dan kekristenan. Orang mulai
berorientasi pada hal-hal yang duniawi, yang ada di dalam dunia ini dari pada urusan
supernatural di dalam gereja. Akibatnya, pandangan orang mengenai iman Kristen mulai berubah
dan mengalami pergeseran. Masyarakat berpaling pada asas-asas ideologi lain sebagai sebuah
tanggap sejarah atas perkembangan pemikiran baru di tengah arus modernitas. Salah satu
penyebabnya adalah struktur pembentukan masyarakat Barat yang di awali dengan berbagai pra-
anggapan yang sekular (non-keagaamaan) di mana aktivitas beragama dipandang sebagai sebuah
pilihan yang sangat pribadi bagi individu.1
Berdasarkan fakta yang ada, paham sekularisme juga mempengaruhi teologi gereja, salah
satunya dan yang paling hakiki adalah paham mengenai Allah. Allah menurut sekularisme
adalah Allah yang real, dinamis, terlibat, komunikatif, dan memberi makna bagi kehidupan
manusia2 Paham Allah semacam ini sangat mendesak bagi realitas zaman modern untuk
1
Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 197
2
Tom Jacob, Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 16
menuntut Allah masuk ke dalam apa yang dapat dipahami. Dalam situasi demikianlah iman dan
agama kembali mendapat tantangannya untuk semakin bertanggungjawab terhadap dunia
kehidupan. Makna agama dan iman kembali dipertanyakan, dan demikian juga makna Allah.
Dengan berkembangnya kritik sosial masyarakat terhadap realitas zaman ini dan perlunya sebuah
tindakan komunikatif rasional dalam segala bidang, termasuk bidang iman dan agama, maka
pemahaman akan Allah pun berciri komunikatif rasional serta bertanggungjawab global.
Secara konkret, akhirnya paham Allah hanya dapat ditemukan dalam hati orang yang
mengasihi sesamanya. Allah tidak lagi dipahami secara mitis, ontologis yang terlindung dalam
selimut hangat dogma ataupun rumus-rumus filosofis teologis, tetapi lebih nyata dan real yang
ditemukan dalam cinta kepada sesama ataupun ciptaan lainnya.
Pemahaman sekuler mengenai Allah yang akhirnya mempengaruhi pandangan orang
percaya tentang Allah, mempengaruhi pertumbuhan iman dari jemaat tersebut sehingga jemaat
tidak lagi bertitik tolak dari kebenaran Firman Tuhan tetapi jemaat membangun iman dan
kepercayaannya berdasarkan perkembangan zaman yang begitu fenomenal dan dapat
memberikan kesimpulan sederhana mengenai apa yang sebenarnya mendasari paham ini
menganggap Allah sedemikian berbeda dengan apa yang dipahami oleh orang percaya pada
umumnya.
II. PEMBAHASAN
Secara etimologi, kata sekuler berasal dari bahasa Inggris "sekuler" yang berarti "yang
bersifat duniawi, fana, temporal, yang tidak bersifat spiritual, abadi dan sakral. Sedangkan istilah
sekuler yang berasal dari kata latin "saeculum" mempunyai arti ganda, ruang dan waktu. Ruang
menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pada pengertian sekarang atau
zaman kini. Jadi kata "saeculum" berarti masa kini atau zaman sekarang. Dan masa kini atau
zaman kini menunjuk pada peristiwa di dunia ini, atau juga berarti peristiwa masa kini, atau
boleh dikatakan bahwa makna "sekuler" lebih ditekankan pada waktu atau periode tertentu di
dunia yang dipandang sebagai suatu proses sejarah.3
Sedangkan sekularisasi sering diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara (politik)
dan urusan agama, atau pemisahan antara urusan duniawi dan rohani. Pada hakikatnya
sekularisasi menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu pengetahuan, dan
memandang ilmu pengetahuan otonom pada dirinya. Dengan demikian, manusia mempunyai
otonomi, sehingga dapat berbuat bebas sesuai dengan apa yang dikehendaki berdasarkan rasio.
Atas dasar orientasi ilmiah, manusia berusaha untuk menemukan hal-hal yang baru, dan dengan
metode-metode ilmiah empiris yang telah berkembang sejak abad ke-18, manusia menjadi kreatif
untuk menangkap dan mengungkapkan realitas yang nyata.
Berbeda dari sekularisasi, sekularisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1846 oleh
George Jacub Holyoake yang menyatakan bahwa "schularism is an ethical system pounded on
3
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta: Gema
Insani, 2005), 73
the principle of natural morality and in independent of reveald religion or supernaturalism".
(sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas
dari agama wahyu atau supernaturalisme). Jika sekularisasi menunjuk kepada suatu proses yang
terjadi dalam pikiran seseorang dalam kehidupan masyarakat dan negara maka sekularisme
menunjuk kepada suatu aliran, paham, pandangan hidup, sistem atau sejenisnya yang dianut oleh
individu atau masyarakat.
John Naisbitt mendefinisikan sekularisme sebagai nama sistem etika plus filsafat yang
bertujuan memberi interpretasi atau pengertian terhadap kehidupan manusia tanpa percaya
kepada Tuhan, kitab suci dan hari kemudian.4 Ini berarti sekularisme lebih berbicara mengenai
sebuah orientasi dalam kehidupan atau dalam urusan apapun secara khusus yang berdiri di atas
prinsip bahwa sesungguhnya agama atau istilah-istilah agama itu, wajib untuk tidak
mengintervensi dalam urusan kepemerintahan. Dengan kata lain, melakukan sebuah orientasi
yang membuang jauh-jauh makna dari istilah tersebut. Mungkin arti ini yang pada akhirnya
menyebabkan muncul pemahaman bahwa hanya politik non agama (atheis) yang ada di dalam
pemerintahan, yaitu sebuah sistem sosial dalam membentuk akhlak, dan menegakkan nilai-nilai
moral dalam kehidupan modern dan dalam lingkup masyarakat sosial tanpa harus memandang
agama.
Paham sekuler tentang Allah
Dari definisi kata sekuler saja, jelas diketahui bahwa paham ini memisahkan antara yang
rohani dengan yang duniawi. Dalam kehidupan sehari-hari para penganut paham ini selalu
mempraktikan itu dalam kehidupannya termasuk paham tentang Allah. Bermula dengan menolak
sistem agama dalam semua urusan dunia seperti politik, sosial, pendidikan dan sebagainya. Bagi
orang sekuler agama hanyalah penghalang kepada kemajuan zaman dan pembangunan sains dan
teknologi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa agama bersifat kolot dan bertentangan dengan
pemikiran akal sehat mereka. Kehidupan berasaskan kepada rasional, ilmu dan sains. Manusia
tidak boleh meletakkan doktrin atau kitab-kitab agama sebagai pegangan karena dengan itu akan
membutakan kehidupan manusia. Manusia haruslah berpegang kepada kajian sains, eksperimen
sehingga menemukan hal-hal yang baru. Dengan mudahnya orang Menganggap kewujudan
sebenarnya adalah melalui pancaindera bukan unsur-unsur rohaniah dan metafisik yang sukar
dikesan melalui kajian modern. Paham ini lebih mengutamakan material dan membelakangi
spiritual.
Ada sebuah buku yang mengatakan bahwa seharusnya "Allah memang harus dipahami
demikian, karena dengan manusia beranggapan bahwa Allah itu adalah yang imanen maka akan
menghilangkan jiwa penyembahan manusia karena membuat manusia selalu bergantung kepada
yang imanen itu sehingga tidak berusaha sendiri untuk mendapatkan apa yang diinginkan,"
Pendapat yang demikian sangat mendukung kaum secular bahwa manusia hanya dapat mengakui
Allah yang transeden saja dan tidak mengakui Allah yang imanen yang hadir dan merasakan apa
4
John Naisbitt dan Patricia Abundene, Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an, Terj. Fx. Budijanto (Jakarta:
Binarupa Aksara, 1990), 106
yang manusia rasakan. Allah memang adalah pribadi yang maha kuasa namun Allah juga hadir
dalam segala aspek kehidupan manusia.
Absennya Allah dari kehidupan manusia membuat manusia ingin bebas dari segala
sesuatu, tetapi sekaligus manusia dapat memikul tanggung jawab tidak terbatas. Artinya adalah
saat manusia mengakui bahwa ada kebebasan dalam dirinya dan membuatnya untuk melepaskan
diri dan bebas dari Allah maka manusia sedang bertanggung jawab total atas seluruh
kehidupannya termasuk apa yang dilakukannya. Manusia sekuler sangat membutuhkan
kebebasan yang demikian, kebebasan yang bebas selama-lamanya. Kaum sekularisme juga
menyangkali Allah dan wahyu-Nya, menganggap bahwa Allah adalah pribadi yang tidak
mungkin dapat menyatakan diri-Nya kepada manusia karena Dia adalah Allah yang terlalu
berkuasa untuk dapat mewahyukan diri-Nya.
Dengan memiliki paham mengenai Allah yang demikian tentunya dapat mempengaruhi
pertumbuhan kerohanian atau iman orang-orang percaya. Banyak orang Kristen beranggapan
bahwa kehidupan ini tidak akan lebih baik jikalau selalu menghadirkan Allah dalam kehidupan
karena akan membuat manusia menjadikan Allah sebagai sebuah ketergantungan. Paham
Sekularisme menekan pada pembangunan fisik sehingga orang-orang percaya menganggap
bahwa iman kepada Tuhan tidak lebih penting dari pada kesehatan itu sendiri jadi usahakanlah
supaya hidup sehat dan sengan demikian tidak membutuhkan Tuhan.
Oleh karena itu dapat dimengerti, mengapa Gereja melihat sekularisasi sebagai bahaya
yang mengancam kehidupan Gereja. Pengaruh ini menjurus kepada kenyataan bahwa manusia
tidak lagi atau kurang mengindahkan nilai-nilai hubungan yang benar dengan sesamanya,
sehingga dapat timbul kegagalan-kegagalan atau dengan pernyataan yang lebih halus,
menimbulkan kesenjangan, keresahan dan pergesekan di antara dan di dalam masyarakat sebagai
tanda terputusnya hubungan manusia dengan Allah.Di samping itu, semangat pembebasan diri
dari nilai dan norma tradisional dan agama menyebabkan manusia atau masyarakat tertentu
kehilangan pegangan hidup dan dasar berpijak yang bertumpu pada nilai-nilai moral, etis dan
religi atau spiritual."
Dalam pemikiran sekuler, agama adalah soal pribadi dan sekuler menyangkut urusan
urusan rohani, tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kemasyarakatan. Sekularisasi dapat
melahirkan suatu "Kekristenan tanpa agama" di mana manusia dapat hidup di hadapan Allah
seakan-akan Allah tidak ada, dalam arti bahwa tidak perlu keseluruhan hidup ini harus
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, karena ada aspek-aspek kehidupan ini yang bukan
milik Allah."
Pandangan sekuler mengabaikan segala bentuk kuasa adikodrati, termasuk ke dalamnya
kekuasaan Allah yang nampak dalam karya penebusan Kristus dan janji kedatangan Kristus yang
kedua kali. Dengan kata lain, mereka menolak pandangan Alkitab tentang eskatologi.
Sekularisasi melahirkan masyarakat yang materialistis dan individualistis serta keduniawian,
karena segala sesuatu diukur dengan keberhasilan materi tanpa memperhatikan hal-hal rohani.
Hal ini dapat menyebabkan iman orang Kristen menjadi sangat terpuruk dan bahkan
banyak orang percaya yang tidak lagi mengakui Tuhan sebagai yang maha kuasa namun Tuhan
hanyalah suatu yang lebih besar dari manusia namun itu terpisah dari manusia dan sama sekali
tidak mempengaruhi kehidupan manusia sama sekali sehingga manusia bebas melakukan apa
saja yang menjadi keinginannya sendiri.
Pandangan para Teolog
Sebagai milik Allah, manusia bukan berarti tanpa dunia. Manusia tinggal dan berada di
dalam dunia dan harus menemukan sikap yang sebenarnya terhadap Allah dan dunia. Sikap yang
benar itu adalah membiarkan Allah tetap Allah dan dunia tetap dunia. 5 Sebagai akibat semakin
sekulernya masyarakat di zaman modern, terjadi perubahan radikal di dalam memandang gereja,
ajarannya dan terhadap kitab suci. Gereja dan otoritas kitab suci mulai dipertanyakan dan
beberapa isinya dianggap tidak relevan lagi. Muncul pendekatan baru terhadap kita suci dengan
memperlakukannya sebagai produk literer. Dalam anggapan ini, Alkitab diperlakukan sebagai
dokumen-dokumen yang lahir dari sejarah. Inilah yang kemudian melahirkan pendekatan yang
bersifat kritis-historis terhadap Alkitab. Terdapat banyak tokoh dan teolog yang ikut menggagas
teologi sekularisasi seperti Thomas J.J Altizer, William Hamilton, Gabriel Vahanian dan Richard
Rubenstein.6
Salah seorang teolog yang mencoba melakukan pendekatan baru dengan dengan dunia
modern adalah Friederich Gogarten (1887), seorang pakar di dalam ilmu teologi. Gogarten
memikirkan suatu konfrontasi iman Kristen dengan realitas dunia yang telah berubah menjadi
sekuler. Menurutnya, sekularisasi adalah produk iman Kristen sendiri; sebuah gejala post-Kristen
sebagai akibat yang wajar terjadi. Iman Kristen mendorong manusia untuk menguasai dan
mengelola bumi. Manusia bukan hanya manusia yang tanpa Allah melainkan juga bukan
manusia yang tanpa dunia. Manusia berada di antara Allah dan dunia dan harus menemukan
sikap yang sebenarnya terhadap keduanya. Itulah sebabnya Gogarten setuju membiarkan Allah
tetap Allah dan manusia tetap manusia. Gogarten membedakan dua macam sekularisasi. Yang
pertama adalah sekularisasi yang tetap terikat pada iman Kristen dan itulah yang harus
diperjuangkan. Jangan sampai sekularisasi berubah jadi sekularisme. Sedangkan yang kedua
adalah sekularisasi yang melepaskan diri dari iman Kristiani, yang kemudian diistilahkan
Sekularisme. Sekularisme merupakan penyelewengan dari sekularisasi. Inilah yang menjadi
tugas iman Kristen di dalam teologi sekularisasi, melindungi sekularisasi agar tidak
menyeleweng menjadi sekularisme.
Tokoh kedua yang mendukung teologi sekularisasi ialah Dietrich Bonhoeffer (1906-
1945). Belajar teologi di Union Theological Seminary New York sebelum akhirnya menjadi
dosen teologi di Berlin. Ia juga sempat belajar di Universitas Tubingen. Saat kembali ke Jerman
Bonhoeffer adalah salah seorang penentang Nazi dan arogansi Hitler dengan ras Arya-nya.
Aktivitas politiknya membuat ia dilarang berbicara di depan umum dan juga menulis atau
5
Harun Hadiwijono, Pemikiran Reformatoris Abad Ke-20 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 50
6
David L. Smith, A Handbook of Contempporary Theology (Grand Rapids: Baker Books, 1992), 169-172
mengedarkan buku. Ia ditangkap dan dipenjarakan tahun 1943 dan dihukum mati oleh Nazi pada
tahun 1945, beberapa hari sebelum Jerman menyerah pada sekutu. Di dalam penjara ia menulis
sebuah karya yang terkenal Letters and Papers from Prison.
Pemikiran Bonhoeffer sangat terinspirasi oleh Karl Bath. Ia mendukung pemikiran
Gogarten mengenai kemampuan akaliah manusia yang telah berkembang sehingga menjadikan
dunia menjadi sekuler. Itu adalah bagian dari sejarah yang mau tidak mau harus disikapi. Dalam
pandangannya, sekularisasi telah mengakhiri keberadaan agama. Dalilnya yang terkenal
menyebutkan bahwa zaman sekarang ini adalah zaman akhir religi karena sudah bukan
zamannya lagi orang dipengaruhi dengan kata-kata yang saleh. Perkembangan moderan adalah
perkembangan tanpa ruang bagi religi. Konsepnya itu menghantar pada pemikiran mengenai
“Allah adalah mati” dan sangat menekankan kemandirian manusia, satu prinsip sekular tentang
ketidakbergantungan manusia terhadap Allah.7 Sebagai akibatnya, pengertian-pengertian Alkitab
yang kita warisi tidak dapat dimengerti lagi oleh orang modern sehingga perlu diberi interpretasi
non-religius.
Bonhoeffer berpendapat bahwa manusia harus berbicara tentang Allah secara duniawi
dan memberitakan Injil tanpa religi.8 Tony Lane mengatakan bahwa Bonhoeffer menangkap
kesulitan manusia modern untuk memahami Allah, sama halnya ketika manusia juga berusaha
memahami soal mujizat. Orang percaya harus menjalankan kehidupan sekuler dan dengan
demikian ikut serta dalam penderitaan Allah. Partisipasi dalam penderitaan Allah itulah yang
menurut Bonhoeffer sebagai ciri kekristenan, bukan perbuatan keagamaan. 9 Penafsiran sekuler
mengenai Allah adalah dengan cara bagaimana membawa Allah dan gereja kembali ke dalam
dunia yang sekuler dan membuatnya menjadi pusat kehidupan.
Sebuah buku berjudul Honest to God karangan JAT Robinson diterbitkan pada tahun
1963. Robinson adalah seorang uskup di Woolwich, Inggris. Buku ini mendorong pemikiran
yang lebih serius lagi tentang teologi sekularisasi. Robinson adalah seorang teolog dari Inggris
yang sangat dipengaruhi oleh Bonhoeffer soal kekristenan tanpa agama. Robinson juga setuju
dengan Rudolf Butlman yang menggagas demitologisasi Kitab Suci. Bahkan mendukung
pandangan Tillich yang mengatakan bahwa Allah adalah dasar keberadaan manusia di mana
keberadaan obyektif manusia adalah suatu bentuk keprihatinan yang paling tinggi.
Dalam pandangan Robinson, Allah bukanlah transenden yang ada di atas sana, yang
tertinggi dan tak terjangkau.10Allah ada di dalam kita sebagai bagian paling dasar keberadaan
kita.11 Allah ada di dalam dunia bukan sebagai eksistensi yang mandiri. Bahkan istilah Allah
sendiri dapat dipakai bergantian dengan kata alam semesta. 12 Konsep sekularisasi kekristenan

7
Paul Enns, The Moody Hanbook of Theology (Malang: SAAT, 2004), 233
8
Harun Hadiwijono, Pemikiran Reformatoris Abad Ke-20, 59
9
Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, 229
10
David L. Smith, A Handbook of Contempporary Theology, 173
11
Harun Hadiwijono, Pemikiran Reformatoris Abad Ke-20, 115
12
Paul Enns, The Moody Hanbook of Theology, 222-223
yang ditawarkannya sebagai sebuah pendekatan baru adalah, menyamakan Allah dengan alam
semesta. Hal-hal yang bersifat agamawi digantikan dengan keterlibatan sosial di tengah
masyarakat. Orang kristen yang mengasihi Allah, dituntut untuk menjadi lebih peka bagi orang-
orang lapar, yang tanpa sandang serta yang terpenjara. Ini adalah bentuk panggilan kekristenan
di dunia sekuler yang oleh Robinson disebut sebagai panggilan kekudusan melalui
penyembahan.13 Gereja adalah pelayan di tengah-tengah dunia yang sekuler dengan menjadikan
diri sebagai persekutuan kenabian. Secara radikal Robinson mengatakan bahwa dunia adalah bait
Allah dan gereja menjadi alat pelayanan di dalam rumah Allah. Sependapat dengan teori
Gogarten, Robinson setuju bahwa gereja dan orang kristen bertugas untuk mengubah
sekularisme dan humanisme di Barat menjadi sekularisasi yang sebenarnya.14
Harvey Cox, seorang teolog protestan menulis sebuah buku yang diberinya judul The
Secular City pada tahun 1965. Sub judul buku ini adalah tentang Sekularisasi dan urbanisasi
dalam perspektif teologi. Buku ini menimbulkan perdebatan karena Cox mensistematiskan
teologi sekularisasi, bahkan memberikan justifikasi teologis melebihi konsep dari para
pendahulunya. Menurut Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari proteksi agama dan
metafisika, pengalihan dari alam lain kepada dunia ini. 15Cox menyetujui gagasan bahwa pusat
modernitas adalah dunia dan bukan agama. Cox juga memandang adanya perbedaan yang sangat
signifikan antara sekularisasi dengan sekularisme. Menurutnya sekularisme adalah nama sebuah
ideologi yang tertutup. Sedangkan sekularisasi akan membebaskan masyarakat dari kontrol
agama dan pandangan-alam metafisik yang tertutup (closed metaphysical worldviews).
Sekularisme akan membahayakan keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh sekularisasi.
Seperti konsep Gogarten, sekularisme perlu dikawal dan diawasi agar tidak berkembang menjadi
ideologi negara. Bobot teologi dari sekularisasi dalam argumentasi Cox adalah penekanan bahwa
sekularisasi berakar dari kepercayaan Alkitab.16
Terdapat tiga komponen penting dalam Alkitab yang menjadi kerangka dasar kepada
sekularisasi, yaitu: disenchantment of nature; yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation),
desacralization of politics; dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir dan
deconsecration of values; dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant). Dengan menjustifikasi
sekularisasi berasal dari ajaran Alkitab, Cox menyimpulkan bahwa sekularisasi adalah
konsekuensi sah dari keimanan Kristiani. Manusia pra-sekular seperti bangsa Sumeria, Mesir
kuno dan Babilonia memercayai bahwa dunia ini adalah mistis.
Jadi fokus dalam teologi sekularisasi yaitu menjadikan manusia sebagai pembahasan
utama, menggantikan teologi tradisional yang masih menekankan Tuhan. Dengan teologi
sekular, Tuhan, hukum Tuhan dan agama harus dimanusiawikan.

13
David L. Smith, A Handbook of Contempporary Theology, 174
14
Harun Hadiwijono, Pemikiran Reformatoris Abad Ke-20, 121
15
Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The
Macmillan Company, 1967), 15
16
David L. Smith, A Handbook of Contempporary Theology, 168
Teologi sekularisasi memberikan kebebasan masyarakat dari belenggu dan ikatan agama;
dan menjadikan dunia sebagai pusat segala sesuatu. Hal ini pula yang sekaligus menjadi
kelemahan teologi sekularisasi. Selain bahaya penyimpangan ke arah sekularisme dan
ekstrimnya ke arah atheisme, teologi sekularisasi dapat membuat manusia kehilangan pandangan
terhadap Allah yang berdaulat “di atas sana” terhadap kehidupan manusia “di bawah sini”.
Teologia sekularisasi juga dapat mengarah pada jebakan humanis. Seperti dikatakan oleh
Robinson, bahwa dalam konteks teologi sekularisasi, pertanyaan “Bagaimana saya dapat
menemukan Allah yang pemurah?” harus diganti dengan pertanyaan “Bagaimana saya dapat
menemukan sesama yang pemurah?”17
Dalam teologi sekularisasi, eksistensi Allah, Alkitab dan manusia serta relasi di antara
ketiganya, tidak mendapat tempatnya sama sekali. Apalagi jika hal tersebut berhubungan dengan
sesuatu yang supranatural. Demikian halnya gereja, perannya mengalami reduksi sedemikian
rupa sehingga tidak lagi dianggap sebagai “umat pilihan Allah” yang terpisah dari dunia, yang
dipilih oleh Kristus; tempat persekutuan; pemuridan dan pengenalan akan Allah, sebagai
mempelai-Nya, melainkan berhenti pada satu fungsi pelayanan semata di dalam dan di tengah
dunia. Pandangan teologi sekularisasi tentang eskatologi Alkitab, mengenai hal kerajaan yang
akan datang, tidak diterima. Kerajaan yang dimaksud adalah kerajaan yang sekarang dan hadir
pada masa kini. Demikian halnya penekanan teologi ini yang difokuskan pada akal budi manusia
dan kemampuan penalarannya, sangat bertentangan dengan ajaran Alkitab tentang Allah yang
menjadi sumber segala sesuatu.18 Nalar bukanlah wewenang tertinggi. Persepsi manusia yang
telah jatuh ke dalam dosa mengenai kebenaran sangat terbatas, khususnya dalam bidang moral
dan spiritual.19 Kendati demikian, teologi sekularisasi sebagai satu wujud teologi kontemporer
telah berusaha melakukan tugasnya untuk membuat dunia ini tidak mengarah pada sekularisme
dan mengupayakan berbagai usaha untuk membuat dunia bisa lebih mengenal Allah, gereja,
Alkitab dan kekristenan dengan caranya sendiri. Khususnya mengenal penderitaanNya untuk
menanggung dosa manusia dengan “membeli” pengampunan lewat karya Salib. 20Teologi
sekularisasi dapat menjadi refleksi tentang tugas manusia yang sesungguhnya.

III. PANDANGAN KRITIS DAN KONTRIBUSI MISIOLOGIS


Tantangan terbesar yang dialami gereja dewasa ini sebenarnyabukan dalam bidang
ekonomi, sosial, ataupun budaya, akan tetapi tantangan tentang pemahaman. Sesuatu yang lebih
besar dari segala yang dimiliki adalah sebuah kerinduan kepada Allah namun manusia menutupi
hal itu dengan mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih penting dari pada memperbaiki
diri sendiri. Setiap kerinduan manusia merupakan penunjuk pada kebutuhan sungguhan yang

17
Harun Hadiwijono, Pemikiran Reformatoris Abad Ke-20, 81
18
Harvie M Conn, Teologia Kontemporer (Malang: SAAT, 2008), 83-85
19
Bruce Milne, Mengenali Kebenaran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 32
20
Sonny Eli Zaluchu, “Penderitaan Kristus Sebagai Wujud Solidaritas Allah Kepada Manusia,” DUNAMIS (Jurnal
Teologi dan Pendidikan Kristiani) 2, no. 1 (2017): 61–74
pada gilirannya menunjuk pada objek sungguhan yang berkaitan dengan kerinduan tersebut.
puncak dari kerinduan tersebut bersumber kepada pemuasan segala kerinduan yaitu Allah
sendiri.
Konsep tentang Allah yang jauh dari kehidupan seseorang menjadikan dirinya bebas,
sehingga dapat melakukan apa saja yang diinginkan tetapi sekaligus memikul tanggung jawab
tidak terbatas. Ini memberikan gambaran yang cukup baik bagi manusia karena pada dasarnya
manusia harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Namun dengan demikian maka
seolah-olah menunjukan bahwa manusia dapat melakukan apa saja dengan kekuatannya sendiri
sehingga manusia tidak lagi membutuhkan Tuhan. Pada dasarnya kebutuhan paling utama dari
manusia adalah kebutuhan akan Tuhan. Akibat menolak Tuhan dalam kehidupannya. Kehidupan
semakin jahat dan selalu menghindari bahkan tidak melakukan kebaikan sama sekali. Setiap
manusia hanya peduli dengan dirinya saja dan tidak memperdulikan orang lain yang ada di
sekitarnya. Menyangkali Allah sama halnya dengan menjadikan sumber, makna dan nilai
kehidupan menjadi sampah yang tidak dapat dipandang baik oleh siapa saja termasuk oleh
orang-orang yang paling rendah kedudukannya sekalipun. Dengan demikian manusia akan
menganggap bahwa tidak ada sedikitpun dalam kehidupan manusia yang turut dirasakan oleh
Tuhan karena Tuhan tidak hadir dalam budaya manusia, dalam hal ini tidak menyatakan diri
melalui apapun di dunia ini.
Paham ini harus disadari bahwa keberadaannya sudah mempengaruhi banyak hal dari
kehidupan manusia dengan konsepnya mengenai Tuhan yang mati dan harus ditinggalkan
Namun pada dasarnya gerakan ini menuntut perhatian Allah bagi pengikutnya untuk dinyatakan.
Jikalau ini dibiarkan maka gerakan ini akan terus berlangsung dan mempengaruhi gereja
sehingga gereja jauh dari ajaran-ajaran yang benar, dan tidak lagi mengutamakan Tuhan dalam
kehidupannya.
Teologi Misi yang mempunyai arti mencolok dari kata Misi adalah pengutusan keluar
kepada banga-bangsa (bangsa non Kristen) di dunia untuk menyampaikan suatu berita
keselamatan dan kesukaan (injil) datangnya Kerajaan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus, yang
dilakukan baik melalui pemberitaan secara lisan maupun melalui pelayanan diakonal, yang
bersifat kesaksian dan pelayanan secara holistic (keseluruhan). Maka dari itu, usaha-usaha yang
perlu dilakukan dalam misi untuk menganggulangi pengaruh atau dampak negative dari
sekularisme:
Pertama, mengusahakan peningkatan dan kedalaman kadar keimanan orang percaya
berdasarkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan Firman Tuhan, sehingga orang Kristen
dapat menjadi orang Kristen yang dewasa agar tidak mudah goyah imannya sebagaimana nasihat
Rasul Paulus di dalam Efesus 4:13 dan 14. Atau sebagaimana yang dikatakan Rasul Paulus di
dalam surat Kolose 2:0-7: "Kamu telah menerima Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu
hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di
atas Dia, hendaklah kamu bertambah teg dalam iman yang telah diajarkan kepadamu..."
Kedua, penghayatan dan pengamalan Pancasila, karena bersama pemerintah Indonesia
yakin bahwa Pancasila sebagai dasar negara mampu menghindarikan orang Indonesia dari
kecenderungan negara agama dan negara sekuler.
Ketiga, yang dapat dilakukan adalah menyadarkan orang percaya, akan fungsi dan
peranan kenabiannya dengan melaksanakan fungsi kritisnya dalam pelaksanaan pembangunan,
namun dalam reaksi terhadap idealogi modernisasi yang datang dari luar yang telah membawa
serta semangat sekularisasi. Dengan kata lain, Gereja harus berani memberikan koreksi-koreksi
yang membangun agar orang percaya tidak salah dalam membangun, dan Gereja harus berdoa
agar Pemerintah diberi hikmat dan akal budi oleh Tuhan dalam melaksanakan Pembangunan (1
Tim 2:1-4).
Sebagai orang Kristen, harus yakin bahwa hidupnya telah dipanggil dari dalam dunia.
tetapi juga telah diutus ke dalam dunia untuk menjadi "garam dan terang" (Mat. 5:13,14).
Kehidupan orang ada hubungannya dengan dunia, namun juga dituntut untuk tidak menjadi
serupa dengan dunia, tetapi harus merubah dunia melalui pembaharuan hidup pribadi (Roma
12:2). Dunia memang telah dikuasai oleh dosa sebagai akibat kejatuhan manusia, tetapi Kristus
telah memenangkan dunia ini melalui karya penyelamatan-Nya disalib, dan Kristus telah
memberikan amanat pembaruan, dalam Perintah Agung (Mat. 28:19) agar manusia dapat
diciptakan baru (2 Kor. 5:17), sementara Kristus juga akan menciptakan dunia yang baru
(Wahyu 21:5).
Akhirnya orang percaya juga harus hidup dalam konteks negara dan bangsa Indonesia,
menyadari bahwa modernisasi pembangunan yang sedang dilaksanakan membutuhkan bukan
hanya tenaga saja namun doa yang selalu dinaikan sehingga sekularisme dan pembangun yang
ada bukan membuat orang percaya justru menjauh dari Allah tertapi dengan adanya sekularisme,
orang percaya semakin mendekatkan diri kepada Allah.

Anda mungkin juga menyukai