Anda di halaman 1dari 18

JUSTICE, PEACE, AND INTEGRITY

OF CREATION (JPIC)

Diajukan Kepada
Sekolah Tinggi Theologia HKBP
Pematangsiantar

Untuk Memenuhi
Tugas Kelompok
Mata Kuliah Ekumenika
Dosen Pembimbing: Pdt. Pulo Aruan, M.Th

Oleh:
Kelompok 8
1. Daniel Sinaga (21.3730)
2. Jefri Lumbantobing (21.3732)
3. Maninga Rajagukguk (21.3738)
4. Nadia Simanjuntak (21.3740)

STT HKBP PEMATANG SIANTAR


2023

0
BAB I
Pendahuluan

Gereja hadir di tengah-tengah dunia sebagai tanda dan instrumen dari Kerajaan Allah. Oleh
karena itu gereja harus mampu membuat kehadirannya dirasakan oleh dunia. Dietrich
Bonhoeffer mengatakan bahwa gereja hadir bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia.
Gereja harus dapat dirasakan oleh dunia yang berada di luar dirinya, sehingga itu berarti
bahwa gereja tidak dapat memisahkan diri dari dunia. Persoalan masyarakat atau dunia
menjadi persoalan gereja.1 Dengan demikian, maka gereja harus membuka matanya akan
realita dunia dan mengambil sikap dalam menjawab tantangan dan persoalan dunia.
Isu tentang “Justice, Peace, and Integrity of Creation” (JPIC) atau dikenal dalam bahasa
Indonesia dengan “Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan” (KPKC) muncul ketika
kesadaran akan masalah lingkungan di dunia, seperti makin terlihatnya kemiskinan yang kian
parah. Sumber-sumber alam dimanfaatkan dengan tidak mempedulikan dampaknya yang
dahsyat bagi bumi seperti: meningkatnya penggundulan hutan-hutan, makin tidak teratur nya
musim di dunia, semakin tingginya kesulitan negara-negara miskin memperbaiki kerusakan
alam di negara mereka masing-masing dan masih banyak lagi.2 Kesenjangan antara negara
miskin dan kaya semakin melebar. Ditambah lagi, ketegangan dua blok besar yang berkuasa,
yakni blok barat dan blok timur. Menghadapi situasi politik global ini, WCC merasa
terpanggil untuk terlibat mewujudkan masyarakat dunia yang adil, partisipatif dan
berkelanjutan3. Sehingga dilihat bahwa KPKC adalah hadirnya gereja dalam melihat
persoalan dunia.
Melalui Sidang Raya DGD VI, arah keterlibatan gereja-gereja anggota WCC
berkomitmen untuk mewujudkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (justice, peace,
and integrity of creation). Sehingga dalam penulisan ini, kelompok membahas mengenai
Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) atau Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan
Ciptaan (KPKC) yang berkaitan dengan sejarah JPIC, tokoh-tokoh yang berperan di
dalamnya, dan pembahasan JPIC, serta konteks dan aktualisasi ke dalam gereja-gereja.

1
Dietrich Bonhoeffer, Letters and Papers From Prison (New York: Macmillan, 1975), 382-383.
2
Stephen Suleeman, Buku Siswa Sejarah Gereja (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2019), 22.
3
D. Bismoko Mahamboro, “Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan”, Opini: Jurnal Inspirasi, Vol. 148
(Desember 2016), 20.

1
BAB II
Pembahasan

2.1. Sejarah JPIC


Pada tahun 1970-an hingga 80-an diadakan pertemuan Dewan Gereja-Gereja Dunia (World
Council of Churches), yakni forum gereja-gereja Kristen dari berbagai macam denominasi,
dimana diangkat keprihatinan mengenai perkembangan yang terjadi di dunia. Setelah perang
dunia II usai, banyak negara-negara terutama Asia, Afrika dan Amerika Selatan, memperoleh
kemerdekaannya. Dunia memulai babak baru setelah kolonialisme berlalu. Banyak muncul
tantangan-tantangan baru bagi negara-negara untuk saling bekerjasama sebagai rekan yang
setara dan sederajat. Namun, kesenjangan antara negara miskin dan kaya semakin melebar.
Ditambah lagi, ketegangan dua blok besar yang berkuasa, yakni blok barat dan blok timur.
Menghadapi situasi politik global ini, WCC merasa terpanggil untuk terlibat mewujudkan
masyarakat dunia yang adil, partisipatif dan berkelanjutan (just, participatory, sustainable
society). Dalam Sidang Raya DGD VI, arah keterlibatan gereja-gereja anggota WCC
mengalami “modifikasi” menjadi komitmen untuk mewujudkan keadilan, perdamaian, dan
keutuhan ciptaan (justice, peace, and integrity of creation).4 Namun, ketiga pokok
pembahasan ini sudah lama dibahas di kalangan DGD. Pada akhirnya bentuk konkret dari
ketiga pembahasan ini disebut sebagai bentuk “proses konsilier”, baru muncul beberapa tahun
setelah Vancouver. Oleh sebab itu lebih tepat untuk mengatakan bahwa Vancouver
merupakan titik kristalisasi untuk proses konsilier.5
Langkah awal dalam proses konsilier diambil menjelang Sidang Raya DGD V di
Nairobi, pada konferensi yang mengakhiri proyek studi tentang masa depan manusia dan
masyarakat dalam dunia yang dikuasai oleh teknologi. Di sana untuk pertama kalinya
diusulkan untuk mencari suatu “sustainable and just society” (suatu masyarakat yang dapat
dipertahankan dan yang adil). Dalam seksi VI Nairobi tentang Pembangunan Manusiawi
(Human Development), tema masyarakat yang adil, yang melibatkan orang dan yang
menyokong kehidupan manusia (a just, participatory and sustainable society) diangkat

4
Mahamboro, Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan, 20.
5
Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja: Sejarah, Dokumen-dokumen dan Tema-Tema Gerakan
Oikumenis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 189.

2
menjadi program masalah DGD. Seksi ini juga mengaitkan masalah keadilan masyarakat
dengan masalah lingkungan hidup (ekologi).6
Perhatian untuk lingkungan hidup, disamping perhatian yang sudah lama diberikan oleh
DGD kepada masalah keadilan dan perdamaian, di gabungkan dalam laporan seksi V di
Vancouver dengan judul “Confronting Threats to Peace and Survival” (Menghadapi
ancaman-ancaman untuk perdamaian dan kelangsungan hidup). Di dalamnya disebut tiga
ancaman untuk kelangsungan hidup, yaitu persenjataan, khususnya persenjataan nuklir,
penguasaan serta penindasan ekonomis dan krisis ekologis. Ilmu pengetahuan dan teknologi
terlibat dalam tiga-tiganya. Seksi VI, yang membahas “Struggling for justice and Human
Dignity” (berjuang demi keadilan dan martabat manusia) menganjurkan kepada gereja-gereja
untuk mengadakan suatu perjanjian dalam suatu proses konsilier untuk mengaku Kristus dan
melawan rasisme, seksime, dan masalah yang mengancam kehidupan manusia.
Kemudian ini berlanjut pada Sidang Raya VI Sidang Raya DGD VI diadakan di
Vancouver, Kanada, 24 Juli - 10 Agustus 1983. Yang dihadiri sekitar 3000 peserta, di
antaranya wakil-wakil dari 314 gereja (yang mewakili sekitar 25 persen kekristenan; 50
persen orang Kristen adalah anggota Gereja Katolik-Roma, 25 persen anggota gereja.gereja
evangelikal). Temanya adalah "Jesus Christ, the Life of the World” (Yesus Kristus.
Kehidupan Dunia).
Tema ini dibahas dalam delapan seksi, yaitu: 1. Witnessing in a Divided World,
bersaksi dalam dunia yang terbagi-bagi (pekabaran Injil); 2. Taking Steps Towards Unity,
mengambil langkah-langkah menuju keesaan; 3. Moving Towards Participation, bergerak
menuju partisipasi (dibahas diskriminasi, pengangguran, emansipasi wanita): 4. Healing and
Sharing Life in Community, menyembuhkan dan membagikan kehidupan di dalam
persekutuan (untuk pertama kalinya dibicarakan "the healing church”, gereja yang
menyembuhkan, pada suatu sidang raya); 5. Confronting Threats to Peace and Survival,
menghadapi ancaman-ancaman demi perdamaian dan kelangsungan hidup (khususnya
dibicarakan militarisme nuklir); 6. Struggling for Justice and Human Dignity, berjuang demi
keadilan dan martabat manusia; 7. Learning in Community, belajar dalam persekutuan
(pendidikan); 8. Communicating with Conviction, berkomunikasi dengan keyakinan.
Menurut Niles ada tiga hal yang mencolok dalam keputusan-keputusan Vancouver, yang
pertama ialah keadilan dan perdamaian. Dua pokok ini mendapat perhatian dari DGD,
digabungkan dengan topik keutuhan ciptaan. Setelah Vancouver, panitia Faith and Order
(dalam rapatnya di Stavanger, Norwegia, tahun 1985) membahas mengenai Church dan
6
de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, 189-90.

3
Society mulai mendalami istilah “Keutuhan Ciptaan” dan bagaimana hubungannya dengan
studi tentang Iman Rasuli; Church and Society membicarakan “theology of nature, teologi
tentang alam, pada rapatnya di Potsdam, Jerman, 1986). Dorongan kuat untuk masuk dalam
suatu proses konsilier diberikan oleh ahli fisika Jerman, Carl Friedrich von Weizsacker,
dimana pada tahun 1985 ketika sidang Gereja Injili di Dusseldorf, memanggil gereja-gereja
untuk mengadakan suatu konsili. Hingga pada tahun 1986 diadakan konsultasi pertama
tentang proses konsilier di Glion, Perancis. Di sana ditunjuk empat bidang yang harus
diperdalam dalam rangka keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Adapun tiga pokok
yang dibahas dalam proses konsilier ini dilihat dalam terang eskatologi, yang pertama
(perkembangan teologi tentang ciptaan) banyak teologi Ortodoks yang mengecam protestan
tentang “Kristomonisme”, yang kedua perhatian utama terhadap Kristus, yang ketiga adalah
sikap hati-hati untuk melihat alam dengan terang ilahi.7
Sesudah itu dikatakan bahwa pokok-pokok proses konsilier khusus menarik perhatian
gereja-gereja di Eropa, yang banyak diperhadapkan dengan masalah perdamaian (ancaman
perang dingin) dan lingkungan hidup, yang menyebabkan ketidakadilan, kemiskinan dan
penindasan di bagian-bagian dunia yang lain. Di dunia ketiga pada pihak lain juga ada
perasaan bahwa banyak hal berhubungan dengan proses konsilier adalah masalah barat yang
menyebabkan orang lain menjadi korban.8
Pada tanggal 6-12 Maret 1990 diadakan puncak konsilier, dimana Konvokasi sedunia
diadakan di Seoul. Dalam rapat ini menjadi jelas pembahasan tentang masalah keadilan, atau
perusakan ciptaan. Ada kecenderungan, khusus di luar dunia Barat, yang merujuk keadilan
terutama rasisme, seksisme, dan ketidaksinambungan ekonomis yang mengakibatkan
ketakutan, khususnya di dunia ketiga yang menyebabkan dunia Barat dalam dominasi
ekonomis.9
Rapat di Seoul dilanjutkan pada Sidang Raya VII di Canberra (1991). Dengan empat
pokok yaitu orde ekonomis yang adil, keamanan internasional yang berakar dari budaya
kekerasan, kebudayaan manusiawi yang tidak merusak lingkungan hidup dan penindasan
rasisme dan diskriminasi. Pada sidang ini pokok-pokok yang berkaitan dengan proses
konsilier secara khusus dibahas dalam seksi I (Giver of life- Sustain your Creation!
“Pemberian hidup, pertahankan CiptaanMu!). Karena dominasi ekonomi oleh negara-negara
kaya atas negara-negara miskin ketidakadilan dimajukan dan negara-negara miskin dipaksa
untuk mengorbankan lingkungan hidup. Ditekankan untuk berbuat keadilan, perdamaian dan
7
de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, 192.
8
de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, 192.
9
de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, 193.

4
lingkungan hidup. Seksi II (Spirit of Truth- Set us Free! Roh kebenaran-Bebaskan lah kami!)
berbicara banyak tentang perdamaian dalam rangka pembebasan politik.10
Kesepuluh penegasan Seoul dilihat sebagai jawaban iman atas janji Tritunggal. Penegasan
pertama dapat dilihat sebagai pengantar dalam semua masalah yang berkaitan dengan proses
konsilier dengan tema penatalayanan yang mencontohkan Kristus. 11
Penegasan dua sampai empat membicarakan masalah keadilan. Penegasan ketiga dan
keempat membicarakan persamaan hak semua orang, baik dari ras dan bangsa yang berbeda
(III), maupun pria dan wanita (IV). Penegasan V mengaitkan masalah komunikasi dan
kebenaran, yang adalah masyarakat bebas.12
Penegasan VI membahas “perdamaian” dan melihat damai Kristus sebagai dasar keadilan.
Penegasan ke VII berpaling ke “keutuhan ciptaan” dan menolak eksploitasi sumber-sumber
alam yang merusak ciptaan. Penegasan VIII mengaitkan tema ini dengan hak orang-orang
asli atas tanah mereka dan menolak penyalahgunaan tanah sebagai alat spekulasi ekonomi,
tempat sampah dan sebagian. Penegasan IX membicarakan kaum pemuda, generasi penerus.
Penegasan X mengetengahkan pokok yang penting, yaitu hak-hak manusia, baik hak-hak
individual maupun maupun komunal (hak atau identitas kultural umpamanya). 13
Proses konsilier bergema juga di Indonesia. Kelihatannya di kalangan mahasiswa kristen
diberi banyak perhatian kepada pokok-pokok keadilan, perdamaian dan lingkungan hidup,
sebab empat majalah Bina Darma pada tahun 1989 mengambil tema Proses konsilier. Juga
dapat disebut konferensi Nasional Gereja dan masyarakat PGI V, yang diadakan April 1989,
yang membahas mengenai proses konsilier secara konkret.14

2.2 Tokoh-Tokoh Penting dalam KPKC


1. Eugene L. Stockwell
Eugene L. Stockwell adalah pimpinan dari komisi CWME (Commission on World
Mission and Evangelism) menyampaikan tentang “Mission Issues for Today and
Tomorrow”. Pada butir ketiga dari penyampaian ia membahas tentang relasi Kristen
dengan agama-agama lain. Ia yakin bahwa DGD berpegang pada kepercayaan bahwa

10
de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, 193.
11
de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, 193.
12
de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, 194.
13
de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, 195.
14
de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, 196.

5
di dalam agama-agama besar lainnya terdapat usaha untuk mencari Allah dan agama-
agama lain mempunyai kemungkinan untuk menemukan Dia. 15

2. Uskup Anastasios dari Androussa


Uskup Anastasios adalah moderator konferensi, menekankan pentingnya
penginjilan dari perspektif yang berbeda-beda. Menurutnya, era mengirim dan
menerima gereja-gereja telah berakhir. Sebaliknya, setiap gereja harus terlibat di
dalam aktivitas untuk menginjili kembali setiap generasi yang baru. Ia merasa
pandangan yang membedakan negara Kristen atau non-Kristen adalah pandangan
yang tidak sah, oleh karena prioritas yang harus difokuskan sekarang ini adalah alam
semesta fisik secara keseluruhan. Maka, ia menekankan tentang pentingnya
memperhatikan lingkungan, konservasi alam, usaha mencegah perang nuklir, serta
untuk menjaga integritas ciptaan di dunia.16

3. Paus Paulus VI
Pendahulu Paus Paulus VI, yakni Paus Yohanes XXIII, sebelumnya telah
menyadari bahwa menjaga perdamaian menjadi tugas penting Gereja. Di masa
eskalasi ketegangan Blok Barat dengan Blok Timur, ia menulis ensiklik (surat amanat
Paus) “Pacem In Terris’ (1963). Selain itu, ketika perhelatan Konsili Vatikan Il
berlangsung, gagasan untuk membentuk suatu komisi yang berhubungan dengan
perjuangan keadilan dan perdamaian juga muncul. Di dalam Gadium et Spes
dinyatakan demikian: "Adapun 'misi khusus, yang oleh Kristus telah dipercayakan
kepada Gerejanya, tidak' terletak di bidang politik, ekonomi atau sosial; sebab
tujuan) yang telah di tetapkan-Nya untuk gereja bersifat keagamaan (religius -red.).
Tentu sama dari misi keagamaan itu sendiri muncullah tugas, terang dan daya-
kekuatan, yang dapat melayani pembentukan dan peneguhan masyarakat manusia
"Menurut Hukum Ilahi."(GS 42). Maka pada tahun 1967, sesuai amanat KV Il, Paus
Paulus VI membentuk Komisi untuk Keadilan dan Perdamaian (Pontifical
Commission for Justice and peace). Pada tahun 1988, Paus Yohanes Paulus Il
mengubah status sebagai "komisi" menjadi "Dewan Kepausan untuk Keadilan dan
Perdamaian" (Pontifical Council for Justice and Peace).17

15
Daniel Lucas Lukito, “Kecenderungan Gerakan Oikumene Dewasa Ini (Dengan Fokus Pada Dewan Gereja-
gereja se-Dunia)”, Jurnal Pelita Zaman, Vol.1, No. 6 (Mei 1991), 69.
16
Lukito, Kecenderungan Gerakan Oikumene, 70.
17
Mahamboro, Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, 20.

6
4. Dr. Janice Love
Dr. Janice Love (10-20 Agustus 1988) memimpin WCC , membuka sesi dengan
menjelaskan bahwa tujuannya adalah untuk berbagi visi dan harapan untuk proses
konsili komitmen timbal balik (perjanjian) untuk keadilan, perdamaian dan keutuhan
ciptaan, untuk menyoroti tindakan nyata dan komitmen yang dibuat oleh gereja-
gereja, gerakan- gerakan, dan individu- individu Kristen dalam menanggapi ancaman-
ancaman tertentu terhadap kehidupan; dan untuk mempertimbangkan implikasi dan
konsekuensi dari proses KPKC bagi kehidupan gereja dan gerakan ekumenis dalam
hal kerja sama dan perjanjian.18

5. Dr. Marga Bührig


Dr. Marga Buhrig berbicara kepada pada peserta dengan referensi khusus pada
kegiatan KPKC di Eropa dan Swiss. Meskipun untuk waktu yang lama kita telah
berbicara tentang kompleks teknologi dan militer, hari ini kita melihat lebih jelas
bahwa penyebabnya terletak pada cara kita berhubungan dengan ciptaan dan ciptaan
Tuhan. konsekuensi dari penyalahgunaan sumber daya kita. Kita tidak boleh duduk
dan menerima hal- hal sebagaimana adanya, melainkan kita harus memutuskan untuk
melawan dan mengambil tindakan untuk memperbaiki situasi.19

2.3. PEMBAHASAN JPIC

1. Justice (Keadilan)
Vic Missiaen, seorang misionaris dari Tanzania, Afrika, mengatakan “keadilan adalah
konsep aktif dimana hal itu merujuk pada dimensi relasional (hubungan) dalam masyarakat
manusia, dibangun di atas kriteria yang disepakati, kontrak sosial. Hal ini tidak selalu mudah
untuk mengenali dalam masyarakat”.20
Keadilan membuat suatu keadaan setara baik secara budaya, politik, sosial dan
ekonomi. Masalah ini bukanlah masalah yang baru-baru ini muncul, namun sudah ada sejak
18
World Council of Churches, Central Committee of the World Council of Churches Minutes of the Thirty-Ninth
Meeting Hanover, Federal Republic of Germany 10-20 August 1988 (Geneva: WCC Publications, 1989), 21.
19
WCC, Minutes of the Thirty-Ninth Meeting, 22.
20
Vic Missiaen, “Integrity of Creation, Justice, Peace and Development”, WAJIBU, Vol.19 No.3 (2004), 13.

7
lama. Alkitab mencatat bahwa di dalam Perjanjian Lama suara dan gema keadilan selalu
didengungkan, terlebih pada ketika masa Kerajaan Israel-Yehuda. Para nabi selalu
memperjuangkan keadilan seperti Amos dan Yeremia, dalam menerapkan keadilan bagi
rakyatnya. Hal itu juga berlanjut dalam masa Perjanjian Baru dimana umat Kristen Mula-
Mula mengalami penganiayaan oleh masa pemerintah Romawi. Kekristenan terpanggil untuk
menjadi pelaku dalam keadilan.
Kekristenan hadir dalam rangka mewujudkan “syalom” Allah di tengah-tengah dunia
dengan melihat realita yang ada di sekitar dengan semangat oikumene. DGD sebagai
representasi Kekristenan telah ikut terlibat dalam masalah keadilan dengan turut mengangkat
masalah keadilan dalam Sidang Raya V di Nairobi pada tahun 1974 dan terus berlangsung
sampai masa kini.
Bentuk dari ketidakadilan berfokus pada sosial (diskriminasi, kesetaraan gender dan
kelompok yang terpinggirkan), ekonomi dan ketidakadilan alam, dimana dari bentuk
ketidakadilan ini saling berkaitan dalam realitanya. Keadaan ketidakadilan ini terjadi karena
adanya kekuasaan yang menindas dengan kekuatan legitimasi ideologi dan agama.
Ketidakadilan masa kini dapat dilihat bahwa hal itu didasari oleh ideologi dan agama
yang masih tertanam, dimana masih terdapatnya penggolongan kelompok manusia
berdasarkan status sosial dan gender maka terbentuklah hierarki sosial. Antara hierarki sosial
ada semacam legitimasi dalam menggunakan kekuasaannya kepada kaum yang lemah,
dimana orang yang berkuasa dapat menindas orang lemah dan juga perempuan harus tunduk
ke dalam kekuasaan laki-laki (budaya patriarki) sehingga adanya kaum yang terpinggirkan.
Pada masa sekarang ketidakadilan ini makin diperparah dengan adanya transformasi
sosial, yaitu globalisasi. Globalisasi pada dasarnya memberikan pertumbuhan baik secara
ekonomi dan sosial. Namun ini juga berdampak pada kaum kaya yang semakin diuntungkan
sedangkan kaum miskin yang semakin menderita. Dengan semangat matrealistis, orang-orang
di dunia saling berkompetisi sehingga meningkatkan sifat individualitas dan meninggalkan
identitas komunitasnya, dan memiliki sifat yang konsumerisme dan materialisme daripada
spiritual sehingga berusaha mengeksploitasi orang lain dan alam sekitar. Hal ini yang disebut
proses dehumanisasi.21 Hal ini menyebabkan kemiskinan, marjinalisasi dan perusakan
lingkungan.
Berdasarkan dehumanisasi, kemiskinan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
kemiskinan secara ekonomi dan kemiskinan secara spiritual. Kemiskinan secara ekonomi

21
Ranto G. Simamora, Misi Kemanusiaan dan Globalisasi : Teologi Misi dalam Konteks Globalisasi di
Indonesia (Bandung: Ink Media, 2006), 48-50.

8
merupakan kemiskinan yang dapat dilihat secara nyata, dimana hal ini dapat dilihat dari
orang-orang yang tidak memiliki objek-objek mendasar yang mendukung kehidupan mereka,
seperti makanan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan dan perawatan kesehatan.
Ketidakmampuan dalam memiliki objek mendasar ini dapat dilihat dalam segi kuantitas
(jumlah) dan mutu barang dan jasa yang dapat diakses. 22 Sedangkan kemiskinan secara
spiritual merupakan kemiskinan yang situasi yang tidak terpenuhi dalam kehidupan pribadi.
Masalah spiritual memang kemiskinan yang tidak dapat diidentifikasi secara kasat mata.
Keadaan kemiskinan secara spiritual adalah ketidakmampuan dalam menjaga hubungan
positif dengan sesama maupun tidak mampu menanggapai sasaran yang dituju sehingga
terjadi kekosongan batin yang mampu membuat seseorang melukai atau menghilangkan
nyawa.23
Ketidakadilan juga dapat dilihat dalam aspek kehidupan sosial yaitu kesenjangan antara
laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender bukanlah masalah baru. Bahkan masalah ini
sudah ada sejak lama. Perempuan selalu dipandang lebih rendah dari laki-laki sehingga
mengalami diskriminasi di dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakadilan ini dilegitimasi baik
dalam bidang ideologi dan agama. Ideologi yang terdapat hampir di segala budaya
mengangkat derajat laki-laki dan mensubordinasi perempuan dan begitu juga agama yang
kebanyakan menggambarkan bahwa yang ilahi bersifat maskulinitas. Hal ini menyebabkan
perempuan pembatasan kebebasan perempuan, bahkan dibebankan dua kewajiban dalam
mengurus pekerjaan rumah dan keluarga.
Keadaan menjadi perwujudan kita dalam menunjukkan kasih. Dalam pelaksanaanya ada
dua aspek yang perlu dilihat yaitu etika rasional dalam menunjukkan sikap dan etika religious
yang menekan kasih. Keturutsertaan kita dalam memperjuangkan keadilan adalah karena kita
menerima amanat untuk mengabarkan kabar baik dan panggilan Kristen untuk berpartisipasi
dan bertanggungjawab.24
Kita haruslah memperjuangkan keadilan dan martabat manusia, dengan cara melawan
kekuatan yang menindas. Solidaritas menjadi kekuatan dalam membentuk tatanan masyarakat
yang lebih partisipatif melalui pelaksanaan kekuasaan yang sah.25 Hal itu dapat kita lakukan
dengan menunjukkan kehadiran gereja dalam membela. Gereja dalam membela orang dalam

22
J. Andrew Kirk, Apa itu Misi? : Suatu Penelusuran Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 131-133.
23
Kirk, Apa itu Misi?, 133-134.
24
Widi Artanto,Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,
2008), 69-70.
25
David Gill peny.,Gathered For Life : Official Report VI Assembly World Council of Churches Vancouver,
Canada 24 July-10 August 1983 (Geneva: WCC Publications, 1983), 86.

9
keadilan bukan hanya sebatas membela kepentingan kelompok tertentu, melainkan
mendatangkan pertolongan.

2. Peace (Perdamaian)
Perdamaian merupakan kelanjutan dari keadilan, dimana tanpa adanya keadilan maka
tidak ada namanya perdamaian. Perdamaian bukan sekedar keadaan tidak adanya kekerasan
atau perang. Berdasarkan Sidang Raya VI DGD, perdamaian merupakan penghormatan
terhadap kemanusiaan dan martabat yang diberikan Tuhan kepada setiap orang, dan
merupakan efek dari kebenaran seperti yang diajarkan Nabi Yesaya.26
Perlu juga kita ketahui bahwa DGD hadir dalam rangka menyikapi perdamaian
setelah Perang Dunia II, dimana pada waktu itu pengertian perdamaian adalah suasana tanpa
perang. Di kemudian hari, timbullah kesadaran bahwa perdamaian adalah menghadirkan
syalom seperti yang ada dalam Perjanjian Lama. Syalom yang dimaksud adalah keadaan
harmoni yang dinamis.27 Sehingga perdamaian berarti adanya pertemuan dalam rangka
menyelesaikan konflik, bukan menghindari konflik dan masalah.
Namun, dalam konsep menyelesaikan konflik terjadi perang dalam rangka proses
penyelesaian konflik dengan alasan menjaga keamanan. Hal ini terjadi mulai dari intitusi
paling kecil yaitu keluarga hingga negara, bahkan tidak jarang terjadi konflik antar agama.
Masalah yang cukup pelik pada masa sekarang adalah terjadinya perlombaan persenjataan
baik secara konvensional maupun senjata nuklir. Penyebabnya adalah rasa takut untuk merasa
di bawah antara yang satu sama lain, dimana ini terjadi khususnya di Asia Pasifik.28
Dalam mengatasi konflik dan kekerasan yang terjadi perlu ada penyelesaian konflik
secara positif. Hal itu dapat dimulai dari gencatan senjata dan memberikan pertolongan bagi
korban. Penyelesaian konflik memiliki dasar untuk membangun kepercayaan antara pihak
yang bersitegang, dimana menggunakan metode dialog dengan prinsip untuk mencari
keseimbangan antara kerahasiaan dan keterbukaan. 29 Pada dasarnya dalam menyelesaikan
konflik adalah dengan membangun adanya kepercayaan sehingga menimbulkan perdamaian
yang disebut dengan rekonsiliasi.
Rekonsiliasi merupakan tindakan yang memperjuangkan relasi yang baru dalam
rangka membangun kembali relasi lama yang telah dirusak oleh permusuhan dan rasa saling

26
Gill,Gathered For Life,132.
27
Emmanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-Pemikiran mengenai Kontekstualisasi
Teologi di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 224.
28
Singgih, Berteologi dalam Konteks, 245.
29
Kirk, Apa itu Misi?, 222.

10
curiga. Rekonsiliasi terlebih dahulu telah diinisiasi oleh Allah sendiri (bnd. 2 Korintus
5:19).30 Kekristenan hadir dalam memanusiakan kembali manusia yang telah dirusak oleh
kekerasan, dengan memampukan setiap orang memahami relasi antara dirinya dan sesamanya
dan dirinya dengan Tuhannya.
Hal yang perlu diperhatikan juga adalah menyelesaikan masalah yang diakibatkan
konflik. Dalam tindakan dan sikap, kita tidaklah boleh menjadi pasif atau bahkan
bermusuhan. Ketegangan setelah konflik ini dapat diatasi dengan memberi kesadaran bahwa
kedamaian bukan sekedar pada orang yang memiliki kekuasaan, melainkan bagi “setiap
orang yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14).31

3. Keutuhan Ciptaan (Integrity of Creation)


Keadilan dan Perdamaian bagi manusia akan sia-sia jika tidak diusahakan pula bagi
keadilan bagi seluruh alam semesta. Keutuhan ciptaan bukan terbatas dalam kehidupan
manusia saja, namun berkaitan juga dengan seluruh ciptaan. WCC menyatakan bahwa sesuai
dengan kisah penciptaan, bumi berarti menjadi home untuk seluruh makhluk hidup yang
saling memiliki relasi jaringan sosial. 32
Namun dalam realitanya, bumi ini seakan-akan hanya diciptakan bagi manusia.
Mereka berusaha menguasai dan mengeksploitasi bumi dengan menggunakan legitimasi
Kejadian 1:28, dimana yang salah bukan legitimasinya melainkan pelaksanaannya. Ada tiga
hal yang telah rusak dalam segala ciptaan dalam bumi yang disebabkan oleh manusia, yaitu
polusi, pengurasan sumber daya dan kelabilan lingkungan hidup. Di dalam bidang polusi, hal
ini disebabkan pabrik dan peralatan manusia yang mengeluarkan karbon dioksida secara
berlebihan, pencemaran air tawar oleh limbah pabrik dan penggunaan pupuk kimia yang
berlebihan.Selain itu dalam eksploitasi alam, dilakukan berupa perburuan liar yang membuat
beberapa spesies yang mengalami kepunahan dan ancaman kepunahan dan dalam menggali
sumber daya secara brutal yang membuat alam rusak. 33 Hal tersebut mengakibatkan kelabilan
lingkungan hidup berupa perubahan iklim yang kritis, erosi, banjir bahkan hingga keracunan.
Masalah di atas dapat ditangani dengan suatu konsep yang disebutkan dengan konsep
keutuhan ciptaan. Keutuhan ciptaan terjadi karena adanya pergeseran paradigma dari
antroposentris menjadi ekosentris, dimana manusia merupakan bagian yang tidak dipisahkan

30
Artanto, Menjadi Gereja Misioner, 179-181.
31
Singgih, Berteologi dalam Konteks, 225.
32
Simamora, Misi Kemanusiaan dan Globalisasi, 60.
33
Kirk, Apa itu Misi?, 227-228.

11
dengan alam. Heinrich Bedford-Strohm melihat ada 3 cara pandang dalam melihat hubungan
manusia dengan alam ciptaan, yaitu:
1. Utilitiarn anthropocentrism, memiliki pandangan bahwa manusia yang merupakan
pusat dari ciptaan Tuhan memiliki hak dan tanggung jawab dalam mengusahakan
serta mendominasi ciptaan.
2. Nature-Centered Approach, pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari alam.
3. Anthropocentrism of Responsibility, pandangan yang mengatakan bahwa manusia
memiliki dan harus bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian ciptaan Tuhan.34
Pandangan Heinrich Bedford-Strohm ini sesuai dan pengembangan dalam Konperensi
Seoul yang disponsori oleh WCC yang secara khusus membahas KPKC.

2.4. KPKC dalam Konteks Gereja Indonesia


Permasalahan yang terjadi dalam dunia mengenai keadilan, perdamaian dan keutuhan
ciptaan yang telah dibicarakan dalam sidang raya ke enam disikapi dengan baik dalam
Gereja-gereja di Indonesia. Hal ini terlihat dari sikap dan respon Persekutuan Gereja
Indonesia yang ikut mensukseskan kehadiran tema sidang raya tersebut. Respon PGI adalah
dengan menyerukan pentingnya keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan di Indonesia. PGI
juga mendorong semua pihak untuk berefleksi, menganalisa, serta bertindak menemukan
jalan keluar atas sistem finansial dan ekonomi yang gagal mengatasi secara memadai
kesenjangan, kemiskinan, dan kehancuran ekologis.35
PGI juga turut serta memberikan solusi untuk mencapai keadilan, keterlibatan dan
keseimbangan sistem ekonomi dimana semua ciptaan untuk turut dipelihara. PGI terpanggil
untuk turut dan bertanggungjawab dalam usaha membebaskan manusia dari segala
penderitaannya yang diakibatkan oleh kemiskinan, ketakutan dan ketidakpastian hukum. PGI
turut dalam mengusahakan keadilan dalam segala lapangan hidup baik dalam ekonomi,
politik, sosial baik lintas nasional dan internasional, serta bekerja untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup manusia. Bentuk keprihatinan PGI dalam menyikapi KPKC selalu

34
Heinrich Bedford-Strohm, "Tilling and Caring for The Earth : Public Theology and Ecology." International
Journal of Public Theology (Brill) 1 (2007): 235-241.
35
Tahan M. Cambah dan Meitha Sartika, "Eco-Theology (Teologi Lingkungan Hidup)." dalam Teologi-Teologi
Kontemporer, peny. Jan S. Aritonang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2022), 219.

12
dibahas dalam sidang raya PGI terlebih pada sidang raya ke XII di Jayapura yaitu mengenai
keprihatinan dan pelayanan terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan dalam masyarakat.
Sidang raya PGI ke XII ini menyadarkan tugas setiap gereja-gereja yang dimulai dengan
penegakan hukum dan keadilan, kesenjangan sosial-ekonomi, pelaksanaan penegakan HAM
hingga tanggung jawab manusia dalam melestarikan lingkungan hidup, peningkatan harkat
manusia, serta pendidikan terhadap anak-anak terbelakang.36
Sikap PGI dalam menyerukan pentingnya solidaritas dalam Gereja kepada jemaatnya
yang menjadi korban ketidakadilan ekonomi, memberi perhatian kepada rakyat yang tertindas
dan menjadikan hal ini menjadi pusat misi gereja serta menghapuskan kepentingan politik
yang menindas dan menyengsarakan. Sikap solidaritas inilah yang akan dikembangkan oleh
gereja-gereja di Indonesia dalam mengembangkan komunitas-komunitas untuk sebuah
kemerdekaan orang miskin dan pembebasan terhadap struktur yang menindas. Kesadaran
akan pentingnya solidaritas merupakan awal perubahan dan perjuangan bagi gereja-gereja
untuk meningkatkan martabat orang miskin37, mewujudkan perdamaian dan pelestarian
lingkungan.
Salah satu keputusan sidang raya PGI yang menyoroti pentingnya KPKC adalah dimana
gereja tidak hanya berporos pada pelayanan pemuridan dan pengajaran, tetapi sudah harus
melakukan pelayanan yang holistik, pelayanan bersifat transformatif terhadap sistem
masyarakat yang tidak pro keadilan, dan penistaan manusia. Gereja harus berani secara
frontal melawan struktur masyarakat yang tidak adil, baik ekonomi, sosial, politik dan dalam
menghadapi pengusaha-pengusaha. Gereja juga turut untuk mengkritik kebijakan
perekonomian pemerintah yang hanya menguntungkan Sebagian orang dan mengabaikan
bagian yang paling penting. Gereja harus berpihak terhadap masyarakat kecil dan
memusatkan perhatian pada usaha-usaha memperkuat rakyat sehingga mampu mengakses
sumber-sumber daya.38
Dari uraian di atas, kita melihat bahwa PGI benar-benar memahami kehadirannya
dalam memberikan perhatian dan keberpihakan kepada hidup kemanusiaan yang adil, damai,
dan memperdulikan kelestarian lingkungan hidup. PGI juga melalui sidang-sidangnya
membuat keputusan yang bersifat melayani, solidaritas, dan menyadarkan gereja-gereja akan
suatu kehidupan yang adil, dan damai, terlebih dalam mengutuhkan ciptaan.
Dalam gereja lokal dalam hal ini HKBP juga menyikapi KPKC dengan baik. Dimana
HKBP turut mendukung dan mensukseskan KPKC dengan penerapan dalam kesaksian
36
Simamora, Misi Kemanusiaan dan Globalisasi, 69-71.
37
Simamora, Misi Kemanusiaan dan Globalisasi, 74.
38
Simamora, Misi Kemanusiaan dan Globalisasi, 75.

13
imannya. Hal ini terlihat dari tindakan HKBP yang mencantumkannya secara tidak langsung
pada Konfessi HKBP tahun 1996 pasal 3, 4, 5 dan 13, serta mencela dan menghukum
tindakan yang melanggar akan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan yang tercantum
secara tidak langsung dalam Ruhut Parmahanion Paminsangon HKBP.

Konfessi HKBP pasal 3 tentang Manusia mengemukakan:

Manusia adalah ciptaan Allah, laki-laki dan perempuan, menurut gambar-


Nya, sama dengan perangai-Nya (Imago Dei), dengan martabat yang
sama, dan kepada mereka diberikan kuasa untuk menguasai, memelihara,
mengolah seluruh ciptaan-Nya yang ada di dunia ini. Manusia
diciptakanNya dalam kebebasan dan tanggungjawab untuk melayani Allah
dan seluruh ciptaan-Nya.39

Konfessi HKBP pasal 4 tentang masyarakat mengemukakan :

Seluruh manusia adalah satu kesatuan di hadapan Allah (Kej.1:27) dan


yang menerima keselamatan itu adalah sama-sama yang ditebus oleh
Yesus Kristus (Gal.3:28). Keluarga Kristen di dunia ini adalah keluarga
yang diikat kasih Kristus. Setiap orang yang menuruti kehendak Tuhan
hidup dalam kehidupan yang saling membantu (Gal.6:2).

Kita menekankan pentingnya iman dan tanggung jawab kita dalam


masyarakat Indonesia yang majemuk dan melayani orang miskin, yang
sakit, yang melarat, orang sakit, yang terbelakang, yang bodoh, korban
ketidak-pastian hukum (penyelewengan hukum).40

Konfessi HKBP pasal 5 tentang Kebudayaan dan Lingkungan Hidup mengemukakan;

Allah menciptakan manusia dengan tempat tinggalnya dan tempatnya


bekerja di dunia ini (Kej.2:5-15). Dialah yang memiliki semuanya, yang
39
HKBP, Panindangion Haporseaon Pengakuan Iman HKBP Konfessie Tahun 1951 & 1996 (Pematang
Siantar: Percetakan HKBP, 2013), 128.
40
HKBP, Konfessie HKBP, 130-131

14
memberikan kehidupan bagi semua yang diciptakanNya. Tempat manusia
bekerja adalah daratan, laut, dan langit/ruang angkasa. Allah memberikan
kuasa kepada manusia untuk memelihara dunia ini dengan tanggung jawab
penuh.
Karya Yesus Kristus adalah membebaskan manusia, segala ciptaan dan
juga dunia ini (Kol.1:15-20; Roma 8:19-33).41

Konfessi HKBP pasal 13 tentang Pemerintah mengemukakan

Pemerintah yang berwibawa datang dari Allah untuk mewujudkan


keadilan, melindungi, memelihara, melawan kejahatan dan menyediakan
yang perlu bagi warga negara dan kehidupan umat.42

Dapat dilihat bahwa pasal 3,4, dan 5 dalam Konfessie HKBP tahun 1996 jelas
mendukung adanya keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Pada pasal 3 dan 4 memberi
penegasan bahwa manusia memiliki harkat dan martabat yang sama baik itu orang kaya dan
orang miskin maupun laki-laki dan perempuan. Pada pasal 5 memberi penegasan bahwa alam
dan manusia adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan, dimana manusia bertanggungjawab
dalam melestarikan alam semesta. Pada pasal 13 menegaskan bahwa gereja harus
menyumbang pada usaha-usaha yang memajukan langkah-langkah pembangunan
kepercayaan di antara pemerintah-pemerintah untuk mengurangi ketegangan dan
menciptakan iklim yang sehat, bahkan perlu adanya kolaborasi dalam membuat dan menjaga
perdamaian yang ada.
Dalam Ruhut Parmahanion Paminsangon HKBP dijelaskan tentang sikap yang
menolak atau yang menentang KPKC seperti merampas milik orang lain, menyakiti,
menindas serta membunuh manusia, menyiksa binatang, bersekongkol dengan pelaku
kejahatan, pencuri, korupsi, dan merampas hak orang miskin.
Sehingga dapat dilihat dalam konteks HKBP, dapat ditekankan kepada aspek pluralitas,
kepekaan sosial dan lingkungan hidup dalam melihat realita dunia, bukan hanya sebatas
lingkungan lokal melainkan memiliki pandangan yang bersifat internasional.

41
HKBP, Konfessie HKBP, 131-132
42
HKBP, Konfessie HKBP, 143-144

15
BAB III
Penutup

Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) atau dikenal dalam bahasa Indonesia
dengan “Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) adalah bentuk kepedulian
gereja terhadap manusia dan alam. Fokus utama JPIC adalah hubungan manusia dengan
sesama manusia dan dengan alam semesta, dimana masalah menyangkut masalah sosial
dalam masyarakat dunia, masalah alam (ekologi) yang krusial dan mengingat semakin
rusaknya alam semesta akibat ulah manusia. Gerakan ini memiliki cikal bakal sejak Sidang
Raya DGD V di Nairobi, Kenya (1975) dan menjadi salah satu tema di Sidang Raya DGD di
Vancouver, Canada (1983) dan melahirkan istilah JPIC. Gema JPIC terus berdengung sejak
itu sampai di Sidang Raya DGD X di Busan, Korea Selatan (2013), bukan hanya sebatas
sidang raya namun ikut dan menjadi tema di berbagai Konferensi atau Convention WCC.
JPIC memberi kita kesadaran bahwa manusia dan alam semesta saling berkaitan dan
tidak dapat dipisahkan sehingga dibutuhkan sikap saling menghargai dan mengasihi. JPIC
juga menolong kita dalam memahami bahwa keadilan, perdamaian dan ciptaan adalah suatu
keutuhan yang saling berkaitan dan tidak dapat berdiri sendiri. Hal ini membawa kita dalam
membentuk sikap penolakan terhadap pemahaman yang antroposentris, hierarkis, dan
patriarkal.
JPIC direspon baik oleh gereja-gereja, baik di gereja-gereja internasional (WCC),
gereja-gereja nasional (PGI), dan secara khusus dalam Gereja lokal (HKBP) dengan
menyikapi dengan suatu pengakuan iman yang menjadi dasar keberimanan untuk jemaatnya
dan juga dalam tindakan dalam semangat oikumene dengan bentuk diskusi, aksi, dialog dan
kerjasama dalam mewujudkan KPKC dalam realita dunia.

16
Daftar Pustaka
Artanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: Taman
Pustaka Kristen, 2008.
Bedford-Strohm, Heinrich. "Tilling and Caring for The Earth : Public Theology and
Ecology." International Journal of Public Theology (Brill) 1 (2007): 230-248.
Bonhoeffer, Dietrich. Letters and Papers From Prison. New York: Macmillan, 1975.
Cambah, Tahan M. dan Meitha Sartika. "Eco-Theology (Teologi Lingkungan Hidup)."
dalam Teologi-Teologi Kontemporer, peny. Jan S. Aritonang, 202-222. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2022.
Churches, World Council of. Central Committee of the World Council of Churches Minutes
of the Thirty-Ninth Meeting Hanover, Federal Republic of Germany 10-20 August
1988 . Geneva: WCC Publications, 1989.
Gill, David, ed. Gathered For Life : Official Report VI Assembly World Council of Churches
Vancouver, Canada 24 July-10 August 1983. Geneva: WCC Publications, 1983.
HKBP. Panindangion Haporseaon Pengakuan Iman HKBP Konfessie Tahun 1951 & 1996.
Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 2013.
Jonge, Christiaan de. Menuju Keesaan Gereja : Sejarah, Dokumen-Dokumen dan Tema-
Tema Gerakan Oikumenis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Kirk, J. Andrew. Apa itu Misi? : Suatu Penelusuran Teologis. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012.
Lukito, Daniel Lucas. "Kecenderungan Gerakan Oikumene Dewasa Ini ((Dengan Fokus Pada
Dewan Gereja-gereja se-Dunia)." Jurnal Pelita Zaman 1, no. 6 (Mei 1991): 63-72.
Mahamboro, D. Bismoko. "Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan." Opini : Jurnal
Inspirasi 148 (Desember 2016): 20-22.
Missiaen, Vic. "Integrity of Creation, Justice, Peace and Development" WAJIBU 19, no. 3
(2004): 13-16.
Simamora, Ranto G. Misi Kemanusiaan dan Globalisasi : Teologi Misi dalam Konteks
Globalisasi di Indonesia. Bandung: Ink Media, 2006.
Singgih, Emmanuel Gerrit. Berteologi dalam Konteks : Pemikiran-Pemikiran mengenai
Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Suleeman, Stephen. Buku Siswa Sejarah Gereja. Jakarta: Kementerian Agama Republik
Indonesia, 2019.

17

Anda mungkin juga menyukai