The Participation of Catholics in Political life - Dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi
Suci untuk Ajaran Iman
Tahun : 2002-
Dokumen Ajaran Sosial : Dokumen ini merupakan garis bawah pentingnya partisipasi umat
Gereja Katolik pada kehidupan politik. Umat Katolik tidak boleh pasif.
Tantangan perkembangan dan kemajuan demikian besar, umat Katolik
diminta memiliki kesadaran-kesadaran tanggung jawab dan partisipasi
untuk memajukan kehidupan bersama dalam soal-soal politik. Politik
bukanlah lapangan kotor, melainkan lapangan kehidupan yang harus
ditata dengan baik.
Tema-Tema Pokok : Seputar kehidupan politik dan pentingnya partisipasi umat beriman
Katolik untuk peduli dengan soal-soal politik.
Konteks Zaman : Zaman ini mengukir soal-soal yang sangat menyolok: hidup manusia
ditentukan oleh realitas tata politik; aneka persoalan kemunduran
sosial seringkali ditandai dengan kebangkrutan politik dalam hidup
bersama; soal-soal yang menyangkut kebebasan beragama dan
kebebasan berkembang dalam budayanya juga menjadi perkara yang
dominan pada periode sekarang ini.
Ada beberapa pokok yang akan disampaikan pada bagian ini. Sebutan „ajaran sosial Gereja‟
muncul bersamaan dengan keprihatinan dan keterlibatan Gereja dalam bidang sosial, tetapi nama
atau sebutan tersebut bukanlah tanpa kontroversi, sebelum akhirnya nama/sebutan „ajaran sosial
Gereja menjadi umum dikenal.
Selanjutnya kita akan berkenalan dengan dokumen-dokumen yang digolongkan ke dalam ajaran
sosial Gereja. Kami hanya akan membatasi diri pada dokumen-dokumen yang umum dikenal dan
selalu menjadi acuan. Bagaimana membaca dokumen-dokumen itu? Apa makna dan hal-hal
positif dari ajaran sosial Gereja? Hal-hal itulah yang akan disajikan di sini.
Sebutan yang kurang lebih konvesional “ajaran sosial Gereja” bukanlah suatu istilah (nama)
dengan makna tunggal. Leo XII misalnya menyebutnya dengan: “doktrin” yang digali dari Injil
dan dari “filsafat Kristiani”. Pius XI menggunakan nama “filsafat sosial” dan “doktrin dalam
bidang ekonomi dan sosial”. Baru Pius XII yang pertama kali menyebut Ajaran Sosial Gereja
yang kemudian selalu digunakan sampai sekarang.
Yang menarik adalah bahwa istilah „ajaran sosial Gereja‟ ditolak dalam Vatikan II. Istilah atau
sebutan tersebut dikritik karena memberi kesan menyindir “corpus” ajaran dogmatis, dan
memberi kesan bahwa Gereja mempunyai dua jenis ajaran: dogma dan ajaran sosial. Karena itu
penggunaan sebutan “ajaran sosial Gereja” dihindari.
Ketika merumuskan Gaudium Et Spes ada perintah agar istilah tersebut tidak digunakan.
Kendati demikian, sambil mendengar perintah tersebut, GS no 76 mencoba mempertahankan
sebutan „ajaran sosial‟: “Tetapi selalu dan di mana-mana hendaknya ia diperbolehkan dengan
kebebasan yang sejati mewartakan iman, menyampaikan ajaran sosialnya…..” (GS 76 par 5)..
GS no 76 dipungut suara dan sebenarnya cuma disetujui secara individual oleh peserta Konsili;
tetapi atas permintaan kelompok Uskup dari Brasil, sebutan “ajaran sosial Gereja” tetap
digunakan dalam GS.
Sebutan “ajaran sosial Gereja” muncul juga dalam dua dokumen lain dari Konsili yaitu dalam
Apostolicam Actuositatem 31 (AA) dan Inter Merifica 15 (IM). Selebihnya sebutan itu
muncul kembali dalam surat Apostolik Octogesima Adveniens no. 1.4.42.
Sebagai alternatif untuk istilah “ajaran sosial Gereja” digunakan istilah “pemikiran sosial
kristiani”, “pengajaran sosial Gereja”, “magisterium sosial”. Kemudian, setelah pidato Yohanes
Paulus II dalam Sinode III Uskup Amerika Latin di Puebla tahun 1979, sebutan “Ajaran Sosial
Gereja” digunakan secara resmi dan tidak lagi dapat ditolak.
Kata sosial sebagai kata sifat dalam frase “ajaran sosial Gereja” mempunyai arti jamak sesuai
dengan konteks dan maksud pemakaiannya: pada waktu tertentu artinya lebih mengacu ke
ekonomi tetapi kemudian meluas mencakup semua saja yang berkaitan dengan relasi antara
pribadi dan relasi sosial-politik dalam keseluruhan masyarakat.
Istilah “ajaran sosial Gereja”, mendapat macam-macam interpretasi. Ada dua makna yang
dimaksudkan dengan apa yang disebut ”ajaran sosial Gereja”:
“Ajaran sosial Gereja” adalah keseluruhan ajaran Gereja pada masa modern (XIX-XX)
yang berkaitan dengan masalah-masalah pengaturan kehidupan sosial (ekonomi, politik,
budaya, dll). Ajaran sosial Gereja mencakup ajaran sosial Para Paus sejak Leo XIII
terutama dalam ensiklik-ensiklik (RN, QA, MM PT, PP, LE, SRS dan CA), juga pidato
Pius XII dan Surat Apostolik OA. Termasuk dalam daftar ini adalah Gaudium et Spes.
Pengertian yang lain lebih luas adalah: “Ajaran sosial Gereja” mencakup surat Uskup
(pribadi, konferensi Uskup, Sinode, Konferensi Regional seperti Medellin, Puebla, San
Dominggo, Surat Para Uskup USA, dll). Juga termasuk karya (yang disajikan) para
teolog yang menganalisa dan mensistematisasi ajaran magisterium mengenai realitas
sosial.
Di lain pihak “ajaran sosial Gereja” dimaksudkan sebagai suatu dinamika atau kekuatan
yang muncul dari iman kristiani yang dapat menerangi dan mengubah realitas sosial
setiap masa dan di setiap situasi. Jadi “ajaran sosial Gereja” lebih merupakan suatu
dinamika iman dari pada ajaran formal; lebih sebagai suatu tuntutan ortodoxia dan
ortopraksis daripada suatu ajaran magisterium; lebih sebagai satu logika kehidupan dari
pada suatu argumen doktrinal. “Ajaran sosial Gereja” lebih dimaksudkan seperti itu,
karena itu bukanlah suatu “corpus” ajaran, tetapi lebih sebagai suatu refleksi iman di
hadapan problematika sosial; bukan ajaran resmi atau dari hirarki, tetapi lebih sebagai
wacana teologis dari jemaat beriman.
Kendati dalam pengertian kedua di atas – ASG sebagai refleksi iman umat beriman di hadapan
situasi nyata – umumnya dipahami bahwa ASG adalah ajaran formal magisterium dalam bentuk
ensiklik, surat apostolik, siaran Radio dan hasil sinode. Sehingga kalau menyebut ASG maka
dokumen-dokujmen itulah yang dimaksudkan.
Dokumen-dokumen sosial utama dari para Paus dan Vatikan II yang amat terkenal adalah:
1. Rerum Novarum dari Leo XIII : “dikeluarkan 15 Mei 1891, merupakan salah satu
karya/dokumen terkenal dalam Gereja. Lima Paus sesudahnya terus menerus
memperingati dokumen tersebut: Pius XI tahun 1931 dengan ensiklik QA; Pius XII
dengan pidato Penetekosta tahun 1941; Yohanes XXIII 1961 dengan MM; Paulus VI
tahun 1971 dengan OA; Yohanes Paulus II dengan CA 1991. “Pengumuman RN 15 Mei
1891, menandai momentum penting tidak saja dalam dunia perburuhan, tetapi juga dalam
Gereja serta dalam sejarah kemanusiaan. Tanpa berlebihan, boleh dikatakan bahwa
sesudah Trente hanya sedikit momentum yang penting dalam Gereja sampai munculnya
Rerum Novarum.
2. Quadragesimo Anno dari Pius XI tahun 1931: Pius XI adalah penerus setia dari Leo
XIII yang mempunyai inisiatif meneruskan dan mengaktualkan RN pada masanya dengan
menerbitkan ensiklik sebagai kenangan 40 tahun RN.
3. Pius XII, juga mengajarkan banyak hal berkaitan dengan “ajaran sosial Gereja”, dalam
kotbah Pentekosta tahun 1941 sebagai kenangan 50 tahun RN.
4. Mater et Magistra dari Yohanes XXIII tahun 1961: untuk memperingati 70 tahun RN;
5. Pacem in Terris dari Yohanes XXIII, 1963.
6. Populorum Progressio tahun Paulus VI 1967;
7. Surat Apostolik Octogesima Adveniens Paulus VI 1971.
8. Konstitusi Pastoral GS, Konsili Vatikan II, 1965.
9. Laborem Exercens 1981 Yohanes Paulus II tentang kerja manusia;
10. Sollicitudo Rei Socialis 1987 Yohanes Paulus II untuk memperingati 20 tahun
Populorum Progressio; dan
11. Centesimus Annus 1991 Yohanes Paulus II berbicara tentang problem sosial
kontemporer dan mengenang 100 tahun RN.
Untuk menggali isi dari dokumen-dokumen sosial para Paus dan Vatikan II perlulah
ajaran/pandangan dalam dokumen-dokumen itu ditempatkan dalam konteks historis dan
ideologisnya.
Perlu memiliki pengetahuan yang memadai tentang gerakan-gerakan baik dalam dunia Kristen
maupun di luarnya yang ingin ditanggapi oleh Paus. Misalnya, RN perlu ditafsirkan dalam
konteks gerakan sosial, baik kristiani maupun non kristiani, dari abad XIX.
Ajaran-ajaran sosial para Paus sulit dipahami bila tidak mencermati situasi konkret dari problem
yang ditanggapi mereka dalam ajarannya dari sudut pandangan Kristiani. Pengetahuan tentang
situasi konkret itu merupakan syarat mutlak untuk melengkapi penafsiran otentik terhadap
Magisterium Gereja.
Meskipun kita dapat membuat sintesa dari ajaran sosial para Paus, bagaimanapun juga perlu
memperhatikan ciri khas atau konteks historis (yang terbatas dan parsial) dari setiap dokumen,
demikian juga perkembangan tema-tema dalam dokumen tersebut. Hanya dengan itu kita dapat
membuat suatu sintesa dari keseluruhan ajaran Paus. Sintesa tersebut dapat dicapai melalui
proses berikut:
Ajaran sosial Gereja mengandung di dalamnya makna “teologis” dan “gerejani”. Secara sintesis
makna tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ajaran sosial Gereja adalah peristiwa gerejani
Ajaran sosial Gereja tidak cuma berisi rumusan moral. Ajaran sosial Gereja adalah peristiwa
Gerejani dan merupakan peristiwa-peristiwa dalam Gereja dan yang ditanggapi oleh Gereja
dalam dua abad terakhir. Dalam kejadian-kejadian itu Gereja menyatakan dan membangun
model serta ajarannya. Dalam ajaran sosialnya klita menemukan: (1). Gereja cenderung
mengidentifikasikan diri dengan hirarki atau mereepresentasi diri melalui hirarki, lebih khusus
lagi Paus, yang menyampaikan pandangan dan ajaran sosialnya. (2) Gereja yang dengan
kekuatannya mempunyai pengaruh moral memproklamasikan nilai-nilai martabat manusia. (3).
Gereja yang membela hak orang lemah dan pada saat yang sama juga menampilkan diri sebagai
penentu tatanan sosial.
Ajaran sosial Gereja terbingkai dalam suatu “kebutuhan teologis Gereja”, maksudnya bahwa
dalam menanggapi persoalan sosial Gereja menyampaikan pandangan serta ajarannya yang
bersumber pada wahyu dan tradisi. Meskipun, sebagai kegiatan magisterial, ajaran sosial Gereja
adalah bagian dari pelayanan pastoral. Ajaran sosial Gereja adalah bentuk pelayanan pastoral
Gereja kepada dunia, walaupun dalam struktur isinya terkandung pandangan teologis-moral.
Dalam Ajaran sosial Gereja kita menemukan: (1). suatu refleksi teologis, yang merupakan
paduan dari iman dan pengetahuan manusia. (2) Ajaran moral yang mengacu kepada nilai
universal, (3) Sehingga ajaran sosial gereja termasuk ke dalam teologi moral, tepatnya moral
sosial.
Ajaran sosial Gereja merupakan aplikasi teologi moral dalam bidang sosial.
Ajaran sosial Gereja merupakan bagian teologi moral, tetapi seperti sudah dikatakan di atas, juga
merupakan suatu peristiwa Gerejani, sehingga tidak terlepas dari pokok-pokok berikut:
dimensi magisterial : dalam ajaran sosial gereja ditampilkan dimensi magisterial dari hirarki.
ASG adalah aplikasi kuasa mengajar Gereja. Terkait dengan kekatolikan: ajaran sosial gereja
menjalankan suatu fungsi memadukan, memberdayakan dan mengarahkan kekuatan sosial dari
gereja Katolik. Ajaran sosial Gereja dapat merupakan pembenaran atau penolakan terhadap opsi
sosial global (mis. kapitalisme, sosialisme, dllsb).
Unsur-unsur Positif
Ajaran sosial Gereja tampil sebagai oase atau wilayah hijau di tengah padang gurun teologi
moral kasuistik dan neoscolastik. Ajaran sosial Gereja adalah penerus dari ajaran klasik tentang :
keadilan dan hukum.
Ada begitu banyak hal yang ditampilkan dalam ajaran sosial Gereja sejak abad XIX sampai
Vatikan II. Ajaran Sosial Gereja memperlihatkan :
(3) teologi di tempatkan ke dalam realitas dan dalam refleksinya menerima rasionalitas yang ada
dalam pengetahuan manusia baik dalam ilmu maupun teknik;
(4) ajaran sosial Gereja bukanlah hal abstrak dan a-temporal, sebaliknya menyentuh problem
nyata dalam realitas historis dan konkret;
(5) ajaran sosial Gereja memulai suatu tradisi teologi-moral yang memberikan sumbangan besar
terhadap setudi demi melengkapi warisan pemikiran teologis moral kristiani;