Anda di halaman 1dari 2

“ . . . segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (Kis.

4:32)
Bergereja, demokrasi dan hidup bersama yang berkelanjutan

Sub Tema “memperkuat Gereja dan pembangunan demokrasi serta hidup bersama yang
berkelanjutan di tengah perubahan zaman” menampilkan sejumlah kata kunci penting yang perlu
diperhatikan. Sekurang-kurangnya terdapat 4 pokok utama; pertama, penguatan eklesiologi; kedua,
pembangunan demokrasi; ketiga, hidup bersama yang berkelanjutan (sustainable living); keempat,
perubahan zaman (changing societies).
Memperkuat gereja dapat dilakukan dengan melihat keseluruhan dimensi bergereja, antara
lain: (1) penguatan kelembagaan (institusional), melalui tata kelola organisasi yang bermutu; (2)
penguatan persekutuan jemaat (komunal), untuk membangun persekutuan jemaat yang lebih luas
melampaui batasan teritorial serta membongkar ego-sentrisme; (3) penguatan kapasitas pribadi
(personal) sebagai warga gereja yang beriman teguh kepada Allah Tritunggal dan berakar dalam
tradisi gereja; (4) penguatan keluarga (familial) yang menjadi basis pembinaan iman dan pewarisan
nilai-nilai injil (ecclesia domestica).
Berbeda dengan penguatan eklesiologi, pembangunan demokrasi dimaksudkan sebagai
ruang pendidikan politik warga gereja dalam rangka menyambut tahun politik 2024. Oleh karena
itu, gereja secara sadar mempersiapkan warganya untuk dapat berpartisipasi dalam pesta
demokrasi, tetapi juga menghadirkan wacana tandingan (counter discourse) terhadap wacana “politik
identitas” dengan “politik integritas”. Politik integritas mendorong warga gereja melakukan
evaluasi kritis sebelum menentukan pilihannya dengan memperhatikan 3 aspek; etikabilitas,
intelektualitas dan elektabilitas. Selain itu tekanan pada “pembangunan demokrasi” ialah untuk
terciptanya transparansi pengelolaan keuangan gereja (demokrasi ekonomi) serta desentralisasi
kekuasaan penyelenggara gereja (demokrasi humanis-egaliter).
Fokus hidup bersama yang berkelanjutan di tengah perubahan zaman merupakan bagian
penting bagi keberlangsungan arah bergereja di masa depan. Gereja dengan concern pada masa
depan (the future of the church) menuntun praksis hidup bergereja yang berorientasi pada transformasi.
Salah satu realitas yang berdampak pada sustainable living adalah menjaga keseimbangan-ekologis,
dan mengembangkan wawasan beriman yang merangkul bumi, sehingga orientasi transformasi
bergereja yaitu “transformasi relasi” yang berkeadilan antara manusia-alam-Tuhan (kosmotheandrik).
Untuk memahami lebih jauh keempat pokok utama dari sub tema di atas, maka teks Kis. 4:32-35
dipilih sebagai dasar biblis-tekstual penelaahan alkitab (PA). Diharapkan melalui penelusuran
tekstual terhadap cara hidup komunitas Kristen awal dapat membantu memperkaya pemaknaan
serta penataan hidup bersama sebagai komunitas Kristiani masa kini.

Ubi Christi Ibi Ecclesia


Komunitas para murid yang mengikuti Yesus telah dipesankan untuk menjadi saksi hingga ke
seluruh dunia: “Tetapi kamu akan menerima daya kekuatan kreatif (dunamin-dunamis-dinamika)
bilamana Roh Kudus menguasaimu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi di Yerusalem dan di seluruh
Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8). Setelah Roh Kudus menguasai para
murid, maka terbentuklah komunitas Kristen awal yang berusaha menghidupi Injil Yesus Kristus,
Injil kerajaan Allah.
Sejak awal kemunculan Yesus di ruang publik, proklamasi injil kerajaan Allah
dikumandangkan (Luk. 4:18-19). Kerajaan Allah adalah satu-satunya kepedulian Yesus. Seluruh
hidup Yesus hanyalah untuk kerajaan Allah, untuk menegakkan kuasa dan pemerintahan Allah,
yakni kuasa penuh bela rasa demi keselamatan manusia yang utuh. Kabar baik tentang kerajaan Allah;
basileia tou theou (kuasa pemerintahan Allah) berada pada posisi yang berlawanan dengan basileia tou
kaisaros (kuasa pemerintahan Kaisar), kuasa penjajah Roma, imperium Romanum yang menindas.
Kerajaan Allah yang dimaklumkan oleh Yesus, menjungkirbalikkan tatanan nilai moralitas publik,
memberi penghargaan pada martabat setiap orang, meruntuhkan hierarki-oligarki (mengutamakan
mereka yang terpinggirkan), menolak konsentrasi kuasa dan memberdayakan komunitas. Nilai-nilai
yang diperjuangkan dan dikerjakan oleh Yesus adalah nilai-nilai dari suatu tatanan masyarakat yang
demokratis. Oleh karena itu, gereja yang berada pada jalan Yesus, ubi christi, ibi ecclesia adalah gereja
yang meneruskan perjuangan Yesus, sekaligus meletakan dasar untuk demokrasi yang sejati.

Bonum Commune-Communio
“. . . segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (en autois apanta koina). Kata koina
berhubungan dengan koinonia, juga memiliki padanan katanya dengan common-community dan
communio. Komunitas Kristen awal bukanlah komunitas yang menolak kepemilikan pribadi,
melainkan yang meletakan milik pribadi di dalam kerangka koina-koinonia. Sebab yang dijual
hanyalah sebagian milik dan bukan seluruh milik. Ada milik pribadi yang tetap dihormati. Namun,
kepemilikan pribadi tidak membuat komunitas Kristiani menjadi kapitalis-materialis-imperialis, tetapi
justru mengusahakan kesejahteraan bersama (bonum commune) sebagai komunitas (communio).
Demikian juga kekuasaan politik maupun kekuatan kapital (modal) bukan milik seseorang
atau sekelompok orang. Kekuasaan (untuk memerintah-memimpin) adalah milik bersama yang
dipakai untuk pemberdayaan komunitas. Kekuasaan tidaklah final dan mutlak pada satu orang atau
kelompok tertentu. Kekuasaan politik dan kekuatan kapitalis harus di-desakralisasi oleh kepenuhan
kerajaan Allah. Pemutlakan kekuasaan adalah pemberhalaan. Oleh karena itu, demokrasi yang sejati
haruslah demokrasi yang memanusiakan kuasa, demokrasi yang “membongkar pemberhalaan”,
demokrasi-humanis.
Komunitas yang sehati dan sejiwa melihat segala sesuatu adalah kepunyaan bersama. Hidup
komunitas dipersatukan oleh Roh Kudus yang mengokohkan dan menguatkan komunitas untuk
semakin solid (kuat, teguh, bersatu padu), serta solider. Solidaritas komunitas melahirkan
kesetiakawanan sosial, kepedulian komunal serta persaudaraan. Semakin luas terlibat dalam
gerakan solidaritas, maka semakin memberdayakan komunitas.

Communio viatorum
Koinonia yang berkualitas ditopang oleh oikonomia: penatalayanan dan pengelolaan berkat Tuhan
bagi kehidupan bersama. Oleh sebab itu, ecclesia yang ber-koinonia adalah ecclesia yang oikonomia.
Penataan hidup bersama secara adil merupakan upaya menghidupi nilai egalitarianisme dan
menolak diskriminasi, marginalisasi dalam berkoinonia (ber-ecclesia) untuk semakin demokrasi.
Demokrasi itu baik, namun tidak cukup tanpa kesetaraan (egaliter). Demikian juga Ecclesia yang
oikonomia, sejatinya ialah ecclesia yang terbuka, tidak anti transparansi termasuk dalam transparansi
pengelolaan keuangan untuk kesejahteraan seluruh komunitas. Demokrasi berhubungan erat
dengan transparansi. Demokrasi tanpa transparansi bukanlah demokrasi yang sejati.
Akhirnya, gereja sebagai communio, persekutuan hidup bersama yang berkelanjutan haruslah
menjadi gereja yang mengembara, di jalan peziarahan (communio viatorum). Gereja yang ber-communio
viatorum menjangkau tiga area penting; communio deum (persekutuan dengan Allah Tritunggal),
communio humanum (persekutuan dengan sesama manusia), dan communio mundum (persekutuan
dengan seluruh bumi). Communio Viatorum memberi ruang pada demokrasi sejati yang tidak terbatas
pada demokrasi-insani, melainkan juga demokrasi bumi.

Pertanyaan penuntun:
Apakah kita sudah menjadi Gereja yang menghidupi semangat “communio” dalam hidup bersama
yang berkelanjutan di tengah perubahan zaman saat ini?

Medio, Januari 2023


E. J. Sopacuaperu

Anda mungkin juga menyukai