Anda di halaman 1dari 5

PENJELASAN SUB TEMA PELAYANAN GPM TAHUN 2020

Oleh. Pendeta J.F. Manuputty, MA

Tema :
Allah Kehidupan, Tuntunlah Kami Untuk Membela dan Merawat Kehidupan
(Kejadian 2:7. 15-17)

Sub Tema :
Bersama-sama Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Alam Semesta
Sebagai Panggilan Iman Menghadapi Tantangan Zaman Dalam Kehidupan
Bergereja, Masyarakat, Berbangsa dan Bernegara

PENGANTAR

Kita memasuki tahun ke-5 masa pelayanan MPH Sinode GPM setelah
Sidang Sinode GPM Ke-37 di Kota Ambon (2015). Tema Sidang Sinode tersebut
adalah “Allah Kehidupan, Tuntunlah Kami Untuk Membela dan Merawat
Kehidupan (Kej 2:7, 15-17)”. Tema ini dipilih berdasarkan refleksi panjang dan
dalam terhadap tantangan serta panggilan kita sebagai gereja di Maluku, di
Indonesia, bahkan dalam interaksi global di dunia Oikumene.
Dengan sengaja kita memilih dua kata kunci, ‘Membela’ dan ‘Merawat’
guna mengafirmasi level konkrit tindakan intervensi GPM untuk mengadvokasi
kehidupan. Hal ini sejalan dengan arahan Visi GPM dalam PIP-RIPP GPM 2016-
2025 yang menegaskan bahwa GPM terpanggil untuk menerjemahkan panggilan
profetiknya kedalam aksi-aksi profetik yang berorientasi pada pembelaan
kehidupan dari ancaman kehancuran, sekaligus pemeliharaannya. Dalam terang
tuntunan Allah, tindakan advokasi dimaksud diterjemahkan melalui
pengembangan strategi pelayanan GPM yang dinafasi secara teologis, spiritual,
dan pastoral sampai tahun 2020 mendatang.
Perumusan sub-tema persidangan MPL Ke-41 memberikan aksentuasi
pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan alam semesta. Hal ini
mempertegas pandangan GPM yang menilai kondisi degradasi kemanusiaan dan
alam sebagai tantangan laten pelayanan GPM yang harus disikapi. Rumusan Sub
Tema ini sekaligus menggarisbawahi bahwa advokasi kemanusiaan dan
lingkungan adalah tindakan profetis GPM yang tak pernah berkesudahan.

DILEMA PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA


Salah satu indikator utama untuk mengukur profile sumber daya
manusia pada sebuah wilayah adalah besaran Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Sekalipun ada pengembangan dari tahun-tahun sebelumnya, Maluku dan
Maluku Utara masih berada pada kategori provinsi dengan indeks pembangunan
manusia yang rendah. Data BPS tahun 2018 memperlihatkan bahwa Indeks
Pembangunan Manusia Provinsi Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, NTT, Sulawesi
Tengah, Papua dan Papua Barat berada di bawah rata-rata provinsi lain.
Aspek lain yang bisa dikemukakan sebagai indikator pembangunan
sumber daya manusia adalah besarnya tingkat pengangguran terbuka. Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka di Maluku pada
2

Februari 2019 menempati peringkat ketiga secara nasional yaitu sebesar 6,91.
Pada sumber data yang sama kita temukan bahwa di Maluku Utara tingkat
pengangguran juga meningkat. Kondisi ini memperhadapkan kita pada situasi
dilematis, tingginya masyarakat usia kerja yang menganggur dan meningkatkan
beban sosial.
Tentunya masih banyak data dan fakta yang bisa kita kedepankan, bisa
kita debatkan, atau juga kita bantah. Meskipun begitu, tak dapat dinegasi bahwa
sebagai bagian utuh dari realitas ke-Maluku-an, GPM diperhadapkan pada
tantangan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang tidak ringan.
Tantangan ini menjadi semakin berat jika kita menelisik lebih jauh pada
perubahan-perubahan gradual yang terjadi di level nasional maupun global.
Perubahan secara besar-besaran pada era global memperhadapkan kita pada
situasi-situasi dilematis yang pelik. Di satu sisi kita berupaya melakukan
industrialisasi dengan mengaplikasikan berbagai tekhnologi mutakhir, namun di
sisi lainnya kita diperhadapkan pada konsekwensi penggunaan mesin-mesin
canggih yang semakin mengurangi kesempatan kerja manusia.
Berkembangnya tekhnologi intelegensia buatan yang semakin canggih,
merebaknya industry 4.0, robotic, crypto currency, dan sebagainya, akan
mengubah banyak hal seperti jenis pekerjaan dan tenaga kerja yang dibutuhkan.
Perkembangan tekhnologi dengan masif menggantikan peran manusia pada
berbagai bidang kerja yang secara konvensional biasanya ditangani langsung.
Bermunculan beragam lapangan kerja baru yang menuntut spesialisasi tekhnis
yang sangat spesifik. Orang semakin dikotak-kotakan oleh perangkat tekhnis
yang membelenggunya. Hal ini berakibat langsung pada menguatnya hubungan-
hubungan yang bersifat impersonal serta membesarnya potensi dehumanisasi
Selintas tantangan lokal maupun global yang dikemukakan di atas,
menegaskan bahwa diskursus tentang manusia menjadi sangat urgen dalam
konteks GPM saat ini, maupun ke depan. Melakukannya tidak mudah.
Dibutuhkan strategi akurat dan investasi pembiayaan yang tidak sedikit, karena
peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak saja berorientasi pada
pengembangan kualitas tekhnis, tetapi juga kualitas mental, spiritual, ataupun
kualitas-kualitas lainnya.

Dilema Peningkatan Kualitas Sumber Daya Alam


Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa kita sedang
mengkondisikan terjadinya kiamat ekologi, bila laju kerusakan
hutan/deforestasi, daerah aliran sungai, maupun degradasi garis pantai tak
dapat dihentikan percepatannya. Pada tahun 2008, Indonesia tercatat dalam
buku ‘Guiness Book of Record’ sebagai negara dengan tingkat kerusakan hutan
tercepat di dunia. Kerusakan hutan Indonesia pada tahun 2000-2005, menurut
pendataan itu, mencapai 1,8 juta Ha/tahun, atau setara dengan 2% dari total luas
hutan Indonesia. Departemen kehutanan sendiri mencatat sebanyak 1,1 juta
Ha/tahun tingkat kerusakan hutan Indonesia pada periode yang sama dari total
luas hutan Indonesia yang mencapai 180 juta Ha.

Di Provinsi Maluku, sampai dengan tahun 2011 kerusakan hutan


mencapai 2,7 juta hektar dari total hutan seluas 4,3 juta hektar (59% dari total
hutan). Kerusakan ini terilis sejak tahun 2007 dengan kecepatan kerusakan
sebanyak dua persen setiap tahun.
3

Terlepas dari silang sengketa tentang kesahihan data yang dipakai


sebagai dasar penganugerahan record ini, tentunya kita sepakat bahwa
Indonesia berada diambang kiamat ekologi jika kita tak segera berbenah untuk
menekan laju kerusakannya.
Adapun penyumbang terbesar dari laju deforestasi hutan di Indonesia
adalah industri kayu, terutama yang menyalahgunakan ijin HPH. Penyumbang
terbesar kedua menurut catatan green peace terkait dengan perilaku konversi
hutan menjadi perkebunan, semisal perkebunan kelapa sawit dan lainnya.
Selain hutan, Indonesia mengalami juga kerusakan garis pantai yang
cukup parah. Negara dengan garis pantai kedua terpanjang di dunia (setelah
Canada) ini mengalami kerusakan sebesar 20% dari 95.000 km total garis pantai
akibat abrasi dan perubahan lingkungan, sebagaimana diungkapkan dalam
laporan Dirjen Sumber Daya Air Kementrian Pekerjaan Umum (PU), tahun 2010
Keprihatinan lainnya terkait kondisi kerusakan daerah aliran sungai
(DAS) di Indonesia. Data-data yang tergambar dalam buku ”Status Lingkungan
Hidup di Indonesia, 2009” memperlihatkan bahwa sebagian besar dari 5.590
sungai utama di Indonesia mengalami kerusakan kualitas air maupun biofisik.
Hal ini disebabkan oleh erosi lahan kritis serta pencemaran limbah (rumah
tangga, industri, pertanian, pertambangan dan lainnya). Data yang dilansir Asian
Development Bank (2008) menyebutkan bahwa Indonesia mengalami kerugian
Rp 45 triliun/tahun akibat dampak pencemaran air. Angka ini mencakup biaya
kesehatan, biaya penyediaan air bersih, hilangnya waktu produktif, citra buruk
pariwisata, dan tingginya angka kematian bayi.
Masih cukup banyak data yang bisa kita akses dari berbagai sumber,
untuk mengetahui indeks kualitas lingkungan hidup di Indonesia dari berbagai
aspek, serta perkembangannya dari tahun ke tahun. Catatan-catatan di atas
dikedepankan untuk sekedar merangsang kita dalam menyambut kiamat
ekologis, sambil mempertanyakan peran kita sebagai gereja dalam masa
penantian ini.

DIMANA KITA BERADA?


Bila dicermati pergulatan GPM menyangkut upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia, dapatlah dikatakan bahwa dinamika bergereja telah
menempatkan arah pengembangan kualitas sumber daya manusia pada skala
prioritas yang tinggi. Hal ini nampak dari kecerdasan GPM untuk
mengintegrasikan upaya peningkatan kualitas manusia maupun lingkungan
hidup melalui penguatan tiga pilar bergereja, masing-masing; Pilar Institusi, Pilar
Pelayan, dan Pilar Umat. Sinergitas penguatan tiga pilar ini memperbesar daya
dukung bagi terjadinya perubahan yang diskenariokan menuju capaian Visi dan
Misi bergereja.
Khususnya terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia, GPM
secara institusional telah membuka ruang semakin besar untuk peningkatan
kualitas para pelayannya melalui jalur pendidikan formal lanjutan, maupun
melibatkan mereka dalam berbagai program pelatihan yang berorientasi pada
isu-isu sosial kemasyarakatan dan lingkungan.
Dalam tataran yang lebih tekhnis, komitmen GPM untuk peningkatan
kualitas sumber daya manusia tercermin dari terus meningkatnya alokasi
anggaran yang bersinggungan langsung maupun tidak dengan pembangunan
kualitas manusia. Tentu saja perkembangan ini tidaklah dengan serta merta
4

menegasi tantangan besar GPM dalam pengembangan lembaga-lembaga


pendidikan formal yang dimiliki gereja selama ini.
Perbaikan sistem pendidikan milik gereja adalah pergumulan GPM yang
cukup berat, namun harus dikerjakan mengingat lembaga-lembaga pendidikan
GPM adalah bukti sejarah kiprah gereja dalam pengembangan sumber daya
manusia di Maluku. Dalam situasi ini, pengembangan sistem pendidikan vokasi
adalah alternatif lain yang harus diterobosi. Upaya itu telah diadministrasi dalam
perencanaan GPM melalui konsep ’sekolah lapang’, dan kini ditunggu
implementasinya.
Menyangkut persoalan kerusakan ekologi dan lingkungan hidup, sudah
sejak lama gereja-gereja di Indonesia dalam lingkup persekutuan PGI menaruh
perhatian serius. Setidaknya ini tercermin dalam pemaknaan tentang tugas dan
panggilan gereja untuk ”beritakan Injil kepada segala mahluk (cf. Mrk 16:15).
Warisan pemahaman itu, sejak Sidang aya VII DGI di Pematangsiantar tahun
1971, selalu menjadi rumusan PTPB (Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama),
yakni ”dokumen misiologis gereja-gereja”, sampai sekarang.
Rumusan itu mau menegaskan bahwa ”Memberitakan Injil kepada
seluruh mahluk mengandung makna tanggungjawab keutuhan seluruh ciptaan
Tuhan yang ’sungguh amat baik (bdk. Kej 2:31; PTPB 2014-2019 #43). Prinsip
dasar ini lalu diurai dalam serangkaian tugas panggilan dan tanggung-jawab
gereja-gereja di Indonesia dalam pelestarian lingkungan dan pengelolaan
sumber daya alam, sebagai berikut:
Pertama, “gereja tidak dapat tinggal diam menyaksikan proses
eksploitasi dan perusakan sumber daya alam yang dewasa ini sudah mencapai
tahap sangat mengkhawatirkan, dan dapat mengakibatkan ‘kiamat ekologis’ bagi
segala makhluk” (#90).
Kedua, gereja-gereja “melihat bahwa sumber daya alam, termasuk
sumber daya kelautan yang sangat penting bagi Indonesia sebagai negara
maritim, seharusnya dimanfaatkan bagi kesejahteraan seluruh umat manusia,
dengan mempertimbangkan sungguh-sungguh setiap upaya untuk melestarikan
dan memelihara lingkungan hidup. Kesadaran ekologis ini seharusnya mewarnai
seluruh kehidupan kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa” (#91).
Karena itu, ketiga, “Gereja-gereja di Indonesia harus menaruh perhatian
dan berusaha menyadarkan warga gereja sejak dini tentang pentingnya
memelihara kelestarian alam, mengembangkan pola hidup yang ramah
lingkungan, dan menopang usaha-usaha advokasi ekologi bersama kelompok
agama dan kepercayaan lain serta semua pihak yang berkehendak baik” (#92).
Bagi GPM, ancaman kerusakan ekologi menjadi persoalan serius dalam
satu decade belakangan ini. GPM tidak saja merumuskan pandangan-pandangan
teologisnya menyangkut tanggung-jawab pelayanan lingkungan. Lebih dari itu,
GPM telah melangkah lebih jauh dalam proses-proses advokasi yang kongkrit
dan terukur.
Tanggungjawab pembelaaan dan pemeliharaan lingkungan
diadministrasi sebagai salah satu isu strategis yang harus dikelola selama waktu
sepuluh tahun perencanaan strategis GPM. Keseriusan ini nampak pada berbagai
pengelolaan pelatihan advokasi lingkungan yang dilakukan GPM dengan
melibatkan beragam pemangku kebijakan lainnya. Manual panduan advokasi
lingkungan yang diterbitkan GPM adalah satu-satunya manual advokasi
5

lingkungan yang dikerjakan secara serius dikalangan gereja-gereja anggota PGI


lainnya.
Seluruh upaya ini didasarkan pada pengakuan GPM untuk memaknai
lingkungan hidup sebagai rumah bersama, wilayah yang menjadi ‘sakramentum
Allah’, tempat Allah dimuliakan. Dalam penjelasan misi ke-tiga di PIP-RIPP GPM
2016-2025 dengan jelas disebutkan bahwa, “Metafora “rumah bersama”
mengisyaratkan GPM untuk hidup bersama dengan gereja-gereja saudara,
maupun dengan umat yang beragama dan berkepercayaan lain. Termasuk juga
dengan alam di sekitarnya dalam suatu sistem relasi yang saling bergantung dan
secara sinergis membangun keterhubungan untuk menciptakan tatanan dunia
baru yang memuliakan Allah”.

PENUTUP
Terhadap semua upaya yang dikembangkan selama ini, patutlah kita
memberikan apresiasi. Sekalipun demikian perlu disadari bahwa akselerasi
ancaman terhadap degradasi manusia dan lingkungan jauh lebih cepat dari
kapasitas kita untuk mengantisipasi dan menanggulanginya. Dalam situasi ini
gereja tak boleh lelah dan lengah, karena jika demikian maka gereja menjadi
semakin tidak relevan dalam perannya sebagai pembawa kabar baik bagi orang-
orang lemah (Lukas 4;18-19).
Jika gereja tidak mengembangkan keterlibatan konkrit dalam proses
advokasi demi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lingkungan maka
gereja gagal untuk mengimani panggilan bergerejanya. Kita bisa katakan bahwa
hidup kita diubah oleh injil, namun kita tak menghasilkan tindakan apapun.
Memahami tindakan advokasi yang dilakukan Yesus dalam
pelayanannya lalu menjadi hal menantang untuk diteladani. Bagaimana pola
kepemimpinan yang melayani, penggunaan kekuatan tanpa kekerasan,
pendampingan dan penguatan orang lain untuk berjalan bersama, keberanian
untuk berbicara tentang kebenaran serta menantang ketidak-adilan, mengkritisi
hukum sebagai warga negara, dan dimotivasi oleh cinta, merupakan prinsip-
prinsip menarik untuk diimplementasi dalam tantangan peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan lingkungan tempatnya hidup dan berkembang.

Haruku-Samet, 20 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai