Tema :
Allah Kehidupan, Tuntunlah Kami Untuk Membela dan Merawat Kehidupan
(Kejadian 2:7. 15-17)
Sub Tema :
Bersama-sama Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Alam Semesta
Sebagai Panggilan Iman Menghadapi Tantangan Zaman Dalam Kehidupan
Bergereja, Masyarakat, Berbangsa dan Bernegara
PENGANTAR
Kita memasuki tahun ke-5 masa pelayanan MPH Sinode GPM setelah
Sidang Sinode GPM Ke-37 di Kota Ambon (2015). Tema Sidang Sinode tersebut
adalah “Allah Kehidupan, Tuntunlah Kami Untuk Membela dan Merawat
Kehidupan (Kej 2:7, 15-17)”. Tema ini dipilih berdasarkan refleksi panjang dan
dalam terhadap tantangan serta panggilan kita sebagai gereja di Maluku, di
Indonesia, bahkan dalam interaksi global di dunia Oikumene.
Dengan sengaja kita memilih dua kata kunci, ‘Membela’ dan ‘Merawat’
guna mengafirmasi level konkrit tindakan intervensi GPM untuk mengadvokasi
kehidupan. Hal ini sejalan dengan arahan Visi GPM dalam PIP-RIPP GPM 2016-
2025 yang menegaskan bahwa GPM terpanggil untuk menerjemahkan panggilan
profetiknya kedalam aksi-aksi profetik yang berorientasi pada pembelaan
kehidupan dari ancaman kehancuran, sekaligus pemeliharaannya. Dalam terang
tuntunan Allah, tindakan advokasi dimaksud diterjemahkan melalui
pengembangan strategi pelayanan GPM yang dinafasi secara teologis, spiritual,
dan pastoral sampai tahun 2020 mendatang.
Perumusan sub-tema persidangan MPL Ke-41 memberikan aksentuasi
pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan alam semesta. Hal ini
mempertegas pandangan GPM yang menilai kondisi degradasi kemanusiaan dan
alam sebagai tantangan laten pelayanan GPM yang harus disikapi. Rumusan Sub
Tema ini sekaligus menggarisbawahi bahwa advokasi kemanusiaan dan
lingkungan adalah tindakan profetis GPM yang tak pernah berkesudahan.
Februari 2019 menempati peringkat ketiga secara nasional yaitu sebesar 6,91.
Pada sumber data yang sama kita temukan bahwa di Maluku Utara tingkat
pengangguran juga meningkat. Kondisi ini memperhadapkan kita pada situasi
dilematis, tingginya masyarakat usia kerja yang menganggur dan meningkatkan
beban sosial.
Tentunya masih banyak data dan fakta yang bisa kita kedepankan, bisa
kita debatkan, atau juga kita bantah. Meskipun begitu, tak dapat dinegasi bahwa
sebagai bagian utuh dari realitas ke-Maluku-an, GPM diperhadapkan pada
tantangan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang tidak ringan.
Tantangan ini menjadi semakin berat jika kita menelisik lebih jauh pada
perubahan-perubahan gradual yang terjadi di level nasional maupun global.
Perubahan secara besar-besaran pada era global memperhadapkan kita pada
situasi-situasi dilematis yang pelik. Di satu sisi kita berupaya melakukan
industrialisasi dengan mengaplikasikan berbagai tekhnologi mutakhir, namun di
sisi lainnya kita diperhadapkan pada konsekwensi penggunaan mesin-mesin
canggih yang semakin mengurangi kesempatan kerja manusia.
Berkembangnya tekhnologi intelegensia buatan yang semakin canggih,
merebaknya industry 4.0, robotic, crypto currency, dan sebagainya, akan
mengubah banyak hal seperti jenis pekerjaan dan tenaga kerja yang dibutuhkan.
Perkembangan tekhnologi dengan masif menggantikan peran manusia pada
berbagai bidang kerja yang secara konvensional biasanya ditangani langsung.
Bermunculan beragam lapangan kerja baru yang menuntut spesialisasi tekhnis
yang sangat spesifik. Orang semakin dikotak-kotakan oleh perangkat tekhnis
yang membelenggunya. Hal ini berakibat langsung pada menguatnya hubungan-
hubungan yang bersifat impersonal serta membesarnya potensi dehumanisasi
Selintas tantangan lokal maupun global yang dikemukakan di atas,
menegaskan bahwa diskursus tentang manusia menjadi sangat urgen dalam
konteks GPM saat ini, maupun ke depan. Melakukannya tidak mudah.
Dibutuhkan strategi akurat dan investasi pembiayaan yang tidak sedikit, karena
peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak saja berorientasi pada
pengembangan kualitas tekhnis, tetapi juga kualitas mental, spiritual, ataupun
kualitas-kualitas lainnya.
PENUTUP
Terhadap semua upaya yang dikembangkan selama ini, patutlah kita
memberikan apresiasi. Sekalipun demikian perlu disadari bahwa akselerasi
ancaman terhadap degradasi manusia dan lingkungan jauh lebih cepat dari
kapasitas kita untuk mengantisipasi dan menanggulanginya. Dalam situasi ini
gereja tak boleh lelah dan lengah, karena jika demikian maka gereja menjadi
semakin tidak relevan dalam perannya sebagai pembawa kabar baik bagi orang-
orang lemah (Lukas 4;18-19).
Jika gereja tidak mengembangkan keterlibatan konkrit dalam proses
advokasi demi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lingkungan maka
gereja gagal untuk mengimani panggilan bergerejanya. Kita bisa katakan bahwa
hidup kita diubah oleh injil, namun kita tak menghasilkan tindakan apapun.
Memahami tindakan advokasi yang dilakukan Yesus dalam
pelayanannya lalu menjadi hal menantang untuk diteladani. Bagaimana pola
kepemimpinan yang melayani, penggunaan kekuatan tanpa kekerasan,
pendampingan dan penguatan orang lain untuk berjalan bersama, keberanian
untuk berbicara tentang kebenaran serta menantang ketidak-adilan, mengkritisi
hukum sebagai warga negara, dan dimotivasi oleh cinta, merupakan prinsip-
prinsip menarik untuk diimplementasi dalam tantangan peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan lingkungan tempatnya hidup dan berkembang.