Anda di halaman 1dari 13

HYPOGLOSUS

PENDAHULUAN

Saraf otak (nervus cranialis) adalah saraf perifer yang berpangkal pada batang otak dan otak.
Fungsinya sebagai sensorik, motorik dan khusus. Fungsi khusus adalah fungsi yang bersifat
panca indera, seperti penghidu, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan.

Saraf otak terdiri atas 12 pasang, saraf otak pertama langsung berhubungan dengan otak tanpa
melalui batang otak, saraf otak kedua sampai keduabelas semuanya berasal dari batang otak.
Saraf otak kedua dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf otak keempat, lima, enam dan
tujuh berinduk di pons, dan saraf otak kedelapan sampai keduabelas berasal dari medulla
oblongata. (1)

ANATOMI

Nervus hipoglosus berinti di nukleus hipoglosus yang terletak di samping bagian dorsal fasikulus
longitudinalis medialis pada tingkat kaudal medulla oblongata. Radiksnya melintasi substansia
retikularis di samping fasikulus longitudinalis medialis, lemniskus medialis dan bagian medial
piramis. Ia muncul pada permukaan ventral dan melalui kanalis hipoglosus ia keluar dari
tengkorak. Di leher ia turun ke bawah melalui tulang hioid. Dari situ ia membelok ke medial dan
menuju ke lidah. Dalam perjalanan ke situ ia melewati arteria karotis interna dan eksterna, dan
terletak dibawah otot digastrikus dan stilohiodeus. Otot-otot lidah yang menggerakkan lidah
terdiri dari muskulus stiloglosus, hipoglosus, genioglosus, longitudinalis inferior dan
longitudinalis superior. Mereka semua dipersarafi nervus hipoglosus. Kontraksi otot stiloglosus
mengerakkan lidah keatas dan ke belakang. Jika otot genioglosus berkontraksi, lidah keluar dan
menuju ke bawah. Kedua otot longitudinal memendekkan dan mengangkat lidah bagian garis
tengah. Dan otot hipoglosus menarik lidah ke belakang dan ke bawah. (1)

DEFINISI

Nervus hipoglosus (N. XII) adalah saraf motorik ekstrinsik dan intrinsik lidah. (2)

Parese nervus hipoglosus adalah gangguan fungsi motorik akibat adanya lesi jaringan saraf pada
nervus hipoglosus. (1,3)

ETIOLOGI

Parese nervus hipoglosus dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

1. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring.


2. Meningitis basalis tuberkulosa atau luetika.
3. Fraktur basis kranii (atau traksi pada nervus hipoglosus pada trauma kapitis).
4. Siringobulbi.
5. Infeksi retrofaringeal. (1,2,4)

MANIFESTASI KLINIS

Lesi pada satu nervus hipoglosus akan akan memperlihatkan di sisi pipi lateral:

1. Separuh lidah yang menjadi atrofis, dengan mukosa yang menjadi longgar dab
berkeriput. Mungkin pula akan tampak fibrilasi pada otot-otot lidah yang atrofis.
2. Bila lidah itu dijulurkan keluar akan tampak bahwa ujung lidah itu memperlihatkan
deviasi ke sisi yang sakit. Deviasi ujung lidah ke sisi yang sakit timbul karena kontraksi
M. genioglussus di sisi kontralateral (bila M. genioglossus kanan dan kiri berkontraksi
dan kedua otot itu sama kuatnya, maka lidah itu akan dijulurkan lurus ke depan, Bila satu
otot adalah lebih lemah dari yang lainnya, maka akan timbul deviasi dari ujung lidah ke
sisi otot yang lumpuh).
3. Di dalam mulut sendiri akan tampak bahwa ujung lidah itu mencong ke sisi yang sehat.
Keadaan ini timbul karena tonus otot-otot lidah di sisi yang sehat adalah melebihi tonus
otot-otot lidah di sisi yang sakit.
4. Motilitas lidah akan terganggu sehingga di sisi yang sakit misalnya akan tampak ada sisa-
sisa makanan di antara pipi dan gigi-geligi.
5. Karena lidah berperanan dalam mekanisme menelan dan artikulasi, maka gejala-gejala
kelumpuhan paralysis nervus hipoglosus berupa sukar menelan dan bicara pelo. (1,4,5,6)

Nervus hipoglosus mungkin mengalami lesi sendiri-sendiri terlepas daripada yang lainnya, tetapi
dapat pula mengalami gangguan bersama, misalnya parese nervus hipoglosus, parese nervus
asesorius, parese nervus vagus, dan parese nervus glosofaringeus. (4,6)

Dalam hal yang terakhir ini akan timbul bermacam-macam sindrom, yaitu:

1. Sindrom bulbar

Pada sindrom bulbar akan tampak paralisis nervus hipoglosus, nervus asesorius, nervus vagus,
dan nervus glosofaringeus.

Hal ini dapat ditimbulkan oleh: (1) infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring, (2) meningitis
tuberculosa atau luetika, (3) fraktur basis kranii (atau traksi saraf-saraf tersebut pada trauma
kapitis).

1. Sindrom foramen jugulare

Pada sindrom foramen jugularis tampak paralysis dari nervus glosofaringeus, nervus vagus dan
nervus asesorius (nervus hipoglosus dalam keadaan baik)
Sindrom ini dapat ditimbulkan oleh: (1) infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring, (2)
fraktur basis kranii (atau traksi saraf-saraf tersebut pada trauma kapitis), (3) meningitis
tuberculosa atau luetika, (4) periflebitis/trombosis dari vena jugularis.

1. Sindrom spasium parafaringeum

Pada sindrom ini tampak kelumpuhan dari nervus glosofaringeus, nervus vagus dan nervus
hipoglosus. Di samping itu akan tampak sindrom Horner’s di sisi yang sakit.

Sindrom spasmium parafaringeal dapat timbul pada: (1) abses retrofaringeal, (2) abses
peritonsiler. (4,5,6)

DIAGNOSIS

Diagnosis parese nervus hipoglosus ditegakkan dengan anamnesis serta gejala kinis yang ada,
anamnesis mengenai ada tidaknya riwayat trauma kapitis (sebagaimana telah dijelaskan diatas
bahwa trauma kapitis dapat menyebabkan traksi pada nervus hipoglosus sehingga terjadi parese
pada nervus hipoglosus) atau fraktur basis kranii.

Ananmesis yang lain yang tentunya akan mengarahkan kita kepada riwayat-riwayat penyakit
ataupun tumor yang secara lansung ataupun tidak langsung akan menyebabkan parese nervus
hipoglosus.

Untuk mengetahui gejala-gejala atau manifestasi yang ditimbulkan oleh parese nervus
hipoglosus, dapat dilakukan pemeriksaan nervus hipoglosus dengan cara:

 Menyusuh pasien menjulurkan lidah lurus-lurus, kemudian menarik dan menjulurkan lagi
dengan cepat.
 Lidah kemudian disuruh bergerak ke kiri dan ke kanan dengan cepat kemudian
menekankan pada pipi kiri dan kanan sementara pemeriksa melakukan palpasi pada
kedua pipi untuk mengetahui/merasakan kekuatan lidah.
 Pada lesi bilateral ® gerakan lidah kurang lincah
 Pada lesi unilateral ® lidah akan membelok ke sisi lesi saat dijulur-kan dan akan
membelok ke sisi yang sehat saat diam di dalam mulut.
 Lesi N. hipoglosus tipe LMN aksonal ® atropi.
 Lesi N. hipoglosus tipe LMN nuklear ® atropi dan fasikulasi.
 Paralisis N. hipoglosus ® sukar menelan dan bicara pelo. (1,2,4,5,6)

DAFTAR RUJUKAN

1. Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar.


Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: 114 – 82.
2. Judana A, Santoso D, Kusumoputro S. Saraf – saraf Otak. Dalam: Pedoman Praktis
Pemeriksaan Neurologi. Penerbit Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 1978: 10 – 21.
3. Dorland: Kamus Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Edisi 26, cetakan II,
Jakarta 1996
4. Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Nervi Kranialis. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit
Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 103 – 130.
5. Http://www.yahoo.net/seach/cache?/neuro24.de/hirnnerven_hypoglossus.htm
6. Http://www.yahoo.net/search/cache?/angelfire.com/nc/neurosurgery/Topik.html.
GANGGUAN PADA NERVUS CRANIALIS.
Posted on 25 December 2008 by mangsholeh

KELAINAN YANG DAPAT MENIMBULKAN GANGGUAN PADA NERVUS CRANIALIS.


1)Saraf Olfaktorius. (N.I)
Kelainan pada nervus olfaktovius dapat menyebabkan suatu keadaan berapa gangguan
penciuman sering dan disebut anosmia, dan dapat bersifat unilatral maupun bilateral. Pada
anosmia unilateral sering pasien tidak mengetahui adanya gangguan penciuman.
Proses penciuman dimulai dari sel-sel olfakrorius di hidung yang serabutnya menembus bagian
kribiformis tulang ethmoid di dasar di dasar tengkorak dn mencapai pusat penciuman lesi atau
kerusakan sepanjang perjalanan impuls penciuman akan mengakibatkan anosmia.
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan penciuman berupa:
Agenesis traktus olfaktorius
Penyakit mukosa olfaktorius bro rhinitis dan tumor nasal
Sembuhnya rhinitis berarti juga pulihnya penciuman, tetapi pada rhinitis kronik, dimana mukosa
ruang hidung menjadi atrofik penciuman dapat hilang untuk seterusnya.
Destruksi filum olfaktorius karena fraktur lamina feribrosa.
Destruksi bulbus olfaktorius dan traktus akibat kontusi “countre coup”, biasanya disebabkan
karena jatuh pada belakang kepala. Anosmia unilateral atau bilalteral mungkin merupakan satu-
satunya bukti neurologis dari trauma vegio orbital.
Sinusitas etmoidalis, osteitis tulang etmoid, dan peradangan selaput otak didekatnya.
Tumor garis tengah dari fosa kranialis anterior, terutama meningioma sulkus olfaktorius (fossa
etmoidalis), yang dapat menghasilkan trias berupa anosmia, sindr foster kennedy, dan gangguan
kepribadian jenis lobus orbitalis. Adenoma hipofise yang meluas ke rostral juga dapat merusak
penciuman.
Penyakit yang mencakup lobus temporalis anterior dan basisnya (tumor intrinsik atau ekstrinsik).
Pasien mungkin tidak menyadari bahwa indera penciuman hilang sebaliknya, dia mungkin
mengeluh tentang rasa pengecapan yang hilang, karena kemampuannya untuk merasakan aroma,
suatu sarana yang penting untuk pengecapan menjadi hilang.

2)Saraf Optikus (N.II)


Kelainan pada nervus optikus dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan
dapat dibagi menjadi gangguan visus dan gangguan lapangan pandang. Kerusakan atau
terputusnya jaras penglitan dapat mengakibatkan gangguan penglihatan kelainan dapat terjadi
langsung pada nevrus optikus itu sendiri atau sepanjang jaras penglihatan yaitu kiasma optikum,
traktus optikus, radiatio optika, kortek penglihatan. Bila terjadi kelainan berat makan dapat
berakhir dengan kebutaan.
Orang yang buta kedua sisi tidak mempunyai lapang pandang, istilah untuk buta ialah anopia
atau anopsia. Apabila lapang pandang kedua mata hilang sesisi, maka buta semacam itu
dinamakan hemiopropia.
Berbagai macam perubahan pada bentuk lapang pandang mencerminkan lesi pada susunan saraf
optikus. Perubahan tersebut seperti tertera pada gambar 1.
Kelainan atau lesi pada nervus optikus dapat disebabkan oleh:
1.Trauma Kepala
2.Tumor serebri (kraniofaringioma, tumor hipfise, meningioma, astrositoma)
3.Kelainan pembuluh darah
Misalnya pada trombosis arteria katotis maka pangkal artera oftalmika dapat ikut tersumbat jug.
Gambaran kliniknya berupa buta ipsilateral.
4.Infeksi.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat dilihat hal-hal sebagai berikut:
a.Papiledema (khususnya stadium dini)
Papiledema ialah sembab pupil yang bersifat non-infeksi dan terkait pada tekanan intrakkranial
yang meninggi, dapat disebabkan oleh lesi desak ruang, antara lain hidrocefalus, hipertensi
intakranial benigna, hipertensi stadium IV. Trombosis vena sentralis retina.
b.Atrofi optik
Dapat disebabkan oleh papiledema kronik atau papilus, glaukoma, iskemia, famitral, misal:
retinitis pigmentosa, penyakit leber, ataksia friedrich.
c.Neuritis optik.

3)Saraf Okulomotorius (N.III)


Kelainan berupa paralisis nervus okulomatorius menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke
medial, ke atas dan lateral, kebawah dan keluar. Juga mengakibatkan gangguan fungsi
parasimpatis untuk kontriksi pupil dan akomodasi, sehingga reaksi pupil akan berubah. N. III
juga menpersarafi otot kelopak mata untuk membuka mata, sehingga kalau lumpuh, kelopak
mata akan jatuh ( ptosis)
Kelumpuhan okulomotorius lengkap memberikan sindrom di bawah ini:
1.Ptosis, disebabkan oleh paralisis otot levator palpebra dan tidak adanya perlawanan dari kerja
otot orbikularis okuli yang dipersarafi oleh saraf fasialis.
2.Fiksasi posisi mata, dengan pupil ke arah bawah dan lateral, karena tak adanya perlawanan dari
kerja otot rektus lateral dan oblikus superior.
3.Pupil yang melebar, tak bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi.
Jika seluruh otot mengalami paralisis secara akut, kerusakan biasanya terjadi di perifer, paralisis
otot tunggal menandakan bahwa kerusakan melibatkan nukleus okulomotorius.
Penyebab kerusakan diperifer meliputi; a). Lesi kompresif seperti tumor serebri, meningitis
basalis, karsinoma nasofaring dan lesi orbital. b). Infark seperti pada arteritis dan diabetes.

4)Saraf Troklearis (N. IV)


Kelainan berupa paralisis nervus troklearis menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak kebawah
dan kemedial.
Ketika pasien melihat lurus kedepan atas, sumbu dari mata yang sakit lebih tinggi daripada mata
yang lain. Jika pasien melihat kebawah dan ke medial, mata berotasi dipopia terjadi pada setiap
arah tatapan kecuali paralisis yang terbatas pada saraf troklearis jarang terjadi dan sering
disebabkan oleh trauma, biasanya karena jatuh pada dahi atu verteks.

5)Saraf Abdusens (N. VI)


Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke lateral,
ketika pasien melihat lurus ke atas, mata yang sakit teradduksi dan tidak dapat digerakkan ke
lateral, ketika pasien melihat ke arah nasal, mata yang paralisis bergerak ke medial dan ke atas
karena predominannya otot oblikus inferior.
Jika ketiga saraf motorik dari satu mata semuanya terganggu, mata tampak melihat lurus keatas
dan tidak dapat digerakkan kesegala arah dan pupil melebar serta tidak bereaksi terhadap cahaya
(oftalmoplegia totalis). Paralisis bilateral dari otot-otot mata biasanya akibat kerusakan nuklear.
Penyebab paling sering dari paralisis nukleus adalah ensefelaitis, neurosifilis, mutiple sklerosis,
perdarahan dan tumor.
Penyebab yang paling sering dari kelumpuhan otot-otot mata perifer adalah meningitis,
sinusistis, trombosis sinus kavernosus, anevrisma arteri karotis interva atau arteri komunikantes
posterior, fraktur basis kranialis.

6)Saraf Trigeminus (N. V)


Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nerus trigeminus antara lain : Tumor pada
bagian fosa posterior dapat menyebabkan kehilangan reflek kornea, dan rasa baal pada wajah
sebagai tanda-tanda dini.
Gangguan nervus trigeminus yang paling nyata adalah neuralgia trigeminal atau tic douloureux
yang menyebabkan nyeri singkat dan hebat sepanjang percabangan saraf maksilaris dan
mandibularis dari nervus trigeminus. Janeta (1981) menemukan bahwa penyebab tersering dari
neurolgia trigeminal dicetuskan oleh pembuluh darah. Paling sering oleh arteri serebelaris
superior yang melingkari radiks saraf paling proksimal yang masih tak bermielin.
Kelainan berapa lesi ensefalitis akut di pons dapat menimbulkan gangguan berupa trismus, yaitu
spasme tonik dari otot-otot pengunyah. Karena tegangan abnormal yang kuat pada otot ini
mungkin pasien tidak bisa membuka mulutnya.

7)Saraf Fasialis (N. VII)


Kelainan yang dapat menyebabkan paralis nervus fasialis antara lain:
Lesi UMN (supranuklear) : tumor dan lesi vaskuler.
Lesi LMN :
Penyebab pada pons, meliputi tumor, lesi vaskuler dan siringobulbia.
Pada fosa posterior, meliputi neuroma akustik, meningioma, dan meningitis kronik.
Pada pars petrosa os temporalis dapat terjadi Bell’s palsy, fraktur, sindroma Rumsay Hunt, dan
otitis media.
Penyebab kelumpuhan fasialis bilateral antara lain Sindrom Guillain Barre, mononeuritis
multipleks, dan keganasan parotis bilateral.
Penyebab hilangnya rasa kecap unilateral tanpa kelainan lain dapat terjadi pada lesi telinga
tengah yang meliputi Korda timpani atau nervus lingualis, tetapi ini sangat jarang.

Gangguan nervus fasialis dapat mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, kelopak mata tidak
bisa ditutup, gangguan air mata dan ludah, gangguan rasa pengecap di bagian belakang lidah
serta gangguan pendengaran (hiperakusis). Kelumpuhan fungsi motorik nervus fasialis
mengakibatkan otot-otot wajah satu sisi tidak berfungsi, ditandai dengan hilangnya lipatan
hidung bibir, sudut mulut turun, bibir tertarik kesisi yang sehat. Pasien akan mengalami kesulitan
mengunyah dan menelan. Air ludah akan keluar dari sudut mulut yang turun. Kelopak mata tidak
bisa menutup pada sisi yang sakit, terdapat kumpulan air mata di kelopak mata bawah (epifora).
Refleks kornea pada sisi sakit tidak ada.

8)Saraf Vestibulokoklearis
Kelainan pada nervus vestibulokoklearis dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan
keseimbangan (vertigo).
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nervus VIII antara lain:
Gangguan pendengaran, berupa :
Tuli saraf dapat disebabkan oleh tumor, misal neuroma akustik. Degenerasi misal presbiaksis.
Trauma, misal fraktur pars petrosa os temporalis, toksisitas misal aspirin, streptomisin atau
alkohol, infeksi misal, sindv rubella kongenital dan sifilis kongenital.
Tuli konduktif dapat disebabkan oleh serumen, otitis media, otoskleroris dan penyakit Paget.
Gangguan Keseimbangan dengan penyebab kelainan vestibuler
Pada labirin meliputi penyakit meniere, labirinitis akut, mabuk kendaraan, intoksikasi
streptomisin.
Pada vestibuler meliputi semua penyebab tuli saraf ditambah neuronitis vestibularis.
Pada batang otak meliputi lesi vaskuler, tumor serebelum atau tumor ventrikel IV demielinisasi.
Pada lobus temporalis meliputi epilepsi dan iskemia.

9)Saraf Glosofaringeus (N. IX) dan Saraf Vagus (N. X)


Gangguan pada komponen sensorik dan motorik dari N. IX dan N. X dapat mengakibatkan
hilangnya refleks menelan yang berisiko terjadinya aspirasi paru.
Kehilangan refleks ini pada pasien akan menyebabkan pneumonia aspirasi, sepsis dan adult
respiratory distress syndome (ARDS) kondisi demikian bisa berakibat pada kematian. Gangguan
nervus IX dan N. X menyebabkan persarafan otot-otot menelan menjadi lemah dan lumpuh.
Cairan atau makanan tidak dapat ditelan ke esofagus melainkan bisa masuk ke trachea langsung
ke paru-paru.
Kelainan yang dapat menjadi penyebab antara lain :
Lesi batang otak (Lesi N IX dan N. X)
Syringobulbig (cairan berkumpul di medulla oblongata)
Pasca operasi trepansi serebelum
Pasca operasi di daerah kranioservikal

10)Saraf Asesorius (N. XI)


Gangguan N. XI mengakibatkan kelemahan otot bahu (otot trapezius) dan otot leher (otot
sterokleidomastoideus). Pasien akan menderita bahu yang turun sebelah serta kelemahan saat
leher berputar ke sisi kontralateral.
Kelainan pada nervus asesorius dapat berupa robekan serabut saraf, tumor dan iskemia akibatnya
persarafan ke otot trapezius dan otot stemokleidomastoideus terganggu.

11)Saraf Hipoglossus (N. XII)


Kerusakan nervus hipoglossus dapat disebabkan oleh kelainan di batang otak, kelainan pembuluh
darah, tumor dan syringobulbia. Kelainan tersebut dapat menyebabkan gangguan proses
pengolahan makanan dalam mulut, gangguan menelan dan gangguan proses pengolahan
makanan dalam mulut, gangguan menelan dan gangguan bicara (disatria) jalan nafas dapat
terganggu apabila lidah tertarik ke belakang.
Pada kerusakan N. XII pasien tidak dapat menjulurkan, menarik atau mengangkat lidahnya. Pada
lesi unilateral, lidah akan membelok kearah sisi yang sakit saat dijulurkan. Saat istirahat lidah
membelok ke sisi yang sehat di dalam mulut.
Pengertian Disfagia
Disfagia adalah sebuah istilah medis yang artinya sulit menelan. Bagi orang yang mengalami
kondisi ini, proses penyaluran makanan atau minuman dari mulut ke dalam lambung akan
membutuhkan usaha lebih besar dan waktu lebih lama.

Proses menelan secara umum dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:

 Fase oral. Tahapan ini terjadi pada saat makanan berada di dalam mulut. Tahapan ini
melibatkan proses mengunyah makanan, pemindahan makanan dari bagian depan ke bagian
belakang mulut, dan proses persiapan menyalurkan makanan ke faring dan kerongkongan
(esofagus). Setelah makanan siap ditelan, proses menelan akan masuk ke tahapan berikutnya.
 Fase faringeal. Tahapan ini melibatkan dua proses utama, yaitu pendorongan makanan dari
mulut ke esofagus, serta tahapan proteksi saluran pernafasan dari makanan. Tahapan ini
berlangsung dengan cepat selama beberapa detik.
 Fase esofageal. Tahapan ini terjadi ketika makanan sudah masuk ke dalam esofagus. Makanan
akan didorong dari bagian atas esofagus dengan gerakan seperti gelombang (peristaltik) yang
dimiliki saluran pencernaan dan gerakan ini diatur oleh saraf otonom, yaitu kelompok saraf yang
bekerja otomatis tanpa perintah. Gaya gravitasi juga turut membantu makanan untuk masuk ke
dalam lambung.

Disfagia dibagi menjadi dua jenis berdasarkan lokasinya, yaitu orofaringeal dan esofageal.
Pembagian jenis disfagia ini berdasarkan fase dalam proses menelan. Disfagia orofaringeal
terjadi di fase oral dan faringeal, sementara disfagia esofageal terjadi pada fase esofageal.

Gejala Disfagia

Gejala utama disfagia adalah kesulitan menelan makanan atau minuman. Selain kesulitan
menelan, ada juga beberapa gejala atau tanda-tanda lain yang dapat menyertai, di antaranya
adalah:

 Rasa nyeri saat menelan.


 Makanan terasa tersangkut di dalam tenggorokan atau dada.
 Tersedak atau batuk ketika makan dan minum.
 Mengeluarkan air liur terus-menerus.
 Penurunan berat badan.
 Makanan yang sudah ditelan keluar kembali.
 Rasa asam lambung yang naik ke tenggorokan
 Sering nyeri ulu hati.
 Suara menjadi serak.
 Penderita kerap memotong makanan menjadi kecil-kecil akibat sulit menelan atau bahkan
menghindari makanan tertentu.

Disfagia juga dapat terjadi pada anak-anak dengan gejala seperti:

 Makanan atau minuman sering keluar dari mulut.


 Sering memuntahkan kembali makanan saat sedang makan.
 Tidak mau memakan makanan tertentu.
 Sulit bernapas pada saat sedang makan.
 Kehilangan berat badan tanpa alasan.

Penyebab Disfagia

Disfagia orofaringeal umumnya disebabkan oleh kelainan otot dan saraf di daerah tenggorokan.
Beberapa penyebab disfagia orofaringeal, antara lain adalah:

 Penyakit Parkinson.
 Kerusakan saraf akibat radioterapi atau pembedahan.
 Sindrom pasca polio.
 Multiple sclerosis.
 Kanker pada esofagus, kepala, atau leher.

Disfagia esofageal umumnya disebabkan oleh perasaan adanya benda yang menyumbat di daerah
kerongkongan. Beberapa pemicu disfagia esofageal, antara lain adalah:
 Ketegangan otot pada bagian kerongkongan bawah.
 Penyempitan bagian kerongkongan bawah karena terbentuknya jaringan parut, misalnya setelah
radioterapi.
 Pembengkakan atau penyempitan esofagus akibat peradangan atau penyakit GERD.
 Adanya benda yang menyumbat pada kerongkongan atau tenggorokan.

Seseorang akan lebih mudah mengalami disfagia seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini
disebabkan oleh kelemahan otot yang terjadi secara alamiah serta meningkatnya risiko
mengalami penyakit-penyakit penyebab disfagia. Selain itu, penderita kelainan saraf juga lebih
mudah mengalami disfagia dibanding orang yang tidak menderita kelainan saraf.

Diagnosis Disfagia

Jangan abaikan jika Anda merasa kesulitan dalam menelan dan segera ke dokter untuk
mendapatkan diagnosis yang tepat. Karena dengan diagnosis yang tepat, pengobatan akan efektif
dan juga akan menurunkan risiko terjadi komplikasi, seperti kehilangan berat badan, malnutrisi,
dehidrasi, tersedak, atau bahkan pneumonia.

Sebagai langkah awal, dokter akan menanyakan gejala-gejala yang pasien rasakan, termasuk
tingkat keparahan dan seberapa sering gejala tersebut muncul, dokter juga akan mengecek indeks
massa tubuh (IMT/BMI) untuk melihat apakah pasien kekurangan nutrisi akibat kesulitan
menelan. Lalu dokter akan meminta pasien meminum air dalam takaran tertentu secepat
mungkin (water swallow test). Catatan waktu yang didapat serta jumlah air yang tertelan dapat
membantu dokter menilai kemampuan pasien dalam menelan.

Untuk mendapatkan diagnosis yang tepat, beberapa metode pemeriksaan lanjutan berikut ini
dapat dilakukan:

 Endoskopi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan bantuan selang khusus yang fleksibel serta
dilengkapi kamera dan lampu. Gambar yang ditangkap oleh kamera nantinya akan bisa dilihat
oleh dokter melalui layar monitor. Endoskopi bisa dilakukan untuk memeriksa kondisi saluran
pernapasan atas, yaitu hidung sampai tenggorokan (nasoendoskopi), atau memeriksa kondisi
kerongkongan sampai lambung (gastroskopi).
 Fluoroskopi. Pemeriksaan ini menggunakan sinar-X dan dipandu oleh zat khusus sebagai kontras
yang disebut barium. Berbeda dengan foto Rontgen biasa, pengambilan gambar pada
fluoroskopi dilakukan berkelanjutan, sehingga dapat merekam gerakan-gerakan saat fase
menelan.
 Manometri. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat seberapa baik kerja esogafus dengan cara
mengukur besar tekanan otot pada organ tersebut ketika menelan. Pemeriksaan manometri
menggunakan kateter atau selang khusus berukuran kecil yang dilengkapi dengan sensor
tekanan. Manometri biasanya juga dilakukan bersamaan dengan pengukuran kadar asam
lambung di esofagus.
 Pencitraan. Pencitraan dilakukan untuk melihat kondisi mulut sampai dengan kerongkongan
secara lebih detail. Pencitraan dapat dilakukan dengan CT scan, MRI, atau PET scan.

Pengobatan Disfagia
Mengetahui penyebab disfagia secara mendasar sangat penting terhadap tingkat keberhasilan
pengobatan. Tujuan terpenting dari terapi disfagia adalah untuk menjaga asupan nutrisi pasien
dan mencegah makanan masuk ke saluran pernapasan. Selain mengatasi penyebabnya, beberapa
metode atau teknik tatalaksana yang dapat diterapkan kepada pasien untuk menjaga asupan
nutrisi yang cukup adalah:

 Modifikasi diet. Modifikasi diet dilakukan dengan cara mengatur tekstur dan kekentalan
makanan sesuai dengan kemampuan menelan pasien. Pasien disfagia yang menjalani
pengobatan ini umumnya adalah pasien yang mengalami kesulitan menelan di fase oral. Pasien
dapat diatur makanannya mulai dari makanan berbentuk cair encer seperti jus, kemudian
ditingkatkan kekentalannya jika kemampuan menelan sudah membaik, hingga kemudian dapat
kembali diberikan makanan yang berbentuk padat, seperti roti atau nasi.
 Terapi menelan. Terapi menelan pada penderita disfagia akan dibimbing oleh terapis khusus.
Terapis akan mengajarkan bagaimana proses menelan selama masa penyembuhan agar pasien
tetap dapat menelan makanan. Terapi ini dijalankan terutama bagi penderita yang kesulitan
menelan akibat permasalahan di mulut.
 Selang makan. Selang makan umumnya dilakukan untuk membantu pasien memenuhi
kebutuhan nutrisinya selama fase pemulihan mulut dan faring. Selain untuk membantu
memasukkan makanan ke saluran pencernaan, selang makan juga dapat digunakan untuk
memasukkan obat-obatan. Terdapat dua jenis selang makan, yaitu selang nasogastrik (NGT) dan
selang gastrostomi endoskopi perkutan (PEG). Selang NGT dipasang melalui hidung kemudian
menuju lambung. Sedangkan selang PEG dipasang langsung ke dalam lambung melalui kulit luar
perut.
 Obat-obatan. Pemberian obat-obatan bagi penderita disfagia umumnya tergantung dari
penyebab disfagia. Beberapa jenis obat-obatan yang dapat diberikan kepada penderita disfagia
antara lain:
o Obat untuk mengurangi asam lambung, seperti ranitidin dan omeprazole. Obat-obatan
ini biasanya digunakan pada penderita disfagia akibat penyakit reflux asam lambung
(GERD), serta untuk mengurangi keluhan sakit maag yang mungkin terjadi pada
penderita disfagia karena menyempitnya kerongkongan.
o Botulinum toxin yang disuntikan pada kerongkongan bagian bawah untuk melumpuhkan
otot kerongkongan yang kaku akibat akalasia. Namun kerja botulinum toxin hanya
bertahan sekitar 6 bulan.
o Obat darah tinggi golongan penghambat kalsium, seperti amlodipine dan nifedipine.
Obat-obatan ini dapat diberikan untuk melemaskan otot apabila terdapat ketegangan
pada otot kerongkongan bagian bawah.
 Operasi. Operasi yang dilakukan untuk mengatasi disfagia biasanya dilakukan pada kelainan di
esofagus. Operasi bertujuan untuk memperlebar esofagus yang menyempit sehingga makanan
bisa lewat dengan mudah. Terdapat dua metode operasi yang dapat dilakukan untuk
memperlebar esofagus, yaitu:
o Dilatasi. Metode operasi ini dilakukan dengan menggunakan panduan endoskopi, yaitu
selang berkamera untuk mendapatkan gambaran esofagus dengan jelas. Setelah itu,
bagian esofagus yang menyempit dilebarkan dengan balon atau alat businasi.
o Pemasangan stent. Stent merupakan tabung logam yang bisa dipasang di esofagus
untuk memperlebar saluran esofagus yang menyempit. Pemasangan stent lebih
disarankan pada penderita kanker esofagus yang tidak dapat diangkat dibandingkan
dengan dilatasi, karena jaringan kanker berisiko untuk robek bila dilebarkan dengan
teknik dilatasi. Stent akan dipasang dengan panduan foto Rontgen ataupun endoskopi.

Untuk membantu meringankan gejala yang timbul akibat disfagia, penderita dapat mengubah
kebiasaan makan dan hidup, seperti:

 Berhenti minum alkohol, merokok, dan minum kopi.


 Mengubah kebiasaan makan. Pola makan penderita disfagia diatur menjadi lebih sedikit
jumlahnya namun lebih sering. Potongan makanan juga dipecah-pecah menjadi lebih kecil dan
saat makan harus mengunyah lebih lama.
 Menghindari makanan yang menyebabkan gejala bertambah parah. Beberapa makanan yang
sifatnya kental dan melekat pada dinding kerongkongan dapat membuat proses menelan lebih
sulit. Contohnya selai, mentega atau karamel. Beberapa penderita disfagia juga mengalami
kesulitan menelan cairan, seperti jus.

Komplikasi Disfagia

Jika tidak ditangani dengan baik, disfagia dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan.
Penderita disfagia dapat mengalami malnutrisi, dehidrasi, dan penurunan berat badan karena
kekurangan asupan nutrisi dan cairan. Selain itu, penderita disfagia juga dapat mengalami
gangguan pernapasan seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas dan pneumonia. Gangguan
pernafasan akibat disfagia diakibatkan oleh makanan atau minuman yang masuk ke dalam
saluran pernafasan pada saat menelan.

Anda mungkin juga menyukai