Anda di halaman 1dari 5

Nama : Yoan Prima Tampubolon

NIM : 17.3222
Mata Kuliah : Hermeneutik Perjanjian Baru I
Dosen Pengampu : Pdt. Dr. Dewi Sri Sinaga

KRITIK SASTRA MATIUS 22:1-14

I. Pendahuluan

Dalam arti luas, kritik sastra mencakup semua persoalan yang timbul sehubungan dengan
teks sendiri, termasuk pengarang, konteks sejarah dan pelbagai aspek bahasa dan isi teks. Dalam
sejarahnya, “kritik sastra” dalam studi-studi alkitab taradisional memusatkan perhatiannya secara
agak terbatas terutama pada analisis sumber atau dokumen. Hal ini berlangsung mulai abad ke
18. Dalam rangka studi-studi sastra umumnya, “kritik sastra” menaruh perhatian pada topik-
topik yang luas : struktur karangan dan karakter teks, teknik-teknik gaya bahasa, pemakaian
gambar-gambar dan symbol-simbol oleh pengarang, efek dramatis dan estetis yang ditimbulkan
sebuah karya dan sebagainya.1

Istilah kritik sastra dipahami paling sedikit dengan tiga cara : 1) Dalam arti klasik adalah
pendekatan kritis kepada studi sasra. Stuktur, bentuk, dan bahasa di analisis. Kritik demikian
digunakan untuk menyelidiki bahan-bahan alkitabiah. Sejak zaman origenes, hal ini mendorong
para ahli mempertanyakan otoritas yang diandaikan dari beberapa buku alkitab. 2) dengan
tumbuhnya kesadaran historis pada abad XIX, permasalahn historis yang dikemukakan adalah
mengenai perbedaan-perbedaan sastra dan disipilin yang disebut “kritik sumber”. 3) akhir-akhir
ini para ahli mempertanyakan lagihal yang lebih berkaitan dengan sastra, hubungan antara isi,
bentuk, dan filsafat bahasa.2 Jadi Kritik sastra merupakan salah satu metode kritik untuk
mengenal sastra dalam teks Perjanjian Baru. Bukan sekadar mempelajari sumber atau lapisan-
lapisan teks tetapi juga menyangkut susunan, gaya bahasa, struktur, nada kosa kata, gagasan,
kaitan teologi dan kekhususan atau ciri-ciri teks dan konteks pendengar atau pembacanya3.

1
John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017) Hlm.87-88
2
Diane Bergant, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, ed: Dianne Bergant & Robert J. Karris, (Yogyakarta: Penerbit
Kamisius, 2007) Hlm. 25
3
A.A.Sitompul dan Ulrich Beyer, Metode Penafsiran Alkitab, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2016), Hlm. 227.

Page 1
Ada bermacam-macam teknik untuk menentukan struktur bagian-bagian karangan ataupun
juga keseluruhan karangan. Yakni “khiasmus”, yakni prinsip penyusunan bahan-bahan karanga
dalam pola yang simetris dengan komponen-komponen tertentunya saling berhubungan dengan
komponen-komponen lainnya. dan “inclusio”, yakni perumusan kembali atau parafrasa atas
gagasan (frasa) pendahuluan yang penting untuk menekankan kembali pokok dengan maksud
menekankan kembali pokok yang diajukan teks alkitabiah. Satu aspek lain dari kritik sastra ialah
Struktur dari teks, nada literer, Gaya Bahasa 4

II. Pembahasan
1. Struktur dari teks
 22:1–2 Kerajaan sorga seperti sebuah pesta pernikahan
 22:3–4 Datang ke pesta pernikahan
 22:5–7 Menolak undangan, menganiaya pembawa pesan
 22:8 Tamu yang diundang tidak layak
 22:9–10 Mengumpulkan semua yang ditemukan oleh pembawa pesan
 22:11 Seorang tamu yang tidak mengenakan pakaian pernikahan
 22:12 Tamu itu terdiam
 22:13 dibuang kedalam kegelapan
 22:14 Banyak yang terpanggil, sedikit yang terpilih
2. Nada Literer

Nada Literer mempuyai tolak ukur yang mampu meneguhkan, mengubah suatu sikap atau
perilakunya. Nada ini dapat bersifat liturgis, maka dalam hal ini bahasanya lebih puitis, kurang
langsung dimaksudkan untuk membangkitkan perasaan tertentu ketimbang mau menyampaikan
informasi teologis. Karena itu, bagaimana seseorang memahami masing-masing kata dan frasa-
frasa dalam suatu bagian kitab suci yang amat membangkitkan suasana peribadahan akan
berbeda secara radikal dari bagaimana ia memahami kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang
sama dalam teks yang bernuansa polemis dan apologetic tajam.5

Dalam teks ini nada literer dapat ditemukan pada ayat 11 dan pada ungkapan, “Hai
saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta?” Apabila
dibaca sebagai kalimat seru dan langsung akan berlawanan artinya apabila dibaca sebagai
teguran dan koreksi, dimana ketika kalimat tersebut menggunakan tanda tanya, itu hanya sebuah
penekanan kalimat teguran dan jika kalimat tersebut dibaca atau dimengerti menjadi tanda seru,

4
John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Hlm.94-95.
5
John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Hlm. 95.

Page 2
maka hal itu merupakan sebuah kalimat dimana ada seseorang yang merasa terugikan karena ada
tamu yang pada saat itu tidak memakai pakaian pesta.

Pernyataan-pernyataan di Alkitab sering mau menyatakan sifat atau kualitas lain daripada
sebagai pernyataan langsung. Nada sebuah teks juga dapat bersifat liturgis, maka dalam hal ini
bahasanya lebih puitis, kurang langsung dan dimaksudkan untuk membangkitkan perasaan
tertentu. Tampak pada teks ini pertayaan pada ayat 11 tersebut menjadi tolak ukur kesalahan.
Yaitu kesalahan tamu yang diundang dan tidak datang itu. Dan kalimat pertanyaan tersebut pada
ayat 11, meneguhkan bahwa seseorang yang datang ke perjamuan kawin harus memakai baju
pesta. Pertayaan itu juga seolah-olah ingin mengharapkan suatu perubahan sikap tamu yang tak
diinginkan tersebut dan juga pengharapan raja agar mereka mengingat apa yang seharusnya
mereka persiapkan sebelum perjamuan kawin akan dilaksanakan. Di anatara orang-orang yang
bukan Israel, yang masuk Gereja, ada orang jahat dan ada orang baik (ayat 10). Nada itu terdapat
juga dalam perumpamaan tentang pukat (Matius 13: 47-50) yang di dalamnya Yesus katakan
bahwa hal Kerajaan Sorga seumpama pukat yang mengumpulkan ikan yang baik dan ikan yang
tidak baik, yang disortir di pantai. Di ayat 11-13 kita lihat bahwa tamu-tamu yang telah datang ke
perjamuan, di sortir juga.6

3. Gaya Bahasa

Penulis Matius dalam penulisan teks ini menggunakan gaya bahasa yang alegoris atau
bermakna kiasan, di mana kita dapat mellihatnya pada Matius 22:2 bahwa seorang raja yang
mengadakan perjamuan kawin merupakan sebuah kiasan dari kerajaan Sorga itu sendiri. 7 Adapun
yang menjadi Pendengar dalam teks ini : Pada zaman penulisannya adalah teks ini ditujukan
kepada orang-orang Yahudi dan orang Farisi pada zaman kekaisaran Romawi 8 di mana isinya
berupa sebuah teguran bagi mereka karena mereka tidak dapat mengerti dan menerima kerajaan
Allah dalam diri Yesus Kristus itu sendiri. Yesus mengatakan sebuah perumpamaan yang
ditujukan kepada anggota-anggota Sanhedrin yang merupakan anggota-anggota mahkamah
Agama, di mana dalam teks tersebut hal ini ditujukan untuk para pemimpin Yahudi. Dan adapun
konteks pada saat itu adalah apabila orang-orang Yahudi mendengar suatu perumpamaan tentang
seorang raja, maka langsung mereka mengerti bahwa raja itu merupakan kiasan untuk Yesus.
6
J.J de Heer, Tafsir Injil Matius pasal 1-22 (Jakarta: BPK-GM, 2003) hlm. 431
7
Margareth Davies, Matthew Second Edition,(Sheffield Phoenix Press : United Kingdom, 2009) Hal.171-173
8

Page 3
Raja merupakan seseorang yang mengadakan perjamuan kawin pada saat itu. Apabila orang-
orang Yahudi mendengar tentang suatu perjamuan yang diadakan, maka mereka langsung
mengerti bahwa itu adalah ibarat untuk zaman mesias, dan apabila mereka dengar tentang orang
yang diundang, maka mereka mengerti bahwa itu adalah bangsa Israel. Kristus menyebut
injilNya sebagai pesta pernikahan, yang biasanya penuh dengan kegembiraan untuk
menerangkan bahwa injil Kristus membawa kegembiraan besar. Tetapi kegembiraan itu seperti
diduakan karena manusia merasa mendapatkan atau mencari kebahagiaan ditempat lain, terdapat
pada ayat 5. Pada Perjamuan kawin anak raja tidak boleh gagal. Tamu-tamu baru untuk di cari di
“persimpangan-persimpangan jalan”. Kota-kota Yunani paling baik diterjemahkan dengan
tempat-tempat dimana jalan-jalan keluar dari kota”. Orang-orang diluar kota itu diibaratkan
orang-orang diluar Israel (atau orang kafir). Dalam perumpamaan itu, sang raja ingin bertemu
dengan tamu-tamunya, tetapi ia mendapati bahwa tamu-tamunya tersebut ada yang tidak
memakai pakaian pesta, dan hal tersebut otomatis mengacaukan keberlangsungan perjamuan
kawin itu dan membuat perjamuan itu menjadi buruk 9

III. Penutup

Jenis Sastra

Jenis Sastra dari kitab Matius 22:1-14 ini termasuk sebuah sastra berbentuk Parabel
(perumpamaan). Hal ini dapat kita lihat berdasarkan gaya bahasa yang digunakan oleh penulis
kitab yang menggunakan bahasa-bahasa kiasan10. “Mereka” di ayat 1 adalah anggota-anggota
Sanhedrin (Mahkamah Agama), yang disebut di pasal 21:23. Ayat 2 dan 3 Yesus
mempergunakan beberapa ibarat yang lazim dipakai di antara orang Yahudi dan nabi. Apabila
orang-orang Yahudi mendengar suatu perumpamaan tentang seorang “raja dan anaknya”, maka
makna kiasan dari “raja” itu adalah Allah (Mazmur 91:1) “anak” itu adalah Sang Mesias
(Mazmur 2:7). Apabila orang-orang Yahudi mendengar tentang “suatu perjamuan yang
diadakan” (ay.2) maka itu adalah ibarat untuk zaman Mesias kesenangannya, dan “orang yang
diundang” adalah makna kiasan untuk bangsa Israel.

9
J.J. de Heer, Injil Matius, (BPK Gunung Mulia: 431
10
Leon Morris, The Gospel According to Matthew (Wim B. Ferdinans Publishing Co. : USA, 2009), hlm 546-552

Page 4
Page 5

Anda mungkin juga menyukai