Anda di halaman 1dari 76

SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA SALEM

JL. MALENGGANG 21. TEL (0341) 561326


MALANG

1
DAFTAR ISI

I. LATAR BELAKANG ALKITAB------------------------------------------------------2

1. PERISTIWA SINAI----------------------------------------------------------------------------------------2

2. BAIT ALLAH-----------------------------------------------------------------------------------------------3

3. SINAGOGE-------------------------------------------------------------------------------------------------4

4. HARI-HARI RAYA----------------------------------------------------------------------------------------4

Ⅱ. PERKEMBANGAN DALAM PERJANJIAN BARU---------------------------5

Ⅲ. PERKEMBANGAN HISTORIS-----------------------------------------------------8

1. IBADAH KRISTEN YANG MULA-MULA----------------------------------------------------------8

Ⅳ. PLAKSANAAN IBADAH-------------------------------------------------------------11

1. IBADAH DAN DUNIA------------------------------------------------------------------------------------ 11

2. IBADAH DAN SPASI-------------------------------------------------------------------------------------13

3. IBADAH DAN WAKTU ---------------------------------------------------------------------------------16

4. IBADAH DAN BUNYI------------------------------------------------------------------------------------21

5. MUSIK ADALAH PEMPERIAN ALLAH BAGI KITA-------------------------------------------24

6. MUSIK GERJANI MERUPAKAN SENI YANG FUNGSIONAL-------------------------------28

7. PERANAN MUSIK VOCAL DI DALAM GEREJA-----------------------------------------------37

8. PERANAN MUSIK INSTRUMENTAL DI DALAM GEREJA---------------------------------40

9. IMPLIKASI MUSIK GEREJANI UNTUK IBADAH KRISTEN-------------------------------43

10. MODEL-MODEL IBADAH---------------------------------------------------------------------------52

11. APAKAH IBADAH ITU?-------------------------------------------------------------------------------56

12. DISPLIN PRIBADI DI DALAM BERIBADAH---------------------------------------------------60

13. TATA IBADAH CALVINISME-----------------------------------------------------------------------64

14. MEMIMPIN KEBAKTIAN----------------------------------------------------------------------------69

2
Teologi Ibadah dan Pujian(2sks)

Dosen: Kim, Jae Yong. M.Th


Tel: 0813-347-96602
E-mail: jhsfc1@yahoo.co.kr

1. Tujuan Kulia
Mahasiswah akan belajar prinsip Ibada dan pujian secara teologi, sejarah dan penggembalaan. Lalu
mahasiswah mempersiapkan playanan dan mahasiswah bisa memimpin Ibadah yang sejati.

2. Kepustakaan
John Macarthur, jr TRUE WORSHIP
Judson Cornwall LET US PRAISE
Rowley, H.H. WORSHIP IN ANCIENT ISRAEL; IBADAT ISRAEL KUNO
Pdt. Hananiel PRAC THEO WORSHIP DAN MUSIK
Robert Berglund THEOLOGIA PRAKTIKA APHILOSOPHY OF CHURCH MUSIC
Dnald P. Hustad JUBILATE
Mawene GEREJA YANG BERNYANYI

3. Penilaian
Tugas 20 %
Ujian akhir 70%
Kehadiran& sikap 20%
Jumlah 110%

3
I. LATAR BELAKANG ALKITAB
Pelajaran 1 Sumber perjanjian Lama
Mengingat bahwa kekristenan berasal dari kebudayaan Ibrani, maka itu pengaruh yang terkuat yang
membentuk iman kristen adalah Ibrani juga. Walaupun ibadah Kristen di dalam Perjanjian Lama penuh
dengan uraian-uraian ibadah dengan materi yang cukup banyak maka masalah ibadah di dalam Perjanjian
Lama kita batasi pada hal-hal yang mempengaruhi ibadah di dalam Perjanjian Baru yaitu peristiwa Sinai,
Bait Suci, Sinagoge dan hari-hari raya.

1. PERISTIWA SINAI
Di Dalam keluaran, Tuhan Allah mengeluarkan umat Israel dari Mesir, melewati Laut Merah ke
Gunung Sinai dimana Tuhan Allah mengikat suatu hubungan perjanjian dengan mereka. Peristiwa Sinai
diuraikan secara lengkap dalam Kel 19-24. Dan bagian yang terutama adalah mengenai pertemuan antara
Allah dan Israel di kaki bukit Sinai (Kel 24:1-8).
Pertemuan antara Allah dengan Israel ini penting sekali karena mengandung elemen-elemen
struktural yang sangat dasari untuk pertemuan antara Allah dan umatnya.
Pertama-tama pertemuan ini diadakan oleh Allah karena Allahlah yang memanggil umatnya keluar dari
Mesir dan membawanya ke Gunung Sinai, di situlah mereka dijadikan Qahal Yahweh atau himpunan
Allah. Di sinilah kita menemukan syarat daripada suatu ibadah yang benar yaitu “Allah yang memanggil
umatnya untuk menemui Dia”
Kedua, umat Allah diatur dalam susunan tanggung jawab. Walaupun peran dalam kepemimpinan
diserahkan kepada Musa tetapi bagian-bagian yang lain akan diperankan oleh Harun, Nadab, Abihu,
ketujuhpuluh tua-tua orang Israel, pemuda-pemuda Israel dan umat. Gambarannya bukanlah suatu
pertemuan dimana para pemimpin bertemu dengan penonton-penonton melainkan adanya partisipasi dari
semua yang sedang hadir. Setiap orang memiliki perannya sendiri-sendiri. Hal ini menekankan aspek
dasar dari ibadah yaitu partisipasi.
Ketiga, pertemuan antara Allah dan Israel bercirikan proklamasi Firman Allah. Tuhan Allah berbicara
kepada umatnya dan memberitahu kehendaknya. Dengan demikian maka ibadah tidak akan lengkap tanpa
mendengar Firman Tuhan.
Keempat, umat menyatakan penerimaan mereka akan syarat-syarat perjanjian. Hal ini diwujudkan
dalam kesediaan mereka untuk mendengar dan mentaati Firman Allah. Memang aspek yang sangat perlu
dalam ibadah, baik dalam tradisi Yahudi maupun Kristen adalah pembaharuan dari penyerahan diri.
Kelima, klimaks dari pertemuan adalah simbol secara dramatis daripada terjalinnya persetujuan antar
Allah dan umatnya. Tuhan Allah menggunakan pengorbanan darah untuk menunjukkan pemeteraian
hubungannya dengan manusia. Pengorbanan ini menunjuk kepada pengorbanan Yesus kristus yang sekali
untuk selamanya. Perjamuan suci merupakan tanda hubungan dari gereja dengan Allah.

4
2. BAIT ALLAH
Tabernakel dan Bait Suci menekankan kehadiran Allah di tengah-tengah Israel (Kel 25:8; 2 Taw 6:7;
Yehz 43:7). Selanjutnya korban-korban merupakan suatu peringatan yang tetap tentang terjalinnya
hubungan antara Allah dan Israel di gunung Sinai (Kel 24). Bait Suci juga merupakan ekspresi yang
antitesa antara Israel dan kebudayaan dari orang-orang sekelilingnya. Melalui ibadah maka orang-orang
Israel terpisah dari ibadah-ibadah yang dipimpin oleh orang-orang bukan Israel. Dengan demikian maka
Tabernakel dan Bait Suci merupakan tanda yang kelihatan dan dapat disentuh tentang hubungan Israel
dengan Allah.
Kemah suci dan Bait Suci juga memberikan karakter simbolisnya yaitu dipilihkannya suatu tempat
tertentu, ditetapkannya ritual-ritual tertentu maupun dipilihkannya hamba-hamba Tuhan tertentu. Untuk
menunjukkan bahwa mereka tadi menjadi simbol suci adalah bahwa mereka ditahbiskan oleh Allah (1
Taw 28:12, 19). Malahan Bait Suci itu sendiri adalah simbol dari terjalinnya komunikasi antara Allah
dengan Israel (Kel 25:9).
Bait Suci memberikan ciri penggunaan dari sesuatu tempat tertentu. Tuhan menetapkan adanya
halaman luar, halaman dalam, dan tempat yang maha suci untuk menggambarkan adanya jarak antara
orang yang beribadah dengan Allah yang tinggal di tempat yang maha suci. Semua alat-alat yang
dipergunakan dalam Bait Suci seperti mezbah, bejana pembasuhan, tempat dian emas, meja untuk roti,
mezbah pembakaran dupa dan Tabut Allah merupakan alat-alat yang simbolis untuk berhubungan dengan
Allah. Tiada sesuatu alatpun yang boleh diletakkan secara sembarangan.
Bait Suci juga ditandai oleh ritual-ritual. Di samping ada peraturan umum untuk membawa korban,
maka ada juga pengorbanan-pengorbanan untuk berbagai alasan, umpama korban bakaran, korban
persekutuan, korban dosa, korban pelanggaran. Korban-korban ini semua merupakan ekspresi yang
lahiriah dan bisa dilihat untuk menggambarkan hubungan umat Allah dengan Tuhan dan merupakan
persiapan bagi pengorbanan Kristus (Ibrani 10).
Akhirnya Bait Suci ditandai oleh adanya hamba-hamba Tuhan. Hamba-hamba Tuhan ini mewakili
seluruh umat. Mereka merupakan perantara antara Israel dan Allah. Tidak seadanya orang dapat menjadi
seorang imam, hanya dari suku Lewi. Mereka dipanggil oleh Allah dan dikonsekrasikan melalui
ceremony (Kel 29). Mereka memakai pakaian didalam melaksanakan pelayanan (Kel 28:40-43; 39:1-31).
Kepada mereka dituntut persyaratan yang sangat ketat untuk hidup di dalam kesucian (Imamat 21:1 –
22:10).
Di dalam Perjanjian Baru, Bait suci digenapkan dalam Yesus Kristus (Mrk 14:58; 15:29; 38; Yoh
2:19-21). Gereja menjadi tubuhnya dan merupakan Bait Suci tempat tinggal Allah (1 Kor 3:16; 17; 6:19;
2 Kor 6:16; Efs 2:21, 22). Segi fisik dari kehidupan rohani dan aktivitas rohani yang dijumpai di dalam
Bait Suci diteruskan di dalm ibadah Perjanjian Baru. Oleh sebab itu gedung gereja (tempat suci)
sakramen Perjamuan Suci (ritual suci), hamba-hamba Tuhan yang ditahbiskan (hamba-hamba suci)
merupakan hubungan dari ibadah Bait Suci ke dalam ibadah kristen.

5
3. SINAGOGE
Sinagoge mungkin berasal usul dari hancurnya Yerusalem dan Bait Suci yang menyebabkan orang-
orang Yahudi tersebar luas pada masa pembuangan. Oleh sebab itu sinagoge merupakan suatu
phenomenon intertestamental dan bukannya suatu institutie Perjanjian Lama. Alasan dibentuknya
sinagoge adalah untuk memelihara dan meneruskan pemberitaan Firman Allah di kalangan masyarakat
Yahudi.
Ibadah di dalam sinagoge sangat berbeda sekali dengan ibadah di dalam Bait Suci karena tidak memiliki
ritual suci juga tidak didukung oleh hamba-hamba Tuhan suci. Yang dilaksanakan di dalam sinagoge
adalah membaca dan mengerti Firman Allah.
Ibadah di dalam sinagoge merupakan penegasan iman percaya, doa dan Kitab Suci. Yang sangat
ditekankan adalah Torah. Menjadi tugas utama dari setiap orang Yahudi untuk mempelajari Torah dan
meneruskannya kepada keturunannya (Ul 6:7). Di sini kita saksikan kembali perbedaan antara agama
Yahudi dan agama-agama lainnya. Dalam agama lain, pengertian hanya dimiliki oleh kelas tertentu
sedangkan dalam agama Yahudi setiap orang yahudi harus mengenalnya dan harus diajarkan kepada
keluarganya. Sesudah pembacaan Torah maka disampaikan pembacaan khotbah. Khotbah mengartikan
dan mengaplikasikan Torah ke dalam kehidupan sehari-hari umat Allah. Khotbah disebut derashah atau
tindakan penelitian, sedangkan pengkhotbahnya disebut darshan atau seseorang yang menyelidiki.
Pengkhotbah-pengkhotbah ini mendidik secara moral dan secara teologia disamping memberikan hiburan
dan pengharapan. Pengaruh dari sinagoge terhadap ibadah kristen sangatlah besar.

4. HARI-HARI RAYA
Ada tiga hari raya utama yaitu Paskah, Pentakosta, dan Pondok Daun-daunan. Kedua hari raya
pertama sangat berperan dalam ibadah gereja mula-mula.
Orang-orang kristen melihat bahwa Tuhan Yesus memperkenalkan Perjamuan Suci dalam perayaan
Paskah, hal ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus menyatakan dirinya sebagai domba Paskahnya (1 Kor
57) sedangkan Perjamuan Suci sebagi upacara utama di dalam Perjanjian Baru.
Hari raya yang kedua yang mempengaruhi ibadah kristen adalah Pentakosta, suatu pesta kesukaan dan
syukur sesudah menuai. Saat itu semua orang datang ke Yerusalem untuk merayakannya (Ul 16; Kis 2:5).
Dengan kedatangan Roh Kudus maka orang-orang kristen menganggap bahwa gereja dimulai pada hari
Pentakosta.
Kita harus menyadari bahwa ada perbedaan yang jelas antara ibadah yang dilakukan di dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perbedaannya terletak pada peristiwa-peristiwa historis yang
memberikan arti kepada ibadah. Ibadah Perjanjian Lama berakar pada peristiwa-peristiwa Keluaran
sedangkan ibadah Perjanjian Baru berakar pada peristiwa-peristiwa kelahiran, kehidupan, kematian dan
kebangkitan Yesus Kristus.
Ada yang beranggap bahwa ibadah Perjanjian Lama bersifat lahiriah sedangkan ibadah Perjanjian

6
Baru rohaniah. Pandangan ini palsu dan tidak menyadari akan isi dari Perjanjian Lama (sekitar peristiwa
Sinai) dan Perjanjian Baru (peristiwa Kristus). Ibadah di dalam Perjanjian Lama dan Baru sama-sama
mengandung segi-segi rohani dan lahiriah.

Ⅱ. PERKEMBANGAN DALAM PERJANJIAN BARU


Studi tentang perkembangan ibadah di dalam Perjanjian Baru adalah lebih sukar dan kompleks
daripada mempelajari perkembangan ibadah di dalam Perjanjian Lama. Karena sumber-sumbernya
bersifat fragmentaris. Kita tidak menyaksikan suatu pernyataan yang menunjukkan perkembangan
terakhir dari ibadah dari Perjanjian Baru. Mengingat akan hal ini maka terpaksa kita harus menggunakan
prinsip dari proses perkembangan. Dengan kata lain, kita harus siap untuk mengadakan fleksibilitas,
karena kita tidak mungkin bisa menyusun secara tepat.
Walaupun demikian, ibadah di dalam Perjanjian Baru berkisar pada peristiwa-peristiwa sekitar Tuhan
Yesus yang diakui sebagai penggenapan dari nubuat-nubuat Perjanjian Lama bagi orang Israel.
Pada mulanya kita tidak menyaksikan adanya umat Allah yang baru yaitu umat yang mencakup orang-
orang kristen yang pertama-tama di dalam melaksanakan ibadatnya mereka melanjutkan apa yang sudah
dilakukan di masa lampau sampai timbulnya ketegangan yang makin menghebat antara mereka-mereka
yang menerima Yesus sebagai Mesias dan mereka yang tidak menerima. Ketegangan ini berakhir dengan
pemisahan.
Berdasarkan latar belakang ini maka kita saksikan ibadah kristen yang memiliki ciri-ciri yang khas
dibandingkan dengan ibadah orang-orang Yahudi. Di dalam pelajaran ini kita menggunakan cara yang
sistematis mengenai awal mula dari ibadah kristen pada abad yang pertama.
Dasar dari ibadah Perjanjian Baru diperoleh dari meneliti sikap Tuhan Yesus terhadap ibadah dan
makna dari kehadirannya di tengah-tengah dunia ini.
Sikap Tuhan Yesus terhadap ibadah adalah bahwa Dia mendukung ibadah Perjanjian Lama (Luk 2:21-
51; Yoh 7:14-49; 10:22-23). Tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa Yesus mempersembahkan korban
binatang atau menyetujui sistem pengorbanan. Walau demikian Tuhan Yesus menghargai ketentuan Bait
Suci sebagai tempat ibadah seperti terbukti dari kemarahannya karena sudah menyalahgunakan Bait Suci
(Luk 19:45-48). Menurut Dr. Lukas, Tuhan Yesus secara teratur datang ke Sinagoge pada hari sabat (Luk
4:16). Tuhan Yesus juga mengunjungi hari-hari raya Israel (Yoh 7:2; 10:22). Laporan secara mendetail
sewaktu Tuhan Yesus merayakan Paskah sebelum mengadakan perjamuannya yang terakhir membuktikan
tentang pengetahuannnya dan penghargaannya terhadap hari-hari raya besar orang Israel.
Tuhan Yesus melihat pelaksanaan ibadah Perjanjian Lama sebagai alat yang menunjuk kepada diriNya.
Misalnya pencucian Bait Suci dipandang oleh Tuhan Yesus sebagai berakhirnya pengorbanan Bait Suci.
Jadi makna yang sebenarnya dari tindakannya adalah untuk menghapuskan ritual pengorbanan tradisional.
Dengan menghentikan sistem pengorbanan tadi maka Dia menunjukkan pada diriNya sendiri sebagai
penggenapannya, seperti juga dimengerti oleh orang-orang kristen di kemudian hari.

7
Walaupun Tuhan Yesus tidak memproklamasikan berakhirnya sinagoge dan hari-hari raya, namun Dia
melihat bahwa alasan utama dari adanya sinagoge dan hari-hari raya tadi adalah untuk menunjuk kepada
penggenapannya pada diriNya sendiri. Contoh: Ia mengetrapkan Kitab Suci Perjanjian Lama yang
merupakan inti ibadah sinagoge pada diriNya sendiri (Luk 4:21; 24:25-27; 44-47). Demikian pula di
dalam menghadapi Paskah dimana Tuhan Yesus mengatakan bahwa “Inilah TubuhKu” (Mat 26:28).
Tuhan Yesus sudah memenuhi makna eskatologi dari Paskah sehingga menjadikan Paskah itu
mengandung makna yang baru. Jelaslah bahwa Tuhan Yesus memandang pelaksanaan ibadah Perjanjian
Lama sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kehidupanNya, kematianNya dan kebangkitanNya.
Tuhan Yesus beranggapan bahwa Dia memiliki hak untuk menginterpretasikan baru apa yang menjadi
kebiasaan-kebiasaan di dalam ibadah Yahudi. Contoh: Konfrontasi Tuhan Yesus dengan orang-orang
Farisi tentang sabat (Mrk 2:27-28). Tuhan Yesus menunjukkan sikap terhadap peraturan tentang
kebersihan (Mrk 7:1-23) maupun peraturan mengenai puasa dan doa (Mat 6:5-8; 16-18).
Kekristenan dimulai dari orang-orang Yahudi yang berbahasa aramik kemudian menyebar ke
masyarakat Yahudi yang Helenistik dan kemudian berkembang sampai kepada bangsa-bangsa bukan
Yahudi. Ketiga grup jemaat ini maupun perkembangan kekristenan pada jaman Sub Apostolik
menyediakan bagi kita pandangan-pandangan yang kronologis dan kulturil dalam perkembangan ibadah
Perjanjian Baru.
Ibadah orang-orang kristen Aramik bercirikan penerusan ibadah Bait Suci Perjanjian Lama. Memang
dalam Perjanjian Baru kita menemukan sedikit catatan mengenai hubungan orang-orang kristen dengan
Bait Suci tetapi mereka tetap melaksanakan jam-jam doa dalam Bait Suci (Kis 3:1) dan menggunakan
Bait Suci sebagai tempat untuk memproklamasikan injil (Kis 3:11-26; 4:12-13, 19-26, 42).
Dalam menghadapi upacara pengorbanan kita menyaksikan adanya pertentangan-pertentangan.
Menurut Dr. Lukas ada beribu-ribu orang Yahudi yang bergairah untuk hidup menurut Torah dan hidup
menurut kebiasaan Yahudi (Kis 21:20-21). Selanjutnya Paulus dianjurkan untuk mengikuti upacara
penyucian yang dilaksanakannya juga dan yang ternyata kemudian merugikan dia. Hal ini menunjukkan
adanya kesepakatan antara ibadah Yahudi dan ibadah kristen. Ada bahaya bahwa orang-orang kristen saat
itu akan kembali ke hukum-hukum yahudi dan ritualismenya. Namun dari pertentangan yang ditunjukkan
oleh orang-orang kristen Aramik melawan orang-orang Yahudi dalam sidang Yerusalem (Kis 15) terlihat
nyata bahwa orang-orang kristen Aramik menyadari perbedaan antara kekristenan dan Yudaisme.
Orang-orang kristen Yahudi kemudian mengalami ketegangan antara orang-orang Yahudi dan orang-
orang kristen yang menyebabkan mereka kemudian mengadakan ibadah di dalam rumah-rumah. Di sini
perbedaan Yudaisme dan kekristenan menjadi makin menyolok (Kis 2:42). Orang-orang kristen lebih
mengutamakan ibadah yang berpusat kepada Kristus.
Ibadah orang-orang kristen Helenis berbeda dengan orang-orang kristen Aramik. Mereka sama sekali
tidak mau beribadah di dalam di dalam Bait Suci maupun melaksanakan upacara-upacara yang biasa
dilakukan orang-orang Yahudi. Mereka sudah menyerap kebudayaan Helenistik baik dalam bahsa maupun

8
dalam kebiasaan.
Ibadah Helenistik bercirikan menolak secara tegas ritual Yahudi. Salah satu contoh adalah Stefanus
yang diserang oleh orang-orang Sinagoge (Kis 6:13-14). Konfrontasi antara Stefanus dan lawan-lawannya
menjadi makin tajam dalam Kis 7. Stefanus di dalam khotbahnya dengan jelas sekali menolak Bait Suci
dengan mengutip Kitab Yesaya (Kis 7:49-50). Stefanus menekankan bahwa Bait Suci sudah ditiadakan
oleh pekerjaan Kristus. Dengan demikian karena Perjanjian Lama sudah digenapi maka segala ketentuan
Perjanjian Lama tidak diperlukan lagi.(Ibrani 9:1-8)
Dalam ibadah helenis upacara-upacara Yahudi diterjemahkan kembali berdasarkan sudah digenapi
oleh Kristus. Contoh: Kristus dilihat sebagai domba Paskah yang sudah dikorbankan (1 Kor 5:7; Roma
3:25; Efs 5:2; 1 Pet 1:19). Bait Suci diganti dengan Tubuh Kristus (1 Kor 3:16-17; Efs 2:19-22; 1 Pet 2:4-
5). Umat yaitu jemaat gereja dari Bait Suci yang baru dinamakan imamat yang rajani (1 Pet 2:9). Kaum
Helenis benar-benar menghancurkan Yudaisme. Sikap ini membuka jalan untuk perkembangan berikutnya
yang kita saksikan di dalam ibadah yang dilakukan oleh masyarakat kristen non Yahudi.
Ibadah kristen non Yahudi. Kekristenan yang mencakup orang-orang non Yahudi pada mulanya
sungguh tidak masuk akal. Kristus adalah Mesias berkebangsaan Yahudi dan yang memuaskan keinginan
orang-orang Yahudi. Tidak terbayang oleh orang Yahudi bahwa Mesias dan kerajaanNya akan bersifat
universal. Itu sebabnya orang-orang kristen yang pertama-tama menolak orang-orang non Yahudi sampai
Allah berbicara kepada Petrus dalam sebuah vision (Kis 10,11).
Di dalam kita mempelajari ibadah kristen pada zaman ini perlu kita memperhatikan dua latar belakang
yaitu orang-orang non Yahudi yang berjuang untuk mempertahankan kebebasannya dalam ibadah dan
orang-orang non Yahudi yang perlu dididik bagaimana untuk melaksanakan ibadah yang benar.
Di dalam pengajaran ini, Paulus menekankan perlunya keteraturan. Maklum, kebebasan yang dituntut
oleh orang-orang non Yahudi menjadikan ibadah mereka menjadi kacau. Paulus mempermasalahkan
karunia-karunia Roh Kudus. Dia menekankan agar penggunaan bahasa lidah dalam ibadah dilaksanakan
dengan teratur (1 Kor 14:23). Keteraturan juga perlu di dalam melaksanakan perjamuan suci (1 Kor
11:20-21).
Paulus kemudian mengajarkan bahwa yang terpenting dari ibadah adalah isinya. Sayang bahwa
Paulus tidak memberikan liturgi kebaktian, namun dia menyebut aspek-aspek utama ibadah kristen di
dalam 1 Kor 12, 14. (contoh : 1 Kor 14:26 yang ditanggapi dengan 1 Kor 14:13-17) kemudian 1 Kor
12:7-11.
Dari semua ini kita saksikan bahwa ibadah dari masyarakat non Yahudi menampakkan variasi yang
banyak sekali, tetapi Paulus menekankan bahwa faktor utama dalam ibadah harus mengandung khotbah
dan perjamuan suci.
Dalam khotbahnya R. Paulus mengingatkan mereka tentang kerygma yang sudah diturunkan kepada
gereja antara lain tentang kebangkitan orang mati (1 Kor 15:12-58). Hal ini merupakan pengakuan dasar
bagi semua orang kristen dan harus menjadi inti dari khotbah.

9
Jaman Sub Apostolik (masa 60-100 sesudah Kristus). Pada masa ini misi gereja sudah mencapai
kerajaan Roma bahkan lebih jauh. Bersamaan dengan misi ini muncul juga kelompok-kelompok nabi
palsu. Akibatnya gereja terpaksa harus membuat formulasi iman percayanya yang lebih jelas. Hal ini
mengakibatkan tumbuhnya literatur kristen (kitab-kitab Injil dan surat-surat). Organisasi gereja juga
mulai berbentuk jelas (1 Tim 3:1-13). Juga muncul pasal-pasal kepercayaan (1 Tim 3:16; 1 Kor 15:3-5),
juga tumbuh kesadaran untuk berliturgi.
Jaman Sub Apostolik memiliki ciri menekankan ibadah yang lebih teratur. Contoh Surat-surat Pastoral
menekankan pejabat resmi dalam pelayanan ibadah gereja. Dengan demikian maka pada zaman ini ibadah
mulai memiliki bentuk yang tetap.

Ⅲ. PERKEMBANGAN HISTORIS
1. IBADAH KRISTEN YANG MULA-MULA
Uraian mengenai bagaimana ibadah dilaksanakan, kita tidak jumpai dalam Perjanjian Baru atau gereja
abad II. Kalau diteliti secara garis besar, kita seolah-olah menarik kesimpulan bahwa ibadah bagi gereja
kristen mula-mula tidaklah terlalu penting karena kita tidak menemukan banyak bahan mengenai ibadah
tadi. Tetapi sesungguhnya ibadah terlalu penting bagi gereja kristen mula-mula dan mereka sengaja tidak
meninggalkan informasi karena mereka kuatir “melempar mutiara kepada babi”. Terutama perjamuan suci
sama sekali tidak dibahas karena mereka tidak menghendaki bahwa orang-orang yang bukan kristen
mengetahui tentang hal ini.
Pliny = Gubernur Bithynia (tahun 111-113 sesudah Kristus) memberikan laporan yang bisa
memberikan kepada kita sedikit gambaran tentang ibadah terutama bagaimana ibadah kristen
dirahasiakan. Pliny melaporkan kepada Caesar bahwa: “Kesalahan orang-orang kristen adalah bahwa
mereka mempunyai kebiasaan untuk mengadakan pertemuan pada hari tertentu sebelum hari menjadi
terang dan secara bersahut-sahutan mengucapkan suatu hymnal kepada Kristus yang dianggapnya sebagai
Allah”. Orang-orang kristen mengikatkan dirinya dengan suatu sumpah bahwa mereka tidak akan berbuat
sesuatu kejahatan, menjauhi pencurian, perampokan dan perzinahan, mereka tidak akan mengingkari janji
ataupun tidak membayar sesuatu hutang”. Kita tidak tahu jelas sumpah ini apa tetapi mungkin semacam
pengakuan dosa atau pengulangan sepuluh hukum Allah. Pliny selanjutnya melaporkan “Setelah mereka
melakukan semua tadi maka menjadi kebiasaan mereka untuk pergi dan kemudian bertemu lagi untuk
makan bersama tanpa mempunyai rencana atau maksud-maksud yang jahat. Nampaknya makan bersama
ini adalah suatu pesta Agaphe dan perjamuan kudus dipisahkan.
Dokumen yang kedua yang muncul pada masa yang sama adalah Didache (tahun 100 sesudah
Kristus). Dokumen pendek ini merupakan pedoman bagi gereja awal yang berisikan instruksi-instruksi.
Isi dari instruksi tadi tidak banyak beda dengan pesta Agaphe. Dr. Lukas membicarakan tentang makan
bersama ini dalam Kis 2:46. Sementara itu pada awal mula perjamuan kudus juga dirayakan dalam
konteks perjamuan agaphe. Kemudian secara bertahap perjamuan agaphe dan perjamuan kudus

10
dipisahkan.
Perjamuan agaphe merupakan lanjutan dari persekutuan makan bersama yang biasa dilakukan oleh
orang Yahudi. Pada saat itu cawan dan roti juga diberkati. Mengingat bahwa orang-orang kristen mula-
mula adalah kebanyakan adalah orang Yahudi maka mereka rupanya mengubah sedikit doa-doa ini di
dalam menyelenggarakan perjamuan agaphe kristen.
Doa-doa pada waktu makan tadi dalam isinya menyatakan teologia penciptaan, gereja dan kedatangan
Kristus yang kedua kalinya. Doa-doa ini tidak ada hubungan langsung dengan doa di dalam pelaksanaan
perjamuan suci. Oleh sebab itu perjamuan agaphe yang dibahas di dalam Didache harus dipandang
sebagai perjamuan biasa seperti yang disinggung oleh Pliny. Walaupun persekutuan dengan perjamuan
agaphe itu sangat menyenangkan tetapi bukanlah inti ibadah, oleh sebab itu sebagaimana dinyatakan oleh
Pliny, perjamuan agaphe ini bisa tidak diselenggarakan juga.
Dokumen berikutnya adalah “The first Apologi” karangan Justin Martyr yang ditulis untuk raja
Anthoninus Pius. Tulisan ini mengandung banyak informasi mengenai struktur dan makna ibadah kristen.
Pernyataan yang sangat penting adalah: “Pada hari yang disebut hari minggu ada pertemuan disuatu
tempat yang dekat dengan tempat tinggal orang-orang entah di kota atau di pedalaman. Saat itu ucapan-
ucapan peringatan dari para rasul atau tulisan-tulisan dari para nabi dibaca sepanjang waktu yang tersedia.
Sewaktu si pembaca selesai membaca maka presidennya lalu mengajar dimana ia mendorong dan
menantang orang untuk meniru perbuatan-perbuatan mulianya. Kita lalu berdiri dan menaikkan doa.
Selesai doa dihantarkan roti, air dan anggur. Kembali sang presiden menaikkan doa dan ucapan syukur
semampunya yang ditanggapi oleh jemaat dengan mengatakan amin. Kini alat-alat yang sudah
dikonsekrasikan dibagi dan diterima oleh setiap orang dan dibagikan oleh para diaken”.
Uraian tentang ibadah ini memberikan kita pengertian tentang struktur yang diterima dan isi dari
ibadah kristen pada pertengahan abad kedua.
Meneliti asal usul dari struktur ibadah kristen yang terdiri atas 2 bagian yaitu bagian Firman Allah dan
perjamuan suci kita dapat menemukan bahwa kebiasaan ini diambil dari kebiasaan sinagoge. Memang
institusi sinagoge dan ibadah kristen berbeda sekali namun nampaknya mereka mempunyai satu dasar
yang sama.
Uraian ibadah kristen yang mula-mula terdapat di dalam Kis 2:42. Ada ahli-ahli yang beranggapan
bahwa kita menemukan kedua struktur tadi di dalam ayat ini. Namun pada umumnya pandangan
semacam ini kurang diterima. Dua struktur ibadah (Firman Allah dan perjamuan suci) didasarkan pada 1
Kor 16:20-24.
Di dalam 1 Kor 16 tadi kita temukan:
Suatu masyarakat yang beribadah bersama-sama juga mengambil bagian di dalam ekaristi.
Berdasarkan perikopnya maka kita boleh menemukan suatu bentuk liturgi yang paling mula yang berasal
usul pada jaman sebelum Paulus. Adanya dua struktur ibadah dilaksanakan dan diawali melalui doa dan
pujian.

11
Di dalam kebaktian, Firman Allah surat Korintus dibaca dulu untuk kemudian disusul dengan
kebaktian perjamuan suci.
Merupakan kebiasaan paulus untuk pergi ke Sinagoge memberitakan Kristus (Kis 13:5). Mereka yang
menjadi orang kristen pada mulanya tetap berada di sinagoge untuk kemudian membentuk masyarakat
ibadah mereka sendiri. Sewaktu Rasul Paulus meninggal, kekristenan masih merupakan sekte yahudi
tetapi pada pertengahan abad yang kedua maka masyarakat kristen berdiri sendiri. Jadi pemisahan secara
resmi antara dua grup tadi terjadi pada pertengahan abad kedua dengan alasan ada perbedaan pendapat
mengenai pelaksanaan Torah dan pandangan kristen tentang Yesus sebagai Mesias.
Walaupun ada pertentangan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang kristen pada akhir abad
pertama tetapi ada bukti-bukti yang nyata bahwa hubungan yang terjalin antar mereka sebelum mereka
berpisah sudah banyak mempengaruhi ibadat kristen. Bukti menunjukkan bahwa pada awal mula ibadah
kristen, liturgi Firman Allah sama dengan kebiasaan dalam sinagoge.
Pada permulaan ibadah kristen sama seperti di sinagoge Kitab Suci menjadi yang utama. Menjadi
kebiasaan orang Yahudi untuk membaca dan menguraikan Firman Allah. Bagian-bagian dari Pentateukh
dan kitab nabi-nabi dibaca secara teratur. Hal ini juga dilakukan di dalam ibadah kristen seperti yang
disaksikan oleh Paulus (Kis 17:2,3). Setelahnya itu, tulisan-tulisan para rasul dibaca dalam ibadah
bersam-sama dengan buku-buku Perjanjian Lama (Kolose 4:16; 2 Pet 3:16).
Kemudian sama seperti di sinagoge gereja menekankan doa. Orang-orang kristen yang mula-mula
memelihara jam-jam doa setiap harinya seperti halnya di sinagoge yaitu pada waktu ketiga (Kis 2:16);
waktu keenam (Kis 10:9); dan waktu kesembilan (Kis 3:1). Juga doa bapa kami diucapkan 3 kali sehari
sesuai dalam ajaran Didache.
Contoh-contoh yang lain adalah: doa-doa untuk mendapatkan penerangan rohani, doa agaphe untuk
roti, doa-doa mengenai penciptaan, doa syafaat, doa pengakuan, doa untuk pengampunan dosa dan berkat.
Juga ditekankan mengenai penebusan, pensucian, ucapan amin, penggunaan mazmur untu dibacakan
bersama dan dinyanyikan bersama, pengakuan iman, pembacaan10 hukum Allah dan penggunaan doa
Bapa kami merupakan pengaruh-pengaruh dari sinagoge.
Asal usul perjamuan suci ada dalam penyelenggaran makan malam sebelum Tuhan Yesus disalibkan.
Di samping ucapan dari Tuhan Yesus kita temukan penyelenggaraan perjamuan suci dari ucapan Paulus
dalam tahun 57 sesudah Kristus dalam 1 Kor 11:17-34. Yang dipertanyakan sekarang adalah apakah “roti
yang dipecahkan” yang disebut alam Kis 2:42, 46 adalah sama dengan perjamuan suci?
Kita sudah saksikan bahwa ibadah gereja mula-mula sebagaimana tercatat dalam Kis 2:42
diselenggarakan dengan perjamuan. Perjamuan ini merupakan suatu kebiasaan orang-orang Yahudi. Oleh
sebab itu mungkin saja bahwa istilah ini dipergunakan juga sebagai roti suci dalam perjamuan suci.
Selanjutnya setelah Yesus bangkit dari antara orang mati maka muridnya selalu makan dengan Dia seperti
pada perjamuan terakhir. Dalam pertemuan dengan murid-murid di Emaus, Tuhan Yesus juga
memberikan tanda dari perjamuan suci. Mengingat akan hal ini maka mungkin saja bahwa “roti yang

12
dipecah-pecahkan dipergunakan oleh masyarakat kristen awal mula sebagai peringatan kehadiran Tuhan
Yesus.
Masalah “roti yang dipecahkan” adalah selalu dalam konteks perjamuan sehingga dalam penyelenggaraan
perjamuan yang terakhir dan mengingatkan tentang janji perjamuan yang akan datang (Mat 26:29).
Hubungan antara perjamuan dan perjamuan suci nampak dalam surat Paulus, dalam surat 1 Kor 11.
Penekanan Paulus tentang perjamuan suci merupakan suatu peringatan kematian Tuhan Yesus
sedangkan penekanan untuk makan di rumah terlebih dahulu karena ada pengacauan dalam
penyelenggaraan perjamuan menunjukkan bahwa perjamuan dan perjamuan suci memang terpisah.
Dengan perkembangan jemaat yang luar biasa maka penyelenggaraan perjamuan bersama sebelum
perjamuan suci menjadi sukar sehingga meja-meja yang tadi dipakai untuk perjamuan diganti dengan satu
meja saja ke atas mana diletakkan roti dan anggur sebagai elemen-elemen perjamuan suci. Dengan
demikian konsep perjamuan dan perjamuan suci disatukan dalam satu tindakan ritual dan tahun 150
sesudah Kristus.

Ⅳ. PLAKSANAAN IBADAH
1. IBADAH DAN DUNIA
Pelaksanaan ibadah harus berhubungan dengan seseorang pribadi maupun merupakan suatu tanggung
jawab bersama dari orang-orang kristen di dalam dunia. Ibadah bukanlah akhir dari pada tanggungjawab
seseorang. Penulis Ibrani menekankan hal ini dengan memberikan nasihat mengenai konteks ibadah
(Ibrani 10:24,25).
Mengingat bahwa ibadah kita mempersembahkan diri kita sendiri kepada Allah maka ibadah
menuntut penyerahan hidup kita untuk melaksanakan suatu kehidupan sesuai dengan isi dan visi ibadah.
Untuk mengerti bagaimana ibadah berhubungan dengan kehidupan di dalam dunia maka pertama-tama
kita harus mengerti istilah “dunia”. Di dalam Perjanjian Baru, istilah dunia dipergunakan dalam 2
kategori:
Dunia sebagai tempat alamiah atau fisik
Dunia sebagi kuasa jahat dan kegelapan
Dengan demikian maka dalam kategori yang pertama dibicarakan tentang penciptaan dan unsur
kebaikan dunia sedangkan dalam kategori yang kedua, pengaruh jahat yang mempengaruhi dunia. Paulus
membicarakan tentang dunia jahat ini sebagai dunia yang bukan dari darah dan daging tetapi dunia
pemerintahan, kuasa, kekuatan dari dunia yang gelap dan roh-roh jahat di angkasa (Efs 6:12).
Kalau kita membicarakan ibadah dengan dunia maka yang dimaksudkan adalah dunia kategori pertama.
Dalam ibadah ini:
Ibadah dilaksanakan pada suatu waktu dan tempat tertentu. Inti dari ibadah menampakkan suatu
paradoks yaitu antara yang temporal dan yang kekal. Dalam ibadah kita berhadapan dengan yang kekal,
yang transenden dan dunia lain. Dalam ibadah kita seolah-olah dibawa ke sorga dimana kita

13
melaksanakan puji-pujian, pemuliaan bersama-sama dengan orang yang beribadah di kekekalan. Pada
saat yang bersamaan, ibadah ini juga dilaksanakan dalam tubuh kita di dunia ini yaitu arena aktivitas
keselamatan Allah. Dengan demikian Tuhan Allah memasuki suasana historis untuk melaksanakan
keselamatannya tetapi juga berada di surga. Demikianpun dengan kita di dalam ibadah kita memasuki
suasana kekal tetapi juga berada di dunia.
Ibadah ini dilaksanakan secara fisik. Yang beribadah adalah manusia. Kita melaksanakan ibadah
sesuai dengan liturgi dan ritual. Panca indera kita dilibatkan dalam ibadah.
Ibadah merupakan suatu perjamuan. Perjamuan ini termasuk dalam dunia yang diucapkan dan yang
dilakukan. Perjamuan merupakan tanda terjalinnya hubungan antara manusia dengan Allah. Perjamuan
selanjutnya menunjukkan ketergantungan karya Allah kepada Allah. Manusia bersyukur kepada Allah di
dalam perjamuan makan dan minum. Perjamuan juga menyatakan hubungan positif yang terjalin antara
yang beribadah dan karya Allah yang material.
Ibadah meningkatkan kesadaran si kristen mengenai problema dunia. Hal ini terutama tampak dalam
doa. Gereja tidak saja berdoa untuk kebutuhan jemaat tetapi juga untuk kebutuhan universil. Doa bagi
yang lapar, yang dalam kebutuhan, yatim piatu, janda, yang tersingkirkan, yang minoritas, yang
mengalami ketidakadilan. Agar doa-doa ini menjadi efektif maka doa-doa ini harus diterjemahkan dalam
tindakan nyata.
Ibadah juga perlu dilaksanakan melawan dunia yaitu dunia dalam kategori yang kedua. Dalam ibadah
kita itu menunjukkan adanya persekutuan kita dengan yang transenden. Persekutuan ini tertuju kepada
Bapa, Anak dan Roh Kudus yang tampak dalam doxologi, berkat, doa bagi umat dan doa syukur yang
mengakui Allah sebagai yang transenden dan melampaui segala ciptaanNya. Persekutuan ini juga
dinamakan di dalam doa Bapa kami. Dalam ibadah kita menyatakan bahwa apa yang di dalam dunia ini
bukanlah segala-galanya. Dunia kita ini hanyalah merupakan subyek saja. Kita beribadah kepada Allah
Tritunggal yang memiliki wibawa atas dunia dalam mana kita bertempat tinggal.
Dalam ibadah kita merayakan kemenangan kristus terhadap dunia, dosa dan kematian. Kristus sudah
mengalahkan segala kuasa dan wibawa yang mendemonstrasikannya secara terbuka di kayu salib (Kol
2:15). Kemenangan ini dinyatakan dan dirayakan dalam ibadah.
Ibadah mengantisipasi penghakiman atas yang jahat. Hal ini juga dinyatakan oleh Tuhan Yesus dalam
janjiNya (Mat 26:29). Penghakiman yang akan datang melawan dosa sudah tampak dalam perayaan
perjamuan suci. Tetapi perjamuan suci di samping mengantisipasi masa depan juga menunjukkan akhir
dari dunia ini. Dengan demikian perjamuan suci menggambarkan kehancuran secara sempurna tentang
yang jahat (Wahyu 20) dan akan munculnya dunia dan langit baru (Wahyu 21,22).
Melalui ibadah, dunia juga diubah. Yang dimaksudkan dengan dunia adlah kedua kategori tadi. Dalam
ibadah, kita mendapatkan visi tentang apa yang akan terjadi dengan dunia tanpa adanya pengaruh yang
jahat. Dalam dunia seolah-olah kita diberikan aplikasi karya Kristus terhadap keseluruhan ciptaan.
Dengan demikian ibadah merupakan suatu visi dari penciptaan baru. Dimensi ibadah ini sudah

14
tampak dalam Wahyu 4,5. Penggambaran yang dipergunakan tadi adalah penggambaran dari yang kekal,
ibadah yang berlangsung terus dari karya Allah. Tekanan tentang ibadah ini di dunia ditekankan melalui
pensucian dari alam yaitu penggunaan tempat, jendela, bangunan, segala sesuatu yang ada di dalam
penciptaan yang disisihkan untuk ibadah dan untuk mengubah yang hari ini kepada gambaran yang akan
datang. Di sini alam melakukan apa yang menjadi maksud diciptakannya dia yaitu membawa kemuliaan
bagi Allah. Manusia juga dipergunakan dalam ibadah yaitu juga melakukan untuk apa dia diciptakan.
Ibadah selanjutnya menyatakan tindakan dari tubuh Kristus yang harus berpartisipasi di dalam
mentransformasikan dunia. Hal ini terlihat di dalam doa bapa kami: HendakMu jadi seperti di bumi
demikian juga di surga. Ada tempat dimana kehendak Allah harus dilaksanakan dengan sempurna yaitu
sorga. Dalam ibadah manusia berdoa supaya dunia juga bisa menjadi tempat dimana kehendak Tuhan
Allah terjadi.
Kita harus senantiasa sadar bahwa ibadah memiliki dimensi yang horizontal maupun yang vertikal.
Sangat penting bagi kita untuk mewujudkan pekerjaan Kristus sebagai suatu persembahan puji-pujian dan
syukur kepada Bapa. Pada saat yang bersamaan kita pun harus melaksanakan di dalam tindakan nyata apa
yang sudah kita wujudkan di dalam ibadah. Dengan demikian ibadah yang sejati selalu akan membuat
umat Allah melakukan tindakan-tindakan sosial yang positif. Maklum panggilan ibadah kepada Allah
tidak saja merupakan panggilan mulut bibir kita tetapi juga kehidupan kita.

2. IBADAH DAN SPASI


Merupakan suatu axioma fundamental dari kekristenan bahwa ibadah dapat diselenggarakan di segala
tempat. Keyakinan ini berasal dari pernyataan Tuhan Yesus kepada wanita samaria dalam Yoh 4:21-24.
Sepanjang sejarah gereja kristen, orang-orang percaya beribadah di mana-mana : di ladang, di catacomb,
di sungai, di rumah tangga, di penjara, di atas perahu, dan lembah. Walaupun demikian adalah normal
bagi orang kristen untuk memiliki tempat beribadah.
Dengan sebuah gedung dijadikan tempat ibadah maka gedung ini sudah tidak menjadi tempat netral
lagi. Melalui gedung itu dikomunikasikan keyakinan orang-orang yang beribadah di sana. Dengan
demikian maka gereja mengakui bahwa apa yang kita lakukan dalam ibadah perlu diekspresikan di dalam
kita melaksanakan ibadah itu di tempat ibadah.
Spasi sebagaimana dengan aspek lain dalam ciptaan Allah tidak bisa diartikan terlepas dari kerangka
penciptaan, kejatuhan, inkarnasi, kematian, kebangkitan dan kedatangan kedua kali.
Spasi merupakan milik Allah karena penciptaanNya. Spasi merupakan alat melalui Allah
mengkomunikasikan diriNya dan keinginanaNya bagi manusia di dalam penyelenggaraan dan
penggunaan spasi.
Mengingat bahwa penebusan Yesus kristus meliputi seluruh karya Allah maka spasi merupakan alat
melalui mana pandangan penebusan kristen dapat dinyatakan. Secara khusus dalam ibadah, spasi
merupakan semacam panggung di atas mana penebusan dunia disandiwarakan. Kebenaran ini ditunjukkan

15
melalui tanda-tanda penebusan seperti meja perjamuan suci, mimbar, tempat baptisan, pengaturan tempat
bagi jemaat, koor dan lain-lain yang terlibat di dalam “memainkan Injil”. Spasi selanjutnya
menggambarkan kemenangan Kristus atas yang jahat.
Di dalam Perjanjian Lama kita menemukan banyak referensi mengenai suatu tempat tertentu atau
objek tertentu sebagai spasi yang suci, umpama Bethel, Bukit Sinai, Semak yang terbakar, Tabut
Perjanjian, Tempat yang maha suci, dan lain-lain.
Arti rohani dari spasi ditekankan melalui diberinya perintah untuk membangun Tabernakel(Tabernacle)
dan Bait Suci dan tindakan-tindakan konsekrasi.
Ada 3 hal yang membicarakan masalah spasi yaitu:
①Penggunaan material untuk mendemonstrasikan bahwa segala barang-barang material adalah milik
Allah dan bisa dipakai untuk mengkomunikasikan kebenaran tentang Allah.
②Tekanan yang berulang-ulang bahwa Tuhan Allah akan tinggal di gedung tertentu (Kel 25:8; 29:45).
Dengan demikian maka kehadiran Allah di tengah-tengah dunia dapat dikomunikasikan secara simbolis.
③Kemuliaan Allah yang memenuhi Tabernakel (Kel 40:34,35) yang menyatakan kehadiran Allah di
spasi tertentu.
Tindakan konsekrasi juga menekankan pentingnya sesuatu tempat. Penyerahan Bait Suci oleh Salomo
(1 Raja-raja 8:3 dst) merupakan model dari konsekrasi spasi di dalam Kitab Suci. Tindakan ini jangan
dipandang sebagai suatu tindakan magic tetapi tindakan dimana Allah sudah menyisihkan suatu tempat
tertentu khusus untuk masyarakat dapat menemui Allah. Gereja krsten melanjutkan kebiasaan konsekrasi
ini dengan menganggap bahwa tempat dimana jemaat berkumpul untuk berbakti adalah suatu tempat yang
istimewa.
Hubungan antara ibadah dan spasi kita saksikan pada mulanya dalam Sinagoge. Di sini kita saksikan
prinsip dimana material dipergunakan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan kebenaran kekal yang
merupakan kelanjutan dari Bait Suci. Karakter secara teologis tentang spasi di dalam sinagoge dapat kita
saksikan dalam lokasi /tempat jemaat dan objek-objek meubel yang dikelilingi oleh mereka. Jemaat
mengelilingi simbol-simbol material tadi untuk menggambarkan sarana melalui mana Allah telah
memperkenalkan dirinya dalam sejarah mereka.
Simbol yang paling utama adalah Tabut Allah untuk mengingatkan mereka akan objek yang paling
suci bagi Israel yang kuno yaitu satu-satunya objek yang diijinkan memasuki tempat yang maha suci.
Disaksikan di situ tahkta yang kosong yang hanya bisa ditempati oleh Allah sendiri. Di dalam Tabut yang
mirip dengan sebuah kotak kayu, diletakkan gulungan Kitab Suci yaitu kesaksian-kesaksian komunikasi
Allah dengan Israel. Tabut dan gulungan Alkitab tadi dilindungi oleh sebuah Tabir dan di depan tabir itu
ada Dian dengan tujuh cabang yang menyala terus. Semua material tadi merupakan objek yang
menggambarkan kehadiran Allah dalam sejarah Israel dan kehadiran Allah yang terus menerus bagi orang
yang datang untuk berbakti.
Sarana yang lain adalah Bema, sebuah panggung yang atasnya mimbar diletakkan. Di tempat inilah

16
Kitab Suci dibacakan, diberitakan dan doa dinaikkan. Secara simbolis bema ini menggambarkan tempat
dari Firman Allah di tengah-tengah jemaat dan jemaat harus berada di sekeliling Firman Allah untuk
mendengar Allah berbicara dan menyampaikan doa mereka kepada Dia.

PENGGUNAAN SPASI DI DALAM SEJARAH UNTUK IBADAH KRISTEN


Prinsip bahwa Spasi merupakan alat melalui mana ibadah itu dinyatakan dapat kita saksikan di dalam
contoh-contoh ibadah dan penggunaan spasi di dalam sejarah.

Di dalam Sinagoge.
Kita memulai studi kita tentang hubungan antara ibadah dan spasi di dalam ibadah Sinagoge. Prinsip
bahwa materi sebagai sarana untuk mengkomunikasikan kebenaran yang kekal merupakan terusan dari
apa yang terjadi di dalam bait Suci. Pada gambar yang pertama kita boleh saksikan model dari Sinagoge
yang mula-mula dimana kita saksikan suatu pengaturan spasi secara teologis.Orientasi dari gedung
tersebut tertuju kepada Yerusalem untuk menyimbolisir harapan bangsa Israel bahwa pada kota Yerusalem
semua janji-janji Allah kepada bangsa israel akan digenapi.
Karakter teologia dari spasi yang kita jumpai di dalam sinagoge menunjukkan tentang tempat dari jemaat
dan objek dari segala peralatan yang mengelilingi mereka yang sedang berkumpul. Jemaat berkumpul di
sekeliling simbol-simbol materi tadi untuk menggambarkan bahwa inilah sarana melalui mana Allah itu
memperkenalkan diriNya di dalam sejarah. Simbol yang paling sentral adalah tabut Allah untuk
mengingatkan mereka mengenai objek yang suci bagi bangsa Israel kuno yaitu objek satu-satunya yang
diijinkan untuk memasuki tempat yang maha suci. Tempat ini digambarkan bagaikan suatu takhta yang
kosong dimana Tuhan Allah sendiri bagaikan Roh yang tidak kelihatan tetapi selalu hadir. Di dalam tabut
itu kita menemukan gulungan Alkitab yaitu kesaksian komunikasi Allah dengan bangsa Israel. Tabut dan
gulungan kitab tadi dilindungi dengan sebuah tirai dan di depannya ada dian yang bercarang tujuh yang
senantiasa dinyalakan. Semua materi tadi menggambarkan bahwa jauh dari mereka hadirlah Allah di
dalam sejarah Israel dan Dia tetap akan hadir di tengah-tengah umatNya yang pada saat itu sedang
melaksanakan bakti.
Hal yang lain yang kita saksikan di dalam sinagoge adalah Bema yaitu sebuah panggung yang di atasnya
berdiri mimbar. Di atas mimbar inilah Kitab Suci dibacakan, diuraikan dan doa dinaikkan. Secara
simbolis Bema tadi menggambarkan tempat Firman Allah di tengah-tengah umatNya dan bahwa umat
Allah mengelilingi Firman Allah untuk mendengar Allah berbicara dan untuk menyampaikan kepada Dia
doa-doa mereka.

Gereja Protestan.
Di dalam gedung-gedung Gereja Protestan, penggunaan spasi menunjukkan ciri bahwa mimbar selalu
diletakkan di tengah-tengah. Bagi mimbar itu mungkin diberi tempat yang lebih tinggi daripada umat

17
yang sedang berkumpul supaya pembicara di mimbar itu bisa dilihat dengan jelas sekali atau mimbar
juga bisa diletakkan di tengah pada suatu panggung. Lokasi mimbar ini menyimbolisir komunikasi dari
pembaruan Protestan dalam hal Firman Allah dan penekanan pada khotbah. Ini merupakan suatu
penggunaan spasi yang sangat kuat, yang sangat simbolis di dalam Gereja-geraja Protestan. Hal
berikutnya yang menyolok pada Gereja Protestan adalah pada penggunaan spasi untuk meletakkan meja
perjamuan suci di bawah mimbar atau diletakkan juga di tengah tetapi di depan mimbar. Secara simbolis
pun hal ini untuk menggambarkan bahwa Khotbah lebih penting dari pada perjamuan suci.
Perubahan-perubahan ini merupakan ekspresi dari perubahan-perubahan pandangan tentang ibadah.
Kalau kita membandingkan akan ibadah Gereja-gereja Protestan dengan Gereja-gereja abad
pertengahan maka pada zaman abad pertengahan, jemaat itu menyaksikan ibadah sedangkan di dalam
Gereja Protestan jemaat itu mendengar ibadah. Oleh sebab itu maka kita harus kembali kepada ibadah
yang tercatat di dalam Kitab Suci yang merupakan pekerjaan dari seluruh jemaat dan penggunaan spasi
dengan maksud supaya seluruh jemaat itu mengambil bagian di dalam ibadah.

3. IBADAH DAN WAKTU


Konsep waktu bagi orang kristen harus dimengerti dengan latar belakang pandangan orang-orang
Yunani dan Perjanjian Lama tentang waktu.

Pandangan Orang Yunani Tentang Waktu


Dua istilah yang sangat penting yang digunakan dalam bahasa Yunani mengenai waktu adalah kairos dan
chronos. Kairos menggambarkan masa yang sangat penting dan mungkin menunjukkan pada waktu-
waktu yang khusus seperti waktu kelahiran, waktu pernikahan, dan waktu kematian. Chronos
menunjukkan waktu antara masa-masa yang khusus sehingga boleh dikatakan semacam kronologi. Oleh
sebab itu kairos dipandang sebagi waktu yang lebih baik, waktu yang khusus atau waktu yang
mengandung arti.
Tekanan yang kedua dikalangan orang Yunani adalah bahwa waktu itu bersifat cyclical. Waktu tidak
mempunyai sasaran. Waktu berjalan terus menuju kepda suatu saat yang memberikan arti dan tujuan dari
pada kronologi. Dengan demikian maka sejarah dan manusia memiliki nasib bahwa mereka itu
menghadapi waktu yang terus menerus. Pandangan yang pesimis mengenai waktu ini membuat seseorang
itu seolah-olah tidak menemukan makna apa-apa mengenai keberadaannya di dalam dunia ini kecuali
yang dia sendiri memandang berguna.
Konsep Waktu Bagi Orang Ibrani
Orang-orang Ibrani yang kuno juga mempunyai pengertian mengenai waktu yang ditandai dengan
kronos dan kairos. Walaupun demikian pandangan mereka itu berbeda sekali dengan pandangan orang
Yunani karena orang Ibrani memiliki pandangan teologis. Mereka memercayai akan adanya Allah yang
transenden yang membuat diriya hadir di dalam waktu melalui peristiwa historis.

18
Oleh sebab itu ciri yang pertama dari pengertian waktu bagi orang Ibrani ialah bahwa waktu ditandai
oleh peristiwa-peristiwa historis. Peristiwa-peristiwa tadi adalah suatu serie moment khusus yang
menggambarkan tindakan-tindakan keselamatan dari Yahweh, umpamanya perhatian diberikan banyak
untuk waktu daripada Musa yang sudah memimpin orang-orang Israel keluar dari mesir (Ul 1:9, 16, 18;
2:33, 34; 3:3, 4; 4:4; 6:6; 9:19). Peristiwa yang lain adalah mengenai pemerintahan Daud (1 Taw 21:28,
29). Kemudian pembangunan Bait Suci oleh Salomo (2 Taw 7:8). Seluruh Perjanjian Lama menaruh
perhatian di dalam sejarah terutama peristiwa-peristiwa yang ditulisnya secara mendetail mengenai
tindakan-tindakan Yahweh bagi kepentingan bangsa Israel (Neh 1:5-9; Mzm 78; Yer 11:1-5). Bagi orang-
orang Ibrani waktu bukanlah sesuatu yang tanpa makna karena waktu menggambarkan peristiwa-
peristiwa dimana Tuhan Allah bekerja untuk memenuhi akan kehendakNya dan rencanaNya melalui umat
israel. Waktu bagi orang Israel bersifat linear bergerak menuju kepada jurusan tertentu.
Selanjutnya tanda yang kedua dari pengertian orang Ibrani mengenai waktu adalah penekanan tentang
nubuat. Waktu tidak saja berakarkan pada peristiwa-peristiwa yang lampau seperti exodus tetapi juga
mengenai peristiwa-peristiwa yang akan datang kemana segala sesuatu bergerak. Peristiwa-peristiwa yang
sudah terjadi di dalam waktu mengandung suatu elemen pengharapan, menantikan sesuatu, penggenapan
sesuatu bahkan penghakiman. Para nabi terutama menubuatkan mengenai suatu penghakiman Allah yang
eschatological melawan bangsa-bangsa bahkan melawan Israel yang tidak setia kepada Allah (Yes 18:1;
Yer 4:11-12; 8:1; Daniel 12:1; Yoel 3:1,2; Mikha 3:4).
Orang-orang Ibrani menyadari mengenai waktu dan kekekalan yang sebenarnya merupakan konsep
yang tidak berlawanan. Sebaliknya Tuhan Allahlah yang menciptakan waktu, aktif di dalam waktu,
bergerak menuju penggenapan sesuai dengan rencanaNya. Dengan demikian maka waktu merupakan
suatu struktur yang integral dalam kenyataan/realita dari Allah. Karena itu maka setiap peristiwa di dalam
waktu mempunyai makna yang benar. Waktu bukanlah hasil dari kebetulan tetapi bukti pemeliharaan
Allah yang Maha baik dan rencana bagi karya penciptaanNya.
Orang Ibrani juga mempunyai konsep tentang waktu di dalam Perjanjian Lama mengenai ibadah.
Ibadah dilakukan karena peristiwa-peristiwa yang lampau dan dijadikan sesuatu yang bermakna hari ini
dengan memberikan batasan-batasan waktu di dalam ibadah sebagai pernyataan iman di dalam Perjanjian
Lama. Selanjutnya melalui ibadah bangsa Israel mengantisipasi penggenapan ibadah yang akan muncul di
dalam jaman yang baru.

SYNTHESIS KRISTEN
Pengertian orang kristen mengenai waktu juga menggunakan konsep chronos dan kairos dengan
mempertahankan perbedaan yang diberikan terhadap dua istilah tadi yang diberikan oleh orang Yunani
tetapi juga dengan mempertimbangkan pengunaan pengertian orang-orang Ibrani.
Menurut konsep kristen, moment yang utama di dalam kairos dan chronos adalah moment inkarnasi,
kematian dan kebangkitan Kristus. Dengan demikian maka di dalam kekristenan semua waktu memiliki

19
suatu pusat. Segala sesuatu sebelum Kristus telah digenapi di dalam Kristus.
Dengan Kristus sebagai pusat kita menyaksikan 3 macam waktu:
①Penggenapan waktu. Inkarnasi Allah di dalam Kristus menggambarkan penggenapan segala
pengharapan tentang Mesias di dalam PL
②Kedatangan Kristus pada masa keselamatan. Kematian Tuhan Yesus terjadi pada waktu yang sudah
ditetapkan oleh Allah.
③Peristiwa Kristus menghantar kita kepada waktu antisipasi bagi orang-orang kristen. Aspek waktu ini
didasarkan pada kebangkitan, kenaikan dan janji kedatanganNya kembali. Oleh karena itu, gereja sama
seperti umat Allah di dalam PL mengantisipasi masa depan.
Konsep orang kristen mengenai waktu sangat penting karena waktu memainkan peranan yang sangat
berarti dalam ibadah gereja. Peristiwa-peristiwa historis dan yang tidak bisa diulangi lagi mengandung
informasi dan memberikan makna kepada waktu. Oleh sebab itu, di dalam ibadah kita itu mensucikan
waktu sekarang dengan mengenang ulang peristiwa-peristiwa yang lampau dari Yesus sewaktu Dia
memasuki waktu dan yang mengubah hari ini dan akan memberikan bentuk kepada yang akan datang.
Gereja lalu merayakan peristiwa-peristiwa Kristus ini secara tahunan, mingguan dan harian.

PERAYAAN TAHUNAN MENGENAI WAKTU


Istilah Yang paling umum mengenai perayaan tahunan adalah yang dinamakan tahun gereja. Tahun
gereja merupakan bagian yang vital di dalam ibadah sampai pada zaman reformasi. Kaum reformator
menyingkirkan tahun gereja ini karena pada masa abad pertengahan, tahun gereja ini disalahgunakan
dengan memberi saat-saat di dalam satu tahun suatu nama berdasarkan seseorang orang suci. Maka pada
hari tersebut diadakanlah perayaan untuk mengingat kembali akan kehidupan dan kebaikan orang-orang
suci tadi. Kini gereja-gereja yang injili masih menggunakan perayaan tahunan tetapi yang hanya
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa Kristus saja.
Adapun perayaan-perayaan yang masih dipertahankan oleh orang kristen adalah:
Perayaan Advent
Perayaan Epiphany
Perayaan Lent
Perayaan Paskah
Perayaan Pentakosta
PERAYAAN ADVENT. –empat mingguh sebelum Natal.
Istilah Advent berarti kedatangan. Perayaan ini menggambarkan masa sebelum kelahiran TuhanYesus
dimana gereja itu sedang mengantisipasi kedatangan Mesias. Gereja Roma Katolik menggunakan masa 4
minggu sebelum Kristus sebagai masa Advent. Nampaknya pendapat ini diterima secara universal.
PERAYAAN EPIPHANY.
Istilah ini mengandung arti manivestasi. Istilah ini dipergunakan untuk menggambarkan manivestasi

20
kemuliaan Allah di dalam Yesus Kristus sewaktu Dia dilahirkan, dibaptis dan mengadakan mujijatNya
yang pertama. Walaupun asal-usul Epiphany tidak jelas tetapi nampaknya berasal di kalangan orang-
orang kristen yang ada di Mesir untuk menghadapi suatu pesta dari orang-orang kafir yang diadakan pada
tanggal 6 Januari. Masa epiphany ini dimulai pada 6 januari yaitu sewaktu Tuhan Yesus
memanivestasikan diriNya kepada orang-orang majus yaitu dunia bukan Yahudi. Perayaan Epiphany ini
lebih tua daripada perayaan natal dan menggambarkan tentang keseluruhan maksud inkarnasi. Oleh sebab
itu tekanan di dalam ibadah Epiphany adalah berbagai cara Yesus menyatakan diriNya di dalam dunia ini
sebagai anak Allah yang berinkarnasi. Masa ini berakhir pada masa transfigurasi.
PERAYAAN LENT.
Lent menggambarkan masa persiapan menjelang Paskah. Asal-usul lent adalah persiapan orang-orang
yang mau dibaptis dengan mengikuti pelajaran cathechisatie. Waktu persiapan untuk baptisan ini
ditetapkan di dalam Didache, pelan-pelan masa perparasi ini dihubungkan dengan angka 40 yaitu Musa
yang dipersiapkan 40 tahun untuk mengemban misinya. Orang Israel yang berada padang belantara
selama 40 tahun. Tuhan Yesus yang selama 40 hari berada di padang belantara. Pembacaan kitab Suci dan
khotbah-khotbah pada masa ini harus membicarakan mengenai pelayanan Tuhan Yesus terutama
pengajaran-pengajaranNya melalui perumpamaan-perumpamaan dan mujijat-mujijatNya. Tekanan yang
terutama harus diberikan adalah konflik yang makin menjadi antara Tuhan Yesus dengan mereka yang
melawan Dia dan persiapan untuk Dia menghadapi kematianNya. Masa Lent diakhiri dengan masa yang
dinamakan Rabu abu yang sebenarnya memberikan pertanda bahwa minggu suci itu sudah berakhir.
Rabu abu dipergunakan sejak abad yang kelima dimana pada masa itu abu dipergunakan sebagai
simbol pertobatan seseorang yang kita saksikan sejak Perjanjian Lama. Kemudian dipergunakan juga oleh
gereja awal pada abad yang kedua untuk mengggambarkan pertobatan. Formula untuk Rabu abu diambil
dari Kej 3:19. Kata-kata ini menggambarkan bahwa seseorang itu harus menyerahkan diri untuk mau
berdoa, bertobat, meneliti diri sendiri, dan mengadakan pembaharuan. Akhir dari perayaan Rabu abu tadi
adalah Paskah dimana diberitakan: Kristus sudah bangkit.
PERAYAAN PASKAH.
Paskah merupakan suatu masa yang penuh dengan sukacita dan perayaan. Kalau pada masa lent maka
suasana itu sangat serius maka pada masa Paskah suasananya adalah kesukacitaan kebangkitan. Khotbah-
khotbah pada masa ini membicarakan mengenai peristiwa-peristiwa sesudah kebangkitan Tuhan Yesus
Kristus dimana Yesus bertemu dengan murid-muridNya serta menyiapkan mereka untuk menjadi saksi-
saksi bagi kerajaanNya. Masa ini berjangka 50 hari.
PERAYAAN PENTAKOSTA.
Istilah Pentakosta berarti 50, menggambarkan 50 hari sesudahnya Paskah sewaktu orang-orang
Yahudi merayakan pesta mingguan suatu pesta pertanian yang merayakan akhir dari penuaian gandum
dan permulaan dari penuaian jelai. Dalam kalender kristen istilah ini dihubungkan dengan kedatangan
Roh Kudus yang menjadi permulaan gereja kristen. Masa pentakosta merupakan masa yang paling

21
panjang bagi gereja karena meliputi 27 atau 28 minggu yaitu sampai masa Advent. Khotbah-khotbah pada
masa ini dipusatkan kepada perkembangan gereja mula-mula dengan penekanan kuasa Roh Kudus yang
melengkapi pelayanan para rasul dan penulisan Perjanjian Baru.
PERAYAAN MINGGUAN.
Perayaan mingguan adalah perayaan yang dilakukan pada setiap hari minggu. Mau tidak mau, kita
perlu mempermasalahkan apa hubungan minggu dengan sabat. Menghadapi pertanyaan ini maka kita
mengetahui bahwa sabat merupakan institusi Perjanjian Lama sehingga bersama-sama dengan Bait Suci
menunjuk kepada Yesus Kristus. Di dalam PL, hari sabat ialah hari istrahat yang jatuh pada hari yang
ketujuh (Kel 16:23, 26). Dengan demikian maka sabat itu berkaitan dengan waktu. Sabat merupakan
simbol dari waktu yang suci yang memandang ke masa depan di mana akan digenapkan sesuatu yang
besar. Penggenapan dari sabat tentulah Yesus Kristus (mat 12:1-13). Dialah yang menjadi sumber istrahat
itu (Mat 11:28). Ini merupakan tema dari penulis Ibrani pada waktu ia membicarakan masalah sabat (Ibr
4:1-11). Penulis Ibrani menemukan 3 perhentian di dalam tata kerja Allah yaitu perhentian setelah
penciptaan, perhentian setelah bangsa Israel memasuki tanah Kanaan dan perhentian di dalam Yesus
Kristus. Dengan demikian maka sabat mempunyai karakter eschatological. Sabat menunjuk kepada masa
depan dimana Kristus adalah penggenapannya. Orang-orang kristen kini sudah hidup di dalam perhentian
sabat dengan keberadannya di dalam Yesus Kristus. Mengingat akan hal ini maka sama seperti Bait Suci,
hari sabat sebagai institusi sudah dihapuskan tetapi prinsip dari perhentian, prinsip kehadiran Allah di
dalam Bait Suci tetap dipertahankan. Orang-orang kristen kini hidup pada jaman perhentian. Walaupun
demikian, orang-orang kristen mengekspresikan perhentian batiniah itu secara eksternal yaitu melalui
pelaksanaan ibadah pada hari minggu.
Walaupun demikian alasan utama mengapa ibadah diubah pada hari minggu adalah karena hari
minggu merupakan hari kebangkitan. Gereja mula-mula berkumpul pada hari minggu yang dinamakan
sebagai hari Tuhan untuk mengingat akan kebangkitanYesus Kristus. Dengan demikian maka setiap hari
minggu adalah laksana hari kebangkitan Yesus Kristus.
Hari minggu merupakan hari pertama dari minggu orang Yahudi. Dengan demikian orang-orang kristen
pada mulanya menganggap itu sebagai hari peringatan penciptaan dunia. Tetapi hari minggu adalah lebih
dari sekedar suatu hari peringatan karena hari minggu juga menggambarkan hari dimana Tuhan Allah
mencipta ulang yaitu menciptakan suatu ciptaan yang baru. Oleh karena itu hari minggu itu dipandang
sebagai akhir dari penciptaan yang pertama-tama.
Selanjutnya hari minggu merupakan hari matahari menurut kalender astrologi (Sunday berasal dari
kata Sun = matahari). Orang-orang kristen pada mulanya tidak berusaha untuk menyamakan hari minggu
dengan harinya matahari. Walaupun demikian mereka menggunakan kesempatan untuk menginjili orang-
orang yang belum percaya melalui menginterpretasikan ulang harinya matahari dengan motif penciptaan
yang baru.
Yang paling penting adalah bahwa hari minggu adalah hari yang kedelapan. Kalau hari yang ketujuh

22
adalah gambaran dari perhentian maka simbolpada hari yang pertama adalah re-kreasi. Hari yang
kedelapan adalah gambar dari dunia masa depan. Inilah gambaran pengharapan gereja awal secara
eskatologi yaitu melihat masa dpan dengan zaman sekarang dan menandakan permulaan dari zaman kekal.
WAKTU PERAYAAN HARIAN.
Perayaan harian itu adalah perayaan dimana ibadah berpusat pada doa. Di dalam PB nampaknya
kebiasaan ini sudah tidak lagi nampak. Walaupun demikian orang-orang kristen yang berlatarbelakang
Yahudi masih tetap mempertahankan hal ini karena kebiasaan mereka untuk menaikkan doa harian
mereka.

4. IBADAH DAN BUNYI


Semua penciptaan dibuat untuk memuji-muji Tuhan tetapi karena semua ciptaan itu sudah jatuh di
dalam dosa maka puji-pujian ini tadi sudah tidak lagi terlaksana. Namun melalui penebusan Tuhan Yesus
maka kembali orang-orang percaya dapat melibatkan diri di dalam pelayanan puji-pujian kepada Bapanya.
Maka dalam hal ini suara berperan.
Suara memberikan kesaksian mengenai Allah transenden dan pekerjaan keselamatanNya yang
dinyanyikan. Rasul Yohanes menggambarkan suara itu sebagai nyanyian baru (Wahyu 5:9-13).
Suara selanjutnya di dalam membuat orang-orang yang beribadah berdiam untuk mengikuti akan
kumpulan orang-orang di surga yang menaikkan puji-pujian kepada Bapanya. Sikap di dalam ibadah pada
masa itu digambarkan di dalam menyanyikan sanctus.
Suara juga menunjukkan sikap di dalam kita beribadah karena melalui suara maka apa yang ada di
batin kita yaitu rasa kagum dan cinta menyertai kita sewaktu kita itu bertemu dengan Allah. Melalui suara
kita melepaskan apa yang di dalam batin kita dengan kata-kata supaya dengan demikian maka kita bisa
menyatakan isi hati kita kepadaNya. Selanjutnya melalui suara maka di dalam ibadah kita secara
bersama-sama sebagai satu tubuh Kristus melaksanakan pujian bersama-sama kepada Tuhan. Maka
menyanyi/memuji bersama-sama merupakan suatu rahasia dari gereja sebagai suatu persekutuan. Melalui
puji-pujianlah maka perbedaan gereja-gereja dan kesatuan gereja-gereja dibawa kepada satu kesatuan
yang unik.
Kadang-kadang kita gagal menyadari berbagai macam suara di dalam pelaksanaan ibadah. Suara-
suara itu kadang-kadang hanya dilihat sebagai suatu jalan untuk mendukung kata-kata atau tindakan yang
merupakan bagian yang vital dalam ibadah. Tetapi karena ibadah itu adalah suatu tindakan maka
sungguhlah jemaat itu membutuhkan sesuatu tindakan yang konkrit. Maka suasana dan tiap bagian dari
ibadah itu melalui suara dinyatakan yang tidak beda dengan apa yang bisa dinyatakan melalui kata-kata
atau tindakan lainnya.
Menyambung akan ucapan kata-kata maka kita bisa menghadapi apa yang dinamakan permainan
musik. Rhythmo musical recitation yang juga dinamakan proklamasi. Yang dimaksud di sini adalah suatu
pemberitaan kepada Allah yang dilakukan oleh jemaat atau dari Allah kepada jemaat. Suara ini

23
diwujudkan dalam bentuk doa, pembacaan Kitab Suci, introduksi, khotbah dan berkat. Walaupun ucapan
sehari-hari yang dipergunakan namun tetap elemen ritme dan melodi selalu hadir sebagai suatu cara
memproklamasikan mengenai arti dan pentingnya kata-kata. Nada dan ucapan yang tidak menunjukkan
suatu dinamika membuat kita mendengar sesuatu itu secara membosankan sedangkan nada yang
menggambarkan intosiasme dan penjelasan menimbulkan suatu kesukacitaan, menariknya suatu berita
dan pentingnya sesuatu berita.
Suara juga dipergunakan pada waktu kita menyanyikan doa Bapa kami, pada waktu kita menyanyi
sebagai respon kepada khotbah, atau sewaktu kita menyanyikan lagu-lagu Mazmur. Di sinilah suara
disesuaikan dengan kata-kata sedemikian rupa sehingga kita semua dapat beribadah di dalam suatu
kesatuan untuk menyampaikan apa yang tertulis di dalam kata-kata pujian tadi.
Suara juga dikenal melalui apa yang dinamakan Chant. Chant merupakan suatu ekspresi musik dalam
bentuk suara yaitu mengucapkan kata-kata secara musik. Cara pembacaan ayat-ayat Kitab Suci secara
musik tadi dilakukan sejak di dalam PL dan juga diteruskan pada gereja awal.
Suara juga dinyatakan melalui hymnal yaitu puji-pujian yang sangat penting di dalam ibadah yang
membawa orang yang beribadah itu datang lebih dekat kepada Tuhan dalam suatu tantangan, suatu respon,
suatu penyerahan yang mendalam kepada Allah.
Akhirnya suara juga bisa dinyatakan tanpa kata-kata yang dinamakan Jubilus yang dikenal sejak
gereja awal. Jubilus zaman sekarang banyak digunakan dengan nyanian haleluyah. Golongan kharismatik
menggunakan jubilus ini dengan yang mereka namakan nyanyian di dalam roh. Tetapi jubilus juga dapat
dinyatakan melaui permainan organ atau permainan alat instrumen lainnya yang disampaikan kepada
Allah sebagai suatu tindakan ibadah.
SEJARAH SUARA DALAM IBADAH GEREJA AWAL.
Di dalam PB, ucapan dan nyanyian dipisahkan. Baik orang Ibrani maupun orang Yunani mempunyai
istilah yang terpisah tentang nyanyian untuk membedakan dari ucapan. Di dalam PB kita melihat ada
bukti-bukti yang nyata dari penggunaan suara dalam ibadah. Contoh anjuran Paulus kepada orang Efesus
(Efs 5:19; 1 Kor 14:15; Kis 16:25; Kol 3:16; Yak 5:17).
SEJARAH SUARA DAALAM IBADAH GEREJA AWAL.
Sesuatu yang menarik sekali pada zaman ini adalah bermula dari hymnal. Musik semacam ini
meberikan suatu karakter yang populer dan menekankan teksnya lebih daripada suaranya. Dengan
demikian maka banyak hymnal dikarang untuk mengajarkan ajaran baik yang Alkitabiah maupun yang
sesat. Hal ini makin nampak dikembangkan dalam abad yang ke-4 dan ke-5. Kemudian perkembangan
dilanjutkan dengan masalah hymnologi yang dilanjutkan oleh Ambrose yaitu bishop dari Milan. Itu
sebabnya Ambrose dikenal sebagai bapak hymnologi dalam gereja-gereja barat. Dua abad kemudian
maka Gregori Agung menambah lagi sistem dari Ambrose tadi yang kini dikenal sebagai pujian gregorian.
SEJARAH SUARA DALAM IBADAH GEREJA ABAD PERTENGAHAN.
Gereja abad pertengahan menghasilkan ada banyak hymnal yang baru dan yang masih digunakan

24
sampai saat ini. Contoh: Ya Datanglah Imanuel (Humnos 53) dan Kepala Yang Berdarah (Humnos 61).
Tetapi yang tidak baik pada zaman abad pertengahan adalah bahwa gereja melarang orang awam
menyanikan lagu-lagu hymnal disebabkan karena orang-orang awampun dilarang untuk berkhotbah dan
menjelaskan Kitab Suci sejak John Hus tokoh reformasi mula-mula yang dibakar hidup-hidup. Yang
sangat berkembang pada abad pertengahan ini adalah lagu Gregorian. Tetapi dibanding dengan masa yang
lampau maka pada zaman abad pertengahan lagu-lagu yang dipergunakan sudah lebih menampakkan
profesionalisme. Musiknya sudah mulai indah dan menggugah hati. Sayang karena awam tidak boleh
menyanyikannya maka lagu-lagu ini lebih termasuk di dalam kategori musik untuk disandiwarakan atau
untuk ditonton oleh orang. Dengan demikian ibadah sudah bukan lagi merupakan tindakan jemaat tetapi
merupakan tindakan dari sekelompok manusia.
SEJARAH SUARA DALAM IBADAH DI ZAMAN REFORMASI.
Salah satu hal yang terpenting di dalam reformasi adalah bahwa di dalam ibadah, awam kembali
berperan di dalam memuji-muji Tuhan. Martin Luther yang adalah seorang pecinta musik dan menguasai
musik juga dikaruniai karunia untuk mengarang musik. Ia telah menciptakan hymnal-hymnal yang bisa
mencocoki hati rakyat jelata. Pekerjaannya begitu efektif sehingga membuat orang-orang sungguh-
sungguh menjadi bertobat. Ciri dari hymnal Martin Luther adalah bahwa melodinya sederhana,
harmoninya sangat kuat dan ritmenya sangat jelas. Karya Luther ini dilanjutkan oleh J.S Bach.
John Calvin juga mulai memasukkan musik di dalam gereja dan mulai memasukkan nyanyian-nyanyian
Mazmur. Bagi dia hymnal itu adalah buatan manusia sedangkan Mazmur adalah inspirasi Firman Allah.
Pada mulanya Calvin hanya mengijinkan nyanyian bersama dan ini bertentangan dengan anjuran Luther
yang menganjurkan nyanyian secara pribadi. Calvin juga menolak penggunaan instrumen yang
dianggapnya sebagai sesuatu yang duniawi tetapi kemudian mengubah pandangannya itu dan
mengijinkan instrumen untuk mendampingi nyanyian jemaat.
SEJARAH SUARA DALAM IBADAH DI JAMAN MODERN.
Dalam zaman modern ini diciptakanlah hymnologi oleh Isaac Watts (1674-1748). Dia bereaksi
menghadapi penggunaan nyanyian mazmur yang olehnya dianggap sesuatu yang terlalu dingin dan
kurang membawa kehidupan. Lalu dia menulis hymnal-hymnal yang mencerminkan suatu ibadah dan
menganjurkan supaya kita boleh bersama-sama menikmati kesukacitaan dari kebangkitan Tuhan Yesus.
Oleh pengaruh Issac Watts yang sudah mengarang lebih dari 600 hymnal maka pada abad ke-18,
nyanyian hymnal secara umum dipergunakan di Inggris. Lagu-lagu yang dipergunakan dalam gereja kini
menjadi lagu-lagu yang berpusat kepada Allah yaitu kesempurnaan Allah, kemuliaan pekerjaanNya, kasih
karuniaNya di dalam tindakan-tindakanNya melalui Yesus Kristus. Di samping itu, lagu-lagu itu
mempunyai penekanan pada pengalaman pribadi dan pemanggilan. Walaupun lagu-lagu pada abad ke-18
mempersoalkan penginjilan dan pengalaman pribadi tetapi kita saksikan bahwa tekanan objektif kepada
Allah masih tetap dipertahankan secara sehat. Lagu-lagu yang terkenal seperti Terpujilah NamaNya
(Humnos 28) dan Negeri Sion Tempat Indah (Humnos 92) merupakan contoh bagaimana keseimbangan

25
antara yang subyektif dan obyektif.
Pada akhir abad ke-19 maka kita menemukan lagu-lagu penginjilan yang populer dan banyak
dipergunakan. Lagu-lagu ini terutama dikarang oleh Fanny Crosby seperti lagu Sebagaimana Adaku
(Humnos 136), Kuserahkan Hidupku (Humnos 228).

5. MUSIK ADALAH PEMBERIAN ALLAH BAGI KITA.


Kaum Anthroplogis menyatakan berdasarkan laporan Kitab kejadian bahwa semua manusia adalah
mahkluk-mahkluk yang aesthetic(Mampu untuk menghargai apa yang indah). Orang-orang yang tinggal
di gua-gua pada zaman Pra Histori Eropa mungkin tidak memiliki bahasa yang tertulis tetapi mereka
serigna membuat lukisan-lukisan dengan warna-warna yang indah sekali. Demikian juga orang-orang
perimitif yang mempunyai pakaian yang sangat sederhana mamun tetap diwarnai dengan warna yang
indah dan disain yang khas. Memang Tuhan Allah sudah memberikan insting kepada manusia secara
umum untuk mencipta dan untuk menikmati apa yang indah. Terlalu sering kita tidak bisa menerima
bahwa orang-orang perimitif, orang yag tidak percaya memiliki kemampuan-kemapuan yang tidak kalah
bahkan kadang-kadang lebih daripada orang-orang yang percaya. Tetapi John Calvin dengan tegas
mengatakan berdasarkan doktrin “kasih karunia universal” bahwa Tuhan Allah memberikan pemberian-
pemberian kepada manusia entah dia itu percaya ataupun tidak percaya. Bagi orang-orang permitif
dalam jaman sejarah dahulu, hidup adalah menjadi seorang seniman. Itu sebabnya mereka menggambari
tubuh mereka. baju mereka bahkan persenjataan mereka. segala yang mereka lakuan apakah itu bermusik
menari atau menyanyi atau berpantomim, semuanya itu merupakan suatu seni yaitu suatu jalan untuk
memberikan identitas daripada suku atau kelompok suku mereka. walaupun setiap anggota grup itu setiap
harinya mengambil bagian didalam seni namun ada para ahli yang menghasilkan seni tersebut.

Pada halaman-halaman Kitab Suci kita bisa membaca seseorang yang bernama Yubal yang adalah
Bapa dari semua orang yang memainkan kecapi dan seruling. Yubal adalah kakak dari Yabal yaitu Bapak
dari sumua orang yang diam dalam kemah dan yang memelihara ternak. Maka Yubal menikmati akan
segala usaha kerja dari kakanya Yabal sedangkan Yabal menikmati seni musik dari adiknya Yubal.
Kemudian di dalam 1 Twr 15:22 kita membaca tentang kinanya pemimpin orang Lewi yang memimpin
orang-orang Lewi dalam musik karena dia memahami musik.

Pada jaman Yunani kuno maka seni juga merupakan sentral di dalam kehidupan mereka. Di dalam
sistim pendidikan mereka yang cukup sempurna pada saat itu maka latihan daripada bermusik berupakan
bagian daripada pendidikan sehingga kita kemudian menyaksikan adanya penyanyi-penyanyi untuk
memuji Dewa-dewa mereka, pada masa pernikahan dan kematian, dalam merayakan kemenangan bagi
para atlit atau untuk mengenangkan orang-orang yang ternama.

26
Pada jaman pertengahan maka gereja merupakan kekuatan yang dominant dalam masayraka Barat.
Pada masa itu kita saksikan adanya kesenian yang cukup tinggi umpama Catedral dengan gambaran-
gambaran di kaca mereka, adanya patung-patung dan buku-buku nyayian. Semua ini memberikan suatu
kesaksian bahwa pada jaman itu kesenian tertuju kepada Allah dan direncanakan untuk menjadi berkat
bagi semua manusia.

Pada jaman pertengahan maka kita sudah menyaksikan bahwa seni dilakukan oleh dua kelompok
manusia yaitu yang professional dan yang amatir. Sedangkan yang amatir menghasilkan hasil-hasil
keindahan seperti lagu-lagu rakyat. Dan pada abad yang ke 16 pada waktu itu sudah dibentuk ibadat
Protestan maka banyak lagu-lagu koor Jerman dan lagu-lagu Mazmur Pernacis dibuat berdasarkan akan
puisi rakyat yang bukan Kristen maupun berdasarkan nada-nada/lagu-lagu rakyat.

Dengan masuknya kita kejaman Renaissance maka orang-orang biasa kini menetapkan perhatian yang
khsus. Mengingat hal ini maka materi dan ekspresi daripada aestetica juga mengalami perubahan. Pada
awal abad yang ke16 dan 17 maka disusunlah musik untuk konser maupun untuk ibadat. Tetapi pada abad
yang ke19 maka kita sudah menyaksikan terbentuknya orkestera-orkestera. Lagu-lagu rakyat dan musik
rakyat kini lebih bersifat hiburan. Pada bagian terakhir dari abad ke 20 maka musik pop kini yang
menonjol sekali. Nampaknya suatu standard daripada bangsa tetapi lebih bersifat dan dikuasai oleh
dengan materialisme dan industrialisme. Lain sekali dengan seni daripada Negara-negara Asia yang masih
mempertahankan standar dan seni daripada kehidupan sesuatu bangsa.

Musik merupakan suatu bahasa yang universal. Boleh dikatakan merupakan bahwa musik merupakan
jalan yang universal untuk menyatakan susuatu kepada orang lain. Dan musik yang merupakan suatu
bahasa yang simbolis paling baik dimengreti oleh kebudayaan sendiri yang menyusun musik tersebut.
Kita harus mengerti bahwa di dalam komunikasi kata-kata maka kita bisa menghadapi makna yang khas
daripada kata-kata tersebut tetapi hal ini tidak kita jumpai dalam musik. Bahasa musik dan untuk suatu
kebudayaan tertentu mempunyai pengertian yang berbeda untuk setiap individual yang berbeda dalam
kebudayaan itu tetapi untuk orang-orang yang tidak berbada dalam kebudayaan itu maka bahasa musik itu
sama sekali tidak ada artinya.

Apa peranan musik di dalam kebudayaan? Menurut tradisi Hindu kuno maka dikatakan bahwa musik
berasal-usul dari Allah dan rupanya pandangan ini diterima baik juga oleh banyak gerja-gereja yang injili
berdasarkan Ayub 38:4-7.

Orang-orang Yunani yang kuno terutama yang bernama Pythagoras(abad ke 6 sebelum Kristus)
berhasil membuat teori musik yang pertama yang dan yang komplit dan dia melihat ada hubungan yang

27
erat antara musik dan matematika. Kemudian para ahli filsafat Yunani yang bernama Plato dan Aristoeles
menyusun konsep bahwa ada musik-musik tertentu bisa mempengaruhi sikap perbuatan manusia entah
untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Kemudian Noe Platonis seperti Platinus(tahun 205-270 sesudah
Kristus) juga menyatakan bahwa musik membawa pengaruh moral kepada manusia. Dan pandangan ini
kemudian juga diterima baik oleh bapak-bapak gereja yang pertama.

Orang-orang modern berusaha untuk mengerangkan bahwa musik itu lebih bersifat alamiah daripada
super natural. Kebanyakan daripada mereka bahwa musik itu ada hubungannya yang sangat berarti
terhadap emosi manusia. Ada yang merasa bahwa musik itu menyatakan perasaan emosional seseorang
sehingga dikatakanlah bahwa musik itu merupakan bahasa emosi. Orang-orang lain lagu yang
memganggap bahwa musik itu tidak menyatakan “emosi sekarang” tetapi mengingat kembali suatu
pengalaman emosi pada waktu yang lampau. Seseorang penyanyi yang menyanyikan sebuah lagu yang
gembira belum tentu saat ia menyanyi ini sedang bergembira. Ada lagi yang beranggapan bahwa musik
mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi emosi dan bolehlah dikatakan bahwa musik mengatakan
ataupun menyatakan akan emosi seseorang. Kemudian dikatakan juga bahwa musik itu dapat membawa
pengaruh yang negatif terhadap kepribadian seseorang maupun membawa pengaruh yang positif.
Demikian kaum Pacifist (kaum yang menentang terjadinya peperangan) menganggap bahwa musik-musik
militer itu hanya mengerakkan orang untuk berperang saja. orang lain lagi menganggap bahwa lagu-lagu
rok membawa suatu sikap yang anti social karena akan memanipulir kepribadian manusia.

Musik juga mengandung ketenangan bagi banyak orang. Kaum anthropologist mengatakan bahwa
orang-orang primitif sering menyayni-menyanyi setelah mereka itu mendapatkan apa yang mereka
peroleh atau mendapat serangan dari yang menentang mereka.

Banyak yang berangappan bahwa fungsi pertama daripada musik bagi setiap masyarakat adalah
bahwa dia mengandung suatu sistim penilaian kebudayaan sesuatu masyarakat. Yang dimaksudkan di sini
adalah bahwa ekspresi daripada sesuatu musik akan memberikan identitas daripada sesuatu kebudayaan
tertentu. Itu sebabnya musik sering dipergunakan untuk aktivitas-aktivitas tertentu daripada masyarakat
misalkan untuk maksud-maksud politik, sosial ataupun keagamaan. Musik juga memberikan identitas
daripada berbagai tingkat umur manusia misal kaum remaja yang senang rok‟nroll, kaum mahasiswa
yang lebih senang lagu-lagu rakyat dan jazz dst.

Komunikasi musik kadang-kadang menghadapi lowongan(gap) yang cukup tajam antara kebudayaan-
kebudayaan oleh karena setiap bahasa-bahasa musik bersifat khas untuk suatu kelompok tertentu dan juga
sangat terikat pada identitas daripada hidup bermasyarakat. Demikianlah musik timur suka dimengerti
oleh orang barat demikian sebaliknya. Orang-orang yang senang pada musik-musik opera yang tidak bisa

28
mengerti kepada orang-orang yang senang pada musik-musik rock dan sebagainya. Comunikasi gap yang
ada antara musik bisa menjadi sangat tajam sekali.

Apakah kini yang menjadi sikap orang Kristen terhadap pemberian Allah yang universal untuk
mencipta terutama untuk mengeksprsikan peresaannya melalui musik? Maka kita harus menggunakan,
menelihara, menikmati dan mengembangkan apa yang diberikan oleh Tuhan. Tuhan memberikan baik
keindahan maupun roti memberikan ide maupun memberikan mesin-mesin maka orang Kristen yang
dewasa harus memelihara pemberian-pemberian hidup ini keseimbangan yang pantas. Ini tidak berarti
bahwa setiap orang yang percaya harus bisa menjadi seorang ahli musik atau bisa menciptakan suatu
gambar yang sangat bagus tetapi yang diharapkan dari orang Kristen sedikitnya dia dapat menikmati dan
mencari makna seni itu sendiri. Setiap orang yang percaya benar diharapkan untuk memberikan kepada
Allah kreatifitasnya yang terbaik di dalam kehidupannya. Hal ini merupakan suatu korban yang layak,
terserah kita itu memainkannya, mendengar atau menyanyi atau melaksanakan ibadah kita melalui musik,
tulisan, pakaian atau melalui memasak. Orang-orang Kristen yang dewasa tidak akan memandang
kebudayaan orang lain dengan sikap menghina dan menganggap bahwa ekspresi kebudayaanya sendiri
adalah lebih baik. Wajiblah kita hidup secara estetis karena ini berarti bahwa kita itu membagi imajinasi
Allah tentang apa seharusnya dengan hidup kita baik untuk pembenihan diri kita maupun dunia sekeliling
kita, dan dengan demikian bekerja bersama dengan Allah sebagai seorang pencipta untuk mewujutkannya.
Jikalau seluruh kehidupan itu kreatif demikianpun seharusnya ibadah kita. maka penting sekali bahwa
pemimpin-pemimpin ibadah seperti pendeta-pendeta dan kaum pemusik bekerja bersama-sama untuk
menjadikan jam ibadat itu suatu kesempatan untuk menyelengarakan suatu pertemuan antara Allah dan
umatNya secara dinamis. Bahkan sangat penting sekali setiap orang yang beribadah akan imajinasi yang
kreatif dan dedikasi sehingga materi-materi untuk melaksanakan ibadah walaupun merupakan hal-hal
yang sederhana dan biasa-biasa saja tetap bisa menjadikan ibadah kita suatu pengalaman yang segar dan
menyenangakan.

Dalam ilmu musik, bentuk seni yang disebut musik diartikan sebagai cetusan ekspresi isi hati yang
diungkapkan dalam bentuk bunyi yang bernada dan berirama, khususnya dalam bentuk lagu dan nyanyian.
Musik gereja adalah bagian dari musik yang dihasilkan manusia secara umum atau universal. Anggapan
bahwa musik gereja merupakan suatu musik “surgawi”, yang berarti berasal dari surga, perlu dibahas
secara kritis. Memang benar ada aspek atau dimensi surgawi yang kita sebut secara teknis sebagai
dimensi teologis atau rohani, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa musik gereja tidak berasal dari dunia
ini. Angapan bahwa musik gereja berasal dari surga adalah keliru. Musik gereja adalah musik dari dunia
ini yang dihasilkan oleh orang-orang percaya (kristen) untuk mengekspresikan iman mereka kepada
Tuhan.

29
Musik adalah suatu jenis kesenian yang universal dan memiliki daya yang luar biasa bagi manusia.
Don Campbell, dalam bukunya yang berjuluk Efek Mozart <Jakarta,2001>, berusaha menunjukkan
bagaimana kekuatan musik dimanfaatkan untuk mempertajam pikiran, meningkatkan kreativitas, dan
menyehatkan tubuh.

6. MUSIK GERJANI MERUPAKAN SENI YANG FUNGSIONAL


Musik Gereja Sebagai “Musik Rohani Kristen”
Walaupun istilah nyanyian rohani digunakan untuk menyebutkan semua nyanyian gereja, terutama yang
syairnya tidak secara langsung (harfiah) bersumber dari Alkitab, kita perlu membedakan nyanyian-
nyanyian yang terhisap di dalamnya. Sebagai contoh adalah nyanyian-nyanyian yang terhimpun dalam
buku Mazmur dan Nyanyian Rohani saduran I.S. Kijne. Dalam buku tersebut terdapat 100 nyanyian
Mazmur, Kijne juga 200 nyanyian yang disebut sebagai nyanyian rohani, yang kata-katanya disusun
berdasarkan inspirasi dari dalam Alkitab dan pemahaman kisten.
Pertama, Para ahli himnologi sering membuat perbedaan antara nyanyian yang disebut nyanyian
rohani dengan nyanyian yang disebut nyanyian alkitabiah. Yang dimaksud dengan nyanyian rohani adalah
nyanyian yang syairnya tidak bersumber pada stu perikop tertentu dalam Alkitab, melainkan bersumber
pada refleksi iman kristen sehubungan dengan pergumulan iman atau tujuan beribadah. Inilah yang
terlihat dalam 200 nyanyian rohani dalam himpunan Kijne di atas. Sementara yang dimaksud dengan
nyanyian Alkitabiah adalah nyanyian yang syairnya merupakan gubahan langsung dari suatu perikop atau
pasal dalam Alkitab. Misalnya 150 nyanyian Mazmur yang digubah pada zaman Reformasi atas
permintaan Johannes Calvin; 100 nyanyian di antaranya terdapat dalam bundel nyanyian sduran Kijne di
atas.
Kedua, sekurang-kurangnya ada 3 jenis nyanyian yang sering disebut nyanyian rohani atau nyanyian
spiritual. Ketiga nyanyian itu adalah Oide yang terdapat dalam Perjanjian Baru, Nyanyian rohani
sebagaimana yang dimaksudkan di dalam himpunan Kijne, dan nyanyian spiritual sebagaimana yang
tampak pada nyanyian spiritual Negro (Negro‟s Spiritual songs).
Oide, kita temukan dalam surat Efesus 5: 19, ketika Paulus menasihati jemaat yang dilayaninya agar
saling menguatkan seorang dengan yang lain melalui mazmur<psalmois>, kidung puji-pujian<humnois>
dan nyanyian rohani<oidais>. Alkitab terjemahan berbahasa Inggris menerjemahkan oide dengan
“spiritual songs”, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Lembaga Alkitab Indonesia menjadi
“nyanyian rohani”. Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan oide oleh Paulus di sini? Prof. Dr. J.L.
Ch. Abineno (alm) dalam bukunya yang berjudul Apa Kata Alkitab, jilid V (1982:36-42) mengatakan
bahwa yang dimaksudkan oleh Paulus dengan oide di sini adalah nyanyian-nyanyian yang bersumber
pada Roh Kudus. Dengan demikian oide dibedakan dari nyanyian-nyanyian kafir atau kidung puji-
pujian<hymnus>. Dalam Efesus 5: 19 di atas, Paulus menyebutkan juga tentang mazmur<psalm> dan
kidung puji-pujian<hymnus>. Psalm atau mazmur jelas adalah nyanyian yang diwarisi dari Perjanjian

30
Lama melalui orang-orang kristen Yahudi, termasuk melaui Paulus sendiri. Sementara hymnus pada
mulanya adalah nyanyian pujian yang dikenal dalam kebudayaan Yunani dan digunakan di lingkungan
agama-agama kafir maupun dalam masyarakat umum. Jemaat-jemaat Perjanjian Baru di Asia kecil
sepertinya telah mengambil alih gaya hymnus dari kebudayaan Yunani dan menjadikannya sebagai
nyanyian kristen. Abineno mengatakan hymnus yang dimaksudkan paulus di sini adalah nyanyian pujian
kristen yang dinyanyikan dengan gaya dan pola bernyanyi dalam kebudayaan Yunani.
Nyanyian rohani, sebagaimana yang dimaksudkan dalam himpunan Kijne, adalah kumpulan
nyanyian yang bersumber pada refleksi iman kristen atas pergumulan kehidupan atau mengenai
hubungan dengan Tuhan. Dalam cetakan-cetakan pertama bundel Mazmur dan Nyanyian rohani, Kijne
dengan sengaja mengutup Efesus 5:19 ini sebagai motto di halaman kedua pada bundel tersebut. Dengan
kutipan ini, jelas Kijne hendak menegaskan bahwa nyanyian-nyanyian yang terhimpun di sini bersumber
pada refleksi iman kristen dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi ketika Kijne mengerjakan saduran
kumpulan nyanyian tersebut ke dalam bahasa Indonesia dari buku nyanyian Gereja Hervord Belanda yang
dikenal sebagai “bundel Haspers”, istilah “rohani” dan “rohaniah” tengah populer di kalangan gereja
Kristen di Indonesia. Di satu pihak kata itu digunakan, sebagai kata sifat untuk menyebutkan segala
sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan kesalehan, sebagai lawan kata bagi semua yang bersifat
“badaniah” atau “duniawi”. Dengan demikian dapat diduga bahwa istilah “nyanyian rohani” dalam
bundel Kijne di atas adlah nyanyian yang berhubungan dengan kehidupan kekristenan dan peribadahan
kepada Allah.
Spiritual songs, adalah nyanyian yang mengandung spirit atau semangat rohani suatu komunitas
Kristen yang memiliki latar belakang budaya dan pengalaman sejarah yang khas. Hal inilah yang tampak
dari Negro‟s spiritual songs yang masyhur itu. Pengalaman pahit kaum Negro Amerika dalam perbudakan
telah melahirkan suatu bentuk ekspresi iman kristen yang khas sekali dengan praksis pembebasan yang
kental dan irama musik Afrikan yang dinamik dan penuh jiwa. Negro‟s spiritual songs adalah kumpulan
nyanyian yang khas Afrika dan yang dipadukan dengan unsur-unsur musik barat (Eropa). Syairnya
mengandung kerinduan akan pembebasan dari perbudakan yang menistakan itu dan komposisi lagunya
mengandung spirit (jiwa/semangat) yang khas afrika yang sangat mengetarkan hati ketika dinyanyikan.
Mengenai nyanyian tipikal ini, Pandopo menulis, “Lagu-lagunya yang sering bersifat pentatonik yakni
pancanada dengan menggunakan nada-nada do-re-mi-sol-la, sangat menarik, berikut ritmenya yang kaya
dan khas. Isi syairnya tidak kurang menarik karena realismenya yang menunjang kejujuran ekspresi”
(Pandopo, 1984:36).

Dari uraian di atas, jelas bagi kita bahwa musik gereja, khususnya musik vokal di dalam gereja,
mengalami perkembangan menarik karena ekspresi iman orang percaya adalah sesuatu yang hidup dan
dinamis dari masa ke masa. Pergumulan iman telah menghasilkan karya-karya musik yang indah sebab
musik merupakan ungkapan jiwa manusia, khususnya ungkapan jiwa manusia kristen. Tantangan Alkitab

31
untuk terus menyanyikan nyanyian baru bagi Tuhan adalah dorongan teologis yang penting untuk terus
berkreasi dan menciptakan nyanyian pujian baru.

Di dalam kitab Mazmur misalnya, kita mendapatkan 150 syair nyanyian dengan minimal 11 lagu yang
dianjurkan, kadang-kadang dengan keterangan tentang alat musik pengiring yang diperlukan. Beberapa
lagu yang disebutkan di dalam Mazmur tersebut adalah sebagai berikut:
Lagu “Gitit” (Mzm 8:1; 81:1; 84:1)
“Lagu yang kedelapan” (Mzm 6:1; 12:1); keterangan ini mengindikasikan seolah-olah ada semacam
daftar atau himpunan lagu-lagu yang dibakukan untuk kepentingan liturgi. Namun istilah Ibrani: benninot
al-hasminit dapat berarti juga “menurut nada yang kedelapan”, sehingga mungkin juga merupakan
keterangan mengenai nada dasar dari nyanyian tersebut.
Lagu “rusa di kala fajar” (Mzm 22:1)
Lagu “Mut-Laben” (Mzm 9:1; istilah mut-laben berarti “mati bagi anak-anak itu”, jadi mungkin sekali ini
adalah suatu lagu ratapan).
Lagu “Mahalat” (Mzm 53:1; kata mahalat mungkin merupakan istilah teknis untuk menentukan nada
lagu).
Lagu “Mahalat Leanot” (Mzm 88:1; perkataan mhalat le‟anot = nada sengsara/penderitaan?)
Lagu “merpati di tempat (di pohon-pohon terbantin) yang jauh” (Mzm 56:1)
Lagu “jangan memusnahkan” (Mzm 57:1; 58:1; 59:1; 75:1)
Lagu “bunga bakung” (Mzm 45:1; 69:1; 80:1)
Lagu “bunga bakung kesaksian” (Mzm 60:1)
Lagu “Alamot” (Mzm 46:1; kata „almot = gadis-gadis, mungkin nyanyian ini khusus dinyanyikan oleh
suara sopran atau oleh para pemudi).

Ada banyak nyanyian yang dikenal di dalam Alkitab, baik nyanyian yang berlatar belakang nyanyian
yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat di sekitar Israel dan gereja mula-mula, maupun nyanyian
yang merupakan kreasi baru sesuai dengan kepercayaan dan iman umat Allah di dalam Alkitab. Para
penulis Alkitab mengutip dan menggunakan syair tersebut dengan 2 maksud yakni: a. untuk memperkuat
kesaksiannya tentang kasih setia dan perbuatan-perbuatan besar yang dari Allah; b. untuk memperkuat
ucapan syukur umat Allah karena perbuatan-perbuatan Allah itu. Di samping nyanyian yang disebutkan di
dalam mazmur di atas, terdapat pula sejumlah nyanyian di dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru. Nyanyian-nyanyian itu adalah sebagai berikut:
Perjanjian Lama: nyanyain laut merah (Kel 15:1-18:21), nyanyian Musa (Ul 32:1-43), nyanyian
Debora (Hak 5:2-31), nyanyia pujian Hana (1 Sam 2:1-10), nyanyian tentang Kebun Anggur Tuhan (Yes
5: 1-11), nyanyian celaka yang mengandung penghukuman bagi orang fasik (Hab 2:6-20), nyanyian-
nyanyian yang terhimpun dalam kitab Mazmur dan Kidung Agung, dan lainnya.

32
Perjanjian Baru: nyanyian pujian Maria (Luk 1:46-55), nyanyian pujian Zakaria (Luk 1:68-79), nyanyian
malaikat (Luk 2:14), nyanyian Simeon (Luk 2:29-31), nyanyian Kristus (Flp 2:5-11; 1 Tim 3:16),
nyanyian penjaga takhta (Why 4:8), nyanyian ke-24 tua-tua (Why 4:11), nyanyian surgawi (Why 11:15,
17-18), nyanyian kemenangan (Why 12:10-12), nyanyian Musa dan nyanyian Anak Domba (Why 15:3-4),
nyanyian tentang kejatuhan Babel (Why 19:6-10).

Musik Gerejani adalah sebuah seni yang fungsional walaupun menurut paham dari para ahli musik
Gerejani bahwa fungsi daripada musik Gerejani ini adalah jauh lebih penting daripada fungsi musuik
lainnya. Musik Gerejani diciptakan oleh manusia dengan tujuan untuk maksud-maksud Allah dan bagi
gereja terutama di dalam ekspresi bersama-sama daripada jemaat di dalam mereka melaksanakan ibadat
mereka, persekutuan mereka dan misi mereka. seni yang fungsional dapat memenuhi akan apa yang
menjadi fungsinnya.

Kalau kita menliti akan musik-musik fungsional dan teks-teks dari berbagai grup Kristen maka akan
kita lihat ada perbedaan yang nyata sekali antara mereka. ada perbedaan antara gaya musik Orthodox
Timur dan gaya musik Roma Katolik; teradisi gaya Lutheran dan gaya Anglican atau Episkopal, gaya dari
Presbyterial dengan Baptis Orang-oragn Negro. Nampaknya masalah theologia, libergie dan teradisi
kebudayaan dari sesuatu group Kristen menentukan bagaimana musik tadi akan berfungsi dalam
persekutuannya, sebaliknya dapat juga ditetapkan bahwa fungsi dari musik akan menetapkan bahasa atau
gaya baik dari musik dan liriknya.

Adapun pedoman atau ciri dari musik Gerejani yang injil adalah:
a. Yang menerima kitab Suci sebagai yang berwibawa mutlak daripada teradisi ataupun institusi
ecclesiastical.
b. Bahwa keselamatan diperoleh melalui iman dan bukan melalui sakramen.
c. Bahwa harus ada pengalaman pribadi tentang pertobatan.
d. Bahwa kita akan selalu rajin dan berkobar-kobar untuk mengabarkan Injil sehingga sering di dalam
kebaktian-kebaktian nampak sekali adanya penekanan-penekanan penginjilan.
e. Para Injili selalu melaksanakan ibadat mereka di dalam suatu tradisi yang agak bebas, tidak terlalu
ketat pada liturgy. Maka berdasarkan akan ciri-ciri tadi marilah kita meneliti akan musik Gerejani
yang bisa diterima oleh kaum Injil.

Di dalam pasal yang lampau dinyatakan bahwa musik merupakan suatu alat yang simbolis untuk
ekspresi. Mengingat bahwa ada banyak bahasa-bahasa di dalam dunia maka kitapun akan menemukan
berbagai musik dan sebagaimana setiap bahasa mempunyai arti sendiri menurut kebudayaannya dan
dengan semikian maka merekapun telah menyusun fungsinya mereka masing-masing. Ada pengertian-

33
pengertian yang tertentu dari musik yang diberikan dalam setiap kebudayaan. Maka fungsi-fungsi yang
semacam itu juga ditemukan dalam musik Gerejani.

Salah satu fungsi dari musik Gerejani yang Injil dan penting adalah soal “kesenangan”. Kecuali
seseorang yang berbakti tadi merasa ada kesenangan terhadap musik Gerejani tertentu/bahasa musik
Gerejani tadi, maka mereka tidak nanti dapat membawa suatu pengertian yang dalam dari musik itu
ataupun kata-kata yang dipergunakan dalam musik itu. Maka orang-orang awam akan selalu menkankan
soal senangnya dengan pengalaman musik mereka di gereja.

Bagi orang-orang yang memegang pimpinan dalam musik gerejai mungkin tadak secara terbuka
menerima bahwa salah satu fungsi daripada seni tadi adalah “kesenangan” baik itu dipergunakan di dalam
persekutuan maupun dalam penginjilan. Namun secara tetap terjadi juga. John Chrysostom pada abad
yang ke 4 pernah mengatakan tentang musik di dalam ibadat sebagai berikut, “Pada waktu Tuhan Allah
melihat ada banyak orang yang malas sehingga mereka tidak mau banyak berusaha untuk membaca
bacaan-bacaan rohani maka Tuhan berusaha untuk membuat mudah bagi mereka sehingga pada kata-kata
nabi itu ditambahi melodi supaya semua orang tertarik pada bagusnya musik sehingga mereka lalu
menyanyikan lagu hymnal bagi Tuhan dengan senang.

Carlton R, Yong pemimpin editor dari The Nethodist Hymnal (1964-1996) menyatakan bahwa di
dalam gereja di samping ada jemaat yang harus bisa menimbulkan suatu sikap difusi/penembahan bagi
umat yang berkumpul. Dinyatakan selanjutnya “sebagai contoh suatu umat yang berkumpul ingin sekali
mengekspresikan nyanyian akan suasana kebersamaan mereka dan ini bisa menolong pada membagi
perasaan melalui nyanyian, kemudian dengan mereka melihat akan senangnya untuk bersama-sama dan
membagi maka kini anggota-anggota dari keluarga Allah dapat bersama-sama memikirkan suatu tindakan
bersama-sama seperti menyanikan lagu-lagu jemaat.

Berdasarkan akan fungsi “kesenangan” daripada musik, kini ada banyak gereja-gereja yang menyusun
program musik dengan tujuan promosi gereja. Salah seorang pendeta pernah mengatakan demikian,
“Mengenai jemaat yang potensial, yang bisa kita tarik pada hari Minggu adalah setengah jumlah yang
termasuk orang-orang yang setia pada Tuhan. mereka datang baik pada musim hujan maupun musim
panas, dan mereka akan datang terserah khotbahnya bagaimana, terserah musiknya bagaimana. Tetapi
jikalau pelayanan khotbah menjadi kuat maka jemaat yang berpotensi tadi akan bertambah lagi menjadi
25%. Apalagi kalau musiknya yang dipergunakan di dalam kebaktian tadi bagus sekali dengan seorang
pemimpin nyanyi yang berwibawa, koor yang baik dan permainan musik yang baik maka di dalam jemaat
akan ditambah jemaat yang berpotensi 25%.” Pada tahun-tahun yang terakhir maka alas an-alasan yang
sama digunakan sebagai argumentasi untuk menerinma baik dan menganjurkan lagu-lagu muda-mudi dan

34
bentuk-bentuk musik lain yang merupakan musik rakyat yang rohani dan musik rock. Oleh karena mereka
senang memainkan musik popular yang baru maka anak-anak muda tertarik pada gereja sehingga mereka
ke gereja dan disitulah mereka bisa diinjili dan dijadikan murid-murid Tuhan Yesus.

Walaupun demikian ada bahaya-bahaya yang besar di dalam elemen “kesenagan” di dalam musik
gerejadi. St,Agustinus pernah berkata, “Jikalau saya tersentuh suara daripada mereka-mereka yang
menyanyi dan bukan oleh karena kata-kata yang dinyanyikan maka sudahlah saya berdosa.” Dengan lain
perkataan adalah salah kalau kita merasa senang terhadap musiknya padahal kita itu sudah tidak lagi
menemukan hal-hal rohani yang justru yang merupakan yang terpenting. Bahaya ini sering kita saksikan
di dalam penggunaan macam-macam type musik dalam gereja. Apakah itu suatu cantata atau nyanyian
penginjilan ataupun suatu balada rohani. Kita harus bisa membedakan antara pengalaman aesthetic dan
kesenangan musik yang sederhana yang justru menjadi masalah adalah musik Gerejani. Jikalau kita hanya
mengutamakan segi emosi atau yang menyenangkan di dalam kita melaksanakan
ibadah/persekutuan/penginjilan maka sudahlah kita itu kurang memuliakan Allah. Sayang sekali bahwa
terlalu sering hal-hal yang demikian kita saksikan di dalam gereja. Jemaat memang terasa terhibur, jemaat
merasa senang dengan musiknya, tetapi jemaat tidak mengalami perubahan hidup apa-apa karena
nyanyiannya atau musik Gerejaninya. Dengan tidak terjadi suatu berubahan rohani di dalam seseorang
menyanyi atau mendengarkan musik Gerejani maka kita sudah luput dari sasaran kita dalam bermusik
Gerejani.

Juga ada bahaya bahwa kita itu lalu mencapai “kesenangan” dalam musik Gerejani yang tidak
semestinya pada waktu kita menyaksikan suatu pagelaran musik Gerejani terlepas daripada suatu
pengalaman bersama-sama dalam kebaktian/persekutuan/penginjilan. Maka semacam ini kita saksikan
dimana ada konser-konser rohani ataupun dimana kita suka mendengar atau setengah mendengar akan
musik-musik rohani melalui radio atau tetap hanya sebagai suatu hiburan saja. tentang masalah ini akan
dibahas lebih lanjut dalam pasal-pasal yang akan datang.

Tidak perlu diragukan lagi bahwa penggunaan musik untuk mengekspresikan emosi merupakan
sesuatu yang umum di dalam gereja-gereja. Di kelangan kaum Injil maka pengalaman rohani secara
pribadi juga banyak ditekankan dan ini memang merupakan salah satu hal yang penting sekali dan
mungkin ini merupakan salah satu fungsi yang dikatakan bahwa musik itu berbicara dari dalam hati kita,
tetapi ini bukanlah suatu pengalaman yang baru bagi orang-orang yang ke gereja. Kuasa emosi daripada
musik mungkin lebih disadari kalau musik itu disertai dengan lirik yang cocok. Maka di dalam persatuan
ini dimana musik mendramatisir, menerngakan, menggaris bahwa kehidupan dengan kata-kata akan
menimbulkan pengertian yang lebih dalam daripada kalau kita hanya mewujudkan dengan ucapan kata-
kata. Kata-kata yang kita jumpai dalam lagu Messiah yang dikarang oleh Hendel sungguh akan lebih

35
berbicara jika kata-kata itu didramatisir dan dinyatakan secara emosi di dalam musik yang menyertai
kata-kata itu tadi. Memang musik yang benar akan mengorbankan emosi daripada teksnya bahkan
kadang-kadang bisa melampaui sehingga menjadikan kita itu di dalam suatu pengalaman yang melampaui
daya piker kita.

Sangat menarik sekali Rasul Paulus menceritakan mengenai pengalaman ibadahnya bahwa doa dan
menyanyi itu berbeda. Ada yang bersifat emosi(dengan roh) dan yang lain dengan ratio(dengan
pengertian)(1Kor 14:15). Diakui bahwa setiap orang yang sungguh-sungguh terbakti akan mengalami hal
ini. Musik tanpa kata-kata seperti yang sering dilakukan oleh permainan orang sebelum kebaktian dimulai
akan menolong supaya rohani sehingga mereka merasa bahwa mereka menyiapakan diri untuk berbakti
kepada Allah. Pada saat itu memang tidak ada pemikiran-pemikiran secara theologies tetapi musiklah
yang menyiapkan pengertian dan suasana itu. Hal yang sama juga terjadi jikalau didengar dari koor
sebelum kebaktian dimulai. Tetapi bagi orang-orang yang Injili yang dewasa memang ibadah ysng
beremosi saja belum cukup karena masih harus diimbangi dengan hal-hal yang lain dimana ratio kita
dipusatkan dan kita menjadi aktif.

Ehektifitas untuk melaksanakan ibadat melalui musik bisa terganggu kalau emosi dikurangi menjadi
sentimental yaitu emosi yang superficial atau emosi yang tidak didasarkan atas realita. Terlalu sering
orang itu menyenangi lagu-lagu tertentu atas dasar sentimental saja. Adapun gereja-gerja yang
menunjukan sentimentalitas di dalam musik gerjani adalah:
a. Kecondongan untuk menggunakan secara berlebih-lebih sesuatu musik Gerejani tertentu karena kita
menyenanginya.
b. Kurangnya hubungan antara musik dengan bagian lain daripada kebaktian dimana musik tadi
dipergunakan.
c. Kegagalan kita untuk menyanyikan sesuai dengan theologia dan pengalaman daripada gereja itu
sendiri.
d. Suatu penolakan terhadap musik-musik baru atau bentuk-bentuk baru daripada musik.

Adapun sentimentalisme disebabkan karena adanya pengertian-pengertian tertentu di dalam musik


Gerejani, yaitu:
a. Dimana kita merasa senang terhadap musik/lagu tertentu sampai kurang mempersoalkan artinya.
b. Dimana kita menidentifikasikan musik-musik tertentu berdasarkan tradisi.

Lovelace dan Rice menjelaskan bahwa akibat daripada jemaat itu kurang dewasa dan kurang memiliki
pengalaman yang lebih berdasar maka sering terdapat didalam musik Gerejani suatu tanggapan emosional
yang terlalu cepat; artinya begitu seseorang mendengar suatu lagu tertentu yang terkenal ataupun

36
mendengar beat tertentu maka mereka langsung teringat pada pengalaman-pengalaman mereka yang
lampau. Pada saat itu proses mental untuk mengambil arti dari lagu itu tidak lagi terlaksana sehingga
langsung mereka menyenangi dan menyanyikan lagu itu tanpa mereka benar-benar mengerti dan
mendalami apa yang menjadi isi lagu itu. Di dalam kehidupan gereja perlu ada kesempatan untuk anggota
gereja untuk bersentimentil, namun jikalau kebaktian, persekutuan dan penginjilan kita mau mencapai
sasaran yang tertinggi maka yang utama yang harus kita pilih adalah musik-musik yang sesuai dengan
suasana dan tujuan daripada kita melaksanakan acara rohani tersebut.

Pada abad ke 19, Penginjil D. L. Moody berkata, “Saya percaya bahwa musik merupakan salah satu
saluran yang paling kuat untuk kebaikan atau untuk kejahatan.” Dia tidak menerangkan lebih jelas apa
yang dimaksudkan tadi namun dia menganggap bahwa musik-musik hiburan merupakan saluran untuk
kejahatan sedangkan musik yang ia penggunakan untuk kampanyenya merupakan saluran untuk kebaikan.
Karena keyakinan itu maka Moody memberikan tempat yang penting di dalam segala kampanye-
kampanye penginjilannya di tahun 1873-1899. Moody juga mendirikan pendidikan musik penginjilan di
sekolahnya yang kini terkenal dengan sekolah Moody Bibil Institute dalam tahun 1888 jauh sebelum ada
pendidikan musik Gerejani di Amerika. Rev. Billy James Hardis seorang penginjil radio di Oklahoma
menyatakan bahwa musik rock masuk ke kebudayaan Barat oleh komunisme dengan maksud untuk
menghancurkan masyarakat dan moral bangsa Amerika.

Diakui bahwa musika membawa pengaruh-pengaruh yang positif dan mempengaruhi aktifitas orang
yang pergi ke gereja. Karena seorang itu biasa mendengar suara organ di dalam gereja maka begitu
jemaat mendengar suara organ maka dia sudah mempersiapkan dirinya untuk memasuki kebaktian. Yang
lain lagi mungkin karena terbiasa oleh lagu-lagu tertentu sehingga mereka dipersiapkan untuk memikiran
tentang Allah, tentang diriNya. Pada lain segi ada kelompok-kelompok tertentu yang menentang
penggunaan musik sebagai suatu tantangan di dalam kebaktian penginjilan ataupun sebuah lagu yang
dimainkan berulang-ulang dengan kaksud supaya orang bisa tergerak untuk memenuhi akan undangannya
untuk menanggapi injil, tetapi segala kritikan ini sukar untuk kita tanggapi karena ternyata penggunaan
musik dalam tantangan penginjilan ada membawa hasil-hasil yang positif.

Ada yang beranggapan bahwa musik mereupakan bahasa para Allah sendiri. Konsep ini pernah di
pergunakan oleh seorang pendeta yang meminta supaya organis memainkan sebuah lagu pada waktu
pendeta itu akan memasuki tanggapan khotbah. Yang menjadi alas an permintaan pendeta ini adalah
bahwa musik dapat menolong seseorang untuk merasakan kehadiran Allah dan untuk bisa menyelami
kenyataan dari doa. Tentang pandangan ini ada yang menyetujui dan ada yang tidak menyetujui karena
ada yang menganggap musik sebelum berdoa mengalihkan konsentrasi kita dalam berdoa. Ada yang
beranggapan bahwa agar musik menjadi bahasa Allah maka musiknya harus yang benar-benar cocok bagi

37
gereja. Demikianlah maka kita saksikan bahwa orang-orang Ibrani menggunakan di dalam pembacaan
Kitab Sucinya akan lagu-lagu tertentu yang merupakan lagu Ibrani. Calvin misalka menganggap bahwa
menyanyi lagu Mazmur merupakan satu-satunya yang cocok untuk Firman Allah padahal yang diyatakan
oleh Calvin adalah musik Perancis dari abad ke 16.

Musik sama seperti kata-kata bisa berbicara tentang Allah atau tentang yang jahat tetapi pasti akan
disampaikan melalui bahasa Injili yang diciptakan dan digunakan oleh manusia. Tuhan Allah berbicara
melalui nyanyian jemaat; dan dalam hubungan tadi maka pasti akan digunakan bahasa simbolis ataupun
lagu yang diciptakan oleh manusia. Kita boleh saja menyenangi suatu gaya kelompok Kristen tertentu
belum tentu sama-sama akan dinikmati oleh kelompok Kristen lainnya.

Bersama-sama dengan symbol-simbol yang digunakan dalam arsitektur gereja, meubel dan dekorasi,
kata-kata dan tindakan, maka bahasa simbolis dari musik akan dapat menambahkan identitas, intensitas
dan pengertian daripada iman kita serta mengekspresikannya. Supaya musik Gerejani itu bisa berfungsi
maka kita harus meneliti sejauh mana musik Gerejani tadi sudah memenuhi akan fungsinya dengan
mendukung theologia yang berlaku, sasaran yang hendak dicapai (entah ibadah/persukutuan/pelayanan dll)
maupun harus sesuai dengan identitas atau tradisi daripada kebudayaannya.

Allah juga menyatakan diriNya kepada manusia dan mengundang mereka menanggapiNay. Ibadah,
persekutuan dan kumpulan penginjilan kita lengkap dengan musiknya merupakan bahan-bahan evaluasi
sejauh mana revelasi dari Allah tadi sudah sepenuhnya dimengerti dan sejauh mana kita sudah
menanggapinya dengan dewasa dan baik. Menggunakan dasar dari apa yang diusulkan oleh Bernard
Ramm dan Donald Bloesch maka kita dapat menyimpulkan beberapa pedoman musik Gerejani yang baik
untuk dipakai oleh gerja-gereja Injili, yaitu:
a. Muisk harus menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti.
b. Oleh karena reformasi menekankan tugas keimaman dari setiap orang percaya maka di dalam
kebaktian anggota-anggota jemaat harus bisa ikut berpartisipasi, mengingat akan hal ini maka di
dalam kita menyanyikan lagu-lagu Gerejani. seluruh jemaat harus ikut menyanyikannya sedangkan
musiknya harus dibuat sedemikian rupa sehingga orang-orang yang kurang mengerti, kurang terlatih
musik maupun yang kurang mengertia theologia dapat ikut menyanyikannya dan mengerti. Jelaslah
bahwa musik Gerejani harus menggunakan musik dan bahasa yang bisa dimengerti kita itu boleh
mendekati Allah secara individual bagi kita masing-masing, tetapi bahwa kitapun mau melayani
sesame kita. dan ini berarti bahwa di dalam gereja ita harus menggunakan musik Gerejani yang
bersifat persekutuan artinya yang tidak hanya berarti bagi orang-orang tertentu saja tetapi yang bisa
menjadi berkat bagi seluruh persekutuan.
c. Oleh karena kaum Injili percaya bahwa Allah itu Maha Kuasa dan Dia adalah terang transcenden

38
maupun immanen maka di dalam kebaktian harus ada adorasi atau pemuliaan dan persekutuan
dengan Allah. Hal ini bisa dinyatakan melalui musik.
d. Karena kaum Injili percaya dengan wibawa illahi dari Kitab Suci maka segala ibadah, pelayanan dan
pengalaman termasuk musik harus sesuai dengan kehendak Alkitab. Kata-kata untuk musik tidak
boleh bertentang dengan kebenaran-kebenaran yang tersera di dalam Alkitab.
e. Mengingat bahwa kaum Injili juga menekankan dosa manusia dan penebusan yang disediakan Tuhan
Yesus dan kasih karunia melalui iman maka ibadah dan musik untuk penginjilan harus memberikan
penekanan pada doktrin-doktrin ini. Di samping itu perlu ditambahkan juga hymnal-hymnal
pengalaman yang menceritakan mengenai “agama hati”, “hidup baru dalam Kristus” dan “jaminan
keselamatan”.
f. Karena penekanan dari gereja-gereja Injili adalah penginjilan maka di dalam kita melaksanakan
penginjilan maupun di dalam ibadah maka benar-benar musik harus bisa menyiapkan atau
menuatkan pembacaan khotbah yang didasarkan atas Firman Allah. Bila perlu musik harus juga bisa
menolong agar jemaat bisa menanggapi revelasi Allah.
g. Karena dituntut bagi orang percaya adanya kehidupan suci sesuai dengan Alkitab maka di dalam
musik yang dipergunakan di dalam ibadah harus ada lagu-lagu yang kengajarkan tentang
pertumbuhan, kesucian dan segala sesuatu yang membangun iman dari jemaat.
h. Gereja juga mempunyai misi untuk menobatkan, mendidik dan melayani. Oleh sebab itu maka harus
dipergunakan juga tekhnik-tekhnik, bentuk maupun bahasa musik yang cocok untuk penginjilan,
pendidikan dan pemeliharaan.
i. Karena musik Gerejani selalu dipergunakan dalam hubungan kebaktian oleh sebab itu maka betul-
betul harus direncanakan dan diperkirakan agar supaya khotbah maupun segala sesuatu yang
dilakukan di dalam liturgie gereja itu memilih lagu-lagu musik Gerejani yang sesuai.

7. PERANAN MUSIK VOCAL DI DALAM GEREJA


Kita perlu memerhatikan beberapa pertimbangan di bawah ini yang membuat nyanyian gereja dan
musik gereja menjadi penting. Nyanyian gereja merupakan salah satu bentuk ekspresi iman yang sama
pentingnya dengan kesaksian (khotbah/ pemberitaan firman) maupun doa. Jikalau kesaksian dan doa
memperoleh perhatian yang khusus di dalam gereja dan pendidikan teologi maka nyanyian dan musik
gereja pun harus memperoleh perhatian yang sama.

Sebelumnya telah dijelaskan dengan panjang lebar tentang pentingnya musik dan nyanyian gereja
sebagai salah satu dari tiga sokoguru dalam peribadahan gereja. Bahkan dibandingkan dengan dimensi
eskatologis dari kesaksian dan doa, nyanyian gereja memiliki kadar dimensi eskatologis yang lebih kuat
dan cenderung kekal. Ada seorang hamba Tuhan yang berkata, “Dengan bernyanyi, anda berdoa dua kali”.
Ucapannya ini memang harus diterima dengan kritis, namun yang penting dalam ucapannya itu adalah

39
pentingnya nyanyian dalam kehidupan bersama Tuhan.

Acap kali terjadi, di saat-saat tertentu, nyanyian lebih efektif sebgai sarana pemberitaan atau
pelayanan rohani jika dibandingkan dengan khotbah yang disampaikan secara verbal. Ada saat-saat
tertentu ketika doa maupun khotbah tidak berarti bagi seseorang yang berada dalam kondisi kejiwaan
(psikologis) tertentu, di saat itu suatu nyanyian gereja justru lebih mampu menyentuh hati orang tersebut.
Hal ini memang terkait dengan pengaruh psikologis dari musik kepada jiwa dan perkembangan jiwa
seseorang. Para dokter kadang-kadang menggunakan musik sebagai terapi bagi para pasiennya,
khususnya para pasien sakit jiwa. Dalam lapangan pendidikan, kita mendengar istilah efek Mozart, yakni
pengaruh musik dalam pertumbuhan intelektual dan emosional seorang anak didik. Pengalaman penulis
sendiri bertahun-tahun di kampus teologi baik semasa mahasiswa teologi maupun sebagai pengajar
teologi, memperlihatkan bahwa para mahasiswa yang aktif di paduan suara kampus justru jauh lebih
kompak bekerja sama dan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik.

Dari kesaksian Alkitab, kita mengetahui bahwa pada saat kedatangan Tuhan Yesus kembali (parousia),
khotbah dan doa akan berhenti, tetapi puji-pujian terus berkumandang di dalam surga. Pada saat itu,
semua orang yang diterima di dalam surga akan terus menyanyi bersama-sama segenap balatentar surga
untuk memuji dan memuliakan Tuhan semeta alam.

Nyanyian Gereja Sebagai Unsur Liturgi


Sudah dikemukakan di atas bahwa nyanyian pujian merupakan salah satu dari tiga sokoguru dalam tata
peribadahan (liturgi) gereja. Sesederhananya suatu tata ibadah, ketiga sokoguru liturgis ini selalu ada,
yakni doa, kesaksian dan nyanyian pujian. Pada umumnya tata ibadah itu mengambil bentuk susunan
sebagai berikut:
Pembukaan (votum & salam)
Menyanyi nyanyian Rohani 94:1-3
Doa Epiklese (sebelum pembacaan Alkitab)
Pembacaan Alkitab
Menyanyi Nyanyian Rohani 84:4
Renungan/Pemberitaan Firman
Persembahan Syukur (Kolekte) →Menyanyi Nyanyian Rohani 132:1-7
Doa Persembahan dan Doa Syafaat
Menyanyi Nyanyian Rohani 111:1-4
Penutup (Ucapan Berkat)

Kita melihat dari tata ibadah di atas ada sekitar 40 persen adalah aktivitas nyanyian pujian. Hal yang sama

40
terlihat juga di dalam tata ibadah resmi dalam ibadah-ibadah hari Minggu di gedung ibadah, misalnya
sebagai berikut:
Votum dan Salam
Nyanyian Jemaat
Pengakuan Dosa >dilanjutkan dengan Nyanyian Jemaat
Berita Anugerah >dilanjutkan dengan Nyanyian Jemaat
Hukum Tuhan >dilanjutkan dengan Nyanyian Jemaat
Paduan Suara / Kelompok Vokalia
Pemberitaan Firman Tuhan
Doa Epiklese
Pembacaan Alkitab
Nyanyian Jemaat
Khotbah
Nyanyian Jemaat
Paduan Suara / Kelompok Vokalia
Pengakuan Iman
Persembahan Syukur
Pesan Rasuli Tentang Persembahan
Nyanyian Jemaat Mengiring Pengumpulan Persembahan
Doa Persembahan
Doa Syafat
Warta Jemaat
Nyanyian Jemaat
Berkat

Hampir 60 persen dari seluruh alokasi waktu ibadah diberikan untuk puji-pujian jemaat. Bahkan
dominasi puji-pujian melalui aktivitas bernyanyi ini dimaksudkan juga untuk membangun suasana ibadah
yang diperlukan bagi pemberitaan firman Tuhan, di samping sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan.
Peranan Nyanyian Gereja Di dalam Tri-Panggilan Gereja

Nyanyian gereja adalah nyanyian persekutuan (Koinonia), atau jika kita meminjam istilah dalam
himnologi dapat dikatakan bahwa nyanyian gereja adalah nyanyian orang banyak. Hal ini harus disadari
oleh semua penggubah nyanyian gereja atau persekutuan kristen. Ibadah adalah aktivitas persekutuan
umat Allah, oleh karena itu semua komponen dalam tata ibadah harus menunjang persekutuan tersebut.
Nyanyian gereja juga berperan di dalam pekabaran injil (Marturia) ke dalam yaitu usaha untuk
menumbuhkan, memperkuat dan memberdayakan iman warga gereja maupun di dalam pekabaran injil

41
keluar. Karena alasan pertama adalah alasan Psikologis dari musik dan nyanyian gereja. Campbell berkata
bahwa Musik memiliki kekuatan yang hebat atas jiwa manusia. Kekuatannya tidak hanya terletak pada
aspek keharmonisan maupun kedinamisan tetapi juga terletak dalam muatan rohani yang terdapat di
dalamnya. Alasan kedua adalah alasan strategi dari nyanyian gereja. Musik dan nyanyian gereja dapat
menembus isolasi-isolasi etnis, kebudayaan, politik dan agama. Nyanyian gereja berfungsi untuk
menumbuhkan , memupuk dan mengembangkan kesadaran berdiakonia di kalangan warga gereja
sehingga mereka ikut serta mengambil bagian secara aktif dalam tugas gereja ini.

8. PERANAN MUSIK INSTRUMENTAL DI DALAM GEREJA


Musik instrumental adalah musik yang dihasilkan oleh alat-alat musik. Di dalam peribadahan gereja
alat-alat musik pun dipergunakan untuk menunjang suasana dan tujuan peribadahan. Dalam rangka
penggunaan alat-alat musik ini, kita perlu memerhatikan dua hal, yaitu:
Penggunaan alat-alat musik di dalam ibadah gereja perlu dipertimbangkan dan diatur dengan baik sesuai
kebutuhan. Tidak semua alat musik dapat digunakan untuk kesempatan yang sama dalam gereja, dan
mungkin juga tidak perlu semua alat musik dibawa masuk ke sana. Gedung gereja adalah gedung ibadah
bukan gedung konser musik dan orkestra. Di sini kita perlu memerhatikan nasihat Paulus dalam hal
makanan, yang dapat kita terapkan dalam hal ini juga. Dalam 1 Kor 6:12 ia menulis, “Segala sesuatu halal
bagiku, tetapi bukan semuanya berguna.” Dalam hubungan dengan alat-alt musik, dapat dikatakan bahwa
segala alt musik pada prinsipnya halal dan dapat digunakan dlam ibadah, tetpi tidak semuanya berguna
pada saat yang bersamaan. Jadi harus dijaga agar ibadah gereja tidak didominasi oleh berbunyinya
berbagai jenis alat musik sebab kalau demikian suasana ibadh yang khusyuk akan menjadi terganggu.
John Calvin salah seorang reformator gereja, menasihati kita agar mencari keseimbangan teologis antara
penggunaan alat musik dalam peribadahan gereja, sebab gereja masih di dalam dunia dan belum berada di
surga.

Musik merupakan salah satu bentuk ekspresi iman di dalam jemaat atau gereja, sehingga penggunaan
alat-alat musik harus disesuaikan dengan maksud, sifat, dan tujuan peribadahan itu sendiri. Peralatan
musik dan juga kelompok para biduan bertugas mengiringi dan membantu seluruh jemaat (peserta ibadah)
untuk bernyanyi dengan baik demi memuliakan Tuhan. Oleh karena itu, penggunaan alat musik tidak
boleh menonjol dan para pemain alat-alat musik itu perlu menyesuaikan penampilan dan aksi mereka
sesuai dengan suasana ibadah tersebut. Hanya Tuhan yang boleh dipuji dan dimuliakan di dalam
rumahnya dan di dalam hidup kita, bukan diri kita sendiri. Para pemain musik perlu diingatkan pada
bahaya yang melanda semua pelayan atau fungsionaris di dalam peribadahan umat, yakni godaan untuk
dipuji oleh anggota jemaat. Para pendeta dan pengkhotbah juga harus selalu diingatkan agar mereka justru
tidak mengorupsi puji-pujian yang seharusnya diperuntukkan bagi Allah.

42
Berdasarkan kedua hal di atas, maka berikut ini diberikan beberapa saran dalam hal penggunaan
instrumen musik di dalam ibadah, khususnya instrumen musik pengiring nyanyian jemaat atau nyanyian
para biduan:

Fungsi alat-alat musik di dalam gereja adalah membantu, memandu, dan mengiringi jemaat untuk
bernyanyi dengan baik. Di sini, terutama di dalam gereja-gereja protestan yang tidak mengenal peranan
procantor atau pemimpin pujian, alat-alat musik itu mengambil alih peranan tersebut.
Sesuai fungsi itu maka perlu diperhatikan beberapa nasihat praktis sebagai berikut:
Instrumen musik pengiring (organ/gitar/suling) harus memainkan lagu pada nada dasar yang tepat (sesuai
dengan nada dasar nyanyian yang bersangkutan) agar jemat dapat bernyanyi dengan nada yang tepat. Di
dalam Alkitab, hal pemberian nada dasar ini sudah disadarai. Perhatikan pembahasan yang lalu tentang
istilah “Lagu yang kedelapan” (benninot al-hasminit) dalam Mzm 6:1; 12:1, yang dapat berarti juga
“menurut nada yang kedelapan”; suatu petunjuk mengenai nada dasar dari nyanyian tersebut. Pemberian
nada yang salah akan sangat mempengaruhi kualitas nyanyian pujian tersebut dari segi musikalnya. Oleh
sebab itu seorang pemain musik di dalam gereja dituntut memiliki pengetahuan musik yang memadai,
terutama keterampilan menggunakan alat musik yang bersangkutan.

Instrumen musik harus memainkan bagian intro (bagian pertama lagu) dengan jelas dan tempo lagu
dengan benar. Acap kali banyak organis gereja memainkan suatu intro yang membingungkan sehingga
jemaat menjadi ragu-ragu untuk bernyanyi. Mereka cenderung memandang jemaat sebagai suatu
kelompok biduan yang terlatih, pada hal jemaat secara keseluruhan kerap kali awam dalam hal musik,
sehingga perlu ditolong untuk bernyanyi dengan baik. Kerap kali juga para pengiring nyanyian gereja
memberikan tempo yang tidak sesuai dengan jiwa nyanyian tersebut yang mengakibatkan jemaat
bernyanyi dalam tempo yang tidak sesuai dengan jiwa nyanyian tersebut yang mengakibatkan jemaat
bernyanyi dalam tempo yang lambat sehingga menjemukan, atau dalam tempo yang cepat sehingga
melelahkan.

Instrumen musik jangan dimainkan dengan volume yang melebihi suara jemaat, juga jangan dengan
volume yang terlalu lembut sehingga tidak kedengaran oleh jemaat. Bunyi alat musik yang terlalu keras
akan merusak cara jemaat bernyanyi dan menimbulkan sungut-sungut di antara mereka. Demikian juga
halnya bila mana bunyi alat musik menjadi sangat lembut sehingga fungsi alat musik sebagai pemandu
nyanyian jemaat menjadi hilang.
Instrumen musik yang digunakan di dalam ibadah memiliki kedudukan dan fungsi teologis yang penting.
Karena itu alat-alat musik itu pun harus dirawat dengan baik, diurapi, dan didoakan setiap kali hendak
digunakan. Hal ini penting sebab alat-alat duniawi itu dikhususkan dan dikuduskan bagi pekerjaan yaitu
memuliakan Allah yang maha kudus. Apalagi alat musik yang menggunakan tenaga listrik amat rawan

43
terhadap kemungkinan padamnya aliran listrik.
Gereja secara keseluruhan dan jemaat-jemaat lokal perlu memberikan perhatian kepada pengadaan
instrumen musik di dalam gereja, dan pada pelatihan dan pembinaan musik bagi para pemain musik di
dalam gereja. Pelayanan musik janganlah dilihat secara sebelah mata, atau diserahkan semata-mata
kepada bakat dan hobi anggota jemaat tertentu. Gereja harus mempersiapkan mereka dengan baik, sama
seperti gereja mempersiapkan anggota majelis jemaat, bahkan mempersiapkan calon pelayan. Para
pemusik di dalam gereja adalah juga pelayan gereja, sama seperti para pemain musik di dalam jemaat-
jemaat Israel Perjanjian Lama (kaum Lewi, Bani Korah, Asaf, Yedutun, Ezrahi).

Nasihat ini berlaku juga bagi penggunaan alat musik sebagai pengiring nyanyian para biduan di dalam
gereja (penyanyi solo, kelompok vokal, atau paduan suara). Janganlah volume bunyi alat musik itu
melebihi (menutup) suara para biduan sebab jemaat bukan hanya hendak menikmati bunyi musik
instrumen yang indah, tetapi terlebih ingin menyerap dan menghayati syair dari nyanyian tersebut. Di
dalam syair itu terdapat Firman Tuhan yang dinyanyikan. Dengan demikian, jemaat dibangun dalam
imannya dan semakin dikuatkan di dalam kasih dan pengharapannya.

Instrumen Musik Kontekstual


Dalam hal penggunaan alat musik, gereja menjadi konsumennya. Artinya gereja memanfaatkan berbagai
alat musik yang dihasilkan dalam kebudayaan masyarakat. Dalam hal ini gereja-gereja di Indonesia,
berkenaan dengan latar belakang sejarahnya, lebih suka menggunakan alat musik yang pada mulanya
dikembangkan di dalam kebudayaan Eropa. Hal itu misalnya terlihat dari penggunaan alat musik orgel
ataupun organ listrik dalam gereja sampai kini. Memang harus diakui bahwa orgel atau organ yang
semula berasal dari kebudayaan Hellenisme abad ke-3, telah digunakan dengan intensif dan
dikembangkan di dalam tradisi musik Eropa. Musik gereja pada tengah kedua milenium pertama telah
berkenalan dengan alat musik ini dan menggunakannya dengan intensif di dalam peribadahan gereja.
Bahkan harus ditegaskan bahwa justru alat musik ini semakin berakar dan berkembang di dalam gereja,
dan mempengaruhi tangga nada gereja serta nyanyian-nyanyian polifon di dalam gereja.
Sekalipun demikian, kita tidak boleh puas dengan apa yang ada. Seperti halnya nyanyian gereja yang
melalui inspirasi rohani dari Roh Kudus, terus berkembang dengan adanya nyanyian baru yang
kontekstual, demikian pula yang seharusnya terjadi pada alat-alat musik yang digunakan di dalam gereja.
Harus ada usaha inovatif di dalam gereja untuk mengembangkan alat musik baru yang sesuai dengan
kebutuhan gereja. Sehubungan dengan perkembangan teologi kontekstual atau teologi inkulturasi
sekarang ini, terdapat landasan teologis untuk pengembangan alat-alat musik.
Ada dua cara yang dapat ditempuh. Pertama, dengan menggunakan alat-alat musik tradisional yang
dikenal dalam kebudayaan setempat (tika, orkes suling bambu, gamelan, dan lain-lain) untuk digunakan
di dalam peribadahan gereja. Contoh yang menarik dalam hal ini adalah penggunaan orkes suling bambu

44
oleh jemaat pedesaan dari Gereja Protestan Maluku (GPM) sebagai musik pengiring dalam ibadah. Kedua,
melakukan inovasi untuk memperoleh alat-alat musik yang baru. Suatu contoh bagus dalam hal ini ialah
perakitan suatu orgel bambu oleh H.A. van Dop (H.A. Pandopo) di Indonesia.
Untuk mencapai hal itu jelas diperlukan studi bersama serta percobaan dan latihan yang terus-menerus
dengan melibatkan seniman-seniman kristen untuk memperoleh hasil yang baik. Yang tak kalah penting
juga adalah kesempatan yang cukup untuk menjemaatkannya di dalam gereja, sebab sesuatu yang baru
tidak akan segera memperoleh tempat di dalam gereja sekalipun tujuannya baik. Semuanya ini tentu saja
di dalam rangka memuji dan memuliakan Tuhan kita.

9. IMPLIKASI MUSIK GEREJANI UNTUK IBADAH KRISTEN


Anthropologi mengajarkan bahwa setiap manusia itu pasti beribadah. Masayrakat yang primitif
mengadakan ritual dan pengorbanan untuk sesuatu atau seseorang yang transcendent dengan harapan
bisa ambil bagian dalam kehidupan dan kuasa daripada sesuatu yang transcendent tadi dan dengan
demikian menghindarkan nasib jelek. Orang-orang kafir modern tidak menymbah hala-hala dari kayu
atau batu tetapi mereka sudah dikkuasai oleh allah-allah lain yaitu harta, hiburan, kuasa, diri mereka
sendiri atau keluarga mereka yang merupakan ekstensi dari diri mereka sendiri. Billy Graham barkata,
“Tuhan sudah menciptakan sesuatu kekosongan yang berbentuk allah di dalam hati kita tetapi banyak
orang berusaha untuk mengisinya dengan hal-hal yang lain.”

Orang-orang Kristen beribadat kepada Allah sebagaimana yang direvelasikan dalam Kitab Suci dan
menanggapi secara tegas apa yang diperintahkan oleh Kristus untuk melaksanakan kasih kita kepada
Allah(Mark,12:30). Untuk menolong kita di dalam ibadah tadi maka Allah menyatakan diriNya secara
comprehensive. Dalam pekerjaan penciptaan dan tindakan-tindakan yang Maha Kuasa di dalam sejarah
maka Allah menunjukan kuasaNya dan Maha KuasaNya. Di dalam diri Allah dan manusia Yesus Kristus,
Allah menyatakan kebaikanNya dan kasihNya kepada makhluk-makhlukNya. Di dalam Firman Allah
melalui kesaksian Roh Kudus Dia memberikan kepada kita ratio untuk melaksanakan iman kita.

Di dalam ibadah orang Kristen maka kita menanggapi secara tegas apa yang sudah direvelasikan oleh
Allah Tri Tunggal. Berbeda dengan orang-orang primitif, kita tidak berusaha mengenal yang tidak
diketahui, yang menkutkan, dengan maksud untuk berdamai denganNya, Allah selalu membuat tindakan
yang pertama yaitu menunjukan diriNya di dalam kuasa dan kasihNya dan mengundang tanggapan kita.
melahan ibadah merupakan segala tanggapan dan setiap tanggapan yang layak bagi Allah. Walaupun ada
orang yang mempermasalahkan apa yang lebih penting: memuliakan Allah atau bersaksi dan
mengabarkan Injil pada waktu manusia-manusia sedang berkumpul. Tetapi dalam pemuliaan maka
bersama-sama kita itu berbuat sesuatu secara batin kepada Allah, sedangkan melalui tindakan yang kuasa
maka secara lahiriah kita mengekspresikan cinta kasih kita sesuai dengan perintah Tuhan Yesus yang

45
kedua(Mark, 13:31).

Di dalam ibadah kita memikirkan Allah dan berbicara kepadaNya. Di dalam ibadah kita
penyampaikan Injil Allah dan melayani dunia yang lapar dan yang sakit dengan nama Yesus Kristus.
Melalui ibadah kita menikmati dunia Allah dengan rasa terima kasih karena semua itu diciptakan untuk
kita. bagi orang Kristen setiap tintakan itu merupakan tindak ibadah kalau itu dilakukan di dalam kasih
untuk menanggapi kasih Bapa. Bagi orang percaya kehidupan kita sehari-hari harus berisikan ibadah yang
ketat karena ibadah menyediakan metabolisme daripada kehidupan rohani seseorang.

Dalam pasal ini kita akan membicarakan tentang ibadah yaitu sewaktu anggota-anggota tubuh Kristus
berkumpul bersama di dalam gedung gereja untuk melaksanakan ibadah mereka. Kita tidak bisa
menemukan perbedaan antara ritual dan kebaktian karena jika ada perbedaan antara dua istilah tadi maka
perbedaan tadi merupakan sesuatu yang artificial. Dengan membandingkan beberapa terjemahan Kitab
Suci memang Kitab Susci tidak membandingkan antara ibadah dengan pelayanan. Ibadah adalah
pelayanan, penlayanan adalah ibadah.

Dikatakan bahwa pada waktu kita berkumpul bersama-sama pada Minggu pagi untuk memberikan
satu jam keapada Allah maka kita sedang menunjukan bahwa kita memberikan seluruh kehidupan kita
kepadaNya. Inilah bagian manusianya tetapi dalam kebaktian ibadah kita berbuat lebih daripada hal-hal
itu. Lalu ibadah kita sedang menguraikan microcosme dari seluruh keselamatan sebagaimana dinyatakan
oleh Allah berabad-abad lamanya serta mengundang tanggapan kita yang tegas.

Banyak kaum theologia menemukan gambaran daripada ibadah dalam visi Yesaya sebagaimana
terbaca dalam Yes,6:1-8, 9a, 11a. Kalau kita meneliti ibadah dalam individual dengan apa yang kita
saksikan pada kebaktian hari Minggu juga dengan macrocosme dari revelasi Allah dan tanggapan
manusia di dalam sejarah maka kita menemukan:
a. allah yang menyatakan diri sebagai seseorang yang transcendent, yaitu Maha Suci(ay,3), Maha
Kuasa(ay,4, bergoyanglah alas ambang pintu) dan seorang Allah yang misterius yang tidak bisa
dimengerti dan tidak dapat dijajagi(ay,4, rumah itupun penuhlah dengan asap).
b. Melihat siapa Allah itu maka manusiapun melihat dirinya sebagai orang yang berdosa yang diakuinya
juga(ay,5).
c. Allah menyingkirkan dosa dan rasa salah diri dan individual tadi diperdamaikan dengan yang Maha
Suci.
d. Allah memanggil sukarelawan-sukarelawan yang mau mengerjakan pekerjaanNya di dalam
dunia(ay,8).
e. Orang-orang percaya yang sudah disucikan dan diperdamaikan menanggpi secara tegas(ay,9).

46
f. Para sukarelawan diperintahkan untuk pergi dan memberitakan; dengan melakukan hal ini maka
mereka ambil bagian di dalam revelasi Allah yang berkesinambungan.
g. Di dalam realita kehidupan yang sukar yang dialaminya terus menerus maka mereka lalu memanggil
kepada Allah untuk meminta pertolonganNya(ay11).

Jelaslah dari bagian bacaan ini bahwa yang menjadi figuran(bentuk) utama dari drama ini bukanlah
orang yang beribadah tetapi Allah yang disembah. Karena Allah di dalam Kitab Suci adalah Allah yang
ada di atas penciptaanNya, kesucianNya merupakan standar bagi kehidupan kita yang berdosa, yang
kuasanya merupakan jawaban bagi ketidakmampuan kita dan segala ketidakmengertian kita yang akan
menantang kita untuk berusaha sekuat tenaga untuk memikirkan, mengerti dan mendorong ita menerima
dengan iman. Di dalam bahasa Anglo-Saxon kata ibadah adalah Woerth-Scipe yang kemudian dalam
bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Worth-Ship yang berarti memberikan apa yang memang layak bagi
Allah. Memang kita beribadah kepada Allah karena Dia sajalah yang layak kita puja.

Paul Houn mengingatkan bahwa konsep kelayakan Allah tidak boleh menjadi dasar yang utama di
dalam kita dimotifasikan untuk menyembah Dia. Karena hal ini tidak menembuhkan pandangan Kristen.
Semua agama dan filsafat mempunyai dasar yang sama. Pada lain segi pangdangan yang demikian ini
menujukan bahwa kita menolak Allah yang transcendent(esa), karena ibadah seolah-olah menjadi inisiatif
dari manusia yang menyadari, mengakui dan menyatakan bahwa Allah itu layak. Setiap kita tentu
menyadari bahwa kelayakan Allah itu hanya kita ketahui karena Tuhan Allah menyatakan melalui
FirmanNya. Pada lain segi juga melalui Roh Kudus, Tuhan memberikan kepada kita pengertian tersebut.
Diakui bahwa terlalu sering, terutama di dalam musik Gerejani, ekspresi daripada keselamatan sering
berpusat pada manusia dan bukan pada Allah. Bukankah melalui ucapan maupun musik Gerejani kita
membicarakan mengenai pengalaman pribadi kita terhadap Allah, mengenai pengalaman pribadi kita
terhadap Allah mengenai keselamatan, tanpa kita itu cukup menyatakan mengenai Allah yang sebenarnya
sudah mengenal diri kita dan sudah membuat rencanaNya bagi kita di dalam dunia. Ibadah tidak boleh
merupakan suatu pernyataan daripada dosa-dosa kita, dari pengalaman kita tentang kasih karuniaNya
bahkan tentang keinginan-keinginan suci kita. Di dalam Allah itu sudah memasuki diri kita diampuni,
dibersihkan dan dimungkinkan untuk mengalami perubahan hidup.

Dalam pasal ini kita akan meneliti mengenai ibadah bersama melalui 3 perbuatan manusia sebagai
tanggapan, yaitu: berbicara, memberi dan menjadi.

Ibadah adalah suatu percakapan antara Allah dengan manusia, suatu dialog yang harus berjalan terus
menerus dalam kehidupan si Kristen. Kebaktian ibadah merupakan permulaan daripada percakapan tadi;
melalui kebaktian maka kita ditolong untuk Tuhan mau berbicara kepada kita dalam hari-hari yang

47
mendatang serta mengingatkan kepada kita akan tanggapan kita yang seharusnya terhadap diri Allah.

Ibadah adalah memberi kepada Allah; dalam kebaktian ibadah sepanjang hidup kita akan kita lakukan
pemberian kepada Allah sebagai pengorbanan yang diminta olehNya daripada kita yaitu seluruh diri kita.

Melalui ibadah, kita menjadi seperti Allah dalam seseluruhan yaitu tubuh, emosi, akal dan kemauan
kita. Dalam kebaktian ibadah Hari Minggu maka kita mengulangi penggunaan tubuh, emosi, intelek dan
kemauan kita agar tubuh kita benar-benar menjadi Bait Suci Allah agar roh kita boleh digerakan oleh Roh
Kudus dan agar akal kita menjadi seperti akalnya Kristus dan kemauan kita menjadi satu dengan kemauan
Allah.

Marilah kita menliti lebih dalam mengenai tanggapan manusia dalam 3 perbuatan tadi: bicara,
memberi dan menjadi.

Kita diingatkan kembali akan terjadinya dialog atau percakapan sebagaimana tentang di dalam Yes.6.
Allah : Aku adalah Aku-Maha Suci, Maha Kuat tetapi sukar dimengerti.
Yesaya : Celakalah aku! Akulah seseorang dengan bibir yang kotor.
Allah : Kau kuampuni! Bersihlah! Didamaikanlah engkau! Istirahat.
Allah : Saya membutuhkan engkau untuk melakukan pekerjaanKu di dunia.
Yesaya : Disinilah aku ya Tuhan; kirimkanlah aku.
Allah : Pergilah dan sampaikanlah pada bangsaKu.
Setelah berjalan sangat sukar.
Yesaya : Oh Tuhan berapa lama lagi?
Allah : sampai kota-kota menjadi puing-puing dan ditinggalkan…….sampai akhir jaman.

Bagian ini memberikan kapada kita suatu pandangan mengenai pengalaman dasar di dalam suatu
kebaktian yang diletakan di dalam urutan yang logis.

Perhatikan bahwa Kitab Suci mencatatkan tanggapan pengakuan dan penyerahan diri dan permohonan.
Ini hanya merupakan beberapa ucapan kata manusia dalam kebaktian sedangkan diantaranya sebenarnya
disampaikan melalui musik Gerejani Allah.
a. Allah menunjukan tentang diriNya kepada kita dan kita lalu menanggapi melalui suatu pengakuan
yang tentang dan bersifat pribadi tentang kebutuhan kita atau kita menyatakan pemuliaan kita pada
waktu ada permainan organ sebelum kebaktian dimulai atau pada waktu organ itu main waktu
persebahan dipungut. Tuhan Allah berbicara kepada kita melalui pembicara Kitab Suci dan khotbah.
b. Kita menanggapi melalui nyanyian, menyatakan puji-pujian, syukur, juga pengakuan, penyerahan,

48
permintaat dan syafaat kita.

Ada kemungkinan bahwa orang-orang yang berbakti agak bingung mengenai identitas dari orang-
orang nampaknya seperti pendeta koor sedang terlibat dalam percakapan sahut menyahut atau mungkin
jemaat dan pendetanya pada waktu ada pembacaan Kitab Suci secara sahut menyahut. Menurut
Kierkegaard: ibadat adalah suatu drama. Ia berkata bahwa jemaat adalah aktor-aktornya sedangkan Allah
adalah penontonnya. Pendeta dan koor menjadi seolah-olah golongan pembisik yang tidak nampak dalam
panggung tapi yang membisikan kepada jemaat yang menjadi aktor dan aktris supaya mereka tidak
melupakan untuk mengerjakan bagian daripada drama mereka.

Pada waktu pendeta berkhotbah maka dia memberikan kepada kita dari Allah adan tanggapan kita
yang seharusnya kepada Allah. Pada waktu dia berdoa maka dia melakukannya itu demi kepentingan kita
yaitu berbicara kepada Allah untuk menyampaikan pujian, syukur, pengakuan dan permohonan jemaat.
Maka baik sekali jikalau doa syafaat ini diakhiri dengan “Amin” oleh seluruh jemaat karena ini
melibatkan jemaat untuk menyampaikan apa yang sedang didoakan pendeta bukanlah doanya dia tetapi
doa mereka semua.

Puji-pujian yang disampaikan oleh koor, penyanyi solo atau vocal group tidak dimaksudkan untuk
kesenangan dari jemaat atau memuaskan untuk penyanyi. Mereka sebagai penyanyi sedang
menyampaikan pujian mereka pada Allah dan mereka juga membantu bagi orang-orang yang beribadat
yang tidak terlibat dalam nyanyian untuk menyampaikan tanggapan mereka kepada Allah. Sebagai
“pembisik di belakang layer” maka koor, vocal group dan penyanyi solo meletakan kata-kata di dalam
pikiran dari jemaat dan menggarisi melalui bahasa emosi dari bahasa musik kepada jemaat supaya mereka
bisa memberikan tanggapan mereka. oleh sebab itu maka kewajiban kita sebagai jemaat bukanlah
mempersoalkan enak atau tidak enaknya musik, senang atau senangnya gaya musik tetapi kita harus
berusaha untuk menjadikan musik tadi sebagai ekspresi kita sendiri, sebagai tanggapan terhadap Allah.
Calvin menggaris bahwa jemaat sebagai imam-imampun harus menanggapi Allah melalui musik yaitu
melalui nyanyian jemaat.

Bagaimanakah kita itu bisa beranggapan bahwa khotbah yang kita dengar itu suara Allah sendiri dan
bukan suara pendeta atau suarnya koor? Jelaslah bahwa kita harus benar-benar meyakinkan pada diri kita
bahwa apa yang disampaikan itu benar-benar Firman Allah. Di samping itu dengan cara bagaimanakah
kita itu bisa berkomunikasi dengan Allah tentang ke-Maha Kuasa-anNya, ke-Sucian-Nya dan
kemisteriusanNya? Sepanjag abad kewajiban ini diberikan kepada seniman yaitu orang-orang yang diberi
oleh Tuhan karunia-karunia untuk menjadi ahli-ahli musik Gerejani.

49
Orang-orang ibrani kuno mnyatakan kesabaran mereka akan kehadiran Allah melalui adanya awan
yang menutupi Bait Suci. Mereka beranggapan bahwa meubel-meubel di dalam Bait Suci, yaitu tempat
lilin, meja dengan roti dan altar untuk membakar kemenyaan memiliki makna simbolis mengenai diri
Allah. Mereka melihat dan membaginnya di dalam drama menyampaian korban yang disertai dengan
nyanyian dari orang Lewi dengan sangkakala dan musik-musik yang lain. Bahkan dengan tarian. Semua
ini menstimulasi indra pandangan, pendengaran, rasa dan bau, mengenai kehadiran Allah.

Pada jaman pertengahan contoh ini dilakukan oleh orang-orang Kristen yang membuat katedral-
katedral untuk menggambarkan Allah yang transcendent. Jendela-jendela yang diberi gelas yang diberi
ceritera-ceritera iman untuk menggambarkan kehadiran Allah, revelasi Allah. Demikian juga hamba-
hamba Tuhan, lilin-lilin dan lain-lain yang kita sakasikan berada di dalam gereja, koor, organ, dan segala
prosesi yang dilakukan dalam kebaktian, semua ini merupakan drama ibadah. Adalah penting sekali
bahwa kita menyadari dalam jaman pertengahan bahwa semua tanda-tanda ini menggambarkan semua
komunikasi dengan Allah walaupun saat itu tidak dipergunakan liturgie sama sekali. Memang dikatakan
oleh Evelyn Underhill kita menggunakan simbol-simbol karena kita adalah manusia dan Allah adalah
Allah.

Mrs, Anderfel mengusulkan bahwa melalui rhytem, syair dan teks yang kita ketakan dalam musik
jikalau, hal itu dinyanyikan atau dimainkan dengan indah sekali maka akan dapat mengingatkan kepada
kita akan Allah yang agung yang sedang berbicara.

Walaupun kaum Injili pada permulaannya tidak menanjurkan nyanyian jemaat diringi oleh musik
distrumen, kemudian kita lihat bahwa ada musik-musik insterumen yang bisa dipergunakan sebagai
semacam, suara Allah umpama organ yang memiliki kemampuan-kemampuan yang besar dan hanya
dimainkan oleh 1orang saja yang bisa membawa Allah keapda jemaat dan jemaatpun bisa menyampaikan
ibadah kepadaNya. Tetapi tentu saja tidak terbatas pada organ saja tetapi juga pada alat-alat musik lainnya.

Koor yang baik juga bisa memiliki fungsi yang sama, koor bisa myampaikan kewalitet ibadah yang
tidak bisa dicapai melalui nyanyian jemaat. Tetapi harus diakui bahwa ada bahaya dimana jemaat hanya
mendengarkan musiknya tetapi tidak mendengerkan kata-katanya sehingga musik tadi hanya berguna
untuk menghibur saja. Tetapi kalau sikap dari penyanyi maupun jemaat itu benar, maka melalui musik
yang disampaikan melalui koor maka jemaat baisa dihantar kepada Allah yang Maha Tinggi(Maz 66:2).

Di dalam kita melaksanakan ibadah sebagai percakapan maka kita harus yakin bahwa jemaat benar-
banar mengerti akan ekspresi yang dipakai yang menggambarkan sebagai berita dari Allah. Oleh sebab itu
gaya musik yang menyampaikan Allah yang transcendent harus disesuaikan dengan kebudayaan yang

50
bisa menolong mereka untuk mengerti pembawaan lagu bersebut. Jikalau jemaat kita dewasa sehingga
bisa mengerti Allah maka merupakan dapat mengerti bahasa yang dipergunakan di dalam musik maka
mau tidak mau ibadah itu menjadi sesuatu yang indah sekali. Kemungkinan karena perusahan jaman
sehingga terjadi pengertian-pengertian yang kurang sempurna di dalam bahasa yang dipergunakan di
dalam musik maka kita harus berani mengubah bahasa tersebut sehingga musik tadi harus dapat
menolong seseorang untuk beribadah dan bukan hanya menyampaikan sentimentalitas atau romantika
mereka sendiri.

Akhirnya ibadah yang efaktif lalu berusah untuk menyampaikan seluruh Firman Allah kepada jemaat
melalui bahasa yang mereka mengerti. Problema lagu-lagu Injil/Gospel Musik adalah bahwa musik-
musik tadi hanya memberitakan mengenai dosa, kasih karunia dan undangan untuk menerima
keselamatan sehingga hanya berguna bagi mereka-mereka yang tidak percaya sedangkan bagi mereka
yang sudah percaya maka lagu-lagu tersebut merupakan kenangan masa lampau saja. Di dalam
menggunakan musik Gerejani kita harus menyampaikan Firman Allah secara lengkap dan menganjurkan
jemaat untuk menganggapinya secara total. Kehidupan dari orang percaya yang sedang beribadat
merupakan suatu kehidupan dimana dia memberi dirinya kepada Allah. Memang ibadah adalah
menyampaikan koraban kepada Allah. Pelayanan ibadah secara dasari merupakan pengulangan daripada
penyamaian korban atau memberi kepada Allah korban yang dituntut yang tidak kurang daripada
pemberian diri sediri secara total. Sejak dari permulaan korban merupakan tindakan utama di dalam
ibadah. Orang-orang yang masih primitif dimanapun mengerti hal ini karena merupakan pemberian Allah
secara instingtif bahwa mereka harus membawa sesuatu yang berharga kepada allah-allah mereka.
Bahkan, kadang-kadang mereka memberi daging dan darah mereka sendiri. Orang-orang Ibrani yang
kuno mempunyai sistim kompleks mengenai korban yang kit abaca dalam Kitab Imamat. 29. menurut Dr.
Stephan Wimward bahwa korban orang Yahudi terdiri atas 3type yang kita temukan dan harus kita
temukan kembali dalam suatu ibadah Kristen. Adapun ke 3 type itu adalah:
a. Korban damai
b. Korban dosa
c. Korban bakaran

Korban damai merupakan tindakan primitif dari ibada yang mengenangkan kita pada orang-orang
Yahudi semasa hidup sebagai Nomad. Korban ini diikuti dengan makan bersama yang dinamakan Pesta
Kasih. Pada saat itu maka darah dan lemak dari binatang disampaikan pada Allah sedangkan sisanya
dimakan bersama-sama. Masa itu masa yang sungguh penuh dengan sukacita karena semua orang yang
beribadah makan dan minum bersama dengan Allah dan perpesta dengan Allah. Persekutuan dengan
Allah maupun dengan satu sama lain merupakan bagian yang penting di dalam kebaktian ibadah kita. Dan
hal ini harus mencapai puncaknya pada pelayanan Perjamuan Kudus. Inilah korban damai orang Kristen :

51
dimana kita memberi diri kita kepada Allah dan sesame kita dalam persekutuan.

Dalam korban dosa (Imamat4:6) maka Iman orang Yahudi mengambil darah dari binatang yang
disembelih ke tempat yang suci untuk kemudian dipercikan dengan jarinya 7kali di depan
Jadar/Bihai(tabir) kemudian dioleskan pada tanduk mezbah bakaran. Darah menggambarkan kehidupan
yang dibebaskan oleh kematian. Darah mempunyai kuasa membersihkan dan mensucikan untuk dosa-
dosa yang kita lakukan secara tidak disengaja dan tidak disadari. Gereja Roma Katolik di dalam
theologianya menggambarkan korban dosa ini melalui pelayanan Misa. Tetapi bagi orang Kristen dengan
hati yang hancur dan remuk merupakan suatu tindakan yang harus kita lakukan dengan kesadaran bahwa
Tuhan akan mengampuni berdasarkan pengakuan kita(1Yoh, 1:9). Di dalam kebaktian orang Kristen
maka pada awal kebaktian diberi kesempatan untuk mengakui dosa untuk kemudian disusul dengan berita
dari Pendeta yang menyampaikan pengampunan dan pembebasan dari rasa salah diri.

Korban bakaran dalam ibadah orang Yahudi merupakan suatu tindakan dimana segala sesuatu itu
harus dibakar habis di atas mezbah. Bagi orang Kristen korban ini merupakan korban diri kita yang kita
persembahkan sebagai satu korban yang hidup(Rom, 12:1). Tetang hal korban yang diterima mak kita
temukan dalam contoh pengorbanan dari Kain dan Habel. Kwalitet dari korban harus merupakan tindakan
yang mahal dimana dituntut harta kita yang paling berharga. W.S. Bach di dalam penyampaian korban
maka dia telah mengarang sebuah lagu yang dimainkan organ dengan nama Soli Deo Gloria. Pemusik
Gerejani yang modern juga berusaha dengan sekuat tenaga dan pengorbanan cukup besar untuk
memimpin dan meyanikan puji=pujian yang membawa banyak korban daripada dirinya. Memang kita
harus memberikan kepada Tuhan apa yang terbaik.

Harus diakui bahwa karena kita begitu prihatin bahwa di dalam gereja bisa disajikan permainan musik
yang terbaik maka ada bahaya bahwa musik yang terbaik itu bisa menjadi bentuk penyembahan berhala.
Memang mereka geranggapan bahwa Allah yang Agung harus disembah dengan seni yang paling mulia
dan hebat yang bisa diciptakan oleh manusia. Tetapi tuntutan yang demikian sama dengan yang dilakuakn
oleh Kain yang adalah dosa(Kej,4:1-7). Kita akan menyembah ekspresi kita dan bukannya Allah sendiri.
Maka kita harus menhindarkan diri dari kesombongan ini.

Walaupun demikian ini tidak berarti bahwa kita tidak berkewajiban menyemapikan kepada Allah puji-
pujian kita yang terbaik bahkan di dalam hal ini kita harus bisa menyajikan itu dengan penyampaian
pengorbanan yang besar. Problema dari manusia modern adalah kita mau beribadah jikalau kita menerima
berkat padahal ibadah adalah kita memberi kepada Allah. Dengan kita memberi maka kita akan diberkati.
Tetapi yang terutama adalah di dalam kita menyampaikan puji-pujian pada Allah kita bertanya sudahkah
kami berkorban?

52
Ibadah adalah menjadi nyata sekali bahwa di dalam kita melaksanakan ibadah kita harus
menggunakan keseluruhan diri kita sebagai manusia. Adakah kita itu menyembah Allah dengan tubuh kita?
Apakah ini berarti bahwa kita harus berlutut? Meyalibkan diri? Menari secara rohani? Atau mengadakan
perjalanan suci ke suatu patung tertentu? Yang jelas bahwa mereka melaksanakan ibadah mereka dengan
tindakan fisik yang simbolis. Hal yang sama adalah jemaat yang dipersilahkan pada waktu mendengar
Firman Tuhan dibacakan. Berdoa dengan tangan diangkat. Beribadah degan menggunakan tubuh jasmani
ada hubungannya dengan musik Gerejani. Tentu saja sudah jelas bahwa tindakan tubuh jasmani oleh
pemimpin koor, organis dan pemain musik tetapi sebenarnya beribadah dengan tindakan tubuh jasmani
juga harus dilakukan oleh jemaat. Penggunaan tubuh untuk ibadah adalah penggunaan paru-paru, lidah
dan pita suara kita pada waktu menyanyikan hymnal di dalam gereja. Yang benar adalah bahwa menyanyi
tadi itu orang-orang percaya. Pertanyaan yang harus ditanyakan kepada setiap jemaat “apakah anda
memiliki suara untuk menyanyi?” tetapi “sudahkah suara menyanyi?”

Menyanyi juga membuat orang itu percaya. Diakui bahwa kadang-kadang pada waktu jemaat
menyanyi sebenarnya mereka tidak terlalu mengerti apa yang mereka nyanyikan. Terlalu sering jemaat
menyanyi lagu-lagu hymnal tetapi mereka tidak mempercayai lagu hymnal tersbut.

Kita sering beranggapan bahwa dia dalam melaksanakan ibada kita harus menggunakan akal kita. dan
ini berarti bahwa hanya khotbahlah merupakan bagian dari ibadat dimana kita melaksanakan akal kita.
Tetapi musik juga harus didengar dengan akal kita. Sebuah hymal, nyanyian solo, kantanta merupakan
sebuah konsert theologia yang dinyatakan dengan kata-kata. Akibatnya setiap ibadah yang menggunakan
musik harus melibatkan dan mengubah akal maupun tubuh dan emosi orang tersebut. Untuk mencapi hal
ini maka harus dibuat perencanaan ibadah yang tepat dengan memilih musik yang cocok dan sesuai untuk
kita letakan di dalam kebaktian sehingga pelaksanaan ibadah tadi mencapai suatu ketotalan dengan hasil
maksimum. Orang-orang yang beribadah harus mengerti apa yang disajikan dalam ibadah tadi.

Hubungan antara emosi dan pengertian akal adalah penting sekali di dalam pelaksanana ibadah dalam
totalitas. Kebenaran Allah bisa dimengerti akal tetapi bila tidak ada keterlibatan emosi maka tidak ada
sesuatu yang akan dilakukan seseorang. Pada lain segi seseorang mungkin di dalam ibadah melakukan
tindakan emosi tetapi bila tidak didasarkan pada konsep yang alkitabiah maka peruma pelaksanaan ibadah
tadi. Kebenaran Allahh harus dimengerti kemudian dilengkapi dengan emosi maka individual tadi baru
menyadari maknanya. Tetapi untuk ada tindakan harus ada kemauan.

Testing apakah pelaksanaan ibadah kita ini benar-benar efektif ialah apakah akibat dari ibadah tadi
seseorang itu tunduk kepada Allah yaitu bersedia untuk melaksanakan di dalam kehidupan sehari-hari

53
atau tidak. Untuk musik Gerejani supaya tanda kesungguhan dan penyerahan itu terwujud maka haruslah
puji-pujian itu dinyanikan dengan hati yang bersungguh-sungguh(Ef, 5:19). Mengingat akan hal ini
khususnya bagi seorang pemimpin musik Gerejani harus senantiasa diingat akan pernaytaan yang keras
dari nabi Amos sebagaimana tercatat dalam Amos 5:21-23. Amos bukanlah seorang yang mengeritik
musik. Dia tidak mempermasalahkan penyampaian musik karena Imam-imam Lewilah yang terlatih dan
sunguh-sungguh berbakat serta merupakan orang professional dalam menyampaikan puji-pujian tadi.
Amos bukan menyerang akan tekhnik musiknya atau esthetika dari musik yang mereka bawakan tapi
yang dimasalahkan Amos adalah rohaninya(Am,5:23,24).

Almarhum Biscot Agung William Temple berkata, “Dunia dapat diselamatkan oleh satu hal dan itulah
ibadah.” Karena melalui ibadah maka kita dapat menghidupkan suara hati oleh karena kesucian Allah,
kita mengisi akal dengan kebenaran Allah kita membersihkan imajinasi keindahan Allah. Kita membuka
hatinya dengan kasih Allah, kita mempersembahkan kemaunnaya sesuai dengan rencana Allah.

10. MODEL-MODEL IBADAH


PRINSIP DASAR DARI PEMBAHARUAN IBADAH
Ibadah kristen harus berdasarkan Kitab Suci yaitu PL dan PB untuk dijadikan wibawa mutlak di
dalam menghadapi permasalahan ibadah. Dalam Kitab Suci kita menemukan pola yang mula dari ibadah
kristen yang menekankan tentang Firman, Perjamuan Suci, Hymnal, Berkat dan Doxology. Fokus yang
utama di dalam ibadah kristen adalah pekerjaan Tuhan Yesus: kelahiranNya, kehidupanNya, kematianNya,
kebangkitanNya dan kedatanganNya kembali. Di dalam ibadah, Bapa di surga dipuji karena segala
pekerjaan keselamatan yang dilakukan oleh Anak dan kemudian diingatkan kembali melalui pelaksanaan
Firman dan Perjamuan Suci.
Roh kudus telah memberikan kepada gereja karunia-karunia pengertian dan telah menolong gereja
di dalam perkembangan elemen-elemen ibadah yang berdasarkan pengertian Alkitab dan teologia.
Misi yang tetap di dalam ibadah kristen adalah:
Firman dan Perjamuan Suci
Doxologi, berkat, doa, pengakuan iman dan puji-pujian
Menggunakan waktu, spasi, suara dan hubungan terhadap dunia
Di dalam ibadah bisa digunakan variasi berdasarkan kebudayaan. Tentang kapan harus berdiri atau duduk,
musik instrumen yang dipergunakan, apakah kebaktian itu harus beramai-ramai atau formal merupakan
hal yang tidak terlalu penting.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas maka kini kita memberikan suatu ilustrasi sebagai
pedoman yang bisa dipergunakan oleh jemaat di dalam melaksanakan ibadah. Untuk memudahkan
contoh-contoh tersebut maka dipergunakan istilah: ibadah bebas, ibadah yang berencana dan ibadah yang
formal. Di dalam setiap bentuk ibadah maka Perjamuan Suci harus disertakan.

54
Ibadah Bebas
Ibadah yang bebas ini cocok sekali untuk kelompok-kelompok kecil, umpama di dalam rumah tangga,
gereja-gereja pedalaman atau desa, jemaat yang kecil dimana tekanan dari gereja adalah suatu masyarakat
manusia yang senantiasa pulang pergi. Walaupun demikian model ini juga bisa dipergunakan untuk
kelompok yang lebih besar.
Liturgie:
Persiapan
Pujian Hymnal
Doa syafaat
Pembacaan kitab Suci
Khotbah, tanggapan, Perjamuan
Berkat
PERSIAPAN.
Perlu ada waktu bagi jemaat untuk menenagkan diri sebelum ibadah itu dimulai. Waktu ini bisa
dipergunakan untuk berdoa, membaca Kitab Suci, pengakuan pribadi atau puji-pujian.
PUJI-PUJIAN HYMNAL.
Merupakan suatu waktu dimana kita menyanyikan lagu-lagu hymnal tanpa adanya suatu pengumuman
dengan maksud supaya menyiapkan jemaat memasuki kebaktian.
DOA SYFAAT.
Waktu doa ini bisa bersifat spontan. Pendeta atau pemimpin ibadah dapat mengumumkan beberapa topik
doa lalu membiarkan jemaat itu menaikkan doa secara spontan untuk kebutuhan yang sudah disampaikan.
Doa ini bisa disampaikan oleh seorang yang ditunjuk maupun bersama-sama dengan suara yang keras
atau tidak.
PEMBACAAN KITAB SUCI.
Pembacaan ini boleh dibacakan beberapa orang dalam jemaat. Pembacaan boleh diambil dari PL,
Mazmur, Surat-surat dan diakhiri dengan Injil. Setiap pembacaan ditanggapi oleh jemaat dengan istilah
amin atau menyanyikan haleluyah.
KHOTBAH.
Khotbah perlu diberikan secara pendek untuk mengingatkan satu atau dua pokok yang bisa meberikan
pengertian supaya bisa diterapkan oleh jemaat.
TANGGAPAN.
Setelah Tuhan Allah berbicara kepada jemaat maka jemaat dianjurkan untuk menanggapinya. Tangapan
ini bisa bersifat pribadi ataupun bisa melalui panggilan penyerahan diri bahkan tantangan untuk
melibatkan diri di dalam suatu tanggung jawab.
PERJAMUAN SUCI.
Perjamuan Suci sebaiknya dilakukan secara informal yaitu dimana kursi-kursi diletakkan pada suatu

55
lingkaran sekeliling meja perjamuan dan jemaat bisa menerima perjamuan itu melalui roti dan anggur
yang disampaikan seorang kepada yang lain.
BERKAT.
Ucapan ini dapat berbeda dari minggu ke minggu untuk menekankan sesuatu tertentu seperti yang sudah
dikhotbahkan. Berkat ini bisa diambil dari suatu ayat Kitab Suci sepert : (Bil 6:23-26; Roma 15:5; 2 Kor
13:13; Efs 6:23-24; Ibr 13:20; 1 Pet 5;10-11; Yudas 24 dan 25).
Ibadah Berencana
Panggilan beribadah:
Paduan suara
Pastoral
Tanggapan
Hymnal pujian
Sebutan puji-pujian
Gloria
Doa untuk illuminasi
Bacaan PL
Bacaan PB
Khotbah dan undangan untuk menaggapi
Hymnal
Pengakuan dosa
Berita pengampunan
Tanggapan
Pengakuan iman (credo apostolikum)
Pokok-pokok doa untuk gereja
Pokok-pokok doa untuk jemaat
Kesaksian tentang kesetiaan Allah
Pengucapan damai
Persembahan
Undangan untuk ikut di dalam Perjamuan Suci
Ucapan syukur
Doa Bapa kami
Pelaksanaan Perjamuan
Tanggapan
Anjuran
Berkat
Tata cara kebaktian ini berguna untuk jemaat yang besar sekali. Kebaktian ini mengandung elemen-

56
elemen daripada kebebasan di dalam ibadah tetapi juga menekankan tentang beberapa elemen-elemen
ibadah yang tepat dan melalui kebaktian ini diusahakan supaya spontanitas itu tidak terhalang juga.
Walaupun demikian harus dijaga bahwa jemaat itu betul-betul bisa berpartisipasi.
Ibadah Formal
Tuhan menmanggil umatNya untuk beribadah (I):
Hymnal prosesi
Sambutan
Votum
Pengakuan karakter Allah
Pengakuan dosa
Tuhan Allah memanggil melalui FirmanNya (II):
Pembacaan PL
Mazmur
Surat-surat
Mazmur atau haleluyah
Injil
Khotbah
Umat berbicara kepada Allah (III):
Persembahan iman dengan menyebut ucapan pengakuan rasuli
Penyampaian permohonan yaitu doa syafaat dan kuncup ciuman damai
Umat bersyukur kepada Allah (IV):
Dia mengambil : a. roti dan anggur diletakkan di atas meja, b. pendeta mencuci tangannya, c. pendeta
memberkati roti dan anggur
Dia memberkati: a. salam, b. ucapan salam, c. introduksi, d. sanctos, e. doa syukur, f. permulaan
pembacaan.
Dia memecahkan: a. ucapan institusi, b. peringatan, c. doa bapa kami, d. ucapan untuk roti dan anggur, e.
pemecahan roti.
Dia memberi: a. pembagian roti dan anggur sementara itu koor bisa menyanyi atau jemaat menyanyikan
hymnal, b. doa, c. berkat
Ibadah yang formal ini bisa menjadi sesuatu yang sangat menantang kalau jemaat sudah mengerti apa
yang harus mereka lakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya dengan penuh antusiasme.
Bentuk ibadah ini membutuhkan persiapan yang sangat banyak baik bagi hamba Tuhan maupun
jemaatnya. Ciri dari ibadah ini adalah seperti sebuah sandiwara yang dimainkan oleh sekelompok
pemain-pemain yaitu dimana masing-masing orang melakukan bagiannya untuk mengadakan pujian dan
syukur kepada Allah Bapa dengan sunggh-sungguh. Jemaat harus benar-benar memiliki jiwa ibadah
melalui segala sesuatu yang dilakukan.

57
Ibadah ini merupakan tindakan seluruh jemaat dimana pendetanya akan berperan sebagai
pemimpinnya dan jemaat yang mengisi bagian-bagian ibadah sehingga bersama-sama, mereka melakukan
sesuatu yang lengkap.

11. APAKAH IBADAH ITU?


Ibadah bukanlah sesuatu yang oleh orang-orang percaya lakukan setip hari minggu. Ibadah juga
bukan suatu perasaan yang aneh secara batin yang mendorong kita untuk terus menyanyi. Ibadah
bukanlah aktivitas orang-orang kristen dengan suatu perbuatan yang emosional. Ibadah bukanlah suatu
kata yang menggambarkan apa yang dilakukan di dalam kebaktian gereja sampai memuncak pada
khotbah. Ibadah juga bukan suatu aktivitas bersama-sama dimana seluruh jemaat menyanyikan lagu-lagu
yang bagus dan yang menarik. Ibadahpun tidak tergantung pada apakah kebaktian itu harus dilakukan
dengan ramai atau dengan tenang, dengan organ dan koor atau dengan guitar dan band.
Terlalu sering ibadah dilaksanakan untuk keuntungan dan kesenangan orang-orang yang
melaksanakan ibadah. Ibadah adalah bagi Allah. Memang ibadah yang membawa kesenangan bagi
makhluk adalah tidak salah tetapi ibadah harus terutama ditujukan kepada Allah. Dengan kata lain ibadah
terutama adalah bukan demi keuntungan orang percaya.
Yang menarik adalah bahwa didalam kita menyenangkan hati Tuhan maka kita akan mengalami
pengalaman yang menyenangkan dan yang akan memperkaya diri kita. Sebenarnya masuk akal kalau
Tuhan itu menuntut penyembahan kita bahkan boleh dikatakan bahwa ibadah itu harus menjadi kewajiban
dari setiap orang percaya. Tetapi Tuhan ingin memberikan hubungan timbal balik antara Allah dengan
umatNya. Sungguh suatu tragedi kalau di dalam ibadah, justru kita yang mengalami kesenangan, yang
merasakan kepuasan yang sesuai dengan selera dan keinginan kita pada hal Tuhan sendiri kurang kita
perhitungkan.
Di dalam Mzm 149:2-4 kita mendapatkan suatu revelasi dari Allah bahwa kita dapat memberikan
perkenan Allah. Bayangkan siapapun kitaatau bagaimana pun kita, Tuhan telah memberikan kepada kita
potensi sukacita kepada khalik alam semesta. Betapa sering kita kurang menyadari akan kebenaran ini
sehingga kita merasa bahwa tidak mungkin Tuhan itu tertarik pada persembahan kita yang sungguh tidak
berarti bagi Dia yang begitu besar.
Merupakan rencana dari Tuhan Allah bukan sekedar menyelamatkan kita dari neraka, dari hukuman,
tetapi melalui kelahiran baru yang dikerjakan oleh Roh Kudus supaya kita boleh menjadi anak-anak di
dalam keluargaNya yaitu anak lelaki dan anak perempuan yang menikmati hubungan secara intim dan
pribadi dengan Bapa yang di surga.
Dalam bahasa Inggris ibadah adalah “worship” yang mengandung arti bahwa kita itu menilai
seseorang itu sangat tinggi. Kualitet yang terdalam dan yang benar dari kasih kita kepada Allah, harus
bisa dibuktikan oleh kualitet dan dalamnya ibadah kita kepada Allah. Bukankah di dalam hidup sehari-
haripun kita mendemonstrasikan kasih kita kepada seseorang dengan kata-kata, juga pemberian dan hal-

58
hal yang lain yang praktis. Demikianpun seharusnya kita lakukan kepada Allah.
Dalam bahasa Yunani kita menjumpai 7 istilah untuk ibadah: 5 istilah hanya dijumpai satu kali saja
dalam seluruh Alkitab, 1 istilah tiga kali saja dan yang 1 lagi 59 kali. Adapun istilah yang banyak dipakai
adalah “Proskuneo” yang mengandung arti maju ke depan untuk mencium tangan dan menunjukkan juga
suatu tindakan lahiriah dimana seseorang di dalam ibadah menyembah sujud di hadapanNya yang hendak
di sembah, sedangkan secara batin ada suatu sikap hormat dan rendah hati.
Setiap orang tentunya beribadah entah kita itu berbakti kepada seorang pahlawan, kepada harta benda,
sukses, kesenangan, alasan-alasan politis, patung atau diri kita sendiri. Bagaimana kita hidup dan bersikap
kepada hal-hal tertentu menunjukkan bahwa kita mengasihi dan memberi kita kepadanya. Memang
beribadah merupakan dorongan batin yang dikerjakan dan yang sudah ditanamkan di dalam diri setiap
orang. Akibat dari dosa maka objek ibadah kita itu sudah diganti dengan hal-hal lain. Tetapi jikalau kita
bertobat maka ibadah kita perlu kembali kepada Aalah yang benar dan meyingkirkan semua yang akan
menandingi wibawanya. Inti dari ibadah adalah memberi yaitu baik memberi berkat atau talenta kita,
harta benda kita ataupun diri kita sendiri.
Di dalam Roma 12:1 dibicarakanmengenai suatu ibadah yang rohani. Ynag dimaksud dengan ibadah
yang rohani bukanlah sesuatu yang abstrak atau sesuatu yang berubah-ubah tetapi mempermasalahkan
“siapa yang memiliki tubuh kita?, kepada siapa kita menggunakan tenaga kita?, urat daging kita?, mental
kita?, roh kita?”.
Di dalam Roma 12:1 juga dibicarakan mengenai suatu persembahan yang hidup. Sebenarnya
persembahan menggambarkan sesuatu yang mati. Di dalam Roma 6:11-13, Paulus juga mengajarkan akan
kematian dan kehidupan.
Tuhan Allah senantiasa meneliti dalam diri kita sampai dimana kita itu sudah hidup “mati” yaitu mati
terhadap kemauan2 kita yang egois maupun jalan2 hidup kita yang egois dan mau hidup di dalam
kehidupan dan kuasa Yesus Kristus. Dengan kita itu hidup di dalam kehidupan dan kuasa Tuhan Yesus
maka pastilah seluruh pemikiran kita, tindakan kita, emosi kita akan menjadi suatu tindakan ibadah yang
sejati. Kalau seluruh masyarakat kristen mau hidup sedemikian itu yaitu berkumpul beribadah dengan
suatu persembahan yang hidup maka pastilah bakti kita akan menjadi suatu bakti yang segar dan yang
hidup dan yang akan membawa berkat kepada semua orang yang mengikuti ibadah tadi.
Di dalam ibadah kita sediakan suatu waktu yang khusus daripada segala kesibukan hidup kita untuk
sepenuh tenaga dan perhatian kita, menyampaikan apa yang lebih penting di dalam kehidupan kita yaitu
ibadah di mana kita hanya memikirkan Allah serta menyatakan tanggapan kita serta kehadiran Tuhan
Allah yang penuh kasih melalui seluruh aspek daripada kehidupan kita.
Kesungguhan daripada ibadah kita tidak dapat diukur dari jumlah suara yang kita hasilkan walau hal
itu vital dan penting sekali kalau kita menyatakan cinta kasih kita kepada Allah secara total. Kesungguhan
dari ibadah kita selalu tergantung pada : sampai dimanakah ibadah kita itu juga dibuktikan di dalam
kehidupan kita sehari2. Dengan kata lain kita boleh saja menyanyikan sebuah puji2an yang sangat indah,

59
menarik, rohani tetapi kalau kita masih belum mengakui dosa tertentu yang kita senangi maka sungguhlah
ibadah kita itu sia2.
Ada yang menyalahartikan bahwa ibadah itu timbul dari suatu perasaan yang tumbuh di dalam diri
kita.Tetapi kita harus menyadari bahwa ibadah yang benar itu harus berakarkan suatu tindakan sadar dari
kemauan kita untuk melayani dan mentaati Tuhan kita Yesus Kristus. Ibadat yang hanya terwujud di
dalam pertemuan2 dan kebaktian2 yang diselenggarakan di tempat2 dan waktu2 tertentu merupakan
ibadat yang hanya menggambarkan suatu schizophrenia(semacam penyakit jiwa) rohani karena kita itu
telah berusaha untuk menjauhkan Allah, menguasai keseluruhan hidup kita. Oleh sebab itu maka di dalam
ibadah seseorang harus mempersembahkan dirinya kepada Allah dengan tidak menuntut hak apa2, tidak
menuntut apapun sesuai dengan kemauan sendiri tetapi hidup secara penuh dan selengkapnya bagi Allah
di dalam kuasaNya. Memang untuk melaksanakan ibadah yang sesungguhnya tidak dapat terjadi begitu
saja, membutuhkan suatu proses waktu sementara Bapa kita yang di Sorga cukup sabar dan cukup
prihatin untuk menangani kita dan menyiapkan kita dimana kita berada sebagaimana adanya kita. Ibadah
harus realistis.
Ketaatan merupakan bagian daripada ibadah. Tanpa adanya ketaatan kepada Allah dan kehendak
Allah sebagaimana tertera di dalam Kitab Suci, maka kita belumlah menyembah Dia sebagaimana
semestinya. Di dalam ibadah kita boleh intusias, kita boleh merasa seolah2 mengalami kebebasan dan
jikalau ibadah itu tidak dibarengi dengan realita hidup sehari2 yang merupakan hidup yang
dipersembahkan kepada Allah sehingga kita itu sepenuhnya milik Dia saja dan kita tidak mempunyai hak
sama sekali atas diri kita maka tanpa segala sikap tadi ibadah kita sungguhlah merupakan ibadah yang
membuang tenaga dan sia2 adanya.
Ibadah sungguhlah bukan sesuatu yang terjadi pada jam2 tertentu pada hari Minggu. Bahkan ibadah
tidak pernah akan mempermasalahkan apakah cara ibadah itu kuno atau modern, kaku atau berkobar2,
kreatif atau membosankan. Adanya suatu kebebasan ekspresi di dalam ibadah belum merupakan garansi /
jaminan bahwa kita itu melaksanakan ibadah yang diterima baik oleh Allah bahkan kita itu berada di
dalam suatu bahaya yang serius bahwa seolah2 apa yang kita lakukan secara lahiriah adalah sama dengan
apa yang dipandang oleh Allah. Jelaslah ibadah yang benar menuntut lebih daripada sekedar melakukan
tindakan2 evolusi atau penyembahan pada waktu2 tertentu.
Diakui bahwa suatu kecondongan yang populer pada jaman sekarang ini adalah bahwa kita selalu
berusaha untuk merohanikan iman percaya kita dan tidak menjadikan iman kita itu suatu iman yang
normal. Dengan kata lain kita berusaha untuk membuat iman kita itu abstrak dan bukanlah praktis dalam
hidup sehari2. Tentu saja Bapa menginginkan supaya kita itu menyembah di dalam roh tetapi kita harus
mengerti bahwa Kitab Suci itu senantiasa menekankan bahwa yang dilihat oleh Allah bukanlah salah satu
elemen yaitu diriNya sendiri, tetapi manusia secara seutuhnya. Oleh sebab itu tindakan rohani tidak bisa
dipisahkan dari tindakan badani. Dengan kata lain tindakan2 rohani yang tidak membawa serta tindakan2
hidup praktis di dalam hidup sehari2 hanyalah merupakan ibadah yang sentimentil bahkan munafik.

60
Pada jaman modern ini terlalu sering yang dikejar orang di dalam ibadah adalah suatu pengalaman rohani
bahkan pengalaman aesthetic. Jikalau di dalam dunia kita bisa memasuki suatu keadaan yang sadar diri
oleh karena kita sedang mengalami pengalaman rohani maka seolah2 kita sudah mencapai apa yang
diharapkan dalam suatu ibadah padahal ini hanyalah suatu pemuasan diri, hanya suatu egoisme dan tidak
merupakan ibadah yang diharapkan oleh Tuhan.
Perlu disadari bahwa ibadah bukanlah sesuatu yang khas kristen karena agama2 yang lain juga
melaksanakan ibadah, bahkan seorang atheis pun akan melaksanakan ibadah walaupun di dalam
melaksanakan ibadah itu hanyalah untuk mengisi kekosongan yang dialaminya oleh karena dia sudah
kehilangan komunikasi dengan Allah akibat dosanya. Maklum manusia memang diciptakan untuk
beribadah. Dengan manusia menolak untuk melaksanakan ibadah yang semestinya manusia hanya akan
mengalami suatu pengalaman yang menyedihkan, yang menakutkan bahkan yang akan mengisi dirinya
dengan segala rasa takut dan penderitaan.
Hanya kalau kita menyembah Allah secara intelektual dan spiritual sehingga kita senantiasa
menyesuaikan perhatian kita kepada karakter dan tindakan daripada Allah secara makin jelas, barulah
sanggup kita untuk menemukan allah yang palsu, yang masih sembunyi di dalam diri kita. Visi kita yang
makin mendalam di dalam diri kita menyebabkan tidak ada tempat lagi bagi allah yang lain, bahkan
makin kita terhindar untuk tertipu oleh mereka.
Dengan kita memasuki halaman Allah kitapun akan makin mengerti perasaan Allah terhadap sistem2
didalam dunia ini dimana kita menjadi bagian daripadanya yaitu pandangan terhadap kehidupan
berkeluarga, terhadap ekonomi nasional, terhadap orang miskin, terhadap ketidakadilan, terhadap
kekerasan, dll.
Pada saat yang bersamaan dengan kita melaksanakan ibadah yang benar maka kitapun harus
mengharapkan bahwa kita akan mendapat disiplin daripada seorang Bapa di dalam kita melaksanakan
ibadah kita, karena Bapa senantiasa membetulkan / mengkoreksi sikap dan tindakan2 kita supaya ibadah
kita kepadaNya dapat dilaksanakan dengan lebih baik. Di samping itu kepada kitapun akan diajarkan
supaya kita makin hari makin dapat menyesuaikan diri dengan kasihNya dengan juga memasukkan ke
dalam diri kita perasaan2 yang sepi, perasaan yang sakit yang dirasakan oleh Bapa pada waktu Dia
menyaksikan anaknya menderita di dalam penjara, dalam sakit penyakit, di dalam kemiskinan dan
penderitaan2 lainnya.
Ada orang2 yang berkata bahwa mereka tidak dapat menyembah Allah dengan bersukacita dan
dengan bersungguh2 selama di dalam dunia masih ada penderitaan dan ketidakadilan. Emosi dari orang2
ini memang dapat dimengerti, tetapi Tuhan Yesus sendiri hidup di tengah2 dunia yang menderita dan
melalui Mazmur 45 : 6-7 dinyatakan bahwa di tengah2 ketidakadilan pun kita bisa mengalami
pengalaman sukacita.
Banyak orang juga dalam mereka itu menyembah sang Raja mereka itu tidak memperdulikan masalah
keadilan dan kebenaran daripada kerajaanNya. Sedangkan ada orang lain lagi yang begitu sibuk untuk

61
mendirikan kerajaan Allah tetapi melalaikan beribadah kepada sang Raja. Raja dan kerajaan adalah dua
hal yang tidak dapat dipisahkan satu daripada yang lain, malahan kerajaan tidak lain merupakan ekstensi
praktis daripada karakter Raja. Memang kerajaan Allah didirikan untuk kemuliaan namaNya, oleh sebab
itu kita harus mendirikan kerajaan Allah oleh karena kita mengasihi dan beribadah kepada sang Raja.
Kalau tidak maka bukannya kerajaan Allah yang kita dirikan tetapi kerajaan diri kita sendiri.
Di dalam tindakan ibadah maka kita harus belajar untuk mentaati dan menyesuaikan kemauan kita
untuk mentaati biar hal2 kecil daripada kebenaran dan hidup di dalam kejujuran sampai pada
melaksanakan hidup rohani dan mendengar bimbingan suaraNya untuk memuji2 Dia. Kalau Kristus ada
di dalam diri kita yang merupakan kemuliaan maka melalui pemuliaan maka kita bisa menarik banyak
orang untuk berharap kepada Kristus. Pada lain segi bentuk ibadah kita yang tidak bijaksana bisa
menjadikan kita memiliki kerohanian yang palsu, karena di dalam ibadah tadi kita itu sudah memotong
diri, menjauhkan/melepaskan diri kita dari dunia sekitar kita sehingga menyebabkan banyak orang
menyaksikan diri kita menjadi orang2 yang sangat kritis terhadap diri kita dan hal ini dapat dan harus
dimengerti. Dalam ibadah Kristus selalu mengirim kita ke dalam dunia untuk menjadi makin mirip
dengan Dia. Di dalam dunia kita harus berjuang untuk mengubah dunia dengan mewujudkan Yesus sesuai
dengan teladan yang sudah ditinggalkan, ajaran yang sudah diberikan maupun pengorbanan diriNya.
Hanya kalau ada kasih Kristus di dalam diri kita barulah kita dapat menghancurkan beban problema dan
sakit penyakit.

12. DISIPLIN PRIBADI DI DALAM BERIBADAH


(Mazmur 18,23) pengalaman, ibadah, semangat
Di dalam Mazmur 57 : 8 Daud berkata : “hatiku siap ya Allah, hatiku siap ; aku mau menyanyi, aku
mau bermazmur”. Mazmur ini adalah mazmur daripada Daud dan dia telah mengambil keputusan untuk
aku memuji dan bermazmur. Dan keputusan untuk memuji ini bukanlah diambil pada saat dia itu dalam
keadaan yang enak dan senang tetapi justru sebagai buronan dari Raja Saul, dimana dia terpaksa harus
menyembunyikan diri dalam gua2 demi keselamatan dirinya. Jelaslah bahwa puji2an Daud itu disadarkan
atau lebih daripada situasi kondisi maupun nafsu hatinya (mood). Nampaknya ada suatu pengertian yang
salah tetapi yang populer di dalam masalah kebaktian, yaitu bahwa untuk kita itu berbakti, maka kita itu
harus memiliki suasana hati yang enak sehingga oleh suasana hati tadi maka kitapun “digerakkan” dan
dengan “gerakkan” ini maka kita memimpin kebaktian. Diakui bahwa di dalam kita itu berbakti, kita itu
sedang menanggapi Tuhan. Di samping itu terbukanya mata rohaninya kita, itu akan membuat supaya kita
itu bisa datang lebih dekat kepada Dia untuk memuji dan bersyukur. Tetapi kita harus menyadari apa yang
dikatakan didalam Yak 4 : 8 yang mengatakan kita itu bisa pada saat2 tertentu seolah2 “terbawa” di dalam
roh ibadat tetapi ini tidak boleh menjadi prinsip di dalam kita melaksanakan kebaktian kita.
Kita harus cukup realistis dan menyadari bahwa kita akan mengalami masa2 dimana suasana atau
kondisi atau perasaan kita sungguhlah tidak memberikan alasan sedikitpun untuk memuji Dia. Ini adalah

62
masa2 rasanya kebaktian itu menjadi kering sekali, toh pada saat yang sedemikian tadi kita harus bisa
berkata : bersama dengan Nabi Habakuk3:17-19) “tetapi tetap aku ingin bersukacita di dalam Tuhan, aku
sungguhlah bersukacita di dalam Allah Juru selamatku”. Kebaktian kadang2 memang dimulai oleh karena
kita merasa bahwa ada satu kerinduan di dalam hati kita tetapi kadang2 kebaktian itu harus dilaksanakan
berdasarkan kemauan kita. Bagaimanapun juga Tuhan Allah itu berhak dan layak untuk kita sembah.
Dengan segala kelayakan Tuhan itulah yang terpenting untuk mana kita itu melaksanakan kebaktian.
Janganlah kebaktian itu kita laksanakan hanya berdasarkan perasaan kita yang begitu berubah2. Kemauan
untuk berbakti adalah bagian kita, sedangkan bagian Tuhan Allah adalah untuk menyediakan api yang
nanti akan membakar di dalam diri kita suatu kerinduan untuk menyembah.
Di dalam I Tes 5 : 18 kita membaca bahwa kita harus senantiasa bersyukur kepada Tuhan. Perintah ini
menuntut adanya suatu disiplin karena mungkin saja pada saat2 tertentu kita tidak merasa bahwa kita itu
ingin atau perlu bersyukur terhadap apapun yang sedang menimpa diri kita, tapi toh kita harus bersyukur
kepada Tuhan. Sebelum kita dapat bersyukur kepada Tuhan dalam masa-masa yang kurang
menyenangkan, kita itu harus mengadakan suatu kebiasaan untuk merenungkan dan mengingatkan
kembali akan masa-masa yang baik dan menyenangkan sehingga kita bisa bersyukur. Pada lain segi
terlalu sering juga kita merasa bahwa ada banyak hal di dalam kehidupan kita, maka apa yang diberikan
oleh Tuhan secara alamiah ataupun secara rohaniah, kita anggap sebagai sesuatu yang dengan sendirinya
harus terjadi sehingga kita lupa untuk bersyukur kepada yang memberikan itu. Karena kita begitu sibuk
untuk hanya mendapatkan, maka kita lalu lupa untuk bersyukur kepada Tuhan sehingga banyak doa2 kita
menjadi doa2 yang sangat egoistis, kita menjadikan diri kita hanyalah pengemis2 di hadirat Allah dan
bukannya sebagai penyembah2. Karena alasan inilah maka Paulus mengatakan pada Jemaat Filipi supaya
mereka tidak “kuatir akan segala sesuatu tetapi supaya untuk segala sesuatu mereka berdoa dan memohon
dan bersyukur menyampaikan kebutuhan mereka kepada Allah”. (Fil. 4 : 6). Di samping itu pada waktu
kita menyampaikan terima kasih kepada seseorang bukankah kita memandang orang itu sambil
tersenyum ? Maka kitapun pada waktu kita mau menyampaikan syukur kepada Tuhan, kitapun harus
menghadap kepada wajah Tuhan kemudian kita dengan suatu senyum menyatakan hubungan kita yang
penuh syukur dan ketergantungan kita kepada Dia.
“Kata dalam segala sesuatu / keadaan” kadang2 itu sukar sekali untuk diwujudkan, karena dalam
kenyataan sering kita harus menghadapi keadaan2 yang tidak menguntungkan. Tetapi jikalau hidup kita
serahkan kepada Allah maka tidak ada sesuatu yang bisa terjadi di mana kita dipisahkan dari kasihNya,
kesetiaanNya, kemurahanNya. Dengan kata lain dalam situasi apapun kita tetap berada di dalam kontrol
Allah. Yang menjadi masalah bahwa kita itu tidak terlalu mempercayai akan hal ini sebagaimana sudah
ditekankan dalam Rm. 8 : 28.
Kalau dinyatakan untuk segala sesuatu yang menimpa kita, kita harus bersyukur tentulah tidak
mungkin, berarti untuk kejahatan dan kesukaran yang menimpa diri kita, kita bersyukur kepada Tuhan.
Kita ucapkan syukur kepada Tuhan adalah bahwa di dalam segala situasi / keadaan, Tuhan itu akan ada di

63
pihak kita dan akan menimbulkan yang baik dari yang jahat. Memang Allah sanggup untuk menguasai
apa yang jahat dan apa yang baik bagi kita. Pengalaman yang paling pahit di dalam hidup kita dapat
diubah oleh Tuhan dengan sesuatu yang penuh kemurahan, keindahan. Bersyukur juga akan menolong
kita supaya janganlah kita merasa kasihan dengan diri kita sendiri, menyalahkan orang lain, memiliki
hiburan2 dan mencari jalan pelarian dan bukannya percaya kepada Allah.
Terlalu sering pujian2 kita itu bersifat puji2an yang kadang2 kita lakukan bergantung pada perasaan kita,
situasi dan kondisi dimana kita berada. Dengan demikian maka pujian kita itu silih berganti dengan keluh
kesah kita.
Terlalu sering sikap yang menyolok di dalam kehidupan kepercayaan kita bahkan di dalam kebaktian
adalah sikap daripada seorang konsumen. Kita beranggapan bahwa dengan kita menjadi orang kristen
atau kita pergi ke kebaktian, diperhadapkanlah kepada kita segala sesuatu yang baik, tinggal kita memilih,
kita mau mengambil yang mana. Dengan sikap yang sedemikian maka sering kita pulang dengan berkeluh
kesah dengan mengatakan bahwa “kali ini kita tidak mendapatkan apa2”. Yang menjadi masalah kita
adalah apakah kebaktian tadi telah dilaksanakan menurut selera pribadi kita atau apakah penekanan yang
diberikan di dalam kebaktian tadi apakah telah memenuhi kebutuhan kita atau tidak. Sedangkan bagi kita
yang memimpin kebaktian sering kita itu lebih memikirkan bagaimana kita tadi memimpin kebaktian,
baik atau tidak baik, sudah bisa menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Tetapi kita harus sadar, kita datang berbakti maka kita bukan datang untuk mencari keuntungan kita
sendiri, tetapi untuk memberikan keuntungan kepada Allah yaitu untuk memuliakan Dia, memuji Dia,
bersyukur kepada Dia, memberikan kepada Dia sukacita dan segala kesenangan daripada kita umat yang
sudah ditebusNya dan anak2 yang dikasihiNya. Maka kalau memang kita bertujuan di dalam kebaktian
adalah kepada Tuhan, maka kita harus senantiasa bersukacita di dalam pelaksanaan kebaktian.
Alasan yang kedua mengapa kita berkumpul untuk berbakti adalah bahwa kita wajib membangun satu
sama lain. Dengan kita hanya memikirkan untuk memperkenankan Allah dan memenuhi kebutuhan satu
sama lain, maka Tuhan Allah berjanji dengan jelas bahwa : “Tuhan sekarang yang akan memenuhi segala
kebutuhan kita”. Sabda Tuhan : “berikanlah maka kepadamu akan diberikan”. Adapun alasan mengapa di
dalam kebaktian kita begitu merasa kering dan kosong bahkan merasa bosan karena kita itu datang
berbakti untuk menjadi seorang pemberi tetapi justru menjadi seorang konsumen.
Oleh karena ibadat yang benar itu merupakan suatu persembahan sukarela daripada diri kita, maka
tiada seorangpun yang bisa melakukannya bagi kita atau memaksakan kita untuk melakukannya. Maka
setiap kita bertanggung jawab kepada Allah di dalam pemberian ibadat kita kepadaNya dan kita tidak bisa
beralasan bahwa kita itu tidak bisa memberikan diri kita oleh karena orang lain tidak memberikan dirinya
kepada Tuhan.
Selanjutnya kita perlu berdoa supaya segala ketakutan, kekuatiran dosa2 segala kebencian yang masih
melekat pada kita, supaya melalui persekutuan yang kita nikmati dalam kebaktian boleh terlepas dan kami
boleh bersukacita. Biarlah di dalam kebaktian kita betul2 mau rileks di dalam ucapan syukur, karena

64
Tuhan selalu mengampuni dan menerima kita di dalam Kristus.
Biarlah pusat di dalam kebaktian kita adalah Tuhan saja, sehingga dengan demikian kita lalu
menyanyi, memuji2, bersyukur dan kita akan mempersembahkan apa yang ada pada kita kepada Dia.
Perlu juga kita itu berdoa bagi orang2 yang datang dan mempersembahkan diri kita supaya Tuhan
menolong kita untuk bisa melayani sesama kita yang sedang berkumpul di dalam kebaktian. Kemudian
telitilah dengan kita melihat ke kanan ke kiri sambil juga mendengar dan berusaha untuk mendapatkan
bimbingan Tuhan akan siapa di sekeliling kita yang perlu kita layani. Telitilah wajah2 yang sedang kuatir,
jangan lupa untuk bersyukur bagi seseorang yang hadir di dalam kebaktian itu dan biarlah kita juga
berusaha untuk membimbing dan menghibur seseorang untuk dia bisa bersukacita juga di dalam Tuhan.
Banyak gereja terdiri atas jemaat yang senantiasa berusaha untuk menyembunyikan bakat2 dan karunia2
yang ada di dalam mereka, karena mereka tidak yakin bahwa mereka memilikinya. Mereka merasa bahwa
mereka hanya bisa berbuat sesuatu yang terlalu kecil yang tidak berarti, tetapi justru melalui kebaktian
kita harus senantiasa menyadarkan dan mendorong mereka supaya maulah mereka memberi walaupun
yang paling kecil kepada Tuhan, karena apa yang paling kecil justru besar di mata Tuhan.
Untuk berbakti di dalam kebenaran, maka kita harus membuka diri kita menjadi seorang yang riel,
yang jujur di hadapan Tuhan maupun di hadapan satu sama lain, sehingga dengan demikian di dalam
kebaktian kita itu menyatakan apa yang ada di dalam diri kita. Diakui bahwa melaksanakan kebaktian di
tengah2 orang yang tidak kenal agak kaku karena kita kuatir kita akan disalah mengerti, dsbnya. Oleh
sebab itu untuk bisa mengembangkan kebaktian kita, maka harus ada suatu pengembangan daripada
persekutuan melalui pengembangan untuk mengenal satu sama lain dan merasa satu. Janganlah
menjadikan kebaktian sebagai suatu pelarian untuk menunjukkan aslinya kita. Pada lain segi tempat
kebaktian bukanlah tempat untuk mengenal satu sama lain, karena untuk mengenal satu sama lain
perlulah kita itu datang ke rumahnya masing2 atau mengadakan perkunjungan rumah tangga melalui
mana nanti kita bisa saling mengenal kebutuhan, kekurangan satu sama lain untuk dapat kita layani. Maka
di dalam kebaktian kita harus bisa menemukan kasih, karena hanya dengan penemuan kasih maka
kebaktian kita akan menjadi sesuatu yang indah sekali.
Walaupun ada berbagai ide dan cara2 pelaksanaan, cara kepemimpinan dan wibawa di dalam berbagai
gereja, tetapi Kitab Suci dengan jelas sekali menunjukkan bahwa harus ada sikap tunduk ( Ef. 5 : 21 ).
Adalah karena hormat kita bagi Kristus sehingga Kristus yang tinggal di dalam diri kita secara pribadi
atau bersama2, sehingga kita itu lalu tunduk satu pada yang lain dan mau mendengarkan kata2 satu pada
yang lain, walaupun kita memiliki kepribadian yang berbeda2. Kristus sendiri adalah Seorang yang selalu
tunduk dan di dalam percakapanNya dengan panglima Romawi (Mat 8 : 9), dinyatakan bahwa memang
tunduk kepada wibawa merupakan sesuatu yang menjadi kehendak Allah. Tuhan tidak bisa
mempercayakan kepada kita kerajaanNya, jikalau kita itu mau melayani sesamanya sendiri dan
menguasai segalanya sendiri. Karena dengan demikian itu kita hanya menjalankan kemauan kita sendiri.
Maka pentinglah bahwa di dalam kebaktian, apalagi kita memimpin kebaktian bahwa kita ini akan

65
bertindak sebagai seorang hamba. Dengan kita itu melayani manusia, maka kita akan menganjurkan dan
mengajarkan supaya sesama kita di dalam kebaktian meletakkan Allah sebagai pusat penyembahan kita.
Maklum terlalu mudah di dalam kebaktian untuk mengubah Allah yang seharusnya menjadi pusat bakti
kita dengan pemikiran kita sendiri, pendapat pribadi kita sendiri. Memang kita harus memperhatikan
prinsip dan mekanika daripada kebaktian, tetapi hanya wahyu daripada Allah yang akan menolong kita
untuk betul2 bersyukur dan memuja Allah.
Dengan kita itu mengajarkan jemaat untuk berbakti, maka perlulah kita itu memberikan kepada
jemaat alasan mengapa kita perlu berbakti dengan menghantar mereka juga akan diri Allah dengan
karakter, perbuatan2 yang memang begitu istimewa, unik dan sungguh hebat sehingga memang beralasan
sekali bagi kita untuk menyembah Dia.

13. TATA IBADAH CALVINISME


Reformasi Protestan pada abad ke 16 memiliki obyektif untuk mengadakan reformasi di dalam gereja
yang pada saat itu mengalami suatu kemunduran secara theologis, moral, dan spirituali.
Untuk mencapai hal ini maka Marthin Luther berusaha untuk menyingkirkan di dalam gereja apapun
yang dianggap bertentangan dengan ajaran Kitab Suci. Gereja harus kembali menjadi suatu “gereja yang
mengembara” ( a pilgrim Church ) yang dimusuhi, yang direndahkan tetapi pada saat yang bersamaan
selalu meninggalkan suatu kesaksian bagi Injil. Dengan pengertian akan gereja ini, maka sering oleh
Martin Luther dipertahankan ceremony2 dan simbol2 yang dirasakan masih tetap berguna, walaupun
tidak mempunyai dasar2 Kitab Suci.
John Calvin merasa bahwa di dalam gerakan reformasi, maka sedapat mungkin haruslah gereja itu
mengikuti dasar Kitab Suci yang ketat. Dengan melaksanakan, barulah gereja dapat mengalahkan dan
memberikan kemenangan kepada Rajanya yaitu Kristus yang sudah hidup di dalam kemenangan.
Maka gereja2 reformasi kebanyakan memandang John Calvin sebagai yang memulai tata ibadah
reformasi, sehingga tata ibadah yang dianjurkan olehnya menyebar ke seluruh dunia dari Jenewa. Dengan
tersebarnya tata ibadah Calvin, maka tersebar juga pandangan doktrin, disiplin, ibadah Calvin sehingga
sedikit banyak tata ibadah dimana2 memiliki pola dasar yang sama walaupun bagi setiap gereja, setiap
negara ada sedikit perbedaan, namun struktur dasarnya adalah sama. Pada saat yang bersamaan
walaupun ada banyak gereja menamakan dirinya gereja reformasi, tetapi tidak selalu mereka itu
memelihara prinsip2 Calvin. Maklum teologia mereka sudah terpengaruh oleh munculnya nasionalisme,
sakramentalisme atau pietisme. Akibatnya di dalam sejarah daripada gereja2, kita saksikan adanya
perubahan2 bentuk daripada ibadah, walaupun mereka berusaha untuk mendasari perubahan tadi dengan
pandangan dan ajaran Calvin yang begitu banyak agak diperkosa juga. Bagaimanapun juga semua tata
ibadah gereja2 reformasi secara dasar sama.
Dalam cara berpikir reformasi, maka ibadah kepada Allah merupakan sesuatu yang rohani. Ini berarti
bahwa kerohanian ini tidak terdiri atas tindakan2 lahiriah saja, tetapi haruslah keluar dari inti hati

66
seseorang manusia. Setiap manusia membutuhkan ibadah semacam ini, karena inilah yang membedakan
mereka dari binatang.
Ibadah yang benarpun harus dilaksanakan di dalam roh karena tidak mungkin seseorang itu bisa
beribadah secara rohani kecuali Roh Allah memungkinkan mereka untuk melakukannya. Maka bagi orang
Kristen dalam melaksanakan ibadah, dia harus menaruh percaya kepada Kristus sebagai Juruselamat dan
Tuhannya karena hanyalah melalui iman semacam inilah maka ibadahnya dapat diterima di hadirat Allah,
mengingat bahwa Kristus adalah satu2nya perantara antara Allah dan manusia. Hanya ibadah yang
sedemikian sajalah merupakan ibadah yang benar yang diwujudkan melalui puji2an, doa, dan mendengar
apa yang hendak dikatakan oleh Tuhan Allah kepadanya.
Tetapi karena orang kristen masih terikat kepada karakter keduniaannya dan juga akibat daripada
rusaknya hatinya akibat dosa, maka dia tidak dapat melaksanakan ibadah yang benar2 rohani tanpa
pertolongan hal2 yang lahiriah. Karena inilah Tuhan Allah memberikan kepada Israel peraturan2
ceremonial yang berfungsi sebagai seorang guru yang membawa mereka kepada Kristus dalam iman dan
ibadah yang benar. Pada jaman sekarang walaupun Kristus sudah datang dan gereja sudah menerima
karunia Roh Kudus dalam kepenuhannya, tetap manusia membutuhkan hal2 yang lahiriah di dalam
ibadahnya walaupun berbeda tipenya dengan yang diberikan kepada Israel. Dengan pertolongan hal2
yang lahiriah tadi, maka orang yang percaya lebih mudah mengangkat hatinya di dalam beribadah yang
benar dan dengan demikian mengadakan persekutuan dengan Allah, sehingga dapatlah ia bertumbuh di
dalam kasih karunia dan semakin mirip kepada Yesus Kristus.
Dalam cara berpikir reformasi Tuhan Allah sendirilah yang menetapkan karakter daripada alat2
lahiriah untuk beribadah karena bukanlah dia yang menjadi objek daripada ibadah kita ? Sama seperti di
dalam Perjanjian Lama, Tuhan Allah sudah menetapkan hukum2 ceremonial, demikian juga pada jaman
sekarang Tuhan Allah sendiri yang menunjukkan bagaimana seseorang harus mendekati Dia di dalam
ibadah dan persekutuan.
Sepuluh hukum Allah merupakan prinsip yang dasari di dalam ibadah kita, di mana manusia harus
mentaatinya pada segala waktu. Pada Perjanjian Baru hukum2 ini sejak kenaikan Tuhan Yesus ke sorga
tetap diberlakukan tetapi secara umum. Oleh sebab itu wibawa yang terakhir dari prinsip ibadah kepada
Allah terletak pada Firman Allah, yaitu Kitab Suci Perjanjian Baru.
Tetapi Kitab Suci pada jaman sekarang tidak memberikan suatu uraian mendetail daripada
pelaksanaan ibadah. Kitab Suci hanya menetapkan peraturan2 dasari saja. tetapi untuk pelaksanaan
sehari2, maka supaya tidak terjadi kekacauan dan jangan sampai terjadi segala hal yang kurang sopan,
maka perlulah diadakan ketentuan2 aplikasi. Maka gereja senantiasa memikirkan beberapa prosedur
daripada ceremonial dan liturgis sesuai dengan ketentuan Kitab Suci yang dasar.
Walaupun orang Kristen menerima tindakan2 tadi sebagai ketentuan yang pantas tetapi tidak boleh ia
merasa bahwa ketentuan2 ini akan mempengaruhi keselamatannya, ataupun dia tidak boleh merasa bahwa
jalan2 ceremony merupakan sesuatu jalan untuk memberikan efek2 kepada mereka secara emosional.

67
Segala sesuatu harus dilakukan demi pembangunan daripada gereja yang berarti haruslah dilakukan agar
pengetahuan dan pengertian tentang Allah Tri Tunggal dapat bertumbuh sesuai dengan ajaran Kitab Suci.
Mengingat akan hal ini maka John Calvin dan pengikut2nya pada 4 abad berikutnya memegang teguh
pandangan bahwa tidak perlu ada suatu buku yang menetapkan suatu tata ibadah. Calvin percaya bahwa
sesuatu bentuk kebaktian bisa saja cocok untuk suatu daerah/negara tetapi yang mungkin tidak akan
cocok untuk daerah lain/negara lain. Di samping itu doa2 yang dinaikkan dalam sesuatu bahasa tertentu
mungkin tidak cocok kalau itu diterjemahkan dalam bahasa lain ataupun tidak cocok dengan situasi bagi
bangsa2 lain. Malahan masalah berlutut dalam doa sungguhlah tergantung daripada keadaan. Dengan
demikian gereja2 reformasi secara umumnya menolak memiliki suatu bentuk liturgis yang tepat dimana
semua jemaat harus mengikutinya pada segala jaman dan abad. Gereja Anglikan karena memaksakan
penggunaan buku kebaktian yang dinamakan “Book of Common Prayer” membuat terjadinya suatu
perpecahan antara kelompok Puritan dan gereja2 yang pada masa itu sudah berdiri. Sesungguhnyalah
tidak ada buku kebaktian yang bisa dianggap mewakili wibawa Ilahi.
Di dalam tata ibadah reformasi, kita temukan beberapa elemen2 ibadah. Wibawa Ilahi sendirilah yang
menetapkan elemen2 tadi.
Yang pertama2 dinyatakan oleh Calvin harus dilakukan adalah doa, baik yang dinyanyikan atau yang
diucapkan. Maka atas tanggapan doa ini, Tuhan Allah lalu bersabda kepada orang2 yang beribadah
melalui pembacaan ayat Kitab Suci yang kemudian diuraikan di dalam khotbah. Akhirnya Firman Allah
mengambil bentuk lahiriah di dalam pelayanan sakramen baptisan dan perjamuan suci di mana orang2
percaya akan menerima berkat2 Ilahi. Maka jalan pemikiran Calvin : semua ibadah2 yang benar harus
berkisar pada ketiga elemen ibadah tadi.
Pandangan Calvin tentang ibadah pertama2 dijumpai di dalam tata kebaktian yang dia laksanakan di
Stras borg. Yang kemudian dilengkapi dan disempurnakan di Jenewa. John Knox kemudian datang ke
Jenewa bagi orang2 Inggris untuk kemudian mengadakan suatu modivikasi terhadap pekerjaan Calvin.
Gereja2 reformasi lain yang ada di Perancis, Belanda, Jerman kemudian mengubah tata ibadah Calvin
ataupun mengambil sepenuhnya tata ibadah yang sudah disusun oleh Calvin. Memang kita saksikan
bahwa tiada gereja yang mengikuti Calvin secara persis sekali yang memang dirasakan oleh Calvin tidak
seharusnya mengikuti secara persis dengan apa yang dia lakukan. Pada tahun2 berikutnya maka kita
saksikan terjadi perubahan2 radikal di dalam tata ibadah yang menggunakan nama Calvin, tetapi yang
sebenarnya jauh daripada yang diajarkan oleh Calvin.
Untuk mengerti sifat daripada ketiga elemen tadi dan di dalam hubungannya, maka perlu kita
mengerti inti daripada penggunaan :
Musik
Doa
Firman
Khotbah

68
Sakramen
Berkat
MUSIK.
Musik merupakan suatu bagian yang sangat penting di dalam tata ibadah Gereja2 Reformasi Protestan,
ialah penggunaan musik yang merupakan partisipasi daripada jemaat. Pada jaman pertengahan maka yang
menyanyi koor saja atau sama sekali tidak terdengar musik. Tetapi Lutherlah di dalam gerakan
reformasinya mulai mengajar jemaatnya untuk menyanyi. Kebiasaan ini kemudian menyebar sampai
dipakai oleh John Calvin sendiri. Walaupun John Calvin lebih menganjurkan penggunaan nyanyian2
mazmur, ini tidak berarti bahwa Calvin menolak lagu2 yang bukan dari mazmur. Selama 2 abad nyanyian
mazmur digunakan tetapi kemudian yaitu pada abad ke-17 dan 18 lebih banyak hymnal yang
dipergunakan di dalam gereja2 terutama sejak pertengahan abad ke-19. Juga di dalam penggunaan
instrumen untuk membantu di dalam menyanyi, pada mulanya alat2 musik ini sama sekali tidak
dipergunakan, tetapi sejak reformasi yaitu terutama pada abad 18 dan 19 alat organ banyak dipergunakan
di dalam gereja reformasi untuk mengiringi jemaat menyanyi.

DOA
Walaupun menyanyi dalam gereja2 reformasi sudah dipandang sebagai salah satu bentuk doa, tetapi
ada juga doa2 yang diucapkan. Pendetalah yang memimpin di dalam doa tidak lagi bagi dirinya saja
ataupun di dalam hatinya sendiri. Menjadi kewajiban daripada hamba Tuhan untuk memimpin jemaat di
dalam doa. Sementara hamba Tuhan berdoa maka jemaat perlu mengikutinya sehingga pada akhirnya
mereka dapat berkata “amien”. Maka jemaat dengan demikian berdoa bersama2 dengan pendetanya di
dalam hati mereka tanpa mengeluarkan kata2 secara keras kecuali pada waktu mereka menaikkan “doa
bapa kami”. Calvin sangat menentang doa2 yang sudah ditulis dan ditetapkan, hal ini membuat para
pendeta menjadi malas, juga menghalangi mereka menggunakan karunia2 yang diberikan oleh Tuhan
kepada mereka. Disamping itu dia tidak dapat berdoa sesuai dengan kebutuhan yang pada saat itu
dirasakan. Tentang pokok2 doa, maka Calvin menganggap bahwa doa di dalam kebaktian haruslah
merupakan suatu doa penyembahan dan doa adorasi dengan juga memasukkan permohonan kepada Roh
Kudus agar jemaat yang berbakti kepada Tuhan di dalam roh dan kebenaran. Doa2 ini kemudian harus
diikuti dengan pengakuan dari orang2 yang beribadah akan dosa2nya dan segala rasa syukurnya untuk
kasih karunia dan pengampunan Tuhan, di samping bersyukur juga untuk segala berkat2 yang lain.
Akhirnya doa itu haruslah merupakan doa syafaat bagi orang lain, tidak saja bagi gereja2 tetapi juga
untuk semua orang yang belum percaya termasuk pemerintah. Pada penutup daripada kebaktian, doa
syukur untuk berkat Tuhan juga disampaikan. Calvin juga berpendapat bahwa penggunaan doa Bapa
Kami dan pengucapan Credo Apostolicum merupakan sesuatu yang sangat menguntungkan jemaat.

FIRMAN TUHAN

69
Pusat daripada kebaktian haruslah Firman Allah yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Inilah
yang menjadi alasan mengapa sejak jaman reformasi mimbar selalu diletakkan di tengah2 dan depan
daripada gereja. Mengingat akan hal ini, maka pembacaan daripada Kitab Suci merupakan sesuatu yang
terpenting dalam suatu kebaktian. Pembacaan Kitab Suci biasanya diambil dari satu bagian Perjanjian
Lama dan satu bagian Perjanjian Baru. Hal ini terutama perlu dimana pada jaman dahulu banyak orang
masih buta huruf sehingga tidak bisa membaca Kitab Suci sendiri di rumah. Paham yang terutama
daripada pembacaan Kitab Suci bahwa Allah dipercayai melalui Kitab Suci berbicara kepada umatNya.

KHOTBAH
Walaupun pembacaan Kitab Suci itu penting tetapi belum cukup karena banyak orang mungkin
mengerti maksud daripada Firman Allah tadi terutama bagaimana mengaplikasikan di dalam kehidupan
mereka. Maka jemaat membutuhkan penerangan dan bantuan untuk mengaplikasikan secara praktis bagi
hidup sehari2 sesuai kehendak Allah. Melalui khotbah hamba Tuhan harus menguraikan tentang
pertobatan, iman, puji2an dari jemaat. Maklum hamba Tuhan adalah proklamator bagi Tuhan Allah. Maka
melalui interpretasi, aplikasi, segala anjuran dan kebaktian akan mencapai puncaknya untuk menantang
jemaat untuk menanggapi panggilan Tuhan Allah.

SAKRAMEN
Dengan jalan pemikiran Calvin dan kemudian juga pemimpin2 reformasi, khotbah harus disertai
dengan sakramen baptisan dan perjamuan kudus karena menurut kata2 Augustine : “Sakramen merupakan
Firman Allah yang kelihatan. Firman Allah dijadikan jelas secara lahiriah dan simbolis”. Calvin
selanjutnya menyatakan bahwa Tuhan Allah sudah memberikan sakramen2 ini karena manusia itu sudah
terbatas rusak sehingga membutuhkan senantiasa elemen2 yang lahiriah untuk menunjukkan apa yang
sudah dilakukan Tuhan bagi mereka. Tetapi pada saat yang bersamaan sakramen itu sendiri tidak
memiliki kuasa/kegunaan kecuali kalau diterima oleh orang2 Kristen di dalam iman. Oleh sebab itu juga
sakramen dibandingkan dengan Firman Allah selalu kurang berharga. Karakteristik daripada sakramen2
dalam jalan pemikiran reformasi adalah bahwa sakramen ini merupakan suatu sakramen jemaat,
mengingat akan hal ini maka pelayanan baptisan secara prive atau pribadi tidak dimungkinkan di dalam
gereja2 reformasi. Sakramen merupakan berkat lahiriah daripada Perjanjian Allah dalam hubungan
perjanjian dan bukan sekedar perjanjian seorang percaya secara individual terhadap Allah, tetapi
merupakan perjanjian dengan semua orang percaya. Melalui baptisan dan perjamuan kudus maka
ditunjukkan kesatuan orang2 percaya di dalam Kristus dan bersama dengan Kristus. Oleh sebab itu maka
sakramen hanya bisa diselenggarakan dalam suatu kebaktian terbuka. Sakramen harus merupakan bagian
daripada suatu ibadah. Baptisan biasanya dilayani suatu hari Tuhan tertentu yang tergantung daripada
pimpinan jemaat. Tetapi di dalam pelayanan perjamuan suci, maka kita menghadapi hal yang lain.
Seberapa banyak kali harus diadakan sakramen perjamuan suci itu tergantung pada gereja lokal. Pada

70
mulanya Calvin merasa bahwa pelayanan ini perlu dilaksanakan seminggu sekali, tetapi pimpinan di
Jenewa menolak hal ini sehingga kemudian diputuskan hanya satu bulan sekali.

BERKAT
Setiap ibadah harus ditutup dengan berkat daripada Allah yang diberikan oleh pendeta kepada
jemaatnya. Orang2 yang beribadah sudah bersekutu dengan Allah, sudah menyampaikan persembahan,
puji2an dan doa2 serta mendengar FirmanNya dan mungkin telah menerima sakramen juga untuk
mendukung Firman Tuhan. Maka kini Tuhan Allah mengirim mereka memasuki dunia dengan berkatNya
dan janji damaiNya.
Ibadah Gereja2 Reformasi karena tetap menekankan bahwa ibadah ini merupakan suatu ibadah yang
rohani, oleh sebab itu maka gereja2 diberikan kebebasan untuk menetapkan detail2 daripada kebaktian itu,
namun harus senantiasa berada di bawah wibawa Kristus dalam Kitab Suci, yaitu Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru. Kewibawaan Yesus sebagai Tuhan harus diakui dan segala perintah2Nya harus ditaati.
Hanya melalui inilah maka manusia dapat memuliakan dan menikmati Allah yang merupakan inti
mengapa dia diciptakan.

14. MEMIMPIN KEBAKTIAN


Masalah memimpin kebaktian merupakan suatu pokok yang sangat luas sekali, mengingat bahwa di
dalam dunia sampai pada hari ini ada berbagai tradisi / ide/ pendapat mengenai apa yang harus dan apa
yang boleh dilakukan di dalam melaksanakan suatu kebaktian bersama2. Dan World Christian
Encyclopedia, di dalam dunia ini terdapat 20.780 aliran2 kristen dan tentunya setiap aliran itu mempunyai
ketentuannya sendiri tentang bagaimana sesuatu kebaktian itu harus dilaksanakan.
Pertanyaan pertama yang harus kita ajukan pada waktu membicarakan mengenai memimpin kebaktian
adalah pertanyaan yang sering kurang dihiraukan : “ Di dalam kita memimpin kebaktian, jemaat ini mau
dihantar ke mana?” ; sehingga baiklah kita mempermasalahkan mengenai tujuannya.
Di dalam Injil Matius, Markus, Lukas diceritakan kepada kita bahwa ketika Tuhan Yesus mati di kayu
salib, maka tirai di dalam bait suci itu sobek menjadi dua, yaitu dari atas sampai ke bawah. Tirai
merupakan simbul daripada kesucian Tuhan Yesus yang merupakan standart yang sempurna untuk
kesucian yang manusia berdosa tidak pernah dapat mencapainya. Jadi dengan adanya tirai ini maka
manusia boleh mendatangi bait suci bahkan menyampaikan korban2 sampai ratusan tahun bahkan ribuan
ekor untuk penebusan dosa, tetapi tetap tirai ini tergantung di sana untuk menggambarkan tetap bahwa
manusia tidak dapat mendekati akan hadir Allah yang Mahasuci. Tetapi setelah Tuhan Yesus mati di atas
kayu salib, maka korban Yesuslah yang sudah membuka bagi manusia kesempatan untuk dapat mendekati
hadirat Allah yang Mahasuci. Malahan kita dengan beriman kepada Yesus Kristus diundang untuk
memasuki tempat Allah yang suci. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak masuk di akal bagi orang2
Yahudi dan menerima Allah sebagai seorang Bapa.

71
Maka di dalam kita melaksanakan kebaktian, maka orang2 Kristen kini sampai di tempat di mana kita
sedang memasuki tempat yang Maha Suci untuk mengadakan persekutuan dengan Bapa kita yang di
Sorga. Kalau pada jaman dahulu di dalam kita memasuki Bait Suci, kita sedang berhadapan dengan
dinding daripada batu, maka kini kita sebagai orang kristen yang merupakan Bait Suci itu, yaitu batu2
yang hidup dibangun di dalam kasih dan kesatuan menjadi suatu Bait Suci yang hidup ( I Pet 2 : 4,5 ).
Maka kalau kita mengikuti suatu kebaktian dan kita melihat orang2 yang berkumpul di dalam gereja
maka kita harus ingat bahwa kita semua merupakan batu2 hidup itu. Dan jikalau kita mengijinkan Allah
untuk mengerjakan pekerjaan pembangunannya di tengah2 kita, maka kita boleh mengharapkan
mendapatkan pengalaman daripada Hadirat Allah yang hidup di dalam kebaktian kita tadi.
Untuk menolong kita agar benar dapat menikmati makna dari kebaktian kita, marilah kita meneliti apa
yang terjadi di dalam kebaktian bait suci jaman dahulu :
Pertama2 pada waktu kita memasuki bait suci maka kita harus memasuki gerbang Allah dan pelataran
Allah dengan puji2an. Ini berarti bahwa kita bergerak ke arah Allah untuk meninggalkan segala
gangguan2 dari kehidupan sehari-hari dan kita hanya memusatkan perhatian kita kepada kebaktian saja.
Saat itu maka kita bersyukur kepada Tuhan dan memuji2 Dia karena segala berkat2 yang sudah Dia
berikan kepada kita dalam hidup sehari2 untuk menghadapi kebutuhan dan tantangan hidup bahkan
memberikan kepada kita kemampuan untuk melewati beban2 berat kehidupan. Dengan kita memuji2 dan
bersyukur kepada Tuhan, maka kita itu menyiapkan diri kita untuk datang mendekati Allah. Di dalam kita
itu bersyukur, maka sudahlah lazim kalau kita itu berterima kasih, kita bukannya memandang pada diri
kita sendiri tetapi justru memandang kepada Dia yang memberi. Memang di dalam kebaktian, kita harus
senantiasa memusatkan perhatian kita dan segala tindakan kepada Allah saja, kepada siapa kita hendak
bersyukur. Maka dengan segala puji2an, maka kita sudah mengambil suatu “sikap memberi daripada
sikap menerima”, suatu sikap yang tepat di dalam pelaksanaan kebaktian.
Seseorang yang berbakti di dalam bait suci tidak akan memasuki bait suci dengan tangan kosong,
tetapi selalu harus membawa korban persembahan. Maka di dalam kebaktian hendaknya kita juga
memberikan kepada Tuhan, harus menyadari bahwa Tuhan Yesus sudah melakukan segala sesuatu bagi
kita. oleh karena segala sesuatu sudah dikerjakan bagi kita, maka sehabis kebaktian kita boleh memasuki
dunia, mengetahui dan menyadari bahwa kita sudah disegarkan dengan kuasa yang baru untuk
membangun kerajaanNya di dalam dunia. Kita boleh menyadari juga bahwa kini kami memiliki segala
kemampuan untuk bisa melayani Dia.
Maka sampailah kita kepada mezbah dimana selalu dibakar persembahan2 kita supaya kami boleh
menjadi orang2 yang bersih. Demikian juga maka di dalam kita melaksanakan kebaktian kita, kita pun
harus selalu mencuci diri kita dari segala dosa2 kita dengan darah Kristus, karena hanya dengan kesucian
saja boleh kita menghadap hadiratNya ( Mzm 24 : 3, 4 ).
Kalau kita sudah memasuki tempat yang suci, maka kita boleh menyaksikan meja dimana diletakkan
akan 12 potong roti yang menggambarkan perjamuan suci. Dan sakramen ini mengingatkan kita bahwa

72
kita semua sebagai jemaat merupakan satu roti. Oleh sebab itu maka kita harus hidup di dalam kesatuan
dengan mau saling mengampuni dan saling mengalah demi mencapai kedamaian satu dengan yang lain,
dan yang menjadi isi daripada doa2 Tuhan Yesus dalam Yoh 17.
Selanjutnya di dalam tempat yang suci kita jumpai kandil lilin yang menggambarkan akan terang
rohani yang disediakan oleh Roh Kudus untuk menerangkan Firman Allah. Oleh sebab itu di dalam kita
berbakti maka kitapun membutuhkan penerangan dan segala pertolongan daripada Roh Kudus untuk
menerangkan kepada kita Firman Tuhan yang hanya bisa dimengerti secara rohani dan bukan dengan akal
manusia yang alamiah.
Di depan tirai dari tempat yang Maha Suci yang kini sudah sobek, kita jumpai tempat pendupaan
simbol daripada doa. Maka kandil ini menggambarkan akan syafaat yang dilakukan oleh Kristus yang
sudah naik ke sorga dan hidup di sebelah kanan Allah Bapa demi kepentingan kita. di samping doa2
syafaat Tuhan Yesus, maka juga orang2 suci / orang2 kristen senantiasa menaikkan doa syafaat bagi
sesamanya.
Kalau kita memasuki tempat yang Mahasuci maka kita saksikan betapa darah dipercikkan pada penutup
tabut Allah. Tahta kemurahan inilah simbol daripada pengampunan yang sudah disediakan oleh Tuhan
Yesus karena Dia rela mati diatas kayu salib. Maka kini kita tidak boleh lagi berusaha untuk kita dapat
diterima oleh Allah ataupun menghukum diri kita atau orang lain karena dosa2nya dan kegagalan2nya.
Kristus sudah melunasinya dan sudah membungkus kita dengan kebenaran. Maka puji2an akan mengubah
dari ibadah menjadi suatu puja2an karena kemurahanNya yang luar biasa.
Terlalu sering setiap kita itu mendekat Allah dan kita berada di tempat yang Maha Suci, maka kita lalu
menjadi bingung apa yang harus kita lakukan sesudahnya kita memuji Dia, bersyukur kepadaNya, berdoa
kepadaNya, menyanyi kepadaNya, dan sebagainya. Kita harus menyadari bahwa tempat persekutuan
dengan Allah adalah suatu tempat perhentian maka kita sedemikian ini akan mengganggu jalannya
kebaktian. Akhirnya harus diperhatikan juga bahwa di dalam kita memimpin kebaktian, kita harus bisa
menjaga waktu kita, sehingga janganlah kita memimpin dan melaksanakan kebaktian semau kita sehingga
juga akan menggelisahkan jemaat yang mengikutinya.
Kadang-kadang ada suatu keinginan supaya di dalam kita melaksanakan kebaktian diberikan kepada
kita kebebasan/kemerdekaan. Akibat daripada melaksanakan kebaktian secara merdeka dan bebas tadi,
maka kita berhadapan dengan suatu kekacauan. Demikian pula tentang konsep tentang dipimpin oleh Roh
Kudus. Sering pimpinan ini dianggap bahwa kalau sesuatu itu tidak terjadi secara mendadak, maka ini
bukanlah pimpinan daripada Roh Kudus. Segala sesuatu yang direncanakan dan dipikirkan merupakan
sesuatu yang diciptakan oleh manusia dan bukan diilhami oleh Allah / Roh Kudus.
Di dalam memimpin suatu kebaktian sering yang dimasalahkan bahwa setiap orang bisa
memimpinnya, tetapi kita harus mengerti bahwa untuk memimpin suatu kebaktian harus belajar seni
memimpin kebaktian dan seni ini sungguh merupakan suatu usaha yang serius sekali. Tentu saja di atas
segala yang sangat bersifat teknis maka di dalam memimpin kebaktian keadaan hati terutama haruslah

73
merupakan sesuatu yang baik ; artinya kalau kita mau memimpin orang lain berkebaktian maka diri kita
sendiri haruslah seseorang yang berbakti. Tepatlah yang dikatakan bahwa “engkau tidak bisa menghantar
orang lebih jauh daripada yang engkau sendiri mencapainya”. Jikalau kita sendiri tidak mempunyai hasrat
untuk berbakti kepada Allah kita pun tidak akan bisa menggerakkan orang lain untuk menggerakkan
kebaktian kepada Allah.
Jikalau pemimpin kebaktian akan memimpin kebaktian itu entah dengan suara atau instrumen atau
kedua2nya, maka tentu saja dia harus mempunyai kemampuan2 seni musik yang secukupnya, maklum
kita dapat mengganggu jalannya kebaktian oleh karena kita membuat kesalahan2 teknis dalam seni musik.
Mengingat akan hal tersebut maka kita harus ingat bahwa di dalam memimpin kebaktian, tidaklah boleh
ada kekacauan, kebingungan, kegelisahan, dan suasana yang dapat merusak karena terjadinya kesalahan2.
Untung juga bahwa seorang pemimpin kebaktian betul2 menguasai lagu pujian2 yang akan dia pakai di
dalam kebaktian sehingga janganlah dia sendiri yang membawa kekacauan puji2an jemaat. Yang tidak
kalah pentingnya adalah bahwa pemimpin kebaktian harus tahu kapan memulai kebaktian jikalau ada
iringan musik supaya janganlah jemaat itu bingung, kapan harus mulai dan kapan belum mulai. Juga
harus dijaga di dalam puji2an bahwa kita tidak memilih nada yang terlalu tinggi sehingga didalam
menyanyikan puji2an nanti tidak ada yang dapat mencapainya sehingga malah terjadi suatu kekacauan.
Hal yang lain yang juga sering dilalaikan adalah bahwa pemimpin kebaktian itu belum betul2
menyiapkan lagu2 apa yang akan dipergunakan sehingga sambil memimpin puji2an sambil mencari2
akan nomor lagu2 yang akan dipergunakan nanti dalam puji2an . walaupun nampaknya jemaat itu tidak
mengetahui tetapi pastilah sikap yang membawa bagi Tuhan suatu persembahan yaitu tidak saja suatu
puji2an dari mulut bibir kita yang mengetahui namanya, tetapi juga suatu persembahan yaitu
persembahan hidup, diri kita sendiri
( Ibrani 13 : 15 ; Rm 12 : 1 ).

Yang penting juga adalah kalau kita memimpin suatu kebaktian, maka kita harus selalu berada
didalam posisi yang terbaik dimana semua orang dengan mudah dapat melihat kita disamping itu bahwa
kita harus dekat dengan pemain2 musik supaya mudah sekali kita berhubungan dengan mereka di dalam
pelaksanaan kebaktian itu. Dan dimana dipergunakan mikrofon, maka kita harus berusaha tidak terjadi
gangguan2 oleh karena kita itu memukul mikrofon, jarak kita terlalu jauh atau terlalu dekat, ataupun suara
yang dihasilkan menyebabkan terlalu keras sehingga sangat mengganggu orang2 yang mendengarnya.
Harus disadari bahwa penggunaan amplifier memang sangat menolong untuk suatu kebaktian, tetapi
disamping itu dapat juga sangat mengganggu kalau tidak dipergunakan dan dipersiapkan sebaik2nya
sebelumnya.
Jikalau orang2 yang akan kita pimpin di dalam suatu kebaktian, maka harus diatur agar semua
mengerti dengan jelas apa yang diharapkan daripada mereka. Oleh sebab itu harus dijaga senantiasa agar
jangan sampai jemaat yang kita pimpin ragu2 terhadap apa yang kita minta untuk mereka perbuat. Itu

74
sebabnya seorang pemimpin kebaktian harus mampu berkomunikasi dengan baik, berbicara dengan jelas
dan mengutarakan kemauan itu dengan kata2 yang tidak terlalu panjang lebar, melainkan secukupnya
bahkan kalau dapat singkat tetapi yang jelas sekali. Dan didalam kita mengucapkan atau memilih kata2
kita harus singkat bahwa kita itu sedang memimpin jemaat di dalam kebaktian, oleh sebab itu jauhkan
segala sesuatu yang dapat menyinggung atau menimbulkan ketegangan antara orang2 yang berbakti. Di
dalam kita memimpin kebaktian, di samping pentingnya suara kita juga hal2 lain yang sangat
membantu di dalam kita memimpin kebaktian. Hal2 itu adalah bahasa tubuh. Bagaimana kita
menggerakkan tubuh kita, itu dapat membantu seseorang di dalam kebaktian. Hal yang lain adalah
pakaian kita yang perlu rapi tetapi tidak menarik atau mengganggu, tampan kita, sikap kita, dll. Perlu
diperhatikan bahwa bukan hanya suara saja yang mempengaruhi seseorang tetapi juga hal2 lain tadi yang
dinamakan para-massage. Mengingat akan hal ini maka kita harus bisa mendisiplinkan diri kita supaya
jangan sampai kita itu mengiritasi orang atau menarik perhatian orang pada hal-hal yang tidak semestinya.
Harus diakui bahwa keadaan2 kita itu bisa mengalihkan perhatian orang tanpa kita sadari tetapi justru
yang disadari oleh orang2.
Penting sekali juga bahwa kita itu selalu memiliki kontak mata. Kita harus memimpin kebaktian
sambil melihat langsung kepada manusia dari suatu daerah ke daerah lain dalam gedung itu, sehingga kita
berusaha untuk mengadakan kontak mata secara langsung hampir dengan setiap orang yang hadir dalam
kebaktian. Dengan cara beginilah, maka manusia akan merasa bahwa kita sedang berbicara dengan setiap
mereka dan bahwa kita itu menarik perhatian kepada setiap orang. Oleh sebab itu jauhkanlah diri dari
berbicara kepada langit2 atau lantai daripada gedung. Penting juga bahwa didalam kita berkomunikasi
mata tadi kita juga memperhatikan akan reaksi daripada orang2 yang sedang mendengar kita.
Di dalam kita memimpin kebaktian setelah kita mengutarakan apa yang diharapkan untuk mereka lakukan
di dalam kebaktian, tetapi harus dihindarkan bahwa kita memaksa orang harus melakukan apa yang kita
kehendaki mereka lakukan.
Sangat penting sekali bahwa seorang pemimpin kebaktian sebelum memulai memimpin, maka dia
harus berhubungan dekat dengan Tuhan agar mendapatkan bimbingan dan petunjuk bahkan wahyu
daripada Tuhan bagaimana melalui kebaktian ini kita membawa orang2 kepada Tuhan. Maka dengan
pengetahuan tadi, maka kita lalu memimpin kebaktian. Tetapi jika akhir daripada kebaktian kita tidak
mencapai apa yang diharapkan, maka janganlah kita menjadi kecil hati tetapi mengijinkan Tuhan berbuat
diluar apa yang kita rencanakan.
Di dalam menyiapkan diri di dalam memimpin kebaktian baik juga kalau ada jemaat yang diajak
untuk menyiapkan diri di dalam kebaktian itu, tidak saja di rumah mereka masing2 tetapi juga di tempat
dimana akan diadakan kebaktian itu.
Sangat penting diperhatikan juga adalah di dalam kita memimpin kebaktian bahwa kita memilih
puji2an yang akan membantu kebaktian dan bukannya yang akan menimbulkan pertentangan di dalam
kebaktian yaitu pertentangan antara apa yang hendak dikatakan oleh Allah kepada kita dan apa yang

75
hendak kita katakan kepada Allah. Dengan kata lain kita harus menyadari bahwa musik memainkan
peranan yang cukup besar untuk menimbulkan pengaruh2 yang bisa menggugah, yang bisa membangun
akan hati, pikiran, suara bahkan tubuh di dalam tindakan2 baik terhadap Allah maupun satu kepada yang
lain. Maka ada bahaya intusiasme manusia begitu besar sehingga mereka itu sukar dikontrol. Maka di
dalam hal ini kita harus menjaga bahwa di dalam kebaktian terjadi keteraturan dan bukan kekacauan
dimana masing2 orang berbuat sebagaimana yang dikehendakinya sendiri2.
Wibawa rohani yang penting di dalam memimpin kebaktian tidaklah tergantung pada gelar atau posisi
yang sedang kita miliki tetapi justru hubungan yang timbul antara kita sebagai pemimpin dan jemaat yang
kita pimpin. Jikalau hubungan kita dengan jemaat cukup dekat maka mereka akan senang dipimpin kita.
Juga kalau hubungan kita dengan Tuhan itu dekat, maka mau tidak mau hubungan kita dengan Tuhan itu
akan membuat kita juga tanpa kesukaran dapat membimbing jemaat menuju kepada yang dikehendaki
oleh Tuhan. Memang hubungan baik dengan Tuhan maupun dengan jemaat merupakan fondasi yang
terpenting di dalam memimpin orang. Dari hubungan inilah akan timbul iman yang hidup dan
kepercayaan yang meyakinkan yang justru akan dapat memberikan kepada orang kemerdekaan untuk
berbakti.

76

Anda mungkin juga menyukai