Anda di halaman 1dari 2

BUMI MANUSIA

Oleh: Pramoedya Ananta Toer

Novel Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer merupakan seorang

sastrawan yang berasal dari Blora. Novel ini mengambil latar pada penghujung abad ke-19

(1890–1899) di negeri kita yang dulu namanya masih Hindia Belanda. Selanjutnya kita akan

mengetahui cerita ini melalui sudut pandang Minke, yang merupakan seorang priyayi pribumi

sekaligus siswa HBS Surabaya (Sekolah Menengah yang dikelola Kolonial Belanda). Ia

merupakan pribumi yang cerdas, pandai menulis serta begitu membanggakan peradaban Barat

karena menurutnya negara barat melahirkan modernisasi terutama dalam bidang ilmu

pengetahuan.

Pada suatu saat Robert Suurhof mengajak Minke untuk memenuhi undangan makan malam di

rumah Nyai Ontosoroh, seorang gundik sekaligus pengusaha. Di rumah inilah untuk pertama

kalinya Minke bertemu dan jatuh cinta dengan Annelies Mellema yang merupakan Indo anak

dari Nyai Ontosoroh.

Keluarga Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai keluarga yang mempunyai kisah penuh

tragedi mulai dari permusuhan dengan anak sulungnya, Robert Mellema hingga Herman

Mellema sang kepala keluarga yang mati secara misterius. Seiring berjalannya waktu Minke

menjalin hubungan yang akrab dengan keluarga ini bahkan tinggal di rumah keluarga ini,

namun keakrabannya dibuntuti oleh konflik dan tragedi yang mulai bermunculan mengiringi

kisah cinta Minke dengan Anellies.Mulai dari Robert yang ingin membunuh Minke, desas

desus masyarakat tentang Minke yang tinggal di rumah Nyai Ontosoroh hingga pada

puncaknya, perjuangan Minke dan Nyai Ontosoroh melawan pengadilan putih.

Setelah selesai membaca novel ini, saya rasa ini merupakan karya sastra yang wajib dibaca

setidaknya sekali seumur hidup. Jika menurut kalian novel roman hanya memiliki alur yang

itu-itu saja, TIDAK dengan novel ini. Menurut saya hal yang lebih menonjol dari pada kisah

cinta Minke-Annelies adalah kondisi sosial rakyat Indonesia pada masa kolonial. Pram benar-
benar membawa kita untuk menyelami kehidupan serta emosi dari setiap tokoh. Meskipun

termasuk kategori fiksi sejarah, penggambaran era penjajahan Belanda-pun digambarkan

sangat baik dan akurat oleh Pram seperti pembagian etnis beserta hak-haknya antara Eropa,

Tionghoa, Indo, dan Pribumi.

Nasib pribumi yang dianggap rendah sering ditindas, dianggap tak terpelajar, hidup sebagai

budak serta hak-nya yang seringkali tak terpenuhi. Tokoh Minke di sini sebagai satu dari

beberapa pribumi yang terpelajar, namun malah bangga akan peradaban Eropa. Seakan Pram

meyampaikan pesan bahwa jangan sampai kita lupa akan siapa diri kita sebenarnya. Tak

heran buku ini digadang-gadang sebagai buku yang membangkitkan

jiwa nasionalisme pembaca melalui tragedi yang dialami para tokohnya.

Penokohan dalam novel ini begitu kuat, mulai karakter utama maupun pendukung. Menurut

saya, karakter Nyai Ontosoroh bisa dibilang paling memorable dan bad ass. Sosok perempuan

yang cerdas dan mandiri. Dengan kisah perjuangannya yang bukan main-main, sejak remaja

dia dijual oleh ayahnya sendiri demi jabatan. Karakter ini benar-benar menggambarkan

definisi dari feminisme.

Dari segi cerita tidak perlu diragukan lagi. Kisah dalam buku ini ditulis Pram secara runtut,

mengalir tak terduga dengan ritme yang bermacam. Beberapa halaman romantis, halaman

selanjutnya bisa berubah menjadi menegangkan. Memang benar kata orang bahwa tulisan-

tulisan Pram banyak yang mengandung makna dan mendidik. Dalam Bumi Manusia ini,

banyak nilai-nilai yang dapat kita dapatkan seperti jiwa nasionalisme, nilai humanisme, serta

seperti quote legendarisnya, “harus adil sejak dalam pikiran”. Pun karakter Minke ternyata

terinspirasi dari sosok Tirto Adi Soerjo yang merupakan bapak pers nasional.

Anda mungkin juga menyukai