Anda di halaman 1dari 32

Polisi

Senin, 06 Oktober 2014



Di sebuah asteroid yang sangat-sangat kecil, ada seorang raja yang duduk di atas takhta tanpa
didampingi siapa pun. Jubah besarnya berjela menutupi seluruh planet mini itu. Tak ada
tempat bagi yang lain. Syahdan, dalam dongeng Pangeran Kecil Antoine de Saint-Exupery
yang termasyhur ini, sang pangeran mengunjungi tempat raja yang kesepian itu. Melihat
seorang tamu datang, raja itu pun gembira. "Nah, ini ada rakyat," ia berseru.
Tampak ia sangat merindukan "rakyat". Kita tak tahu sejak kapan. Yang kita jadi tahu dari
kisah ini (yang mungkin sebuah amsal) adalah bahwa kekuasaan hanya bisa disebut demikian
bila ada orang lain yang dikuasai. Bahkan lebih dari itu: seorang penguasa, mau tak mau,
selalu harus memberi pembenaran otoritasnya di depan orang lain, juga bila orang lain itu
berada dalam posisi hamba sahaya.
Raja dalam cerita Saint-Exupery memerintah, tapi titahnya hanya terlaksana jika yang
diperintah merasa cocok. "Otoritas diterima pertama-tama karena ia masuk akal," kata
baginda. "Jika kita perintahkan orang membuang diri ke dalam laut, mereka akan
membangkang dengan revolusi. Aku punya hak untuk dipatuhi karena titahku masuk akal."
Artinya, hak untuk dipatuhi tak datang dari takdir yang menentukan bahwa sang raja adalah
manusia yang lebih utama, tapi justru karena ia pada dasarnya setara dengan mereka yang
mematuhinya. Kedua pihak bertolak dari "masuk akal". Ada pengakuan bahwa sang hamba
punya posisi yang juga menentukan apa arti "masuk akal".
"Ah! Voila un sujet," seru sang raja: kata sujet saya terjemahkan jadi "rakyat", tapi
sebenarnya lebih tepat sujet adalah "sahaya". Kata "sahaya", yang dalam naskah lama Melayu
umumnya mengacu ke arti oknum yang tunduk, kemudian berkembang jadi "saya", atau
"aku", sebagaimana sang raja.
Demokrasi dimulai dengan dorongan menegaskan bahwa baik raja maupun rakyat masing-
masing sebuah subyek, sebuah "saya". Kedua-duanya setara, baik yang berdaulat maupun
yang tidak. Seperti telah dilihat Aristoteles di Yunani di abad ke-4 Sebelum Masehi,
perjuangan ke arah demokrasi bergerak karena timbulnya kesadaran egaliter, karena
keyakinan akan kesetaraan yang mendasar.
Saya kira pepatah lama Melayu "raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah" bermula
dari pengalaman sejarah kita: posisi seorang raja adalah sesuatu yang serba mungkin,
contingent. Tanpa dasar yang kekal, raja naik atau raja turun karena pergulatan yang tak
jarang dibarengi kekerasan. Bahkan di Jepang. Maharaja Jepang, Tenno, yang bertakhta
sampai hari ini, dikatakan sebagai keturunan dewi matahari Amaterasu. Tapi sejarah resmi
juga mencatat kekuasaan dinasti ini bermula dengan Maharaja Jimmu pada 660 Sebelum
Masehi. Kedaulatannya dikukuhkan dengan ekspedisi militer. Gambarnya menunjukkan
sosok gagah yang membawa busur besar.
Dengan senjata, tanpa dewi matahari, tanpa sumber yang kekal buat siapa pun, siapa saja bisa
berkuasa. Dari situlah demokrasi bangkit. Demokrasi, seperti dikatakan Ranciere dalam "10
Thesis tentang Politik", bukanlah sebuah sistem. Pada dasarnya ia perjuangan politik dari
siapa saja yang ambil bagian untuk membangun suatu kehidupan yang bisa mereka terima
dan sebab itu punya legitimasi kuat. "Siapa saja" itu berarti juga mereka yang semula "tak
masuk hitungan"-seperti Kaum Kulit Hitam di Amerika Serikat yang berjuang menegaskan
kesetaraan pada tahun 1960-an.
Hasilnya tak bisa ditentukan dengan sebuah formula. Desain para ahli konstitusi atau
pemegang doktrin tak selamanya terlaksana. Mereka ini, seperti halnya kaum elite yang
terbentuk di suatu kurun waktu, justru yang perlu didobrak. Dalam sejarah, merekalah yang
menghambat proses demokratisasi dengan memilah-milah siapa yang berhak jadi
penggembala dan yang harus hanya jadi gembala. Politik lahir dari gerakan menggebrak
pemilahan itu. Politik dalam hal ini sama dengan semangat demokrasi: sebuah "dissensus",
bukan konsensus.
Tak mengherankan bila demokrasi mengundang para pembencinya. Ranciere mengingatkan
hal itu dalam La haine de la democratie (versi Inggrisnya, Hatred of Democracy): kebencian
kepada demokrasi tak akan berkesudahan. Di masa Yunani Kuno ia ditertawai, di abad ke-20
di zaman Fasisme ia dianggap "asing" atau "berbahaya", di Indonesia dulu dan kini ia
dianggap "impor Barat" dan harus diwaspadai. Mendukung demokrasi yang menegaskan hak
rakyat, kata pembenci demokrasi, sama halnya dengan mendukung suara yang bodoh atau
kacau.
Dan itulah yang hari-hari ini terjadi: rakyat, yang dalam beberapa pemilihan selama hampir
satu dasawarsa sanggup menunjukkan betapa pentingnya hak politik bagi mereka, dan
sekaligus menunjukkan kesanggupan mereka mengelola konflik dan dissensus, oleh
pendukung oligarki di parlemen disisihkan. Lembaga perwakilan rakyat berhenti mewakili
kehendak rakyat. Representasi yang berasumsi akan mencerminkan secara sempurna apa
yang direpresentasikannya ternyata cuma ilusi besar, dan kini jadi dusta.
Dengan demikian, politik dibekukan. Sebagai gantinya akan ditegakkan "Polisi", untuk
mengikuti istilah Ranciere: pengaturan, pengendalian, dan penjagaan hidup orang banyak,
melalui lembaga-lembaga yang didirikan. Polisi ini akhirnya hanya membuat posisi para
penguasa lembaga kukuh, dengan alasan merekalah sang penjaga.
Tapi perlawanan akan terjadi. Dalam Pangeran Kecil, sang raja merumuskan hidupnya
sebagai pemerintah dan pengatur. Dialah penegak Polisi. Ia minta tamunya jadi "menteri
kehakiman" di asteroid yang praktis kosong itu. Tapi sang tamu sudah melihat betapa
ganjilnya raja yang tanpa rakyat itu.
Dan ia pun menolak.
Goenawan Mohamad
Membebaskan Koruptor

Senin, 06 Oktober 2014
Oce Madril, Anggota Staf Pengajar Fakultas Hukum UGM, Direktur Advokasi Pusat Kajian
Antikorupsi FH UGM


Perlakuan istimewa terhadap koruptor ternyata belum berakhir. Koruptor masih dapat
menikmati sejumlah kemudahan melalui instrumen kebijakan pemerintah. Hukuman yang
dijatuhkan oleh pengadilan tidak lagi membuat takut, karena nanti dapat dikurangi oleh
pemerintah, melalui kebijakan remisi dan bebas bersyarat. Sebuah kebijakan yang
mencederai rasa keadilan masyarakat di tengah usaha memberantas korupsi dan membuat
jera koruptor yang telah merugikan negara. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch
(ICW), selama pemerintahan SBY, tercatat ada 38 koruptor yang diberi pembebasan
bersyarat.

Padahal pemerintah sebenarnya sudah memperketat pemberian remisi dan bebas bersyarat.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012. Bagi terpidana
korupsi, berlaku syarat khusus yang lebih ketat. Selain syarat berkelakuan baik dan telah
menjalani hukuman minimal dalam jangka waktu tertentu, koruptor harus bersedia bekerja
sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang
dilakukannya (justice collaborator) serta telah membayar lunas denda dan uang pengganti
sesuai dengan putusan pengadilan.

Jika dibandingkan dengan peraturan lama, PP No. 99/2012 telah mempersempit ruang gerak
koruptor untuk menikmati remisi dan pembebasan bersyarat. Dapat juga diartikan bahwa
hanya justice collaborator yang berhak atas fasilitas itu. Remisi dan pembebasan bersyarat
tidak hanya dimaknai sebagai hak narapidana, tapi juga sebagai bentuk penghargaan dari
negara bagi mereka yang telah bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar
sebuah kejahatan serius, seperti korupsi. Perlakuan istimewa terhadap justice collaborator
tidak hanya termaktub dalam PP, tapi Mahkamah Agung (MA) juga mendukungnya melalui
Surat Edaran MA No. 4 Tahun 2011 serta Peraturan Bersama antara Menteri Hukum dan
HAM, Jaksa Agung, kepolisian, KPK, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK).

Selain syarat ketat, prosedur pemberian remisi/bebas bersyarat juga sangat ketat. Tidak hanya
menjadi kewenangan penuh Kementerian Hukum dan HAM, juga harus mendapat
rekomendasi dari penegak hukum, salah satunya KPK.

Persoalan muncul manakala syarat dan prosedur yang ketat itu tidak dilaksanakan secara
konsisten oleh pemerintah. Inkonsistensi itu terlihat ketika Kementerian Hukum dan HAM
menerbitkan keputusan pembebasan bersyarat terhadap Hartati Murdaya dan pemberian
sejumlah remisi kepada koruptor yang jelas-jelas bukan justice collaborator, contohnya
Anggodo Widjojo yang sempat menggemparkan dunia hukum akibat ulahnya sebagai
makelar kasus. Mereka jelas tidak memenuhi syarat, dan KPK pun tidak memberikan
rekomendasi terhadapnya. Keputusan menteri tersebut mengandung cacat yuridis karena
tidak memenuhi syarat dan prosedur sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan.

Selain cacat yuridis, keputusan itu beraroma koruptif. Khususnya dalam soal Hartati
Murdaya, ada perbenturan kepentingan di situ. Kita semua tahu bahwa Menteri Hukum dan
HAM merupakan petinggi Partai Demokrat, sementara Hartati Murdaya merupakan mantan
anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Afiliasi politik yang sama membuat kebijakan
menteri ini berpotensi melanggar prinsip conflict of interest. Bahwa dalam membuat
keputusan, hendaknya seorang penyelenggara negara menghindari adanya perbenturan
kepentingan. Prinsip ini mestinya dijunjung tinggi oleh Menteri Hukum dan HAM.

Kemudian, sepertinya pemerintah sudah lupa ratio legis kenapa PP No. 99/2012 muncul.
Peraturan tersebut diterbitkan dengan pertimbangan utama untuk memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Secara tegas dinyatakan di situ, pemerintah berpandangan bahwa aturan lama
belum mencerminkan seutuhnya rasa keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Pendekatan
inilah yang digunakan pemerintah. Dengan demikian, tolok ukur penggunaan kewenangan
pemberian remisi/bebas bersyarat itu adalah "memperhatikan rasa keadilan masyarakat",
bukan rasa keadilan koruptor. Korupsi adalah kejahatan jabatan publik. Ada kepentingan
publik di situ, sehingga pemerintah tidak bisa seenaknya membuat kebijakan yang dapat
melanggar kepentingan publik.

Berharap pemerintahan sekarang menganulir kebijakannya, sepertinya tidak mungkin.
Hukum saja dilanggar, apalagi imbauan dan kritik dari publik. Harapan kita tertuju pada
pemerintahan baru. Isu ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Jokowi.
Komitmen politik presiden terpilih Jokowi bisa dilihat dari kebijakannya perihal remisi dan
pembebasan bersyarat untuk koruptor. Tentu dimulai dari pemilihan Menteri Hukum dan
HAM yang pro-pemberantasan korupsi dan punya catatan integritas yang tidak diragukan.

Menteri Hukum dan HAM yang baru bisa me-review semua permohonan remisi dan
pembebasan bersyarat, termasuk me-review kebijakan bebas bersyarat yang telah diambil.
Keputusan yang mengandung cacat yuridis dan koruptif harus dibatalkan. Kita butuh
konsistensi pemerintah. *



Golkar dan Museum Soeharto

Senin, 06 Oktober 2014
Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip


Jika museum adalah ruang di mana ingatan diseleksi dari ribuan item peristiwa masa silam,
Golkar adalah item yang sangat tidak ingin diingat di Museum H.M. Soeharto. Golkar, yang
menjadi partai paling berkuasa selama tiga dekade bersama naik pasang dan stabilnya
Soeharto di takhta kepresidenan, menjadi tak ubahnya-maaf--sebutir upil di bawah laci di
museum yang dibuka untuk publik pada akhir Agustus 2013 ini.

Alih-alih Golkar, justru Museum H.M. Soeharto di Kemusuk, Sedayu, Bantul, ini
menempatkan PKI sebagai satu-satunya partai politik yang memberi latar dan narasi besar
bagi kejayaan Soeharto. PKI dan logonya palu arit, baik dalam bentuk diorama maupun
desain kliping koran di dinding museum biografi ini, mendapat hampir 50 persen tempat. PKI
menjadi pal dasar bagi sebuah loncatan terbesar dalam sejarah politik hidupnya, dari seorang
serdadu yang dibesarkan dalam keluarga ulu-ulu di Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, menjadi
penguasa yang paling kuat di Asia Tenggara.

Masuklah di beranda perpustakaan Museum H.M. Soeharto. Tak satu pun buku sejarah
Golkar Anda temukan di dalamnya. Selain enam jilid kronik prestasi pembangunan, sejumlah
biografi yang menjunjung nama dan prestasi pembangunan Soeharto, 20 jilid buku kliping
tentang lini masa pemerintahan Soeharto yang terbit pada 2008, buku tentang PKI-lah yang
menempati deretan terbanyak. Bahkan lima jilid Sejarah PKI versi Angkatan Darat dalam
cetak luks bisa dibaca leluasa oleh semua umur.

Tentu saja, buku-buku yang "membela" kiprah politik PKI, seperti karya Ruth T. McVey
Kemunculan Komunisme Indonesia (2010), jangan harap ditemukan di beranda perpus
museum ini. Tentu saja, biografi-kritis Soeharto tak mendapatkan hak-tinggal seinci pun
dalam rak sepanjang 6 meter itu, seperti karya R.E. Elson Suharto: Sebuah Biografi Politik
(2005), Richard Robison Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia (2012), dan Julie
Southwood & Patrick Flanagan Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum & Propaganda
1965-1981 (2013).

Belum lagi videotron di bangunan limasan depan museum yang diputar berulang-ulang
sepanjang hari dan wajib ditonton ratusan pengunjung yang umumnya anak-anak sekolah dari
TK hingga SMA, yang isinya tentang "prestasi" Soeharto menindak PKI dan menyelamatkan
negara dari kekacauan. Di tayangan videotron berdurasi 10 menit itu, tampak PKI adalah
lawan kuat dan paling bajingan bagi Soeharto di satu sisi, sementara di sisi lain menjadi
"kawan sepemundakan" dalam narasi panjat pinang politik. Darah anggota dan simpatisan
PKI menjadi semacam minyak pelicin yang dioleskan di batang pinang untuk memberi tahu
bergenerasi-generasi manusia Indonesia betapa pembangunan diraih dengan susah-payah.

Golkar di mata Soeharto, sebagaimana direpresentasikan museum ini, tak ubahnya syarat
formal belaka untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sistem politik di Indonesia sudah
sesuai dengan syarat-syarat minimal sebuah negara demokrasi.

"Pengorbanan" PKI yang tak bertara pada pesta-darah 1965-1966 rupa-rupanya lebih pantas
dirayakan dalam Museum H.M. Soeharto ketimbang kehadiran artifisial Golkar dalam sejarah
kepemimpinan politik, sistem demokrasi Pancasila, dan derap ekonomi pembangunan
Soeharto selama tiga dekade. *
















Di Atas Ransel Ku Angkat Kaki

Senin, 06 Oktober 2014
Hari Prasetyo, hari.prasetyo33@yahoo.com


"Mas lagi di Jakartakah? Kalau iya, hari ini jadwalnya nonton SCC kan, ya? He-he-he...."

Mas Bro terhenyak membaca pesan itu di jejaring sosial yang ditujukan kepadanya dari
seorang sahabat, aktris muda berbakat dari sebuah teater yang punya prospek cerah di negeri
ini.

Segera, ia pergi secara tergesa-gesa menuju Galeri Nasional (Galnas) di kawasan Gambir,
Jakarta Pusat, dari kantornya di selatan ibu kota pada suatu hari, hendak menonton
pementasannya.

Mas Bro menuju Galnas dengan menumpang beberapa kali angkutan umum dan berbekal
sebuah tas punggung atau ransel.

Pementasan berlangsung di salah satu halaman Galnas itu. Bambu menjadi elemen utama
yang dimainkan oleh para aktrisnya. Mengutip tulisan pengantar mereka dalam buku
pertunjukan, bambu menjadi aktor dan juga simbol dari waktu itu sendiri.

Manusia yang diimpit oleh waktu di berbagai belahan dunia, terutama di perkotaan, menjadi
tema pementasan ini.

Tapi, mengapa bambu, bukan ransel yang melekat di punggung Mas Bro, untuk menandai
problematik masyarakat perkotaan? Tentu saja, tak ada yang salah dengan pilihan itu.

Ini hanya semacam resepsi dari Mas Bro yang tampak masih berjarak dengan bambu, yang
sudah ribuan tahun dikenali oleh manusia. Meski ransel punya riwayat sama panjangnya.

Ransel adalah sebuah wadah yang dipakai di punggung seseorang dan dilindungi dua tali
yang memanjang vertikal melewati bahu. Dipakai oleh manusia dari zaman berburu sampai
era modern.

Bambu yang terus tumbuh bisa melambangkan manusia yang selalu bisa menyesuaikan diri
dengan zaman masing-masing. Tapi Mas Bro termasuk yang tercerabut dari akar tradisi
masyarakatnya yang mengakrabi bambu.

Ia larut dalam benda lain yang mengikat manusia di era modern dalam sebuah
ketergantungan yang nyaris absolut sehingga layak menjadi simbol atau siap dijadikan
penanda sebuah problem manusia perkotaan dalam pentas teater. Benda itu adalah televisi,
lemari es, telepon genggam, dan ransel.

Deretan tas ransel di pundak atau di dada para penumpang itu bagaikan sebuah pergelaran
seni rupa.

Ia serupa manusia yang pada satu saat memaknai kehidupannya secara fungsional, yakni
mencari nafkah untuk makan dan menghidupi diri serta keluarga. Tapi, di lain kesempatan
atau saat bersamaan, memaknai kehidupannya sebagai pewujud kesenangan, keindahan, dan
eksistensi bagi dirinya dan orang lain.

Ransel itu benda fungsional dan penanda identitas. Puluhan tahun lalu, sambil beramai-ramai
memakai sandal jepit dengan satu dari dua tangkai ransel tergantung di bahu kanan, Mas Bro
dan kawan-kawan menyusuri lorong kampus sebuah universitas yang dulu berdomisili di
Rawamangun. "Ssst anak-anak Sastra lewat, tuh," bisik mereka yang sedang duduk di taman
kampus.

Di kursi kereta api Mojopahit dari Stasiun Senen, Jakarta, yang membawanya ke Malang
untuk mendaki puncak Mahameru, Mas Bro memandangi tasnya dan membayangkannya
serasa koper dalam syair lagu Kereta Laju karya Leo Kristi: "Di atas koper ku angkat kaki//
Serasa melayang serasa terbang//Senyumku terkembang walau kusendiri.."













Headphones

Selasa, 07 Oktober 2014
Antyo Rentjoko, Bekas narablog, @PamanTyo


Kesehatan telinga kaum muda Australia terancam karena clubbing, konser, dan...
headphones! Itulah laporan Australian Hearing, sebuah lembaga kesehatan pendengaran,
pada 2010. Dan, nun di Amerika, ada H.E.A.R. (Hearing Education and Awareness for
Rockers, Hearnet.com), sebuah organisasi nirlaba yang didukung industri instrumen musik,
pemusik, dan media musik.

Misi H.E.A.R. adalah mengajak khalayak menjaga kesehatan pendengarannya. Sejumlah
pemusik menjadi duta, dari rocker Lars Ulrich (Metallica) hingga jazzer Herbie Hancock. Di
San Francisco, markasnya, mereka juga membuka kelas pelatihan dan klinik evaluatif.

Dengan latar tadi, laporan Koran Tempo (Sabtu, 4 Oktober 2014) tentang headphones sebagai
gaya hidup menjadi menarik. Laporan itu seperti menghimpun pengalaman pembaca yang
sejak tiga tahun lalu melihat makin banyak orang mengenakan headphones, bukan
earphones, sambil berjalan. Rupanya kian banyak orang yang tak puas dengan earphones.

Meningkatnya penikmatan headphones makin terasa sejak 2010, ketika sejumlah padagang
audio menawarkan amplifier untuk headphones. Sasaran utama mereka awalnya para
penikmat piringan hitam yang membutuhkan preamp. Sebelumnya, ramai pula penawaran
DAC (digital-to-analog converter) agar musik digital menjadi lebih "tebal", bukan sekadar
"suara kaleng".

Lalu, seberapa lama orang tahan memakai headphones nonstop? Beda kuping, beda jawaban.
Sehatkah pendengaran mereka? Ahli THT yang dapat mengevaluasi--di Indonesia pada 2013
ada 700 ahli THT (Telingakusehat.com). Tentu, sumber penurunan pendengaran bukan cuma
headphones, ajeb-ajeb, dan konser, tetapi juga kebisingan kota dan lingkungan kerja.

Pada 2004 diwartakan bahwa sejumlah tamatan SMK tak lolos seleksi sebuah pabrik PMA
Jepang di Tangerang karena pendengaran mereka buruk. Ternyata noise induced hearing loss
(NIHL) terjadi di sekolah: tempat praktek tak menyediakan pelindung telinga.

Untuk konser, sejauh ini di Indonesia belum digencarkan pemakaian earplugs. Konsumen
diharapkan tahu sendiri sebelum memasrahkan diri untuk dihajar tumpukan speaker. Cara
murah ada: beli earplugs untuk industri di apotek, berupa sumbat karet untuk kuping.
Mungkin akan mengurangi penikmatan musikal, tapi daripada jadi budek, kan?

Lalu, pasal di luar kesehatan? Headphones dan earphones menjadikan musik kian individual,
tapi sisi penikmatan komunalnya tak lantas hilang. Dari ponsel dan iPod-nya, setiap orang
mendengarkan musik masing-masing; tak ada lagi era dominasi lagu dalam keluarga,
indekos, dan kantor seperti dulu: yang paling kencang dan kerap memutar lagu itulah yang
berpeluang menularkan selera.

Di sisi lain, meski menikmati secara individual, media sosial membuat kaum muda selalu
terbarui tentang informasi musikal. Padahal mereka tak perlu menonton MTV, cukup dari
YouTube dan audio streaming saat naik sepur.

Itulah jasa headphones dan earphones: tak mengganggu telinga orang sebelah, tapi beroleh
hiburan dan pengetahuan dari orang lain yang mengunggahkan musik ke awan.
















Titik Lemah Perppu Pilkada

Selasa, 07 Oktober 2014
Joko Riyanto, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan dua peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu). Pertama, Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perppu ini mencabut UU Nomor 22/2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh
DPRD. Kedua, Perppu Nomor 2/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Perppu kedua ini menghapus tugas dan wewenang DPRD memilih
kepala daerah.

Perppu adalah hak konstitusional presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD
1945, "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang." Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa perppu itu harus
mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Kemudian Mahkamah Konstitusi
memperjelas frasa "kegentingan yang memaksa" bagi presiden untuk menerbitkan perppu.

Ada beberapa titik lemah Perppu Pilkada. Pertama, kegentingan yang memaksa sebagai
syarat diterbitkannya Perppu Pilkada tidak jelas. Saat ini tidak ada ihwal yang menjadikan
kegentingan yang memaksa (bencana, konflik, atau instabilitas politik). Justru, perppu itu
keluar dari "kegentingan memaksa" SBY karena desakan dan kecaman dari rakyat atas aksi
walk-out Partai Demokrat dalam Sidang Paripurna DPR, sehingga pilkada oleh DPRD
menang. Bahkan Perppu Pilkada dapat dinilai sebagai cuci tangan Presiden SBY atas
persoalan yang menimpa dirinya. Dengan Perppu Pilkada, SBY seolah ingin memberikan
beban kepada pemerintah Jokowi dan tak ingin disalahkan sendiri jika Perppu Pilkada ditolak
DPR.

Kedua, sepuluh syarat perbaikan yang dimasukkan ke dalam Perppu Pilkada belum tentu
menghilangkan dampak negatif pilkada langsung. Belum ada kajian dan penelitian mendalam
atas sepuluh syarat itu untuk pilkada yang demokratis. Perppu Pilkada terkesan hanya
mengakomodasi kepentingan politik SBY dan Demokrat dengan kedok sepuluh syarat
perbaikan. Alasan menolak pilkada oleh DPRD tak demokratis juga keliru. Sebab,
berdasarkan Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menganggap bahwa pilkada melalui
DPRD adalah demokratis. Jadi tidak ada kekosongan hukum.

Ketiga, dari sisi pembentukan legislasi, Perppu Pilkada tidak lazim. Sebab, Perppu Pilkada
dikeluarkan hanya hitungan jam setelah pengesahan RUU Pilkada. SBY bisa dianggap
melecehkan DPR dan konstitusi. Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap
RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Bagaimana bisa,
setelah menandatangani RUU Pilkada, SBY lalu menerbitkan perppu. Norma yang
terkandung dalam konstitusi tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan
golongan.

Melihat beberapa kelemahan Perppu Pilkada, tampak SBY sedang "berjudi" dengan DPR.
Dengan komposisi DPR baru, koalisi Prabowo akan memiliki 291 kursi. Sedangkan Koalisi
Indonesia Hebat hanya punya 269 kursi. Kalau dilakukan mekanisme voting, secara hitungan,
koalisi Prabowo akan menang dengan menolak Perppu Pilkada. Kita hanya berharap DPR
mampu melihat kepentingan yang lebih besar ketimbang politik balas dendam.

















Manajemen Intelektual Pertahanan

Selasa, 07 Oktober 2014
Sjafrie Sjamsoeddin, Wakil Menteri Pertahanan RI


Panglima Besar Jenderal Soedirman selalu berpesan kepada para prajurit agar senantiasa
memenangkan hati dan pikiran rakyat dalam melawan penjajah Belanda. Makna pesan ini
sangat efektif dari masa ke masa. Artinya, tentara dan rakyat harus bersatu dalam
mempertahankan negara.

Kita pantas belajar kepada para Bapak Bangsa yang selalu mengutamakan kepentingan
bangsa yang lebih besar. Mereka bahkan rela menanggalkan kepentingan pribadinya ketika
sudah menyangkut kepentingan bangsa dan negara.

Saya ingin menggunakan pengalaman yang dulu dipergunakan para Bapak Bangsa itu di
dalam mengelola sistem pertahanan. Kita membutuhkan defence intellectual management
(DIM) dalam membangun sebuah kemampuan sistem pertahanan yang bisa melindungi
segenap kehidupan warga bangsa ini.

Adalah hak dan kewajiban setiap warga negara ikut serta dalam pembelaan negara untuk
mewujudkan negara yang majemuk dan luas serta kaya ini terjaga, maju, sejahtera, dan
cerdas kehidupannya. Tentu, sebagai negara kebangsaan, kita harus mampu hidup
bermartabat dan bisa menempatkan diri berdampingan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Era globalisasi yang cenderung tanpa batas ditandai kemajuan komunikasi dan informasi
serta pengetahuan dan teknologi yang sudah pasti mempengaruhi tata nilai dan pola
penyelenggaraan pertahanan negara untuk menghadapi ancaman multidimensional yang
kompleks. Dengan perkataan lain, kita perlu memiliki kualitas kemampuan pertahanan yang
unggul untuk menekan eskalasi ancaman.

Manajemen intelektual pertahanan merupakan suatu resultan dari kualitas praktis dan
akademis yang diterapkan dalam interaksi kepemimpinan dan manajemen untuk membangun
kekuatan pertahanan dalam merespons ancaman dan tantangan multidimensional.

DIM memang dimulai dari panggilan hak dan kewajiban pembelaan negara bagi setiap warga
dari semua aspek profesi, baik militer maupun nirmiliter. Tetapi sebenarnya DIM juga
merupakan tuntutan fenomena profesional yang harus ditumbuhkembangkan agar
menghasilkan adrenalin yang cukup pada saat diperlukan untuk mengatasi suatu
permasalahan. Maka DIM menjadi semacam cairan solusi, yang seketika tanpa perlu mencari
referensi atau membuka kamus ketika hendak menangani masalah.
DIM bukan institusional, tetapi individual capability yang berbasis profesionalitas yang sarat
dengan tantangan kemauan dan kesanggupan individual yang dibentuk melalui tiga koridor
membangun DIM. Tiga koridor itu ialah koridor pendidikan dan pelatihan formal, beragam
pengalaman kegiatan dan akses pekerjaan, serta kemampuan pengembangan diri. Inilah yang
membentuk modalitas yang berharga bagi kemampuan individu. Seorang profesional harus
memiliki sikap pantang menyerah walaupun ia harus siap menghadapi dinamika pasang-surut
sepahit apa pun dan tidak akan punah menghadapi tekanan seberat apa pun.

Permasalahan negara yang cenderung kompleks dan eskalatif tidak cukup dihadapi dengan
alat utama sistem persenjataan modern dan organisasi militer canggih, tetapi membutuhkan
kemampuan DIM yang dikelola dalam kepemimpinan dan manajemen yang multiguna.
Mengapa? Sebab, kita tidak boleh terkecoh dengan istilah "perang modern", yang bertumpu
pada berbagai ragam kecanggihan, tetapi akhirnya makna "the man behind the gun" yang
penuh dengan adrenalin yang berkualitas itulah tumpuan dari solusi permasalahan yang
sebenarnya.

DIM ibarat mengumpulkan jam terbang yang harus dijalani sendiri. Bahkan pencapaian
kualitas DIM didapatkan dari perjuangan melintas perjalanan jauh untuk memperoleh suatu
pengalaman yang berharga itu. Semakin sering mengalami intensitas penanganan masalah
yang kita hadapi, maka akan lebih tajam pisau analisis dan keputusan yang kita miliki. Inilah
tantangan yang perlu dijawab bagi generasi penerus pertahanan negara sebagai role model
yang produktif untuk pembelaan negara masa kini dan masa depan.

Ada harapan yang sangat besar dari generasi penerus untuk terpanggil melakukan hal
produktif dalam bela negara dengan menunjukkan kompetensi profesionalitasnya. Kita harus
menjadi garda terdepan sekaligus motor penggerak dalam mewujudkan gerakan nasional bela
negara. Di samping itu, sebagai agen perubahan dalam membangun daya tangkal, generasi
penerus harus mampu mempertahankan nilai-nilai karakter dan jati diri bangsa dengan selalu
kreatif dan inovatif menyebarluaskan nilai bela negara untuk bangsa seraya memahami
perubahan tatanan dunia baru.

Itulah manajemen intelektual pertahanan yang harus kita pahami juga sebagai suatu upaya
untuk terus meningkatkan capacity building dari masing-masing pribadi kita.





Genjer-genjer

Rabu, 08 Oktober 2014
Purnawan Andra, Peminat Kajian Sosial Budaya


Lagu sebagai wujud ekspresi seni (musik) mempunyai posisi, fungsi, dan pemaknaan yang
lekat dengan kebutuhan akan estetika, etika, identifikasi, dan komunalitas. Seturut Shin
Nakagawa (2000), eksistensi musik dapat dilihat dari kedudukannya sebagai teks dan konteks
di dalam masyarakat. Musik bukan hanya sebuah ekspresi bunyi (teks) yang menghibur atau
semata sebagai tontonan, tapi juga sebuah ruang pembacaan yang lebih kritis tentang
identitas, tradisi, modernitas, dan sejarah musik itu sendiri (konteks) dalam masyarakatnya.

Lagu bisa menjadi sarana artikulasi ide dan pemikiran. Potensialitasnya menjadikannya
senjata ampuh yang mampu menarik khalayak lebih luas untuk terlibat, termasuk dalam
politik. Terbukti, di masa pilihan legislatif lalu, orasi politik selalu melibatkan panggung
musik dalam setiap kampanyenya. Musik dieksploitasi politikus untuk menarik massa.

Lagu juga bisa hadir pada peta sejarah yang lebih luas dan menjadi perdebatan kontekstual.
Pun berperan positif untuk menciptakan paradigma zaman ketika mampu merepresentasikan
kondisi aktual dan faktual masyarakat. Seperti ketika kita mengingat lagu Genjer-genjer
yang menjadi kontroversi hingga kini.

Aris Setiawan (2011) menulis bahwa lagu yang diharamkan di era Orde Baru itu diidentikkan
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Penciptanya, Muhammad Arief, asal Banyuwangi,
meninggal karena dibunuh dan dianggap sebagai pengikut PKI dalam pembantaian 1965-
1966. Padahal lagu ini secara lugas mengisahkan kondisi ekonomi rakyat yang dilanda
kelaparan dan kemiskinan hebat sampai tidak mampu membeli beras. Akibatnya, genjer
(Limnocharis flava), yang merupakan tanaman gulma dan biasanya dikonsumsi itik, dijadikan
makanan utama bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Oleh PKI, lagu ini dijadikan corong
perjuangan ideologinya dalam "memperjuangkan nasib rakyat". Namun seusai peristiwa 30
September, kebijakan politik penumpasan paham komunis sampai ke akar-akarnya turut
menyeret lagu ini menjadi sesuatu yang mesti dilenyapkan.

Meski pernah dipopulerkan oleh penyanyi Lilis Suryani dan Bing Slamet, lagu ini semakin
lama makin tak terdengar. Padahal, jika dikembalikan pada kodratnya, lagu sederhana ini tak
lebih dari sekadar peristiwa bunyi yang tak berbeda dengan lainnya. Strukturnya dengan
deretan nada, kontur melodi, dan konsep harmoni menjadikannya sebagai sebuah musik.
Justru peristiwa dan tragedi yang menyertainyalah yang menjadikannya tabu.

Perkembangan dan pandangan, termasuk tentang musik, memang tidak dapat dilepaskan dari
semangat zaman yang memberinya makna. Pada saat yang sama, adagium klasik bahwa
"sejarah ditulis oleh para pemenang" (yang biasanya lalu menjadi penguasa) membuat apa
saja yang menguntungkan bisa ditonjolkan dan yang melemahkan bisa dibikin kabur atau
dihapuskan. Dan sejarah telah menempatkan Genjer-genjer dalam wilayah sunyi yang
menjadikannya tak mampu bersuara sebagai sebuah musik.



















Dara Puspita yang Terlupakan

Rabu, 08 Oktober 2014
Denny Sakrie, Pengamat Musik


Sebuah stasiun televisi Indonesia pernah menampik untuk menghadirkan kisah Dara Puspita,
band wanita pertama Indonesia asal Surabaya di era 1960-an, dengan alasan mereka sekarang
tak dikenal. Tentu ini sangat bertolak belakang dengan antusiasme sebagian orang Amerika
Serikat, Inggris, Belanda, Jepang, Portugal, dan Australia yang sangat mengenal Dara
Puspita, yang terdiri atas Lies AR (gitar, vokal), Titiek AR (gitar, vokal), Titiek Hamzah
(bass, vokal) dan Susy Nander (drum).

Kolumnis Sara Schondhardt di The Wall Street Journal edisi 25 September 2014 menulis
tentang Dara Puspita dengan tajuk "Indonesia's First All-Girl Rock Band Still Has The Power
To Captive", yang antara lain menyebut bahwa Dara Puspita bisa disejajarkan dengan Pussy
Riot, band punk wanita Rusia yang menawarkan aura feminisme.

Dara Puspita, seperti halnya Koes Bersaudara, juga sempat dicekal oleh rezim Orde Lama
Bung Karno yang saat itu bersemangat menggempur budaya Barat dengan idiom ngak-ngik-
ngok. Antara paruh era 1960-an hingga awal 1970-an, sosok Dara Puspita memang kerap
menjadi perbincangan khalayak. Majalah Tempo edisi 9 Januari 1972 menjadikan Dara
Puspita sebagai sampul depan dan menulis panjang lebar tentang Dara Puspita yang baru saja
kembali dari mancanegara selama tiga tahun.

"Mereka hanya pemain musik, mereka bukan pencipta, mereka tidak memperjuangkan
sesuatu yang khusus." Pendapat yang ditulis Putu Wijaya itu ada benarnya. Tapi kehadiran
Dara Puspita sebagai band wanita yang berbalur rock n roll di tengah-tengah rezim yang
mengharamkan budaya Barat sudah pasti sebuah fenomena menarik, setidaknya bagi orang-
orang Barat.

Di mata mereka, Dara Puspita adalah sebuah keajaiban dari negara di dunia ketiga yang
mulai bangkit. Ketakjuban mereka terlihat jelas ketika selama seminggu dari 1 hingga 6
Oktober kemarin di Casa Luna Ubud Bali berlangsung pameran dengan tajuk Dara Puspita:
The Greatest Girl Group That (N)ever Was yang digagas oleh Julien Poulson, orang
Australia yang bermukim di Phnom Penh, Kamboja. Terbetik pula berita bahwa Groovie
Record, sebuah perusahaan rekaman (label) asal Portugal, merilis album kompilasi hit Dara
Puspita dalam format vinil secara ilegal.

Empat tahun sebelumnya, Alan Bishop dari Sublime Frequencies di Seattle, AS, merilis
ulang secara resmi kumpulan hit Dara Puspita (1966-1968). Album yang berisikan 26 lagu itu
bahkan masuk dalam 25 Favorite World Compilations of 2010 yang dipilih situs musik All
Music Guide. Di Australia sendiri muncul sebuah tribute band yang khusus membawakan
repertoar Dara Puspita. Band yang bernama 45 ini beberapa waktu lalu menggelar konser di
Jakarta.

Fakta-fakta ini jelas menunjukkan bahwa Dara Puspita merupakan salah satu pilar bersejarah
dalam konstelasi musik populer di Indonesia. Dari ragam musik yang mereka mainkan, dari
ekspresi bermusik serta fashion yang mereka kenakan, menyiratkan bahwa Dara Puspita
bersikap seperti halnya kredo pemusik rock n roll: anti-kemapanan. Sayangnya, sekarang ini
penikmat musik yang mengenal Dara Puspita bisa dihitung dengan jari. Ironis.

















Olahraga Terpimpin

Rabu, 08 Oktober 2014
H Maulwi Saelan, Ketua Umum PSSI 1965-1967; Kapten Timnas PSSI


Ada kesan tersendiri, ketika saya membaca artikel Saudara Eddi Elison berjudul Semangat
Kementerian Olahraga (Koran Tempo, 27 Agustus), khususnya tentang Trilogi
Keolahragaan Nasional yang terdiri atas PON I 1948 di Solo, Asian Games IV 1962 di
Jakarta, dan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) 1963 di Jakarta. Kesan tersebut
terbangun karena pada ketiga peristiwa tersebut, atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa,
saya ikut terlibat di dalamnya.

Trilogi pertama, PON I, diselenggarakan dengan penuh kesederhanaan karena Indonesia
dalam tekanan dan ancaman Belanda. Namun "pesta" tersebut tetap berjalan dengan sangat
semarak. Semua atlet dari 13 "Kresidenan" bertekad bukan hanya akan menyukseskan
pertandingan, melainkan memperlihatkan bahwa pemerintah RI tetap ada, eksis, dan
berdaulat. Mereka akan melawan propaganda Belanda, yang menyebut RI kolaps. Tidak
mengherankan jika, sebagai kiper, saya menyimpan pistol dalam gulungan handuk, dan
meletakkannya di sisi tiang gawang, untuk siap siaga jika sewaktu-waktu tentara Belanda
menyerang. Hal yang sama dilakukan oleh atlet lainnya. Kebetulan atlet yang juga tentara
cukup banyak masuk dalam kontingen tersebut.

Kehadiran Presiden Sukarno, Wapres M. Hatta, Jenderal Soedirman, serta wakil-wakil dari
Komisi Tiga Negara--Merle Cochran (AS), P. van Zeeland (Belgia), dan Critchley
(Australia)--dalam pesta olahraga itu membuat dunia mengakui eksistensi RI sebagai negara
berdaulat. Padahal, saat itu, sesuai dengan Perjanjian Renville, RI hanya terdiri atas
Sumatera, Jawa, dan Madura. Atas dasar itu, saya bersepakat bahwa PON I disebut sebagai
PON Perjuangan. Terlebih, tanggal pembukaannya, 9 September, ditetapkan sebagai Hari
Olahraga Nasional (Haornas) oleh Presiden Sukarno, yang setiap tahun diperingati oleh
negara dan rakyat Indonesia.

Trilogi kedua, Asian Games IV, merupakan perjuangan tanpa henti pada tataran
internasional. Pada Olimpiade Melbourne 1956, AGF mengadakan rapat dan menetapkan
Israel, Pakistan, Singapura, dan Thailand, termasuk Indonesia dan Burma, sebagai calon
penyelenggara Asian Games IV. Namun, pada 1958, pada saat Asian Games III di Tokyo,
AGF malah menetapkan Taiwan sebagai penyelenggara Asian Games IV. Karena tidak
mendapat respons dari pemerintahnya, pada 23 Mei 1958 akhirnya AGF menetapkan
Indonesia sebagai penyelenggara Asian Games IV 1962. Setelah tujuh tahun berjuang,
barulah Indonesia mendapat kesempatan untuk membuktikan kemampuannya.

Latar belakang inilah yang membangkitkan spirit nasionalisme bangsa Indonesia untuk
membuktikan kekeliruan anggapan beberapa negara yang mengira bahwa Indonesia tidak
akan mampu menyelenggarakan pesta olahraga besar dan bergengsi. Bersama Bung Karno,
akhirnya Indonesia memperlihatkan kepada dunia bahwa negara ini benar-benar berdaulat.
Pada momen ini, Indonesia bukan hanya berhasil menyiapkan sarana keolahragaan komplet
dengan nama Gelora Bung Karno, tapi juga mampu menunjukkan prestasi. Ini merupakan
pangkal tolak "Olahraga Terpimpin", setelah PON I dijadikan sebagai landasan sikap
keolahragaan nasional.

Trilogi ketiga, pada 16 Oktober 1962, Menteri Olahraga Maladi mengumumkan keputusan
Presiden Sukarno untuk menyelenggarakan Games of the New Emerging Forces (Ganefo).
Padahal sebelumnya direncanakan akan diselenggarakan Asia Afrika (AA) Games atau Asia
Afrika Amerika Latin (AAA) Games.

Penyelenggaraan Ganefo pada dasarnya merupakan jawaban dan refleksi atas penghinaan
IOC yang menskors Indonesia sehubungan dengan peristiwa Israel-Taiwan dalam Asian
Games IV. Pemberian skors tersebut tanpa mendengar keterangan Indonesia terlebih dulu.
Sikap itulah yang menyebabkan Indonesia akhirnya keluar dari IOC dan mempercepat
pelaksanaan Ganefo dan berlangsung sukses. IOC belingsatan karena Indonesia mampu
menghadirkan 51 negara dan berhasil merebut posisi ketiga setelah RRT dan Uni Soviet--
dengan perolehan medali 21 emas, 25 perak, 35 perunggu.

Keberhasilan Indonesia dalam mewujudkan prestasi oleh raga dalam Trilogi Keolahragaan
Nasional, sebagaimana dipaparkan di atas, tidak terlepas dari peran Sukarno. Sebagai ajudan
Presiden Sukarno, saya bisa merasakan bagaimana kepemimpinan beliau dalam
mensinergikan olahraga sebagai salah bentuk gerakan revolusi mental.

Inilah wujud dari olahraga terpimpin. Dalam perspektif kesejarahan, Olahraga Terpimpin
terbukti telah meningkatkan prestasi olahraga nasional. Untuk itu kebijakan ini pantas
menjadi acuan kabinet pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kuncinya: Kementerian
Pemuda dan Olahraga hanyalah mengurusi olahraga, dan menteri olahraga mendalami spirit
serta jiwa Trilogi Olahraga Nasional. Sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman,
menteri olahraga-lah nantinya yang menjadi pemimpin tertinggi olahraga, sebagaimana
diperankan Bung Karno pada masa lalu.




Buruh Batik

Kamis, 09 Oktober 2014
Heri Priyatmoko, Anggota Tim Pusaka Kota Surakarta


"Carilah suami tukang ngecap batik, karena lebih banyak duitnya ketimbang pegawai negeri
yang bergaji terlalu sedikit." Begitulah nasihat orang tua terhadap putrinya pada periode
pasca-kemerdekaan hingga 1970-an. Secuil fakta historis, buruh batik pada suatu masa
pernah menjadi idaman kaum perempuan lantaran penghasilannya terbilang besar. Bahkan,
jenis pekerjaan ini juga diimpikan para lelaki yang tak bisa bersekolah tinggi.

Saban kali kita merayakan Hari Batik Nasional, yang jatuh pada 2 Oktober, keberadaan buruh
batik nyaris terlupakan. Mereka hidup dalam kesenyapan di tengah kemeriahan perayaan
yang bermisi melestarikan warisan budaya Nusantara itu.

Dalam perusahaan industri batik rumahan, pekerjaan buruh batik terbagi menjadi beberapa
jenis, sebut saja tukang cap, kuli babar, kuli celep, kuli beret, kuli kerok, pengubeng
(pembatik), dan kuli kemplong. Potret kedekatan buruh dengan juragan diibaratkan seperti
daging dan kulit, sulit diceraikan. Hubungan sosial mereka layaknya abdi dalem dengan raja
di lingkungan keraton. Sejarah dunia perbatikan di Surakarta, misalnya, melukiskan ikatan
batin antara buruh dan sang majikan dalam sebaris idiom lokal: pejah gesang nderek mbok
mase. Terjemahan bebasnya, mengabdi secara total kepada juragan batik.

Memang, tak jarang kelompok buruh menjelma bak prajurit istana sewaktu pecah konflik
yang melibatkan juragan mereka dengan perusahaan batik di lain tempat. Para tukang siap
angkat pentungan dan berani ikut tawuran demi membela kehormatan serta usaha milik
majikan mereka. Rasa persaingan yang tinggi antarperusahaan adalah hal yang lumrah dalam
lingkaran bisnis batik. Sejarawan sepuh Soedarmono, melalui tesisnya bertajuk "Pengusaha
Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20" memotret kenyataan itu dalam sepucuk kalimat: parit
merah lawan parit darah.

Spirit kewirausahaan dan etos kerja bos batik kadang menetes ke dalam tubuh si buruh, yang
sudah mengabdi di situ selama belasan hingga puluhan tahun. Saking intimnya, kepercayaan
penuh yang diberikan majikan kepada buruh acap tidak terbatas. Sampai-sampai modal untuk
mendirikan perusahaan kecil diberikan oleh sang majikan dengan pengembalian secara
cicilan.

Inilah realitas apik yang perlu dikabarkan ke sidang pembaca bahwa merebaknya industri
batik rumah tangga dan majunya pasar sandang di Jawa bermula dari sambung rasa dan
ikatan persaudaraan buruh-majikan. Eloknya, buruh tidak dibelenggu. Tuannya tidak takut
disaingi. Justru mereka memberi peluang seluas mungkin agar buruh melebarkan sayap dan
mempraktekkan ilmu yang diperoleh dari tempatnya bekerja. Buruh yang punya kemampuan
lebih, terutama ngecap, menduduki level teratas. Selain itu, mereka gampang bermobilitas
vertikal, yaitu naiknya status sosial dari pekerja perusahaan menjadi pengusaha menengah
atau besar.

Demikianlah, buruh adalah katup pengaman perusahaan batik sekaligus kelompok yang
memegang peran kunci hidup-matinya batik di Indonesia. Dalam hal ini, tugas pokok
pemerintah Joko Widodo adalah memikirkan regenerasi para buruh batik. Pasalnya, usia
mereka kian menua dan generasi sekarang emoh bercita-cita menjadi buruh ngecap layaknya
pada 1970-an. Mungkin ini bisa menjadi agenda kerja Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif mendatang.















Mengatasi Inflasi Lewat Pemberdayaan
Masyarakat Miskin

Kamis, 09 Oktober 2014
Dian Ediana Rae, Kepala BI Jawa Barat


Lebih dari 70 persen penyebab inflasi di Indonesia berasal dari sisi pasokan. Melihat data
yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, jumlah orang miskin dan penganggur di Indonesia
masing-masing mencapai 28,28 juta orang dan 7,15 juta orang. Kondisi ini bisa lebih parah
jika menggunakan standar ukuran kemiskinan yang berbeda. Walhasil, dapat disimpulkan
bahwa sekitar 11,25 persen rakyat Indonesia tidak atau kurang berkontribusi terhadap
produktivitas perekonomian, atau bahkan menjadi beban perekonomian Indonesia.

Merujuk pada komposisi kontribusi usaha yang berpotensi dijadikan sarana pemberantasan
kemiskinan dan pengangguran, sudah sewajarnya pemerintah memberi perhatian yang lebih
besar bagi pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Meski jumlah pelaku
UMKM mencapai 99 persen dari jumlah total perusahaan di Indonesia, kontribusinya secara
nasional baru sekitar 7 persen.

Hal ini menunjukkan terbatasnya kontribusi saham (share) UMKM terhadap GDP. Dilihat
dari distribusi sektoral tenaga kerja, sektor pertanian masih dominan. Lebih dari 34,55 persen
tenaga kerja berada dalam sektor pertanian. Ironisnya, justru Indonesia masih menghadapi
persoalan mendasar, yakni keamanan pangan (food security).

Ini tidak saja menimbulkan inflasi dari aspek keseimbangan permintaan dan penawaran, tapi
juga inflasi yang terjadi akibat barang-barang komoditas yang diimpor (imported inflation).
Karena itu, program mengatasi inflasi bisa sekaligus digabungkan dengan program
pemberantasan kemiskinan/penggangguran serta ketahanan pangan.

Upaya mengatasi masalah inflasi di Indonesia tidaklah sederhana. Sebab, masih terdapat
faktor fundamental yang mengganggu bekerjanya mekanisme pasar secara sempurna, antara
lain masih kurangnya produktivitas, kurang memadainya infrastruktur (seperti jalan raya dan
pasokan listrik), serta distorsi pasar. Begitu juga jaringan distribusi dan pemasaran, yang
masih memiliki kelemahan struktural. Semua itu merupakan hilir dari kapasitas fiskal
pemerintah yang masih terbatas karena beban subsidi BBM dan listrik telah mencapai sekitar
Rp 363 triliun. Adapun defisit fiskal berdasarkan undang-undang dibatasi tidak boleh
melampaui 3 persen.

Identifikasi persoalan pengangguran dan kemiskinan di Indonesia harus digarap secara lebih
komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Profil dan karakteristik para
penganggur dan orang miskin harus dibedah tuntas, dari kategori kemiskinan, tingkat
pendidikan, lokasi, hingga potensi daerah berpenduduk miskin. Informasi seperti ini dapat
dikolaborasikan dengan data penyebab inflasi, seperti produksi yang rendah dari holtikultura,
ketergantungan pada bahan baku impor untuk produk-produk tertentu, dan lain sebagainya.

Pemerintah dan anggota DPR yang baru perlu mengambil langkah sesegera mungkin untuk
mengakhiri subsidi BBM dan merelokasi subsidi BBM untuk program-program afirmatif
yang cerdas dan terukur demi memberantas pengangguran dan kemiskinan sekaligus
mengatasi goncangan dari administered prices, yang merupakan salah satu penyebab utama
inflasi di Indonesia.

Seiring dengan keterbatasan ruang gerak fiskal, masih banyaknya kelemahan struktural dalam
perekonomian, dan masih terjadinya policy mismatch dalam berbagai sektor perekonomian--
serta jika merujuk pada peran Bank Indonesia sebagai otoritas moneter--tampaknya harus
mulai diwacanakan kembali peran BI sebagai lembaga negara yang independen dan tidak
semata-mata memiliki sasaran tunggal (single goal) untuk memelihara nilai mata uang
rupiah. Ia juga menciptakan peran lebih luas dalam pertumbuhan ekonomian serta penciptaan
kesempatan dan lapangan kerja seperti yang pernah dimilikinya sebelum 1999.

Apabila kewenangan ini dapat diperoleh kembali, BI dapat secara langsung mempengaruhi
sisi pasokan dalam perekonomian sekaligus memainkan perannya dalam mengatasi
kemiskinan dan pengangguran. Pertimbangan lainnya untuk mengembalikan peran BI adalah
persoalan kemiskinan dan pengangguran, yang menimbulkan dilema dalam kebijakan
moneter.

Dilema ini dirasakan ketika BI menetapkan kebijakan moneter ketat dalam upaya
pengendalian perekonomian jangka menengah dan panjang. BI sering menjadi sasaran kritik
para pengamat dan kalangan pengusaha yang menganggap kebijakan moneter sebagai
penghambat pertumbuhan perekonomian yang berpotensi mengurangi kapasitas penciptaan
kesempatan kerja baru serta penghapusan kemiskinan.

Padahal, di sisi lain, di tengah keterbatasan kebijakan fiskal yang mendasar, akan sangat
diperlukan kebijakan moneter untuk menghindari kondisi perekonomian yang lebih buruk.
Kondisi ini memerlukan langkah-langkah tepat, terarah, dan terukur untuk mencari
keseimbangan antara kepentingan stabilitas moneter dan kelanjutan upaya mengatasi
penggangguran serta kemiskinan. Ke depan, pemerintah dan BI dapat mengelaborasi
persoalan-persoalan fundamental perekonomian bangsa secara sinergis dan komplementer.


Presiden Pencitraan

Kamis, 09 Oktober 2014
Firdaus Cahyadi, Aktivis Lingkungan


September 2014 adalah bulan yang membahagiakan bagi Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Pasalnya, pada 23 September lalu waktu New York, Amerika Serikat,
Presiden SBY secara resmi diangkat sebagai Presiden Majelis Global Green Growth Institute
(GGGI). GGGI adalah organisasi yang bertujuan meningkatkan semangat pertumbuhan hijau,
sebuah paradigma yang ditandai oleh keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan
pelestarian lingkungan secara berkelanjutan, khususnya di negara-negara berkembang.
Apakah kira-kira hal yang menjadi dasar GGGI untuk mengangkat SBY menjadi Presiden
Majelis di organisasi internasional itu? Apakah SBY memiliki jejak ekologi yang bagus
dalam mengimplementasikan pertumbuhan hijau di Indonesia?

Untuk menjawab hal itu, mari kita lihat jejak ekologi SBY selama menjadi Presiden Republik
Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk pilpres 2014, Presiden SBY ternyata menerbitkan Peraturan
Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Denpasar,
Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Salah satu poin terpenting dari aturan tersebut
adalah mengubah peruntukan perairan Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan
menjadi zona budi daya yang dapat direklamasi maksimal seluas 700 hektare.

Perpres itulah yang menjadi payung hukum bagi pemilik modal untuk mereklamasi Teluk
Benoa. Sebelumnya, upaya pemilik modal untuk mereklamasi Teluk Benoa terbentur oleh
aturan Perpres Nomor 45 Tahun 2011 karena kawasan Teluk Benoa masuk area konservasi
perairan.

Padahal, menurut pakar geomorfologi dari Universitas Udayana, R. Suryanto, seperti ditulis
oleh portal balipost.co.id pada 2013, reklamasi Teluk Benoa akan mengubah sirkulasi air di
kawasan itu. Adapun berubahnya sirkulasi air di sekitar Teluk Benoa juga akan berdampak
terganggunya perkembangan hutan bakau (mangrove) dan kehidupan biota laut di sekitarnya.
Perpres SBY, yang menjadi payung hukum bagi reklamasi Teluk Benoa, mendapat
perlawanan dari aktivis lingkungan hidup di negeri ini.

Kebijakan di bawah rezim pemerintah SBY, yang justru mendorong kerusakan lingkungan
hidup, tidak berhenti sampai di situ. Sebelumnya, pada Juli 2013, pemerintah di bawah
Presiden SBY juga mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33 Tahun 2013
tentang pengembangan produksi kendaraan bermotor yang hemat energi dan harga yang
terjangkau. Mobil itu kemudian disebut low-cost green car (LCGC).

Meski diklaim sebagai mobil yang hemat energi, faktanya mobil LCGC tetap menggunakan
bahan bakar minyak. Artinya, LCGC masih menggunakan energi fosil. Hal itu akan semakin
menambah emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. Bahkan, di lapangan, mobil
LCGC banyak menggunakan BBM bersubsidi yang memicu jebolnya anggaran negara. Jejak
ekologi pemerintah SBY yang terburuk adalah penanganan kasus lumpur Lapindo.

Pengangkatan SBY menjadi Presiden Majelis GGGI tak lebih sekadar keberhasilan sebuah
proyek pencitraan rezim pemerintahan Presiden SBY justru kerap memproduksi kebijakan
yang anti-lingkungan hidup. Sayang, organisasi internasional sebesar GGGI kurang cermat
melihat kasus-kasus lingkungan hidup di Indonesia sebelum mengangkat SBY menjadi
presiden majelis organisasinya. *




















Insaf

Jum'at, 10 Oktober 2014
Irfan Budiman, @papaipang


Pelatih Persija Jakarta, Benny Dollo, dan pelatih Persib, Djadjang Nurdjaman, punya nama
panggilan yang lucu. Reporter yang sering memandu pertandingan di sepak bola televisi yang
sering berteriak-teriak sendiri ketika gol terjadi, atau malah tak ada gol, kerap menyebut
Benny dengan panggilan "Bendol" alias kependekan dari namanya. Pun dengan Djadjang
yang kemudian terdengar manis bin romantis dengan nama "Janur". Janur alias daun kelapa
muda selalu terlihat dalam acara pesta pernikahan.

Akronim bukanlah hal yang aneh. Bagi kita, hal itu sudah amat umum. Nama pahlawan
nasional Oto Iskandar Di Nata yang dijadikan nama jalan kemudian malah dikenal dengan
sebutan "Otista". Tak aneh bila singkat-menyingkat pun melanda sepak bola--olahraga paling
populer di negeri ini.

Tapi, satu yang janggal hal ini tak menyergap Indra Sjafri. Padahal, dia merupakan pelatih
paling terkenal dan yang sukses di negeri ini, saat ini. Namun, ternyata namanya tetap steril
akronim. Dia tetap dipanggil "Indra" atau "Coach Indra". Padahal, bila mengikuti pola
Bendol dan Janur, dia bisa saja mendapat julukan "Insaf".

Insaf memang terdengar kurang menyenangkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
"insaf" berarti sadar atau bisa juga berarti menyadari kesalahan yang pernah dilakukan. Kata
"insaf" memang sering kali bermakna kurang baik.

Meski tak pernah ada sebutan "insaf" bagi Indra Sjafri, sesungguhnya apa yang dilakukan
Indra bersama timnas U-19 adalah sebuah upaya memperbaiki berbagai kesalahan yang
dilakukan pengelola sepak bola di negeri ini.

Banyak buktinya. Tim senior yang tidak pernah menjadi juara, ternyata di tangan Indra,
memunculkan anak-anak muda yang berhasil mempersembahkan Piala AFF untuk usia di
bawah 19 tahun, tahun lalu. Tak lama kemudian, saat lagi-lagi tim senior kita tak mampu
lolos ke Piala Asia, malah anak-anak remaja itu lolos, bahkan menjadi juara grup, dengan
mengalahkan Korea Selatan.

Indra telah menjawab bagaimana cara mendapatkan para pemain yang bagus untuk timnas
negeri ini. Caranya, mencari hingga ke pelosok negeri. Meniru istilah yang populer saat ini,
dia blusukan demi mendapatkan pemain yang dicari. Hasilnya, Indra berhasil mengumpulkan
pemain-pemain dengan talenta yang bagus.
Popularitas anak-anak muda ini tak bisa dimungkiri sedang menjulang. Tapi, mereka
bukanlah para pemain senior yang pada Piala AFF 2010 lalu bisa dibawa-bawa ke beberapa
tokoh untuk sekadar makan dan berfoto bersama. Jangankan itu, untuk sekadar menjadi
bintang iklan, pintu itu sudah tertutup.

Nanti sore, anak asuh Indra Sjafri akan turun ke gelanggang untuk mempertaruhkan nama
Indonesia melawan Uzbekistan. Namun, Indra tak mau sekadar berangkat ke Myanmar
dengan dalih semata untuk mendapatkan pengalaman. Tapi, dia menggelegarkan semangat
anak asuhnya untuk bisa sampai ke babak semifinal guna lolos Piala Dunia tahun depan.

Tidak ada jaminan target atau harapan ini bisa terwujud. Namun, Indra Sjafri--atau bisa
disingkat dengan Insaf--sesungguhnya telah melakukan banyak hal yang menjadi koreksi di
ranah sepak bola negeri ini. Tampil dalam Piala Asia, U-19, sudah menjadi persembahan
istimewa dari tim nasional negeri ini untuk para pendukungnya yang sudah lama haus
kemenangan.














FPI dan Landasan Dakwah Habib

Jum'at, 10 Oktober 2014
Husein Ja'far Al Hadar, Penulis


Sejak awal masa Islam, Yaman menempati posisi penting di mata Nabi Muhammad. Karena
itu, ketika Imam Ahmad al-Muhajir (820-924 Masehi) justru memilih berhijrah ke "kawasan
kosong" (empty quarter), yang dulunya dikenal dengan nama Wadi Hadhramaut (lembah
Hadhramaut, Yaman) yang tandus dan tak strategis itu, keputusan itu diyakini dan disebut-
sebut mengandung sebuah rahasia (asrar) besar. Dan ternyata, memang dari sanalah salah
satu arus dakwah Islam berbasis damai, cinta kasih, dan akulturatif bergerak ke kanan hingga
Asia Tenggara (khususnya Indonesia). Ini berbeda dengan arus dakwah Islam ke kiri (sampai
Andalusia, Eropa) yang cenderung bercorak perang, penaklukan, politis, dan melawan jejak
sejarah dan budaya Yahudi-Kristen yang telah ada sebelumnya.

Dakwah dari Hadhramaut itu dibawa oleh kalangan habaib (jamak dari kata habib), yakni
keturunan Nabi Muhammad. Dari segi morfologi (sharf) saja, habib berarti "yang dicinta"
(obyek-maf'ul) atau "yang mencinta" (subyek-fail). Sebab, cinta menjadi roh dakwah Islam
yang dibawa para habib yang berbasis Thariqah 'Alawiyah, ajaran praktis tasawuf yang
dipegang dan diajarkan secara turun-temurun oleh para habib, serta menjadi pedoman
dakwah mereka.

Ajaran cinta dan damai yang menjadi roh dakwah Islam para habib itu telah diteguhkan sejak
awal oleh Faqih al-Muqaddam--pendiri Thariqah 'Alawiyah--dengan simbolisasi upacara
pematahan pedang di depan para pengikutnya sebagai bentuk ditinggalkannya metode
kekerasan dalam dakwah Islam. Itulah yang kemudian menjadi landasan (platform) dakwah
Islam kalangan habib hingga kini.

Platform itu pun didasarkan pada sikap Sayyidina Ali yang dalam situasi tersulit sekalipun,
yakni menghadapi brutalitas kekerasan kaum Khawarij, tetap konsisten pada jalur damai
(tahkim). Itu pula yang diperlihatkan Faqih al-Muqaddam dan generasi awal para habib di
Hadhramaut yang tetap pada jalur damai, meskipun menghadapi brutalitas kekerasan
'Ibadiyah (sekte Khawarij) ataupun kaum Qaramithah yang sangat kejam dan barbar. Rumus
mereka, yakni amar ma'ruf dan nahi munkar, tak akan bisa tegak dan sukses tanpa jalur
damai yang berbingkai rahmat dan cinta.

Sebagaimana dikemukakan pengamat seperti Mark Woodward (Arizona State University,
penulis Islam in Java) dan Engseng Ho (Duke University, penulis The Graves of Tarim),
platform dakwah para habib itu juga bersifat inklusif, sebagai pengejewantahan rahmat-Nya.
Ini terlihat hingga kini, di mana para habib itu biasanya menerima murid tanpa melihat latar
belakang atau kelas sosialnya: dari preman hingga kalangan pinggiran. Adapun naluri
"kekerasan" yang mungkin ada pada mereka justru diarahkan oleh para habib itu kepada
mujadalah dalam tradisi tasawuf, yakni pelumpuhan nafsu-nafsu rendah. Adapun dalam
konteks politik, sesuai dengan platform, para habib itu biasanya cenderung menjaga jarak,
walau juga tetap menjaga pengaruhnya sebatas untuk kepentingan (maslahat) dakwah dan
umat.

Itulah platform dakwah Islam para habib yang kian terasa absen di Front Pembela Islam
(FPI). Platform itu sudah jelas secara konseptual dan teruji secara praktis dalam kondisi
tersulit sekalipun. Dengan demikian, tak ada landasan untuk tak kembali pada khitah platform
itu.




















Seni Rupa dan Parlemen

Sabtu, 11 Oktober 2014
Asikin Hasan, Kurator seni rupa


Gedung parlemen Australia di Canberra adalah ruang pamer. Gedung ini dibangun untuk
pendidikan dan pengetahuan publik tentang orang-orang dan cara kerja di lembaga legislatif.
Tak ada sepotong pagar pun menutupi gedung wakil rakyat itu. Gedung ini seperti dua tangan
terbuka lebar yang hendak menyambut kedatangan siapa saja.
Di bagian depan dimulai dengan pemandangan kolam berair jernih, mengalir, dan
menyejukkan. Di bagian atap gedung terhampar rumput dengan pemandangan lepas langit
biru dan Kota Canberra yang asri. Kita dibawa ke dalam wisata arsitektur modern,
merasakan tata ruang yang harmonis, mempertimbangkan dengan cermat skala antara
manusia, gedung, dan lingkungan alam yang hijau.

Di dalam gedung itu pula, keingintahuan kita tentang sejarah dan dinamika konstitusi
Australia dijawab tuntas sampai ke akar tunjangnya, yaitu Magna Charta, dasar konstitusi
yang berasal dari Inggris (1215). Perangkat audio-visual siap membantu pengunjung untuk
mengetahui pelbagai hal mengenai kabinet, anggota senat, dan DPR. Kita bisa menelusuri,
misalnya, profil para senator, lengkap dengan pendidikan dan pengalamannya. Begitu pula
profil Kementerian Kesenian dalam kabinet Tony Abbott. Namun potongan informasi
mengenai kabinet yang sedang berkuasa tampak tenggelam di tengah dalamnya lautan
informasi dan dinamika mengenai sejarah konstitusi Australia.
Penataan ruang pamer yang sangat memperhitungkan irama, jarak pandang, dan tata cahaya
memudahkan para pengunjung untuk mengikuti satu demi satu materi pameran. Kualitasnya
setara dengan pameran di Galeri Nasional, Museum Nasional, dan Galeri Seni Rupa
Kontemporer yang tersebar di Australia.

Saban hari, ribuan orang mengalir ke gedung itu, termasuk para pelajar yang didampingi
seorang tutor. Para pengunjung bisa mengikuti perdebatan anggota legislatif dari atas balkon,
membaca transkrip pidato, keputusan-keputusan parlemen, foto-foto kegiatan para senator
yang ditata sangat menarik, dan video proses pembangunan gedung parlemen pada 1981-
1988 itu. Yang lain bisa melihat sederet lukisan, patung, obyek yang bertali-temali dengan
ide konstitusi, kepemimpinan, dan keaustraliaan. Lukisan para perdana menteri dipajang
berderet pada dinding panjang. Sebuah tapestri raksasa menggambarkan hutan Australia
tampak monumental dalam sebuah aula besar, dibangun berdasarkan lukisan Arthur Boyd,
pelukis terkenal Australia. Karya-karya itu digunakan untuk mempertajam kepekaan rasa dan
memperkaya pengalaman visual, terutama orang yang bekerja di situ. Bayangkan, gedung
parlemen itu memiliki koleksi lebih dari 4.000 karya seni rupa.
Sekalipun tak menyebut diri museum atau galeri, gedung rancangan arsitek Romaldo
Giorgola itu telah memainkan peran tersebut. Rancangan yang menggabungkan pelbagai
fungsi dan guna itu adalah revolusi terkini dalam dunia arsitektur. Keberadaannya pada satu
sisi memberi informasi seluas-luasnya kepada publik mengenai arsip, dokumentasi, dan
kualitas lembaga legislatif. Di sisi lain, gedung ini berperan mengingatkan anggota legislatif
itu sendiri agar melahirkan keputusan berkualitas. Sebab, semua produk lembaga tersebut
tersimpan rapi dalam mesin arsip, dan akan diolah oleh tim kurator independen guna menjadi
karya di ruang pamer.

Selaku perpanjangan tradisi Eropa, Australia menempatkan seni rupa sebagai wacana
intelektual, bukan sebagai hiburan dan hiasan. Di situ pula museum selaku rumah bagi seni
rupa memiliki peran strategis dan terhormat. Mereka percaya bahwa seni rupa adalah salah
satu jalan untuk membangun karakter, dan cara berpikir manusia modern: mandiri,
berkeadaban, jujur, dan toleran, yang diharapkan hadir pula pada perilaku anggota legislatif.
Saya jadi mengerti ketika mengobrol dengan Senator Brett Mason (Sekretaris Parlemen untuk
Kerja Sama Luar Negeri) dalam pembukaan pameran "Masters of Modern Indonesian
Portraiture" di National Portrait Gallery, Canberra. Ia begitu antusias membicarakan lukisan-
lukisan maestro Indonesia dan memperlihatkan kekagumannya kepada S. Sudjojono, Affandi,
Agus Jaya, yang pada era 1940-an dapat melahirkan karya-karya hebat. Ia dapat membaca
makna kuratorial pameran, dan melihat relasinya dengan perubahan sosial-politik di
Indonesia.

Bayangkan sekiranya gedung DPR/MPR di Senayan sejak dulu dirancang bukan semata
sebagai kantor para legislator yang eksklusif, tapi juga berfungsi sebagai museum publik
seperti di Australia. Dengan demikian, kita dapat menemukan jawaban-jawaban besar dari
keputusan-keputusan besar yang masih gelap. Misalnya, Pidato Nawaksara Bung Karno
yang ditolak oleh parlemen. Sistem multipartai pada 1955 yang menimbulkan ketegangan
politik, dan muncul kembali pada masa reformasi hingga hari ini. Pertanyaan tentang para
politikus partai politik yang sama-sama menyanyikan Indonesia Raya tapi menolak Pancasila
selaku dasar ideologi partainya. Juga, sampai kapan DPR menghabiskan waktu dan uang
rakyat hanya untuk amendemen UUD yang justru berulang-ulang kali pula menimbulkan
keguncangan sosial, ekonomi, dan politik? Tentu masih banyak pertanyaan besar lainnya. *

Anda mungkin juga menyukai