Anda di halaman 1dari 154

DAFTAR ISI

PETRAL: OIL TRADER (1)


Rhenald Kasali

PEMBERANTASAN PRAKTIK MAFIA MIGAS


Fahmy Radhi

KONTROVERSI SUBSIDI BBM DAN ENERGI TERBARUKAN


Ivan A Hadar

10

INDONESIA GO GLOBAL
Firmanzah

14

GEOPOLITIK BARU
Dinna Wisnu

17

PETRAL: RIWAYATMU DULU (2)


Rhenald Kasali

20

INDUSTRI KREATIF CIPTAKAN PELUANG BAGI GENERASI Z


Alex Murphy

24

EKONOMI GLOBAL DAN OUTLOOK 2015


Firmanzah

27

SISTEM PEMBAYARAN NILAI BESAR


Achmad Deni Daruri

30

MEMPERBAIKI KETIMPANGAN PEMBANGUNAN


Elfindri

33

DAMPAK BERANTAI PENGHAPUSAN RASKIN


Khudori

36

BACKLOG PERUMAHAN PR SERIUS


Maryono

39

PETRAL RIWAYATMU KINI (3)


Rhenald Kasali

42

TURUNNYA HARGA MINYAK


Ibrahim Hasyim

45

KEBIJAKAN NASIONAL DORONG INOVASI


Firmanzah

48

BABAK BARU INDONESIA-SELANDIA BARU


Al Busyra Basnur

51

2015: TAHUN LEMBU KURUS


Berly Martawardaya

54

EKONOMI JALAN DI TEMPAT


Eddy Suprapto

57

SHOCK JELANG AKHIR TAHUN


Firmanzah

60

MITOS SEKTOR PERIKANAN INDONESIA


Shiskha Prabawaningtyas

63

QUO VADIS PEMERINTAHAN JOKOWI-JK?


Tandean Rustandy

66

INTEGRASI SEKTOR PERIKANAN INDONESIA


Bisman Nababan

69

GET CONNECTED
Rhenald Kasali

72

MENEROPONG WAJAH KEMARITIMAN NASIONAL 2015


Siswanto Rusdi

76

UKM, MEA, DAN SELAMAT TAHUN BARU 2015


Rama Datau Gobel

79

TAHUN AGILITY
Rhenald Kasali

83

PROSPEK PERBANKAN 2015


Paul Sutaryono

87

EKONOMI 2015, HARAPAN DAN KEWASPADAAN


Firmanzah

90

BEKERJA MELAMPAUI KONSTITUSI


Ahmad Erani Yustika

93

MENJADI TUAN RUMAH DI NEGERI SENDIRI


Pudjianto

96

MENGGUGAT PENGHAPUSAN SUBSIDI BBM


Marwan Batubara

98

AUDIT DAN KOTAK PANDORA


Rhenald Kasali

101

TABIR DI BALIK DATA KEMISKINAN


Elfindri

105

CIPTAKAN PENGUSAHA MUDA


Bahlil Lahadalia

109

MENUSUK JANTUNG KEMELUT GULA RAFINASI


Khudori

112

FOKUS BANYUWANGI 2015


Abdullah Azwar Anas

115

KONSUMEN, IDENTITAS SOSIAL, DAN PERILAKUNYA


Alberto Hanani

118

JOKOWI DAN RAPBN-P RASA WONG CILIK?


Mukhamad Misbakhun

120

GAS DAN INDUSTRIALISASI


Firmanzah

124

INVESTASI PORTOFOLIO DAN SISTEM PEMBAYARAN


Achmad Deni Daruri

127

KESEIMBANGAN INVESTASI DAN KONSUMSI


Firmanzah

130

MENGUKUR DAMPAK QUANTITATIVE EASING EROPA


Sunarsip

133

DIGITAL DISRUPTION
Rhenald Kasali

136

MAKLUMAT 100 HARI


Ahmad Erani Yustika

139

MAKSIMALISASI SISTEM PEMBAYARAN


Achmad Deni Daruri

142

BERAKHIRNYA BANK (YANG KITA KENAL)


Rhenald Kasali

145

DESAIN PRODUK DAN VALUE-BASED-ECONOMY


Firmanzah

149

INDUSTRI BAJA DALAM NEGERI TERANCAM!


Hikmahanto Juwana

152

Petral: Oil Trader (1)


Koran SINDO
27 November 2014

Belakangan isu tentang Petral kembali mencuat. Nadanya sangat minor. Saya yang kebetulan
pernah banyak membaca artikel tentang Petral, juga ngobrol dengan beberapa sumber, agak
tahu soal ini. Untuk itu, saya ingin berbagi supaya Anda memahami konteksnya dan bisa
menyikapi itu secara benar.
Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terkait Pertamina Energy Trading Ltd (Petral)
sebenarnya mencuat karena di perusahaan itu pernah ada 25% saham Tommy Soeharto dan
25% saham Bob Hasan, pemilik Grup Nusamba. Kita tahu, Bob Hasan adalah pengusaha
yang dikenal dekat dengan mendiang Soeharto.
Dulu berita mengenai kepemilikan mereka sempat membuat heboh dan menggoyahkan
kekuasaan Soeharto. Kini saham keduanya sudah tak ada lagi di Petral. Meski begitu, stigma
KKN atau mafia migas yang ada di Petral masih sulit ditepis sampai sekarang.
Business model KKN ini bahkan harus diakui pernah diuji oleh para penguasa selanjutnya,
juga melalui Petral. Wajar kalau penguasa selalu dicurigai. Maklum mafia migas selalu
mencari celah lewat keluarga penguasa yang masih belum cukup bahagia.
Namun, sebelum membahas lebih jauh soal kuatnya dugaan KKN dan praktik mafia migas di
Petral, saya ajak Anda untuk memahami terlebih dahulu apa itu oil trading. Bagi saya,
definisinya sederhana saja, jual beli minyak baik itu minyak mentah (crude) atau hasil
olahannya. Umumnya perdagangan ini dalam satuan kargo.
Eksportir dan Importir
Kalau kita mau kelompokkan, perdagangan minyak dilakukan sesuai dengan tujuannya. Saya
membagi itu dalam empat jenis perdagangan minyak.
Optimalisasi Pasokan. Jarang sekali (mungkin juga tidak ada) suatu negara yang produksi
minyaknya sesuai dengan kebutuhan dalam negerinya. Ada saja negara yang mengalami
kelebihan untuk jenis produk minyak tertentu, tapi mengalami kekurangan untuk jenis produk
yang lainnya.
Maka itu, tak heran jika ada suatu negara yang menjadi eksportir minyak jenis tertentu, di sisi
lain juga tetap mengimpor minyak jenis yang lain. Contohnya Korea Selatan. Negara itu
mengekspor minyak hasil kilang sebanyak 700.000 barel per hari (bph), namun juga
mengimpor produk minyak lainnya dengan volume 600.000 bph. Kita mengenal Iran sebagai

negara eksportir utama minyak mentah dan hasil olahannya. Namun, tak banyak dari kita
yang tahu bahwa Iran tetap mengimpor gasoline.
Di Australia produksi minyaknya selalu melebihi permintaannya. Meski begitu, selama
bertahun-tahun Negeri Kanguru itu mengekspor dan sekaligus mengimpor
gasoline. Mengapa? Sebab banyak kilang minyak Australia berada di belahan timur dan
selatan dari negara itu. Maka itu, bagi mereka yang berada di kawasan utara atau barat laut
Australia, lebih murah mengimpor gasoline dari Singapura ketimbang mendatangkannya dari
kilang-kilang yang ada di kawasan timur dan selatan Australia.
Ketidakseimbangan pasokan dan permintaan juga bisa terjadi karena faktor musim.
Permintaan bahan bakar di Kanada dan Amerika Serikat (AS) meningkat saat memasuki
musim dingin dan menurun pada musim panas. Kondisi ini sudah berlangsung sejak lama.
Meski kilang-kilang di AS mencoba menyesuaikan produksinya dengan faktor musim, tetap
saja pasokannya tak mampu memenuhi permintaannya. Ini karena fleksibilitas kilang sangat
terbatas. Maka itu, kekurangan atau kelebihan pasokan akan tetap terjadi pada saat-saat
tertentu.
Perdagangan minyak juga terjadi karena perbedaan kualitas. Misalnya, Indonesia dan
Malaysia mengekspor minyak mentah yang berkualitas baik dan sebagai gantinya mengimpor
minyak mentah yang kualitasnya kurang baik.
Ini dilakukan selain untuk memperoleh keuntungan dari selisih harga ekspor-impor, juga
karena desain kilangnya tak mampu mengolah minyak mentah berkualitas baik. Misalnya,
kilang Pertamina di Cilacap dari awal didesain untuk mengolah minyak mentah jenis sour
(masam) yang diimpor khusus dari Arab Saudi.
Terlalu Curiga
Jenis-jenis trading seperti di atas baik untuk mengamankan pasokan, meminimalkan biaya
transportasi, atau faktor musim kita sebut dengan istilah optimalisasi pasokan.
Agregasi Permintaan. Sebagian Anda mungkin pernah mendengar istilah trading house,
khususnya dari Jepang, yang berperan penting di belahan timur Terusan Suez. Fungsi utama
trading house ini sebagai agregator permintaan (demand aggregators).
Banyak perusahaan membutuhkan minyak, tapi volumenya terlalu sedikit. Itu menyebabkan
posisi perusahaan itu lemah saat bernegosiasi. Selain itu, biaya transportasi dan overhead per
transaksi pun menjadi lebih mahal. Peran trading house adalah mengumpulkan pembelian
yang kecil-kecil tadi. Setelah terkumpul baru trading house membeli ke pasar. Dari situ
pembelian tadi dikemas ulang sesuai dengan pesanan. Atas jasanya, trading house
memperoleh komisi.

Umumnya perusahaan minyak seperti Pertamina tidak melakukan praktik ini meski beberapa
di antaranya memiliki saham di perusahaan trading house. Banyak perusahaan minyak
membeli dari para agregator permintaan, terutama karena harga yang mereka tawarkan
seringkali lebih baik.
Lindung Nilai. Nah, usaha perdagangan minyak belakangan erat kaitannya dengan hedging
yang terjadi karena perdagangan kontrak, baik kontrak over the counter (OTC) atau di bursa
berjangka. Jadi yang ditransaksikan adalah dokumen kontrak perdagangan minyak, bukan
minyaknya.
Contoh, harga minyak saat ini USD80 per barel. Namun, para produsen dan pembeli khawatir
dalam dua bulan ke depan harga minyak akan turun atau naik. Maka itu, mereka pun mencari
pembeli yang mau menandatangani kontrak pembelian minyak mentah dalam dua bulan ke
depan pada harga USD80 per barel.
Pembelian dan penjualan kontrak untuk pengiriman beberapa bulan ke depan terjadi di pasar
berjangka. Namun, volume perdagangan model ini sangat kecil dibanding perdagangan
minyak yang sebenarnya. Perdagangan seperti ini hanya menjadi semacam asuransi
terhadap fluktuasi harga yang bisa menyebabkan kerugian besar.
Bagi para produsen minyak, hedging memang tidak dirancang untuk menghasilkan
keuntungan meski kadang bisa menguntungkan. Hedging lebih untuk melindungi terhadap
risiko. Ini kontrak untuk memastikan harga minyak pada masa mendatang. Jika pembeli
dokumen tidak memiliki transaksi minyak yang riil sebagai jaminan, itu bukan melakukan
lindung nilai, melainkan berjudi.
Spekulasi. Banyak ahli berdebat tentang manfaat spekulan. Dalam hal tertentu, para spekulan
ini berperan meningkatkan likuiditas pasar, tapi seiring dengan itu juga meningkatkan
volatilitas dan ketidakstabilan. Dalam kasus apa pun, menurut saya, spekulasi tidak tepat
dilakukan oleh perusahaan minyak. Baik itu International Oil Company (IOC), seperti Exxon
Mobil atau Shell, atau National Oil Company (NOC) seperti Pertamina atau Petronas.
Begitulah jenis-jenis perdagangan minyak dunia, termasuk yang harusnya dilakukan Petral.
Ini aktivitas perdagangan yang biasa saja, bukan kegiatan yang harus selalu dicurigai. Bagi
saya, beberapa jenis perdagangan bahkan sangat bermanfaat, namun beberapa lainnya
memang harus terus kita kaji secara kritis. Hanya, kita juga jangan bersikap terlalu skeptis.
Membaca Petral membutuhkan ilmu dan tak sesederhana omongan di depan kamera televisi.

RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

Pemberantasan Praktik Mafia Migas


Koran SINDO

27 November 2014

Komitmen pemerintahan Jokowi dalam pemberantasan mafia migas patut diapresiasi. Gurita
mafia migas yang ditengarai sudah mengharu-birukan industri migas telah merugikan negara,
yang diperkirakan mencapai hingga ribuan triliun rupiah dalam 10 tahun terakhir
ini. Hebatnya, sepak terjang mafia migas yang sistemik hampir tidak tersentuh sehingga dapat
bebas bergentayangan di semua lini industri migas di Indonesia.
Hanya beberapa hari setelah dilantik sebagai presiden Republik Indonesia, Jokowi sudah
mengambil keputusan strategis untuk membeli minyak secara langsung dari perusahaan
minyak nasional Angola, Sonangol EP. Pembelian minyak langsung dari Angola diperkirakan
dapat menghemat pengeluaran negara sebesar USD2,5 juta atau sekitar Rp30 miliar per hari.
Selain untuk mendapatkan harga lebih murah, pembelian minyak secara langsung juga untuk
memotong rantai Pertamina Energy Trading Limited (Petral) yang selama ini mengimpor
kebutuhan minyak Indonesia dengan harga yang lebih mahal.
Penunjukan Amien Sunaryadi, mantan wakil ketua KPK periode 2003-2007, sebagai kepala
Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)
merupakan upaya pemerintahan Jokowi untuk membabat mafia migas langsung di
sarangnya.
Demikian juga dengan pembentukan Tim Anti-Mafia Migas yang dipimpin Faisal Basri,
ekonom Universitas Indonesia yang dikenal berintegritas, semakin menunjukkan bahwa
Jokowi memang benar-benar serius dalam pemberantasan praktik mafia migas di bumi
Indonesia.
Indikasi Praktik Mafia Migas
Memang tidak mudah memberantas mafia migas di Indonesia. Selain sudah bercokol terlalu
lama, sepak terjang mafia migas juga sangat sistemik dan sulit dikenali, yang geraknya tanpa
bentuk. Kendati tanpa bentuk, ada beberapa anomali di seputar industri migas sesungguhnya
mengindikasikan bahwa praktik mafia migas memang benar ada.
Penyelundupan BBM bersubsidi, yang dipicu ada disparitas antara harga BBM bersubsidi dan
harga BBM di luar negeri, merupakan bentuk telanjang ulah mafia migas yang merugikan
negara triliunan rupiah. Lebih mahalnya harga minyak yang diimpor Petral ketimbang harga
impor langsung mengisyaratkan ada mafia migas di Petral yang berburu rente. Tidak kunjung
dibangunnya kilang minyak di dalam negeri, yang menyebabkan Indonesia semakin

bergantung pada impor minyak, ditengarai sebagai ulah mafia migas yang ingin meraih
keuntungan berlipat dari impor minyak.
Penangkapan mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini semakin memperkuat dugaan ada
permainan mafia migas di balik penjualan migas jatah pemerintah. Rudi Rubiandini
ditangkap tangan atas tuduhan menerima suap dari PT Kernel Oil, perusahaan oil trading
yang bermarkas di Singapura. Pemberian suap tersebut tentunya dimaksudkan sebagai uang
pelicin untuk pemenangan PT Kernel Oil dalam tender kontrak penjualan minyak Indonesia.
Permainan mafia migas sesungguhnya tidak hanya terjadi pada proses pemenangan tender
lelang oil trading, tetapi diduga terjadi juga pada setiap keputusan penetapan kontrak ladang
migas, baik kontrak ladang migas yang baru maupun perpanjangan kontrak ladang
migas. Keputusan penunjukan Exxon Mobil sebagai pengelola sekaligus operator Blok Cepu,
perpanjangan kontrak Blok Madura, dan rencana perpanjangan Blok Mahakam yang ketiga
kalinya diduga tidak terlepas dari campur tangan mafia migas.
Upaya Pemberantasan
Kendati muncul keanehan dan kejanggalan serta anomali dalam setiap keputusan kontrak
pengelolaan ladang migas, bukanlah pekerjaan mudah untuk membuktikan ada praktik mafia
migas lantaran praktik mafia berada di ruang gelap.
Namun, dengan tekad yang kuat dan upaya yang sistemik, pemberantasan mafia migas
bukanlah hal yang mustahil. Pembentukan Tim Anti-Mafia Migas salah satu untuk mengurai
keberadaan mafia migas yang semula gelap gulita menjadi terang benderang. Dalam
pemberantasan praktik mafia migas, Tim Anti-Mafia Migas harus melakukan upaya sistemik
dan berkelanjutan serta didukung berbagai pihak.
Upaya itu diawali dengan pemetaan proses bisnis industri migas dari hulu hingga hilir.
Pemetaan tersebut untuk menemukan potensi pemburuan rente yang menjadi incaran mafia
migas dalam setiap rantai jaringan industri migas. Berdasarkan hasil pemetaan tersebut, tata
kelola migas perlu ditata ulang, baik proses bisnisnya dan proses perizinan maupun lembaga
yang terlibat dalam proses bisnis migas.
SKK Migas, yang selama ini mempunyai kewenangan sangat besar, harus direstrukturisasi.
Kewenangan SKK Migas sebagai regulator dan pengawas harus dipisahkan dengan
kewenangannya sebagai pelaku bisnis. Demikian juga Pertamina dan Petral merupakan
institusi yang harus diprioritaskan untuk dievaluasi dan dibenahi guna menjauhkan dari mafia
migas pemburu rente dan penyelundup BBM bersubsidi.
Tim Anti-Mafia Migas tidak bisa bekerja sendirian dalam melakukan pemberantasan mafia
migas. Tim harus bekerja sama secara sinergis dan koordinatif dengan lembaga lain di
antaranya bekerja sama dengan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan

Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan aparat penegak hukum lain.
Dukungan dari segenap komponen bangsa dan organisasi masyarakat terhadap Tim AntiMafia Migas sangat dibutuhkan untuk memperkuat dan memperkokoh upaya pemberantasan
praktik mafia migas. Tanpa ada upaya sistemik, sinergis dan koordinatif, serta dukungan
masyarakat, jangan harap Tim Anti-Mafia Migas dapat berhasil dalam melakukan
pemberantasan mafia migas di negeri ini.

DR FAHMY RADHI MBA


Anggota Tim Anti-Mafia Migas

Kontroversi Subsidi BBM dan Energi


Terbarukan
Koran SINDO

29 November 2014

Selasa (18/11), pemerintahan Jokowi-JK menaikkan harga BBM. Hal ini menyebabkan prokontra dalam masyarakat.
Di ujung kekuasaannya Presiden SBY mencantumkan subsidi BBM di RAPBN 2015 sebesar
Rp363,5 triliun. Angka inilah yang dilansir membahayakan APBN, bahkan bisa menyandera
pemerintahan Jokowi-JK.
Namun, ketika Jokowi menyatakan siap menaikkan harga BBM, sejumlah politikus PDIP
sebagai partai pendukung pemerintah malah meminta Jokowi tidak memaksakan rencana
tersebut. Mereka mengingatkan Jokowi agar kembali ke Buku Putih PDIP bahwa masalah
BBM adalah masalah wong cilik. Sebagai partai yang mengklaim diri sebagai partai wong
cilik, PDIP yang selama 10 tahun menjadi oposisi memilih sikap kenaikan harga BBM hanya
akan semakin menyengsarakan wong cilik. Betapa tidak? Ongkos produksi dan biaya
transportasi, misalnya, dipastikan meningkat. Begitu pula harga-harga bahan pokok,
sementara penghasilan rakyat tidak ikut meningkat.
Pihak yang menentang, termasuk beberapa pentolan PDIP, mensinyalir para penganut
mazhab ekonomi (neo)liberal telah menggiring opini yang tidak tepat, bahwa subsidi BBM
hanya dinikmati oleh orang kaya. Jokowi--terutama Wapres Jusuf Kalla yang dianggap
sangat bernafsu menaikkan harga BBM---jangan tergesa-gesa mengambil kebijakan
menaikkan harga BBM bersubsidi, karena masih banyak cara yang patut dicoba untuk
menghindari pengurangan subsidi yang akan menyebabkan harga BBM naik. Misalnya
melakukan subsidi silang, menaikkan cukai rokok, minuman bersoda dan beralkohol, sambil
menekan perjalanan dinas di semua kementerian dan lembaga, atau bahkan menjual pesawat
kepresidenan (Ivan Hadar, Prisma, 9/10/2014).
Rizal Ramli, Menteri Perekonomian era Gus Dur, menyampaikan selamat kepada Presiden
Jokowi atas keputusannya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) justru ketika harga
minyak mentah dunia cenderung turun. Harga minyak mentah dunia, dalam beberapa bulan
terakhir terus turun. Di bursa New York Marcantile Exchange (NYMEX), harga minyak hari
ini (17/11) diperdagangkan pada kisaran US$74,98/barel.
Menurut Rizal, dalam soal BBM pemerintah kita, dari rezim ke rezim, selalu saja sibuk
dengan urusan hilir, yaitu harga. Begitu ada tekanan terhadap APBN, langkah yang diambil

10

selalu menaikkan harga BBM. Ini langkah pemerintah yang malas dan tidak kreatif.
Akibatnya rakyat yang selalu menjadi korban. Survei terakhir dari Lingkar Survei Indonesia
(LSI) juga mengindikasikan mayoritas (73%) rakyat tidak setuju kenaikan harga BBM.
Suara-suara yang terdengar kencang mendukung rencana kenaikan BBM berasal dari
kalangan pengusaha. Meski demikian, kecenderungan prioritas menyangkut alokasi
pengalihan subsidi sangat berbeda. Bagi Jokowi, subsidi BBM terutama untuk mewujudkan
berbagai program pengamanan sosial seperti program kartu sehat, pintar, dan kartu sejahtera.
Sedangkan pengusaha berharap subsidi BBM ditujukan untuk infrastruktur yang saat ini
masih buruk.
Alasan para pengusaha terkesan cukup logis, infrastruktur yang baik tentu bisa mendorong
kelancaran perekonomian dan meningkatkan efisiensi. Di sisi lain, buruknya infrastruktur
juga tidak terlepas dari sumber kebocoran anggaran akibat kolusi para pengusaha dengan para
pejabat, terutama di daerah. Angka kebocoran setidaknya 35%, telah menjadi rahasia
umum. Wajar jika kemudian ada kecurigaan, dorongan para pengusaha untuk menaikkan
harga BBM hanya untuk mengejar rente dari semakin besarnya anggaran infrastruktur.
Namun, semua perdebatan yang bersifat jangka pendek ini diharapkan tidak menyampingkan
hal yang selama ini terlupakan, yaitu memanfaatkan potensi alam Indonesia terkait energi
terbarukan, hal yang sebenarnya mendesak setelah terjadi perubahan status kita sebagai salah
satu pengekspor minyak terbesar menjadi negara pengimpor.
Energi Terbarukan
Kebijakan energi nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5/2006
menempatkan penggunaan energi baru dan energi terbarukan pada prioritas keempat setelah
batu bara, gas, dan BBM. Energi baru yang dimaksud adalah energi yang dihasilkan
teknologi baru, termasuk nuklir.
Adapun energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan sumber daya energi yang
secara alamiah tidak akan habis seperti aliran sungai di Desa Batang Uru, Mamasa; panas
bumi; biofuel; panas surya; angin; biomassa; biogas; ombak laut; dan suhu kedalaman laut.
Saat ini energi sinar matahari yang dipancarkan ke planet bumi, misalnya, 15.000 kali lebih
besar dibandingkan penggunaan energi global dan 100 kali dibandingkan cadangan batu bara,
gas, dan minyak bumi. Sementara teknologi mutakhir telah mampu mengubah 10 hingga 20%
pancaran sinar matahari tersebut menjadi energi.
Secara teoretis, untuk mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan tersebut
hanya memerlukan kurang dari 1% permukaan bumi. Sebuah besaran yang jauh lebih kecil
dibandingkan lahan yang dibutuhkan bendungan pembangkit tenaga listrik.

11

Sayangnya, meski Indonesia memiliki energi matahari berlimpah ruah berikut seabrek
kelebihannya, toh pemanfaatannya saat ini masih sangat minim. Ironisnya, negara-negara di
belahan utara yang relatif miskin matahari lebih banyak memanfaatkan sumber energi
terbarui, ramah lingkungan, dan aman ini, dibandingkan kita di kawasan tropis.
Kelebihan energi matahari yang sering diungkapkan adalah pembakarannya tidak
menghasilkan CO2, SO2 dan gas racun lainnya. Dua pembangkit energi dari sinar matahari,
yaitu solar thermal dan photogalvanic, tidak membutuhkan areal yang luas bagi
peralatannya. Prinsipnya pun sederhana. Sinar matahari diperkuat oleh cermin yang
mengalihkannya ke alat penyerap berisi cairan. Cairan ini memanas dan menghasilkan uap
yang membangkitkan generator turbo pembangkit tenaga listrik.
Di California, AS, alat ini telah mampu menghasilkan 354 megawatt listrik. Dengan
memproduksinya secara massal, harga satuan energi matahari ini di AS sekitar Rp100 per
kwh, lebih murah dibandingkan energi nuklir dan sama dengan energi dari tenaga
pembangkit dengan bahan baku energi fosil.
Sementara itu, pengembangan pembangkit listrik photogalvanic berkembang cepat sejak dua
dasawarsa terakhir. Harga peralatannya merosot tajam berkat keberhasilan teknologi, padahal
kebijakan energi nasional maupun internasional sama sekali tidak mendukung. Subsidi besarbesaran hanyalah untuk pembangkit tenaga listrik dengan sumber energi fosil dan nuklir.
Energi photo electric pertama kali diungkapkan Edmond Bacquerel pada 1839.
Penggunaannya yang terbaru menggunakan sel-sel photogalvanic. Akibat sengatan sinar
matahari, sel-sel tersebut melepaskan elektron yang dipaksa berputar dengan dampak
terjadinya aliran listrik. Sel-sel tersebut dikemas dan dijual dalam bentuk modul yang dapat
digunakan pada teknologi tegangan tinggi.
Awal 70-an, harga per modul masih sangat mahal, yaitu USD300.000. Kini, harganya sekitar
USD5.000. Masih relatif mahal memang, tapi melihat pesatnya perkembangan pasar,
harganya akan terus menukik turun. Salah satu pasar potensial adalah mobil bertenaga listrik
yang diramal bakal menjadi mobil massal di abad mendatang.
Kemauan Politik
Menilik berbagai kelebihan energi terbarui, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah cara
menunjang pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga sinkron dengan
kebijakan energi nasional. Pertama, harus ada diversifikasi penelitian dan pengembangan.
Dana penelitian energi ramah lingkungan ini, sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut.
Di negara-negara industri, hanya sekitar 5% dana penelitian yang diperuntukkan bagi sektor
energi. Darinya, sebagian besar untuk jenis energi fosil. Di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, hal tersebut lebih memprihatinkan.

12

Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini, biaya produksi energi terbarukan ini bisa
bersaing dengan harga energi fosil.
Namun, tentu saja, untuk memproduksi energi matahari dengan solar thermal technic dan
PV technic dalam kategori massal, diperlukan kemauan politik. Ketika Indonesia masih
menjadi produsen dan eksportir minyak dan di dalam negeri harga jualnya masih sepenuhnya
disubsidi, mungkin terkesan tidak realistis untuk mendudukkan energi terbarui pada posisi
penting. Kini keadaan sudah sangat mendesak untuk berpikir dan bertindak
mengantisipasinya. Semoga!

IVAN A HADAR
Pengamat Masalah Ekonomi Politik, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
(IDE)

13

Indonesia Go Global
Koran SINDO

1 Desember 2014

Setelah menunjukkan tren positif ekonomi domestik sepanjang 1990-an, pada 1999
Pemerintah China mengambil langkah strategis yang kemudian menandakan ekspansi masif
perusahaan China ke pasar internasional.
Melalui kebijakan yang disebut sebagai Go Out Policy, pemerintah negara itu meluncurkan
beberapa skema insentif membantu perusahaan nasional mereka, utamanya BUMN, dalam
memanfaatkan semakin terbukanya pasar regional dan global. Upaya sistematis dan
kelembagaan membuat banyak perusahaan China yang tadinya hanya pemain lokal menjelma
menjadi perusahaan multinasional, terus tumbuh dan membanggakan (flag flyer) bahkan
banyak yang masuk dalam 500 Fortune.
Sejumlah insentif dan kebijakan diluncurkan Pemerintah China pada saat itu ditujukan untuk
meningkatkan investasi perusahaan dalam bentuk foreign-direct-investment (FDI),
diversifikasi produk dan pasar perusahaan China di luar negeri, meningkatkan kualitas
produk berstandar internasional, dan memperluas aksesibilitas pembiayaan (financing) di
pasar internasional. Kemudian mempromosikan perusahaan (Chinese Companies) serta
Chinese Brand utamanya di Eropa dan Amerika Serikat.
Kombinasi antara upaya sistematis dan kelembagaan pemerintah dengan peningkatan
kompetensi dan produktivitas perusahaan membuat perusahaan, produk, dan merek dari
China tidak hanya merajai pasar domestik, tetapi juga disegani di pasar global.
Sejumlah perusahaan asal China bahkan telah melakukan proses akuisisi yang
menggemparkan pasar dunia. Misalnya pada Juni 2009 Sichuan Tengzhong Heavy Industrial
Machinery Company mengajukan proposal membeli merek mobil terkenal produksi General
Motor yaitu Hummer. Meski kesepakatan pembelian akhirnya tidak terealisasi, langkah
tersebut menyadarkan kekuatan finansial, SDM, teknologi, dan administrasi perusahaan
China.
Pada Mei 2005 Lenovo membeli divisi personal komputer IBM. Selain itu, Geely
Automobile juga membeli Volvo dari Ford pada 2010 dengan nilai USD1,8 miliar.
Selanjutnya, perusahaan-perusahaan China lain seperti Sinopec, China Mobile Limited,
Chinalco, CNOOC, Alibaba, Huawei, and Bank of China Limited secara lebih progresif
melakukan ekspansi ke luar negeri (Asia, Afrika, Eropa, Amerika Serikat, dan Amerika
Latin) baik melalui strategi ekspansi organik maupun merger-akuisisi.
Melihat pengalaman China dalam menerapkan Go Out Policy, Indonesia memiliki peluang

14

dan kesempatan yang sama untuk menerapkan itu. Terlebih, berkembangnya daya beli dan
pasar domestik pascareformasi telah membantu recovery baik BUMN maupun swasta
nasional akibat krisis ekonomi 1998. Selain itu, menjelang pemberlakuan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada Desember 2015, pelaku ekonomi nasional dituntut semakin
kompetitif.
Strategi dan kebijakan nasional perlu diarahkan tidak hanya memproteksi pasar domestik dari
serbuan perusahaan asing dari negara-negara ASEAN, tetapi juga BUMN dan swasta
nasional kita perlu memanfaatkan pasar yang terbuka di negara-negara ASEAN. Strategi dan
kebijakan Go Out bagi perusahaan nasional bukan berarti diartikan meninggalkan pasar
domestik. Justru dengan memperluas ekspansi operasi di pasar ASEAN secara otomatis
meningkatkan kemampuan produksi, teknologi, kompetensi, dan kapabilitas kita.
Memang tidak semua perusahaan telah memiliki kemampuan beroperasi di pasar luar negeri.
Karena itulah, peran pemerintah dibutuhkan untuk memfasilitasi peningkatan akses,
informasi, dan insentif kepada perusahaan nasional.
Kerja sama pemerintah dengan asosiasi dan industri seperti Kadin, Apindo, Hippi, dan Hipmi
perlu diintensifkan untuk mendorong dan membantu mereka yang telah siap berekspansi di
pasar ASEAN. Sekaligus juga membantu dan meningkatkan kompetensi dari eksportir
menjadi pemilik pabrik dan unit produksi di sejumlah negara ASEAN.
Meski beberapa BUMN dan perusahaan swasta nasional telah beroperasi di kawasan
ASEAN, langkah sistematis dan terpadu untuk meningkatkannya perlu segera kita
lakukan. Misalnya Semen Indonesia mengakuisisi pabrik semen Vietnam Thang Long
Cement pada 2012 dan dalam waktu dekat juga berencana mengakuisisi pabrik semen
Bangladesh. Selain itu juga pada 2006, Wijaya Karya membuka kantor cabang di Kamboja
untuk memanfaatkan peluang proyek pembangunan irigasi, bendungan, bangunan gedung,
dan pembangunan jalan tol di negara tersebut.
Meski masih terbatas, bank BUMN kita seperti Bank Mandiri dan BNI telah memiliki kantor
cabang di sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, Brunei, dan Timor Leste. Selain itu,
sejumlah perusahaan swasta nasional seperti Lippo Group, Ciputra, Mustika Ratu, Sinar Mas
Land, dan Indofood pun telah hadir dan beroperasi di sejumlah negara ASEAN.
Saat ini Indonesia membutuhkan kebijakan nasional yang mengakselerasi ekspansi BUMN
dan swasta nasional di negara ASEAN. Peluang dan potensi pasar di negara ASEAN seperti
Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Timor Leste, dan Laos perlu
dimanfaatkan oleh BUMN dan swasta nasional.
Selain memanfaatkan pasar ASEAN melalui kegiatan eksportasi, investasi BUMN dan
swasta nasional di negara ASEAN juga dapat menjadi strategi internasionalisasi yang
mendekatkan sumber daya dan pasar. Ini juga dilakukan oleh Pemerintah China dalam

15

mengembangkan Go Out Policy yang mendorong perusahaan-perusahaan negara itu mencari


sumber-sumber pertumbuhan baru di luar China.
Untuk dapat melakukan ini, ada baiknya pemerintah membentuk lembaga khusus baik di
bawah Kantor Menko Perekonomian atau Kantor Menteri Perdagangan yang fokus
mendorong dan memfasilitasi ekspansi perusahaan Indonesia ke ASEAN. Salah satunya
membentuk semacam Komite Indonesia Meng-Global demi memberikan pandangan dan
masukan terkait kebijakan yang dibutuhkan pelaku usaha nasional menjadi perusahaan
multinasional. Dengan begitu, perusahaan, produk, dan merek nasional tidak hanya dikenal
dan menjadi tuan di rumah sendiri, tetapi juga dapat menjadi brand-ambassador di pasar
global.
Melalui ekspansi massif baik perluasan pasar, unit produksi, kompetensi, dan kualitas output
berstandar internasional, kita juga berharap akan lebih banyak lagi perusahaan nasional yang
masuk dalam 500 Fortune.

PROF FIRMANZAH PhD


Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

16

Geopolitik Baru
Koran SINDO

3 Desember 2014

Banyak pihak yang terheran-heran ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry
datang dalam acara pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Oktober 2014.
Kedatangan John Kerry memang tidak biasa karena pada saat pelantikan kedua Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), AS hanya mengirimkan perwakilan setingkat duta besar.
Sebagian pihak menginterpretasikan kedatangan itu sebagai bentuk penghargaan dari AS
kepada Indonesia demi menjaga kemitraan strategis di Asia Tenggara. Pihak lain
menganggapnya sebagai bukti bahwa Presiden Jokowi didukung oleh kapitalis Amerika dan
Eropa.
John Kerry sendiri memang berusaha menunjukkan bahwa Indonesia adalah mitra penting
bagi Amerika, tetapi dia juga membawa misi lain. Dia berupaya meyakinkan sejumlah
negara, antara lain Australia dan Indonesia, untuk tidak mendukung deklarasi pembentukan
Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB, Asian Infrastructure Investment Bank) yang
dipelopori China.
Alasan AS karena bank tersebut akan menjadi pesaing World Bank dan Asian Development
Bank (ADB), padahal sahamnya didominasi China (67,1%), lalu India (13,3%). AS
menyatakan bank tersebut gagal memenuhi standar lingkungan, procurement, dan
perlindungan pembangunan (baik bagi manusianya maupun buruh) yang selama ini
dilaksanakan World Bank dan ADB.
Upaya itu gagal karena Minggu lalu, 27 November, Menteri Keuangan Republik Indonesia
resmi menandatangani MoU pendirian AIIB, menjadi negara ke-22 yang sepakat menjadi
pendiri AIIB. Sampai saat ini negara yang sudah setuju mendukung AIIB adalah Bangladesh,
Brunei Darussalam, Kamboja, China, India, Indonesia, Kazakhstan, Kuwait, Laos, Malaysia,
Mongolia, Myanmar, Nepal, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Singapura, Sri Lanka, Thailand,
Uzbekistan, dan Vietnam.
Seluruh anggota ASEAN masuk di situ. Yang belum memutuskan adalah Australia, padahal
China menawarkan posisi penting bagi Australia jika mau bergabung.
Di sini kita perlu menyadari bahwa tatanan geopolitik memang telah demikian berubah
sehingga mekanisme pendanaan program-program pemerintah pun tidak lagi didominasi
lembaga-lembaga keuangan internasional yang dananya bersumber dari AS atau Jepang.
Pasar investasi yang biasanya dipengaruhi kubu Barat kini beralih ke Asia. Hal ini

17

menggentarkan AS karena awalnya mereka berharap Asia masih bisa menjadi tulang
punggung pemulihan ekonomi mereka dan kini justru yang muncul adalah persaingan baru.
Terlepas dari wacana antara elite AS dan China yang berusaha menetralisasi perspektif
persaingan antarkeduanya, kenyataannya China makin memantapkan langkah menentukan
aturan main baru di dunia. Masih banyak pihak di AS yang menyanggah kenyataan ini, tetapi
bulan Oktober 2014 IMF menyatakan daya beli masyarakat China telah melampaui daya beli
masyarakat di AS. Daya beli China mencapai 16,48% dari daya beli global, sementara AS
hanya 16,28%.
Apa artinya bagi Indonesia? Pertama, Indonesia perlu lebih jeli melihat implikasi dari tiap
kerangka kerja sama yang ditandatanganinya. Dengan menguatnya perekonomian dan
inisiatif dari suatu negara, aturan main dalam pergaulan internasional berubah pula.
Multilateralisme yang biasanya berbasis pemenuhan prinsip demokrasi, pembangunan
inklusif, dan perlindungan lingkungan hidup kini berkembang ke arah pembentukan dan
perluasan jalur-jalur perdagangan.
APEC kemungkinan besar akan menjadi rujukan penting untuk formulasi inisiatif kerja sama
ekonomi regional walaupun implementasinya sangat bergantung pada daya persuasi negara
pengusung Trans-Pacific Partnership dan Regional Comprehensive Economic Partnership.
Perlu dicek: apakah investasi kita (dana, perhatian, sumber daya manusia, diplomasi)
menghasilkan jalur perdagangan dan konektivitas yang menguntungkan? Apakah
keuntungannya otomatis atau rumit untuk diimplementasikan?
Kementerian terkait berkepentingan untuk menghitungnya dengan cermat supaya kita tidak
sekadar ikut-ikutan, tetapi bisa ikut menentukan arah angin bertiup. Semoga petugas lebih
tekun menyusuri data-data riil di lapangan sebelum mengambil tiap keputusan di tingkat elite.
Kedua, publik di Indonesia sudah tidak bisa lagi sekadar antipati terhadap perdagangan bebas
karena sudah segudang kerja sama yang ditandatangani Indonesia, baik sendiri maupun
sebagai negara anggota ASEAN, yang arahnya membuka pintu lebih lebar bagi perdagangan
nirtarif.
Problemnya adalah sikap antipati Indonesia tidak membuahkan penguatan industri di dalam
negeri atau fasilitasi peningkatan nilai tambah sektor industri dan produk pertanian yang
menjadi andalan ekspor. Masih saja para produsen harus berjuang sendiri menembus pasar
asing, padahal produsen asing justru difasilitasi untuk masuk ke pasar Indonesia.
Selain itu, sektor yang paling produktif, yakni di sektor finansial, justru para pekerjanya tidak
punya jaminan kerja karena sejumlah lini pekerjaan mereka dianggap pantas disubkontrakkan
sehingga luput dijamin secara layak dari segi upah, masa kerja maupun tunjangan.

18

Ketiga, baik China maupun AS kini sama-sama tertarik untuk mengelola sumber daya energi,
tanah, tambang, dan laut di Indonesia. China menggunakan pengusaha-pengusaha swasta dan
universitasnya untuk mengembangkan inisiatif kerja sama dengan Indonesia, sementara AS
masuk dari lembaga-lembaga donor yang kini trennya juga semakin multilateral (sebagai
konsorsium donor) dan ragam inisiatif kemitraan swasta.
Mereka sama-sama masuk ke jantung pertahanan Indonesia, sampai ke level pengusaha,
masyarakat sipil, bahkan tentara dan polisi. Dengan kata lain, ruang politik dan ekonomi di
dunia ini semakin lama semakin sesak oleh banyaknya kepentingan baik dari negara-negara
Barat maupun Timur, Utara dan Selatan.
Prinsip Presiden Jokowi yang berbunyi bekerja samalah dengan pihak yang mendukung
kepentingan Indonesia perlu dilengkapi dengan pandangan dari segala sudut dan segala
macam akumulasi perhitungan yang detail dan tidak terburu-buru. Definisi kepentingan
Indonesia harus betul-betul dikomunikasikan oleh semua pihak tidak hanya kepada birokrat,
tetapi juga masyarakat sipil lain seperti pengusaha, pekerja, akademisi, dan partai politik.
Sebaik apa pun rencana pemerintah apabila tidak mendapatkan legitimasi dari rakyat di
dalam negeri akan menjadi bumerang di masa depan.
Segala perubahan di atas hendaknya tidak membuat Indonesia gentar atau gamang. Justru
desakan macam itu semoga membuat Indonesia lebih cepat merespons kebutuhan yang ada
dengan lebih strategis dan taktis.

DINNA WISNU, PhD


Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu

19

Petral: Riwayatmu Dulu (2)


Koran SINDO

4 Desember 2014
Saya senang ketika kolega saya, Faisal Basri, dipercaya untuk memimpin Tim Reformasi
Tata Kelola Migas oleh Kementerian ESDM. Kita tentu paham integritasnya. Di samping
Faisal juga ada Dr Rofikoh Rokhim, lulusan Prancis yang tajam membaca dan tidak bias.
Sejak dulu keduanya sangat gemas dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan
rent seeking yang merusak moral dan daya saing bangsa. Belakangan praktik ini kental
diduga publik terjadi di anak perusahaan Pertamina, Petral.
Saya berharap tim ini mampu menemukan evidence yang dapat dijadikan acuan untuk
memperbaiki keadaan. Jika terbukti praktik mafia migas di Petral sulit dikontrol dan dibasmi
dari sini, Petral memang sudah selayaknya dibubarkan. Sebaliknya, jika tidak, harusnya
Petral malah bisa ditingkatkan peranannya sebagai trading company yang unggul, yang
perannya bukan hanya sebagai pembeli BBM untuk keperluan induknya.
Petral bisa memperbaiki business model-nya dengan melakukan benchmarking pada global
trading companies lain yang lincah mengambil posisi dan memilih komoditas yang
menguntungkan. Bukan cuma migas, juga bukan semata-mata impor untuk Indonesia. Petral
bisa hidup dalam bisnis rempah-rempah, karet, aneka mineral, dan segala jenis hasil olahan
untuk energi terbarukan. Pembelinya bisa dari Korea, India, Mesir, Cili, atau China.
Sedangkan sumber pasokannya ada di mancanegara.
Mafia vs Mafia
Sejatinya kita sudah sejak lama mendengar isu mengenai mafia dan praktik KKN di bisnis
migas. Tetapi, pada era Ari Soemarno mafia-mafia itu mati kutu karena Ari konsisten
memimpin transformasi. Begitu menyentuh pelaku-pelaku yang lebih besar dengan
menerapkan konsep supply chain, ia pun digusur. Padahal di tangannya tahap awal proses
transformasi yang amat berisiko itu dimulai dan menunjukkan banyak harapan. Setelah itu
kita tak tahu persis apa yang terjadi.
Beberapa pengamat ekonomi dan pakar migas menyarankan agar Petral dibubarkan saja.
Tetapi, jangan lupa, pada era Ari Soemarno Petral telah dipagari dengan sistem yang
bagus. Sementara evidence yang bisa diungkapkan pada era selanjutnya tidak jelas betul.
Apalagi komentar juga banyak diberikan politisi yang kabarnya juga bolak-balik datang ke
Petral meminta fasilitas bisnis. Bukan apa-apa, sudah menjadi rahasia umum, mereka yang
paling keras mem-bully Pertamina atau mem-bully pemimpinnya justru dikenal sebagai calon

20

pemasok yang sulit masuk karena tidak lolos kualifikasi. Jadi ini mafia melawan mafia juga.
Benar-benar ruwet dan kusut.
Begitulah sampai sekarang yang tinggal adalah kecurigaan plus kecenderungan impor.
Volume diperbesar, selundupan jalan terus, tak ada yang berani memindahkan subsidi,
sampai muncul pemimpin baru karena kenaikan harga berarti volume impor turun dan
rente-nya ikut turun. Politik menjadi kumuh, daya saing bangsa tak optimal. Secara teoritis
semua itu bisa dirasakan, tapi tak ada yang serius mengumpulkan evidence-nya. Entah
memang itu hanya pikiran buruk kita atau sebuah permainan yang rapi.
KIPCO dan PTT
Minggu lalu saya sudah memaparkan lika-liku perdagangan minyak dunia. Sebenarnya,
selain Petral, Pertamina juga punya saham di KIPCO dan PTT. KIPCO atau Korean
Indonesia Petroleum Company adalah trading arm migas untuk melayani pasar Korea
Selatan. Perusahaan ini berkantor di Seoul, tetapi setahu saya juga memiliki perwakilan di
Jakarta.
Sementara PTT atau Pacific Petroleum Trading berperan melayani pasar Jepang. Dulu
bernama Far East Oil Trading Company dan sudah ada sejak 1965. Sebanyak 59% sahamnya
dimiliki Pertamina dan sisanya dipegang konsorsium beberapa perusahaan Jepang seperti
Toyota Motor Corp., JX Nippon Oil & Energy Corporation, Kashima Oil Co Ltd, Nippon
Steel Engineering, dan sebagainya. Selain di Jepang, PTT juga memiliki kantor perwakilan di
Jakarta.
Petral awalnya bukan ada di Singapura, melainkan di Hong Kong. Ia dibentuk sebagai joint
venture dengan sejumlah investor swasta dari California, AS pada 1965. Mengapa Hong
Kong? Jawabnya, karena waktu itu hanya Hong Kong yang menjadi pusat perdagangan
minyak kawasan Asia.
Perta Group berperan sebagai perusahaan yang memasarkan minyak mentah dan minyak
olahan asal Indonesia ke kawasan Pantai Barat Amerika Serikat. Bisnis seperti ini
memerlukan dukungan keuangan yang canggih serta supply chain yang advance. Karena
itulah, bisnis trading Perta Group baru mulai bergulir pada 1972. Saya dengar persiapannya
memang rumit. Ia butuh persiapan selama tiga tahun.
Baru pada 1979, Perta Group bisa mendirikan anak usaha yang menangani investasi dan nonmigas, Zambesi Investment Limited (ZIL). Tapi, pada 1981 investor asal AS memutuskan
untuk melepas seluruh sahamnya di Perta Group. Sejak itu 100% sahamnya dimiliki
Pertamina.
Pesatnya bisnis Perta Group ini membuat Keluarga Cendana tertarik untuk ikut memiliki.
Kala itu tak ada yang berani menentangnya dan sejak itulah praktik KKN melekat di Perta
Group.

21

Seiring waktu reputasi Hong Kong sebagai pusat perdagangan minyak di kawasan Asia pun
meredup. Sementara Singapura justru berhasil menjadikan negaranya pusat perdagangan
minyak mentah dan hasil olahannya di Asia. Selain membangun kilang besar-besaran,
Singapura juga menjadikan dirinya pusat keuangan dan perdagangan yang menjadi daya
dukung penting bisnis padat modal ini. Pelabuhan laut dalam, storage besar, badan riset yang
mampu menentukan harga, serta governance structure yang kuat membuat semua pialang
bertemu dan tinggal di sana.
Sementara di Indonesia, jangankan kilang dan storage, pada era 1980-an hingga awal 2000an pelabuhan yang bisa didatangi VLCC saja tak dikembangkan. Lalu pusat keuangannya
tidak dikembangkan dengan governance structure yang solid. Kita hanya sibuk bertengkar
dan berwacana. Semua eksekutif kita curigai. Alih-alih menangkap, mafianya malah bebas
berteman dengan para pengambil kebijakan dan masuk ke dunia politik.
Rezim Orde Baru tumbang pada 1998, bisnis-bisnis Keluarga Cendana pun ikut surut. Begitu
pula dengan kepemilikan saham Tommy Soeharto dan Bob Hasan diambil alih oleh
Pertamina.
Selain memasarkan minyak Indonesia, Pertamina juga menugaskan Petral impor BBM untuk
Indonesia walau jumlahnya saat itu masih sedikit. Ini karena produksi minyak mentah kita
sampai 1999 masih mencukupi kebutuhan kilang domestik. Pada Maret 2001 namanya
berubah menjadi Pertamina Energy Trading Ltd (Petral). Perusahaan ditugaskan menangani
penjualan dan pembelian minyak dan produk minyak di kawasan Asia, AS, dan sejumlah
negara di Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan kawasan lainnya.
Sampai 2011 Petral tercatat menangani volume perdagangan sebesar 266,42 juta barel, baik
untuk minyak mentah maupun produk BBM. Lewat bisnis itu, Petral membukukan
pendapatan USD31,4 miliar, profit margin-nya relatif lumayan, USD47,5 juta.
Pasar Spot
Untuk memahami seluk-beluk kecurigaan ada mafia, saya ingin mengajak Anda mengenali
dua cara impor minyak yakni sistem kontrak jangka panjang dan pembelian melalui pasar
spot.
Beberapa waktu lalu sekitar 75% pengadaan minyak Pertamina dilakukan melalui sistem
kontrak yang pengadaannya ditangani tiga anak usaha tadi. Nah, sisanya yang 25% diperoleh
Pertamina melalui pasar spot untuk pembelian satu atau beberapa kargo yang tentu saja kalau
dilakukan secara reaktif harganya lebih tinggi, perantaranya bisa masuk, dan butuh
pendanaan dari lembaga keuangan yang bunganya bisa dimainkan pihak tertentu yang
bekerja sama dengan oknum bank asing.
Pengadaan minyak dengan pola 75/25 (75% kontrak jangka panjang dan 25% pasar spot)
sesungguhnya biasa dilakukan negara-negara Asia. Jepang dan Korea Selatan misalnya

22

biasanya menerapkan pola 67/33. Belakangan pola ini mereka ubah guna mengurangi
ketergantungan terhadap pasar spot.
Sebenarnya, kalau kita cerdik, ada dua potensi keuntungan dengan membeli via pasar
spot. Pertama, tak perlu ada komitmen jangka panjang yang mengikat. Kedua, kalau lagi
resesi seperti sekarang, kita bisa saja mendapatkan minyak dengan harga yang lebih rendah
ketimbang harga pasar. Lain ceritanya kalau kita sudah terikat kontrak. Tetapi, sebaliknya
juga bisa terjadi. Jadi, transaksi di pasar spot seharusnya bersifat sesekali dan harganya harus
transparan.
Bagaimana kalau yang sebaliknya terjadi? Di situlah letak permasalahannya. Sekali mafia
masuk, sahabat-sahabatnya ikut bermain di ladang yang sama. Mereka bukan cuma main
volume impornya, melainkan juga produk dan jasa-jasa turunan lain dan ini bisa membuat
negeri bangkrut.

RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

23

Industri Kreatif Ciptakan Peluang bagi


Generasi Z
Koran SINDO

5 Desember 2014
Pada Hari Batik Nasional, Presiden Joko Widodo menjelaskan kepada masyarakat bahwa
industri kreatif Indonesia memiliki potensi yang sangat besar karena kemajemukan budaya
mereka yang luas, dan dia membayangkan Indonesia dapat bersaing secara internasional.
Dalam hal kinerja, industri kreatif di Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang cepat
dalam tiga tahun terakhir. Dari tahun 2012-2013 saja, industri kreatif di Indonesia telah
memberikan kontribusi 7% terhadap total produk domestik bruto (PDB) negara, dan
ditargetkan tumbuh menjadi 7,5% pada 2014.
Tak bisa dimungkiri bahwa industri kreatif kini memainkan peranan penting dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia serta menciptakan lapangan kerja baru untuk
mendukung 240 juta penduduk di Indonesia. Peningkatan minat dalam industri kreatif telah
membuat karier dalam desain menjadi pilihan yang paling dicari dan menarik bagi Generasi
Z, membawa peluang ekonomi yang berkelanjutan dan mata pencaharian bagi warga
Indonesia, dan memperluas peluang bisnis bagi UKM.
Di masa depan, daya saing suatu negara diharapkan akan dipengaruhi oleh kekuatan dari
ekonomi kreatifnya. Untuk menjadi kompetitif dalam tempat kerja, mahasiswa sekarang tidak
hanya mencari pendidikan akademik, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan siap kerja
yang dicari oleh banyak perusahaan di Indonesia dan di seluruh dunia.
Banyak mahasiswa bahkan melanjutkan pendidikan mereka ke luar negeri dalam rangka
mengembangkan karakter, pengalaman, kemampuan berbahasa Inggris, dan keterampilan
komunikasi mereka agar dapat tetap kompetitif. Hasil dari survei Pasar Kerja tahun 2013 oleh
Jobstreet.com, 60% dari perusahaan merasa bahwa para lulusan yang baru tidak memiliki
attitude yang benar dan keterampilan komunikasi yang baik selama wawancara kerja.
Sebagaimana ekonomi kreatif Indonesia terus bertumbuh, jumlah orang yang bekerja dalam
industri kreatif telah mencapai 11,8 juta orang atau 10,72% dari total angkatan kerja di
Indonesia pada 2013. Hal ini telah melampaui target tahunan 8,35%. Sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia, diharapkan ada permintaan yang lebih tinggi bagi
para profesional dengan keterampilan desain dan siap kerja untuk membantu bisnis dan
industri.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah memainkan sebuah peranan penting
dalam mendukung pertumbuhan dari industri kreatif. Dalam sebuah survei yang dilakukan

24

oleh INSEAD dalam mengukur Indeks Inovasi Global tahun 2014, Indonesia menduduki
peringkat 87 dari 126 negara, meningkat dari peringkat 99 pada 2012.
Meskipun Indonesia telah menunjukkan peningkatan, negara-negara tetangganya seperti
Vietnam dan Thailand masih tetap unggul, dengan peringkat 71 dan 48 masing-masing.
Namun demikian, upaya dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah membawa
peringkat ekspor barang kreatif Indonesia bertumbuh secara dramatis dari peringkat 85 di
tahun 2013 menjadi peringkat 25 di tahun 2014.
***
Dukungan pemerintah telah memungkinkan banyak komunitas kreatif untuk berkembang dan
bertumbuh, terutama dalam mode. Salah satu contohnya adalah Jakarta Fashion Week, yang
sekarang menjadi pusat mode terbesar di Indonesia, memamerkan berbagai koleksi dari
desainer yang berbakat kelas atas, tua dan muda, tenun budaya yang kaya dari Indonesia ke
dalam konsep modern.
Kami melihat masyarakat yang lebih kreatif didirikan, seperti dalam bidang arsitektur, desain,
fotografi, seni dan film. Namun, pengaruh dari industri kreatif tidak berhenti di situ. Saat ini
banyak perusahaan semakin menggabungkan pemikiran desain sebagai salah satu set
keterampilan bisnis, dan hal ini menjadi lebih umum bagi perusahaan untuk merancang ulang
proses, sistem, barang, layanan konsumen mereka dan bahkan pemikiran bisnis dan membuat
desain menjadi karier yang sempurna bagi Generasi Z.
Desainer saat ini dipekerjakan oleh perusahaan maskapai penerbangan, bank, telekomunikasi
dan infrastruktur, serta departemen pendidikan dan kesehatan. Ada banyak pilihan karier
yang hebat di mana para mahasiswa mungkin belum mempertimbangkannya. Ada pekerjaan
dalam strategi, inovasi, sistem dan proses desain untuk bisnis, pengembangan pengalaman
pelanggan, desain interior dan arsitektur, dan berbagai peranan yang menarik dalam bidang
kreatif seperti fashion, desain grafis, dan animasi.
Untuk mengikuti perkembangan dari industri kreatif yang cepat, penting bagi universitas
untuk tetap inovatif. Beberapa sekolah sekarang menawarkan berbagai gelar seperti sarjana
S-1 Kecerdasan Kreatif dan Inovasi, yang mendorong pemikiran konseptual dan pemecahan
masalah dan pada gilirannya akan mendorong kreativitas, inovasi dan kewirausahaan.
Program jenis ini dapat dikombinasikan dengan berbagai gelar lain seperti komunikasi,
desain, sains, arsitektur atau bisnis di UTS.
Hal ini tidak lagi menjadi sebuah kemewahan untuk memiliki kreativitas sebagai bagian dari
bisnis Anda, tetapi suatu keharusan dalam rangka untuk menarik konsumen generasi baru
yang sudah digital sejak dilahirkan, dibesarkan dengan smart technology di telapak tangan
mereka. Generasi Z di Indonesia dapat melihat sebuah masa depan yang cerah dalam desain
karena dukungan dari pemerintah Indonesia dan berbagai industri kreatif yang sedang
bertumbuh, serta kelas menengah yang sedang bertumbuh, di mana dapat menarik investasi

25

asing yang lebih besar.


Dengan manfaat tambahan dari belajar di universitas yang terkemuka, warga Indonesia akan
memiliki posisi yang baik sebagai calon yang kompetitif di panggung dunia. Banyak
perusahaan lokal dan multinasional top yang akan mencari calon seperti ini, karena mereka
memiliki pengetahuan akademis yang kuat dan keterampilan serta pengetahuan industri yang
membuat mereka siap kerja.
Selain itu, keterampilan yang mereka pelajari akan melengkapi mereka untuk menjadi
pengusaha yang akan menciptakan lebih banyak peluang dan lapangan kerja bagi masyarakat
Indonesia.

ALEX MURPHY
Managing Director University of Technology, Sydney (UTS)

26

Ekonomi Global dan Outlook 2015


Koran SINDO

8 Desember 2014

Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2014 dari 2,8% menjadi
2,6%. Adapun pada 2015 ekonomi global diprediksi tumbuh 3,4%.
Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi ekonomi dunia tahun ini tumbuh di level
3,4% dan tahun depan 3,8%. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2014 ini lebih tinggi dari
realisasi pertumbuhan 2013 yang sebesar 2,6% (versi Bank Dunia) dan 3,2% (versi IMF).
Meski proyeksi pertumbuhan 2014 dan 2015 lebih tinggi dari pertumbuhan 2013, proyeksi ini
relatif lebih lambat dari perkiraan sebelumnya.
Tertekannya pertumbuhan ekonomi dunia pada 2014 disebabkan masih sulitnya sejumlah
kawasan dalam proses pemulihan ekonomi, di samping krisis politik di Ukraina dan Timur
Tengah serta munculnya ancaman ebola. Negara-negara dalam Zona Eropa, China, dan
Jepang masih belum menemukan formula yang tepat untuk keluar dari tren perlambatan.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, Jepang kini dalam fase resesi akibat
krisis utang yang hampir mencapai 200% produk domestik bruto (PDB). Bahkan, Moodys
telah menurunkan peringkat kredit Jepang ke level Aa3 dari A1 dan merupakan pertama kali
sejak 2011. Di kawasan Eropa, pemulihan juga masih relatif stagnan sehingga Bank Sentral
Eropa (ECB) terus mempertahankan stimulus dan suku bunga murah. Pertumbuhan sektor
manufaktur dan jasa juga belum menunjukkan perbaikan signifikan di kawasan Eropa.
Sementara itu, ekonomi China sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia dan
kekuatan ekonomi terbesar di Asia juga masih mengalami tekanan serius. Kebijakan
rebalancing yang dilakukan China saat ini belum mampu mendorong perbaikan ekonomi
negara itu. Bahkan, ekonomi China periode Juli-September 2014 hanya mampu tumbuh 7,3%
dan merupakan pertumbuhan terlambat sejak 2009. Kinerja sektor manufaktur China juga
menunjukkan pelemahan sepanjang 2014 diikuti oleh stagnannya konsumsi domestik.
Untuk mengantisipasi pelemahan yang berkelanjutan, Bank Sentral China telah
menambahkan stimulus likuiditas di pasar keuangan dan menurunkan tingkat suku bunga.
Pada saat yang bersamaan, krisis politik di Timur Tengah dan krisis Ukraina yang melibatkan
Rusia telah memicu kekhawatiran akan pemulihan pertumbuhan ekonomi di kawasan
tersebut.
Sementara itu, ekonomi Amerika Serikat setelah berakhirnya pelonggaran kuantitatif pada
periode Juli-September 2014 tercatat tumbuh 3,9% atau lebih tinggi dari perkiraan
sebelumnya 3,5%. Membaiknya sektor konsumsi domestik sebagai penggerak pertumbuhan

27

Amerika dan menyumbang 70% PDB negara itu diperkirakan terus berlanjut pada
2015. Realita ini telah menghadirkan harapan pemulihan ekonomi global sekaligus ancaman,
khususnya bagi negara-negara berkembang mengingat rencana kenaikan suku bunga The Fed
di 2015.
Dari potret ekonomi global yang dipaparkan di atas, perekonomian nasional tahun 2015 akan
dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, kenaikan suku bunga The Fed pada
pertengahan 2015 akan mendorong potensi aliran modal keluar dari Indonesia.
Pemulihan ekonomi Amerika dan kenaikan suku bunga The Fed akan mendorong para
investor global untuk merelokasi modalnya ke Amerika. Pada kondisi ini, ekonomi nasional
dihadapkan pada pilihan kenaikan suku bunga acuan dan sejumlah insentif stimulus fiskal
untuk menahan potensi aliran modal keluar.
Kedua, pelemahan harga komoditas global yang telah terjadi beberapa waktu ini akibat
pelemahan permintaan global, sementara pasokan uang melimpah. Ini tidak hanya terjadi
pada komoditas pangan, tetapi juga energi. Hingga akhir 2014, harga minyak dunia
diperkirakan berada di level USD70 per barel.
Menurunnya harga komoditas global tentu akan memberi sentimen negatif pada neraca
perdagangan, mengingat struktur ekspor nasional masih didominasi oleh
komoditas. Beberapa komoditas ekspor seperti batu bara, karet, minyak sawit, dan tembaga
telah mengalami penurunan hampir 20% sepanjang tahun ini.
Ketiga, pelemahan ekonomi zona Eropa, Jepang, dan China berpotensi menaikkan
pertumbuhan ekonomi nasional mengingat ketiga kawasan ini merupakan mitra strategis
Indonesia baik di sektor perdagangan maupun investasi.
Keempat, pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mendorong perlunya
persiapan yang lebih matang tidak hanya terkait dengan pembangunan infrastruktur, tetapi
juga perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pembenahan neraca perdagangan
Indonesia-ASEAN. Kinerja neraca perdagangan Indonesia-ASEAN saat ini masih berada
pada posisi defisit USD1,6 miliar periode Januari- Oktober 2014.
Kelima, risiko inflasi pada 2015 akan kembali meningkat pascakenaikan tarif listrik, elpiji,
dan BBM. Risiko inflasi ini berpotensi menggerus daya beli masyarakat sehingga konsumsi
domestik juga tertekan sepanjang 2015.
Dan yang terakhir (keenam), volatilitas nilai tukar rupiah juga masih relatif tinggi mengingat
kenaikan suku bunga The Fed akan mendorong penguatan kurs dolar AS terhadap sejumlah
nilai tukar mata uang khususnya negara berkembang seperti Indonesia.
Dengan berbagai kemungkinan di atas, proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2015
akan berada di rentang 5,1-5,3% dengan tingkat inflasi berada pada level 7,5-7,8%.

28

Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berada di level Rp11.8000 hingga
Rp12.100 sepanjang 2015. Neraca transaksi berjalan masih mengalami defisit 2,7-3,0% dari
PDB sepanjang 2015 akibat kelanjutan tekanan neraca perdagangan barang dan jasa.
Pada 2015, Bank Sentral Indonesia akan kembali menaikkan suku bunga acuannya ke level
8,0- 8,25% untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed di pertengahan
2015. Kemudian, harga minyak dunia kemungkinan akan tetap berada di bawah USD100 per
barel atau tepatnya di kisaran USD75-85 per barel sepanjang 2015. Hal ini mengingat
pasokan minyak serpih Amerika yang melimpah dan negara-negara OPEC juga tetap
mempertahankan produksi 30 juta barel per hari.
Proyeksi 2015 ini tentunya memerlukan kerja keras bagi pemerintahan Jokowi-JK di tahun
2015. Tantangan ekonomi nasional 2015 relatif lebih kompleks dibanding tahun 2014 yang
juga menaikkan risiko ekonomi di dalam negeri.

PROF FIRMANZAH PhD


Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

29

Sistem Pembayaran Nilai Besar


Koran SINDO

9 Desember 2014

Pemerintahan baru Jokowi-JK membutuhkan investasi yang besar untuk menopang


pertumbuhan ekonomi tinggi agar penciptaan lapangan kerja mampu memperkecil
pengangguran dan kemiskinan.
Untuk itu, pembangunan pasar modal dan sistem pembayaran nilai besar harus menjadi fokus
kita semua. Pasar modal sangat bergantung pada sistem pembayaran, khususnya sistem
pembayaran nilai besar. Mengembangkan sistem pembayaran nasional adalah proses yang
berkelanjutan, termasuk memperhatikan keterkaitan antara sistem pembayaran nilai besar dan
pasar modal.
Semakin maju sebuah negara maka akan semakin besar peranan pasar modal ketimbang
perbankan dalam mempengaruhi pembangunan negara tersebut. Di semua negara, selalu ada
beberapa unsur sistem dalam proses reformasi atau modifikasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi percepatan dalam reformasi mendasar dalam
sistem pembayaran nasional di seluruh dunia. Namun, sukses pelaksanaan reformasi serupa
di negara yang berbeda tidaklah sama. Hasil yang direncanakan belum selalu dicapai dalam
hal penggunaan yang diharapkan, manfaat atau biaya proyek reformasi sistem pembayaran,
dan banyak reformasi yang direncanakan secara tidak diduga ternyata lambat untuk
diselesaikan.
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sistem pembayaran adalah tugas yang sulit
karena kompleksitas dari reformasi dan pendekatan yang berbeda-beda untuk reformasi.
Pihak berwenang yang mempromosikan inisiatif baru dalam sistem pembayaran nasional
mereka umumnya melihat ke negara-negara lain dan kepada Komite Pembayaran dan Sistem
Penyelesaian (CPSS), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan lembaga
keuangan internasional lainnya untuk mendapatkan informasi, saran, dan bantuan tentang
bagaimana cara terbaik untuk merencanakan dan melaksanakan reformasi dalam sistem
tersebut.
***
Dua ribu tahun yang lalu, di Roma kuno, perusahaan dikontrak oleh pemerintah untuk
membangun kuil suci dan mengumpulkan pajak. Perusahaan-perusahaan mendanai usaha ini
dengan menjual kepemilikan atau saham ekuitas dalam bentuk saham yang mudah
dipindahtangankan di antara orang-orang Romawi.

30

Kemudian, negara kota Italia mengambil dana dari warga negaranya dalam bentuk obligasi
untuk mendanai peperangan, sementara pedagang mencari pembiayaan dari individu untuk
mendapatkan kendaraan yang lebih baik untuk berlayar lebih jauh dan jarak yang semakin
meningkat.
Seiring waktu, pasar berkembang yang memungkinkan pemegang obligasi dan saham untuk
menjual kepemilikan mereka kepada pembeli lain yang tertarik. Maka lahirlah apa yang kita
sebut sekarang pasar modal. Pada saat itu, pasar modal belum bergantung pada sistem
pembayaran nilai besar sehingga perkembangan sistem pembayaran nilai besar relatif tidak
mendapatkan perhatian yang serius. Sejak kejadian di Kerajaan Roma tersebut, pasar modal
telah menyebar jauh dan luas di seluruh dunia.
Namun, fungsi fundamental pasar modal tetap tidak berubah yaitu untuk mengalokasikan
modal kepada mereka yang membutuhkannya dan mengalihkan risiko tersebut kepada
mereka yang mampu menanggungnya. Ini adalah kemampuan pasar modal untuk secara
efisien memobilisasi sumber daya keuangan yang telah memungkinkan investasi besar yang
diperlukan untuk Revolusi Industri abad ke-18, dan risiko modal yang mendanai revolusi
internet global baru-baru ini.
Seperti pasar lainnya, pasar modal rentan terhadap volatilitas karena permintaan dan pasokan
berfluktuasi. Tapi tidak seperti pasar lain, turbulensi di pasar modal dapat memiliki
konsekuensi yang jauh lebih luas pada seluruh perekonomian. Dari Wall Street Crash tahun
1929 sampai krisis keuangan global tahun 2008, kita telah melihat bagaimana dislokasi di
pasar modal dapat memiliki efek buruk pada stabilitas keuangan, pertumbuhan ekonomi, dan
kesejahteraan warga negara.
Pilihan terbaik dari sistem pembayaran bernilai besar adalah yang paling sesuai dengan
kebutuhan pembayaran interbank yang terkait ke bisnis bernilai besar dan waktu-kritis,
transaksi keuangan dan kebijakan moneter. Ia tidak perlu menjadi teknologi yang paling
canggih. Ketika volume dari nilai besar dan pembayaran waktu-kritis meningkat, finalitas
dalam satu hari dalam uang bank sentral sebagaimana ditetapkan oleh sistem pembayaran
besar-nilai menjadi perlu.
Jenis pembayaran layanan infrastruktur permintaan khusus mengandung risiko sistemik
terhadap pelaku transaksi, yang didominasi lembaga keuangan. Ada pilihan di antara
berbagai jenis sistem pembayaran besarnilai, tapi semua desain harus sepenuhnya sesuai
dengan prinsip-prinsip utama untuk sistem pembayaran.
Sistem surat berharga dan sistem pembayaran besar-nilai saling tergantung. Untuk mencapai
delivery versus payment, settlement lag surat berharga dalam sistem settlement surat berharga
adalah bergantung pada settlement leg uang tunai, biasanya dalam sistem pembayaran besarnilai. Secara paralel, ekstensi kredit dalam sistem pembayaran besar yang nilainya sering kali
bergantung pada penyediaan agunanbiasanya melalui sistem settlement surat berharga.

31

Oleh karena itu, interaksi antara infrastruktur ini harus hemat biaya, dapat diandalkan dan
aman. Selain itu, waktu finalitas dalam satu sistem harus konsisten dengan waktu dalam
sistem lain. Akibatnya, infrastruktur untuk sekuritas dan pembayaran besar nilainya tidak
dapat dikembangkan secara terpisah dari satu sama lain dan sistem settlement surat berharga
harus dikembangkan agar sepenuhnya sesuai dengan prinsip organisasi pasar modal dunia
(IOSCO) khususnya rekomendasi untuk sistem settlement sekuritas dan rekomendasi untuk
mitra sentral.
Mudah-mudahan pembangunan sistem pembayaran nilai besar di Indonesia sudah sesuai
dengan yang direkomendasikan oleh IOSCO dan CPSS.

ACHMAD DENI DARURI


President Director Center for Banking Crisis

32

Memperbaiki Ketimpangan Pembangunan


Koran SINDO

9 Desember 2014

Buah dari proses meningkatnya tahapan pembangunan Indonesia dari negara berpendapatan
rendah menjadi menengah adalah semakin meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan.
Fenomena yang sama terjadi ketika negara-negara Amerika Latin dalam proses
pembangunannya periode tahun 1980-an. Namun selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010),
Meksiko, Brasil, dan Cile, termasuk di mana distribusi pendapatannya tumbuh semakin
membaik. Pertumbuhan indeks Gini per tahun masing-masingnya selama periode itu Meksiko
(-1,21%), Brasil (-1,07%), dan Cile (-0,66%).
Artinya ketimpangan pembangunan semakin menyempit. Bertentangan dengan India dan
China ketika pertumbuhan ekonomi meningkat tajam, justru ketimpangan distribusi
pendapatan mengalami peningkatan yang tajam. Dengan laju pertumbuhan rasio Gini di India
(1,43%) dan China (2,02%), bagaimana kita dapat belajar dari fenomena itu?
Argumentasi Cash Transfer
Salah satu argumentasi yang semula dipercaya adalah ketimpangan pendapatan dapat
diperkecil kalau negara memainkan peranan. Di antaranya dengan membantu kelompok
masyarakat berpenghasilan terendah, dengan anggapan model ini diharapkan akan
menumbuhkan daya beli masyarakat.
Kemudian dengan semakin mampunya kelompok masyarakat miskin, daya beli mereka akan
meningkat. Dengan sendirinya akan menciptakan derived demand, yang dipercaya dapat
menumbuhkan ekonomi masyarakat.
Kelompok yang berpikiran dengan strategi ini percaya bahwa peningkatan daya beli si miskin
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kemudian dengan pertumbuhan ekonomi akan
meningkatkan penerimaan pajak, dan menjadi sumber penggerak kembali secara autonomous
pembangunan ekonomi.
Argumen cash transfer itu cukup berlebihan jika saja jumlah yang disediakan oleh
pemerintah untuk menalangi daya beli masyarakat miskin terbatas. Justru argumentasi itu
tepat jika ditujukan untuk menahan agar kelompok keluarga miskin semakin tidak jatuh pada
jurang kemiskinan akut, sehingga memberikan uang kepada kelompok miskin cukup dapat
menghindarkan mereka dari external shock. Minimal tidak lebih buruk dibandingkan dengan
periode sebelumnya.

33

Jika argumentasi terakhir yang digunakan, jelas bahwa cash transfers cukup menjadi cara
untuk bertahan bagi keluarga miskin dari efek external shock, atau dampak dari kebijakan
yang diambil oleh pemerintah. Semisal pengurangan subsidi BBM ala Indonesia. Di
Indonesia, cara ini semenjak presiden SBY dan kemudian dilanjutkan oleh Pak Jokowi-JK
masih berlaku.
Namun jelas, cara cash transfers tidak dapat diharapkan untuk dapat memperbaiki distribusi
pendapat masyarakat. Distribusi pendapatan masyarakat jelas telah meningkat dari sekitar
0,31 (indeks Gini) sekarang sudah melebihi 0,41. Tidak saja fenomena itu, di dalam propinsi
juga menunjukkan tendensi ketimpangan yang semakin melebar. Angka distribusi
penghasilan (yang dinilai dari pengeluaran rumah tangga) tetap masih belum menunjukkan
tendensi menurun.
Saatnya pemerintah baru kita untuk menggunakan skema cash transfers dalam arti lebih
produktif. Tidak melanjutkan social assistance sehingga kebergantungan masyarakat miskin
berharap-harap menerima setiap tahun, namun justru dialihkan pada program produktif.
Membuat jumlah alokasi curahan waktu tenaga kerja semakin bertambah di pasar kerja,
bukan sebaliknya.
Model Cile
Dua faktor utama yang diyakini oleh Adrian Monk (2014, 3 Desember, Economist) dalam
tulisannya Chile: Narrowing income inequality, but at what costs Chile: Narrowing income
inequality, but at what costs. Pertama, membangun sumber daya manusia. Artinya
dipastikan agar pendidikan yang bermutu dapat diperoleh oleh kelompok keluarga miskin.
Setelah mereka selesai dalam menjalani pendidikan, kemudian dengan sendirinya akan
memasuki pasar kerja bersamaan dengan anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Apalagi
jika proses pendidikan dapat diperoleh dengan jaminan kualitas yang sesuai dengan
keperluan pasar kerja.
Apa yang dilakukan di Cile juga sama dengan yang diwujudkan oleh Korea Selatan,
Singapura, dan Malaysia. Peranan pendidikan tinggi dapat mengurangi ketimpangan
pendapatan via meningkatnya anak-anak keluarga miskin yang berpendidikan, dan kemudian
mereka dapat memberikan remittances kepada keluarga mereka.
Faktor kedua adalah sekalipun Cile diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas pertanian
dunia, karena menghasilkan daging dan berbagai komoditas konsumsi utama, bonanza itu
tentu diperoleh setelah berhasilnya proses pembangunan yang juga menguntungkan keluarga
miskin, khususnya yang bergerak pada usaha pertanian.
Jelas kiranya dua pilar utama, akses pendidikan bermutu untuk seluruh penduduk, dan
pembangunan pertanian tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. Keberpihakan
pemerintah terhadap pembangunan dua aspek itu nampaknya dapat direplikasi untuk konteks

34

Indonesia.
Faktor ketiga yang tidak dalam penjelasan Cile mungkin benar untuk Indonesia adalah
dengan membangun infrastruktur merata ke luar Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia
bagian timur. Jika pembangunan diarahkan untuk rumah tangga dan memeratakan
pembangunan wilayah, resep ini mungkin akan dapat diperiksa dampaknya sepuluh tahun
yang akan datang. Indeks Gini di Indonesia diperkirakan akan turun, sepertinya sejarah yang
telah terjadi di berbagai negara Amerika Latin saat ini.

ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi UNAND

35

Dampak Berantai Penghapusan Raskin


Koran SINDO

9 Desember 2014

Pelbagai terobosan dan gebrakan dilakukan oleh menteri Kabinet Kerja Presiden Jokowi.
Salah satunya Menteri BUMN Rini Soemarno.
Baru beberapa hari dilantik, Rini menggulirkan wacana panas: menghapus program beras
untuk rakyat miskin (Raskin). Menurut Rini, agar tepat sasaran, program tidak lagi diberikan
dalam bentuk barang, tetapi diganti bantuan uang dalam rekening (e-money). Dengan uang
itu, warga penerima bantuan bisa membeli beras sesuai selera dan kualitas yang
dikehendaki. Perubahan ini selaras visi dan misi Presiden Jokowi agar warga miskin
produktif, bukan konsumtif.
Sampai saat ini program Raskin memang belum lepas dari masalah. KPK bahkan meminta
pemerintah untuk mendesain ulang program Raskin. Dari kajian KPK ada enam temuan tidak
tepat: tidak tepat sasaran, jumlah, mutu, waktu, harga, dan administrasi.
KPK bahkan mencium indikasi ada indikasi jaringan kartel penyaluran Raskin. Raskin yang
seharusnya diterima rumah tangga sasaran justru dijual ke pengepul. Ironisnya, beras yang
berada di tangan pengepul itu akhirnya dijual lagi ke rumah tangga sasaran. Survei
penyaluran Raskin oleh BPS, Januari-Maret 2013, menemukan Raskin dinikmati 31,23 juta
rumah tangga. Padahal, sasaran Raskin hanya 15,5 juta rumah tangga. Artinya separuh
penerima itu tidak berhak.
Dari lima lapisan masyarakat versi BPS, lapisan 1 atau termiskin yang berjumlah 12,5 juta
rumah tangga seharusnya semua menerima Raskin. Kenyataannya hanya 9,41 juta rumah
tangga (75%) yang menerima jatah rata-rata bulanan 13,79 kg beras atau 92% dari
seharusnya (15 kg).
Tiga juta rumah tangga penerima Raskin sisanya ada di lapisan 2. Kenyataannya, di lapisan
ini penerima Raskin berjumlah 8,4 juta rumah tangga atau 66,27% dari jumlah rumah dengan
jatah 13,31 kg. Ironisnya, lapisan 3-5 yang seharusnya tidak kebagian justru mendapatkan
Raskin: 6,85 juta rumah tangga atau 54,25% dari rumah tangga lapisan 3; 4,88 juta rumah
tangga (38,6% dari lapisan 4); dan 1,71 juta rumah tangga (13,63% dari lapisan 5).
Pertanyaannya, apakah kemudian Raskin dihapus dan digantikan bantuan uang? Mengganti
beras dengan uang boleh jadi lebih tepat sasaran. Namun, mengganti beras dengan uang
justru berpotensi besar membuat tujuan awal program Raskin melenceng. Pertama-tama
tujuan Raskin adalah transfer energi untuk meningkatkan kualitas nutrisi, kesehatan,
pendidikan dan produktivitas SDM.

36

Selama setahun mereka mendapat 15 kg beras per keluarga dengan menebus Rp1.600/kg.
Dengan bantuan itu, diasumsikan 40-60% total kebutuhan beras bulanan keluarga miskin dan
rawan pangan bisa dipenuhi. Lewat subsidi ini, kelompok miskin akan bisa mempertahankan
tingkat konsumsi energi dan protein.
Rawan pangan tak terjadi. Mereka tidak mengurangi biaya pendidikan dan kesehatan untuk
dialihkan ke keranjang pangan karena ada Raskin. Berbeda apabila tidak ada Raskin. Ketika
harga beras naik, warga miskin yang 60-70% pengeluarannya tersedot untuk pangan akan
merealokasi keranjang belanja rumah tangga: pos kesehatan dan pendidikan akan dialihkan
ke pangan. Bukan mustahil kelaparan akan meruyak.
Saat ini jumlah penduduk miskin masih besar: 28,07 juta jiwa (11,37%). Pelbagai upaya telah
dilakukan, tetapi penurunan jumlah penduduk miskin kian lambat sejak tahun 2000-an. Selain
itu, jumlah penduduk yang defisit energi (kurang kalori) mencapai 30 juta jiwa. Status gizi
anak di bawah lima tahun (balita) juga tidak mengalami perbaikan signifikan dalam 10 tahun
terakhir. Tahun 2013, balita stunting mencapai 37,2%, dan yang kekurangan gizi 19,6% yang
5,7% di antaranya berstatus gizi buruk. Boleh jadi karena ini Indeks Kelaparan Global
Indonesia tak kunjung membaik. Tahun 2013 indeks Indonesia mencapai 10,1 yang berarti
termasuk indeks kelaparan serius, sama seperti tahun 2012.
Penggantian beras dengan uang berpeluang memperburuk indeks kelaparan. Bukan mustahil
uang dibelikan pulsa atau rokok, bukan untuk belanja beras (pangan). Jadi, berbeda dengan
program lain, Raskin punya kaitan kuat dengan program pengembangan SDM (horizontal
integration) dan program ketahanan pangan (vertical integration). Sebagai program transfer
energi, keberhasilan Raskin akan membantu program lain seperti peningkatan kualitas nutrisi,
kesehatan, pendidikan dan produktivitas SDM. Raskin bisa dipandang sebagai investasi SDM
yang lebih tahan pelbagai risiko.
Raskin juga bisa dipandang sebagai indirect income transfer. Beras itu dibeli dari produksi
petani kecil yang rentan oleh fluktuasi harga saat panen raya. Pembelian hasil produksi petani
oleh Bulog lewat harga yang ditetapkan pemerintah (baca: harga pembelian pemerintah atau
HPP) merupakan bentuk perlindungan pada petani kecil agar mereka mendapatkan insentif.
Jadi, ada kaitan kuat antara program kesejahteraan petani melalui pembelian pemerintah dan
pemberian subsidi beras murah lewat Raskin pada kelompok miskin dan rawan pangan.
Apabila bantuan beras diganti dengan uang, tidak ada lagi kewajiban Bulog membeli
gabah/beras petani untuk memenuhi pagu Raskin.
Akibatnya, tak ada lagi instrumen stabilisasi harga gabah/petani. Harga rentan fluktuasi.
Ujung-ujungnya, inflasi sulit dikendalikan karena beras penyumbang terbesar inflasi.
Selain itu, hilang sudah mekanisme penyerapan gabah/beras domestik terbesar oleh Bulog.
Bukan mustahil cadangan beras pemerintah akan sepenuhnya dipenuhi dari impor. Padahal,
produksi beras domestik jauh dari memadai.

37

Sampai saat ini harga beras domestik masih lebih mahal dari beras impor. Karena itu, tidak
terhindarkan apabila ada yang berpikiran nakal: jangan-jangan rencana penggantian beras
dengan uang dalam program Raskin itu untuk memuluskan impor beras? Bukankah insentif
ekonomi impor beras tinggi? Tanpa penjelasan yang masuk akal, kecurigaan semacam ini
akan muncul.
Terakhir, beras adalah satu-satunya komoditas yang pengelolaan stok, cadangan pemerintah,
harga, dan ekspor-impornya diserahkan kepada Bulog. Beras merupakan portofolio bisnis
terbesar yang dikelola Bulog. Bahkan, pelbagai infrastruktur BUMN ini (mulai gudang,
penggilingan, hingga yang lain) hampir semua terkait beras.
Ketika beras dalam program Raskin diganti uang, tidak relevan lagi Bulog terlibat dalam
penyaluran. Bisa dipastikan, jika rencana itu direalisasikan sama saja membonsai Bulog
pelan-pelan.
Pada saat yang sama, ketika Bulog tak lagi menerima mandat melakukan kegiatan publik
(PSO) dalam pembelian gabah/beras domestik, menjaga harga dan iron stock, menyalurkan
Raskin dan mengelola cadangan beras pemerintah tidak ada lagi badan dan instrumen
stabilisasi harga gabah/beras. Gabah/beras sepenuhnya diserahkan ke pasar dan swasta akan
mengambil alih peran negara sebagai stabilisator harga.
Inilah sejumlah dampak berantai yang muncul ketika Raskin dihapus. Inikah yang kita
kehendaki?

KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI); dan Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi

38

Backlog Perumahan PR Serius


Koran SINDO

9 Desember 2014

Sejak Kabinet Kerja dilantik, target-target strategis pemerintah dipasang. Penyehatan


anggaran dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, memetakan
kebutuhan infrastruktur berikut mengundang investor, memberikan fasilitas kepada
masyarakat atas layanan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan hingga upaya pemerintah
melakukan swasembada pangan.
Last but not least adalah masalah perumahan. Permasalahan dalam perumahan nasional
sungguh kompleks. Dari perizinan, pengadaan lahan, penataan rencana tata ruang dan
wilayah hingga penataan pengembang berikut institusi keuangan yang terlibat.
Saat ini, kebutuhan papan yang merupakan kebutuhan primer masyarakat berada pada titik
yang dapat dikatakan memprihatinkan. Backlog pemenuhan kebutuhan perumahan di wilayah
Nusantara mencapai lebih dari 15 juta unit atau 60 juta jiwa belum memiliki rumah tinggal
yang layak. Backlog ini jumlahnya kian banyak beriringan dengan makin timpangnya
demand dan suplai properti di Indonesia. Setiap tahun pertumbuhan permintaan mengalahkan
pasokan. Akibatnya harga properti terus meningkat tajam dari waktu ke waktu.
Data tiga tahun terakhir (2011- 2013) menunjukkan tren permintaan rumah meningkat. Ini
dapat dilihat dari pertumbuhan pembiayaan kredit Bank BTN berturut-turut dari tahun 2011,
2012 hingga 2013 adalah 24,32%, 24,60%, dan 28,29%. Pertumbuhan ini di atas rata-rata
industri. Tahun 2014 tren diperkirakan menurun terlihat pada data September 2014 yang ratarata pertumbuhannya 24,71%. Tren penurunan lebih karena faktor ekonomi makro dan
kebijakan loan to value (LTV) walaupun secara bisnis tidak memberikan dampak signifikan
terhadap bisnis Bank BTN dengan core business pembiayaan perumahan.
Berdasarkan data Bank BTN, diperkirakan hingga tahun 2022 Indonesia membutuhkan
sekitar 21 juta unit rumah. Padahal, saat ini kemampuan untuk suplai rumah baru hanya
sekitar 400.000 unit per tahun. Sementara itu, data tahun 2001 menyebutkan dari 61 juta
kepala rumah tangga, 78% atau sekitar 48 juta sudah punya rumah dan menyisakan 13,4 juta
kepala rumah tangga tanpa tempat tinggal. Atau tinggal di rumah yang tidak layak huni.
Ketimpangan perumahan di Indonesia terjadi di sisi suplai dan demand. Tingginya
permintaan terhadap rumah tidak sebanding dengan ketersediaan pasokan rumah. Faktor
penyebabnya beragam. Mulai dari keterbatasan lahan, kebijakan yang kurang efektif,
kemampuan pelaku usaha hingga mahalnya pasokan bahan baku menjadi aspek yang
menghambat penyediaan rumah. Dari sisi permintaan, faktor pembiayaan yang terbatas
menjadi kendala utama.

39

Permasalahan backlog perumahan ini hanya bisa diselesaikan bersama antara program
pemerintah pusat, daerah, pengembang, dan institusi keuangan. Pemerintah pusat perlu
menyusun perangkat hukum dan percepatan aturan-aturan yang aplikatif mengenai perizinan
dan pengadaan lahan.
Pemerintah daerah perlu menyusun arah pengembangan kota yang berwawasan lingkungan,
bermartabat, dan memiliki dasar pengembangan tata ruang dan tata wilayah yang prima.
Dengan demikian pengembang dapat membangun perumahan sesuai dengan kebutuhan
wilayah dan pengembangan daerah. Institusi keuangan dapat mempercepat proses masyarakat
memiliki rumah dengan pembiayaan.
Koordinasi adalah barang langka di negeri ini. Apalagi koordinasi besar yang melibatkan
banyak stakeholder strategis seperti perumahan. Harus ada pihak yang mengerti bisnis ini
dari hulu ke hilir menjadi penghubung atau tepatnya integrator. Keberadaan forum
komunikasi ini sangat substansial untuk mencari solusi bersama menyelesaikan backlog.
BTN Housing Finance Center (HFC)
Sebagai wujud komitmen dan partisipasi Bank BTN dalam mengatasi masalah backlog
perumahan, Bank BTN akan membentuk BTN Housing Finance Center (HFC). Lembaga ini
diharapkan dapat berkontribusi dalam mencari solusi masalah perumahan nasional. BTN
HFC didesain sebagai pusat penelitian dan inovasi perumahan. Selain menjadi learning
center, HFC juga akan menjadi lembaga riset serta advisory.
Sebagai learning center, BTN HFC akan menjadi sentra edukasi yang berkaitan dengan
semua aspek mortgage. Terutama peningkatan kualitas SDM di bidang kredit dan properti.
Bank BTN telah menyiapkan tiga tempat sebagai learning center, yaitu di kantor pusat BTN
di Jakarta, berikutnya di Pusdiklat BTN di Jakarta, serta salah satu kantor cabang di
Makassar. Tiga lokasi tersebut selama ini sudah berfungsi sebagai training center bagi
karyawan BTN. Selain tiga tempat ini, Bank BTN juga telah menyiapkan lokasi khusus di
Bandung.
HFC memiliki 200 instruktur profesional yang terlatih. Screening terhadap mereka telah
dilakukan secara ketat dan sertifikasi atas spesialisasi masing-masing sudah teruji. Para
instruktur dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu gold, silver, dan bronze. Tiap tingkatan memiliki
jam terbang yang telah disesuaikan dengan kurikulum.
Begitu pula sebagai lembaga riset, HFC diharapkan dapat menjadi lembaga rujukan utama
dan tepercaya dalam pengembangan sektor properti. Untuk itu, HFC akan menyediakan
informasi, indeks, serta data terakurat mengenai perumahan. Pada tahap awal, Bank BTN
telah menjalin komitmen dengan beberapa lembaga riset terkemuka.
HFC juga akan menjadi lembaga konsultan yang memberikan konsultasi dan advisory di
bidang mortgage serta properti kepada stakeholder khususnya kepada pelaku usaha di sektor

40

properti. Diharapkan Bank BTN dapat turut terlibat dalam pengambilan keputusan
perumahan yang dilakukan pemerintah.
Ketiga fungsi utama HFC tersebut bertujuan mencari terobosan dan solusi dalam
menyelesaikan ketimpangan suplai dan demand perumahan di Indonesia. Semua itu tak lepas
dari komitmen Bank BTN sebagai bank yang fokus di sektor perumahan.
Tentunya, untuk mendukung peningkatan peran Bank BTN dibutuhkan dukungan dari
pemerintah. Salah satunya dengan menyiapkan peraturan berupa undang-undang yang
mengatur Bank BTN sebagai bank khusus di sektor perumahan. Belum adanya aturan khusus
tersebut membuat Bank BTN selama ini tidak optimal dalam menjalankan fungsinya sebagai
lembaga pembiayaan di sektor perumahan.
Perlu dipahami, Bank BTN mempunyai karakter bisnis yang unik. Bank BTN memiliki
fungsi strategis untuk mendukung program pemerintah dalam penyediaan rumah bagi
masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari portofolio kredit Bank BTN sebanyak 88,07% disalurkan
ke sektor perumahan, khususnya menengah bawah. BTN HFC adalah bentuk komitmen Bank
BTN membantu pemerintah dalam mencari solusi untuk menyelesaikan masalah perumahan
nasional.

MARYONO
Direktur Utama Bank BTN

41

Petral Riwayatmu Kini


Koran SINDO

11 Desember 2014

Isu besar Petral adalah tentang transparansi. Bagi masyarakat seperti kita, transparansi
menjadi sangat penting karena kini kita berada di tengah-tengah sebuah distrust society.
Masyarakat yang saling tidak percaya.
Mengapa? Sebab kita sudah terlalu sering dibohongi. Kita dibohongi oleh para politisi.
Janjinya 100, yang direalisasikan tak sampai 10. Kita juga kerap diakali birokrasi.
Pengurusan izin berbelit-belit, ujung-ujungnya duit. Kebanyakan produsen sama saja.
Katanya produknya berkualitas, baru sebulan dipakai sudah rusak. Demikian juga yang
berjubah kealiman, nyatanya koruptor juga. Kita juga saling tidak percaya, bahkan terhadap
sesama kolega. Khawatir ditipu, atau diperalat.
Dalam distrust society seperti ini, segalanya menjadi lebih rumit dan biaya transaksinya
mahal. Bayangkan, kita semua dianggap pembohong, sampai terbukti kita tidak menipu. Kita
semua dianggap tidak bisa dipercaya, sampai terbukti bisa dipercaya. Ini adalah hukum
negatif. Sebaliknya, dalam hukum positif, semua boleh dilakukan kecuali yang tidak
diperbolehkan. Semua larangan dibuat secara tertulis. Ada peraturannya, lengkap dengan
rambu-rambunya.
Dalam hukum negatif berlaku sebaliknya. Semuanya serba-tidak boleh, kecuali yang
diperbolehkan. Maka, kita menjadi serbatakut untuk melangkah, termasuk mengambil
keputusan. Hidup dalam masyarakat yang seperti ini sangat melelahkan. Kita saling tidak
percaya. Semua mata saling memandang dengan penuh rasa curiga.
Mengapa Berlarut-larut
Petral saat ini tengah berada dalam masyarakat yang seperti ini. Saling tidak percaya,
menurut Stephen MR Covey, membuat segalanya bergerak lambat dan mahal.
Contohnya begini. Sebagian Anda tentu pernah mengurus kredit mobil. Untuk mendapatkan
kredit mobil yang pertama, Anda akan melewati beberapa proses. Mengisi formulir aplikasi,
melampirkan berbagai dokumen, bahkan kediaman Anda pun mesti disurvei oleh perusahaan
pembiayaan, kini dilakukan diam-diam, tanpa sepengetahuan Anda.
Begitu Anda berhasil melunasi kredit tersebut tepat waktu, mengurus kredit untuk mobil
berikutnya jadi jauh lebih mudah. Bahkan tidak perlu repot-repot mengajukan permohonan,
pihak perusahaan pembiayaan justru yang akan menyodor-nyodorkan agar Anda mengambil
kredit dari mereka.

42

Memakai analogi kredit mobil, maka yang harus dilakukan Petral dalam kondisi saat ini
adalah merebut kembali kepercayaan stakeholder-nya. Kepercayaan masyarakat.
Bagaimana caranya? Mudah saja. Jadikan segalanya transparan, termasuk semua transaksi
yang dilakukan Petral dengan mitra-mitra dagangnya. Itulah yang agaknya kurang mereka
lakukan. Bagi saya, ini agak mengecewakan. Maksudnya, mengapa Petral membuat kondisi
semacam itu sampai terjadi. Bahkan berlarut-larut.
Padahal, menurut saya, mestinya Petral punya beberapa catatan yang cukup positif. Misalnya,
selama 2010-2011, Petral memperoleh penghargaan dari otoritas perdagangan Singapura
sebagai perusahaan skala UKM (di Singapura Petral masih masuk kelompok tersebut) dengan
peringkat transaksi sampai ke-15 terbesar. Lalu, pada tahun berikutnya peringkat Petral naik
menjadi ke-8. (Walau dari sisi yang lain kita mungkin prihatin. Sebab itu mengindikasikan
terus meningkatnya volume impor minyak mentah dan BBM).
Lalu, sejak Juli 2012 Petral sudah menerapkan aplikasi Enterprise Resource Planning (ERP),
sebuah sistem informasi yang memungkinkan perusahaan mengonsolidasikan seluruh sumber
dayanya, sehingga jajaran manajemennya bisa membuat keputusan dengan lebih cepat dan
lebih baik.
Aplikasi itu memungkinkan perusahaan untuk menyediakan semua data yang dibutuhkan
guna pengambilan keputusan. Aplikasi ini terkoneksi pula dengan aplikasi ERP yang juga
diterapkan oleh perusahaan induknya, Pertamina. Jadi dengan adanya aplikasi ini, mesti
jajaran manajemen Pertamina, termasuk pemegang sahamnya, tahu persis apa yang dilakukan
Petral. Ini artinya meningkatkan pula kinerja good corporate governance (GCG) baik dari
sisi Petral maupun Pertamina.
Saya juga tahu persis untuk mendukung penerapan GCG, Pertamina sudah menerapkan
whistleblower system. Sistem ini memberikan peluang bagi para pegawai Pertamina dan siapa
pun untuk secara rahasia melaporkan soal tindakan-tindakan yang tidak etis yang terjadi di
Pertamina, dan Petral tentu saja. Mereka bisa melaporkan kasus korupsi, conlict of interest,
pencurian, kecurangan hingga pelanggaran atas aturan, tanpa harus diketahui oleh pihak
perusahaan. Sebab, whistleblower system di Pertamina ini dikelola oleh pihak ketiga. Bukan
oleh Pertamina.
Hanya, apa boleh buat, perilaku politisi yang mencoba-coba bermain dalam bisnis minyak
membuat semua prestasi itu seperti hilang ditelan samudra. Apalagi Petral serbadiam.
Miskin Informasi
Secara umum impor minyak Pertamina melalui Petral, PTT, KIPCO, dan Pertamina sendiri
dilakukan melalui dua cara, yakni sistem kontrak jangka panjang (75%) dan pembelian
melalui pasar spot (25%). Pembelian melalui pasar spot ini terbilang sedikit. Mungkin hanya
untuk satu atau beberapa kargo.

43

Sebenarnya pengadaan minyak dengan formula 75/25 biasa dilakukan oleh sejumlah negara
di Asia. Jepang dan Korea Selatan, misalnya, biasanya menerapkan pembelian dengan
formula 67/33. Belakangan formula ini mereka ubah. Volume pembelian melalui kontrak
menjadi lebih banyak. Ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar spot.
Dengan kondisi semacam ini, saya kira, update informasi masih menjadi persoalan besar bagi
Petral. Padahal, mestinya itu bisa dilakukan. Faktanya itu tidak mereka kerjakan. Misalnya,
Petral hanya menyajikan ringkasan dari data transaksi yang mereka lakukan sampai Mei
2012. Mana data untuk tahun berikutnya? Padahal, ini sudah menjelang akhir 2014. Lalu,
data kinerja finansial yang tersedia juga baru dari tahun 2010 ke 2011. Mana informasi untuk
tahun 2012 atau 2013?
Dalam website-nya Petral juga menyajikan data tentang national oil company (NOC) yang
menjadi mitra dagangnya. Di sana ada 16 perusahaan yang sebagian besar adalah trading arm
dari produsen migas ternama seperti CNOOC dari China, Gazprom asal Rusia, Petronas dan
Petrobras, atau PTT dari Thailand.
Jadi, dengan miskinnya data transaksi terbaru yang disajikan Petral, tak mengherankan kalau
kecurigaan masyarakat tidak kunjung surut. Maka, Petral harus memanfaatkan pembentukan
Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin oleh sahabat saya, Faisal Basri, sebagai
momentum untuk meluruskan berbagai informasi yang kelirukalau memang yang terjadi
adalah salah informasi.
Dalam teori kebenaran, Faisal Basri dan timnya layak dijadikan musuh, tapi dalam pengertian
positif. Sebab, saya kutip saja pernyataan dari penulis novel horor Stephen King, Only
enemies speak the truth; friends and lovers lie endlessly, caught in the web of duty.

RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

44

Turunnya Harga Minyak


Koran SINDO

12 Desember 2014
Harga minyak dunia kali ini terus merosot terendah selama lima tahun terakhir. Banyak
analisis yang menjungkirbalikkan prediksi sebelumnya bahwa harga minyak dunia akan terus
naik.
Analisis yang tepat, penting bagi pemerintah agar kebijakan yang diambil tidak keliru.
Terlebih saat ini banyak suara yang meminta harga BBM diturunkan. Pasalnya, harga
premium sudah kurang lebih sama dengan pertamax. Apakah tidak boleh? Ingat pada tahun
APBN 1972/73 dan 1973/74, Indonesia pernah mengalami laba BBM dan sebelumnya
malah laba dari premium, avgas dan avtur, di-cross subsidikan dengan harga minyak tanah,
solar, diesel, dan minyak bakar.
Karena itu, penulis ingin menyampaikan salah satu analisis yang diulas oleh Keith Kohl
dalam publikasi Energy and Capital. Menurutnya, apa yang terjadi di pasar minyak dunia
saat ini, tidak lain adalah perang harga antara Arab Saudi dan Amerika Serikat. Kalau pada
dekade lalu adalah perang naik harga, tapi kali ini turunkan harga.
Apa boleh buat, pasar minyak dunia sangat ditentukan oleh dua raksasa ini, Amerika Serikat
sebagai konsumen utama dan Arab Saudi produsen utama. Kenapa pada pertemuan terakhir
OPEC tidak memangkas produksinya, padahal dengan harga terus turun, ekonomi negara
OPEC akan merosot. Bisa juga berdampak sosial huru-hara di negara yang pendapatannya
sangat bergantung pada minyak seperti Venezuela dan Nigeria.
Investasi infrastruktur di hulu juga akan menjadi lebih berisiko dan mahal. Indonesian
Petroleum Association memperkirakan investasi hulu migas Indonesia anjlok sebesar 20%
dari proyeksi investasi sebesar USD32 miliar.
Senjata Penekan
Alkisah empat dekade lalu, lewat pertemuan Raja Faisal bin Abdul Aziz dari Arab Saudi dan
Anwar Sadat dari Mesir, dimulailah era minyak menjadi senjata untuk menekan pihak lain.
Peperangan dan pertikaian politik mendorong kenaikan harga minyak dunia. Perang Yom
Kippur antara Israel dan Mesir di tahun 1973, harga melompat naik dari USD2,73 per barel,
mencapai USD25,50 di tahun 1977, karena Raja Faisal mengumumkan pembatasan
produksi.
Krisis energi muncul, banyak negara industri kewalahan dan tidak siap. Terjadi lagi perang

45

Irak-Iran dan invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990-1991. Harga naik menjadi USD32,29
per barel di tahun 1990 dan menyentuh USD60 dolar per barel di tahun 2004.
Sandiwara potong tambah produksi dimainkan OPEC silih berganti. Kemudian pada dekade
berikutnya, persoalan ekonomi lebih mengemuka, negara OPEC membutuhkan uang untuk
membangun ekonomi negaranya. Naik-turunnya harga tidak ada lagi berhubungan dengan
biaya produksi. Terakhir kita tahu, akhirnya harga sempat menyentuh USD150 per barel.
Migas Amerika Meroket
Permainan harga OPEC sangat menyakitkan Amerika Serikat. Dengan insentif harga tinggi,
Amerika kemudian meningkatkan eksplorasi minyak dan shale gas besar-besaran di Teluk
Meksiko dan Amerika Utara. Hasilnya bukan main, minyak dan shale gas mengalir deras dari
perut bumi.
Target pun ditetapkan, akan tembus 10 juta barel per hari pada 2020. Kenyataannya lebih
cepat, sekarang sudah menembus 9 juta. Bagaimana tidak, formasi Bakken sudah
menghasilkan 1,2 juta barel per hari, dari Eagle Ford 1,5 juta dan dari Permian mencapai 2
juta barel, belum lagi dari Teluk Meksiko, Texas, dan Oklahoma.
Amerika mengalami booming produksi mencapai angka tertinggi dalam 28 tahun terakhir.
Bahkan, Badan Energi Internasional memperkirakan akan segera menyalip Arab Saudi. Dua
tahun lalu Amerika menggeser Rusia sebagai produsen gas terbesar. Booming produksi di AS
terjadi berkat penerapan teknologi.
Produksi melonjak 60 persen dan kini produksi lebih banyak dari impor. Peningkatan
produksi ini telah mengubah segalanya. Amerika mulai mengurangi impor dari negara OPEC
dan menargetkan 65% dari produksi domestik. Pada Desember 2013, Menteri Perminyakan
Arab Saudi Ali Al Naimi menyatakan Amerika akan mengimpor 1,4-1,5 barel per hari selama
2014, tapi sampai Oktober hanya 878.000 barel per hari.
Arab Saudi mengerang. Bayangkan sejak 2005, impor menurun sebesar 54% dari Arab Saudi,
56% dari Venezuela, 59% dari Meksiko, dan 100% dari Nigeria. Pergeseran lanskap sumber
dan pasar minyak dunia tentu mempengaruhi perilaku, asumsi, dan kebijakan berbagai
negara.
OPEC tidak bisa lagi leluasa memainkan harga dengan cara biasa. Produksi shale gas dengan
harga yang sangat murah telah memungkinkan ekspor dalam bentuk LNG. Perkembangan itu
telah ikut mengubah paradigma Jepang dalam meningkatkan sekuriti pasokan energi
domestiknya dan menjadikan dirinya sebagai LNG hub di Asia.
Arab Saudi Melawan
Kemampuan produksi Amerika itu sangat menakutkan Saudi, untuk itu perlu dihentikan

46

karena semakin merepotkan OPEC. Tapi bukan lagi dengan cara potong produksi. Diamdiam Saudi memberi potongan harga ke negara Asia. Harga pun meluncur turun. Namun,
Menteri Perminyakan Arab Saudi membantah isu bahwa negaranya melakukan perang harga.
Pada konferensi di Acapulco, Naimi menyebut, Kami tidak berusaha memolitisasi minyak,
ini adalah murni bisnis, katanya. Karena itu, Naimi menekankan perlunya dialog lanjutan
antara OPEC dengan negara konsumen, agar pasar dan harga stabil, baik untuk produsen,
konsumen, investor, dan negara-negara berkembang.
Dengan harga di bawah USD70 per barel akan sulit sekali bagi Amerika untuk mengeduk
minyak dan perekahan formasi batu, karena biaya produksinya lebih dari USD60 per barel.
Dengan harga rendah, bukan hanya Amerika yang terkena, sejagat raya juga akan terkena.
Kanada akan kehilangan sebanyak 193 miliar barel yang tidak bisa dikeduk, 19 wilayah shale
oil di Amerika akan terkena dampak, karena keuntungan sangat tipis pada harga USD75 dolar
per barel.
Perlu Sikap
Kalau analisisnya adalah perang harga, masalah ini bisa bertahan lama. Akan ada sandiwara
baru naik-turun harga. Dunia akan masuk pada dimensi baru, dulu atur produksi antarnegara
OPEC, ke depan jika berdamai, akan atur produksi antara OPEC dan Amerika.
Akan perlu sejumlah aksi bagi Indonesia, yang perlu dilakukan. Pertama, Indonesia kini
mempunyai bargaining position kuat untuk impor jangka panjang di saat produsen kesulitan
ekspor. China memanfaatkannya dengan impor gas jangka panjang di saat Rusia khawatir
pasokan gas ke Eropa barat terganggu akibat konflik Ukraina.
Kedua, perlu segera menetapkan kebijakan subsidi tetap untuk meredam dampak volatilitas.
Ketiga, prioritaskan pengembangan jenis energi baru murah, supaya berkembang dan
berkelangsungan.

IBRAHIM HASYIM
Ketua Umum Alumni Akademi Migas

47

Kebijakan Nasional Dorong Inovasi


Koran SINDO

15 Desember 2014

Ekonomi Indonesia tengah berada di persimpangan jalan. Selama ini ekonomi nasional sangat
tergantung pada kekayaan sumber daya alam, mulai dari pertanian, perkebunan, mineral,
tambang, kelautan hingga warisan budaya.
Di tengah persaingan global, Indonesia semakin dituntut untuk mampu meningkatkan nilai
tambah melalui peningkatan produktivitas nasional. Menghadapi persaingan di ASEAN,
barang dan jasa yang dihasilkan oleh Indonesia tidak hanya dituntut semakin murah dan
berkualitas, tetapi juga harus lebih inovatif relatif dibandingkan dengan yang dihasilkan
negara pesaing.
Pengembangan dan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan
inovasi produk/jasa Indonesia menjadi faktor penting pendorong pertumbuhan ekonomi di
masa depan. Inovasi nasional perlu ditumbuhkan menjadi salah satu program prioritas
nasional. Sistem, prosedur, dan kebijakan di tingkat nasional semakin diperlukan untuk
menggairahkan budaya inovasi.
Semangat untuk terus melakukan perbaikan, baik dari sisi mekanisme dan administrasi kerja,
proses produksi, maupun menemukan solusi inovatif dari persoalan-persoalan sosial-ekonomi
perlu terus kita tingkatkan.
Pengalaman banyak negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Kanada, Jepang, dan Korea
Selatan menunjukkan, pemerintah menjadi aktor penting pendorong budaya inovasi. Melalui
serangkaian kebijakan, baik berupa stimulus pajak, alokasi anggaran riset nasional,
optimalisasi lembaga riset nasional dan perguruan tinggi, serta integrasi dengan proses
industrialisasi menjadikan negara-negara tersebut terus mampu menjaga daya saing (national
competitiveness) produk dan jasa yang dihasilkan.
Sementara itu, industri, perusahaan, perguruan tinggi, lembaga pembiayaan (seperti bank dan
asuransi), media dan masyarakat juga terlibat aktif membangun komunitas inovasi-produktif
negara tersebut. Karena itu political-will dan dukungan pemerintah mendapatkan dukungan
dari segenap lapisan untuk membangun basis innovation-driven economy.
Bagi Indonesia, sekarang adalah saat yang tepat untuk membangun kebijakan nasional
mendorong budaya inovasi-produktif. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan
pemerintah untuk dapat mengakselerasi dan memperluas budaya inovasi-produktif nasional.
Pertama menjadikan inovasi sebagai sistem, proses dan budaya kerja membutuhkan critical
mass.

48

Pendidikan menjadi ujung tombak dalam hal ini. Sehingga program wajib belajar perlu terus
ditingkatkan. Wajib belajar perlu terus ditingkatkan sampai pendidikan tinggi. Dengan
semakin banyak masyarakat Indonesia yang akses ke perguruan tinggi, akan semakin besar
sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan, kompetensi dan skill yang
berkualitas. Penggabungan bidang riset dan pendidikan tinggi menjadi satu kementerian
merupakan langkah awal yang baik untuk menyinergikan aktivitas riset-inovatif dan
perguruan tinggi.
Kedua, dalam jangka pendek, pemerintah dapat mengoptimalkan sinergi lembaga-lembaga
yang terkait dengan aktivitas riset, inovasi dan sistem produksi nasional. Pemerintah dapat
mengoptimalkan peran Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi bersama-sama dengan
Komite Inovasi Nasional (KIN) untuk merancang arsitektur inovasi-produksi nasional.
Koordinasi dengan Bappenas dan kementerian lain seperti Kementerian Keuangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, dan Kementerian Kehutanan perlu terus
ditingkatkan.
Untuk dapat mengelola kegiatan lintas kementerian juga dapat dipertimbangkan satuan tugas
khusus di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang khusus membidangi
inovasi nasional.
Ketiga, kebijakan dan stimulus dalam hal fiskal dan anggaran untuk pengembangan dan
pemanfaatan hasil riset nasional juga perlu dilakukan. Kebijakan berupa pembebasan pajak
bagi aktivitas riset nasional, memperbesar alokasi anggaran bagi lembaga-lembaga riset
nasional (seperti Lapan, Puspitek, BPPT, LIPI dan lembaga riset di masing-masing
kementerian/lembaga) sampai kebijakan alokasi anggaran riset BUMN.
Untuk yang terakhir, Kementerian BUMN dapat menugaskan masing-masing BUMN tidak
hanya memperbesar alokasi anggaran bagi capital expenditure (capex) dan CSR, tetapi juga
dapat menetapkan besaran minimum anggaran BUMN bagi kegiatan riset terkait dengan
sistem produksi perusahaan.
Keempat, pemerintah pusat dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah serta perusahaan
swasta/BUMN untuk membuat kluster inovasi di masing-masing kawasan industri.
Pemerintah China, Jepang dan Taiwan menerapkan sistem ini melalui konsep research park.
Keterlibatan perguruan tinggi di sekitar kawasan industri untuk menyumbang tenaga ahli,
pengetahuan dan penguasaan metodologis sangatlah diperlukan. Sinergi antara kawasan
industri dan perguruan tinggi tidak hanya membuat aktivitas inovasi menjadi berkelanjutan
(sustainable), tetapi juga dapat meningkatkan profitabilitas industri melalui penyempurnaan
teknis produksi dan peningkatan kualitas produk/jasa yang dihasilkan.
Kelima, desain industrialisasi dan hilirisasi yang tengah berlangsung saat ini perlu didukung
oleh penguasaan teknologi serta pemanfaatannya. Pendirian pabrik-pabrik pengolahan karet,

49

cokelat, produk perikanan dan kelautan, mineral dan tambang perlu diimbangi tidak hanya
kualitas tenaga kerja yang profesional, tetapi yang menguasai teknologi.
Perlu adanya program percepatan penguasaan teknologi produksi pemanfaatan sumber daya
alam yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja. Koordinasi dengan Kementerian
Perindustrian perlu segera dilakukan agar tenaga kerja nasional dapat mengisi posisi-posisi
kunci di fasilitas produksi strategis. Tanpa adanya hal ini dikhawatirkan tenaga-tenaga
terampil dari negara lain di ASEAN yang akan mengisinya.
Melalui upaya-upaya di atas kita berharap desain perekonomian nasional tidak hanya
tertumpu pada semangat efisiensi saja, tetapi juga inovasi-produktif. Hal ini mengingat
perekonomian nasional masih berada dalam fase tumbuh (growth) dan bukan dalam fase
stagnan atau resesi. Maka strategi dan kebijakan nasional yang kita butuhkan saat ini adalah
kebijakan yang lebih mendorong pemanfaatan sumber daya nasional secara optimal.
Melalui visi dan orientasi kebijakan nasional tentang inovasi, kita berharap di kemudian hari
daya saing produk, merek dan perusahaan nasional akan terus meningkat di tengah
persaingan baik di tingkat kawasan maupun global.

PROF FIRMANZAH PhD


Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

50

Babak Baru Indonesia-Selandia Baru


Koran SINDO

16 Desember 2014

David Taylor, Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia yang baru saja beberapa hari lalu
meninggalkan Indonesia karena selesai menjalankan tugas, mengatakan, There is no better
time than now to get engaged with Indonesia, to do new things and to explore
opportunities. Demikian ia menggambarkan peluang dan kesempatan ke depan hubungan
Indonesia-Selandia Baru.
Sementara itu, Jose Tavares, Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru yang belum lama
memulai tugasnya, dalam pembicaraan dengan penulis di Wellington minggu lalu
mengatakan setidaknya ada empat prioritas bidang kerjasama bilateral dan urgen, yaitu
geotermal, pertanian-food security, manajemen krisis, dan pendidikan.
Hubungan Jakarta-Wellington akan kian erat dan kuat, tidak saja karena besarnya peluang
dan potensi yang ada, tetapi juga meningkatnya perhatian pemerintah dan non-pemerintah
kedua negara untuk berperan lebih aktif dan menyeluruh. Pertemuan bilateral Presiden Joko
Widodo dan Perdana Menteri Selandia Baru John Key di Myanmar di sela-sela ASEAN
Summit pertengahan bulan lalu, yang membahas isu-isu penting kedua negara, merupakan
indikasi kuat hubungan Indonesia-Selandia Baru semakin penting ke depan.
Demikian juga forum dialog Indonesia-Selandia Baru yang diselenggarakan The Habibie
Center dan Asia New Zealand Foundation awal bulan ini membuktikan non-state actors
kedua negara memiliki perhatian dan komitmen kuat untuk mengisi hubungan dan
memajukan kerja sama bilateral.
Berkembang
Sejak dibukanya hubungan diplomatik tahun 1958, kerja sama bilateral Indonesia dan
Selandia Baru terus mengalami kemajuan di hampir semua bidang. Bahkan dalam beberapa
dekade terakhir, Indonesia dan Selandia Baru mencatat berbagai perkembangan yang
signifikan dan sangat dinamis di bidang- bidang tertentu, khususnya ekonomi dan sosial
budaya.
Sampai Agustus 2014, total perdagangan bilateral mencapai USD894.791 juta, naik 10,49%
dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya USD810.010 juta. Ke Selandia
Baru, Indonesia banyak mengekspor palm kernel, expeller (bungkil kelapa sawit/pakan
ternak), minyak mentah, ban mobil, fertiliser, kertas, TV, kopi dan teh.
Sementara dari Selandia Baru, Indonesia mengimpor dairy products, daging beku, wood

51

pulp, bawang bombai, dan buah-buahan. Neraca perdagangan bilateral menunjukkan,


Selandia Baru surplus USD300 juta, meski ekspor Indonesia naik 9,8 % pada semester
pertama 2014. Tahun 2013, Indonesia tercatat sebagai mitra dagang ke-11 Selandia Baru.
Kerja sama investasi kedua negara juga mencatat angka cukup menggembirakan. April 2013April 2014 investasi Selandia Baru di Indonesia NZD135 juta, utamanya di bidang dairy
industry, konstruksi, hotel dan restoran. Sementara investasi Indonesia di Selandia Baru
NZD147 juta, meliputi properti, peternakan, dan industri kayu.
Sementara itu bidang pendidikan dipayungi kerja sama Arrangement between the Ministry of
National Education of the Republic of Indonesia and the Ministry of Education of New
Zealand on Educational Cooperation, yang ditandatangani Menteri Pendidikan kedua negara
pada Juni 2011.
Sejak penandatanganan itu, berbagai bentuk kerja sama pendidikan terlihat kian nyata, antara
lain peningkatan pemberian beasiswa oleh pemerintah Selandia Baru dan perjanjian kerja
sama pendidikan antarberbagai universitas dan lembaga pendidikan. Saat ini, sekitar 600
mahasiswa Indonesia belajar di berbagai perguruan tinggi di Selandia Baru, terutama di
Wellington dan Auckland. Jika dibandingkan dengan Australia, jumlah ini sangat rendah,
yaitu sekitar 17.000 mahasiswa Indonesia belajar di sana.
Di bidang pariwisata, tahun 2013 wisatawan Selandia Baru ke Indonesia berjumlah 66.484,
meningkat dari 2012 berjumlah 55.857. Sementara pada 2010 hanya 38.000. Sebaliknya,
kunjungan wisatawan Indonesia ke Selandia Baru meningkat dua kali lipat dalam empat
tahun, dari 7.000 tahun 2010 menjadi 14.000.
Selandia Baru memang sangat aktif mempromosikan wisata di Indonesia, terutama setelah
negara berpenduduk 4,5 juta jiwa itu membuka kantor pariwisata di Jakarta. Bahkan Selandia
Baru juga mengangkat figur-figur publik Indonesia sebagai duta pariwisata mereka di
Indonesia.
Dialog 15+15
Awal Desember, bulan ini, The Habibie Center dan Asia New Zealand Foundation
menyelenggarakan 15+15 Dialogue on Indonesia-New Zealand Relations di Selandia Baru.
Forum yang baru pertama kali diselenggarakan itu dimaksudkan untuk bertukar pikiran dan
menampung berbagai pendapat, pandangan dan ide-ide cemerlang dalam upaya
meningkatkan hubungan dan kerja sama Indonesia-Selandia Baru, terutama pada tataran nonpemerintah.
Pesertanya, 15 orang dari Indonesia dan 15 orang dari Selandia Baru adalah kalangan tokoh
pemuda dan profesional dari berbagai latar belakang dan profesi yang memiliki wawasan,
pengalaman, pemahaman dan komitmen internasional yang kuat. Sesuai dengan jumlah
peserta, tiap negara 15 orang, forum dialog itu menggunakan formula 15+15.

52

Dalam forum, terungkap jelas begitu besar potensi dan peluang kerja sama bilateral yang
dapat digali lebih lanjut, baik di bidang ekonomi, media, pendidikan, riset dan teknologi,
sosial maupun seni dan budaya. Terlihat juga dengan jelas, kuatnya komitmen peserta untuk
ikut terlibat dan berperan langsung dalam setiap upaya memperluas jangkauan dan
meningkatkan kualitas kerja sama yang sudah ada serta menyelenggarakan inisiatif-inisiatif
baru sesuai keahlian dan bidang mereka masing-masing.
Menteri Perdagangan Selandia Baru, Tim Gosher, yang juga Duta Besar Selandia Baru untuk
Indonesia tahun 1990-an menilai forum dialog 15+15 itu sangat penting sehingga ia pun hadir
dan berdialog langsung dengan peserta dalam jamuan makan malam. Untuk bertemu peserta
dialog tersebut, Tim Gosher harus naik mobil lebih 1,5 jam karena dialog 15+15 itu
diselenggarakan di Martinborough, kota kecil di sebelah utara Wellington.
Mengingat pentingnya forum dialog itu, Direktur Eksekutif The Habibie Center Rahimah
Ima Abdulrahim mengatakan akan menyelenggarakannya setiap tahun, yang pada 2015
diselenggarakan di Indonesia.
Tantangan
Pertemuan bilateral Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri John Key pada level
pemerintah dan 15+15 Dialogue on Indonesia-New Zealand Relations pada level nonpemerintah akan memberi dampak besar menuju babak baru hubungan Indonesia-Selandia
Baru. Pertemuan kedua kepala negara, tentu akan ditindaklanjuti saling kunjung pejabat
pemerintah guna merealisasi rencana kerja sama. Demikian pula 15+15 Dialogue akan
menjadi driver, mesin pendukung, dan energi baru hubungan dan kerja sama bilateral ke
depan.
Namun tantangan tentu saja ada. Salah satunya, meski hubungan bilateral kedua negara sudah
terjalin sejak lebih 50 tahun lalu, pengetahuan dan pemahaman masyarakat Selandia Baru
terhadap Indonesia masih rendah.
Demikian pula sebaliknya. Persepsi sebagian masyarakat Selandia Baru terhadap Indonesia
selama ini cenderung keliru terutama mengenai isu-isu HAM dan perkembangan politik
dalam negeri Indonesia. Ini disebabkan berita pers setempat tentang Indonesia tidak banyak.
Jika pun ada, cenderung tidak akurat dan tidak komprehensif.
Selain itu, media Selandia Baru tidak mendapatkan sumber informasi yang akurat. Hampir
semua berita pers tentang Indonesia di Selandia Baru dikutip dari media pers negara
tetangganya yang selama ini memang kurang bersahabat dengan Indonesia. Karena itu,
hubungan dan kerja sama antarmedia pers kedua negara menjadi sangat penting guna
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat bangsa kedua negara.
AL BUSYRA BASNUR
Pengamat Internasional

53

2015:Tahun Lembu Kurus


Koran SINDO

17 Desember 2014
Dahulu kala raja Mesir memimpikan munculnya tujuh lembu gemuk lalu dimakan tujuh
lembu kurus. Nabi Yusuf menafsirkan bahwa mimpi tersebut berarti Mesir akan alami tujuh
tahun masa kesuburan dan kemakmuran yang diikuti oleh tujuh tahun kekurangan air dan
gagal panen.
Nabi Yusuf lalu diberi mandat untuk meningkatkan produksi pangan selama tujuh tahun
subur, dan menyiapkan sistem penyimpanan surplus pangan untuk mencukupi kebutuhan
rakyat pada masa tandus sehingga tidak terjadi kelaparan massal.
Apabila presiden Indonesia mendapat mimpi tentang perekonomian mendatang,
kemungkinan besar isyaratnya akan berupa dua lembu kurus yang dimakan dua lembu
gemuk. Periode 2015-2016 adalah masa menanam dan menata ulang ekonomi untuk
memanen pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran pada periode 2017-2018.
Warisan Tantangan
Beberapa waktu lalu pada rubrik Opini (KORAN SINDO, 22/10), penulis menjabarkan bahwa
SBY meninggalkan warisan ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi yang menurun,
deindustrialisasi dan melambatnya pengentasan kemiskinan. Juga terjadi penurunan ekspor
non-migas dan meningkatnya impor (khususnya migas) yang memicu defisit neraca
perdagangan sehingga rupiah terus melemah.
Pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir didominasi oleh konsumsi dalam negeri yang
memiliki proporsi pada kisaran 55%. Akibatnya perekonomian Indonesia rentan inflasi ketika
permintaan meningkat sekitar lebaran dan distribusi bahan makanan terhambat hujan serta
ombak. Dengan melambatnya perekonomian maka pertumbuhan ekonomi di 2015 akan sulit
menembus 6%. Itu kondisi yang harus dihadapi.
Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2015 di kisaran 5,4-5,8%, sedangkan
proyeksi Bank Dunia lebih rendah pada 5,2%. Padahal, Indonesia akan alami bonus
demografi dengan meningkatnya proporsi tenaga kerja produktif pada 2020-2030. Jangan
sampai periode tersebut justru menjadi masa peningkatan pengangguran dan masalah sosial.
Reorientasi Ekonomi
Mencapai ekonomi Indonesia yang kokoh, kompetitif dan lepas dari middle income trap tidak
mudah. Dibutuhkan lima pilar, yaitu reindustrialisasi, perbaikan infrastruktur, pertumbuhan

54

sektor primer, peningkatan kualitas SDM, serta reformasi birokrasi. Sektor industri adalah
motor pertumbuhan di Orde Baru yang berhasil mengangkat puluhan juta orang keluar dari
kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di China, Korsel, dan Vietnam tidak
dapat dilepaskan dari sektor manufaktur. Industri mendorong pertumbuhan sektor terkait
serta meningkatkan penguasaan teknologi yang bisa digunakan pada banyak perusahaan
(technological spillover). Pelarangan ekspor mineral mentah yang diterapkan sejak awal 2014
menyebabkan perusahaan tambang harus membangun smelter dan fasilitas pengolahan biji
mineral yang membutuhkan sekitar 2-3 tahun.
Demikian juga dengan pembangunan kilang minyak sehingga lebih banyak produksi minyak
mentah Indonesia yang bisa diproses dalam negeri. Namun, semua itu membutuhkan
perbaikan jalan, pelabuhan dan peningkatan suplai listrik.
Pilar ketiga adalah sektor primer (pertanian, peternakan, perikanan, dan perhutanan)
menyerap hampir setengah tenaga kerja, terutama yang berpendidikan rendah, namun hanya
alami pertumbuhan rata-rata 3,6%.
Petani, peternak, nelayan, dan pengolah hasil hutan tidak harus miskin, profesi serupa di
banyak negara jauh lebih baik kesejahteraannya. Perbaikan keterampilan serta akses modal
dan peralatan akan menaikkan produktivitas dan nilai tambah. Sektor kelautan bisa menjadi
quick win ekonomi Indonesia di 2015, karena saat ini produktivitasnya per kilometer persegi
hanya 10% dibandingkan Thailand dan Filipina.
Lebih dari setengah tenaga kerja di Indonesia masih lulusan SMP atau lebih rendah.
Kemendikdasmen perlu bekerja keras untuk menaikkan jumlah tenaga kerja yang lulus SMA
dengan meningkatkan kualitas pengetahuan dan ketajaman analisa. Pembangunan gedung
sekolah dan pelatihan guru membutuhkan waktu beberapa tahun.
Untuk tenaga kerja yang sudah di luar usia sekolah, Kemenaker dapat meningkatkan
keterampilan mereka dengan memfasilitasi (langsung atau dengan insentif bagi perusahaan)
kursus singkat sehingga pekerja lebih produktif dan bisa mendapatkan penghasilan tambahan.
Pilar terakhir adalah reformasi birokrasi pemerintah. Kualitas aparat sipil negara (ASN) perlu
diperbaiki untuk meningkatkan penerimaan negara, khususnya pajak yang lebih rendah
dibanding negara tetangga, dan mengelola pengeluaran sehingga meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara nyata dan tidak hanya menghabiskan anggaran. UU ASN memungkinkan
pemerintah untuk merekrut orang dari sektor swasta, universitas, dan LSM untuk menjadi
eselon satu dan dua.
Taichi Ekonomi
Strategi jangka menengah perlu dilengkapi dengan strategi jangka pendek. Sambil menunggu

55

berbuahnya strategi jangka menengah di atas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Prinsip
Taichi adalah menggunakan kelemahan untuk kemenangan. Nilai rupiah yang melemah tidak
otomatis berdampak negatif melainkan kesempatan untuk meningkatkan ekspor Indonesia
yang harganya turun sehingga lebih kompetitif. Hampir seperlima ekspor Indonesia terdiri
dari lemak dan karet yang diuntungkan dengan kondisi ini.
Quick win di sektor kelautan selain dari segi jumlah juga perlu transisi ke produk high value
seperti tuna, lobster, dan ikan hias. Naiknya harga barang baku impor harus disikapi anggap
peluang untuk menyediakan substitusi domestik sehingga struktur industri kita lebih kukuh.
Masuknya tenaga terdidik ASEAN pasca-MEA perlu diarahkan secara selektif pada sektor
yang memang kekurangan secara kronik untuk meningkatkan produktivitas sambil menunggu
tersedianya lulusan domestik.
Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden Amerika Serikat, John F Kennedy menyatakan
bahwa deretan mimpi yang ingin diwujudkan untuk perbaikan negaranya butuh waktu
panjang. But let us begin.

BERLY MARTAWARDAYA
Ekonom UI dan Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

56

Ekonomi Jalan di Tempat


Koran SINDO

22 Desember 2014

Kampanye revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo rupanya belum
menyentuh ruang birokrasi. Hal ini tecermin dari ruang fiskal yang besar seharusnya
pemerintah pusat mampu merealisasikan pembangunan.
Apalagi, Kabinet Kerja Presiden Jokowi ingin secepatnya melakukan lompatan pembangunan
dalam lima tahun ke depan. Namun, perilaku birokrasi serta sistem kerja birokrasi menjadi
hambatan utama. Presiden boleh berganti namun birokrasi dan sistemnya tetap sama.
Hingga Oktober 2014, serapan belanja modal pemerintah pusat hanya menyerap anggaran
44,4% atau sekitar Rp71,4 triliun dari total belanja modal APBN-P 2014 sebesar Rp160,8
triliun. Persoalan makin mengecewakan di saat pemerintah pusat tidak mampu menyerap
anggaran APBN secara maksimal, pemerintah memotong subsidi bahan bakar
minyak. Akibat pemotongan subsidi BBM, pemerintah pusat memiliki uang Rp110 triliun.
Pola kerja birokrasi sudah menjadi rahasia umum memiliki siklus rendah di semester awal
dan menanjak pada akhir tahun. Akibatnya belanja anggaran cenderung boros, sekaligus tidak
tepat sasaran.
Sejak beberapa tahun belakangan, realisasi anggaran cenderung lambat sehingga terjadi
penumpukan target penghabisan anggaran di akhir tahun. Padahal, pemerintahan baru butuh
birokrasi sebagai mesin pembangunan agar pembangunan berjalan sesuai dengan target dan
perencanaan. Reformasi birokrasi menjadi agenda utama karena pola menghabiskan anggaran
di akhir tahun kasatmata mulai dari pengaspalan, perbaikan gorong-gorong air hingga
pembergantian separasi jalan.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, serapan anggaran Daerah Khusus Jakarta
menjadi tolok ukur serapan anggaran pemda seluruh Indonesia. Serapan anggaran DKI sangat
mengecewakan hanya 31% dari total nilai APBD DKI sebesar Rp72 triliun. Daerah lain yang
juga rendah serapan anggarannya yakni Kalimantan Timur, Papua, dan Riau.
Sistem Kejar Setoran
Tahun ini belanja pemerintah mengalami kenaikan dari Rp112,9 triliun menjadi Rp160,8
triliun. Meningkatnya anggaran belanja itu seharusnya diikuti dengan penyerapan anggaran
yang lebih baik, sehingga tidak menumpuk di akhir tahun. Kebiasaan menghabiskan serapan
belanja pemerintah pada akhir tahun yaitu November dan Desember, terlihat pada siklus
lonjakan realisasi belanja khususnya belanja modal.

57

Persoalan lain yakni transisi pemerintahan menyebabkan kevakuman kebijakan. Terutama


pada Agustus hingga September, seluruh birokrat dalam pemerintahan tidak berani
mengambil kebijakan. Akibatnya realisasi belanja modal menumpuk di akhir tahun. Bahkan
proses lelang berlangsung lebih lama karena menteri baru akan memeriksa tiap kegiatan lebih
hati-hati.
Rendahnya serapan anggaran juga dipicu enggannya para birokrat menangani proyek-proyek
pemerintah. Baik di pemerintah daerah maupun proyek kementerian. Kasus proyek
Transjakarta yang menimpa Kepala Dinas Perhubungan DKI membuat banyak birokrat
enggan menjadi kepala proyek. Mereka takut dijadikan korban sebuah kebijakan dari
pemerintah.
Kondisi ini cukup memprihatinkan. Karena terjadi kekosongan pelaksana pembangunan.
Padahal, anggaran negara menjadi stimulus menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Jika
belanja kementerian rendah, laju pertumbuhan mandek. Artinya, penyerapan anggaran yang
rendah akan memengaruhi kegiatan ekonomi lainnya, terutama terkait dengan kegiatan di
sektor riil.
Berpacu Dengan Pelambatan Ekonomi
Beragam tantangan di tahun 2015 ada di depan mata. Pemotongan subsidi BBM
menyebabkan turunnya daya beli masyarakat. Ditambah kebijakan ekonomi ketat Bank
Indonesia menaikkan BI rate hingga 7,75% menyebabkan naiknya bunga bank. Ujungujungnya masyarakat terbebani dengan kenaikan bunga bank.
Seiring dipangkasnya subsidi BBM mengakibatkan kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan tarif
transportasi umum dan kebutuhan sembako pun naik. Akibat rentetan kebijakan ekonomi ini
Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,1%. Dengan melambatnya
ekonomi tahun depan, seharusnya pemerintah pusat mengoptimalkan belanja negara untuk
menguasai pasar domestik ketika perekonomian global melemah.
Ini merupakan kesempatan bagi Indonesia memperkuat pasar domestik saat perekonomian
China dan India melemah. Pemerintah perlu menetapkan satu kebijakan strategis agar sumber
daya produksi dan distribusi diarahkan untuk pasar domestik. Optimalisasi pembangunan
pasar domestik bisa terlaksana jika penyaluran anggaran infrastruktur dijalankan.
Karena pasar domestik masih mampu mendorong pertumbuhan, pemerintah tidak perlu
khawatir perekonomian nasional akan melemah. Meski tantangan paling nyata adalah
melemahkan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan naiknya angka pengangguran, tingkat
pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2014 mencapai 5,70%, diperkirakan naik
pada akhir tahun setelah kenaikan BBM.
Dengan rapor akhir tahun, rendahnya serapan anggaran menunjukkan pemerintah belum
fokus membangun ketertinggalan infrastruktur nasional seperti, jalan, pelabuhan, bandara,

58

kereta api, atau migas. Padahal, ketepatan pelaksanaan proyek sangat penting untuk
mendorong pertumbuhan dan mempercepat pembangunan ekonomi, sehingga kesejahteraan
rakyat bisa segera diwujudkan.
Dengan kondisi akhir tahun tanpa ada serapan anggaran modal secara optimal, sulit
memunculkan revolusi mental di kalangan birokrasi. Akibatnya pembangunan berjalan
lambat dan kesejahteraan rakyat jauh dari jangkauan.

EDDY SUPRAPTO
Jurnalis Ekonomi

59

Shock Jelang Akhir Tahun


Koran SINDO

22 Desember 2014

Perekonomian dunia mengalami tiga guncangan (shock) menjelang berakhirnya tahun 2014.
Ketiga isu ini diprediksi tidak hanya memengaruhi kinerja perekonomian dunia pada kuartal
IV 2014 saja, melainkan juga akan sangat menentukan situasi perekonomian dunia sepanjang
tahun 2015.
Hampir semua negara, baik maju maupun berkembang, saat ini terus mewaspadai arah dan
pergerakan ketiga isu besar dan berancang-ancang sekaligus merumuskan policy responses
sebagai bentuk mitigasi dampak terhadap perekonomian negara mereka. Bagi Indonesia,
ketiga isu besar ini juga perlu kita waspadai meskipun dampaknya berbeda antara satu isu
dengan lainnya.
Isu pertama mengenai rencana The Fed untuk menyesuaikan suku bunga acuan setelah
berakhirnya kebijakan quantitative easing III. Minggu lalu, menjelang pertemuan Federal
Open Market Committee (FOMC) 16-17 Desember, kekhawatiran bahwa The Fed akan
menaikkan suku bunga acuan telah menciptakan guncangan pasar keuangan dunia. Spekulasi
akan hal ini meningkatkan capital outflow dari negara emerging dan berkembang sehingga
nilai tukar mata uang di banyak negara melemah.
Baik otoritas moneter maupun fiskal di banyak negara sangat fokus untuk merumuskan
kebijakan yang tepat dan terukur guna menahan kejatuhan nilai tukar mata uang dan tidak
membahayakan fundamental ekonomi mereka.
Kejatuhan nilai tukar mata uang juga dialami Indonesia. Nilai tukar rupiah pada perdagangan
minggu lalu tepatnya 15-17 Desember 2014 mengalami tekanan dan terdepresiasi di rentang
1-2%. Bahkan tercatat sesi perdagangan 16 Desember 2014 mata uang rupiah terdepresiasi
terhadap dolar AS sebesar 2,3%. Depresiasi nilai tukar rupiah yang hampir menyentuh level
Rp13.000 per dolar AS merupakan yang terendah sejak Juni 1998 yang berada di level
Rp16.650 per dolar AS. Apabila kita bandingkan dengan situasi selama krisis subprime
mortgage pada 2008, nilai tukar rupiah minggu lalu terdepresiasi lebih dalam dibandingkan
dengan periode November 2008 yang berada pada level Rp12.650 per dolar AS.
Kita bersyukur, ternyata rapat FOMC minggu lalu menyepakati untuk menunda pengumuman
kenaikan suku bunga acuan. Pernyataan The Fed menenangkan pasar dan membuat capitalinflow terjadi sehingga nilai tukar rupiah mulai stabil di level Rp12.500 per dolar dan indeks
harga saham gabungan (IHSG) juga menguat pada perdagangan Kamis (18/12) dan Jumat
(19/12).

60

Namun tentunya kita perlu terus mewaspadai isu ini mengingat The Fed hanya menunda dan
ketika waktunya dianggap tepat, keputusan menaikkan suku bunga acuan sebagai bentuk
normalisasi kebijakan moneter akan dilakukan pada 2015. Ketika keputusan itu suatu saat
diambil, kita semua harus bersiap diri untuk memitigasi baik dari sisi moneter, fiskal maupun
sektor riil.
Isu kedua mengenai jatuhnya harga minyak mentah dunia hingga di bawah USD60 per barel.
Bahkan tercatat pada perdagangan 17/12, WTI crude oil price pada posisi USD55,50 per
barel dan harga acuan Eropa, Brent crude oil price, berada pada posisi USD59,90 per barel.
Harga minyak mentah dunia jatuh akibat persaingan antarnegara produsen utama minyak dari
Timur Tengah, utamanya Arab Saudi, untuk mengalahkan biaya keekonomian shale oil di
Amerika Serikat. Dengan dipertahankannya volume produksi di saat permintaan dunia
melemah, otomatis harga minyak mentah dunia akan jatuh.
Pertemuan OPEC terakhir tahun ini memutuskan untuk mempertahankan volume produksi
agar membuat biaya eksplorasi shale-oil di Amerika Serikat menjadi lebih mahal. Seperti kita
ketahui biaya keekonomian shale-oil di AS mencapai USD70 per barel. Maka ketika harga
minyak mentah dunia berada di bawah USD60 per barel, seperti harga saat ini, diharapkan
tidak banyak eksplorasi shale-oil yang dilakukan di AS.
Isu ketiga adalah krisis ekonomi yang dialami Rusia. Baru-baru ini Bank Sentral Rusia
menaikkan suku bunga acuan sebesar 650 basis poin hingga di level 17%. Suku bunga acuan
di Rusia saat ini adalah yang tertinggi sejak krisis ekonomi Rusia pada 1998. Keputusan ini
tentunya mengagetkan banyak negara, utamanya Eropa dan negara-negara mitra strategis
dengan Rusia baik perdagangan maupun investasi.
Rusia menghadapi tiga tekanan ekonomi sekaligus, yaitu kejatuhan harga minyak mentah
dunia yang memukul ekspor Rusia, embargo ekonomi akibat krisis di Ukraina, dan kejatuhan
mata uang rubel. Bank Sentral Rusia telah menghabiskan tidak kurang dari USD80 miliar
untuk operasi pasar menahan kejatuhan rubel. Meski Rusia masih memiliki cadangan devisa
yang cukup besar, eskalasi memburuknya situasi regional dan nasional tidak mampu
menahan jatuhnya mata uang negara itu. Bila dibandingkan dengan posisi rubel akhir tahun
lalu (31/12/13) yang berada pada posisi 32,87 per dolar AS, dengan posisi rubel yang
mencapai 69,09 (16/12/14), nilai tukar mata uang tersebut telah terdepresiasi lebih dari 100%.
Situasi di Rusia memang tidak akan berdampak langsung terhadap perekonomian nasional.
Namun situasi krisis di Rusia akan sedikit banyak memengaruhi negara-negara di Eropa yang
menjadi mitra strategis kegiatan ekspor dan investasi bagi Indonesia.
Selain itu, ketidakpastian akan arah perekonomian dunia akibat rencana The Fed menaikkan
suku bunga, anjloknya harga minyak mentah dunia, dan krisis ekonomi Rusia masih akan
sangat tinggi. Mengenai anjloknya harga minyak mentah dunia, sejumlah negara eksportir
minyak mentah dunia seperti Nigeria dan Venezuela berada dalam situasi sulit atas jatuhnya

61

sumber penerimaan utama negara mereka. Tidak membaiknya harga minyak mentah dunia
dikhawatirkan akan menambah jumlah negara baru yang akan masuk dalam krisis ekonomi.
Seperti halnya negara lain, bagi Indonesia, kita perlu terus meningkatkan kewaspadaan dan
koordinasi antarlembaga untuk menghasilkan kebijakan yang tepat dan terukur sepanjang
tahun 2015. Kita perlu optimistis apabila kita mampu memitigasi dampak krisis subprimemortgage pada 2008-2009, kita juga akan mampu secara baik melewati ekonomi 2015 di
tengah ketidakpastian global. Memang bukan pekerjaan yang sederhana, tetapi ketika otoritas
moneter dan fiskal secara aktif melakukan koordinasi dan harmonisasi kebijakan, sektor riil
dan target pencapaian perekonomian nasional sepanjang 2015 akan tetap terjaga.

PROF FIRMANZAH PhD


Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

62

Mitos Sektor Perikanan Indonesia


Koran SINDO

22 Desember 2014

Pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang ingin meningkatkan target
penangkapan ikan laut dapat dimaknai dalam dua perspektif. Pertama, membawa pesan
sindiran atas lemahnya industri hasil olahan komoditas ikan. Kedua, menyiratkan
keberlanjutan mindset lama tentang kepercayaan atas berlimpahnya kekayaan laut Indonesia
yang tidak terbatas (abundance and unlimited resources).
Dengan luas teritorial sekitar 284.210 km2 dan zona ekonomi eksklusif seluas 2.981.211
km2, tidak berlebihan jika memiliki kepercayaan atas besarnya potensi alam laut
Indonesia. Namun dalam lintasan sejarah ekonomi Indonesia, sektor perikanan tidak pernah
menjadi tulang punggung pendapatan ekonomi negara. Berbeda dengan beberapa negara
kepulauan lainnya seperti Swedia atau Norwegia yang menjadikan sektor perikanan sebagai
sumber penting bagi pendapatan negaranya.
John Butcher (2004) menyimpulkan bahwa negara di Asia Tenggara baru mulai tertarik untuk
mengembangkan sektor perikanan di awal 1800 termasuk mengalokasikan subsidi. Pada
masa negara kolonial Hindia Belanda, industri perikanan lebih banyak diinisiasi oleh orang
lokal dari China atau Arab, seperti di Bagan Si Api Api untuk industri pengasinan ikan atau
pengumpulan teripang dan kerang mutiara di wilayah Maluku-Aru.
Pihak penguasa negara kolonial masih fokus pada komoditas konvensional pertanian
sehingga beroperasinya kapal-kapal milik Jepang, Vietnam, China-Taiwan dan Thailand di
sekitar perairan kepulauan tidak dianggap sebagai ancaman ekonomi.
Baru di awal 1950, negara Indonesia merdeka melirik sektor perikanan sebagai hal penting
dalam strategi pembangunan ketahanan pangan seiring peningkatan populasi. Bahkan, sektor
perikanan menjadi kunci kesediaan Indonesia ikut menandatangani perjanjian damai San
Francisco tahun 1952 serta paket konsensi Jepang untuk mengakui perairan kepulauan
Indonesia di tahun 1962 pasca-Deklarasi Djuanda tahun 1957.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa di tahun 2007, sektor perikanan hanya
menyumbang 2,47% dari produk domestik bruto atau sekitar Rp97,697 miliar dan hanya
meningkat 3,10% di tahun 2010 atau Rp199,219 miliar. Sindiran tentang komoditas laut
label Malaysia tampaknya tepat diletakkan dalam kritik besar terhadap struktur ekonomi
Indonesia yang masih menitikberatkan pada ekspor barang mentah daripada olahan yang
tentu memiliki nilai jual lebih tinggi.

63

Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak produk mentah Indonesia yang diekspor ke China,
Singapura, atau Malaysia dengan harga murah, lalu dijual dan dikemas ulang sebagai
produk label mereka dengan nilai jual yang jauh lebih tinggi di pasar dunia.
Kecenderungan ekspor barang mentah dalam sektor perikanan Indonesia nampaknya
mendominasi para pengambil kebijakan.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011 dengan jelas menampilkan
minimnya produksi pengolahan hasil laut (industri hilir) jika dibandingkan dengan produksi
hasil laut (industri hulu). Jika di 2010, industri hulu perikanan menghasilkan pendapatan
sekitar Rp199,219 miliar, maka industri hilir hanya mampu bernilai Rp17,918 miliar.
Kondisi ini dapat dimaklumi jika disandingkan dengan data statistik tentang masih
minimnya ketersediaan pelabuhan dan pasar ikan, produksi es dan penyimpanan ikan (cold
storage), produksi garam, serta tempat dan sentra pengolahan ikan.
Beberapa pihak meyakini bahwa kebijakan transshipment yang dikeluarkan Kementerian
Kelautan dan Perikanan menunjukkan kurang keberpihakan terhadap pengembangan industri
hilir perikanan, selain menguatkan persepsi ketidakmampuan sistem pengawasan terhadap
penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia dan minimnya kapabilitas kapal-kapal
penangkap ikan Indonesia.
Data KKP mencatat tindakan pidana perikanan sebanyak 155 di tahun 2007, 172 di tahun
2010, dan turun di tahun 2011 menjadi 90. Mayoritas tindak pidana masuk dalam kategori
tanpa izin, tanpa izin dan alat tangkap terlarang, serta dokumen tidak lengkap atau lebih
dipahami sebagai tindakan pencurian ikan (illegal fishing).
Kondisi ini jelas menggambarkan lemahnya sistem perizinan dan pengawasan penangkapan
ikan di perairan Indonesia. Tumpang tindih otoritas pengawasan dan lemahnya alutsista di
wilayah perairan Indonesia adalah persoalan klasik yang sering dijadikan justifikasi tentang
lemahnya sistem pengawasan dan pengamanan aktivitas di perairan Indonesia.
Revitalisasi Bakorkamla terbukti belum mampu menyodorkan solusi efektif dalam persoalan
ini. Tak mengejutkan jika illegal fishing di perairan Indonesia yang banyak dilakukan oleh
kapal penangkap ikan berbendera asing khususnya Jepang, Thailand, Vietnam, dan ChinaTaiwan masih seperti penyakit yang belum mau disembuhkan walaupun sudah ditemukan
sumber penyakitnya.
Kajian historis menunjukkan bahwa sejak akhir abad ke-19 beberapa wilayah perairan
Indonesia sudah masuk kategori overfishing khususnya Laut Jawa dan sekitar Selat Malaka.
Indikasi ini sebenarnya mudah terdeteksi dengan maraknya kapal penangkap ikan lintas batas
ini yang bersifat offshore. Akibatnya para nelayan Indonesia dihadapkan pada ancaman
penyusutan jatah penangkapan mereka.
Konsep tragedy of the commons (Hardin 1968) menyebutkan fenomena eksploitasi sumber

64

laut yang dianggap milik bersama sehingga boleh dieksploitasi oleh siapa pun tanpa sadar
adanya batas toleransi sebuah ekosistem. Maraknya konflik nelayan menguatkan indikasi
menipisnya sumber ikan akibat ketakutan mereka terhadap menurunnya jumlah tangkapan.
Apakah tantangan Menteri Susi untuk peningkatan target produksi penangkapan ikan di laut
dilandasi dari asumsi masih rendahnya pengembangan industri hilir atau memang keyakinan
tentang unlimited source di perairan Indonesia? Apakah peningkatan hasil tangkapan akan
meningkatkan kesejahteraan nelayan? Asumsi dasar kebijakan pemerintahan dalam penataan
sistem perikanan menjadi sangat vital dalam memutuskan pilihan penyelesaian persoalan
yang ada.
Pada 1970-an, pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan subsidi penyediaan kapal dan
penggunaan trawl sebagai upaya modernisasi sektor perikanan dan peningkatan kesejahteraan
nelayan. Tujuannya meningkatkan produksi penangkapan ikan. Namun tak lama berselang,
pemerintah mengeluarkan pelarangan penggunaan trawl yang diyakini telah menyebabkan
overfishing di tahun 1980-an.
Kelompok nelayan tetap termarjinalisasi dan mayoritas menjadi kelompok ekonomi miskin.
Salah satu alasannya adalah nelayan dan komunitas kawasan pesisir pantai tidak pernah
diikutsertakan dalam siklus produksi ikan, namun hanya penangkapan ikan saja. Ironisnya,
jumlah nelayan cenderung meningkat walaupun kemiskinan terus menjerat kehidupan
mereka. Ini menunjukkan persoalan struktural. Bandingkan dengan Swedia misalnya di mana
jumlah nelayan menyusut drastis karena terserap dalam industri dan modernisasi perikanan
diwujudkan efisiensi penangkapan ikan. Bahkan, pengembangan industri pariwisata
kepulauan diintegrasikan dengan sistem manajemen kawasan pesisir.
Dalam semangat revolusi mental, pilihan perspektif dan asumsi menjadi penting dalam
mengidentifikasi masalah, pilihan solusi, serta penetapan parameter atau target sebuah solusi.
Beberapa mitos dalam penataan sektor perikanan harus segera didekonstruksi seperti target
peningkatan pendapatan perikanan melalui peningkatan hasil tangkap semata, sumber laut
yang berlimpah dan dapat bergenerasi dengan sendirinya (unlimited resources), subsidi
langsung terhadap nelayan tanpa pengembangan industri pengelolaan.
Masih maraknya penggunaan bahan peledak merupakan ekspresi ekstrem dari hadirnya mitos
unlimited resouces. Konsep common property resources yang sering dilekatkan pada arti laut
harus segera berganti menjadi common pool resources (CPR), yaitu penataan sistem
manajemen perikanan didasarkan dari asumsi sumber daya alam yang terbatas.

SHISKHA PRABAWANINGTYAS
Dosen Tetap di Prodi Hubungan Internasional, Universitas Paramadina; Kandidat Doktor di
Universitas Humboldt, Berlin

65

Quo Vadis Pemerintahan Jokowi-JK?


Koran SINDO

23 Desember 2014

Rakyat memantau dan menantikan kinerja Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo-Wakil
Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Para menteri mencontoh gaya kepemimpinan Presiden
Jokowi untuk turun ke bawah.
Namun, blusukan beberapa menteri terkesan mementingkan pencitraan dan cenderung
menyelesaikan persoalan di level mikro. Padahal mereka seharusnya membuat berbagai
kebijakan strategis, bukan banyak bicara mengingat semakin kompleksnya problem bangsa
kita saat ini.
Presiden Jokowi memulai perjalanan ke luar negeri dengan menghadiri KTT APEC di China,
lalu KTT ASEAN di Myanmar, G-20 di Australia, dan terakhir KTT ASEAN-Korea Selatan
di Seoul. Ketika menghadiri berbagai KTT itu, Presiden selalu mengajak investor asing
berinvestasi di Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, belum pernah ada Presiden yang
melakukan perjalanan perdana ke luar negeri langsung promosi investasi sehingga
menimbulkan kesan Indonesia begitu haus bantuan luar negeri.
Di sisi lain, Presiden Jokowi juga belum pernah menawarkan rencana investasi kepada
pengusaha lokal. Padahal cukup banyak pengusaha lokal yang kuat dan mampu.
Amat disayangkan, belum konsolidasi ke dalam, Presiden sudah jualan ke luar. Sebetulnya
tanpa promosi Presiden, investor luar negeri sudah sangat tahu potensi bangsa kita. Tanpa
diundang pun, para investor akan datang karena pasar Indonesia sangat menjanjikan.
Pemerintah sekarang seharusnya fokus menghilangkan hambatan investasi seperti perizinan,
pembebasan lahan, dan kelambanan birokrasi. Apabila setiap jajaran pemerintah memiliki
niat memperbaiki dan mengimplementasikan good governance, kami yakin niscaya rakyat
akan menginvestasikan kemampuannya yang terbaik bagi bangsa ini.
Sekalipun Indonesia negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, kebijakan pemerintah tidak
boleh terlalu liberal. Memang Indonesia masih butuh investasi asing, setidaknya untuk modal
dan teknologi. Namun, sementara pemerintah membiarkan modal asing masuk dengan amat
mudah, daya saing produk industri dalam negeri masih relatif rendah.
Khusus untuk sektor manufaktur yang tidak berkaitan dengan sumber daya alam, modal asing
yang masuk lebih banyak ke Pulau Jawa karena merupakan pangsa pasar terbesar di
Indonesia. Pemerintah seharusnya menggiring mereka berinvestasi di luar Jawa. Dengan

66

kemampuan keuangan dan know-how teknologi yang lebih baik, para investor asing memiliki
stamina untuk memulai di tempat yang belum disentuh investor lokal.
Pemerintah pasti menyadari investasi penanaman modal asing (PMA) lebih banyak di sektor
sumber daya alam, mulai dari tambang, perkebunan, dan perikanan. Namun, PMA tidak
membangun pabrik untuk secondary processing. Bisa dilihat di lingkungan kerja
pertambangan, di mana kondisi rakyatnya tetap tidak sejahtera, sedangkan para penguasa
daerah semakin makmur. Dengan royalti dan pajak yang kurang transparan serta penyerapan
tenaga kerja lokal yang sedikit, mereka bisa bebas mengambil bahan mentah, langsung
diekspor, kemudian uang hasil ekspor diparkir di luar negeri.
Biaya kerusakan alam yang ditimbulkan sangat besar, tetapi kurang diperhatikan. Semua ini
karena law enforcement yang tidak tegas. Harapan kepada pemerintah baru, problem yang
merugikan bangsa dan negara ini bisa terselesaikan dan pengelolaan kekayaan alam kita bisa
berkelanjutan.
Demikian halnya PMA di sektor industri manufaktur yang terlalu digampangkan, padahal
mereka tidak terlalu memikirkan kepentingan jangka panjang bangsa kita. Indonesia
dijadikan tukang jahit. Mereka selalu memegang brand tanpa merencanakan alih teknologi.
Pada dasarnya kita diberi order produksi massal dengan kualitas biasa. Kasus ini menjadi
pembelajaran bagi menteri tenaga kerja dan serikat pekerja. Dengan kemampuan sumber
daya manusia yang rendah dan tidak ditingkatkan kualitasnya, produk yang dihasilkan
merupakan produk biasa yang bisa diproduksi negara lain.
Sebagai contoh, sepatu dengan harga jual di atas USD100 selalu diproduksi di Vietnam dan
China. Sedangkan sepatu produk Indonesia untuk menengah ke bawah. Padahal biaya tenaga
kerja Indonesia lebih mahal daripada Vietnam dan di negara tersebut stabilitas berusaha
sangat baik tanpa unjuk rasa karyawan menuntut kenaikan upah.
Menteri tenaga kerja dan serikat buruh perlu konsolidasi dengan benchmarking ke negara
tetangga yang memiliki kemampuan sama. Apabila selalu menuntut ke dalam tanpa
perbandingan keluar, secara jangka panjang sektor industri manufaktur berbasis padat karya
akan tidak menarik bagi investor dalam maupun luar negeri.
Sekarang sudah bisa dilihat, tren pertumbuhan investasi berbasis padat karya terus menurun.
Upah buruh Vietnam di bawah Indonesia, tapi kesejahteraan dan kualitas hidup di sana lebih
baik. Biaya hidup Vietnam bisa terjangkau karena makanan pokoknya sangat murah.
Mengapa bisa demikian? Hal menarik, sekalipun sumber daya alamnya tidak kaya, Vietnam
mampu berswasembada kebutuhan makanan pokok. Biaya energi mereka tidak disubsidi,
tetapi biaya produksi beras mereka lebih efisien dari kita.

67

Kita bisa bandingkan juga dengan Thailand. Bahan makanannya bahkan lebih murah dari
Vietnam. Biaya energi Thailand salah satu termahal di ASEAN, tapi mengapa kebutuhan
hidup di sana luar biasa murah dibanding kita?
Semestinya dengan kemelut dalam negeri yang cukup parah, Thailand
terpuruk. Kenyataannya jalanan antarprovinsi di negara tersebut tetap mulus, jumlah turis
tetap terbesar di ASEAN, dan harga makanan boleh dikatakan termurah.
Contoh Vietnam dan Thailand patut menjadi studi kasus untuk pembelajaran setiap lapisan
golongan di Indonesia. Kelemahan fundamental kita yakni selalu mengandalkan
berlimpahnya kekayaan sumber daya alam. Sejak merdeka tidak pernah sekali pun
pemerintah berani membangun ekonomi tanpa bersandar pada hasil sumber daya alam. Tidak
heran bila pertumbuhan ekonomi menjadi musiman, sangat bergantung kepada negara lain.
Kita bukan Singapura maupun Thailand. Kita negara dengan populasi terbesar di ASEAN,
keindahan alamnya tidak kalah dengan Italia, serta kekayaan sumber daya alamnya jauh
dibanding Timur Tengah. Tetapi, mengapa turis lebih banyak berkunjung ke Thailand dan
Singapura, bahkan Malaysia?
Rakyat Thailand, Malaysia, dan Singapura lebih sejahtera dari rakyat kita. Laut Vietnam dan
Thailand tidak seluas Indonesia, tetapi mampu mengekspor hasil laut jauh di atas kita. Para
pemimpin bangsa perlu berintrospeksi.
Kita negara besar, kaya, dan berdaulat, tetapi rakyat masih belum sejahtera. Kualitas
pendidikan masih kalah dari Malaysia, Thailand, maupun Vietnam. Lebih banyak warga
negara Thailand, Vietnam, maupun Malaysia yang kuliah di universitas kelas atas di Amerika
Serikat dibanding kita.
Setiap pemimpin mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan para
pemimpin partai politik perlu belajar dari Confucius, seorang filsuf besar China yang
mengatakan, Di negara yang dipimpin dengan baik, kemiskinan adalah sesuatu yang
memalukan; sedangkan di negara yang dipimpin dengan buruk, kekayaan adalah sesuatu
yang memalukan.

TANDEAN RUSTANDY
Chief Executive PT Arwana Citramulia Tbk

68

Integrasi Sektor Perikanan Indonesia


Koran SINDO

23 Desember 2014

Salah satu masalah penting yang dihadapi pemerintah dan nelayan Indonesia adalah
banyaknya pencurian ikan oleh negara asing di perairan Indonesia yang memiliki sumber
daya ikan yang sangat kaya.
Maraknya pencurian ikan ini mungkin disebabkan oleh relatif tingginya stok ikan di perairan
Indonesia dibandingkan perairan negara tetangga, jumlah nelayan kita yang relatif sedikit,
armada kapal nelayan Indonesia yang masih bersifat tradisional, dan kurangnya sarana dan
prasarana serta jumlah pengawas perbatasan perairan Indonesia.
Kelemahan ini dapat dimanfaatkan oleh nelayan negara tetangga yang mungkin memiliki
armada kapal yang lebih modern sehingga dapat lebih cepat mengetahui daerah potensi
penangkapan ikan dan dapat lebih cepat mendeteksi kapal pengawas Indonesia.
Beberapa pendekatan untuk mengurangi pencurian ikan oleh nelayan dari negara tetangga
telah dilakukan pemerintah seperti penangkapan dan memberi efek jera dengan
menenggelamkan beberapa armada kapal asing yang masuk dan mencuri ikan di perairan
Indonesia. Namun, hal ini diduga masih belum efektif karena jumlah dan sarana serta
prasarana pengawas perbatasan kita masih relatif sedikit.
Dana yang tersedia untuk kegiatan pengawasan perbatasan ini juga masih relatif kecil karena
biaya yang digunakan untuk kegiatan pengawasan perbatasan cukup besar. Umumnya, biaya
operasional sebuah kapal berukuran panjang 60 meter atau lebih sebesar Rp100 juta atau
lebih per hari.
Bilamana kecepatan rata-rata kapal pengawas sebesar 10 mil per jam, maka dalam satu hari
(rata-rata 20 jam/hari) dapat menempuh jarak 200 mil/hari atau 360 km/hari. Dengan
menyederhanakan perairan Indonesia dalam empat persegi, maka panjang dari bujur barattimur sekitar 50 derajat x sekitar 110 km/derajat = 5.500 km, lebar dari lintang utara-selatan
sekitar 20 derajat x 110 km/derajat = 2.200 km, maka keliling perairan terluar Indonesia
sekitar (2 x 5.500)+(2 x 2.200) = 15.400 km sehingga dengan kecepatan efektif kapal sekitar
360 km/hari maka diperlukan sebanyak 43 kapal besar untuk mengawasi perbatasan perairan
Indonesia.
Dalam proses pengawasan, kecepatan kapal tidak boleh maksimum sepanjang waktu karena
dalam proses pengawasan kadang berhenti atau mengurangi kecepatan sehingga kalau
dikalikan kecepatan normal dari (setengah) kecepatan rata-rata maka jumlah kapal yang
dibutuhkan menjadi 2 x 43 kapal = 86 kapal.

69

Biaya operasionalnya sekitar 86 x Rp100 juta/hari = 8,6 miliar/hari x 365 hari/tahun =


Rp3,139 triliun/tahun. Perkiraan biaya sederhana ini jauh melebihi anggaran Ditjen
Pengawasan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2014 yang berjumlah Rp800
miliar/tahun; serta hampir setengah dari jumlah anggaran Kementerian Kelautan dan
Perikanan tahun 2014 sebesar Rp6,5 triliun (Nota Keuangan dan APBN RI, 2014).
Berdasarkan analisis Ditjen Pengawasan KKP, jumlah kapal pengawas yang ideal untuk
mengawasi perbatasan perairan Indonesia sekitar 90 buah dan saat ini hanya memiliki
sejumlah 27 kapal. Dengan demikian, dapat dibayangkan keperluan jumlah dana yang sangat
besar untuk membeli sejumlah kapal dan biaya operasional agar dapat mengawasi perairan
perbatasan Indonesia dengan baik (jumlah anggaran Ditjen Pengawasan KKP tidak
mencukupi hanya untuk beli kapal dan biaya operasional).
Bilamana armada kapal dari Angkatan Laut digunakan untuk membantu pengawasan
perbatasan perairan Indonesia, jumlah kapal itu tetap tidak mencukupi mengingat luasan
perbatasan perairan Indonesia yang sangat luas. Untuk itu diperlukan suatu solusi yang
terintegrasi antara pengawasan, penelitian, dan produksi perikanan.
Selain masalah pengawasan, informasi ilmiah terkait stok dan sifat ikan serta paramater
oseanografi lain yang memengaruhi keberadaan ikan serta kesehatan laut masih sangat minim
untuk perairan Indonesia. Hal ini disebabkan minimnya anggaran penelitian di bidang
perikanan dan kelautan yang disediakan pemerintah serta minimnya peralatan laboratorium
dan lapangan untuk mendukung penelitian standar internasional.
Di samping itu, sumber daya manusia di bidang perikanan dan kelautan untuk Indonesia
masih sangat minim. Biaya penelitian di laut juga memerlukan biaya yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan melaksanakan penelitian di darat karena penelitian di laut
menggunakan kapal riset dengan biaya operasional sekitar 100-200 juta/hari.
Masalah lain bagi nelayan Indonesia adalah armada kapal nelayan umumnya relatif bersifat
tradisional dengan ukuran kecil dan sangat sedikit armada kapal berukuran besar serta
berstandar internasional. Di samping itu, harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus
meningkat serta persediaan BBM yang sering langka sangat membebani dan mempengaruhi
produktivitas nelayan tradisional. Dalam era teknologi informasi sekarang ini, seyogianya
nelayan kita dibekali pengetahuan terkait oseanografi dan kaitannya dengan keberadaan ikan
serta pengetahuan teknologi informasi dan satelit.
Dalam kondisi keuangan negara yang sangat terbatas diperlukan suatu terobosan dengan
mengintegrasikan kegiatan pengawasan, penelitian, dan penangkapan ikan di perairan
Indonesia. Pelaksanaan penelitian sangat terbatas karena keterbatasan dana, peralatan armada
kapal riset, dan peralatan laboratorium. Keterbatasan ini dapat disiasati dengan
mengintegrasikan kegiatan pengawasan, penelitian, dan penangkapan ikan.

70

Untuk itu, armada kapal pengawas perlu dilengkapi peralatan laboratorium baik laboratorium
basah, kering, dan komputer untuk dapat digunakan sebagai armada kapal pengawas
sekaligus berfungsi untuk penelitian. Hal ini akan mengefektifkan pemanfaatan dana yang
sangat terbatas.
Armada kapal pengawas ini juga perlu dilengkapi peralatan canggih seperti peralatan akustik,
penginderaan jauh, peralatan bio-optik, flow-through system, dan peralatan oseanografi lain.
Bilamana tidak dapat dilengkapi dengan seluruh peralatan penelitian dalam sebuah armada
kapal, paling tidak setiap armada kapal pengawas dapat dilengkapi dengan sebagian sarana
dan prasarana penelitian.
Bilamana armada kapal pengawas dilengkapi peralatan penelitian, hasil penelitian dari
perairan Indonesia semakin meningkat dan lengkap untuk keperluan perikanan dan bidang
lain. Hasil ini juga dapat digunakan untuk validasi hasil pengukuran satelit serta
pengembangan algoritma satelit untuk perairan Indonesia. Hasil penelitian ini juga dapat
digunakan untuk memperluas wilayah teritorial perairan Indonesia yang seyogianya masih
dapat diperluas dari perbatasan yang ada saat ini.
Pemerintah perlu membantu pengembangan atau modernisasi armada kapal nelayan yang
masih tradisional dan relatif kecil. Armada kapal nelayan ini juga perlu dilengkapi sistem
komunikasi modern sehingga nantinya kapal ini dapat digunakan sebagai alat penelitian atau
ground truth dari satelit terkait. Dengan modernisasi armada kapal nelayan, nantinya satelit
dapat membedakan kapal nelayan Indonesia atau kapal nelayan dari negara lain.
Di samping modernisasi armada kapal nelayan, pemerintah perlu memberikan stimulus
kepada nelayan agar jumlah nelayan dan armada kapal nelayan semakin banyak yang
beroperasi di perairan Indonesia yang secara otomatis akan meningkatkan daya saing dengan
nelayan asing di perairan Indonesia sendiri.
Selain itu perlu diberikan pelatihan terhadap para nelayan akan pengetahuan oseanografi dan
kaitannya dengan keberadaan ikan serta pengetahuan teknologi satelit dalam pendugaan
potensi keberadaan ikan di laut.

BISMAN NABABAN
Dosen di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor

71

Get Connected
Koran SINDO

25 Desember 2014
Pada Anda yang baru saja menjalankan ibadah Natal, perkenankan saya ucapkan selamat
Natal, damai sejahtera bagi kita semua. Tentu saja selamat berlibur pada Anda yang sedang
dalam perjalanan.
Di abad yang terkoneksi oleh teknologi ini kita semua tetap terhubung, kendati letaknya
berjauhan, apa pun juga latar belakang, etnik, dan keyakinan kita. Kadang keterhubungan ini
menimbulkan ketegangan seperti pada pesta-pesta demokrasi lalu, tapi kadang juga
memberikan senyuman.
Misalnya, seorang teman baru saja mengirimkan email tentang pengalamannya di sebuah mal
yang biasanya mudah bertemu Santa. Santanya tidak ada, ujarnya, waktu saya cari,
sekuriti bilang Santa sedang salat Asar dulu. Saya kira jokes seperti itu hanya ada di
sini. Kita, Indonesia yang beragam, kadang merasakan ketegangan, tapi kadang juga
senyuman.
Tapi baiklah, saya baru saja membaca sebuah kajian yang sangat provokatif. Judulnya,
Mobile is Eating the World. Isinya kurang lebih begini. Kajian itu dibuka dengan kalimat,
Untuk pertama kalinya teknologi dijual kepada setiap orang.
Saya, sebagaimana juga banyak orang, mulanya tak begitu percaya bahwa teknologi akan
mampu membawa perubahan yang signifikan. Anda mungkin masih ingat pada ujung tahun
1990-an. Ketika itu, saat harapan kita terhadap peran teknologi sudah melambung begitu
tinggi, sudah tinggal landas. Kenyataannya kita masih tetap berada di landasan.
Itu sebabnya sampai pengujung 1990-an muncul istilah bubble technology. Janjinya lebih
besar ketimbang kenyataannya. Kalau dalam istilah sekarang mungkin teknologi masih
dianggap PHP, atau pemberi harapan palsu.
Tapi, rupanya kondisi semacam itu tidak berlangsung terus. Ada perubahan yang membuat
kehadiran teknologi mulai memainkan peran signifikan.
Supercomputer di Saku
Maaf, supaya persepsi kita sama, saya sedang membahas topik tentang smartphone. Datanya
begini. Sampai dengan 1995, menurut data International Telecommunication Union (ITU),
tak sampai 50 juta penghuni bumi yang online. Bahkan pada 1998, saat baru kembali dari

72

studi di USA, ketika saya memperkenalkan internet marketing, kebanyakan orang gelenggeleng kepala. Jangankan internet, kewirausahaan saja belum jalan saat itu.
Tapi dalam lima tahun kemudian terjadi lompatan yang sangat signifikan. Jumlah penduduk
bumi yang online meningkat menjadi lebih dari 400 juta. Bagaimana dengan tahun 2014?
Menurut perkiraan ITU, jumlah penduduk bumi yang online sudah hampir mencapai 3
miliar. Ini berarti nyaris separuh dari jumlah total penduduk bumi. Ini yang mengejutkan.
Dari seluruh jumlah penduduk yang online itu ternyata dua per tiganya memakai smartphone.
Itu artinya sekitar 2 miliar orang yang online dengan perangkat ponsel pintar tersebut.
Itu belum seberapa. Ramalan ITU yang saya nilai sangat provokatif adalah sampai dengan
2020 jumlah penduduk yang selalu online akan mencapai 4 miliar. Dan, nyaris 100% di
antara, mereka akan online dengan peranti smartphone.
Bagaimana ini bisa terjadi? Sederhana saja. Perangkat mobile tersebut kini menjadi semakin
powerful. Pemicunya adalah teknologi transistor yang ada di dalamnya.
Sekarang ini dalam sebuah iPhone terbaru, jumlah transistor di dalam CPU-nya sudah 625
kali lebih banyak ketimbang jumlah transistor pada prosesor Pentium buatan Intel pada 1995.
CPU adalah singkatan dari central processing unit atau bagian dari komputer yang berfungsi
mengolah setiap data yang masuk.
Baiklah, itu kalau kita bandingkan transistornya dengan transistor yang ada di dalam
prosesor. Sekarang mari kita bandingkan langsung iPhone dengan komputer pribadi
(personal computer atau PC). Rupanya iPhone terbaru yang diluncurkan oleh Apple memiliki
jumlah transistor 25 kali lebih banyak ketimbang yang dimiliki oleh setiap PC buatan tahun
1995.
Jadi, mari kita sederhanakan maknanya. Itu artinya setiap pemilik smartphone memiliki super
computer di dalam sakunya! Kombinasi antara supercomputer tersebut dengan tersedianya
akses internet itulah yang menjadi pemicu perubahan yang signifikan. Bukan lagi PHP seperti
pada masa lalu.
Beberapa Perubahan
Sekarang saya ajak Anda mencermati beberapa perubahan yang sudah dan akan terjadi. Di
Amerika Serikat, jumlah waktu yang dialokasikan seluruh warga negaranya melalui
perangkat aplikasi mobile juga terus meningkat. Jika pada Juni 2013 masih kurang dari 500
miliar menit, setahun kemudian sudah menjadi hampir 750 miliar menit. Itu berarti
peningkatan sekitar 50% hanya dalam tempo setahun.
Lalu, ITU juga meramalkan pada 2020, jumlah smartphone bakal 2-3 kali lebih banyak
ketimbang PC. Apa alasannya? Jelas, karena smartphone lebih personal, bisa mengakses di

73

mana saja, koneksinya nyaris tanpa hambatan, dilengkapi kamera dan sensor, dan yang
penting lebih mudah dioperasikan.
Beberapa di antara kelebihan itu tak bisa ditandingi oleh PC. Itu sebabnya banyak kalangan
kemudian berolok-olok, smartphone membuat industri PC menjadi dwarfs. Anda tahu bukan
dwarfs? Cebol.
Kita juga bisa memotretnya dari sisi bisnis. Di perusahaan yang didirikan oleh Mark
Zuckerberg, Facebook, penghasilan iklan yang mereka peroleh dari mobile advertising
ternyata meningkat sangat signifikan. Jika per Juni 2012 nilainya baru USD1 miliar, dua
tahun kemudian sudah menjadi hampir USD3 miliar.
Masih dari sisi bisnis, kita lihat efisiensi yang berhasil mereka ciptakan. Pada 2000 untuk
mengoperasikan seluruh perangkat dan aplikasi mobile yang melibatkan sekitar 1 juta
pengguna, perusahaan mesti mengerahkan 100 orang staf dan menghabiskan biaya hingga
USD10 juta. Kini mereka cukup mengerahkan 10 staf untuk menangani 10 juta pengguna.
Biayanya cukup USD1 juta.
Saya masih punya banyak data lain yang menggambarkan kian mendominasinya penggunaan
perangkat dan aplikasi mobile. Tapi baiklah, sekarang kita lihat contoh-contoh yang sangat
umum dan kasatmata di depan kita.
Saya yakin, Anda pasti setuju. Pada 1980-an masih banyak orang yang memotret dengan
kamera yang menggunakan film. Sekarang? Anda pasti tahu jawabnya. Penjualan iPhone atau
gadget yang berbasis kini jauh lebih tinggi ketimbang kamera-kamera buatan Jepang.
Manusia Masa Lalu
Itulah tren yang bergerak di dunia sekitar kita. Celakanya, saya yakin, hal-hal semacam ini
masih terjadi di antara kita. Misalnya, Anda susah dihubungi oleh kolega atau sebaliknya
Anda yang susah menghubungi seseorang. Entah telepon tidak diangkat, atau dalam kondisi
off karena dimatikan. Lalu, dikirimi SMS atau BBM tidak berbalas. Dikontak via Whatsapp,
tidak tahu apa itu Whatsapp? Email selalu telat merespons karena jarang dibuka.
Atau mungkin suatu kali Anda ketinggalan handphone, bisa juga smartphone, di rumah dan
tetap tenang-tenang saja. Anda sama sekali tidak merasa terganggu.
Mungkin Anda juga punya account Facebook, tetapi sama sekali tidak pernah meng-up date
status. Namun, meski Facebook masih populer, anak-anak muda sudah beralih ke media lain,
termasuk Instagram.
Atau Anda punya account Twitter, tetapi sama sekali tidak pernah men-tweet suatu pesan
tertentu. Hanya sesekali mungkin Anda me-retweet. Itu saja. Selebihnya pasif. Cuma menjadi
penerima tweet.

74

Kalau ya, mungkin Anda sudah menjadi manusia masa lalu. Dalam gurauan anak muda
Betawi, mereka mungkin akan bilang, Ke mane aje lu?
Apa risikonya menjadi manusia masa lalu? Sederhana saja. Mungkin kita segera akan
menjadi seseorang yang kurang atau bahkan tidak relevan lagi.
Mungkin kita juga bakal mengalami kesulitan berkomunikasi dengan anak-anak kita. Sebab
kita begitu berbeda dengan mereka. Cobalah lihat anak-anak kita. Mereka selalu terkoneksi
24 jam per hari dan tujuh hari seminggu.
Anda mau menjadi manusia masa lalu? Anda rela kehilangan waktu-waktu emas untuk bisa
berkomunikasi dengan anak-anak? Saya tidak. Maka, berubahlah. Get connected!

RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

75

Meneropong Wajah Kemaritiman Nasional


2015
Koran SINDO

30 Desember 2014
Kita akan meninggalkan 2014 menuju 2015. Dalam menyongsong Tahun Baru biasanya kita
melakukan kilas balik atas perjalanan yang dilakukan setahun ke belakang sambil
merencanakan apa yang akan diperbuat dalam satu tahun di hadapan.
Lalu, bagaimanakah perjalanan bidang kemaritiman nasional selama setahun lalu? Dan,
seperti apa kira-kira wajahnya di tahun depan?
Kemaritiman adalah satu bidang yang secara umum mencakup pelayaran (shipping) yang
didukung oleh pelabuhan, galangan kapal, pelaut dan perbankan serta asuransi yang kuat.
Ada anggapan di masyarakat kita bahwa kemaritiman itu identik dengan perikanan,
pariwisata bahari, riset kelautan dan sejenisnya. Ada juga asumsi yang mengatakan bahwa
kemaritiman adalah bagian dari kelautan, ini dipegang oleh Dewan Kelautan Indonesia
(Dekin).
Jika ingin mengilas balik dan memproyeksi bidang kemaritiman nasional, hal yang menjadi
objeknya adalah shipping dan hal-hal yang terkait dengannya. Tentu bidang kelautan juga
akan dikomentari. Ada pun tolok ukurnya adalah pencapaian (achievement) dari apa yang
sudah direncanakan sebelumnya.
Kinerja 2014
Selama 2014 sektor kemaritiman nasional tidak banyak mengalami perkembangan yang
cukup berarti dibanding 2013. Achievement besar hampir tidak ada sepanjang 2014 karena
para pelaku hanya memutar roda bisnisnya sebagaimana biasanya (business as usual).
Di sektor pelayaran misalnya, pengusaha pelayaran sepertinya sudah merasa berhasil dalam
upaya mereka menaikkan populasi armada nasional hingga mencapai lebih dari 13.000 unit
kapal saat ini dari sebelumnya yang sedikit di atas 6.000 kapal pada 2005. Semua ini
dimungkinkan karena diberlakukannya asas cabotage sejak 2005. Tentu pencapaian itu patut
diapresiasi.
Hanya, setelah mampu mendongkrak jumlah kapal tidak terdengar lagi apa yang menjadi
mainan operator kapal yang bergabung dalam Indonesian National Shipowners Association
(INSA). Memang, ada upaya untuk menggenapkan kesuksesan penerapan asas cabotage
dengan menguasai pelayaran lepas pantai. Tetapi belum berhasil hingga akhir tahun ini.

76

Sementara itu, gagasan beyond cabotage yang diklaim INSA sebagai program besar mereka
setelah asas cabotage terlihat berjalan di tempat jika tidak mau disebut tidak bergerak sama
sekali. Padahal, dengan program inilah kita sebetulnya bisa menghadapi penerapan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di bidang transportasi laut.
Sektor kepelautan selama 2014 juga jalan di tempat, terutama dalam hal ratifikasi Maritime
Labor Convention (MLC). Entah apa alasannya, mengapa peraturan internasional yang
mengatur hak-hak pelaut itu belum juga disahkan oleh Indonesia. Yang jelas, INSA sudah
menolak keinginan ini dengan alasan kapal-kapal mereka belum siap.
Pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang melakukan ratifikasi MLC tidak
memberikan alasan resmi mengapa aturan tersebut belum juga diratifikasi. Bisa jadi, jika
MLC diratifikasi, muncul efek domino di sektor-sektor lain di luar kepelautan. Meratifikasi
berarti mengakui adanya upah minimum sektoral, padahal kebijakan ini tidak dikenal di
Indonesia. Jika untuk pelaut diberlakukan standar pengupahan khusus, tentulah sektor
pekerjaan lain juga akan meminta perlakuan yang sama. Akibatnya kita tahu: negara ini akan
disapu demonstrasi setiap hari oleh seluruh pekerja dari seluruh sektor yang ada. Ini tentu
berbahaya bagi negara.
Sebab lain, kuatnya ego sektoral kementerian yang mengurus pelaut/buruh. Leading agency
dalam ratifikasi MLC adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tapi instansi ini
hampir tidak pernah bersinggungan langsung dengan pelaut.
Pihak yang intensif berhubungan dengan profesi itu adalah Kementerian Perhubungan,
namun dalam ratifikasi konvensi tersebut Kemenhub boleh dibilang tidak memiliki peran
yang signifikan. Situasi ini diperparah dengan tidak jalannya koordinasi antara kedua
lembaga. Tentu, penolakan oleh INSA tadi menjadi bahan pertimbangan pula mengapa MLC
belum juga diratifikasi.
Wajah 2015
Yang menarik selama 2014 adalah geliat yang terjadi di sektor kepelabuhanan dengan
dibesutnya ide tol laut dan poros maritim oleh Presiden Joko Widodo sejak berkampanye
dalam pemilihan presiden lalu. Begitu kuatnya geliat kedua gagasan itu, sampai-sampai
masyarakat kini dijangkiti demam maritim. Gejalanya, semua orang merasa bisa bicara
kemaritiman walaupun mereka tidak mengerti dan memiliki pemahaman yang cukup untuk
itu.
Bagaimanakah wajah kemaritiman pada 2015? Bukan hendak pesimis, wajah kemaritiman
Indonesia masih saja akan tetap sama dengan 2014, bahkan boleh jadi lebih buruk dibanding
tahun lalu. Pasalnya, ada program yang konsep dasarnya sudah keliru di samping faktor
eksternal yang dihadapi bidang kemaritiman nasional juga tidak mendukung.

77

Ambil contoh, asas cabotage. Dikaitkan dengan program poros maritim yang ada, kebijakan
ini bisa jadi akan mengganjalnya. Dalam poros maritim (baca: International Maritime
Center/IMC) pemerintah amat diharapkan memberikan aneka fasilitas, infrastruktur dan
regulasi yang dapat menarik minat kalangan pelayaran internasional dan komunitas maritim
lain untuk mendatanginya dan dapat menjalankan bisnis yang menguntungkan di
Indonesia. Namun, dengan asas cabotage, tidak ada tempat untuk pemain asing.
Untuk perbandingan, sebagai salah satu IMC di dunia, Singapura menjadi lokasi
berkantornya lebih dari 4.200 multinational corporations dan 26.000 perusahaan
mancanegara lain. Dari jumlah itu, ada ratusan perusahaan pelayaran asing di samping
pelayaran milik Kota Singa itu sendiri, yakni Neptune Orient Line (NOL).
Sanggupkah pelayaran nasional kita berdamai dengan asing? Sepertinya sulit karena asas
cabotage kita hanya sedikit memberi ruang untuk itu.
Masalah yang ada bukan tidak bisa diselesaikan. Caranya, mari kita duduk bareng,
merembukkan hal-hal yang saling bertentangan itu dan mencari jalan keluar terbaik. Kita
memang belum pernah duduk bersama membahas kemaritiman dengan tuntas. Semoga.

SISWANTO RUSDI
Direktur The National Maritime Institute (NAMARIN)
@Srusdi

78

UKM, MEA, & Selamat Tahun Baru 2015


Koran SINDO

30 Desember 2014
Tahun Baru nanti semestinya kita dapat kado istimewa bernama komunitas Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA). Namun, berhubung beberapa negara belum cukup siap,
implementasinya baru akan berjalan per 1 Januari 2016.
Satu tahun ke depan bukan waktu yang panjang untuk melakukan persiapan. Namun siap
tidak siap, perjanjian ini akan kita hadapi. Kita sudah teken dan harus dijalankan.
Harus diingat, embrio perdagangan bebas ini dulunya ikut dibuahi oleh pemerintah di saat
Orde Baru sedang jaya-jayanya pada 1992. Itu sebabnya kita teramat percaya diri saat itu
meneken ASEAN Free Trade Area (AFTA). Indonesia saat itu sedang seksi-seksinya dan
dilanda euforia keberhasilan membangun perekonomian. Kita siap-siap mau jadi negara
industri waktu itu. Maka AFTA yang berisi pengurangan tarif melalui implementasi skema
Common Effective Preferential Tariff (CEPT) dengan enteng dan optimis diteken.
Tidak ada yang salah memang dari perjanjian AFTA tersebut. Sebab, kita lagi di atas angin.
Daya saing kita saat itu masih menjadi salah satu yang terbaik di ASEAN. Ditambah lagi
negara mana yang tidak tergiur dengan potensi yang ditawarkan oleh ASEAN Bersatu. Ada
600 juta populasi (market size) di ASEAN, separuhnya di Indonesia. Pertumbuhan gross
domestic product (GDP) ASEAN sebesar 6,7%. Diperkirakan, GDP ASEAN 2014-2018 akan
sebesar USD2,2 triliun.
Faktor-faktor inilah yang membuat pengambil kebijakan lebih optimistis saat ini. Ditambah
lagi dengan pembangunan ekonomi yang terencana, kebijakan-kebijakan pemerintah lebih
mudah dijalankan untuk membangun daya saing industri dan manufaktur.
Namun, krisis 1998 membalikkan semua harapan. Krisis membuat daya saing negara kita
mundur sekian langkah ke belakang. Sementara, tahap-tahap menuju perdagangan bebas
ASEAN terus berjalan sesuai apa yang telah diteken.
Pada deklarasi Bali Concord II 2003, dipatok implementasi ASEAN Economic Community
(AEC) baru akan dilaksanakan pada 2020. Belakangan, pada ASEAN Summit di Cebu,
Filipina, Januari 2007, disepakati perdagangan bebas dipercepat lima tahun lebih awal, yakni
pada 2015 dan kemudian dimundurkan lagi setahun.
Menurut Blueprint MEA, ASEAN diproyeksikan akan: i) membentuk pasar dan basis
produksi tunggal, ii) membentuk satu kawasan yang sangat berdaya saing tinggi ekonominya,

79

iii) sebuah wilayah yang ekonominya dibangun secara adil, dan iv) membangun sebuah
kawasan yang sepenuhnya terintegrasi dengan ekonomi global.
Sebanyak 10 negara nanti akan otomatis terintegrasi dalam satu napas memudahkan keluarmasuk barang, jasa, modal, investasi, sumber daya manusia antarnegara ASEAN, walau
judulnya tetap dipertahankan yakni setiap negara boleh membuat aturannya sendiri-sendiri.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dengan waktu yang sangat mepet dan datangnya
pemerintahan yang baru seumur jagung ini, tidak banyak hal yang dapat dituntut. Yang
penting, sementara ini, kita sudah menangkap adanya nyawa dan roh yang kuat rezim baru
untuk segera melakukan pembenahan di sana-sini, utamanya soal logistik kita yang masih
sangat mahal. Semangat pemerintah ini jangan sampai padam. Musti tetap dijaga dan
didukung semua komponen bangsa.
Siap tidak siap, tiba waktunya nanti, kita sudah disuguhi MEA lengkap dengan tantangan dan
peluangnya. Tinggal bagaimana sambil menikmati MEA, kita segera melakukan percepatan
pembangunan daya saing ekonomi kita. Perdagangan bebas adalah sebuah persaingan
terbuka. Banyak hambatan dibabat (0 tarif), sekaligus muncul tantangan baru, yakni
dibutuhkan kemampuan peningkatan mutu dan kualitas produk, jasa dan harga. Tentu,
mindset yang harus kita bangun adalah tidak menganggap MEA hanya sebagai sebuah
ancaman asing masuk ke Indonesia.
Lebih dari itu, kita harus mempersiapkan diri agar merebut akses pasar berikut 600 juta
populasinya. Pada saat yang sama, kita juga harus mampu terlebih dulu memanfaatkan pasar
kita yang besarnya 260 juta jiwa itu sebagai modal awal.
Satu hal lagi, bahwa tidak semua industri dapat menjadi andalan kita untuk mengisi pasar
tersebut. Pemerintah dalam hal ini juga harus jeli melihat industri mana saja yang menjadi
tumpuan kekuatan kita. Di belakangnya, kita harus bangun industri pendukung di dalam
negeri sendiri agar lahan di negeri yang luas ini dapat menjadi basis produksi untuk pasar
Asia Tenggara. Dengan begitu, kita perlahan-lahan tidak hanya menjadi basis pasar produkproduk negeri tetangga, namun menjadi basis produk sendiri.
Contoh industri yang paling siap berjaya di dalam negeri adalah industri kreatif. Pada tingkat
produksi, kita punya sumber daya manusia (SDM), yakni anak-anak muda yang
kreativitasnya tidak ada tandingannya di ASEAN. Ditopang oleh pasar dalam negeri saja,
industri ini bakal lebih dari sekedar hidup, yakni menggeliat. Dengan catatan, industri ini
mendapat dukungan dan keberpihakan dari pemerintah.
UKM
Selain industri kreatif, salah satu sektor yang mesti terus diperhatikan adalah bagaimana kita
memperkuat usaha kecil dan menengah (UKM). Sektor ini semestinya tidak kalah
diperbincangkan dan diperkuat. Mari kita lihat data-data berikut, bahwa 96% usaha di

80

ASEAN adalah UKM. Sisanya 4% merupakan usaha-usaha kakap yang kerap masuk ke
majalah-majalah sekelas Forbes.
Kontribusinya bagi penciptaan lapangan kerja juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab,
85% lapangan kerja di ASEAN dari UKM. UKM juga memberikan kontribusi besar bagi
perekonomian ASEAN. Sebanyak 30-53% PDB ASEAN dari UKM. Sayangnya, kontribusi
UKM bagi ekspor ASEAN belum bagus-bagus amat, hanya sekitar 19-31% dari total ekspor
ASEAN.
Namun, kita satu suara bahwa UKM merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi
dan pertumbuhan negara-negara ASEAN. UKM di ASEAN, selain pencipta lapangan kerja,
juga mengurangi pengangguran dan kemiskinan, memberikan kontribusi kepada peningkatan
PDB, pertumbuhan ekonomi, juga harus mendorong investasi.
Kita bersyukur bahwa potensi UKM Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negaranegara ASEAN. Artinya, ada harapan bagi bangsa ini untuk membangun ekonomi dari sektor
UKM. Namun, belajar dari kasus berdarah-darahnya UKM kita menghadapi perdagangan
bebas dengan China, menghadapi MEA, UKM kita musti dipersiapkan. Kita tidak bisa
membiarkan mereka bertarung sendiri menghadapi pemodal yang lebih besar dan lebih
pengalaman. Keberpihakan harus diperuntukkan kepada mereka, karena untuk itulah adanya
negara. Negara tidak boleh absen.
Belajar dari perdagangan bebas dengan China, sejak 1 Januari 2010 AFTA diberlakukan, dua
tahun kemudian kita tidak melakukan perbaikan yang signifikan untuk mengatasi defisit
perdagangan kedua negara. Walaupun ekspor meningkat sekitar 3% dari biasanya, namun
impor kita juga jauh lebih tinggi. Bahkan pada 2014 ini defisit ini akan terus berlanjut, tanpa
ada kejelasan realisasi klausul China akan meningkatkan investasinya di Indonesia.
Hebatnya lagi, China berhasil mengirim barang-barangnya ke Indonesia yang kebanyakan
merupakan hasil industri kecil menengah (IKM). Sedangkan kita masih bertumpu pada
ekspor berbasis sumber daya alam yang akan segera menurun seiring telah diberlakukannya
Undang-Undang Minerba.
Demikian strategisnya peranan UKM ini, kami merekomendasikan sejumlah masalah klasik
yang harus kita carikan solusi buat pelaku UKM kita. Pertama, akses permodalan yang berat.
Bila pun ada, cost of fund-nya besar. Cost of fund di negara kita ini merupakan yang terbesar
di ASEAN.
Kedua, masalah kelembagaan. Pelaku UKM kita rata-rata merupakan usaha informal. Biaya
formalisme usaha di negara ini masih sangat membebani pelaku usaha. Itu pun pelaku usaha
harus mengantongi beragam perizinan, yang berarti biaya juga. Kami pernah mengusulkan
agar pelaku usaha cukup memegang satu izin untuk semua jenis izin. Dengan demikian UKM
akan mudah dilembagakan dan lebih bankable, sehingga mudah mendapat pinjaman dari
bank.

81

Terakhir, akses pasar dan sumberdaya manusia. Kelemahan UKM kita tak hanya soal
produksi serta ketidaksediaan bahan baku yang berkelanjutan. Namun juga masih minim soal
informasi pasar. Kita perlu meningkatkan promosi dan ekshibisi produk-produk UKM kita
hingga ke luar negeri.
Bila semua dapat kita kerjakan, insya Allah, UKM kita kelak mampu bersaing di ASEAN.
Selamat Tahun Baru 2015.

RAMA DATAU GOBEL


Ketua Umum BPP Hipmi DKI Jakarta

82

Tahun Agility
Koran SINDO

1 Januari 2015

Hari-hari ini mungkin Anda dapat menemui buku baru saya yang berjudul Agility: Bukan
Singa Yang Mengembik. Ini tentu ada hubungannya dengan banyaknya permintaan yang
datang pada akhir tahun untuk membahas outlook tahun depan (misalnya 2015) yang selalu
membuat kepala saya pening.
Padahal bagi sahabat-sahabat saya yang bergelut dalam bidang ekonomi, semua masa depan
itu seakan-akan bisa dipetakan. Intinya, pengusaha dan eksekutif ingin mencari tahu apa saja
yang akan terjadi pada perekonomian nasional setahun ke depan. Lalu, apa respons yang
harus diambil agar dapat dipersiapkan jauh-jauh hari.
Well, itu baik-baik saja. Hanya, maaf, ini tentu amat merepotkan. Business landscape yang
kita hadapi kini benar-benar berbeda. Bahkan amat sulit diramalkan. Kalau sepuluh tahun
yang lalu kita bisa pakai scenario planning, maka kini dunia sudah menganut pendekatan
lain: competitive dynamics. Ya, medan yang kompetitif yang cara mengayuhnya sudah sama
sekali berbeda.
Kita tahu dalam beberapa tahun belakangan dunia berubah sangat cepat dipicu oleh
perkembangan teknologi informasi. Data, informasi, produk, karya seni, bahkan uang dan
inovasi sudah berubah dari serbafisik menjadi serbadigital yang cair dan cepat berpindah.
Berkat teknologi informasi pula perubahan yang terjadi di suatu negara bisa langsung
berpengaruh terhadap negara-negara lainnya. Itu juga membuat ketergantungan suatu negara
dengan negara lainnya menjadi semakin kuat.
Kondisi ini membuat kita semakin sulit untuk meramalkan apa yang bakal terjadi. Saya
punya contohnya. Beberapa waktu lalu muncul analisa, jika pemerintah mengalihkan subsidi
BBM, nilai rupiah bakal menguat. Kenyataannya itu tidak terjadi karena pada saat yang
bersamaan terjadi perubahan kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS) yang diikuti oleh
melemahnya mata uang Rusia. Kondisi ini memaksa pemerintah Rusia menaikkan suku
bunganya dari semula 10,5% menjadi 17%. Siapa yang bakal menyangka bahwa penguatan
rupiah tidak terjadi karena faktor Rusia?
Jadi, teknologi informasi juga era digital memang membuat segalanya menjadi lebih
transparan secara serentak. Tapi itu sekaligus juga meningkatkan ketidakpastian. Outlook
mungkin layak dijadikan referensi, tetapi bukan lagi sebagai dasbor untuk melihat semua
keadaan di sekitar kita.
Maka lebih penting bagi kita untuk paham manajemen seperti apa yang sebenarnya dituntut

83

dalam lingkungan yang demikian dinamis. Ini tentu ada analisisnya, menyusul memudarnya
relevansi sejumlah merek besar dalam percaturan global seperti Nokia dan Kodak, atau
menurut perkiraan para ahli, kini juga tengah dilalui oleh Starbucks dan banyak perusahaan
lokal kita.
Ini terjadi secara luas yang pada akhirnya dapat menjawab apakah bisnis kita masih relevan
dan apakah kita masih dapat bertahan dengan kompetensi yang terperangkap seperti ini
sehingga seakan-akan kita akan sukses selama-lamanya?
Banyak orang yang tak paham, bahwa pemerintahan kita saja tengah berubah, menjadi lebih
responsif, lebih tangkas (agile) dan membentuk sebuah dinamika baru yang membuat segala
outlook dan kompetensi lama dalam usaha kita menjadi kurang relevan. Dalam bingkai
ekonomi baru itu akan terjadi banyak keajaiban, meretasnya banyak ikatan lama, serta
sejumlah surprise yang menuntut kita keluar dari zona nyaman, dan berubah, mengadopsi
agility.
Rigidity ke Agility
Saya mengamati, negara kita rupanya tengah mengalami masa transisi dari the age of rigidity
and corrupts menjadi agile and clean nation. Apa maksudnya? Anda tentu paham betul
dengan ungkapan kalau bisa diperlambat, mengapa dipercepat. Itulah, antara lain, wajah
birokrasi kita di masa lalu, pada era rigidity. Semuanya begitu lambat. Begitu rigid. Kita
begitu sulit berubah.
Mengapa itu terjadi? Jelas karena banyak kepentingan yang tersembunyi di dalamnya. Anda
tentu mengenal kata mafia. Di negara ini, di mana-mana ada mafianya. Ada mafia minyak,
mafia beras, mafia gula, mafia bawang putih, mafia tanah, mafia garam, dan Anda bisa
menambahkan puluhan mafia lainnya.
Semua itu membentuk sikap mental yang serba rigid. Ada regulatory rigidity, space rigidity,
personal rigidity, technology rigidity, resource rigidity, dan seterusnya. Pokoknya semua
serba rigid; ya aturannya, areanya, manusianya, sumber dayanya, dan seterusnya. Kalau itu
mafia maka mafia ini sesungguhnya bekerja sebagai pemburu rente (rent seeker).
Jangan tunjuk orang lain, karena akan sangat mungkin perusahaan tempat Anda bekerja pun
telah dipetakan KPK, PPATK, atau badan resmi lainnya sebagai pelaku yang turut membuat
semua menjadi rigid, alias mafia. Mafioso telah menjadi strategi yang dipakai pelaku usaha
untuk mengamankan usaha yang rigid dan tak pasti karena tak ada yang mampu meretasnya.
Mafia atau para pemburu rente membuat segalanya menjadi macet. Mengurus izin menjadi
begitu lama. Mau mengirimkan bantuan prosesnya berbelit-belit. Urusan tanah untuk
membangun jalan tol, perluasan pelabuhan dan bandara, atau untuk membangun kawasan
relokasi pengungsi bencana Sinabung tak beres-beres. Mau menaikkan harga BBM sulitnya
bukan main. Ditolak di sana-sini, termasuk oleh DPR.

84

Karena infrastruktur tidak mengalami kemajuan, dunia usaha mengalami banyak sumbatan
dan ketidakpastian. Mereka mengatur strategi menyiapkan buffer stock yang lebih besar,
menggunakan aneka moda transportasi, termasuk menyiapkan proteksi hukum yang berlapislapis; risk management yang mahal; serta ada kalanya tetap membayar upeti, bribery, atau
sejenisnya melalui tangan pihak ketiga yang terkesan resmi (apakah konsultan, sponsorship,
dana CSR, melalui pengacara dan sebagainya).
Kondisi inilah yang, saya cermati, ingin diputus oleh pemerintahan Jokowi-JK melalui gerak
cepat keduanya. Anda tentu bisa menyaksikannya. Urusan relokasi tanah untuk pengungsi
Sinabung, yang lama terkatung-katung, mereka bereskan dalam hitungan hari. Perizinan yang
lama dan berbelit dipangkas melalui penerapan layanan satu pintu. Para pencuri ikan yang
dulu dibiarkan saja beroperasi di lautan kita, kini ditangkapi dan perahunya dibakar. Harga
BBM yang dulu sulit betul kalau mau dinaikkan, langsung mereka naikkan selagi DPR-nya
sibuk bertengkar sendiri meski kini diturunkan lagi akibat turunnya harga minyak
dunia. Semua ini mudah-mudahan baru tahap awal, sehingga walau hasilnya belum besar
tetapi direction-nya mulai direspons sejumlah perusahaan.
Lalu soal kurs mata uang dan sebagainya saya kira akan tetap sama: uncertainty. Kalau ini
terjadi maka ketangkasan usaha (business agility) menjadi penentu masa depan dalam dunia
yang penuh dinamika ini.
Maka kapabilitas perusahaan pun perlu diperbaiki, bukan untuk membaca apa yang akan
terjadi, tetapi untuk bergerak cepat mendahului datangnya gelombang agar kita tak
tergulung di dalamnya, malah kita bisa dibantu melaju lebih cepat. Diberi semacam energi
penggerak.
Itulah cara kerja agile government. Cepat, sigap, dan trengginas dalam memanfaatkan
momentum. Strategi semacam ini juga sangat ampuh mematikan semua ancaman. Ketika
lawan belum lagi siap menghadapi, segalanya sudah selesai.
Dynamic Capability
Dua ilustrasi tadi, baik di lingkungan internasional dan dalam negeri, adalah perubahanperubahan yang mesti direspons oleh perusahaan-perusahaan kita. Bagaimana caranya? Saya
kira perusahaan perlu mengembangkan dynamic capability-nya. Apa itu? Sederhananya,
dynamic capability adalah kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan, membangun dan
merekonfigurasi kompetensi internal dan eksternal untuk merespons cepatnya perubahan di
lingkungan bisnis.
Jadi, perusahaan jangan larut hanya dalam keunggulan operational capability, tetapi mereka
juga harus terus memperbaiki kapasitasnya. Baik kapasitas inovasi maupun kompetensinya.
Kita semua menyaksikan betapa perusahaan yang hanya fokus pada operational capability
kini mengalami kesulitan menghadapi dunia yang begitu cepat berubah; menghadapi

85

perubahan perilaku, pola komunikasi dan pola konsumsi para konsumen, yang dipicu oleh
hadirnya teknologi informasi dan digital.
Dulu, Kodak dan Fuji pernah berjaya. Sekarang, entah di mana posisi mereka? Nokia pernah
begitu merajai pasar ponsel. Kini, posisinya semakin surut. Mungkin tak lama lagi kita juga
bakal menyaksikan pertarungan yang ketat antara industri perbankan dengan operator
selular.
Bukankah semakin lama ponsel-ponsel kita semakin digdaya, semakin agile; itu sebabnya
kini kita menyebutnya dengan istilah smartphone. Perubahan-perubahan semacam itu tentu
bakal menuntut perusahaan untuk memperluas dan mengembangkan kompetensinya.
Langkah semacam ini, saya lihat, sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan. Perusahaan
migas BP, misalnya, memanfaatkan bisnis migasnya untuk modal memperluas kompetensi
menjadi perusahaan energi. Jadi, bukan hanya minyak dan gas (migas).
Langkah serupa saya kira juga mesti dilakukan Pertamina. Mereka harus mengembangkan
sumber-sumber energi baru. Bukan hanya terpaku pada minyak dan gas. Pertamina harus
keluar dari zona nyamannya ketika gaji para pegawainya sudah tinggi namun lifting yang
didapat dan keuntungannya tergerus terus.
Starbucks, jika hanya mengandalkan bisnis kopinya, juga bakal segera mengalami
kesulitan. Maka mungkin mereka kini harus memperluas kompetensinya dalam industri
makanan dan minuman. Hal serupa tengah terjadi dalam bisnis telco, media massa, airlines,
food & beverages, tobacco, entertainment, pendidikan, travel, keuangan, ritel dan farmasi.
Bahkan, partai politik dan perguruan tinggi serta sekolah internasional saja mengalami
pergulatan besar.
Begitulah, kini perusahaan-perusahaan dituntut untuk menjadi lebih agile, lebih sigap dan
tangkas, dalam merespons setiap perubahan. Baik perubahan yang terjadi di lingkungan
nasional maupun internasional. Itu pula sebabnya saya menyebut tahun 2015 sebagai Tahun
Agility. Research mengenai hal ini bisa saudara temui dalam buku baru saya yang saya harap
bukan membuat para singa mengembik karena mereka dipimpin oleh seekor kambing.

RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

86

Prospek Perbankan 2015


Koran SINDO

3 Januari 2015

Tahun 2015 telah di depan mata. Bagaimana prospek perbankan nasional pada 2015? Sektor
apa yang paling gurih untuk digarap bank nasional?
Tak dapat disanggah, tahun depan akan sarat dengan tantangan. Pertumbuhan ekonomi
nasional masih bakal melambat. Sekiranya bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal
Reserve alias The Fed jadi menaikkan suku bunga yang kini mencapai 0,25% menjadi
minimal 1% pada 2015, maka BI Rate yang baru saja naik dari 7.50% menjadi 7,75% amat
dicemaskan akan naik lagi. Likuiditas pun bakal kian ketat sehingga prospek perbankan
nasional belum akan lebih cerah.
Pada akhir 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN akan efektif yang berarti persaingan di sektor
perdagangan bakal lebih terbuka dan sengit. Meskipun sektor keuangan seperti perbankan
dan pasar modal baru akan efektif 2020, bank nasional wajib berbenah diri. Oleh karena itu,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera melakukan konsolidasi perbankan melalui merger dan
akuisisi. Bahkan OJK telah menggodok cetak biru (blue print) sektor jasa keuangan yang
bertajuk Master Plan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI).
Gurihnya Kredit Mikro
Lantas, sektor apa yang paling basah untuk digarap bank nasional? Usaha kredit mikro, kecil
dan menengah (UMKM) terutama kredit mikro. Mengapa demikian? Pertama, peluang masih
terbuka lebar. Regulator sering mengimbau bank nasional agar mampu menembus perbankan
internasional dengan membuka kantor di luar negeri. Seolah bank nasional diminta ambil
strategi menyerang seperti dalam laga sepak bola. Eit, tunggu dulu. Jangan hanya menyerang
tetapi bank nasional juga harus mampu bertahan.
Nah, untuk itu bank nasional jangan melupakan peluang bisnis yang selama ini kurang
dirawat padahal menghasilkan rezeki yang legit. Apa itu? Kredit mikro. Bagaimana prospek
usaha mikro? Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat bahwa
terdapat 55.206.444 unit usaha pada 2012. Hal ini terdiri dari usaha mikro 54.559.969
(98,83%), usaha kecil 602.195 (1,09%) dan usaha menengah 44.280 (0,08%) unit.
Dengan bahasa lebih bening, peluang bisnis kredit mikro begitu luas. Belum banyak bank
nasional papan atas yang melirik sektor sederhana tetapi penuh pesona ini. BRI salah satunya
yang setia menggarap kredit mikro. Tengok saja, pada kuartal III 2014 BRI sanggup
mencetak laba bersih tertinggi Rp18,16 triliun, melesat 18% dibandingkan dengan periode

87

yang sama 2013.


Kredit mikro itu telah menyumbang cukup signifikan 31,97% dari total kredit BRI. Kinerja
unggul itu jauh meninggalkan Bank Mandiri, BCA, dan BNI. Laba bersih Bank Mandiri
mencapai Rp14,45 triliun naik 12,89% dibayangi BCA Rp12,20 triliun melejit 17,70% dan
BNI Rp7,61 triliun menebal 16,40%.
Padahal laba bersih sebagian bank nasional papan menengah justru menipis. Laba bersih
Bank Danamon menurun 30% menjadi Rp2,11 triliun, CIMB Niaga menurun 28,5% menjadi
Rp2,29 triliun, Bank Permata mengempis 6,06% menjadi Rp1,24 triliun, dan Bank Bukopin
merosot 8,29% menjadi Rp676,60 miliar.
Langkah membumi BRI itu ternyata telah dibayangi bank lain. Bank Mandiri mampu
memacu pertumbuhan kredit mikro 31,4% atau Rp32,70 triliun. Pertumbuhan itu akan lebih
digenjot melalui mobil mitra usaha (MobilMU) yang diluncurkan akhir November 2014 agar
lebih mampu melakukan penetrasi pedesaan dan perkebunan. Bank Danamon pun telah
mengucurkan kredit mikro Rp19,7 triliun.
Kedua, sumber pendapatan bunga bersih (net interest margin/NIM). Tak dapat disangkal lagi,
kredit mikro merupakan sumber NIM tinggi lantaran menawarkan margin yang sangat tebal.
NIM BRI naik 8,25% per September 2013 menjadi 8,78% per September 2014. Angka itu
jauh di atas NIM kelompok bank persero 5,12% dan rata-rata industri yang justru menipis
dari 5,46% menjadi 4,21% pada periode yang sama. Sementara NIM bank-bank di ASEAN
berkisar 2-3%. Artinya, peluang bisnis di dalam negeri masih sangat basah.
Ketiga, tidak begitu sensitif terhadap kenaikan suku bunga. Kredit mikro itu dikenal sebagai
sektor yang tidak begitu sensitif terhadap kenaikan suku bunga. Dengan bahasa lebih tegas,
berapa pun kenaikan suku bunga kredit ya tetap akan diambil. Maka menjadi tidak
mengherankan ketika suku bunga kredit mikro masih bertengger di sekitar 30%.
Kelak manakala suku bunga kredit mikro naik karena BI Rate naik dari 7,50% menjadi
7,75%, kredit mikro tetap berjaya. Amati saja suku bunga rata-rata kredit Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) yang selama ini rajin mengelola kredit mikro.
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) mencatat suku bunga rata-rata BPR menipis dari 29,61%
per Agustus 2014 menjadi 29,55% per September 2014 untuk kredit modal kerja dan dari
25,49% menjadi 25,47% untuk kredit konsumsi. Sementara itu, suku bunga rata-rata kredit
investasi justru menebal dari 25,89% menjadi 25,97%. Oleh sebab itu, OJK akan menetapkan
batas atas premi risiko (risk premium) khusus untuk kredit mikro.
Siap Siaga
Namun, ingat, bank nasional wajib pula menjaga rasio kredit bermasalah (non performing
loan/NPL) supaya tetap rendah. SPI menunjukkan NPL bank umum naik dari Rp58,61 triliun

88

(1,86%) per September 2013 menjadi Rp81,68 triliun (2,29%) per September 2014. Itu
peringatan keras bagi bank nasional untuk meningkatkan kualitas kredit.
Bagaimana kiatnya? Memperkaya pengetahuan dan keterampilan analis kredit (credit
officer/CO) sehingga menghasilkan analisis yang akurat. Bank nasional pun perlu
meningkatkan jumlah pemasar yang andal untuk mampu mencapai target tinggi dan
menggalakkan penagih agar pembayaran angsuran selalu lancar. Apalagi, wong cilik itu lebih
patuh dalam memenuhi kewajibannya.
Alhasil, kredit mikro bakal menjadi primadona pendapatan bank nasional. Dengan
mengucurkan kredit mikro, bank nasional otomatis telah ikut memberdayakan ekonomi
rakyat agar lebih perkasa. Peningkatan penyaluran kredit mikro akan menekan tingkat
pengangguran terbuka yang kini mencapai 5,70% per Februari 2014. Bank nasional pun bakal
meraih laba signifikan. Sungguh!

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan; Mantan Assistant Vice President BNI; Pengawas Yayasan Bina
Swadaya; Alumnus MM UGM

89

Ekonomi 2015, Harapan dan Kewaspadaan


Koran SINDO

5 Januari 2015

Baru beberapa hari kita meninggalkan tahun 2014 dan memasuki 2015. Melihat apa yang
terjadi, baik di dalam negeri maupun perekonomian global, tidaklah mengherankan apabila
2015 adalah tahun harapan, namun penuh kewaspadaan.
Gejolak perekonomian global masih akan terjadi, bahkan dikhawatirkan semakin intens.
Sementara itu, harapan baik bersifat optimisme bahwa segala hal yang akan terjadi tidak
seburuk yang kita khawatirkan.
Sedikit melakukan refleksi akhir 2014, secara garis besar perekonomian nasional tetap terjaga
di tengah tahun politik dan gejolak pasar keuangan dunia. Pemilihan Umum 2014 baik untuk
memilih anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) maupun memilih presiden periode 20142019 berjalan aman dan tertib. Praktis tidak ada persoalan krusial atas penyelenggaraan
sampai perhitungan suara yang berdampak melemahkan fundamental ekonomi nasional.
Transisi kepemimpinan berjalan baik dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu model
berdemokrasi tidak hanya bagi negara muslim, melainkan juga bagi negara dengan penduduk
besar dan beragam. Dalam hal ini, kita semua, utamanya para pelaku ekonomi, perlu
berterima kasih kepada semua pihak atas terjaganya keamanan dan ketertiban selama tahun
pemilu sehingga aktivitas perekonomian dapat terus dilakukan dan agenda-agenda
pembangunan nasional dapat dijalankan.
Di saat kita sedang menikmati proses transisi kepemimpinan yang berjalan baik, tiba-tiba kita
disadarkan kinerja ekonomi nasional tidak hanya ditentukan oleh variabel dalam negeri. Nilai
tukar rupiah beberapa pekan lalu mendekati Rp13.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Bank
Indonesia menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 7,75%.
Rapat koordinasi antara pemerintah, BI, LPS dan OJK kembali diaktifkan untuk memitigasi
perkembangan perekonomian global. Meski rupiah setelah tertundanya pengumuman
kenaikan suku bunga di AS secara relatif kembali stabil, bayang-bayang dampak
pengumuman akan hal ini tahun depan menciptakan kekhawatiran banyak kalangan.
Dalam rumusan APBN-P 2015, pemerintah mengajukan perubahan sejumlah indikator
makroekonomi dengan tetap mempertahankan target pertumbuhan ekonomi 5,8%. Mengingat
realisasi pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan BI Rate dan hal ini sangat dipengaruhi
oleh suku bunga acuan di AS, kita berharap kenaikan suku bunga acuan The Fed tidak terlalu
signifikan. Sehingga penyesuaian BI Rate juga dalam kisaran moderat sebagai langkah
mengurangi risiko capital outflow kembali ke AS.

90

Moderatnya kenaikan BI Rate diharapkan tidak akan memberatkan perekonomian nasional


akibat melambatnya penyaluran kredit konsumsi, investasi, dan modal kerja. Selain juga
kekhawatiran meningkatnya kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) ketika BI Rate
disesuaikan. Selain itu juga risiko meningkatnya angka inflasi juga akan menjadi
pertimbangan utama BI dalam menyesuaikan BI Rate. Karenanya, dalam rancangan APBN-P
2015 yang akan diajukan pemerintah ke DPR, inflasi dipatok 5%, naik dari APBN 2015
sebesar 4,4%.
Dua tekanan baik dari dalam maupun dari luar diperkirakan menentukan besaran BI Rate
sepanjang tahun 2015. Dampak akan hal ini membuat target realisasi pertumbuhan ekonomi
sebesar 5,8% akan sulit diwujudkan, meskipun kita semua berharap realisasinya masih di atas
5% seperti perkiraan realisasi pertumbuhan ekonomi 2014.
Tidak semua faktor global berdampak buruk bagi perekonomian nasional. Penurunan tajam
harga minyak mentah dunia merupakan windfall bagi perekonomian nasional. Menurunnya
harga minyak mentah dunia ditambah dengan dana penghematan subsidi BBM dan
peningkatan pajak akan menambah alokasi sebesar Rp230 triliun ke belanja infrastruktur dan
peningkatan ketahanan pangan.
Tidak kurang terdapat tambahan Rp120 triliun untuk tambahan belanja infrastruktur yang
akan dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kementerian
Pertanian juga akan mendapatkan tambahan anggaran untuk meningkatkan produktivitas
pertanian nasional.
Melalui tambahan anggaran kita berharap akan disertai dengan perbaikan penyerapan
anggaran belanja pemerintah. Dengan begitu, pelemahan konsumsi domestik akan dapat
terkompensasi oleh peningkatan belanja pemerintah (government expenditure) yang selama
ini berkontribusi dalam kisaran 9% terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB).
Pada saat yang sama konsumsi domestik berkontribusi sangat besar dan berada dalam kisaran
56% terhadap pembentukan PDB.
Faktor lain yang dapat didorong oleh pemerintah selama 2015 adalah investasi, utamanya
peningkatan capital expenditure (capex) BUMN sebagai salah satu motor penting dalam
pembangunan nasional. Sinyal mengurangi dividen BUMN dan mendorong ekspansi BUMN
untuk infrastruktur dan perluasan kapasitas produksi membangun optimisme akan
perekonomian 2015.
Selain BUMN, mendorong kemitraan proyek-proyek infrastruktur dengan swasta nasional
juga perlu terus ditingkatkan, terutama ke pembangunan infrastruktur yang memiliki nilai
ekonomis dan menawarkan imbal hasil menarik. Jika demikian, anggaran negara dapat fokus
pada pembangunan infrastruktur dasar yang kurang menarik dibangun oleh swasta nasional.
BKPM juga perlu lebih bekerja keras melalui penyederhanaan prosedur perizinan investasi
maupun diplomasi untuk menarik investor asing. Momentum terus tumbuhnya ekonomi

91

nasional dengan stabilitas politik dan keamanan yang terjaga menjadi modal penting menarik
investasi asing.
Selain itu, besaran pasar domestik dan ruang peningkatan nilai tambah atas sumber daya alam
kita juga masih terbuka lebar. Faktor-faktor ini dapat menjadi keunggulan bersaing
(competitive advantage) kita untuk bersaing menarik investasi asing sepanjang tahun 2015.

PROF FIRMANZAH PhD


Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

92

Bekerja Melampaui Konstitusi


Koran SINDO

6 Januari 2015

Gurat kegembiraan tersembul dari sebagian lapisan rakyat saat pelantikan presiden dan wakil
presiden yang baru, Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mereka meyakini pasangan tersebut bakal
menaklukkan satu demi satu persoalan ekonomi yang membelit bangsa.
Pasca-krisis ekonomi 1997/1998, perekonomian telah kembali memperoleh keyakinan baru
setelah pertumbuhan ekonomi mencapai titik yang cukup tinggi meski belum bisa menyamai
era 1970-1990-an awal. Demikian pula penyakit laten ekonomi semacam inflasi bisa
diredam.
Namun di balik itu tersembul aneka masalah yang tak kalah rumit seperti defisit neraca
perdagangan, ruang APBN yang sempit, mafia ekonomi yang makin kukuh, nilai tukar yang
mudah bergejolak, dan ragam patologi sosial ekonomi yang sulit diberantas (pengangguran,
kemiskinan, dan ketimpangan). Keadilan ekonomi mengemuka dengan lantang karena
ketimpangan kian parah. Di balik gemuruh capaian itulah terselip harapan pemerintahan baru
dapat menumpas soal itu secara sistematis.
Instabilitas Ekonomi
Perekonomian selama 2014 ditandai tiga hal penting. Pertama, efektivitas program-program
ekonomi sangat rendah akibat fokus pemerintah pada hajat politik yang meletihkan.
Sepanjang 2014 terdapat peristiwa pemilu legislatif dan pemilihan presiden yang
menghabiskan biaya, pikiran, waktu, dan tenaga.
Presiden dan separuh menteri adalah figur penting di balik partai politik peserta pemilu.
Implikasinya, sebagian besar waktu mereka tercurah pada hajat politik tersebut. Agendaagenda ekonomi yang penting, khususnya terkait dengan peningkatan kesejahteraan rakyat,
terinterupsi. Pola ini sebetulnya bukan hal yang baru karena selalu terjadi secara periodik
dalam kurun 5 tahun sekali.
Demikian pula problem yang selama ini banyak dikeluhkan pengusaha, seperti pembangunan
infrastruktur dan perbaikan iklim investasi, nyaris tak bergerak ke arah yang lebih maju.
Akibatnya bukan hanya peluang yang terbuang, tapi juga kesempatan yang tak bisa
diciptakan.
Kedua, negara-negara yang selama ini menjadi penyangga pokok ekonomi nasional, seperti
AS, Jepang, India, China, dan sebagian Eropa rontok satu demi satu. Negara-negara maju
memang telah jatuh cukup lama, semenjak 2011 lalu. Namun perlambatan ekonomi yang

93

terjadi di India dan China telah memukul ekonomi nasional cukup berat. Ekspor ke China dan
India sulit didongkrak, sementara pemerintah tak kuasa menahan laju impor sebab sebagian
bahan baku industri berbasis dari luar negeri. Defisit neraca perdagangan masih terjadi
hingga kini, padahal seharusnya tahun 2014 dapat dijadikan momentum pergerakan
ekonomi.
Sebaliknya, di pasar domestik struktur ekonomi juga tak kunjung membaik. Sektor industri
makin tertekan sehingga kontribusi terhadap PDB terus turun. Komoditas ekspor masih
terpaku kepada komoditas primer yang harganya murah dan fluktuatif. Kombinasi dari situasi
global dan domestik itu telah menjepit ekonomi Indonesia.
Ketiga, instabilitas sektor keuangan mengemuka seiring perubahan kebijakan negara-negara
maju. Arus balik modal tiba-tiba terjadi apabila isu tapering-off AS menyembul ke
permukaan. Demikian pula hasrat The Fed untuk menaikkan tingkat suku bunga menjadi
pemicu pergerakan modal.
Faktor itu, ditambah dengan inflasi domestik yang tak sepenuhnya bisa dimitigasi karena
kenaikan harga minyak pada Juli 2013, menyebabkan rupiah tertekan. Defisit neraca
transaksi berjalan juga melebar karena impor minyak yang naik drastis, sementara ekspor
komoditas non-migas tidak bisa dipacu.
Para ekonom ramai-ramai mengusulkan kenaikan harga minyak sebagai jalan pintas
mengurai persoalan tersebut. Namun kenyataan tak seindah khayalan. Ketika harga minyak
dinaikkan sekitar 30%, rupiah justru kian tertekan sebab masalahnya tak sesederhana itu.
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa rupiah mengalami pelemahan hingga akhir 2014.
Proyeksi Ekonomi 2015
Pada 2015 akan terdapat situasi yang berbeda ketimbang 2014. Harga minyak berada pada
zona rendah sehingga dalam banyak sisi menguntungkan pemerintah. Subsidi BBM bisa
ditekan dalam jumlah yang sangat rendah untuk memberi ruang fiskal yang lebih besar.
Dunia industri juga diuntungkan karena harga energi yang turun akan mengurangi biaya
produksi sehingga meningkatkan daya saing.
Tentu saja sebuah kebijakan tak melulu memproduksi kelebihan, selalu ada ongkos di sisi
yang lain. Akibat kenaikan harga BBM pada 2014, inflasi pada 2015 masih akan cukup tinggi
(pada kisaran 6-7%). Pemerintah selama ini sulit mengendalikan inflasi di bawah 5%, kecuali
apabila dibantu oleh harga energi dan pangan dunia yang rendah. Inflasi ini tentu akan
menekan investasi akibat kenaikan tingkat suku bunga.
Berita baiknya, pembangunan infrastruktur akan dilakukan secara besar-besaran sehingga
bisa menjadi kompensasi atas kenaikan inflasi, khususnya terkait dengan peningkatan
investasi.

94

Pada 2015 The Fed (bank sentral AS) akan menaikkan tingkat suku bunga dan telah
mengurangi/menghentikan kebijakan quantitative easing. Implikasinya, bakal terjadi potensi
arus modal keluar (capital outflow) yang lumayan besar sehingga makin memperlemah
rupiah. Pada 2015 diproyeksikan rupiah akan berada pada kisaran Rp12.000-12.500/USD.
Pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada pada kisaran 5,3-5,5%. Sumber pertumbuhan
terpenting masih berasal dari konsumsi (rumah tangga) dan pengeluaran pemerintah.
Investasi sedikit mengalami kenaikan karena perbaikan iklim investasi domestik
(pembangunan infrastruktur, perizinan, dan penanganan mafia ekonomi), sedangkan ekspor
masih terus tertekan sebab pasar global yang masih lesu. Peluang Indonesia adalah
memanfaatkan pasar ekspor wilayah Amerika Latin dan Afrika. Di luar itu, pengurangan
impor menjadi tantangan yang menarik, salah satunya dengan cara membangun industri yang
berbasis bahan baku domestik.
Namun, seperti dipahami, ekonomi bukanlah semata proyeksi, tetapi lebih penting lagi
berbicara soal substansi yang mesti digapai. Pertumbuhan ekonomi yang tak terlampau tinggi
itu dapat ditutup dengan pencapaian indikator sosial-ekonomi berbasis konstitusi seperti
penciptaan lapangan kerja (dengan basis sektor produktif padat karya yang tak banyak
menyedot kapital), pengurangan kemiskinan yang impresif (eksekusi kebijakan reforma
agraria, percepatan pembangunan sektor maritim, dan penguatan aset/modal), dan
penanganan ketimpangan (pajak progresif, sistem jaminan sosial semesta, dan pembalikan
liberalisasi ekonomi).
Pemerintah harus mencukupi kebutuhan dasar hidup layak: pangan, sandang, papan,
kesehatan, dan pendidikan. Apabila hal itu dapat ditambah dengan pelayanan publik yang
lengkap, indikator kuantitatif yang kerap dijadikan patokan itu tak lagi terlalu relevan
dipikirkan. Pemerintah mesti bekerja berdasarkan mandat konstitusi tersebut, syukur bila bisa
melampauinya.

AHMAD ERANI YUSTIKA


Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

95

Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri


Koran SINDO

6 Januari 2015

Perekonomian yang membaik dalam 10 tahun terakhir membuat posisi Indonesia menjadi
incaran para investor asing. Pemain ritel asing dari Eropa, Jepang, Tiongkok, beberapa kali
melakukan penjajakan ke Indonesia. Selain itu, dari regional juga ada dari Vietnam, Thailand,
Malaysia, dan Singapura.
Mereka sangat berminat membuka bisnisnya di sini. Peritel Tiongkok dan Jepang yang
memiliki suku bunga rendah bahkan siap menanggung rugi 10 tahun demi berinvestasi jangka
panjang di Indonesia.
Pasar di negara kita memang terbentang luas, apalagi wilayah Indonesia timur. Kawasan
tersebut sangat potensial dan daya beli masyarakat setempat tidak kalah dibandingkan
masyarakat kota besar di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera. Peluang itu semakin terbuka lebar
ketika pembenahan distribusi melalui program tol laut pemerintah berhasil dijalankan.
Namun, secara nasional penetrasi ritel modern di Tanah Air paling rendah dibandingkan
negara tetangga. Menurut Fitch Ratings dengan tingkat penetrasi 14%, Indonesia jauh
tertinggal dibandingkan Filipina 25% atau Malaysia 53%. Menurut data Nielsen ritel FMCG,
termasuk rokok, masih mendominasi sebaran ritel modern di Indonesia yakni mencapai 25%.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat hingga semester I 2014 tercatat
sekitar 24.000 gerai ritel modern tersebar di seluruh Tanah Air. Angka ini diprediksi terus
tumbuh dengan perkiraan sebesar 10% tahun depan.
Sektor ritel modern memang tumbuh lebih cepat dibandingkan pedagang tradisional selama
lima tahun terakhir. Tapi, menurut Fitch Ratings, kontribusi terhadap seluruh industri ritel
hampir tidak beranjak, berada di kisaran 20%. Hal ini menyiratkan pasar ritel modern masih
luas untuk berekspansi.
Nah, pasar Indonesia yang bakal menjadi sasaran empuk peritel dari luar itu, kalau tidak
dilindungi, jaringan distribusinya akan dikuasai asing. Karena itu, pemerintah selayaknya
memberikan kebijakan yang pro-pemain lokal dan selektif terhadap pemain asing yang akan
masuk. Keberpihakan pemerintah mutlak dibutuhkan. Kebijakan di sektor ritel yang
melempangkan jalan pertumbuhan (ekspansi) ritel modern lokal di Tanah Air merupakan
faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah baru karena bisnis ritel ini lebih
mengutamakan pertumbuhan dengan berekspansi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kampanyenya acapkali menjanjikan dukungannya
terhadap pedagang tradisional (pasar rakyat). Memang telah terbukti baik ketika masih

96

menjabat wali kota Solo maupun gubernur DKI Jakarta. Walau kebijakan Presiden Jokowi
lebih memihak pedagang tradisional dibandingkan peritel modern, tak sedikit harapan yang
dilontarkan Presiden Jokowi seperti pembenahan di birokrasi dan perizinan, pembangunan
logistik dan infrastruktur distribusi, serta komitmennya pada penataan regulasi. Pemerataan
pembangunan melalui pengembangan daerah perdesaan dan mengurangi kesenjangan sosial.
Maka itu, tak salah bila peritel Indonesia berekspektasi, sektor ritel modern akan tetap
berkembang dan didukung oleh kesempatan ekspansi di dalam negeri.
Dikotomi modern dan tradisional sepantasnya segera ditanggalkan untuk seiring sejalan
menghadapi tantangan. Persaingan bukan di antara kita. Akankah kita bisa merebut
kesempatan yang terbentang luas?
Kalangan pengusaha berharap ritel Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Seperti ajakan Presiden Jokowi, Jangan simpan uang. Gunakan untuk investasi. Ini peluang.
Ini kesempatan. Kalau Anda semua segera memulai, nanti akan melihat bahwa kita betulbetul serius ingin memperbaiki dan memajukan negara. Segera secepat-cepatnya, jangan
sampai keduluan orang lain.
Peritel tak boleh hanya berpangku tangan. Ritel mesti bersiap diri apalagi menghadapi
serbuan pemain ritel asing dengan berbagai gemerlap yang bisa menarik minat konsumen.
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menjaga loyalitas konsumen dan mengembangkan
pasar yang luas.
Peritel asing pun tidak sepenuhnya bisa head to head dengan pemain lokal tanpa melibatkan
peran pelaku ritel lokal yang sudah memahami dan menguasai pasar dalam negeri. Penetrasi
ritel asing ini juga peluang untuk mengakomodasi keinginan mereka berinvestasi dan
memulai bisnis di Indonesia dengan menjalin kerja sama atau pola kemitraan.

PUDJIANTO
Komisaris PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk.; Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel
Indonesia

97

Menggugat Penghapusan Subsidi BBM


Koran SINDO

8 Januari 2015

Pada 31 Desember 2014 Menteri ESDM Sudirman Said bersama Menko Kemaritiman
Indroyono Soesilo, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, dan Menteri BUMN Rini
Soemarno mengumumkan penurunan harga per liter bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
jenis premium (RON 88) dari Rp8.500 menjadi Rp7.600 dan solar dari Rp7.500 menjadi
Rp7.250. Harga minyak tanah tetap Rp2.500 per liter. Harga baru BBM tersebut berlaku
sejak 1 Januari 2015 pukul 00.00.
Pemerintah menyatakan ada tiga jenis BBM yang diatur yaitu BBM tertentu bersubsidi, BBM
khusus penugasan non-subsidi, dan BBM umum non-subsidi. Jenis BBM tertentu yang
disubsidi solar dan minyak tanah. Solar akan memperoleh subsidi tetap sebesar Rp1.000 per
liter.
Sedangkan jenis BBM khusus penugasan dan umum berupa premium yang tidak lagi
disubsidi. BBM khusus penugasan berlaku untuk luar Jawa, Bali, dan Madura di mana
pemerintah masih akan menanggung 2% biaya distribusi. Adapun BBM umum berlaku di
Jawa, Madura, dan Bali; di mana harganya berubah sesuai harga keekonomian.
Kebijakan pemerintah mencabut subsidi BBM jenis premium patut dipertanyakan. Kebijakan
diambil saat harga minyak dunia sedang turun sehingga perubahan harga dari BBM
bersubsidi menjadi BBM non-subsidi menjadi tidak terasa. Mayoritas masyarakat bahkan
menyambut baik kebijakan tersebut karena harga BBM (bersubsidi) turun dari Rp8.500
menjadi Rp7.600 (non-subsidi). Padahal, kebijakan penurunan harga tersebut telah
disusupi dengan jebakan Batman berupa penghapusan subsidi yang dampaknya sangat
memberatkan masyarakat jika harga minyak kembali pada kisaran USD90-100 per barel.
Pemerintah menyatakan harga eceran premium non-subsidi Rp7.600 diperoleh berdasarkan
nilai tukar rupiah Rp12.380 per USD dan harga rata-rata indeks pasar untuk minyak dunia
sebesar USD60 per barel. Harga non-subsidi ini akan berubah dari patokan Rp7.600
bergantung pada perubahan harga minyak dunia dan kurs Rp (selama sebulan sebelumnya)
serta kebijakan pemerintah pusat dan daerah atas pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak
bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB).
Berdasarkan kebijakan yang berlaku, harga eceran premium non-subsidi didapat dari harga
perolehan/penyediaan ditambah margin badan usaha, margin SPBU, PBBKB, dan PPN 10%.
Sedangkan biaya penyediaan diperoleh dari bahan baku (harga produk BBM berdasarkan
indeks pasar) ditambah biaya pengolahan, transportasi, penyimpanan, dan distribusi.

98

Dengan asumsi harga minyak mentah USD60 per barel dan harga produk gasolin setelah
pengilangan menjadi USD70-75 per barel serta kurs rupiah terhadap dolar adalah Rp12.380
per USD, harga (FOB) premium Rp5.840 per liter. Jika biaya transportasi, penyimpanan, dan
distribusi diasumsikan sebesar netto 2%, margin badan usaha sebesar 6-10%, dan margin
SPBU sebesar Rp270 per liter, biaya penyediaan dan pendistribusian premium menjadi
sekitar Rp6.600 per liter. Dengan tambahan PBBKB 5% dan PPN 10%, harga premium yang
ditetapkan pemerintah menjadi Rp7.600 per liter. Ternyata, karena banyak komponen
tambahan biaya, harga eceran BBM di Indonesia cukup tinggi, tidak sekadar
memperhitungkan harga minyak dunia dan kurs yang berlaku.
Jika harga minyak mentah naik menjadi USD80-100 per barel, sesuai dasar perhitungan di
atas, harga premium non-subsidi akan naik berkisar Rp9.600 hingga Rp11.500. Karena
subsidi BBM telah dicabut, dampak kenaikan harga tersebut akan sangat memberatkan
rakyat, terutama kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Seperti diketahui, selama ini pemerintah mengklaim hanya sekitar 28% subsidi BBM tepat
sasaran, sedangkan 72% sisanya tidak tepat sasaran. Artinya, dengan penerapan harga
keekonomian, sekitar 28% konsumen BBM premium golongan menengah ke bawah akan
membayar harga BBM yang lebih besar dibanding saat sebelum perubahan harga. Dengan
begitu, kehidupan ekonomi mereka justru menjadi lebih buruk dibanding sebelumnya. Karena
itu, kebijakan pencabutan subsidi BBM premium harus ditolak!
Kesulitan masyarakat akibat penghapusan subsidi dapat saja diringankan jika sebelumnya
pemerintah telah menyiapkan berbagai program perlindungan sosial, infrastruktur konversi
bahan bakar gas (BBG) ke bahan bakar minyak (BBM), menggiatkan energi alternatif, dan
memperbaiki sarana transportasi massal.
Hanya setelah berbagai prasyarat terpenuhilah kebijakan pencabutan subsidi BBM mungkin
dapat diterapkan. Pertama, pemerintah harus menerapkan pola subsidi langsung yang tepat
sasaran dan andal. Kedua, berbagai sarana transportasi massal telah terbangun.
Ketiga, sebagian dana yang dihemat dari pengurangan subsidi BBM diprioritaskan
membangun sarana konversi ke BBG dan meningkatkan produksi energi, termasuk energi
baru dan terbarukan. Keempat, menghentikan penggunaan dana penghematan subsidi BBM
untuk pencitraan politik misalnya penerbitan berbagai kartu sosial karena telah diterapkannya
pola subsidi langsung.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Begitu pula dengan harga minyak dunia yang
dapat saja berada pada kisaran USD50 hingga USD60 per barel untuk waktu yang lama.
Namun, harga yang rendah tersebut bisa pula kembali ke level USD80-100 per barel pada
akhir tahun ini.
Kembali naiknya harga minyak dunia dapat disebabkan kepentingan Amerika Serikat (AS)
melindungi investor shale gas yang sejak 2010 hingga akhir 2014 telah menerbitkan surat

99

utang (bonds) dan pinjaman (loans) sekitar USD550 miliar. Seperti diketahui, titik break
event investasi shale oil/gas berada pada kisaran USD60 hingga USD70 per barel.
Pada harga minyak yang telah lebih rendah dari USD60 per barel dalam sebulan terakhir,
sejumlah investor shale sudah tidak sanggup membayar kewajiban bunga loans dan bondsnya sehingga sebagian bonds tersebut berubah status menjadi junk bonds. Diperkirakan,
tingkat gagal bayar (default) bonds energi tahun ini dapat mencapai 8%. Dengan demikian,
untuk melindungi investasi sektor energinya, kecil kemungkinan Pemerintah AS akan
membiarkan terus rendahnya harga minyak.
Dicatat bahwa penurunan harga minyak antara lain disebabkan oleh kepentingan AS merusak
ekonomi Rusia dan kepentingan Arab Saudi menghambat berkembangnya dominasi Iran
bersama Irak dan Suriah. Arab Saudi, yang memproduksi minyak dengan titik break event
USD25 hingga USD35 per barel, juga berkepentingan menahan laju perkembangan pasar
shale gas AS yang semakin menggerogoti pasar minyak tradisionalnya.
Namun, akibat pertarungan berbagai kepentingan tersebut, sejumlah negara penghasil minyak
telah mengalami defisit anggaran yang besar seperti Aljazair, Nigeria, Oman, Rusia, dan
Arab Saudi masing-masing USD31 miliar, USD16 miliar, USD6,4 miliar, USD45 miliar, dan
USD39 miliar. Iran termasuk anggota OPEC yang menyembunyikan defisit, padahal
jumlahnya cukup besar. Dengan defisit demikian besar, bisa saja terjadi kompromi
pembatasan produksi sehingga harga minyak kembali mendekati USD90 akhir tahun ini.
Karena itu, untuk mengantisipasi dampak buruk kembali naiknya harga minyak dunia,
pemerintah dituntut untuk tidak begitu saja mencabut subsidi BBM. Mayoritas kehidupan
masyarakat perlu dilindungi sampai pemerintah telah dapat menyiapkan sistem subsidi
langsung yang tepercaya dan andal. Pemerintah pun dituntut untuk tetap memberi subsidi
pada level yang wajar dan berkeadilan hingga penyediaan sarana transportasi publik dan
pembangunan berbagai infrastruktur energi telah tersedia.

MARWAN BATUBARA
Direktur Eksekutif IRESS

100

Audit dan Kotak Pandora


Koran SINDO

8 Januari 2015

Pada banyak perusahaan, entah swasta atau BUMN, ada satu kata yang bisa membuat perut
mulas eksekutif: audit. Apalagi kalau disebut audit investigatif. Mau dikemas dengan
bahasa apa pun, dijanjikan semanis apa pun, bahkan selembut apa pun, kesannya tetap sama,
ada sesuatu yang dicurigai atau: cari dan temukan sesuatu yang salah. Itulah yang membuat
perut menjadi mulas.
Audit biasanya dilakukan dengan mengevaluasi apakah yang kita lakukan sehari-hari sudah
sesuai dengan standard operating procedure (SOP). Kalau sudah, tetapi outcome-nya tetap
jelek, SOP-nya yang perlu diperbaiki. Tapi, ini yang celaka, ada saja orang yang suka bekerja
di luar SOP. Misalnya dengan alasan mencari terobosan.
Kalau hasil akhirnya baik, mungkin pelanggaran itu tak akan ketahuan. Repotnya kalau hasil
akhirnya ternyata tak sesuai dengan harapan, bahkan terjadi musibah karena satu dan lain hal
yang tak ada hubungannya dengan SOP itu sekalipun. Celakalah kita.
Anda tahu hari-hari ini kata audit tengah naik daun. Pemicunya adalah musibah yang
menimpa pesawat AirAsia QZ8501. Di luar dugaan, dari pemeriksaan sementara, pesawat
nahas itu terbang di luar jadwal dari izin Kementerian Perhubungan. Kasus inilah yang
kemudian membuat Menteri Perhubungan Ignasius Jonan memerintahkan dilakukan audit
terhadap skedul terbang dari seluruh maskapai. Jangan-jangan kasus penerbangan tak sesuai
jadwal tidak hanya terjadi pada AirAsia, tetapi juga maskapai-maskapai penerbangan lain.
Kenyataannya, ya. Di Bandara Juanda, Surabaya, saja ada 15 kasus penerbangan di luar
jadwal yang melibatkan empat maskapai, yakni AirAsia, Lion Air, Trigana Air, dan Kal Star
Aviation. Entah bagaimana dengan yang terjadi di bandara-bandara lain. Kini, 15 skedul
penerbangan dari empat maskapai tersebut dibekukan sampai izin resmi dikeluarkan oleh
Ditjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan. Kapan? Entahlah.
Kotak Pandora
Pembekuan jadwal itu tentu punya dampak berantai. Perubahan skedul di suatu bandara tentu
berdampak pada bandara lain seperti bandara tujuan. Lalu penumpang yang sudah membeli
tiket menjadi korban. Bukan hanya penumpang dari bandara asal, tetapi juga penumpang di
bandara tujuan yang akan kembali.
Mereka yang betul-betul merasa kesal dan dirugikan akibat pembatalan tersebut, sesuai
dengan UU Perlindungan Konsumen, tentu bisa menggugat pihak maskapai penerbangan.

101

Persidangannya bakal bergulir. Waktunya bisa sebentar, bisa sangat lama. Anda tentu tahu,
pengadilan di Indonesia termasuk salah satu yang termahal. Ini, antara lain, karena tak jelas
kapan selesainya dan terutama juga tak jelas kapan keputusannya bisa dieksekusi.
Jadi, bagi saya, audit yang dilakukan Kementerian Perhubungan terhadap penerbangan yang
di luar skedul betul-betul bak membuka kotak pandora. Sekali terbuka, kita akan sulit
mengendalikan apa saja yang akan bermunculan dari dalam kotak tersebut. Bisa baik, bisa
jelek. Bak bola liar.
Salah satu bola liar itu, kalau terbukti banyak penerbangan yang di luar jadwal, adalah
kemungkinan adanya penyelidikan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO).
Lembaga ini tentu akan mencari tahu, bagaimana pesawat-pesawat itu bisa leluasa terbang di
luar skedul di atas udara Indonesia. Tata kelola yang semacam ini tentu tak sesuai dengan
standar ICAO.
Kalau temuan ICAO terbukti, saya khawatir sanksi sudah menanti. Kita pernah
mengalaminya. Dalam buku From One Dollar to Billion Dollars Company (2014), saya
mengulas sanksi larangan terbang ke Amerika Serikat dan Eropa bagi maskapai-maskapai
penerbangan Indonesia, termasuk Garuda Indonesia, tahun 2007. Itu karena kita tidak
menerapkan standar keamanan dan keselamatan penerbangan sesuai dengan regulasi ICAO.
Larangan itu tentu bisa berimbas ke mana-mana. Industri pariwisata bisa terkena dampak.
Reputasi negara pun bisa tercoreng. Setelah melakukan berbagai perbaikan yang melelahkan,
akhirnya pada Juli 2009, larangan terbang ke Eropa dicabut.
Akankah kasus AirAsia, yang terbang di luar jadwal, bisa punya imbas serupa? Mungkin
saja. Harap diingat, yang melanggar ini bukan AirAsia Malaysia, melainkan perusahaan
patungan yang beroperasi di Indonesia: AirAsia Indonesia.
Bola liar lainnya, audit skedul yang dilakukan terhadap jadwal penerbangan ternyata
mendorong munculnya permintaan serupa di industri transportasi darat. Lalu, mungkin saja
sebentar lagi juga muncul permintaan serupa dari para stakeholders di industri transportasi
laut.
Bagi saya, permintaan semacam itu sangat wajar. Wajah industri transportasi darat dan laut
kita memang masih centang perenang. Seorang teman pernah diminta menjadi CEO angkutan
laut yang menangani penyeberangan. Setelah melakukan penyamaran di lapangan, dia jadi
mengerti mengapa BUMN yang dipimpinnya selalu merugi.
Faktanya, para manajer dan petugas lapangan begitu mudah disogok perusahaan-perusahaan
swasta yang ingin bisnisnya cepat sukses. Caranya? Mudah. Mereka melakukan sabotase
dengan mengganjal truk-truk yang mau keluar. Kalau bannya pecah saja, maka truk-truk di
belakangnya akan terhambat keluar. Kapal akan tertambat lama. Maka penumpang yang siap
diangkut pindah ke angkutan milik tetangga sebelah.

102

Ia pun melalukan pembenahan secara menyeluruh. Mulai dari rotasi SDM, memasang kamera
CCTV, menempatkan pengawasan melalui satelit, dan sebagainya. Berhasilkah? Ternyata
berhasil. Ruang gerak para penyimpang makin sempit, perusahaan untung.
Tapi pada saat yang bersamaan karyawan mulai resah, direksi terbagi dua. Menurut kabar,
sebagian di antara mereka adalah pelaku utama yang kelak akan menjadi sasaran sang CEO.
Sejak itulah gerakan perlawanan muncul, mereka membuat mosi tidak percaya. Kawan saya
pun dicopot. Anda yang memimpin perubahan di korporasi tentu paham dengan pola seperti
ini.
Hampir semua pelaku perubahan mengalami nasib serupa. Kata para ahli fengshui, kalau
duduk, tempatkan kursi Anda membelakangi tembok beton yang kuat. Kalau ia diterjang, kau
akan aman. Artinya, setiap melakukan perubahan, kita harus back-up yang tulus dan kuat.
Bukan orang yang gampang digoyang-goyang.
Short Supply dan Kredibilitas
Baiklah, kita lanjutkan. Selain masalah tadi, permintaan sektor transportasi di negeri
kepulauan ini masih jauh melampaui pasokannya. Kebijakannya tak karuan. Main tambal
sulam dan sama sekali tidak berorientasi jangka panjang. Dengan kondisi yang semacam itu,
kita mudah menerka, pasti banyak kepentingan yang bermain di dalamnya.
Bicara soal potret transportasi darat di Indonesia, menurut kajian Badan Kesehatan Dunia
(WHO) pada tahun 2011, kecelakaan lalu lintas sudah menjadi pembunuh ketiga terbesar
setelah penyakit jantung koroner dan TBC. Celakanya lagi, sekitar 67% dari korban
kecelakaan lalu lintas adalah penduduk yang berada dalam kelompok usia produktif, yakni
22-50 tahun.
Saya yakin, untuk tahun ini potret tersebut belum banyak berubah. Kondisi angkutan darat
kita masih jauh dari harapan. Kendaraan tak layak jalan masih banyak yang beroperasi. Lihat
saja, Senin lalu (5/1), ada sebuah truk yang baknya terangkat dan tersangkut di jembatan
penyeberangan di jalan tol Jagorawi. Akibatnya kemacetan panjang terjadi di jalan tol
itu. Bagaimana bisa truk yang kondisinya seperti itu lalu lalang di jalan raya? Pasti ada yang
tak beres dengan urusan uji kir.
Untuk memperbaiki layanan transportasi darat, saya sejak lama berteriak, jadikan kereta api
sebagai backbone (tulang punggung)-nya. Sayangnya, saya seperti berteriak di gurun pasir.
Mudah-mudahan pemerintah kali ini lebih responsif.
Auditor
Baiklah, kini kita kembali ke soal audit. Proses audit selalu melibatkan auditor. Norman
Ralph Augustine, seorang penguasa kedirgantaraan yang kerap dimintai pandangannya oleh
Kementerian Pertahanan Amerika Serikat, punya komentar menarik tentang auditor. Katanya

103

begini, Two-thirds of the Earths surface is covered with water. The other third is covered
with auditors from headquarters.
Begitu besarnya kuasa para auditor. Maka, saya tak heran kalau banyak pihak yang merasa
mulas perutnya ketika mendengar kata audit. Saya kira ini dialami juga oleh jajaran
Kementerian Perhubungan, pihak pengelola bandara, para petugas air traffic control (ATC),
dan maskapai penerbangan. Bukan mustahil, orang-orang di jajaran kementerian banyak yang
sedang mulas karena sejak lama kita tahu ada banyak kejanggalan.
Para eksekutif BUMN sudah lama mengeluh. Katanya, kok bisa pihak kementerian lebih
terlihat pro-armada-armada milik asing atau swasta ketimbang milik negara sendiri? Tapi,
saya kira lebih baik semua ikut mulas dan biarlah terungkap praktik-praktik tak sehat ini.
Kalau memang banyak penyakitnya, lebih baik berobat. Kalau kita tak bisa mengobatinya
sendiri, biarlah orang lain yang melakukannya. Ketimbang pura-pura tidak ada masalah apaapa, lalu musibah berdatangan silih berganti. Ini semata-mata soal nyawa, bukan hanya harga
diri.
Siapa bilang pelanggaran jadwal ini tak ada hubungannya dengan musibah? Semua ini saling
berhubungan dan mudah dijelaskan kok. Jangan selalu menyalahkan alam dan Tuhan.

RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

104

Tabir di Balik Data Kemiskinan


Koran SINDO

8 Januari 2015

Sebelum tahun baru teman-teman saya yang bekerja pada bidang sosial-ekonomi di Badan
Pusat Statistik (BPS) pusat tidak mau diganggu. Mereka minta maaf karena pada 2 Januari
2015 pengumuman tentang kondisi data kemiskinan di Indonesia.
Data yang diumumkan adalah kondisi capaian angka kemiskinan pada September 2014.
Dengan begitu, sedikit ada pembaharuan data kemiskinan yang sebelumnya menggambarkan
kondisi pada Maret 2014. Bisa dimaklumi tentunya. Namun, sekaligus menyempurnakan
series data kemiskinan selama lima tahun terakhir, sejak periode kepresidenan Bapak SBY
dan Boediono.
Data kemiskinan tahun terakhir dapat dianggap sebagai baseline dari kondisi kemiskinan.
Sebagaimana biasanya, data kemiskinan ditampilkan dengan menggunakan patokan
penetapan garis kemiskinan. Secara nasional persentase kemiskinan sudah dapat diturunkan
menjadi 10,96% pada 2014 di mana pada 2009 angkanya mencapai 14,15%. Berarti, selama
lima tahun terakhir penurunan kemiskinan dapat ditekan sebesar 3,19 poin yang menyisakan
jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 27,73 juta orang. Penurunan kemiskinan setiap
tahun tidak sampai satu juta orang (menurut head count).
Dengan capaian laju pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5,1-5,3% selama lima tahun
terakhir, tampaknya indeks penurunan kemiskinan semakin lama semakin menurun. Artinya,
sensitivitas pembangunan semakin kurang menurunkan angka kemiskinan. Karena itu, mesti
dipikir ulang ketika pemerintahan baru menargetkan angka kemiskinan tersisa 5% pada 2019
mesti dengan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, setidaknya kisaran 7% bisa
dicapai tentunya dengan sasaran yang lebih terarah.
Semakin rendahnya angka kemiskinan pada lima tahun terakhir dimungkinkan terjadi
mengingat perekonomian nasional mendapatkan bonanza. Penyumbang bonanza itu dari
membaiknya harga komoditas pertanian, besarnya tingkat remitansi para buruh Indonesia dari
luar negeri, dan intensitas program kemiskinan melalui program nasional dan dilanjutkan di
daerah-daerah. Kajian penulis menemukan alokasi belanja pemerintah pusat yang sensitif
terhadap penurunan kemiskinan adalah pengeluaran per kepala untuk pendidikan,
pengeluaran per kepala untuk kesehatan, dan pengeluaran per kepala untuk program
perumahan.
Sementara pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dan sektor lain tidak signifikan
berdampak dalam pengurangan kemiskinan. Ini sinyal bahwa alokasi investasi selama ini di
luar tiga sektor itu justru lebih sensitif meningkatkan penghasilan kelompok masyarakat

105

perkotaan serta kecenderungan pada lokasi-lokasi tertentu. Dampak lanjutan bisa dimengerti
ketika kemiskinan sedikit turun, angka ketimpangan pembangunan justru naik menggila.
Potensial kemiskinan sebenarnya besar ketika terjadi perubahan eksternal (external shocks),
berupa melemahnya harga komoditas internasional, khususnya pertanian, termasuk juga
perubahan cuaca yang tidak menentu seperti kabut asap, kebakaran, dan kekeringan. Jumlah
penduduk di kisaran garis kemiskinan merupakan sebuah tantangan yang masih besar di
Indonesia.
Pemuda Aktif
Memang data kemiskinan kita menunjukkan penurunan dibandingkan kondisi sebelumnya.
Namun, jika kita sepakat untuk menggunakan standar Bank Dunia, penduduk miskin di
bawah USD2, jumlah kemiskinan di Indonesia diperkirakan akan lebih dari dua kali lipat dari
kondisi sekarang. Secara implisit berarti, persoalan kemiskinan sedikit bergeser dari kondisi
di bawah garis kemiskinan ke persoalan kemiskinan yang berada pada sekitar-sekitar
kemiskinan.
Jika penurunan kemiskinan itu bisa disebabkan oleh semakin banyak orang bekerja atau
semakin meningkat produktivitas kerja, jumlah penduduk usia kerja yang menganggur juga
menurun secara absolut. Pada 2007 misalnya sebanyak 10,0 juta orang (9,1%) penduduk
sedang mencari pekerjaan, dapat menurun menjadi 8,3 juta orang (7,2%) pada 2010, dan
dilanjutkan penurunannya pada 2013 menjadi 7,4 juta orang (6,3%).
Sedikit penurunan angka pengangguran terbuka pada akhir-akhir ini akan berfluktuasi,
biasanya pada laporan Maret jumlah pencari kerja meningkat, setelah selesainya wisuda akhir
tahun, sementara rekrutmen belum terjadi. Dengan begitu, angka pengangguran anak muda
dan berpendidikan biasanya kembali rendah pada laporan data Susenas pada September.
Mereka yang menganggur anak muda dan berpendidikan dianggap sebagai pemuda potensial
karena mereka jika tidak bekerja justru membebankan ekonomi rumah tangga. Justru ketika
dapat didorong agar mereka dapat bekerja, pemuda merupakan potensi untuk membayar
pajak dari hasil pekerjaan mereka.
Banyak yang membahas tentang pengangguran ini. Salah satunya laporan Bank Dunia
tentang Memenuhi Keterampilan Kerja Anak Muda yang berisikan bahwa pendidikan kita
belum meningkatkan kemampuan kognitif yang cukup dan belum meningkatkan
keterampilan dan soft skills pencari kerja. Hal yang sama juga dijumpai di berbagai negara
seperti Mesir, India, dan Bangladesh. Tugas menyediakan proses keterampilan untuk anak
muda sungguh mulia akan mampu memecahkan apa yang ada dalam tirai kemiskinan di
Indonesia.
Pemuda Pasif

106

Dimensi yang sangat merisaukan kita adalah ketika angka pengangguran sekitar 17,4 juta
pada kondisi terakhir, para pencari kerja itu masih optimistis, mereka masih berupaya
mencari kerja. Dimensi lain adalah masuknya kelompok pemuda usia 15-24 tahun yang
masuk kategori tidak bekerja, tidak sedang mencari pekerjaan, tidak sekolah, dan tidak
berumah tangga.
Mereka menjawab ketika Susenas dilakukan berstatus lainnya. Kelompok ini fenomena
baru di balik data kemiskinan yang menurun di Indonesia. Justru kelompok penduduk yang
menjawab lainnya/idle, atau pemuda malas justru mengalami peningkatan yang sangat
merisaukan kita. Pada 2007 di Indonesia jumlah yang masuk kategori lainnya ini sebanyak
8,4 juta orang, meningkat menjadi 8,5 juta pada 2010 dan data terakhir tetap mengalami
peningkatan menjadi 8,7 juta orang pada 2013. Mereka ini adalah malas dan pasif, sekitar
25% berusia tua, namun sebanyak seperempat adalah berusia muda.
Jika kita jumlahkan, sebenarnya bobot masalah baru pengangguran dan idle menjadi 16,1
juta. Sebuah angka yang fantastis di balik sedikit penurunan angka kemiskinan nasional.
Bagaimana kita menjelaskan fenomena ini? Sulit menjelaskan siapa yang masuk kategori
idle ini. Memang pada kisaran 25% di antaranya orang tua dan mereka memang tidak akan
menjadi pekerja lagi. Tetapi, jumlah anak muda yang masuk kategori ini sebenarnya
menunjukkan peningkatan yang tinggi. Kita bisa berdalih mereka ini menunggu untuk
melanjutkan pendidikan pada jenjang berikutnya atau menunggu untuk berkeluarga. Atau
sama sekali tidak tahu mau melakukan apa karena tidak memiliki keterampilan. Kalau mau
berusaha, sebagian besar mereka tidak memiliki keterampilan kerja atau tinggal dengan orang
tua yang juga miskin.
Di negara maju mereka yang masuk kategori idle ini juga besar, namun idle karena
cacat hanya pada kisaran 2-3%. Pada umumnya karena kemiskinan dan termasuk tersangkut
dengan proses hukum akibat tindakan kriminal. Berjalan-jalanlah ke desa-desa akan ketahuan
banyak kelompok anak-anak muda yang duduk di dekat balai pemuda yang tidak tentu
pekerjaan. Atau, lihat di perempatan jalan di perkotaan, sekarang anak-anak usia sekolah
dasar (SD) saja sudah berani mencari uang mengatur lalu lintas.
Lihatkah di sudut-sudut kedai, akan kelihatan kelompok pemuda yang main domino dan
gaple membuang waktu. Sekiranya kita wawancarai mereka, apakah mereka mendapatkan
akses terhadap program-program pembangunan yang memihak kepada pendayagunaan
mereka menjadi produktif, jawabannya akan nihil. Program tentang pengangguran dan
bahkan untuk mereka yang malas luput dari program pembangunan.
Gejala absensinya negara terhadap fenomena ini menjadi sangat jelas. Sudah saatnya program
khusus difokuskan oleh pemerintahan baru serta dikonkretkan operasionalnya oleh masingmasing pemerintahan daerah. Menyiapkan generasi muda untuk mau bekerja dan
meningkatkan nilai tambah.

107

Jika kita ingin memperoleh sumber pemasukan di daerah semakin meningkat serta
mengurangi problema unofficial economy bagi anak-anak muda, program untuk mereka mesti
disiapkan sesegera mungkin. Caranya? Pertama, mari petakan mereka per kelurahan. Kedua,
ajak mereka berdiskusi apa yang mereka perlukan. Ketiga, sediakan pemuda penggerak yang
akan meningkatkan motivasi kerja. Keempat, kembangkan pusat keterampilan per
nagari/kelurahan, dan siapkan program insentif bagi mereka yang ingin melakukan kegiatan.
Programkan dalam baliho meningkatkan semangat kerja mereka. Itu baru maknyus.

ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM Unand dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi UNAND

108

Ciptakan Pengusaha Muda


Koran SINDO

10 Januari 2015

Setelah Orde Reformasi, permasalahan pemerataan pembangunan telah menjadi semacam


enigma yang masih belum menemukan jawabannya.
Sepuluh tahun terakhir ini kita menyaksikan Indonesia mampu mempertahankan kinerja
ekonomi yang cukup impresif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi berkisar 5-6% meski
saat perekonomian dunia mengalami perlambatan akibat krisis. Namun, di sisi lain
kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat dan kesenjangan spasial antarwilayah
juga menunjukkan tren peningkatan.
Rasio Gini Indonesia pada 2014 telah menyentuh angka 0,43 dan pada 2014 sebesar 20%
penduduk dengan pendapatan tertinggi telah menguasai hampir setengah dari total
pendapatan masyarakat. Kondisi ini diperparah laju industrialisasi lebih terkonsentrasi di
Pulau Jawa sementara beberapa daerah lain terutama di wilayah timur masih jauh tertinggal,
terutama dalam infrastruktur dan pelayanan dasar.
Risiko middle income trap yang sedang membayangi Indonesia hari ini tidak dapat lagi
ditangani dengan mendorong pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga memastikan bahwa
pemerataan pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Ironi kemajuan
ini telah menjadi sebuah masalah struktural yang membutuhkan penanganan bersama dari
seluruh elemen bangsa, terutama bagi pengusaha.
Pengalaman dari beberapa negara menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi yang tinggi
dapat memicu lahirnya konflik horizontal yang akhirnya berdampak buruk pada
perekonomian lokal. Kehadiran pengusaha diharapkan mampu menciptakan inovasi sehingga
memberikan nilai tambah bagi golongan masyarakat yang selama ini belum kebagian jatah
kue pembangunan.
Bonus Demografi
Dalam menjawab permasalahan tersebut, ada aspek penting yang perlu kita perhatikan lebih
serius yaitu bonus demografi. Bonus demografi ini keuntungan ekonomis yang disebabkan
penurunan rasio ketergantungan sebagai hasil dari proses penurunan fertilitas jangka panjang
(Sri Moertiningsih, 2005).
Bagi Indonesia, penurunan rasio ketergantungan ditandai dengan proporsi masyarakat
produktif lebih besar jika dibandingkan dengan proporsi masyarakat non-produktif (anak
kecil dan manula). Bonus demografi ini yang hanya terjadi sekali seumur hidup sehingga

109

disebut sebagai window of opportunity.


Untuk konteks Indonesia, bonus demografi ini telah terjadi sejak 2012 dan diperkirakan
puncaknya pada 2028- 2031 dengan jumlah angkatan kerja diperkirakan sebesar 135 juta jiwa
(BKKBN). Besarnya jumlah angkatan kerja ini berarti potensi yang cukup besar dalam
membangun modal manusia (human capital), apalagi jika angkatan kerja ini dapat memicu
pertumbuhan tabungan (savings) sehingga akhirnya dapat meningkatkan investasi dan
pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor yang mengakibatkan beberapa negara seperti China
dan Korea Selatan berhasil tampil sebagai kekuatan ekonomi baru dunia karena telah
menyiapkan serangkaian kebijakan dalam memaksimalkan potensi angkatan kerja yang
mereka miliki.
Meski demikian, peluang ini bukan tanpa risiko. Besarnya jumlah angkatan kerja ini tentu
harus dibarengi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas lapangan kerja. Jika angkatan
kerja ini tidak mendapatkan pekerjaan yang layak, mereka dapat menjadi beban sosial
sehingga menghambat laju pembangunan. Ancaman lain berangkat dari kenyataan bahwa
bonus demografi ini tidak dirasakan secara merata oleh seluruh daerah di Indonesia.
Kondisi ini menuntut segala pihak yang terkait baik itu pemerintah, universitas, asosiasi
usaha, dan industri untuk bertindak cepat dalam menyiapkan segala prasyarat yang
dibutuhkan dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas dengan waktu yang
tersisa.
Hari ini Indonesia telah menyedot perhatian pelaku bisnis internasional yang melihat potensi
pasar Indonesia. Jika sumber daya manusia kita tidak memiliki daya saing yang kuat, kita
hanya akan menjadi penonton dengan menyaksikan pasar dalam negeri dibanjiri komoditas
impor yang tidak memiliki nilai tambah yang berarti bagi Indonesia. Pada masa yang akan
datang Indonesia membutuhkan lebih banyak lapangan kerja yang akan mudah dicapai jika
jumlah wirausaha lebih banyak.
Selain kuantitas, kita juga harus memperhatikan bahwa pengusaha tersebar secara merata,
terutama pada daerah yang tidak menikmati bonus demografi sehingga memungkinkan lahir
pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa. Ini tentu membutuhkan stimulus dari pemerintah
dengan menggenjot pembangunan infrastruktur sehingga biaya logistik yang selama ini
membebani pengusaha di daerah dapat teratasi. Ini mungkin tidaklah mudah, tetapi harus
dimulai dari sekarang. Sudah saatnya Indonesia membangun dari daerah dan membuka jalan
bagi semua.
Keberpihakan Pemerintah
Laporan dari EY G-20 Enterpreneurs Barometer 2013 menempatkan Indonesia pada
kuartal keempat atau kelompok peringkat terendah atas kondisi ekosistem kewirausahaan
(entrepreneurial ecosystem) dari negara-negara anggota G-20.

110

Penelitian ini mengukur ekosistem kewirausahaan sebuah negara berdasarkan lima pilar yaitu
akses terhadap pembiayaan, budaya kewirausahaan, peraturan dan perpajakan, pendidikan
dan pelatihan, serta bantuan koordinasi. Meski terjadi perbaikan dari lima aspek tersebut,
secara keseluruhan Indonesia masih kalah jauh dari negara-negara lain yang termasuk ke
dalam G-20.
Hal yang kemudian cukup menggembirakan bagi kita adalah hasil survei dari penelitian ini
menunjukkan bahwa pengusaha Indonesia adalah kelompok yang paling optimistis terhadap
perkembangan bisnis dalam negeri. Menurut pengalaman saya, optimisme ini modal yang
cukup penting dalam dunia bisnis. Tanpa ada optimisme dan tekad yang kuat, mustahil bagi
pengusaha baru untuk mewujudkan mimpi mereka.
Sayangnya, optimisme saja tidaklah cukup. Sebagai pengusaha yang berasal dari daerah, saya
paham betul betapa sulitnya membangun usaha tanpa ada modal yang cukup terutama ketika
ingin memulai bisnis dari awal, terutama bagi pengusaha usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM).
Harus kita akui bahwa peran sentral dari UMKM dalam perekonomian nasional masih belum
mendapatkan perhatian yang cukup dari regulator. Pada 2014 saja Indonesia telah memiliki
UMKM sebesar 56,5 juta unit dan 98,9% di antaranya usaha mikro. Meski pemerintah telah
menyiapkan fasilitas pembiayaan seperti kredit usaha rakyat (KUR) ataupun kredit usaha tani
(KUT), pada realitasnya masih terdapat beberapa kelemahan dalam sistem penyalurannya.
Kelemahan ini terlihat dari masih tingginya bunga kredit yang dibebankan kepada pengusaha
UMKM. Bunga kredit yang disalurkan dapat mencapai 17%, sedangkan pengusaha besar
hanya dibebankan bunga kredit sebesar 12%.
Permasalahan kedua terkait kelayakan usaha dari UMKM tersebut di mana pihak perbankan
yang mewajibkan berbagai syarat administratif masih sulit untuk dipenuhi seperti agunan dan
pengalaman usaha. Karena itu, pada masa yang akan datang pemerintah dituntut untuk
memberikan perhatian lebih terhadap sektor ini. Regulasi terkait penanganan masalah
UMKM harus memastikan kenyamanan berusaha dan penyederhanaan izin usaha.
Terkait akses pembiayaan terhadap perbankan bunga kredit yang harus dibayarkan sebisa
mungkin ditekan lebih rendah (di bawah 10%). Pemerintah dapat mengalokasikan anggaran
APBN untuk melakukan subsidi bunga kepada pelaku usaha UMKM. Melalui subsidi
bunga ini, diharapkan bahwa subsidi yang selama ini hanya dihabiskan untuk kepentingan
konsumsi dapat dialihkan untuk kepentingan produktif.

BAHLIL LAHADALIA
Calon Ketua Umum BPP HIPMI

111

Menusuk Jantung Kemelut Gula Rafinasi


Koran SINDO

13 Januari 2015

Kementerian Perdagangan mengubah pola distribusi gula kristal rafinasi (GKR). Lewat Surat
Mendag No. 1300/M-DAG/50/12/ 2014, 18 Desember 2014, produsen GKR harus
menyalurkan sendiri ke industri makanan minuman dan farmasi, tidak boleh lagi melalui
distributor/subdistributor.
Untuk industri kecil dan menengah makanan/minuman (IKM) disalurkan lewat distributor
terdaftar dan koperasi. Dibandingkan aturan lama, No. 111/M-DAG/2/2009, perbedaan
terletak pada tidak adanya jalur produsen GKR ke IKM, tidak ada lagi keterlibatan
subdistributor, dan masuknya koperasi sebagai pelaku baru.
Apakah perubahan ini bisa menghentikan, atau paling tidak menekan, perembesan GKR ke
pasar gula kristal putih (GKP)? Hampir bisa dipastikan mekanisme baru ini tidak akan
mengubah perembesan GKR ke pasar GKP yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Distribusi adalah soal teknis. Perubahan ini sama sekali tak menyentuh jantung masalah.
Titik krusial pabrik gula rafinasi terletak pada izinnya yang tidak terkontrol. Izin pabrik gula
rafinasi di BKPM, sedangkan izin industri makanan-minuman pengguna GKR ada di
Kementerian Perindustrian. Akibat obral izin, kapasitas pabrik gula rafinasi melampaui
kebutuhan industri. Sejak diinisiasi tahun 2000, kini ada 11 pabrik gula rafinasi berkapasitas
sekitar 5 juta ton.
Seiring itu, impor gula mentah (raw sugar), bahan baku pabrik gula rafinasi, terus melonjak:
dari kurang 1 juta ton pada 2006 jadi lebih 2 juta ton sejak 2009. Sejak 2007 ada indikasi kuat
izin impor GKR untuk industri dan gula mentah untuk pabrik gula rafinasi berlebihan (Sawit,
2010).
Sebenarnya ada survei kebutuhan GKR industri. Sucofindo ditunjuk Kemendag, dan
Surveyor Indonesia oleh Kemenperin. Masalahnya, hasil kedua survei berbeda mencolok: 0,5
juta ton/tahun. Ada indikasi, izin impor memakai hasil survei angka besar. Sesuai hukum besi
supply-demand, ketika kebutuhan GKP tidak sepenuhnya bisa dipenuhi produksi domestik,
kelebihan produksi GKR akan mengalir mencari pasar.
Proteksi harga oleh pemerintah lewat harga patokan petani (HPP) membuat insentif ekonomi
merembeskan GKR ke pasar GKP amat menggiurkan. Pengawasan yang lemah dan
penegakan hukum bagi pelanggar distribusi yang tidak memberi efek jera membuat sekat

112

pasar GKR untuk industri (makanan, minuman, dan farmasi) dan GKP untuk pasar konsumsi
langsung tidak berarti apa-apa.
Sekat itu bukan tembok yang kedap rembesan. Logis dan seolah wajar, kelebihan produksi
GKR akhirnya menginvasi pasar ritel. Diperkirakan, dalam lima tahun (2006- 2011) rata-rata
tahunan GKR yang merembes berkisar 185.104 ton hingga 678.818 ton atau 8,03% hingga
29,44% dari pasokan GKR.
Ini bukan jumlah yang kecil. Impor gula mentah dan GKR yang hanya oleh investor besar
kian menambah sifat asimetri pasar. Ini semua menambah ketidakpastian pasar. Ini tak bisa
dibiarkan.
Ada alasan kuat pasar GKR dan GKP dipisahkan, seperti diatur Kepmenperindag No.
527/2004 tentang Ketentuan Niaga Impor Gula. Ini dilakukan karena medan persaingan tak
imbang. Investasi industri GKP tiga kali lipat dari industri GKR. Dengan bahan baku gula
mentah impor murah, pabrik GKR bisa beroperasi sepanjang tahun.
Pabrik gula rafinasi hanya mempekerjakan 3.515 orang. Dengan risiko minimal, pabrik gula
rafinasi tergolong investasi yang cepat balik modal: hanya 2-3 tahun (Colosewoko,
2010). Sebaliknya, investasi pabrik GKP berisiko karena musti membuka kebun, dan
menyiapkan petani. Operasional giling hanya 160-180 hari karena bahan baku tergantung
iklim dan cuaca.
Dengan tingkat bunga 14%, investasi pabrik GKP baru balik modal 12-15 tahun. Namun,
industri GKP melibatkan 800 ribu rumah tangga di on-farm. Bila sektor off-farm dihitung,
serapan tenaga kerja mencapai 1,3 juta.
Jika pasar GKR bisa masuk pasar GKP, bukan hanya tidak adil, tetapi industri GKP nasional
bakal habis. Selama ini pabrik GKP tergantung pasokan tebu petani. Petani memasok sekitar
90% kebutuhan tebu. Saat ini ada 62 GKP dan 80% ada di Pulau Jawa. Invasi GKR ke pasar
ritel akan membuat harga GKP yang dihasilkan petani anjlok.
Dampak penurunan harga GKP sebagian besar ditanggung petani. Menurut perhitungan,
komposisi biaya dalam industri gula 60-70% ada di kebun. Artinya share petani 6070%. Penghasilan petani selama ini diperoleh dari bagi hasil gula dari tebu yang digiling:
66% petani dan 34% pabrik gula. Kalau pabrik gula tak efisien dan merugi, 60-70%
inefisiensi dan kerugian dipikul petani tebu.
Demikian pula jika harga jual GKP anjlok, petani pula yang paling terpukul. Anjloknya harga
GKP membuat insentif ekonomi petani untuk menanam tebu menurun. Lahan tebu petani
akan dialihkan untuk tanaman lain. Ini berdampak pada dua hal. Pertama, pabrik gula akan
tutup giling karena tidak mendapatkan pasokan bahan baku.

113

Padahal, industri gula merupakan aset ekonomi sekaligus aset sosial maha penting. Industri
gula menjadi mata rantai ekonomi yang penting negeri ini, yang tidak saja paling komplet
tetapi juga memiliki sejarah lebih empat abad. Jika gelombang penutupan pabrik gula terjadi,
aset ekonomi-sosial itu akan sia-sia.
Kedua, jika banyak pabrik gula tutup, dipastikan impor gula meledak, devisa melayang, dan
cita-cita swasembada gula bakal menguap. Indonesia punya potensi besar berswasembada
gula, seperti era 1930-an. Iklim, cuaca, plasma nutfah, dan lahan cocok untuk tebu. Namun,
potensi dan aset itu akan sirna jika kebijakan ad hoc.
Titik kritis industri gula ada pada banyaknya pabrik gula absolete, dan tidak efisien. Dari 62
pabrik gula, 68% berumur di atas 80 tahun. Akibat tua, mesin bocor dan tak maksimal.
Secara teoritis kita mampu mencapai rendemen 14-15%, tapi karena pabrik gula sudah renta
rendemen hanya 6-7%, jauh ketimbang rendemen era 1930-an: 11-13%.
Namun, pabrik gula tua dan tak efisien ini tetap hidup karena proteksi pemerintah. Proteksi
itu membuat mereka tidak dipaksa harus melakukan efisiensi. Proteksi ini tentu tidak adil.
Adakah jurus untuk menuntaskan masalah ini? Ada. Pertama-tama, karena medan persaingan
saat ini tidak imbang tentu tidak adil mencampur pasar GKP-GKR. Namun, pemisahan pasar
GKP-GKR tak bisa dilestarikan terus-menerus. Secara alamiah, sulit mengawasi produk yang
nyaris sama tetapi pasarnya berbeda. Karena itu, perlu masa transisi, lima tahun misalnya.
Dalam masa transisi itu bisa dibuat dua kebijakan penting. Pertama, agar medan persaingan
seimbang pabrik gula rafinasi harus membangun kebun tebu sebagai sumber bahan baku.
Kedua, revitalisasi pabrik GKP lewat konsolidasi agar terjadi efisiensi di segala lini: on-farm,
off-farm, dan pengolahan.
Jika dalam rentang lima tahun itu revitalisasi tak tuntas, pabrik gula yang tidak efisien harus
ditutup. Dua kebijakan itu harus dikaitkan dengan pencapaian swasembada gula. Ini bisa jadi
solusi kemelut GKR.

KHUDORI
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI); Penulis Buku Gula Rasa Neoliberalisme:
Pergumulan Empat Abad Industri Gula

114

Fokus Banyuwangi 2015


Koran SINDO

14 Januari 2015

Lanskap 2015 masih akan dipenuhi sejumlah tantangan yang mesti diantisipasi dengan
sinergi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah serta antardaerah. Berbagi beban,
berbagi tugas, dan berbagi manfaat antara pemerintah pusat dan daerah serta antardaerah
menjadi kunci agar kita bisa melewati tantangan dengan baik.
Dari sisi ekonomi, kinerja ekonomi global diprediksi belum sepenuhnya pulih dan itu tentu
berimbas ke ekonomi dalam negeri. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
diprediksi sejumlah pengamat masih akan berlanjut. Setidaknya rupiah belum akan kembali
ke level yang nyaman bagi semua pelaku ekonomi.
BI Rate diprediksi stabilandaikata turun, hanya 25 basis poin ke 7,5%. Satu dampaknya
adalah pengetatan ekonomi yang bakal berujung pada terkereknya suku bunga kredit. Ini jelas
berdampak pada ekonomi daerah dan harus diantisipasi.
Terkait itu, Pemkab Banyuwangi sudah mengantisipasi dengan melanjutkan skema
pemberdayaan ekonomi ke kelompok rentan dan usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM). Program ini dilakukan berkelanjutan, terintegrasi dari sisi financial services dan
micro services.
Financial services meliputi perluasan akses permodalan. Selain bantuan modal lunak untuk
UMKM, Pemkab Banyuwangi juga melanjutkan kerja sama dengan sejumlah perbankan
untuk meningkatkan akses kredit. Edukasi keuangan juga dilakukan dengan mengajak
pemerintah desa. Pemkab Banyuwangi telah meneken MoU dengan sejumlah bank terkait
itu.
Financial inclusion menjadi komitmen bersama. Pemkab Banyuwangi juga menggelontorkan
modal untuk perintis bisnis (start-up business) yang sistemnya diseleksi melalui kompetisi
business plan.
Adapun micro services meliputi pemberdayaan berupa beragam pelatihan, pendampingan,
promosi, dan fasilitasi berbagai macam sertifikasi. Pemkab Banyuwangi telah memfasilitasi
banyak UMKM untuk mendapatkan sertifikat halal, hak merek, hingga uji laboratorium
standardisasi. Tim intelijen pasar pemkab juga rutin mencari peluang pasar baru di kota-kota
besar untuk dikoneksikan dengan pelaku UMKM Banyuwangi.

115

Perpaduan antara financial services dan micro services itu yang akan membentuk daya saing
UMKM daerah agar bisa berdaya sanding dengan pelaku usaha lebih besar, terutama dalam
konteks menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Fokus ke Daya Saing
Saya sengaja membuka tulisan ini dengan dampak perlambatan ekonomi global ke daerah
untuk sedikit menggambarkan bahwa 2015 adalah tahun penuh tantangan.
Fokus Banyuwangi 2015 adalah pada peningkatan daya saing (competitiveness). Merujuk
pada konsep Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) dalam The Global
Competitiveness Report, daya saing adalah bauran berbagai variabel, mulai pendidikan dan
kesehatan yang bermuara pada kualitas sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, inovasi,
kompleksitas bisnis, hingga kondisi makroekonomi.
Soal pembentukan SDM misalnya fokus kami pada 2015 adalah memantapkan kualitas
pendidikan. Telah berdiri Universitas Airlangga Kampus Banyuwangi, Politeknik Negeri
Banyuwangi, dan Sekolah Pilot Negeri yang bakal bersinergi dengan lembaga pendidikan
yang ada. Banyuwangi juga telah mempunyai 115 sekolah inklusif dari sekolah dasar (SD)
sampai sekolah menengah atas (SMA) yang kualitas pengajarnya terus ditingkatkan.
Banyuwangi juga akan meneruskan program beasiswa Banyuwangi Cerdas yang hingga
2015 nanti sudah terkucur sedikitnya Rp10 miliar dengan menjangkau 600 mahasiswa. Dana
itu membiayai anak muda Banyuwangi berkuliah, baik di dalam maupun luar kota.
Di bidang infrastruktur, setiap tahun dibangun dan diperbaiki jalan sepanjang 300 kilometer.
Untuk memaksimalkan pembangunan jalan, kami menggarapnya dengan skema private
partnership. Pemkab menyediakan aspal dan peralatan, masyarakat dan swasta menyiapkan
tenaga kerja dan konsumsi ringan selama pengerjaan.
Selain jalan, infrastruktur bandara juga terus diperkuat. Kemenhub akan memanjangkan
landasan pacu Bandara Blimbingsari Banyuwangi hingga 2.250 meter tahun ini. Pemprov
Jatim dan Pemkab Banyuwangi menyelesaikan terminal berkonsep green airport pada 2015.
Ini bandara hijau tanpa AC pertama di Indonesia.
Bandara memang jadi pilar kemajuan Banyuwangi. Jumlah penumpangnya terus naik dari
7.826 orang pada 2011 menjadi sekitar 84.000 orang pada 2014. Terminal baru ke depan bisa
menampung 250.000 penumpang. Garuda Indonesia dan Wings Air rutin terbang tiap hari
dari Surabaya-Banyuwangi dan sebaliknya, serta Denpasar-Banyuwangi dan sebaliknya.
Dengan bandara, sektor pariwisata dan dunia usaha menggeliat.
Bagi daerah kami, infrastruktur pertanian wajib diperhatikan dan itu diwujudkan dengan
pembangunan waduk serta 600 titik irigasi untuk memastikan pasokan sumber daya air.

116

Tahun ini Waduk Bajulmati di Banyuwangi ditargetkan bisa selesai oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Keberlanjutan pertumbuhan sektor pertanian menjadi komitmen bersama. Selain proteksi
pasar dengan melarang konsumsi buah impor di setiap acara pemerintah di Banyuwangi,
dilakukan pemberian bantuan bibit, alat mesin pertanian, sarana produksi, sertifikasi
komoditas, dan pendampingan penyuluh.
Adapun bantuan mesin perahu, rumpon, bibit ikan, keramba, freezer, coolbox, timbangan
digital, peralatan sistem rantai dingin, perahu bermotor dan jukung, dan sarana budi daya
rumput laut adalah beberapa wujud nyata peningkatan daya saing sektor perikanan dan
kelautan.
Infrastruktur teknologi juga dibangun. Bermitra dengan dunia usaha, Banyuwangi
membangun 1.300 titik Wi-Fi di ruang-ruang publik. Banyuwangi bahkan telah ditetapkan
sebagai satu dari enam daerah pilot project yang akan diintervensi dan disupervisi
pengembangan jaringan teknologinya, khususnya dalam pemanfaatan pita lebar (broadband).
Peningkatan daya saing sektor pariwisata juga kami lakukan dengan menambah
infrastrukturnya. Hingga akhir tahun ini ada tambahan 400 kamar hotel baru, melengkapi
sekitar 5.000 kamar dari berbagai hotel yang sudah ada. Selain wisatawan individual, ke
depan Banyuwangi juga akan banyak menarik segmen wisatawan keluarga dan MICE.
Belanja wisatawan keluarga dan MICE lebih besar.
Tahun depan ada Pekan Olahraga Provinsi Jawa Timur di Banyuwangi yang akan
mendatangkan 10.000 orang dari luar kota. Juga ada MTQ. Banyuwangi Festival juga bakal
digelar lebih awal pada 2015 untuk mempercepat putaran ekonomi di masyarakat sebagai
upaya meminimalisasi dampak pertumbuhan nasional yang diprediksi masih belum
sepenuhnya pulih. Tahun ini kami juga akan menyelesaikan Grand Watudodol, sebuah rest
area terintegrasi dengan gerai UMKM untuk mencegat wisatawan yang bakal
menyeberang ke Bali.
Jangkar-jangkar daya saing akan terus diperkuat tahun ini, mulai dari sektor pertanian,
pendidikan, kesehatan, pariwisata, perdesaan, hingga kelautan. Daya saing daerah, jika
digarap simultan bersama-sama, akan membentuk daya saing nasional yang kuat.

ABDULLAH AZWAR ANAS


Bupati Banyuwangi
@a_azwarnas

117

Konsumen, Identitas Sosial, dan


Perilakunya
Koran SINDO

14 Januari 2015

Para pemasar selalu berusaha untuk memprediksi perilaku konsumen. Berbagai alat riset
digunakan, dari observasi hingga survei. Namun sering kali riset tidak mampu memprediksi
perilaku konsumen di lapangan. Hal apa yang dapat menjelaskan itu semua?
Electrolux punya pengalaman yang buruk mengenai kegagalan riset dalam memprediksi
perilaku konsumen. Dalam sebuah riset, responden menunjukkan respons positif terhadap
sebuah model mesin cuci baru. Berbekal riset tersebut, Electrolux meluncurkan produk di
Swedia. Sayangnya, pasar berperilaku berbeda. Pasar tidak menyerap mesin cuci baru
tersebut sama sekali dan proyek tersebut tidak lagi dilanjutkan.
Pengalaman di atas menunjukkan bahwa riset pemasaran sulit memprediksi perilaku
konsumen. Kita dapat membayangkan begitu besarnya kerugian yang mungkin kita hadapi
bila dihadapkan pada pengalaman serupa.
Sebuah studi terbaru memvalidasi sebuah ide lama tentang pengambilan keputusan oleh
konsumen. Terdapat sebuah variabel yang memengaruhi perilaku konsumen dan belum
diperhitungkan oleh para periset dan pemasar hingga saat ini.
Pentingnya Identitas Sosial
Sebuah studi yang dilakukan di Universitas Lancaseter, Inggris, menunjukkan bahwa
pengambilan keputusan dan perilaku seseorang juga dipengaruhi oleh identitas sosial.
Seseorang akan memiliki perilaku yang berbeda saat terdapat perbedaan identifikasi pada
dirinya. Perbedaan identifikasi yang dimaksud di sini adalah perbedaan identitas sosial yang
dimiliki seseorang pada suatu waktu.
Seseorang dapat memiliki beberapa identitas sosial secara sekaligus, seperti seorang ayah
yang bertanggung jawab di hadapan anak-anaknya, pria dewasa di hadapan istrinya, dan
seorang anak yang manja di hadapan ibunya. Saat seorang pria bersama dengan istrinya di
sebuah gala dinner, dia akan berperilaku sebagai seorang pria dewasa. Namun saat sendirian
datang ke rumah ibunya, kita mungkin melihat sosok pria yang begitu berbeda.
Hasil riset tersebut menjelaskan mengapa konsumen berperilaku berbeda dengan kenyataan
lapangan. Konsumen akan mengaktifkan identitas yang selalu berubah-ubah, sesuai dengan
konteks dan lingkungan di mana dia berada.

118

Stimulasi dan kondisi lingkungan yang berbeda akan membuat konsumen mengaktifkan
identitas sosial tertentu. Perbedaan perilaku yang tidak dapat diprediksi oleh riset pemasaran
disebabkan perbedaan identitas sosial yang aktif pada suatu waktu. Oleh karena itu, identitas
sosial perlu diperhitungkan dalam sebuah riset pemasaran.
Sebuah riset pemasaran perlu mengarahkan konsumen pada sebuah identitas sosial agar dapat
mengetahui perilaku yang akan timbul dari sebuah stimulasi secara akurat. Dengan
memperhitungkan identitas sosial konsumen dan bagaimana hal itu berubah, pemasar
memiliki perangkat yang lebih lengkap dalam mendesain stimulasi untuk menciptakan
perilaku konsumen yang diharapkan.
Brand Identification
Sebuah konsep yang sudah cukup lama muncul dan sangat terkait identitas sosial ini adalah
brand identification. Brand identification menjadi salah satu topik riset yang sedang hangat
pada ilmu pemasaran. Konsep ini mendorong para pemasar untuk membangun sebuah
identitas baru pada konsumen. Identitas baru yang membuat konsumen dekat dan memiliki
suatu brand.
Brand identification membuat konsumen memiliki perilaku tertentu apabila terkait dengan
brand tertentu. Konsumen yang mengidentifikasikan dirinya pada suatu brand akan memiliki
intensi pembelian ulang dan kehendak untuk merekomendasikan brand yang lebih besar.
Suatu contoh yang sederhana adalah para pengguna produk-produk Apple. Mereka memiliki
kedekatan dan rasa memiliki dengan brand tersebut. Pengguna produk-produk Apple biasa
dijuluki sebagai fanboy. Para fanboy memiliki kecenderungan untuk membeli produk
Apple dibanding produk elektronik lainnya. Saat dihadapkan dengan lingkungan pergaulan,
mereka akan membela mati-matian produk-produk Apple dibanding produk sejenis.
Bagaimana Apple membangun brand identification adalah studi kasus yang menarik. Salah
satu yang begitu jelas bahwa Apple menjaga konsistensi value proposition yang ditawarkan
dari waktu ke waktu. Langkah sederhana yang juga dilakukan Apple adalah pembagian stiker
pada setiap kotak produknya. Konsumen banyak memasang stiker tersebut pada kendaraan
dan para konsumennya mengenali rekan-rekan fanboy lainnya melalui stiker tersebut.
Hasil studi mengenai pengaruh identitas sosial terhadap perilaku konsumen adalah kemajuan
signifikan dalam rumpun ilmu pemasaran. Lembaga riset pemasaran dan para pemasar dapat
menggunakannya untuk memprediksi perilaku konsumen secara lebih akurat.

ALBERTO HANANI
Founder dan Managing Partner BEDA & Company

119

Jokowi dan RAPBN-P Rasa Wong Cilik?


Koran SINDO

19 Januari 2015

Tahun 2015 menjadi tahun penting dan strategis sekaligus awal pembuktian bagi kinerja
Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam mengemban amanat sebagai Presiden dan
Wakil Presiden.
Kehadiran Jokowi di pucuk kekuasaan, paling tidak, memberi harapan baru bagi cita-cita
kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik. Selain itu, figur Jokowi, dengan kesederhanaan
dan kebersahajaannya mengidentifikasi sistem kerja pemerintahan yang berada di bawah
kepemimpinannya, tampak lebih merakyat.
Tentu saja, identifikasi ini tidak sekedar kesan semata, pemerintahan Jokowi-JK bahkan
mengadaptasi konsep Trisakti dan Nawacita sebagai visi besar dalam memandang dan
men-drive arah kebijakan. Visi dan konsep itu jugalah yang mendasari RAPBN-Perubahan
2015.
Konsisten dengan konsep Trisakti dan Nawacita, RAPBNP 2015 menetapkan lima program
prioritas. Kelima prioritas tersebut pembangunan sektor unggulan, kegiatan pemenuhan
kewajiban dasar, program dan kegiatan untuk mengurangi kesenjangan, pembangunan
infrastruktur konektivitas, dan program dan kegiatan unggulan lain. Konsistensi tersebut patut
diapresiasi di tengah pelambatan laju perekonomian dunia dan penurunan postur APBN dari
Rp1.793 triliun (APBN 2015) menjadi Rp1.768 triliun (RAPBN-P 2015).
Pemerintah menggeser atau merealokasi sebagian anggaran Bagian Anggaran Bendahara
Umum Negara (BA BUN) ke anggaran Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (BA
K/L). Itu artinya pemerintah sudah siap untuk mengencangkan ikat pinggang, mengurangi
anggaran yang tidak berhubungan langsung dengan pembangunan kesejahteraan rakyat dan
pemerataan, seperti belanja pegawai.
Merujuk pada realokasi anggaran tersebut, meski postur RAPBN-P 2015 mengalami
penurunan, pemerintah masih mampu menambah anggaran pada berbagai kementerian dan
lembaga. Beberapa kementerian yang mendapat tambahan dari APBN 2015 ke dalam
RAPBN-P 2015 tersebut Kementerian Pertanian (Rp15,8 triliun menjadi Rp32,7 triliun);
Kementerian Perindustrian (Rp2,7 triliun menjadi Rp4,5 triliun); Kementerian ESDM
(Rp10,02 triliun menjadi Rp15,05 triliun); Kementerian Perhubungan (Rp44,9 triliun menjadi
Rp64,95 triliun); Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Rp46, 8 triliun menjadi Rp53,7
triliun); Kementerian Kesehatan (Rp47,75 triliun menjadi Rp51,27 triliun); Kementerian
Sosial (Rp8,07 triliun menjadi Rp28,9 triliun); Kementerian Kelautan dan Perikanan (Rp6,7

120

triliun menjadi Rp10,59 triliun); dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(Rp84,9 triliun menjadi Rp119,3 triliun).
Kementerian-kementerian tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi yang berhubungan
dengan hajat hidup orang banyak. Pemberian tambahan anggaran dipandang mampu
mendorong pencapaian pembangunan, kesejahteraan rakyat dan pemerataan dengan lebih
baik.
Meski harus juga disadari bahwa penambahan tersebut memaksa sebagian besar masyarakat
ikut mengencangkan ikat pinggang. Sebab, selain dari realokasi BA BUN, sebagian besar
sumber penambahan anggaran kementerian berasal dari pengurangan subsidi BBM, LPG,
TTL, dan peningkatan target penerimaan pajak.
Agenda Percepatan dan Pemerataan
Merujuk pada anggaran belanja yang termaktub dalam RAPBN-P 2015, tampaknya
pemerintahan Jokowi bermaksud memacu pencapaian pembangunan, kesejahteraan dan
pemerataan.
Selain penambahan belanja kementerian, pemerintah juga menambah anggaran belanja pada
komponen transfer daerah. Pada mata anggaran dana perimbangan yang sebelumnya (APBN
2015) sebesar Rp516,4 triliun meningkat menjadi Rp521,2 triliun dalam RAPBN-P 2015.
Dana perimbangan mengalami penambahan pada komponen dana bagi hasil pajak dan dana
alokasi khusus. Dana bagi hasil pajak dalam APBN 2015 sebesar Rp50,5 triliun bertambah
menjadi Rp54,1 triliun pada RAPBN-P 2015. Adapun dana alokasi khusus bertambah dari
Rp35,8 triliun pada APBN 2015 menjadi Rp55,8 triliun pada RAPBN-P 2015.
Penambahan anggaran pada dua komponen dana perimbangan itu akan memberikan
tambahan kemampuan belanja daerah untuk mengembangkan diri. Pada gilirannya,
peningkatan kapasitas pembangunan serta kesejahteraan di daerah akan mendukung
terciptanya pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pembangunan tidak hanya
menumpuk di pusat, melainkan terdistribusi ke daerah.
Dukungan ini ditambah dengan postur RAPBN-P 2015 yang juga memberi tambahan dana
bagi otonomi khusus pada infrastruktur di Provinsi Papua Barat yang sebelumnya sebesar 500
miliar pada APBN 2015 bertambah menjadi 1 triliun.
Poin penting dari postur RAPBN-P 2015 ini juga terkait dengan lahirnya mata anggaran
belanja transfer baru berupa dana desa. Kelahiran ini tidak lepas dari amanat UU Nomor
6/2014 tentang Desa, khususnya Pasal 72 ayat (1) butir b yang menyatakan bahwa salah satu
sumber pendapatan desa adalah alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Kelahiran dana desa merupakan perubahan besar dalam paradigma pengelolaan negara dan
pemerintahan. Desa telah diakui sebagai daerah otonom yang diberi kewenangan penuh untuk

121

mengelola sumber dayanya. Selain itu, desa juga dijadikan sebagai garda terdepan dalam
mencapai kesejahteraan, kemakmuran yang berkeadilan, dan berkesinambungan. Amanat UU
Desa ini menuai respons positif dalam RAPBN-P 2015, melalui penambahan dana desa
menjadi Rp20,7 triliun dari sebelumnya yang hanya berjumlah Rp9,06 triliun dalam APBN
2015.
Mengawal Kebijakan
Sekilas, konseptualisasi Trisakti dan Nawacita dalam postur RAPBN-P 2015 nampak
mewarnai berbagai program dan kegiatan yang dirancang oleh pemerintahan Jokowi. Kita
tentu berharap postur RAPBN-P ini benar-benar mengontekstualkan karakter nasionalisme
(kepentingan dalam negeri) dan kerakyatan, sebagaimana yang menjadi ciri figur Jokowi itu
sendiri.
Meski demikian, berbagai program dan kebijakan yang termaktub dalam RAPBN-P 2015
sebaiknya memiliki sinergi dan konektivitas antara satu program dengan program lain
sehingga revisi kebijakan program dalam RAPBN-P 2015 terkait APBN dan RAPBN-P
sebelumnya tidak justru membuat program-program tertentu menjadi mati dan berdampak
buruk bagi yang lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, sebagai bahan pembahasan,
sebelum ditetapkan sebagai undang-undang APBN-P 2015. Pertama, perlunya peningkatan
kemampuan penyerapan anggaran, sehingga kelambanan yang terjadi selama ini yang
biasanya hingga semester ketiga tahun berjalan (sekitar 30%) tidak lagi terulang.
Pemerintah perlu menggenjot pengeluaran sejak awal semester 1. Apalagi dalam RAPBN-P
2015 terdapat alokasi anggaran modal paling besar dibanding anggaran negara tahun-tahun
sebelumnya.
Kedua, penambahan anggaran harus dibarengi dengan peningkatan akuntabilitas dan
transparansi yang lebih baik, terutama dalam pengelolaan dana desa. Pemerintah perlu
bekerja lebih keras untuk menyusun sistem dan prosedur akuntabilitas dan transparansi.
Ketiga, perlunya peningkatan upaya penegakan hukum, seiring dengan tanggung jawab
anggaran yang lebih besar yang dikelola oleh kementerian, daerah dan desa. Keempat, dalam
rangka mewujudkan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum, maka e-procurement
harus dijalankan tanpa manipulasi dan oligopoli tender yang dimenangkan oleh kelompok
tertentu.
Kelima, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) perdesaan yang dihentikan
sejak 31/12/2014, sebaiknya dijadikan salah satu referensi dalam pengelolaan dana desa.
PNPM telah terbukti mampu melibatkan partisipasi aktif masyarakat desa dalam pengelolaan
anggaran dan pelaksanaan program.

122

MUKHAMAD MISBAKHUN
Anggota Komisi XI DPR RI

123

Gas dan Industrialisasi


Koran SINDO

19 Januari 2015

Rencana pemerintah mengembangkan industri nasional, khususnya non-migas, sebagai upaya


mendorong daya saing industri merupakan langkah strategis yang memerlukan dukungan
seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah juga telah menetapkan target pertumbuhan
industri nasional 2015 sebesar 6,1% dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto
(PDB) sebesar 21,2%.
Seperti halnya pengalaman sejumlah negara maju, proses industrialisasi dan pembangunan
kawasan industri perlu ditopang ketersediaan pasokan energi untuk menjamin proses
produksi berjalan secara baik.
Berbeda dengan profil produksi dan cadangan minyak mentah Indonesia, data dari BP
Statistic 2014 menunjukkan Indonesia saat ini merupakan negara ke-14 pemilik cadangan gas
terbesar di dunia. Cadangan gas alam Indonesia tercatat sebesar 103,3 triliun kaki kubik
(TCF). Meskipun Indonesia memiliki cadangan gas alam yang sangat besar, pemanfaatannya
bagi aktivitas ekonomi dan rumah tangga masih tergolong terbatas bila dibandingkan dengan
sumber energi lainnya, yaitu sebesar 17%. Sementara minyak, yang Indonesia menjadi netimporter, mendominasi pemanfaatannya sebesar 36% disusul sumber energi lain 27% dan
batu bara 20%.
Sinkronisasi antara desain pembangunan kawasan industri dengan pemanfaatan gas alam
menjadi semakin penting. Hal ini dilakukan agar proses industrialisasi dan hilirisasi tidak
menimbulkan persoalan lain seperti kekurangan pasokan energi, mismatch penggunaan
sumber energi dan ketersediaan pasokan energi dalam negeri serta persoalan lain seperti
defisit neraca perdagangan akibat impor minyak.
Meski saat ini harga minyak mentah dunia merosot akibat persaingan antara negara penghasil
utama minyak dalam OPEC dengan penghasil shale-oil di Amerika Serikat, dalam 2-3 tahun
diproyeksikan harga minyak mentah dunia akan kembali normal. Artinya, harga minyak
mentah dunia akan menjadi mahal dan gas alam menjadi alternatif penting bagi
perekonomian Indonesia.
Terlebih, dalam Rancangan Induk Pembangunan Industri Nasional yang didesain hingga
2035, ditargetkan pembangunan 36 kawasan industri baru. Dari jumlah itu, untuk periode
2014-2019 pemerintah mencanangkan 15 kawasan industri yang akan dibangun hingga 2019
yang 13 di antaranya berlokasi di luar Jawa dan 2 kawasan industri di Pulau Jawa.
Untuk mendukung pengembangan 15 kawasan industri ini, Kementerian Perencanaan

124

Pembangunan Nasional merekomendasikan adanya pembangunan infrastruktur pendukung


dengan kebutuhan anggaran sebesar Rp47,6 triliun. Anggaran ini dibutuhkan untuk
pembangunan infrastruktur pendukung yang terdiri atas bandara, jalan, kereta api, listrik,
pelabuhan, dan sumber daya air.
Keterbatasan infrastruktur gas selama ini membuat produksi gas alam nasional diekspor
dalam bentuk liquefied natural gas (LNG) melalui mekanisme long-term contract. Tercatat
infrastruktur gas yang tersedia baru sekitar 20% atau sepanjang 11.600 km dari seluruh
jaringan pemipaan yang direncanakan sepanjang sekitar 68.000 km.
Terkait dengan proses industrialisasi, hal yang paling mendesak dilakukan adalah
pembangunan jaringan pemipaan yang menghubungkan wilayah penghasil gas dengan
kawasan yang memerlukan gas. Selain itu, dukungan alokasi gas pasokan gas bagi
pemenuhan kebutuhan domestik juga perlu terus ditingkatkan.
Pemanfaatan gas alam bagi keperluan domestik meningkat tajam sejak 2005. Pada saat itu,
kebutuhan gas alam untuk domestik telah mencapai 1,513 miliar british thermal unit per hari
(BBTUD) dan meningkat menjadi 3,774 BBTUD pada 2013. Meski pemanfaatan gas alam
bagi domestik telah mencapai 52%, seiring meningkatnya kebutuhan domestik perlu adanya
kebijakan dan prioritas pemenuhan kebutuhan domestik.
Pemanfaatan gas alam bagi pembangkit listrik yang dapat memenuhi kebutuhan listrik
industri dan kawasan industri juga dapat dilakukan tanpa pembangunan pemipaan.
Pembangunan terminal LNG (LNG receiving terminal) di dekat kawasan industri atau pusatpusat industri, khususnya di luar Pulau Jawa, menjadi salah satu solusi untuk memasok
kebutuhan energi pembangkit listrik, baik yang dibangun oleh PLN maupun swasta
(independent power producer/IPP).
Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan bahkan sangat sesuai menggunakan skema ini
dan mini-LNG untuk menjamin ketersediaan sumber energi gas alam bagi pembangkit listrik
di luar Pulau Jawa. Melalui keterpaduan pembangunan kawasan industri baru, khususnya di
luar Pulau Jawa, dengan pasokan gas alam sebagai sumber pembangkit tenaga listrik, akan
dapat ditingkatkan daya saing industri nasional.
Selain itu, keberadaan industri di banyak daerah juga akan meningkatkan penciptaan pusatpusat pertumbuhan ekonomi baru. Selanjutnya, dengan semakin banyaknya industri yang
muncul, tidak hanya rantai nilai produksi nasional akan menjadi lebih efisien dan bernilai
tambah, tetapi juga akan semakin meningkatkan pemerataan pembangunan nasional.
Industrialisasi dan pembangunan infrastruktur yang terintegrasi tentu telah menjadi komitmen
nasional kita selama ini. Jaringan infrastruktur gas alam yang terintegrasi akan memberi
insentif besar tidak hanya bagi pemerataan pembangunan nasional, tetapi juga bagi proses
industrialisasi yang berdaya saing tinggi.

125

Infrastruktur gas yang terintegrasi dengan kawasan industri dapat menjaga kesinambungan
pasokan energi bagi kawasan industri sehingga industrialisasi dapat terus ditingkatkan.
Integrasi infrastruktur gas ini tidak hanya terkait dengan kesinambungan pasokan, tetapi juga
mendorong efisiensi distribusi gas ke titik-titik produksi sehingga industri dapat
menghasilkan barang-barang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing.
Belajar dari persoalan yang dihadapi Sei Mangkei dan Teluk Bintani, strategi integrasi
infrastruktur gas dan listrik untuk mendorong daya saing industri merupakan pilihan yang
sulit dihindari. Sejumlah negara maju seperti negara-negara di Eropa, Amerika Serikat,
Jepang, Korea Selatan, dan China telah menggunakan strategi ini untuk mempercepat proses
industrialisasi dan pembangunan daya saing mereka.
Industri-industri yang menggunakan energi besar (energy-intensive industries) membutuhkan
dukungan infrastruktur energi yang memadai. Pada umumnya industri yang berorientasi pada
nilai tambah tinggi merupakan industri-industri yang kebutuhan energinya cukup besar.
Strategi mengintegrasikan infrastruktur gas ke pusat-pusat produksi termasuk kawasan
industri tentunya membutuhkan komitmen dan dukungan dari semua pemangku kepentingan
baik pemerintah pusat/daerah, BUMN-BUMD, sektor swasta maupun masyarakat. Dengan
dukungan dan komitmen ini, kita dapat mendorong upaya mewujudkan perekonomian
nasional yang berdaya saing tinggi.

PROF FIRMANZAH PhD


Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Indonesia

126

Investasi Portofolio & Sistem Pembayaran


Koran SINDO

21 Januari 2015

Aliran dana ke pasar negara berkembang telah meningkat tajam dalam beberapa tahun
terakhir. Sebagai contoh, International Finance (1997) melaporkan bahwa agregat kapital
neto mengalir ke pasar negara berkembang meningkat empat kali lipat dari USD71,1 miliar
pada 1985 menjadi USD1.160 miliar pada 2014 (Emerging Markets Factbook 2014).
Minat investor di pasar-pasar ini melonjak sebagai respons dari prospek mereka atas
pertumbuhan ekonomi yang cepat, deregulasi keuangan, dan manfaat dari diversifikasi
internasional. Meskipun minat yang luas di pasar saham negara berkembang, relatif sedikit
yang diketahui tentang biaya perdagangan di pasar tersebut.
Sebelumnya studi biaya perdagangan malah beralih fokus pada pasar negara maju. Misalnya
Bessembinder dan Kaufman (1997), Chan dan Lakonishok (1993, 1997), serta Keim dan
Madhavan (1996, 1997) mengestimasi biaya perdagangan di Amerika Serikat, sementara
Perold dan Sirri (1995) mengestimasi biaya perdagangan pasar saham di sembilan belas
negara maju selain Amerika Serikat.
Pengetahuan tentang biaya perdagangan di pasar negara berkembang, bagaimanapun, penting
untuk setidaknya dua alasan. Pertama, biaya perdagangan memiliki dampak yang penting
untuk strategi investasi pada pasar negara berkembang. Jika biaya perdagangan rendah,
berbagai strategi alokasi aset seperti yang dibahas dalam Harvey (1994) berpotensi menarik.
Jika biaya perdagangan tinggi, bagaimanapun, maka strategi buy-and-hold mungkin menjadi
satu-satunya alternatif yang layak.
Kedua, analisis biaya perdagangan dapat memberikan wawasan pada faktor yang
memengaruhi perilaku harga antarhari di pasar negara berkembang. Studi sebelumnya telah
menunjukkan bahwa perilaku harga antarhari untuk saham di pasar modal Amerika Serikat
dipengaruhi oleh ukuran perusahaan, kesulitan perdagangan, dan siapa yang melakukan
perdagangan. Namun, dampak dari variabel-variabel ini belum diteliti di pasar negara
berkembang.
Fase ekspansi ekonomi dunia yang diharapkan berjalan pada 2013 dan pertengahan 2014
pada kenyataannya meleset dari perkiraan semula, dan cenderung mengalami revisi ke bawah
serta masih diliputi risiko ketidakpastian. Kondisi tersebut antara lain dipengaruhi oleh tiga
faktor.
Pertama, laju pertumbuhan yang masih mengecewakan di negara berkembang mencerminkan
sejumlah kendala, yaitu hambatan infrastruktur dan keterbatasan kapasitas produksi,

127

melambatnya pertumbuhan permintaan eksternal, lebih rendahnya harga komoditas,


kekhawatiran stabilitas keuangan, dan untuk beberapa negara, kapasitas dukungan kebijakan
yang melemah.
Kedua, resesi di kawasan Eropa lebih parah dari yang diperkirakan akibat rendahnya
permintaan, turunnya kepercayaan, dan pelemahan neraca perdagangan yang secara
keseluruhan berinteraksi memperburuk efek terhadap pertumbuhan akibat dampak dari
kondisi fiskal dan keuangan yang ketat.
Ketiga, perekonomian Amerika Serikat tumbuh lebih lambat akibat kontraksi fiskal yang
lebih kuat dari perkiraan. Kontraksi fiskal juga menghambat peningkatan permintaan swasta.
Tidaklah mungkin ada sebuah pembalikan pergeseran portofolio yang mendukung aset yang
aman diamati pada 2000-an.
Salah satu warisan krisis adalah regulasi keuangan yang lebih ketat, mulai rasio modal yang
lebih tinggi hingga rasio likuiditas. Komite Basel memperkirakan bahwa dampaknya
mungkin permintaan tambahan untuk aset yang aman oleh lembaga keuangan dari sekitar
USD3 triliun (bandingkan dengan China yang sekitar USD4 triliun).
Apakah ini akan dikompensasi oleh kecepatan yang lebih lambat dari akumulasi cadangan
oleh bank sentral daripada di awal 2000-an? Aliran dana investasi dan perdagangan
memerlukan dukungan dari sistem pembayaran yang efisien, di mana investor dan pedagang
dapat melakukan transaksi setiap detiknya baik transaksi nilai besar maupun ritel tanpa harus
menunggu dalam jangka waktu hitungan jam agar transaksi dan transfer uang dapat bergerak
secara aman.
Sejarah di Indonesia juga memperlihatkan bahwa investasi juga berjalan satu arah dengan
perbaikan sistem pembayaran dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Tidak seperti input
tenaga kerja, modal dapat dianggap sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi, hanya
karena arus masuk modal ke negara meningkat selama periode 1967.
Sumber input modal bisa dipecah antara tabungan masyarakat, tabungan pemerintah, aliran
bersih bantuan pembangunan asing, pinjaman bersih swasta asing, investasi asing langsung
bersih, dan investasi portofolio bersih. Dalam hal pembentukan modal tetap domestik bruto
baik dari segi nominal maupun konstan, misalnya, ada peningkatan yang signifikan antara
tahun 1969 dan 1996.
Ada situasi yang sama dari 1997 hingga 2000 ketika pembentukan modal tetap domestik
bruto nominal pada harga pasar saat ini masih menunjukkan peningkatan tajam di mana
peningkatan tajam dalam nilai nominal disebabkan oleh tingkat inflasi yang tinggi selama
1998 pada puncak krisis.
Oleh karena itu, secara riil, pembentukan modal tetap domestik bruto pada harga pasar
konstan 1993 menurun secara signifikan dari Rp139.726 juta pada 1997 menjadi Rp88.985

128

juta pada 2000, dengan tabungan domestik bruto menurun dari Rp124.429 juta menjadi
Rp86.941 juta pada 2000 dan tabungan bersih riil jatuh dari Rp15.297 juta menjadi Rp2.043
juta pada periode yang sama.
Terlepas dari tren peningkatan pembentukan modal tetap bruto, investasi juga memainkan
peran penting dalam produktivitas modal, terutama antara 1967-1973 dan 1986- 1997.
Sementara itu, investasi portofolio justru merupakan sumber utama krisis ekonomi tahun
1997 dan juga merusak sistem pembayaran Indonesia pada saat itu. Sejarah memperlihatkan
bahwa sistem pembayaran bukan saja meningkatkan investasi riil, melainkan juga portofolio
yang pada gilirannya merusak sistem pembayaran itu sendiri.

ACHMAD DENI DARURI


President Director Center for Banking Crisis

129

Keseimbangan Investasi dan Konsumsi


Koran SINDO

26 Januari 2015

Pertemuan World Economic Forum (WEF) Ke-45 yang berlangsung 21-24 Januari 2015 dan
dihadiri tidak kurang dari 2.500 partisipan baru saja ditutup.
Salah satu hal menarik selama pembahasan dalam sesi The New Growth Context, Zhang
Xin, CEO dan pendiri SOHO China, menyampaikan bahwa perlambatan pertumbuhan China
dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh fenomena too much investment and not
enough consumption.
Pernyataan yang sama jauh hari juga disampaikan oleh Prof Nouriel Roubini awal November
2014, di mana pertumbuhan ekonomi China akan terus mengalami perlambatan karena ada
ketidakseimbangan antara investasi dan konsumsi: too much fixed investmen, not enough
consumption.
Banyak kalangan memprediksi pertumbuhan ekonomi China sepanjang 2014 dalam kisaran
7,3-7,5%. Sementara lembaga pemeringkat Fitch baru-baru ini memproyeksikan
pertumbuhan ekonomi China 2015 hanya 6,8% dan 2016 sebesar 6,5%.
Salah satu persoalan yang dihadapi ekonomi China adalah overcapacity dari banyak industri
ditambah dengan memburuknya profil kredit. Sementara konsumsi baik domestik maupun
internasional melambat yang membuat ekspansi ekonomi semakin terbatas.
Bila proyeksi banyak kalangan benar tentang pertumbuhan ekonomi China, negara itu akan
mengalami tren pertumbuhan ekonomi terendah dalam satu dekade sepanjang 2014, 2015,
dan 2016. Pengalaman China mengelola ekonomi merupakan pelajaran berharga bagi
pengambil kebijakan di Indonesia. Keseimbangan antara investasi dan konsumsi perlu dijaga.
Indonesia sebenarnya mengalami tren yang berlawanan arah dibandingkan dengan China.
Ketika China mengalami situasi oversupply, Indonesia menghadapi situasi
overdemand. Konsumsi domestik tumbuh jauh lebih cepat seiring semakin membesarnya
kelas menengah dibandingkan dengan pertumbuhan output produksi dalam negeri. Akibat itu,
ekonomi Indonesia mengalami defisit perdagangan sejak 2012 sampai saat ini. Pada 2011
neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan surplus sebesar USD26 miliar, menjadi
defisit sebesar USD1,6 miliar pada 2012. Pada 2013 neraca perdagangan Indonesia kembali
defisit sebesar USD4,06 miliar dan selama Januari-November 2014 terjadi defisit neraca
perdagangan sebesar USD2,1 miliar.

130

Tingginya permintaan domestik memerlukan percepatan pembangunan industri manufaktur


nasional. Arsitektur industri nasional perlu diarahkan untuk menghasilkan output, baik yang
bersifat substitusi impor maupun berorientasi ekspor.
Import-substitution mendesak dilakukan agar kenaikan permintaan domestik tidak
menghasilkan ledakan barang-barang impor akibat masih terbatasnya produk dan skala
produksi nasional. Sementara arah pengembangan export-oriented menjadi semakin penting
agar bangsa kita tidak hanya mengekspor barang mentah.
Hilirisasi produk perkebunan dan perikanan dengan memperbanyak berdirinya industri
olahan di banyak daerah penghasil perlu terus dikembangkan. Selain itu, konsistensi dalam
menerapkan UU Minerba yang mengharuskan ada proses pemurnian hasil mineral-tambang
juga perlu terus dilakukan. Melalui kebijakan ini, ekspor kita akan lebih bernilai tambah.
Seiring intensifikasi dan ekstensifikasi pembangunan infrastruktur yang dilakukan
pemerintah saat ini, menjaga daya beli masyarakat untuk tetap meningkatkan konsumsi perlu
terus dilakukan. Menjaga daya beli masyarakat dapat dilakukan melalui peningkatan
keterjangkauan barang-barang kebutuhan pokok. Inflasi harus terus dijaga melalui kecukupan
pasokan dan kelancaran distribusi.
Selain itu, daya beli masyarakat juga terkait erat dengan terjaganya lapangan kerja baik di
sektor formal maupun informal. Terus menjaga iklim dunia usaha melalui serangkaian
kebijakan stabilitas politik dan keamanan, debirokratisasi perizinan usaha, sampai stimulus
fiskal untuk mendorong semakin membesarnya jumlah wirausaha nasional.
Meningkatkan pembangunan infrastruktur nasional juga perlu diimbangi penguatan sektor
usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Sektor UMKM sangat berjasa dalam menjaga
dan meningkatkan konsumsi domestik. Data dari Kementerian UKM dan Koperasi
menunjukkan, sektor ini memberikan kontribusi lebih dari 52% terhadap produk domestik
bruto (PDB), menyerap lebih dari 101 juta tenaga kerja atau lebih dari 97% total tenaga kerja
nasional, dan jumlahnya lebih dari 55 juta unit atau 99,8% dari total unit usaha di Indonesia.
Mendorong sektor ini terus berkembang berarti juga menjaga daya beli mayoritas tenaga
kerja nasional. Selain itu, di banyak kasus barang-barang input yang dibeli dan digunakan
UMKM untuk berproduksi merupakan keluaran dari industri menengah dan besar. Dengan
kata lain, terjaganya sektor UMKM akan menopang keberlangsungan industri besar dan
menengah.
Antara investasi di bidang infrastruktur dan menjaga kecukupan konsumsi domestik perlu
terus dijaga keseimbangannya. Terlebih konsumsi domestik selama ini mendominasi
kontribusinya terhadap pembentukan PDB nasional dibandingkan dengan sektor lain seperti
belanja pemerintah, pembentukan modal dan net-ekspor.
Tercatat kontribusi konsumsi domestik berada dalam kisaran 54-56% terhadap PDB

131

Indonesia. Terganggunya konsumsi domestik akan berdampak sangat besar terhadap


pertumbuhan ekonomi nasional.
Pengalaman China yang oversupply produksi dan berhadapan dengan permintaan terbatas,
dengan pengalaman kita yang overdemand dan terbatasnya kapasitas produksi nasional
menjadi lesson-learned untuk menata perekonomian nasional ke depan.
Semangat dan prioritas program kerja pemerintah saat ini yang mengedepankan
pembangunan infrastruktur dasar perlu terus diimbangi dengan upaya menjaga konsumsi
nasional dan daya beli masyarakat. Itu agar keluaran/output industri nasional dapat terserap
dan memberikan jaminan keberlangsungan dunia usaha nasional.
Sementara infrastruktur dasar dan pendukung secara bersamaan dapat terus dibangun.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi nasional dapat terus tumbuh tinggi, berkelanjutan,
dan berkeadilan.

PROF FIRMANZAH PhD


Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEB Universitas Indonesia

132

Mengukur Dampak Quantitative Easing


Eropa
Koran SINDO

27 Januari 2015

Di tengah hiruk-pikuk situasi perpolitikan di Indonesia, sesungguhnya di luar sana: Eropa,


sedang terjadi kejadian yang tak kalah pentingnya untuk dicermati.
Saya katakan tak kalah penting, karena kejadian tersebut dapat dipastikan akan memberikan
dampak bagi perekonomian Indonesia, terutama bagi pasar keuangan kita dan khususnya nilai
tukar rupiah. Kejadian apa itu? Yaitu keputusan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/
ECB) untuk menerapkan kebijakan Quantitative Easing (QE) pada 22 Januari 2015 kemarin,
sebagaimana yang sebelumnya diterapkan Amerika Serikat (AS).
Kebijakan QE ini sederhananya adalah sama dengan ECB mencetak uang. Kemudian, uang
tersebut oleh ECB dipakai untuk membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah dan institusi
keuangan di Eropa. Bagi lembaga keuangan, uang hasil penjualan obligasi ini digunakan
untuk penyaluran kredit. Sementara bagi pemerintah, uang hasil penjualan obligasi yang
dibeli ECB tersebut dipakai untuk membiayai belanja pemerintah.
Sebagaimana diumumkan oleh Presiden ECB Mario Draghi, ECB akan membelanjakan dana
sebesar 60 miliar euro (atau sekitar USD70 miliar) per bulan mulai Maret 2015 setidaknya
hingga September 2016 untuk membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah dan lembaga
keuangan di Eropa.
Belanja sebesar 60 miliar euro tersebut rinciannya adalah: 10 miliar euro merupakan program
pembelian berupa covered bonds dan asset-backed securities (bentuk utang yang aman yang
diterbitkan oleh bank) yang telah lebih dulu dilakukan ECB, sedangkan 50 miliar euro
sisanya merupakan program tambahan yang digunakan untuk membeli obligasi pemerintah
dan lembaga keuangan di Eropa.
Meski secara prinsip serupa dengan program QE yang dilakukan AS sejak 2008 lalu,
mekanisme dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi QE oleh ECB ini lebih rumit.
Program QE Eropa ini dilakukan pada 19 negara anggota Euro dengan skala dan persoalan
ekonomi yang beragam.
Dari 19 negara Euro tersebut, Jerman merupakan negara yang relatif paling stabil
perekonomiannya. Obligasi yang diterbitkan Jerman (sovereign bond) rating-nya paling
tinggi, yaitu AAA. Di sisi lain, Yunani merupakan negara dengan krisis yang relatif paling
berat dan sovereign bond-nya sudah masuk kategori junk bond karena rating-nya CAA1

133

(menurut Modys) di bawah investment grade (BBB-).


Tidak mengherankan bila sebelum kebijakan QE ini diluncurkan, kecurigaan muncul dari
anggota Euro yang memiliki kondisi perekonomian yang relatif lebih sehat (terutama
Jerman). Kecurigaan tersebut berupa kekhawatiran bahwa negara maju di Eropa yang akan
menanggung bila surat utang yang akan dibeli ECB mengalami gagal bayar (default).
Perlu diketahui, ECB merupakan gabungan dari bank sentral dari masing-masing negara Euro
dengan sharing berdasarkan modal yang disetorkan di ECB. Jerman saat ini merupakan
anggota dengan share tertinggi, yaitu 25,6%. Bila ECB bangkrut, misalnya, maka setiap
anggota ECB harus menginjeksi modal sesuai dengan share yang dimilikinya. Itulah kenapa
Jerman cenderung menolak bila ECB membeli surat berharga yang rating-nya buruk, seperti
obligasi Yunani.
Mekanisme QE Eropa
Mekanisme QE Eropa ini dimulai dengan ECB yang akan membeli seluruh obligasi, yang
diterbitkan di Eropa. Selain ECB, bank sentral masing-masing negara Eropa (The national
central banks/NCBs) akan membeli obligasi yang diterbitkan pemerintahnya pada Maret
2015.
Meskipun dinyatakan bahwa program ini akan dilakukan sampai September 2016, tidak
menutup kemungkinan program ini akan berlanjut bila sasaran inflasi minimal sebesar 2%
tidak tercapai. Perlu diketahui, dalam beberapa tahun terakhir ini, inflasi di Eropa berada di
bawah nol (deflasi). Deflasi ini telah menurunkan tensi perekonomian Eropa sehingga tidak
mampu mengangkat laju pertumbuhan ekonomi, sekalipun suku bunga perbankan sudah
sangat rendah.
Besarnya obligasi pemerintah yang dibeli NCBs adalah proporsional dengan skala ekonomi
negaranya dibanding kawasan Euro secara keseluruhan. NCBs juga membeli obligasi yang
diterbitkan oleh lembaga-lembaga keuangan di Eropa, seperti European Investment Bank,
sekitar 12% dari seluruh obligasi baru yang dibeli. Bagi pembelian obligasi ini, risiko akan
dibagi antara ECB dan NCBs. ECB sendiri akan membeli sekitar 8% dari total obligasi
pemerintah.
Sehingga secara total, terdapat 20% obligasi yang dibeli dari program QE ini yang risikonya
akan dibagi antara ECB dan NCBs. Sisanya, 80%, NCBs yang akan menanggung risiko yang
muncul dari program pembelian obligasi tersebut.
Implikasi QE Eropa
Implikasi dari kebijakan QE ini tentunya beragam. Kebijakan QE akan membuat nilai mata
uang euro melemah dan tingkat suku bunga menurun. Dilihat dari kepentingan pelaku pasar
keuangan, QE akan merugikan investor bila menempatkan dana mereka dalam bentuk euro.

134

Karena itu, pemilik dana akan mencari tempat investasi baru bagi penempatan dana mereka.
Kemungkinan besar para pemilik dana (portofolio) akan menempatkan dananya ke emerging
markets, karena saat ini tingkat suku bunga di AS belum bergerak naik, di sisi lain tingkat
suku bunga di emerging markets (termasuk Indonesia) relatif tinggi. Pelemahan euro akan
mendorong ekspor Eropa menjadi lebih kompetitif. Kebijakan QE Eropa ini akan membuat
dolar AS menjadi lebih kuat dibanding euro, sehingga yang terlihat adalah barang dan jasa
produksi Eropa lebih murah dibanding produk AS.
Penguatan dolar AS berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan inflasi AS. Dolar
AS telah mengalami penguatan 15% terhadap mata uang mitra dagang AS selama 2014 lalu.
Penguatan dolar AS memiliki tiga implikasi penting bagi AS. Pertama, menurunkan laju
inflasi yang berarti berpotensi mengancam upaya The Fed untuk mewujudkan inflasi
mendekati 2%.
Kedua, memperlemah kinerja ekspor dan selanjutnya berdampak pada kinerja pertumbuhan
ekonomi AS. Ketiga, penguatan dolar AS akan menaikkan nilai aset keuangan di AS yang
berpotensi memanaskan pasar dan menimbulkan asset bubbles.
Perlu diketahui, The Fed saat ini dalam proses untuk mengakhiri kebijakan QE-nya. The Fed
juga berencana akan menaikkan suku bunga acuannya sekitar April 2015, setelah melihat
perkembangan ekonomi AS yang tumbuh relatif baik. Namun dengan diberlakukannya QE di
Eropa, kondisi ini berpotensi menjadi insentif bagi Bank Sentral AS, The Fed, untuk
menunda lebih lama lagi rencana menaikkan tingkat suku bunga acuannya.
Dengan konfigurasi ini, peluang bagi mata uang emerging markets menguat cukup besar.
Pasar keuangan Indonesia bisa memanfaatkan kondisi pelemahan nilai mata uang euro ini
untuk menarik dana asing sebesar-besarnya baik melalui penerbitan saham maupun obligasi.
Dengan kata lain, kebijakan QE ini relatif lebih menguntungkan posisi Indonesia. Bila situasi
fundamental ekonomi dan politik Indonesia membaik, potensi penguatan nilai tukar rupiah
lebih terbuka pascakebijakan QE ini. Semoga saja situasi ekonomi dan politik kita saat ini
siap menangkap sinyal positif ini!

SUNARSIP
Komisaris PT Bank BRI Syariah

135

Digital Disruption
Koran SINDO

29 Januari 2015

Sekitar 65 juta tahun silam, dua asteroid menghantam bumi. Dampaknya Anda tentu pernah
mendengar, yakni punahnya dinosaurus dan sejumlah makhluk mamalia lainnya.
Rupanya fenomena ala asteroid tersebut tak hanya terjadi sekali. Menurut Peter H Damianis
dan Steven Kotler dalam bukunya BOLD: How to Go Big, Create Wealth and Impact The
World (2014), fenomena tersebut bakal berulang. Hanya bentuk asteroidnya kali ini bukan
lagi berupa bebatuan, melainkan teknologi.
Di antaranya teknologi digital. Fenomenanya ada di depan mata. Anda tentu kerap
mendengar kata berubah atau punah. Maksudnya, kondisi memaksa kita untuk berubah.
Jika tidak, kita bakal tersingkir. Contohnya tersebar di mana-mana. Di luar negeri, Anda tentu
pernah mendengar nama Kodak, Nokia, Palm, Borders, RIM, Compaq, atau Circuit City.
Nama-nama itu kini terlempar dari kancah persaingan bisnis.
Itu pada level korporasi. Sekarang kita bahas level negara. Ini soal tol laut yang didukung
kluster industri dan ICT yang memadai. Bayangkan kalau Pelabuhan Sorong yang luasnya
ribuan hektare kelak menjadi pelabuhan internasional. Bisa-bisa muatan dari PNG dan negara
di sekitarnya yang akan menuju Pasifik beralih ke sana. Bayangkan apa jadinya bisnis
pelabuhan Singapura dan Brisbane (Australia).
Dalam kasus lain, beberapa waktu lalu, dalam wawancaranya dengan CNBC, PM Finlandia
Alexander Stubb menyalahkan Apple atas merosotnya kinerja ekspor utama negaranya, yang
berimbas pada anjloknya kinerja perekonomian. Anda tentu bisa menduga-duga mengapa PM
Stubb menyalahkan Apple. Saya kutipkan saja pernyataannya, iPhone telah membunuh
Nokia dan iPad menghantam industri kertas kami.
Bisnis telekomunikasi, utamanya Nokia, dan kertas adalah dua andalan ekspor
Finlandia. Sepanjang 1998 sampai 2007, Nokia menyumbang kira-kira seperempat dari
pertumbuhan ekonomi Finlandia. Lalu anggaran riset Nokia sendiri bisa mencapai 30% dari
total anggaran riset negara itu. Kolega saya bercerita, begitu besarnya peran Nokia sehingga
di negaranya mereka mendapat perlakuan khusus. Di bandara, tamu-tamu Nokia tak perlu
melewati prosedur kedatangan sebagaimana tamu-tamu biasa. Ada jalur khusus untuk
mereka.
Kini? Cobalah Anda tengok ke kanan-kiri. Siapa yang masih memakai ponsel atau
smartphone merek Nokia? Padahal dulu ia menyandang label sebagai handphone sejuta
umat. Kini, dalam setiap kelompok, jumlah pemiliknya mungkin bisa dihitung dengan jari.

136

Begitulah, hadirnya kebijakan baru dan inovasi teknologi mampu mengubah perilaku
konsumen dan pada akhirnya mengguncang perekonomian suatu negara.
Perubahan Perilaku
Fenomena perubahan perilaku konsumen akibat hadirnya teknologi baru, saya kira, bukan
khas Finlandia. Itu terjadi di seluruh dunia, termasuk di negara kita. Belum lama ini saya
membaca hasil survei tentang perubahan perilaku konsumen akibat hadirnya smartphone.
Ada dua yang saya catat. Pertama, sebanyak 95% responden menggunakan smartphone untuk
melakukan sesuatu menjelang tidur. Kedua, separuh dari responden ketika terbangun di
tengah malamapa yang mereka lakukan? Langsung mengecek smartphone-nya. Mirip
bukan dengan yang terjadi di negara kita!
Saya bisa menambah beberapa. Anda pernah mendengar kata twiplomacy? Itu adalah
diplomasi yang menggunakan media sosial Twitter. Beberapa pemimpin dunia
menggunakannya. Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Paus Franciscus dari Vatikan,
bahkan Ratu Elizabeth asal Inggris dan PM Rusia Vladimir Putin.
Di banyak negara, selfie menjadi fenomena yang luar biasa. Anda pernah mendengar cerita
tentang Xenia Ignatyeva, seorang remaja Rusia yang berusia 17 tahun. Saking tergila-gilanya
dengan selfie dan untuk membuat teman-temannya terkesan, Xenia memanjat sebuah
jembatan. Ia melakukan selfie dari ketinggian jembatan tersebut. Malang, keseimbangannya
goyah dan Xenia pun terjatuh. Tubuhnya tersangkut di kabel listrik. Ia tewas. Kasus Xenia
tentu tak layak ditiru. Tapi, siapa yang bisa membantah bahwa kita begitu tergila-gila
melakukan selfie?
Bahkan saat mengunjungi pabrik telepon seluler di negaranya, Presiden Korea Utara pun
berbaik hati mau ber-selfie ria dengan sejumlah karyawan di sana. Selfie mampu mencairkan
kekakuan Kim Jong-un. Begitulah, teknologi mengubah perilaku kita.
Bahkan bukan hanya itu. Teknologi digital membuat dunia hanya memiliki dua
kewarganegaraan. Pertama, digital native. Mereka adalah anak-anak kita yang sejak lahir
langsung terkoneksi dengan teknologi digital tanpa perlu bersusah payah mempelajarinya.
Merekalah pribumi di dunia digital ini. Ukuran pribumi bukan lagi tanah kelahiran, tapi tahun
kelahiran dan apakah mereka mahir atau tidak berselancar di dunia digital.
Kedua, digital immigrant. Mereka adalah orang-orang tua, seperti kita, yang mesti bersusah
payah untuk memahami berbagai produk digital. Sudah gaptek, serbatelat, konservatif, gak
tahu apa-apa, kaget-kaget, malas pula belajar dari bawah. Celakanya, di kantor-kantor
generasi imigran ini justru tengah berkuasa.
Lantas apa akibatnya bagi bisnis? Mudah saja. Terjadi generation gap yang lumayan
memudarkan banyak perusahaan dalam menghadapi persaingan. Ketika pasar beralih ke

137

kaum muda, mereka masih berkutat di segmen tua yang berakibat perusahaan tampak tua dan
kumuh, lalu perlahan-lahan transit, istirahat, lalu punah.
Kedua, dunia ini diubah dan diperbarui oleh kaum muda. Yang kalau karyanya tak
tertampung di lumbung-lumbung dinosaurus tua yang branding-nya sudah kuat, mereka akan
menciptakan platform sendiri dan menjadi ledakan asteroid baru yang menciptakan bisnisbisnis baru. Itulah yang tengah terjadi di sektor keuangan dan perbankan yang dikuasai
bankir-bankir tua. Maafkan saya harus mengatakan demikian.
Tengoklah kedatangan alat-alat pembayaran baru yang sama sekali bukan dikendalikan
perbankan: Square, Pay Pal, Google Wallet, dan seterusnya. Makanya belum lama ini Bill
Gates membuat pernyataan yang patut direnungkan para CEO perbankan: Banking is
necessary, banks are not. Nah....

RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

138

Maklumat 100 Hari


Koran SINDO

2 Februari 2015

Rakyat selalu tak sabar menilai pemerintah yang telah dipilihnya. Dengan berbagai ekspresi,
mereka mencoba mengungkapkan seluruh imajinasi dan pengetahuan yang ada di kepala
untuk mengukur kinerja pemerintah.
Pengetahuan membantu penilaian itu agar menjadi objektif, sedangkan imajinasi kadang
terbelit menjadi subjektivitas. Apa pun pernyataan yang disampaikan itu tak bisa diabaikan
pemerintah sebab mereka konstituen inti di balik mandat yang diberikan kepada pemerintah
(Presiden dan Wakil Presiden).
Ketika pemilihan langsung presiden dan wakil presiden dimulai pada 2004, tradisi penilaian
100 hari pertama menjadi jamak. Tak pelak, pemerintahan baru hasil pemilu mesti bergegas
memenuhi ekspektasi publik tersebut. Tentu saja, rakyat memakai ukuran yang paling umum:
jarak janji dan bukti.
Janji Nawacita
Tugas pertama terpenting pemerintahan baru adalah menyelesaikan bungkus pembangunan
yang disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20142019. Dokumen ini menjadi panduan seluruh gerak pemerintah lima tahun mendatang yang
kemudian diturunkan menjadi rencana strategis dan kerja tahunan
kementerian/lembaga. Secara vertikal, setiap RPJMN daerah (provinsi/kabupaten/kota) juga
harus bertaut kepada RPJMN sehingga strategi dan kebijakan nasional-daerah tak saling
menegasikan.
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah berhasil menyelesaikan dokumen perencanaan
tersebut lebih cepat dari target tiga bulan. Pertengahan Januari 2015 naskah RPJMN telah
disepakati bersama DPR dan siap dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah sepanjang
lima tahun yang akan datang.
Bagaimana dengan isi RPJMN tersebut? Secara struktur berpikir dokumen itu telah berhasil
memadukan antara janji yang diucapkan Presiden dan kebutuhan teknokratis untuk
menjalankannya. Dokumen telah menuliskan urutan yang runtut: visi-misi, isu strategis, dan
tantangan pembangunan (domestik maupun global), penjabaran Nawacita, dan elaborasi
strategi kebijakan dan program. Membaca naskah tersebut rasanya seluruh pokok pikiran
Nawacita telah berhasil diderivasi menjadi kebijakan dan program teknokratis yang laik
dikerjakan.

139

Tentu saja kelemahan pasti ada. Kebijakan strategis tertentu semisal sikap terhadap
liberalisasi ekonomi tak secara tegas dinyatakan, padahal situasi kekinian dan semangat
Nawacita menghendakinya. Berikutnya, target-target ekonomi tertentu seperti pertumbuhan
ekonomi dan swasembada tak terproyeksi dengan baik sehingga berpotensi menjadi batu
sandungan pemerintah.
Implikasi RPJMN 2014-2019 yang berubah secara mendasar tentu berimplikasi terhadap
perubahan anggaran sebab anggaran adalah sumber daya terpenting yang dipunyai
pemerintah untuk merealisasikan janji. Di sini pemerintah juga harus dipuji. Saat menunggu
pelantikan, waktu yang tersedia digunakan calon terpilih membentuk Tim Transisi untuk
menggagas konsep pembangunan maupun operasionalisasi program sehingga keduanya
menjadi sumber terpenting penyusunan RPJMN dan APBNP.
Tak heran apabila APBNP 2015 cepat diselesaikan dan hanya tersisa sedikit persetujuan dari
DPR seperti penyertaan modal negara (PMN) bagi BUMN. Selebihnya, APBNP 2015
memiliki struktur yang berbeda dengan sebelumnya karena berisi konsep dan prioritas baru
pemerintah. Singkatnya, APBNP 2015 lebih bertenaga untuk mendorong pembangunan.
Bukti Nawacita
Pertanyaan lebih lanjut, apakah menteri-menteri (ekonomi) telah mewujudkan visi-misi itu ke
dalam kebijakan dan operasionalisasi program lembaga? Ada beberapa yang telah melakukan
aksi konkret dan memiliki harapan dalam jangka panjang.
Tentu, yang pertama mesti disebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Benalu
pencurian ikan langsung disikapi dengan keras sehingga menimbulkan efek jera. Penerimaan
pendapatan dari operasi kapal juga didongkrak tinggi meski penilaian jangka pendek belum
memungkinkan dilakukan.
Kementerian Tenaga Kerja juga sudah merangsek membenahi lembaga penyalur tenaga kerja
yang selama ini bertindak menyimpang sehingga menempatkan TKI/TKW secara tak
manusiawi. Penutupan terhadap lembaga yang tak taat aturan sebagian sudah dilakukan.
Sinyal ini bagus bagi pembenahan selanjutnya.
Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sudah mencanangkan program
unggulan Desa Mandiri yang sebagian porosnya bertumpu pada BUMDes dan koperasi.
Program itu akan dieksekusi tahun ini begitu dana desa turun. Nilai tambah dan kesejahteraan
masyarakat (desa) diharapkan muncul dari inisiasi tersebut. Intinya, arah kerja dari
kementerian ini telah dibuat dan siap dijalankan.
Berikutnya, Kementerian Keuangan berani membuat target pajak yang cukup tinggi (13,3%).
Ini tentu masih harus diuji keberhasilannya, namun rencana itu sendiri sudah mulia.
Kementerian ini juga telah cukup bagus mengawal pembuatan postur baru APBNP 2015.

140

Sungguh pun begitu, dalam isu yang strategis seperti politik subsidi dan utang kementerian
ini tak berani menyatakan sikap untuk melindungi kepentingan nasional dalam jangka
panjang.
Kementerian Bappenas juga sudah menjalankan mandat secara laik dengan mengawal
pembuatan RPJMN serta punya sikap tegas terhadap proyek yang memiliki dampak negatif
seperti Jembatan Selat Sunda dan eksplorasi batu bara.
Selebihnya tak banyak kementerian lain yang bisa diungkap. Kementerian Koordinator
Perekonomian, Pertanian, Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UMKM, dan lain-lain
tak bersuara cukup jelas dalam menjelmakan Nawacita. Arah baru dalam wujud kebijakan tak
diketahui publik misalnya bagaimana cara Kementerian Pertanian mencapai swasembada
gula/kedelai atau sikap Kementerian Perdagangan terhadap liberalisasi perdagangan dan
MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN).
Pendeknya, maklumat 100 hari belum seluruhnya mendengung di tiap kementerian. Tentu tak
adil memberikan rapor saat ini, namun tak layak pula bila rakyat diminta menunggu lebih
lama arah dan hasil kerja mereka.

AHMAD ERANI YUSTIKA


Ekonom Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

141

Maksimalisasi Sistem Pembayaran


Koran SINDO

4 Februari 2015

Kerja sama antara American Express dengan Wall Mart didasari pemikiran CEO American
Express Kenneth Irvine Chenault untuk mengembangkan bisnisnya sekaligus menciptakan
lapangan kerja berdasarkan platform terbuka.
Platform terbuka ini sebenarnya berasal dari Denmark. Ketika teknologi pembayaran yang
baru mulai muncul di pasar pembayaran Denmark, Otoritas Kompetisi dan Konsumen
Denmark saat ini telah diberi tahu bahwa empat operator jaringan mobile di Denmark
berencana untuk bekerja sama pada penciptaan solusi pembayaran mobile umum yang
disebut mobile wallet.
Platform tersebut memungkinkan konsumen melakukan pembayaran langsung dari rekening
bank mereka dengan sarana ponsel mereka. Kerjasama antara operator seluler mungkin mirip
dengan yang didirikan oleh operator seluler Inggris yang belum lama disetujui di Swedia
bernama WyWallet.
Operator Denmark berniat menjadikan dompet seluler untuk menjadi sebuah platform terbuka
sehingga perusahaan lain yang berkepentingan yang ingin memasok pembayaran seluler
mungkin dapat menggunakan infrastruktur ini. Otoritas Persaingan dan Konsumen Denmark
belum menilai implikasi kompetitif dari perjanjian kerja sama ini. Tapi secara umum mereka
menganggap bahwa munculnya infrastruktur pembayaran baru akan bermanfaat bagi
persaingan di pasar untuk infrastruktur pembayaran.
Saat ini ada beberapa solusi pembayaran lainnya di pasar Denmark yang menjadi alternatif
pembayaran kartu tradisional atau pembayaran melalui tagihan telepon seluler, seperti PayPal dan Mobilpenge.dk Denmark, tetapi mereka memiliki pangsa pasar yang sangat terbatas.
***
Ada berbagai tingkat biaya layanan pedagang yang merupakan sebuah biaya yang
dibebankan oleh penyedia jasa pembayaran pada pedagang sebagai pembayaran untuk bisa
menerima kartu pembayaran elektronik.
Dalam membahasnya, ada baiknya kita melihat pengalaman di Denmark dengan
membandingkan antara tingkat biaya layanan pedagang untuk Dankort dengan tingkat biaya
layanan pedagang pada kartu pembayaran lainnya serta antara perdagangan fisik vs non-fisik.
Para penyedia jasa pembayaran di Denmark diwajibkan oleh perintah pemerintah untuk
memublikasikan tingkat biaya layanan pedagang maksimal. Namun pedagang dapat

142

bernegosiasi secara individual dengan mereka mengenai tingkat biaya layanan pedagang
untuk perjanjian individu mereka.
Dalam perdagangan fisik, pedagang Denmark membayar biaya berlangganan tahunan kepada
Nets untuk menerima Dankort yang merupakan produk kartu pembayaran dari Nets. Perintah
menteri menetapkan plafon untuk total jumlah-tingkat biaya layanan pedagang yang dapat
Nets bebankan kepada para pedagang per tahun.
Pada tahun 2012 plafon ini adalah 38 juta euro, sesuai dengan setengah dari biaya operasi
sistem pembayaran Dankort. Total biaya tahunan dibagi di antara pedagang, tergantung pada
jumlah transaksi selama setahun untuk setiap pedagang. Para pedagang dibagi menjadi
delapan kelompok.
***
Secara umum biaya pertukaran bisa dianggap sebagai upaya untuk memaksimalkan
kesejahteraan sosial melalui penggunaan kartu pembayaran. Namun, dari sudut pandang
persaingan, biaya pertukaran juga dapat dipandang sebagai suatu hal yang bermasalah jika
mereka mengakibatkan pengaturan batas bawah untuk tingkat biaya dari biaya layanan
pedagang. Hal ini sering terjadi dan dengan demikian akan menjadi sebuah pembatasan
persaingan di pasar karena biaya pertukaran kemudian mengakibatkan harga yang lebih
tinggi dan mencegah integrasi pasar.
Di Denmark semua biaya pertukaran adalah pembayaran dari penyedia jasa pembayaran
kepada penerbit kartu pembayaran. Tingkat biaya pertukaran domestik disepakati dalam
perjanjian multilateral antara bank Denmark dan Nets dan dengan demikian tidak diatur atau
disetujui oleh pemerintah. Pada periode 2005-2011 ada caps dalam perdagangan fisik
mengenai tingkat biaya layanan pedagang untuk kartu kredit internasional yang diterbitkan
secara domestik dan kartu debit masing-masing sebesar 0,75% dan 0,40%. Caps harga ini
dihilangkan pada tahun 2011 dalam rangka memberikan aturan seragam baik untuk kartu
pembayaran yang diterbitkan di dalam maupun luar negeri.
Pada tahun 2005-2011 pedagang tidak diperbolehkan untuk mengenakan biaya tambahan
tingkat biaya layanan pedagang, ketika pembayaran dilakukan dengan kartu pembayaran
domestik yang diterbitkan dalam perdagangan fisik. Di sisi lain, biaya tambahan diizinkan
bila pembayaran dilakukan dengan kartu pembayaran yang diterbitkan di luar negeri. Namun,
aturan baru mengenai biaya tambahan juga diperkenalkan pada tahun 2011.
Aturan baru saat ini memungkinkan pedagang dalam perdagangan fisik untuk membebankan
biaya tambahan kepada konsumen yang membayar dengan kartu kredit, sementara itu tidak
diperbolehkan untuk membebankan biaya tambahan untuk penggunaan kartu debit.
Pembagian antara kartu debit dan kredit ini dalam kaitannya dengan biaya tambahan disebut
split model.

143

Tidak ada perubahan lebih lanjut mengenai aturan penggunaan kartu pembayaran pada
perdagangan non-fisik, termasuk e-commerce (belanja-internet). Oleh karena itu,
peraturannya umum untuk semua kartu pembayaran dalam perdagangan non-fisik; pedagang
diperbolehkan untuk membebani biaya tambahan tidak peduli, kartu pembayaran yang mana
yang digunakan oleh konsumen dalam perdagangan non-fisik.
Sementara penyedia jasa layanan pembayaran menetapkan tingkat biaya layanan pedagang
yang sesuai dengan klausul biaya umum. Hasilnya luar biasa. Terjadi surplus konsumen dan
surplus produsen yang optimum sehingga pengangguran yang terjadi relatif sangat kecil
sekali di tengah perekonomian dunia yang sedang menghadapi ancaman deflasi.

ACHMAD DENI DARURI


President Director Center for Banking Crisis

144

Berakhirnya Bank (Yang Kita Kenal)


Koran SINDO

5 Februari 2015

Ucapan Bill Gates yang saya kutip minggu lalu dalam kolom ini rupanya tak bisa dianggap
enteng. Katanya, Banking is necessary, banks are not. Ya, kita perlu perbankan, tapi
banknya tidak. Aduh, gimana dong kita yang bekerja di bank?
Gates tidak main-main. Selain PayPal, Google Wallet, dan Apple Pay, kini ada Zopa, Square,
dan Amazon Payments. Semuanya bukan bank, melainkan para inovator dalam dunia digital.
Semuanya menjalankan fungsi perbankan yang jauh lebih efisien dan efektif. Kini bank-bank
lokal kita pun mulai melirik M-Pesa (mobile money) yang populer di Kenya.
Sekadar diketahui, satu dari tiga pemakai mobile money dunia yang dua tahun lalu baru
mencapai 60 juta pelanggan, adalah orang Kenya. Pasalnya, 80% dari semua ponsel (yang
jumlahnya sudah melebihi populasi Kenya) telah bertransaksi melalui M-Pesa. Menurut
kajian US News & World Report, dalam 30 tahun ke depan, uang kertas, kartu kredit, dan
kartu debit akan menjadi sejarah.
Dalam 20 tahun, bahkan pekerjaan para teller yang menjadi ujung tombak pelayanan bank
akan berakhir, hanya ada petugas yang menangani loan dan investasi yang jumlahnya
terbatas. Uang akan digantikan oleh signal ponsel yang memudahkan jutaan transaksi
antarumat manusia. Tak mengherankan bila lapangan pekerjaan sektor perbankan di banyak
negara mulai menyusut. Bayangkan kalau konsep branchless bank yang tengah digadanggadangkan di sini menjadi masif.
Change and Crisis
Semua itu tentu akan memicu ledakan dunia kerja di sektor keuangan. Kita harus siap
memasuki evolusi ini yang akan melahirkan krisis kedua yang levelnya sedikit di bawah
ledakan multidimensi yang kita alami pada 1998. Kalaupun kejutannya agak ringan, mungkin
karena ia lebih bersifat evolutif saja sehingga tak terjadi seketika dan merata.
Saya kutipkan Anda dengan dua kalimat yang sangat provokatif. Dari paparan Jo Caudron,
pendiri dan CEO DearMedia, perusahaan konsultan media digital. Bunyinya begini. Pertama,
The future is about permanently dealing with change and going in and out of moments of
crisis. Kedua, Are you ready to deal with this in your business context?
Sebagai penulis buku cHaNgE! , sejatinya saya cukup familier dengan ungkapan
tersebut. Saya sudah mengumandangkannya sejak lama, bahkan ketika istilah perubahan

145

masih belum begitu akrab di telinga sebagian besar masyarakat kita. Kini, saya ingin
menantang Anda. Siapkah Anda untuk senantiasa menghadapi perubahan evolutif maupun
revolutif? Siapkah Anda untuk senantiasa berada dalam situasi krisis? Bukan untuk menakutnakuti, tetapi ini yang kerap saya jumpai.
Sebagian kita menganggap perubahan sebagai sesuatu yang menakutkan. Mengapa? Sebab
perubahan jelas menuntut kita untuk juga berubah, beradaptasi dan mempersiapkannya selagi
kita bisa membaca dan mengantisipasinya. Sekali lagi, bukan menakut-nakuti, tapi kita semua
harus dibekali dengan prinsip-prinsip Agility, agar tangguh keluar dari segala zona yang
melenakan, zona nyaman.
Dan, ini bagian yang paling menakutkan, kapan kita mestinya berubah? Jawabannya adalah
kemarin! Itu sebabnya di Rumah Perubahan, saya tengah menyiapkan sebuah game yang
kelak akan saya namakan agility experience yang dapat Anda gunakan untuk melatih diri.
Jadi, kita selalu terlambat untuk berubah. Itulah yang menyebabkan perubahan menjadi
sangat menakutkan.
Perubahan Konsumen
Pada kolom minggu lalu, saya sudah menulis tentang kelak di dunia kita hanya akan ada dua
warga negara: digital native dan digital immigrant. Siapa mereka? Digital native adalah
anak-anak kita sekarang ini. Mereka sejak lahir sudah akrab dengan berbagai produk
teknologi, tanpa perlu bersusah payah mempelajarinya terlebih dahulu.
Sementara kita adalah digital immigrant. Untuk bisa memakai berbagai produk teknologi,
kita harus belajar habis-habisan. Kita harus membaca buku manualnya. Bahkan bertanya kirikanan. Juga kepada anak-anak kita yang bahkan mungkin belum pernah memakainya, tetapi
ketika diberi kesempatan sebentar saja untuk mencoba, mereka langsung paham dan bisa
menggurui kita.
Saya ingin menambahkan data survei tentang konsumen baru. Pertama, dari sisi alokasi
waktu. Dari 18 jam yang mereka miliki per hari (enam jam untuk tidur), tiga jam lebih
mereka alokasikan untuk browsing di internet, berselancar di dunia digital, berkamera sosial
seperti yang saya ulas dalam buku Camera Branding. Di dunia maya tersebut mereka
mencari segala hal yang dianggap perlu. Lalu, selama tiga jam lebih juga mereka habiskan
untuk aktif melakukan social networking.
Mereka masih menonton televisi, tapi mungkin hanya sekitar dua jam. Selebihnya rata-rata
sekitar satu-dua jam mereka habiskan untuk bermain video games; nonton film di bioskop;
mendengarkan radio; menjawab e-mail, SMS, atau aplikasi lainnya; ngobrol tentang berita
atau produk-produk terbaru. Hanya sekitar setengah jam yang mereka habiskan untuk
membaca koran atau majalah.
Kedua, adanya berbagai produk teknologi betul-betul mengubah cara-cara pelanggan bank

146

berinteraksi dengan perbankan. Ini datanya. Hampir 60% pelanggan bank berinteraksi dengan
perangkat mobile-nya. Mereka bisa bertransaksi 20-30 kali per bulan. Bagaimana dengan
pengguna tablet? Jumlahnya berkisar 17%. Mereka bertransaksi 7-10 kali per bulan.
Pemakai ATM hanya sekitar 8% dari seluruh pelanggan, dan bertransaksi hanya 3-5 kali per
bulan. Phone banking, jumlah penggunanya mungkin lebih banyak, berkisar 12%. Namun,
pengguna phone banking hanya bertransaksi 5-10 kali per tahun. Sekali lagi, per tahun.
Bukan per bulan.
Lalu, berapa banyak di antara para pelanggan yang masih bertransaksi secara tradisional
dengan datang langsung ke bank? Mungkin hanya tinggal sekitar 3%. Di sana mereka hanya
bertransaksi 1-2 kali per tahun. Lagi, per tahun.
Bahkan, bukan hanya customer yang berubah perilakunya akibat hadirnya teknologi digital.
Perilaku korporasi pun berubah. Contohnya Amazon, mereka mengubah harga jual
produknya hingga 2,5 juta kali per hari. Sebagai perbandingan, Walmart dan Best Buy hanya
mengubah harganya 50.000 kali per bulan.
Dua Survei
Itulah perubahan yang terjadi di kalangan customer dan korporasi. Lalu, bagaimana bank
mesti menyikapi perubahan tersebut? Kalau perbankan menganggap customer adalah segalagalanya, berikut saya kutipkan beberapa riset yang memaparkan apa saja sebenarnya yang
mereka harapkan dari perbankan.
Pertama, saya kutip dari The Financial Brand dalam survei yang mereka lakukan pada 2014.
Gambarannya begini. Sebanyak 81% pelanggan selalu bertanya-tanya, apa reward yang saya
peroleh dari bank? Jadi buat bank di sini, silakan mulai dipikirkan, apa kira-kira reward yang
bakal kalian berikan untuk para pelanggan.
Lalu, 61% pelanggan juga ingin kemudahan dalam mengakses layanan perbankan. Intinya,
mereka ingin bisa mengakses layanan, terutama rekening mereka, di mana saja, kapan saja.
Kemudian yang menarik, 58% pelanggan ingin diperlakukan secara personal. Silakan Anda
pikirkan kira-kira seperti apa bentuk layanan yang personal.
Masih ada lagi. Sebanyak 55% pelanggan ingin perbankan memberikan masukan atau saran
tentang bagaimana mereka bisa meningkatkan kekayaannya. Ini saya lihat belum banyak
dilakukan oleh perbankan kita. Mungkin banyak bank yang sudah menyediakan layanan
wealth management, tapi belum berdampak signifikan bagi peningkatan kekayaan
nasabahnya. Sisanya, sekitar 52% pelanggan ingin perbankan memberikan masukan tentang
kapan mereka mesti membelanjakan uangnya dan kapan mesti menabung.

147

Well, semakin tidak mudah bukan untuk menjadi seorang bankir. Bukan seperti masa lalu, di
mana Anda tinggal menerima dana dari pihak ketiga dan menyalurkannya dalam bentuk
kredit. Keinginan customer berubah, bank pun mesti berubah.
Saya akan melengkapinya sedikit lagi dengan survei lain yang dilakukan Accenture, 2014.
Sebagian agak mirip dengan survei The Financial Brand. Potretnya begini. Sebanyak 51%
pelanggan ingin pihak bank proaktif memberikan rekomendasi tentang produk dan jasa
perbankan yang sesuai dengan kebutuhan finansial mereka.
Kemudian, 48% pelanggan ingin pihak bank memberikan analisis yang real time, bahkan
forward looking, tentang aktivitas belanja pelanggan. Masih ada dua lagi. Sebanyak 71%
pelanggan ternyata lebih suka hubungan yang bersifat transaksional dengan pihak perbankan.
Kemudian 27%, pelanggan lebih suka branchless digital bank. Jadi cabang-cabang bank
cukup digital saja, tak perlu memiliki berupa gedung atau kantor yang berupa fisik. Itulah
perubahan aspirasi dari para pelanggan bank akibat hadirnya teknologi digital.
Awalnya terjadi tidak merata, tapi lambat laun semua kena dampaknya, dari sebuah
gelombang besar kejutan teknologi dari satu negara ke negara lainnya. Siapkah Anda, para
bankir, untuk berubah?

RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

148

Desain Produk dan Value-Based-Economy


Koran SINDO

9 Februari 2015

Pencetus gagasan value-based economy dapat kita telusuri dari pemikir-pemikir ekonomi
yang tergabung dalam Austrian School pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Sejumlah nama seperti Carl Menger, Friedrich von Wieser, Ludwig von Mises, Friedrich von
Hayek, bahkan sampai Joseph Schumpeter secara kolektif menggagas pentingnya nilai
(value) dalam sistem perekonomian. Gagasan mereka sekaligus membedakan dalam
perspektif neoklasik bahwa nilai suatu barang bersifat independen dari konsumen dan inheren
dari karakteristik dasar material (bahan baku).
Menurut Austrian-School, nilai sebuah produk merupakan upaya engineering, perekayasaan
dan inovasi kreatif untuk meningkatkan nilai tambah sebuah produk atau jasa. Upaya ini
sekaligus memberikan dasar filosofis konsep diferensiasi yang kita kenal saat ini.
Di tengah kompetisi ekonomi yang semakin terbuka, baik di tingkat global maupun regional,
strategi dan kebijakan nasional untuk meningkatkan nilai tambah (value-added) dari produk
dan jasa yang dihasilkan menjadi semakin krusial. Banyak penelitian ilmiah yang
menunjukkan kebijakan nasional dan industri untuk meningkatkan nilai tambah merupakan
sumber dari keunggulan bersaing suatu negara (competitive-advantage).
Negara-negara di Skandinavia, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Amerika Serikat, India,
dan China serius meningkatkan nilai tambah produk atau jasa yang dihasilkan. Salah satu
kebijakan unggulan yang mereka lakukan adalah menjadikan sekaligus mendorong desainproduk dan desain-industri bagian penting dan strategis dalam sistem rantai produksi.
Misalnya saja pada 2003 pemerintah Selandia Baru menginvestasikan tidak kurang dari 10
juta dolar Selandia Baru selama lima tahun untuk diseminasi informasi tentang desain
sekaligus membantu banyak perusahaan Selandia Baru untuk meningkatkan kualitas produk
yang dihasilkan. India pada 2007 juga meluncurkan program yang disebut National Design
Strategy untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan, penggunaan desain untuk UMKM,
intellectual property, national branding, dan memperbaiki desain produk ekspor mereka.
Hal yang sama juga dilakukan Taiwan melalui Cultural and Creative Industries Development
Plan untuk meningkatkan kualitas produk industri melalui serangkaian aktivitas dari mulai
inovasi, desain, dan branding. Di kawasan ASEAN, sejak 2003 Pemerintah Singapura juga
telah meluncurkan program yang dikenal sebagai Design Singapore Initiative. Inisiatif yang
diambil oleh Pemerintah Singapura ditujukan utamanya untuk meningkatkan kualitas desain

149

produk dan industri sehingga aktivitas ini menjadi budaya masyarakat Singapura.
Bila produk dan merek Korea Selatan saat ini memiliki reputasi unggul dan menjadi standar
industri global (misalnya Samsung, KIA, Daewoo, Hyundai), tidaklah mengherankan karena
pemerintah Korea Selatan telah lama mengampanyekan sebuah program terintegrasi tentang
pentingnya desain bagi industri. Rencana lima tahunan tentang desain telah dilakukan oleh
Korea Selatan sejak 1993 untuk meningkatkan kesadaran dan manfaat akan desain terhadap
daya saing produk mereka.
Banyak studi ilmiah yang menunjukkan bahwa mereka yang menguasai desain dalam rantai
produksi akan mengambil bagian profit yang paling besar. Misalnya studi yang dilakukan
Dedrick et al (2008) menunjukkan, dalam porsi pembagian keuntungan yang diterima oleh
pihak yang terlibat dalam iPod dan notebook, Apple mendapatkan keuntungan terbesar
dibandingkan dengan pemasok, distributor, perakit (assembler), dan peritel.
Salah satu faktor yang menjelaskan ini adalah kemampuan Apple me-redesign produk secara
inovatif menyesuaikan seiring pergeseran kebutuhan masyarakat akan perangkat musik
portabel. Kompetensi inilah yang membuat bargaining power Apple jauh lebih kuat
dibandingkan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan perangkat tersebut.
Belajar dari pengalaman sejumlah negara dan perusahaan multinasional, sudah saatnya
Indonesia melihat lebih serius peran desain terhadap penciptaan daya saing produk dan
industri nasional. Realitas saat ini menunjukkan bahwa untuk industri automotif nasional,
sebagian besar produk yang dihasilkan masih menggantungkan pada design product dari
negara lain.
Fenomena yang sama juga kita temui di sejumlah produk elektronik, sepatu, consumersproduct, dan produk tekstil. Sebagian besar perusahaan-perusahaan di Indonesia
memosisikan diri sebagai unit produksi dan perakitan. Sehingga, tidaklah mengherankan bila
margin keuntungan dalam rantai produksi terhadap produk tersebut relatif kecil yang diterima
oleh pihak Indonesia dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki hak paten dan desain
produk tersebut.
Selain itu juga, kurang berkembangnya design-product di Indonesia membuat terbatasnya
munculnya produk dan merek asli Indonesia. Padahal bakat-bakat kreatif dan inovatif yang
dimiliki putra-putri Indonesia sangatlah luar biasa. Sejumlah sektor seperti industri kreatif
misalnya batik dan tenun telah memunculkan produk dan brand asli Indonesia.
Namun, dalam industri lainnya seperti automotif, elektronik, sepatu, tekstil, dan consumers
product masih membutuhkan dukungan dan dorongan dari Pemerintah Indonesia untuk bisa
berkembang. Dukungan pemerintah untuk mendorong pemanfaatan desain dalam proses
produksi industri UMKM, menengah, dan besar akan meningkatkan daya saing produk
nasional di tengah persaingan regional dan global.

150

Untuk mewujudkan sistem ekonomi berbasis nilai (value based economy), sudah saatnya kita
beralih dari slogan made in Indonesia menjadi designed by Indonesia dan bahkan
menjadi brand of Indonesia. Dari strategi yang menekankan hanya pada aspek produksi
dan assembly menjadi negara yang juga memiliki kemampuan mengembangkan desain
produk yang unggul, menarik, dan berdaya saing.
Seringkali ketika negara sudah mampu mengembangkan design product secara
komprehensif dan terpadu, fasilitas produksinya juga akan berkembang. Bahkan besar
kemungkinan bila kemampuan design-product dikuasai, akan semakin banyak perusahaan
nasional yang memiliki fasilitas produksi di negara lain. Dengan kata lain, perusahaan
nasional naik kelas menjadi perusahaan regional atau multinasional. Namun, tidak
sebaliknya, ketika suatu negara hanya fokus pada produksi dan perakitan, bukan berarti lantas
negara tersebut akan maju dalam design-product.
Perusahaan multinasional biasanya akan tetap mempertahankan desain berada di
headquarter dan menjadikan subsidiary di banyak negara sebagai unit produksi atau
pemasaran.

PROF FIRMANZAH PhD


Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEB Universitas Indonesia

151

Industri Baja Dalam Negeri Terancam!


Koran SINDO

11 Februari 2015

Pada Desember lalu sejumlah menteri berkumpul di Kantor Kemenko Perekonomian yang
mengadakan rapat membahas pengembangan industri baja nasional.
Hasilnya pemerintah sepakat melindungi industri baja dalam negeri dari serbuan produk
asing. Saat ini industri dalam negeri menunggu realisasi dari hasil rapat berupa kebijakan
yang dijanjikan akan dimulai pada awal tahun 2015.
Sumber
Dalam pernyataan kepada sejumlah wartawan setelah rapat Desember, Menko Perekonomian
mengatakan saat ini supply baja di muka bumi sangat tinggi. Oleh karenanya perusahaan di
berbagai negara melakukan dumping ke Indonesia. Bila ini terjadi sebagaimana ditegaskan
Menko, akan habis industri baja dalam negeri.
Salah satu sumber masalah mengapa industri baja dalam negeri terancam habis bersumber
pada Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan,
Perpajakan, dan Cukai serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari
serta Berada di Kawasan yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas (PP Nomor 10/2012).
Pasal 14 PP Nomor 10/2012 yang menentukan, Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari
luar Daerah Pabean diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut
Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang- Undang Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan
cukai.
Sebenarnya Pasal 14 ini tidak begitu masalah. Namun dalam penjelasan Pasal 14 disebutkan,
Termasuk dalam pengertian bea masuk adalah bea masuk antidumping, bea masuk imbalan,
bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan.
Di sinilah menjadi masalah. Masalah karena bea masuk antidumping, bea masuk imbalan,
bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan dalam hukum perdagangan
internasional yang diatur dalam Perjanjian WTO merupakan trade remedy. Bea ini tidak
seharusnya dikecualikan ketika ada barang masuk ke Kawasan Bebas dari luar Daerah
Pabean.
Trade remedy merupakan upaya suatu pemerintah untuk mencegah hancurnya industri dalam
negeri akibat masuknya barang oleh produsen luar negeri. Oleh karenanya aneh bila dalam

152

penjelasan Pasal 14 PP No. 10/2012 pengenaan berbagai bea untuk trade remedy
dikecualikan. Apalagi bila Kawasan Bebas mempunyai potensi besar untuk menyerap
kebutuhan baja seperti Batam.
Memang daerah yang telah dinyatakan Kawasan Bebas secara fiskal pengaturannya berbeda
dengan daerah lain di Indonesia. Hanya saja ini seharusnya tidak berlaku bagi produsen yang
telah dikenakan sanksi dari pemerintah Indonesia dalam bentuk bea masuk antidumping.
Antidumping
Apa yang dimaksud dengan antidumping? Antidumping adalah tindakan untuk
menyelesaikan situasi yang disebabkan oleh dumping dari barang dari produsen luar negeri.
Ini dilakukan karena produsen dari luar negeri menjual produknya dengan harga yang lebih
murah di suatu negara dibanding di negerinya sendiri.
Ini berakibat pada distorsi bagi perdagangan antarnegara. Produsen luar negeri yang
melakukan dumping telah melakukan persaingan curang (unfair trade) terhadap produsen
dalam negeri. Untuk memperbaiki situasi ini maka suatu negara dapat mengenakan bea
masuk antidumping. Ini dilakukan agar industri dalam negeri tidak mengalami kerugian yang
pada gilirannya akan mati.
Pengenaan bea masuk antidumping ataupun bea masuk imbalan tidak dapat dilakukan secara
sepihak oleh pemerintah. Pengenaan harus melalui suatu proses. Di Indonesia lembaga yang
memiliki kompetensi untuk memeriksa dan merekomendasikan kepada pemerintah untuk
pengenaan bea masuk antidumping atau imbalan adalah Komite Anti-Dumping Indonesia
(KADI).
KADI memeriksa dan merekomendasikan pengenaan bea masuk antidumping atau bea masuk
imbalan berdasarkan suatu proses hukum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan
Perdagangan.
Karena itu produsen luar negeri yang telah direkomendasikan ke Menteri Keuangan untuk
dikenakan bea masuk antidumping berarti produsen tersebut telah melakukan perdagangan
curang. Adalah aneh karenanya bila produsen luar negeri yang telah melakukan perdagangan
curang dikecualikan pengenaan beanya di Kawasan Bebas.
Tegas
Pemerintah tentu perlu bertindak tegas dan cepat agar industri baja dalam negeri tidak
terancam punah. Tindakan tegas dan cepat sudah dijanjikan oleh Menko Perekonomian
saatnya untuk segera diwujudkan.
Salah satunya yang relatif mudah adalah mengamandemen PP Nomor 10/2012 dengan

153

mencabut penjelasan Pasal 14. Dengan demikian industri baja dalam negeri tidak akan
terancam dan memberi kontribusi positif bagi Indonesia.

HIKMAHANTO JUWANA
Guru Besar Hukum Internasional UI

154

Anda mungkin juga menyukai