Anda di halaman 1dari 155

DAFTAR ISI

BABAT IJAZAH PALSU


Moh Mahfud MD

PEMISKINAN MAKNA?
Mudji Sutrisno
`

BUNG KARNO, NU, DAN KOKOHNYA NKRI


M Hanif Dhakiri

11

KPK DAN PSSI DI ERA REVOLUSI MENTAL


W Riawan Tjandra

14

REFORMASI JAMINAN SOSIAL ASN


Eko Prasojo

17

PRESIDEN IBARAT PRESENTER BERITA


Yasmin Muntaz

21

KEAMANAN PANGAN
Tjandra Yoga Aditama

24

PRESIDEN KITA MANTU


Mohamad Sobary

27

MENANGKAL ISU KEAMANAN PANGAN


Ali Khomsan

30

SELAMATKAN, BUKAN PORAK-PORANDAKAN


Reza Indragiri Amriel

33

THE TYRANNY OF HABIT


Komaruddin Hidayat

36

JOKOWI DAN PAPUA


Freddy Numberi

39

STATUS (DOKTRIN) AGAMA-AGAMA PRA-ISLAM


Faisal Ismail

42

DEMOGRAFI & AGAMA


Anis Matta

45

PUASA DAN KOMITMEN TRANSFORMASI SOSIAL


M Muchlas Rowi

48

PUASA, KEADILAN, DAN KEJUJURAN


1

Mohamad Sobary

51

MUHAMMADIYAH DAN GERAKAN ANTI-KORUPSI


Biyanto

54

MUHAMMADIYAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


Ahmad Najib Burhani

57

JIMAT EROS DJAROT


Moh Mahfud MD

60

WASPADA MERS CoV


Tjandra Yoga Aditama

63

PUASA, PENYELENGGARA NEGARA, DAN REVOLUSI MENTAL


Laode Ida

66

URGENSI DIALOG BARAT DAN DUNIA MUSLIM


Rakhmat Hidayat

70

SAEMAUL UNDONG, SEMUA BERAWAL DARI DESA


Martani Huseini

73

JALAN
Komaruddin Hidayat

76

KASUS ENGELINE DAN OPINI PUBLIK


Yasmin Muntaz

78

ENGELINE DAN MATI DINI GN-AKSA


Reza Indragiri Amriel

81

DONGENG DARI NEGERI TEMBAKAU


Mohamad Sobary

84

MAKANLAH KALAU IMSAK


Moh Mahfud MD

87

PERSPEKTIF BUDAYA ISLAM NUSANTARA


Ali Masykur Musa

90

HASRAT: HIDUP DALAM REALITAS ABU-ABU


Mudji Sutrisno

93

MENYOAL ISLAM NUSANTARA


Faisal Ismail

96

PUASA SEBAGAI TRADISI


Mohamad Sobary

99

NEGARA PSYCHOCAPITALISM
Fikri Suadu

102

ISLAM NUSANTARA VS BERKEMAJUAN


Ahmad Najib Burhani

105

PERKEMBANGAN WAHABI
Al Chaidar

108

MENJAWAB ISLAM NUSANTARA


Muhammad Sulton Fatoni

112

ISLAM BERKEMAJUAN DAN ISLAM NUSANTARA


Biyanto

116

DAKWAH YANG MENGUBAH DUNIA


Mohamad Sobary

119

WAJIB BELAJAR UNTUK BANGSA


Totok Amin Soefijanto

122

DUNIA SEMAKIN PLURAL


Komaruddin Hidayat

125

MEWASPADAI PRODUK MAKANAN ILEGAL


Posman Sibuea

127

KOTA MUDIK
Rakhmat Hidayat

130

PSIKOPAT
Sarlito Wirawan Sarwono

133

MUHAMMADIYAH, NU, DAN LEBARAN


Mohamad Sobary

136

BERJIHAD KEMBALI KE FITRAH


Hajriyanto Y Thohari

140

KEMBALI FITRI, KEMBALI PADA KESADARAN SEJATI


Muhammad Muchlas Rowi

144

MARI AMALKAN ALQURAN


Faozan Amar

147

JUJUR
Rhenald Kasali

150

SAAT KESELAMATAN PEMUDIK MENJADI PRIORITAS UTAMA


Machsus

153
3

Babat Ijazah Palsu


Koran SINDO
6 Juni 2015

Saya selalu mengatakan kepada mahasiswa bahwa orang yang menggunakan ijazah palsu itu
kalau menjadi pejabat akan berani melakukan korupsi. Begitu juga orang yang mau mencuri
karya ilmiah orang lain (plagiasi) sangat berpotensi menjadi koruptor kalau menduduki
jabatan publik. Hal tersebut selalu saya nyatakan juga kepada publik melalui media massa
dan berbagai forum antarperguruan tinggi.
Ada dua alasan yang mendasari pendapat saya itu. Pertama, pemalsuan ijazah atau plagiasi
itu sendiri sebenarnya sudah merupakan korupsi non-konvensional. Kedua, orang yang berani
membohongi dirinya sendiri dengan menggunakan ijazah palsu dan melakukan plagiasi
pastilah akan berani menipu rakyat untuk melakukan korupsi. Jika kepada diri sendiri saja
bohong, tentu kepada rakyat pun akan berani menipu.
Memang tak bisa dikatakan bahwa hanya orang yang berijazah palsu yang korupsi. Para
koruptor yang sekarang meringkuk di penjara itu, nyatanya, sebagian besar berijazah asli.
Saya hanya menekankan bahwa pembuat dan pengguna ijazah palsu serta pelaku plagiasi itu
sudah melakukan korupsi, minimal korupsi non-konvensional.
Mengacu pada Satjipto Rahardjo, korupsi itu ada dua macam, yakni korupsi konvensional
dan korupsi non-konvensional. Korupsi konvensional adalah korupsi dalam arti hukum
pidana yang memiliki unsur-unsur tertentu yakni menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau
korporasi, dengan cara melawan hukum, dan merugikan keuangan negara. Sedangkan korupsi
non-konvensional adalah semua sikap dan tindakan sewenang-wenang atau pelanggaranpelanggaran yang secara stipulatif tidak disebut korupsi oleh hukum.
Orang yang suka sewenang-wenang, menyalahgunakan jabatan, sok berkuasa, meminta
dihormati dan dilayani secara berlebihan, membuat dan menggunakan ijazah palsu serta
melakukan plagiasi dalam kegiatan akademis meskipun tidak melakukan korupsi dalam arti
hukum pidana, tetapi sejatinya orang itu sudah melakukan korupsi secara non-konvensional.
Orang yang suka melakukan korupsi non-konvensional kalau ada peluang tentu akan berani
melakukan korupsi konvensional.
***
Saya teringat kembali pada apa yang sering saya teriakkan tentang ijazah palsu dan plagiasi
ini ketika pekan ini kita dikejutkan oleh berita tentang ijazah palsu. Seperti dilansir oleh
Menristek-Dikti M Nasir, ditemukan adanya lembaga pendidikan tinggi yang diduga
4

mengeluarkan ijazah palsu dan banyaknya pegawai pemerintah yang menggunakan ijazah
palsu untuk menjadi pegawai atau untuk mendongkrak karier kepegawaiannya. Terlepas dari
apa pun motifnya, seperti ditudingkan oleh sebagian orang, langkah Menristek-Dikti yang
melansir dan kemudian melakukan langkah-langkah penjatuhan sanksi dan pembenahan
haruslah diapresiasi.
Ada yang seperti kaget dan bertanya kepada saya: Kok, kita baru sekarang meributkan soal
ijazah palsu? Kok tidak dari dulu-dulu? Saya jawab dengan pertanyaan balik: Siapa bilang
baru sekarang? Pada awal kepresidenan SBY periode pertama (2004-2009), masalah ijazah
dan gelar palsu sudah diributkan oleh masyarakat. Bahkan, Wapres Jusuf Kalla, kala itu,
pernah menyatakan keheranannya karena kalau dia berkunjung ke daerah-daerah, banyak
kenalannya yang tak pernah diketahui kapan kuliah dan di perguruan mana kuliahnya sudah
memiliki gelar master dan doktor. Pada sekitar tahun 2005-2006 itu kita ribut, tetapi tiba-tiba
tak jelas langkah lanjutnya.
Bahkan jauh sebelum itu, tepatnya sejak 1990-an, kita juga pernah digegerkan oleh kasus
ijazah palsu. Dirjen Dikti Depdikbud kala itu, Bambang Suhendro yang kemudian dilanjutkan
oleh Satrio Sumantri Brojonegoro, berteriak keras karena banyaknya ijazah palsu yang
beredar dan dipakai untuk meraih kedudukan di pemerintahan atau pun untuk sekadar gagahgagahan. Sampai-sampai saat itu ada istilah ijazah three in one, yakni tiga ijazah dalam tiga
jenjang (Sarjana/S-1, Master/S-2, Doktor/S-3) yang bisa diperoleh sekaligus asal membayar
sejumlah uang tertentu. Yang bisa membayar Rp30 juta, langsung mendapat tiga ijazah tanpa
harus kuliah. Diberitakan juga adanya ustad yang karena menjadi muthawwif untuk umrah,
sepulang dari umrah mampir di Singapura dan diwisuda sebagai doktor di sebuah hotel
berbintang. Gila, kan?
***
Masyarakat akademis, saat itu, berteriak keras agar polisi mengusut dan menghukum para
pembuat dan pengguna ijazah palsu. Namun, polisi mengatakan tidak ada tindak pidana
karena tidak ada warga yang mengadu kepada kepala polisi karena dirugikan. Ditjen Dikti
mengatakan, pihaknyalah yang dirugikan, tetapi tetap saja tak ada tindakan dari Polri.
Di Yogyakarta, saat itu, Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan seminar khusus
membahas aspek hukum pidana tentang ijazah palsu. Dosen hukum pidana dari UII Artidjo
Alkostar (kini sudah menjadi hakim agung) waktu itu diminta membuat analisis dari aspek
hukum pidana. Kesimpulannya, ada beberapa pasal di dalam KUH Pidana yang dapat
dipergunakan untuk mengadili pembuat dan pengguna ijazah palsu. Meski hasil seminar
sudah dipublikasikan dan dikirimkan kepada yang berwenang dan berwajib, tak ada tindak
lanjutnya juga.
Kali ini kita tidak boleh terhenti lagi untuk menyelesaikan secara tuntas masalah ijazah palsu
ini. Kita harus serius dan tidak sungkan kepada siapa pun untuk menggunakan instrumen
hukum, baik hukum pidana maupun hukum administrasi negara, untuk menyelesaikan
5

masalah ini. Kalau gerakan ini gembos lagi dan tak ada langkah majunya, kita ini bisa
dinilai lebih bodoh daripada keledai.

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi

Pemiskinan Makna?
Koran SINDO
6 Juni 2015

Ketika Nusantara menghayati kehidupan dengan memuliakannya dan merayakannya melalui


festival dan ritual, maka di situ yang berharga dari kehidupan dihayati sebagai makna.
Apa maksudnya? Orang-orang sebagai pelaku mengusahakan untuk menimba kebenaran dari
kehidupan, merumuskannya melalui bahasa mitos, dongeng, peribahasa dan pepatah untuk
dipakai menjadi acuan agar menjalani kehidupan secara bijaksana dalam realitas alam. Maka,
usaha menyelaraskan diri dengan kenyataan Nusantara serta 400 gunung berapi dan aktif 127
di antaranya, dicoba hayati dengan benar melalui membaca tanda-tanda alam, siap
menyelamatkan diri ketika meletus.
Namun karena siklus berdekade-dekade waktu yang mengalami suburnya tanah setelah
letusan, maka rasa terima kasih selalu diucapkan semisal di lereng-lereng Gunung Merapi,
Merbabu, Sumbing, Sindoro dalam tari, nyanyi dan seni ritual syukur atas suburnya humus
tanah berkat vulkanologi.
Orang belajar memahami ekspresi gunung-gunung dan hidup bersama dalam selarasmenyelaraskan sehingga kebenaran alam gunung diwujudkan ritus syukurnya dengan
kebaikan berbagi ke sesama manusia. Ini di kala Merapi melepaskan energi panasnya
diartikan oleh satu pihak sebagai membagi milik kekayaan kesuburan dalam magma panas
dan di lain pihak memberi kesuburan untuk hidup bagi para penduduknya.
Sisi kebaikan yang memberi dan membagi inilah menjadi inspirasi dasar bahwa pemilikan
yang serakah tidak cocok dengan pasang-surutnya ancaman hidup dan anugerahnya yang
dicerna sebagai kebijaksanaan hidup hanyalah mampir minum, maka pemilikan akan
menghalangi ziarah panjang lepas diri menuju moksa tanpa beban ikatan.
Menghayati kehidupan untuk memberinya arti bagi diri dan komunitasnya merupakan
tindakan atau laku kebudayaan. Manusia sebagai the signifying actor atau si pemberi makna
pada tindakannya dalam relasi dengan alam, realitas sekitar, dan dalam hubungannya dengan
sesama manusia, setiap kali dipanggil untuk memberi makna baru pula pada tindakan
memuliakan kehidupan.
Bila para penghuni gunung-gunung berani dihadapkan tiap kali pada soal bencana letusan
yang berwajah kematian dan sesudahnya kesuburan tanah yang berwajah kehidupan, maka
mau tidak mau akan memproses kedalaman diri yang merenungi siapakah sang pemilik
kehidupan dan siapakah penentu kematian.
7

Di sinilah rasa religius terbentuk dan menjadi embrio kesadaran akan Yang Ilahi, pencipta
kehidupan. Barangkali dalam proses lama dan terus-menerus berhadapan dengan ancaman
kehidupan yaitu ketidakkekalan dalam rupa kematian serta dambaan akan tetap abadi dalam
ruh meski raga bisa hancur menjadi asal muasal kepercayaan pada yang transenden, yang
dalam istilah Rudolf Otto disebut Yang Suci.
Lalu Otto mencoba merangkumkan pengalaman manusia berhadapan dengan Yang Ilahi itu
sekaligus rasa gemetar ketakutan sebagai numinosum dan rasa tertarik untuk menjemputnya,
menangkapnya sebagai fascinans. Relasi dengan alam yang bergunung berapi dan
menyikapinya dengan mencari makna dan memberi arti merupakan usaha hidup
berdampingan dengan alam.
Relasi antar-sesama manusia dan kesadaran akan sumber hidup atau Sang Pencipta, pelanpelan mengendap dalam kesadaran religius sebagaimana para ahli ilmu perbandingan agama
menamainya religi bumi atau keyakinan kosmis. Rumusan alam dan yang numinosum
menggetarkan dan menarik untuk menyembah-hormati dalam yang fascinans lalu
dirumuskan sederhana menegaskan alam kosmik sebagai punya jiwa alias animisme. Dan
alam kosmis memiliki daya hidup yaitu dinamisme yang merupakan sekadar contoh antara
menghayati dalam laku tindakan di alam serta usaha merumuskan pengalamannya.
Selanjutnya secara logika dikotomik dibagilah hitam putihnya biner kehidupan dalam yang
spiritual dan yang material. Kehidupan sendiri dirumuskan dalam logika bagi dua yaitu hasil
dan proses. Dengan kata lain, bisa disimpulkan bahwa yang berharga dari kehidupan itu bisa
diperlawankan dalam logika biner, yaitu yang bermakna dan yang tidak bermakna; yang
benar dan yang tidak benar atau salah.
Lalu Thomas Aquinas memaknai baru paham kehidupan sebagai realitas dari Aristoteles
dalam ranah yang berharga, yang bermakna, maka kehidupan manusia ini punya sisi dasarnya
yaitu kebenaran. Memiliki pula ranah kebaikan dan terakhir ranah keindahan. Kehidupan
yang ada dan sedang kita hayati ini sekaligus bila dihayati dengan menangkap artinya akan
sekaligus benar, baik dan indah. Makna kebenaran menjadi sumber perkembangan ilmu
pengetahuan. Makna kebaikan dari kehidupan menjadi eksplorasi pengembangan etika.
Keindahan kehidupan menjadi sumber pengembangan estetika.
***
Ketika kesadaran menghayati kehidupan menjadi nilai (baca: berharga, bermakna) maka
muncul kesadaran budaya memuliakan dan merayakan kehidupan. Ketika nilai-nilai itu
dikerdilkan dan dimiskinkan maka yang terjadi adalah pemiskinan makna. Menjadi sadar
akan pemiskinan makna menuntut pembacaan mata budi dan hati terhadap fenomenafenomena pemiskinan makna di sekitar hidup kita.
Fenomena-fenomena pemiskinan makna, kita jumpai di mana-mana. Pemiskinan makna dari
nilai (reduksi) menggejala dalam pemiskinan makna dari nilai-nilai pokok hidup, awalnya
8

menggejala dalam rancu acuan nilai-nilai lalu menjadi pengering makna. Pertama, yang spirit
atau immaterial sudah direduksi nilainya menjadi hitung-hitungan material yaitu uang.
Kesukarelaan tanpa ganti imbalan uang semakin tidak ditemukan lagi dalam keseharian
hidup.
Kedua, esensi hidup sebagai proses direduksi dalam jalan pintas, mau hasilnya tidak mau
keringatnya. Ranah atau wilayah politik dari cita-cita kenegarawanan dan politik sebagai
ikhtiar perjuangan hidup bersama lebih sejahtera direduksi menjadi politik rebutan kekuasaan
dan kursi. Etika politik perjuangan kesejahteraan rakyat atau publik dengan nafas untuk
menuju keadilan dan kemakmuran serta merawat kemajemukan dan keikaan telah direduksi
menjadi rebutan kuasa untuk kepentingan ego pribadi dengan kelompok tanpa etika.
Ketiga, indikasi reduksionis nilai sebagai harga dan makna acuan perilaku dan putusan hidup
telah direduksi penghayatannya menjadi sekadar kognitif, pengetahuan, hafalan. Akibatnya
tiada terjadi proses pembatinan disgesti (memamahbiaknya lembu).
Keempat, direduksinya penghayatan etis tentang yang baik menjadi ajaran-ajaran moralitas
teks tulis. Hidup direduksi dalam moralitas hitam-putih, baik dan buruk; neraka dan surga
tanpa penghayatan hidup yang semestinya disyukuri kepada Sang Pencipta dalam suka dan
duka. Akibatnya, legalisme dihayati radikal dalam ketakutan akan hukuman neraka membuat
indikasi-indikasi puritanisme saat di ruang doa namun di hidup sehari-hari punya wajah lain.
Kelima, disempitkannya kekayaan multidimensi kehidupan publik hanya dalam ruang publik
ciptaan. Baudrillard menegaskan bahwa dalam dunia maya melalui revolusi teknologi
informasi dan revolusi digital, ruang hidup dimampatkan bahkan dilipat seperti kertas.
Sehingga tiada lagi ruang nyata natural untuk berhening, bersyukur secara alami dalam
ruang-ruang ceria alami nyata di gunung-gunung yang indah dan tak lagi hirup udara segar di
taman-taman bunga nyata.
Keenam, reduksi waktu. Waktu dimampatkan dalam contoh nyata sekaligus mengendarai
mobil di jalan menyetir dan mendengarkan musik pada saat yang sama melihat televisi mobil
dan ber-SMS menggunakan ponsel. Dampak reduksi waktu ini adalah tiadanya lagi atau
habisnya waktu hening untuk mengolah pengalaman hidup. Semua informasi berhamburan ke
mata dan telinga dengan kecepatan kilat sehingga tak ada waktu sunyi untuk mengheningi
arti dan makna hidup. Maka penghayatan waktu sebagai aliran arus untuk merasakan dengan
hati, menimbang dengan budi jernih telah dilipat mampat tanpa pengendapan apalagi
pendalaman makna peristiwa hidup.
***
Kesemuanya bersumber hasrat. Sumbernya ini yang harus dikendalikan oleh budi jernih dan
nurani. Victor E Frankl di ranah-ranah budaya menunjukkan hasrat-hasrat untuk terus hidup
dalam tiga jenis. Hasrat untuk mencari dan memuasi nikmat (will to pleasure), hasrat
berkuasa (will to power=bahasa populernya syahwat kekuasaan), hasrat untuk mencari dan
9

memberi makna pada hidup (will to significance). Orientasi nilai proses telah diperpendek
oleh materialisme, uang, kenikmatan, kekuasaan sehingga hasrat yang ketiga untuk makna
nyaris tidak diberi ruang untuk hidup.
Penting sekali untuk mampu mengendalikan hasrat. Pengalaman Bung Hatta menemukan
pentingnya rasionalitas budi sebagai pengendali ketika mengalami koyak dan keadaan parah
di pembuangan Boven Digul sehingga tertulislah Alam Pikiran Yunani untuk mas kawin
Rahmi Hatta, ya untuk bangsa Indonesia agar kedaulatan budi dan daulat diri
menyelesaikan mentalitas Inlander koeli dan budak.
Hasrat untuk konsumsi terus inilah yang dipacu oleh konsumerisme. Bangsa produktif abad
7-9 dengan Borobudur, budhisme Sriwijaya yang menyumbang produktif kreatif untuk Tibet,
untuk Ayyuttaya Thailand, Cambodia dengan Lingga-Yoni di Ankor Watt kini nyaris
melenyap. Dan, kita jadi pasar konsumsi mulai dari makanan, sandang, elektronik bahkan
musik-musik hiburan.

MUDJI SUTRISNO SJ
Budayawan

10

Bung Karno, NU, dan Kokohnya NKRI


Koran SINDO
6 Juni 2015

Ketika memberikan sambutan pada Muktamar Ke-23 Nahdlatul Ulama, 28 Desember 1952 di
Solo, Jawa Tengah, Presiden Sukarno (Bung Karno/BK) menyatakan: Saya cinta sekali
kepada Nahdlatul Ulama (NU). Dan BK menyatakan sangat gelisah jika ada yang
mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU.
Mengapa BK begitu cinta dan dekat dengan NU? Menurut BK, karena antara NU dan dirinya
memiliki kesamaan visi, ideologi dan cita-cita yang fundamental. Menurut BK, NU adalah
organisasi keagamaan yang terbuka dan dinamis. Di dalamnya ada berbagai pendapat yang
berkembang dan terus dilestarikan, sehingga NU memperkokoh fakta dan kultur kebinekaan
masyarakat.
Kedua, sebagaimana BK, NU juga organisasi keagamaan yang berwatak nasionalis. Menurut
BK, NU ikut dalam revolusi kemerdekaan. NU ikut berkorban, berjuang, membanting tulang
dan mengucurkan darah untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankannya
dan mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sementara, ada organisasi lain
yang tidak membantu terbentuknya negara Indonesia yang kuat, tapi justru menggerogotinya.
Ketiga, menurut BK, NU adalah organisasi yang bervisi sosialis, yaitu suatu visi yang
menentang sistem yang menghisap manusia kepada manusia lain. Bahkan BK menilai, dalam
pandangan NU, sosialisme merupakan cita-cita sejati dari ajaran Islam.
***
BK dan NU memang ibarat dua sisi mata uang. NU berangkat dari pemikiran dan tradisi
keagamaannya yang terbuka dan dinamis, secara terus-menerus memperkokoh bangunan
negara-bangsa melalui pribumisasi Islam; di mana Islam diposisikan sebagai etika sosial yang
memberi warna dan makna pada budaya masyarakat yang ada, yang pada akhirnya menjadi
kokohlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang majemuk dari segi agama,
keyakinan dan budaya.
Sementara BK, berangkat dari nasionalisme dan mimpi revolusinya, bersama masyarakat
yang disebut marhaen atau abangan dalam terminologi Clifford Geertz, secara terusmenerus berusaha memperkuat NKRI menjadi negara yang berdaulat secara politik, mandiri
secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

11

Jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat santri yang menjadi cikal bakal NU dan
masyarakat marhaen-abangan sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat selama berabadabad. Masyarakat santri atau Islam tradisional berkembang bersama dan menyatu dengan
kultur masyarakat marhaen-abangan yang sudah ada.
Kultur masyarakat yang ada sendiri menjadi semakin kuat dan bermakna karena ada suntikan
nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin. Hubungan saling menguatkan ini pada akhirnya
membentuk Islam Nusantara yang kokoh yang mampu bertahan dari gempuran nilai-nilai
Barat yang dibawa kaum penjajah, serangan kaum Islam puritan, atau terjangan nilai-nilai
modern yang dibawa globalisasi, sampai saat ini.
Bersatunya kaum tradisionalis Islam dan masyarakat marhaen-abangan merupakan fondasi
paling kokoh atas peradaban Nusantara dan tegaknya NKRI sampai saat ini. Kedekatan kaum
tradisionalis Islam dengan masyarakat marhaen-abangan bukanlah koalisi karena kebutuhan
sementara (marriage of inconvenience), bukan juga sekadar hidup berdampingan secara
damai (peaceful coexistence), tetapi menyatu dalam berbagai manifestasi kebudayaan, di
mana keduanya saling mengisi, memberi dan menerima (take and give) dan pada akhirnya
saling menguatkan.
Itulah genealogi historis-ideologi yang bisa menjelaskan kedekatan antara Islam tradisional
dan masyarakat marhaen-abangan, yang kemudian dibuktikan juga dengan kedekatan kiaikiai NU dengan BK. Simak misalnya ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara pada
Sidang BPUPKI tahun 1945. BK dan NU bisa dikatakan dalam posisi yang sama, setidaknya
NU-lah yang selalu menjembatani perdebatan antara BK dengan kelompok yang menentang
pemikiran-pemikirannya.
Suatu ketika pernah Presiden Sukarno bertanya kepada Kiai Wahab Chasbullah, salah seorang
pendiri NU: Pak Kiai, apakah nasionalisme itu termasuk ajaran Islam?. Kiai Wahab
menjawab, Nasionalisme ditambah bismillaah itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan
dengan benar pasti umat Islam akan nasionalis.
Kemudian, pada 21-22 Oktober 1945, untuk merespons mendaratnya pasukan Sekutu di
Surabaya dan beberapa pelabuhan lain di Indonesia, ulama NU berkumpul di Surabaya untuk
membicarakan langkah-langkah yang diperlukan. Dalam pertemuan itu, hal paling penting
yang dibahas adalah status hukum NKRI berdasarkan Pancasila yang diproklamasikan
Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
Setelah melalui pembahasan selama dua hari, akhirnya diputuskan bahwa NKRI berdasarkan
Pancasila adalah sah secara fikih. Karena itu, umat Islam wajib mempertahankan
kemerdekaan dan mengusir tentara sekutu. Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan
hukumnya fardu ain bagi mereka yang tinggal dalam radius 90 km dari keberadaan tentara
sekutu.

12

Keputusan NU yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad itu sangat melegakan BK
sebagai presiden yang baru di negara yang juga baru berdiri. Ini sekaligus membuktikan
bahwa visi nasionalisme NU sangat kuat dan nyata, seperti diakui oleh BK sendiri.
Puncaknya, ketika terjadi pemberontakan terhadap NKRI yang dilakukan oleh golongan
Islam modernis, terjadi pembangkangan terhadap kepemimpinan BK, maka NU berada di
garis depan memberi jaminan kepada BK bahwa semua gerakan yang melawan
pemerintahan yang sah adalah makar (bughat). Karena statusnya menurut hukum agama
(fikih) adalah makar, maka pemerintah wajib menumpas. Bahkan, NU kemudian memberi
gelar kepada BK sebagai penguasa sementara dengan kekuasaan penuh (waliyyul amri addharuri bis-syaukah), sebagai legitimasi kepada BK selaku kepala negara yang sah dan, oleh
karenanya, ipso facto harus dipatuhi dan ditaati oleh semua golongan, termasuk umat Islam.
Begitu dekat dan cintanya kepada NU, sampai BK saat memberikan sambutan pada
Muktamar Ke-23 NU di Solo tersebut menyatakan: Meski harus merayap, saya akan datang
ke Muktamar ini. Agar orang tidak meragukan kecintaan dan kedekatan saya dengan NU.
***
Telah puluhan tahun NU-marhaen bersatu dalam jiwa dan berbagai manifestasi budaya.
Orang seperti BK dianggap sebagai pemimpin bagi warga NU. Sementara para tokoh dan
ulama NU juga dianggap sebagai pengayom oleh kaum marhaen. Persatuan keduanya telah
menjadi inti kekuatan Nusantara di masa lalu dan NKRI di masa kini.
Meminjam kalimat Snouck Hurgronje, Islam tradisional dan kaum marhaen di Indonesia
yang kelihatannya demikian statis dan demikian kuat terbelenggu oleh pikiran-pikiran masa
lalu, sebenarnya telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental. Tetapi
perubahan-perubahan tersebut demikian bertahap-tahap, demikian rumit dan demikian dalam
tersimpan. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal dengan pola pikiran
Nusantara, maka perubahan-perubahan tersebut tidak akan bisa terlihat, walaupun sebenarnya
terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara seksama .
Selamat memperingati hari lahir BK, 6 Juni 1901-6 Juni 2015.

M HANIF DHAKIRI
Aktivis NU; Menteri Ketenagakerjaan RI

13

KPK dan PSSI di Era Revolusi Mental


Koran SINDO
8 Juni 2015

KPK dan PSSI jelas sebuah organisasi berbeda karena KPK adalah sebuah lembaga negara
independen (state auxiliary body) dan PSSI, meskipun sebuah lembaga independen, jelas
bukan sebuah lembaga negara.
Meskipun keduanya berbeda dalam karakter dan hakikat kedudukannya sebagai sebuah
organisasi, mereka nyaris mengalami nasib serupa. KPK mengalami nasib tragis karena
meskipun janji kampanye pasangan capres Jokowi-JK akan memperkuat KPK untuk
mengefektifkan pemberantasan korupsi dalam 100 hari kerja masa kepemimpinan mereka,
yang terjadi justru sebaliknya.
Beberapa pimpinan KPK mengalami kriminalisasi sistematis dan kini lembaga anti-rasuah itu
harus menanggung beban sejarah sendirian tanpa dukungan yang berarti dari sang pemimpin
negeri ini, Jokowi-JK, yang belum genap enam bulan kepemimpinannya. Tak satu kali pun
sang pemimpin negeri ini berucap untuk memberikan dukungan terhadap KPK. Bahkan di
saat terjadi gesekan antara KPK-Polri beberapa saat yang lalu, pemimpin negeri ini justru
ingin memperlihatkan diri berada pada posisinetral, jika tak ingin dikatakan tak ingin ikut
campur.
Akibatnya, terjadilah beberapa efek blunder ketika beberapa pimpinan dan penyidik KPK
dikriminalisasi yang berujung dua pimpinannya, AS dan BW terpaksa harus berhenti
memimpin KPK karena di pundaknya disematkan status tersangka atas beberapa tuduhan
tindak pidana yang di masa lalu disangkakan telah mereka lakukan.
Sebuah pertarungan tak seimbang dan kini sebagai efek bola salju dari berbagai peristiwa
yang menimpa lembaga anti-rasuah yang notabene merupakan anak kandung Reformasi
Mahasiswa 1998 itu menyebabkan KPK berada di titik kritis eksistensial. Di era yang
dicanangkan oleh sang pemimpin sebagai revolusi mental, KPK justru nyaris terjungkal.
***
PSSI menghadapi kondisi yang kurang lebih sama dengan yang dialami KPK, bahkan lebih
tragis kondisinya karena sejak 29 Mei 2015 yang lalu telah mengalami sanksi suspend dari
FIFA akibat FIFA memandang adanya over intervention atau campur tangan yang eksesif
yang dilakukan negara akibat SK Menpora yang tak mengakui kepengurusan baru PSSI
terpilih, sesuatu yang sangat ditentang oleh Statuta FIFA. Kini, berbagai laga sepakbola

14

Tanah Air mengalami kondisi sekarat dan FIFA tak lagi memperhitungkan federasi sepak bola
Indonesia.
Politik anti-korupsi dan politik bola telah menjadikan kondisi pemberantasan korupsi dan
laga sepak bola di Tanah Air kian karut-marut. Tak sedikit pun terlihat sikap prihatin maupun
penyesalan dari para pemimpin eksekutif di negeri ini atas situasi ini.
Jika pada PSSI sangat kentara campur tangan negara dengan mengeluarkan SK pembekuan
kepengurusan, terhadap KPK justru negara terkesan melakukan intervensi tak langsung
dengan sikap abai untuk memperlihatkan keberpihakannya terhadap sang cicak lembaga
anti-rasuah tersebut. Padahal, di masa lalu lebih dari 20 (dua puluh) kali UU KPK diuji
materi di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh jaringan koruptor dengan maksud untuk
mematikan KPK secara struktural, tetapi MK selalu menempatkan diri sebagai benteng
konstitusi bagi eksistensi lembaga anti-rasuah itu.
Kini, lemahnya kepemimpinan nasional dalam memberikan dukungan terhadap KPK telah
menyebabkan KPK kian terpuruk. Secara politis, KPK harus berjuang sendirian menghadapi
perlawanan balik mafia korupsi dan secara hukum KPK dengan sumber daya yang terbatas
harus selalu disibukkan untuk menghadapi gelombang praperadilan yang kini telah menjadi
bola liar dalam gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini.
***
Pemerintah tak boleh melupakan sejarah bahwa lahirnya dan eksistensi KPK merupakan
faktor yang sangat penting dan berpengaruh terhadap upaya membangun kepercayaan dunia
internasional.Kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia sangat ditopang
kemampuan negeri ini memerangi korupsi melalui peran lembaga pemberantasan korupsi
yang bekerja secara efektif dan dapat dipercaya.
Posisi sang presiden yang bukan merupakan king maker dalam tubuh partai politik yang dulu
menjadi pintu masuk pencalonannya di era pilpres seharusnya tak boleh menjadi kendala bagi
sang pemimpin tersebut dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada
suara rakyat.
Perlu diingat bahwa dukungan terhadap terpilihnya presiden justru lebih banyak diperoleh
dari suara publik baik dari lintas partai maupun non-partisan. Maka, sungguh mencederai
suara dan kepercayaan rakyat jika sang pemimpin tak lagi mempertimbangkan nurani publik
dan justru hanya disibukkan menghadapi tekanan kepentingan (para elite) partai-partai
pendukungnya daripada mendengarkan suara rakyat yang jauh lebih banyak.
Pemimpin negeri ini tak boleh melalui pentingnya bahasa dalam perpolitikan. Filsuf Bertrand
Russel pernah menunjukkan kemutlakan kondisi tata hidup manusia yang tak mungkin
dibayangkan tanpa bahasa. Bahkan, seorang Konfusius pernah mengatakan bahwa
keteraturan (order) bersama berasal pertama-tama dari bahasa. Oleh karena itulah pentingnya
15

para elite pemimpin negeri ini menggunakan bahasa sebagai sarana diskursus yang santun
dan menghindari penggunaan bahasa yang kontroversial.
Absennya dukungan pemimpin negeri ini terhadap KPK melalui bahasa dalam mendukung
langkah-langkah pemberantasan korupsi yang selama ini secara efektif telah dijalankan KPK
dengan baik dan memberikan dukungan terhadap PSSI untuk membenahi dunia
persebakbolaan tanah air untuk bisa berlaga di kontes internasional telah menjadikan kedua
lembaga itu kian mati suri.
***
Jika dalam soal kedaulatan pangan kini telah mewabah beras imitasi alias beras plastik,
semestinya juga perlu diwaspadai tampilnya para pejuang anti-korupsi sintetis alias palsu
yang bisa menyerobot berbagai ranah kebijakan untuk kian menjadikan pemberantasan
korupsi kian tak efektif. Sejak dari saat pemilihan Pansel KPK hingga ranah legislasi UU
Anti-korupsi (baik substansi maupun institusi) sangat mungkin dijarah oleh para pejuang
anti-korupsi sintetis. Hal serupa juga akan dialami persepakbolaan Tanah Air jika upaya
reformasi persepakbolaan Tanah Air tak dikelola pihak-pihak yang sungguh-sungguh
menguasai manajemen sepak bola secara profesional.
Berbagai pernyataan yang tak dengan tulus mendukung KPK maupun PSSI ibarat politik
bahasa yang justru melemahkan kedua institusi itu. Bahasa bukanlah alat yang netral karena
bahasa memiliki kekuatan untuk mengubah, menghancurkan maupun membangun. Bahasa
adalah horizon yang ibarat dunia menjadi batas pemandangan, pemahaman, dan pengertian
bagi manusia. Filsuf Wittgenstein bahkan mengatakan bahwa bahasa adalah cermin realitas.
Ketidakjelasan politik bahasa pemimpin negeri ini dalam soal pemberantasan korupsi
maupun persepakbolaan Tanah Air sebenarnya menjadi cermin realitas dari tak tulusnya para
elite negeri ini dalam mendorong langkah-langkah pemberantasan korupsi yang notabene
telah menjadi gerakan semesta dan kelanjutan Reformasi Mahasiswa 1998 serta di ranah
persepakbolaan telah menggiring bola di kancah politik transaksional.

DR W RIAWAN TJANDRA, SH, MHum


Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

16

Reformasi Jaminan Sosial ASN


Koran SINDO
9 Juni 2015

Reformasi kepegawaian negara telah diletakkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (ASN).
Berbagai perubahan secara menyeluruh telah diatur untuk menghasilkan pegawai ASN yang
profesional, berintegritas, dan melayani masyarakat. Salah satu perubahan pokok yang
diletakkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 adalah memperbaiki sistem penggajian dan sistem
jaminan sosial pegawai ASN.
Sebagai salah satu pilar reformasi kepegawaian negara, perbaikan jaminan sosial pegawai
ASN akan memainkan peranan yang penting untuk mendukung profesionalisme birokrasi.
Tulisan ini akan mengupas pemikiran dasar reformasi jaminan sosial ASN dan dalam
kaitannya dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Faktor Pemacu Produktivitas
Ada banyak faktor yang memengaruhi profesionalisme pegawai aparatur sipil negara (baik
PNS maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja/PPPK). Berbagai faktor ini saling
berkelindan dan berkait.
Sering kali dikatakan bahwa faktor penyebab rendahnya profesionalisme PNS adalah
rendahnya gaji sehingga para pegawai berusaha untuk mendapatkan penghasilan tambahan
melalui pekerjaan yang dilakukannya. Kondisi ini tidak saja menyebabkan rendahnya
produktivitas, tetapi juga kerusakan moral para sebagian PNS untuk melakukan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Belum lagi jaminan sosial hari tua seperti dana pensiun yang sangat
kecil dan jaminan kesehatan yang sangat rendah diakui menjadi salah satu sumber penyebab
rendahnya profesionalisme PNS.
Meskipun gaji dan jaminan sosial bukan merupakan satu-satunya faktor dalam membentuk
profesionalisme PNS, ini dapat disebut sebagai faktor pemacu (enabler factor) dalam
reformasi aparatur sipil negara secara keseluruhan. Tentu saja faktor-faktor lain seperti
perbaikan proses seleksi CPNS, promosi jabatan yang kompetitif, penerapan manajemen
kinerja individu, dan sistem pengembangan pegawai menjadi kunci keberhasilan reformasi
ASN.
Faktanya, gaji dan jaminan sosial ASN selama ini masih belum mendapatkan perhatian yang
baik oleh pemerintah, bahkan seringkali dianggap semata-mata akan membebani keuangan
17

negara. UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN menempatkan pegawai ASN (PNS dan PPPK)
sebagai aset negara, bukan sebagai beban negara.
Ada sejumlah perubahan dasar yang dianut dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dalam
kaitannya dengan sistem penggajian dan jaminan sosial pegawai ASN. Pertama, gaji pegawai
ASN akan diberikan berdasarkan pada beban kerja, risiko pekerjaan, tanggung jawab jabatan,
dan capaian kinerja yang disepakati. Sistem ini sejatinya merombak total sistem penggajian
PNS dalam Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PGPS) yang berbasis kepada kepangkatan,
masa kerja, dan eselonisasi jabatan.
PGPS dalam praktiknya tidak memacu produktivitas PNS karena tidak berdasarkan pada
bobot jabatan maupun kinerja yang dicapai oleh PNS. Bahkan PGPS sering kali
menimbulkan kecemburuan baik secara horizontal antarsatu jabatan dalam level yang sama
maupun secara vertikal antarlevel jabatan yang berbeda. Sistem yang baru akan menciptakan
keadilan internal dan mendorong keadilan eksternal.
Kedua, jaminan sosial ASN akan diberikan untuk mencapai dua tujuan utama yaitu menjamin
produktivitas pegawai ASN semasa aktif menjabat dan menjalankan tugas pelayanan,
pembangunan, dan pemerintahan; tetapi juga sebagai hak, penghargaan, dan perlindungan
jaminan penghasilan pada saat tidak lagi menjadi pegawai ASN atau sudah pensiun.
Dalam praktik selama ini, para PNS seringkali mengalami kegamangan dan kekhawatiran
menjelang batas usia pensiun (BUP) karena rendahnya jaminan sosial yang akan diperoleh
setelah pensiun. Hal ini menyebabkan perilaku menyimpang, berupa praktik-praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme dalam rangka mempersiapkan sendiri jaminan hari tuanya. Karena
itulah, UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN memberikan beberapa jaminan sosial bagi PNS
maupun PPPK dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja.
SJSN untuk ASN
Dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN disebutkan bahwa PNS mendapatkan jaminan
sosial berupa Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Kesehatan (Jamkes). Jaminan yang sama juga
akan diberikan kepada Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, kecuali Jaminan
Pensiun karena akan diatur dan dikelola sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Persoalan yang harus didiskusikan pemangku kepentingan terkait dengan jaminan sosial
untuk Aparatur Sipil Negara adalah apakah jaminan ini akan diatur dan dilaksanakan secara
tersendiri atau apakah akan secara penuh mengikuti ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 2014
tentang SJSN dan dilaksanakan oleh Badan Pengelolaan Jaminan Sosial (BPJS) menurut UU
No. 24 Tahun 2011.

18

Persoalan ini menjadi salah satu materi penting dalam Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Jaminan Sosial ASN yang saat ini sedang dibahas. Sebagai titik tolak pembahasan
tentunya adalah norma dasar yang ada di dalam tiga UU dimaksud. Sebagai anggota tim yang
ikut membahas UU No. 5 Tahun 2014, penulis memiliki beberapa catatan tentang Jaminan
Sosial bagi ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 91 (4), Pasal 92 (6), dan Pasal 106.
Meskipun jaminan sosial untuk ASN akan diberikan dalam rangka melaksanakan Sistem
Jaminan Sosial Nasional, pengaturan detilnya akan diatur tersendiri dalam Peraturan
Pemerintah mengenai Sistem Jaminan Sosial ASN. Ada beberapa pertimbangan filosofis,
yuridis, dan sosiologis yang melatarbelakangi pengaturan tersendiri jaminan sosial bagi ASN.
Secara filosofis, pegawai ASN (PNS dan PPPK) adalah pejabat publik yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan melaksanakan tujuan konstitusional. Dengan kewenangan
publik yang dimilikinya, pegawai ASN memberikan pelayanan publik dan atas dasar itu juga
memiliki privilese publik. Secara filosofis nature of job pegawai ASN juga berbeda dengan
profesi pekerjaan lainnya. Di dalam pekerjaan ASN terkandung tanggung jawab jabatan dan
risiko jabatan yang harus ditanggungnya kelak.
Sedangkan secara sosiologis, sejarah institusi pengelolaan jaminan sosial ASN di Indonesia
akan diatur dan dikelola secara terpisah dengan jaminan sosial bagi swasta dan masyarakat
pada umumnya. Dalam praktik internasional, pengaturan dan pengelolaan jaminan sosial
pegawai negeri di banyak negara memang terdapat dua corak.
Pertama, negara-negara yang memisahkan pengaturan dan pengelolaan jaminan sosial untuk
masyarakat umum dan jaminan sosial untuk ASN (seperti Jerman, Australia, Belgia,
Finlandia, dan Korea); dan kedua, kelompok negara-negara yang menyatukan pengaturan dan
pengelolaan jaminan sosial untuk masyarakat umum dan jaminan sosial pegawai untuk ASN
(seperti Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Spanyol, dan Inggris).
Kedua corak ini tentu memiliki akar sejarah, mandat konstitusi, persoalan dasar, sistem
hukum dan sistem sosial yang berbeda-beda. Negara seperti Jerman misalnya memiliki
sejarah sosialisme yang berakar dan birokrasi yang mapan atas dasar rechtsstaat (negara
hukum); perkembangan jaminan sosial yang kuat, sehingga memisahkan jaminan sosial
pegawai negeri dengan swasta dan masyarakat umum. Sistem jaminan sosial sudah lama
terbentuk dan mapan.
Sedangkan Amerika Serikat memiliki tradisi liberalisme yang kuat dan paham individualisme
sehingga memiliki argumentasi yang kuat untuk menggabungkan pengaturan dan pengelolaan
jaminan sosial pegawai negeri dengan masyarakat dan swasta. Beberapa negara memisahkan
atau menggabungkan jaminan sosial untuk pegawai negeri dan masyarakat umum hanya
berdasarkan alasan kepraktisan dalam pengelolaannya.
Bagaimana untuk Indonesia? Penulis sendiri cenderung untuk memberikan beberapa dasar
pemikiran sebagai berikut: Pertama, sejarah birokrasi di Indonesia lebih mengikuti tradisi
19

Eropa kontinental dengan pendekatan rechsstaat. Kedua, harus diakui bahwa sistem di sektor
publik dan sektor swasta di Indonesia masih belum memiliki level kemajuan yang sama.
Ketiga, pada prinsipnya pengelolaan APBN/APBP tidaklah serta-merta dengan mudah
digabungkan dengan swasta. Keempat, pengabdian dan dedikasi para pegawai ASN yang
menjalankan tugas dan kewenangan publik perlu juga mendapatkan perhatian.
Meski demikian, tentu argumentasi yang lain juga bisa memberikan legitimasi atas pilihan
pemerintah. Pemerintah juga bisa memilih untuk memisahkan atau menggabungkan sistem
jaminan sosial pegawai ASN dan masyarakat umum atas dasar kepraktisan dalam
pelaksanaannya dengan melihat sejarah institusi pengelolaan sistem jaminan sosial untuk
PNS. Semoga.

EKO PRASOJO
Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia

20

Presiden Ibarat Presenter Berita


Koran SINDO
9 Juni 2015

Sudah lebih dari satu pekan sejak terjadi kesalahan pidato Presiden Jokowi soal kota
kelahiran Presiden Soekarno. Namun, hingga tulisan ini dibuat, polemik tentang itu masih
berlanjut, terutama di media sosial. Permohonan maaf Sukardi Rinakit selaku penulis teks
pidato Presiden tidak serta-merta menyurutkan polemik.
Awalnya saya tidak berniat untuk membahas soal ini. Namun, saya menjadi tertarik untuk
menulis karena sedikit-banyak peristiwa ini mengingatkan pada pengalaman saya sebagai
seorang jurnalis di media televisi nasional selama belasan tahun.
Menurut saya, dalam pidato, seorang pejabat negara tak ubahnya presenter berita yakni
(seharusnya) tidak boleh salah karena kesalahan satu kata saja dapat berakibat fatal. Tentu
saja, kesalahan seorang Presiden akan memiliki magnitude yang lebih besar. Presenter berita
yang saya bahas dalam tulisan ini adalah mereka yang murni bertugas sebagai presenter.
Bukan mereka yang juga merangkap menjadi produser program dan sebagainya.
Dalam dunia televisi, apa yang tampil di layar akan sangat menentukan kredibilitas sebuah
tayangan. Untuk sebuah program berita, kesalahan pencantuman/penyebutan nama atau
jabatan seseorang yang diwawancara, baik itu kesalahan teknis (tertukar dengan narasumber
lain) maupun non-teknis (salah informasi nama/jabatan), dapat berakibat fatal.
Ada tiga jenis kesalahan yang dapat terjadi. Pertama, slip of the tongue atau kita biasa
menyebutnya keseleo lidah. Ini kesalahan yang paling umum terjadi dan kadar
kesalahannya paling ringan (selama kata-kata yang salah sebut masih dalam batas yang
wajar). Kedua, kesalahan dalam penyebutan istilah atau singkatan dalam bahasa asing.
Ketiga, kesalahan data. Kesalahan ini kadarnya adalah yang paling berat. Seandainya
penyebutan kota kelahiran Presiden Soekarno di Blitar tersebut keluar dari mulut seorang
presenter berita, itu adalah kesalahan fatal karena masuk ke dalam kategori kesalahan akibat
data yang tidak akurat.
***
Naskah yang dibaca oleh seorang presenter sudah melalui proses editing, baik itu oleh
produser segmen, asisten produser, produser program, maupun oleh si presenter itu sendiri
(sebelum on air). Namun, human error bisa saja terjadi. Kadang ada kesalahan fatal yang
baru disadari oleh si presenter saat on air.
21

Karena itu, seorang presenter memiliki peran penting dalam sebuah program berita, apalagi
kalau program tersebut ditayangkan secara live. Presenter dituntut agar mampu berfungsi
sebagai editor terakhir. Seorang presenter harus bisa memfilter agar tidak terjadi kesalahan.
Jika kesalahan telanjur terjadi, koreksi seharusnya dilakukan saat itu juga, seketika setelah
terjadi kesalahan. Hal itu hanya dapat dilakukan apabila yang bersangkutan mengetahui
dengan pasti fakta yang sebenarnya.
Kalau seorang presenter dapat melakukan hal tersebut, yang bersangkutan akan mendapat
credit dari pemirsa dan tim redaksi karena dianggap sudah menyelamatkan kredibilitas
tayangan. Sebaliknya, kalau kesalahan fatal dibiarkan berlalu begitu saja, si presenter
berpotensi di-bully pemirsa karena dianggap tidak cerdas dan tidak memahami yang
dibacanya.
Ada dua kemungkinan ketika seorang presenter tidak langsung meralat kesalahan: Pertama,
yang bersangkutan tidak paham fakta/data yang sebenarnya (sehingga tidak mengetahui ada
kesalahan). Kedua, yang bersangkutan tahu, namun tidak menyadari telah terjadi kesalahan
pada naskah yang dibacanya. Apa pun alasannya, keduanya akan berdampak sama yakni:
berpotensi mengurangi kredibilitas si presenter dan program berita itu sendiri.
***
Kalau seorang presenter harus bertanggung jawab atas naskah yang dibawakannya,
bagaimana dengan seorang pejabat negara, dalam hal ini seorang Presiden? Padahal, dari sisi
naskah yang dibacakan, ada perbedaan mendasar antara naskah berita seorang presenter dan
naskah pidato seorang pejabat negara.
Ketika membawakan berita, seorang presenter menjadi ujung tombak dari tim redaksi dan
berfungsi sebagai pembawa pesan dari redaksi pemberitaan. Dengan kata lain, apa yang
dibaca seorang presenter adalah hasil pemikiran dari produser atau orang-orang di belakang
layar. Sedangkan ketika seorang pejabat negara berpidato, (seharusnya) ia sedang
menyampaikan pemikiran-pemikirannya sendiri dan bukan sedang menyampaikan pesan
yang ingin disampaikan oleh orang lain (si pembuat naskah). Di situlah bedanya pejabat
negara yang berpidato dengan seorang presenter.
Namun, keduanya memiliki persamaan yakni mereka adalah editor terakhir. Apabila terjadi
kesalahan fatal, seorang presenter dan seorang pejabat negara tidak bisa berdalih dan
mengatakan: Saya hanya membacakan apa yang tertulis. Kesalahan seharusnya langsung
diralat on the spot oleh yang bersangkutan. Jika seorang presenter yang notabene adalah
seorang penyampai pesan, harus meralat dan meminta maaf atas kesalahan naskah dari
sebuah berita yang disampaikannya, apalagi seorang pejabat negara yang berpidato dan
menyampaikan pemikirannya sendiri.
Soal pertanggungjawaban, seharusnya murni ada pada pejabat negara tersebut. Dalam kasus
pidato Presiden Jokowi, tidaklah tepat apabila kesalahan dan tanggung jawab diambil alih
22

oleh pembuat teks pidato. Seharusnya seorang pembuat teks pidato hanya menulis dan
menjabarkan apa yang menjadi pemikiran dasar seorang pejabat negara yang akan berpidato.
Naskah pidato dibuat semata-mata sebagai alat bantu agar seorang pejabat negara dapat
menyampaikan pidatonya secara lebih terstruktur dan kontekstual.
Dalam keterangannya kepada media, Sukardi Rinakit menjelaskan bahwa sesungguhnya
Presiden Jokowi sempat ragu soal kota kelahiran Presiden Soekarno dan menyebutkan di
Surabaya. Namun, Presiden menerima keterangan sang pembuat naskah yang mengatakan
bahwa kota kelahiran Presiden RI pertama tersebut adalah di Blitar. Dari keterangan Sukardi
Rinakit tersebut tertangkap kesan bahwa diskusi soal materi pidato hanya terjadi antara (tim)
penulis naskah dan Presiden.
Padahal, seharusnya ada pihak ketiga yang dilibatkan yakni tim editor naskah. Kalau naskah
berita TV saja dapat melalui beberapa tahap editing (apabila diperlukan), mengapa untuk
naskah pidato seorang Presiden seolah-olah prosedurnya amat sederhana? Selayaknya, untuk
naskah sepenting pidato Presiden, ada tim khusus yang terdiri atas para pakar di berbagai
bidang yang bertugas mengedit/supervisi naskah.
Publik tidak akan mau tahu siapa yang menulis naskah pidato. Mereka akan beranggapan
bahwa seseorang yang berpidato sedang menyampaikan pemikirannya sendiri (dan
seharusnya memang demikian adanya). Sehingga, orang yang berpidato harus bertanggung
jawab penuh atas apa yang disampaikannya. Karena itu, jika ada data yang kurang valid
sehingga meragukan, harus dicari terlebih dahulu fakta yang sebenarnya. Jika masih juga
meragukan, sebaiknya tidak dicantumkan sama sekali (asalkan tidak mengurangi substansi).
Setelah melalui proses editing yang ketat dan melibatkan banyak pakar, seharusnya kesalahan
materi pidato Presiden dapat dieliminasi sedemikian rupa. Jika upaya untuk mencegah
kesalahan sudah sedemikian maksimal, filter dan pertanggungjawaban akhir ada di tangan
Presiden sendiri. Meski Presiden adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, mari
kita berharap kejadian serupa tak lagi terjadi pada masa yang akan datang.

YASMIN MUNTAZ
Praktisi dan Pengamat Media

23

Keamanan Pangan
Koran SINDO
10 Juni 2015

Isu tentang beras plastik yang kemudian ternyata tidak terbukti mengingatkan kita kembali
tentang pentingnya menjaga keamanan pangan (food safety).
Kita sama mengetahui bahwa mengonsumsi pangan yang tidak sehat atau tidak aman dapat
menimbulkan penyakit seperti terjadi keracunan pangan yang mengakibatkan berbagai
penyakit di antaranya diare, gangguan lambung, dan bahkan meningitis dan hepatitis A.
Gangguan kesehatan ini terjadi akibat terabaikannya berbagai faktor keamanan pangan, juga
kontaminasi silang bahan pangan dengan bahan lainnya yang berbahaya. Hal ini terjadi
karena makanan tercemar dapat mengandung bakteri, virus, parasit, atau bahan kimia yang
berbahaya.
Makanan tidak aman ternyata dapat berhubungan dengan terjadi lebih dari 200 jenis penyakit
mulai dari diare hingga kanker. WHO memperkirakan bahwa di seluruh dunia ada sekitar dua
juta korban meninggal setiap tahunnya akibat makanan dan minuman yang tidak aman,
korban utamanya adalah anak-anak. Sekitar 1,5 juta anak meninggal di dunia setiap tahunnya.
Sebagian besarnya karena makanan yang kotor dan tercemar.
Kalau cemarannya adalah logam berat dan toksin tertentu, dampak buruknya dapat berjangka
panjang dan menimbulkan kanker serta gangguan neurologis. Mereka yang paling rentan
pada keracunan makanan ini adalah yang rendah daya tahan tubuhnya yaitu bayi, ibu hamil,
mereka yang sedang sakit, dan lansia.
Di Indonesia setiap tahun terjadi sekitar 200 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di
Indonesia. KLB paling sering terjadi disebabkan oleh pangan jasa boga, sisanya karena
pangan olahan, pangan jajanan, dan sebab lain.
Lima Hal Penting
Secara umum terdapat lima faktor yang menjadi lingkup keamanan pangan yaitu bersih, tidak
mengandung unsur kimia, tidak mengandung unsur fisika, sesuai dengan agama, dan sesuai
dengan budaya setempat. Secara spesifik, standar keamanan pangan itu meliputi kemampuan
dan wawasan seseorang dalam mengolah makanan. Harus dilihat juga lima hal yang harus
dijaga kebersihannya yaitu ruangan yang dipakai untuk memasak, bahan makanan, alat
memasak dan alat makan, cara memasak, serta bentuk penyajian makanan.

24

Dari sisi lain, keamanan pangan sendiri berkaitan dengan lima faktor. Pertama, tempat
pengelolaan makanan yang tidak memenuhi syarat higienitas dan sanitasi. Kedua, peralatan
yang digunakan tidak aman untuk kesehatan dan tidak higienis. Ketiga, bahan pangan tidak
aman dan/atau menggunakan bahan berbahaya. Keempat, cara pengolahan makanan dan
memasak. Kelima, para pengolah makanan yang tidak menerapkan perilaku hidup bersih
sehat.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan 5 Kunci Menuju Pangan yang Aman, baik
bagi penyedia bahan pangan maupun konsumen itu sendiri. Pertama, menjaga kebersihan diri,
terutama tangan. Pastikan Anda mencuci tangan dengan baik dan benar sebelum menyentuh
makanan. Saat mengolah makanan, ada baiknya menggunakan sarung tangan dan celemek
untuk menghindari kontaminasi makanan mentah dan makanan matang. Jangan gunakan
sarung tangan yang sama ketika menangani bahan makanan yang berbeda. Kebersihan area
dapur, dan peralatan masak juga perlu diperhatikan.
Kedua, keharusan memisahkan pangan mentah dari pangan matang. Apabila tidak, makanan
akan mudah terkontaminasi. Sebaiknya menggunakan peralatan tersendiri bagi persiapan
setiap jenis produk makanan. Misal menyiapkan dua talenan berbeda untuk makanan mentah
dan siap saji.
Ketiga, masaklah dengan benar. Langkah memasak dengan benar meliputi proses memasak,
menyimpan, mendinginkan, atau memanaskan makanan. Jaga makanan panas agar tetap
panas dan makanan dingin tetap dingin. Hindari mencampur makanan yang dipersiapkan
secara segar dengan makanan yang sedang disimpan.
Keempat, jagalah pangan pada suhu aman. Daging dan makanan laut sebaiknya disimpan
dalam suhu di bawah nol derajat Celsius. Bila disimpan dalam kulkas, bahan harus segera
dikonsumsi. Proses pembekuan juga bukan tidak mungkin akan memengaruhi kandungan
nutrisi makanan. Sayuran segar dan produk susu sebaiknya disimpan pada suhu 2 sampai 4
derajat Celsius. Jaga suhu bahan kering di antara 10 sampai 21 derajat Celsius untuk menjaga
kelembaban.
Kelima, selalu gunakan air dan bahan baku yang aman. Pastikan bahwa air yang digunakan
adalah bersih. Sementara buah dan sayur juga harus dicuci bersih. Tentu jangan memproses
bahan makanan yang sudah kedaluwarsa.
Salah satu bentuk pencemaran makanan terjadi dari alat dan bahan di sekitarnya dalam
bentuk kontaminasi silang. Kontaminasi silang bahan pangan dapat terjadi karena tiga kondisi
dan karena itu kondisi itu harus dihindari. Kondisi pertama adalah penyimpanan alat masak
yang berdekatan dengan tempat sampah atau tempat kotor lainnya, sementara kondisi kedua
adalah keadaan yang tidak memisahkan bahan pangan mentah dari pangan matang.

25

Kondisi ketiga yang dapat menyebabkan kontaminasi silang adalah penggunaan alat masak
yang tidak sesuai seperti alat masak berbahan plastik (tidak sesuai peruntukan) yang berisiko
menimbulkan perpindahan bahan kimia dari plastik ke bahan pangan.
Cemaran
Pada 2014 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian
Kesehatan RI sudah menyelesaikan Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) sehingga
sekarang kita punya data skala nasional tentang apa yang sehari-hari dikonsumsi masyarakat.
Pada 2015 ini Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan akan melakukan survei
nasional Analisa Cemaran Kimia Makanan (ACKM). Survei ini sangat penting karena akan
menunjukkan apa saja kemungkinan cemaran pada makanan masyarakat kita. Artinya,
sesudah ada hasil survei ini kelak, akan dapat dilakukan program lebih terarah untuk
menjamin keamanan pangan bangsa kita. Di seluruh dunia setiap tahun dapat terjadi sekitar
1,5 miliar gangguan kesehatan karena makanan (foodborne disease).
Keamanan pangan merupakan masalah kita bersama. Penanggulangannya meliputi kegiatan
multisektor dan multidisiplin antara lain melibatkan sektor kesehatan, perdagangan,
pertanian, pendidikan, serta organisasi konsumen dan masyarakat madani. Marilah kitadi
setiap tingkatan memberi prioritas pada keamanan pangan yang kita konsumsi setiap hari
demi kesehatan kita bersama.

PROF DR TJANDRA YOGA ADITAMA


Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian
Kesehatan RI

26

Presiden Kita Mantu


Koran SINDO
10 Juni 2015

Rakyat pilek itu soal biasa. Mungkin rumahnya bocor, mungkin kebanjiran, mungkin
kehujanan di jalan. Rakyat tak bisa memilih daerah perumahan yang lebih baik.
Pilek, rumah bocor, kebanjiran, kehujanan, semua bagian dari ciri-ciri kehidupan rakyat. Di
mana-mana rakyat tak punya pilihan. Kurang makan, kurang vitamin, kurang daya tahan
alami, dan perumahan kurang layak untuk dihuni, semua milik rakyat. Apa yang serbagelap
dan suram itu ciri hidup rakyat. Mereka tak bisa memilih yang lebih baik.
Dalam puisinya yang berjudul Kampung, Wiji Thukul berkata: Orang-orang
bergegas/rebutan sumur umum/lalu gadis-gadis umur belasan/keluar kampung menuju
pabrik/pulang petang/bermata kusut keletihan/menjalani hidup tanpa pilihan.
Rakyat pilek, flu, demam, lapar, dan kehujanan itu bukan berita. Tapi, kalau Presiden pilek,
apa lagi pilek berat dan suaranya terdengar agak sengau, itu berita besar. Kalau Presiden
sampai tak bisa melayani permintaan wawancara orang-orang media, itu berita lebih besar
lagi.
Rakyat mantu, di hari baik dan bulan baik pun bukan berita. Mantu memang urusan besar.
Biayanya besar. Kesibukannya besar. Tapi, bagi rakyat, yang biasa bersikap fleksibel, apa
yang besar itu bisa dibikin kecil. Memang bergengsi kalau bisa berpesta di gedung megah.
Tapi kalau biaya tak mencukupi, perayaan pesta di masjid pun jadi. Itu juga gedung.
Tapi, kalau di masjid masih terasa berat, pesta di rumah tak menjadi soal. Rumahnya hanya
kecil? Tidak masalah. Rumah kecil juga rumah. Rumah kecil tanpa halaman? Minta izin RT
atau RW dan lurah, untuk menutup jalan di depan rumah, sudah beres. Jalan yang ditutup itu
untuk sementara dianggap halaman. Para saudara, famili atau tetangga, sahabat atau kenalan,
jauh atau dekat, bisa datang ke rumah dan turut memberikan doa restu. Pesta pun dengan
begitu berjalan dengan baik, penuh kegembiraan, penuh berkah.
Rakyat juga bisa berpesta. Namanya pesta khas milik rakyat. Rakyat pun bisa mantu. Itu
peristiwa rutin. Hidup lalu diwarnai suasana pesta.
Kita lihat di sini mantu, di sana mantu. Di sini pesta, di sana pun pesta. Semua tanda
kehidupan rakyat yang tidak istimewa. Itu tanda keseharian hidup mereka sejak dulu hingga
sekarang ini. Juga nanti, di hari depan yang masih belum lagi pasti.

27

***
Rakyat mantu itu soal biasa. Tapi, presiden mantu, jelaslah itu peristiwa luar biasa. Keluarga
yang menjadi besan presiden jelas bangga setengah mati. Derajatnya, kewibawaannya,
gengsinya, naik secara dadakan. Mungkin keluarga itu sendiri tak pernah mengira bakal
menjadi besan presiden. Anaknya? Dia menjadi menantu presiden. Mimpi apa dia (semalam)
kok bisa-bisanya menjadi menantu presiden? Derajatnya pun naik. Wibawa dan citra
hidupnya melejit setinggi langit.
Mantu presiden...! Betapa luar biasanya. Presiden itu setara dengan raja-raja. Bahkan di
dalam suatu masyarakat di mana raja dan kerajaan tak lagi terasa relevan secara politik
maupun kebudayaan, presiden jelas lebih besar dari raja, lebih berwibawa dari raja dan lebih
penting dari raja. Besan presiden, mantu presiden, dan menjadi keluarga presiden, betapa
mulianya.
Kalau dalam acara itu sang Presiden menggunakan fasilitas negara, wibawa mereka turut
terangkat ke angkasa. Ada presiden yang berpesta di istana kepresidenan. Bahkan bisa saja
pesta itu diselenggarakan di dua istana yang berbeda. Bahkan bisa pula di beberapa istana.
Anak pertama di istana A, anak kedua di istana B, anak ketiga, keempat, dan lain-lain, di
istana yang lain lagi.
Presiden yang menggunakan aji mumpung, akan menggunakan sebesar mungkin fasilitas
negara, tak peduli bagaimana susahnya kehidupan rakyatnya. Kalau ada lima istana dan yang
bersangkutan memiliki lima anak, apa salahnya lima istana itu digunakan semua? Bukankah
fasilitas itu disediakan negara dan dibenarkan untuk dipakai semuanya? Dan, jika semuanya
dinikmati, memangnya apa salahnya? Jika pesta berlangsung seperti zaman dahulu, siapa
bakal melarang? Presiden berkuasa. Dan, dia bisa menggunakan kekuasaannya. Pesta tujuh
hari tujuh malam apa dosanya?
***
Presiden Jokowi juga akan menyelenggarakan pesta mantu. Tapi, Presiden ini tidak akan
menggunakan Istana sebagai fasilitas yang harus dinikmati untuk menyenangkan anak dan
menantu serta besannya. Apa kesenangan hanya ada di Istana? Tidak. Di rumah pun
kesenangan juga ada. Di gedung biasa, yang biasa disewa orang yang tak berpangkat, ada
pula kesenangan. Mungkin bahkan juga kebahagiaan.
Kelihatannya Jokowi ya Jokowi. Presiden atau bukan, tak terlalu dibedakan. Kita tak diberi
tahu, dan media pun diam, adakah ini tanda Presiden yang merakyat? Adakah ini tanda
kesederhanaan yang tak dipidatokan pada para pejabat bawahannya, tapi dilaksanakan
dengan baik sebagai cara hidup bersahaja?
Dan, mungkin sebaiknya Presiden Jokowi tak perlu mengatakannya. Apa gunanya kata-kata,
pidato dan pengarahan gaya lama yang tak ada juntrungannya? Bukankah lebih baik
28

dilaksanakan, dan bila ada yang meneladaninya, silakan saja menjadikannya contoh. Bagi
Presiden Jokowi mungkin ini bukan zaman pidato, bukan zaman omong besar, tapi zaman
memberi teladan nyata biarpun tanpa kata-kata.
Fasilitas negara untuk Presiden tak perlu dan tak harus dinikmati. Simpan saja di
perbendaharaan negara. Biar saja, kalau mungkin, dinikmati rakyat, dengan mekanisme apa
pun. Fasilitas negara itu asalnya dari rakyat. Jadi, baik sekali bila yang dari rakyat itu kembali
kepada rakyat. Hadiah-hadiah bagi pengantin? KPK sudah memiliki standar aturan yang
dilaksanakan dengan baik.
Presiden Jokowi tidak bermewah-mewah bukan karena minta dipuji. Tidak mewah itu sudah
merupakan ciri identitasnya. Istrinya tidak menuntut yang bukan-bukan. Lain dari istri para
presiden yang lain. Sang suami telah memberinya teladan.
Jadi, apa istimewanya presiden kita mantu dan tidak mantu? Mungkin ada bedanya. Tapi, tak
terlalu dibedakan, tak perlu diistimewakan. Presiden kita mantu, sama dengan orang lain
mantu. Presiden mantu tak memboroskan fasilitas negara.
Presiden kita mantu membukakan mata dan hati kita bahwa presiden mantu dengan cara
bersahaja pernah terjadi. Dan, apa yang pernah terjadi itu mungkin menjadi cermin bagi kita.

MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com

29

Menangkal Isu Keamanan Pangan


Koran SINDO
11 Juni 2015

Kasus beras plastik telah menyedot perhatian masyarakat. Hingga kini belum ada
kesimpulan yang konklusif tentang benar dan tidak ada beras palsu beredar di pasaran.
Bahkan ada pernyataan bahwa harga plastik lebih mahal daripada beras, jadi kenapa repotrepot mencampurkan plastik ke dalam beras?
Isu keamanan pangan selalu menarik perhatian karena menyangkut urusan kesehatan, bahkan
nyawa seseorang. Sebelumnya masalah flu burung, sapi gila, atau ditemukannya unsur babi
dalam makanan halal menjadi isu hangat di masyarakat.
Bagaimana kita sebagai konsumen harus bersikap? Sebenarnya produk makanan yang
beredar saat ini sudah jauh lebih aman dibandingkan beberapa dekade atau beberapa abad
lalu. Karena itu, kita harus bersikap rasional dalam menanggapi isu keamanan pangan ini.
Masalah keamanan pangan yang dengan cepat menjadi isu nasional atau isu global
berdampak signifikan terhadap perubahan konsumsi pangan. Permintaan akan daging ayam
menurun ketika flu burung beredar, demikian pula konsumsi daging sapi berkurang saat
penyakit sapi gila berjangkit. Padahal, daging ayam yang sudah dimasak diketahui tidak akan
menularkan flu burung. Temuan seekor sapi gila di Amerika Serikat menyebabkan pelarangan
impor sapi di berbagai negara, dan banyak restoran yang kemudian mengurangi penyediaan
makanan berbahan baku daging sapi.
Jadi, ketakutan masyarakat telah menyebabkan mereka menjadi tidak proporsional menyikapi
masalah keamanan pangan ini. Ketakutan untuk mengonsumsi makanan yang diduga tidak
aman sebenarnya hanya kesalahan persepsi karena masyarakat tidak mencerna informasi
secara menyeluruh. Kasus meninggalnya orang akibat flu burung terjadi karena penularan
virus langsung pada korban melalui unggas yang telah terinfeksi. Ini bisa terjadi karena
korban tinggal berdekatan dengan kandang unggas. Jadi korban tidak tertular karena makan
daging ayam. Namun, dampak mispersepsi ini luar biasa karena negara-negara yang bebas flu
burung seperti Singapura atau Malaysia ternyata juga mengalami penurunan konsumsi daging
ayam.
***
Benarkah bahwa makanan-makanan kita saat ini begitu rentan terhadap persoalan keamanan
pangan? Pada dasarnya kita yang hidup pada zaman modern ini telah dimanjakan dengan
ketersediaan pangan yang melimpah. Teknologi penyiapan makanan yang makin baik dan
30

penerapan undang-undang untuk melindungi kesehatan masyarakat pada dasarnya telah


banyak mengurangi kasus-kasus foodborne illnesses.
Sejak lama dunia industri makanan mengetahui dan menerapkan pasteurisasi, sterilisasi,
sistem pengemasan aseptik, dan teknik analisis kontaminan untuk mendeteksi cemaran pada
makanan. Hal ini sangat membantu masyarakat untuk memperoleh makanan yang aman.
Masalah ketidakamanan pangan kadang-kadang diberitakan secara besar-besaran dan menjadi
isu selama beberapa waktu di tengah-tengah masyarakat. Ini yang menyebabkan kita menjadi
tidak proporsional dalam menyikapinya. Sebagai contoh, bila suatu bahan pangan
mengandung unsur kimiawi lebih tinggi, tidak berarti makanan tersebut menjadi lebih
berbahaya apabila dikonsumsi. Perlu dipahami adanya batasan yang disebut acceptable daily
intake (ADI) yang mengandung makna bahwa ada unsur tertentu dalam makanan asalkan
masih dalam kisaran standar ADI, makanan tersebut tetap layak dan aman dikonsumsi secara
harian.
Pada 2002 ilmuwan Swedia melaporkan temuannya tentang acrylamide yaitu unsur kimia
ikutan yang terbentuk ketika bahan pangan digoreng atau dimasak dengan oven. Acrylamide
dianggap sebagai komponen yang secara potensial membahayakan kesehatan masyarakat.
Percobaan pada hewan di laboratorium yang dipapar dengan acrylamide dosis tinggi
menyebabkan terjadi penyakit kanker. Ilmuwan sebenarnya belum yakin benar, apakah
acrylamide dalam dosis rendah yang ditemukan dalam makanan juga akan menyebabkan
kanker.
Apabila kita terburu-buru termakan berita yang belum konklusif, ini dapat menimbulkan
revolusi perubahan perilaku makan di kalangan masyarakat karena masyarakat mungkin tidak
mau lagi mengonsumsi makanan yang digoreng atau dioven.
***
Untuk negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, masalah ketidakamanan pangan
dapat berasal dari home industry yang menjual makanan dengan tambahan zat aditif yang
tidak sesuai peruntukannya. Hal ini bisa dijumpai pada produk tahu yang dicampur formalin,
boraks pada baso, atau pewarna tekstil pada kerupuk. Sebagian zat aditif ini bersifat
karsinogenik dan membahayakan kesehatan. Dengan ada UU Pangan, sebenarnya pemerintah
bisa dengan cepat menjaring home-industry ini untuk mendapatkan sanksi hukum sesuai
peraturan yang berlaku.
Penggunaan pestisida yang tidak terkontrol memunculkan kecemasan akan keamanan pangan
dari produk buah-buahan ataupun sayuran. Di sisi lain, pemanfaatan pestisida secara bijak
terbukti meningkatkan produksi pangan sehingga pangan tersebut dapat diakses oleh
masyarakat dengan harga terjangkau. Menurut WHO, konsumsi buah dan sayuran yang
rendah menduduki peringkat 10 sebagai faktor risiko penyebab kematian di dunia. Mereka
yang jarang makan buah dan sayuran terbukti lebih rentan untuk menderita kanker dan
31

penyakit jantung koroner yang mematikan. Jadi, kalau ada orang yang tidak mau
mengonsumsi buah dan sayur karena khawatir tercemar pestisida, niscaya dia akan lebih
menderita akibat kurang serat yang mengakibatkan penyakit degeneratif.
Sejak 2005 industri pangan di negara-negara Eropa dikenai peraturan untuk bisa
menunjukkan dengan jelas rantai produksi yang menjadi sumber bahan baku pangan tersebut.
Dengan demikian, pemerintah yang berwenang bisa melacak dengan cepat apabila ada kasuskasus ketidakamanan pangan. Untuk memudahkan proses pelacakan dikembangkan peranti
lunak yang dapat melacak asal bahan baku, bar-codes, dan penanda lainnya.
Selain itu, standar baku seperti Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) yang
selama ini telah diterapkan oleh industri-industri besar di bidang pangan juga diberlakukan
pada industri kecil. Hal ini penting agar semua pihak yang berhubungan dengan rantai
industri pangan selalu menerapkan standar keamanan maksimal bagi proses produksinya.
Pada dasarnya sebagian besar makanan yang beredar di tengah-tengah masyarakat adalah
aman. Namun, harus juga disadari bahwa keamanan pangan adalah sesuatu yang bersifat
abstrak. Kita baru menyadari ada masalah ketidakamanan pangan setelah jatuh korban.
Sebab itu, siapa pun yang secara sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan jatuhnya
korban di masyarakat akibat mengonsumsi pangan yang tidak aman, sudah sepantasnya
mendapat hukuman yang setimpal.

ALI KHOMSAN
Guru Besar Pangan dan Gizi FEMA IPB

32

Selamatkan, Bukan Porak-Porandakan


Koran SINDO
12 Juni 2015

Halaman demi halaman menyeramkan dalam tragedi Engeline (bukan Angeline) yang
jasadnya ditemukan Rabu lalu, sudah terkuak. Kesedihan sekaligus kemurkaan massal
menjadi respons masyarakat luas.
Agar bisa menjadi pembelajaran bersama, perlu ada upaya mengemas kejadian memilukan ini
ke dalam bingkai kerja generik. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah bagaimana
sesungguhnya publik harus menyikapi kasus-kasus kemalangan yang dialami anak-anak
Indonesia. Untuk menjawabnya, ada baiknya dilukiskan ulang di sini reaksi keluarga angkat
Engeline pascakehilangan salah satu putri mereka.
Keluarga Engeline pada awalnya cukup terbuka terhadap pihak luar, terutama pihak
kepolisian. Bahkan, keluargalah yang melapor ke kepolisian setempat. Namun sebagai
masyarakat awam, apalagi ketika mereka terlihat menderita, ada skeptisisme terhadap
keseriusan kerja kepolisian. Berbagai inisiatif keluarga untuk menanyakan perkembangan
penyelidikan kasus mereka rasakan tidak ditanggapi secara memadai.
Munculnya ketidakpuasan terhadap kerja penegak hukum menjadi sesuatu yang tak
terelakkan. Kemudian, sebagai akibat dari beraneka manuver, di masyarakat berkembang
biak narasi tentang pihak yang bertanggung jawab atas hilangnya, teraniayanya, bahkan
diduga tewasnya bocah cantik berbola mata indah itu.
Pihak keluarga berhadapan dengan sumber tekanan batin ekstra. Dari kehilangan Engeline,
respons kepolisian yang sempat dirasa keluarga kurang memuaskan, hingga penghakiman
publik. Ketidakpuasan, keletihan, memburuk menjadi keputusasaan dan ketidakpercayaan
pada siapa pun. Termasuk ini yang paling fatal ke kepolisian. Pada titik terendah itulah
keluarga mengadu ke Safe Childhoods Foundation (SCF), salah satu lembaga perlindungan
anak di Pulau Dewata.
Sadar bahwa isu perlindungan anak di negeri ini tak jarang ditanggapi secara politis, sehingga
terkesan seperti berebut proyek (bentuk penyikapan yang menjijikkan!), juga berusaha
memenuhi harapan keluarga angkat Engeline, SCF bergegas bersilaturahmi ke kapolda Bali
beserta jajarannya. Dari banyak arahan kapolda Bali, serta dengan melibatkan pertukaran
perspektif, ringkas cerita terbangun kesepakatan tentang langkah-langkah dalam menangani
kasus Engeline.

33

Pertama, temukan Engeline. Prioritas utama ini diyakini sebagai satu-satunya cara untuk
meredakan berbagai bentuk sinyalemen dan stigmatisasi yang kadung berserak di tengah
masyarakat. Juga hanya dengan berhasil ditemukannya Engeline, jejak-jejak pelaku akan
dapat ditelusuri. Bukti-bukti itulah yang diharapkan nantinya akan mengunci persepsi publik.
Kedua, jaga kondisi keluarga. Hal ini penting dilakukan agar suplai informasi dari keluarga
angkat Engeline ke kepolisian tetap tersedia. Juga supaya penelusuran lebih jauh terhadap
segala kemungkinan di balik kasus Engeline dapat dilakukan secara terpadu. Dengan kata
lain, pemeliharaan kondisi stabil anggota keluarga perlu dilakukan demi kelancaran proses
hukum itu sendiri.
Ketiga, perlu dibangun sebuah gerakan masyarakat untuk bersama-sama mencari Engeline.
Dengan kata lain, di tengah sengkarut narasi yang tumpah ruah di masyarakat (terlepas benar
atau tidaknya narasi itu), ada kebutuhan untuk mencari muatan-muatan positif yang diusung
khalayak luas atas kasus ini. Itu sebabnya, beberapa pekan lalu, sekian banyak elemen
masyarakat Bali serempak turun ke jalan mencari Engeline.
Tentu, kurang realistis untuk berharap bahwa langkah turun ke jalan seperti itu akan sertamerta berujung pada ditemukannya Engeline. Namun pada skala lebih luas dan lebih
mendasar, pergerakan semacam itu laksana pelurusan atas pola pikir keliru yang masih
berkembang di masyarakat bahwa masalah anak adalah masalah keluarga yang bersangkutan.

***
Deskripsi di atas tidak sama sekali dimaksudkan sebagai bentuk, katakanlah, promosi
lembaga perlindungan anak, betapa pun saya bersahabat baik dengan para punggawanya.
Juga bukan merupakan upaya untuk sebutlah memberikan pembelaan terhadap siapa pun,
terlebih terhadap pihak-pihak yang selama ini menjadi sasaran umpatan publik. Ini adalah
sebuah jabaran tentang bagaimana salah satu format perlindungan anak yang, menurut saya,
patut diduplikasi. Jelas tidak bisa dinihilkan bahwa, sebagaimana format-format lainnya,
dipastikan ada plus-minus dalam format yang satu ini sehingga ke depannya tetap perlu terus
disempurnakan.
Beranak-pinaknya sangkaan terhadap pihak tertentu sebagai orang yang menghilangkan dan
menghabisi Engeline pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari begitu besarnya
ekspektasi masyarakat bahwa orang tua dan keluarga inti harus mampu memberikan
perlindungan sempurna kepada darah daging mereka. Karena itulah, manakala anak masuk ke
dalam situasi kritis, pertanggungjawaban orang tua menjadi tuntutan sekaligus masyarakat.
Dan apabila orang tua dinilai gagal memenuhinya, remuk-redamlah ia oleh penghakiman
publik.
Namun ironisnya, juga merupakan kenyataan bahwa ketika diduga ada anak di lingkungan
sekitar yang mengalami perlakuan tidak semegah dari pihak keluarga si anak sendiri, tidak
34

serta-merta warga sekitar bereaksi sebagaimana mestinya. Ada keengganan untuk mengetuk
pintu tetangga guna mengetahui sebab-musabab jeritan memilukan dari anak si tetangga.
Ketika kepedulian coba ditunjukkan, si empunya rumah juga bereaksi marah. Reaksi orang
tua semacam itu berangkat dari anggapan bahwa karena anak adalah properti, maka ragam
perlakuan terhadap anak adalah sepenuhnya pilihan si pemilik properti (orang tua).
Cara pandang seperti itu perlu dikoreksi total. Undang-Undang Perlindungan Anak
menetapkan bahwa siapa pun yang mengetahui adanya anak yang mengalami perlakuan yang
tidak semestinya, wajib melapor ke otoritas terkait termasuk kepolisian. Pelaporan pun dapat
dilakukan melalui pihak ketiga, misalnya lembaga-lembaga perlindungan anak, untuk
kemudian diteruskan ke kepolisian.
Langkah perlindungan anak juga sepatutnya diharmoniskan dengan upaya memastikan
stabilitas kondisi keluarga. Bukan sebaliknya, melindungi anak namun pada saat yang sama
justru memorak-porandakan relasi keluarga yang sesungguhnya merupakan fondasi hidup
anak. Sulit ditoleransi bahwa upaya menyelamatkan anak justru tersandung batu besar pada
saat anak akan dikembalikan ke lingkungan keluarganya. Termasuk di dalam upaya menjaga
kondisi keluarga adalah mengedukasi keluarga tentang gambaran proses kerja penegakan
hukum dan pentingnya membangun sikap kooperatif dengan lembaga-lembaga di bidang
tersebut.
Satu lagi; bahwa setiap bahasan tentang perlindungan anak semestinya tidak lagi dipandang
sebagai persoalan domestik (keluarga) semata. Perlindungan anak adalah kepentingan mutlak
publik. Jadi, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tutup mata dan tutup telinga saban kali
mengetahui ada anak-anak yang mengalami kekerasan, penelantaran, maupun bentuk-bentuk
perlakuan salah lainnya.
Hanya dengan perubahan paradigma semacam itu, rumah tidak akan lagi menjadi zona
pemangsaan sekaligus tempat persembunyian sempurna bagi pelaku kejahatan terhadap anak.
Demikian pula, pada sisi yang sama, akan bisa dipatahkan simpulan mapan bahwa mayoritas
pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang dekatnya sendiri. Allahu alam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL


Psikolog Forensik; Anggota World Society of Victimology; Pengarang Buku "Ajari Ayah, ya
Nak"

35

The Tyranny of Habit


Koran SINDO
12 Juni 2015

Disadari atau tidak, dalam kehidupan ini banyak sekali ungkapan dan perilaku yang selalu
diulang-ulang yang pada urutannya menimbulkan pola permanen berupa kebiasaan dan
selanjutnya kebiasaan akan membentuk karakter seseorang. Contoh yang paling mudah
diamati tentu saja dalam hal berbahasa.
Tindakan yang berakar pada kebiasaan tak perlu lagi dipikirkan dan dipersiapkan matangmatang karena akan berlangsung hampir secara otomatis layaknya sebuah mesin. Kita semua
pasti punya pengalaman bagaimana sebuah proses kebiasaan terbentuk sekalipun dijalani
tanpa disadari atau dipersiapkan.
Misalnya saja pengalaman mengendarai mobil. Pada awalnya terasa begitu sulit, tegang, dan
takut menabrak atau ditabrak. Tapi lama-lama setelah dicoba dan dijalani berulang kali akan
terbiasa dan kita bisa mengendarai mobil dengan rileks bahkan menyenangkan. Tangan, kaki,
dan perasaan seakan bekerja secara otomatis.
Salah satu aspek dalam pendidikan sesungguhnya adalah bagaimana membantu anak didik
agar membangun kebiasaan yang benar dan baik agar pada urutannya terbentuk karakter dan
pribadi yang baik serta terbiasa berpikir benar dan logis. Dalam pendidikan olahraga apa
yang disebut training dan coaching, intinya adalah menggali bakat dan membentuk kebiasaan
yang benar. Misalnya seni dan cara menggiring bola agar cepat dan sulit direbut lawan.
Dalam olahraga golf, sekalipun sudah menjadi pemain kelas dunia tetap diharuskan driving,
yaitu latihan memukul bola hampir setiap hari berkisar seribu bola. Gunanya untuk menjaga
ritme, gaya dan feeling agar kebiasaan yang sudah terbentuk tidak berubah atau rusak ketika
bermain sungguhan.
***
Lalu apa hubungannya dengan tirani kebiasaan sebagaimana tertulis dalam judul di atas?
Masalah serius akan muncul ketika seseorang telah terbelenggu dengan kebiasaan buruk, baik
cara berpikir, bertutur kata, berperilaku, termasuk dalam hal kebiasaan makan dan minum.
Kebiasaan yang telah terbentuk lama dan kokoh satu sisi membuat seseorang nyaman dan
mudah menjalani hidup, tetapi sisi yang lain kebiasaan bisa menjelma menjadi penjara dan
36

pembunuh. Contoh paling mudah adalah kebiasaan makan dan minum yang tidak sehat,
terlebih lagi yang mengandung alkohol tinggi dan zat adiktif, maka penggunanya tak ubahnya
memelihara dan membesarkan musuh yang satu saat akan menyiksa dan membunuh dirinya.
Kita dengan mudah melihat contoh tirani kebiasaan yang ujungnya telah menghancurkan
karier hidup seseorang. Mereka yang biasa mengambil hak orang lain meskipun kelihatannya
sepele dan kecil, suatu saat jika kesempatan muncul akan berani melakukan korupsi dalam
jumlah yang besar. Mereka yang terbiasa berbicara kotor dan merendahkan orang lain, jangan
kaget ketika menjadi pejabat publik bicaranya sering kali tidak sopan dan menyakiti hati anak
buah.
Kebiasaan bisa bermetamorfosis menjadi ideologi ketika berbaur dengan tradisi dan paham
keagamaan serta bertemu dengan kalkulasi politik dan ekonomi. Dalam masyarakat Indonesia
yang majemuk ini terdapat puluhan, bahkan ratusan, kebiasaan berupa ritual-ritual adat dan
keagamaan yang menurut pandangan orang modern tak lagi cocok.
Misalnya, selama bulan Ramadan di kampung saya dulu setelah jam satu malam terdengar
beduk masjid ditabuh keras-keras sampai jam tiga pagi. Maksudnya untuk membangunkan
ibu-ibu agar bangun untuk mempersiapkan makan sahur untuk keluarga. Kebiasaan ini
rasanya tak lagi cocok dipertahankan. Biarlah mereka istirahat tidur. Bagi keluarga yang
memiliki jam bisa disetel weaker-nya untuk membangunkan kapan mereka mau.
Soal makan sahur, dengan adanya teknologi kulkas dan microwave, hanya dalam waktu
setengah jam semuanya bisa terhidang dalam kondisi segar dan panas. Jadi, teknologi bisa
mengganti kebiasaan memukul beduk di tengah malam untuk membangunkan orang serta
menjaga kondisi makanan tetap segar.
Masih berkaitan dengan kebiasaan yang perlu ditinjau ulang adalah kebiasaan membaca
Alquran dengan menggunakan pengeras suara di masjid di saat orang istirahat tidur.
Ada seorang teman yang sudah bertahun-tahun menulis naskah dengan mesin ketik. Ketika
ditawari dengan komputer, dia merasa tidak familier karena ketika dicoba malah mengganggu
kelancaran dan produktivitasnya dalam berpikir. Lalu kembali lagi menulis dengan mesin
ketik kuno.
Ada lagi yang lebih antik, ada seorang penulis sangat produktif yang semua naskahnya dia
tulis dengan pulpen, tulisan tangan. Setelah jadi baru minta bantuan orang untuk menyalin ke
dalam komputer. Baginya jari-jari tangan bergerak seiring dengan berpikir. Jika pakai
komputer, kreativitasnya terganggu.
Demikianlah, kebiasaan itu bisa membuat pekerjaan efisien, cepat dan tidak perlu membuat
persiapan lama karena syaraf-syaraf tubuh sudah familier untuk melakukannya. Namun mesti
diingat kebiasaan juga bisa berkembang menjadi tiran yang membelenggu sehingga
seseorang sulit berubah dan berkembang. Orang yang sudah berusia lanjut, pindah rumah
37

atau kamar saja sulit tidur. Terlebih lagi diminta menggunakan telepon genggam, malah
bingung karena sudah terbiasa menggunakan telepon kuno dengan pegangan yang besar.
Demikian juga menyangkut selera makan, banyak orang yang sudah mapan dan terpenjara
dengan selera makanan daerahnya sehingga tidak bisa menikmati menu lain sekalipun
kandungan gizinya lebih bagus, harga lebih mahal. Makanya banyak orang yang tersiksa
tinggal di luar negeri karena sulit beradaptasi dengan makanan, cuaca, lingkungan sosial dan
hal-hal lain yang serbabaru.
Dalam era yang serbaberubah ini, antara lain berkat kemajuan teknologi, seseorang dituntut
untuk memiliki kesediaan dan keterampilan untuk beradaptasi. Seorang sarjana yang baru
saja diwisuda hendaknya memiliki kapasitas intellectual adaptability karena akan
menghadapi tantangan dan peluang baru yang belum pernah dipelajari sewaktu duduk di
kampus. Adaptasi intelektual tidak berarti mudah kompromi secara moral.
***
Sedemikian pentingnya peranan habit atau kebiasaan sehingga banyak pakar psikologi yang
melakukan studi dalam bidang ini. Seperti Charles Duhigg dalam karyanya The Power of
Habit, Why we do what we do and how to change (2012). Habit memiliki kekuatan untuk
menjalani dan meraih sukses hidup, namun habit bisa jadi penjara yang membuat seseorang
sulit berubah dan berkembang. Terlebih habit yang sudah dibalut dan dicampur dengan
sentimen kesukuan dan keagamaan, akan sangat sulit untuk berubah atau diubah.
Kita pun merasa nyaman tinggal dalam rumah habit, meskipun tahu-tahu dikejutkan oleh
tsunami perubahan sosial yang membuat kita bingung tidak tahu harus berbuat apa. Ibarat
kambing yang tertindih kandang yang roboh akibat angin kencang.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT


Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat

38

Jokowi dan Papua


Koran SINDO
13 Juni 2015

Presiden RI Joko Widodo dalam beberapa kunjungannya ke Papua dan Papua Barat, benarbenar membawa angin segar bagi masyarakat di kedua provinsi tersebut.
Ada dua peristiwa penting yang sangat menyentuh hati rakyat Papua sejak Joko Widodo
menjadi Presiden RI yang ke-7. Pertama, pada perayaan Natal Nasional di Jayapura, 27
Desember 2014, Presiden mengatakan: Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara.
Kita ingin akhiri konflik. Jangan ada lagi kekerasan.
Kedua, pada kunjungan tanggal 9 Mei 2015, di mana Presiden mencanangkan beberapa
proyek pembangunan di Papua, Jokowi juga membebaskan lima narapidana politik dengan
memberikan grasi bagi mereka. Presiden mengatakan: Kita ingin menciptakan Papua dan
Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil, dan sejahtera. Kalau ada masalah di provinsi
ini segera diguyur air dan jangan dipanas-panasi lagi sehingga persoalan tersebut terus
menjadi masalah nasional, bahkan internasional.
Hadir dalam pemberian grasi kepada lima narapidana politik tersebut antara lain Menko
Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly, Panglima TNI
Jenderal Moeldoko, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, dan Wagub Papua Klemen Tinal.
Harapan Baru
Pernyataan Presiden untuk menciptakan wilayah Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua
Barat) sebagai wilayah yang damai, adil, dan sejahtera merupakan suatu kerinduan rakyat
Papua sejak awal integrasi dengan Indonesia pada 1 Mei 1963. Selama 52 tahun integrasi,
Wilayah Tanah Papua (WTP) terus bergolak dan masyarakatnya hidup dalam cengkeraman
ketakutan di bawah kekerasan aparat keamanan.
Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan ada empat akar
permasalahan Papua, yaitu; (1) marjinalisasi dan diskriminasi; (2) kegagalan pembangunan;
(3) kekerasan negara dan pelanggaran HAM; (4) sejarah dan status politik Papua (Muridan S
Widjojo, dkk, 2010).
Masyarakat Papua berharap Jokowi tersebut akan membebaskan mereka dari rasa ketakutan
yang harus dihadapi selama ini dan dapat bangkit kembali untuk membangun diri dan
lingkungan mereka dalam keberagaman jati diri Indonesia. Menko Polhukam dalam
39

kesempatan yang sama juga mengatakan Masalah Papua harus dilihat dengan hati. Jadi,tidak
ada lagi istilah Organisasi Papua Merdeka. Yang ada sekarang adalah Orang Papua
Membangun.
Demikian juga pernyataan Panglima TNI Jenderal Moeldoko: Mudah-mudahan kebijakan
Presiden membuka harapan baru untuk menciptakan stabilitas keamanan. Di samping itu
terkait kebijakan Presiden tersebut, Panglima TNI juga menegaskan bahwa TNI akan
mengedepankan tindakan yang lebih humanis ketimbang represif: Tidak ada lagi tindakan
prajurit yang menyakitkan hati rakyat.
Bagi masyarakat Papua baik amanat Presiden, pernyataan Menko Polhukam maupun
Panglima TNI jelas memberikan harapan, namun juga menimbulkan berbagai tanggapan. Di
antaranya adalah: pertama, perasaan lega karena terbebas dari kebisuan dan boleh
menyampaikan aspirasi mereka dalam suasana yang lebih demokratis. Kedua, peranan aparat
keamanan (TNI & Polri) yang selama ini pendekatannya adalah represif/kekerasan dan
menjadi sumber konflik maupun ketegangan di tengah-tengah masyarakat, perlu diubah
menjadi pendekatan kesejahteraan yang lebih humanis. Ketiga, kesenjangan sosial-ekonomi
antara orang asli Papua dan pendatang harus diubah dengan pendekatan diskriminasi positif
bagi orang asli Papua.
Gagasan Presiden Joko Widodo
Gagasan Presiden Joko Widodo untuk menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah
yang damai, adil dan sejahtera merupakan langkah awal di bawah leadership Presiden yang
perlu diapresiasi oleh semua pihak dalam mencari solusi bersama. Tujuannya agar rakyat
Papua dapat hidup dalam ketenangan dan membangun diri dan negerinya dalam bingkai
NKRI. Pemerintah (pusat dan daerah) selanjutnya harus berupaya untuk menyelesaikan
konflik-konflik yang ada secara lebih arif dan bijaksana.
Menurut penulis, merajut Wilayah Tanah Papua yang damai, adil dan sejahtera terdiri dari
sembilan kerangka utama. Pertama, mengakui hak-hak dasar orang Papua, dan menghormati
harga diri mereka. Kedua, membangun rasa kebersamaan di antara sesama rakyat Papua
maupun dengan mereka yang datang dari luar Papua. Ketiga, menjadikan rakyat Papua tuan
di tanahnya sendiri dalam arti mandiri. Pentingnya untuk menciptakan kemandirian rakyat
Papua agar orang Papua tidak dijadikan objek oleh orang lain, dan dipandang perlu untuk
memberdayakan mereka agar dapat hidup lebih sejahtera dari waktu ke waktu.
Keempat, membangun sikap toleransi dan saling menghargai baik antara rakyat Papua
maupun pendatang. Hal ini penting agar tidak timbul isu-isu yang bernuansa suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA). Kelima, menghindari kekerasan yang selama ini terjadi
akibat berbagai pelanggaran HAM di tanah Papua. Keenam, menegakkan keadilan dan
kebenaran dalam kehidupan sosial masyarakat Papua agar luka-luka yang mendalam akibat
masa lalu dapat terobati, melalui advokasi, pengungkapan fakta, negosiasi dan lain
sebagainya.
40

Ketujuh, menegakkan hukum dengan adil, baik dan benar, agar rakyat Papua dapat hidup
dengan tenteram, aman dan tidak merasa terancam perlakuan sewenang-wenang oleh pihak
mana pun. Kedelapan, menumbuhkan sikap saling percaya (trust) antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah maupun masyarakat Papua, agar terhindar dari penyakit curiga dan
syak-wasangka yang selama ini membuat kita terkurung dalam sengketa separatisme.
Kesembilan, semua pihak terkait perlu membangun dialog damai dan rekonsiliasi untuk
merajut Papua tanah damai, adil, dan sejahtera.
Berdasarkan amanat Presiden Joko Widodo tersebut, solusi damai, adil, dan sejahtera dengan
didukung oleh hasil penelitian LIPI, perlu dilakukan melalui dialog dan rekonsiliasi. Tentu,
guna menyelesaikan masalah Papua secara permanen, adil, bermartabat dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.

FREDDY NUMBERI
Tokoh Masyarakat Papua

41

Status (Doktrin) Agama-Agama Pra-Islam


Koran SINDO
17 Juni 2015

Islam tidak Menganulir Agama-Agama Pra-Islam. Demikian judul tulisan Imas Damayanti
yang diangkat dari acara peluncuran buku Sadullah Afandy, Menyoal Status Agama PraIslam.
Menurut penulis buku, kedatangan agama Islam tidak mengabrogasi (menghapus) status
agama-agama sebelum Islam. Agama Yahudi dan Nasrani/Kristen yang sudah eksis jauh
sebelum kedatangan agama Islam tidak dibatalkan oleh agama Islam yang datang kemudian.
Karena agama Yahudi dan Nasrani itu tidak dibatalkan, dua agama tersebut masih tetap
diberlakukan oleh Allah sesudah kedatangan agama Islam dan tentu berlanjut sampai
sekarang ini.
Sadullah bahkan berpendapat, teori nasikh (penghapusan) itu tidak hanya tidak berlaku dalam
hubungan internal (terhadap Yahudi dan Nasrani), tetapi juga tidak berlaku dalam hubungan
eksternal (terhadap agama-agama luar/non-Islam). Dengan kata lain, Islam tidak
mengabrogasi agama-agama non-Islam (agama/kepercayaan paganisme, ash-shabiah, dan
Majusi) yang telah eksis terlebih dahulu sebelum kedatangan agama Islam. Poin ini perlu
ditekankan di sini untuk diskusi lebih lanjut.
***
Jika diformulasi, secara garis besar doktrin agama-agama yang dibawa oleh para nabi (sejak
Nabi Adam sampai Nabi Muhammad) dapat dibagi menjadi dua ajaran pokok yaitu doktrin
akidah dan ajaran syariah (hukum). Dari segi akidah, semua nabi mengajarkan
agama/kepercayaan tauhid atau monoteisme (tidak ada tuhan yang patut disembah selain
Allah), kepercayaan kepada para malaikat, kepercayaan kepada hari akhir (akhirat), dan
kepercayaan kepada adanya surga dan neraka.
Jadi dari segi akidah, ajaran semua nabi adalah persis sama, tidak ada perbedaan, dan tidak
ada revisi sedikit pun walaupun masing-masing nabi melaksanakan misinya pada zaman yang
berbeda dan di tengah umat yang berbeda. Jadi akidah tauhid (monoteisme), kepercayaan
kepada adanya para malaikat, kepercayaan kepada adanya akhirat (hidup sesudah mati), dan
kepercayaan kepada adanya surga dan neraka yang diajarkan oleh Nabi Musa (pembawa
agama Yahudi), Nabi Isa (pembawa agama Nasrani), dan nabi-nabi sebelumnya tidak direvisi,
apalagi diabrogasi, oleh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
42

Syariah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah) tentu ada perbedaan. Di
zaman nabi sebelum Nabi Muhammad, orang melaksanakan salat sehari semalam sebanyak
puluhan kali. Pada zaman Nabi Muhammad, salat cukup lima kali. Pada zaman Nabi Musa
dan Isa, jumlah hari orang berpuasa berbeda dengan jumlah hari orang berpuasa (Ramadan)
pada masa Nabi Muhammad.
Syariah yang mengatur hubungan antarmanusia tentu ada perbedaan juga. Pada zaman Nabi
Adam, pernikahan pria-wanita sesaudara kandung dapat dilakukan. Kalau tidak nikah dengan
saudara kandung, nikah dengan siapa lagi? Pada zaman Nabi Muhammad, pernikahan
sesaudara kandung dilarang.
Allah sebagai Zat Yang Maha Bijaksana merevisi syariah-Nya ketika Dia mengutus
seorang nabi kepada umatnya masing-masing sesuai dinamika transformasi sosial dan setting
budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Saya menafsirkan hal ini
sebagai revisi bukan abrogasi atau pembatalan syariah-Nya. Jadi status doktrin akidah
yang diajarkan oleh Nabi Musa dan Nabi Isa (bahkan oleh nabi-nabi terdahulu) tidak direvisi,
apalagi dibatalkan, oleh agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Juga, status
doktrin syariah agama-agama pra-Islam (Yahudi dan Nasrani) dan bahkan syariah yang
diajarkan nabi-nabi terdahulu adalah sah pada masa misi kenabian masing-masing. Analog
dengan ini, syariah yang diajarkan Nabi Muhammad adalah sah bagi umat Islam.
***
Diskusi selanjutnya adalah tentang agama/kepercayaan paganisme (penyembahan berhala),
agama/kepercayaan ash-shabiah (penyembahan benda-benda langit), dan agama Majusi. Tiga
agama tersebut sudah ada di Timur Tengah jauh sebelum agama Islam lahir di Arab. Dalam
konteks ini, perlu dicatat kembali episode sejarah Fathu Mekkah pada 8 H/630 M. Ketika
Nabi Muhammad dan kaum muslimin berhasil menaklukkan Mekkah, akhirnya kaum
Quraisy menyatakan diri beriman kepada Nabi Muhammad dan mereka pun masuk Islam.
Semua berhala yang disembah oleh kaum Quraisy dibersihkan oleh kaum muslimin dari
lingkungan Kakbah. Alquran merekam episode sejarah penting ini: Telah datang kebenaran
dan telah hancur kebatilan. Sesungguhnya yang batil itu pasti hancur (QS Bani Israil: 81).
Jadi, menurut Alquran, status agama/kepercayaan paganisme (dan ash-shabiah) yang
menyekutukan Allah adalah batil.
Sejak Nabi Adam (nabi pertama) diutus oleh Allah, status agama/kepercayaan paganisme
(dan ash-shabiah) yang politeistik sudah dinyatakan batil. Semua nabi (Nabi Adam sampai
Nabi Muhammad) mengajarkan agama/kepercayaan tauhid (monoteisme) dan semua nabi itu
melalui dakwah mereka berupaya keras melenyapkan segala bentuk kemusyrikan/politeisme
(plus atheisme/kekafiran). Jadi, menurut doktrin Alquran, status agama/kepercayaan
politeisme pra-Islam itu tidak diterima Allah, tidak benar, atau batil.
43

Agama Majusi didirikan oleh Zoroaster atau Zarathustra sebagai agama kuno di Persia (Iran).
Agama Majusi (zoroasterianisme) mengajarkan dualisme kepercayaan yaitu kepercayaan
kepada tuhan kebaikan (disebut Ahura Mazda) dan tuhan keburukan (Ahriman).
Mempercayai kitab suci Zend Avesta, kaum Majusi dikenal sebagai penyembah Dewa Api
sebagai lambang terang (kebaikan) menurut kepercayaan mereka. Kepercayaan seperti ini
sama sekali tidak pernah dikenal dalam Alquran. Kitab suci Alquran hanya mengajarkan
kepercayaan tauhid (keesaan Allah), tidak ada simbolisme, tidak ada dualisme, tidak ada
perantara, dan tidak ada sekutu bagi-Nya baik berupa benda, metafor, lambang, atau makhluk
lain.
Dapat disimpulkan, Islam tidak merevisi apalagi mengabrogasi doktrin akidah tauhid yang
diajarkan Nabi Musa dan Isa. Justru Nabi Muhammad (pembawa agama Islam) meneruskan
ajaran tauhid ini. Islam juga membenarkan doktrin syariah yang diajarkan Nabi Musa dan Isa
pada masa kenabian masing-masing.
Islam tidak membenarkan agama/kepercayaan paganisme, ash-shabiah, Majusi yang
bercorak politeistik. Islam tidak membenarkan dan memandang batil segala bentuk
penyembahan berhala, benda-benda langit, dan penyembahan (dewa) api. Sangat naif kalau
pernyataan ini ditafsirkan anti-kerukunan antarumat beda kepercayaan.

FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

44

Demografi & Agama


Koran SINDO
17 Juni 2015

Agama salah satu faktor yang memengaruhi perilaku individu. Ketika individu-individu
berkembang menjadi kelompok, tentu ia akan memengaruhi wajah suatu masyarakat.
Sejumlah orang menganut agama tertentu, dengan identitas dan perilaku tertentu, adalah fakta
demografis dan sosiologis yang membentuk peta sosial-politik.
Bagaimana pada tataran global? Pada April lalu Pew Research Centre di Amerika Serikat
melansir laporan prediksi pertumbuhan agama-agama di dunia. Dalam laporan itu
diperkirakan pada 2050 jumlah muslim akan sama dengan pemeluk agama Kristen di dunia.
Sebagai perbandingan, pada 2010 Kristen adalah agama terbesar di dunia dengan estimasi
pemeluk 2,2 miliar (31%) dari 6,9 miliar penduduk Bumi. Islam berikutnya, dengan jumlah
1,6 miliar atau 23%. Lebih lanjut Pew memprediksi muslim akan mengisi 10% populasi
Eropa dan menggeser Yahudi sebagai agama non-Kristen terbesar di Amerika. Di negeri
Paman Sam, pemeluk Kristen akan turun dari tiga perempat menjadi dua pertiga pada 2050.
Yang menarik India. Hindu akan tetap menjadi agama mayoritas. Namun, karena penduduk
yang begitu banyak, jumlah muslim di India akan melewati negara mana pun, termasuk
Indonesia.
Atheis, agnostik, dan orang yang tidak berafiliasi dengan agama, walaupun meningkat di
sejumlah negara seperti AS dan Prancis, akan menurun pangsanya dalam komposisi populasi
global. Buddha akan berjumlah sama dengan jumlahnya pada 2010, sementara Hindu dan
Yahudi akan tumbuh.
Di Afrika diperkirakan Kristen akan tumbuh mencapai 40% dari jumlah penduduk benua itu.
Nigeria akan menjadi negara dengan jumlah umat Kristen terbanyak dibanding semua negara,
kecuali AS dan Brasil. Inilah prediksi wajah demografi agama di dunia pada 2050. Setiap
prediksi tentu punya kelemahan dan ruang untuk kesalahan (margin of errors), namun
laporan Pew ini menarik untuk kita jadikan sebagai referensi secara kritis.
Selain potret demografis, kita juga menyaksikan tokoh-tokoh berbagai agama muncul di
berbagai bidang. Ambil contoh di Amerika. CEO Microsoft Satya Nadella adalah warga
negara AS beragama Hindu kelahiran Hyderabad, India. Cofounder YouTube Jawed Karim
adalah muslim keturunan Bangladesh kelahiran Jerman Timur (waktu itu) yang melintas ke
Jerman Barat dan pindah ke Amerika setelah reunifikasi Jerman.

45

Di negeri Paman Sam sudah ada dua orang muslim menjadi anggota Kongres. Di Belanda,
wali kota Rotterdam adalah muslim kelahiran Maroko dan di Inggris sudah ada beberapa wali
kota muslim. Masih banyak contoh di berbagai negara.
Keseimbangan Baru
Fenomena di atas dan prediksi Pew menunjukkan dunia sedang bergerak ke arah
keseimbangan barudengan segala harapan dan kecemasannya. Dalam berbagai kesempatan
berdiskusi di negara-negara dunia Islam, seperti Turki, Mesir, atau Aljazair, saya kerap
mendapat pertanyaan bagaimana Indonesia melewati transisi demokrasi dalam ketegangan
hubungan antara Islam dan negara serta Islam vis-a-vis modernitas. Di Indonesia sendiri ini
diskusi panjang yang telah dibuka Tjokroaminoto dan Sutan Takdir Alisjahbana sebelum
kemerdekaan, dilanjutkan Nurcholish Madjid mulai 1970-an, hingga sekarang.
Yang juga banyak dibahas adalah betapa benturan budaya yang belum sepenuhnya selesai
menjadi masalah bagi modernisasi di dunia Islam. Basis keagamaan yang kental di suatu
masyarakat tidak dapat dicerabut begitu saja oleh proyek besar modernisasi. Pada saat yang
sama, negara tidak dapat menyelesaikan benturan ini dengan pendekatan struktural. Dalam
hal relasi agama (Islam) dan negara, dari pengalaman banyak negara, ketegangan yang
muncul malah berujung pada pertempuran yang merugikan kedua belah pihak (lose-lose
battle).
Jika kita membaca data Pew di atas, kita melihat keseimbangan geopolitik baru di masa
depan dimulai dari perubahan lanskap demografis. Negara tidak lagi menjadi lawan bicara
tunggal agama dalam berinteraksi. Masyarakat sipil dan pasar kini berperan untuk menjadi
ruang aktualisasi agama-agama. Negara akan surut menjadi penjaga ketertiban administrasi
penduduk global yang dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Negara akan menjadi
makin netral dan tak berwarna.
Agama pernah menjadi faktor pemicu globalisasi sejak lebih dari seribu tahun lalu, ketika
terjadi penyebaran agama dari pusat-pusat agama ke berbagai penjuru dunia, baik Buddha,
Hindu, Islam, dan Kristen. Namun, konteks penyebaran agama pada saat itu adalah
ekstensifikasi basis pengikut secara kuantitatif yang kerap berkelindan dengan motif-motif
politik dan ekonomi.
Globalisasi agama yang sekarang berlangsung adalah rasa pertautan orango-rang di seluruh
dunia oleh ajaran, referensi dan perilaku dari ajaran agama yang sama. Pertumbuhan agama
bukan lagi disebabkan ekspansi wilayah dan penaklukan, tetapi akibat pertumbuhan
organik di dalam umat beragama tersebut dan akseptabilitas agama oleh individu yang
makin atomistik. Daya globalisasi agama kini dalam beberapa hal mengaburkan negarabangsa.
Globalisasi punya sisi gelap membuat orang teralienasi, merasa asing, dan sendiri di tengah
dunia yang hiruk-pikuk. Maka tak heran jika globalisasi, selain menghasilkan keterbukaan,
46

juga memicu lahirnya ketertutupan. Fenomena ekstremisme dan primodialisme merupakan


pantulan balik dari globalisasi yang menjangkau hingga ke relung-relung privat kehidupan.
Kita beruntung karena semua umat beragama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
terbentuknya negara-bangsa Indonesia. Perdebatan Piagam Jakarta dalam proses
pembentukan negara Indonesia adalah referensi sejarah yang berharga. Saya memandang
peristiwa itu secara positif. Itulah bentuk kompromi dan jiwa besar para pendiri bangsa dalam
menyusun suatu cetak biru yang dapat memayungi seluruh warga dari berbagai agama.
Karena itu, untuk konteks Indonesia, globalisasi agama (atau agama-agama) dan negarabangsa dapat diarahkan untuk saling memberi manfaat dan menguatkan satu sama lain.
Keseimbangan baru di tataran global tidak boleh dimaknai karena kuat sama kuat, mari kita
bertarung. Sebaliknya, spirit yang harus dikedepankan adalah karena kita sama kuat, mari
bekerja sama. Koeksistensi damai antaragama adalah proyek besar berikutnya untuk
meredam kekerasan berkedok agama yang dimainkan sekelompok kecil tertentu. Dunia kini
diliputi kecemasan akibat terorisme karena siapa pun kita dan apa pun agama kita dapat saja
tiba-tiba terluka bahkan terbunuh oleh alasan yang tidak kita mengerti. Rasa sakit akibat luka
itu sama. Karena itu, sebenarnya umat manusia di dunia dipersatukan oleh ketakutan yang
sama.
Terciptanya perimbangan demografis baru pada 2050 itu harus menjadi momentum
keseimbangan perdamaian global yang diusahakan oleh semua pihak, baik dari negara
maupun komunitas agama global. Keseimbangan baru itu juga menjadi peluang Indonesia
berperan sebagai referensi dalam transisi demokrasi dan pengelolaan relasi agama dan negara
khususnya bagi negara-negara dunia Islam.
Tentu itu memberi tantangan yang lebih berat lagi bagi kita sendiri untuk merawat demokrasi
dan perdamaian antarumat beragama di negeri kita. Selamat menjalankan ibadah puasa
Ramadan.

ANIS MATTA
Presiden Partai Keadilan Sejahtera

47

Puasa dan Komitmen Transformasi Sosial


Koran SINDO
18 Juni 2015

Puasa bisa dilihat juga sebagai pendidikan ideologi sosial radikal bagi orang yang
menjalaninya. Inti pendidikan itu adalah transformasi sosial.
Jika sebelum ritual puasa, realitas sosial menunjukkan kemungkaran sosial (dehumanisasi) di
mana-mana, korupsi merajalela, dan kekerasan telah menjadi logika umum di masyarakat,
maka logikanya puasa mesti menghasilkan alumni pendidikan ideologi sosial yang berani
melakukan jihad akbar atau perang besar melawan hawa nafsu berupa kemungkaran dalam
kenyataan hidup sehari-hari. Lalu, jika kemungkaran masih tetap berjaya, bahkan semakin
akut, itu berarti pelaku puasa tidak mengamalkan ilmu yang didapat dari puasa.
Bagi para penganut logika formalistis, jika tujuan yang diamanatkan puasa tak dapat
menggerakkan transformasi sosial (tanpa hasil), maka puasa (meminjam istilahnya Bacon,
1625) menjadi epistemologi yang keliru. Lalu untuk apa berlapar-lapar puasa jika ternyata
ada aksioma (badihi), hipotesis, dan terapi lain yang mampu menggerakkan misi profetik
tersebut?
Sesat Pikir
Inilah kekeliruan logika formal Aristotelian yang acap kali menjangkiti para penganut agama,
termasuk para pelaku puasa (shaimun). Penyakit yang sebetulnya telah menampakkan
akarnya sejak Ibnu Sina dan Al-Farabi menerjemahkan logika formal Aristotelian ke dalam
logika (mantiq) dalam Islam, bahkan hingga qiyas Imam Syafii yang kaku dan formalistik
(Mulkhan, 1997). Logika praksis yang formalistik ini menjadikan umat selalu berpikiran
sederhana (instant), bahkan dangkal (sathihi).
Tak heran jika puasa yang dijalani dianggap telah cukup dan sempurna bila diiringi dengan
membayar zakat fitrah, memakai jilbab bagi perempuan, berjanggut bagi lelaki, dan tadarus.
Sedangkan bagi media massa, puasa dianggap cukup religius dan sempurna hanya dengan
menayangkan sinetron berbau keagamaan, kuis Ramadan, ataupun tayangan infotainment
yang menceritakan pengalaman publik figur yang mendapat berkah puasa, sementara di
sekelilingnya kemungkaran sosial semakin merajalela serta jarak antara si miskin dan si kaya
kian menganga. Pada akhirnya logika praksis meniscayakan puasa sebagai aktivitas
individual, menjadi dangkal dan sederhana, namun dengan pengharapan yang besar dan
global (Russel, 1946).

48

Mengharapkan terjadi transformasi sosial secara radikal dan global, namun dengan neraca
dan kunci epistemologi yang dangkal dan sederhana, tentu merupakan hal yang musykil.
Sebab, justru sebaliknya, logika formal meniscayakan manusia yang saleh secara individual,
namun miskin kepedulian sosial.
Logika dangkal (sathihi) bahkan belakangan menahbiskan bahwa transformasi sosial, tatanan
masyarakat yang tertata secara baik, dan perubahan sosial tak melulu memerlukan segala
konsepsi metafisika tentang kebaikan. Ritual puasa, zakat, agama, ataupun hal-hal bersifat
tradisional tak diperlukan lagi. Sebaliknya, untuk menafsirkan bahasa zaman yang mutakhir
diperlukan epistemologi dan ilmu pengetahuan yang bersumber pada akal dan rasionalitas.
Segala konsepsi tradisional, menurut penganut logika ini, ternyata tak kunjung meniscayakan
umatnya untuk membentuk tatanan masyarakat yang lebih beradab (civilized), alih-alih justru
memunculkan kemandekan (jumud), radikalisme, bahkan terorisme.
Atas nama sains dan peradaban, penganut logika formal ini berusaha mengakhiri
anakronisme pandangan teosentrisme ke arah antroposentrisme, yaitu membuat manusia
menjadi tolok ukur dari segala sesuatu (humanisme dan eksistensialisme). Menekankan
kemerdekaan akal dari wahyu dan intuisi intelektual, ditambah penghambaan pada
humanisme, rasionalisme, empirisme, dan naturalisme pasif, serta kemerdekaan dan
kebebasan semu hanya menciptakan manusia-manusia kaku yang dipenuhi hasrat (desire) dan
kesadaran palsu (fals counsiousness).
Ideologi Sosial-Radikal
Merespons kecenderungan logika formalistik dan pandangan underestimate atas logika
tradisional tersebut, penggagas teologi transformatif Dr. Muslim Abdurrahman menyuguhkan
pemaknaan tradisional-kritis, rasionalisasi keimanan (fides quern intelectum) khususnya
terkait ibadah puasa dengan menggunakan neraca dan kunci epistemologi yang lebih holistis
melalui pemaknaan kritis pesan Nabi Muhammad SAW tentang esensi puasa dan
kemungkaran sosial.
Dalam pesan profetik tersebut, ia menangkap pesan idiologi sosial yang sangat radikal dalam
hadis Nabi, Makanlah sebelum kamu lapar, dan berhentilah sebelum kenyang. Ideologi
sosial yang kemudian menyiratkan tiga misi profetik yang harus dimiliki umat berpuasa
dalam menghadapi kemungkaran sosial, yaitu; egalitarianisme, moralitas zuhud, dan jihad
akbar.
Bagi orang miskin, menahan haus dan lapar tentu merupakan hal yang biasa dan telah
menjadi perjuangan sehari-hari. Orang miskin telah terbiasa menahan hasrat sehingga jauh
dari konsumerisme. Sedangkan bagi si kaya yang lebih diuntungkan oleh laju pertumbuhan
ekonomi, menahan hasrat konsumtif tentu bukan hal biasa. Bahkan, mungkin malah dianggap
sebagai jihad akbar, yaitu melakukan perang tertutup melawan nafsu dan kerakusan sosial.

49

Puasa pada hakikatnya meniscayakan kesamaan perasaan dan realitas sosial (egalitarianisme).
Si kaya ataupun si miskin dituntut untuk mampu menahan lapar dan haus akan materi
(moralitas zuhud). Tak ada yang membedakan para pelaku puasa kecuali ketakwaannya
(laallakum tattaquun), karena puasa merupakan proses penyucian jiwa yang meniscayakan
kembalinya manusia pada naluri dan fitrahnya sebagai manusia yang memiliki potensi
kebaikan dan kesempurnaan.
Transformasi sosial pada akhirnya akan ditentukan kemampuan para shaaimun untuk sampai
pada kesucian (fitrah) dan qudrah-nya sebagai pencapaian terakhir dan kesempurnaan
manusia (al-Insan al-kaamil) yang merefleksikan aktivitas sosial. Sebagaimana kata
Feurbach bahwa neraca kebenaran epistemologi mesti berupa aktivitas sosial atau kesalehan
sosial dalam bahasa agama.
Senada dengan Muslim Abdurrahman, Feurbach, dan Bertrand Russel, bahkan Murtadha
Mutahhari menawarkan pemaknaan semiotika agama dan epistemologi yang mendasar dan
radikal. Menurut Mutahhari, pemaknaan simbol keagamaan yang telah menjadi ritual,
misalnya puasa, jika hanya berdasarkan logika formal Aristotelian an sich, hanya akan
menimbulkan kebekuan dan kekakuan laju dan gerak bahasa zaman yang kian mutakhir.
Kulminasinya adalah kemungkaran sosial niscaya semakin merasuki umat, bahkan diyakini
sebagai hal biasa dan pada akhirnya dianggap sebagai hakikat. Sebab, pada dasarnya
penganut logika ini tak peduli pada hakikat ataupun kebenaran. Baginya, yang terpenting
hanyalah logika praksis dan manfaat. Selama hal itu memberikan manfaat bagi peradaban
manusia, maka tak ada masalah.
Tak ayal, kemungkaran sosial hanya mungkin dapat diatasi dan diperangi, baik secara
tertutup maupun terbuka, oleh orang-orang yang tak hanya saleh secara individual (individual
activity), tapi juga saleh secara sosial (social activity). Dan, kesalehan sosial hanya mungkin
diraih orang-orang yang memaknai puasa dengan tak hanya menggunakan logika formalistik
an sich. Namun, perlu juga menggunakan logika epistemologi holistis yang tak berhenti pada
tahap dasar praksis luar (indra), tapi dilanjutkan tahapan epistemologi berpikir yang disebut
Al Quran sebagai fuad atau rasio dalam bahasa filsafat, yang mesti meniscayakan kesalehan
sosial.
Pada akhirnya, momentum puasa pun dapat menjadi spirit bagi kita yang mulai tercerai-berai
menuju komitmen transformasi sosial, untuk hijrah atau transformasi yang menuntut
pengorbanan, cinta, dan aksi menuju masyarakat sejahtera yang kita cita-citakan bersama.

M MUCHLAS ROWI MM
Pembina Forum Silaturahmi Warga Muslim JGC dan alumnus Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada

50

Puasa, Keadilan dan Kejujuran


Koran SINDO
18 Juni 2015

Puasa, ya puasa. Kita tahu, ini rukun ketiga dalam lima rukun Islam yang kita junjung tinggi
dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, lahir maupun batin.
Semua orang tahu, puasa itu kewajiban manusia yang diturunkan Tuhan bergenerasi-generasi
sebelum zaman kenabian Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, berlanjut terus di zaman kita
hingga kelak di akhir zaman. Ajaran yang turun dari langit itu banyak diwarnai tradisi,
yang berbau bumi. Dulu puasa, ya puasa begitu saja. Sekarang, sejak kira-kira tahun 1990,
berlanjut hingga tahun 2000-an ini, puasa diawali dengan tradisi maaf-memaafkan, seperti
tradisi lebaran.
Warna tradisi juga tampak pada buka bersama, dengan meriah, dan penuh persaudaraan yang
hangat. Di masjid-masjid kampung, buka bersama diselenggarakan secara sederhana. Kue
dan minuman serbamanis disediakan bagi yang berpuasa. Kemudian salat magrib berjamaah.
Sesudah salat tarawih, makanan serupa disediakan. Dan itulah yang membuat tarawih
berlangsung sangat meriah.
Bocah-bocah ikut pula salat tarawih. Mereka pun tampak begitu bersemangat. Saking
semangatnya, sering terasa bahwa mereka mengganggu kekhusyukan orang-orang dewasa.
Tapi gangguan itu diterima sebagai kebaikan yang begitu megah, karena bocah-bocah malah
dianggap ukuran kekhusyukan yang nyata. Bila dalam kebisingan itu orang dewasa tetap bisa
salat dengan khusyuk, tak diragukan, mereka memang sudah sampai pada tingkat orangorang yang khusyuk.
***
Relasi dinamis antara apa yang berupa ajaran dan apa yang tradisi, membuat jiwa kita
bergetar. Kita menjadi saksi bahwa apa yang bersifat langit itu dibikin subur oleh apa yang
merupakan unsur-unsur bumi. Dengan kata lain, ajaran langit itu tidak tumbuh di batu
karang yang kering kerontang, melainkan dipersubur oleh kebudayaan.
Agama tumbuh bersama kebudayaan. Tak diragukan, berkat kebudayaan pula maka tiap pada
menjelang berakhirnya Ramadan kita berdoa dengan harap-harap cemas, semoga Tuhan
berkenan mempertemukan kita lagi dengan bulan Ramadan tahun berikutnya. Doa itu kita
sertai tangis dan tetesan air mata. Ini air mata orang beriman, yang tulus dalam imannya,
tulus kata-kata dan segenap doanya. Tulus pula segenap amalannya. Ini wujud amal ikhlas.

51

Bagi kaum terpelajar, amal ikhlas itu menjadi amalan ilmiah, sekaligus ilmu yang bersifat
amaliah. Jadi, ilmunya bukan untuk kepentingan diri sendiri. Dia bukan jenis ilmuwan yang
sikap keilmuannya jauh dari sentuhan kehidupan. Dia memahami kemuliaan Ramadan.
Tahun ini kita bertemu lagi dengan Ramadan. Tuhan Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Doa
kita dikabulkan. Alhamdulillah. Kita menyambut kembali bulan suci Ramadan dengan rasa
syukur yang tak terkira. Kita siap menjalankan kewajiban berpuasa lagi, seperti tahun lalu.
Jika berpuasa hanya berarti tidak makan dan tidak minum sepanjang hari selama sebulan,
kewajiban suci itu tidak berat. Meskipun begitu, mengapa masih ada saja orang yang tidak
kuat menanggungnya?
Untuk jiwa-jiwa yang boleh disebut telah teruji, tidak makan, tidak minum dan tidak
melakukan hubungan suami-istri pada siang hari pun tidak seberapa. Ini bukan kewajiban
berat. Tapi tuluskah kita mengerjakannya? Ini pertanyaan penting. Ibadah tanpa ketulusan
akan kehilangan makna pentingnya. Kita rela berpuasa untuk Tuhan, yaitu Allah yang Maha
Pengasih, tanpa berharap apa pun. Tuhan memerintahkan, kita menjalankannya.
Relasi Tuhan-hamba yang ditandai keikhlasan di sini mungkin seperti gambaran sikap raja
sufi wanita, Rabiah al Adawiah, yang berpuisi dengan penuh kemegahan: Tuhan, aku
menyembah-Mu bukan karena aku takut akan neraka-Mu. Aku menyembah-Mu, juga bukan
karena aku mengharapkan surga-Mu. Tapi aku menyembah-Mu karena aku memang wajib
menyembah-Mu. Siapa di antara kita yang memiliki maqom rohaniah setingkat ini? Siapa
yang memiliki keikhlasan seperti Adawiah?
Bagi raja sufi dari Basrah ini, neraka dan surgaloka bukan isu penting. Baginya, yang
terpenting, ialah kebersamaannya dengan Tuhan, Allah yang Mahatinggi itu sendiri. Baginya,
di neraka tak menjadi soal, asal bersama Tuhan yang Mahatinggi. Di surgaloka pun dia
gembira selama berkah Allah melimpah padanya. Sufi memang bukan orang biasa. Al
Adawiah bahkan disebut rajanya para raja kaum sufi.
Ikhlas dalam ibadah ini terbentuk bersama dengan lahirnya kejujuran. Keikhlasan dan
kejujuran itu saling membentuk, saling memperkuat. Di tangan hamba-hamba Allah yang
memiliki watak adil dan jujur, ibadah puasa niscaya bergema di lembah-lembah, di bukitbukit, dan di langit tertinggi. Puasa mereka jelas bukan puasa biasa.
Tapi kita juga diminta agar puasa kita memiliki dimensi keadilan dan kejujuran. Puasa
melatih kita menjadi pribadi yang adil. Mula-mula kita adil pada diri sendiri. Kita adil sejak
dalam pemikiran, adil di dalam sikap, dan adil di dalam segenap tindakan kita. Sesudah itu
kita adil pada sesama manusia.
***
Puasa juga merupakan latihan untuk menjadi pribadi yang jujur. Kita jujur pada diri sendiri,
jujur pada manusia-manusia lain, jujur pada Allah yang Mahatinggi. Kejujuran membuat
52

puasa kita memiliki dimensi rohaniah dan sosial yang tak main-main. Puasa kita menjadi
suatu jenis ibadah yang tidak biasa. Latihan puasa tahun demi tahun, untuk membuat kita
menjadi pribadi istimewa. Kita berlatih, tiap saat untuk menjadi insan kamil, manusia
sempurna? Mungkin manusia sempurna itu manusia yang semanusiawi-manusiawinya.
Hanya manusia istimewa yang mampu berpuasa secara istimewa. Tapi siapa yang pernah
istimewa? Kita hanya manusia biasa. Kemanusiaan kita serba terbatas. Iman kita terbatas.
Puasa kita terbatas. Ada kalanya kita merasa ikhlas, tapi saat kita merasa bahwa kita bisa
bersikap ikhlas, maka keikhlasan telah meninggalkan kita.
Di saat lain kita berpuasa dengan sikap adil pada sesama. Kita pernah adil, biarpun sesaat.
Tapi ketika kita hendak mengulanginya sekali lagi, dan hanya sekali lagi, saat itu pun
keadilan menjauh, dan menjauh seolah dia berada di puncak gunung yang tak terjangkau.
Berabad-abad kita telah berpuasa. Berabad-abad peradaban diwarnai ibadah seperti itu. Tapi
mengapa puasa demi puasa berlalu tiap tahun, kemudian datang lagi tahun berikutnya, tak
pernah mengubah hidup kita? Negeri kita ini mayoritas rakyatnya berpuasa setiap tahun, tapi
mengapa belum juga mampu menciptakan keadilan? Mungkinkah kita salah? Kita berpuasa
hanya sekedar berpuasa, dan hanya menderita haus dan lapar, lelah, dan mengantuk, tanpa
mengubah sesuatu di dalam hidup kita? Apa yang salah dalam puasa kita? Mengapa keadilan
dan kejujuran tak mewarnai hidup kita?

MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com

53

Muhammadiyah & Gerakan Antikorupsi


Koran SINDO
18 Juni 2015

Di antara penyebab belum berhasilnya pemberantasan korupsi di negeri ini adalah karena
gerakan anti-korupsi mengalami kevakuman ideologi. Indikatornya, banyak orang berteriak
anti-korupsi saat masih berada di luar kekuasaan. Tetapi jika kekuasaan sudah berada di
tangan, mereka termasuk yang paling rajin melakukan korupsi.
Dilatarbelakangi kondisi itulah sejumlah aktivis Pemuda Muhammadiyah menggagas
pendirian Madrasah Antikorupsi. Sayang sekali, gagasan tersebut hanya menggema saat
panas-panasnya hubungan KPK-Polri beberapa waktu silam. Padahal jika gagasan Madrasah
Antikorupsi benar-benar direalisasikan, banyak anak muda yang siap dididik menjadi pejuang
anti-korupsi. Dengan begitu, Muhammadiyah akan semakin meneguhkan kiprahnya sebagai
pelopor gerakan anti-korupsi.
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Muhammadiyah telah menunjukkan
kepeloporannya dalam pemberantasan korupsi. Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
di Jalan Menteng, Jakarta telah menjadi markas pegiat anti-korupsi dari kalangan lintas
agama. Dalam kisruh KPK-Polri lalu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din
Syamsuddin dan tokoh lintas agama seakan tanpa kenal lelah menyuarakan agar Jokowi
berani mengambil langkah yang cepat dan tepat. Mereka juga mendorong agar Jokowi
menampilkan diri layaknya seorang presiden. Sebab Jokowi adalah presiden pilihan rakyat,
bukan petugas partai.
Selain menyediakan kantor sebagai pusat kegiatan bagi pegiat anti-korupsi, tokoh-tokoh
Muhammadiyah juga tampak menonjol dalam gerakan anti-korupsi. Di antara tokoh yang
paling menonjol tentu saja mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif.
Tokoh yang akrab disapa Buya Syafii ini bahkan ditunjuk memimpin Tim 9 yang dibentuk
Presiden Jokowi. Tim ini bertugas untuk memberikan rekomendasi pada presiden guna
menyelesaikan konflik KPK-Polri. Sayang sekali, rekomendasi Tim 9 tidak semuanya
dijalankan presiden. Akibatnya, hubungan KPK-Polri hingga kini terasa masih berjarak.
Rekam jejak Buya Syafii yang hebat telah mengantarkannya menjadi satu-satunya guru
bangsa yang masih tersisa. Itu terutama setelah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
berpulang ke rahmatullah. Berkali-kali Buya Syafii mengingatkan bahwa praktik korupsi di
negeri ini sudah nyaris sempurna. Pernyataan ini merupakan wujud keprihatinan yang
mendalam terhadap masa depan gerakan pemberantasan korupsi. Jika diibaratkan rayap,
praktik korupsi di negeri ini telah menggerogoti tiang-tiang penyangga kehidupan berbangsa
dan bernegara. Meski telah merajalela, semangat pegiat anti-korupsi harus tetap terjaga.
54

***
Harus diingat bahwa pemberantasan korupsi pasti membutuhkan keterlibatan banyak pihak.
Komitmen pemberantasan korupsi tidak cukup jika hanya mengandalkan aparat penegak
hukum. Apalagi beberapa hasil survei menunjukkan bahwa integritas lembaga penegak
hukum dianggap bermasalah. Seiring dengan berkurangnya kepercayaan publik terhadap
integritas aparat penegak hukum, pemerintah seharusnya mengajak organisasi
kemasyarakatan (ormas). Itu berarti Muhammadiyah, NU, dan pilar civil society lainnya
penting terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi.
Jika diselisik ke belakang, tepatnya pada Oktober 2003, Muhammadiyah dan NU sejatinya
pernah bekerja sama dalam pemberantasan korupsi. Ikrar kerja sama itu diberi nama Gerakan
Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK). Pada saat itu disepakati langkah-langkah yang
dilakukan dalam pemberantasan korupsi, termasuk menghukum anggota ormas yang terlibat
korupsi. Sangat disayangkan, ikrar itu baru sebatas gerakan moral. Belum ada langkah
konkret berupa gerakan aksi untuk memberantas korupsi.
Bersama beberapa partnership, Muhammadiyah juga telah menerbitkan buku panduan
pemberantasan korupsi berjudul Fikih Anti Korupsi: Perspektif Ulama Muhammadiyah
(2006). Karya ini merupakan referensi berharga untuk memberantas korupsi. Dalam buku ini
dirumuskan strategi mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Salah satu caranya adalah membangun integritas publik (public integrity). Persoalan
integritas ini penting karena menjadi syarat terwujudnya good governance, yang di antaranya
ditandai adanya transparansi dan akuntabilitas.
Sebagai pilar civil society yang telah berusia lebih dari satu abad, Muhammadiyah pasti
memiliki pengalaman dalam membangun budaya berintegritas. Misalnya, Muhammadiyah
rajin memberikan laporan yang transparan dan akuntabel dalam mengelola anggaran.
Laporan itu diberikan, terutama pada pemberi bantuan baik dari dalam maupun luar negeri.
Dengan cara ini, kepercayaan terhadap Muhammadiyah terus terjaga.
Muhammadiyah juga melakukan rangkaian kegiatan advokasi penggunaan APBN/APBD.
Rangkaian kegiatan ini menunjukkan Muhammadiyah telah melakukan dakwah anggaran
dengan cara mengawal APBN/D dari bencana korupsi, kolusi, dan manipulasi. Kegiatan ini
penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar melek APBN/D. Targetnya, agar
tidak terjadi politik penganggaran untuk kepentingan pribadi pejabat publik.
***
Harus disadari bahwa tantangan yang dihadapi pegiat anti-korupsi kian berat. Keselamatan
diri dan keluarga pegiat antikorupsi juga terancam. Semua itu jelas membutuhkan perhatian.
Pada konteks inilah Muhammadiyah harus menunjukkan kepeloporannya.

55

Tetapi harus diakui bahwa kegiatan dalam rangka pemberantasan korupsi belum sepenuhnya
menjadi perhatian Muhammadiyah. Kegiatan utama Muhammadiyah masih seputar dakwah
keislaman dan rutinitas mengelola amal usaha. Terutama amal usaha bidang pendidikan,
kesehatan, ekonomi, dan pelayanan sosial. Hingga kini belum ada divisi khusus dalam
struktur organisasi yang fokus menangani pemberantasan korupsi.
Semoga dalam muktamar ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015, Muhammadiyah
membicarakan secara serius ideologi pemberantasan korupsi di negeri tercinta. Bukan hanya
pada tingkat wacana, ideologi pemberantasan korupsi ala Muhammadiyah harus benar-benar
dapat diwujudkan dalam gerakan aksi.

BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

56

Muhammadiyah dan Pemberdayaan


Masyarakat
Koran SINDO
19 Juni 2015

Di luar komunitas Muhammadiyah, mungkin banyak yang tidak mengenal sosok Said
Tuhuleley. Tapi bagi orang Muhammadiyah dan mereka yang mempelajari gerakan ini, maka
dalam diri Pak Said Tuhuleley inilah jadi diri, karakter, dan kepribadian Muhammadiyah
dapat ditemukan secara jernih.
Muhammadiyah, melalui Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menganugerahkan
gelar kehormatan doktor honoris causa (Dr. HC) kepada Pak Said pada Desember 2014 lalu.
Penghargaan itu diberikan atas kegiatan akademik dan pemberdayaan masyarakat yang
dilakukannya selama ini. Enam bulan setelah Muhammadiyah memberikan penghargaan
kepada kader terbaiknya, Pak Said dipanggil Yang Mahakuasa untuk selamanya pada Selasa 9
Juni lalu.
Gelar itu adalah yang pertama diberikan UMM sejak kampus itu berdiri tahun 1964. Di
lingkungan kampus Muhammadiyah seluruh Indonesia, gelar itu juga sedikit yang pernah
diberikan kepada seseorang. Presiden Sukarno, misalnya, pernah mendapatkannya dari
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) tahun 1965.
***
Mengapa bisa dikatakan bahwa potret Muhammadiyah bisa dilihat pada sosok Pak Said?
Sejak lahirnya pada 1912, inti dari gerakan Muhammadiyah sering diringkas dalam tiga kata:
feeding (santunan dan pemberdayaan), schooling (pendidikan), dan healing (pengobatan dan
penyehatan). Tiga gerakan inilah yang menyebabkan Muhammadiyah mampu memiliki 7.227
PAUD, TK, TPA, dan SD/MI; 2.915 SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK; 67 pesantren; 172
universitas, akademi, dan politeknik; 457 rumah sakit, klinik, dan poliklinik; serta 454 panti
asuhan, rumah jompo, dan pusat rehabilitasi cacat (Maarif, 2012). Bila dibandingkan dengan
ormas Islam lain, baik di tingkat nasional maupun global, maka apa yang dimiliki
Muhammadiyah itu adalah yang terbanyak. Tak ada ormas Islam dari negara mana pun yang
memiliki amal usaha sebanyak yang dimiliki oleh Muhammadiyah.
Namun demikian, sebagaimana berulang kali disampaikan oleh almarhum Pak Said, konsep
dan praktik amal usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah saat ini berbeda dari
Muhammadiyah awal. Apa yang dilakukan Muhammadiyah pada dekade-dekade belakangan
ini tidak bisa masuk pada definisi murni dari amal usaha di mana sebuah kegiatan sosial
57

hanya berharap pahala akhirat dan orientasinya adalah untuk membantu orang miskin,
terpinggirkan, dan tertindas.
Amal usaha Muhammadiyah pun dikelola sebagai industri jasa dan dilepaskan dari
pengarusutamaan pemberdayaan rakyat miskin, sebagaimana Muhammadiyah pada periode
awal ketika masih dipimpin KH Ahmad Dahlan (Tuhuleley, 2015). Apa yang dilakukan Pak
Said, terutama sejak Muktamar Muhammadiyah di Jakarta tahun 2000, adalah menggali dan
mengangkat kembali prinsip yang melandasi gerak Muhammadiyah awal, serta memaknai
dan mengimplementasikan dalam bentuk baru.
Prinsip dari gerakan Muhammadiyah awal yang hendak dibangkitkan kembali oleh pak Said
itu terutama adalah humanitarianisme non-sektarian. Prinsip ini mengacu pada berbagai
dokumen sejarah yang menyebutkan bahwa Pertolongan Moehammadijah b/g PKO itoe,
boekan sekali-sekali soeatoe djaring kepada manoesia oemoemnja, soepaja dapat menarik
hati akan masoek kepada agama Islam atau perserikatan Moehammadijah, itoe tidak, akan
tetapi segala pertolongannja itoe semata-mata karena memenoehi kewadjiban atas
agamanja Islam terhadap segala bangsa, tidak memandang agama (Almanak
Moehammadijah 1929).
Prinsip itu diterjemahkan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), di bawah
pimpinan Pak Said, dalam bentuk pemberdayaan dan pertolongan kepada semua masyarakat
tanpa memandang latar belakang agama dan golongan. Ini, misalnya, diwujudkan dalam
bentuk bantuan dan advokasi terhadap komunitas Syiah Sampang yang mengalami
diskriminasi dan pengusiran. Ketika banyak lembaga filantropi yang enggan membantu Syiah
karena dianggap sebagai komunitas sesat, Muhammadiyah tak ragu ikut membantu dan
mendampingi mereka.
Untuk metode pemberdayaan, Pak Said sering menekankan perbedaan antara zaman
Muhammadiyah awal dan sekarang. Dulu banyak orang yang miskin karena kita hidup di
bawah penjajahan. Sekarang ini banyak orang yang menjadi miskin, tak berdaya, dan
termarjinalkan karena adanya kapitalisme global.
Kini kekuasaan TNC (Trans-National Capitalist Network) telah menaklukkan ekonomi
negara yang sesungguhnya diperuntukkan bagi menegakkan kedaulatan dan kesejahteraan
rakyat... kekuasaan TNCs yang besar seperti itu dimungkinkan terjadi karena ada
perselingkuhan dengan elite nasional, kaum komprador-komprador. (Tuhuleley, 2015).
Orang menjadi miskin bukan karena malas bekerja. Banyak orang miskin yang justru bekerja
24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Mereka menjadi miskin karena kondisi
nasional dan global yang tidak memungkinkan mereka bangkit dari kemiskinannya.
Pak Said tidak hanya berkata, berdiskusi, dan berteori. Ia adalah ujung tombak dari gerakan
melawan kemiskinan. Ia mengembalikan arti PKO dari Pemberdayaan Kesejahteraan
58

Ummat kepada makna awal Penolong Kesengsaraan Oemoem, yang mengindikasikan


bahwa PKO bukan hanya untuk umat Islam, tapi untuk semua manusia.
Ia memilih untuk hidup membujang hingga meninggal dunia dan mendedikasikan umurnya
(62 tahun) untuk Muhammadiyah, bangsa, dan kemanusiaan. Ia mendirikan beberapa Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Pertanian Terpadu untuk memberdayakan masyarakat. Pak Said tak
pernah berhenti bekerja meski dalam kondisi sakit. Semboyan yang selalu diulangnya adalah,
Selama rakyat masih menderita, tidak ada kata istirahat.
Memang misi Pak Said belum sepenuhnya berhasil. Masih banyak orang yang miskin dan
menderita. Namun, Tuhan telah memintamu untuk istirahat. Biarlah kami yang melanjutkan
misi dan semangatmu. Selamat jalan Pak Said. Semoga engkau damai di sisi-Nya.

AHMAD NAJIB BURHANI


Aktivis Muhammadiyah; Peneliti LIPI; dan Doktor dari Universitas California-Santa Barbara

59

Jimat Eros Djarot


Koran SINDO
20 Juni 2015

Akhir pekan lalu, tanpa berjanji dan tanpa sengaja, dalam penerbangan Yogya-Surabaya saya
duduk dalam satu deret kursi berdampingan dengan Eros Djarot. Itu lho, seniman dan
budayawan kita yang mencipta lagu Badai Pasti Berlalu dan menyutradarai film Tjoet Nya
Dhien.
Namanya sudah sangat beken karena dia juga tercatat sebagai politikus yang sangat vokal.
Pada awal-awal Reformasi Eros pernah aktif di PDI Perjuangan untuk kemudian mendirikan
Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK).
Sebagai kawan lama kami ngobrol ngalor ngidul. Intinya, dada kami sesak melihat
perkembangan keadaan bangsa dan negara. Ngeri, Mas, negara ini sudah dikuasai oleh
mafia, di mana-mana korupsi yang sudah berjaringan kuat. Di sektor tertentu misalnya, kalau
ditindak bonggolnya, keseluruhan mekanisme pengelolaan sektor itu bisa macet karena
korupsinya sudah sistemik, kata Eros.
Saya langsung paham itu karena selain memang menjadi perhatian saya, keluhan berat seperti
itu baru dikemukakan juga oleh Presiden. Ya, Mas. Kemarin juga Presiden Jokowi
menyatakan kekagetannya karena ternyata mafia dan korupsi ada di semua lini. Hukum kita
pun tumpul karena sistemiknya mafia dan korupsi itu juga sudah masuk ke mafia hukum,
kata saya menanggapi. Aku ngelus dhodho, lho, Mas, sambung Eros lagi.
Dia lalu menjelaskan, betapa jutaan petani di desa-desa menanam bibit padi, jagung, bawang,
cabai secara satu per satu dan merawatnya setiap hari selama berbulan-bulan. Begitu juga
pekerja tambang, nelayan, dan lain-lain bekerja siang-malam. Mereka hanya mendapat
sedikit rupiah yang untuk makan dan menyekolahkan anak saja tak mencukupi, sedangkan
mafioso dan koruptor langsung bisa mencaplok ratusan miliar bahkan triliunan. Parahnya
lagi, banyak di antara kita yang tahu itu, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa secara cepat karena
mafianya sudah sangat dan sangat sistemik. Jika yang satu ditindak, yang menindak itu
dipatok beramai-ramai oleh jaringan mafia yang lain seperti serangan lebah yang membabi
buta. Jaringan mafia itu bukan hanya melibatkan pengusaha hitam, tetapi sudah melibatkan
orang-orang birokrasi, pejabat pemerintah, dan politikus.
***
60

Terus bagaimana, Mas? Kalau kita diam saja keadaan akan semakin buruk, tapi kalau mau
berbuat juga tak bisa ngapa-ngapain, ujar saya.
Eros memberi jawaban yang agak memukau saya. Kalau saya terus saja berjuang sebisanya,
sesuai dengan kapasitas yang saya miliki. Saya memakai jimat yang diberikan kakek saya,
sebut Eros. Jimat? Eros memakai jimat? Jimat apa?
Berceritalah Eros Djarot bahwa dirinya adalah keturunan keluarga penghulu yang
mengajarkan dan menjaga agama Islam di keraton. Sejak kecil dirinya sudah dibiasakan
melaksanakan ajaran agama seperti salat, mengaji, berpuasa, dan lain-lain. Pada suatu hari,
saat remaja, dia dipanggil oleh kakeknya untuk diberi jimat agar hidupnya selamat dan kuat.
Setelah menghadap sang kakek Eros disuruh duduk dengan takzim serta khusuk dan
pemberian
jimat
pun
dimulai.
Sang
kakek
menuntun
Eros
membaca
bismillaahirrahmaanirrahim sebanyak tiga kali untuk kemudian beranjak pergi.
Eros agak kaget dan bertanya. Lho, Kek, mana jimatnya? tanya Eros. Sang kakek pun
mendorong jidat Eros dengan telunjuknya sambil berkata. Bodoh kamu. Itu tadi jimat.
Selalu membaca bismillah tiap melangkah, itulah jimat, kata sang kakek. Kalau kita selalu
membaca bismillah dengan penuh penghayatan, maka kita akan selamat dan tidak berputus
asa dalam menghadapi apa pun dalam hidup ini.
Terus terang, Mas. Saya mungkin tidak tekun beribadah, jarang beribadah bersama-sama
karena lebih banyak menghayati ibadah sendirian, tapi saya selalu melindungi diri dengan
selalu membaca bismillahirrahmaanirrahim. Saya sangat yakin akan kemahakuasaan dan
kemahakasihsayangan Allah. Maka saya terus saja berbuat sebisa mungkin, kata Eros.
Bahwa Eros Djarot termasuk orang yang cukup menjaga dan melaksanakan ajaran agama
saya tahu sudah lama meskipun kadang kala penampilannya terkesan agak nyentrik. Beberapa
kali saya pernah ditanya sesuatu oleh Eros Djarot melalui sandek (SMS) dan ketika saya balik
bertanya dia ada di mana, ternyata dia sedang beribadah umrah. Dia mengirim SMS saat
berada di Masjidilharam, Mekkah. Artinya, dari kesan tentangnya yang agak badung sebagai
seniman, dia masih selalu menghadap Allah dengan bismillahirrahmaanirrahim.
Yang menarik dari Eros adalah konsep jimat atau azimat yang diceritakannya kepada saya.
Ternyata jimat itu bukanlah benda-benda yang dikeramatkan seperti keris, cincin atau kayu
tertentu yang baru bisa diperoleh dengan cara yang aneh-aneh. Jimat itu adalah ketundukan
total kepada Allah Sang Pencipta dengan payung bacaan basmalah yang dihunjamkan ke
dalam kalbu.
Senyampang awal bulan Ramadan, mungkin ada baiknya kita ambil hikmah dari cara Eros
memilih jimat dalam hidup. Kita bisa meniru atau menguatkan kembali pada diri kita bahwa
jimat yang terbaik itu adalah perlindungan dan bimbingan dari Allah. Dengan keyakinan
61

bahwa Allah Mahakuasa, Pengasih, dan Penyayang dan dengan selalu memohon
perlindungan serta bimbingan-Nya melalui bismillaahirrahmaanirrahim, kita akan selalu
melangkah dalam hidup ini dengan tenang, tidak dalam ketakutan. Selamat beribadah puasa.

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi

62

Waspada MERS CoV


Koran SINDO
20 Juni 2015

Situasi Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS CoV) masih belum
terkendali. Sampai 19 Juni 2015 Korea Selatan sudah melaporkan 163 kasus dan terus
bertambah dengan 20 kematian. Angka kematian yang tadinya selalu di bawah 10% kini
sudah melewati angka psikologis 10% dan menjadi 12,27%.
Memang angka kematian di Korea Selatan ini lebih rendah dari angka kematian MERS CoV
rata-rata dunia yang sekitar 35%, tetapi kenyataan bahwa bermula dari satu kasus saja lalu
berkembang menjadi lebih dari 160 kasus tentu merupakan hal amat penting yang perlu dapat
perhatian kita bersama.
Berita baiknya, pertemuan WHO Emergency Committee on MERS CoV yang terdiri atas 17
pakar dunia--saya seorang di antaranya--pada 16 Juni 2015 akhirnya memutuskan bahwa
sampai saat ini MERS CoV belum kami anggap sebagai Public Health Emergency Of
International Concern (PHEIC). Sampai saat ini praktis seluruh penularan di Korea Selatan
berhubungan dengan kejadian di rumah sakit, belum ada penularan di masyarakat.
Dengan pertemuan Emergency Committee on MERS CoV ini, WHO menyatakan bahwa
situasi kini sudah merupakan wake up call, alarm agar semua negara bangun dan
mempersiapkan diri, tentu termasuk kita di Indonesia.
Situasi menjadi makin kompleks karena pada 19 Juni 2015 ternyata Thailand melaporkan
kasus pertama negara itu, sementara beberapa hari sebelumnya Jerman juga melaporkan
kasus pertama MERS CoV yang akhirnya meninggal dunia. Kedua kasus ini baru kembali
dari perjalanan ke jazirah Arab, tentu perlu perhatian kita yang banyak mengirim jamaah
umrah dan warga negara Indonesia (WNI) ke daerah Arab itu pula. Dengan kasus baru di
Thailand, di ASEAN sudah ada tiga negara yang punya kasus MERS CoV yaitu Malaysia,
Filipina, dan Thailand.
Mobilisasi Masif
Sebelum pertemuan WHO Emergency Committee on MERS CoV tim WHO sudah datang ke
Korea Selatan dan memberikan tiga rekomendasi penting di bidang kesehatan masyarakat.
Pertama, pengendalian dan pencegahan infeksi harus terus ditingkatkan di seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan.

63

Kedua, semua pasien dengan demam atau keluhan pernapasan harus ditanya tentang riwayat
kontak dengan pasien MERS, apa pernah berkunjung ke RS yang mengobati pasien MERS,
dan riwayat kunjungan ke Timur Tengah dalam 14 hari sebelumnya. Bila salah satu di atas
positif, pasien harus ditangani seksama dan diperiksa apakah ada MERS. Ketiga, mereka
yang tidak ada gejala apa-apa, tapi pernah kontak dengan pasien MERS, tidak bepergian
selama masa pengamatan.
Rekomendasi ini bernada seperti standar pada umumnya, tapi sebenarnya pelaksanaannya
merupakan kegiatan amat besar. Bisa saja ada ribuan fasilitas pelayanan kesehatan yang harus
mengikuti anjuran poin pertama, dan ada ribuan orang pula yang sedang demam atau gejala
pernapasan dan harus diawasi untuk mengikuti anjuran poin kedua.
Jadi ini merupakan mobilisasi sistem kesehatan yang masif supaya wabah MERS dapat
tertanggulangi di Korea Selatan. Hal yang sama juga harus dilakukan di negara manapun
kalau nanti MERS CoV masuk ke negara itu. Mobilisasi masif seperti ini tentu memerlukan
pengorganisasian yang amat kuat dan dukungan sumber daya yang amat besar.
Faktor Risiko MERS CoV
Dari data pasien MERS yang sembuh dan pasien yang meninggal di Korea Selatan sejauh ini,
ada beberapa informasi faktor risiko yang perlu dapat perhatian kita. Pertama, umur rata-rata
pasien MERS yang meninggal adalah 72,5 tahun, lebih tua dari umur rata-rata pasien MERS
yang sembuh yaitu 55 tahun. Jadi, makin tua usia maka makin besar kemungkinan sakitnya
menjadi parah dan kemudian meninggal dunia.
Kedua, ternyata 92,9% pasien yang meninggal sudah mempunyai penyakit penyerta lain
sebelum terkena MERS, dan hanya 27,9% pasien yang sembuh yang sudah mempunyai
penyakit lain sebelum kena MERS. Artinya, risiko MERS parah/meninggal akan lebih sering
terjadi kalau sudah ada penyakit kronik lain. Jadi, kalau akan bepergian ke daerah yang ada
MERS-nya seperti Korea Selatan ini atau umrah Ramadan, periksalah diri dulu ke dokter
untuk mengetahui bagaimana keadaan penyakit kronik dan apa obat dan keperluan lain sudah
cukup sebagai bekal.
Ketiga, 61% penyakit penyerta pada pasien MERS yang meninggal adalah jenis penyakit
paru kronik, sementara 31,6% penyakit penyerta pasien MERS yang sembuh adalah penyakit
paru kronik. Jadi, ada tidaknya penyakit paru kronik ternyata penting untuk menilai
keberhasilan pengobatan MERS, dan itu salah satu hal yang perlu kita periksa dan waspadai.
Tiga hal di atas perlu jadi perhatian bagi warga negara kita yang akan bepergian ke negara
yang sekarang sedang ada MERS CoV, termasuk umrah Ramadan yang akan makin
meningkat dalam beberapa hari ke depan ini. Selain itu, sudah setingkali disampaikan agar
jamaah umrah jangan kontak dengan unta dan jangan minum susu unta mentah. Anjuran lain
juga amat penting yaitu lebih sering mencuci tangan setidaknya selama 20 detik, pakai sabun
dan air mengalir. Tentu pola hidup bersih dan sehat (PHBS) perlu terus diterapkan sehari-hari.
64

PROF DR TJANDRA YOGA ADITAMA


Anggota WHO Emergency Committee on MERS CoV; Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan

65

Puasa, Penyelenggara Negara, dan Revolusi


Mental
Koran SINDO
24 Juni 2015

Ibadah selama bulan Ramadan (puasa) pada 2015 ini (dan tentu saja selama kepemimpinan
Presiden Jokowi) khususnya bagi para pejabat, aparat negara, dan politisi sejatinya memiliki
makna yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, ada janji kampanye tentang
perlunya revolusi mental yang harusnya dianggap sebagai kewajiban oleh setiap
penyelenggara untuk mengubah diri dari berbagai prilaku buruk seperti korupsi, sewenangwenang, menyalahgunakan jabatan, bersikap tidak adil, dan hanya mementingkan diri sendiri.
Bulan Ramadan, di mana mayoritas warga bangsa ini umat Islam termasuk jajaran
penyelenggara negaranya, adalah momentum menjalankan kewajiban agama yang sekaligus
melatih diri untuk mengubah kebiasaan buruk yang selama ini (sadar atau tidak, sengaja
ataupun tidak) kerap dilakukan dalam menjalankan tugas sehari-hari.
Apalagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui acara Ijtima Komisi Fatwa MUI V di Tegal,
Jateng (7-10/6/2015) secara resmi mengeluarkan fatwa haram bagi pejabat yang mengingkari
janjinya saat berkampanye. Sekali lagi, revolusi mental merupakan bagian dari janji
kampanye Jokowi yang terdokumentasi dalam agenda Nawacitanya.
Tidak mudah memang untuk mengubah kebiasaan yang sudah mendarah daging
(internalized) dalam diri seseorang, apalagi yang terkait kenikmatan duniawi. Justru yang
kerap dilakukan para pejabat dan politisi atau penyelenggara negara seperti itu berupaya
selalu mencari dalil-dalil pembenaran dan atau permaafan, terlebih mereka yang luput dari
jeratan hukum positif negara.
Malahan figur-figur seperti itu dijadikan panutan, dijadikan contoh oleh generasi muda untuk
juga hidup bermewah-mewah, dan lihai mencari serta menemukan cara-cara canggih untuk
bisa memperoleh status sosial, politik, dan ekonomi yang (dalam kacamata duniawi)
dianggap terhormat. Termasuk di dalamnya dengan membiasakan diri untuk mengelabui
banyak orang atau berbohong dengan tak menepati janji.
***
Mengapa kecenderungan seperti itu terjadi? Pertama, masyarakat kita sudah dilabeli sebagai
pelupa dan sekaligus pemaaf, serta sangat menghargai figur yang berkepemilikan materi
pemosisian kemewahan dalam strata nilai tertinggi dalam persepsi sosial, sehingga tak lagi
66

mempersoalkan janji-janji yang pernah diucapkan oleh figur-figur yang masuk dalam
kategori sudah ditokohkan itu. Masyarakat pun sudah menyadari bahwa yang namanya
politik sarat dengan kebohongan sehingga kalau berbohong atau dibohongi sudah dianggap
biasa-biasa saja.
Apalagi kalau saat-saat tertentu, utamanya melalui para tokoh informal di tingkat lokal
sekali-sekali dan terutama menghadapi ajang pertarungan politik diservis dengan materi
(dan biasanya sang figur panutan informal pun umumnya juga haus materi), segalanya akan
terlupakan.
Maka, tidak heran kalau istilah lanjutkan kemudian menggema di mana-mana untuk
memberikan dukungan pada politisi atau pejabat penyelenggara negara untuk kembali
menjabat. Dalam konteks ini, saran Wapres M Jusuf Kalla di dalam acara MUI di Tegal
belum lama ini untuk memberi sanksi bagi para pejabat yang ingkar janji kampanye dengan
tidak lagi memilihnya tampaknya akan diabaikan atau akan dianggap sebagai angin lalu
saja oleh umumnya masyarakat bangsa ini.
Kedua, pesan atau ajaran agama termasuk fatwa MUI itu, oleh banyak pejabat, politisi, atau
penyelenggara negara, cenderung dipandang terlalu abstrak dan masuknya pada ranah privasi
individu. Terlebih lagi yang berlaku di negara ini bukanlah hukum Islam. Dengan begitu,
kalaupun disadari bahwa perbuatan mereka sudah melanggar ajaran agama dan itu bahkan
sudah diketahui oleh banyak orang atau rahasia umum, tidak ada sanksi apa pun yang
diberlakukan. Semua itu diperkuat dengan keyakinan berdasarkan ajaran bahwa hanya dosadosa besar tertentu yang tak bisa diampuni Allah SWT, sementara perilaku buruk mereka
dianggap masih terbuka maghfiroh-Nya sehingga kebiasaan buruk itu pun terus saja
dilakukan.
Bagi para pejabat di negeri ini memang, jika jujur diakui, terkadang hanya menjadikan agama
sebagai simbol untuk kepentingan politik pribadi. Simbol-simbol agama itulah yang kerap
jadi jualan politik untuk memperoleh dukungan masyarakat luas, di samping berbagai
manuver dan atau pernyataan yang (seolah-olah) berorientasi kerakyatan. Padahal,
sebenarnya semua itu merupakan kamuflase saja, bagian dari penipuan terbuka.
Maka tak jarang, ketika berkampanye mengangkat ayat-ayat Allah dan atau pesan-pesan
Nabi, menghadiri berbagai pengajian (yang terkadang juga sengaja diselenggarakan untuk
suatu misi politik), atau mengunjungi tokoh-tokoh berbasis Islam yang kuat hanya untuk
memperoleh dukungan suara atau simpati dari warga mayoritas. Karakter atau perilaku buruk
yang dibungkus oleh formalisme agama seperti itulah yang banyak kita temukan di barisan
penyelenggara negara hari-hari ini.
***
Kita masih beruntung ada fatwa pengingat dari MUI dengan harapan pejabat atau politisi
menepati janji. Kita pun seharusnya masih berharap agar para ulama atau tokoh-tokoh
67

organisasi Islam (atau juga sekaligus tokoh-tokoh lintas agama) secara rajin dan konsisten
mencermati dan sekaligus membeberkan deretan pejabat politik yang ingkar janji, lalu
menyatakannya oh..., inilah pejabat haram di negeri ini yang jangankan untuk dipilih lagi,
dipatuhi pun sudah tidak boleh.
Peran penting ulama memang diharapkan menjadi pengingat atau pengontrol bagi umara
(pemerintah, yang mengurus rakyat). Bahkan ada pandangan yang menyatakan: Seburukburuknya ulama adalah orang yang mendekati umara, dan sebaik-baik umara adalah orang
yang mendekati ulama. Yang tersirat dalam pandangan ini adalah bahwa para ulama harus
menjaga diri agar jangan sampai terkontaminasi oleh siasat pejabat atau pimpinan politik.
Pada saat yang sama, pihak pemerintah harus patuh pada anjuran moral-religius dari para
ulama (seperti fatwa MUI itu) dalam rangka mengarahkan kebijakan, roda pemerintahan, dan
sekaligus masyarakat luas pada nilai-nilai agama yang mengandung kebenaran hakiki serta
universal.
Bila dibawa ke ranah pengelolaan pemerintahan, arahan moral religius itu sebenarnya
termaktub dalam konsep pemerintahan yang baik (good governance) dan aparat
penyelenggara negara yang bersih (clean government apparatus) yang semuanya bermuara
pada terwujudnya rakyat yang sejahtera.
Dalam konteks itulah gerakan-gerakan revolusi mental diharapkan menjadi titik awalnya dan
Presiden Jokowi yang berjanji untuk melakukan itulah sebagai komandan tertinggi yang
harus memaksa seluruh jajarannya untuk menjalankan dua prinsip yang saling terkait itu
(good governance and clean government).
Namun, di sini pulalah tantangan terberatnya. Jangan sampai jika itu dilakukan, harus terlebih
dahulu melakukan revolusi jajaran pejabat penyelenggara negara di bawahnya termasuk
pimpinan dan aparat partai politik di negeri ini. Karena jika jujur diakui, sangat jarang
pejabat, aparat, dan politisi yang terkategori sebagai pulau integritas (islands of integrity).
Padahal, dari barisan politisilah, sebagaimana dijamin oleh undang-undang di negeri ini, yang
jadi sumber pemimpin bangsa atau penyelenggara negara.
***
Pada faktor seperti dijelaskan itu pulalah tantangan puasa Ramadan kali ini khususnya bagi
Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya. Jika saja dicamkan benar makna puasa, bagi
muslim yang yakin, ujungnya adalah meraih kemenangan dalam bayangan diri yang bersih
dari dosa, kembali fitrah bagaikan kertas putih bersih yang kosong.
Puasa juga merupakan latihan pengendalian diri untuk patuh pada semua yang dilarang atau
diharamkan, dan hanya boleh melakukan yang diperbolehkan. Dalam konsep psikologis,
keadaan seperti inilah yang disebut dengan unlearned, mengosongkan diri dari pengetahuan
dan atau kebiasaan yang selama ini menginternalisasi; dan setelah itu memasukkan ihwal
baru yang bersifat positif.
68

Maka, jika itu dilakukan, setelah puasa pikiran serta perbuatan para pejabat politik dan
penyelenggara negara akan terbebas dari bau busuk, korup, dan sejenisnya. Pada saat itulah
konsep revolusi mental Jokowi diharapkan akan terwujud. Jika tidak, puasa hanya akan siasia seperti apa yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali, para pejabat dan politisi atau
penyelenggara negara itu hanya akan menjalankan puasa awam alias ikut-ikutan saja,
hanya dengan menahan lapar, dahaga, dan syahwat, menjaga mulut dan alat kelamin dari
ihwal yang membatalkan puasa. Setelah itu akan kembali berpikir dan berperilaku seperti
biasanya: korup.
Kita pun harus terus menjaga Presiden Jokowi, mengingatkannya tanpa lelah, karena sudah
berjanji untuk revolusi mental sehingga perlu menghindarkannya, jangan sampai tergolong
seperti fatwa MUI itu.

LAODE IDA
Sosiolog, Pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ; Wakil Ketua DPD RI 2004-2014

69

Urgensi Dialog Barat dan Dunia Muslim


Koran SINDO
25 Juni 2015

Saya baru saja mengikuti kegiatan International Joint Conference yang diselenggarakan
Universitat Leipzig dan Universiti Sains Malaysia (USM) pada 3-5 Juni 2015. Judul
seminarnya adalah Pupils Diversity and Success in Science Education in Germany and
Muslim Countries.
Dalam seminar tersebut disajikan presentasi beberapa hasil riset dosen Jerman dan Malaysia
yang terkait pendidikan, Islam, dan sosial dari perspektif Jerman dan Malaysia. Mereka yang
hadir adalah profesor, dosen, dan mahasiswa doktoral. Selama tiga hari kami berdiskusi dan
bertukar pikiran dalam suasana yang hangat, bersahabat, dan setara. Saya satu-satunya
peserta dari Indonesia.
Saya hadir ke acara tersebut secara tidak sengaja. Satu hari sebelum konferensi dimulai
secara kebetulan saya melihat sebuah poster yang dipasang di papan pengumuman Kampus
Leipzig terkait acara tersebut. Saya kemudian langsung mendaftar ke panitia dan secara resmi
diterima sebagai peserta aktif.
Banyak hal yang saya dapatkan selama berlangsungnya acara tersebut. Secara lebih khusus
saya banyak memperbaharui berbagai perkembangan pendidikan, teknologi, dan budaya di
Malaysia melalui presentasi dan diskusi informal dengan peserta dari Malaysia. Tetapi, yang
lebih menarik adalah kegiatan yang melibatkan akademisi dari Malaysia itu juga baru saja
kami ikuti dalam waktu dekat. Jadi, kegiatan yang melibatkan akademisi Malaysia itu kerja
sama antara Fakultas Ilmu Pendidikan Universitat Leipzig dan Universiti Sains Malaysia
(USM).
Sementara delegasi Indonesia diwakili oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas
Brawijaya dengan partnernya adalah Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial-Filsafat
Universitat Leipzig. Kegiatan kami bertajuk Exploring Legal Culture (ELC 2015).
Jika dosen dan mahasiswa tinggal di Leipzig selama dua minggu, tetapi saya tinggal di
Leipzig selama satu bulan karena menjadi research fellow. Sponsor dan payung kegiatannya
sama yaitu dari German Academic Service Change (DAAD) dalam payung kegiatan Higher
Education Dialog with Muslim World. Kegiatan kami hanya berbeda host-nya yaitu fakultas
yang berbeda. Tetapi, jenis kegiatan dan peserta kegiatannya adalah sama yaitu dosen yang
melibatkan mahasiswa.

70

Kehadiran saya di konferensi Jerman-Malaysia tersebut tentu sangat bermanfaat buat saya
karena selain dari segi substansi konferensi, saya juga banyak berdiskusi dengan kolegakolega dari Malaysia maupun dari Universitat Leipzig. Pada posisi ini sekaligus saya banyak
juga menjelaskan posisi Islam di Indonesia dalam beberapa sesi diskusi atau tanya jawab.
Menurut saya, setelah saya menghadiri konferensi tersebut, Islam di Indonesia lebih menarik
dan dinamis dibandingkan dengan Malaysia. Paling tidak secara demografis, jumlah
penduduk Indonesia hampir 85% adalah muslim. Sementara Malaysia memiliki 50% muslim
yang mayoritasnya adalah warga Melayu. Alasan demografis ini kemudian didukung dengan
konteks sosial-budaya yang berkembang dalam masyarakat muslim Indonesia.
Pada akhir konferensi ketika saya berbincang singkat dengan ketua konferensi yaitu Prof
Anatoli Rakhochkine bahwa Islam Indonesia memiliki tingkat dinamika dan kompleksitas
dibandingkan Malaysia. Tentu saya tidak asal berbicara. Beberapa data tambahan saya
jelaskan singkat ke profesor asal Rusia tersebut seperti berbagai riset tentang Islam, budaya,
politik, hukum, ekonomi, hingga kelompok-kelompok garis keras/fundamentalis yang marak
di Indonesia. Singkatnya, pesan saya ke profesor muda tersebut adalah Islam Indonesia itu
seksi bagi dunia Barat.
Simbiosis Mutualisme
Jika ditelusuri secara lebih jauh, dunia Islam saat ini perlahan-lahan menunjukkan
transformasinya dari objek menjadi subjek. Paling tidak saya melihatnya dari perspektif
akademik. Keberadaan negara-negara muslim yang diwakili akademisinya menjadi partner
yang dibutuhkan oleh dunia Barat sebagai upaya dan jembatan dialog dunia Barat dan dunia
muslim.
Sejauh ini saya menangkap kesan ada batas ideologis yang jelas seolah vis a vis antara dunia
Barat dan dunia muslim. Dunia Barat direpresentasikan sebagai sekularisme dan dunia Islam
diperlihatkan sebagai religiusitas. Cara pandang yang dikotomis dan menurut saya
menyesatkan karena produksi tipologi tersebut dalam konteks masyarakat yang terus berubah
drastis dan sudah semakin cair dengan revolusi teknologi.
Kita tak bisa lagi untuk menegaskan diri bahwa Barat adalah sekularisme. Tesis ini
sebenarnya terbantahkan dengan sendirinya melalui hasil riset tentang negara-negara di dunia
baik Eropa maupun Amerika yang justru sekuler, tetapi menerapkan nilai-nilai islami. Jauh
lebih islami praktik hidupnya dibandingkan dengan negara-negara muslim sendiri.
Mari kita lihat hasil riset yang dilakukan dua akademisi di George Washington University
USA, Hossen Askari dan Scherherazde S Rehman. Hasil riset ini dipublikasikan tanggal 11
Juni 2014. Hasilnya sangat mengejutkan bagi kita. Irlandia adalah negara yang paling islami
di dunia. Berikutnya menyusul Denmark, Swedia, dan Inggris. Mereka mempraktikkan nilainilai dan perilaku-perilaku islami yang justru tidak dilakukan di negara-negara muslim seperti
korupsi, kolusi, disiplin, dan sebagainya.
71

Dengan demikian, akar soalnya adalah bukan semata-mata perspektif teologis yang sering
kita pahami secara serampangan. Kita terjebak pada teologi yang simbolik, tetapi defisit
dengan teologi sosial-budaya yang justru lebih implementatif dalam ruang sosial masyarakat
Indonesia.
Itulah yang kita alami dengan defisit teologi sosial. Agama kehilangan visi sosial-budayanya.
Kita terlalu sibuk dengan urusan fikih yang justru tak pernah habisnya. Dalam konteks itulah,
keberadaan dialog-dialog yang menghubungkan dengan akademisi Barat harus ditempatkan
sebagai pintu masuk untuk merajut cara pandang yang salah tentang Barat, termasuk juga
tentang Islam misalnya, isu-isu tentang terorisme, islamophobia, fundamentalisme Islam atau
dalam konteks Indonesia adalah wacana tentang hukuman mati atau poligami. Tema-tema ini
yang bisa kita perdebatkan dalam suasana dialog yang hangat, setara, dan membumi. Tak ada
posisi superior dan inferior.
Dialog yang dibangun adalah berdasarkan simbiosis mutualisme. Mereka berkepentingan
dengan dunia Islam untuk belajar tentang dunia muslim langsung dari akademisi yang
dianggap memiliki pengaruh kepada publik. Selama ini mereka yang membaca dunia Islam
dengan varian isunya dari media terutama media online yang seringkali juga bias
kepentingan. Tetapi, dengan berdialog langsung secara formal dan informal (melalui makan
siang, makan malam, minum kopi bersama) cara pandang mereka tentang Islam yang
terbentuk perlahan-lahan mulai terbangun cara pandang yang baru.
Bagi akademisi negara muslim, dialog ini menjadi penting karena mereka bisa belajar
langsung bagaimana masyarakatnya mempraktikkan nilai-nilai dan budaya yang berbeda
dengan dunia muslim, tetapi lebih islami. Misalnya terlihat dari ketertiban lalu lintas,
ketaatan asas birokrasi, dan sebagainya. Mereka bisa mencairkan suasana kebekuan tentang
Barat yang ditempatkan secara diametral dengan Islam. Ternyata dengan kehadiran langsung
ke negaranya, mereka bisa menjumpai suasana yang cair dan bisa menjadi sumber
pembelajaran bagi dosen maupun mahasiswanya.
Dalam konteks itulah, saya melihat ini sebagai upaya dialog peradaban yang harus terus
dipupuk untuk menghapus berbagai distorsi tentang dunia Barat dan dunia Islam karena
keduanya menjadi bagian penting dalam peradaban dunia

RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Research Fellow di Universitat
Leipzig, Jerman

72

Saemaul Undong, Semua Berawal dari Desa


Koran SINDO
25 Juni 2015

Belakangan ini semangat membangun desa makin kuat di negeri ini. Bahkan sudah lahir
undang-undang khusus yang mengaturnya. Namun, implementasi Undang-Undang Desa
Nomor 6 Tahun 2014 akan sia-sia tanpa disertai clear direction seperti gerakan
membangun desa Saemaul Undong pada era Presiden Park Chung-hee di Korea Selatan.
Keputusan politik untuk memilih desa sebagai basis point dalam menggerakkan dinamika
masyarakat merupakan pilihan yang harus dilaksanakan. Bisa dibayangkan dari sekitar
74.843 desa yang menganggap dirinya siap mengimplementasikan program tersebut belum
dibekali instrumen implementasi yang memadai. Baru ada bayangan indahnya menerima
hibah murni dari pemerintah dengan bimbingan konsultan yang ahli dan tersertifikasi
dengan gaji lumayan di bawah koordinasi pemda dan pemerintah pusat.
Para calon konsultan belum membayangkan peliknya mengelola desa adat yang berjumlah
sekitar 24.000 dan sisanya adalah desa administratif. Keragaman masalah etnis, batas
wilayah, perbedaan tingkat sosial, ekonomi dan budaya (sosekbud) merupakan tantangan para
pengelola program tersebut. Kesiapan mental aparat desa serta instrumen juklak dan juknis
(SOP) dalam proses implementasi perlu dipetakan kesiapannya. Apalagi dalam proses
evaluasi programnya masalah akuntabilitas dan aspek transparansinya karena belum terlatih
akan mengakibatkan cita-cita Undang-Undang Desa yang mulia menjadi sirna.
Pengelolaan program di tingkat pemerintah pusat pun masih gagap. Perebutan kewenangan
pengelolaan program ini masih belum tuntas antara Kementerian Pembangunan Desa
Tertinggal dan Transmigrasi dengan Kementerian Dalam Negeri cq Ditjen Pembangunan
Masyarakat Desa (PMD).
Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah roh dan jiwa program besar ini masih belum
nampak jelas antara pilihan democratic driven (pokoknya proses demokratisasi pembagian
kue pembangunan sudah didistribusikan hingga tingkat desa), atau economic driven
(berorientasi mencari pengungkit pemberdayaan ekonomi yang berasal dari desa).
Tentunya dana yang akan mulai digulirkan tahap awal sekitar Rp300 juta sebagai stimulan
awal dapat mempunyai impak sosial-ekonomi, sehingga pada saat mencapai plafon Rp1,4
miliar rupiah per desa nantinya dalam proses transformasi desa supaya self-help & self
reliance seperti di Korsel dapat terwujud.
Relevansi Saemaul Undong bagi Indonesia
73

Niat baik untuk membuat transformasi sosial yang dimulai dari tingkat desa (setara dengan
daerah tingkat 3) mirip dengan gerakan Saemaul Undong (SU) di Korsel. Yang membedakan
hanya terletak pada roh dan kejelasan sasaran ekonomis yang sistematis, taktis dan
terlembaga.
Kunci sukses yang lain gerakan masif sejenis ini di Korsel dipimpin langsung oleh
presidennya, sedangkan di Indonesia hanya dipimpin dua kementerian yang masih
bersengketa. Pemerintah mestinya ingat kegagalan implementasi UU-22/1999 dengan
revisinya UU-32/2004, UU-23/2014 tentang transformasi sosial yang diletakkan pada daerah
tingkat 2 (kabupaten/kota) dan kini sedang ditarik ke tingkat provinsi.
Gerakan SU ini diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Presiden Park Chung-hee sendiri di
tahun 1970-an. Ada 33.267 desa yang dikelola dan telah mencapai sukses besar. Keberhasilan
ini dikarenakan instrumen change management sangat jelas sasarannya. Dalam program yang
sepenting ini pemerintah Korsel memilih menyentuh manusianya terlebih dahulu dengan
menyiapkan 680.000 training camps.
Materi pembekalannya pun dipilih yang bernuansa revolusi mental/budaya organisasi. seperti
semangat gotong royong, kerja rajin dan spirit can do/will do attitude for a better life; my
self, my neighbours, my whole village. Gerakan tersebut disosialisasikan pada tahap awal
pemerintah Korsel hanya memfokuskan pada 16.600 desa percontohan.
Gerakan serupa juga pernah dilakukan oleh seorang gubernur wilayah Oita, Jepang, Morihiko
Hiramatsu di tahun 1979, dan diimplementasikan pada awal tahun 1980 dengan nama
gerakan One Village One Product (OVOP). Gerakan ini mewajibkan setiap prefektur (setara
dengan kecamatan) harus membuat satu jenis produk unggulan, seperti menanam jamur
shitake, beternak sapi, berkebun agar bisa menghasilkan buah-buahan dan lain sebagainya.
Pada akhirnya lahirlah 300 jenis komoditas unggulan yang berhasil tersebar di seantero
Jepang. Bahkan ide ini berhasil dipraktekkan di Thailand, Malaysia dan bahkan di Indonesia
di tahun 2000-an. Di Jawa Timur pernah dipraktekkan oleh Gubernur Basofi Sudirman dan
mencatat keberhasilan sementara di wilayah Sidoarjo dengan produk kerupuknya.
Di tahun 2004 Kementerian Perindustrian hampir berhasil membuat gerakan sosial sejenis
yang dinamai gerakan industrialisasi model Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti (SakaSakti), sesuai dengan pemaknaan Undang-Undang 22 dan 32/2004. Kini Undang-Undang
Desa mulai diimplementasikan di Indonesia, namun perangkat kelembagaan dan
kesungguhan pelaksanaannya masih diragukan.
Check-List Pekerjaan Rumah
Persiapan transformasi dari sistem sentralisasi ke desentralisasi membutuhkan direction dan
instrumen kelembagaan dalam change process yang perlu dicek secara menyeluruh. Pertama,
74

siapa yang akan memimpin gerakan ini? Kesuksesan gerakan ini di Korsel oleh presiden dan
di Thailand gerakan Tombon serupa OVOP dipimpin oleh sang raja sendiri.
Kedua, penyiapan pusat pelatihan yang tersebar dan profesional apakah sudah dipersiapkan?
Ketiga, apakah calon penyuluh yang tersertifikasi apakah sudah memadai? Keempat, apakah
short term win program di tahap awal ini sudah diprogramkan? Kelima, apakah uji materi
pelatihan sudah dilakukan? Keenam, bagaimana sistem evaluasi keberhasilannya? Ketujuh,
apakah opsi exit/reentry kegagalan sudah dipikirkan?
Semoga pelajaran penting dari Saemaul Undong yang terkenal sukses tersebut bisa dijadikan
acuan kita bersama.

MARTANI HUSEINI
Guru Besar; Pengajar Mata Kuliah Daya Saing Daerah/Nasional dan Manajemen Perubahan
dan Inovasi Organisasi Pascasarjana UI

75

Jalan
Koran SINDO
26 Juni 2015

Yang namanya hidup itu berarti selalu bergerak. Salah satunya adalah berjalan. Makanya
kalau kita melihat sekeliling, pasti akan ditemukan yang namanya jalan, entah jalan besar
atau kecil, lurus atau berkelok, datar, naik atau turun.
Manusia selalu bergerak merupakan naluri bawaan. Selalu ingin melihat wilayah yang baru.
Selalu ingin memperluas wawasan dan pengalaman hidupnya. Untuk memfasilitasi naluri
sebagai peziarah ini, diciptakanlah sarana sejak dari sandal, sepatu, jalan, kendaraan hingga
sekian peralatan lain agar perjalanan nyaman. Tak kalah penting, manusia juga membangun
jembatan.
Tidak cukup melalui daratan, manusia juga berjalan dengan menggunakan jalur lautan dan
udara. Lautan dan udara pun dikavling-kavling untuk lalu lintas kapal dan pesawat udara
sehingga kemacetan tidak saja terjadi di daratan, tetapi sekarang jalan udara di atas Bandara
Soekarno-Hatta Jakarta dan Adisutjipto Yogyakarta juga sering macet. Pesawat mesti antre
untuk takeoff maupun landing.
Ketika perjalanan dan pengembaraan fisik untuk mengetahui luasnya dunia terhambat secara
teknis, diciptakanlah internet dan teknologi fotografi serta televisi demi memenuhi dahaga
berziarah berlanglang buana. Sekarang, dengan duduk di depan komputer atau televisi, kita
bisa menjangkau dunia yang lebih luas dan warna-warni meskipun dalam sajian potonganpotongan gambar, rekaman video atau foto.
Orang bilang kita hidup di era visual age. Meskipun begitu, dorongan untuk melihat teritori,
bukan sekadar peta, tak pernah mati. Makanya industri motor, mobil, dan pesawat selalu
berkembang. Agen-agen travel pun bermunculan.
***
Ketika realitas ini saya kaitkan dengan ajaran Islam, saya menemukan beberapa istilah
konseptual di mana Islam juga sangat menekankan etos gerak. Anda mungkin sangat akrab
dengan istilah-istilah ini yang semuanya memiliki konotasi gerak dan jalan. Misalnya kata
syariah, thariqah, sabilillah, hijrah, thawaf, madzhab, musafir, ziyarah, sai, isra, miraj.
Kata-kata itu semuanya mengandung makna berjalan atau bergerak baik pada level fisik
maupun spiritual, berdimensi horizontal maupun vertikal.

76

Kata syariah misalnya berasal dari sebuah jalan yang mendekatkan sumber mata air. Oleh
Islam lalu ditransendensikan sebagai jalan menuju kebahagiaan dan keselamatan duniaakhirat. Jadi di situ Islam (dan agama pada umumnya) memberikan dimensi moral spiritual
agar aktivitas hidup yang selalu ditandai dengan gerak itu memiliki tujuan yang lebih
bermakna, bukan sekadar mobilitas fisik tanpa tujuan yang bersifat Ilahi.
Ketika seseorang memiliki mobil, sebuah pertanyaan moral muncul. Untuk bergerak ke mana
dan untuk tujuan apa seseorang menjalankan mobilnya? Ketika kaki melangkah keluar
rumah, ke mana dan untuk apa tubuh ini hendak dibawa? Semua aktivitas fisik dan
intelektual yang kita lakukan ujungnya mesti mengundang pertanyaan moral, apa makna dan
manfaat apa dari semua itu?
Mengabaikan pertanyaan moral sama saja menempatkan manusia tak ubahnya seperti hewan
atau mesin. Pasalnya, salah satu dimensi dan misi manusia sebagai moral being adalah
menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupannya di mana pun berada.
Bayangkan saja, di mana pun pergi kita akan melihat sarana jalan dan teknologi yang
mendukung agenda perjalanan manusia. Mobilitas migrasi manusia semakin bertambah.
Pergerakan manusia terjadi di sekeliling kita dan kita juga menjadi bagian dari gerak itu.
Lagi-lagi, sesungguhnya apa agenda paling primer dari mobilitas ini semua?
Bagi mereka yang tidak memiliki tujuan hidup mungkin saja tidak penting bertanya ke mana
tubuh ini mau dibawa. Tidak penting kaki akan berhenti di mana karena tidak memiliki
tujuan. Bisa jadi yang primer adalah avoiding the pain, menghindari apa pun yang
menyakitkan, lalu looking for the pleasure, mengejar apa pun yang dirasakan menyenangkan.
Dalam konteks ini semua, hidup itu pun sebuah ziarah. Sebuah perjalanan. Kita tengah
menelusuri lorong waktu yang kadang terasa pengap dan kadang menyegarkan. Kadang
terang dan lain kali remang-remang atau gelap. Faina tadzhabun? Ke mana engkau hendak
pergi, tanya Allah dalam Alquran. Dalam perjalanan ini jika ditanyakan pada akal, ke mana
ujungnya, tak lain adalah kematian. Tapi kesadaran moral dan agama menyatakan bahwa di
sana mesti ada jalan dan kehidupan lain mengingat banyak sekali utang-piutang moral
seseorang yang belum lunas terbayar. Dan sungguh melukai rasa keadilan jika kematian yang
menanti di pengujung jalan ini mengakhiri semua cerita dan drama kehidupan seseorang.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT


Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat

77

Kasus Engeline dan Opini Publik


Koran SINDO
26 Juni 2015

Sudah sebulan lebih berita Engeline mewarnai media. Bocah cantik itu telah menjadi
perhatian publik sejak diberitakan hilang. Kasusnya semakin menyita perhatian setelah bocah
delapan tahun itu ditemukan tak bernyawa pada 10 Juni lalu. Hingga tulisan ini dibuat, kasus
pembunuhan Engeline masih menjadi headline karena pelakunya masih misterius.
Kita semua mafhum, pelaku kekerasan terhadap anak bisa siapa saja, baik orang tua kandung
maupun orang tua tiri/angkat. Namun, dalam kasus Engeline, stigma ibu tiri/angkat yang
kejam terasa begitu kuat. Masyarakat seolah sedang menyaksikan drama kekejaman ibu
angkat dan penetapan Margriet sebagai tersangka pembunuhan, ibarat sesuatu yang ditunggutunggu. Padahal, fakta tidak mesti sejalan dengan opini masyarakat dan tidak dapat
disinkronkan.
Timbulnya kecurigaan terhadap sang ibu angkat tentunya bukan berdasarkan stigma semata.
Memang ada beberapa kejanggalan yang telah mengemuka di media dan masyarakat terkait
lokasi ditemukannya jasad bocah malang itu. Namun, aparat belum menemukan bukti yang
mengarah pada Margriet sebagai tersangka pelaku pembunuhan. Margriet baru menjadi
tersangka penelantaran anak.
Dalam kasus kriminal, media seringkali berpihak pada korban. Ketika berpihak pada korban,
pemberitaan dapat menjadi bias karena empati ikut berperan di dalamnya. Di sejumlah
tayangan, porsi wawancara dengan narasumber pun terasa kurang berimbang. Disengaja atau
tidak, pakar yang diundang ternyata banyak yang mengarah pada keterlibatan sang ibu
angkat.
Tuduhan terhadap Margriet pun seolah dengan bebas bisa dilontarkan di media, dalam hal ini
di televisi. Sejumlah media sempat menayangkan kecurigaan Hamidah (ibu kandung
Engeline) terhadap Margriet dengan cara digelontorkan begitu saja sehingga durasinya
menjadi panjang. Bahkan ada media yang memberi efek looping (pengulangan) dan echo
(gema) pada suara tangis sang ibu kandung, juga dengan durasi yang cukup panjang. Tentu
saja itu dapat mempermainkan emosi pemirsa.
***
Seperti media lain, tayangan berita di televisi juga terikat pada kaidah jurnalistik. Sesuai
ketentuan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diterbitkan
oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), di mana untuk program siaran berita, media harus
78

memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik. Antara lain akurat, adil, berimbang, tidak berpihak,
tidak beriktikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan (misleading), tidak
mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, dan lain-lain. Program harus menerapkan asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam peliputan dan tidak melakukan
penghakiman.
Memang tidak semuanya demikian. Masih ada tayangan yang mencoba berimbang dengan
menampilkan narasumber yang memiliki angle berbeda. Namun, pendapat narasumber
tersebut kalah gaungnya dengan opini yang ada. Apalagi, media kurang banyak menggali
keseharian Margriet dari sisi yang tidak negatif.
Saat ini memang pemberitaan media sudah lebih berimbang dibandingkan pada awal
penemuan jasad Engeline. Namun, opini publik yang telanjur terbentuk masih sulit bergeser
dari praduga bersalah (presumed guilty) terhadap Margriet sang ibu angkat. Beberapa
waktu lalu sempat ada tudingan bahwa pembunuhan siswi kelas 2 SD itu suatu konspirasi
dengan motif harta warisan. Banyak media yang mem-blow up tudingan tersebut tanpa
dikritisi. Padahal, sebagai anak angkat, sesungguhnya Engeline tidak berhak atas warisan.
Kalaupun iya, itu harus tertuang dalam surat wasiat. Karena ayah angkat Engeline memiliki
istri dan anak kandung, secara hukum tidaklah mungkin bagi anak angkat untuk menerima
sebagian besar harta. Meski sudah dibantah oleh pengacara Margriet, tak urung isu ini
semakin memperkuat opini yang berkembang di masyarakat.
***
Dalam rangka menyajikan berita yang lebih objektif, media bisa mengkritisi dua hal.
Pertama, soal saksi mahkota. Mengapa aparat terkesan begitu yakin dengan pengakuan Agus,
padahal keterangannya kerap berubah-ubah? Dengan menyebut Agus sebagai saksi mahkota,
artinya polisi sudah menyimpulkan ada tersangka lain. Karena saksi mahkota hanya ada
dalam kasus kriminal yang dilakukan secara bersama-sama (sehingga seorang
tersangka/terdakwa dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lainnya). Kalau memang polisi
yakin ada tersangka lain, mengapa belum ditetapkan? Padahal Agus sudah dinyatakan sebagai
saksi mahkota sejak pekan lalu.
Hal kedua yang perlu dikritisi adalah soal kekerasan seksual. Apakah kekerasan seksual pada
akhirnya sudah dipastikan benar-benar tidak ada, atau meragukan, karena tidak dapat
ditemukan? Dalam sebuah tayangan sempat dibahas: jika ada kekerasan seksual,
tersangkanya mengarah pada Agus. Sedangkan jika tidak ada, kecurigaan mengarah pada
Margriet.
Lantas bagaimana jika tanda-tanda kekerasan seksual tidak bisa ditemukan akibat jarak antara
kejadian dan penemuan jasad sudah hampir satu bulan? Atau, bagaimana jika akhirnya
ditemukan jejak-jejak kekerasan seksual, namun polisi berpegang pada pengakuan Agus yang
menyeret keterlibatan sang ibu angkat?
79

Semua perlu dikritisi media agar tidak timbul kesan bahwa polisi berada dalam tekanan dan
sedang bekerja keras agar pengungkapan kasus ini dapat dicocokkan dengan opini publik.
Aparat kepolisian memang tidak bisa serta-merta menetapkan seseorang sebagai tersangka
hanya berdasarkan opini yang berkembang di masyarakat. Aparat bekerja dalam koridor
hukum dan berdasarkan alat bukti.
Jika pada akhirnya Agus ditetapkan sebagai pelaku tunggal karena tidak terdapat alat bukti
yang cukup untuk menetapkan Margriet (atau orang lain) sebagai tersangka pembunuhan,
media memiliki tugas untuk meluruskan opini publik. Jangan ada lagi judul berita di media
yang mengesankan bahwa kasus ini masih misterius dan belum sepenuhnya tuntas karena
(seharusnya) masih ada tersangka lain dan sebagainya. Polisi pun harus punya penjelasan atas
sejumlah kejanggalan agar publik tidak meragukan hasil penyidikan.
Sebaliknya, jika aparat menemukan bukti dan menetapkan Margriet sebagai tersangka
pembunuhan anak angkatnya, media pun perlu bersikap objektif dengan mengkritisi.
Tujuannya adalah dapat dipastikan bahwa penetapan tersebut betul-betul karena ada
kesesuaian antara tersangka dan alat bukti, bukan disesuaikan dengan opini publik.

YASMIN MUNTAZ
Pemerhati Media/Alumnus Pascasarjana FHUI

80

Engeline dan Mati Dini GN-Aksa


Koran SINDO
26 Juni 2015

Duka bercampur murka. Begitu reaksi masyarakat menyaksikan episode demi episode kasus
Engeline, gadis cilik yang wajahnya memantulkan kecantikan surgawi.
Tragedi yang Engeline alami tak ayal memberikan setitik noda bagi Denpasar sebagai
wilayah yang menerima penghargaan tertinggi kota layak anak. Namun, kerja tangkas dan
lekas yang Polda Bali serta berbagai elemen masyarakat peragakan memberikan jaminan
nyata bahwa kepergian Engeline telah menjadi penginspirasi bagi semua pihak bahwa
keterpaduan langkah merupakan kunci penanganan masalah-masalah kejahatan terhadap
anak.
Seketika pula terkenang beberapa lembar kertas yang keluar dari tempat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono bekerja setahun silam. Dokumen itu bernama Inpres No. 5 Tahun 2014
tentang Gerakan Nasional Antikekerasan Seksual terhadap Anak (GN-Aksa). Inpres GN-Aksa
secara khusus memerintahkan Kemenko Kesra untuk mengoordinasi pembuatan kebijakan,
penyelenggaraan evaluasi, dan penyampaian laporan kepada Presiden setiap tiga bulan sekali
atau sewaktu-waktu dibutuhkan. Inpres tersebut ditujukan kepada para menteri, jaksa agung,
kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, para kepala lembaga pemerintah nonkementerian, para gubernur, dan para bupati/wali kota.
Sejauh mana pelaksanaan inpres tersebut, apalagi jika kekerasan dimekarkan cakupannya
sehingga tidak sebatas pada kekerasan seksual, tidak tersedia data memadai. Salah satu
kemungkinan penyebabnya adalah inpres tersebut dikeluarkan pada masa-masa terakhir
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga terjadi keterputusan kebijakan
dan pemantauan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Atau, bisa pula karena kini tidak
ada lagi Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra). Walau di kabinet
Presiden Jokowi ada kementerian pengganti yakni Kementerian Koordinator Bidang
Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayaan, seolah tetap ada tugas-tugas Kemenko Kesra
yang tercecer saat pindah ke Kemenko PMK.
Apa pun alasannya, pemerintahan Presiden Jokowi seharusnya meneruskan upaya
implementasi Inpres GN-Aksa. Terlebih karena salah satu butir Nawacita mencantumkan
perlindungan terhadap anak sebagai prioritas kerja pemerintah saat ini. Disayangkan bahwa
beberapa kementerian dan lembaga terkait, khususnya instansi yang menjadi focal point
untuk perlindungan anak, belum menunjukkan kinerja maksimal yang sebanding dengan
urgensi dikeluarkannya inpres tersebut. Di luar sana bahkan sudah sejak beberapa waktu lalu

81

mendengung usulan agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


masuk dalam daftar kocok ulang kabinet.
Fakta-fakta terkini menjadi indikator ukuran stamina kita dalam menekan kasus-kasus
kejahatan seksual terhadap anak. Indonesia, sebagai misal, kini dikabarkan telah menggeser
posisi Thailand dan Kamboja sebagai salah satu tujuan utama wisata seks anak di dunia.
Turunnya peringkat Thailand dalam daftar tujuan wisata seks anak merupakan hasil kerja
masif termasuk optimalisasi peran satgas anti-perdagangan orang di Negeri Gajah Putih serta
kemitraan yang solid dengan negara-negara yang diketahui menjadi wilayah asal para pedofil
internasional.
Salah satu media sosial terbesar di dunia juga mengumumkan bahwa dengan 7000-an laporan
pada 2012, Indonesia menempati peringkat pertama untuk pornografi anak dan child abuse
material via media daring di Asia. Sekian banyak data yang dikeluarkan lembaga-lembaga
perlindungan anak juga memperlihatkan tren kekerasan terhadap anak yang terus mendaki.
Tentu, data-data semacam di atas tidak dapat secara mutlak dipandang sebagai keburukan
belaka. Jumlah kejadian yang terus bertambah justru mengindikasikan semakin banyak
inisiatif-inisiatif advokasi dalam isu ini. Individu dan lembaga pemerhati anak yang
berkhidmat pada bidang perlindungan anak, tentunya, menjadi mitra yang baik guna
memaksimal kerja Polri.
***
Menyikapi sayupnya GN-Aksa, sesuai fungsinya, DPR memiliki peran strategis untuk
melakukan pemantauan terhadap kinerja eksekutif. Inpres GN-Aksa, sebagai produk
kebijakan eksekutif, juga termasuk menjadi bahan cermatan DPR. Karena Inpres GN-Aksa
ditujukan kepada seluruh kepala daerah, sudah seharusnya DPRD di seluruh daerah juga
melakukan pemantauan intensif terhadap kerja kepala daerah dan dinas-dinas sosial setempat
di bidang pencegahan dan penanganan anak dari kejahatan seksual maupun kejahatankejahatan lainnya.
Secara khusus, kementerian maupun lembaga mitra non-kementerian yang diprioritaskan dan
fokus pemantauan: Pertama, Kemenko PMK. Kementerian ini perlu diingatkan untuk
memberikan penjelasan tentang penindaklanjutan Inpres GN-Aksa oleh pemerintahan
Presiden Joko Widodo, baik evaluasi maupun rencana penguatan.
Kedua, Polri. Organisasi Tribrata seyogianya dapat menyampaikan penjelasan tentang
kesiapan Polri dalam menangani kasus-kasus kejahatan terhadap anak yang semakin lama
semakin menggelisahkan. Salah satu indikator kesiapan itu adalah statistik ketersediaan
sarana dan personel Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di seluruh polres. Sudah
saatnya Polri menjadikan kerja perlindungan anak sebagai salah satu parameter inti kualitas
kinerjanya.
82

Ketiga, Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Lembaga ini perlu diberikan kesempatan untuk
memberikan penjelasan untuk menangkis berbagai sinyalemen publik mengenai friksi dan
konsistensi kerja KPAI sesuai tugas pokok dan fungsinya. Masalah tersebut perlu diurai guna
memaksimalkan peran KPAI.
Di samping institusi pemerintahan, perlu pula dilibatkan lembaga-lembaga non-pemerintah
yang berkhidmat dan berpotensi kuat pada bidang pemberantasan kejahatan terhadap anak.
Bentuk perlibatan itu mencakup penyusunan rancangan kerja strategis penanganan holistik
kasus kejahatan terhadap anak oleh unsur-unsur non-pemerintah. Allahu alam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL


Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne; Penulis Buku "Ajari Ayah, Ya
Nak"

83

Dongeng dari Negeri Tembakau


Koran SINDO
26 Juni 2015

Syahdan, kata orang-orang tua, ada kisah turun-temurun yang sampai di telinga kita. Pada
zaman dahulu ada seorang kakek yang mendaki Gunung Sumbing di Temanggung, Jawa
Tengah.
Dalam pendakiannya itu, di suatu tempat, yang sudah dekat dengan puncak gunung tersebut,
sang kakek berteriak dengan perasaan terkejut bercampur rasa kagum: iki tambaku, inilah
obatku. Apa yang disebut obat itu? Sang kakek membungkuk dan mencabut sejenis
tetumbuhan liar di hutan, yang belum dibudidayakan petani.
Menurut dongeng yang kini menggelantung di dahan-dahan, di ranting, maupun di pohonpohon dan di batu-batu, kata tambaku itu berubah bunyi menjadi tembako, kemudian
menjadi mbako. Orang Jawa, sejak dulu hingga kini, menyebutnya mbako. Kita tahu
artinya tembakau yang kita kenal sekarang.
Sejak dulu, ketika jenis tetumbuhan itu masih liar, hingga sekarang, sesudah dibudidayakan
petani menjadi tanaman yang terpelihara dengan baik, tetumbuhan itu tidak berubah. Batang
dan daun-daunnya masih seperti yang dulu. Batang maupun daun-daunnya mengandung
sejenis bulu-bulu lembut. Bila kita menyentuhnya dengan jari-jari tangan, dengan sentuhan
yang sedikit ditekan, keluarlah sejenis cairan yang sedikit berlendir. Jika cairan itu dijilat,
rasanya pahit. Inilah pahit tembakau, yang kita kenal sampai sekarang.
Rasa pahit itu merupakan sejenis racun yang bisa digunakan sebagai obat. Tidak ada catatan
yang ditinggalkan pada kita, penyakit apa yang bisa diobati dengan tanaman tersebut. Para
leluhur tidak memiliki tradisi mencatat apa yang mereka kerjakan. Obat dan sistem
pengobatan berkembang secara terbatas dan hanya dikenang berdasarkan ingatan yang juga
terbatas. Begitu suatu generasi berlalu, sebagian cara pengobatan dan jenis-jenis penyakit
yang diobatinya ikut hilang tertiup badai perubahan. Modernisasi, kemajuan, dan
perkembangan zaman, menelan apa saja yang tak sejalan dengan semangat zaman itu. Tradisi
dan segenap tata cara yang dimuliakan masa lalu juga ikut lenyap.
Sistem pengobatan modern yang lebih maju, lebih efisien, dan mungkin kelihatan lebih
bergengsi mendesak jauh sistem pengobatan nenek moyang kita. Apa yang modern bertahan.
Yang tua-tua perlahan-lahan lenyap tanpa sisa.

84

Meskipun begitu, ada yang tetap tinggal, tak pernah tergusur, dan tetap jaya: tembakau tetap
tembakau. Sistem budi daya tanaman tembakau bukan semakin surut, melainkan semakin
maju.
Si kakek yang disebut sebagai penemu bibit tembakau tadi di dalam dongeng disebut sebagai
pemelihara tanaman tembakau. Kakek itu bukan orang biasa. Orang-orang tua menyebutnya
Ki Ageng Makukuhan. Karena beliau hidup di daerah Kedu, beliau pun bergelar Ki Ageng
Kedu. Beliau juga dikenal sebagai Prabu Makukuhan, Sunan Makukuhan, Wali Agung
Makukuhan. Pada masa hidupnya, sang wali pernah berguru pada Sunan Kudus.
Di dalam dongeng tersebut, ada tiga serangkai yang bekerja sama dan saling menolong.
Sunan Makukuhan mengurus sistem budi daya tembakau. Sunan Kudus disebut pengolah
produk tembakau. Di zaman itu ada pedagang terkemuka yang menangani penjualan produk
olahan tembakau dari Sunan Kudus. Pedagang itu bernama Dampo Awang, yang juga dikenal
dengan sebutan Panglima Ceng Ho.
Kita tidak tahu bagaimana tata kelola perdagangan tembakau pada zaman itu. Tapi, kita tahu,
Ceng Ho memiliki kapal besar dan beliau berlayar ke tempat-tempat yang jauh dari negeri
kita. Kecuali dijual di negerinya, Cina, dapat diduga bahwa panglima itu juga menjualnya di
negeri-negeri lain yang berada dalam jalur pelayarannya.
Sunan Makukuhan, Sunan Kudus, dan Dampo Awang bekerja sama dengan baik. Tiap pihak
menghormati pihak lain. Mereka saling membutuhkan. Masing-masing saling melengkapi.
Dongeng dari negeri tembakau memberitahukan kepada kita bahwa sejak dulu tembakau
sudah merupakan produksi pertanian yang diperdagangkan lintas negara, lintas benua, dan
lintas bangsa.
Kita tahu bahwa kelangsungan hidup tanaman tembakau terjaga dengan baik. Masa hidupnya
yang melintasi abad-abad yang begitu panjang. Konsumen dan produsen bekerja sama, saling
membantu, dan saling menolong. Konsumen bergantung pada produsen, dan sebaliknya,
produsen tak bisa berproduksi tanpa konsumen.
Kisah-kisah masa lalu, dongeng dari negeri tembakau, tetap hidup pada hari ini. Tembakau,
produk dunia pertanian itu, kaya dengan dongeng dan kisah-kisah yang melibatkan para
tokoh besar yang bukan orang setempat. Dongeng dari negeri tembakau menggambarkan
jalinan kehidupan yang terjaga secara harmonis. Kita menikmati kisah kehidupan yang rukun
dan damai.
Dongeng dari negeri tembakau mungkin gambaran sebuah surga kecil di bumi. Ini surga yang
diciptakan dan dipelihara manusia. Di dalamnya alam dan manusia hidup berdampingan.
Manusia menjaga alam. Tapi, manusia juga menikmati keagungan alam itu bagi keselarasan
hidupnya.

85

Dongeng dari negeri tembakau itu kisah masa lalu, milik masa lalu, yang kini menjadi milik
kita. Tapi, sekarang muncul dongeng baru: dongeng asing yang menakutkan. Siang maupun
malam para petani di negeri tembakau merasa terancam. Siang maupun malam hidup mereka
tidak tenteram.
Syahdan, di dalam mimpi-mimpi mereka terbayang raksasa bule sebesar gunung yang siap
mencaplok seluruh ladang pertanian tembakau yang mereka miliki. Kalau tanaman tembakau,
satu-satunya sumber kehidupan ekonomi dicaplok habis tanpa sisa, nasib hari depan para
petani pun berada dalam bahaya. Membunuh petani yang tak punya hari depan sama
mudahnya dengan memijit buah tomat. Para petani akan mati dengan sendirinya.
Raksasa bule sebesar gunung itu pandai dan kaya raya. Menghadapi politisi, mereka
berbicara politik dengan canggih. Di depan para birokrat, mereka berbicara mengenai tata
kelola pemerintahan yang adil dan demokratis. Di depan orang-orang kesehatan, mereka
berbicara mengenai cara menjaga kesehatan masyarakat.
Tapi, bukan hanya itu. Mereka juga membawa uang yang tak terbatas jumlahnya. Politisi,
para birokrat, dan orang-orang kesehatan takjub melihat kehebatannya. Mereka pun terpesona
pada kemurahan hatinya. Uang dalam jumlah tak terbatas tadi dibagi-bagi begitu saja.
Tujuannya hanya satu: mereka diminta membantu raksasa bule tadi menghancurkan
kehidupan di negeri tembakau.
Para birokrat, politisi, dan orang-orang kesehatan diberi tahu bahwa tembakau berbahaya
sehingga harus dihancurkan. Para birokrat, politisi, dan orang-orang kesehatan, bekerja
dengan sikap dan penuh pengabdian pada si raksasa bule. Para prajurit masing-masing yang
taat dan patuh sesudah melihat bahwa di balik perintah atasan mereka ada pula uang yang
besar jumlahnya.
Para petani tembakau risau. Tapi, kemudian mereka melawan dengan gigih. Mereka
mempertahankan hak hidup yang terancam. Dongeng dari negeri tembakau pun kemudian
bertambah satu babak baru: babak perlawanan terhadap ancaman raksasa bule sebesar
gunung yang dibantu para birokrat, politisi, dan orang-orang kesehatan.

MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com

86

Makanlah Kalau Imsak


Koran SINDO
27 Juni 2015

Ketika saya masih kuliah dulu, teman sekamar kos saya di Yogyakarta yang kini menjadi
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Akhmad Minhaji Moekti, mengambil sikap berbeda
dari orang-orang lain dalam hal makan sahur saat berpuasa.
Kalau orang-orang lain segera berhenti makan sahur begitu mendengar sirene atau beduk atau
pemberitahuan masuknya waktu imsak, teman saya ini justru segera memulai makan sahur
begitu mendengar seruan imsak. Begitu ada seruan Imsaak, qad aana waktul imsaak
(imsak, kini sudah masuk waktu imsak), Minhaji ini langsung makan sahur dan baru berhenti
kalau sudah berkumandang azan subuh.
Kalau sudah melewati separuh bulan Ramadan biasanya sejak pukul 2.30 dini hari Minhaji
sudah berada di Masjid Almustaqiem untuk melanjutkan salat malam atau membaca Quran,
tapi begitu ada seruan imsak dia segera pulang dulu untuk makan sahur.
Teman-teman pada berteriak, Eh, Min, ini sudah imsak, kok, masih makan? Dia enteng
menjawab, Mengapa? Kan, belum azan subuh? Bagi banyak orang sikap dan jawaban
Minhaji ini aneh, sebab biasanya begitu mendengar tanda imsak orang yang berpuasa segera
berhenti makan. Banyak orang tua langsung meminta anak-anaknya berhenti makan begitu
mendengar tanda imsak, tak peduli makannya baru mulai atau sudah lama. Ini sudah imsak,
berhenti makan minum, puasa dimulai, kata mereka.
***
Sebenarnya dari sudut fikih, apa yang dilakukan Minhaji itulah yang benar. Di dalam ibadah
puasa yang dituntunkan oleh Rasulullah tidak dikenal adanya imsak seperti yang kita kenal di
Indonesia. Malah ada anjuran untuk mempercepat berbuka begitu berkumandang azan magrib
dan memperlambat waktu sahur sampai berkumandang azan subuh. Maksudnya biar orang
berpuasa tak terlalu lama menahan lapar dan haus.
Baik menurut kitab suci Alquran maupun yang dipraktikkan oleh Rasulullah waktu
dimulainya berpuasa setiap hari adalah saat masuk waktu subuh, bukan saat dibunyikan
sirene atau dikumandangkan seruan imsak.
Di dalam Alquran Surat Albaqarah ayat 187 difirmankan, .... dan makan dan minumlah
kamu hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam (yang menunjukkan terbitnya)
fajar. Ayat ini sudah menegaskan bahwa kita boleh makan dan minum sampai terbitnya fajar,
87

yakni sampai masuk waktu untuk salat subuh. Terbitnya fajar itu menandai masuknya waktu
subuh.
Praktik Rasulullah pun dalam melaksanakan ibadah puasa seperti itu. Di dalam sebuah hadis
riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Hakim yang di-tashih (dinyatakan sahih) oleh Adzdzahaby
disebutkan bahwa Nabi bersabda, Jika salah seorang dari kamu mendengar azan sedangkan
ia masih memegang piring (sedang makan sahur), maka janganlah ia meletakkan piring itu
hingga selesai makan. Jadi, mendengar azan subuh pun orang yang berpuasa tak harus
langsung berhenti makan dan minum, melainkan harus menyelesaikannya dengan tertib dan
tenang, tak usah dilakukan terburu-buru seperti dikejar-kejar sesuatu yang menakutkan.
Dalam hadis lain yang oleh Syekh Al-Abany dinyatakan sebagai hadis hasan, Ibnu Umar
meriwayatkan bahwa pada suatu hari saat sahabat Alqamah ibn Alaatsah makan sahur
bersama Rasulullah, datang Bilal yang akan mengumandangkan azan subuh, tetapi Nabi
meminta Bilal untuk menunda azan sebentar dengan sabdanya, Wahai Bilal, tunggu sebentar
azannya, Alqamah sedang makan sahur.
Nash-nash tersebut menunjukkan bahwa melaksanakan ibadah puasa itu yang wajar-wajar
saja. Berbuka puasa, ya, harus disegerakan begitu terdengar azan magrib, tak usah sok kuat
menunda berbuka sampai isya. Yang penting kalau tinggal di Jakarta, ya, mengikuti waktu
azan Jakarta, bukan mengikuti azan magrib Makassar. Bersahur pun, ya, dianjurkan agar
diakhirkan sampai masuk waktu (azan) subuh, tak usah terlalu takut batal sehingga terburuburu mengakhiri makan dan minum padahal belum fajar, apalagi mengopyak-opyak anakanak yang masih enak-enak menikmati makan sahur.
Bagi yang pernah berpuasa Ramadan di Tanah Suci Mekkah dan Madinah, misalnya, pasti
tahu bahwa di sana tidak ada titik waktu imsak yang terlepas dari azan subuh. Di Mekkah dan
Madinah, waktu imsak dalam arti menahan dan menghentikan makan dan minum, ya,
berhimpit dengan saat azan subuh. Bahkan banyak terlihat di Masjidil Haram orang yang
segera mulai makan lagi begitu berkumandang azan subuh sebagai makanan terakhir penutup
sahur.
Penentuan imsak (mulai menahan) 10 menit sebelum azan subuh tampaknya hanya kreasi
kaum muslimin di kawasan Asia Tenggara, terutama Indonesia dan Malaysia. Itu tentu baik
saja sebagai informasi bahwa waktu bersahur tersisa 10 menit lagi sehingga orang-orang yang
belum selesai makan sahur dapat segera menyesuaikan diri. Tapi jangan dihukumkan bahwa
imsak adalah titik waktu harus berhentinya makan dan minum.
Pada saat masuk waktu subuh itulah kita mulai berhenti makan dengan tenang dan
mengakhiri dengan menyikat gigi untuk mulai berpuasa. Jadi tenang-tenang saja, tak usah
tergopoh-gopoh, apalagi sambil panik berkejaran dengan bunyi beduk, sirene, atau suara
azan.

88

Beribadah dalam Islam itu enak kok, tak memberatkan kita. Islam itu memberi ruang luas
bagi kita untuk hidup dan beribadah dengan enak, tetapi bukan seenaknya.

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi

89

Perspektif Budaya Islam Nusantara


Koran SINDO
27 Juni 2015

Di Indonesia upaya menjaga keramahan Islam terjaga berkat upaya pilar-pilar Islam yang
tumbuh dan berkembang dengan baik. Pilar-pilar itu adalah organisasi-organisasi Islam dan
pondok pesantren yang sejak kelahirannya hingga sekarang terus berjuang dengan caranya
sendiri untuk mewujudkan Islam Nusantara.
Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW pada abad ke-6 M menimbulkan
suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia. Islam
merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
Islam masuk ke Indonesia yang dulu dikenal sebagai Nusantara, sejak pertengahan abad ke-7
Masehi, sezaman dengan era Khalifah Utsman bin Affan. Semangat penyebaran Islam dipicu
oleh Hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, Sampaikan apa yang ada dari aku
sekalipun satu ayat (balighu ani walau ayatan). Sejarah mencatat, yang paling awal
membawa seruan Islam ke Nusantara adalah para saudagar Arab, yang sudah membangun
jalur perhubungan dagang dengan Nusantara jauh sebelum Islam (Wheatley, 1961).
Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai. Tidak ada catatan sejarah yang
menuliskan bahwa Islam masuk ke bangsa kita melalui jalan darah. Islam mengetuk pintu
Nusantara melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta
jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk dan
berkembang di Indonesia.
Menguatnya istilah Islam Nusantara dewasa ini mengingatkan kita pada wacana
Pribumisasi Islam yang pernah dilontarkan Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid
beberapa dekade lalu. Islam pribumi sesungguhnya berakar pada semangat yang telah
diajarkan oleh Wali Songo dalam dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad 15 dan 16 di
Pulau Jawa. Dalam hal ini, Wali Songo telah berhasil memasukkan nilai-nilai lokal dalam
Islam yang khas keindonesiaannya.
Penghargaan Budaya
Kreativitas Wali Songo ini melahirkan gugusan baru bagi nalar Islam yang tidak saklek
meniru Islam di Arab. Tidak ada nalar arabisme yang melekat dalam penyebaran Islam awal
di Nusantara. Penghargaan yang tinggi terhadap kebudayaan pribumi adalah kunci
keberhasilan jalan masuk Islam secara massal terbuka dalam masa relatif singkat.
90

Misalnya yang dilakukan Sunan Bonang dengan menggubah gamelan Jawa yang saat itu
kental dengan estetika Hindu menjadi bernuansa zikir yang mendorong kecintaan pada
kehidupan transendental. Tombo Ati adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Begitu pula yang dilakukan Sunan Kalijaga yang memilih kesenian dan kebudayaan sebagai
sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa
masyarakat akan menjauh apabila diserang pendiriannya lewat purifikasi. Mereka harus
didekati secara bertahap, mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan, jika
Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.
Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
Dialah pencipta Baju Takwa, Perayaan Sekaten, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada, lakon
wayang Petruk Jadi Raja. Profil pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin
serta pari diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus dengan memanfaatkan simbol-simbol HinduBuddha. Hal itu terlihat dari arsitektur Masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang, dan pancuran
atau padusan wudu yang melambangkan delapan jalan Buddha adalah sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Itulah yang dilakukan Wali Songo dalam dakwah Islam ke Nusantara. Dengan tidak
melakukan purifikasi ajaran secara moral, melainkan melakukan adaptasi atau penyesuaian
terhadap kondisi sosio-budaya masyarakat setempat sehingga masyarakat tidak melakukan
aksi perlawanan atau penolakan terhadap ajaran baru yang masuk. Dengan demikian, Islam
pribumi sebagai bagian dari pertarungan wacana merupakan kelanjutan dari gagasan-gagasan
sebelumnya dengan semangat dan tantangan yang sama. Tantangan yang dihadapi Islam
pribumi adalah universalisasi Islam dalam segala bentuknya yang mengarah pada arabisme
Islam.
Islam Nusantara
Pada abad ke-20 ini, muncul paham-paham Islam fundamental dan radikal yang mencoreng
keramahan Islam. Islam mengajarkan dakwah dengan cara kelembutan dan cara-cara yang
baik, bukan dengan ancaman maupun kekerasan. Hal ini sangat diametral, mengingat Islam
merupakan rahmatan lil alamin.
Jika paham tersebut terus terpelihara, sangat mungkin akan menghancurkan persatuan umat
Islam, bahkan melahirkan stigma negatif terhadap Islam. Hanya karena kepentingan
kelompok, mereka rela melakukan kekerasan dan pemaksaan atas nama Islam. Dampaknya
akan sangat berimbas pada umat muslim yang tinggal di wilayah minoritas. Mereka akan
mendapat perlakuan diskriminasi dan tersudutkan di pojok-pojok kehidupan.
Di Indonesia upaya menjaga keramahan Islam terjaga berkat upaya pilar-pilar Islam yang
tumbuh dan berkembang dengan baik. Pilar-pilar itu adalah organisasi-organisasi Islam dan
91

pondok pesantren yang sejak kelahirannya hingga sekarang terus berjuang dengan caranya
sendiri untuk mewujudkan Islam Nusantara.
Organisasi-organisasi ini memiliki akar jamaah kuat di lapisan masyarakat, yang secara
sosiologis berbeda satu sama lain. Di antaranya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdlatul
Wathan, dan lainnya. Ormas dan ponpes adalah bagian dari peradaban dan kekayaan
intelektual Islam Indonesia.
Sementara itu, pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di
Indonesia yang sudah cukup tua. Selain lembaga pendidikan, pesantren juga disebut sebagai
lembaga kebudayaan. Pesantren hingga kini menjadi bagian penting bagi kehidupan
masyarakat Indonesia.
Pesantren merupakan ruang bagi para kiai/ulama untuk mewariskan ilmu pengetahuan,
melestarikan ajaran, tradisi, dan pengaruhnya ke masyarakat melalui cara yang sangat khas.
Kehadiran ormas dan pesantren, ditambah dengan kekayaan budaya, membuat nilai-nilai
Islam masuk melebur menjadi satu kesatuan dan semangat kebangsaan yang kuat.
Melalui khasanah adat istiadatnya, Indonesia mampu menjadi sebuah negeri yang plural,
namun tetap menyatukan keragaman budaya dalam ikatan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila
sebagai dasar negara mampu meleburkan sekte-sekte primordial menjadi semangat kesatuan.
Akulturasi Islam dan budaya lokal melahirkan Islam Nusantara yang ideal, berkarakter dan
terorganisasi dengan baik. Islam Indonesia bersifat plural, moderat, toleran, dan menebarkan
perdamaian bagi semua golongan. Bisa dikatakan, Nusantara merupakan tempat pertemuan
dua perspektif Islam.
Indonesia yang multikultural menjadi filter dalam masuknya perspektif Islam dari Barat dan
Timur Tengah. Dari semua itu patutnya kita sepakat bahwa Islam Nusantara adalah Islam
yang ideal untuk dijadikan muara keislaman di dunia. Maka, dalam hal ini pemerintah dan
semua pihak harus mempunyai kepekaan di dalam menebar Islam Nusantara dengan caracara kebajikan sekaligus menjunjung tinggi nilai budaya dan tradisi.
Menjaga kearifan lokal asli Nusantara merupakan perwujudan sikap nasionalisme kepada
negara Indonesia. Dengan perpaduan nasionalisme dan keramahan Islam, Indonesia mampu
menggapai puncak kejayaannya. Insya Allah.

ALI MASYKUR MUSA


Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

92

Hasrat: Hidup dalam Realitas Abu-Abu


Koran SINDO
29 Juni 2015

Apa yang mendorong orang untuk terus berani hidup? Darwin dalam teori evolusi
mengenai kelangsungan hidup menegaskan bahwa hanya mereka-mereka yang terus bersaing
dengan hasrat hidupnya dan memenangkan persaingan untuk terus hidup. Merekalah yang
merupakan pemenang, karena itu doktrin kelangsungan hidup dari mereka ini (baca: tak
hanya manusia namun pula fauna dan flora makhluk-makhluknya) dinamai survival of the
fittest.
Di tayangan-tayangan visual National Geographic, Animal Planet, dan observasi antara
predator dan korban yang demi kelangsungan hidup semesta seakan-akan dibahasakan harus
melalui seleksi alamiah sebuah kewajaran untuk keseimbangan alam hukum seleksi itu
diiyakan bahkan diteguhkan.
Tema hasrat ini di ranah politik dalam pengertian dan praksis kekuasaan semakin digarap,
diolah mulai dari F Nietzsche yang memberi kata kunci hasrat untuk berkuasa agar
melangsungkan hidup berkuasa ia tegaskan sebagai will to power atau kehendak untuk
berkuasa. Bahkan Michel Foucault mengaitkannya tidak hanya untuk hidup dan hasrat kuasa,
tetapi sudah mengungkap dalam diskursus sebagai bahasa wacana.
Ketika wacana feminisme sebagai mazhab yang memperjuangkan kesetaraan mulai dari
gender antara perempuan dan laki-laki sampai ke konstruksi-konstruksi kekuasaan patriarki
yang menelikung perkembangan perempuan untuk menjadi subjek karena selalu dijadikan,
sedang berdiskusi untuk menemukan kata kunci di bahasa Indonesia untuk feminisme,
mereka berbeda pendapat mengenai pemakaian wanita atau perempuan.
Yang setuju terhadap kata kunci perempuan, memperjuangkan makna positif dari kata baku
empu. Maka perempuan adalah yang dihormati sebagai empu: yang diempukan. Empu
dimaknai gurunya guru yang sudah makan garam kehidupan, sedangkan mereka ini kurang
pas dengan kata kunci wanita.
Padahal setelah meminta penjelasan dari ahli bahasa Sanskerta, yaitu Prof Edi Sedyawati,
makna wanita positif sekali artinya, yaitu sebagai yang diharapkan, yang bisa dijadikan
sandaran. Dan ketika saya menimpali, apakah bisa pula diartikan sebagai yang dihasrati,
jawabannya bisa diartikan demikian tetapi dalam bingkai kelangsungan hidup yang berlaku
pula untuk lelaki. Tanpa hasrat maka kelangsungan hidup dan evolusinya akan berhenti.
***
93

Hasrat berkuasa di dalam hasrat untuk terus hidup menemukan ungkapan nyatanya dalam
wacana, diskusi bahkan di tingkat bahasa ucap sebagai ekspresi saat-saat ini. Di ranah politik
arti positifnya sebagai strategi, siasat cerdas agar kuasa dipakai untuk mencapai tujuan
sejahteranya warga polis/kota kecil.
Sedangkan arti negatifnya sebagai pokil laku tindak memenangkan kepentingan pemilik
kuasa mencapai tujuannya dengan segala cara, maka di situ sejarah peradaban yang ingin
membangun keadaban manusia melalui politik yang beretika dan bersumber dari moralitas
akan menolak praktik-praktik kekuasaan yang biadab.
Justru di sini, hasrat untuk hidup dan di dalamnya bermuara hasrat untuk berkuasa diuji
praksisnya dalam pisau irisan akal sehat dan moralitas nurani dalam dua wilayah. Yang
pertama, will to power bersumber dari hasrat untuk membunuh, mematikan lawan-lawan
dalam persaingan agar tetap hidup; dan inilah naluri hasrat kematian atau death instinct yang
dalam bahasa purba disebut thanatos, hasrat mengalahkan dan mematikan saingan hidup
demi survival-nya.
Kedua, life instinct atau hasrat untuk melahirkan hidup, merawatnya dan menumbuhkannya.
Bila direnungi isinya, wilayah hasrat untuk berkuasa mempunyai bahasa kepentingan untuk
dipenuhi, sementara hasrat untuk hidup sebagai life instinct memiliki wilayah bahasa nilai
atau yang dipandang dan dihayati sebagai berharga dalam hidup ini.
Benturan dua insting atau naluri itu ada dalam diskresi manusia atau pertimbangan akal
budinya yang rasional dan nuraninya yang hening menimbang lalu memilih antara nilai yang
berperang berhadap-hadapan dengan kepentingan.
Sekolah pendidikan nilai, dalam hal ini pembatinan dan pendarahdagingan pada manusia apaapa yang dipahami sebagai baik, dipandang sebagai benar, dihayati sebagai suci dan
dirasakan sebagai indah dalam hidup ini agar setiap makhluk hidup tetap survival, atau hidup
terus ketika berhadap-hadapan dengan kenyataan yang dimotori oleh kepentingankepentingan yang saling berkecamuk, ternyata membaginya dalam perang antara putih
(simbol keutamaan, yang baik, yang bernilai) melawan yang hitam (simbol yang jahat, yang
merusak hidup dan yang death instinct).
Bahasa ungkapan perang yang putih lawan yang hitam itu diabadikan dalam ajaran-ajaran
kebijaksanaan hidup sebagai perang terus menerus antara kebaikan versus kejahatan. Maka
itu, kita jumpai ajaran Perang Kurusetra antara yang putih yaitu Pandawa dan yang hitam
ialah Kurawa.
Dalam diri manusia pun, perang ini dinarasikan simbolis, namun dipersonifikasikan sebagai
perlawanan terus antara setan dan malaikat. Wajah narasi penghakiman untuk pahala bagi
pemilih jalan mengikuti yang putih dan kebaikan adalah masuk ke surga, sedangkan jalan
lawannya adalah masuk ke neraka.
94

Teks-teks ajaran kebijaksanaan hidup dibahasakan dengan larangan-larangan untuk berbuat


jahat dan dukungan untuk berbuat baik, lalu disumberkan pada kitab suci yang memiliki
perwahyuan bagi nabi atau sang guru kebenaran yang lalu diyakini sebagai acuan perilaku
hidup baik karena keyakinan bahwa ajaran suci ini diwahyukan oleh yang Ilahi. Sedangkan
agama-agama bumi menyumberkan ajaran kebaikan dengan membaca dan menghayati
harmoni dalam semesta sebagai jagat besar dan jagat kecil bersama manusia.
Apakah hasrat berkuasa itu hitam, sementara hasrat untuk hidup itu putih? Keterbatasan jalan
pikiran renung yang dikotomik atau memperlawankan kenyataan hidup sebagai dua wilayah
yang putih versus yang hitam, pertama-tama ditengahi atau diberi jalan tengah sebagai
dirangkum dan diterimanya dua kekuatan itu sebagai silih berganti mana yang sedang
berkuasa di atas dalam hal putih (kebaikan) harus sadar nanti akan berputar ke bawah.
Yang kedua, paham dalam yang putih saling membutuhkan dan mengisi dengan yang hitam
justru untuk dinamika gerak kosmos, kita kenal dalam pandangan seimbang Yin dan Yang
atau kain poleng (hitam putih Bali) yang silih berganti untuk dinamika harmonisasi. Artinya,
daya hidup Yin membutuhkan Yang, begitu pun Yang membutuhkan Yin entah dimaknai
energi perempuan yang butuh laki-laki dan sebaliknya energi hidup lelaki butuh perempuan.
Yang ketiga, mencoba memakai pendekatan deskripsi fenomenologis yaitu membiarkan
realitas menggejala ke kita untuk dialami lalu manusia menyikapinya as such as it is:
sebagaimana adanya. Untuk jalan ketiga inilah, tema pokok hasrat untuk hidup dan kehendak
atau hasrat berkuasa ingin kita deskripsikan apa adanya di realitas hidup nyata kita untuk
disikapi. Realitas hidup ini dalam deskripsi apa adanya secara gejala nyata adalah abu-abu.
Artinya, antara yang putih (yang baik) dan yang hitam (yang jahat) itu berkelindan, campur
sebagai tidak seluruhnya putih dan tidak seluruhnya hitam. Ya itu tadi: abu-abu.
Maka sebenarnya, pada masa puasa saudara-saudariku yang muslim, saya ingin bersamasama ikut merenungkan bahwa dalam realitas abu-abu kita inilah, sekecil cuatan kuas atau
tindakan memberi warna putih, sesungguhnya akan membuat yang abu-abu menjadi lebih
putih.
Bila kita sepakat yang putih adalah kebaikan, kalau semakin banyak yang mewarnai realitas
Tanah Air yang abu-abu dengan yang putih, maka makin putihlah dan makin menanglah
kebaikan di sini. Kalau tindakan menghitamkan merajalela, akan semakin kelam hitam pekat
kenyataan riil yang sudah abu-abu ini.
Dengan kata lain, hasrat untk hidup berbagi dan peduli semoga lebih kuat daripada hasrat
untuk berkuasa demi kepentingan ego-ego hitam naluri anti kehidupan.

MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara; Dosen Pascasarjana UI; Budayawan

95

Menyoal Islam Nusantara


Koran SINDO
1 Juli 2015

John L Esposito (profesor di Georgetown University, Amerika Serikat) menulis buku berjudul
Islam: The Straight Path. Jika diterjemahkan, buku ini berjudul Islam: Jalan Lurus (bahasa
Indonesia) atau Islam: Shiratal Mustaqim (bahasa Arab). Di Indonesia pernah diintroduksi
Islam Rahmatan lil Alamin (Islam Rahmat bagi Seluruh Alam).
Menurut saya, predikat the straight path dan rahmatan lil alamin yang diberikan kepada
Islam sepenuhnya dapat diterima, dapat dipahami, dan tidak problematik. Karena hakikat
jalan lurus dan rahmat bagi seluruh alam merupakan esensi yang sangat fundamental
dalam ajaran Islam. Islam memang memiliki visi-misi menunjukkan jalan lurus (shiratal
mustaqim) dan Islam juga mempunyai visi-misi sebagai rahmat bagi alam semesta. Visi-misi
inilah yang dibawa dan dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW yang diutus Tuhan
menyiarkan agama Islam.
Lalu, bagaimana dengan konsep Islam Nusantara? Ini problematik dan perlu diberi catatan
kritis. Untuk mendiskusikan poin ini, pendapat Abul Ala Al-Maududi perlu dikutip. Dalam
bukunya, Toward Understanding Islam (1966), Al-Maududi mengatakan bahwa Islam tidak
dapat dinisbatkan kepada pribadi atau kelompok manusia mana pun karena Islam bukan milik
pribadi, rakyat, atau negeri mana pun. Islam bukan produk akal pikiran seseorang, bukan pula
terbatas pada masyarakat tertentu, dan tidak diperuntukkan untuk negeri tertentu. Islam
adalah agama universal yang melintasi dan melampaui batas-batas etnisitas, lokalitas, dan
nasionalitas. Misi Islam adalah untuk menciptakan dan memelihara kualitas dan sikap
keislaman dalam diri manusia.
Karena itu, salah besar kalau Islam disebut Muhammadanisme (paham, pikiran, atau ciptaan
Nabi Muhammad SAW). Kesalahan ini terjadi pada HAR Gibb (tokoh orientalis Barat) yang
menulis buku tentang Islam dan diberi judul Muhammadanisme. Juga salah besar jika Islam
disebut dan diidentikkan dengan arabisme atau Islam (Tanah) Arab atau varian turunan
lainnya. Sebutan atau nama Muhammadanisme, Arabisme, Islam Arab, Islam Timur Tengah
(dan label atau predikat turunannya) tidak pernah dikenal dalam Alquran dan Sunah Nabi
Muhammad SAW.
Nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah Islam. Nama Islam adalah nama
satu-satunya yang resmi dan baku seperti termaktub dalam Alquran dan diajarkan oleh Nabi
Muhammad sendiri.

96

Selain merujuk pendapat Al-Maududi, saya akan mengacu pada pendapat Prof
Koentjaraningrat. Dalam bukunya, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (1974),
Koentjaraningrat mengatakan: Religi dan agama sulit juga untuk [disesuaikan] dengan
sengaja menurut sifat-sifat khas Indonesia. Agama adalah Titah Tuhan; maka sebaiknya
janganlah kita berusaha untuk mengembangkan suatu agama Islam khas ala Indonesia...
Saya sangat setuju dengan pendapat Prof Koentjaraningrat. Menurut saya, terminologi Islam
Indonesia atau Islam Nusantara masih problematik. Jika ada Islam Nusantara, logikanya ada
pula Islam Jawa Tengah, Islam Jawa Timur, Islam Sunda, Islam Minangkabau, Islam
Kalimantan, Islam Sumatera, Islam keraton, Islam non-keraton, Islam Bali, Islam Yogya, dan
sebagainya. Ada pula Islam Amerika Serikat, Islam Eropa, Islam Cina, Islam Rusia, dan
seterusnya. Terlalu banyak varian dan jenis agama Islam, padahal sumbernya hanya Alquran
dan Sunah Nabi. Berpegang pada pendirian Maududi dan Koentjaraningrat, saya berpendapat
bahwa penamaan Islam Nusantara dengan segala muatan, varian, dan turunannya tidak tepat.
***
Islam adalah seperangkat doktrin sebagaimana tertera dalam Alquran dan Sunah Nabi. Ketika
Islam disiarkan dan diamalkan oleh pemeluknya di suatu ruang dan waktu (di Nusantara), di
situ nilai-nilai Islam berinteraksi dengan tatanan adat, kebiasaan, budaya, dan nilai-nilai
agama/kepercayaan non-Islam yang berkembang dalam kehidupan masyarakat setempat.
Terjadi konversi dari agama/kepercayaan non-Islam ke agama Islam.
Konversi ke agama Islam tidak terjadi secara menyeluruh, masih ada sisa-sisa
agama/kepercayaan lama yang tertinggal. Sedekah laut yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat muslim pada musim tertentu atau kepercayaan kepada Nyai Roro Kidul adalah
contoh kepercayaan lama yang masih melekat pada sebagian masyarakat (muslim). Salah
besar jika fenomena ini disebut Islam Jawa Tengah yang percaya kepada Nyai Roro Kidul.
Akidah tauhid Islam sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepercayaan kepada Nyai
Roro Kidul. Tidak dinafikan, sebagian muslim masih ada yang percaya kepada Nyai Roro
Kidul. Harap tidak dikacaukan antara Islam (sebagai agama) dan muslim (sebagai penganut
agama Islam).
Islam sangat menoleransi adat, kebiasaan, dan budaya yang tidak bertentangan dengan nilainilai Islam yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya, masjid di Nusantara tidak harus
sama dengan masjid di Arab Saudi. Budaya lokal memengaruhi bentuk-bentuk masjid di
Nusantara. Pernikahan secara agama Islam adalah sama bagi semua pemeluk Islam, tetapi
upacara adatnya bisa berbeda di kalangan misalnya komunitas muslim di Jawa dan muslim di
Minangkabau. Tidak tepat kalau upacara budaya perkawinan di Jawa dan di Minangkabau itu
disebut Islam Minangkabau dan Islam Jawa. Itu tradisi dan budaya muslim Minang dan
muslim Jawa, bukan (doktrin atau ajaran) Islam.
Komunitas Nahdlatul Ulama mempraktikkan tahlil, tarekat, dan tawasul. NU menilai, praktik
ini tidak bertentangan dengan Islam. Salah besar kalau dikatakan tradisi NU itu sebagai
97

Islam NU. Tidak ada Islam NU. Yang ada adalah tradisi keagamaan komunitas NU. Karena
merupakan tradisi atau budaya, komunitas muslim non-NU boleh saja tidak mempraktikkan
tahlil, tarekat, dan tawasul.
Saya berpendapat, di mana saja (Yaman, Suriah, Irak, Mesir, Malaysia, Pakistan, dan
Indonesia) Islam mengajarkan keramahan, kerukunan, dan perdamaian. Kekerasan dan
peperangan di suatu negara muslim tertentu harus dilihat dari konstelasi politiknya. Di
Indonesia pada 1960-an terjadi pemberontakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo (Jawa
Barat), Daud Beureueh (Aceh), dan Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan). Pada 1980-an
muncul gerakan Komando Jihad pimpinan Imran. Konflik destruktif Poso dan Ambon awal
2000 juga melibatkan kelompok muslim. Imbasnya, Islam Nusantara tidak ramah pada
waktu itu.
Begitu pun halnya situasi di Yaman dan Suriah saat ini. Sebagai doktrin, Islam di kedua
negara tersebut mengajarkan keramahan, kerukunan, toleransi, dan perdamaian. Jika sekarang
ini terjadi kekerasan dan peperangan di dua negara itu, yang disalahkan adalah kelompokkelompok muslim yang bertikai. Yang dituding sebagai pemicu konflik, bukan Islam
Yaman atau Islam Suriah yang dinilai keras oleh para pendukung Islam Nusantara yang
ramah dan santun.
Saya setuju dan mendukung sepenuhnya agar konflik dan kekerasan politik seperti di Suriah
dan Yaman tidak terjadi di negeri ini.

FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

98

Puasa sebagai Tradisi


Koran SINDO
2 Juli 2015

Di kantor sebuah media ada seorang wartawan, ahli kriminologi, yang gerak-gerik dan
segenap tingkah lakunya diamati wartawan yang lain.
Secara rutin wartawan itu tak menyentuh minuman yang disediakan di meja kerjanya pada
setiap hari Senin dan Kamis. Diperlukan waktu lama untuk meyakinkan bahwa memang
bukan hanya kebetulan sahabatnya tak menyentuh minuman tersebut. Pada hari-hari itu sudah
menjadi tradisi bagi wartawan ahli kriminologi tadi untuk tidak meminum minumannya pada
siang hari, setiap hari-hari yang disebutkan tadi. Dia tahu sahabatnya itu berpuasa SeninKamis.
Jadi minumanmu boleh kuambil bukan? tanya sahabatnya itu sambil memindahkan gelas
panjang itu ke mejanya. Ambillah, jawab si ahli kriminologi sambil tersenyum ikhlas.
Terima kasih. Kudoakan kau cepat naik pangkat menjadi pemred.
Di luar kantor, wartawan ahli kriminologi tadi bercerita pada sahabatnya, bukan seorang
wartawan, bahwa lama-lama dia merasa kurang enak karena dia berpuasa rutin setiap Senin
dan Kamis dikiranya demi pamrih untuk segera naik pangkat. Padahal, aku berpuasa untuk
berpuasa itu sendiri.
***
Di dalam kehidupan rohani orang Jawa, berpuasa Senin-Kamis, atau pada hari-hari lain,
bertepatan dengan hari kelahirannya, memang memiliki arti khusus dan tujuan khusus.
Mungkin puasa-puasa seperti itu untuk mengolah kehidupan pribadi dari dalam untuk
melatih ketenangan, kesabaran, dan sikap sumarah pada Tuhan Yang Mahakuasa. Berpuasa
dianggap bagian dari strategi membikin non-aktif segenap nafsu yang perlu dikendalikan.
Tapi, tak jarang sikap prihatin itu untuk menjadi sarana meraih tujuan-tujuan praktis
duniawi. Bagi pegawai, puasa itu memang demi kenaikan pangkat atau agar disayangi atasan.
Bagi pedagang, amalan itu menjadi sarana meraih sukses besar agar cepat berkembang.
Pendeknya, jalan rohani itu ada yang demi kepentingan rohani, ada pula yang demi
kepentingan materi. Ini tergantung pada orangnya. Di dalam tradisi Jawa kedua-duanya
dianggap sah dan boleh ditempuh dalam kehidupan ini.

99

Berpuasa dalam versi lain, yang ditempuh dalam sehari semalam secara full, juga sudah
menjadi suatu tradisi. Motif dan tujuannya pun bermacam-macam. Jenis puasa dalam tradisi
Jawa ini tampaknya tidak khas Jawa. Pada etnis-etnis lain di seluruh Nusantara ada pula jenis
puasa serupa. Seperti di dalam tradisi Jawa, ada pula yang tujuannya untuk meraih kesaktian.
Lagi pula jenis kesaktian di sini sangat bervariasi. Ada kesaktian tingkat sederhana, sekadar
tidak mempan senjata tajam. Ada tradisi puasa yang tujuannya agar tidak tertembus peluru
atau antipeluru. Ada yang dimaksudkan untuk bisa menghilang atau tidak terlihat oleh pihak
lain, dan masih banyak variasi kesaktian yang hendak diraih melalui tradisi puasa tadi.
Ini jenis amalan yang biasanya tak bisa dijalankan sendiri. Di dalam tradisi Jawa maupun
tradisi Nusantara pada umumnya, biasanya ada guru yang membimbing dan mengamati dari
jauh. Biasanya, ketika melatih muridnya berpuasa seperti itu sang guru juga ikut berpuasa.
Guru tidak sekadar menjadi pengamat yang berjarak. Dalam urusan rohaniah seperti itu sang
guru terlibat. Dia melihat bukan dari kejauhan, tetapi dari dekat, bukan dari luar,
melainkan dari dalam. Berpuasa yang sudah menjadi tradisi itu terpelihara dengan baik
melalui mekanisme dan variasi yang bermacam-macam coraknya.
Tiap etnis memiliki jenis kearifan tersendiri. Lagi pula, etnis yang satu tak bersaing dengan
etnis yang lain. Jalan rohani mungkin memang tak mengenal persaingan. Memang ada efek
rohaniah yang lebih dalam bagi seorang murid dan kelihatan biasa-biasa saja pada murid
yang lain. Tetapi, murid yang satu tidak bersaing dengan murid yang lain. Jika berpuasa
untuk sesuatu yang rohaniah sifatnya, terutama bila demi kesalehan yang tulus.
***
Kita kaya akan tradisi. Tiap tradisi memiliki makna yang mendalam. Ada makna bumi
sekaligus makna langit, makna profan sekaligus makna kudus, makna manusiawi
sekaligus makna ilahi. Kelihatannya, berpuasa dalam konteks kebudayaan Nusantara itu
merupakan sebuah perjalanan. Di sana manusia Nusantara sedang berjalan mencari atau
menuju dirinya sendiri. Kapan berpuasa jenis itu lahir di bumi kita ini, kita tidak tahu.
Di dalam kitab suci ada disebutkan bahwa berpuasa sudah menjadi kewajiban bagi umat
manusia sejak zaman nabi-nabi yang lebih tua. Berpuasa sebagai kewajiban baru bagi umat
manusia dimulai lagi pada masa kenabian Rasulullah, Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Inilah puasa yang menjadi rujukan kita.
Kita berpuasa tidak untuk kepentingan pribadi, tidak untuk naik pangkat, tidak pula untuk
meraih sukses dalam perdagangan maupun untuk memperoleh kesaktian. Di sini berpuasa itu
sebagai wujud sebuah ketulusan, sebuah pengabdian. Kita berpuasa untuk Allah. Tapi, Allah
tak mengambilnya secara mutlak. Kita, yang berpuasa, diberi suatu kenaikan derajat rohaniah
yang tinggi; derajat orang takwa.

100

Kita menjadi takwa. Setidaknya kita mencalonkan diri untuk bisa meraih derajat tinggi itu.
Kita ikhlaskan puasa kita untuk Allah dan imbalannya, Allah melimpahkan kemurahan tak
terhingga, membuat kita bisa mencapai derajat orang yang bertakwa tadi.
Apakah setiap hamba yang berpuasa otomatis bisa meraih derajat takwa itu? Apakah takwa
itu bonus bulanan yang gratis bagi setiap hamba-Nya? Tiap hamba yang berpuasa berharap
begitu. Tapi, Allah tahu, puasa tiap hamba tidak sama. Ada yang berpuasa dan sepanjang hari
kerjanya hanya menengok jam, menantikan datangnya saat berbuka. Berpuasa seperti itu apa
tak berarti bahwa sebenarnya dia telah berbuka setiap saat, ketika memandang jarum jam
dengan rasa tidak sabar? Apakah puasa seperti itu masih bisa disebut puasa?
Ada yang berpuasa dengan niat ikhlas, tapi sebenarnya yang dibayangkan bukan Allah Yang
Mahamurah, melainkan tercapainya urusan-urusan duniawi yang membuatnya menjadi orang
sukses dan jaya. Di sini dia berpuasa untuk sesuatu yang bersifat duniawi. Apakah puasa
seperti ini yang disebut puasa untuk Allah semata? Apakah puasa seperti ini juga bisa disebut
puasa?
Berpuasa itu amalan yang sangat pelik. Ikhlas dan tidak ikhlas tak begitu mudah kita nilai
sendiri. Sebaiknya, bila kita ingin betul-betul ikhlas, kita tak usah membuat penilaian.
Mungkin sebaiknya kita beristigfar, mohon ampun, dengan rasa khawatir bahwa kita telah
dihinggapi sikap tidak ikhlas. Kita mohon ampun karena kekhawatiran, puasa kita
mengandung motivasi lain selain ketulusan. Lalu, kita persembahkan puasa kita itu kepada
Allah dengan kerendahan hati bahwa hanya inilah yang hamba mampu lakukan.
Bahwa kita mohon yang kurang-kurang digenapkan, yang keliru-keliru dibetulkan, yang
bengkok-bengkok diluruskan. Kita tak henti-hentinya mengetuk pintu-Nya, dan dengan
kekhawatiran tak dibukakan-Nya. Tapi, tugas kita hanya mengetuk. Dibuka atau tidak bukan
urusan kita.
Berpuasa, bagi kita, merupakan jalan membangun tradisi untuk bisa menjadi hamba yang
tulus. Kalau tidak bisa, kita mohon agar Allah membuat kita menjadikan kita dengan rodaNya agar kita menjadi orang tulus tadi.

MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com

101

Negara Psychocapitalism
Koran SINDO
3 Juli 2015

Pelan tapi pasti, kiprah globalisasi terus merasuki berbagai wacana kebangsaan, baik
ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, maupun kebudayaan.
Globalisasi berhasil menghadirkan kecenderungan besar dunia (kapitalisme Barat) untuk
mendikte berbagai skema politik nasional yang tujuannya adalah menurunkan kapasitas
negara dalam melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Tak terhitung banyaknya
perusahaan-perusahaan transnasional raksasa yang berinvestasi dalam jumlah besar di
Indonesia. Belum lagi gabungan kekuatan jaringan keuangan global yang membuat kondisi
ekonomi negara semakin rentan terhadap krisis. Kondisi ini tentu membatasi kontrol negara,
bahkan negara dipaksa untuk kalah bersaing dalam memperebutkan kekuasaan politik dan
kedaulatan ekonomi.
Tak berhenti di situ, kiprah globalisasi dan kapitalisme Barat bahkan telah berhasil
menghubungkan jutaan pikiran rakyat Indonesia ke dalam komunitas global yang terdiri dari
miliaran pikiran manusia secara online melalui internet. Hal ini berhasil menghadirkan
sebuah tatanan masyarakat baru yang bersifat erosif terhadap tatanan budaya, agama,
masyarakat, dan keluarga yang sebelumnya sudah mapan.
Psychocapitalism
Dalam dunia kedokteran, sindrom dikenal sebagai kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis
yang dapat meyakinkan dokter dalam menegakkan diagnosis. Sementara itu, istilah psycho
merupakan gejala psikologis berupa sikap manipulatif, egosentris, pembohong, frustrasi,
hipokrit, dan munafik.
Lantas, apa yang dimaksud dengan sindrom psychocapitalism? Istilah ini mencoba
menjelaskan berbagai gejala baru berkaitan dengan gerakan reaksioner dan gaya hidup
radikal masyarakat yang marak terjadi sebagai akibat langsung dari kesenjangan yang
diakibatkan oleh hegemoni kapitalisme Barat. Jika globalisasi diibaratkan sebagai ledakan,
globalisasi telah menghasilkan puing-puing kekuatan ekonomi, budaya, politik, dan ideologi
kapitalisme Barat, berserakan ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Puing-puing globalisasi yang awalnya ditujukan untuk pembebasan, kemerdekaan, dan
kemanusiaan, secara perlahan berubah menjadi tirani yang berujung isolasi, pembodohan,
imobilisasi, dan ancaman disintegrasi bangsa. Hal ini secara jelas bisa dibaca melalui proyek
otonomi daerah yang banyak melahirkan kesenjangan masyarakat melalui praktik oligarki
102

kekuasaan politik korup di tingkat kabupaten/kota. Tak tanggung-tanggung, di daerah dengan


kekayaan alam melimpah telah mengarah pada upaya makar.
Sementara itu, pada saat yang sama puing-puing globalisasi telah secara radikal membatasi
berbagai kemungkinan terwujudnya demokrasi yang progresif, redustributif, dan substantif
dalam berbagai level pelaksanaan pesta demokrasi baik di level nasional, regional, maupun
lokal, melalui keterlibatan berbagai perusahaan-perusahaan transnasional raksasa yang
berinvestasi dalam jumlah besar di Indonesia. Tujuannya jelas, untuk mengintervensi proses
demokrasi dan politik agar dapat memastikan jaminan keamanan kegiatan bisnis mereka,
tanpa memedulikan berbagai akibat buruk dari intervensi yang mereka lakukan.
Intervensi terhadap proses demokrasi ini telah berhasil memicu konflik sosial di masyarakat
akibat sengketa pemilu dan pilkada. Tak terkecuali telah berhasil membumikan praktik politik
uang dalam setiap pesta demokrasi di berbagai daerah di Indonesia. Logikanya sederhana,
ada perselingkuhan perusahaan-penguasa untuk membeli suara rakyat, membeli demokrasi
itu sendiri. Rakyat terus dieksploitasi dan dibodohi agar kelak dengan mudah bisa dibeli.
Di sisi lain, puing-puing globalisasi sangat bersifat erosif terhadap tatanan kehidupan yang
telah mapan di masyarakat. Baik dari aspek budaya, agama, masyarakat, maupun keluarga.
Sikap individualistik tanpa memikirkan orang lain telah menjadi gaya hidup baru di
masyarakat. Hal ini tentu saja rentan terhadap berbagai sikap yang bersifat egosentris seperti
perilaku narsistik, agresif, reaksioner, dan radikal. Gejalanya sudah mulai tampak dari
perilaku masyarakat melalui media sosial. Tak tanggung-tanggung, media sosial bahkan telah
menjadi ajang untuk saling menumpahkan kebencian (caci maki, umpatan) di antara sesama
anak bangsa. Ada yang sampai berujung perkelahian satu lawan satu.
Kembali ke Pancasila
Gejala di atas secara gamblang telah menjelaskan berbagai krisis kebangsaan akibat
hilangnya kontrol negara dalam berbagai proses kehidupan masyarakat. Akibatnya,
masyarakat merasa sendiri, kehilangan panutan, tanpa jaminan keamanan, terus dieksploitasi,
berujung frustrasi, dan memicu terjadi berbagai tindak kejahatan. Tak heran jika angka
kriminalitas di masyarakat terus meningkat.
Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk mengobati sindrom psychocapitalism di atas? Tak
ada pilihan lain kecuali mengeliminasi berbagai nilai kapitalisme Barat yang secara kronis
dan sistemik telah menginfeksi seluruh proses penyelenggaraan negara. Mulai dari banyak
undang-undang bodong pesanan asing, peraturan presiden hingga ke peraturan daerah yang
menyimpang dan kontraproduktif dengan semangat Pancasila serta Undang-Undang Dasar
1945.
Harus dipastikan bahwa setiap proses penyelenggaraan negara, baik di eksekutif, legislatif,
yudikatif, civil society, maupun media selalu sejalan dengan ideologi Pancasila. Keteladanan
nilai yang ada dalam Pancasila harus diamalkan di seluruh Bumi Nusantara tercinta ini. Tak
103

ada jalan lain, tak ada pilihan lain, dan tak ada alternatif lain untuk mengantisipasi ledakan
sindrom psychocapitalism kecuali kembali ke Pancasila secara benar dan total.

FIKRI SUADU
Peneliti pada Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi; Direktur
LKMI PB HMI 2011-2013

104

Islam Nusantara vs Berkemajuan


Koran SINDO
3 Juli 2015

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) akan menyelenggarakan muktamar pada waktu
yang berdekatan yakni minggu pertama Agustus 2015.
Tema yang diangkat sekilas mirip: Muhammadiyah Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia
Berkemajuan dan NU Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan
Dunia. Meski terlihat bersinggungan, Islam berkemajuan dan Islam Nusantara adalah
respons yang berbeda terhadap fenomena yang sama yaitu globalisasi, terutama globalisasi
kebudayaan, baik dalam bentuk arabisasi ataupun westernisasi.
Globalisasi sering dipahami sebagai proses penyatuan dunia di mana waktu, jarak, dan tempat
bukan lagi persoalan dan ketika setiap hal dan setiap orang di bumi ini terkait satu sama lain.
Ada empat pergerakan utama dalam globalisasi yaitu barang dan layanan, informasi, orang,
dan modal. Perpindahan empat hal tersebut dari satu negara ke negara lain memang telah
terjadi sejak dahulu kala. Namun, perpindahan dengan sangat cepat hanya terjadi setelah
revolusi dalam teknologi telekomunikasi dan transportasi pada beberapa dekade belakangan
ini. Akibat dari revolusi itu, dimensi jarak dan waktu menjadi semakin kabur dan sedikit demi
sedikit menghilang.
Dalam konteks Indonesia, globalisasi ini menyebabkan masyarakat secara mudah mengakses
informasi dari luar ataupun berinteraksi secara intens dalam sebuah ruang global. Ketika
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mendeklarasikan kekhilafahan di bawah Abu Bakar alBaghdadi, kita dikejutkan dengan ada sejumlah orang Indonesia yang sudah bergabung
dengan mereka di Timur Tengah dan sebagian dari mereka merekrut anggota di Indonesia
serta melakukan baiat di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Ketika konflik Sunni dan
Syiah terjadi di Suriah, pengaruhnya merembet ke Indonesia dengan munculnya gerakan antiSyiah seperti dalam bentuk Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS).
Globalisasi juga menyebabkan trans-national capitalist network (TNC) masuk dalam
kehidupan masyarakat dan menyedot kekayaan yang mestinya diperuntukkan untuk
kesejahteraan rakyat. Bekerja sama dengan komprador, para kapitalis global itu
menciptakan jurang yang begitu lebar antara mereka yang kaya dan miskin seperti terjadi di
daerah penambangan Freeport di Papua.
Filosofi yang mendasari globalisasi adalah asimilasionisme. Dalam filosofi ini, yang kuat
akan mendominasi yang lemah. Maka itu, dalam globalisasi budaya, salah satu dampaknya
adalah homogenisasi. Ini misalnya terwujud dalam bentuk McWorld atau McDonaldization.
105

Contoh lainnya adalah memandang Islam secara homogen dengan mengidentikkannya


dengan Arab dan arabisasi.
Islam Nusantara
Homogenisasi ini tentu tidak serta-merta diterima oleh masyarakat. Respons balik atau
resistensi terhadap homogenisasi ini di antaranya dalam bentuk indigenization. Islam
Nusantara yang dipopulerkan anak-anak NU dan menjadi tema Muktamar NU Ke-33 di
Jombang pada 1-5 Agustus nanti adalah satu bentuk respons terhadap globalisasi dengan
melakukan indigenisasi.
Islam Nusantara merupakan istilah yang sering dipakai untuk mengacu pada Islam ala
Indonesia yang otentik; langgamnya Nusantara, tapi isi dan liriknya Islam; bajunya
Indonesia, tapi badannya Islam. Ide Islam Nusantara ini berkaitan dengan gagasan
pribumisasi Islam yang pernah dipopulerkan almarhum KH Abdurrahman Wahid.
Penggunaan resmi nama ini di antaranya dalam Jurnal Tashwirul Afkar Edisi No 26 Tahun
2008.
Munculnya Islam Nusantara adalah bagian dari apa yang biasanya disebut sebagai paradoks
globalisasi. Dalam istilah TH Erikson (2007, 14), Semakin orang mengglobal sering kali
dia menjadi semakin terobsesi dengan keunikan budaya asalnya. Dalam kalimat ilmuwan
lain, Ketika dunia semakin global, perbedaan-perbedaan kecil antarumat manusia itu
semakin ditonjolkan (Ang 2014).
Banyak yang menduga bahwa semakin kita mengenal dunia luar dan kelompok yang berbeda,
kita menjadi semakin terbuka. Namun, sering kali yang terjadi tidak sejalan dengan logika
itu. Di tengah globalisasi banyak orang yang semakin fanatik dan tidak menerima perbedaan
serta pluralitas. Ini misalnya terjadi dalam beberapa pilkada yang mengharuskan putra
daerah yang dipilih. Dalam konteks dunia, justru di era globalisasi ini hampir setiap tahun
kita melihat kemunculan negara baru dalam keanggotaan PBB.
Tentu saja respons terhadap globalisasi dalam bentuk Islam Nusantara adalah pilihan
terbaik dibandingkan dengan penolakan total atau penerimaan total. Dalam merespons
terhadap globalisasi, terutama yang datang dari Barat, beberapa kelompok agama justru
mencari perlindungan dalam homogenitas dan eksklusivitas kelompoknya. Sepertinya
kedamaian itu bisa terjadi dengan menolak keragaman atau sesuatu yang asing. Di tengah
globalisasi, banyak orang yang mencoba menutup diri dan menghalangi orang yang berbeda
hadir di tengah masyarakat. Fenomena kemunculan perumahan atau kluster perumahan
eksklusif untuk komunitas agama tertentu adalah misal. Kuburan/pemakaman dan rumah kos
pun kadang dibuat untuk pengikut agama tertentu.
Respons terhadap globalisasi yang lebih buruk lagi tentu saja seperti dalam bentuk
radikalisme dan terorisme. Islam Nusantara bisa menjadi respons yang sangat baik terhadap
globalisasi jika ia tidak mengarah pada parokhialisme dan sektarianisme.
106

Islam Berkemajuan
Respons lain terhadap globalisasi ditampilkan oleh Muhammadiyah dengan slogan Islam
berkemajuan. Sebelum 2009 slogan ini jarang terdengar bahkan di kalangan
Muhammadiyah sendiri. Ia baru diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam,
dengan terbitnya buku berjudul Islam Berkemajuan: Kyai Ahmad Dahlan dalam Catatan
Pribadi Kyai Syuja (2009). Buku yang ditulis oleh murid langsung Kyai Dahlan ini di
antaranya menjelaskan seperti apa karakter Islam yang dibawa oleh Muhammadiyah.
Istilah yang dipakai oleh Muhammadiyah awal untuk menyebut dirinya adalah Islam
berkemajuan. Pada muktamar di Yogyakarta 2010, istilah ini lantas dipakai dan
dipopulerkan untuk mengidentifikasi karakter keislaman Muhammadiyah. Dalam kaitannya
dengan globalisasi, Islam berkemajuan itu sering dimaknai sebagai Islam kosmopolitan
yakni kesadaran bahwa umat Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia yang memiliki
rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab universal kepada sesama
manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordial dan
konvensional (Tanfidz Muhammadiyah 2010, 18).
Mengapa Islam kosmopolitan menjadi pilihan Muhammadiyah? Muhammadiyah menyadari
bahwa kelahirannya merupakan produk dari interaksi Timur Tengah dan Barat yang dikemas
menjadi sesuatu yang otentik di Indonesia. Ia memadukan pemikiran Muhammad Abduh,
sistem yang berkembang di Barat, dan karakter Indonesia. Karena itu, kosmopolitanisme
yang dikembangkan Muhammadiyah diharapkan menjadi wahana untuk dialog
antarperadaban.
Ringkasnya, kelahiran dari slogan Islam Nusantara dan Islam berkemajuan memiliki
kemiripan dengan apa yang terjadi pada 1920-an. Ketika itu, sebagai respons terhadap
berbagai peristiwa di Arab dan Turki (Comite Chilafat dan Comite Hijaz), lahirlah NU.
Sementara Muhammadiyah lahir sebagai reaksi terhadap penjajahan, misi Kristen, pemikiran
Abduh, dan budaya Jawa. Bisa dikatakan bahwa apa yang terjadi saat ini adalah semacam
deja vu.

AHMAD NAJIB BURHANI


Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

107

Perkembangan Wahabi
Koran SINDO
4 Juli 2015

Pada 19 Juni 2015, hari Jumat yang penuh berkah, orang-orang mulai memenuhi Masjid
Raya Baiturrahman Banda Aceh untuk melakukan salat Jumat. Ritual kongregasi mingguan
ini sangat penting bagi orang Aceh yang mayoritas muslim.
Tanpa dinyana, tiba-tiba masuk sekelompok ulama tradisional dengan bersorban dan berjubah
menginterupsi jalannya prosesi ritual ini. Disertai pendukungnya yang berompi dan berjaket,
sambil meneriakkan Allahu Akbar berkali-kali, mereka menuntut tata laksana ibadah ini
diubah sesuai tradisi mazhab Syafiiyah dan Maturidiyah. Mereka memaksa kumandang azan
dua kali dan khatib diwajibkan memegang tombak atau tongkat. Kalau tidak begitu, dianggap
tidak sah. Para ulama tradisional dan pendukungnya adalah dari Himpunan Ulama Dayah
Aceh (HUDA), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), dan Front Pembela Islam (FPI)
yang resah dengan maraknya pengaruh wahabisme di Aceh.
Fenomena merebaknya benturan mazhab antaraWahabi dan kalangan tradisional Islam telah
membuat banyak orang bertanya-tanya tentang apa itu Wahabi, bagaimana sejarahnya, dan
apa bahaya dari mewabahnya aliran atau sekte yang dianggap radikal ini? Tulisan ini
berusaha menjawab pertanyaan tersebut secara sekilas untuk mendudukkan perkara yang
sebenarnya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang bisa berakibat fatal.
Pada dasarnya, Islam itu hanya satu. Karena perkembangan sejarah, politik, ekonomi, dan
budaya, Islam ikut berkembang berdasarkan wilayah persebarannya. Geopolitik Islam
kontemporer sekarang ini menjadi tidak lagi satu, monolitik, dan integral seperti pada masa
Nabi Muhammad SAW. Kini terdapat banyak kelompok, pecahan, aliran, sekte, dan mazhab
yang cukup beragam.
Perpecahan pertama adalah pembelahan ideologis yang sangat besar antara (1) Sunni dan (2)
Syiah. Sunni dan Syiah ini juga terpecah dalam berbagai kelompok-kelompok atau sekte dan
mazhab yang semuanya mengklaim dirinya yang paling benar. Tidak akan ada kemunculan
kelompok baru tanpa klaim kebenaran. Klaim kebenaran inilah yang menyebabkan terjadi
perpecahan di dalam Islam.
Sunni adalah mazhab besar kaum pengikut ahlus sunnah wal jamaah yang sangat
menghormati Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh sahabat, dan keluarganya.
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Al Washliyah, Al Irsyad, Perti, Masyumi,
DI atau NII, JI, MMI, JAT, dan JAS adalah termasuk ke dalam kelompok Sunni.

108

Syiah adalah mazhab yang selektif dalam mengakui sahabat Nabi Muhammad SAW dan
keluarganya. Mereka hanya mengagumi Ali ibn Abi Thalib RA dan anaknya yang kedua,
Husen, dari 11 anak Ali RA. Karena minoritas, kelompok Syiah di Indonesia hanya sedikit
dan organisasinya pun (beserta pecahannya) tak begitu tampil ke permukaan. Antara Sunni
dan Syiah pun sering terjadi bentrokan yang melibatkan kekerasan berdarah.
Di kalangan Sunni perpecahan juga banyak terjadi dan membentuk banyak kelompok
keagamaan, mazhab, sekte, dan aliran yang sangat beragam. Wahabi adalah salah sebuah
mazhab dalam kalangan Sunni. Baru-baru ini di Madura ada sebuah lagu yang berjudul
Wahabi yang sangat lugas menggambarkan apa itu aliran yang dianggap radikal oleh
banyak kalangan.
Lagu itu menggambarkan Wahabi tidak suka maulid nabi, tidak mau tahlilan, tidak setuju
ziarah kubur, tidak mengakui qunut, dan menganggap semua orang Islam di luar
kelompoknya sebagai sesat, bidah, atau bahkan kafir. Stigma buruk sering disematkan kepada
Wahabi dan label ekstrem sering ditujukan kepada kelompok ini. Dalam banyak hal lagu ini
ada benarnya, namun tidak semua Wahabi berperilaku demikian.
Asal Wahabi
Menurut Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (1986), Wahabi adalah paham keagamaan yang
dianut kalangan yang tidak suka kepada adat-istiadat dan kebiasaan yang menyimpang yang
mengharap kekuatan leluhur, melanggar tradisi adat, tidak mau ikut maulid Nabi Muhammad
SAW, tidak percaya kepada sunan, wali, dan keramat-keramatnya, anti-takhayul, khurafat,
dan bidah.
Kata Wahabi adalah nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, padahal Abdul Wahab
adalah nama ayahnya yang tidak pernah menulis satu kitab fikih pun. Nisbat kepada nama
Abdul Wahab ini dibuat oleh kalangan ilmuwan Barat yang biasanya mengambil nama
belakang untuk katalogisasi kepustakaan. Wahabi digagas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab (1703-1792), seorang reformis (mujaddid) Islam dari Najd, Arab Saudi, yang muncul
di tengah galaunya umat Islam yang lama terasuh di bawah empat mazhab statis (Syafii,
Maliki, Hambali, dan Hanafi).
Ia seorang mufti dari Daulah Suudiyah, cikal bakal Kerajaan Arab Saudi yang kita kenal
sekarang. Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid, hanya berdoa
memohon kepada Allah tanpa perantara, tidak mengagungkan para wali dan orang alim atau
ulama atau orang-orang saleh sebagai orang yang lebih istimewa dan menolak menyembah
kuburan. Wahabi menganut prinsip egaliter dalam beribadah.
Muhammad bin Abdul Wahab ini dianggap sebagai pembuat mazhab kelima setelah mazhab
Syafii, Hambali, Hanafi, dan Maliki. Muhammad bin Abdul Wahab banyak menulis kitab
yang isinya sejalan dengan pemikiran-pemikiran Ibnu Taymiyyah, Ibnu al-Qayyim, dan
109

Ahmad bin Hanbal. Karena dipengaruhi oleh pemikiran dari Ahmad bin Hanbal, wahabisme
ini agak mirip dengan mazhab Hambali.
Pemikiran Wahabi ini kemudian dikembangkan oleh Bin Baz, Uthaymin, Syek Ahmad Khan,
Jamaluddin Al Afghani, Rashid Ridha, Muhammad Abduh, HOS Tjokroaminoto, SM
Kartosoewirjo, kemudian periode pascakolonialisme Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Hasan
Al Banna, Abul Ala Al Maududi, Yusuf Qardhawi, Nashiruddin Al Albani, Bin Baz,
kemudian ke masa revolusi di Afghanistan masa Abdullah Azzam, Osama Bin Laden, Ayman
Al Zawahiry, hingga ke periode konflik Irak dan Suriah oleh Abu Mushab As Shuri.
Tipologi Wahabi
Wahabi tidak monolitik, artinya kelompok ini juga terpecah ke dalam beberapa varian yang
satu sama lainnya tidak bersahabat, terkadang saling bermusuhan, atau bahkan juga bisa
menjurus ke konflik berdarah.
Wahabi sebenarnya adalah istilah yang generik untuk menyebut atau merujuk kepada
kelompok salafi. Namun, karena kaum tradisional Islam pun mengklaim dirinya sebagai
salafi (yang melaksanakan tradisi salafussholeh), label Wahabi dipilih agar mudah
membedakannya secara teologis dengan kelompok-kelompok yang bukan Wahabi.
Terminologi Wahabi pun dipakai sebagai eufemisme karena ada kelompok tertentu yang
sangat sensitif dengan nama salafi.
Secara antropologis terdapat setidaknya tiga tipologi wahabisme di Indonesia yang bisa saya
amati. Pertama, Wahabi Shururi atau Wahabi yang dianggap anti-maulid, anti-azan dua kali,
anti-tahlil, anti-ziarah kubur, dan anti-jihad dan sering menganggap masyarakat yang
melawan pemerintah sebagai bughot (pemberontak).
Kedua, Wahabi Jihadi, yaitu kelompok yang lebih fokus pada jihad dan berusaha melawan
setiap kebijakan pemerintah, juga memiliki sikap penolakan yang sama dengan kelompok
pertama. Wahabi Jihadi di Indonesia pernah muncul dengan nama Darul Islam (DI) di Jawa
Barat pada 1949 (dengan tokohnya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo), Jawa Tengah pada
1950 (Amir Fatah Widjaja Kusuma), Sulawesi Selatan pada 1951 (Kahar Muzakkar),
Kalimantan Selatan pada 1952 (Ibnu Hajar), dan Aceh pada 1953 (Daud Beureueh).
Kemudian ada juga Jamaah Islamiyyah (JI) pada 1992 hingga pada 2010 yang dituduhkan
kepada Ustaz Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir, Dr Azhari, Noordin Mat Top,
Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron, dan Ali Imron. Terakhir, kelompok Wahabi Jihadi ini
muncul dalam bentuk Tanzhim Al Qaeda Serambi Mekkah (TQSM) dan banyak aktivisnya
yang tertangkap setelah terbongkarnya kegiatan idad (persiapan/latihan perang) di Bukit
Jalin, Aceh Besar pada 2010. Kelompok Wahabi Jihadi ini kini lebih kalem dan memilih jalur
dakwah bil hikmah dalam kegiatan kesehariannya.

110

Ketiga, Wahabi Takfiri yang suka menuduh orang lain di luar kelompoknya sebagai pelaku
bidah atau malah kafir. Kelompok ini ada di Aceh saat ini dan masih setia dengan baiatnya
untuk mendukung Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) atau lebih dikenal dengan ISIS. Di
internal kalangan Wahabi ini sendiri juga terjadi saling tuding dan saling tuduh sesatmenyesatkan.
Di tengah kiprah Wahabi dalam konflik komunal di Peristiwa Cumbok di Aceh (1946),
Ambon (1999), Poso (2001), dan lain-lain tempat, juga ada kiprah Wahabi dalam kekerasan
politik di Sulawesi Selatan serta kiprah Wahabi dalam terorisme yang diperankan oleh
Jamaah Islamiyyah, Darul Islam, dan sebagainya sejak 2000 hingga 2014. Inilah yang
kemudian membuat Wahabi menjadi paragon of ugly yang sulit untuk dibantah. Seharusnya
Wahabi lebih tampil sebagai paragon of beauty dan mengharumkan agama Islam di mata
dunia.
Kejadian-kejadian kekerasan di Irak dan Suriah di mana ISIS memperlihatkan kekejamannya
yang mengerikan telah membuat Wahabi sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab
secara teologis atas kekerasan dan kebiadaban selama ini. Padahal, banyak sekali jasa Wahabi
dalam membela kaum tertindas di muka bumi ini. Bantuan kepada pengungsi Rohingya justru
datang dari Arab Saudi yang dianggap sebagai negara Wahabi.
Kita haruslah menilai Wahabi ini secara lebih adil sebelum menjatuhkan stigma atau label
radikal, ekstremis, dan teroris kepada semuanya yang berasal dari mainstream Wahabi.
Padahal, ada Wahabi yang anti-jihad, yang anti-pemberontakan, dan juga Wahabi yang bisa
menerima ziarah kubur, tahlil, maulidan, juga masih bersedia datang ke kenduri-kenduri
untuk menyantap hidangan.
Di tengah banyaknya tudingan terhadap kalangan Wahabi yang dianggap telah
mempermalukan agama Islam, namun harus diakui bahwa ada banyak jasa Wahabi dalam
membela kaum tertindas, khususnya yang beragam Islam. Hampir dapat dipastikan
kebanyakan yang dibela oleh Wahabi adalah umat Islam tanpa membedakan sekte dan
mazhab. Bantuan kemanusiaan yang diberikan kaum Wahabi menyebar ke seluruh dunia
dalam bentuk filantropi zakat, sedekah, kurban, dan pembangunan masjid serta lembaga
pendidikan.

AL CHAIDAR
Pengajar pada Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

111

Menjawab Islam Nusantara


Koran SINDO
6 Juli 2015

Membaca artikel opini Faisal Ismail, Menyoal Islam Nusantara, di koran ini edisi Rabu, 1
Juli 2015, mendorong saya untuk menulis opini balik. Saya sengaja memberi judul
Menjawab Islam Nusantara agar tulisan ini fokus memberikan catatan atas beberapa
persoalan yang dikemukakan Faisal Ismail.
Beberapa saja yang perlu saya beri catatan di sini mengingat keterbatasan kesempatan.
Pertama, saya ingin memulai dari tema Islam: the Straight Path yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, Islam: Jalan Lurus, atau Islam: Shirath al-Mustaqim. Memaknai
Islam: the straight path dengan Islam: jalan lurus tidak menimbulkan pergeseran
pemahaman. Namun menjadi persoalan besar jika menyamakan makna Islam: the straight
path (Islam: jalan lurus) dengan Islam: shirath al-mustaqim.
Rangkaian kata shirath al-mustaqim terdapat dalam Surat Al-Fatihah ayat 6 yang
lengkapnya, ihdina al-shirath al-mustaqim. Maksud kata shirath dalam nash tersebut
adalah agama Islam. Sedangkan maksud mustaqim dalam ayat tersebut adalah kemapanan
tanpa distorsi (Ahmad as-Showy, 1813). Sehingga, jika dirangkai dalam satu kalimat, Islam:
shiratal-mustaqim menimbulkan kekacauan arti yang bersumber dari kesalahan merangkai
kata. Padahal Rasulullah SAW menegaskan bahwa Islam itu kesaksian ketuhanan hanya
Allah, kerasulan Muhammad SAW, komitmen melaksanakan salat, mengeluarkan zakat,
puasa Ramadhan, dan pergi haji saat mampu (Imam Muslim, 875).
Begitu juga merangkai Islam dengan kalimat rahmatan li al-alamin. Kalimat ini terdapat
dalam Surat Al-Anbiya: 107, wama arsalnaka illa rahmatan li al-alamin (Aku tidak utus
engkau Muhammad kecuali untuk mengasihi alam semesta). Ibn Abbas menegaskan bahwa
subyek dari misi mengasihi alam semesta adalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan
objeknya adalah seluruh umat manusia (at-Thabari: 919). Maka rangkaian kata Islam
rahmatan li al-Alamin pun memunculkan kekacauan arti yang disebabkan oleh kesalahan
merangkai kata.
Fakta di atas tentu problem besar mengingat kedua kalimat tersebut (shirath al-mustaqim dan
rahmatan li al-alamin) adalah bagian dari teks Alquran. Padahal, telah menjadi kesepakatan
ulama bahwa hanya orang-orang dengan kriteria tertentu saja yang punya otoritas untuk
memaknai Alquran.
***

112

Lalu bagaimana dengan terma Islam Nusantara? Dua kata ini sebenarnya membutuhkan
penjelasan sederhana. Islam dan Nusantara adalah dua kata yang masing-masing
mempunyai makna dan kedua kata tersebut digabungkan untuk membentuk frase. Maka
jadilah rangkaian Islam Nusantara yang memperlihatkan hubungan erat antara bagian yang
diterangkan-menerangkan (Ramlan, 1985) meski tanpa menimbulkan makna baru.
Dalam ilmu bahasa Indonesia, jenis penggabungan kata ini disebut aneksi. Karena masuk
dalam kategori aneksi, maka terma Islam Nusantara sama saja dengan terma Islam di
Nusantara, atau Islam dan Nusantara. Maka pilihan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atas
terma Islam Nusantara itu cukup logis dan ilmiah dengan pertimbangan tidak menyalahi
pakem ilmu bahasa Indonesia; dan tidak merusak arti Islam dan Nusantara.
Maka, mengkritik terma Islam Nusantara dengan pendekatan ilmu linguistik Arab teori
nisbat tentu mengada-ada. Sekali lagi, kata Nusantara dalam rangkaian Islam Nusantara
dalam berbagai tulisan para pemikir NUitu bukan untuk kategorisasi. Nusantara dalam
konteks linguistik hanya menerangkan teritori di mana penghuninya memeluk agama Islam.
Begitu juga mengkritik Islam Nusantara dengan pisau analisa pendapat Koentjaraningrat.
Sudah sepatutnya Koentjaraningrat berpendapat bahwa agama itu titah Tuhan dan sebaiknya
tidak berusaha mengembangkan suatu agama Islam khas Indonesia. Pernyataan
Koentjaraningrat tersebut berkesesuaian dengan prinsip Islam sebagai ajaran yang mapan
tanpa distorsi (shirath al-mustaqim).
Hanya saja terma Islam Nusantara bukanlah bentuk pengembangan agama Islam. Islam
Nusantara itu paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara
teks syariat dengan realita dan budaya setempat (Afifuddin Muhajir, 2015). Spirit Islam
Nusantara adalah praktik berislam yang didahului dialektika antara teks-teks syariah dengan
realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal.
Perspektif ushul fiqh, proses dialektika antara teks-teks syariah dengan realitas dan budaya
tempat umat Islam tinggal itu sesuatu yang lumrah terjadi, bahkan pasti terjadi mengingat
Islam itu ajaran yang universal. Dan Islam Nusantara adalah wujud Islam yang universal
mengingat ia telah dipeluk oleh ratusan juta penduduk Nusantara dan telah melahirkan
ratusan ribu produk hukum dan khazanah keislaman lain.
Bertolak dari pemahaman di atas, tak perlu takut Islam terdistorsi gara-gara muncul terma
Islam Nusantara, atau bahkan nanti menyusul muncul terma Islam Amerika, Islam
Eropa, Islam Australia, Islam Afrika, dan lainnya.
***
Terlepas dari kajian sisi linguistiknya yang masih diperdebatkan, terma Islam Nusantara dan
Islam rahmatan li al-alamin mempunyai spirit sama mengingat keduanya lahir dari rahim
113

Nahdlatul Ulama. Hanya dari sisi konsekuensinya, Islam Nusantara lebih selamat mengingat
tidak menimbulkan kekacauan arti.
Pada kesempatan ini saya justru mengkritik Faisal Ismail tentang konversi kepercayaan nonIslam ke agama Islam. Betulkah konversi itu terjadi? Sedekah laut yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat muslim pada musim tertentu itu bukan wujud konversi dari kepercayaan
non-Islam ke agama Islam. Sesungguhnya di sana telah terjadi dialektika antara nash syariah
dan budaya setempat sehingga tak terjadi pertentangan antara Islam dan budaya setempat.
Jika proses sedekah di laut itu sebatas konversi tentu tak ada gunanya Islam mereka anut.
Begitu juga dengan kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul yang dianut oleh sebagian muslim
di pesisir pantai, salah besar jika kedatangan Islam hanya sekadar melakukan konversi.
Catatan terakhir, saya sepakat dengan Faisal Ismail bahwa di mana saja (Yaman, Suriah, Irak,
Mesir, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia) Islam mengajarkan keramahan, kerukunan, dan
perdamaian. Hanya, saya tidak sepakat jika Faisal berpendapat bahwa kekerasan dan
peperangan di suatu negara muslim tertentu hanya harus dilihat dari konstelasi politiknya.
Pengalaman PBNU mendamaikan beberapa suku di Afghanistan yang terlibat aksi kekerasan
hingga kini tidak murni karena persoalan politik. Antarsuku masih mempunyai problem
ideologis dan teologis dalam memandang negara perspektif Islam. Mereka juga masih
mempersoalkan hubungan Islam dan nasionalisme.
Kasus yang sama terjadi di Indonesia pada 1960-an dengan meletusnya pemberontakan Darul
Islam pimpinan Kartosuwiryo (Jawa Barat), Daud Beureueh (Aceh), dan Kahar Muzakkar
(Sulawesi Selatan). Meski awalnya sebagian sejarah menganalisis sebagai persoalan politik,
namun dalam perkembangannya mereka mempertentangkan antara nasionalisme dan Islam.
Aksi kekerasan di Indonesia adalah sejarah yang tak perlu diingkari. Namun, sejarah
kekerasan yang singkat tersebut bukan berarti meruntuhkan terma Islam Nusantara yang
mempromosikan kedamaian Indonesia yang telah berlangsung dalam skala yang lebih luas
dan rentang waktu yang sudah ratusan tahun.
Menilik ajaran Islam yang berkembang di Indonesia, masyarakat muslim Indonesia bukan
lahan subur bagi aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama (Azyumardi Azra, 2015). Di
antara buktinya, pada muktamar di Banjarmasin tahun 1927 Nahdlatul Ulama menyerukan
perang kebudayaan melawan penetrasi budaya Barat yang dibawa Belanda. Disusul pada
tahun 1928 di mana NU memutuskan untuk memberikan perlindungan dan memperjuangkan
keadilan secara kolektif dan masif bagi masyarakat Nusantara yang merasa terancam
(dokumen PBNU, 1928).
Karena itulah wahabisme tidak laku di Indonesia, meski telah dipasarkan sejak awal 1920-an.
Memang benar kelompok Wahabi bukan teroris tapi satu digit lagi berpotensi jadi teroris
karena mereka dilengkapi referensi, tinggal berani atau tidak (Said Aqil Siradj, 2014).

114

MUHAMMAD SULTON FATONI


Wakil Sekretaris Jenderal PBNU; Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia,
Jakarta

115

Islam Berkemajuan dan Islam Nusantara


Koran SINDO
6 Juli 2015

Akhir-akhir ini umat dihadapkan pada dua narasi besar tentang Islam Indonesia. Dua narasi
besar itu adalah Islam berkemajuan dan Islam Nusantara.
Narasi Islam berkemajuan sangat lekat dengan Muhammadiyah. Bahkan Muhammadiyah
telah menjadikan kata berkemajuan sebagai tagline tema Muktamar Ke-47 di Makassar, 37 Agustus 2015. Tema yang diusung Muhammadiyah dalam muktamar kali ini adalah
Dakwah Pencerahan untuk Indonesia Berkemajuan. Melalui tema ini Muhammadiyah ingin
mewujudkan Islam masa depan yang modern, universal, dan mendunia.
Muhammadiyah sejak awal memang telah mengenalkan diri sebagai gerakan Islam
berkemajuan. Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, mengatakan bahwa Islam
merupakan agama berkemajuan. Ungkapan Islam berkemajuan juga pernah dikemukakan
Presiden Pertama RI, Soekarno. Senada dengan Kiai Dahlan, Soekarno juga menentang
kekolotan, kejumudan, takhayul, dan kemusyrikan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Pandangan Sukarno ini merupakan buah dari interaksinya dengan tokoh-tokoh
Muhammadiyah, terutama Kiai Dahlan dan KH Mas Mansur. Saat masih tinggal di Surabaya,
Sukarno tergolong rajin mengikuti pengajian Kiai Dahlan.
Dalam amatan Kiai Dahlan, umat saat itu sudah jauh tertinggal dan enggan mengejar
ketertinggalan karena maraknya budaya takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Dampaknya,
umat sulit membedakan antara praktik budaya yang menghambat kemajuan dengan ajaran
agama yang sebenarnya.
Kiai Dahlan menyadari betul bahwa mewujudkan Islam berkemajuan merupakan suatu
keniscayaan. Spirit membumikan Islam berkemajuan pun terus digelorakan Kiai Dahlan dan
tokoh-tokoh Muhammadiyah generasi awal. Di tengah masyarakat yang belum memiliki
kesadaran membayar zakat, Muhammadiyah membentuk panitia zakat (amil). Di tengah
masyarakat yang masih mengandalkan dukun untuk menyembuhkan penyakit,
Muhammadiyah mendirikan rumah sakit. Di tengah masyarakat yang masih mengabaikan
nasib anak yatim, Muhammadiyah mendirikan panti asuhan. Di tengah masyarakat yang
fanatik berpedoman pada kalender urfi warisan Sultan Agung, Muhammadiyah menawarkan
ilmu hisab astronomi.
Saat banyak kalangan muslim memperdebatkan apakah sekolah modern kafir atau tidak,
Muhammadiyah terus membangun sekolah-sekolah modern. Bahkan sebelum
Muhammadiyah lahir, Kiai Dahlan telah mendirikan madrasah diniyah sebagai cikal bakal
116

sekolah modern. Modernisasi pendidikan yang diprakarsai Kiai Dahlan merupakan terobosan
penting pada masanya.
Bagi Muhammadiyah, pendidikan modern merupakan metode yang jitu untuk memajukan
umat. Saat pendidikan masih diberikan secara terbatas pada elite priyayi, Muhammadiyah
membuka kesempatan kepada anakanak dari masyarakat luas untuk belajar.
Kiai Dahlan juga merumuskan tujuan pendidikan yang begitu ideal, yakni melahirkan
individu yang tampil sebagai ulama-intelek atau intelek-ulama. Profil lulusan pendidikan ala
Kiai Dahlan menunjukkan semangat mewujudkan Islam berkemajuan. Lulusan pendidikan
diharapkan memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas serta kuat jasmani dan rohani.
Pembaruan Muhammadiyah di segala bidang itu menunjukkan dengan jelas visi Islam
berkemajuan.
***
Sementara itu, wacana Islam Nusantara sangat popular di kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Diskursus Islam Nusantara juga dibicarakan dalam berbagai forum ilmiah. Bahkan dalam
banyak kegiatan pengajian tidak jarang kiai-kiai NU menekankan pentingnya Islam yang
berwajah Nusantara.
Wacana Islam Nusantara menemukan momentum yang tepat, yakni jelang Muktamar Ke-33
NU di Jombang pada 1-5 Agustus 2015. Muktamar NU juga mengusung tema Meneguhkan
Islam Nusantara, Merawat Indonesia untuk Membangun Peradaban Dunia. Melalui tema ini
NU ingin menjadi gerakan Islam yang ramah terhadap berbagai budaya di Nusantara.
Pendiri dan ideolog NU, KH Hasyim Asyari, dikenal luas sebagai ulama yang sangat
akomodatif terhadap berbagai budaya agama populer (popular religion). Hal itu dilakukan
Kiai Hasyim untuk menjaga kekhasan Islam di Nusantara. Sementara ketua umum PBNU,
KH Said Aqil Siradj, meniscayakan Islam Indonesia harus mencerminkan perilaku sosial
budaya yang moderat (tawassuth), seimbang (tawazun), dan toleran (tasamuh). Menurut Kiai
Said, tiga prinsip ini sekaligus menjadi solusi warga nahdliyin dalam menghadapi tantangan
liberalisme, kapitalisme, sosialisme, serta radikalisme bernuansa agama yang kian marak.
Konsepsi Islam Nusantara seakan menjadi narasi besar NU untuk membumikan ajaran Islam
di Indonesia dan negara tetangga. Wacana Islam Nusantara kian populer setelah Presiden
Jokowi turut memberikan dukungan. Saat hadir di tengah-tengah warga nahdliyin, Jokowi
mengatakan bahwa Islam kita adalah Islam Nusantara, yakni Islam yang ramah dan moderat.
Pernyataan Presiden dikemukakan untuk membandingkan wajah Islam Indonesia dengan
nasib Islam di Suriah, Irak, dan Libya, yang hingga kini terus membara akibat konflik
berkepanjangan.
***
117

Pertanyaannya, bagaimana menyandingkan narasi agung Islam berkemajuan dan Islam


Nusantara? Idealnya dua narasi Islam Indonesia ini tidak dipahami secara binaris sehingga
terkesan berhadap-hadapan. Keduanya harus dipahami secara utuh sehingga bisa saling
melengkapi.
Membumikan ajaran Islam di Nusantara dengan tetap mengakomodasi budaya sebagai bentuk
kearifan lokal (local wisdom) terasa sangat penting. Tetapi harus tetap dibedakan ajaran
agama yang sebenarnya dan budaya agama. Sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa ajaran
Islam, budaya agama termasuk dalam kategori boleh (ibahah). Jika budaya agama itu
bertentangan dengan ajaran Islam, maka harus dikoreksi.
Narasi Islam Nusantara juga harus dimodernisasi agar sesuai dengan konteks kekinian. Islam
Nusantara tidak boleh berwajah sinkretis, berpandangan romantis, dan anti-perubahan. Islam
Nusantara harus menampilkan wajah yang modern, mendunia, dan berpandangan futuristik.
Pada konteks inilah Muhammadiyah dan NU harus bersinergi untuk mendakwahkan Islam di
Nusantara yang berkemajuan dengan penuh optimistik. Dengan meminjam kata-kata bijak di
dunia pesantren, dua ormas terbesar di Tanah Air itu harus mengamalkan ajaran almuhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama
yang masih baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik).
Dengan cara tersebut rasanya proses membumikan Islam dalam bingkai budaya Nusantara
yang maju dan modern akan menjadi kenyataan. Jika kondisi ini terjadi, maka wajah Islam di
Nusantara akan menjadi laboratorium dunia. Islam Indonesia juga akan menjadi lokomotif
kebangkitan Islam.

BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

118

Dakwah yang Mengubah Dunia


Koran SINDO
7 Juli 2015

Ada kearifan klasik yang menyentak kesadaran kita setiap kali kita membicarakan kembali
makna surah al-Maun.
Kiai Ahmad Dahlan bertanya pada para santrinya, apakah mereka mengerti surat tersebut dan
serentak para santri menjawab mengerti. Kiai kecewa karena para santri ternyata hanya
menghafal ayat-ayat dalam surat pendek tersebut dan sama sekali tak menyentuh makna
hakikinya. Hafal dan paham itu tidak sama, kata kiai dengan sikap arif, dan para santri
yang terkejut itu saling memandang.
Tanda kita mengerti pesan penting surat itu bukan ditampakkan pada kemampuan kita
melafalkan ayat demi ayat di dalamnya. Mengerti di situ bukan lagi bagian dari dimensi
kognitif di dalam hidup kita, melainkan tampilnya dimensi evaluatif dalam kesadaran kita
menjadi suatu tindakan. Perintah suci yang hanya dipahami sebagai hafalan, menjadi sekedar
bacaan tetapi tidak dikerjakan, jelas tidak akan mengubah tata kehidupan dunia ini.
Pemahaman kiai Dahlan yang diwujudkan di dalam tindakan pernah menggemparkan jagat.
Ada yang mengerutkan kening. Ada yang bertanya apa maksudnya. Ada yang mencemooh.
Bagi orang yang menyaksikan film bagus Sang Pencerah niscaya ingat betapa revolusioner
pemikiran Kiai Ahmad Dahlan, pendiri organisasi dakwah Islamiah yang bernama
Muhammadiyah itu. Sang kiai mengumpulkan anak-anak telantar, anak-anak yatim-piatu
yang tak terurus, dan gelandangan yang tak punya orang tua. Mereka dimandikan sendiri oleh
sang kiai. Sesudah itu pakaian mereka diganti yang lebih bersih, lebih baik. Kemudian
dibawa masuk ke dalam suatu ruangan, dan diajari membaca dan menulis oleh sang kiai.
Kritik, celaan dan sikap sinis yang muncul di dalam masyarakat Yogyakarta pada saat itu tak
digubris sama sekali oleh sang kiai. Bagi beliau, inilah terjemahan terbaik surah al-Maun tadi.
Terjemahan bukan dalam bahasa, dari bahasa Arab ke dalam bahasa kita. Terjemahan seperti
itu penting sekali bagi umat. Tetapi terjemahan dalam bentuk tindakan konkret memandikan
anak-anak telantar, miskin dan yatim piatu, dan memberi mereka pendidikan jelas lebih
penting. Ini wujud tindakan revolusioner yang pada waktu itu belum dilakukan oleh siapa
pun.
Mungkin boleh juga dikatakan bahwa tindakan itu merupakan sebuah temuan dalam bentuk
yang lain. Ini juga merupakan sikap seorang pionir di dalam bidang sosial dan kemanusiaan.
Temuan ini tidak dipatenkan, dan tak dianggap karya pribadi. Makin banyak orang meniru
119

makin baik. Makin banyak orang merasa ikut memilikinya akan menjadi semakin baik bagi
usaha dakwah Islam yang ditempuh sang kiai.
***
Dakwah itu memiliki makna yang luas. Syiar Islam yang dilakukan sekelompok besar
pemuda-pemudi yang menyerukan keluhuran Allah yang Maha Tinggi, dan menyebutkan
kemuliaan Rasulullah yang merupakan teladan agung bagi manusia yang mengikutinya, itu
termasuk dakwah. Mengajak orang lain untuk mengikuti ajaran agama, itu juga termasuk
dakwah.
Pada tahap permulaan gerakan Islam, dakwah berarti mengajak banyak kalangan menjadi
pengikut Rasulullah. Dakwah memang berarti menyeru, mengajak dan menyampaikan
ajakan. Mereka yang didakwahi pada mulanya golongan orang-orang yang belum beragama
dan diajak untuk masuk Islam.
Dalam tahapan sejarah Islam selanjutnya, dakwah bisa berarti menyeru atau mengajak
berbuat baik. Mengajak berbuat baik itu sudah dakwah. Seruan ini ditujukan pada sesama
orang Islam. Seruan seperti itu merupakan bagian dari amar makruf (mengajak berbuat baik)
dan nahi mungkar (mencegah dengan berbagai cara) apa pun yang merupakan tindakan buruk
yang merugikan orang banyak. Di sini lama-lama dakwah tidak dimaksudkan mencari
sebanyak-banyaknya pengikut, melainkan merupakan usaha pendalaman dan menawarkan
pemahaman agama secara mendalam dan hakiki.
Berbuka puasa bersama di hotel-hotel mewah, didahului ceramah, yang berupa ajakan atau
imbauan, dan usaha mempersegar iman, juga dakwah. Kita tidak tahu bagaimana pengaruh
sosialnya di masyarakat. Kita tahu bahwa semangat berbuka bersama itu sudah terbentuk
sebagai sebuah tradisi mewah di kalangan muslim kelas menengah, atau kelas atas di kotakota besar di negeri kita.
Alangkah bagusnya, dan betapa besar dampak sosialnya di dalam masyarakat bila kelompok
berbuka bersama itu juga berubah menjadi suatu gerakan. Kita sebut saja gerakan rohani
politik. Isinya membangun rohani politik yang bersih, jujur dan transparan di dalam segenap
perilaku sehari-hari. Dengan begitu, akan menjadi sifat baik dan melembaga.
Mereka akan dengan sendirinya menjauhi sifat korup, menentang korupsi dan pelan-pelan
membangun suatu tata kehidupan yang memesona. Kelompok ini akan menjadi kekuatan
besar melawan korupsi. Jika ada anggota kelompok yang ternyata korup, dia harus
dikeluarkan. Yang korup bukan lagi anggota. Dia menjadi orang lain, karena tindakannya
telah merusak tatanan moral dan nilai yang dimuliakan bersama. Dia tidak ada lagi di dalam
kebersamaan itu. Kemuliaan seperti ini kita tunggu.
Kita mengharapkan munculnya suatu tindakan yang memesona orang banyak. Kelas
menengah kota, atau kelas atas, yang giat berbuka bersama, tarawih bersama, dan murah hati
120

menyantuni kaum lemah yang dibikin makin lemah oleh tatanan politik dan ekonomi kita,
bisa menjadi pelopor. Kelas menengah macam ini memiliki potensi sangat besar. Duit ada,
pemikiran ada, kemurahan hati ada. Inilah kekuatan yang seyogianya mulai mengubah tradisi
buka bersama, menjadi tindakan lebih revolusioner lagi.
Buka bersama itu mulia, Tapi buka bersama disertai amal-amal saleh yang monumental, jelas
jauh lebih mulia, lebih memesona. Kalau Kiai Dahlan sendirian bisa melakukannya, kelas
menengah yang hebat ini pasti lebih mampu lagi.
Kecuali itu, kita menanti munculnya suara-suara di berbagai masjid kita, yang melakukan
dakwahnya dengan lembut, dan menyentuh. Masjid tak usah bersaing dengan suara keras dan
berlomba menjadi yang paling keras. Suara keras, hiruk-pikuk di masjid memang suara syiar
Islam yang baik. Tapi berlomba menyuarakan keluhuran agama secara lembut, membaca
ayat-ayat suci secara lembut, kelihatannya akan lebih menyentuh hati manusia.
Tak peduli penganut agama apa pun mereka akan lebih tersentuh kelembutan. Kaum
muslimin/muslimat atau para penganut agama lain, akan lebih terpesona mendengar suara
lembut dan segenap ekspresi kelembutan. Suatu ayat yang dibaca dengan sekeras-kerasnya,
yang mengagetkan penduduk di sekitar masjid, atau dibaca secara fasih, tartil, tertib dan
lembut, beda pengaruhnya.
Kefasihan dan kelembutan lebih memesona. Ini dakwah yang menyentuh dunia dalam kita.
Dan mengubah kesadaran kita dari dalam. Sentuhan kelembutan ini wujud pesona yang
agung, yang dibutuhkan setiap telinga, setiap hati.
Dakwah Islam yang memesona seperti ini makin lama makin menjauh dari kita. Padahal, ini
harta kekayaan umat yang sangat berharga. Harta kekayaan tak boleh dibiarkan hilang begitu
saja. Dakwah yang memesona, biarpun hanya kata-kata, bisa mengubah dunia.

MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com

121

Wajib Belajar untuk Bangsa


Koran SINDO
9 Juli 2015

Tuhan bersama orang miskin. Ibnu Arabi menyatakan: mereka (yang berkuasa) adalah
pelayan rakyat, pelindung rakyat dari kezaliman.
Orang miskin dapat dikategorikan orang-orang yang tertindas, terzalimi. Pendidikan adalah
jalan satu-satunya untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan, bukan uang tunai atau
sembako. Sebab itu, tugas wajib pemerintah sebagai pemegang kekuasaan adalah
menyediakan pendidikan buat keluarga miskin.
Saat kita menjalani ibadah di bulan suci Ramadan ini, ada baiknya kita menjenguk saudarasaudara kita yang belum sempat mengenyam pendidikan dengan baik. Menurut studi
Analytical & Capacity Development Partnership (ACDP) bertajuk Overview of The
Education Sector in Indonesia 2012: Achievements and Challenges, kita telah berhasil
mendorong anak usia sekolah masuk ke sistem pendidikan lewat program Wajib Belajar.
Secara bertahap, pada 1984 Wajib Belajar 6 Tahun dan pada 1994 Wajar Belajar 9 Tahun.
Semua itu pada era Orde Baru. Ada tuntutan dan sudah menjadi program pemerintahan
Jokowi-JK bahwa wajib belajar ini ditingkatkan hingga 12 tahun atau lulus sekolah
menengah atas (SMA).
Seberapa penting program wajib belajar ini buat keluarga miskin? Seiring dengan upaya
meningkatkan mutu pendidikan di semua level, biaya pendidikan juga semakin
membumbung tinggi. Guru mendapat gaji dan tunjangan yang lebih baik lewat sertifikasi.
Fasilitas sekolah diperbaiki dan ada yang dibangun baru. Teknologi mulai diperkenalkan ke
sistem pengajaran.
Kurikulum baru diterapkan dengan pendekatan riset yang baik. Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan (LPMP) hadir dan aktif hampir di semua provinsi. Proses rekrutmen guru, kepala
sekolah, dan pengelola pendidikan lainnya semakin profesional. Semua ikhtiar itu
memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Akibat itu, ongkos pendidikan semakin tak
terjangkau bagi kalangan miskin.
Untunglah, negara melalui APBN wajib menyediakan 20% dari anggaran tahunan untuk
pendidikan. Beberapa pemerintahan daerah bahkan mengalokasikan sampai 30%-40% dari
anggarannya untuk sektor pendidikan.
***
122

Yang menjadi masalah adalah alokasi besar-besaran itu belum memberi dampak positif ke
peningkatan mutu pendidikan kita. Penyebabnya: 80%-85% dari anggaran sektor pendidikan
itu lari ke gaji dan tunjangan guru saja. Artinya, dana besar untuk pendidikan hanya habis
untuk pengeluaran rutin dan biaya hidup. Sedikit sekali untuk pelatihan guru, pengadaan alat
praktikum, pembangunan infrastruktur sekolah, atau bentuk investasi lainnya yang tak kalah
pentingnya untuk perbaikan kegiatan belajar-mengajar di kelas.
Cara pemerintah menghabiskan anggaran ini menyusahkan keluarga miskin karena
kemiskinan itu searah dengan angka putus sekolah. Menurut data ACDP, kelompok khawatir
1 (dari 5 khawatir pendapatan: 1 termiskin dan 5 terkaya) justru yang paling banyak putus
sekolah: 64,4% di tingkat sekolah dasar (SD) dan 50% di tingkat SMP. Artinya, anak
keluarga miskin berpeluang besar tidak lulus SD dan sekolah menengah pertama (SMP).
Informasi ini sangat menyedihkan. Sungguh ironis sejak 1994 (21 tahun yang lalu!) kita
sudah mencanangkan Wajib Belajar 9 Tahun yang tujuannya meluluskan anak-anak kita
terlepas status ekonominya dari pendidikan setingkat SMP, ternyata masih banyak saudarasaudara kita yang tercecer di tengah jalan pendidikan formal.
Kalau melihat lebih dalam lagi, ternyata ada 10% siswa SD tersebut yang bersekolah di
madrasah dan mayoritas dari keluarga miskin dan pesantrennya berstatus swasta (ADB,
2006). Madrasah justru memiliki keberhasilan yang lebih baik daripada sekolah umum. Kalau
angka putus sekolah di SD mencapai 1,61%, sedangkan madrasah ibtidaiyah hanya sekitar
0,18% atau hampir sepersepuluhnya saja (OECD, 2015). Pemerintah perlu meningkatkan
dukungan ke pesantren dan madrasah tersebut.
Dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) memang berhasil menaikkan jumlah anak kita yang
masuk sekolah, namun kondisi ekonomi miskin keluarga menjadi penghalang utama untuk
mereka bertahan di sekolah. Tak heran kalau posisi kita di dunia dalam Education for All
Development Index (UNESCO, 2012) hanya mencapai peringkat 64 dari 120 negara. Kita
masih kalah dibandingkan Malaysia dan Brunei meski lebih baik daripada Filipina dan
Kamboja.
***
Indonesia bukan negara liberal yang cenderung menyerahkan pelayanan publik ke
mekanisme pasar. Kita negara berdasarkan Pancasila yang fondasinya keadilan sosial; negara
memiliki kewajiban untuk memastikan setiap warga negaranya mendapatkan layanan
pendidikan yang layak. Biaya tidak boleh menjadi batu sandungan untuk menjadi orang
pintar dan terdidik. Republik ini yang akan rugi bila sebagian besar rakyatnya tidak mampu
menuntaskan pendidikannya sampai sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
Semangat pemerintahan baru yang mendorong Wajib Belajar 12 Tahun patut didukung meski
lulusan SLTA masih belum cukup untuk membuat Indonesia bersaing di era Masyarakat
Ekonomi ASEAN tahun depan. Setidaknya, dengan kompetensi setingkat SMA dan SMK
123

tersebut, kita sudah mulai membangun benteng terakhir di sisi sumber daya manusia dalam
menghadapi persaingan global dalam 10 tahun mendatang.
Kalaupun semua dana dan upaya dikerahkan untuk membantu rakyat miskin berpendidikan,
kita harus waspada dengan satu penyakit kronis ini: korupsi. Masyarakat harus terlibat aktif
dalam mengawasi penggunaan dana BOS, Kartu Indonesia Pintar, dan berbagai insentif
keuangan lainnya. Percuma saja kita membaca data yang manis di permukaan bila di balik itu
hanyalah laporan cantik di atas kertas. Kita semua harus peduli dengan kegiatan anak kita di
sekolah, bantulah guru dan kepala sekolah dengan sumbangsih pikiran dan tenaga sesuai
kemampuan kita, dan aktiflah dalam kegiatan sekolah. Negara memang berkewajiban
mendidik anak-anak kita, tetapi orang tua dan masyarakat juga wajib memastikan semua dana
rakyat itu digunakan semestinya.
Keadilan sosial tercapai bila semuanya ikut terlibat bergotong-royong mengatasi masalah
bersama. Hal ini sesuai dengan semangat Ki Hajar Dewantara yang ingin memerdekakan
pikiran rakyat kita dari penjajahan asing. Masalah pendidikan bukan hanya milik pemerintah.
Kalau anggaran dan kebijakan sudah diarahkan untuk mendidik sebanyak mungkin anak
bangsa, giliran kita semua memastikan setiap sen digunakan secara amanah. Tuhan bersama
mereka yang adil dan bekerja keras.

TOTOK AMIN SOEFIJANTO


Direktur Riset Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan Deputi Rektor Universitas
Paramadina, Jakarta

124

Dunia Semakin Plural


Koran SINDO
10 Juli 2015

Selain handphone, saya selalu ditemani komputer tablet yang memungkinkan saya
mengakses internet di mana pun dan kapan pun saya mau. Meski berada di mobil atau selagi
pulang kampung, saya dengan mudah membaca berita apa yang terjadi di dalam maupun luar
negeri. Bahkan dengan Youtube atau Google saya bisa memilih topik bahasan keilmuan atau
melihat figur selebritis sekedar untuk tahu.
Yang sangat membantu tentu saja saya bisa membaca e-book atau bahkan belanja e-book
dengan mudah. Tak perlu repot-repot ke toko buku. Komputer tablet bisa berfungsi layaknya
home portable library, toko buku, bioskop, dan alat komunikasi.
Akibat dari industri internet, dunia semakin terasa plural. Kadang terasa sempit, lain kali
terasa semakin warna-warni, banyak pilihan untuk dilihat dan dikunjungi meskipun pada
tataran dunia maya. Meskipun maya, ledakan informasi pengetahuan yang tersebar melalui
internet sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan sosial, keilmuan, bisnis, dan dunia kerja.
Setiap hari pengguna Facebook, Twitter, dan media komunikasi lain berbasis internet selalu
bertambah. Foto dan catatan pribadi yang semula masuk wilayah privat, sekarang justru
disebarluaskan. Pola komunikasi via internet menimbulkan sikap paradoksal. Orang merasa
dekat, bebas ngobrol masalah-masalah pribadi, padahal secara fisik berjauhan.
Obrolan di internet terasa egaliter, tak ada sekat kelas sosial, merasa intim, tetapi bisa juga
egois karena yang terjadi bisa jadi menjadikan orang lain sebagai tempat curhat layaknya
keranjang sampah. Ada teman bercerita, melalui Facebook atau Twitter dia bebas dan merasa
lega setelah menulis mengeluarkan unek-uneknya tanpa peduli respons pembacanya.
Bagi yang sering mengamati diskusi dalam dunia maya, materi diskusi dan pikiran yang
muncul bisa bebas sekali, suatu hal yang tak mungkin terjadi dalam forum seminar atau
ceramah. Misalnya saja diskusi tentang agama atau politik, peserta bebas bicara apa saja,
bahkan ada yang membela pandangan orang-orang yang sinis atau anti-agama. Dinilainya
agama itu menjadi sumber pertengkaran dan peperangan. Dan masih banyak lagi pikiranpikiran yang akan membuat marah pembacanya.
Namun karena yang hadir adalah lontaran pemikirannya, bukan sosok orangnya, yang
muncul hanya sebatas perang argumen dan kata, bukan konflik fisik. Di situlah salah satu
keunggulan forum internet, orang bebas berpendapat tanpa terjadi benturan fisik. Di sisi lain

125

orang juga dituntut membangun argumen yang kuat, bukannya pengerahan massa untuk
melawan mereka yang berseberangan pemikirannya.
Perjumpaan pikiran lewat dunia maya membuat dunia terasa semakin sempit dan plural,
ditambah lagi dengan perjumpaan antarpenduduk bumi yang jumlahnya sekarang mencapai 6
miliar yang juga telah mendorong mobilitas dan tukar-menukar antarwarga negara dan
bangsa.
Di dunia kampus atau kota-kota besar dunia akan mudah dijumpai masyarakat yang plural,
berbaur komunitas lintas agama, budaya, dan bahasa. Situasi ini bisa membuat seseorang
semakin kaya dan terbuka wawasannya, tetapi bisa juga sebaliknya merasa semakin sumpek,
bingung, dan tidak siap menghadapi pluralitas hidup, terutama jika sudah menyangkut
keragaman agama.
Beda agama lalu disikapi dengan kecurigaan dan kebencian. Padahal pluralitas ini suatu
keniscayaan yang kalau disikapi dengan lapang dan pengetahuan justru menjadi sumber
pengayaan hidup.
Bagi masyarakat Indonesia, mestinya sudah siap dan terbiasa menghadapi pluralitas ini
mengingat sejak awal berdirinya republik ini sudah mencanangkan slogannya Bhinneka
Tunggal Ika. Yang diperlukan adalah kematangan pribadi dan keluasan ilmu sehingga tidak
hanyut dan bingung memasuki dunia yang kian plural.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT


Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat

126

Mewaspadai Produk Makanan Ilegal


Koran SINDO
11 Juli 2015

Meningkatnya permintaan produk pangan selama Ramadan dan menjelang Idul Fitri dapat
membuka peluang hadirnya produk makanan ilegal yang berbahaya bagi kesehatan. Produk
makanan ini bisa yang sudah kedaluwarsa dan rusak sehingga konsumen harus teliti melihat
kemasan, izin edar, dan tanggal masa berlaku produk yang dibeli.
Dalam upaya mencegah beredarnya produk pangan tidak aman itu, Badan Pengawasan Obat
dan Makanan (BPOM) telah mengawasi 452 sarana distribusi pangan di Indonesia. Dari
pengawasan yang dilakukan selama 25 Mei hingga 9 Juni 2015 itu, BPOM menemukan ada
11.370 kemasan dari 483 jenis produk pangan senilai Rp453,8 juta tidak memenuhi syarat
(TMS) untuk dijual dan dikonsumsi. Dari makanan TMS itu ditemukan 124 item (817
kemasan) sudah rusak (penyok, berkarat), 206 item (4.510 kemasan) yang kedaluwarsa, dan
153 item (6.043 kemasan) tanpa izin edar.
Selain itu, dalam pemeriksaan sejumlah sampel makanan di Pasar Cibubur, Jakarta Timur,
yang dilakukan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan DKI Jakarta ditemukan bahan
berbahaya pada makanan. Bahan berbahaya seperti pewarna dan pengawet non-food grade
masih ditemukan. Makanan yang mengandung bahan berbahaya antara lain tahu, asinan, dan
kerupuk. Hal yang sama juga ditemukan pada pemeriksaan produk pangan olahan di wilayah
lain di sejumlah daerah di Tanah Air.
Tidak Layak Konsumsi
Pada awal April 2015, sebelum BPOM mengumumkan hasil pengawasannya, media massa
telah gencar memberitakan sejumlah makanan dan minuman yang tidak layak konsumsi.
Pembuatan nata de coco menggunakan pupuk urea, kikil yang diawetkan dengan formalin, es
batu mengandung bakteri patogen karena bahan bakunya berasal dari air sungai dan makanan
ringan berbahan baku pakan ternak.
Kejahatan di balik bisnis makanan semakin kerap muncul ke permukaan. Seandainya kita
lebih rajin lagi mengelilingi sejumlah pasar tradisional, niscaya tidak sulit menemukan
makanan yang menggunakan pengawet formalin, boraks, dan bahan pewarna tekstil. Bakso,
mi basah, tahu, ikan, daging ayam, buah, dan sayuran adalah makanan sangat populer yang
telah dicemari zat racun tersebut.
Penggunaan bahan berbahaya sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1980-an. Ia telah masuk
dan bersemayam di dalam perut masyarakat konsumen sekitar tiga dekade. Namun, ironisnya
127

belum ada tindakan tegas yang dilakukan pemerintah untuk mencegah kejahatan itu.
Mungkin karena konsumen tidak tampak berteriak kesakitan dan langsung tewas seperti
korban serpihan bom teroris, sehingga pemerintah membiarkan anak bangsa ini tetap
mengonsumsi makanan beracun untuk kemudian mati secara perlahan.
Penyakit yang timbul akibat makanan yang terkontaminasi (foodborne disease) penyebab
utamanya adalah mikroba patogen, mencapai sekitar 80- 90%. Disusul bahan kimia dari
pestisida atau bahan beracun yang secara alami ada dalam makanan.
Bila dikelompokkan berdasarkan sumber bahan makanan, ternyata industri jasa boga
(katering dan restoran) menempati peringkat atas sebagai sumber foodborne disease, yakni
77%. Disusul makanan yang dimasak di rumah sebesar 20%, dan sisanya 3% disebabkan
makanan yang diproduksi industri pangan. Meskipun kontribusi industri pangan relatif
rendah, tak bisa dianggap enteng sebab jangkauan konsumennya lebih luas. Apabila
produknya menimbulkan keracunan maka jumlah penderita per kasus akan lebih besar,
seperti halnya kasus biskuit beracun tahun 1989.
Tragedi kejahatan di balik bisnis makanan sebagai potret buram keamanan pangan dapat
terjadi mulai dari hulu hingga di hilir industri pangan (Sibuea, 2015). Korban yang timbul
bercorak massal dan meminta korban nyawa manusia. Kenyataan itu makin memprihatinkan
ketika peristiwa ini kerap terjadi karena kelalaian manusia yang kurang memedulikan
keselamatan konsumen. Apalagi dengan kondisi masyarakat saat ini sedang mengalami krisis
kepercayaan, pembohongan publik dapat dengan mudah dilakukan.
Untuk alasan meningkatkan sifat fungsional produk, pemakaian bahan tambahan makanan
(BTM) yang tidak aman semakin tak terkendali. Penambahan zat berbahaya seperti formalin,
pewarna rhodamin B, kuning metanil, pemanis buatan siklamat atau sakarin adalah serpihan
contoh yang kerap dipakai untuk makanan. Fenomena ini ibarat bom waktu. Bahaya yang
ditimbulkan amat dahsyat, yakni menyebabkan kanker yang merampas nyawa orang.
Di sisi lain, proses pemanasan yang tidak sesuai, penanganan under processing, khususnya
pada produk makanan kaleng berasam rendah dapat terjadi karena kurangnya pemahaman
tentang thermobakteriologi yang dikembangkan Dr Stumbo, seorang ilmuwan di bidang
teknologi pangan terkemuka dunia. Hal ini dapat menstimulasi terbentuknya toksin botulin
dari bakteri Clostridium botulinum yang amat berbahaya. Sebaliknya, proses pemanasan
berlebihan pada penggunaan minyak goreng dan berulang-ulang akan menghasilkan
kerusakan produk yang memicu munculnya senyawa karsinogenik yang tidak baik bagi
konsumen.
Mengasah Hati Nurani
Pertanyaan saat ini adalah mengapa sulit memberi jaminan keamanan pangan di tengah
masyarakat? Pemerintah belum bisa melakukan pengawasan melekat yang tercermin dari
berbagai upaya yang dilakukan di setiap mata rantai yang diduga bisa menimbulkan masalah
128

keamanan pangan. Dari wilayah produksi, pengolahan, distribusi, hingga saat penyajian
untuk konsumsi. Masyarakat berharap berbagai instansi terkait harus terlibat dalam
memeriksa keamanan pangan dan memberdayakan petugas untuk melakukan penyuluhan
keamanan pangan kepada penjual makanan.
Selama ini pemerintah telah abai tentang satu hal. Undang-undang yang baru tentang pangan
sudah dibuat, regulasi tata niaga bahan tambahan makanan diperketat, dan sertifikasi mutu
produk diharuskan. Namun, semuanya bisa diterabas pelaku ekonomi demi tujuan
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Makanan berformalin yang tetap eksis dari
waktu ke waktu adalah bukti nyata pemerintah gagal dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Tindak kejahatan di balik bisnis makanan yang kerap berulang ini jika hendak digali secara
lebih kontemplatif, persoalannya menyangkut moralitas anak bangsa. Perdagangan produk
makanan ilegal saat masyarakat merayakan Idul Fitri dan hari-hari besar keagamaan lainnya
adalah serpihan representasi dari bangsa yang mengalami degradasi moral. Negeri yang
warganya santun karena taat beragama kini mulai kurang beradab dan tak peduli keselamatan
orang lain karena melakukan pembunuhan secara perlahan-lahan lewat teror formalin.
Ketika persoalan kejahatan di balik bisnis makanan merebak menjadi tragedi kemanusiaan
yang menelan korban jiwa, pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan kerap
mereduksi persoalan dengan berdalih bahwa penyebabnya adalah keracunan makanan yang
dipicu cara memasak yang tidak benar. Alasan lain disebutkan bahwa tempat memasaknya
kurang higienis atau airnya sudah terkontaminasi limbah beracun.
Pada masa datang agar kejahatan di balik bisnis makanan bisa berkurang secara bermakna,
maka sebagai umat beragama yang religius semestinya masyarakat pedagang makanan dan
korporasi patut lebih mempertimbangkan aspek moralitas ketimbang nilai keuntungan
semata. Para pemuka agama diharapkan dapat berperan aktif memperbaiki moral anak bangsa
ini. Mereka tidak sekedar hadir untuk mengusung ceramah agama tetapi juga memberi
teladan moralitas tentang perilaku manusia.
Sebagai sesama anak bangsa, kita hendaknya dapat mengasah hati nurani untuk berperilaku
jujur dalam berbisnis di bidang pangan, bukan sekadar makhluk ekonomi yang menakar
segala aktivitas dari aspek untung dan rugi.

POSMAN SIBUEA
Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU
Medan

129

Kota Mudik
Koran SINDO
11 Juli 2015

Beberapa hari ke depan Jakarta dan beberapa kota besar lainnya akan menjadi kota lengang
seiring dengan mudiknya warga Jakarta ke berbagai kota di Indonesia.
Berdasarkan catatan Polda Metro Jaya, tahun ini diperkirakan lebih dari 9 juta warga Jakarta
akan melakukan tradisi mudik ke berbagai daerah. Jumlah ini meningkat sebanyak 12,8%
dibandingkan dengan musim mudik tahun lalu. Artinya, sepertiga warga Jakarta tahun ini
akan mudik.
Paling tidak diperkirakan selama satu minggu setelah lebaran Idul Fitri Jakarta akan menjadi
kota anti-macet. Warga yang tidak mudik akan menikmati dengan sepuasnya jalan-jalan di
Jakarta. Tidak terdengar lagi suara klakson mobil dan motor yang menderu-deru. Sesaat kita
tak lagi melihat perilaku-perilaku kasar dan beringas bagaimana menembus jalanan Jakarta
yang sangat semrawut tersebut. Sebuah fenomena tahunan yang menjadikan kota ini istirahat
sejenak dari gegap gempita ancaman kemacetan total.
Berbagai kantor swasta, pemerintah maupun industri akan libur sejenak selama liburan
lebaran. Fasilitas pelayanan publik akan rehat sejenak dalam rangka merayakan Idul Fitri.
Di sisi lain, jutaan warga Jakarta akan secara masif berpindah untuk sementara waktu ke
berbagai daerah di Indonesia. Mereka meninggalkan ingar-bingar Jakarta untuk merayakan
dan berbagi kebahagiaan bersama keluarga tercinta di kampung halamannya. Mereka lepas
dari rutinitas ala Jakarta yang mengekang mereka, berangkat pagi dan pulang malam dengan
berjam-jam di jalanan.
Fenomena Universal
Fenomena mudik sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Fenomena ini juga terjadi di
beberapa negara lainnya. Di Prancis misalnya, umat Islam yang minoritas juga banyak
melakukan mudik ke negara asalnya. Muslim di Prancis sebagian besar berasal dari Aljazair,
Maroko, Tunisia, Turki, dan beberapa negara Afrika lainnya. Meski dilahirkan dan dibesarkan
di Prancis, mereka merayakan Idul Fitri di negara leluhurnya. Pelaksanaan puasa sering kali
bersamaan dengan liburan musim panas. Pada liburan musim panas, anak-anak sekolah libur
selama lima minggu. Banyak juga karyawan yang menggunakan jatah cutinya selama liburan
musim panas. Bahkan, mereka pulang kampung negara leluhurnya untuk melaksanakan
ibadah puasa.

130

Di kampung halamannya, mereka berkumpul dan bersilaturahmi dengan keluarga besarnya


seperti orang tua, kakek/nenek, dan keluarga lainnya. Bagi muslim yang berkecukupan,
mereka mudik menggunakan pesawat terbang. Sementara keluarga yang terbatas
keuangannya, mereka menggunakan mobil pribadi dengan melalui jalur kapal laut selama dua
hari di perjalanan. Mereka menggunakan jalur pelabuhan di Marseille untuk menyeberang ke
Aljazair, Maroko, maupun Tunisia.
Mereka yang membawa mobil pribadi dapat berkeliling bersilaturahmi dengan keluarga besar
di kampung halamannya. Menariknya, warga Prancis yang mudik membawa mobil
memasang bagasi tambahan di atas mobilnya. Kondisi ini tidak jauh beda dengan warga
Indonesia yang mudik menggunakan mobil pribadi. Beberapa hari setelah Idul Fitri, mereka
kembali ke Prancis.
Di Malaysia, tradisi mudik lazim disebut balik kampong. Setiap tahunnya kegiatan Balik
Kampung juga menjadi tradisi warga negeri jiran ini terutama mereka yang bekerja di kota
besar seperti Kuala Lumpur yang kembali ke kampung halamannya.
Tradisi mudik juga dilakukan warga Bangladesh dan Pakistan. Bahkan, di dua negara tersebut
kondisi mudik warganya tidak jauh berbeda dengan warga Indonesia dalam menggunakan
transportasi publik, seperti kereta api. Di beberapa tayangan televisi, ribuan warga dua negara
tersebut berjejal dan tumpah ruah menggunakan sarana kereta api.
Perspektif Ruang Sosial
Sementara ditinggal warganya, Jakarta menjadi ruang sosial yang nyaman, kondusif, lebih
humanis dan tentu saja sangat manusiawi bagi warganya. Meski lengang dan sepi, itu menjadi
penting bagi berlangsungnya metabolisme kehidupan Jakarta itu sendiri. Dalam satu tahun,
Jakarta memang memerlukan waktu rehat sejenak untuk menyusun kembali energi baru
dinamika kehidupan warga kotanya. Meski hanya berlangsung satu minggu selama liburan
Idul Fitri, maknanya terasa sangat penting terhadap keberlangsungan kota Jakarta itu sendiri.
Sesungguhnya, selain momentum Idul Fitri, Jakarta juga menjadi sedikit lebih lengang karena
momentum liburan Natal dan Tahun Baru. Apalagi, momentum tersebut bersamaan juga
dengan liburan sekolah. Meski jumlahnya tak sefantastis dengan fenomena Idul Fitri,
fenomena itu membuat warga Jakarta lebih menikmati sarana transportasi dibandingkan harihari biasa.
Kemacetan dan dinamika Jakarta selama liburan tersebut akan pindah ke berbagai kota di
Indonesia. Kota-kota dan kampung-kampung di daerah akan bergeliat dan penuh dengan
dinamikanya. Kehidupan akan berpindah di kota-kota para pemudik. Macetnya Jakarta untuk
sementara akan pindah di daerah-daerah tempat para pemudik. Di berbagai daerah, pelat
nomor kendaraan pribadi dipastikan akan dipadati pelat nomor B (Jakarta).
Hal yang positif juga adalah terjadi perputaran uang di daerah selama mudik berlangsung.
Kota di daerah akan menjadi ruang perputaran kapital yang signifikan selama mudik.
131

Maklum, para pemudik membelanjakan uangnya untuk berbagai kebutuhan selama mudik. Di
kota-kota pemudik, berbagai ATM akan dipenuhi dengan antrean panjang warga pendatang.
Berbagai mal, pusat perbelanjaan, dan pusat hiburan akan dipenuhi dengan warga pendatang.
Mereka membelanjakan uangnya dengan mengunjungi berbagai pusat wisata dan hiburan,
menikmati suguhan kuliner khas kampung halamannya, ataupun membeli oleh-oleh untuk
kerabat dan relasi di Jakarta. Kota-kota pemudik akan mengalami geliatnya selama tradisi
mudik tersebut.
Pada level ini, kita sebenarnya dapat berharap bahwa pusat pertumbuhan akan bergerak
secara masif di berbagai kota yang lain. Tidak lagi bertumpu pada Jakarta yang sudah
melebihi kapasitasnya. Pertumbuhan kota ini kita harap tidak hanya berlangsung secara instan
selama tradisi mudik tersebut, tetapi juga dapat berlangsung secara konsisten di luar tradisi
mudik tersebut.

RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Sosiologi Perkotaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Ketua Laboratorium
Sosiologi (LabSos) UNJ

Psikopat
132

Koran SINDO
12 Juli 2015

Baru-baru ini, masih di bulan Juni 2015 ini, diberitakan tentang tewasnya seorang bocah
cantik berumur 8 tahun bernama Engeline di rumah sendiri di Denpasar, Bali. Engeline konon
meninggal di tangan AT, pegawai mama angkatnya. Konon si pegawai itu, selain membunuh,
juga melecehkan Engeline secara seksual dan menguburkan jenazah Engeline di halaman
belakang rumah, dekat kandang ayam.
Yang menarik dari kasus ini adalah bahwa polisi baru bisa menemukan jenazah Engeline
sekitar tiga minggu setelah Engeline dilaporkan hilang oleh mama angkat sendiri yang
bernama M. Kasus ini kemudian berkembang di media sosial dan naik ke media massa (TV)
sehingga menarik perhatian dua menteri (Yohana Susana Yembise, Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak serta Yuddy Chrisnandi, Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara) dan kedua menteri itu pun berkunjung ke TKP (tempat kejadian perkara,
yaitu rumah korban) sebelum makam korban ditemukan. Anehnya M tidak menerima kedua
menteri itu dengan baik.
Demikian pula ketika Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist
Merdeka Sirait menemui mama M, ia pun pernah menerima kata-kata kasar. Karena kasar,
marah-marah, curiga, mengusir tamunya, dan tertutup, maka mama M yang kemudian
dijadikan tersangka juga (karena diduga bersekongkol dengan AT untuk membunuh korban)
disebut-sebut sebagai penderita psikopat.
Wah, apa itu psikopat? Banyak disebut, tetapi tidak banyak yang tahu artinya. Yang diketahui
umum pokoknya psikopat itu berbahaya. Kalau psikopat itu bersembunyi di suatu tempat
sunyi dan kita kebetulan melewati tempat itu sendirian, tahu-tahu kita bisa diserang atau
diperkosa. Psikopat sering kali diasosiasikan dengan kekerasan, seks, dan sadisme.
Yang lebih mengerikan lagi, ada anggapan bahwa psikopat adalah penyakit kejiwaan dan jika
seorang didiagnosis psikopat, otomatis dia tergolong sakit dan orang sakit tempatnya bukan
di penjara, melainkan di rumah sakit agar sembuh. Kalau sudah dinyatakan sembuh si
psikopat ini akan berkeliaran di tempat-tempat umum dan tiba-tiba sudah makan korban
lagi... hiiiiii.
***
Tapi keadaan yang sebenarnya tidak seperti itu. Dalam menegakkan diagnosis, dokter
spesialis jiwa (psikiater) dan psikolog spesialis gangguan jiwa (psikolog klinis) biasanya
mengacu pada buku panduan gangguan mental yang diterbitkan Asosiasi Psikiater Amerika
133

(APA) berjudul DSM IVTR 1974 (Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder,
edisi IV, 1974).
Versi terbaru, yaitu DSM V 2013, sudah digunakan para psikiater di AS, tetapi belum oleh
kalangan psikolog di sana (Asosiasi Psikologi Amerika, disingkat APA juga) karena masih
ada perdebatan tentang kesahihan diagnostik antarkedua organisasi profesi itu. Psikolog klinis
Indonesia pada umumnya masih mengacu ke versi 1974 karena belum familier dengan yang
versi 2013 (banyak perubahan prinsipil).
Terlepas dari kontroversi tentang DSM itu, yang pertama mesti diklarifikasi adalah bahwa
sejak 1974 (DSM IV) sampai hari ini (DSM V), status psikopat sudah berubah. Dalam DSM
I-III namanya memang masih psikopat yang artinya adalah sakit (pathology) jiwa (psyche).
Tapi sejak DSM IV dan masih digunakan dalam DSM V, atas usul seorang psikiater Amerika
bernama Hervey Cleckley, namanya sudah berubah menjadi kepribadian anti-sosial
(antisocial personality disorder/ASPD). Alasannya adalah bahwa belum ada satu penelitian
pun yang membuktikan bahwa psikopat adalah penyakit dan sampai hari ini untuk psikopat
belum ada obatnya.
Lain halnya dengan skizofrenia, suatu gangguan kejiwaan lain yang makin jelas faktor-faktor
penyebabnya dan sudah ditemukan obatnya, bahkan dengan obat-obatan seorang penderita
skizofrenia bisa berprestasi luar biasa (contoh yang amat masyhur sehingga kisahnya
diabadikan dalam film Beautiful Mind adalah pemenang hadiah Nobel Ekonomi 1994 John
Nash, penderita skizofrenia yang berhasil sembuh berkat dukungan istrinya). Karena itu
penderita skizofrenia dibebaskan dari hukuman kalau melanggar pidana, sedangkan
penyandang ASPD tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.
Yang juga perlu diluruskan adalah gambaran perilaku psikopat yang seakan-akan hanya
terkait dengan kekejaman dan seks. Seorang psikiater Kanada bernama Robert Hare, pada
1993 pernah melaporkan 20 ciri ASPD (Hare masih lebih senang menyebutnya psikopat)
sebagai berikut: (1) meyakinkan dan menarik yang dibuat-buat, (2) menghargai diri
berlebihan (lebay), (3) selalu butuh stimulasi, cepat bosan, (4) gaya hidup patologis, (5)
manipulatif dan jahat, (6) tidak merasa menyesal/bersalah, (7) perasaan dangkal, (8) tak
berperasaan dan tak berempati, (9) gaya hidup parasit, (10) sulit kendalikan perilaku sendiri,
(11) perilaku seks serbaboleh, (12) mengalami masalah perilaku sejak dini, (13) tidak punya
tujuan jangka panjang yang realistis, (14) impulsif, (15) tak bertanggung jawab, (16) tidak
bisa mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, (17) berkali-kali perkawinan jangka
pendek, (18) kenakalan anak, (19) pembatalan situasi yang melegakan, dan (20) mudah
terlibat berbagai kriminalitas.
Laporan ini, yang dikukuhkan oleh peneliti Amerika, Skeem dkk (2011), menyatakan bahwa
cukup lima ciri saja terpenuhi dari daftar yang 20 itu sudah cukup mengindikasikan adanya
gangguan kepribadian ASPD atau psikopat.

134

Jadi seseorang yang sering meminjam duit tetangga tanpa menghiraukan perasaan tetangga
yang dipinjami itu, tanpa merasa bersalah, tidak bisa mempertimbangkan perilakunya sendiri,
dan melanggar hukum bisa diduga ASPD atau psikopat, sama halnya dengan pembunuh
berdarah tinggi atau penjahat seks yang masuk dalam DPO kepolisian. Mereka sama-sama
ASPD, hanya beda kadar saja.
Sebaliknya M, mama angkat Engeline, belum bisa dikategorikan psikopat, justru karena dia
sering marah-marah, curiga, menolak menteri, dan mengusir tamu pulang. Reaksi-reaksi
seperti itu hanyalah reaksi panik dari seseorang yang merasa bersalah, tetapi ingin menutupi
kesalahannya sehingga membuatnya berperilaku marah-marah dan curiga dan sebagainya
agar ia bisa cepat terhindar atau menyingkir dari situasi yang tidak disukainya itu.

SARLITO WIRAWAN SARWONO


Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

135

Muhammadiyah, NU dan Lebaran


Koran SINDO
15 Juli 2015

Alangkah baiknya menjelang akhir bulan suci yang penuh ampunan dan pembebasan api
neraka ini kita mengenang keluhuran sikap politik-keagamaan Muhammadiyah dan NU.
Kedua organisasi sosial keagamaan itu telah berhasil dengan gilang-gemilang
mengejawantahkan sikap tadi ke dalam tindakan nyata. Kelihatannya inilah wujud
transformasi dunia ide ke dalam tatanan politik sehari-hari yang membawa suasana ademayem dan kesejukan yang megah.
Dengan kata lain, mungkin bisa disebutkan di sini bahwa kekuatan gabungan antara
Muhammadiyah dan NU tidak hanya ngeyem-yemi (sekadar usaha menenangkan), melainkan
secara nyata telah membikin ayem dalam arti sebenarnya. Ini ayem yang di dalamnya
terkandung berkah.
Kita menyaksikan bahwa sikap mengenai yang agung dan mulia itu tidak lagi hanya semata
berupa doktrin, kalimah thoyyibah, dan sejenis kata mutiara yang hanya cocok buat kaum
muda remaja yang sedang puber. Di dalam rutinitas kehidupan sehari-hari yang sering
bersifat teknis, dan bisa saja membosankan, Muhammadiyah dan NU telah mengubahnya
menjadi amal saleh yang besar pengaruhnya.
Lagi pula perlu dicatat bahwa ini bukan amalan di masjid atau di dalam majlis halaqah
(seminar) dan di tempat-tempat berzikir, tetapi di wilayah yang keras dan penuh konflik dan
tantangan: di bidang politik. Mungkin khususnya politik-keagamaan yang ujungnya runcing
dan panasnya bisa membakar sebuah kota.
Zikir itu jelas membikin suasana ayem-tentrem. Akan tetapi tindakan politik yang berani dan
bersifat liberating pengaruhnya jauh lebih besar lagi, dan bisa meliputi semua bagian di
dalam struktur politik kita dibanding sekadar suasana batiniah yang ayem-tentrem tadi.
Jarang sekali, atau bahkan kelihatannya tak pernah, kita memberi apresiasi pada keduanya.
Sudah pasti keduanya berbuat bukan karena mengharap pujian dan kekaguman massa. Tapi
apa salahnya, tokoh-tokoh besar atau organisasi-organisasi besar di dalam masyarakat kita
sesekali menyebutkan dengan takzim bahwa keduanya telah meratakan jalan kedamaian
politik-keagamaan yang betul-betul penuh berkah.
***

136

Ini zaman ketika cara kita beragama di mana-mana diwarnai oleh pengaruh-pengaruh sikap
yang penuh kekerasan. Agama yang memuja dan memuji, yang bersyukur dan memohon,
yang lembut dan penuh pengampungan itu tiba-tiba telah berubah menjadi kutukan dan
ancaman.
Dari lidah dan hati yang berzikir kepada Allah, muncul pula pada saat bersamaan cacian dan
kedengkian mendalam. Perbedaan sedikit cukup menjadi alasan bagi timbulnya kekerasan.
Dan kita pun takut mengakui bahwa hal itu datang dari lingkungan kita, yaitu kalangan
orang-orang yang seagama, tapi segala puji hanya untuk Allah yang Maha Terpuji: kita
menyaksikan bahwa dalam kurang lebih seabad ini Muhammadiyah dan NU itu di dalamnya
mengandung berbagai ketegangan doktrinal yang menimbulkan konflik.
Soal qunut dan doa talkin pernah sangat lama meruncing dan menjadi bahan perdebatan. Tapi
ketegangan seperti ini tetap hanya berupa ketegangan. Tidak ada tindak kekerasan massa
yang mengamuk dan mencemaskan. Alhamdulillah NU tak pernah menyerang
Muhammadiyah, dan sebaliknya, Muhammadiyah pun tidak pernah merasa perlu menantang
NU. Ketegangan-ketegangan kecil yang diakibatkan oleh kepentingan politik yang panas
sesekali menimbulkan letupan kemarahan. Tapi kemarahan mereka tak meledak menjadi
bencana kemanusiaan.
Di dalam masyarakat memang timbul gurauan sekadar gurauan di kalangan NU yang
menyatakan bahwa sebuah keluarga NU bersyukur karena para anggota keluarga tadi,
alhamdulillah, semua Islam. Minimal Muhammadiyah. Gurauan ini tak menjadi masalah.
NU sendiri juga terkena sindiran oleh pihak lain, yang menggunakan nada salawat, yang
selama ini dianggap milik NU, tapi diselewengkan di dalam suatu gurauan politik. Shalat
keno ora yo keno. Sing penting mbela Bung Karno. Kita tidak tahu salawat yang membelok
itu siapa yang menyusun. Tapi kita tahu, bagi NU ini sebuah gurauan belaka. Di dalamnya
tidak ada unsur yang sengaja melukai tauhid. Namanya gurau ya gurau. Orang NU, kaum
nahdliyin, dalam soal gurau ini boleh disebut rajanya.
Suatu gurau yang mungkin dibuat kalangan Muhammadiyah, mungkin pula oleh kalangan
kaum nahdliyin, menggambarkan dengan malu-malu bahwa Muhammadiyah dan NU pada
dasarnya tidak ada bedanya.
Digambarkan, di suatu taman surga, ada orang NU duduk di bawah pohon. Di jalan ada
seorang anggota Muhammadiyah sedang menempuh perjalanan. Anggota NU tadi
menegurnya dengan penuh keheranan : Mas, kalau tak salah sampeyan ini dulu anggota
Muhammadiyah kan? Kenapa bisa masuk surga? Si Muhammadiyah pun keheranan: Saya
ingat sampeyan itu NU. Kenapa sampeyan juga di surga? balas si Muhammadiyah tadi.
Di sini tampak betapa pada akhirnya NU atau Muhammadiyah itu bukan perkara penting.
Bagi mereka, yang lebih penting itu apakah iman mereka memancarkan cinta kepada Allah
137

yang Maha Pengasih dan cinta pada kemanusiaan apa tidak? Pendeknya, iman mereka lurus
atau tidak dan wujud keimanan itu membawa berkah atau tidak.
Menjadi NU atau Muhammadiyah itu hanya panggilan keduniaan dan pilihan ideologi
keagamaan untuk turut mengatur hidup yang ruwet ini agar menjadi tidak terlalu ruwet. NU
dan Muhammadiyah dianggap jalan perjuangan yang duniawi sifatnya.
Kematangan jiwa NU dan Muhammadiyah dan para penganut masing-masing membuat
renik-renik persoalan macam itu dianggap bukan perkara kunci dalam kehidupan duniawi dan
dalam beragama, yang bicara soal hidup yang akan datang. Kecuali itu, menjelang Lebaran
macam ini ketegangan NU dan Muhammadiyah selalu muncul. Kadang NU dan pemerintah
berlebaran lebih dulu, dan Muhammadiyah esok harinya. Dalam setahun kita lihat ada dua
Lebaran. Kadang-kadang Muhammadiyah mendahului sehari. Tapi NU tak melarangnya.
Perbedaan yang datang dari ketegangan doktrinal macam ini tak pernah menimbulkan tindak
kekerasan. Ketika bertemu di jalan, mereka bukan baku hantam, tetapi saling bersalaman dan
maaf-memaafkan.
Ini bukan perkara salah atau benar yang bisa berujung pada saling mengutuk. Pada akhirnya
kedua belah pihak menerimanya dengan senyum. Bahkan ada gurau: Kalau NU Lebaran
dulu saya dukung NU. Kalau Muhammadiyah yang berlebaran lebih awal saya ikuti
Muhammadiyah.
Ini bukan watak oportunis dan bukan pula pandangan orang yang tak punya sikap keagamaan
tertentu. Gurau ini mencairkan ketegangan yang sebetulnya tak penting itu. Beda ya beda
saja. Tak perlu membuat kita tegang dan saling menyalahkan. Sikap politik-keagamaan ini
sudah menjadi amal kebaikan sehari-hari di NU maupun di Muhammadiyah.
Orang fasih berbicara bahwa perbedaan itu berkah. Banyak pula yang paling gigih bicara
bahwa Islam itu rahmat bagi semesta alam. Tapi tindakannya lain. Beda sedikit marah. Dan
kemarahan menggiring timbulnya amuk yang begitu mencekam.
Ini hari-hari menjelang Lebaran. Kita belum tahu NU ataukah Muhammadiyah yang akan
berlebaran dulu. Persoalan ini tidak begitu penting. NU tak mempersoalkan. Muhammadiyah
menerimanya sebagai bagian dari rutinitas hidup. Beda ya beda. Maksudnya beda bukan
persoalan. Mereka tak pernah menjadikan perbedaan itu sebagai komoditas politik.
Muhammadiyah dan NU sudah terlatih menghadapi perbedaan. Keduanya terlatih menerima
berkah perbedaan itu. NU tak bisa membiarkan Muhammadiyah keliru. Muhammadiyah pun
tak tega mendiamkan NU begitu saja tanpa menyerunya dengan baik. Jadi, sebenarnya
perbedaan NU-Muhammadiyah itu mungkin dasarnya rasa cinta.

138

MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com

139

Berjihad Kembali ke Fitrah


Koran SINDO
16 Juli 2015

Bulan Ramadan 1436 H akan pergi meninggalkan kita dan tanggal 1 Syawal 1436 H segera
tiba. 1 Syawal adalah Idul Fitri.
Hari besar ini dinamakan hari raya Iedul Fitri, artinya hari fitrah, yakni hari raya kembalinya
kita sekalian kaum muslimin kepada fitrah. Fitrah adalah kesucian yang asli dan keaslian
yang suci. Sebab, menurut agama Islam, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah
atau suci (kullu mauludin yuladu alal fitrah).
Islam tidak mengenal dan menolak secara kategoris konsep dosa warisan atau turunan. Alihalih Islam malah menganut prinsip tanggung jawab pribadi. Ketika menafsirkan QS. al-Anam
ayat 164 yang berbunyi Wa la taksibu kullu nafsin illa alaiha, wa la taziru waziratun wizra
ukhra, Abdullah Yusuf Ali dalam magnum opus-nya The Holy Quran: Text,
Translation, and Commentery mengartikannya begini: Dan setiap perbuatan dosa seseorang
hanya dirinya yang bertanggung jawab; seseorang yang memikul suatu beban tidak akan
memikul beban orang lain.
Walhasil, kita sendiri yang masing-masing bertanggung jawab penuh atas segala perbuatan
kita: kita tidak boleh menggeser segala akibatnya kepada orang lain. Juga tak seorang pun
boleh menggantikan kita dalam menebus dosa kita.
Konsep keimanan seperti ini melahirkan pandangan yang positif dan optimis tentang
manusia, yaitu bahwa manusia itu pada sejatinya adalah makhluk yang baik dan suci. Ia
dibekali oleh penciptanya dengan kemampuan dan bakat alami untuk mengenali sendiri
mana-mana yang baik dan benar yang akan mendekatkan dirinya pada kebaikan dan
kebenaran, dan mana-mana yang buruk dan salah yang bakal menjauhkannya dari kebenaran.
Kemampuan dan bakat alami anugerah Tuhan itulah yang disebut dengan fitrah. Fitrah
dengan demikian menghasilkan pandangan yang optimis dan positif tentang manusia.
Namun, kendatipun senantiasa cenderung pada kebaikan dan kesucian sebagai fitrahnya,
manusia adalah makhluk yang lemah atau dhaif (lihat QS. Annisa: 28) sehingga mudah
tergoda untuk berbuat salah dan keliru karena terlena pada kesenangan-kesenangan duniawi
yang berdimensi jangka pendek (dunia itu berasal dari kata bahasa Arab dana-yadnu
dunya yang artinya dekat atau pendek).
Kesalahan dan kekhilafan akibat mengabaikan tujuan utama untuk meraih kebahagiaan yang
berdimensi jangka panjang itu mengakibatkan manusia menjadi tidak sabaran dan keburu
140

nafsu, ingin segala sesuatunya tercapai seketika secepat mungkin, secara instan, dan
cenderung melupakan proses. Inilah hakikat ketersesatan dan dosa manusia itu.
Maka setelah kita melaksanakan ibadah puasa dengan segala rangkaian ibadah di dalam bulan
suci Ramadan yang penuh kasih sayang (rahmah) dan ampunan (maghfirah) itu, kita insya
Allah kembali kepada fitrah, atau kesucian yang asli dan keaslian yang suci itu tadi.
Setelah kita melalui bulan Ramadan, bulan shiyam, yang artinya kurang-lebih bulan
pembakaran dosa-dosa (yakni bulan purgatorio), kita mengalami semacam daur ulang
(recycling), yaitu kembali suci sebagaimana fitrah kita semula, persis seperti ketika kita
dilahirkan oleh ibu kita (kama waladathu ummuhu) .
Bersyukur, Berterima Kasih
Untuk itulah maka pada hari-hari menjelang Idul Fitri seperti sekarang ini kita harus
memperbanyak syukur karena mendapatkan kesempatan bersua dengan bulan Ramadan,
bahkan dapat mengakhiri ibadah puasa dengan baik, jiwa dan pikiran tidak bercabang
(khusyu), dan penuh ketenangan dan kehati-hatian (tumaninah). Kita berkesempatan untuk
dapat mendekatkan diri (ber-taqarrub) kepada Allah Subhanahu wa Taala, Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Mendekat atau taqarrub kepada Allah berarti mendekat kepada
agama Islam.
Allah Subhanahu wa Taala menurunkan Islam adalah sebagai bukti kasih-Nya kepada umat
manusia dan seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Sebab, tanpa agama orang tidak
akan mengetahui mana jalan kehidupan yang benar. Tanpa agama orang tidak akan mengerti
sangkan paraning dumadi, tidak akan mengerti letak dan kedudukannya di tengah-tengah
sistem alam raya yang maha luas dan maha dahsyat ini. Oleh karenanya tanpa agama orang
akan mudah menjadi adigang, adigung, adigono, sopo siro sopo ingsun. Sikap takabur ini
timbul disebabkan oleh karena ketidakmengertian manusia mengenai siapa dirinya, dari mana
datangnya, untuk apa dia ada, dan mau ke mana setelah keberadaannya di alam yang fana dan
pendek (dunya : dekat) ini berakhir.
Sangat meyakinkan bahwa hanya dengan agama orang akan mengetahui sangkan paraning
dumadi, karena ia menyadari bahwa ia datang dari Allah, untuk beribadah kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kelak akan kembali kepada-Nya pula (QS Al-Baqarah: 56).
Dan juga firman-Nya: Kepada Allah-lah engkau sedang berjalan (QS An-Nur:52).
Berjalan menuju Tuhan itu berarti pulang. Sebab Tuhan adalah, mengutip sebuah ungkapan
dalam khazanah sufisme Jawa, Sangkan Paran paraning dumadi, yang artinya asal dan
tujuan hidup, sebuah ungkapan yang tidak lain merupakan terjemahan yang hampir-hampir
harfiah dari ayat Alquran inna lillahi wa inna ilaihi rojiun (kita semua berasal dari Allah dan
kelak akan kembali kepada-Nya). Karena semuanya berasal dari Tuhan, semua orang ingin
kembali kepada Tuhan.

141

Hidup ini adalah perjalanan ingin kembali. Kembali ke asal. Kita semua ingin kembali
pulang. Kalau seseorang tidak berhasil pulang, ia disebut tersesat. Dan ketersesatan itu tidak
bisa ditebus. Meskipun ditampung di rumah yang lebih mewah dari rumahnya sendiri, ia
tetap akan sengsara. Ia tetap ingin pulang. Tak aneh jika dalam bahasa Inggris ada ungkapan
home sweet home, kediaman adalah rumah yang paling enak. Dalam bahasa Inggris tidak ada
perkataan go house, tetapi go home, artinya pulang. Rasulullah SAW memiliki
ungkapan yang jauh lebih fundamental: bayti jannaty, rumahku adalah surgaku.
Pulang adalah gejala psikologis, bukan fisik. Maka pulang adalah suatu pemenuhan hasrat
untuk kembali ke asal. Setiap orang ingin kembali ke kampung, kembali ke keluarga. Semua
proses kembali ini yang paling mutlak ialah kembali kepada Allah SWT. Dimensinya
spiritual. Anak kecil yang berhenti menangis karena berhasil didekap ibunya, lebih
merupakan gejala psikologis semata. Tetapi kalau kita berhasil berada dalam dekapan Allah
SWT, itu adalah pengalaman rohani yang jauh lebih dalam. Asal dari segala asal adalah
Allah.
Bagaimana dengan orang-orang yang gagal pulang? Orang-orang ini dalam Alquran disebut
dhallun, yang artinya orang-orang yang sesat. Sesat di sini artinya orang yang tidak
sanggup kembali ke asal. Dhallun adalah mereka yang tidak sanggup kembali kepada Allah
karena tidak pernah mencoba membangun hubungan yang baik dengan Allah melalui ibadah
dan zikir. Sebab salah satu unsur penting takwa adalah zikir, yang merupakan wujud
keinginan kembali kepada Allah SWT.
Jalan yang Lurus
Seseorang yang memiliki kesadaran kosmik yang tinggi akan senantiasa menyadari bahwa ia
sejatinya berada di tengah-tengah sebuah perjalanan menuju kepada-Nya, tanpa perlu
mengalami rasa salah tempat (dislokasi), salah arah (disorientasi), dan rasa terasing
(alienasi). Ia menyadari sedang berada di tengah-tengah perjalanan ke hadirat-Nya dalam
suatu dimensi ruang dan waktu yang pendek sekali.
Islam adalah jalan menuju Allah yang diturunkan oleh-Nya kepada semua para nabi-Nya,
termasuk dan terutama nabi-Nya yang terakhir. Islam adalah jalan menuju ke hadirat-Nya
dengan penuh salam, yakni penuh kesejahteraan, kedamaian, dan keselamatan. Untuk itu
maka agama Islam sering dilukiskan dalam Alquran sebagai syariah, thariqat, sabil, dan
shirat, yang kesemuanya berarti jalan, yakni jalan yang benar menuju Tuhan. Allah
berfirman: Dan mereka yang bersungguh-sungguh berjuang mengikuti jalan-Ku niscaya
Aku akan menunjukkan jalan-jalan-Ku menuju kepada-Ku (QS. Ankabut: 69).
Memberikan komentar atas ayat tersebut Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa jalan Allah
ialah jalan yang lurus. Tetapi dari segala jurusan, manusia dapat menyimpang dari jalan itu.
Dan jalan lain masih banyak yang dapat ia tempuh untuk kembali ke jalan yang benar: jalan
asalnya sendiri dengan sifatnya yang bersih, serta kehendak dan rahmat Allah. Untuk itu,
orang perlu melangkah. Semua jalan itu terbuka buat dia asal saja dia mau membuka hati
142

kepada Allah dan berusaha dengan sungguh-sungguh (berjihad) dengan segala daya, tenaga
dan pikiran. Dengan itu, ia akan lepas dari jaringan laba-laba dunia yang rapuh itu, dan akan
memperoleh surga kebahagiaan dalam memenuhi segala tujuannya yang benar.
Semoga kita selalu berjihad untuk berada di dalam jalan-Nya yang lurus itu. Itulah al-Shirat
al-mustaqim. Semoga!

HAJRIYANTO Y THOHARI
Mantan Wakil Ketua MPR RI

143

Kembali Fitri, Kembali pada Kesadaran Sejati


Koran SINDO
16 Juli 2015

Idul Fitri merupakan titik puncak perjalanan spiritual ibadah puasa. Momen ini menandai
kembalinya orang-orang yang berpuasa kepada fitrahnya sebagai makhluk Tuhan yang
memiliki tingkat kesadaran tertinggi dibanding makhluk-makhluk lainnya.
Kesadaran yang membuat manusia berhasil masuk nominasi sebagai khalifah di muka bumi.
Dan pada akhirnya, kesadaran ini pulalah yang membuat manusia tetap saja dipilih Sang
Maha Pencipta untuk dijadikan khalifah, meski protes keras sempat dilontarkan oleh
makhluk-makhluk lainnya, terutama malaikat yang mengatakan bahwa kesadaran dan hawa
nafsu manusia amat tipis tingkatannya. Artinya manusia bisa sadar, tapi bisa juga
kebablasan dan bahkan menjadi hina.
Idul Fitri dengan demikian semestinya memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan apa
yang selama ini lebih banyak kita pahami sebagai kembali ke kampung, atau akrab di
telinga dengan istilah mudik.
Patologi Evakuasi Mudik
Dari segi bahasa, mudik atau pulang kampung memang sama sekali tak ada kaitannya
dengan puasa atau bahkan Idul Fitri. Mudik yang berasal dari kata udik (bahasa Jawa),
yang bermakna hulu, atau wetan dalam bahasa Sunda menggambarkan kerinduan seseorang
akan kepulangan (homesick). Ketidakterkaitan inilah yang membuat mudik, kemudian lebih
berkembang sebagai tradisi kaum kapitalis religius dalam masyarakat modern.
Sebagai tradisi fenomenal, yang gemuruh evakuasinya hanya bisa dikalahkan perjalanan
ibadah haji (pilgrimage) telah cukup jauh melenceng dari makna kembali kepada kesadaran
(Idul Fitri) yang sesungguhnya. Mudik yang ada sekarang ini merupakan ajang untuk
memperlihatkan eksistensi kelas tertentu. Sebagai perantau yang sukses di negeri orang dan
hendak kembali ke kampung halaman dengan membawa segenap hasil kesuksesannya. Selain
itu, prosesi mudik ternyata juga ikut melibatkan kekuatan kapital yang begitu dahsyat, dan
dikomersialkan. Untuk mempertahankan daya kapitalnya, tradisi ini dijaga dan dirawat
dengan sebaik mungkin.
Pemaknaan Idul Fitri yang tentu saja jauh dari makna kembali kepada kesadaran bukan?
Padahal, baik secara kultural maupun spiritual, mudik sebetulnya memiliki makna yang jauh
lebih dalam. Karena meniscayakan manusia untuk ingat akan asal-usulnya, kembali ke
tempat asal, lalu menyatu dengan alam dan penciptanya.
144

Puasa Setengah Kosong


Alasan Tuhan memilih manusia sebagai khalifah di muka bumi sekali lagi tentu saja bukan
karena semata manusia memiliki kelebihan hawa nafsu yang berpotensi mengeksploitasi
alam, menghambur-hamburkan uang di pusat-pusat perbelanjaan, atau memamerkan harta
tatkala pulang kampung. Tapi alasannya adalah karena manusia mampu memiliki
kesadaran tertinggi untuk menjaga keseimbangan hidup, baik secara ekologis, sosiologis
maupun politis.
Dengan kesadarannya, manusia akan mampu mencegah kerusakan alam. Mencegah
perampokan uang negara dalam kasus-kasus korupsi. Mampu mencegah pemasungan
kreativitas karena aturan kaku dan keliru penguasa. Mampu mencegah liberalisasi pertanian
dan melindungi petani dari serbuan produk luar negeri. Mampu menjaga kebebasan pers,
dan mencegah
kesewenang-wenangan kelompok
tertentu. Mampu
mencegah
kriminalisasi aktivis pro terhadap pemberantasan korupsi. Mampu mencegah adanya
fenomena politik dinasti yang tentu saja hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Maka seandainya pasca pelaksanaan Idul Fitri, semua soft instrument yang mengarahkan
pada lahir kembalinya hyperpresidensialism atau totalitarianism bergaya lembut dengan
sangat mudah melenggang ke sidang paripurna, lalu diamini oleh seluruh elemen
bangsa. Maka jangan-jangan seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad, rubba sharubba
shaimin hadhulul juimin hadhulul juu walu walathasy, wa rubba qaimin haduhus syahar.
Banyak orang berpuasa hanya memperoleh lapar dan dahaga. Dan banyak orang yang salat
tarawih hanya memperoleh jaga di malam hari.
Raihan puasa setengah isi, setengah kosong yang tentu saja sangat merugikan siapa pun
mengingat lamanya prosesi ritual tersebut, juga tak ada seorang pun yang tahu kalau
kesempatan untuk menikmati Ramadan berikutnya masih ada.
Seperti diketahui pada umumnya, bahwa semangat utama puasa adalah menahan; menahan
syahwat keduniaan agar tak begitu menggebu, namun tak pula layu. Puasa menghendaki
keseimbangan dalam bersikap, termasuk dalam soal asupan makanan. Kebiasaan kita pada
bulan-bulan di luar puasa adalah melahap begitu banyak makanan, namun tak jelas kualitas
gizinya. Di sinilah kemudian puasa mengajarkan kita untuk lebih memperhatikan makanan.
Anjuran Rasulullah agar memakan makanan yang manis terlebih dahulu tatkala berbuka tentu
saja bukan tanpa alasan, ia menyajikan resep kuliner yang paling harmonis untuk kondisi
tubuh manusia. Anjuran-anjuran itu lebih jauh merupakan isyarat, bila agama tak menyukai
sikap berlebih-lebihan (ghuluw).
Atas alasan itulah, kemudian kita dianjurkan supaya di hari-hari berikutnya pasca Idul Fitri
untuk terus menjaga spirit puasa; jujur pada diri sendiri, jujur pada Tuhan, sabar akan cobaan
dan godaan, seimbang dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Kembali fitri, dan kembali
pada kesadaran sejati.
145

MUHAMMAD MUCHLAS ROWI


Aktivis Muhammadiyah

146

Mari Amalkan Alquran


Koran SINDO
20 Juli 2015

Kita memahami iman itu adalah membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan
melaksanakan dengan amal perbuatan. Artinya antara ucapan dan perbuatan, kata dengan
laku, pernyataan dan pelaksanaan adalah sama. Tidak pecah kongsi, begitu istilah Buya
Ahmad Syafii Maarif.
Bagi seorang mukmin, salah satu yang harus diimani, karena merupakan salah satu dari enam
rukun iman, adalah kitab-kitab Allah. Alquran adalah termasuk kitab Allah di samping kitab
Taurat, Zabur dan Injil. Alquran merupakan kitab suci yang menjadi wahyu dan pegangan
bagi Rasulullah Muhammad SAW, nabi terakhir dan menjadi teladan bagi umat manusia.
Dalam bulan Ramadan yang telah lewat, kita diingatkan tentang ayat Alquran yang pertama
kali diturunkan, yakni surat Al-Alaq, tentang perintah untuk membaca. Hal itu sekaligus
menjadi salah satu keistimewaan yang ada pada bulan Ramadan ini. (Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)
Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang batil) (QS Al- Baqarah: 185).
Jika memahami tafsir atas ayat tersebut, fungsi Alquran adalah tiga. Pertama, sebagai
petunjuk bagi manusia (al huda). Dengan demikian, kalau seorang manusia ingin bahagia di
dunia dan di akhirat, harus menjadikan Alquran sebagai guidence. Kedua, penjelasanpenjelasan tentang petunjuk. Maknanya, dalam Alquran ada beberapa hal yang mengatur
kehidupan manusia dijelaskan secara detail, seperti tentang pembagian harta warisan. Ketiga,
pembeda (furqon) antara yang hak dan batil. Artinya, Alquran juga mengatur kehidupan
manusia tentang mana halal dan haram, mana yang boleh dan dilarang, serta mana yang
masuk dalam kategori subhat. Dengan begitu manusia tidak tersesat di jalan yang dilarang
Allah.
***
Masa setelah Ramadan, jika keimanan kita ingin sempurna, maka sesungguhnya ada salah
satu tugas terberat bagi manusia, khususnya orang-orang yang beriman, yaitu mengamalkan
Alquran. Apalagi Syawal, yang secara bahasa dimaknai dengan peningkatan, idealnya
pengamalan kita terhadap ajaran Alquran meningkat.
Kita sering membaca, mendengar, juga melihat, baik secara langsung maupun melalui media,
tentang fenomena kehidupan di dunia ini yang kadang-kadang bertentangan dengan ajaran
147

Alquran. Kita juga dibuat tergeleng-geleng dan tak berdaya dalam menghadapinya. Karena
itu, ada beberapa cara efektif dalam mengamalkan Alquran. 1) Mengimani, 2) Membaca, 3)
Menghafal, 4) Memahami, dan terakhir mengamalkan. Hal ini berarti bahwa kita tidak akan
bisa mengamalkan dengan sempurna (kafah) kalau tidak pernah membaca (tadarus) Alquran.
Membaca saja tidak cukup kalau kita tidak memahami makna dari kandungan ayat-ayat yang
ada dalam Alquran. Dan kunci dari itu semua adalah kita harus mau belajar Alquran dengan
penuh kesungguhan. Jikalau itu semua sudah kita lakukan, maka kita akan dapat
mengamalkan Alquran dengan sempurna.
Lantas dari mana kita bisa memulai mengamalkan Alquran? Salah satu problem yang
dihadapi oleh bangsa ini adalah adanya krisis keteladanan, utamanya dari para pemimpin,
baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Akibatnya, umat ini mengalami pecah
kepribadiannya (split personality), antara apa yang dia baca, dia lihat, dan dia pahami dengan
realitas yang ada di masyarakat, yang terkadang justru bertolak belakang.
Misalnya tentang kekerasan terhadap anak, korupsi, ketidakadilan, dan sebagainya. Padahal,
Alquran telah memerintahkan agar kita mendidik anak dengan baik supaya menjadi anak
yang saleh, bersikap jujur dan adil dalam menjalani kehidupan, dan sebagainya. Realitas ini,
jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan menghilangkan kepercayaan (trust), yang telah
diberikan rakyat kepada para pemimpin dan juga anak-anak akan mengalami krisis
keteladanan kepada orang tuanya.
Karena itu, cara efektif dalam mengamalkan Alquran adalah memulainya dari diri sendiri
(ibdaibda binafsik), dari keluarga dan lingkungan terdekat. Rasanya berat bagi anak ketika
disuruh mengaji sama orang tuanya, sementara orang tuanya tetap bermain gadget atau malah
menonton televisi. Begitu pun kita akan sulit mengajak para tetangga berbuat baik, sementara
kita sendiri justru melakukan perbuatan yang bertentangan dengan apa yang kita ucapkan.
Dengan keras Alquran memberikan kritik Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apaapa yang tidak kamu kerjakan. (QS As-Shaff: 2-3). Ibnu Khaldun,
seorang bapak sosiologi generasi awal yang terkenal dengan karya magnum opus-nya,
Muqaddimah, menyatakan, Manusia itu ditimbang dari ucapannya dan dinilai dari
perilakunya.
Bagaimana sesungguhnya kepribadian seseorang bisa dilihat dari kesesuaian atau
ketidaksesuaiannya antara ucapan dan perbuatan? Kita akan disebut sebagai pribadi yang
konsisten (istiqamah) ketika ucapan kita satu irama dengan perbuatan, disebut sebagai
oportunis manakala ucapannya berada di sisi yang berlawanan dengan perilakunya.
Pribadi yang istiqamah didambakan anak, sahabat, tokoh, dan panutan. Pribadi seperti inilah
yang akan memberikan kepastian dan menutup kemungkinan hadirnya kebingungan.
Istiqamah adalah bersubstansikan kejujuran, keterusterangan, dan kekokohan berpegang pada
prinsip yang dipegangnya.
148

Setelah sebulan menjalani sekolah Ramadan, mari kita tingkatkan pengamalan terhadap
ajaran-ajaran Alquran dengan memulainya dalam kehidupan diri, keluarga, dan masyarakat.
Sehingga apa yang kita lakukan memberikan manfaat bangsa dan negara. Wallahu alam.

FAOZAN AMAR
Direktur Al-Wasath Institute dan Dosen Studi Islam UHAMKA

149

Jujur
Koran SINDO
20 Juli 2015

Selama bulan Puasa kita dibanjiri oleh banyak tausiyah, khotbah, hingga kuliah subuh atau
kultum, kuliah tujuh menit.
Di antara semua itu, ada satu yang membuat saya terperangah. Saya tak begitu ingat nama
tokoh yang disebutkan dan detail lainnya. Tapi, isinya kurang lebih begini. Dikisahkan ada
seseorang, sebut saja namanya Mubarak, yang membeli sebidang tanah dari seorang penjual.
Setelah lewat proses negosiasi, keduanya sepakat pada satu harga. Setelah dibayar, transaksi
pun selesai. Tanah itu menjadi milik Mubarak.
Suatu ketika Mubarak mencangkul tanahnya. Betapa terkejutnya dia ketika saat mencangkul,
alat cangkulnya terbentur benda keras, seperti logam. Ia pun tertarik dan menggali lebih
dalam. Akhirnya dia pun berhasil mengangkat logam tadi. Rupanya itu guci berukuran besar.
Posisinya dalam keadaan tertutup. Ketika dia membuka guci tersebut, di dalamnya ternyata
berisi perhiasan emas. Kalau kita konversi, nilainya mungkin mencapai miliaran rupiah.
Mubarak tertegun. Hatinya bimbang. Akhirnya Mubarak memilih menghubungi sang penjual
tadi dan bercerita soal guci berisi perhiasan emas. Mubarak merasa perhiasan itu bukan
haknya. Ia hanya membeli sebidang tanah, tidak termasuk guci yang berisi perhiasan emas.
Maka, ia ingin mengembalikan temuannya tadi ke sang penjual.
Kini giliran sang penjual yang tertegun. Ia juga merasa guci dan perhiasan emas tadi bukan
haknya. Itu hak Mubarak. Keduanya lalu berdebat dengan hati bimbang. Merasa sama-sama
bingung, mereka memilih untuk menghadap hakim. Setelah mendengar keduanya, akhirnya
sang hakim memberikan pertimbangan.
Mulanya sang hakim bertanya, apakah baik Mubarak maupun penjual tanah itu memiliki
putera atau puteri yang belum menikah? Mubarak mengaku memiliki putera yang sudah
dewasa, sementara sang penjual memiliki seorang puteri yang juga belum menikah. Akhirnya
hakim memutuskan, Kalian nikahkan putera-puteri kalian dan jadikan guci tersebut sebagai
hadiah perkawinan. Keduanya setuju. Maka, Mubarak dan sang penjual tadi menikahkan
putera dan puterinya. Mereka pun hidup berbahagia.
Semakin Jauh
Mungkin kisah tadi terdengar seperti cerita anak-anak. Apalagi berakhir dengan happy
ending. Namun, ada pesan dari cerita tadi yang membuat saya tak berhenti merenung dan
150

bertanya kepada diri sendiri, Betapa semakin jauhnya kita dari nilai-nilai kejujuran
sebagaimana ditawarkan oleh cerita tadi.
Baiklah, mari kita coba simulasikan cerita tadi dalam konteks kekinian dan bagaimana sikap
kita seandainya kitalah yang menjadi pelaku dari cerita tersebut. Sebagai Mubarak, apakah
Andadan kita semuaakan bimbang ketika menemukan guci berisi emas tadi? Apakah
terlintas di benak kita untuk mengembalikan guci tadi ke penjual? Rasanya tidak. Kita akan
dianggap naif kalau menginformasikan ke penjual bahwa kita menemukan guci berisi emas
tadi. Dan, kita mungkin dianggap sebagai orang paling bodoh kalau sampai mencoba
mengembalikan guci tersebut ke sang penjual.
Hukum kita pun rasanya mengatur soal ini. Begitu kita membeli sebidang tanah, segala yang
ada di atas dan di bawah permukaan tanah menjadi milik kita. Kecuali kalau yang berada di
dalam tanah adalah benda-benda bersejarah. Benda itu menjadi hak negara, dan tentu saja
kita bisa memperoleh kompensasi atau penemuan tersebut. Jumlahnya, maaf, saya tidak tahu
persis.
Jadi, kalau kita berada di posisi Mubarak, mungkin sebaiknya kita menutup mulut rapatrapat. Jangan sampai orang lain tahu. Lalu, kita akan memanfaatkan temuan untuk
kepentingan kita sendiri. Mungkin kurang lebih begitu.
Lalu, bagaimana kalau kita dalam posisi sang penjual? Kalau ada pembeli sejujur, senaif,
dan sebodoh Mubarak, mungkin kita akan bilang begini, O ya, terima kasih sudah
mengembalikan gucinya. Kita akan menambahinya dengan sedikit kebohongan, Memang
guci itu warisan orang tua saya, tetapi sudah lama hilang. Terima kasih Anda sudah
menemukannya.
Kemudian di dalam hati kita akan berbisik, Syukur ya Tuhan, aku kini kaya raya. Betapa
bodohnya si pembeli tanah tadi. Sebagai penjual, kita pun akan memanfaatkan guci tersebut
sesuka kita. Membeli rumah baru, mobil baru, apa pun.
Bagaimana sikap Anda kalau menjadi hakim? Mungkin agak lebih rumit. Intinya, Anda akan
berupaya sedemikian rupa agar memperoleh bagian dari temuan tersebut. Kalau bisa, bagian
Anda lumayan banyak. Syukur kalau bisa semuanya. Tetapi, untuk itu, Anda mesti berpikir
keras, menyiapkan argumentasi yang dapat diterima oleh keduanya.
Mungkin Anda akan mengatakan, Baiklah, karena penemuan tadi tidak diatur dalam
perjanjian jual beli tanah, dan kalian berdua enggan menerimanya, guci dan segala isinya
tersebut akan disita dan menjadi milik negara. Jadi, sekarang serahkan guci tersebut ke saya,
dan saya akan mengembalikannya ke negara. Lalu, Anda sebagai hakim akan berbisik,
Ssstt, jangan cerita ke mana-mana mengenai perkara ini ya. Nanti kalian berdua bakal
repot. Segera setelah menerima guci dan segala isinya, Anda meninggalkan kota dan
menghilang entah ke mana. Jejak Anda lenyap ditelan bumi.
151

Kalau benar begitulah sikap Anda, dan kita semuabaik sebagai pembeli tanah, penjual tanah,
maupun hakimdalam banyak hal saya bisa memahami. Kecuali untuk sikap sang hakim. Dia
benar-benar hakim sontoloyo, yang celakanya di negara kita jumlahnya tidak semakin
berkurang.
Beberapa hari lalu saja, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tiga hakim Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) dan satu panitera akibat diduga menerima suap dari seorang
pengacara ternama. Seorang hakim yang tertangkap tersebut disebut-sebut sebagai salah satu
hakim terbaik.
Tapi, seandainya benar kita bisa memahami sikap pembeli dan penjualdalam hal mengakui
guci tersebut sebagai miliknya, tetap saja dalam hati kita gelisah. Pangkal kegelisahan
tersebut adalah semakin jauh saja kita dari nilai-nilai kejujuran sebagaimana dikisahkan dari
cerita tadi.
Selagi masih dalam suasana Idul Fitri, mungkin ada baiknya jika kita semakin mendekatkan
diri dengan nilai-nilai kejujuran tadi. Bukan menjauhinya. Selamat Idul Fitri, Saudaraku.
Mohon maaf lahir dan batin.

RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

152

Saat Keselamatan Pemudik Jadi Prioritas


Utama
Koran SINDO
20 Juli 2015

Dalam menghadapi Idul Fitri kali ini Komisi V DPR RI telah menggelar rapat dengar
pendapat (RDP) bersama Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum
Perumahan Rakyat, dan Korlantas Polri, yang menyepakati bahwa aspek keselamatan lalu
lintas arus mudik-balik sebagai prioritas utama (SINDO, 24/6/2015 ).
Pilihan prioritas yang disepakati ini tentunya merupakan keputusan yang tepat dan patut
diapresiasi, serta sangat penting untuk kita dicermati bersama, mengapa? Pertama,
keselamatan pemudik memang seharusnya jadi prioritas utama karena besaran angka
kecelakaan transportasi pada momentum mudik Lebaran masih menunjukkan angka fantastis.
Berdasarkan data Mabes Polri 2014, selama 13 hari Operasi Ketupat tercatat terjadi
kecelakaan 2.471 kasus, pada 2013 terjadi kecelakaan sebanyak 3.061 kasus. Pada tahun
2014 ada 538 korban meninggal dunia, 845 luka berat, dan 3.247 luka ringan, sedangkan
tahun 2013 masing-masing 686 meninggal dunia, 1.120 luka berat, dan 4.034 luka ringan
(SINDO, 5/8/2014). Meski mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya, angka
kecelakaan dengan 538 orang meninggal dunia hanya dalam 13 hari mudik Lebaran tentunya
tetap tergolong angka yang fantastis.
Kedua, keselamatan pemudik disepakati jadi prioritas utama dalam RDP di Senayan patut
diapresiasi, karena hal ini mencerminkan bahwa tingkat kesadaran pemerintah dan wakil
rakyat akan keselamatan transportasi semakin tinggi.
Ketiga, keselamatan pemudik jadi prioritas utama itu memang penting, tetapi sejatinya yang
terpenting adalah bagaimana agar impian mudik tanpa maut bisa terwujud, atau setidaknya
angka kecelakaan mudik bisa menurun drastis. Karena itu, pencanangan keselamatan
pemudik sebagai prioritas utama sangat penting untuk kita cermati bersama, akankah angka
kecelakaan lalu lintas mudik Lebaran 2015 ini benar-benar bisa menurun drastis.
Target penurunan drastis angka kecelakaan mudik tentu sangat tergantung pendekatan dalam
penanganannya. Bila pendekatan yang dilakukan tidak jauh berbeda dibandingkan tahuntahun sebelumnya, impian mudik tanpa maut hampir pasti tak akan terwujud. Albert Einstein
pernah berkata, Insanity is doing the same thing, over and over again, but expecting
different results. Artinya: Tidak waras ialah melakukan hal yang sama terus-menerus tapi
mengharapkan hasil yang berbeda. Jadi, jikalau tak ada perbedaan signifikan dalam
153

penanganan mudik tahun ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, maka jangan berharap
terjadi penurunan angka kecelakaan secara drastis, apalagi berharap mudik tanpa maut.
Terobosan Kebijakan
Lantas, apakah angka kecelakaan tersebut memang tidak bisa ditekan? Mestinya bisa ditekan
karena mudik Lebaran ini merupakan fenomena rutinitas tahunan. Karakteristik pemudik dan
penyebab kecelakaan lalu lintas seharusnya sudah bisa dipelajari dan dicarikan solusi.
Menurut Ogden (1996) dan Machsus (2014) penyebab kecelakaan lalu lintas dapat
dikelompokkan menjadi tiga faktor utama: faktor manusia, faktor kendaraan, serta faktor
jalan dan lingkungan. Dari kombinasi ketiga faktor tersebut, satu hal yang relatif tidak
berubah dari tahun ke tahun adalah bahwa sekitar 70% kejadian kecelakaan saat mudik
melibatkan jenis kendaraan sepeda motor.
Artinya, penggunaan sepeda motor saat mudik Lebaran memberikan kontribusi sekitar 70%
terhadap terjadinya kecelakaan. Logikanya, jika penggunaan sepeda motor saat mudik
Lebaran dilarang, maka angka kecelakaan mudik Lebaran tentu bisa menurun drastis. Karena
itu, diperlukan terobosan kebijakan, yakni berupa pembatasan penggunaan sepeda motor pada
saat mudik Lebaran.
Sesungguhnya kebijakan pembatasan pergerakan sepeda motor sudah ada sejak kelahiran
Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(LLAJ). Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa pembatasan sepeda motor merupakan
bagian dari manajemen dan rekayasa lalu lintas.
Dalam Pasal 133 ayat 2c pada Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa pembatasan lalu
lintas sepeda motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu.
Artinya, kebijakan pelarangan penggunaan sepeda motor saat mudik Lebaran sudah memiliki
payung hukum yang kuat, yakni UU Nomor 22/2009.
Bahkan dalam Pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 32/2011 telah ditegaskan bahwa
pembatasan lalu lintas sepeda motor dapat dilakukan apabila pada jalan, kawasan, atau
koridor memenuhi kriteria paling sedikit memenuhi dua persyaratan. Pertama, memiliki
perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan (V/C ratio) pada
salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,5. Kedua, telah tersedia jaringan dan
pelayanan angkutan umum dalam trayek yang memenuhi standar pelayanan minimal pada
jalan, kawasan, atau koridor yang bersangkutan.
Penegasan pembatasan lalu lintas sepeda motor pada koridor atau kawasan tertentu pada
waktu dan jalan tertentu dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut dapat
dijadikan pijakan bagi pemerintah untuk membuat terobosan kebijakan yang lebih
operasional. Misalnya, pelarangan pergerakan sepeda motor pada ruas jalan arteri primer
154

selama masa mudik-balik Lebaran. Jika kebijakan ini diterapkan konsekuensinya tidak ada
lagi pergerakan sepeda motor pada jalur utama mudik Lebaran.
Di sisi lain, persoalan mudik juga terkait dengan masalah-masalah ekonomi, sehingga bagi
masyarakat golongan ekonomi menengah-bawah, mudik dengan sepeda motor amat sulit
dihindari. Apalagi fasilitas angkutan umum yang tersedia tidak memadai, bahkan tidak
terjangkau oleh mereka. Karena itu, sebelum membatasi atau melarang sepeda motor sebagai
angkutan mudik, pemerintah harus memfasilitasi arus mudik dengan melakukan reformasi
pelayanan angkutan umum massal, seperti yang telah dilakukan pada pelayanan angkutan
kereta api. Hanya, daya angkut kereta api belum mampu melayani permintaan pemudik yang
sangat besar.
Kebijakan pelarangan pergerakan sepeda motor pada ruas jalan arteri primer selama masa
mudik Lebaran dapat saja diterapkan, meski reformasi pelayanan angkutan umum belum
tuntas. Solusinya dengan cara mengoptimalkan program mudik gratis bagi pemudik yang
sepeda motornya juga ikut diangkut dengan armada lain, seperti armada truk, kereta api, atau
kapal laut. Apalagi program ini sudah beberapa tahun terakhir ini diselenggarakan oleh Dinas
Perhubungan Jawa Timur. Terlebih lagi, kini Kementerian Perhubungan dan beberapa instansi
lain juga menyelenggarakan mudik gratis serupa. Dengan begitu, pemudik masih dapat
menggunakan sepeda motor di sekitar kampung halamannya, tanpa harus mengendarainya
dengan jarak tempuh yang sangat jauh melalui jalan arteri primer, dengan risiko kecelakaan
sangat tinggi.
Menurut hemat penulis, ke depan sudah saatnya pemerintah melakukan persiapan penerapan
kebijakan pelarangan pergerakan sepeda motor pada ruas jalan arteri primer selama masa
mudik Lebaran.

DR MACHSUS, ST, MT
Dosen Keselamatan Transportasi pada Program Studi Diploma IV Teknik Sipil Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

155

Anda mungkin juga menyukai