Anda di halaman 1dari 339

Paranoia

SENIN, 29 FEBRUARI 2016

Odi ergo sum. Aku membenci, maka aku ada.


Di sebuah rumah yang terletak di gang yang mesum di Paris, 24 Maret 1897, seorang lelaki
berumur 67 tahun tampak menulis. Kita tak tahu siapa dia. Jika kita ikuti tutur Sang Pencerita
dalam novel Umberto Eco Il cimitero di Praga (Pekuburan Praha) ini, memang tak seorang
pun di awal kisah ini yang "sudah dinamai".
Orang itu sendiri pun tak ingat siapa dirinya. Dua hari sebelumnya, ketika ia bangun tidur, ia
tahu ia "Kapten Simonini". Tapi kemudian ia menemukan fakta-fakta lain: ia adalah Pastor
Dalla Piccola, "atau orang yang dianggap bernama itu".
Ia tahu: ia "hilang ingatan". Kata ini, anehnya, justru membuatnya teringat percakapan di
Chez Magny sekian tahun yang lalu. Di rumah makan itu ia berkenalan dengan sejumlah
dokter, dan terutama dengan seorang dokter muda dari Austria, Sigmund Froude. Mereka
berbicara tentang kepribadian ganda dan hubungannya dengan jiwa yang mengalami trauma.
Trauma ini bisa dikurangi dampaknya dengan merekonstruksi pengalaman masa lalu. Tapi
Simonini tak ingin mengisahkan kembali masa lalunya di depan orang lain. Ia menulis.
Harus segera saya susulkan, ini bukan novel tentang kelainan jiwa. Il cimitero di Praga
membawakan sesuatu yang lebih gelap. Kerancuan "siapa aku" dalam hidup tokohnya berkait
dengan cerita di baliknya: ia adalah identitas yang berubah-ubah, selama bertahun-tahun. Ia
seorang penipu--atau lebih tepat: ia seorang juru palsu yang terus-menerus menyamar.
Ia memproduksi dan menjual dokumen palsu untuk apa saja, dalam perkara warisan atau pun
politik. Ia siap membuat kebohongan asalkan dibayar mahal. Pernah ia jadi agen rahasia
ganda yang memperdaya kedua pihak yang bermusuhan. Untuk mempertahankan para
penguasa, ia menyusup ke pelbagai gerakan politik. Ia rapi dalam melipatgandakan fitnah.
Simonini mengikuti pesan: untuk menuduh seseorang, ia tak perlu cari bukti. "Lebih mudah
dan lebih murah menciptakannya."
Il cimitero di Praga (versi Inggris: The Prague Cemetery) memang dimaksudkan jadi sebuah
cerita tentang seorang manusia yang culas, sinis, tanpa moral. Saya membacanya dengan
sedikit lelah tapi kagum: Eco begitu asyik menggambarkan detail kehidupan Eropa abad ke19, mirip keriangan hati seorang turis yang baru mengunjungi sebuah negeri eksotis. Ada
liku-liku kota dan racikan kuliner, ada skandal politik dan roman picisan. Hasilnya: sebuah
novel semi-dokumenter. Kecuali Simonini, semua tokohnya, termasuk Freud yang dieja jadi
Froude, muncul dari sejarah.
Tapi justru karena itu apa yang gelap dalam novel yang datar ini jadi terasa kian gelap. Motif
yang menggerakkannya kebencian. Eco mempertajamnya dengan menjadikan kebencian itu
bagian utama watak Simonini. Si Italia blasteran ini membenci siapa saja--orang Italia,

Jerman, Prancis, muslim ("Saracen"), padri Jesuit, pengikut Freemasons, Martin Luther, dan
tentu saja orang Yahudi. "Aku bermimpi tentang orang Yahudi tiap malam selama bertahuntahun," tulisnya. Dalam dokumen palsu yang kemudian terkenal ia sebut pekuburan tua orang
Yahudi di Kota Praha, sebuah tempat angker di ibu kota Cek itu, sebagai tempat utusan 12
suku Bani Israel menyusun "Protokol Para Sesepuh Zion", sebuah agenda "menaklukkan
dunia".
Novel tentang pelbagai kepalsuan ini memang sedikit melebih-lebihkan. Tapi di balik katakata Simonini tergambar purbasangka yang terpendam lama dalam masyarakat Eropa-purbasangka yang jadi sumbu api kekerasan di abad ke-19, naziisme dan Holocaust di abad
ke-20, sikap anti-Islam dan kaum imigran di abad ke-21.
Pada 20 Februari yang lalu Eco meninggal. Novel terakhirnya ini mungkin warisannya yang
tepat waktu: sebuah cerita tentang abad ke-19 yang menjelaskan bau busuk hari ini. Seperti
dahulu, kebencian, juga kebencian sosial, tetap jadi unsur utama pengukuhan identitas,
pembentukan "aku". Jika saya membenci seseorang, kata Simonini, ada sesuatu yang hadir
dalam diri saya. Diri saya tak kosong lagi. Odi ergo sum.
Kebencian tentu tak sendirian. Ketika orang lain adalah oknum-oknum yang menjijikkan
yang mengancam, sebuah benteng ditegakkan, menara pengawas dan bedil disiapkan.
Paranoia tumbuh jadi pedoman. Dengan mata setengah terpicing karena membidik, para
pembenci melihat: di luar gerbang hanya ada persekongkolan jahat yang mengepung.
Dari sini berkecamuklah "theori konspirasi", campuran khayal dengan dusta. Di dunia, juga
di Indonesia, kini ia laku keras. Dusta bisa memikat, dan kepalsuan bisa mengubah sejarah,
ketika orang haus akan satu kebenaran yang menjelaskan 1.000 peristiwa.
Tapi mengapa tak kita biarkan dunia tetap punya teka-teki yang penuh kebetulan? Sebuah
enigma yang ganjil, namun mempesona?

Goenawan Mohamad

Darurat
27 FEBRUARI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Sekarang banyak hal bisa didarurat-daruratkan. Dulu, yang paling saya takutkan adalah jika
ada pesawat mendarat darurat. Terbayang orang-orang yang panik, mungkin juga korban.
Kemudian darurat perang, lagi-lagi saya membayangkan bocah yang sedang main kelereng
terkena bom. Tapi sekarang ada darurat yang tidak begitu membuat orang panik, meski ada
korbannya. Misalnya darurat korupsi, darurat pelecehan seksual terhadap anak, darurat
narkoba--tolong tambahkan yang lain.
Kamus Besar Bahasa Indonesia pada edisi paling akhir memang banyak menyebutkan arti
kata darurat. Namun, pada awalnya, kata darurat itu selalu dikaitkan dengan "keadaan
yang tidak disangka-sangka". Atau "keadaan yang memaksa" untuk berbuat sesuatu. Apakah
korupsi, narkoba, pelecehan seksual, dan lainnya itu tidak disangka sebelumnya? Apakah itu
ujug-ujug terjadi seperti gempa bumi? Bukankah itu sudah bisa diramalkan sebelumnya
seperti gerhana matahari?
Jero Wacik, menteri di era Susilo Bambang Yudhoyono, divonis 4 tahun oleh Pengadilan
Tipikor Jakarta karena menyelewengkan dana operasional menteri. Terlalu ringan, kata
banyak orang. Apakah ini tergolong "darurat korupsi" yang sama sekali tak disangka-sangka?
Cobalah kalau semua menteri diperiksa dana operasionalnya, apakah ada yang bersih benar?
Coba periksa dana operasional gubernur atau dana operasional bupati. Bagaimana mungkin
bupati yang gajinya kurang dari Rp 30 juta (lima tahun jadi Rp 1,8 miliar) bisa menghabiskan
uang Rp 3 miliar untuk pemilihan kepala daerah? Uang dari neneknya?
Anggota DPR tertangkap tangan saat disuap pengusaha. Daruratkah ini? Bukankah DPR itu
membahas anggaran sebagai salah satu tugasnya, dan usulan-usulan proyek bermuara dan
disetujui di sini? Kalau ada pengusaha yang mengincar proyek dan pengusaha sudah
"bersahabat" dengan pengelola anggaran, bukankah tinggal "bersahabat" dengan penyetuju
anggaran, yakni parlemen? Dalam otak pengusaha sudah ada pikiran: "Suap DPR enggak
apa, mutu proyek dikurangi, gak ada yang tahu." Anggota DPR pun berpikir: "Asal terima
hati-hati, siapa yang tahu, kan banyak yang begitu." Syahdan, penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata menyadapnya, karena KPK berasumsi "ini bukan
darurat", sudah bisa disangka sebelumnya. Yang darurat justru DPR mati-matian melemahkan
KPK dengan melumpuhkan senjata penyadapan itu.
Sesuatu yang bisa diperkirakan, atau kalau kata pepatah "ada asap pasti ada api", seharusnya
bisa diantisipasi sejak dini sehingga tak mudah menyebutnya sebagai sesuatu yang darurat.
Banyak orang maklum pengedar dan pengguna narkoba semakin berani karena ada "orang
kuat" di belakangnya. Razia narkoba pun sering bocor. Nah, ketika aparat TNI bekerja sama
dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) menggerebek narkoba di perumahan elite Kostrad,

ternyata betul ada sejumlah tentara dan polisi dibekuk--ditambah anggota DPR. Harus dipuji
pimpinan TNI dan Polri karena berani membersihkan lembaganya. Apakah ketua DPR berani
mengatakan "silakan BNN tes urine semua anggota DPR"? Pasti tidak. Mungkin ide itu bisa
dianggap penghinaan oleh wakil ketua DPR yang "mudah panas". Padahal cuma antisipasi.
Kita harus mulai berpikir ke arah "semua orang bisa disangka" jika terlihat sesuatu yang tidak
wajar. Teknik pembuktian terbalik seharusnya bisa diberlakukan jika kita ingin konsisten
memberantas korupsi. Penyadapan oleh KPK harus tetap dipertahankan. BNN harus berani
merazia semua tempat yang rentan jadi sarang narkoba. Tak ada yang darurat, semuanya
harus terencana.

Pekerjaan Rumah Setelah Menutup


Kalijodo
SENIN, 29 FEBRUARI 2016

Bagong Suyanto, Peneliti pelacuran dan sosiolog Universitas Airlangga

Keberadaan lokalisasi Kalijodo di Jakarta Utara tinggal menghitung hari setelah Gubernur
DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama mengambil langkah untuk menutupnya.
Serentetan rapat telah digelar dengan berbagai pihak untuk memastikan agar upaya
penutupan Kalijodo tidak kisruh, termasuk kemungkinan menghadapi resistansi preman lokal
yang menolak penutupan.
Di Bandung, Wali Kota Ridwan Kamil dikabarkan juga ingin menutup tuntas lokalisasi di
wilayahnya yang terkenal dengan nama Saritem. Meski Saritem dinyatakan telah ditutup pada
2007 dan digerebek pada 2014, bisnis esek-esek di sana ternyata masih tetap bergeliat.
Kasus yang terjadi di Saritem ditengarai juga terjadi di Surabaya dan Jakarta. Walau
lokalisasi Dolly di Surabaya dan Kramat Tunggak di Jakarta sudah ditutup, praktek pelacuran
diakui atau tidak tetap marak di sana. Memang praktek prostitusi di kompleks lokalisasi telah
dibubarkan, tapi kemudian prostitusi itu bergeser ke salon, hotel, losmen, apartemen, dan
prostitusi online.
Untuk memastikan agar upaya penutupan lokalisasi juga sekaligus menjadi jalan untuk
menuntaskan upaya pemberantasan prostitusi, selain perlu memahami dengan benar apa yang
terjadi di balik maraknya praktek pelacuran, yang tak kalah penting adalah perumusan
program pemberantasan yang benar-benar komprehensif.
Noeleen Heyzer (1986) menyatakan, selain praktek pelacuran yang bekerja sendiri-sendiri,
sebagian besar pelacuran yang ada di kota besar biasanya melibatkan pelacur yang bekerja di
bawah naungan sebuah lembaga atau organisasi mapan, seperti klub panti pijat dan hotelhotel. Baik di Jakarta, Bandung, maupun Surabaya, pelacuran yang berkembang umumnya
bermacam-macam. Tapi yang mencolok mata umumnya adalah lokalisasi.
Pelacur yang membuka praktek pelayanan jasa seksual di kompleks lokalisasi biasanya
bekerja di bawah koordinasi dan naungan germo. Adapun yang dimaksud sebagai germo atau
muncikari adalah orang yang mata pencahariannya, baik sambilan maupun sepenuhnya,
menyediakan, mengadakan atau turut serta mengadakan, membiayai, menyewakan, membuka
dan memimpin serta mengatur tempat pelacuran. Germo mempertemukan atau
memungkinkan bertemunya pelacur dengan laki-laki untuk bersetubuh.

Kalijodo lebih dari sekadar kumpulan wisma. Di kompleks lokalisasi seperti Kalijodo,
kehadiran bisnis prostitusi umumnya telah berkembang menjadi jaringan kehidupan tersendiri
yang melibatkan banyak pihak, mulai dari germo, muncikari, tukang parkir, hingga bisnis
cucian. Karena itu, upaya menutup lokalisasi niscaya akan berimbas ke berbagai pihak.
Di Kalijodo, ketika wacana penutupan lokalisasi digulirkan Ahok, bisa kita lihat pihak yang
menentang justru bukan para pelacur itu sendiri, melainkan para preman lokal dan tokoh
informal yang berkuasa di sana. Orang-orang yang berkeberatan atas penggusuran Kalijodo
adalah pihak yang selama ini memperoleh banyak manfaat ekonomi dari kehadiran lokalisasi,
terutama memperoleh balas jasa keamanan yang mereka jamin.
Memberantas pelacuran hingga ke akar-akarnya, harus diakui, memang bukan hal mudah.
Kesulitan yang dihadapi pemerintah kota untuk memberantasnya adalah karena terlalu
banyak masalah dan pihak yang terlibat di dalamnya, termasuk backing preman dan bahkan
backing aparat keamanan yang acap kali malah memperkeruh situasi.
Selain itu, dari pihak pemerintah kota sendiri harus diakui tidak banyak sumber daya manusia
yang bisa diandalkan untuk terus-menerus mengawasi praktek pelacuran yang berjalan
kucing-kucingan. Di Saritem ataupun Dolly, meski secara resmi lokalisasi di sana sudah
ditutup sejak dua tahun lalu, pada kenyataannya masih ada saja praktek pelacuran yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Memberantas praktek prostitusi hingga tuntas, selain dibutuhkan konsistensi penegakan
hukum, yang tak kalah penting adalah bagaimana pemerintah kota secara kreatif mampu
untuk terus memelihara stamina dan mengembangkan berbagai upaya untuk menekan ruang
gerak praktek prostitusi. Memastikan untuk memproses secara hukum muncikari atau germo
yang mengeksploitasi perempuan yang mereka pekerjakan sebagai pelacur, menangkap lakilaki hidung belang yang menjadi konsumen, dan lain sebagainya adalah upaya-upaya kreatif
yang perlu terus dikembangkan agar praktek prostitusi pelan-pelan dapat dihapuskan.
Menutup lokalisasi adalah hal yang berbeda dengan memberantas prostitusi. Menutup
lokalisasi hanyalah introduksi yang membutuhkan program lanjutan agar hasil akhirnya
benar-benar dapat memberantas praktek prostitusi. Bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
Kota Surabaya, dan Kota Bandung, alangkah baiknya jika mereka tidak hanya puas berhasil
menutup lokalisasi. Tapi, lebih jauh, juga melakukan berbagai upaya untuk memastikan
bahwa praktek prostitusi benar-benar telah diberantas.
Tantangan utama yang dihadapi Pemerintah DKI Jakarta pasca-penutupan Kalijodo nanti
sesungguhnya adalah memastikan agar para pelacur yang tergusur dari sana tidak kembali
terpuruk pada pekerjaan yang sama di tempat lain.

Tubuh (LGBT) dalam Politik Identitas


SELASA, 01 MARET 2016

Seno Gumira Ajidarma, panajournal.com

Dunia modern menghadirkan gejala yang berakibat fatal, yakni bahwa ilmu pengetahuan
terbebani mitos bernama kebenaran. Disebutkan, misalnya oleh Pakde Foucault, bagaimana
wacana-wacana ilmu pengetahuan melakukan produksi kebenaran yang kemudian berfungsi
sebagai norma. Ilmu pengetahuan menentukan apa itu berat dan tinggi badan, tekanan darah,
serta berapa pasangan seksual untuk kelompok usia dan jenis kelamin tertentu yang dianggap
normal.
Subyektivikasi atawa penafsiran subyektif beroperasi melalui internalisasi norma-norma.
Manusia modern melakukan modifikasi dalam usaha tanpa akhir untuk memperkirakan yang
normal, dan dalam proses ini menjadi jenis-jenis subyek tertentu. Norma-norma menjauhkan
obyektivikasi dengan mereduksi individualitas menjadi suatu ukuran umum. Manusia
tersusutkan menjadi titik atau kurva.
Gejala ini terbentuk oleh hubungan antara kuasa dan pengetahuan terhadap ilmu-ilmu
humaniora, tempat subyek didudukkan sebagai obyek kemungkinan pengetahuan. Meski latar
kepercayaan, yang terbentuk secara sosial, tak terhindarkan dalam membentuk praktek ilmiah
sampai tahap tertentu, dalam wilayah ilmu-ilmu humaniora pengaruhnya kuat dan berbahaya.
Pemahaman tak terucapkan tentang gender, ras, dan kelas malah kurang berbahaya dibanding
usaha menafsir perilaku Homo sapiens sebagai partikel sub-atomik, ketimbang sebagai
manusia berjiwa.
Inilah peringatan agar tidak mengadopsi suatu latar kepercayaan secara terpisah, seperti
berasumsi bahwa terdapat universalitas kemanusiaan, yakni adanya kebenaran soal manusia
yang bisa dipercaya dalam kebudayaan mana pun pada zaman kapan pun. Ketika khalayak
memastikan bahwa ada yang selalu benar bagi seluruh umat manusia, terciptalah norma yang
berlawanan dengan perilaku manusia yang bisa diukur dan dipertimbangkan. Dengan
memapankan suatu sudut pandang ilmiah atas seksualitas manusia dan memandangnya
sebagai alamiah bin universal untuk beranak-pinak, misalnya, secara efektif terpinggirkanlah
sejumlah besar perilaku seksual.
Keyakinan atas terdapatnya universalitas kemanusiaan membuat manusia percaya bahwa
tubuh mematuhi hukum-hukum eksklusif fisiologis, sehingga terlepas dari pengaruh sejarah.
Padahal--masih menurut Pakde Foucault--itu tidak betul. Tubuh manusia hanya eksis di
dalam khalayak. Tubuh manusia, misalnya saja, dibentuk oleh norma-norma kesehatan,

gender, dan keindahan. Tubuh secara konkret dibentuk oleh diet, olahraga, dan intervensi
medis. Dengan kata lain, tubuh juga memiliki sejarahnya sendiri. Asal-usul tubuh adalah
sejarah tubuh: secara tipikal mempertanyakan segenap penjelasan biologis murni dari suatu
wilayah kompleks, seperti seksualitas, kegilaan, dan kriminalitas [Oksala, 2008 (2007): 52,
59].
Demikianlah universalitas kemanusiaan yang ditanamkan secara konstan tidak ditolak pada
awalnya, tapi menjadi bulan-bulanan interogasi dengan pertanyaan radikal yang kritis atau
pun historis. Namun, sebaliknya, mengingat hubungan-hubungan kuasa yang betapa pun
telah membentuk suatu tipologi kelompok-kelompok sosial dengan kepentingan ideologisnya
masing-masing, universalitas kemanusiaan yang sebagai logika tidak tahan uji itu terbukti
tetap bertahan dengan tetap digunakannya tolok ukur ala kadarnya dalam usaha membangun
wacana pengetahuan monolitik demi kesahihan hegemonik kelompok mana pun yang
berjuang meraihnya.
Dengan begitu, baik kelompok dominan maupun kelompok-kelompok terbawahkan akan
selalu mencari dan menjalankan suatu proyek yang memenuhi politik identitasnya. Apabila
proyek identitas ini terasalkan dari ideologi yang bersesuaian dengan penanda-penanda
universalitas kemanusiaan, maka bersamanya segala kelompok ini akan beroposisi, dalam
suatu gradasi dari moderat sampai radikal, terhadap kelompok-kelompok terpinggirkan.
Supaya identitasnya menjadi jelas, penanda-penanda yang ada dipertajam dengan mencari
efek kontras dalam penghadapan kepada kelompok terpinggirkan, yang penanda-penanda
dalam politik identitasnya tidak bersesuaian atau bahkan bertentangan dengan penandapenanda universalitas kemanusiaan.
Namun, karena universalitas kemanusiaan sebenarnyalah tidak universal, segenap konflik
sosial-politis dalam sejarah ataupun pada masa mendatang, yang bersumber dari masalah itu,
adalah produk kedangkalan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Ini membuat
"kemenangan" kelompok-kelompok yang berjuang memunahkan penanda-penanda dalam
politik identitas kelompok terpinggirkan, seperti kaum LGBT, menjadi kemenangan semu
sahaja karena berangkat dan berpijak dari asumsi keliru. Kesemuanya itu jadi berganda
karena politik identitas sendiri secara teoretis adalah pengingkaran terhadap fakta bahwa
dalam situasi pasca-modern, identitas selalu sekaligus adalah kebergandaan identitas.

KUR dan Perpindahan Nasabah Bunga


Tinggi
KAMIS, 03 MARET 2016

Awalil Rizky, Chief Economist Permodalan BMT Ventura

Kredit usaha rakyat (KUR) diklaim sebagai kisah sukses oleh pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono. Kisah sukses KUR konon diakui berbagai forum internasional mengenai
implementasi keuangan inklusif (financial inclusion) dan akan diadopsi menjadi praktek
terbaik penanggulangan kemiskinan di negara berkembang. Seberapa sukses KUR pada era
SBY?
Penyaluran KUR, sejak diluncurkan November 2007 hingga November 2014, mencapai Rp
175 triliun dengan baki debit (outstanding) sekitar Rp 50 triliun. Pemerintah pun suka
menyebutkan realisasi KUR telah menggerakkan lebih dari 12 juta unit usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM).
Kesuksesan KUR ternyata diiyakan oleh pemerintahan Joko Widodo dengan cara
menggandakan skala dan jangkauannya. Dana dialokasikan lebih banyak sejak awal dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015. Suku bunga efektif yang
dibolehkan bagi bank penyalur diminta turun, dari 22 persen menjadi 12 persen, dengan
subsidi bunga.
Sebelumnya, pemerintah hanya membayar imbal jasa penjaminan. APBN 2016
mengalokasikan lebih banyak dana lagi.
Target penyaluran KUR dalam proses penyusunan APBN 2016 berada di kisaran Rp 125
triliun dengan asumsi subsidi suku bunga tertentu. Dari proses pembicaraan teknis lanjutan,
yang melibatkan bank penyalur dan disupervisi Otoritas Jasa Keuangan, ditetapkan target Rp
103 triliun. Kepada bank penyalur diberikan subsidi untuk KUR mikro sebesar 10 persen,
KUR retail 4,5 persen, dan KUR tenaga kerja Indonesia 12 persen.
Apakah realistis? Pada 2015, ketika laju kredit perbankan secara umum melambat, KUR
tersalur sekitar Rp 22,5 triliun, di bawah target Rp 30 triliun. Ada alasan bahwa subsidi tidak
diberikan sejak awal tahun dan kondisi perekonomian masih belum pulih. Dengan subsidi
yang lebih besar dan digelontorkan sejak awal, pemerintah berharap melipatgandakannya.

Konon, para direksi bank BUMN sudah "ditekan" agar serius menyukseskannya.
Target bermasalah jika dilihat dari sudut pandang penyalur. Mereka menghitung bukan dari
subsidi yang 10 persen untuk KUR mikro (plafon sampai dengan Rp 25 juta), melainkan
marginnya. Berarti sama dengan subsidi 7 persen dengan bunga efektif 12 persen. Bahkan,
untuk KUR retail, subsidinya hanya naik dari 3 persen menjadi 4,5 persen, yang berarti
margin lebih kecil. Pemerintah merasa menyediakan dana subsidi yang besar, namun bank
penyalur mungkin tidak melihat "keuntungan" baru. Harus diakui bahwa target terpenuhi
adalah terobosan besar bagi perekonomian. Bayangkan saja, bunga efektif hanya satu digit
bagi rakyat (UMKM) dan tersedia lebih dari Rp 103 triliun.
Penyalur KUR selama ini adalah tujuh bank nasional dan 26 bank pembangunan daerah
dengan porsi kecil. Bank perkreditan rakyat dan lembaga keuangan mikro (LKM) belum
dilibatkan. Faktanya, BPR sudah merasakan dampak "persaingan" yang berat, bahkan
sebelum era bersubsidi bunga. LKM tidak banyak terdampak ketika itu, karena orientasinya
kepada komunitas dan pendekatan yang berbeda. Namun akan terdampak jika era KUR baru
ini berjalan.
Bukankah akan lebih baik jika biaya modal menjadi rendah dan semakin mudah mengakses
kredit? Tanpa data terinci, akan mudah diiyakan. Perlu diperiksa lebih cermat. KUR
terindikasi berciri perpindahan nasabah lama, yang menikmati suku bunga tinggi, ke suku
bunga rendah. Artinya, 12 juta nasabah era SBY dan 1 juta era Jokowi mungkin lebih dari
separuhnya berasal dari perpindahan saja.
Jika target KUR baru sedemikian spektakuler, proses perpindahan akan lebih masif. BRI
mungkin akan memindahkan nasabah Kupedes menjadi KUR daripada direbut oleh bank lain.
Sementara itu, BPR akan lebih terpuruk. Sedangkan LKM akan menghadapi masalah serius.
Apakah ongkos ekonomi dan sosial terdampaknya LKM, terutama koperasi, telah
dipertimbangkan dengan baik? Akankah ini terus berlangsung dengan subsidi sepanjang
masa?

Akuntabilitas Pemeriksaan Pembelian


Lahan Sumber Waras
JUM'AT, 04 MARET 2016

Febri Hendri A.A., Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch

Kasus dugaan korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh pemerintah DKI
Jakarta belum tuntas. Pekan ini, KPK mengaku belum menemukan unsur korupsi selama
penyelidikan kasus ini.
Kasus ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan DKI Jakarta yang menyatakan
terdapat pelanggaran prosedur dan kerugian negara dalam pembelian lahan rumah sakit
seluas 36.410 meter persegi itu. Kerugian mencapai Rp 191,3 miliar.
Atas temuan ini, sejumlah pihak melapor ke KPK. Komisi antirasuah kemudian meminta
BPK RI melakukan audit investigatif. Hasilnya sama dengan temuan BPK DKI: pembelian
rumah sakit melanggar prosedur pengadaan tanah dan mengakibatkan kerugian negara Rp
191,3 miliar.
Sangat sulit menilai akuntabilitas pemeriksaan ini karena informasi dan bukti tentang hal
tersebut sangat sulit diperoleh. Namun, penilaian akuntabilitas pemeriksaan juga dapat
dilakukan dengan menelaah secara mendalam temuan-temuan dalam Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) BPK serta konteks kepentingan yang melingkupinya.
LHP BPK Jakarta memuat tujuh temuan dalam kaitan dengan kasus ini. Pertama, penunjukan
lokasi tidak sesuai dengan ketentuan; kedua, terjadi pelanggaran prosedur pembelian tanah;
ketiga, proses penganggaran tidak sesuai dengan ketentuan; keempat, penetapan lokasi tanah
tidak melalui proses studi kelayakan dan kajian teknis yang wajar; kelima, pembelian
dilakukan pada masa berlaku kontrak antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan PT
Ciputra Karya Utama. Lalu keenam, tanah yang diserahkan tidak sesuai dengan yang
ditawarkan; dan ketujuh, pemerintah DKI Jakarta membayar sebelum pihak Yayasan
memenuhi kewajiban membayar tunggakan pajak bumi dan bangunan rumah sakit senilai Rp
6,6 miliar.
Tiga dari tujuh temuan tersebut menarik dicermati karena mengarah pada tindak pidana
korupsi. Pertama, BPK menyatakan pembelian tanah Sumber Waras oleh pemerintah DKI

Jakarta tidak sesuai dengan prosedur. BPK mengacu pada Pasal 13 Undang-Undang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta Pasal 2, 5, dan 6
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai dasar hukum prosedur pembelian lahan
rumah sakit. BPK Jakarta menyatakan pemerintah Jakarta tidak mematuhi aturan ini.
Tapi, BPK Jakarta tampaknya mengabaikan satu pasal penting dalam prosedur pengadaan,
yakni aspek luas tanah yang akan dibeli. Pasal 121 Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 menyatakan
proses pengadaan tanah di bawah 5 hektare dapat dilakukan langsung oleh instansi yang
memerlukan dan pemilik tanah. Konsekuensi adanya pasal ini adalah pemerintah DKI Jakarta
tidak perlu mengikuti prosedur yang diatur dalam pasal lain dalam undang-undang atau
peraturan presiden tersebut. Pemerintah cukup membentuk tim pembelian tanah.
Pasal 121 juga berkaitan dengan soal penetapan lokasi tanah. Jika lokasi tanah telah
ditetapkan dalam anggaran, instansi tersebut tidak lagi harus menetapkan lokasi tanah yang
akan dibeli. Lokasi tanah telah ditetapkan dalam Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon
Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD Perubahan 2014. KUA-PPAS ini juga telah
disetujui oleh Gubernur dan pimpinan DPRD DKI.
Kedua, BPK Jakarta menghitung kerugian negara berdasarkan nilai kontrak pembelian antara
Yayasan dan PT Ciputra pada 2013 dengan harga tanah Rp 15,5 juta per meter persegi.
Dengan demikian, nilai total pembelian lahan Sumber Waras oleh DKI seharusnya adalah Rp
564,3 miliar. Karena itu, kerugian negara menjadi Rp 191,3 miliar.
Mengapa LHP BPK tidak menggunakan nilai jual obyek pajak (NJOP) 2014 sebesar Rp 20,7
juta per meter persegi sebagai dasar penghitungan kerugian negara? NJOP ditetapkan pada
Juni tiap tahun, sementara transaksi pembelian Sumber Waras dilakukan pada Desember
2014.
Seharusnya ada pemeriksaan lebih dalam soal adakah unsur pelanggaran prosedur atau
kesengajaan menaikkan harga dalam perhitungan NJOP 2014? Zona nilai tanah Sumber
Waras memiliki kode AB, yang merujuk pada tanah di Jalan Kyai Tapa, bukan Jalan Tomang
Utara. Dengan demikian, seharusnya NJOP lahan rumah sakit pada 2014, bukan NJOP 2013,
bernilai Rp 20 juta lebih. Pemeriksa BPK Jakarta tampaknya kurang cermat memeriksa hal
ini.
Belum lagi adanya dugaan konflik kepentingan pemimpin BPK Jakarta, EDN, yang
memeriksa pembelian Sumber Waras. EDN diduga memiliki konflik kepentingan karena
punya dua bidang tanah 9 ribu meter persegi di tengah pemakaman Pondok Kelapa. Dia
berusaha merayu pemerintah DKI Jakarta agar membeli tanah tersebut, tapi ditolak karena
lahan tersebut telah dibebaskan. Bulan lalu, EDN dicopot dari jabatannya.
Pendeknya, pemeriksaan BPK Jakarta atas pembelian lahan Sumber Waras pada 2014 belum

akuntabel. Pelanggaran prosedur dan kerugian negara yang dituduhkan dalam pembelian
lahan tersebut sangat janggal, belum obyektif dan independen. Karena itu, BPK RI harus
mengulang pemeriksaan dan LHP BPK Jakarta belum bisa dijadikan bukti untuk mengusut
kasus ini.

Amangkurat
SENIN, 07 MARET 2016

Amangkurat adalah kesendirian: raja yang tak berteman di sebuah pulau.


Ketika mulai Januari 1648 penguasa Mataram itu memindahkan keratonnya dari Karta ke
Plered, di lokasi di Bantul itu Sungai Winongo sudah dibendung. Danau-danau buatan sudah
mulai dibangun di sekitar istana.
Pekerjaan itu seperti tak pernah berhenti.
Tiga belas tahun kemudian, pada 1661, sebuah laporan orang Belanda masih menyebutkan
bahwa Raja tetap sibuk "menjadikan tempat kediamannya sebuah pulau". Dua tahun
berikutnya Amangkurat memerintahkan agar dibuat "sebuah kolam besar di sekeliling
istananya". Pada 5 September tahun itu juga Baginda menyiapkan lagi pembuatan sebuah
batang air di belakang keraton. Sebulan setelah itu penggalian "laut" Segarayasa dimulai.
Mataram dimobilisasi. Tiga ratus ribu orang bekerja, bahkan penduduk daerah Karawang
dipanggil--tak peduli sawah mereka terbengkalai, dan kekurangan pangan terjadi.
Sebab kehendak sang Raja harus jadi. Dan memang jadi. Pada 1668, seperti disebut dalam
buku De Graaf, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, seorang pejabat VOC
berkunjung. Ia berjalan melalui "jembatan di atas parit yang mengelilingi istana".
Parit dan benteng: Amangkurat tak pernah percaya kepada siapa pun di luar dirinya. Ia
dirikan keraton baru dengan batu bata, bukan lagi kayu seperti istana ayahnya, Sultan Agung.
Ia langsung mengawasi sendiri pembangunannya. Beberapa pejabat tinggi yang tak mau ikut
bekerja diperintahkannya untuk diikat, dibaringkan di paseban, dijemur. Sedangkan
penduduk, seperti ditulis dalam Serat Kandha, harus "membakar banyak sekali batu bata".
Benteng itu akhirnya berdiri; 13 November 1659 menyebutkan tembok keraton itu lima depa
tingginya dan dua depa lebarnya. Tapi Baginda toh masih ingin menambahkan lagi "tembok
yang serupa sebuah perisai, setinggi dada".
Syak wasangka tampaknya sejak mula merundung Amangkurat, yang menyebut diri Ingalaga
("di kancah peperangan"). Di hari ketika ayahnya yang sudah dekat ajal memaklumkan putra
sulungnya sebagai Raja Mataram yang baru, semua pintu gerbang, gudang senjata, dan depot
mesiu dijaga ketat. Keluarga kerajaan ditahan selama beberapa hari di dalam istana, agar tak
bisa mengadakan komplotan.
Baru setelah raja tua, Sultan Agung, mengembuskan napas yang penghabisan, sang raja muda
muncul di balairung. Babad Tanah Jawi mencatat, waktu itu tiba-tiba Pangeran Purbaya,
kakak Sultan almarhum, naik ke takhta. Bersikap seolah-olah ia yang jadi susuhunan, ia

menantang siapa yang berani melawannya. Yang hadir menundukkan kepala ketakutan.
Merasa aman, Purbaya pun turun dari dampar, bersimpuh di lantai, menyembah raja yang
baru.
Kecemasan membayang di jam-jam itu: betapa gentingnya pergantian kekuasaan. Bukankah
sebagian besar peperangan di Tanah Jawa adalah perang suksesi?
Dan terbukti. Di tengah kesibukan Mataram membangun keraton Plered, adik Raja, Pangeran
Alit, menyiapkan penyerbuan. Ia hendak merebut takhta. Tapi sebelum bergerak, kedua
pembantu dekatnya ketahuan, terjebak, dan dibunuh. Kepala mereka dipersembahkan kepada
Raja. Sang adik akhirnya menyerang hanya dibantu enam lurah dengan anak buah yang tak
seberapa--dan tewas terluka kerisnya sendiri yang beracun.
Konon, Amangkurat merasa sedih atas kematian itu. "Aku akan membela adikku," demikian
ia dikutip dalam Babad Tanah Jawi. Baginda pun melukai bahunya sendiri--cara yang aneh
untuk "membela" seseorang. Tapi dalam diri Amangkurat kita tak tahu benarkah penguasa
ini--yang bertakhta sendirian seperti pulau yang dikelilingi laut--bisa punya empati kepada
orang lain. Segera setelah menyatakan berkabung, ia berkata, "Hatiku sudah lega."
Dan seraya tampil dengan rambut kepala yang dicukur sebagai tanda belasungkawa, ia
perintahkan empat orang kepercayaannya menyiapkan sebuah pembunuhan besar-besaran. Ia
menduga para ulama di Mataram terlibat pemberontakan Pangeran Alit. Setelah nama,
keluarga, dan alamat semua tokoh agama itu dicatat, dengan isyarat tembakan meriam dari
istana, pembantaian pun dimulai. Dalam tempo 30 menit 5.000-6.000 ulama (termasuk para
istri dan anak-anak) dihabisi.
Kebuasan tak berhenti di situ. Hari itu Raja juga memerintahkan tujuh orang pembesar
dibunuh bersama keluarga mereka....
"...betapa angkuh dan kejamnya orang-orang ini," tulis Van Goens, orang Belanda yang
mencatat peristiwa berdarah pembangkangan Pangeran Alit.
Mataram memang kian suram. Tangan Amangkurat berlumur darah, sampai akhirnya
Baginda meninggal sakit dalam pelarian, setelah pemberontakan Trunajaya meletus dan
Mataram jatuh.
Ketika sakitnya memberat, Amangkurat minta sereguk air kelapa. Putra mahkota pun
menyiapkannya. Tapi sejenak Baginda menatapnya, "Aku tahu maksudmu, kau ingin
mempercepat."
Kejatuhan dan kekejaman tak pernah punya teman.

Goenawan Mohamad

Hukum Islam dan LGBT


SENIN, 07 MARET 2016

Arif Maftuhin, Pengajar fikih sosial di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tulisan Mun'im Sirry, "Islam, LGBT, dan Perkawinan Sejenis", di Koran Tempo pekan lalu,
mewakili simplifikasi relasi antara LGBT, sodomi, dan pernikahan sejenis. Perlu diingat
bahwa tidak ada istilah "LGBT" dalam hukum Islam (fikih). Kitab-kitab fikih memiliki
tradisi kuat untuk membicarakan setiap pasal perbuatan manusia secara bahasa (lughatan)
dan terminologi (syar'an). LGBT tidak dikenal pada keduanya.
Dalam bahasa Arab, "lesbian" diterjemahkan sebagai "mitsliyyah" dan "gay" disebut "mitsly",
dari kata "mitsl", yang artinya sejenis. Istilah lengkapnya adalah al-mitsliyyah al-jinsiyyah
(homoseksual). Istilah ini tidak popular digunakan dalam literatur fikih. Fikih lebih sering
menggunakan istilah "al-liwath" untuk perbuatan seks sejenis (homoseksual) dan "luthi"
untuk pelakunya, yang mengacu ke kisah kaum Nabi Luth di Al-Quran.
Berbeda dengan lesbian dan gay yang jelas mengacu ke orientasi seksual, istilah biseksual
dapat diartikan "orang yang tertarik kepada dua jenis seks sekaligus" atau "orang yang
berkelamin ganda (hermafrodit)". Dalam kamus Al-Ma'any, biseksual diartikan sebagai
"orientasi seksual kepada sesama dan lawan jenis (tsuna'iy al-jins) maupun orang dengan
kelamin ganda (khuntsa atau mukhannats).
Menurut definisi American Psychological Association (APA), disiplin yang dianggap
otoritatif berbicara masalah ini, biseksualitas adalah ketertarikan atau perilaku seksual dengan
laki-laki dan perempuan sekaligus. Tapi, APA menegaskan, transgender tidak terkait dengan
orientasi seksual. Ia hanya terkait dengan perbedaan antara jenis kelamin yang diberikan
masyarakat dan identitas yang ia yakini, atau perbedaan antara anatomi tubuh dan identitas
kejiwaannya. Masyarakat menyebutnya perempuan, tapi ia merasa laki-laki, atau sebaliknya.
Karena tidak terkait dengan orientasi seksual, seorang transgender bisa menjadi
heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.
Dalam diskusi akademik terkait LGBT, ada tiga kategori penting dan tumpang-tindih jika
menggunakan istilah tunggal LGBT dalam merumuskan fatwa hukum Islam: anatomi
seksual, orientasi seksual, dan perilaku seksual. Tiga masalah ini dapat berimplikasi kepada
tiga fatwa berbeda.
Fikih secara umum hanya mengatur perilaku seksual. Perilaku seksual antara dua individu
dinyatakan halal jika didasarkan pada salah satu dari dua jenis akad: akad nikah dan akad
perbudakanyang terakhir ini sudah tidak dijumpai lagi. Hubungan seks yang diharamkan

ada dua: hubungan heteroseksual di luar nikah (zina) dan hubungan sejenis (al-liwath).
Sekali lagi perlu digarisbawahi: fikih membahas perilaku seksual. Lesbian, gay, dan biseksual
adalah orientasi seksual. Transgender adalah anatomi seksual. Secara material, orientasi dan
anatomi seksual tidak berimplikasi langsung kepada "perilaku seksual" yang dilarang. Sama
seperti seorang heteroseksual yang tidak serta-merta melakukan zina.
Dalam pandangan fikih, orientasi seksual itu tidak dapat dihukum, karena terdapat dalam
pikiran. Misalnya, orang yang berpuasa dilarang berhubungan badan. Kalau orang berpikir
soal hubungan badan, secara fikih puasanya tidak batal. Menjadi lesbian, selama itu di
wilayah orientasi, tidak menjadi obyek hukum Islam.
Kalaupun mereka yang konservatif tidak mau mengakui pandangan bahwa menjadi lesbian
dan gay dapat bersifat kodrati, harus diakui bahwa keadaan menjadi gay dan lesbian semata
tidak dapat dijatuhi sanksi hukum. Seorang lesbian yang tertarik untuk berhubungan seks
dengan seorang perempuan statusnya sama dengan seorang suami yang tertarik berhubungan
seks dengan perempuan lain. Pikiran kotor suami tidak dapat dihukum oleh fikih.
Lalu, apakah boleh begitu? Tentu saja agama tidak mengizinkan orang berpikiran kotor.
Tetapi "agama" di sini tidak dalam pengertian fikih, melainkan akhlak atau moral, karena
agama tidak hanya mengatur perbuatan manusia, tapi juga hatinya, membersihkan moral
pemeluknya.
Dalam hal pria biseksual yang menikah dengan perempuan idamannya, status hukum
fikihnya sama persis dengan pria heteroseksual yang menikah dengan perempuan dan
memilih tidak berpoligami. Hanya tukang fatwa ceroboh yang memvonis perilaku pria
biseksual yang menikahi perempuan sebagai perbuatan haram.
Berbeda dengan problem orientasi seksual para LGB, problem anatomi seksual transgender
bukan topik baru dalam fikih. Diskusinya melimpah. Tidak tentang status hukum menjadi
transgender, melainkan bagaimana memastikan jenis kelaminnya agar ia mendapatkan hak
dan kewajiban hukum yang tepat. Jika dianggap laki-laki, ia mendapat warisan yang lebih
banyak, misalnya.
Literatur fikih, sayangnya, sangat miskin perspektif dalam mendiskusikan transgender.
Temuan-temuan riset modern dalam biologi dan genetika belum secara maksimal dilibatkan
untuk mendiskusikan status hukum transgender.
Pesan moralnya, untuk melahirkan sebuah fatwa yang komprehensif dan humanis, fikih perlu
membuka diri dan tidak memvonis mentah-mentah halal atau haram. Masalah LGBT lebih
rumit dari soal haramnya sodomi atau legalitas pernikahan sejenis.

Misi Utusan Jokowi ke FIFA


JUM'AT, 11 MARET 2016

Eddi Elison, Pengamat Sepak Bola Nasional

Sehari setelah menerima hasil pengkajian komprehensif yang dilakukan Menteri Pemuda dan
Olahraga Imam Nahrawi dalam kaitan dengan masalah persepakbolaan nasional, Presiden
Joko Widodo menyatakan masalah PSSI akan dibahas dalam pertemuan dengan FIFA.
Kiranya Presiden memilih segera mengirim utusan ke Zurich daripada memerintahkan
pencabutan sanksi administrasi Menpora terhadap kepengurusan PSSI, berarti masyarakat
harus menunggu dulu hasil pertemuan dengan FIFA, yang saat ini dikomandani oleh Gianni
Infantino.
"Kami berharap Gianni tidak melakukan hal yang sama dengan pendahulunya," ujar Jokowi.
Ucapan Presiden ini mengandung makna khusus, yakni adanya kepercayaan pemerintah akan
rencana reformasi FIFA, seperti yang dicanangkan Infantino setelah terpilih sebagai Presiden
FIFA dalam Kongres Luar Biasa di Zurich, akhir Februari lalu.
Bisa dimengerti jika Presiden menaruh harapan khusus pada FIFA, mengingat pengalaman
pada masa Sepp Blatter berkuasa. Pada era Blatter, surat-surat resmi pemerintah umumnya
tidak digubris, bahkan utusan pemerintah ditolak menemui FIFA akibat "permainan"
Sekretaris Jenderal PSSI Joko Driyono dengan Sekjen FIFA Jerome Valcke. Valcke telah
divonis 12 tahun tidak boleh aktif dalam sepak bola atas kebijakan internal ilegal dengan
banyak negara bekembang, termasuk Indonesia.
Jika dirunut ke belakang mengapa Indonesia di-banned FIFA, itu jelas akibat surat PSSI ke
FIFA yang isinya melaporkan bahwa pemerintah cq BOPI melakukan intervensi. Padahal
BOPI hanya menegakkan hukum negara.
Isi surat PSSI tersebut menakut-nakuti pemerintah, dengan memakai tangan FIFA, agar
segera mencabut pembekuan PSSI, seperti yang terjadi saat Djohar Arifin memimpin PSSI.
Saat itu, pemerintah SBY memang takut Indonesia kena ban, sehingga Menpora Roy Suryo
membikin tim internal khusus untuk mencegah turunnya sanksi FIFA.
Namun, pemerintah Jokowi menolak didikte FIFA, sehingga sejak 30 Mei 2015 Indonesia
dibekukan dari kegiatan internasional. Catat: jika tidak ada surat PSSI yang menuduh
pemerintah mengintervensi, apakah ada sanksi FIFA? Surat PSSI itu bagaikan senjata makan
tuan bagi PSSI sendiri.
Bisa diprediksi bahwa Pak Jokowi berharap FIFA mengkaji ulang keputusan tentang

Indonesia terkait dengan surat-surat laporan PSSI, sehingga federasi sepak bola internasional
itu dapat menyetujui dilakukannya reformasi total tata kelola PSSI melalui prosedur yang
benar, yakni kongres luar biasa (KLB). Namun KLB ini bukan dilaksanakan oleh "PSSI
Nyalla" untuk menghindari gagalnya upaya mengubah total persepakbolaan nasional.
Soal KLB, diharapkan FIFA mengulang kebijakan pada 2011 dengan membentuk Komite
Normalisasi, setelah lebih dulu menetapkan PSSI tidak kredibel dengan sejumlah bukti. Perlu
dipertimbangkan pula bahwa sejak Nurdin Halid memimpin PSSI (2003-2011), yang acap
terjadi adalah "KLB abal-abal" penuh rekayasa politik. Terakhir, KLB di Hotel Borobudur
pada 2013 di era Djohar Arifin lebih berbau politisasi, sehingga terjadi pendepakan terhadap
enam anggota Komite Eksekutif hasil KLB Solo 2011, disusul KLB Surabaya 2015 yang
terlaksana berkat pola transaksional/ancaman.
Kondisi persepakbolaan nasional saat ini jelas masih mengambang akibat belum dianulirnya
sanksi terhadap PSSI dan ban FIFA. Berarti, kegiatan turnamen akan terus dilanjutkan sampai
utusan Presiden Jokowi berhasil bertemu dengan pengurus FIFA di Zurich, dan pertemuan itu
menghasilkan keputusan yang mengikat.
Utusan FIFA/AFC memang bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka pada
pertengahan Februari lalu dan hasilnya akan membentuk "Tim Kecil". Belum sempat
membentuk tim ini, utusan FIFA/AFC langsung mengadakan pertemuan dengan pengurus
PSSI dan komponen sepak bola. Tanpa mengacuhkan "kesepakatan Istana", FIFA lalu
membentuk Komite Ad Hoc beranggotakan sembilan orang yang dipimpin Agum Gumelar.
Namun tujuh anggotanya adalah "orang-orang" PSSI yang bertameng sebagai komponen
sepak bola. Jelas nama-nama tersebut kiriman dari PSSI.
Wakil pemerintah yang ditunjuk sebagai salah satu anggota menolak duduk dalam Komite Ad
Hoc. Demikian juga wakil dari Asosiasi Pemain Profesional Indonesia. Maklum, FIFA/AFC
dapat dianggap telah mendiskreditkan Presiden. Inilah salah satu karya FIFA era Blatter, yang
tentunya tidak bisa ditoleransi.
Mudah-mudahan dengan dilakukannya reformasi FIFA oleh Infantino, harapan Presiden
Jokowi untuk dapat mereformasi total persepakbolaan nasional segera dapat terwujud agar
sepak bola nasional dapat berprestasi di forum internasional.

Sabangau
SENIN, 14 MARET 2016

Saya bosan Kahlil Gibran, tapi sejenak kata-katanya melintas di kepala:


Pohon-pohon adalah sajak yang ditulis bumi
ke atas langit.
Kaki saya mencari injakan akar di hutan gambut itu, sambil berjalan setapak demi setapak di
air kemerahan yang menggenang di antara pokok-pokok jelutung dan ramin. Dahan batangbatang muda itu masih lebat merintangi jalan, tapi segera tampak: "sajak yang ditulis bumi"
telah hampir terhapus di Sungai Sabangau.
Jutaan pohon telah ditebang. Hutan tropis Kalimantan Tengah seluas 568.700 hektare punah.
Keserakahan manusiamerampas kayu meranti tak henti-hentinya untuk memperkaya diri
telah melukai lingkungan ini sampai ke intinya.
Lima belas tahun lamanya, sejak 1980, penjarahan itu berlangsung.
Manusia adalah "super-predator", kata orang. Tapi saya kira bukan, sebelum datang pasar
besar, modal besar, kuasa politik besar, dan kerakusan besar. Dan di Indonesia, 1980-1995,
keempat anasir itu bergabung: klimaks zaman yang bernama "Orde Baru". Negeri dibangun
dengan ke-tak-sabar-an yang destruktif.
Tahun 1995: Presiden Soeharto memutuskan 1,5 juta hektare hutan gambut Kalimantan
Tengah dimusnahkan untuk membuat sawah. Rakyat setempat tak bisa menolak. Para pakar
tahu proyek itu sebuah kesalahan (padi tak tumbuh di bekas lahan gambut, yang tingkat
keasamannya tinggi), tapi mereka tak bisa berbicara. Dalam novel Sarongge Tosca Santoso
digambarkan bagaimana niat untuk menyiapkan lahan pangan itu berakhir dengan
malapetaka.
Dalam sepucuk surat kepada kekasihnya, Husin, Karen yang mengunjungi tempat itu
bercerita: cadangan air dikeringkan, diubah jadi saluran irigasi yang berpuluh-puluh meter
panjangnya. Parit-parit baru membuat gambut tak mampu lagi menyerap air bila musim hujan
tiba. Kemarau jadi bencana: air kurang, hutan di sekitar selalu terbakar. Penduduk hidup
terjepit. Tulis Karen: "...hasil hutan pun tak bisa didapat lagi."
Di bawah "Orde Baru", kemerdekaan bersuara tak mati sendirian. Hutan ikut mati. Ketika
politik jadi panglima dan ilmu ditaklukkan, tak perlu lagi hasil penelitian. Ketika segala
sesuatunya dipaksakan, akal sehat tak berfungsi.
Novel Sarongge bercerita: ketika Presiden Soeharto datang untuk melihat sendiri "Proyek
Lahan Gambut" itu, para bawahan bergerak cekatan. "Pohon-pohon pisang yang sedang
berbuah dipindahkan... ke kebun bekas gambut. Padi-padi yang hampir panen dari sawah-

sawah Kalimantan Selatan dicabuti, untuk [juga] dipindahkan.... Seolah lahan gambut itu
memang sudah siap berproduksi. Memenuhi mimpi sang presiden...."
Dilihat dari atas, yang di bawah sering menipu. Raja-raja lama dan dunia modern melakukan
kesalahan yang sama. "Manusia modern merasa bisa menguasai alam, dan mengubah
semaunya," tulis Karen pula. "Padahal, banyak hal yang tak kita ketahui...."
"Manusia modern" jenis itu tak cuma bagian yang tragis sejarah Indonesia. Pada akhir 1980an, James Scott menulis telaah yang memaparkan melesetnya ideologi "modernis tinggi"
ketika penguasa dan birokrasi Negara melihat ke kehidupan sehari-hari di "bawah". Seeing
Like a State memaparkan pelbagai contoh state-optics yang tajam fokusnya tapi luput
menangkap kenyataan yang rumit. Contoh yang menarik berkembang di Prusia dan Saxony
di abad ke-18.
Di kerajaan Jerman itu, tatapan "ilmu" merumuskan hutan sebagai "arus komoditas yang bisa
dijual". Semua diringkus bagi pendapatan Kerajaan. Maka hilanglah pepohonan, semak
belukar, dan tanaman yang tak laku. Bahkan juga disisihkan tetumbuhan yang bisa dibuat
obat, pohon yang bisa diraut jadi permainan dan dibuat jadi benda keindahan.
Akhirnya, ukuran pohon dibakukan, dan ditetapkanlah pohon yang dianggap normal,
Normalbume. Hutan pun jadi "mesin komoditas tunggal" yang gampang serentak terserang
hama atau rusak oleh badai.
State-optics: Negara memandang hutan, menyederhanakannyadan tak sanggup
menyelamatkannya. Hutan terbakar, berkali-kali, tapi api selalu dilihat dari atas: dari
keputusan Presiden, dari meja birokrasi, dari pesawat penyiram air yang tak pernah sanggup
memadamkan bara.
Agak di luar Kota Palangkaraya saya bertemu dengan Januminro Bunsal. Laki-laki 56 tahun
ini dengan tenaga sendiri merestorasi hutan gambut, sepetak demi sepetak. Ia adalah antitesis
bagi state-optics: orang Dayak yang tak menatap hutan dari jendela perpustakaan. Ia merawat
pepohonan dengan pengetahuan yang rinci, pengalaman yang tak sebentar, dan dengan akrab
dan telaten. Maka ia tahu bahwa cara memadamkan kebakaran hutan bukanlah menyewa
pesawat penyemprot air yang mahal. Januminro membangun puluhan sumur bor dengan
pompa penyemprot dan mematikan api yang memusnahkan pohon-pohon dari dekat.
Ia tak mengutip Gibran. Tapi ia tahu pohonku bukanlah pohonku, melainkan hidup yang
melindungi bumi anak-anakku, anak-anakmu.

Goenawan Mohamad

Boikot Israel dan WTO


SENIN, 14 MARET 2016

Hutomo Bayu Listyaghi, Diplomat Kementerian Luar Negeri RI

Konstitusi bangsa Indonesia mengamanatkan agar segala bentuk penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Jika melihat
yang terjadi di Palestina saat ini, sudah sepatutnya Indonesia menjadi garda terdepan dalam
perjuangan masyarakat internasional agar bangsa Palestina meraih kedaulatan penuh untuk
merdeka.
Salah satu seruan Presiden Joko Widodo di depan negara-negara anggota Organisasi
Konferensi Islam (OKI) pada KTT Luar Biasa OKI di Jakarta, 7 Maret lalu, adalah
memboikot produk-produk Israel yang diproduksi di dalam wilayah pendudukan. Seruan ini
layak mendapat apresiasi sebagai ekspresi keseriusan Indonesia untuk mengakhiri
pendudukan Israel di Palestina.
Boikot, sebagai salah satu bentuk sanksi ekonomi, adalah sebuah instrumen yang umum
digunakan secara internasional, walaupun dampaknya terhadap kebijakan negara target masih
diperdebatkan.
Hal-hal yang perlu mendapat pertimbangan lebih lanjut jika kebijakan boikot ini akan
dituangkan dalam bentuk law, regulation and administrative determination, adalah komitmen
bangsa Indonesia dalam World Trade Organization. Penulis berpendapat, dalam skenario
penyelesaian sengketa, akan sulit bagi Indonesia untuk mempertahankan kebijakan ini. Selain
menghadapi kesulitan dalam memperoleh escape clause (klausul untuk menghindar) yang
relevan, boikot adalah sebuah bentuk pembatasan kuantitatif yang jelas bertentangan dengan
Pasal XI General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.
Karena posisinya yang sulit untuk dipertahankan inilah, beberapa negara kemudian
mengadopsi kebijakan lain yang memiliki efek kurang-lebih sama dengan boikot. Contohnya,
kebijakan pelabelan (labelling) oleh Uni Eropa (UE) terhadap produk-produk yang dihasilkan
di dalam wilayah jajahan Israel di Palestina (illegal settlement). Pelabelan ini dimaksudkan
agar masyarakat Eropa berpikir dua kali sebelum membeli produk-produk dari atas tanah
yang terjajah.
Kebijakan tersebut dapat dijadikan patokan oleh Indonesia, tapi dengan pertimbangan sebagai
berikut. Pertama, sesuai dengan Pasal I GATT 1994 tentang prinsip Most Favored Nation dan
Non-Discriminatory Measure (bahwa negara anggota GATT tidak boleh memberikan
keistimewaan yang menguntungkan hanya kepada satu atau sekelompok negara tertentu), jika

kebijakan Country of Origin Labelling (COOL) hanya diimplementasikan dalam konteks


produk-produk yang dihasilkan di atas wilayah jajahan. Hal ini secara politik akan sangat
berisiko bagi Indonesia. Apakah Indonesia juga akan melabeli produk-produk yang
diproduksi di Tibet, Taiwan, dan negara-negara relevan lainnya? Dengan isu Papua akhirakhir ini yang terus mengemuka, jangan sampai kita mengambil kebijakan yang akan menjadi
bumerang.
Kedua, bagaimana cara menguji bahwa produk-produk Israel yang beredar di Indonesia
adalah benar bukan diproduksi di atas tanah Palestina? Bagaimana kalau pabrik berada di
wilayah Palestina dan perusahaan induk berada di wilayah legal Israel, maka akan sulit
untuk mengklasifikasikan produk dimaksud.
Negara sebisa mungkin menjadi pihak yang netral. Tapi Indonesia memiliki organisasi
keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dengan jumlah pengikut
yang signifikan dan bukan merupakan subyek dari hukum di dalam WTO. NU dan
Muhammadiyah bisa mempublikasikan kepada masyarakat mengenai produk-produk apa saja
yang diproduksi di Israel dan beredar luas di sini.
Organisasi-organisasi ini bahkan bisa menerbitkan pelabelan mereka sendiri. Sebaiknya label
tidak diberikan kepada produk, melainkan kepada pasar swalayan dan warung-warung yang
tidak menjual produk-produk Israel, seperti stiker Bebas Produk Israel. Selain lebih praktis,
hal ini akan menciptakan peluang bisnis baru.
Sebagai tambahan, penulis memandang tidak perlu dibedakan antara produk yang diproduksi
di wilayah legal Israel dan produk yang diproduksi di wilayah pendudukan di Palestina.
Dengan membedakan produk-produk itu, secara tidak langsung kita seperti tidak
berkeberatan atas agresi militer Israel pada 1967 di Palestina.
Apakah aktivis kebebasan itu pernah berteriak Boikot produk dari Bantustan untuk
mengakhiri apartheid di Afrika Selatan? Apakah ada aktivis kebebasan berteriak Cukup
boikot produk Cina yang diproduksi di Tibet saja?

Pasar Energi Bersih


KAMIS, 17 MARET 2016

Alhilal Hamdi, Bekas Ketua Tim Nasional Bahan Bakar Nabati

Perhelatan Forum Energi Bersih di Bali pada Februari lalu dihadiri ratusan wakil
pemerintahan asing, lembaga internasional, pemerhati, industri, dan investor. Setidaknya
kegiatan temu para pemangku kepentingan ini membangkitkan kembali harapan hadirnya
energi bersih saat banjir energi fosil dengan harga "obral".
Lonjakan atau pun anjloknya harga minyak mentah dunia sulit diperkirakan. Krisis panjang
Iran dan Irak, pertumbuhan stabil Cina, India, Brasil, dan Asia Tenggara, ditambah
penyadaran global tentang puncak zaman keemasan minyak pada 2000-an, telah memberi
momentum bagi komoditas ini menembus angka US$ 120 per barel. Bersamaan waktunya,
yang disemangati oleh Protokol Kyoto, lahir pula pasar baru berwujud perdagangan
"pengurangan emisi karbon bersertifikat (CER)" yang memberi bonus sebagian bagi investasi
energi bersih.
Bagaimana keadaan pasar minyak mentah saat ini? Dari sisi pasokan, kita bisa menelisik
laporan teranyar beberapa negara produsen besar, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab,
Kuwait, Irak, Qatar, Aljazair, Kazakhstan, Rusia, Meksiko, dan Cina, yang mampu memompa
minyak dengan biaya di bawah harga pasar US$ 30 per barel.
Iran, pemilik cadangan minyak kedua terbesar seputar Teluk Persia dan Timur Tengah,
sesudah embargo dibuka, siap menggelontorkan minyaknya ke pasar dunia. Beberapa negara
konsumen, semisal Amerika Serikat, bermodalkan produksi besar dari shale oil, masih kuat
menangkal minyak impor. India, yang mempunyai fasilitas timbun raksasa serta kilang
terpadu industri petrokimia, tak rentan oleh fluktuasi harga mengingat regulasi energinya
terhubung ke pasar internasional. Cina, beberapa waktu belakangan ini, secara cerdas
memborong tanker-tanker minyak yang murah meriah untuk menyiapkan catu energi jangka
menengah yang lebih dari memadai.
Dalam keadaan pasokan melimpah dan permintaan stagnan, sentimen harga memang masih
berpotensi terus menurun. Produsen energi mengalami situasi mirip pada 1980-an, yang
sebagian mulai meminta perlindungan dari kebangkrutan. Di sisi lain, penarik manfaat
terbesar dari keadaan seperti sekarang tentulah konsumen, termasuk industri, pemakai energi
fosil. Siklus harga ini belum mencapai titik nadir, tapi emisi buang dari pemakaian energi
fosil tetap mengkhawatirkan.
Yang penting kemudian ialah melihat hubungan pertumbuhan energi bersih terhadap energi

fosil. Bila menengok pengalaman satu dekade ke belakang, tampak masing-masing memiliki
lapak sendiri. Pasar swasta perdagangan bersih karbon ambruk jauh hari, justru saat energi
fosil masih membubung.
Sementara itu, hibah dana Milenium Challenge guna memperkuat model bisnis energi bersih,
setelah sembilan tahun mengalami metamorfosis skema beberapa kali, telah menemukan
sosok pas. Suntikan global untuk penurunan emisi melalui skema baru, yang berjumlah
puluhan miliar dolar AS, cukup besar terkait dengan energi bersih. Dari dunia usaha,
penggalangan dana melalui perusahaan investasi lahir kembali dengan komitmen ekuitas
pembiayaan sejak awal proyek. Artinya, prakarsa emisi dan energi bersih masih menyimpan
roh penggeraknya.
Namun, setiap mewacanakan energi bersih sebagai arus utama, sebaiknya dipahami bahwa
energi bersih dan pengurangan emisi bukanlah isu pokok korporasi. Meski pemerintah
memberi penugasan pada off taker energi, regulasi setengah hati bertabrakan dengan perilaku
dasar korporasi, yang acap kali menyandingkan harga beli energi bersih dengan rata-rata
harga energi lain. Penetapan harga batas tertinggi menempatkan pengembang energi bersih
menjadi lemah saat bernegosiasi. Di bagian lain, mekanisme pemberian subsidi energi kerap
membuat pemegang mandat pembelian energi didera tekanan para politikus. Kadang-kadang,
tak perlu juga mempersalahkan politik saat berbagai prioritas berebut tempat untuk dibiayai
tiap tahun oleh negara.
Lantas, tatkala kita mengkomunikasikan melalui berbagai forum tentang sasaran energi bersih
sebanyak 23 persen dalam sepuluh tahun ke depan, seyogianya pesan itu diperkuat dengan
segera mengisi kesenjangan kelembagaan dan regulasi. Dengan begitu, kita menghindarkan
pasar kian majal. Pencapaian belanja korporasi, selaku pembeli tunggal energi bersih, mesti
ditorehkan angka tahunannya. Tabungan energi kitabauran panas bumi, biomassa, air, dan
suryamemang sangat menggiurkan. Tapi, jangan lupa, kita tak sendirian. Pun energi bersih
bukan satu-satunya komoditas penurun emisi. Banyak negara lebih sigap menata gerai. Bila
tak lekas bersolek, ditoleh pun kita tidak.

Perlunya Revisi UU Perfilman


JUM'AT, 18 MARET 2016

Kemala Atmojo, Auditor Legal

Tak lama lagi, insan perfilman Indonesia akan memperingati Hari Film Nasional pada 30
Maret nanti. Film sebagai seni mendapat perhatian istimewa dari negara dibanding cabang
seni yang lain. Terbukti, hanya perfilman yang memiliki undang-undang sendiri, sedangkan
seni-seni lain tidak.
Tetapi, apa artinya undang-undang jika tidak memiliki daya guna dalam praktek sehari-hari?
Bahkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman itu malah kerap menjadi
sumber perdebatan di antara kalangan orang.
Pasal 74, misalnya, yang mengharuskan insan perfilman memenuhi standar kompetensi dan
segala keharusan yang menyertainya, nyatanya belum bisa dilakukan. Dan, yang paling
sering menjadi percekcokan adalah Pasal 32, yang intinya menyatakan bahwa pelaku usaha
pertunjukan film (bioskop) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60
persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut-turut.
Bunyi pasal yang sepintas tampak terang-benderang itu ternyata juga mengandung masalah.
Pertama, kata kunci dari kalimat itu adalah "jam pertunjukan", bukan "judul film". Dalam
bahasa teknis, ini disebut screen time quota, bukan screen title quota. Artinya, judul bisa
berapa saja, yang penting jumlah jamnya memenuhi aturan. Kedua, apa yang dimaksud
dengan film Indonesia tidak dijelaskan secara rinci. Apakah film yang bekerja sama dengan
luar negeri termasuk film Indonesia? Apakah film yang dibuat di luar negeri tapi dengan
sutradara orang Indonesia itu film Indonesia, dan seterusnya. Ketiga, Pasal 32 itu mesti
dihubungkan dengan Pasal 34, yang intinya menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai pertunjukan tersebut diatur dalam peraturan menteri (permen).
Maka, selama permen yang bersifat mengatur lebih lanjut pelaksanaannya belum ada, Pasal
32 tidak bisa dilaksanakan. Bahkan bisa dianggap tidak ada. Tapi mengapa peraturannya
tidak segera dibuat? Rupanya ada problem besar lain yang muncul dari penjelasan pasal
tersebut.
Dalam penjelasan pasal itu, dikatakan bahwa kewajiban pemutaran film Indonesia itu "tidak
berarti memperbolehkan pertunjukan film yang tidak bermutu." Pertanyaannya: siapa yang
menentukan sebuah film itu bermutu atau tidak? Pemilik film, pemilik bioskop, penonton,
kritikus, atau siapa? Itu pertanyaan yang harus dijawab sebelum peraturan bisa diterbitkan.
Antara bunyi pasal dan penjelasannya terdapat semacam kontrakdiksi inheren yang

tampaknya menyulitkan penerbitan peraturan menteri tersebut.


Sebenarnya contoh pasal-pasal mati dalam undang-undang perfilman bisa terus diperpanjang.
Misalnya, pasal soal sanksi administratif mensyaratkan adanya peraturan pemerintah (PP).
Tapi hingga kini PP itu juga belum ada. Sejak kelahirannya, UU itu baru menurunkan dua
produk hukum lain, yakni PP No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film serta
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 2014 tentang Pengukuhan Badan Perfilman Indonesia
(BPI).
Pasal dan penjelasan mengenai BPI juga bisa menimbulkan multitafsir. Berbeda dengan
badan yang mirip (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional), dalam undang-undang, BPI
disebut sebagai lembaga swasta dan bersifat mandiri, tapi dikukuhkan oleh Presiden.
Pembiayaan BPI dinyatakan berasal dari pemangku kepentingan, sumber lain yang tidak
mengikat, dan bantuan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang bersifat hibah. Uniknya, dalam penjelasan
undang-undang itu dikatakan secara tegas bahwa, mengingat peran strategis perfilman,
pembiayaan pengembangan, lembaga sensor film dan badan perfilman dialokasikan dalam
ABPN dan APBD. Kata "dialokasikan" tentu berbeda makna dengan "hibah". Kesulitankesulitan itulah yang membuat BPI tidak bisa menjalankan semua tugas yang diamanatkan
kepadanya.
Rupa-rupanya, pembentukan badan yang merupakan representasi dan wujud dari peran serta
masyarakat ini menirukalau tak boleh disebut sebagai copy-pasteBadan Promosi
Pariwisata Indonesia (BPPI) yang ada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan. Peran pemerintah, bentuk lembaga swasta yang mandiri dan pembiayaannya
BPPI sama dengan BPI.
Setiap peraturan perundang-undangan seharusnya memiliki daya laku karena ia sah dan
berdaya guna. Daya guna ini bisa dilihat apakah suatu norma efektif atau tidak, ditaati atau
tidak. Dalam konteks undang-undang perfilman, terlalu banyak pasal yang tidak berdaya
guna atau tidak ditaati.
Maka, pemerintah sebaiknya segera mengambil tindakan yang lebih nyata: revisi atau
membuat undang-undang baru. Dalam undang-undang baru nanti, penting dipertimbangkan
secara rasional apa yang seharusnya diatur dan bagaimana mengaturnya agar sesuai dengan
tuntutan zaman. Intinya kita perlu undang-undang yang responsif sekaligus progresif.

Einstein
SENIN, 21 MARET 2016

"Saya lahir 14 Maret 1879 di Ulm...."


Einstein menuliskan biodatanya pada suatu hari di tahun 1932. Akademi Ilmu Pengetahuan
Kaiser Leopold, sebuah institusi yang sangat bermartabat--Goethe pernah jadi salah satu
anggotanya--memintanya bergabung.
Ada sembilan pertanyaan yang harus dijawab. Pada pertanyaan ke-8 ia mengatakan, ia
"pernah diberi beberapa medali". Tapi ia tak merinci apa saja penghargaan itu. Ia juga tak
menyebutkan bahwa pada 1921 ia pernah menerima Hadiah Nobel untuk Fisika....
Baginya, penghargaan adalah bagian puji-pujian yang sering ia terima dengan enggan--atau
dengan ironi. Sebagian besar ia sembunyikan di satu sudut yang ia namai Protzenecke, "pojok
bual". Baginya, yang lebih penting adalah kerja keilmuan--yang sering harus menyendiri.
Uang tak pernah memancing Einstein. Yang diterima dari Hadiah Nobelnya ia dermakan. Di
tahun 1927, ia bantu 150 keluarga miskin di Berlin. Suatu hari ia mendapat US$ 1.500,
sumbangan Rockefeller Foundation. Ceknya ia pakai buat penyekat halaman buku; bukunya
hilang.
Pernah ia kaget dijanjikan honorarium tinggi untuk menulis di sebuah majalah; ia pun
menawar agar dibayar separuh saja dari jumlah itu. Ia juga baru mau bergabung dengan
Institute for Advanced Studies di Universitas Princeton jika jumlah gajinya dipotong. Ia
menolak menerima pemberian, apalagi ketika dihadiahi sebuah violin Guarnerius seharga
US$ 33.000. Ia merasa alat musik itu terlalu berharga buat kepandaiannya bermain violin.
Ia tak mau mengambil banyak, ia selalu memberi banyak. Ia membalas surat-surat yang
mengalir ke alamatnya dari mana saja: sarjana fisika yang termasyhur, Ratu Belgia, atau anak
kecil yang ingin dihibur. Ketika ia terima sekaleng tembakau dari seorang buruh yang
kehilangan kerja, ia membalasnya dengan menulis khusus seuntai sajak terima kasih. Seorang
kelasi menulis surat bahwa di kapalnya ada kucing yang ikut naik dari pelabuhan Jerman, dan
awak kapal memberinya nama "Albert Einstein". Sang pemenang Nobel membalas, mengirim
salam kepada kucing itu.
Einstein memang bukan orang yang gampang bilang "tidak" kepada mereka yang tak
didengar. Ia tahu kemasyhurannya bisa berguna untuk orang banyak--terutama untuk
menghimpun dana, atau dukungan suara, untuk tujuan seperti gerakan perdamaian.

Tentu saja untuk nasib orang-orang Yahudi yang di Eropa berabad-abad terancam. Einstein
seorang Zionis yang aktif. Tapi ia tak melihat Zionisme sebagai gerakan nasionalis. Zionisme,
tulisnya di awal 1946, memberi sisa kaum Yahudi kekuatan batin untuk menanggungkan
hantaman, "dengan tegak dan tanpa kehilangan harga diri yang sehat".
Ketika Nazi berkuasa di Jerman--waktu itu Einstein sudah tak di sana lagi--rumahnya disita.
Teori Relativitas dianggap ilmu "Yahudi" dan "Komunis" (meskipun di Uni Soviet yang
komunis teori itu juga dihantam sebagai anti-"materialisme dialektis").
Di zaman penuh kebencian itu, ada saat-saat Einstein nyaris putus asa. "Tampaknya orang
selalu butuh setan untuk saling membenci; dulu itu kepercayaan agama, kini negara," tulisnya
setelah usai Perang Dunia I. Ia tak yakin nalar manusia bisa menyelamatkan. "Nalar bukanlah
satu cara mempertalikan manusia di bumi...."
Tapi Einstein tahu, dunia yang dibentuk nalar bukanlah segala-galanya. Ia, yang membaca
karya-karya Yunani klasik tanpa terjemahan (tapi tak begitu menyukai Plato, yang baginya
aristokratik), yang jatuh cinta dan menikah dengan gadis Katolik dan punya anak di luar
nikah, yang mencintai musik dan bisa menulis tinjauan kritis atas lakon George Bernard
Shaw, mengalami bahwa ada sesuatu yang lain dalam diri manusia. Yakni: dorongan etis,
yang disebutnya "moralitas".
Bukan agama. "Agama, menurut kodratnya, tidak toleran," katanya. "Moralitas sepenuhnya
persoalan manusia," tulis Einstein kepada seorang rabi di Chicago yang ingin mengaitkan
Teori Relativitas dengan Yudaisme di akhir 1939.
Tak berarti manusia bisa menjawab segala hal. Ilmuwan hanya mencoba-coba mengutip
kebenaran. Alam dan eksperimen, tulis Einstein, bukanlah hakim yang bisa diduga dan juga
"bukan hakim yang sangat bersahabat". Lebih sering Alam dan eksperimen mengatakan
"Tidak" kepada satu teori, atau paling ramah "Barangkali". Malah sangat mungkin tiap teori
kelak akan bertemu dengan "Tidak".
Kerendahan-hati itu punya sifat "religius". "Religius" bagi Einstein adalah rasa takjub
menyaksikan "skema yang menyatakan diri di alam semesta materi". Tapi ketakjuban itu tak
harus membuat kita mewujudkan Tuhan "yang bisa mengajukan tuntutan kepada kita".
Dengan kata lain, manusia membentuk sendiri hubungan etis di antara sesama dari
kerendahan-hati itu. "Alam bukanlah insinyur atau kontraktor," jawab Einstein ketika ditanya
apa yang akan terpikir olehnya sebelum meninggal.
Ia meninggal 18 April 1955.

Goenawan Mohamad

Pajak
JUM'AT, 18 MARET 2016

Putu Setia, (@mpujayaprema)

Cukup lama saya menunggu Romo Imam di rumahnya. Dia baru datang menjelang sore
dengan menenteng map kertas. "Maaf, saya antre lama di kantor pajak. Menyerahkan SPT
pajak penghasilan, saya pikir bisa cepat seperti tahun lalu," katanya. "Ada peraturan baru
diterapkan Direktorat Pajak, nantinya semua wajib pajak akan menyetor laporannya lewat
online."
"Kalau sudah bisa menyetor online, berarti tak perlu datang ke kantor pajak, dong," kata saya.
"Tinggal utak-atik komputer di rumah masing-masing. Asal sudah punya e-mail dan
didaftarkan di Kantor Pajak, ya, langsung bisa melaporkan SPT pajak."
Romo Imam tertawa. Ia tetap santai dan cerah, meski tampak capek. "Saya dengar di kotakota besar begitu. Wajib pajak yang sudah akrab dengan internet tinggal mengisi laporan
tahunan pajak penghasilannya di formulir yang sudah ada. Tentu sebelumnya sudah
mendaftarkan e-mail-nya untuk mendapatkan kode identitas. Kita yang tinggal di kota kecil,
untuk yang sekali ini tetap datang ke Kantor Pajak. Tahun depan sudah tidak lagi."
Saya kurang jelas maksud Romo, apa bedanya tinggal di kota besar dan kota kecil. Romo pun
menjelaskan panjang-lebar. Intinya, wajib pajak di kota kecil ini dianggap tidak akrab dengan
internet. Ketika dia datang ke Kantor Pajak, antre dulu di bagian pendaftaran, dicatat data
wajib pajaknya. Kemudian diberikan formulir untuk memperoleh Electronic Filing
Identification Number (EFIN) ke loket khusus. Di sini antrenya lama, karena setiap wajib
pajak ditanya apa sudah punya e-mail atau belum. Kalau belum, dibuatkan di sana. Kalau
sudah punya, diberi tahu caranya berhubungan ke website Direktorat Pajak, bahkan langsung

dipraktekkan di sana, termasuk mengisi setiap kolom. Bayangkan betapa lamanya untuk
setiap orang. "Padahal wajib pajak seperti kita yang sudah akrab dengan internet kan tinggal
diberikan selebaran. Atau buat saja iklan di koran. Bukan dikursus singkat seperti ini. Meski
tinggal di kota kecil, banyak yang sudah paham internet," kata Romo, masih dengan nada
riang.
Saya paham sekarang, tapi Romo melanjutkan, "Ya sudahlah, ini kemajuan luar biasa, tahun
depan Kantor Pajak akan sepi, semua orang melaporkan lewat e-filing." Saya memotong,
"Memangnya Romo bayar pajak berapa? Romo kaya, ya?"
Romo kaget dengan celetukan saya. "Ini bukan soal kaya, tetapi kewajiban kita untuk
membayar pajak dari harta dan penghasilan yang kita dapat, meskipun kecil. Pajak berkaitan
dengan harta, itu sudah pasti. Saya baru paham kenapa ada dua ratusan lebih anggota
parlemen yang belum menyetorkan laporan hartanya ke Komisi Pemberantasan Korupsi,"
kata Romo.
Betul, ada 203 anggota DPR yang belum menyetorkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat
Negara ke KPK. Tapi apa hubungan itu dengan pajak penghasilan? Ini jawaban Romo, "Bisa
jadi anggota DPR itu curang. Kalau ia laporkan harta kekayaannya dengan benar, yang
jumlahnya besar, berakibat pada pajak penghasilannya yang juga besar. Kalau KPK
mempublikasikan harta itu ke publik, masyarakat bisa bertanya, dari mana harta sebanyak
itu? Apalagi kalau aparat penegak hukum menyelidikinya. Ini berbahaya buat mereka. Tetapi
kalau laporan harta dibuat kecil juga bermasalah, di ujung jabatan akan ketahuan peningkatan
harta yang tak wajar. Bisa dituduh dapat gratifikasi atau hasil korupsi."
"Tapi wajib anggota terhormat itu melaporkan hartanya dengan jujur," kata saya. Romo
langsung berkomentar, "Jujur itu sulit, mereka memilih tidak melaporkannya, yang penting
ramai-ramai. Sayang, ini contoh buruk."

Herakleitos
SENIN, 28 MARET 2016

"Semua hubungan yang tetap, yang cepat membeku, beserta deretan prasangka dan opininya
yang kuno, disapu hanyut. Semua hal yang baru berbentuk dengan segera jadi usang.
Semua hal yang solid meleleh ke udara."
Di tahun 1848, dengan kalimat yang dramatis itu, Manifesto Komunis menggambarkan
datangnya zaman ketika modal memasuki kehidupan sosial. Marx dan Engels tak meramal ke
masa depan; mereka hanya memaparkan betapa menakjubkannya kaum borjuis mengubah
dunia. Dan mengguncang-guncangnya.
Tapi di abad ke-21, kalimat itu jadi mirip nujum.
Setelah satu abad merupakan sistem yang kukuh (yang disebut Werner Sombart sebagai
"kapitalisme"), menjelang akhir abad ke-20, gerak modal, yang kini ada di mana-mana,
kembali ditandai ketidakstabilan: kapital jadi global, bergerak dalam "deteritorialisasi", batas
wilayah raib. Ada yang menyebutnya sebagai "modal yang tak sabar". Nilai saham,
perpindahan milik, perpindahan tempat dan tenaga kerja, arus jasa dan benda, tak pernah bisa
ajek. Bung Karno pernah menggambarkan revolusi sebagai dinamika "menjebol dan
membangun", tapi sebenarnya kapitalisme yang pada akhirnya demikian. Tema guncangan
hari ini tak jauh berbeda dari masa Manifesto Komunis.

Kita tengah terseret hidup ke dalam kondisi Herakleitosian. Kata-kata Herakleitos, pemikir
Yunani pra-Sokrates yang hidup 500 tahun sebelum Masehi, ini berlaku sekarang: "Panta
rhei tiap hal berubah dan tak ada yang tetap", dan "kita tak pernah bisa masuk ke dalam
arus yang sama". Atau: "Semua entitas bergerak dan tak ada yang berhenti". Satu-satunya
yang permanen adalah perubahan itu sendiri.
Sosok kapitalisme sendiri mengalami mutasi, seperti organisme yang berubah dalam
lingkungan yang berbeda. Ketika teknologi digital masuk ke dalam kehidupan, para kapitalis
terkadang seperti tak mengenali posisi mereka sendiri lagi. Kini semboyan lama "pembeli
adalah raja" bukan lagi menghadirkan konsumen sebagai konsep yang abstrak. Dengan
pelbagai instrumen interaktif, konsumensang "raja"adalah orang seorang yang konkret,
mirip pelanggan di kedai kecil di masa lalu. Pemilik modal tak bisa sewenang-wenang
mengarahkan pasar. Dan pasar dan persaingan pun berubah jadi sangat heterogen, dengan
cepat. Kini ada yang melihat munculnya distributed capitalismyang belum disadari
pengusaha taksi Blue Bird, misalnya.
Perubahan kendali modal tak hanya di sana. Di masa lalu, kerja diorganisasi dalam piramida
yang kukuh, dengan struktur terpusat; waktu kerja buruh dihitung dengan standar yang tetap.
Kini apa yang disebut "kerja imaterial" mulai memimpin dinamika produksi: menghasilkan
ide-ide, survei, program, teks, desain, konsultasi psikologis, layanan medis.... Hasilnya bukan
cuma benda dan jasa, tapi juga komunikasi dan kerja sama, bahkan gaya hidup. Waktu kerja
tak dapat dibakukan (berapa harga desain sebuah logo jika dihitung dengan jam kerja?),
kendali manajemen tak bisa jadi linear. Pengawasan institusional atas arus hasil kerja dan
informasi tak bisa lagi utuh terpadu.
Satu dasawarsa yang lalu ada yang melihat perubahan ini dengan optimisme. Antonio Negri
dan Michael Hardt menulis Empire (2000) dan Multitude (2004) untuk memperlihatkan,
dengan bergelora, bahwa pekerja di bawah kapitalisme yang Herakleitosian ini akan jadi
kekuatan alternatif. Mereka bukan proletar, karena hubungan dan sifat kerja sudah berubah.
Mereka bukan bangsa, karena negara-bangsa jadi tak relevan dalam hubungan modal-danpekerja ini. Mereka adalah multitude. Mereka, tanpa rencana tanpa organisasi, muncul
sebagai semacam sosok, Gestalt, dari arus deras informasi, jaringan antarmanusia, dengan
hierarki yang tak menentu, dengan pelbagai kontradiksi dan dikotomi yang menyebar
sebagaimana kontak yang tak selamanya disadari antara buruh di Cengkareng dan desainer di
Milan. Mereka merupakan sumber demokratisasi yang sekarang sedang menjalar.
Menarik bahwa disuarakan dari semangat yang antikapitalisme, Empire dan Multitude
menghasilkan optimisme yang sama dengan apa yang disuarakan Thomas Friedman yang
datang dari sisi lain: The Lexus and the Olive Tree berbicara bukan tentang pekerja,
melainkan konsumen dan perannya dalam demokratisasi.
Bisakah kita berharap? Lebih dari satu dasawarsa kemudian, belum ada tanda yang
meyakinkan bahwa optimisme itu berdasar. Demokratisasi yang terjadi di Dunia Arab,
misalnya, punya sisi buruk dan baik. Dalam zaman Herakleitosian ini, kita toh tak bisa

melupakan apa yang dikatakan sang filosof kuno: alam semesta yang paling apik (kallistos
kosmos) pun hanya "sebuah onggokan sampah yang acak". Kita hidup dalam keadaan serba
mungkin, tidak ditentukan sebuah kodrat. Dengan kata lain, sebuah keadaan yang acak, tak
berarah.
Mungkin itu nasib yang burukatau justru dasar kemerdekaan manusia.

Goenawan Mohamad

Taksi
SABTU, 26 MARET 2016

Toriq Hadad, (@thhadad)

Pada musim liburan akhir tahun lalu, saya dan rombongan keluarga pergi ke Canggu, di Kuta
bagian utara, Bali. Dari Bandara Ngurah Rai, kami pakai Uber, mobil sewaan yang dipesan
lewat aplikasi online. Berkendara sekitar sejam, saya membayar Rp 93 ribu. Anggota
rombongan lainnya yang pakai taksi biasa membayar Rp 175 ribu. Hampir dua kali lebih
mahal. Tentu saja saya menyebarkan kabar baik itu kepada setiap orang. Agaknya, promosi
"mulut ke mulut" inilah yang membuat Uber, Grab, dan sejenisnya tumbuh luar biasa pesat.

Pengalaman itu membuat saya paham motif demonstrasi besar sopir taksi biasa, Selasa yang
lalu. Pendapatan mereka anjlok drastiswalaupun perusahaan taksi tempatnya bekerja ada
yang tetap menikmati pendapatan tahunan lebih dari Rp 4 triliun, dengan laba bersih lebih
dari Rp 700 miliar. Dari demo anarkistis yang diwarnai gebuk-menggebuk pengendara GoJekyang membuat pengemudi motor yang dipesan lewat aplikasi itu sampai sekarang tak
berani memakai jaket hijaunyayang paling dirugikan adalah sopir taksi biasa.
Pada saat demo, tentu sopir taksi biasa kehilangan pendapatandan saya tak berburuk
sangka, apalagi menuduh, perusahaan taksi tempatnya bekerja "mengganti" kerugian itu.
Perusahaan taksi biasa Blue Bird esok harinya menggratiskan armadanya sehari penuh,
promosi simpatik untuk mengobati kekecewaan orang akibat demo. Tapi yang terjadi malah
kontra-produktif: lihat saja komentar-komentar Twitter #percumagratis yang lebih banyak
menyuarakan protes dan caci-maki. Sentimen negatif begini jelas semakin menjauhkan taksi
biasa dari konsumennya.
Debat dan diskusi pun meledak. Di media sosial, di grup WhatsApp, semua orang tiba-tiba
menjadi "cerdik pandai" dalam urusan transportasi. Ini lumrah saja, mengikuti anggota
kabinet yang juga tak satu suara tentang "barang baru", yakni taksi aplikasi ini. Yang satu
bilang Uber itu perusahaan taksi, yang lain bilang itu bisnis aplikasi. Nyatanya, Uber
memang tak memiliki satu buah taksi pun.
Satu pakar bilang "predatory pricing" yang murah dari Uber hanyalah taktik pemodal raksasa
mematikan pesaing. Di kemudian hari, ketika pesaing tamat, Uber akan memonopoli bisnis
taksi. Kata sang pakar, ini bentuk awal monopoli yang harus dibasmi sejak dini dengan aturan
pemerintah. Satu lagi mengutip konsep "economic sharing", Uber dan Grab serta Go-Jek itu
merupakan bentuk ekonomi berbagi: kelebihan waktu pemakaian kendaraan pribadi
disewakan kepada yang membutuhkan, dengan harga lebih murah.
Mungkin yang terjadi nyaris sama dengan sekitar 200 tahun silam pada masa Revolusi
Industri. Kaum Luddites menghancurkan mesin-mesin industri, dan mereka dituduh antiteknologi. Padahal, menurut mereka, mesin-mesin itu lebih mengeksploitasi ketimbang
menyejahterakan buruh. Barangkali para biliuner Silicon Valley merancang aplikasi mahal
yang sepertinya menguntungkan pengemudi taksi tapi ujung-ujungnya membuat kekayaan
mereka bertambah luber. Saya setuju menolak eksploitasi buruh: di industri apa pun, di bisnis
taksi aplikasi maupun di bisnis taksi biasa.
Saya pun setuju pada peraturan pemerintah yang tetap memberikan hak hidup perusahaan
aplikasi seperti Uber, dengan catatan pengemudi harus bergabung dengan koperasi agar
pemerintah bisa melindungi keselamatan rakyat. Dan mereka wajib bayar pajak.
Tapi tarif jangan diatur, apalagi ditentukan lewat kartel. Serahkan kepada mekanisme pasar.
Perusahaan yang efisien, mampu memberikan tarif murah kepada rakyat, bayar pajak, itu
yang harus dibela.

Long March Sinema Indonesia di Era


Digital
RABU, 30 MARET 2016

Budi Irawanto, Kepala Pusat Kajian Komunikasi Fisipol UGM

Berbekal kamera Akeley yang telah berumur puluhan tahun serta menyewa oplet rongsokan,
Usmar Ismail bersama krunya bertolak ke Purwakarta untuk memulai syuting perdana
filmnya, The Long March atau Darah dan Doa, pada 30 Maret 1950. Dalam rombongan itu
hanya Usmar dan penata kamera Max Tera yang pernah terlibat dalam produksi film.
Anggota kru yang lain hanya berpengalaman di radio atau panggung teater.
Kendati sebelumnya telah membesut film Tjitra dan Harta Karun, Usmar mengklaim Darah
dan Doa sebagai film pertamanya karena secara teknis kreatif maupun ekonomis"
dikerjakan anak-anak Indonesia" dan filmnya mempersoalkan kejadian bersifat nasional."
Hari pertama syuting film Darah dan Doa itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Film
Nasional" dalam Rapat Kerja Dewan Film Nasional pada 11 Oktober 1962. Setelah 37 tahun,
keputusan itu dikukuhkan oleh Presiden B.J. Habibie lewat Keputusan Presiden Nomor 25
Tahun 1999 pada 22 Maret 1999.
Tapi kini, agaknya model produksi ala Usmar menghadapi tantangan di tengah ekonomi yang
kian mengglobal dan dihantam teknologi digital. Pertanyaan yang segera mencuat:
mampukah produksi film Indonesia bertumpu sepenuhnya pada modal dalam negeri semata?
Bisakah sinema Indonesia mengelak dari revolusi yang dibawa oleh teknologi digital?
Beberapa pekan lalu, pemerintah telah membuat keputusan yang mengeluarkan industri film
dari daftar negatif investasi. Artinya, investor asing kini leluasa menanamkan modalnya di
sektor perfilman, dari produksi hingga ekshibisi. Selama ini, modal asing hanya diizinkan
masuk ke bidang jasa teknik dengan penguasaan maksimal 49 persen.
Sejatinya, masuknya bantuan asing dalam perfilman kita telah lama berlangsung, baik dalam
bentuk kerja sama produksi maupun hibah dari lembaga asing seperti Hubert Bals Fund,
Global Film Fund, Cinefondation LAteiler, dan Asian Network Documentary Fund. Bahkan,
lewat model crowdfunding proses pembiayaan produksi film dan distribusi kian partisipatoris
karena tak lagi bergantung pada satu investor saja, melainkan bertumpu pada jaringan luas.
Apa boleh buat, ke depan persaingan dalam bisnis film di Indonesia bakal kian sengit akibat
dibukanya keran investasi asing itu. Karenanya, ini perlu diimbangi kebijakan strategis yang
mampu memajukan film lokal, seperti halnya Korea yang telah maju industri filmnya.
Pemerintah Korea, misalnya, sejak 2006 menetapkan screen quota yang mewajibkan bioskop
mengalokasikan 73 hari dalam setahun untuk memutar film Korea.
Di Indonesia persaingan antara film impor dan domestik dibiarkan terbuka justru ketika tak
ada tata edar yang jelas dan distributor film telah lama absen. Walhasil, pemilik bioskop
sangat menentukan film yang bakal dipertontonkan.
Sementara itu, revolusi digital telah lama membuat ketar-ketir para pemilik bioskop karena
mereka mesti memutakhirkan teknologi untuk mempertunjukkan film. Tapi yang paling
mencemaskan: bioskop kini tak lagi menjadi satu-satunya ruang untuk mempertontonkan
film. Komputer jinjing dan telepon pintar menjadi tempat menonton yang jauh lebih
fleksibel.

Karena itu, pemblokiran Netflix sebagai penyedia layanan berbasis video oleh perusahaan
telekomunikasi terbesar (Telkom) sesungguhnya sia-sia. Ini karena hal itu mengingkari
keniscayaan revolusi digital yang telah merambah hingga ranah ekshibisi dan konsumsi.
Begitu pula pemblokiran situs berbasis video Vimeo dua tahun lalu oleh Kementerian
Komunikasi dan Informatika yang terkesan tanpa pertimbangan yang masak dalam
merespons platform ekshibisi digital. Alasan pelarangan itu, Vimeo dianggap masuk dalam
situs berkonten pornografi. Padahal, selama ini selain YouTube, Vimeo menjadi platform
efektif bagi pembuat film untuk mempromosikan film barunya berupa trailer atau teaser.
Kendati pemblokiran itu dicabut, keputusan itu mencerminkan visi yang berpunggungan
dengan gerak revolusi digital.
Tantangan revolusi digital tampak jelas ketika bioskop sulit menggaet penonton muda.
Menarik dicatat, di tengah maraknya produksi film Indonesia, langkah penonton menuju
bioskop justru mengendur. Sepanjang 2014, tercatat jumlah produksi mencapai 115 judul atau
lebih tinggi dari produksi total film dari 1991 hingga 2001. Selain miskinnya inovasi tematik
film Indonesia, selera penonton telah lama dibentuk oleh film impor. Sebagaimana riset
SMCR pada 2015, terindikasi sebanyak 82,6 persen responden dari jumlah total 505 orang
sangat menyukai menonton film Hollywood, sedangkan film Indonesia hanya menempati
posisi ketiga (3,2 persen) setelah film Korea (7,7 persen).
Selama ini, berkah revolusi digital memang dirasakan oleh pembuat film dokumenter dan
film pendek. Sejumlah kemudahan ditawarkan oleh teknologi digital: biaya produksi yang
relatif murah, proses pasca-produksi yang tak rumit, dan alur kerja lebih sederhana. Tak
jarang karya mereka mengharumkan nama Indonesia di forum internasional, meskipun tak
mendapat sokongan dari pemerintah.

Pilatus
SENIN, 04 APRIL 2016

Ecce homo! Apa yang dimaksudkannya? Apa yang dikehendaki wakil Imperium Romawi itu,
dalam bahasa Latin, dari penduduk Yerusalem yang berkelimun tak sabar menunggu di

bawah balkon? Ataukah teriak itu ditujukan kepada Kaiafas dan para tokoh agama yang hadir
di sana, yang menuntut agar "orang itu" dihukum mati?
Ecce homo! Lihat orang itu! Tapi buat apa?
Barangkali inilah yang dimaui Pontius Pilatus: agar orang ramai itu bisa tambah yakin
menista "orang itu"--tahanan yang kepalanya telah mereka pasangi selingkar duri sebagai
cemooh. Atau mungkin supaya mereka bisa menatapnya sepuas-puasnya dengan benci--dan
mendukung keputusan hukuman mati atas Yeshua itu. Bukankah sudah lama rabi muda itu
dituduh menghasut orang banyak, agar menyimpang dari ajaran agama?
Ataukah Pilatus bermaksud sebaliknya? Mungkinkah ia berseru "Ecce homo!" justru agar
khalayak ramai itu punya rasa belas kepada wajah yang tulus tapi luka-luka itu? Atau supaya
mereka menyadari--setelah melihat dari dekat sosok tahanan itu--bahwa mereka sedang
hendak menghukum mati seseorang yang tak bisa disederhanakan dengan hukum dan
kategori? Atau agar para tokoh agama itu berpikir kembali bahwa dengan dalil-dalil mereka
yang diresmikan Tuhan sekalipun, mereka tetap khilaf dalam menafsirkan seorang manusia-makhluk 1.001 kemungkinan dan 1.001 kemustahilan?
Ecce homo! Pilatus memperlihatkan paras Yeshua. Mungkin ia ingin menunjukkan bahwa
paras itu, seperti paras siapa pun, adalah wujud yang singular, dan sebab itu tak ternilai, tak
bisa dipertukarkan dengan siapa pun....
Tapi akhirnya tak mudah mengerti apa maksud dua patah kata Latin yang diteriakkan dari
balkon hari itu. Akhirnya kita harus menimbang pejabat Romawi itu: jahat, tidak jahat,
jahat....
Ada yang mengatakan, ia seperti hampir semua pembesar Romawi: brutal dan arogan. Para
pengikut Yeshua, yang kemudian disebut umat "Kristen", pantas menganggap penguasa itu
tak bersih. Ia memang memperlihatkan kepada khalayak ramai bahwa ia mencuci tangannya
sebelum orang ramai melecut Yeshua ke bukit untuk disalibkan. Tapi penguasa itu tak bisa
melepaskan diri dari tanggung jawab.
Tapi ada yang menduga, Pilatus sebenarnya tak berencana menghabisi Yeshua. Ia hanya tak
mau dimusuhi orang-orang Yahudi Yerusalem. Mereka sudah mendesak agar orang itu
disalibkan, dan pejabat Imperium Romawi yang jauh dari pusat itu tak ingin penduduk lokal
melawannya. Ia orang yang, dengan pragmatisme politik, ingin kekuasaannya aman di jalan
yang tak lurus.
Mungkin Pilatus seorang tokoh dalam drama ambiguitas yang tegang. Di abad ke-2 pernah
beredar surat-suratnya (ternyata palsu) yang menunjukkan bahwa pejabat Romawi ini
sebenarnya beriman Kristen. Dengan kata lain: ia tak bersalah. Di abad ke-3, Origen
Adamantius (184-253), pakar theologi dari Alexandria, misalnya, menulis bahwa orang
Yahudilah yang membunuh Yesus--sebuah pandangan yang ikut mendasari anti-semitisme

Kristen sampai hari ini. Meskipun di abad ke-4 para theolog kembali meletakkan kesalahan
pada Pilatus....
Sejarah, kita tahu, tak pernah ditulis lurus.
Maka Ecce homo! Di sekitar Paskah wajar jika orang (terutama yang bukan Kristen) lebih
ingin melihat si penghukum, bukan si terhukum. Mikhail Bulgakov mendatangkan Pilatus ke
Moskow abad ke-20 dalam novel The Master and Margarita, ke kancah dunia yang tak
tenteram di antara fantasi yang ganjil.
Pilatus hadir dan membenci kota "Yershalaim" tempat ia bertugas, kota dengan bau mawar
yang tak disukainya dan suara fanatik di mana-mana. Suatu hari ia harus menginterogasi lakilaki pengembara itu, Yeshua Ha-Nozri. Orang ini dituduh akan menghancurkan Baitulah.
Tapi Yeshua menyangkal. Tak berarti ia menyukai kenisah itu. Ia percaya bangunan iman
lama akan digantikan dengan yang baru. Ia percaya "semua kekuasaan adalah bentuk
kekerasan terhadap orang banyak". Tapi ia yakin ada kerajaan kebenaran dan keadilan,
kerajaan yang damai--dan kerajaan itu akan datang.
"Tak akan pernah!" teriak Pilatus membantah. Baginya kekuasaan yang ada, di bawah
Maharaja Tiberius, adalah kekuasaan yang sudah sempurna. Baginya Yeshua tolol, percaya
bahwa semua orang baik, bahkan Yudas yang mengkhianatinya.
Tapi Pilatus kemudian berteman dengan filosof dari udik yang mengembara itu. Ia, yang
membenci semua hal, hanya bisa mengharapkan untuk tak dibenci dari seorang Yeshua. "Dan
mereka berbicara tentang soal yang penting dan membingungkan, dan tak satu pihak pun
dapat meyakinkan yang lain... maka percakapan mereka semestinya menarik dan tak pernah
berakhir."
Tapi kemudian Yeshua dihukum mati.
Lihat orang itu. Lihat kekosongan itu. Tak ada lagi percakapan yang berlanjut dan tak harus
mufakat. Kota berbau mawar klise dan penuh suara fanatik.

Goenawan Mohamad

Perpustakaan
Sabtu, 02 April 2016
Putu Setia, @mpujayaprema

Romo Imam mengunjungi rumah saya di kampung, di mana ada satu ruangan di aula untuk
perpustakaan umum. Ia memeriksa rak-rak buku seperti halnya pejabat kabupaten yang sering
datang, cuma melihat-lihat tanpa menyentuh bukunya. Romo sampai pada rak yang ada
kacanya, di sana ada deretan ensiklopedi. "Banyak yang membaca buku ini?" tanyanya. Saya
menjawab jujur: "Sudah 10 tahun saya boyong ke Bali, tak satu pun ada yang membuka."
Romo tersenyum kaget. Saya pun menjelaskan ihwalnya. Dulu, awal 1980-an, tatkala saya
baru berkeluarga di Yogyakarta, buku ensiklopedi itu saya beli dengan mencicil. Ada
ensiklopedi umum, ensiklopedi kesehatan dan teknologi. Saya taruh di rak yang menyekat
ruang tamu, kalau ada rapat rukun tetangga saya berharap ada yang memuji saya. Setidaknya
ada yang berkata kalau saya sudah jadi orang terpandang.
Tentu sesekali saya baca. Begitu pula ketika diboyong ke Jakarta. Tapi kini sudah 10 tahun
lebih tak ada satu pun yang membuka, termasuk saya. "Semuanya sudah ada di Google,
bahkan lebih lengkap dan baru," kata saya. Romo lalu menuju ke rak buku-buku budaya dan
agama. "Wow, ada komik Mahabharata R.A. Kosasih, lengkap pula. Apa anak-anak kampung
ini suka?" tanyanya. Saya jawab: "Tentu suka Romo. Tapi buku itu tak lagi disentuh. Sudah
saya sediakan flash disk dan anak-anak membaca komik itu di layar televisi LED yang besar.
Semua komik ini sudah ada dalam format pdf." Romo mengalihkan pandangan pada sudut
ruangan yang ada beberapa televisi dan komputer.
"Komputer itu dipakai untuk download dokumen, e-book, termasuk doa-doa yang tersebar di
internet, kalau belum ada koleksinya di sini. Lalu pengunjung meng-copy-nya ke handphone
masing-masing," kata saya. "Apa anak-anak kampung ini punya handphone?" tanya Romo.
"Waduh Romo, cucu saya yang baru empat tahun saja sudah main iPad. Itu dia, asyik
menonton Upin Ipin atau mungkin kartun Mr Bean, meski sesekali meniru doa dalam
berbagai irama," saya menunjuk cucu di sudut aula. "Membeli iPad atau sejenisnya, paling
menjual dua karung kopi, dan Wi-Fi di sini gratis."

Kami minum kopi luwak, asli produksi kampung. "Kalau begitu, untuk apa anggota Dewan
Perwakilan Rakyat ngotot membangun perpustakaan terbesar di Asia Tenggara? Anggaran
setengah triliun rupiah lebih," tiba-tiba Romo berseru. "Mungkin untuk menambah tempat
tidur," jawab saya. Karena Romo melongo, saya jelaskan, ada orang yang tak bisa tidur siang
di tempat yang formal meski mengantuk. Mereka baru bisa tidur jika di ruang rapat atau
ruang sidang yang membosankan, atau di mobil yang terkena macet, atau di pesawat terbang.
Karena itu, banyak anggota DPR yang ketiduran saat rapat paripurna yang tak ada perdebatan
lagi. Saya juga seperti itu. "Siapa tahu di ruang perpustakaan yang besar dengan disediakan
kursi yang lumayan, anggota DPR bisa rehat dan lelap," sambung saya.
"Ah sampeyan guyu, saya serius," Romo meneguk kopinya, dan saya menjawab: "Kalau
serius, ya, tak ada gunanya DPR membangun perpustakaan yang lebih besar dari yang
sekarang. Yang ada saja tak dimanfaatkan. Lagi pula, tren ke depan perpustakaan itu harus
digital, bukan deretan buku, melainkan deretan komputer dan televisi yang kini sudah
dilengkapi USB. Sementara pegawai perpustakaan terus mengkonversi buku-buku tua untuk
dijadikan digital dan pengunjung bisa baca di sana atau meng-copy ke perangkatnya masingmasing."
Romo menerawang sejenak, lalu berkata: "Jangan-jangan anggota DPR itu gagap teknologi,
kalah sama anak-anak kampung."

Pujangga
SABTU, 09 APRIL 2016

PUTU SETIA, @mpujayaprema

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memberikan semacam beasiswa bagi para
penulis untuk menghasilkan karyanya. Menurut Menteri Anies Baswedan, caranya dengan
memberikan tunjangan hidup kepada para penulis dalam jangka waktu tertentu agar mereka
berkonsentrasi menulis. Bisa dikirim ke luar negeri, tempat yang merangsang mereka untuk
kreatif, termasuk melakukan riset.
Saya teringat akan sebuah pertemuan pada 1970-an. Ada Made Sanggra, pengawi (pengarang
berbahasa Bali); dan ada Gerson Poyk, sastrawan Indonesia. Made Sanggra sudah
menerbitkan sendiri kumpulan puisi dan cerita pendek dalam bahasa Bali, meski sangat
sederhana. Salah satu cerita pendeknya, berjudul Ketemu Ring Tampaksiring, mendapat
penghargaan dari Majelis Pertimbangan Kebudayaan Bali. Made Sanggra berkata: "Kalau
saja pengawi hidupnya seperti pujangga di zaman Majapahit, pasti lahir karya sastra
bermutu." Dia iri, pujangga di era Majapahit dibiayai hidupnya untuk menulis kekawin,
sementara Made Sanggra menulis di sela-sela bertani.
Sastrawan Gerson Poyk, yang sudah menulis novel Sang Guru, mengangguk. "Beri saya uang
untuk berkelana dan menulis, akan saya hadiahkan novel yang bagus. Bagaimana saya bisa
menulis dengan konsentrasi kalau untuk makan minggu depan harus menulis dua atau tiga
cerita pendek pesanan koran," katanya.
Tapi karya sastra tak pernah berhenti terbit, sampai hari ini. Pujangga masa kini terus
berkarya dengan latar sejarah yang mungkin kelam. Ada Leila S. Chudori dengan Pulang, ada

Laksmi Pamuncak dengan Amba, dua contoh saja. Mereka bernasib baik, setidaknya
dibanding Made Sanggra dan Gerson Poyk. Mereka punya "bekal" untuk riset.
Juga bertebaran "pujangga" yang karyanya dengan mudah dijual lewat celotehan di media
sosial. Tak semua penulis bisa memanfaatkan media sosial untuk berjualan, atau bisa jadi
tidak mau karyanya dijajakan bagai menjual markobar--martabak produksi putra Jokowi.
Karena itu, terobosan Menteri Anies Baswedan bagai angin surga.
Mpu Tantular, yang hidup di era Majapahit Raja Hayam Wuruk abad ke-14, diminta menulis
karya yang bisa dijadikan sesuluh kerajaan. Lahirlah Kekawin Sutasoma yang di dalamnya
terdapat "kata sakti": bhinneka tunggal ika--kata yang kini jadi sesanti negeri ini. Meski
dibiayai hidupnya untuk menulis, pujangga ini tak terpengaruh oleh pesanan, bahkan nama
yang dipakai, Tantular, artinya tak terpengaruh.
Tak cuma Tantular yang diberi "beasiswa" oleh Hayam Wuruk. Ada pujangga lain, Mpu
Prapanca, yang kemudian melahirkan Kekawin Negarakertagama yang termasyhur itu. Kisah
ini memang sejenis reportase kerajaan, namun dengan keindahan bahasa, kekawin dengan 98
pupuh (sajak bertembang) ini begitu indah, melampaui zamannya.
Di era sebelumnya, Kerajaan Kediri, lahir karya sastra yang sampai kini tak henti-henti
dibaca dan ditembangkan. Misalnya Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa di era Raja Airlangga.
Kresnayana karya Mpu Triguna di era Raja Jayabaya. Smaradahana karya Mpu Dharmaja
pada masa Sri Kameswara. Juga "tafsir baru" dengan gaya bertembang tentang Bharatayudha
karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Tentu yang dahsyat adalah kisah Lubdaka yang
diadaptasi Mpu Tanakung ke dalam masyarakat Jawa Hindu, yang sampai kini jadi rujukan di
Bali.
Saya bermimpi Menteri Anies Baswedan juga melebarkan gagasan beasiswa ini dengan
jemput bola kepada "pujangga bahasa daerah", jika kita percaya pelestarian bahasa dan sastra
daerah memperkuat budaya nasional. Mereka tentu kalah bersaing jika diharuskan membuat
proposal.

Subaltern
SENIN, 18 APRIL 2016

Orang-orang miskin terkadang mirip dewa-dewa yang malang: suara mereka perlu disimak,
tapi sering kali dunia mendengarnya melalui perantara.
Umumnya para perantara merasa punya kewajiban mewakili mereka -- dan tak jarang,
merasa punya hak untuk itu. Pejabat publik. Anggota parlemen. Partai politik. Calon gubernur
yang serius dan pura-pura serius. Pengisi yang rajin Twitter dan Facebook. LSM. Aktivis
dengan rasa keadilan yang kuat atau hanya kadang-kadang kuat. Atau para kiyai, padri dan
pendeta. Atau media -- juga stasiun televisi yang dimiliki bisnis besar dengan komentatornya
yang mengumumkan, "saya dulu pernah melarat."
Tapi tiap kali, kita sebenarnya berjumpa dengan pertanyaan ini: benarkah mereka berhak?
Apa artinya "mewakili"? Seberapa jauh dan dekatkah mereka dengan kaum miskin, yang
selama ini tak berdaya, mereka yang berada di luar hitungan --kaum yang disebut (mengikuti
Gramsci) "subaltern"?

Pada 1994 Gayatrti Spivak menulis satu risalah yang judulnya menggugah dan persoalannya
penting untuk dikaji, juga di hari ini: Can the Subaltern speak?
Tulisan itu sulit dibaca. Yang bisa saya tangkap adalah teguran Spivak: kita perlu melihat
lebih jauh yang terkandung dalam kata "representasi" -- kata yang lebih tajam ketimbang
"perwakilan." Dalam kata "perwakilan", seperti dalam kata "representasi", memang tersirat
ada sesuatu yang tak hadir namun beroleh penggantinya yang seakan-akan menghadirkan dia.
Tapi kata "representasi" tak hanya itu.
Spivak mengemukakan ada dua kata Jerman yang tercakup dalam kata "representasi":
Vertretung dan Darstellung. Yang pertama berarti "bicara atas nama" si X, sebagaimana partai
politik, atau negara, atau cendekiawan atau LSM berbicara atas nama si miskin. Yang kedua
berarti penggambaran seperti dalam pentas, seperti dalam novel atau reportase yang hidup -sebuah cerminan kenyataan, dan juga sebuah kreasi.
Darstellung bisa mempengaruhi yang Vertretung. Penderitaan, suka-duka, suara dan kebisuan
si miskin yang dipaparkan di sebuah kisah yang lengkap dengan dramaturginya dapat
mendorong munculnya perwakilan politik bagi kaum papa itu. Tapi bagaimana pun narasi dan
dramaturgi itu memerlukan bentuk, dengan format yang pas, dengan tokoh-tokoh yang
mengemuka. Pada akhirnya, kita akan mendapatkan penggambaran "makro-logis", yang
mengabaikan carut-marut, liku-liku, nuansa, dan apa saja yang samar dan rinci. Pada saat
yang sama, dari pementasan itu biasanya muncul para "pahlawan", para juru bicara atau
pembela, yang lazimnya lebih besar, lebih seru, ketimbang para subaltern sendiri.
Dan tak kurang dari itu, kaum miskin pun cenderung ditampilkan seperti satu identitas
dengan hakikat yang sama dan tak berubah-ubah -- sebuah pendekatan "esensialis". Kaum
miskin hanya muncul sebagai bagian sebuah taksonomi.
Saya kira Spivak tak berniat mengatakan bahwa kaum subaltern tak boleh diwakili. Pada
umumnya kaum papa ini tak punya akses ke percakapan yang lebih luas dan diabaikan
percaturan kekuasaan para elite. Maka kaum subaltern perlu disiapkan, dididik, buat
mengartikulasikan hasrat dan kepentingan mereka sendiri.
Namun persoalannya kembali: siapa yang akan mendidik? Pemikir politik Ranciere pernah
menulis sebuah buku dengan judul, Le Matre ignorant, "kepala sekolah yang tak tahu apaapa". Ranciere menampilkan pengalaman Joseph Jacotot, seorang guru di abad ke-19 yang
menunjukkan bahwa mengajar adalah konsep yang salah: tak ada guru yang lebih pandai
ketimbang murid. Tak mengherankan bila baginya, gagasan "mendidik" kaum papa, bahkan
"mewakili" mereka, adalah agenda yang hanya melanjutkan ketimpangan kekuasaan.
Pada 16 Oktober 2012, di Universitas San Martin di ibukota Argentina, Ranciere
mengemukakan teorinya tentang demokrasi -- dan keyakinannya bahwa asas perwakilan yang
kini dipraktekkan di negeri-negeri demokrasi "sepenuhnya berintegrasi dengan mekanisme

oligarki". Yang diperlukan sekarang, katanya, adalah "sebuah gerakan aksi yang kuat yang
merupakan wujud kekuasaan, yang merupakan kekuasaan setiap orang dan siapa saja."
Ada semangat anarki yang sehat dalam pemikiran ini -- tapi juga ada pertanyaan yang
membuat lobang di dalamnya: bagaimana "aksi yang kuat" itu dapat jadi mekanisme
kekuasaan, jika tanpa organisasi, tanpa struktur, tanpa pemimpin yang mewakilinya
Pada akhirnya, kita kembali ke problem klasik yang tak mudah diselesaikan. Konon Gramsci,
tokoh komunis Italia yang dipenjara kaum Fasis itu, berbicara tentang subaltern lantaran ia
lihat ketimpangan garis yang dipilih Lenin, ketika membentuk organisasi partai yang bicara
atas nama proletariat. Proletariat tak serta merta mewakili yang miskin. Dan Partai Komunis
tak serta merta mewakili proletariat.
Tak benar bahwa Gramsci mengemukakan itu. Tapi bagaimana pun, dimulai dengan
perlawanan buruh Polandia terhadap Partai Komunis, pandangan itu terbukti. Akhirnya hanya
sesekali kaum miskin lepas dari posisi seperti dewa-dewa yang malang, yang suaranya hanya
terdengar dalam gema.

Goenawan Mohamad

Adu Mulut
SABTU, 16 APRIL 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Banyak ungkapan memakai kata adu. Misalnya, adu mulut, adu nasib, adu domba. Kalau
adu domba sejati, masih ada di Jawa Barat. Kalau arti kiasannya, manusia yang mau
dipertentangkan antarsesama. Entah kenapa dipakai domba, bukan hewan lain.
Adu mulut bukanlah mulut ketemu mulut. Ini kiasan murni untuk orang yang berbantahan.
Namun berbantahan itu sendiri bukanlah tergolong aib. Para leluhur kita di masa lalu bisa
berbantahan penuh tata krama, berkata sopan tanpa merendahkan lawannya. Mereka
menyebutnya adu wicara, terjemahan masa kini: berdebat dengan sopan. Sedangkan yang
berdebat dengan kata-kata jorok, memaki, saling hina--dan tak jarang dilanjutkan dengan
perkelahian--disebut adu cangkem atau ungkapan lain cangkem gembur. Nah, yang terakhir
ini, entah sejak kapan, diterjemahkan: adu mulut.
Orang yang suka adu mulut umumnya dianggap kurang wawasan, tidak berpendidikan,
preman pasar (meski di desa itu tak ada pasar), dan biasa dilakukan di tempat umum,
misalnya di rumah judi atau minimal di jalanan. Kalau adu wirasa, dilakukan di pendopo,
balai sidang, juga di ruang tamu. Itu dulu, ketika Nusantara masih berbudaya luhur. Sekarang
adu mulut pun dilakukan di balai sidang.
Ada kakek sepuh di desa saya yang terperanjat saat menonton televisi, melihat para wakil
rakyat adu mulut sambil mengepalkan tangan dan merangsek maju ke meja pimpinan.
"Astaganaga, memalukan. Mereka berpendidikan, apa yang salah?" tanya dia. Saya
menjawab: "Yang salah Kakek, masih ada tivi yang menyiarkan Mahabharata, kok menonton
tivi berita?" Seolah tak mendengar jawaban saya, si kakek masih bertanya: "Apa yang terjadi
kalau orang mengepal tangan itu tak dihalangi ke meja pimpinan?" Saya jawab: "Paling
gebrak meja, tak akan ada perkelahian, itu cuma akting, supaya lebih dramatis dan disiarkan
tivi. Sekarang tivi bebas menyiarkan adu mulut yang disertai adegan dramatis begitu, yang
di-blur kan hanya wanita berkebaya yang lehernya nampak."
Saya tak tahu bagaimana kalau si kakek menonton sidang paripurna Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang disiarkan televisi baru-baru ini. Adu mulut (tentu saja bukan adu wirasa)
berlanjut sampai ada seseorang berteriak, lalu dipanggul dan diamankan temannya. Pasti si
kakek mengumpat. Apalagi kalau ia sampai tahu anggota DPD itu sedang berebut kuasa jadi
pimpinan, dan gaji mereka Rp 71 juta lebih. Bisa-bisa si kakek menyuruh anaknya tak usah
lagi membayar pajak tanah kebun. Yang paling celaka, kalau si kakek bertanya apa saja tugas
dan hasil kerja senator itu, bagaimana saya bisa menjawab?
Kita sudah banyak berubah. Keluhuran budaya dan tradisi (termasuk aksara dan sastra lokal)
semakin sirna karena kita konon sudah maju. Tapi Jepang jauh lebih maju, produk industrinya
menyerbu negeri kita, kok budaya dan kearifan lokal mereka masih jelas? Adakah tatanan
masyarakat kita sudah tak harmonis lagi? Para ulama, pendeta, sesepuh sudah tak lagi
didengarkan dan berjarak jauh dengan penguasa negeri? Di era kerajaan dulu, para ulama
dijadikan purohito (ada istilah lain: bhagawanta) oleh penguasa untuk dimintai nasihat dan

pertimbangan. Di masa Orde Baru, ada istilah "ulama dan umaroh tak bisa dipisahkan". Kini,
di Dewan Pertimbangan Presiden ada juragan kapal.
Bisa jadi adu mulut makin sering dan seru di antara petinggi negeri. "BPK ngaco," kata
Gubernur. "Laporkan, dong," jawab Ketua BPK. Adu mulut terus bersambung, tak ada yang
coba menegur. Semua merasa benar dan semua merasa bersih, tapi hartanya muncul di
Panama Papers.

Maaf

SENIN, 25 APRIL 2016

"Maaf" tak pernah bisa dipisahkan dari ingatan, tapi mungkinkah ingatan bisa kekal?
Mungkinkah kita berbicara tentang "maaf" di luar sejarah?
Dalam Zert (Lelucon, The Joke), novel Milan Kundera, Ludvik ingin membalas sakit hati
atas perlakuan temannya di masa lalu, yang menyebabkan ia, hanya karena sebuah lelucon,
disingkirkan Partai Komunis yang berkuasa. Pembalasan itu berhasil, tapi yang terjadi tak
membuatnya bahagia. Ternyata ada "lelucon" lain: manusia terkecoh ketika menyangka
bahwa ingatan bisa kekal, dan terkecoh mengira kesalahan masa silam bisa dibereskan. Pada
akhirnya, tulis Kundera, dendam dan maaf "akan diambil alih oleh lupa".
Tentu tak selalu demikian. Lupa nyaris tak punya efek dalam Bharatayudha. Dalam kisah
perang besar itu, dengan dendam yang utuh, Bhima memenggal leher Dursasana dan
meminum darahnya, dan Drupadi mencuci rambutnya dengan darah itu pula. Waktu tak
menggerus sakit hati mereka kepada pangeran Kurawa itu, yang di malam pertandingan dadu
bertahun-tahun sebelumnya mencoba menelanjangi Drupadi di depan majelis.
Di luar cerita, di dalam sejarah, dendam juga masih utuh dalam, misalnya, riwayat Ken Arok
di abad ke-13 dan persengketaan orang Dayak dengan Madura di Sampit, Kalimantan
Tengah, di abad ke-21. Maaf ikut mati dalam bunuh-membunuh itu. Seakan-akan berlaku
prinsip pembalasan yang setimpal dari dalam Kitab Suci Taurat: lex talionis yang
menentukan "satu mata dibalas satu mata"--hukum yang juga didapatkan dalam UndangUndang Hammurabi di Mesopotamia 1.754 tahun sebelum Masehi.
Tak berarti kalimat itu selalu ditafsirkan secara harfiah, tapi ajaran-ajaran ethis yang
kemudian datang menyadari bahwa dendam yang destruktif bisa jadi sah di dalam lex talionis
itu. Yesus membalikkannya secara radikal. Ia mengajarkan agar kita sama sekali tak
membalas, bahkan membiarkan pipi kita yang satu dipukul lagi setelah pukulan di pipi lain.
Quran menegaskan bahwa Taurat memang mengajarkan Qasas, tapi bila kita bermurah hati
untuk tak memberlakukannya, perilaku buruk kita akan dihapuskan.
Hukum pembalasan pun diubah jadi pemaafan; siklus kekerasan dicoba dihentikan. Agaknya
disadari, lex talionis hanya akan menghancurkan masyarakat manusia. Satu dialog dalam
lakon musikal Fiddler on the Roof:
Orang dusun: Satu mata dibalas satu mata, dan sepotong gigi dibalas sepotong gigi.
Tevye: Bagus, bagus! Dengan demikian seluruh dunia akan buta dan ompong.
****
"Maaf" punya beragam cerita dan beberapa lapisan. "Maaf" yang dipertukarkan dalam
ucapan Lebaran (sering dengan pantun yang boyak) tak akan terasa sedalam "maaf" yang

diberikan Wolter Monginsidi kepada regu tembak Belanda beberapa menit sebelum ia
dieksekusi.
Maka apa arti permintaan maaf pemerintah sekarang--andai kata pemerintah setuju untuk
mengutarakannya--atas kekejaman pasca-1965?
Mula-mula, ada yang harus diurai.
Belum jelas mengapa pemerintah yang sekarang wajib minta maaf, atau mengapa Kepala
Negara hari ini, Joko Widodo--laki-laki yang baru berumur lima tahun ketika kekejaman di
pertengahan 1960-an itu terjadi--harus minta maaf untuk itu. Benarkah "Negara" yang
sekarang identik dengan "Negara" yang berkuasa pada 1966, dan sebab itu menanggung dosa
yang sama? Bisakah pendekatan legal semata-mata berlaku, yang melihat subyek, dalam hal
ini "Negara", sebagai identitas yang tak berubah?
"Negara", dalam pengertian Hegel, memang sebuah struktur di mana yang universal
menemukan wujudnya. Tapi bagi saya Marx lebih benar: "Negara" tak pernah bisa jadi wadah
bagi siapa saja, kapan saja. "Negara" selalu bersifat "partikular", hanya merupakan alat
kekuasaan kelas tertentu di ruang dan waktu tertentu. Bukan sesuatu yang kekal.
Bagi para pemikir setelah Marx, bahkan "Negara" bukan sesuatu yang siap. Ia sebuah proyek
untuk menertibkan situasi yang berlipat-lipat ragamnya, situasi yang, kata Badiou, mirip
"anarki sejati". Dalam "Negara" sebagai proyek penertiban, unsur dan bagian-bagian
diklasifikasikan, dan diberi sebutan, posisi, dan peran. Mungkin ia tampak utuh, tapi dalam
tersusunnya sistem itu selalu ada "bagian yang tak punya bagian". Dengan itulah sebuah
komunitas politik, sebuah "Negara", menjadi--sesuatu yang tak stabil dan mengandung
sengketa.
Kepala Negara meminta maaf? Untuk apa? Untuk kejahatan yang bukan kejahatannya, atas
nama Negara yang sebenarnya tak bisa diwakilinya?
****
Sejak 1945, dunia menyaksikan pelbagai adegan penyesalan, pengakuan, atau apologi. Dari
orang per orang sampai dengan kepala negara menyatakan minta "maaf" yang disiarkan
secara luas. Tapi tidakkah sebuah permintaan maaf kenegaraan, semacam upacara resmi,
hanya bagian dari perhitungan politik, strategi yang tersembunyi dalam (untuk memakai
ejekan Derrida) "komedi" permaafan?
Semua bukannya tak bermanfaat. Tapi Derrida, dalam Pardon, mengingatkan apa yang terjadi
bila "maaf" diberlakukan sebagai proyek politik, ketika "maaf" disertai syarat.
"Maaf" dengan syarat adalah seperti yang diberlakukan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran
di Afrika Selatan. Para pelaku kejahatan apartheid diberi amnesti bila mengungkapkan
sepenuhnya perbuatan yang mereka lakukan di masa lalu. Bagi Derrida, "maaf" macam ini
akhirnya berfungsi bukan sebagai maaf itu sendiri, melainkan sebagai jalan membangun dan
merawat sebuah bangsa. Dengan kata lain, "maaf" telah jadi sebuah "ekonomi pertukaran".

Memaafkan secara bersyarat juga menghadirkan sebuah hierarki. Yang memberi maaf dan
menetapkan syarat meletakkan diri di atas pihak yang diberi syarat dan akan diberi maaf.
Maaf bisa dibatalkan jika syarat tak dipenuhi. Faktor kekuasaan menonjol. "Apa yang
membuat 'aku maafkan' kadang-kadang memuakkan dan menjengkelkan, bahkan terasa tak
senonoh, adalah dikukuhkannya sebuah daulat dalam kata-kata itu," kata Derrida.
Memaafkan dengan sikap demikian pada akhirnya membalik kebrutalan semula: sang korban
dielu-elukan sedemikian rupa hingga si pelaku kejahatan direndahkan--dan akhirnya
membuat sang korban tak hadir sebagai korban, si penjahat tak terasa sebagai penjahat, dan
maaf hilang maknanya.
Tapi mungkinkah ada maaf yang tanpa syarat? Mungkin--betapa pun langkanya. Monginsidi,
pejuang gerilya Sulawesi Selatan itu, memaafkan regu tembak yang sebentar lagi mencabut
nyawanya. Sang korban tetap sebagai korban dan pembunuhan tetap sebagai pembunuhan,
namun sesuatu yang baru, yang luar biasa, tumbuh dari Monginsidi--dari yang diberikan
Monginsidi.
Hanya dengan mengacu kepada yang tumbuh itu, hanya memandang dan membandingkan
diri ke "maaf yang murni" itu, pelbagai "maaf" lain mendapatkan arti.
****
Tapi terlampau mudah berbicara tentang "maaf" ketika kita mengenang apa yang dilakukan
terhadap Sri Ambar, sebagaimana dikisahkan dalam Bertahan Hidup di Gulag Indonesia
yang ditulis Carmel Budiardjo tentang perempuan-perempuan yang ditahan rezim Soeharto
sejak 1966.
Sri Ambar seorang anggota SOBSI, serikat buruh pendukung PKI yang penting. Ia ditangkap
di awal Oktober 1965, hari bermulanya kekerasan dan kebuasan terbesar dalam sejarah
Indonesia modern. Ia dibawa ke sebuah tempat interogasi di Jalan Gunung Sahari, Jakarta.
Di hadapannya dihadirkan seorang teman yang mengkhianatinya dan membuka
penyamarannya. Tapi Sri Ambar tak sepatah kata pun mau mengaku. Penyiksaan pun mulai:
bersama si pengkhianat ia ditelanjangi dan dihajar. Malamnya mereka berdua diikat dan
digantung pada pohon. Ketika tetap saja Sri Ambar tak mau mengaku, Acep, perwira tahanan,
ambil tindakan yang lebih drastis: pantat kiri Sri Ambar ditikam. Darah muncrat ke manamana. Sri Ambar mencoba menutupkan kembali luka dengan tangannya. Acep pun
memerintahkan agar pisau dihunjamkan lagi ke pantat kanan Sri Ambar. Perempuan setengah
baya itu pingsan.
Ia siuman dua hari kemudian di rumah sakit militer. Luka-lukanya dijahit. Tapi tak lama
kemudian datang seorang dokter lain yang mengatakan jahitan lukanya harus dibuka. Dalam
kesakitan yang amat sangat, Sri Ambar mendengar dokter itu diperintah Markas Besar
Angkatan Darat.
Dan sebelum sembuh benar, ia dibawa kembali ke tempat interogasi. Di ruangan itu, ia
melihat dua anak perempuannya: mereka sedang dipukuli. Mereka ikut ditahan dan dipaksa

menceritakan siapa saja yang bertamu ke rumah mereka. Kedua anak itu menolak berbicara.
"Ibu jangan bilang apa-apa!" teriak kedua anak itu, "Biar kami tanggungkan ini!"
Dan Sri Ambar pun diam, menyaksikan kedua anaknya disiksa. Ia juga diam ketika kemudian
ibunya yang tua didatangkan ke ruang interogasi itu--ibu yang mengatakan bahwa Sri Ambar
memang anaknya dan bahwa ia akan melindunginya dengan risiko apa pun. Orang tua itu
segera jadi tahanan politik.
Bisakah "maaf" akan berlaku di sini? Bisakah Sri Ambar memaafkan? Berhakkah ia?
Hannah Arendt pernah mengatakan bahwa "maaf" seperti hukuman. Keduanya dimaksudkan
untuk mengakhiri sebuah kejahatan. Tapi ia juga mengakui ada yang tak terjangkau oleh
keduanya: "kekejian yang radikal"--kekejian yang sedemikian rupa hingga tak ada lagi
hukuman yang pantas. Itu berarti juga kekejian yang tak ada maaf yang bisa ditawarkan.
Maaf adalah bagian proses bersama di mana hidup manusia mungkin.
****
Pada pertengahan Maret 2000, Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia, sekaligus
seorang tokoh NU dari generasi yang mengalami sendiri apa yang terjadi di hari-hari
mengerikan dan penuh kekejaman pasca-1965, mengucapkan minta maaf kepada para
korban. Ia juga tak ingin menutupi bahwa banyak anggota NU ikut dalam pembantaian
orang-orang PKI atau yang dianggap PKI.
Dari seorang Gus Dur hal itu tak mengejutkan: sudah lama ia berhubungan dengan para eksil,
aktivis Kiri di Eropa; sudah lama ia dikenal sebagai seseorang yang membuka pikiran orang
banyak dengan berani.
Yang mengejutkan adalah reaksi Pramoedya Ananta Toer, yang disekap bertahun-tahun di
Pulau Buru dan ketika bebas jadi sebuah ikon tersendiri. Ia menolak permintaan maaf Gus
Dur. "Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur."
Saya masygul mendengar reaksi ini. Bagi saya, sikap Pram tidak tepat. Dan saya tak sendiri.
Sekitar dua hari sesudahnya saya bertemu dengan beberapa bekas tahanan politik di rumah
Oey Hay Djoen, tokoh Lekra, penerjemah Das Kapital. Saya sering ke rumah yang sejuk di
Cibubur itu. Hari itu kami--Amarzan Ismail Hamid, Hardojo, Joesoef Isak, Hay Djoen
sendiri--membicarakan apa yang dikatakan Pram.
Di satu bagian percakapan terdengar Hay Djoen berkata, seperti kepada dirinya sendiri: "Apa
hak moral kita untuk menolak memberikan maaf...."
Tiba-tiba dari kalimat yang lirih itu "maaf" punya arti yang sangat dalam. Hay Djoen,
sastrawan, aktivis PKI yang bertahun-tahun disekap dan disiksa, adalah suara yang bahkan
tak dibayangkan Derrida: pemberi maaf yang tak berbicara tentang syarat dan tak meletakkan
diri sebagai "sang korban" yang secara moral lebih tinggi dan lebih berdaulat.
Goenawan Mohamad

Meterai
SABTU, 23 APRIL 2016

Toriq Hadad, @thhadad

Jangan sekali-kali menyepelekan meterai. Lembaran mungil 32 mm x 24 mm itu ternyata bisa


membuat calon kepala daerah yang memilih jalur independen terpental dari arena pemilihan.
Aturan wajib meterai itu, yang sempat nongol dalam draf peraturan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) tentang pencalonan kepala daerah, barangkali layak masuk kisah Indonesiana. Ya,
kejadian begini agaknya hanya terjadi di negeri kita.
Kalau KPU terus memberlakukan wajib meterai itu untuk setiap surat dukungan bagi calon
independen, artinya "kesaktian" benda kecil tersebut--yang sebenarnya merupakan pajak-sudah melebihi kartu tanda penduduk atau dokumen apa pun. KPU ternyata tak diam, cepat
tanggap dan mengubah aturannya. Komisi itu responsif terhadap kritik. Wajib meterai bagi
surat dukungan perorangan diganti: meterai hanya perlu untuk setiap bundel surat dukungan
dari setiap desa atau kelurahan.
Lebih baik? Jelas tidak. Fungsi dan kegunaan meterai untuk setiap bundel desa atau
kelurahan itu semakin tak jelas. Misalnya dalam satu bundel yang isinya seribu surat
dukungan itu ada satu atau dua surat dukungan palsu, apakah seribu surat dukungan yang
terikat satu meterai tersebut akan dibatalkan semua? Tentu tidak mungkin. Lalu, kekuatan
hukum semacam apa yang diharapkan KPU hadir dari pembubuhan meterai per desa itu?
Barangkali kekisruhan ini bermula dari pemikiran bahwa surat dukungan untuk calon
independen itu merupakan "surat perjanjian" atau "surat kontrak" antara pemilih dan calon
kepala daerah jalur independen. Seakan-akan ada ikatan di antara dua pihak yang hendak
dijaga dengan pencantuman segel. Dengan cara pandang semacam ini, meterai sepertinya
dipakai untuk alat pembuktian perkara perdata ketika salah satu dari kedua pihak menyalahi
"surat perjanjian".
Saya pikir surat dukungan bukanlah perjanjian yang mengikat. Kedua pihak tidak saling
kenal secara pribadi. Ini hubungan antar-orang atas dasar kesamaan gagasan tentang
bagaimana sebuah daerah akan dikelola. Hubungan itu tanpa ikatan dan tanpa syarat.

Misalnya, katakanlah sekarang saya mendukung Basuki sebagai Gubernur Jakarta. Kalau di
tempat pemungutan suara nanti saya memilih calon yang lain, itu sepenuhnya hak saya.
Basuki tak akan pernah tahu soal perubahan pilihan saya, dan tak boleh tahu karena asas
rahasia dalam pilkada. Saya pun tak bisa dihukum secara perdata karena "ingkar janji" atau
"wanprestasi" lantaran tak memilih Basuki. Lalu, apa yang hendak diikat oleh sehelai meterai
dalam hubungan selonggar ini?
Mungkin KPU hendak mencegah pemalsuan dukungan. Kalau itu maksudnya, meterai juga
tak berarti apa-apa. Soalnya, KPU akan melakukan verifikasi atas surat dukungan bagi calon
independen satu per satu. Itu kerja berat: satu per satu pendukung calon independen akan
didatangi dan diperiksa identitasnya. Dengan seleksi sangat ketat itu, pembubuhan meterai
jelas tak perlu lagi, dan hanya menambah beban biaya pendukung calon independen.
Tentu KPU tidak bermaksud jahat. Tapi setiap niat baik tidak harus semua dimasukkan dalam
aturan. Untuk menjaga pendukung calon independen dari anasir-anasir komunis, misalnya,
tak perlulah dimintai surat bebas G-30-S/PKI. Untuk menjaga agar pendukung tidak
memberikan dukungan dalam keadaan teler, tak perlu meminta surat bebas narkoba. Agar
rumah tangga pendukung terjaga keharmonisannya, KPU jangan sampai meminta persetujuan
suami atau istri untuk pasangan yang mendukung calon independen.
Ada kawan yang nyeletuk: untuk pilih calon independen tidak perlu juga akta notaris, tak
perlu ijazah kursus menyetir terakreditasi, apalagi ijazah akuntansi bond A dan bond B....

tuhan
Senin, 02 Mei 2016

Tuhan semakin banyak....


Sajak-sajak Mustofa Bisri tak pernah dibangun dari statemen yang marah. Puisi itu bahkan
bisa kocak. Lebih sering bait-baitnya gundah-kegundahan yang menarik: seorang alim
melihat keadaan rumpang di sekitarnya tanpa ia merasa jadi lebih suci dari sekitarnya itu.
Tiap kali sajak penyair dan kiai dari Rembang ini mengandung kritik sosial, tiap kali ia serasa
ditikamkan ke satu bagian hidupnya sendiri.
"Tuhan semakin banyak" mengemukakan satu paradoks zaman ini: makin sering Tuhan
dipajang di pelbagai laku dan kata-kata, makin jauh Ia dari bumi. "Aku" manusia telah
menggantikan-Nya:
Di mana-mana tuhan, ya Tuhan
Di sini pun semua serba tuhan
Di sini pun tuhan merajalela
Memenuhi desa dan kota
Mesjid dan gereja
Kuil dan pura
Menggagahi mimbar dan seminar

Kantor dan sanggar


Dewan dan pasar
Mendominasi lalu lintas
Orpol dan ormas
Swasta dan dinas
Tuhan pun jadi "tuhan" (dengan "t"): bukan saja hanya jadi salah satu dari wujud di dataran
benda-benda, tapi juga hanya sebuah bunyi yang diulang-ulang. Tuhan jadi banal. Iman jadi
otomatik. Bersamaan dengan itu, "Aku" manusia menggantikannya dalam posisi di depan.
Khutbahku khutbah tuhan!
Fatwaku fatwa tuhan!
Lembagaku lembaga tuhan
Jama'ahku jamaah tuhan!
Keluargaku keluarga tuhan!
Puisiku puisi tuhan!
Kritikanku kritikan tuhan!
Darahku darah tuhan!
Akuku aku tuhan
Tentu saja ada perbedaan yang radikal antara "Akuku aku tuhan" di akhir sajak itu dengan
ekspresi mistik manunggaling kawula gusti. Pengalaman seorang sufi adalah pertalian cinta;
sajak Mustofa Bisri menunjukkan sebaliknya: Tuhan dipasang sebagai alat, mirip stempel.
Dan puisi ini mencatatnya dengan masygul.
Tuhan yang "semakin banyak" yang disebut Mustofa Bisri agaknya seperti dewa-dewa
Yunani dalam Iliad: mereka ikut mengintervensi dan bertikai dalam hampir tiap babakan
Perang Troya. Atau mungkin yang terjadi sebaliknya: dalam perang yang bengis itu, para
pelakunya ingin memindahkan tanggung jawab dan kesalahan kepada kekuatan di luar diri
mereka--kekuatan yang digambarkan sebagai mutlak dan bebas dan bisa berbuat tak semenamena. Dan itulah dewa-dewa mitologi Yunani.

Roberto Calasso, yang beberapa novelnya adalah tafsir baru atas mitologi, menulis dalam La
letteratura e gli dei ("Sastra dan Para Dewa") bahwa sastra dapat merupakan siasat halus
untuk membawa dewa-dewa lepas dari tempat mereka yang aman, bersih, dan kekal--dari
"klinik universal" (clinica universale) mereka. Sastra "mengembalikan mereka ke dunia,
untuk diserakkan ke permukaan bumi, tempat mereka biasanya berdiam".
Dengan kata lain, sastra, karena tak meletakkan diri sebagai Kitab Suci, bisa membuat yang
sakral jadi bagian hidup sehari-hari, bersentuhan dengan segala macam hal, termasuk yang
terbuang, najis, dan kurang patut. Tapi biarpun terserak di seantero muka bumi, yang suci
tetap tak jadi profan dan banal, selama ia tak dijadikan alat manusia seperti "tuhan" dalam
sajak Mustofa Bisri.
Ada sebuah petuah agar kita membuat iman ibarat garam: sesuatu yang tak tampak namun
meresap memberi corak, membubuhkan rasa tanpa berlebihan, dan sebab itu tak membuat
berat atau heboh dalam perjalanan.
Novel Ahmad Fuadi, Negeri Lima Menara, adalah contoh yang baik bagaimana iman
selamanya hadir tak kurang dan tak berlebihan--dan sebab itu tak berbenturan dengan
kehidupan, bahkan ketika kehidupan berpindah dan berubah.
Novel ini sebuah rekaman rite of passage Alif Fikri, seorang anak muda Sumatera Barat. Ia
selalu murid yang pintar sejak di madrasah tsanawiyah di Kabupaten Agam sampai dengan
ketika ia belajar di Pondok Gontor, Jawa Timur. Ia sebenarnya ingin masuk SMA, tapi pesan
amaknya yang ia cintai menahannya untuk tetap berada di jalur pendidikan agama. Sesekali
ada kebimbangan, tapi Alif Fikri menyukai kehidupan di pesantren itu--yang sebenarnya tak
terpisah dari Indonesia yang "modern". Di sana ia juga bertemu dengan fragmen-fragmen
dunia lain. Ia tak gentar mengalami beda dalam dirinya. Pesan Kiai Rais selalu dikenangnya:
"Jangan berharap dunia yang berubah, tapi diri kitalah yang harus berubah."
Maka dalam novel ini tak terasa ada guncangan dan krisis, ketika kesalihan kota kecil
Indonesia bertaut dengan modernitas "Barat". Awal cerita di dekat Gedung Capitol yang
diselimuti salju di Washington, DC; akhir cerita: di bawah monumen Nelson di Trafalgar
Square, London. Negeri Lima Menara dibuka dengan kata-kata Imam Syafi'i di abad ke-8
yang diajarkan kepada para murid Pondok Gontor: "Aku melihat air menjadi rusak karena
diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih...."
Yang dirayakan gerak dan perjalanan. Tuhan sudah dengan sendirinya menyertai, tanpa,
dalam kata-kata Mustofa Bisri, "mendominasi lalu lintas".

Goenawan Mohamad

Mandalika
SENIN, 09 MEI 2016

Hidup sama sekali tak mudah bagi Maryam--dan agama tak menolongnya. Bahkan
sebaliknya. Dalam hidup tokoh novel Okky Madasari ini, agama menghimpun tiga anasir
represif terhadap hidupnya: orang tua yang menekan anak-anaknya, laki-laki yang
diutamakan di atas perempuan, dan doktrin yang membuat orang-orang terikat dan kemudian
bermusuhan. Di bawah tekanan semua itu, kebaikan menjauh.
Maryam mencoba melawan itu--dengan setengah diam.
Menjelang akhir novel ("Maret 2006"), seorang bayi perempuan lahir. Maryam dan suaminya
yang baru, Umar, penuh harap. Mereka menamai anak itu "Mandalika"--nama yang diambil
dari legenda lokal. Bukan nama Arab, kata Maryam. Bukan seperti ayah dan ibunya.
Bagi Maryam, itu langkah awal sekaligus paling mudah untuk menjauhkan anaknya dari
segala kepedihan yang dialami keluarganya. "Biarlah anak ini jauh dari agama tapi dekat
dengan kebaikan," katanya, berulang kali.

"Jauh dari agama tapi dekat dengan kebaikan"--agaknya ini ungkapan penampikan yang bisa
membuat orang terenyak (tapi tak terelakkan) dan membuat novel Maryam unik dalam karya
sastra Indonesia terakhir, di masa ketika agama, khususnya Islam, hadir kuat di mana-mana.
Maryam lahir dan dibesarkan di Desa Gerupuk, di pantai selatan Lombok. Ia generasi ketiga
pengikut Ahmadiyah. Mula-mula Komunitas Ahmadi hidup berdampingan dengan penduduk
muslim yang lain. Tapi bukannya tanpa ketegangan--dan sebagaimana dikisahkan novel ini,
ada ketegangan membisu yang merayap ke dalam hidup Maryam.
Sebagaimana dalam komunitas iman yang lain, di sini juga para penganut membentuk
lingkaran tertutup, dengan tembok yang mudah mengeras. Sejak remaja Maryam berusaha
hidup dalam lingkaran itu dengan tertib, atau lebih tepat: dengan ketakutan. Terutama dalam
berhubungan dengan laki-laki: ketika cinta tumbuh antara orang Ahmadi dan bukan Ahmadi,
hubungan lebih jauh akan terancam. Komunitas di kedua pihak akan merintangi itu, dan
konflik terjadi.
Maryam ikut menanggungkannya.
Ia jatuh cinta kepada Gamal, sesama Ahmadi, tapi gagal: Gamal membelot dari keyakinan
keluarganya. Maryam pindah ke Jakarta, bekerja di sebuah bank. Ia bertemu dengan Alam,
yang bukan penganut Ahmadi. Mereka saling jatuh cinta dan siap menikah, tapi calon
mertuanya berkata: "Suami adalah imam seorang isteri. Ketika sudah menikah nanti, isteri
harus mengikuti suaminya, menuruti suaminya, apalagi dalam soal beragama." Sebaliknya
ibu Maryam bertanya kepada Alam: "Apa itu berarti Nak Alam sudah siap menjadi seorang
Ahmadi?"
Orang-orang tua melindungi, tapi juga menguasai dan menekan anak-anak mereka. Orangorang tua dilindungi ajaran mereka, tapi sebenarnya dikuasai sepenuhnya.
Maryam, mungkin karena ia seorang perempuan, merasakan tekanan yang lebih--maka lebih
pula resistansinya. Ia letakkan pikirannya dalam semacam isolasi. Ia mencoba lupa. Kadangkadang ia berpikir, "Ia hanya Ahmadi ketika sedang berada di tengah-tengah pengajian
Ahmadi."
Tapi pernikahan Alam dan Maryam tak sampai berumur lima tahun. Mereka tak kunjung
punya anak. Orang tua Alam mendesak, dan dalam keadaan kesal, Maryam merasa bahwa
orang tua itu menyalahkannya karena ia pernah "sesat". Ia pun meninggalkan Alam, dan
kembali ke Lombok, ke keluarganya sendiri.
"Sesat" adalah kata yang ganas. Itu pula yang menyebabkan masyarakat Islam di Gerupuk,
yang menganggap Ahmadiyah "sesat", pada suatu hari--setelah mendengar khotbah yang dulu
tak pernah mereka dengar--mengusir tetangga mereka. Mereka melempar batu ke genting dan
kaca jendela orang Ahmadi, merusak pagar dengan parang dan cangkul. Akhirnya 17 rumah
dibakar, dengan ultimatum: kaum Ahmadi harus meninggalkan iman mereka atau hengkang.

Keluarga Maryam terusir. Bahkan ketika ayahnya meninggal karena kecelakaan lalu lintas, ia
tak boleh dimakamkan di desanya sendiri.
Apa yang dibawa agama: kebaikan? Atau ganasnya kata "sesat"? Apa yang dibawa iman
bersama: ketenangan? Atau desakan yang menghilangkan kebebasan memilih?
Maryam kembali ke komunitas Ahmadiyah yang harus hidup di pengungsian. Ia memprotes
pejabat negara yang tak melindungi orang-orang yang dianiaya itu, yang selama enam tahun
terpaksa menempati kamar-kamar sempit di Gedung Transito. "Kami hanya ingin pulang."
Dalam arti tertentu, Maryam pulang: dari lupanya akan asal-usul. Tapi ia tak kembali. Ia
diam-diam merestui adiknya, Fatimah, meninggalkan komunitasnya untuk menikah dengan
"orang luar". Dengan demikian, ia mengatasi demarkasi yang bernama agama, sambil
menunggu kelahiran Mandalika.
Mandalika, dalam legenda Lombok Selatan itu, putri raja yang mengorbankan diri untuk
mencegah permusuhan. Ia, yang diperebutkan, menenggelamkan diri di laut. Tapi, kata
sahibulhikayat, ia datang kembali setahun sekali saat purnama, dalam wujud cacing-cacinghewan yang dianggap menjijikkan--untuk menyuburkan tanah. Tanah siapa saja.

Goenawan Mohamad

YY
SABTU, 07 MEI 2016

Putu Setia

Hari libur panjang ini, Anda pergi ke mana? Mengunjungi desa mungkin lebih baik, apakah
itu kampung halaman Anda sendiri atau kampung orang lain yang sudah jadi tujuan wisata.
Desa sudah demikian maju.

Para remaja desa suka nongkrong di tempat tertentu, misalnya di depan minimarket yang
sekarang bertebaran di desa. Sampai larut, karena "pasar modern" itu buka 24 jam. Tapi coba
perhatikan, jarang ada obrolan di antara mereka. Masing-masing sibuk dengan handphonenya. Entah buka Facebook atau memelototi YouTube. Semuanya aplikasi gratisan,
minimarket pun menyediakan Wi-Fi gratis.
Di desa saya, mungkin juga di desa Anda, anak-anak sekolah dasar sudah akrab dengan
YouTube, sampai-sampai bahasa Indonesianya berbau Malaysia, saking keranjingan nonton
Ipin Upin. Adapun siswa sekolah menengah demam Facebook. Mereka punya komunitas
sendiri, berbagi obrolan, berbagi foto, berbagi pengalaman.
Internet murah sudah masuk desa. Handphone buatan Cina cukup ditebus dengan sejuta
rupiah, setara dengan sekarung kopi basah. Paket internet Rp 10 ribu sebulan sudah dapat 3
GB (gigabyte), dan itu tersisa karena Wi-Fi gratis ada di banyak tempat. Mereka sangat
dimanjakan oleh internet murah, mereka asyik dengan dirinya dan khayalannya sendiri.
Celakanya, khayalan itu bisa jauh dari dunia yang normal, di mana sopan santun dan etika
diajarkan para leluhur. Lewat internet, tersaji banyak adegan kekerasan, juga adegan
pornografi. Situs porno boleh saja diblokir, tapi adegan porno yang diunggah seseorang lewat
video pendek di Facebook, Instagram, Line dan sebagainya, siapa yang memblokir?
Dan tiba-tiba kita dihebohkan oleh kabar seorang gadis 14 tahun, sebut saja YY, yang
diperkosa sampai meninggal. Pemerkosanya ada 14 orang, ya Tuhan, tujuh di antaranya
masih tergolong anak di bawah umur, dan semuanya warga desa setempat, teman YY sendiri.
Ini kejadian di Rejang Lebong, seratus kilometer lebih dari Kota Bengkulu.
Saya tak mengatakan bahwa ini pengaruh internet. Apalagi tak ada kabar yang menyangkutpautkan hal itu dengan kepornoan dunia maya. Bahwa para pemerkosa awalnya minum tuak,
saya pun tak terlalu bersemangat membawa kasus itu ke arah perbuatan orang mabuk. Saya
lebih tertarik untuk bertanya kenapa ada sekelompok remaja memperkosa temannya sendiri
sampai tewas? Setan mana yang memasuki jiwa mereka?
Pastilah keakraban sosial sudah hilang. Mungkin orang sibuk "berkomunikasi semu dalam
diam" lewat internet. Karang Taruna, atau apa pun nama organisasi para pemuda di desa,
sudah kehilangan tempat untuk bercanda. Lapangan voli berubah menjadi "pasar modern",
lapangan sepak bola di kecamatan menjadi ruko dan di kota menjadi mal. Kementerian
Olahraga mencanangkan di setiap desa ada lapangan sepak bola, tapi itu baru teori. Seribu
pasar tradisional akan direhab, itu juga baru mulai, sementara "pasar modern" sudah ada di
selepas tikungan.
Jika tempat bersosialisasi sudah tak ada, yang tinggal adalah rasa asing dan makin tipis
kepekaan kepada sesama warga. Jangankan saling membantu di antara orang yang kesusahan,
berbuat buruk pun makin gampang. Tak ada lagi teman, yang ada adalah seseorang yang bisa
dijadikan sasaran melampiaskan khayalan.

Pemerkosa YY layak dihukum berat. Jika perlu, dikebiri--sementara kita tahu usianya belum
17 tahun, masih ada harapan berbuat baik dan melahirkan keturunan. YY milik kita,
kepedihannya milik kita. Ya betul, kita tak ingin ada lagi YY yang lain, dan mari nyalakan
lilin, bukan cuma untuk YY, tapi juga untuk membuat terang kegelapan yang menimpa anakanak kita.

Pasteurisasi atau Sterilisasi PSSI?


RABU, 11 MEI 2016

Eddie Ellison

Utusan pemerintah, Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia, Erick Thohir, dan Ketua
Komite Ad Hoc Reformasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Agum Gumelar,
telah menemui Presiden FIFA Gianni Infantino di Zurich, Swiss, akhir April lalu. Mereka
melaporkan hasilnya kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno bahwa FIFA menghendaki
Indonesia untuk segera melaksanakan kongres luar biasa (KLB) PSSI. Menteri Olahraga
Imam Nahrawi menyatakan FIFA merekomendasikan KLB digelar dalam waktu maksimal
tiga bulan ke depan.
Rekomendasi FIFA tersebut disampaikan melalui surat resmi yang ditujukan kepada
Mensekneg dan ditandatangani Acting Sekretaris Umum FIFA Markus Kattner, hanya
beberapa saat setelah Erick dan Agum selesai bertemu Infantino.
Bahwa FIFA cepat memberi reaksi tentunya karena Erick membawa serta empat lembar
kertas berisi laporan tentang persepakbolaan nasional yang secara harfiah sesuai dengan
pandangan pemerintah. Selain itu, "keputusan" FIFA tentang PSSI perlu ada agar masalah
Indonesia tidak perlu lagi dibahas dalam Kongres FIFA yang akan dilaksanakan pada 11-13
Mei 2016 di Meksiko.
Pemerintah mengirim utusan ke FIFA jelas sebagai usaha menyelesaikan masalah
persepakbolaan nasional setelah PSSI secara administrasi dibekukan sejak 17 April 2015 dan
"banned" FIFA pada akhir Mei 2015 dengan tuduhan, seperti dilaporkan PSSI, pemerintah
mengintervensi PSSI dalam larangan BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) terhadap
klub Arema Cronus dan Persebaya untuk ikut serta pada Kompetisi ISL 2015. Kedua klub
tersebut tidak lulus rekomendasi BOPI karena melanggar undang-undang/peraturan negara
dalam perkara kepemilikan.
Dengan terbitnya rekomendasi FIFA kali ini, tentunya PSSI tidak perlu berdalih untuk
melaksanakan kongres tahunan, yang seharusnya dilaksanakan Januari untuk
pertanggungjawaban kerja 2015 dan menyusun program kerja 2016. Masalahnya, siapa yang
akan melaksanakan KLB dan kapan? Menurut Statuta FIFA/PSSI, pelaksananya adalah PSSI.
Namun, ada yang menafsirkan, yang mengacu pada rekomendasi FIFA yang ditujukan kepada
Mensekneg, ini artinya FIFA meminta pemerintah yang melaksanakannya atas seizin FIFA.
Bagi masyarakat luas, bahkan Presiden Joko Widodo, siapa pun yang akan menjadi pelaksana
KLB bukanlah masalah, asalkan temanya satu: perubahan total tata kelola persepakbolaan
nasional. Reformasi total itu jelas menyangkut berbagai jenis sektor. Salah satu di antaranya,
seperti disampaikan Menpora, pengurus PSSI yang akan datang jangan lagi berisi para
politikus. Ada pula beberapa pihak yang menginginkan agar Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI
tidak menjadi anggota/voter PSSI lagi.
Berlandaskan sejarah kelahiran PSSI, Asprov difungsikan kembali sebagai komisariat daerah
(komda) yang mengendalikan pelaksanaan kompetisi perserikatan. Apalagi dalam statuta
FIFA jelas disebutkan bahwa anggota dalam setiap asosiasi negara adalah klub, bukan
asosiasi daerah.

Mengenai masalah reformasi total, seperti yang dicanangkan Presiden Jokowi, saya
menyampaikan dua jenis: "pasteurisasi" atau "sterilisasi". Meminjam istilah yang digunakan
dalam makanan atau minuman, (maklum sepak bola saat ini bagaikan "makanan" rakyat),
"pasteurisasi" adalah proses pemanasan makanan untuk membunuh organisme yang
merugikan, seperti bakteri dan protozoa.
Dalam konteks reformasi PSSI, ini berarti KLB harus dapat memutuskan untuk membongkar
habis kepengurusan yang sekarang dan menggantinya dengan orang-orang yang integritas
sepak bolanya terjamin murni, tidak cari nama, cari panggung atau bahkan "cari hidup".
Dengan demikian, meskipun untuk mengikis habis permafiaan tidak mudah dilakukan,
setidak-tidaknya harapan masyarakat untuk melahirkan sepak bola bersih dapat terpenuhi
secara bertahap.
Adapun "sterilisasi" adalah mengurangi jumlah kandungan patogen sampai kondisi aman
agar tidak berpotensi menimbulkan penyakit baru. Dalam hal ini KLB dapat melakukan
verifikasi khusus terhadap tokoh-tokoh sepak bola nasional, baik yang masih duduk sebagai
pengurus PSSI maupun yang di luar PSSI tapi aktif dan potensial dalam persepakbolaan
nasional, tanpa pamrih. Nah, terserah peserta KLB mau pilih yang mana.
Suatu hal yang pasti, KLB sangat bergantung pada aspirasi dan kesadaran 108 anggotanya
(pemilik suara). Apakah sudah puas dengan kondisi yang sekarang, setelah digulirkannya
turnamen jangka panjang Indonesia Soccer Championship sejak 29 April lalu oleh operator
PT Gelora Trisula Semesta? Atau, konsekuan dengan pernyataan di depan Presiden Jokowi
ketika diterima di Istana Merdeka beberapa waktu lalu, yang dengan suara kur berteriak
"setuju!" saat Presiden menyebut kata "KLB"?

Rismaharini

SABTU, 14 MEI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Tiga tahun lalu, di bulan September, saya menulis di rubrik ini tentang Risma, Wali Kota
Surabaya. Saya kagum dan memujinya. Risma menampilkan gaya pemimpin berbeda. Ia ikut
mengatur lalu lintas ketika macet dan memungut sampah di jalanan. Di mobilnya ada sapu,
ember, plastik tempat sampah. Bukan buah dan camilan seperti yang biasa ada di mobil
pejabat.
Padahal saat itu Risma lagi galau dan "kurang cocok" dengan wakilnya, Wisnu Sakti Buana,
politikus yang menjabat Ketua PDIP Surabaya. Wisnu didapuk menjadi wakil wali kota
karena pejabat sebelumnya, Bambang Dwi Hartono, mengundurkan diri. Risma dan Wisnu
"musuh dalam selimut", perbedaannya tajam, baik soal kebijakan--misalnya soal jalan tol
dalam kota--maupun gaya kepemimpinan. Namun menjelang pilkada serentak 2015,
keduanya dibuat "akur mendadak". Popularitas Risma melonjak karena prestasinya yang luar
biasa. Paket ini dicalonkan kembali dan meraup suara di atas 82 persen, bahkan nyaris
sebelumnya menjadi calon tunggal. Tak ada yang berani melawan Risma.
Sekarang Risma dalam sorotan dan saya menulis namanya lebih lengkap, Rismaharini,
melihat Risma hari-hari ini. Ia dibuatkan spanduk di Jakarta untuk dijadikan calon gubernur
melawan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Tidak jelas siapa yang membuat spanduk itu,
PDIP mengaku tak tahu-menahu. Namun tak bisa disembunyikan, petinggi partai banteng itu
tidak ragu mengusung Rismaharini. Bagi mereka, hanya Rismaharini yang bisa menang
melawan Ahok. Bahwa Rismaharini tak ikut dalam uji kelayakan calon-calon gubernur
Jakarta, ada alasan yang dijadikan pembenar: calon yang diusung PDIP adalah hak prerogatif
Ketua Umum Megawati. Rismaharini tak boleh menolak, karena ia sudah menjadi kader
partai dan itu adalah "penugasan partai".
Hari ini saya tetap kagum kepada Rismaharini karena ia "melakukan pembangkangan".
Berkali-kali ia menyebutkan tak rela meninggalkan Surabaya, karena ia berjanji tetap menjadi
wali kota sampai akhir masa jabatannya. Ia tak ingin mengkhianati janji itu. Namun saya
menduga Rismaharini yang sudah jadi kader partai berbeda dengan Risma yang polos saat ia
pegawai daerah di awal jabatannya pertama. Sekarang mungkin ia bisa mencium "aroma
politik".
Apakah dukungan yang menggebu untuk mencalonkan Rismaharini sebagai calon Gubernur
Jakarta bukan sebuah jebakan? Jebakan itu adalah "pelengseran halus" agar ia berhenti jadi
Wali Kota Surabaya. Ada yang mengincar jabatan itu. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pemilihan Kepala Daerah dalam Pasal 7 huruf (t) mengatur bahwa anggota Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta pegawai negeri sipil,
harus mengundurkan diri dari jabatannya sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah.
Memang undang-undang itu hendak direvisi lagi dan DPR bernafsu agar yang mengundurkan

diri hanyalah anggota TNI dan polisi, pejabat lain hanya cuti. Belum tentu pasal ini akan lolos
direvisi.
Jika pasal itu tetap, Rismaharini harus mundur sebagai wali kota begitu ia didaftarkan sebagai
cagub DKI Jakarta. Tentu ada yang "mendapat durian runtuh" di Surabaya. Jika pasal itu
berhasil direvisi DPR, Rismaharini bisa menanggung malu jika kalah melawan Ahok. Ia
kembali menjabat wali kota dengan menyandang status pecundang, barangkali pula ditambah
julukan "kemaruk jabatan". Ini beban negatif. Rismaharini tahu, mengalahkan Ahok ibarat
berjudi.
Saya ingin Rismaharini tetap pada suara hatinya, selesaikan jabatan di Surabaya, lalu
bertarung untuk menjadi Gubernur Jawa Timur. Ini politik, siapa tahu ada jebakan batman.

Almansor
SENIN, 16 MEI 2016

"Betapa dalam kau terpuruk, wahai Granada!"


Dalam Almansor, tragedi karya Heinrich Heine, Almansur bin Abdullah pulang ke Granada
dari pengasingan. Ia kembali ke kastil masa kecilnya: bangunan itu masih tetap di atas tanah
"yang tua dan tercinta", dengan lantai yang dilapisi permadani berwarna-warni; pilar-pilar
marmar itu setia bertahan. Almansur merasa betah kembali. Tapi ada yang membuatnya
waswas. So heimisch ist mir hier, und doch so ongstlich. Kehidupan telah berubah. Kerajaan
Islam Spanyol, terlena dalam kegemilangannya sendiri, jatuh, direbut kekuasaan Katolik di
bawah Ratu Isabella dan Raja Ferdinand.
Dan Granada terpuruk. Tak ada lagi kemerdekaan menjalankan agama seperti dulu, ketika
orang Islam, Kristen, dan Yahudi hidup bersama dan bertukar peradaban. Di awal lakon,
Almansur berjumpa kembali dengan Hassan, pelayan keluarga Abdullah yang dulu
mengasuhnya. Mereka saling menceritakan keadaan yang muram.
Ribuan muslim "merundukkan kepala agar dibaptis" dalam ketakutan, kata Almansur. Di
masa itu, seorang pejabat tinggi Gereja dan Kerajaan, "Ximenes yang mengerikan" (der
furchtbare Ximenes), dengan disaksikan khalayak di tengah pasar melemparkan Quran ke api
unggun.
Hassan mendengarkan semua itu dengan masygul, tapi ia tampak tak terkejut. Ia
mengucapkan satu kalimat seperti meramal: "Di mana mereka bakar kitab-kitab, di sana
mereka akhirnya bakar manusia."
"Ximenes" dalam tragedi Heine adalah Gonzalo Jimenez de Cisneros, pejabat tinggi Gereja
dan kepercayaan Ratu Isabella. Tokoh sejarah Spanyol yang hidup antara 1436 dan 1517 ini
adalah padri yang keras kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain--apalagi orang lain dari
iman yang lain.
Ia tak tergoda kemewahan; pada usia di atas 40 tahun ia bergabung ke dalam Ordo Fransiskan
dan membiasakan diri tidur di tanah tanpa alas, melipatgandakan puasa, dan mengenakan

kain yang dianyam dari surai kuda. Tapi dengan kekuasaan dan keyakinan akan keunggulan
imannya, ia memaksa para biarawan yang sudah ditahbiskan untuk hidup selibat, menetap di
paroki, dan bekerja penuh. Ketika ketentuan ini dikenakan lebih ketat dan lebih luas, 400
rahib mengungsi ke Afrika--dan masuk Islam.
Bagi Cisneros, Islam dan Yahudi iman yang sesat. Pada 1492, di awal ia jadi pastor Ratu
Isabella, "Maklumat Pengusiran" diumumkan. Sekitar 200 ribu orang Yahudi terpaksa jadi
Kristen; puluhan ribu yang lain diusir. Tak berhenti di situ. Cisneros memaksa ribuan
Mudjares, muslim yang hidup di wilayah Kristen, berpindah agama--meskipun dengan
demikian ia melanggar perjanjian Alhambra ketika Ferdinand dan Isabella mengambil alih
kekuasaan Islam. Ketika penduduk muslim berontak dan dikalahkan, Cisneros memberi
mereka ultimatum: masuk Kristen atau diasingkan. Sebagian besar, seperti disebut Heine
dalam Almansor, "merundukkan kepala untuk dibaptis", "menggenggam erat salib, dalam
ketakutan akan mati".
Dan seperti tersebut dalam tragedi itu, buku pun dibakar. Sekitar 5.000 judul karya penulis
dan pemikir Islam dimusnahkan dalam api. Kemudian manusia. Tercatat, sejak 1481, Gereja
Katolik Spanyol membakar hidup-hidup 31.912 orang yang dianggap sesat iman. Dalam
jumlah itu, ada 3.564 yang dihanguskan dalam api auto-da-fa atas keputusan "Ximenes yang
mengerikan".
Heine, sastrawan Jerman di abad ke-19, tentu saja menggubah Almansor dari petilan-petilan
sejarah itu--dan dengan gambaran yang negatif tentang rezim "Ximenes". Yang tak
diduganya: kalimat yang diucapkan tokoh Hassan akan jadi semacam peringatan dari masa ke
masa--terutama setelah di abad ke-20, Jerman memunculkan Hitler dan Gerakan Nazi dan
ribuan buku dibumihanguskan. Pada 10 Mei 1933, misalnya, mahasiswa pendukung Nazi
membakar habis 35 ribu jilid buku yang isinya dianggap "tak bersifat Jerman": dari
Marxisme sampai dengan buku seni rupa mutakhir, dari yang dianggap "liberal" sampai
dengan yang dianggap "ilmu palsu", yaitu Darwinisme. Kemudian kamp konsentrasi
didirikan dan ribuan orang Yahudi dan lain-lain dimatikan.
Di Indonesia juga pernah orang membakar buku dan membunuhi manusia. "Demokrasi
Terpimpin" Sukarno melarang risalah Bung Hatta Demokrasi Kita, semua novel Takdir
Alisjahbana, Mochtar Lubis, dan lain-lain, juga semua puisi para penulis yang
menandatangani "Manikebu". Di bawah "Orde Baru" Soeharto, apa saja buku yang dianggap
"komunis" diberangus, bukan hanya novel Pramoedya Ananta Toer. Kekerasan dan supremasi
kekuasaan jadi pola, makin lama makin menajam.
Menarik bahwa kejahiliahan ini berulang, justru di bawah Republik yang berbeda-beda yang
saling menyalahkan. Tampaknya belum juga disadari, bila kata tak bisa dipakai untuk
berbicara, orang akan pelan-pelan saling mematikan dengan kedegilan. Hassan dalam
Almansor benar.

Goenawan Mohamad

Bukan Prioritas Soeharto Pahlawan


KAMIS, 19 MEI 2016

Partai Golkar tampaknya tak pernah surut memperjuangkan pemberian gelar pahlawan
nasional kepada bekas presiden Soeharto. Dalam penutupan Musyawarah Nasional Luar
Biasa Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, Rabu lalu, usul itu menjadi keputusan dan pekerjaan
rumah bagi Ketua Umum Partai Golkar yang baru, Setya Novanto. Sejatinya, kontroversi
gelar pahlawan nasional untuk Presiden RI kedua itu bukan sekali ini terjadi.
Setelah Soeharto meninggal dunia pada Januari 2008, sejumlah politikus dari Partai Keadilan
Sejahtera dan Partai Golkar ramai-ramai mengajukan penguasa Orde Baru itu sebagai
pahlawan nasional. Usul tersebut membumbui euforia pemberitaan tentang berpulangnya
"Bapak Pembangunan" itu dengan segala jasa-jasanya.
Masyarakat terbelah dalam pro dan kontra. Beberapa politikus dan sejarawan balik
mempertanyakan iktikad pengusulan itu sebagai politik balas budi bagi Keluarga Cendana
yang masih memegang peranan ekonomi dan politik. Putri Soeharto, Siti Hediati, misalnya,
kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar. Adapun putra bungsu
Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, kerap didengungkan sebagai calon
Ketua Umum Partai Golkar, bahkan bakal calon presiden pada Pemilu 2019. Tommy ikut
hadir pada Munaslub Golkar di Bali.
Terlepas dari semua itu, faktanya, ada banyak persoalan yang harus dijernihkan sebelum
menyematkan gelar pahlawan nasional buat Soeharto. Dalam peristiwa Gerakan 30
September 1965, Soeharto memang menemukan korban para jenderal yang dibantai di

Lubang Buaya. Tapi ada kesan Soeharto membiarkan pembantaian tersebut terjadi. Padahal
saat itu dia menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat yang bertanggung jawab
atas keselamatan pemerintahan dan presiden. Pasca-Gerakan 30 September 1965, terjadi
pembantaian besar-besaran terhadap mereka yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis
Indonesia. Semuanya tanpa proses peradilan, justru di saat Soeharto menjadi presiden.
Persoalan besar juga muncul atas kebijakan pemerintah Orde Baru yang berpihak kepada
kolega dan keluarga Soeharto. Ibu Negara Siti Hartinah alias Ibu Tien mendapat gelar
pahlawan pada 1996, tanpa ada yang berani mempertanyakan kepantasannya. Belum lagi
kasus korupsi yang membelit keuangan negara yang tak pernah tuntas diusut.
Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto rasanya belum menjadi prioritas. Yang lebih
penting adalah meluruskan sejarah dan memberi kepastian hukum atas semua sangkaan yang
dilakukan Soeharto dan kroninya. Apalagi Kementerian Sosial sudah mempunyai prosedur
ihwal pengajuan seseorang menjadi pahlawan, serta ada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda
Kehormatan. Biarkan dewan itu yang akan menimbang kelayakannya tanpa perlu didesak.
Pahlawan tentu tidak boleh ternoda oleh perbuatan yang membuat cacat perjuangannya.

Golkar
SABTU, 21 MEI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Inilah Golkar rasa baru. Hasil Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di
Nusa Dua, Bali. Apakah rasa itu kecut, manis, atau hambar, tergantung dari mana
memandang pohon beringin yang sudah berkali-kali ganti juragan itu.
Namun ada yang tidak berubah. Yakni etika berpolitik Golkar yang selalu tidak bagus dan
manuvernya terkesan buruk meskipun dibalut atas nama "dinamika politik". Lahir sebagai
Sekber (Sekretariat Bersama) Golongan Karya, mereka melibas partai-partai yang ada dengan
kasar, dibantu tentara aktif. Massa partai politik dipaksa berpindah ke Sekber Golkar. Ketika
menang mutlak di Pemilu 1971 dan Golkar kemudian tak lagi berembel-embel Sekber,
mereka pun mempopulerkan kata "golongan" yang anti-partai. Jargon "partai acap kali
memberontak" membuat masyarakat takut jadi anggota partai, apalagi trauma dengan tragedi
1965/66. Partai pun dibonsai hanya tinggal dua dan dipaksa memakai lambang dari Pancasila,
mengikuti Golkar dengan beringinnya. Maka, Partai Persatuan Pembangunan (gabungan
partai Islam) berlambang bintang, Partai Demokrasi Indonesia (gabungan partai nasionalis)

memakai kepala banteng, tidak bermoncong putih. Setiap kali pemilu di era Orde Baru,
Golkar harus menang minimum 70 persen.
Selintas sejarah Golkar harus disebutkan untuk melanjutkan cerita betapa etika diabaikan.
Dan tibalah era Reformasi, kekuatan politik adalah partai, maka mau tak mau Golkar menjadi
Partai Golkar. Nasibnya pun berubah, lebih sering kalah.
Pada Pemilu 2014, Golkar bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Kalah mengusung
calon presiden, tapi menang suara di parlemen, KMP pun merampas semua kursi pimpinan di
parlemen, dengan mengubah dulu undang-undang yang ada. Sukses besar, koalisi lawannya
yang mendukung Presiden Jokowi tak mendapat apa-apa.
Belum dua tahun, predikat oposisi tak membuat Golkar nyaman. Lewat Munaslub di Bali,
Golkar memproklamasikan diri sebagai partai yang mendukung pemerintah serta keluar dari
KMP. Yang patut diperjelas: apakah Golkar cuma "mendukung" atau mau "bergabung"
dengan pemerintahan Jokowi? Dalam pernyataan, kata "mendukung" dipakai. Tapi dalam
ucapan tokoh-tokohnya disebut "bergabung". Tentu keduanya berbeda. Kalau "mendukung",
ya, dukung saja, jangan ngerecoki. Tapi kalau "bergabung" berarti masuk ke dalam tubuh
pemerintahan, ikut menempatkan orangnya, barangkali satu atau dua menteri--selain Menko
Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan yang sudah ada, plus Wakil Presiden Jusuf Kalla yang
mantan Ketua Umum Golkar.
Secara etika, Golkar bergabung ke pemerintahan rasanya tidak elok. Apakah partai
pendukung Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), mengundangnya bergabung atau
menerima penggabungan itu? KMP dan Golkar di dalamnya ngotot menguasai kursi
pimpinan DPR dengan melabrak etika politik di mana partai pemenang seharusnya jadi
pemimpin DPR, tiba-tiba kini bergabung ke eksekutif. Kemaruk jabatan.
Jika etika ini ditambah dengan moralitas, Jokowi dan partai pendukungnya ibarat "setitik nila,
rusak susu sebelanga". Nila itu adalah nakhoda Golkar saat ini. Dewan Pembina Aburizal
Bakrie masih buruk namanya dalam kaitan lumpur Lapindo. Ketua Umum Setya Novanto
sudah gugur dari Ketua DPR karena soal etika, masih rentan berurusan dengan kasus korupsi.
Ketua Harian Nurdin Halid pernah dipenjara karena korupsi, mungkin orang lupa-lupa ingat.
Jika Jokowi welcome menyambut bergabungnya Golkar, bisa saja susu sebelanga jadi kecut
karena nila, dan rakyat mungkin jadi mual. Jokowi harus hati-hati untuk menyenangkan
semua orang.

Partai
SABTU, 28 MEI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Sebagai pilar demokrasi, partai politik lagi tak laku. Wibawa partai runtuh. Banyaknya
politikus yang terlibat dalam skandal korupsi hanya salah satu penyebab. Perilaku politikus
yang suka berulah, baik lewat kata-kata maupun tindakan, dan partai yang kerap bergejolak,
adalah penyebab yang lain. Partai yang bergantung pada satu tokoh juga jadi penyebab orang
melirik sebelah mata.

Namun kegiatan demokrasi tetap bergairah tatkala ada tokoh yang tiba-tiba menjadi penyalur
bagi ketidaksukaan kepada partai politik itu. Misalnya, saat Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok tak mau diusung partai politik dalam pemilihan kepala daerah Jakarta tahun depan.
Orang rela datang dengan biaya sendiri untuk menyetorkan kartu tanda penduduk untuk
mendukung pencalonan Ahok. Banyak yang berkata, mereka bukan sekadar memilih Ahok,
tapi juga merasa terwakili sebagai masyarakat non-partai. Jalur independen atau "jalur emoh
partai" ini menular dalam pilkada Yogyakarta; Kabupaten Buleleng, Bali; dan mungkin di
tempat lain lagi.
Meski partai sudah "sulit dijual", toh hal itu tak mengurangi niat orang untuk membuat partai
baru. Padahal, 10 partai yang punya perwakilan di parlemen sudah cukup bikin riuh. Pemilu
2014 diikuti 12 partai politik. Partai Bulan Bintang serta Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia tak lolos ke DPR. Padahal, kurang apa lagi. Tokohnya, Yusril Ihza Mahendra dan
Sutiyoso, orang pintar dan populer.
Pendaftaran partai politik baru sudah dibuka di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Belum seminggu, enam partai baru sudah mendaftar, yakni Partai Rakyat, Partai
Pribumi, Partai Idaman, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Indonesia Kerja, dan Partai
Beringin Karya. Lalu, ada Partai Perindo, yang setiap hari mengumandangkan himnenya
lewat stasiun televisi milik ketuanya, Hary Tanoesoedibjo. Akankah masih ditambah partai
lain pada pekan depan?
Para pendiri partai dengan nama aneh-aneh itu patut diacungi jempol. Jempol untuk
keyakinannya bahwa partainya akan bisa lolos verifikasi di Kementerian Hukum, yang
persyaratannya demikian ketat: harus memiliki pengurus dengan rincian 100 persen di tingkat
provinsi, 75 persen di kabupaten/kota, dan 50 persen di kecamatan. Bahwa nanti akan ada
jempol mengarah ke bawah karena suara yang diraih hanya nol koma nol sekian, itu pasti tak
aneh.
Kementerian Hukum dan Komisi Pemilihan Umum harus tegas ketika melakukan verifikasi.
Kalau dengan mudah partai politik lolos, Pemilu 2019 akan menjadi yang paling riuh. Bisa
riuh dengan rusuh, syukur kalau riuh dengan banyolan.
Betul kita sudah biasa dengan pemilu banyak partai. Pemilu pada awal masa Reformasi 1999
diikuti 48 partai. Pemilu 2004 mengusung 24 partai, Pemilu 2009 naik lagi 38 partai, dan
Pemilu 2014 dengan 12 partai. Namun Pemilu 2019 memiliki format berbeda. Ada keputusan
Mahkamah Konstitusi, kecuali jika diuji lagi, bahwa Pemilu 2019 berlangsung serentak
dengan pemilihan presiden dan mengacu ke Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang sudah
diamendemen. "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum". Jadi setiap partai bisa mengajukannya asal
lolos dalam verifikasi KPU untuk menjadi peserta pemilu.
Partai besar mungkin berkoalisi karena mereka serius, tapi sulit menggandeng partai baru
yang tak jelas. Sedangkan partai baru yang terjangkiti euforia sensasional justru

memanfaatkan format pemilu serentak ini. Maka, bisa ada puluhan calon presiden di republik
ini. Luar biasa riuh, juga membingungkan, kecuali dianggap dagelan lima tahun sekali.

Topeng
SENIN, 30 MEI 2016

Laki-laki bertopi infanteri bertopeng ski hitam dengan pipa kecil yang menyembul dari
mulutnya itu tak tampak lagi. Tak di San Cristobal de las Casas, tak di kota lain, tak juga di
pedalaman Meksiko. Di sana ia pernah angkat senjata, bertempur, berbicara, menulis, dan
bergabung dengan petani Chiapas miskin yang memperjuangkan hak mereka. Sepuluh tahun
kemudian, Sub-komandante Marcos, tokoh paling menonjol dalam pembangkangan Zapatista
itu, menghilang.
Mungkin begitulah seharusnya: pejuang datang, pejuang menang, pejuang menghilang.
Sepuluh tahun sebelumnya sekitar 3.000 anggota pasukan bersenjata Zapatista menyatakan
perang kepada tentara Meksiko, menduduki beberapa kota, dan 150 orang tewas. Mereka
kemudian terpukul, tapi akhirnya diakui sebagai satu kekuatan politik yang nyata yang
berhasil membangun wilayah-wilayah otonomi tanpa pengakuan resmi. Selama 10 tahun itu
Marcos, dengan penampilannya yang unik, jadi ikon perjuangan. Tapi kemudian sebuah
statemen Zapatista diumumkan pada 24 Maret 2014: Marcos tak ada lagi. "Ia sosok yang
diciptakan, dan kini para penciptanya, kaum Zapatista, menghancurkan dia."
Kata "menghancurkan" tentu saja sebuah kiasan. Sebab Marcos menghilang bukan karena
dibunuh atau disingkirkan, melainkan karena gerakan pembebasan itu menyimpulkan:
perannya telah selesai. Kata orang yang bersangkutan, "Suara Tentara Pembebasan Nasional
Zapatista tak lagi datang dari saya."
Mungkin ini terjadi karena arus balik: ada yang mengatakan dukungan rakyat Chiapas
semakin menipis. Usaha menegakkan ekonomi rakyat yang swadaya tak berhasil. Tapi
Marcos (tentu saja bukan nama sebenarnya) sejak mula memang tampak mendua dalam
menjalankan perannya. Ia tampil di tiap kejadian besar gerakan Zapatista, berpidato di depan
massa, dan mengesankan sebagai ideolog gerakan itu; tapi ia tak pernah disebut
"komandante"; ia cuma "sub-komandante". Ia memang anggota gerakan pembebasan bangsa
Maya, orang Indian di ujung selatan Meksiko, yang tanahnya diambil alih bisnis besar dan
hidup miskin berabad-abad; tapi ia bukan "pribumi". Dari celah topengnya, ia tampak
berkulit putih, bermata biru. Dalam potret yang tersebar di seluruh dunia ia--kadang-kadang
berkuda dan bersenjata--kelihatan jantan dengan postur seorang pemimpin yang karismatis;
tapi jika kita dengarkan cara ia berpidato dan kita simak bahasa tubuhnya, ia lebih mirip
seorang profesor desain, atau seorang penulis, yang tak kelihatan perkasa, tapi malah santun.
Kalimat yang dipilihnya dengan baik tak diucapkan berapi-api. Kata-kata itu lebih
menggugah orang berpikir--bukan bahasa politik kerakyatan yang lazim. Ia tak hendak
mengkhotbahi audiens. Nadanya tak menganggap diri punya otoritas yang lebih.
Ia tampaknya sadar: ia tak bisa mengklaim ia mewakili suara petani miskin di sekitar hutan
Lacandona. Betapa pun dalam simpatinya, betapa pun erat hubungannya dengan para petani
itu, benar-benar tahukah ia tentang harapan dan rasa cemas mereka? Dalam percakapannya
dengan sastrawan Garcia Marquez ia mengaku dibesarkan dalam keluarga guru dusun yang
kemudian makmur, dengan ayah-ibu yang mengajarinya mencintai buku dan bahasa. Dari

statemen-statemennya bisa ditebak ia penulis yang bagus; ia memang menulis sejumlah puisi,
prosa, cerita.
Tampaknya ia juga mempelajari filsafat dan tertarik pada Marx, Althusser, Foucault. Ia
seorang Marxis. Dengan militan ia melawan penetrasi neoliberalisme dari Amerika ke
wilayahnya; ia mengagumi Che Guevara, pahlawan Partai Komunis Kuba. Tapi ia berhenti
percaya ada partai yang bisa mewakili kelas proletar di Chiapas. Berada di kancah petani
Maya, ia tak lagi melihat kelas proletar bisa jadi pelopor segmen rakyat yang luas. Bagi
Marcos, yang jadi pedomannya adalah asas mandar obedeciendo, "memimpin dengan
mematuhi", adat orang Indian setempat.
Dengan kata lain, ia percaya kaum miskin itu yang punya kearifan. Ia sendiri hanya berguru
di sana, lebur di sana. Ia bukan "aku" yang berpikir, bukan pemandu jalan, bukan pula
pahlawan pembela yang jelata. Ia bukan siapa-siapa.
Di sini topeng-topeng yang dikenakannya bersama kaum Zapatista--adalah satu pernyataan.
Topeng itu meneguhkan tak pentingnya nama-nama: tak ada yang pegang supremasi dan
memonopoli perjuangan. Tapi topeng itu juga meneguhkan kemampuan memilih identitas
ketika kekuasaan yang ada menghapusnya. "Kami menutupi wajah kami, agar mereka
melihat kami," kata Marcos. "Kami lepaskan nama kami, agar mereka memanggil nama
kami."
Dengan kata lain, topeng membuat nama dan label hanya sebagai tanda perlawanan, bukan
cap yang menetap. Maka ia bisa jadi lambang siapa saja. Marcos, dengan topengnya, "adalah
tiap minoritas yang tak diterima, ditekan, dan diisap--dan melawan dan berkata, 'Cukup!'"

Goenawan Mohamad

Libur
JUM'AT, 03 JUNI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Ada libur nasional. Ada libur lokal. Ada libur bersama. Kita bahas dari yang terakhir. Versi
resmi pemerintah ini bukan libur, tetapi cuti bersama. Yakni pada hari-hari kejepit untuk
menambah libur hari keagamaan. Contoh, Idul Fitri nanti jatuh tanggal 6 dan 7 Juli, itu libur
nasional. Tanggal 4, 5, dan 8 Juli disebut cuti bersama.
Bagaimana kalau cuti tidak diambil? Siapa tahu ada pegawai non-muslim yang ingin cuti
untuk menambah libur di hari keagamaannya sendiri. Ternyata tidak bisa. Pemerintah sudah
menetapkan cuti itu setahun sebelumnya, harus diambil. Kalau masa cutinya jadi berkurang
padahal dia tak perlu cuti pada saat yang diharuskan, ya, terima saja. Demi kebersamaan.
Yang dimaksudkan libur lokal itu terjadi di daerah khusus, tapi bukan daerah otonomi khusus.
Contohnya di Bali. Karena penduduknya mayoritas Hindu dan hari libur nasional umat Hindu
cuma satu (Nyepi), maka ada hari libur lokal untuk hari raya Galungan. Lokal Bali saja.
Adapun umat Hindu yang bekerja di luar Bali bisa mendapat dispensasi dari kantornya
dengan menyerahkan surat edaran dari Kementerian Agama. Syukur-syukur dikabulkan.
Libur nasional ada dua macam. Ada libur nasional keagamaan, ada libur nasional kenegaraan.
Yang keagamaan adalah Idul Fitri, Idul Adha, Isra Miraj Nabi Muhammad, Tahun Baru
Hijriah, Maulud Nabi Muhammad, Imlek, Nyepi, Waisak, Wafat Isa Al Masih, Kenaikan Isa
Al Masih, dan Natal.
Tahun baru Masehi, 1 Januari, milik seluruh warga, bahkan milik dunia, anggap libur
kenegaraan. Sama persis dengan 1 Mei untuk Hari Buruh Internasional. Libur kenegaraan
yang khas hanya 17 Agustus, Hari Kemerdekaan. Oya, sekarang ditambah 1 Juni sebagai Hari
Lahir Pancasila.
Di era Orde Baru, perayaan 1 Mei sebagai Hari Buruh (May Day) dilarang karena dianggap
"kiri". Mengucapkan kata buruh pun harus hati-hati, apalagi membuat organisasi kaum
buruh. Kata "buruh" identik dengan Orde Lama, ada Buruh Tani Indonesia (BTI), organisasi
underbouw PKI; ada Kesatuan Buruh Marhaenis, organ PNI. Di era Orde Baru, istilah
buruh diganti pekerja, lalu ada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Kini sebutan
buruh sudah normal, bahkan ada nada tak sedap menyebut wartawan "buruh pers", konon
lebih bermartabat daripada "kuli tinta". Yang saya tak paham, kenapa 1 Mei dirayakan dengan
libur? Memberi kesempatan kepada kaum buruh untuk unjuk rasa?
Hari Kemerdekaan 17 Agustus pastilah untuk memberi kesempatan kepada rakyat berpestapora. Jika tidak libur, bagaimana anak-anak bisa lomba makan kerupuk, bapak-bapak tarik
tambang, dan ibu-ibu berteriak menjadi suporter lomba panjat pinang?

Lalu, untuk apa libur di Hari Lahir Pancasila? Yang dikejar kemeriahan hura-hura atau
penanaman nilai Pancasila? Kalau penanaman nilai yang diutamakan, sebaiknya tidak libur,
agar murid-murid sekolah bisa "apel Pancasila" dan pegawai negeri pun bisa berbaris
digembleng Pancasila. Seperti Hari Pendidikan Nasional, Hari Kebangkitan Nasional, Hari
Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, dan banyak lagi hari nasional penting tetapi tidak libur.
Jika tanpa arahan dan tidak dimulai tradisi bagaimana merayakan Hari Lahir Pancasila, maka
pada hari libur itu orang lebih suka ke kebun binatang atau ke pantai dan bermacet-macet di
jalan, apalagi kalau jatuhnya hari Jumat atau Senin. Contoh bagus hari nasional tidak libur
adalah Hari Kartini, para wanita diingatkan dengan perjuangan Kartini, minimal bisa
mengenakan kebaya ke kantor. Coba kalau diliburkan, orang lebih suka beli pakaian renang
dibanding kebaya.

Panggung
SENIN, 13 JUNI 2016

Nama samarannya "Prapanca". Ia menggambarkan dirinya sebagai lelaki yang tak disukai
para perempuan istana, tak fasih bicara, parasnya tak riang. Tapi ia penulis reportase pertama
dalam sejarah Indonesia: Desawarnana, yang rampung ditulisnya pada 1365, adalah laporan
kunjungan perjalanan darat Hayam Wuruk, raja Majapahit, ke pelbagai wilayah
kekuasaannya.
Sayangnya, Prapanca seorang pencatat yang terbatas. Kakawinnya lebih merupakan rekaman
kesan-kesan tentang tamasya dan tontonan dari tempat ke tempat. Desawarnana adalah
travelogue abad ke-14. Ia bukan catatan peristiwa-peristiwa.
Mungkin karena Prapanca bukan sepenuhnya orang dalam istana. Kakawin yang hilang dan
baru ditemukan lebih dari 500 tahun kemudian di Lombok ini ia tulis setelah ia tersingkir dari
pusat kekuasaan. Diduga ia menyelesaikannya di sebuah desa di Bali. Deskripsi tentang
dirinya di akhir kakawin menggambarkan profil seseorang yang tak merasa mampu
bergabung dengan para penyair lain yang menulis seloka-seloka untuk memuja Raja. Bisa
jadi ini menandai kepahitan dan kekecewaan yang dicoba disembunyikannya.
Apa gerangan yang terjadi? Mengapa ia tersingkir? Harus saya katakan, kakawin yang juga
disebut Negarakertagama ini bukan informasi yang memadai tentang kehidupan politik masa
itu. Prapanca dengan memikat menggambarkan tembok kota dari batu merah yang tinggi,
gapura berukir, pohon-pohon tanjung berbunga lebat, taman bertingkat, dan arsitektur candi
dengan menara yang menjulang. Perhatiannya lebih ke hal estetis ketimbang politis. Tentang
sakit dan wafatnya Gajah Mada dan perundingan rahasia di istana untuk mengatasi
kehilangan perdana menteri yang tak tergantikan itu Prapanca hanya menyebutnya dalam
beberapa kalimat.
Penulis ini mungkin tak tahu. Kekuasaan dalam Negarakertagama-nya tak ditandai pangeranpangeran yang berambisi atau para perwira yang siap dengan pasukan. Administrasi

pemerintahan hanya kelihatan dalam klasifikasi pedesaan. Selebihnya, tanda hadirnya


kekuasaan adalah kunjungan raja dan upacara meriah yang berulang kali. Tak ada konflik.
Tak ada penaklukan. Satu-satunya yang mirip itu terjadi dalam perburuan; para hewan hutan
kalah menghadapi pasukan Hayam Wuruk.
Tapi benarkah Majapahit hanya ibarat pesta yang berpindah-pindah?
Clifford Geertz memperkenalkan istilah yang kemudian terkenal: negara sebagai "theatre
state", yang ia simpulkan dari pengamatannya tentang Bali abad ke-19. Di sana Negara
memerintah dengan simbol dan ritual, bukan dengan kekuatan yang memaksa. Kerajaan
berjalan bukan melalui administrasi yang efektif atau pun penaklukan, melainkan melalui
"spectacle" yang dipertunjukkan dengan memukau.
Mungkin itu pula yang bisa dikatakan tentang Negarakertagama Prapanca: sebuah pentas.
Upacara jadi tujuan utama. Kemegahan dan kemeriahan itu bukan buat melayani kekuasaan,
melainkan kekuasaan itu yang justru untuk melayani kemegahan. Kata Geertz, "Power
served pomp, not pomp power."
Ada yang mencatat bahwa "theatre state" itu tak hanya fenomena Bali dan Majapahit.
Upacara dan peneguhan simbol bisa dilihat dalam tradisi Kerajaan Inggris dan mungkin di
negara-negara di mana konstitusi belum dituliskan. Negara memerlukan panggung--dan ia
jadi panggung.
Tapi saya kira Geertz mengabaikan satu hal: di panggung itu sebenarnya kita tak tahu di mana
pomp mulai dan power berakhir. Seperti umumnya dalam sejarah, kekuasaan, kekerasan, dan
pemaksaan selalu tersembunyi dalam diri Negara. Setidak-tidaknya dalam genealoginya.
Dengan mengagungkan seorang ratu dari Singasari sebagai chattra ning rat wisesa
("pelindung bumi yang utama"), Prapanca menunjukkan pertalian Kerajaan Singasari di abad
ke-13 dengan Majapahit di abad ke-14. Dan kita tahu Singasari didirikan Ken Arok; ia
tumbuh dari pembunuhan dan penaklukan.
Dalam menafsirkan masa lalu sebagai bagian masa kini, dalam merangkai upacara Hayam
Wuruk dari pentas ke pentas yang berbeda, Prapanca ingin menunjukkan Majapahit sebagai
sebuah bangunan yang koheren dan konsisten. Seantero wilayahnya diibaratkan satu kota
dalam telatah Raja: salwaning yawabhumi tulya nagari sasikhi ri panadeg. Tapi sejauh mana
yang dianggap "satu kota" itu bisa mengingkari multiplisitas yang tak tepermanai, yang tak
bisa konsisten? Negara mana pun, juga negara modern, tak akan bisa.
Pernah Desawarnana Prapanca menampilkan pentas sebagai karnival: Hayam Wuruk ikut
membanyol, rakyat datang berduyun, terkadang mabuk, tanpa diarahkan. Dalam karnival,
seperti kata Mikhail Bakhtin, struktur, hierarki, dan hukum ditangguhkan. Mungkin di situ
tampak sisi Negara yang hendak disembunyikan, tapi yang malah membuatnya hidup: selalu
akan ada politik yang tak mengekalkan struktur, melainkan mengingatkan bahwa manusia itu
setara.

Goenawan Mohamad

Attar
SENIN, 20 JUNI 2016

Attar hidup di sebuah zaman yang tipis harapan dan tewas pada usia 76 tahun dalam
pembantaian. Di Nishapur, di Provinsi Khorasan, Persia, tempat ia lahir sekitar 1145, ia
sebenarnya tak kekurangan suatu apa. Sebelum menulis puisi dengan memakai nama Attar
dan berkunjung ke pelbagai penjuru menjumpai sufi-sufi ternama, ia hidup cukup sebagai
ahli obat-obatan. Banyak penderita sakit yang datang. Dari mereka Attar mendapat nafkahdari mereka pula ia mengenal cerita-cerita muram manusia dan rapuhnya kepercayaan kepada
hidup.
Ia pun menulis Mosibatnmeh atau Kitab Kesengsaraan--sebuah puisi epik yang menggugat
Tuhan.
Tak jelas kapan karya itu selesai; buku itu jarang disebut dalam biografi Attar yang samarsamar. Dunia hanya mengenalnya sebagai penulis Mantiq-ut-Tair atau Persidangan Burungburung, sebuah alegori perjalanan spiritual manusia dengan tokoh pelbagai burung yang
mencari Simurgh, sesembahan mereka. Karya Attar konon berjumlah lebih dari 100 judul,
tapi di masa hidupnya ia tak luas dikenal. Ia dikatakan dipancung pasukan Mongol yang
membantai penduduk Nishapur. Orang hanya ingat yang dikatakan Rumi: "Attar telah
melintasi tujuh kota Cinta, sementara kita masih di satu tikungan jalan."

Beda antara Attar dan Rumi (lahir 1207) memang pengalaman hidup separuh abad. Tapi ada
beda yang lebih radikal di antara karya kedua penyair Persia itu, jika kita baca Kitab
Kesengsaraan. Puisi Rumi adalah litani tentang sentuhan Kasih Tuhan yang membahagiakan.
Sebaliknya karya Attar yang satu itu, dalam kata-kata Navid Kermani, "karya paling muram
dalam sastra dunia".
Kermani, penulis muslim Jerman yang terkemuka dewasa ini, membuat telaah yang
mendalam tentang Kitab Kesengsaraan dalam Der Schrecken Gottes (versi Inggris: The
Terror of God). Lewat lima bab yang menjalin khazanah Yahudi, Kristen, dan pemikiran
Eropa modern, Kermani menampilkan Attar sebagai suara yang mendesah, sengit tapi tak
berdaya, dalam "pertengkaran dengan Tuhan".
"Pertengkaran" itu dimulai dengan perjalanan seorang "pengembara pikiran". Sang
pengembara penuh amarah. Baginya tak ada yang bisa dipercaya. Ia tak mampu lagi
membedakan mana yang baik dan yang keji. Di sekitar, yang tampak hanya dusta dan tipuan.
Penguasa menindas dan sejumlah penyair menjual bakat mereka di istana. Hukum agama
hanya menuduh. Tak ada keyakinan apa pun yang bisa dipegang.
Ia pun mencari. Mengikuti tradisi sufi, ia dibimbing seorang pir, seorang guru. Tapi akhirnya
ia tahu: guru yang sebenarnya adalah penderitaannya.
Dalam perjalanan itu--diceritakan kembali oleh Kermani dengan memukau--ia lihat 100.000
jalan menuju ke segala arah dan 100.000 lautan darah. Ia lihat dunia-dunia yang sesat dan
kosmos yang membengkak. Ia lintasi 100.000 surga dan neraka, ia mengetuk, tapi tak ada
pintu yang terbuka. Akhirnya ia hilang ingatan. Ia bicara kepada rasa sakit, dan rasa sakit jadi
keyakinan dan kekufurannya. Ia pun membisu, menyerah, habis tenaga.
Ia berjumpa dengan Malaikat Jibril. Ia bertanya tahukah sang malaikat obat apa yang baik
bagi rasa sakitnya. Jibril tak tahu; ia sendiri dalam keadaan yang lebih buruk. Ada teror,
heybat, yang dihadapinya--teror dari sesuatu yang bahkan Jibril tak berani sebut namanya.
Demikian juga reaksi para malaikat lain, termasuk para penyangga Takhta Tuhan. Mereka
semua sengsara. "Berdiriku begitu guyah," jawab salah satu dari mereka, "hingga bila
selembar serat tubuhku bergerak, aku akan jatuh ke dalam jurang yang dalam."
Kenapa demikian? Kenapa tak ada jawab? Dalam Kitab Kesengsaraan Tuhan adalah
kesewenang-wenangan yang memperlakukan ciptaan-Nya sebagai obyek yang tak berarti.
Sang pengembara pun menyimpulkan, dalam sebaris kalimat Attar, bahwa sejak mula
manusia memang "bak bola permainan".
Tentu, dalam kisah-kisah penjelajahan yang seperti siklus putus asa itu, sang guru selalu
mengingatkan: dalam kesengsaraan manusia, Tuhan punya alasan tersembunyi yang baik.
Tapi Kermani menunjukkan, puisi Attar kurang mengedepankan itu. Ia justru memberi
tekanan pada gambaran "kekalutan pikiran sang pengembara dan pemandangan mengerikan

yang ditemuinya...". Jawaban sang guru tak memadai. Yang lebih nyaring adalah "pertanyaan
yang selalu datang dari sang musafir".
Sampai hari ini, pelbagai risalah filsafat dan agama--Islam, Kristen, Yahudi--bergulat dengan
pertanyaan itu: mengapa Yang Mahakuasa tak melepaskan manusia dari sengsara? Dan jika
itu hukuman atas dosa, kenapa Ia tak mencegahnya? Benarkah Ia pengasih, benarkah Ia adil?
Ada yang menjawab, Tuhan tak bisa dinilai dengan rasa keadilan dan belas kasih manusia.
Tapi ada yang menambahkan: jika benar demikian, penilaian itu justru harus ditegaskan di
dunia. Kitab Kesengsaraan menyesakkan karena kita tahu, ada yang seharusnya bukan
kesengsaraan.

Goenawan Mohamad

Intoleran
SABTU, 18 JUNI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Kata intoleran marak belakangan ini, justru pada saat kita membutuhkan toleransi pada
bulan suci Ramadan. Ada warung yang dipaksa tutup oleh petugas Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) di Kota Serang, Banten. Bahkan disertai dengan menyita dagangannya.

Pada saat bersamaan, ada pernyataan Presiden Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri
Tjahjo Kumolo yang menyebutkan terdapat ribuan peraturan daerah (perda) yang akan
dicabut karena bertentangan dengan kebijakan nasional. Memang, tidak semua perda itu
berkaitan dengan intoleransi, dengan masalah investasi, yang jauh dari nuansa toleransi atau
pun ranah agama. Tapi penutupan warung selama Ramadan di Kota Serang termasuk yang
dibuatkan perda.
Di kota lain, sebut misalnya Makassar, juga ada perda tentang hal yang sama seperti di
Serang. Tapi tidak ada kasus Satpol PP melakukan sweeping karena, menurut Wali Kota
Makassar, tak ada masalah dengan penutupan warung itu pada siang hari. Masyarakat
Makassar terbiasa "berhura-hura" makan di warung pada malam hari. Sedangkan di Bogor,
contoh lain, tak ada perda seperti itu. Di sana, warung boleh buka 24 jam meski pada
Ramadan. Meski begitu, Bogor punya kesan sebagai "kota intoleran" lantaran kasus Gereja
Yasmin, yang sampai kini bermasalah karena tak bisa dijadikan tempat kebaktian.
Meski tergolong sedikit, perda intoleran berkaitan dengan perbedaan keyakinan, apakah
nuansa intoleransi itu perlu dikukuhkan dalam sebuah perda atau pun sekelas surat edaran
kepala daerah setempat? Apakah sebelum peraturan itu dikeluarkan ada dialog di antara
komponen masyarakat yang mewakili lintas agama? Pertanyaan selanjutnya, apakah setiap
komponen masyarakat, terutama jika didasari kelompok agama atau keyakinan, sudah
terwakili? Seharusnya demikian karena ternyata kita punya sebuah forum yang selama ini
kurang terdengar perannya dalam mengatasi masalah-masalah intoleransi yang berhubungan
dengan perbedaan agama. Forum itu bernama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
yang ada di setiap provinsi dan kabupaten atau kota.
Pekan lalu, di Denpasar, Bali, FKUB se-Indonesia menyelenggarakan Konferensi Nasional
ke-2. Dari perhelatan itu terungkap bahwa, di banyak provinsi, FKUB tidak dimanfaatkan
oleh kepala daerah. Berbagai kasus, dari pendirian rumah ibadah sampai peraturan daerah
yang menyerempet masalah keagamaan, jarang melibatkan FKUB. Padahal FKUB lahir dari
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun
2006. Tugasnya, antara lain, melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat,
menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi itu
dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan kepada gubernur, bupati, dan wali kota.
Orang sering menyebut Peraturan Bersama ini hanya untuk keperluan pendirian rumah
ibadah, dan itu pun dianggap sebagai hambatan oleh kelompok minoritas. Padahal tugas
FKUB tidak sekecil itu. Masalah apa pun yang berhubungan dengan umat lintas agama bisa
dibawa ke forum ini.
Sayangnya, FKUB kurang bergema di beberapa daerah. Padahal, jika dilihat dari kebijakan
dua kementerian itu, justru FKUB "lebih tinggi" dibanding ormas keagamaan. Sadar atas
"keompongan" itu, salah satu hasil konferensi FKUB di Denpasar adalah akan "unjuk taring"
dengan cara membentuk asosiasi, sehingga forum ini bisa saling berkoordinasi lewat
pengurus asosiasi tingkat nasional yang segera dibentuk. Sebuah upaya yang patut didukung
untuk meminimalkan kasus-kasus intoleran di negeri yang warganya majemuk ini.

Polisi
SABTU, 25 JUNI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Begitu mendengar Romo Imam pulang dari luar negeri, saya langsung ke padepokannya.
Beliau lagi menatap televisi. "Sudah terang benderang Romo, tak akan ada yang menolak
pencalonan Pak Tito menjadi Kapolri. Kok, Romo masih mendengarkan pertanyaan wakil
rakyat yang bertele-tele itu?"
Romo tenang saja dengan keusilan saya. Juga tidak memindahkan channel sebagaimana
biasanya kalau saya sedang memprotes apa yang beliau tonton di layar kaca. "Saya tak fokus
mendengarkan apa pertanyaan wakil rakyat," akhirnya Romo menanggapi juga. "Yang saya
pikirkan, Tito Karnavian tak bisa memenuhi harapan yang begitu besar dari masyarakat.
Memperbaiki citra polisi."
"Kenapa Romo pesimistis?" saya bertanya. Romo mengecilkan suara televisi sebelum
menjawab. "Karena memperbaiki citra polisi tak sepenuhnya ada di tangan kepala kepolisian.
Tito bisa saja mengusulkan gaji dan tunjangan polisi naik seratus persen atau lebih. Gaji
pokok polisi sampai berpangkat ajun brigadir di bawah upah minimun regional, di bawah dua
juta rupiah. Kalaupun tunjangannya juga dinaikkan, tak jauh-jauh amat. Gaji jenderal itu tak
sampai enam juta. Katakanlah ditambah ini dan itu, tak akan sampai dua puluh juta. Kalah
oleh gaji polisi negara tetangga yang terendah, tiga puluh juta. Kalau naik terlalu tinggi, apa
pemerintah mengabulkan? Anggaran di berbagai kementerian sudah dipangkas. Kita lagi
darurat anggaran."
Saya memotong, "Apakah memperbaiki citra polisi itu harus dengan menaikkan gaji?" Romo
langsung menyambar, "Ya, itu pasti. Omong kosong citra polisi membaik kalau kesejahteraan
mereka buruk. Memangnya ada berapa polisi seperti Bripka Seladi yang nyambi menjadi
pemulung? Kejujuran sering kalah ketika perut lapar. Bukan lapar karena puasa, tapi lapar
karena tak ada yang dimakan. Polisi jujur seperti Hugeng itu sudah tak ada. Buktinya,
rencana membuat Hugeng Award batal karena calon yang diduga ada, ternyata, tetap
bermasalah."
"Padahal mensejahterakan polisi merupakan salah satu program Pak Tito," saya bergumam.
"Pak Tito bisa melakukannya secara bertahap disesuaikan dengan anggaran, tapi ada instansi
lain yang turut menentukan," jawab Romo. "Tapi, andai kata gaji polisi sudah naik, apakah
masyarakat siap membantu polisi memperbaiki citranya?"
"Apa kaitannya dengan masyarakat? Rakyat senang polisi jujur," saya nyeletuk. Romo
tertawa. "Masyarakat yang lagi sakit ini punya andil besar menjerumuskan polisi. Sampeyan,
kalau jelas bersalah melanggar lalu lintas, apa mau ditilang? Antre di pengadilan karena
hakimnya terbatas, membayar denda tapi surat yang ditahan masih diurus ke panitera, buang
banyak waktu. Nyogok seratus ribu ke polisi pasti sampeyan rela. Polisi mau disogok
sampeyan hina: mata duitan. Polisi menolak, sampeyan memaki: sombong, sok jujur. Polisi
salah melulu."

Romo melanjutkan: "Itu baru polisi di jalanan. Kalau yang punya jabatan, besar lagi
godaannya. Setingkat kepala sektor digoda bandar judi dan makelar minuman keras. Rumor
yang beredar, polisi yang pernah memegang jabatan kepala resor di kabupaten pasti punya
rumah pemberian pengembang. Apa ada jenderal polisi yang jatuh miskin?"
"Romo menakut-nakuti. Kita harus mendukung Pak Tito untuk membersihkan korupsi di
kepolisian. Hanya dengan itu citra polisi baik," kata saya. "Ya, kita dukung," Romo
menyambar. "Tapi itu perlu waktu dan harapan yang besar ini janganlah cepat ditagih. Pasti
Presiden mengangkat Tito karena tahu, membenahi citra polisi butuh waktu panjang, perlu
Kapolri yang tak cepat pensiun."

Menyelamatkan Hulu Migas Nasional

RABU, 29 JUNI 2016

Pri Agung Rakhmanto, Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas
Trisakti dan Pendiri Reforminer Institute

Bagi Indonesia, di hilir, harga minyak rendah membawa berkah. Alokasi anggaran subsidi
energi (BBM dan listrik) yang sekitar Rp 200 triliun dapat dihemat. Harga BBM dalam negeri
akan turun dan relatif terjangkau masyarakat.
Di hulu, situasinya berbeda. Harga minyak rendah telah membuat penerimaan negara dari
migas di APBN berkurang secara drastis dari di atas Rp 320 triliun pada 2014 menjadi hanya
di kisaran Rp 177 triliun pada 2015. Dalam APBN 2016, penerimaan migas diperkirakan
akan lebih turun lagi, yaitu di kisaran Rp 120 triliun. Sebagaimana yang juga terjadi di
tingkat global, industri hulu migas nasional juga beramai-ramai memangkas belanja modal
20-30 persen dari level belanja modal pada 2014-2015. Aktivitas operasi lebih banyak
difokuskan pada kegiatan perawatan sumur dan pengeboran sumur pengembangan untuk
sekadar mempertahankan atau mengurangi laju penurunan tingkat produksi. Aktivitas
eksplorasi sangat minim dan semakin tidak mendapatkan porsi perhatian.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada 2015 tercatat hanya ada pengeboran 52 sumur
yang menghasilkan 15 temuan cadangan baru, jauh di bawah pengeboran 83 sumur dengan
25 temuan cadangan pada 2014. Jumlah pengeboran pada 2015 secara keseluruhan pun
semakin rendah dibanding rata-rata pengeboran pada 2011-2013 yang mencapai 104 sumur.
Akibatnya, hanya dalam rentang satu tahun terakhir saja cadangan minyak sudah menurun 4
persen. Saat ini cadangan terbukti minyak jumlahnya tak sampai 3,7 miliar barel.
Harga minyak rendah juga telah memaksa sebagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S)
melakukan reorganisasi, restrukturisasi, dan mengurangi jumlah pegawai, termasuk melalui
penawaran skema pensiun dini. Sebagian K3S juga melepas hak pengelolaan blok dengan
menjual porsi saham partisipasinya. Sebagian lagi menunda rencana pengembangan sambil
menunggu pulihnya harga. Dalam salah satu skenario hitungan pemerintah, jika harga minyak
hanya di kisaran US$ 30 per barel, produksi terjual (lifting) minyak nasional tidak akan bisa
mencapai 800 ribu barel per hari. Imbas harga minyak rendah di hulu dapat dikatakan telah
membuat sektor hulu migas nasional beroperasi dalam keadaan mode darurat.
Pemerintah bukan tak menyadari hal itu. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Migas (SKK Migas) dan Direktorat Jenderal Migas mengklaim telah melakukan
sejumlah upaya, seperti (1) Efisiensi biaya melalui optimasi kegiatan pengembangan,
memperbanyak kegiatan pengolahan kembali dan perawatan sumur, penggunaan fasilitas
bersama, dan negosiasi harga dalam penyediaan barang dan jasa. Hal itu diklaim sudah
dilakukan sejak tahun lalu dan telah menghasilkan penghematan sekitar 6,12%; (2)
Mempermudah birokrasi perizinan dan mengkaji perubahan fiskal; (3) Mengantisipasi

masalah tenaga kerja melalui penundaan rekrutmen baru, skema pensiun alami dan
pengunduran dini sukarela, serta efisiensi biaya pelatihan dan perjalanan dinas; dan (4)
Meningkatkan koordinasi dengan instansi pemerintah lainnya terkait dengan implementasi
peraturan dan perizinan.
Apa yang pemerintah klaim sebagai upaya untuk menghadapi tantangan harga minyak rendah
tersebut sudah cukup tepat dan positif. Sayangnya, hal di atas sebagian besar masih lebih
bersifat normatif. Sebagian besar belum dielaborasi secara lebih rinci dan konkret. Sebagian
juga hanya merupakan bagian dari kebijakan lama yang belum sepenuhnya dijalankan.
Dalam kondisi harga minyak rendah seperti saat ini, sektor hulu migas jelas membutuhkan
kebijakan terobosan dan langkah penyelamatan yang lebih konkret. Dalam masalah
pembebasan lahan, misalnya, sangat diharapkan hal itu dilakukan oleh pemerintah, bukan
K3S. Dalam aspek perpajakan, perlakuan pajak lex specialis sangat diharapkan untuk dapat
diterapkan kembali secara konsisten, sehingga bagi hasil untuk pemerintah hanya didapatkan
dari bagian pemerintah terhadap ekuitas migas tersebut ditambah pajak terhadap perusahaan
induk dan anak perusahaan di Indonesia, dan pihak pemerintah menanggung serta
membebaskan pajak lainnya.
Dalam hal insentif fiskal lainnya, penghapusan sistem perhitungan pendapatan dan biaya
(ring-fencing) pada wilayah kontrak tertentu yang sudah memasuki masa produksi mungkin
dapat dicoba untuk periode tertentu. Sebaliknya, bagi K3S yang masih dalam masa
eksplorasi, sistem ring-fencing dapat tetap diterapkan tapi diperbolehkan untuk melakukan
kegiatan eksplorasi pada lebih dari satu area kontrak. Skema bagi hasil yang tidak statis, tapi
dikaitkan dengan level harga minyak dan atau level produksi juga semestinya mulai dapat
diterapkan pemerintah untuk memberikan insentif fiskal yang lebih menarik.
Yang tidak kalah pentingnya adalah perhatian dan komitmen Presiden RI untuk turun tangan
secara langsung menyelesaikan permasalahan hulu migas. Misalnya, permasalahan tersebut
sudah sangat multi-sektoral dan multi-tingkatan pemerintahan, sehingga sudah tidak cukup
lagi ditangani pejabat setingkat menteri. Contohnya, ada ketidakpastian aturan main karena
lemahnya payung hukum UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang sebagian besar pasalnya
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian secara lebih progresif memerlukan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

JPC

SENIN, 27 JUNI 2016

Pada batu marmer yang sudah kusam, di tembok ruang bawah Museum Wayang di Kota Tua
Jakarta, terukir sebuah nama:
DIE STICHTER VAN BATAVIA
JAN PIETERSZOON COEN
IN 1634
Sang pembangun Batavia" yang dikuburkan di sana juga seorang yang bersemboyan,
tercatat pada 1618: "Jangan patah harapan, jangan ampuni lawan, sebab kita bersama
Tuhan."
Ia memang seorang Kristen yang keras, seorang administrator penegak disiplin, dan tentu saja
seorang pelaksana hasrat VOC untuk menguasai persaingan dagang di Asia di abad ke-17.
Empat tahun setelah mengucapkan kalimatnya itu, gubernur jenderal perhimpunan dagang
Belanda itu menyerbu Banda. Dengan pasukannya ia bantai ribuan penduduk yang melawan
dengan sengit; ia perintahkan satu regu samurai Jepang yang disewanya untuk memancung
serentak penghulu-penghulu setempat yang tak mau menyerah.
Di bawah ancaman senjata, orang Banda tak boleh menjual buah pala mereka kepada orang
Inggris atau siapa pun. Rempah-rempah itu hanya untuk VOC yang kemudian menjualnya di
pasar Eropa dengan laba berlipat-lipat.
Tak jelas bagaimana Tuhan ada dalam kebuasan dan keserakahan itu. Mungkin bagi Coen,
Tuhan adalah Ia yang memegang pedang, menegaskan kesalehan, dan menyusun pembukuan.
Suatu hari Coen mengetahui seorang gadis remaja asuhannya bermain cinta dengan seorang
pemuda Indo--dan mereka melakukan perbuatan itu di ruang pribadinya. Sang gubernur
jenderal murka. Wajahnya memucat dan meja yang dipeganginya bergetar. Ia perintahkan
pemuda itu dipotong lehernya dan gadis itu ditenggelamkan.
Agaknya ia merasa jadi penjaga moral di kota yang dibangunnya--moral ala kaum borjuis
Belanda yang dibentuk Gereja Reformasi yang puritan, yang waspada kepada seks dan hemat
dengan sensualitas, yang selalu menahan diri dari sikap yang berlebihan. Singkat kata: seperti
tokoh makelar kopi dalam novel Max Havelaar, pedagang yang takut boros dan hanya
berpikir tentang "manfaat"--atau laba.
Tapi keketatan macam itu tak mudah buat kota yang dibangun Coen nun jauh di negeri tropis
di abad ke-17. Di awal hidup Batavia, mayoritas penghuni adalah laki-laki. Jean Gelman
Taylor menggambarkannya dalam The Social World of Batavia sebagai "serdadu dan kelasi

yang telah tercerabut dari tanah asalnya", yang ditempatkan "di barak-barak di pinggiran
peradaban yang asing". Perempuan makhluk yang langka. Kalaupun ada, mereka wanita
pribumi yang dianggap rendah, mudah berahi, gampang menyerah. Kebanyakan budak
belian. Dalam satu catatan tahun 1618 dilaporkan: tiap malam berlangsung "orgi" antara lakilaki bebas dan "perempuan-perempuan hitam".
Benar atau tidak cerita itu, Coen tak jenak dengan kehidupan sosial Batavia. Ia pun
mengeluarkan peraturan: barang siapa yang tinggal dalam "republik Jacatra" dilarang
memelihara satu atau dua budak perempuan, seorang gundik atau lebih. Tak boleh wanita
Kristen berhubungan seks dengan pria yang tak beragama (heidense) atau Arab (Moor).
Hasrat untuk kemurnian--yang kadang-kadang mirip kesucian--mendorong Coen, atau siapa
pun, untuk menegakkan hidup yang eksklusif. Pada 1619 ia menghancurkan Jakarta
("Jacatra"). Dimusnahkannya dua bangunan yang jadi pusat kota: kabupaten dan masjid. Di
atas puing-puingnya ia dirikan "Kasteel Batavia"--yang segera jadi sebuah ruang isolasi.
Penduduk asli sudah meninggalkannya, orang Jawa dilarang tinggal, dan di sekitarnya hutan
berisi binatang buas. Pada 1642 ada larangan bagi perempuan untuk ke luar gerbang "Kastil".
Para budak belian tak boleh dijual pemiliknya kepada orang Yahudi, Islam, atau yang tak
bertuhan.
Dalam The Social World of Batavia digambarkan bagaimana alimnya kehidupan di kastil itu,
yang dikuasai Gereja Reformasi, satu-satunya denominasi Kristen yang diperbolehkan.
Kebaktian diselenggarakan di Balai Kota, doa pagi dan malam berlaku di Kastil, dan para
pejabat dan pegawai VOC berpuasa menjelang kapal niaga mereka berangkat. "Tak ada yang
lebih mampu menyatukan hati orang ketimbang kesatuan iman dan dijalaninya agama secara
benar," tulis Coen dalam suratnya kepada para pembesar VOC di Amsterdam.
Seperti lazimnya orang yang taat beragama, Coen menyangka Tuhan bersamanya dan
kehendaknya akan jadi. Tapi sejarah menunjukkan, Batavia proyek yang gagal. Ia dibangun
sebagai transplantasi kota Belanda, ia diharapkan akan memenangkan ajaran Calvinis yang
lurus. Tapi kelembapan kota, berjangkitnya malaria, dan keinginan manusia untuk hidup
tanpa merasa takut dosa membongkar desain itu. Kastil ditinggalkan. Kebudayaan Kristen
Eropa lumer oleh pengaruh kebudayaan Indonesia yang beragam dan yang terus tumbuh.
Yang murni hilang, yang campuran jadi--sebuah kebudayaan mestizo yang berlaku di Jakarta
hingga hari ini.

Goenawan Mohamad

Parsel
JUM'AT, 01 JULI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Sebuah pesan WhatsApp saya terima kemarin sore. Isinya singkat: "Terima kasih parselnya
sudah diterima." Pengirim pesan adalah kawan saya di kampung, Cak Dul panggilannya.
Profesinya tukang cukur, satu-satunya pencukur di kecamatan kami karena banyak orang
beralih cukur rambut di salon.
Cak Dul tergolong generasi ketiga warga muslim yang tinggal di desa saya. Ayahnya
seangkatan dengan saya, pernah menjadi guru di SMA Muhammadiyah Singaraja, kini sudah
tiada. Dan kakek Cak Dul adalah warga legendaris di desa saya. Panggilannya Pak Sukri,
penjual sate ayam Madura. Keluarga Pak Sukri berbaur dengan warga kampung, ikut gotong
royong memperbaiki selokan, rajin begadang di tempat orang yang ada kematian. Orangorang desa menyebut mereka nyama selam. Nyama artinya warga, dan selam merujuk pada
agamanya, Islam. Yang kemudian menjadi unik dari istilah ini, jika ada warga desa yang tidak
makan daging babi, mereka disebut nyelam--seperti selam. Misalnya, dalam suatu hajatan di
kampung, selalu ada pemberitahuan, bagi yang nyelam silakan ke tempat khusus yang telah
disediakan, agar makanan tidak bercampur. Saya tak pernah bertanya di mana Pak Sukri
dikuburkan.
Mendiang ibu saya sangat dekat dengan keluarga Pak Sukri. Menjelang Lebaran--biasa
disebut galungan selam--ibu membawa ketupat yang sudah dimasak ke rumah Pak Sukri.
Kadang-kadang disertai seekor-dua ekor ayam hidup dari hasil ternak rumahan. Kenapa ayam
hidup? "Nanti dia yang sembelih, kan doanya beda," ujar ibu saya, setelah saya terjemahkan
dari bahasa Bali. Adapun ketupat itu, kata ibu, konon ibu juga mengutip dari Pak Sukri,
"sudah umum dipakai semua orang Bali dan Jawa". Kata Jawa di sini bukan saja merujuk
pada "luar Bali", tapi juga "yang bukan Hindu". Kata ibu lagi (barangkali juga mengutip dari
Pak Sukri), "ketupat itu tak beragama, bahannya sama, cara membuatnya sama, memasaknya
sama." Belakangan anak Pak Sukri--saya lupa menyebut tadi, namanya Zaenal Airifin-menambahkan, "Kalau ketupat dipotong saat makan-makan Idul Fitri jadilah kupat lebaran.

Kalau dibawa ke pura, jadilah kupat persembahan." Memang, kalau hari raya Galungan,
keluarga Pak Sukri pun membawa bingkisan ke rumah kami, lengkap dengan ketupat.
Tradisi saling mengantar bingkisan makanan di antara warga berbeda agama ini menjadi hal
yang biasa di kampung yang berpenduduk campuran. Bahkan di kampung Islam Desa
Pegayaman (Bali Utara) dan di kampung Islam Desa Kepaon (Bali Selatan), tradisi ini
diwariskan turun-temurun. Masyarakat menyebut dengan istilah ngejot--saling berbagi.
Sepeninggal Pak Sukri dan ibu saya, keharmonisan hubungan berlanjut, diteruskan adik-adik
saya dan anak Pak Sukri. Yang berbeda, sudah mulai masuk "jajanan toko" dan malah itu
yang dominan, dibungkus kardus. Nah, pada generasi ketiga Cak Dul--saya tak paham
kenapa memilih jadi tukang cukur di desa--bingkisan kue dan minuman kaleng ini oleh anak
saya dikemas rapi memakai kertas kado yang sudah umum di desa. Jadilah seperti parsel.
"KPK melarang pejabat menerima parsel. Untung kita bukan pejabat," begitu pesan Cak Dul
lagi lewat WhatsApp. Saya maklum, parsel di kalangan pejabat dan para pengusaha sudah
disusupi pamrih, ada godaan, mungkin juga keterpaksaan. Beda dengan bingkisan dalam
tradisi ngejot, muncul dari hati untuk menjaga silaturahmi, perekat yang membuat guyub
berbilang tahun. Saya tak membalas pesan Cak Dul soal parsel, saya hanya menulis: selamat
menyongsong Idul Fitri, maaf lahir batin.

Terkutuk
SENIN, 04 JULI 2016

Kita terbiasa dengan gambaran ini, yang agaknya datang dari benua lain: penyair, terusir dari
Kallipolis, lusuh, bau, kelayapan, insomniak, hidup tanpa jadwal, dan memproduksi hal-hal
yang tak jelas fungsinya: sajak-sajak. Ia jarang mendapat tempat dalam sebuah struktur. Ia di
luar. Kalaupun ia ingin, Kallipolis tak akan menerimanya kembali. Dalam kota ideal yang
diangankan Plato itu, penyair adalah elemen yang hanya berperan buat memuja para
pahlawan--dan kita tahu, itu tak akan cocok, sebab pahlawan adalah tokoh yang membeku
dalam dongeng wajib. Maka ada benarnya, meskipun agak berlebihan, bila pada 1832 Alfred
de Vigny menulis bahwa penyair adalah "kaum yang akan selalu dikutuk mereka yang
berkuasa di atas bumi".
Waktu itu kota-kota Eropa, terutama Paris, mulai bergerak dengan desain modern yang lugas
dan teratur. Di sana puisi, dengan sifatnya yang tak terduga-duga, makin terasing. Paul
Verlaine menyusun kumpulan puisi, Les Poetes maudits, yang terbit pada 1884: karya-karya
"penyair terkutuk". Yang tergabung dalam rombongan ini Verlaine sendiri, juga Rimbaud dan
Mallarme--untuk menyebut yang paling dikenal di luar Prancis. Di barisan depan: Baudelaire.

Baudelaire dijatuhi hukuman setelah ia menerbitkan Les Fleurs du mal, 25 Juni 1857.
Kumpulan puisi itu dianggap menampar "moralitas masyarakat". Baudelaire tak dipenjara,
namun didenda dan enam sajak dalam Les Fleurs du mal harus dicabut.
Seperti berulang kali terjadi, sensor adalah ketakaburan yang bodoh: mengutuk buku berarti
membuatnya ramai dicari. Pada umur 36 tahun, Baudelaire telah menghasilkan satu karya
yang paling banyak dibicarakan dan dikagumi--meskipun ia semula datang untuk mencerca
dan dicerca.
Ia anak muda pesolek dan pemboros, pelanggan seorang pelacur botak yang buruk muka.
Kata orang, dari sini ia terkena raja singa yang pelan-pelan membunuhnya. Mungkin tak
hanya sifilis. Ia penikmat laudanum, candu yang dilarutkan dalam alkohol. Ia mengagumi
Edgar Allan Poe, penyair Amerika pemabuk yang menurut Baudelaire menggambarkan
"kegemilangan" opium, yang muram, hitam, tapi menggugah. Sang penyair Les Fleurs du
mal juga anggota tetap Club des Hashischins, sebuah perhimpunan sastra di Paris yang
bertujuan menjelajahi kreativitas manusia saat kesadarannya berubah karena
pengaruh hashish.
Tak mengherankan bila ia ingin ada jarak, bahkan pertentangan, antara dirinya, juga puisinya,
dan ukuran-ukuran akhlak yang lazim. "Ibu tahu," tulisnya di sepucuk surat kepada ibunya
beberapa belas tahun sebelum ia meninggal di pangkuan perempuan belahan jiwanya itu,
"bahwa aku selalu menganggap sastra dan seni mengejar tujuan yang tak tergantung kepada
moralitas."
Sajak-sajaknya memang anti-pesan-moral. Ia menyentuh dengan akrab seks, melankoli,
kematian--dengan kata-kata yang menampar. Sajak pembuka Les Fleurs du mal, "Au lecteur"
(Kepada Pembaca), menyamakan sang pembaca seperti dirinya: hipokrit. Bila manusia
berani, tulisnya, hidup yang datar seperti "kanvas yang banal" ini seharusnya bisa dihiasi
dengan "perkosaan, racun, pisau, dan api yang membasmi". Sebab ada yang "lebih buruk,
lebih jahat, lebih jorok" ketimbang semua yang mengancam kehidupan, dan itu adalah "Rasa
Jemu", l'Ennui.
"Penyair terkutuk" yang memusuhi rasa jemu itu pada gilirannya jadi posisi tersendiri dalam
hubungan sastra dengan masyarakat. Di mana-mana. Seandainya kumpulan Verlaine terbit di
pertengahan abad ke-20, dan meliputi sastra seluruh dunia, ia mungkin akan memasukkan
sajak Chairil Anwar, "binatang jalang/dari kumpulannya terbuang".
Tapi apa artinya bagi "kumpulannya", bagi masyarakatnya?
Baudelaire menyatakan karyanya tak mengejar "tujuan yang tergantung kepada moralitas".
Tapi itu tak berarti sajak-sajaknya tak berangkat dari konteks moral tertentu. "Semua sajak,
semua benda seni, sepenuhnya menyarankan secara wajar dan kukuh satu moral," tulisnya.
Keindahan tak cuma "abadi". Ia juga terpaut kepada keadaan yang merupakan gabungan
"zaman, cara hidup, moral, dan gairah hati". Dengan kata lain, dalam sesuatu yang indah, ada

yang tak tersentuh ruang dan waktu; tapi sesuatu yang indah harus hadir dalam "sesuatu", dan
"sesuatu" hanya terwujud dalam dunia manusia di mana moral dan masyarakat saling
membentuk.
Tapi ia tetap mandiri: tak bisa ditaklukkan kutukan "mereka yang berkuasa di dunia". Juga
tak bisa digunakan melayani Negara, Partai, Modal, dan Pasar. Dalam posisi itu puisi justru
menggugat. Ia menjadikan dirinya tak berguna, dan dengan itu, seperti dikatakan Adorno, ia
melawan pemujaan kepada "guna"--sebuah pemujaan yang lupa bahwa "guna" selalu
ditentukan oleh imperialisme manusia atas benda-benda.
Di tengah imperialisme itu, puisi terkutuk, tapi ia menunjukkan sesuatu yang lain: ada yang
berarti dalam benda-benda tak berguna.

Goenawan Mohamad

Bekisar
SENIN, 11 JULI 2016

Pada suatu hari sekitar tahun 1650, Amangkurat I, yang bertakhta di Mataram, menerima
sebuah persembahan yang unik: seekor bekisar, unggas keturunan ayam hutan. Yang
mempersembahkan pamannya sendiri, Pangeran Surabaya.
Bekisar ini bukan hanya cantik warna bulunya. Sebagaimana diuraikan Pangeran Surabaya di
depan Raja, menurut catatan sejarah Babad Tanah Jawi,

...bakisar puniki
pawestri asale kina
sampun sawulan lamine
lami-lami dados lanang
warnanipun apelag
dhateng saged akaluruk
mangke konjuka sang nata
Unggas elok yang dipeliharanya itu, sembah Pangeran Surabaya dengan bangga, juga
istimewa: dalam waktu sebulan ia berubah dari betina jadi jantan, dan pandai berkokok. Sang
Pangeran merasa patut mempersembahkannya kepada Raja.
Amangkurat mengucapkan terima kasih. "Saya percaya akan rasa sayang Paman," katanya.
Tapi ia berdusta. Dalam hati ia marah. Ia melihat persembahan itu sebuah isyarat jahat.
Amangkurat, raja yang bengis, adalah penguasa yang graita landhep pasemon, orang yang
dengan tajam menilik tiap isyarat dan sindiran. Kita akan menyebutnya paranoia.
Paranoia memang lazim berkembang ketika seorang penguasa makin terisolasi di
singgasananya, terutama ketika takhta yang didudukinya berimpit dengan kekerasan-sebagaimana kisah kekuasaan Mataram.
Maka esoknya Amangkurat berkata kepada para menterinya: ia curiga. Ia anggap pamannya
menyindirnya agar turun takhta, untuk digantikan putra mahkota, yang juga cucu Pangeran
Surabaya.
Ketika seseorang menyampaikan kecurigaan Raja kepadanya, Pangeran Surabaya gemetar
ketakutan. Didampingi istrinya, ia tergopoh-gopoh menghadap. Mereka menyatakan bersedia
dihukum mati jika Raja menganggap bekisar itu hanya pasemon....
Pasemon: ungkapan semu, yang mengatakan sesuatu tapi sebenarnya lain. Tapi tentu saja
ungkapan itu hanya berfungsi bila ia membentuk makna.
Dalam cerita kita, Amangkurat mengampuni pamannya. Tapi bagaimana pun ia membentuk
makna yang sama sekali berbeda dari yang ditawarkan Pangeran Surabaya. Raja secara
sewenang-wenang menganggap si bekisar bukan hewan yang unik, melainkan sebuah tanda.
Secara sewenang-wenang pula ia menafsirkan tanda itu sebagai oposisi politik.
Memberi makna sebuah tanda memang umumnya dilakukan secara arbitrer, "sewenangwenang". Sebuah tanda bisa persis sama dengan yang ditandai: foto wajah kita di KTP
menandai wajah kita. Atau sebuah tanda menjadi index dalam pengertian semiotika Pierce:
menampilkan sesuatu yang lazim mewakili sebuah pengertian, seperti asap menandai api,
jejak telapak menandai kaki. Atau, ia merupakan lambang: sesuatu yang maknanya
sepenuhnya terbentuk dan dipahami dalam proses kebudayaan, seperti bendera merah-putih,

yang praktis tak mirip dengan benda apa pun, kecuali warnanya, namun ada makna tertentu
yang diberikan kepadanya.
Tapi bekisar itu? Apa yang membuatnya jadi tanda--tanda oposisi? Tak ada. Kelak, selama
pemerintahannya yang penuh konflik, Amangkurat akan disindir dengan perumpamaan
"kalpika" (cincin) yang terlalu kecil atau "kenaka" (kuku) yang patah. Tapi bekisar tak ada
hubungannya dengan imaji negatif seperti itu. Tidak dari bentuknya. Tidak pula dari
transformasinya dari betina jadi jantan; dalam dunia misoginis Amangkurat, perubahan itu tak
akan tampak sebagai penghinaan. Bekisar itu bukan juga nama hewan yang bunyi akhir suku
katanya bisa jadi wangsalan, semacam pantun yang menyindir--sebuah permainan verbal
Jawa yang secara berliku-liku mengasosiasikan, misalnya, pengertian "tumben" (dalam
bahasa Jawa, kadingaren) dengan pohon nyiur gunung (dalam bahasa Jawa, aren).
Dengan kata lain, Amangkurat membentuk makna dengan kesewenang-wenangan yang
ekstrem. Ia ciptakan sesuatu yang gawat dari yang praktis bukan apa-apa.
Dari masa ke masa, orang memang merasa perlu menghindar dari ekspresi verbal. Kata bisa
berbahaya. Mungkin karena bahasa dirasakan lebih terbatas maknanya ketimbang dunia di
luarnya. Dalam keadaan itu, sebuah ungkapan bisa terjebak dalam makna yang terbatas pula.
Maka ungkapan pikiran dan perasaan pun dinyatakan dengan benda-benda atau sikap tubuh.
Makna terbentuk secara "intersemiotik", yang verbal dan non-verbal susup-menyusupi.
Sebenarnya itu satu bentuk perlawanan sosial terhadap kekuasaan yang antisosial. Ketika ia
membentuk sendirian sebuah makna dari nol, dengan membuat seekor bekisar yang unik jadi
tanda yang mengancam, Amangkurat menganggap mutlak kekuasaannya atas apa pun, juga
atas makna. Ia mirip Tuhan.
Tak mengherankan bila akhirnya, dengan alasan yang berbeda, ia bunuh Pangeran Surabaya
beserta seluruh keluarganya. Seperti Tuhan, ia jarang berunding. Tapi cerita belum berhenti.
Di hadapan itu manusia, bersama-sama, bisa memperluas makna.

Goenawan Mohamad

Pelajaran dari Horor Brebes Exit


JUMAT, 15 JULI 2016

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI

Hanya orang tolol yang meminta saya mundur, kata Menteri Perhubungan Ignasius Jonan,
seperti banyak dikutip media. Pernyataan itu merupakan respons atas desakan banyak pihak
agar dirinya mundur sebagai menteri setelah terjadinya "horor di Brebes Exit, pintu keluar
tol di Brebes, beberapa hari sebelum Lebaran. Apa yang dinyatakan Jonan tidak 100 persen
salah. Namun pernyataan itu terasa memilukan karena dilontarkan tanpa perasaan dan empati
bagi masyarakat yang menjadi korban Brebes Exit.
Lalu, pelajaran apa yang bisa kita tarik dari peristiwa ini? Pertama, adanya kesalahan
kalkulasi, bahkan oleh Presiden Jokowi sendiri. Secara gamblang Presiden menyatakan
bahwa Brebes Exit akan mampu mengatasi kemacetan dalam arus mudik Lebaran dan
masyarakat diimbau agar melintasi ruas Brebes Exit itu. Jika didukung oleh data teknis yang
akurat, seharusnya pernyataan Presiden tidak seperti itu.
Ini menunjukkan pernyataan Presiden hanya berbasis populisme serta pernyataan belaka
tanpa pasokan data dan informasi dari pejabat teknis yang kompeten, terutama dari Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Perhubungan, Korps Lalu Lintas
Kepolisian RI, serta operator jalan tol. Bagaimana mungkin ruas Brebes Timur langsung
diintegrasikan dengan tol Cikampek, Cipali, dan Cipularang tanpa dilengkapi dengan
infrastruktur pendukung lainnya, seperti rest area dan SPBU? Padahal, 1,1 juta mobil sudah
diperkirakan akan bergerak meninggalkan Jabodetabek.
Kedua, komunikasi publik yang buruk. Setelah kejadian horor Brebes Exit, sampai detik ini
belum ada penjelasan resmi dan komprehensif mengapa kasus itu bisa terjadi. Antar-pejabat
teknis saling "saur manuk tanpa arah dan argumentasi yang jelas. Ini menunjukkan nihilnya
koordinasi antar-kementerian dan lembaga struktural lainnya. Masing-masing pejabat saling
lempar tanggung jawab, saling menyalahkan. Komunikasi publik macam apa yang
dipertontonkan kepada khalayak?
Ketiga, minimnya empati. Seharusnya, setelah menjelaskan duduk persoalan yang ada kepada
masyarakat, langkah berikutnya adalah meminta maaf atas kecerobohan dan keteledoran yang
dilakukan. Bukan malah menyalahkan masyarakat yang dianggap saling menyerobot
sehingga memperparah keadaan. Jika hal ini terjadi di Jepang, pejabat yang berkompeten
akan mengundurkan diri, atau bahkan bunuh diri. Atau, contohlah Menteri Energi Jepang.
Lantaran listrik di Jepang padam selama 20 menit, ia membungkukkan badan selama 20
menit sebagai bentuk permohonan maaf kepada rakyat Jepang.
Terakhir, dari sisi masyarakat, seyogianya mereka mengantisipasi dan menyiapkan perjalanan
mudik secara optimal, dari pasokan bahan bakar minyak, logistik, hingga obat-obatan ringan.
Ini sangat penting karena bagaimana pun, perjalanan mudik sebenarnya berisiko tinggi.
Mungkin kemacetan merupakan hal yang jamak. Hal lain yang lebih mengerikan adalah
aspek keselamatan yang rendah, terutama untuk sektor transportasi darat. Ingat, saban tahun,
ratusan nyawa melayang selama arus mudik Lebaran akibat kecelakaan lalu lintas. Pada
2015, jumlah korban meninggal mencapai 646 orang dari 5.675 kecelakaan lalu lintas.

Prosesi mudik Lebaran merupakan prosesi rutin tahunan. Seharusnya pemerintah bisa
menyiapkannya dengan lebih baik. Kesiapan sarana dan prasarana transportasi seharusnya
lebih progresif, baik di level nasional maupun daerah. Masih minimnya kapasitas transportasi
publik seharusnya menjadi agenda utama untuk pembenahan. Keberadaan sepeda motor
untuk moda transportasi mudik seharusnya semakin minim, bukan malah semakin
mendominasi. Perilaku masyarakat selama mudik seharusnya juga membaik. Tidak saling
serobot, memakan jalur dari arah yang berlawanan, atau membuat kemacetan lalu lintas
semakin mengunci (gridlock).
Terakhir, jangan ada dominasi egoisme sektoral institusi pemerintah. Horor Brebes Exit
sejatinya lebih didominasi oleh nihilnya koordinasi dan sinergi antar-institusi pemerintah.
Presiden pun jangan terlalu menonjolkan sisi populisme tanpa ditopang data yang akurat.

Balik
SABTU, 16 JULI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Arus balik tidak separah arus mudik. Tidak ada target waktu yang harus dikejar sebagaimana
orang mudik yang ingin merayakan Idul Fitri di kampung halamannya. Apalagi masuk kantor
bagi pegawai swasta tak seketat pegawai negeri. Awal tahun ajaran baru pun untuk Jakarta,
dan kota-kota lain di Jawa, diundur seminggu dibanding di luar Jawa. Urusan mudik dan
balik praktis persoalan Pulau Jawa, bukan Nusantara.
Soal balik sesungguhnya masalah yang berat, jauh lebih berat dibanding mudik. Balik harus
membuang kenangan manis di kampung halaman, berpisah dengan tanah kelahiran, emak,
bapak, kakek, nenek, dan semua tetua di kampung. Orang-orang yang mudik adalah orang
yang membawa harapan untuk "dimuliakan di kampungnya. Sebagian memamerkan mobil,
tak peduli itu mobil sewaan. Sebagian lagi memamerkan apa yang mereka banggakan sebagai
"budaya kota, entah itu pakaiannya, gayanya, atau sekadar memperlihatkan handphone yang
berisi berbagai jenis games. Mereka ingin disebut orang-orang yang berhasil. Dan begitu
bersalaman di kampung, mereka pun merasa sebagai pemenang dalam kehidupan. Di
kampung halaman itu mereka di-wongke.
Dan kini mereka balik dengan kegelisahan baru. Menjebol tabungan untuk membayar sewa
mobil bagi pemudik kelas menengah. Menanggalkan cap "manusia pemenang yang sempat
disandang beberapa hari di kampung bagi pemudik kelas bawah. Golongan ini, yang
jumlahnya banyak, memanfaatkan program mudik gratis, kembali menjadi "manusia
pecundang di Jakarta. Ada yang bekerja sebagai asisten rumah tangga --sebutan di masa
lalu: babu-- yang setiap hari dihinakan oleh majikannya secara sengaja atau pun tidak. Ada
yang mengais rezeki di kaki lima yang setiap saat meraung-raung dalam tangis ketika Satuan
Polisi Pamong Praja melucuti dagangannya atas nama keindahan kota. Ada yang kembali ke
rumah petak berdesak-desakan sembari menghitung hari, kapan mereka akan digusur.
Kenangan salat Idul Fitri di kampung, kenangan ketika sungkem dan bersalaman dengan
tetua, kenangan ketika makan ketupat dengan opor ayam seadanya, juga ucapan yang sering
dilontarkan ("saya sekarang bekerja di Jakarta), lenyap. Tak ada yang tersisa, hidup berat
dimulai kembali begitu ritual balik selesai. Ya, kembali, seperti sinonim kata balik itu
sendiri.
Ada perumpamaan mudik ke kampung tak ubahnya ziarah men-charge baterai rohani. Tapi isi
baterai tak cukup bertambah bagi orang yang stok baterainya lemah, mereka yang pulang
dengan sepeda motor, ikut mobil gratis yang disediakan partai politik atau juragan jamu.
Akibatnya, ketika mudik berganti balik, perilaku kembali ke waktu silam. Kekerasan hidup
kembali hadir: saling sikut mencari rezeki, menghalalkan hal-hal yang menyimpang, korupsi
bagi pemudik menengah ke atas --mana ada pemudik kere yang korupsi? Caci maki dan
fitnah pun marak lagi di media sosial karena, konon, media ini bisa melahirkan "pembenci
berbayar.
Adakah upaya agar lingkaran yang berulang ini bisa diperkecil? Misalnya, dana desa yang
miliaran rupiah itu bisa dipakai untuk membangun sesuatu yang bermanfaat bagi

pengembangan ekonomi rakyat. Bukan hanya untuk proyek fisik yang menyebabkan balai
desa yang masih kokoh harus dibongkar untuk dibangun kembali. Urbanisasi harus direm
dengan mengucurkan lebih banyak proyek ke desa. Kalau masyarakat hidup layak di desa,
suatu ketika tak ada istilah mudik dan balik. Yang ada piknik. Jakarta akan macet di saat libur
Lebaran dan sepi kembali pada saat arus balik datang; orang-orang balik ke desa.

Mengapa Daging Sapi Mahal


SENIN, 18 JULI 2016

R. Ahmad Romadhoni Surya Putra, Dosen Fakultas Peternakan UGM

Salah satu bahan pangan yang selalu menjadi isu nasional adalah daging sapi. Naiknya harga
daging sapi akhir-akhir ini bisa menjadi indikator bahwa suplai daging sapi kita sangat
terbatas dibandingkan dengan permintaan konsumen. Harga daging yang naik hingga ratarata Rp 110- 120 ribu per kilogram di pasar tradisional membuat konsumen dan produsen
pangan olahan berbasis daging berteriak. Kemudian Presiden Joko Widodo menginstruksikan
agar harga daging sapi bisa ditekan hingga Rp 80 ribu. Ini kebijakan yang cukup rasional dari
sisi konsumen tapi kontroversial di sisi produsen.
Penelitian oleh Widiati (2016) menunjukkan bahwa harga sapi saat ini mencapai rata-rata Rp
45 ribu per kilogram, yang jika dikonversikan ke harga daging mencapai rata-rata Rp 95 ribu
per kilogram pada saat keluar dari rumah potong hewan. Artinya, harga daging saat ini masih
cukup layak dari sisi produsen. Itu sebabnya mengapa kebijakan Presiden menjadi
kontroversial dari sisi produsen dan pedagang daging.
Mengapa harga daging sapi mahal? Kita perlu melihat proses produksinya. Secara umum,
budi daya sapi potong di Indonesia adalah mixed farming atau peternakan terintegrasi dengan
budi daya pertanian. Hal ini telah dipraktekkan oleh petani kita sejak awal abad ke-19
(Tanner, 2001).
Ini merupakan siasat petani untuk mengatasi keterbatasan lahannya. Para ahli juga menilai
bahwa model budi daya ini diyakini menjadi salah satu solusi terhadap percepatan
pertumbuhan penduduk dan penyempitan lahan pertanian. Menurut BPS, pada 2013 terdapat
12 juta rumah tangga peternak dengan 12 juta ekor sapi potong. Rata-rata setiap rumah
tangga petani memiliki 1-2 ekor ternak. Jika disandingkan dengan kepemilikan lahan petani
yang rata-rata 0,34 hektare, hal ini menunjukkan bahwa model peternakan terintegrasi masih
menjadi tulang punggung produksi daging nasional.
Dengan lahan yang kecil, para peternak harus memaksimalkan pendapatan dengan
mengoptimalkan keterbatasan sumber dayanya. Lahan sempit itu harus ditanami tanaman
pangan, rumput, dan bahkan komoditas lain. Dalam pemeliharaan sapi, kondisi ini
memunculkan inefisiensi karena peternak harus mengeluarkan biaya pakan tambahan untuk
menjamin ketersediaan pakan. Dengan biaya pakan yang mencapai 70-80 persen dari total
biaya pemeliharaan, beban inefisiensi produksi pada akhirnya harus ditanggung oleh petani.
Penelitian FAO pada 1995 menyatakan, dengan keterbatasan itu, peternak harus
berkolaborasi dengan unsur lain untuk mengakses konsumen. Di Indonesia, daging-daging
sapi yang dipasok petani itu harus melewati rantai pemasaran yang cukup panjang untuk
mencapai meja makan konsumen. Dalam kajian dari Kementerian Pertanian, daging sapi
membutuhkan rata-rata sembilan titik di saluran pemasaran untuk mencapai konsumen. Jika
pada setiap titik mendapatkan margin atau selisih 10 persen dari harga sebelumnya, bisa
diprediksi bahwa harga di tingkat konsumen bisa mencapai hampir 140 persen dari harga di
tingkat petani.

Harga daging yang mahal di tingkat konsumen menjadi indikator dari dua inefisiensi, yaitu
pada saluran pemasaran dan proses budi daya. Jika melihat rata-rata konsumsi daging sapi per
tahun yang mencapai 2,6 kg/kapita atau hampir 700 ribu ton atau setara dengan 4 juta ekor
per tahun, tanpa adanya terobosan kebijakan dari pemerintah, masalah harga daging mahal,
keterbatasan stok, isu impor daging, dan lain-lain akan selalu berulang.
Model pendekatan peternakan terintegrasi dengan skala usaha kecil seperti saat ini bukanlah
solusi yang bijak untuk menghadapi tantangan masa depan. Perlu ada batasan minimal skala
usaha dari pemerintah agar peternak bisa mengadopsi nilai-nilai efisiensi usaha peternakan.
Negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia, sangat berhasil dengan menerapkan nilainilai efisiensi tersebut.
Pemerintah juga harus melakukan terobosan dalam mengefisienkan rantai pemasaran dengan
merujuk pada efektivitas penyaluran barang dan jasa hingga ke tingkat konsumen (Kotler,
2009). Artinya, panjang-pendeknya rantai pemasaran tidak selalu berkorelasi dengan
inefisiensi. Inefisiensi justru muncul ketika di antara titik-titik di rantai pemasaran justru
berkompetisi tidak sehat dan menciptakan ketergantungan pasokan daging pada level
selanjutnya. Tampaknya, praktek semacam kartel tersebut banyak terjadi di sini. Pemerintah
dapat menjadi penyeimbang di pasar dengan peran-peran BUMN di pasar daging sapi untuk
mengatasi praktek-praktek tidak fair di saluran pemasaran.

Resah
JUM'AT, 22 JULI 2016

Putu Setia

Pokemon Go membuat banyak orang resah. Orang-orang biasa, bupati, gubernur, menteri,
kepala kepolisian, atau kepala intel, semuanya resah dan melarang games ini dimainkan. Ada
yang memakai alasan merusak konsentrasi kerja, mengganggu pelayanan, tempat kerja bukan
taman bermain, membahayakan negara, dan seterusnya.
Saya juga resah. Padahal, di saat teknologi sedemikian canggih sekarang ini, saya justru tak
pernah bermain games di komputer, apalagi di handphone. Awal munculnya komputer, saya
hanya bermain Digger dan Pac-Man. Kini tak ditemukan lagi permainan itu.
Saya menuangkan keresahan kepada Romo Imam, siapa tahu ada solusi. Saya awali dengan
cerita bahwa saya kurang berhasil membuat cucu-cucu saya meninggalkan tabletnya. Ada
lima cucu dari dua anak, terbesar kelas V SD, terkecil baru TK. Semuanya dibekali tablet
oleh orang tuanya yang "super-sibuk". Tak diperlukan lagi pengasuh anak-anak, dan tablet
itulah gantinya.
Kelima cucu saya suka berkumpul, tapi jarang bermain bersama, seperti ketika saya seusia
mereka suka bermain pistol-pistolan dari pelepah pisang. Cucu kumpul, tapi pada diam.
Semua asyik dengan tabletnya. Kalau pulang kampung bersama, saya memutar video wayang
kulit di mobil. Maksud saya supaya paham budaya Nusantara. Tapi mereka tetap asyik
dengan tabletnya. Eh, orang tuanya juga asyik ngetweet dan fesbukan.
Cucu paling besar sukanya games, entah jenis apa. Adiknya gemar video lucu di YouTube,
lalu ketawa sendiri. Yang paling kecil juga kontak YouTube. Yang digemari Upin & Ipin, tak
kenal bosan. Bahkan ada channel interaktif berlogat Malaysia dan cucu saya itu ngobrol
dengan tablet--saya yakin yang menjawab mesin. Kalau saya tegur, cucu saya menjawab
dengan logat Malaysia: "Datuk, janganlah ganggu awak..."
Romo Imam mulai bertanya: "Berapa habis pulsa sebulan?" Saya katakan, di rumah ada WiFi gratis untuk pendeta, entah sumbangan PT Telkom atau dibayar organisasi umat. Keluar
dari rumah juga ada banyak Wi-Fi gratis di tempat umum atau pasar modern. Selain itu, cucu
saya dibekali "paket hemat internet" hanya Rp 10 ribu sebulan untuk 500 megabyte. Praktis,
leluasa untuk internetan. Hanya, di sekolah tak bisa karena guru melarangnya, bahkan
handphone dan tablet dikumpulkan di depan kelas.
Tiba-tiba Romo bereaksi: "Tiru cara guru di sekolah. Pada waktu tertentu, tarik semua
tabletnya." Saya katakan, itu sulit. Pernah suatu kali saya bilang, "Ayo berhenti main internet,
taruh semua tablet". Lalu ada yang jawab: "Suruh dulu Bapak dan Mamak menaruh hapenya." Cucu lain menimpali: "Kakek, kok juga suka mencet-mencet hape?"

Kepada Romo, saya membela diri. Saya ikutan ngetweet dan fesbukan untuk mencari
informasi dan memberikan pencerahan kepada umat (untuk bagian ini saya ucapkan sedikit
malu karena agak berlebihan), bukan menebar kebencian. Cucu saya itu hanya bermain-main.
Romo jadi tertawa: "Sampeyan ini bagaimana sih, itu sudah kewajiban setiap orang, sesuai
dengan tugasnya. Anak-anak seusia begitu memang tugasnya bermain. Alat mainnya
disediakan zaman; dulu pistol dari pelepah pisang, sekarang pakai teknologi."
Saya terperanjat. "Bagaimana dong, Romo?" Romo menasihati: "Ketimbang resah, lebih baik
para orang tua dan pemimpin memberi contoh. Jangan main larang, yang justru membuat
orang penasaran. Teknologi sulit dibendung. Lebih baik mengarahkan. Namanya permainan,
sebentar lagi diganti permainan baru, apa keresahan juga bersambung? Khusus Pokemon Go,
teliti yang benar. Kalau membahayakan negara, blokir. Jangan banyak debat."

Eropa
SENIN, 25 JULI 2016

Di tepi jalan kereta api di stasiun Koeln Messe/Deutz, patung-patung raja berkuda jadi hijau
oleh cuaca beratus tahun. Terselip di antara pepohonan dan kabel-kabel yang terentang,
mereka seperti barang logam bekas yang diletakkan di sana karena orang tak tahu ke mana
harus dibuang. Yang saya lihat sebuah sosok yang seakan-akan sedang menggerakkan
kudanya maju, tapi jalan telah raib. Abad ke-21 meletakkan sisa-sisa raja ke ruang yang
kehilangan arti.
Tentu saja tak hanya sisa-sisa raja. Dan tak hanya di Jerman. Juga mimpi dan rasa cemas di
Eropa yang membagi-bagi benua itu--sebelum atau pun sesudah Brexit. Dari jendela gerbong
dari Frankfurt menuju Amsterdam--ini tahun 2012--saya menyadari, tapal batas antara
Belanda dan Jerman kini hanya dikenang sebagai cerita absurd nasionalisme. Ribuan orang
mati dalam dua perang besar abad ke-20 untuk mengubah letak tapal batas itu. Di abad ke-21,
yang mati pura-pura dikenang, dan yang dipertengkarkan tak berbekas.
Tapi benarkah? Peta telah jadi digital, ya--namun kemajuan tak dengan sendirinya disertai
tumbuhnya sesuatu yang nyaman: ruang hidup yang akrab. Eropa telah jadi bangunan
supranasional; pelbagai keputusan yang mengatur hidup orang ditentukan nun jauh di luar ibu
kota negeri masing-masing, oleh orang-orang, terutama para teknokrat, yang duduk di markas
besar Uni Eropa di Brussels. Tapi dengan demikian, ada sebuah proses yang terasa tak
terjangkau, terasa tak hadir.
Dalam sebuah wawancara dengan Die Zeit 12 Juli 2016--setelah Brexit--Habermas menyebut
terjadinya pengosongan teknokratis (technokratische Entleerung) dari kehidupan. Uni
Eropa, kata Habermas, dibentuk sedemikian rupa hingga keputusan ekonomi yang paling
elementer, yang akibatnya mengenai seluruh masyarakat, ditanggalkan dari pilihan
demokratis. Brexit adalah gejala pasca-demokrasi, ketika orang banyak, para warga,
merasa hak dan kendali mereka lepas, dan sebab itu mereka bangkit untuk merebutnya
kembali dalam sebuah referendum.

Dengan kata lain Brexit sebuah ungkapan anti-teknokrasi. Ada keinginan kembali kepada
ruang hidup yang lebih akrab. Ada keyakinan yang tumbuh bahwa dalam ruang hidup itu
peran negara nasional, yang mengikutsertakan para warga, bisa lebih cocok dengan keinginan
orang banyak.
Yang dilupakan, suara orang banyak di Jerman, Prancis, Italia, dan lain-lain itulah yang
pernah bersorak untuk nasionalisme dan perang. Maka tak mengherankan bila Persatuan
Eropa--dengan tujuan mencegah perang baru--sejak mula dirintis dengan langkah yang mirip
cara membentuk perusahaan besar ketimbang ramai-ramai mendirikan sebuah alternatif bagi
nasionalisme. Jean Monnet, Bapak Eropa, tak memulainya dengan gerakan politik. Ia
mendirikan Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa, yang mengintegrasikan industri Jerman
dan Prancis, yang dikoordinasi sebuah otoritas tinggi.
Separuh karena impian perdamaian, separuhnya lagi dengan pragmatisme, negeri-negeri
Eropa lain bergabung (Inggris menolak--sebuah indikasi Brexit yang paling awal). Lembaga
inilah yang setahap demi setahap jadi Uni Eropa, lewat diplomasi dan pengembangan
organisasi yang rumit. Monnet cocok untuk proses itu. Ia orang Prancis kelahiran 1888, anak
saudagar brendi yang sejak usia muda mewakili bisnis keluarganya di pelbagai negeri. Lahir
di Cognac, ia menggambarkan tempat lahirnya sebagai kota brendi di mana orang
mengerjakan sesuatu dengan perlahan-lahan dan penuh konsentrasi. Politik, baginya, berarti
negosiasi yang sabar di tingkat atas, bukan kampanye untuk mendapat dukungan khalayak
ramai.
Monnet meninggal pada usia 91 tahun. Eropa yang bersatu mulai jalan dan membesar.
Dimulai dengan enam, kini ia persatuan 28 negara, terutama bekas negara sosialis yang
dengan cepat jadi kapitalis. Tak mengherankan bila modal (bukan khalayak ramai) sangat
berperan. Sebuah laporan Oxfam menyebutkan, dalam kelompok yang memberi masukan
untuk reformasi pajak Eropa, 82 persen adalah wakil kepentingan swasta dan komersial. Kata
seorang sosiolog: Uni Eropa adalah sebuah mesin deregulasi.
Dan peran negara dalam menjaga keadilan jadi layu, dan kesepakatan untuk reformasi makin
rumit, dan ketimpangan sosial menajam. Sekitar 123 juta orang Eropa terancam miskin ketika
tak sampai 400 orang hidup dengan bermiliar euro.
Pengosongan teknokratis akhirnya juga pengosongan proyek Eropa dari antusiasme
bersama. Rakyat banyak pun cari harapan di tempat lain--dengan kemarahan. Kami,
underdogs yang tersingkir, berdiri melawan Mereka, siapa saja yang bukan-Kami.
Suasana antagonistis seperti api dalam sekam. Kekerasan datang, kemarahan menjalar.
Dan Eropa, seperti patung kuda para raja di tepi rel itu, belum tampak mau ke mana.

Goenawan Mohamad

Reshuffle Jilid 2
SABTU, 30 JULI 2016

Toriq Hadad, @thhadad

Surat panjang itu mampir ke WhatsApp saya. Pengirimnya: istri saya. Saya kaget. Selama ini
dia belum pernah menulis sepanjang itu. Dan rasanya rumah tangga kami baik-baik saja.
Setoran gaji bulanan pun masih aman-aman saja. Apa yang diprotes?
Ternyata bukan surat protes. Itu surat pamit Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang baru bekerja 20 bulan tapi sudah ikut kena reshuffle. Anies menulis untuk
guru, kepala sekolah, dan tenaga pendidik. Rupanya dalam waktu singkat surat itu menyebar,
dari kalangan pendidik --termasuk istri saya yang mantan guru-- sampai ke segala penjuru
Tanah Air.
Saya lega ini bukan soal "domestik" rumah tangga. Tapi kiriman pesan WhatsApp berikutnya
dari istri membuat saya pusing kepala. "Kenapa sih menteri yang baik dan pintar diganti,
yang membuat harga daging mahal malah nggak dicopot. Tolong tanyakan ke Presiden
Jokowi. Bilang ya ini suara ibu-ibu."
Ini "penugasan" berat, jatuh gengsi saya sebagai wartawan kalau tak sanggup menjawab.
Saya pun mulai kasak-kusuk, mencari info seputar reshuffle kabinet Rabu Pon lalu itu.
Sumber resmi, setengah resmi, yang layak kutip sampai tak layak dipercaya saya kontak.

Celakanya, tentang penggantian Anies Baswedan, tidak ada info yang masuk akal. Mereka
hanya bilang: itu soal politik, hanya Presiden yang tahu persis.
Kalau sumber sudah bilang begitu, jawaban berikutnya harus dianggap sebagai "analisis,
harapan, keinginan, atau malah angan-angan". Misalnya tentang Sri Mulyani yang akhirnya
mau dibujuk masuk kabinet. Info yang kelasnya "analisis" bilang begini: itu karena Presiden
Jokowi bisa meyakinkan Sri Mulyani bahwa pemerintah akan mempertahankan dia kalau ada
suara yang mempertanyakan kebijakan Sri Mulyani di masa lalu dalam kasus bailout Bank
Century. Kesan yang tercipta, kata sumber ini, pemerintahan lalu "membiarkan" Sri Mulyani
pergi ke Bank Dunia, pemerintah Jokowi berhasil membawanya pulang.
Bagaimana pula dengan Golkar yang dulu getol mempersoalkan Sri Mulyani? Sumber ini
bilang: Golkar sekarang berbeda dengan zaman Aburizal Bakrie. Golkar masa kini sudah bisa
ditangani Presiden Jokowi, malah kabarnya sudah mendukung Jokowi untuk kembali
menjabat pada 2019. Saya cuma manggut-manggut mendengar "analisis" ini.
Info kelas "harapan, keinginan, atau angan-angan" bilang seperti ini: Sri Mulyani mau
bergabung karena, selain menteri keuangan, dia dijanjikan jabatan wapres untuk 2019. Ini
soal strategi besar. Bukan tidak mungkin dalam pemilihan presiden nanti banyak partai akan
mengusung perempuan. Partai Demokrat bisa mengusung Bu Ani Yudhoyono, kalau PDI
Perjuangan maju sendiri mungkin saja akan menjagokan Puan Maharani. Sri Mulyani sangat
pantas bersaing kalau dia berpasangan dengan Jokowi. Kata sumber saya, ini contoh pikiran
out of the box dari Presiden. Angan-angan begini memang asyik didengar, tapi terus terang
saya tidak percaya.
Tentang masuknya Wiranto dalam kabinet, sumber lain tidak menjawab saya tapi malah
melontarkan "analisis". "Pemerintah Jokowi menolak Soeharto sebagai pahlawan, boleh dong
Wiranto sebagai bekas ajudan Soeharto mendapat penghormatan. Ya, anggap saja pelipur lara
untuk mereka yang masih bercita-cita menjadikan Soeharto pahlawan." Saya juga tidak
percaya analisis serampangan begini.
Lantaran sibuk cari info ini, malam itu saya pulang sangat larut. Seisi rumah sudah lelap.
Aman. Tapi hanya beberapa jam. Di pagi hari, begitu melek mata, istri saya sudah tak sabar
menunggu: jadi kenapa Anies Baswedan diganti?

Orloj
SENIN, 01 AGUSTUS 2016

Jam besar berumur 600 tahun di Kota Praha itu berubah, dalam sejarahnya, jadi rasa waswas
akan sesuatu yang disebut "Turki". Terpasang di menara pada dinding selatan balai kota Kota
Tua di Staromestske Namesti, tanda waktu itu, Orloj, disusun dengan sederet simbol yang
berpesan.

Di kiri-kanan lingkaran jam, tampak empat patung kecil dari kayu. Ada sebuah rangka
manusia. Ia separuh berjubah dan memegang sebuah kotak panjang di tangan kiri; di
dalamnya tampak gelas waktu. Di tangan kanannya sebuah lonceng. Di tiap jam, sang
tengkorak menggoyangkan lonceng itu dengan keloneng yang nyaring. Ia lambang Maut.
Tiga yang lain berwajah manusia. Sosok pertama membawa cermin--lambang watak genit
yang sibuk mempercantik diri. Sosok kedua membawa kantong uang--lambang sifat rakus
dan bakhil. Sosok ketiga seseorang yang membawa alat musik dengan dawai--lambang
kesenangan kepada kemewahan dan kenikmatan jasmani.
Si Genit, Si Bakhil, dan Si Mewah menggelengkan kepala tiap kali lonceng Maut berbunyi:
mereka tak mau menerima bahwa hidup ini fana....
Agama, rasa cemas, dan purbasangkanya mendekam awet di jam tua itu. Tanda waktu itu
adalah bagian sejarah agama dalam masa yang sengit. Di bagian atas menara, ada dua tingkap
kecil. Tiap kali Maut mengguncangkan lonceng, kedua jendela itu terbuka. Di ambangnya
akan tampak para rasul, murid-murid Yesus yang awal, tampil berurutan, seakan-akan
menengok dari langit. Mereka tampak menilai apa yang terjadi di bawah, di bumi yang alpa
dan penuh kontradiksi--dunia yang tak sepenuhnya positif, tak sepenuhnya Kristen.
Patung Si Bakhil berhidung bengkok: ia "Yahudi". Dua dari patung kecil itu, Si Genit dan Si
Mewah, memakai sorban. Mereka "Turki".
Di lingkar wajah jam yang kedua, yang di bawah, ada juga dua boneka kayu yang "Turki".
Tapi di sini orang-orang bersorban itu tak menggambarkan kemewahan. Yang di sebelah kiri:
"filosof", memegang buku. Yang di sebelah kanan: pakar astronomi, memegang teleskop.
Mereka tak dibiarkan sendiri. Di dekatnya ada sosok Malaikat Mikail, dengan pedang
terhunus dan tongkat yang menunjuk ke waktu yang bergerak.
Bekas-bekas ketegangan antara iman dan ilmu terasa di Orloj. Para pembangun tanda waktu
itu tampak hendak menegaskan bahwa ilmu tak bisa berdiri sendiri, tak akan sanggup
menampik datangnya Hari Kiamat. Apalagi sejak beberapa abad sebelumnya mereka berasal
dari sumber-sumber bukan-Nasrani: dari dunia ilmu dan pemikiran Islam, yang di patungpatung kecil itu dipersonifikasikan sebagai "Turki".
Tapi "Turki" di sini tak harus identik dengan "Islam". Di zaman ketika patung-patung itu
dibuat, Eropa masih merasa asing dengan keduanya. Di Orloj, "Turki" pada dasarnya
"mereka", "yang bukan-kita".
Dalam Early Orientalism: Imagined Islam and the Notion of Sublime Power (2014), Ivan
Kalmar menafsirkan konfigurasi patung-patung dalam Orloj dari sejarah pergulatan sengit
dan berdarah antara Gereja Katolik dan Protestan.
Praha berada di pusat konflik itu; kota ini di bawah kekuasaan Katolik. Pada 1620, kaum
Katolik menang penuh dalam pertempuran di Pegunungan Putih. Praha dibangun kembali.

Gedung-gedung berubah; arsitektur gothik dan gaya zaman Pencerahan diganti dengan
bangunan barok.
Beberapa tahun berikutnya, di jam tua di Staromestske Namesti dipasang patung-patung
"Turki" itu. Ada niat menunjukkan--terutama kepada kaum Protestan--bahwa di luar Gereja
Katolik, dunia tak akan dapat mencapai kebaikan dan kebenaran. Ada kehendak menegaskan
bahwa Reformasi yang dibawakan Luther dan Calvin menyesatkan, karena akibat
pembangkangan mereka, manusia meyakini sebaliknya.
Orloj tampaknya hendak mendahului apa yang dua abad kemudian dikemukakan Hegel:
Reformasi, lahirnya Protestantisme, mengguncang supremasi Gereja Katolik, dan sejak itu
timbul kesadaran bahwa kekuasaan sekuler juga bisa memberikan dunia yang baik. Yang
terjadi di Praha, sebuah kemenangan politik Kontra-Reformasi, adalah kehendak
meneguhkan kembali agama di atas apa yang disebut Hegel das Weltliche, yang "duniawi".
Tapi mampukah agama? Dari bagian atas menara Orloj, para rasul yang sudah di langit
menengok ke bawah. Tapi dari sana tak ada kuasa yang mengendalikan apa yang oleh Gereja
disebut "bakhil", "genit", "mewah", apalagi membimbing filsafat dan ilmu. Pundi-pundi
uang, cermin, dan alat musik--juga buku dan teleskop--ternyata punya energi sendiri. Mereka
mampu menggagalkan purbasangka dan kecemasan agama.
Akhirnya, segala yang "Turki", alias iman dan buah kebudayaan lain, hanya bisa dicurigai-atau dikarikaturkan dengan patung-patung kecil. Jam yang menakjubkan itu pada gilirannya
hanya jadi hiasan Praha. Di Lapangan Kota Tua itu, ketika Sang Maut membunyikan lonceng,
akan kita lihat para turis bertepuk.

Goenawan Mohamad

Reshuffle dan Ancaman Koalisi Tambun


SENIN, 01 AGUSTUS 2016

Ikhsan Darmawan, Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Pada 27 Juli lalu, Presiden Joko Widodo kembali membongkar-pasang menteri Kabinet
Kerja. Jokowi mengubah 14 pos, yakni 12 pos menteri dan 1 pos ketua lembaga setingkat
menteri serta menambah 1 pos wakil menteri. Reshuffle kabinet jilid II ini digelar 11 bulan
sejak pergantian menteri jilid I dilakukan pada 12 Agustus 2015.
Karena diadakan ketika belum genap setahun dari pergantian menteri sebelumnya, kesan
bahwa reshuffle kali ini agak terburu-buru tak bisa dihindari. Selain itu, kesan ini
menyiratkan adanya hal-hal yang bersifat mendesak.
Pertama, Jokowi sebagai presiden yang bukan ketua umum partai politik kurang yakin dan
percaya diri bahwa jabatan yang dipegangnya memang betul-betul "aman". Karena itu,
kemudian dukungan dari lima partai masih harus ditambahnya lagi dengan dua partai lain,
yaitu Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Apa yang dilakukan ini sejalan dengan yang dimaksudkan oleh Alejandro Quiroz Flores dan
Alastair Smith dalam artikel mereka di Economics and Politics (2011) sebagai motif leader
survival. Jokowi tidak dapat sepenuhnya berkesimpulan bahwa dirinya tak akan pernah
bermasalah dengan seluruh partai politik, baik yang mendukung maupun tidak
mendukungnya. Untuk menjaga agar dirinya dapat bertahan dari kemungkinan ancaman dari
semua partai itulah, Jokowi memilih strategi menambah deretan partai pendukungnya.
Asumsi di atas diperkuat lagi dengan kondisi bahwa jatah kursi menteri dari partai
pendukung sebelumnya tidak ada yang berkurang jumlahnya, kecuali Partai Hanura.
Selebihnya hanya bergeser personelnya. Partai NasDem hanya berganti pos, dari sebelumnya
memegang pos Menteri Agraria/Kepala BPN menjadi ke pos Menteri Perdagangan. PKB juga
hanya bertukar orang, dari Marwan Jafar ke Eko Putro Sanjoyo.
Kedua, Partai Golkar dan PAN sudah tidak sabar jika harus menunggu lebih lama lagi untuk
merengkuh kompensasi berupa posisi di Kabinet Kerja. Sejak terpilihnya Setya Novanto
sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada Mei 2016, Partai Golkar merasa bahwa mereka
telah menjadi bagian dari gerbong partai pendukung Jokowi. Ditambah lagi, Partai Golkar
makin memperjelas keberpihakan mereka dengan menyatakan mendukung Jokowi sebagai
calon presiden pada Pemilu 2019. Bahkan PAN telah jauh lebih dulu memutuskan untuk
"merangsek" menjadi barisan pendukung Istana sejak mendeklarasikan hal itu pada
September 2015.
Ketiga, sejumlah menteri Kabinet Kerja sebelum pergantian menteri termin kedua dinilai
tidak cocok dengan keinginan Jokowi untuk tidak gaduh di hadapan publik. Ada menteri yang
pernah meributkan sebuah maskapai penerbangan ketika menteri itu ketinggalan pesawat
sehingga menjadi terlambat menghadiri sebuah acara. Ada juga menteri yang berkomentar
kurang baik di hadapan awak media ketika sedang hangatnya isu sejumlah pemudik yang
meninggal karena macet saat mudik. Ada juga pembantu presiden yang mendapat kritik dari
masyarakat karena dianggap tidak konsisten dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri.

Dengan menggunakan logika bahwa semakin banyak pendukung semakin baik, Jokowi
berkesimpulan bahwa koalisi tambun yang dibentuknya akan serta-merta menghilangkan
persoalan klasik dalam sistem presidensial multipartai: gangguan terhadap presiden. Apakah
memang nantinya akan berjalan demikian?
Penulis berpendapat tidak akan sesederhana itu. Sebaliknya, ada sejumlah persoalan yang
masih berpeluang untuk terjadi dalam tiga tahun ke depan. Apa yang menyebabkan hal itu?
Pertama, koalisi partai politik yang ada di Indonesia seringkali tidak diperkuat oleh hitam di
atas putih. Hitam di atas putih yang dimaksudkan ialah perjanjian kesepakatan di antara partai
dalam koalisi yang mencakup dasar dan definisi koalisi, ruang lingkup dan batasan koalisi,
serta aturan main koalisi. Koalisi partai yang dibangun Jokowi tampaknya mengikuti pola
tersebut.
Kedua, kalaupun sebuah koalisi diperkuat oleh perjanjian, bukan berarti tidak akan ada
dinamika internal. Ke depannya, ancaman bisa datang dari dalam koalisi. Pasalnya, tidak
selalu semua partai pendukung Jokowi dapat selamanya harmonis satu sama lain. Contohnya,
tidak lama setelah reshuffle, pernyataan resmi Partai Golkar pada Rapimnas 28 Juli 2016
bahwa mereka mendukung Jokowi sebagai calon Presiden 2019 ditanggapi dengan sindiran
oleh politikus PDIP.
Ketiga, merujuk pada pengalaman sebelumnya, partai anggota koalisi tidak selamanya pasti
akan patuh dan tak berani bermain di "dua kaki" dengan Jokowi. Tidak usah terlalu jauh ke
masa presiden sebelum Jokowi. PAN, misalnya, setelah menyatakan bergabung dengan
Jokowi pada 2015, masih menganggap diri mereka tidak pernah keluar dari Koalisi Merah
Putih.
Pada akhirnya, episode reshuffle jilid II ini bukanlah babak akhir dari drama hubungan antarpartai politik di Indonesia. Sebaliknya, bukan tidak mungkin justru Jokowi malah akan
direpotkan dengan pilihan politiknya ini.

Ahok dan Realisme Politik


RABU, 03 AGUSTUS 2016

Keputusan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk membatalkan pencalonan dirinya
sebagai gubernur melalui jalur independen jelas menggugurkan sebuah impian politik bahwa
pemimpin yang ideal itu bebas dari kontrak politik. Sebab, dukungan partai yang mana pun

tidaklah mungkin dilakukan tanpa kepentingan. Gugur pula impian saya akan sebuah
dongeng politik utopistis bahwa, di negeri seperti Indonesia, jalur independen bisa juga
mengungguli jalur partai, sebagai sikap kritis rakyat terhadap arogansi partai politik yang
dengan segenap keberdayaannya mengutamakan kepentingannya sendiri.
Akan halnya Ahok, yang semula seperti potensial untuk sebuah peran ideal, ketika tampak
seperti "tidak menjadi gubernur juga tidak apa-apa kalau tetap berkendaraan Teman Ahok,
rupanya memang tidak pernah bermaksud memainkan peran tersebut, jika peran tersebut
tidak mendukung kepentingannya sekarang ini, yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Tentu ini bukan kesalahan Ahok, melainkan kesalahan yang bermimpi karena tempat mimpi
adalah di dunia mimpi. Ahok, yang semula tampak against all odds, ternyata masihlah
seorang tokoh dari dunia nyata ini. Tiada lebih dan tiada kurang seorang realis.
Dalam kebudayaan politik, selain terdapat moralisme politik, terdapat realisme politik.
Moralisme politik dijalankan oleh seorang moralis, yang akan melihat kehidupan politik
sebagai cabang filsafat moral. Kaum moralis akan berpendapat bahwa politik mesti diarahkan
menuju pencapaian atas tujuan-tujuan substansial atau bahwa perencanaan politis mesti diatur
untuk melindungi nilai-nilai, seperti keadilan, kesetaraan, kebebasan, kebahagiaan,
persaudaraan, atau kemandirian nasional.
Namun, bagi realisme politik, nilai-nilai etis itu bukanlah tujuan politik. Sebabnya, tujuan
sesungguhnya adalah kekuasaan, tempat lawan-lawan dikalahkan dan kompromi dijalankan.
Tanpa kemampuan untuk mendapat dan mengolah kekuasaan, nilai-nilai seluhur apa pun
adalah omong kosong. Kaum realis memusatkan perhatian pada kekuasaan, konflik, dan
dalam bentuk apa pun, termasuk juga perang [Kelly (peny.), 2013: 13].
Dengan latar belakang pemahaman moralisme politik dan realisme politik, tidak terlalu keliru
untuk menyatakan: dalam benak para pendukung dan simpatisan Ahok terdapatlah suatu
Negara Utopia, yang mungkin saja tidak seperti penggambaran Thomas More dalam Utopia
(1516), tapi sama-sama membayangkan sesuatu yangternyatatidak mungkin. Dalam hal
Ahok: (calon) pemimpin yang di-bully kekuatan-kekuatan besar akan tetap survive jika
didukung rakyat, seperti mungkin terbukti dengan Jokowiyang dilupakan, rakyat itu
tetaplah "rakyat garapan.
Baiklah, tengok catatan berikut: (1) Jokowi, yang sejak awal mencalonkan diri lewat jalur
partai, memang bukan partai itu sajalah faktor kemenangannya, melainkan faktor relawan
segala lapisan yang all out memperjuangkan demokrasi itu sendiribukan hanya
memperjuangkan Jokowi; (2) dapat dikatakan bahwa sebagai "daya politik, Teman Ahok
tidak mendapatkan momentum yang sama dengan relawan pendukung Jokowi, yakni
momentum pemilihan presiden 2014 yang mampu membakar "romantika perjuangan, yang
membuat politik menjadi urusan menggairahkan; (3) mungkin saja Ahok menggunakan
kalkulasi matematis untuktetapmenang karena jalur partai "lebih praktis daripada jalur
independen yangakandijegal melulu.

Betapa pun saya menganggap Ahok telah membuang momentumnya sendiri, karena (a)
segenap ketertindasan dan faktor minoritasnya itulah yang justru mengundang banyak
simpatisan; (b) tindakannya meninggalkan Teman Ahok dalam posisi "menang angin justru
akan membuatnya kehilangan banyak calon pemilih, meski tidak berarti mereka juga akan
memilih calon lain; (c) media massa yang dulu menguntungkannya, kini akan merugikannya,
karena polah tingkahnya yang tersohor, yang dulu "menghibur khalayak, kini akan
bermakna sebaliknya. Ketercitraan "ideal yang mungkin pula tidak dikehendakinya sendiri
itu, yang semestinya "kembali normal, karena keterlambungan sebelumnya, kini menjadi
"cacat. Itulah yang membuat saya menyebutnya membuang momentum.
Saya tidak bisa mengandaikan, jika tetap bersama Teman Ahok dalam jalur independen, Ahok
akan kalah atau menang, karena kalah atau pun menang dalam jalur ini, dalam
popularitasnya, Ahok adalah "orang besar. Dalam jalur partai, Ahok mungkin saja akan tetap
menang, tapi ia akan menang karena suara pendukung partai, bukan karena pesonanya sendiri
yang sudah hilang bersama keputusannya.
Ahok adalah seorang realis, yang tidak tertarik menjadi "orang besar, melainkan cukup
menjadi gubernur sahaja. Sedangkan saya, bersama entah berapa banyak yang lain, ruparupanya adalah seorang pemimpiyang impiannya tidak terpenuhi oleh Ahok.

Senjakala Oposisi Malaysia


KAMIS, 04 AGUSTUS 2016

Najib Razak akhirnya menunjukkan kuasanya setelah tampak ragu untuk menghadapi bekas
mentornya, Mahathir Mohamad. Sesuai dengan keputusan kabinet, pemerintah tidak lagi
mengucurkan dana ke Kepemimpinan Perdana, yayasan milik bekas perdana menteri terlama
negeri jiran itu. Sebelumnya, Mahathir dicopot dari kedudukan penasihat di beberapa

perusahaan negara, seperti Proton dan Petronas. Alasannya, dengan mengkritik pemerintah,
tokoh yang berjulukan Little Sukarno ini tidak layak menggunakan dana publik dan menjabat
penasihat di badan usaha milik negara.
Kepercayaan diri Najib makin kuat setelah Barisan Nasional memenangi dua pemilihan
umum sela di Kuala Kangsar, Negara Bagian Perak dan Sungai Besar, Selangor, baru-baru
ini. Kemenangan ini telah diramalkan sebelumnya karena oposisi pecah. Jika dulu
pembangkang, sebutan bagi oposisi, mengajukan seorang calon atas nama Pakatan Rakyat,
sekarang mereka mengambil haluan yang berbeda. PAS (Partai Islam Se-Malaysia)
mendorong calonnya sendiri dan Pakatan Harapan memilih komponen serpihan PAS, Partai
Amanah Nasional (Amanah). Alih-alih keduanya menggoyang dominasi BN, malah dua
partai berbasis Melayu Islam tersebut saling menyerang sebelum hari pencoblosan.
Kekalahan pahit yang mesti ditelan oposisi itu mendorong Azmin Ali, Gubernur Selangor dan
Wakil Presiden Partai Keadilan Rakyat (PKR), meminta oposisi bersatu kembali. Jelas,
seruan ini ditujukan kepada PAS dan Amanah. Sebelumnya, Partai Aksi Demokratik (DAP)
menyerukan hal serupa. Namun, PAS bergeming untuk tetap berjuang sendirian. Malah,
partai yang dimotori Hadi Awang ini bersikap lebih ramah dengan UMNO, karena UMNO
turut mendukung usul PAS untuk membahas Rancangan Undang-Undang Akta 355 tentang
penguatan mahkamah syariah.
Komponen BN, seperti Kongres India Se-Malaysia (MIC) dan Persatuan Cina Malaysia
(MCA) menentang keras usul RUU tersebut, tapi keduanya masih berada dalam koalisi BN.
Ini berbeda dengan PAS yang memilih keluar dari Pakatan Rakyat setelah bersitegang dengan
DAP terkait dengan penerapan hudud, bagian dari hukum syariah Islam. Pada waktu yang
sama, tindakan PAS menjadi lonceng kematian pada PR dan melahirkan serpihan Amanah,
yang dimotori oleh Mat Sabu. Tak pelak, suara oposisi yang terpecah melempangkan jalan
bagi calon BN dari UMNO, Budiman Mohd Zohdi, yang keturunan Jawa, dan Mastura Mohd
Yazid memenangi pemilu dengan suara meyakinkan.
Dengan kemenangan di atas, Najib mengolok-olok usaha Mahathir menggelorakan Deklarasi
Rakyat (DR) yang menuntut Najib mundur. Dengan dukungan 1 juta petisi, DR berhasil
menarik media massa dan perhatian warga. Tapi, seperti kata Najib, ia tidak memenangi hati
dan pikiran rakyat dalam pemilu. Apalagi, petisi ini dikotori oleh dugaan 300 ribuan KTP
palsu. Bagaimana pun, gaung DR tak bisa diremehkan. Panggung ini telah berhasil
menyatukan kembali Mahathir dengan seterunya dulu, seperti Lim Kit Siang, Lim Guang
Eng, dan Mat Sabu. Ketiganya pernah meringkuk dalam penjara dengan tuduhan menghasut
di masa pemerintahan Mahathir.
Hanya, panggung DR ini tampak lancung. Betapapun mereka menuntut Najib mundur,
Pakatan Harapan dan lembaga swadaya masyarakat yang bergabung di dalamnya tidak
sekadar meminta Najib lengser, tapi juga pengelolaan pemerintahan yang bertanggung jawab,
pemberantasan korupsi, dan pemilu yang adil. Pragmatisme politik itu pilihan yang tak dapat
dielakkan, karena Mahathir, yang tidak memegang jabatan, sulit untuk memobilisasi massa

dari UMNO. Pakatan Harapan juga mendapat suntikan semangat karena Mahathir masih
memiliki pesona untuk menarik massa mengambang ke dalam arena politik.
Ketika barisan oposisi disandera oleh perpecahan, Najib mengambil langkah cepat untuk
membersihkan UMNO dari seterunya. Muhyiddin Yassin dan Mukhris Mahahtir dicopot dari
keanggotaan partai terbesar negeri jiran. Sementara itu, Shafii Apdal diskors. Berbeda dengan
masa Anwar Ibrahim dipecat dari UMNO, ketiga tokoh ini tak menarik massa turun ke jalan.
Keadaan yang menguntungkan UMNO menyebabkan desakan untuk pelaksanaan pemilu
yang dipercepat. Jika oposisi gagal berkonsolidasi, BN akan memetik kemenangan. Malah,
dominasi Pakatan Harapan di Selangor dan Pulau Pinang bisa runtuh dan bahkan kehilangan
kuasa jika mereka gagal menemukan titik kompromi dengan PAS agar tidak muncul
persaingan dari tiga penjuru: BN, PAS, dan Amanah. Jika suara Melayu pecah, jelas BN
mendapat keuntungan karena mesin politik BN lebih moncer dan solid. Tak hanya itu, setelah
22 tahun PAS menguasai Negara Bagian Kelantan, UMNO bisa mengambil alih setelah
serpihan PAS juga bergerak di sana.
Tak hanya itu, dengan pengangkatan Noh Omar, Ketua UMNO Selangor, sebagai menteri
dalam perombakan terbaru, janji pertama yang dilaungkan adalah merampas negeri yang
paling kaya di negara tetangga dari tangan PKR. Bukan mustahil hal ini bisa diwujudkan,
mengingat gonjang-ganjing partai besutan ikon reformasi, Anwar Ibrahim, terpecah dalam
dua kubu, yaitu Azmin Ali dan Rafizi Ramli. Baru-baru ini, sebagai ketua strategi
pemenangan PKR, Rafizi mengungkap isu rasuah di pemerintahan Selangor. Pada gilirannya,
orang ramai akan meragukan kredibilitas partai yang didirikan oleh ayah Nurul Izzah ini.
Tentu saja, isu 1MDB, badan investasi negara, adalah titik lemah dari penguasa, karena
persepsi masyarakat telah terbentuk bahwa pemerintah tidak becus mengelola dana publik.
Meskipun tuntutan pada aset 1MDB dilakukan oleh Departemen Kehakiman Amerika
Serikat, yang menyudutkan rezim, hal ini tak menyentuh secara terang-benderang orang
nomor satu di Negeri Jiran. Jadi, oposisi tetap ditagih untuk menyelesaikan perpecahan
internal dan memenangkan suara akar rumput. Jika tidak, gong kematian telah ditabuh.

Rivera
SENIN, 08 AGUSTUS 2016

Gambar di kanvas: seorang perempuan berdiri dengan baju kurung warna ros, berselendang,
memegang seikat kembang, sopan. Diego Rivera yang melukisnya mungkin tak akan
melihatnya sebagai bagian dari pendiriannya: "Semua seni adalah propaganda...."
Aneh, memang, Gadis Melayu dengan Bunga dalam pameran Koleksi Istana Kepresidenan
di Galeri Nasional bulan ini adalah karya Rivera sang perupa revolusioner Meksiko. Sosok
perempuan itu teramat kalem. Tak ada yang gemuruh di sekitarnya. Tak ada keringat, gerak,
kepedihan. Semua jinak. Kanvas ini tak ingin meyakinkan, mengubah, menggempur. Malah
membosankan--jauh dari gelora dalam lukisan Sudjojono yang mempesona.
Tak terasa energi Rivera yang biasa.
Kita ingat El Vendedor de Alcatraces ("Penjual Bunga Lili"), karya tahun 1941, sebuah
contoh yang terkenal. Rivera melukis beberapa perempuan penjual bunga sebelumnya, tapi
kanvas ini menampilkan ekspresinya yang paling kuat: sapuan kanvas yang penuh untuk latar
yang gelap, sesosok tubuh perempuan dengan warna kulit moreno dan rambut hitam lurus.
Rivera menampilkan seorang pekerja Indian yang memanggul bakul kembang yang lebih
besar ketimbang tubuhnya. Kembang itu bisa berarti beban yang dipertalikan ke badannya,
beban yang berlebihan, bisa juga berarti sesuatu yang indah tapi harus diperdagangkan. Atau
mungkin lukisan ini menyiratkan apa yang menggugah hati dalam kerja bersama: di belakang
perempuan yang merunduk berlutut itu ada sepasang kaki dan tangan yang menolong
memasangkan beban besar itu di punggungnya.
El Vendedor bisa dilihat sebagai sebuah komentar sosial-politik--sebuah "propaganda", tak
berbeda dengan beberapa mural yang dibuat Rivera: karya ekspansif yang menyampaikan
sikapnya tentang manusia dalam sejarah.
"Semua seni adalah propaganda...," katanya. Dalam arti tertentu Rivera benar, tapi kiranya
catatan sastrawan revolusioner Tiongkok Lu Xun bisa menambahkan frasa yang lebih tepat:
"Tapi tak semua propaganda adalah seni." Atau, tambahan dari saya: seni mengandung
propaganda, tapi bukan propaganda yang mengulangi represi lama atau menghasilkan represi
baru.
Di abad ke-20, seni bisa jadi propaganda dan sebaliknya, dengan sah dan berarti, jika yang
menggerakkan adalah, untuk memakai istilah Ranciere, "disensus"--kata lain untuk penolakan
terhadap konsensus yang menekan. Di abad ke-20 dan sampai hari ini, meskipun tanpa
berteriak, seni adalah bagian emansipasi sebagai proses yang hidup. Yang berperan bukan
cuma negasi yang disampaikan sang seniman terhadap kebekuan, melainkan juga bagaimana
karya itu diterima atau ditolak orang di suatu masa, di suatu tempat.
Pada 1934, Rivera menerima pesanan dari keluarga jutawan Amerika Rockefeller untuk
membuat mural di Rockefeller Center, di tengah Manhattan, New York. Themanya: manusia
di persimpangan jalan. Di dalamnya diinginkan ada gambar seseorang yang menatap ke
depan untuk memilih jalan ke masa depan yang lebih baik, meskipun tak pasti.

Rivera pun menyampaikan sebuah sketsa rancangan muralnya. Tapi ternyata kemudian yang
dibuatnya berbeda.
Ia agaknya terusik cemooh kalangan kiri New York karena ia, seorang seniman komunis,
bersedia bekerja untuk propaganda seorang kapitalis besar. Maka di mural itu ia tambahkan
dua gambar: di sebelah kanan gambar Lenin, pemimpin revolusi Rusia; di sebelah kiri
gambar Rockefeller, sedang mereguk martini di dekat seorang pekerja seks.
Tak mengherankan, proyek itu gagal. Mural Rivera bersejarah justru karena dihapus dari
dinding.
"Disensus" seperti ini tak hanya ia terapkan kepada sang kapitalis. Pada 1938 ia ikut
menandatangani "Manifesto bagi Sebuah Seni Revolusioner yang Independen". Penyusunnya
Trotsky, pemimpin komunis Rusia yang menyingkir dari kekuasaan Stalin di Moskow (dan
kemudian dibunuh), dan Andre Breton, sastrawan pelopor ("Paus") Surealisme; ia juga
komunis.
Manifesto itu mengutip Marx yang mengatakan bahwa seorang penulis tak memandang
kerjanya sebagai sarana, melainkan sebuah tujuan sendiri. Dalam hubungan itu, "Seni resmi
Stalinisme", kata lain dari "realisme sosialis", dikecam. Politik Partai bukanlah panglima.
Manifesto itu justru menyerukan kehidupan seni yang "tanpa otoritas, tanpa dikte, tanpa
sedikit pun perintah dari atas".
Rivera beberapa kali dipecat dari keanggotaan Partai Komunis. Ia kembali bergabung.
Meskipun demikian, seperti pada Picasso--yang juga seorang komunis--seninya tak pernah
bersedia mengikuti formula, tak pernah patuh pada apa pun. "Saya tak pernah percaya kepada
Tuhan, tapi saya percaya kepada Picasso," katanya.
Kemudian ia juga meninggalkan Picasso: hidup kreatif memang tak bisa ajek.

Goenawan Mohamad

Empat Guru
JUM'AT, 12 AGUSTUS 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Lukisan itu tergantung di beranda rumah Romo Imam. Dua bocah menunggang kerbau yang
jinak berlatar padang asri. Satu anak meniup seruling, lainnya membaca buku pelajaran.
"Saya merindukan suasana ini," kata saya, seperti ngelindur.
Romo Imam bereaksi. "Kita sudah bukan lagi bangsa peternak. Kalaupun kerbau masih
dipelihara di Bali Barat dan Toraja, itu lebih untuk kebutuhan ritual. Kita lebih senang impor
daging kerbau dari India."
"Romo salah menerka," kata saya. "Lukisan ini populer ketika Fuad Hassan menjadi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Yang mau disimbolkan adalah belajar sambil bermain, belajar
pada alam, beri kebebasan kepada anak-anak menuntut ilmu tanpa merasa terbebani. Sekolah
bukan satu-satunya tempat mencari ilmu."
Romo mengajak saya duduk santai di kursi bambu. Tapi dia bicara serius: "Saya jadi ingat
ajaran leluhur kita, saya kurang jelas apakah sumbernya dari kitab sebuah agama, atau ajaran
kebajikan dari masa lalu. Yang pasti masih bagus dibicarakan. Soal catur guru atau empat
guru, yang bisa juga diartikan lebih luas, yaitu empat tempat di mana kita bisa mencari ilmu.
Sampeyan pasti tahu kan?"
"Ya, tapi istilahnya lupa," kata saya. Romo lantas menerangkan, sungguh dia serius. "Catur
guru itu yang pertama adalah Guru Rupaka. Ini kedua orang tua kita, dari sini ilmu pertama
kita peroleh, bagaimana kita belajar bicara, belajar berjalan, dan seterusnya. Yang kedua,
Guru Pengajian, guru di sekolah. Namanya saja pengajian, tentu kalau diperluas termasuk
guru ngaji sebagaimana di kalangan muslim. Yang ketiga, Guru Wisesa, pejabat pemerintah,
tokoh masyarakat, dan dalam tafsir yang lebih luas, seluruh semesta ini adalah tempat kita
berguru. Kita dapatkan ilmu di ruang seminar, di ruang perpustakaan, saat menonton
kesenian, dan seterusnya. Yang keempat, Guru Swadyaya, Tuhan Yang Maha Esa. Nah ini
guru tertinggi, karena Beliau sumber segala ciptaan, sumber segala ilmu. Bagaimana
mendapatkan ilmu itu, pelajari, dan amalkan ajaran-ajaran Beliau sesuai dengan keyakinan
yang kita pilih. Tidak ada agama yang mengajarkan kita untuk bodoh."

Luar biasa. Maksud saya luar biasa seriusnya Romo. "Apakah ide full-day school dari menteri
yang baru itu sesuai dengan konsep catur guru?" Ah, saya terkejut, kok tiba-tiba berbelok ke
sini?
Dan Romo langsung melanjutkan. "Ide itu tidak salah dan sudah ada sekolah itu. Karena
orang tuanya bekerja seharian, maka anak-anak dititipkan di sekolah. Orang tua pulang sore
sekalian menjemput anaknya. Anak-anak terjamin di sekolah, ada kegiatan bermain,
bermusik, melukis, kantin yang luas dengan makanan sehat. Sarana ibadah pun komplet
sesuai dengan agama anak didik. Mungkin anak didik tak merasa terbelenggu. Untuk belajar
ke alam, Sabtu dan Minggu piknik bersama keluarga, berkunjung ke pantai melihat nelayan,
ke gunung melihat petani, masuk museum, menonton pergelaran. Konsep catur guru
terpenuhi. Yang jadi masalah, seberapa orang yang mampu menitipkan anaknya ke sekolah
itu? Gaji seorang camat saja tak cukup untuk bayar uang sekolah, belum lagi biaya pelesir
pada akhir pekan."
"Jadi, full-day school itu belum saatnya sekarang?" tanya saya. Romo menjawab, "Kalau
pemerintah yang membuat, dananya dari mana? Ini problem orang kota, yang orang tuanya
sibuk. Kalau pemerintah cuma membuat di kota, akan terjadi kesenjangan dengan sekolah di
desa. Dipaksakan di desa? Boro-boro, gedung sekolah di desa saja banyak yang ambruk. Ide
itu tidak salah, tapi belum saatnya. Serahkan ke swasta.

Batik...
SENIN, 15 AGUSTUS 2016

Di pakaian seragam para atlet untuk Olimpiade di Rio, di restoran Indonesia di Amsterdam,
di ruang tamu para pejabat di Jakarta, di tas cendera mata konferensi internasional di Bali,
Indonesia adalah batik, ukiran garuda, kain songket.... Hiasan-hiasan yang tak lagi jadi
pemanis, tapi penanda.
Dalam sejarahnya, penanda itu lama-kelamaan mengeras, membeku, memberati. Perannya
sebagai ornamen hilang; ia bisa ditampilkan dengan selera estetik yang minimal dan
dorongan komunikatif yang maksimal. Dalam perkembangannya, gambar garuda harus
dibuat sesuai dengan standar, sesuai dengan kelaziman, agar mudah dipahami, meskipun
bentuknya kaku. Ia bukan lagi karya desain. Ia pesan ideologis. Umumnya didukung
kekuasaan, ia diulang-ulangi sebagai mantra visual. Ia kegemaran para pejabat yang cemas
bila melihat apa saja yang baru dan tak biasa. Ia, penanda yang membeku itu, dijaga para
birokrat, makhluk yang hidup dengan s.o.p.
Bersama itu, apa yang disebut identitas Indonesia terjerat. Ia mengalami osifikasi.
Gejala ini sudah lama sebenarnya. Sejak elite sosial-politik kita bertemu dengan manusia lain
dan dunia lain, persoalan identitas jadi kerepotan yang tak henti-hentinya. Imperialisme
Eropa, yang merengkuh pelbagai jenis manusia dari pelbagai sudut muka bumi, membuat
pertemuan itu sebuah perubahan sejarah. Sering kali traumatis. Edward Said dengan tepat
menguraikannya: Imperialisme berhasil mengkonsolidasikan campuran kebudayaan dan
identitas dalam skala global, tulisnya di akhir buku Culture and Imperialism. Tapi

pemberiannya yang terburuk dan yang paradoksal adalah memungkinkan orang untuk yakin
bahwa mereka hanyalah, semata-mata, Putih, atau Hitam, atau orang Barat, atau orang
Timur.
Memungkinkan orang untuk yakin butuh kekuasaan dan hegemoni. Membuat orang yakin
bahwa dirinya --hanyalah, semata-mata-- Timur adalah membuat penanda identitas jauh dari
percampuran: batik, garuda, dan lain-lain itu harus mengikuti tradisi; si bumiputra, si
inlander, mesti asli.
Syahdan, sejarah imperialisme mencatat sejumlah pameran kolonial, sejak abad ke-19
sampai dengan abad ke-20. Di Jerman pameran itu juga disebut Voelkerschauen, tempat
manusia dari tanah jajahan didatangkan dan dipertontonkan di kota-kota besar Eropa. Dari
sini, yang eksotis pada manusia non-Eropa dikukuhkan. Mula-mula dengan sikap
menghina, pada gilirannya ia jadi daya tarik. Tapi dengan itu pula stereotipe tentang Sang
Lain diproduksi dan disebarluaskan.
Dalam sepucuk surat bertanggal 9 Januari 1901, Kartini menceritakan sepasang tamu Eropa
yang datang ke Jepara untuk menemuinya dan adik-adiknya: Aku yakin orang tidak akan
memberikan seperempat perhatian mereka kepada kami [seandainya kami tidak] memakai
sarung dan kebaya, melainkan gaun; [seandainya] selain nama Jawa kami, kami punya nama
Belanda....
Ada nada sarkastis yang halus pada kalimat itu. Ada kepedihan merasakan ditatap dalam jerat
identitas. Ada rasa geli yang getir karena dilekati label eksotis dan penanda yang keras,
beku, memberati.
Saya tak akan heran jika hal itu juga yang membuat para siswa STOVIA menyimpan bara
pembangkangan kepada pemerintah kolonial dalam diri mereka: mereka harus mengenakan
pakaian daerah, tak diizinkan berpakaian jas dan pantalon, sebagaimana mereka, ketika jadi
dokter, hanya boleh naik kereta kelas dua, tak boleh kelas satu--meskipun orang Eropa yang
lebih rendah jabatannya mendapat privilese itu.
Saya bisa membayangkan bagaimana sedihnya Raden Saleh, sepulang kembali ke tanah
kelahirannya, ditolak Ratu Belanda ketika ia memohon satu hal: diperkenankan mengenakan
kostum marinir Belanda, meskipun seragam itu sudah tak dipergunakan lagi....
Pemerintah kolonial, kita tahu, memisah-misahkan manusia dalam apartheid agar bisa
dikuasai. Tapi kadang-kadang wajahnya manis: wajah pelindung identitas pribumi,
penganjur tradisi (yang tak jarang feodalistis), dan segala hal yang diberi label asli.
Kemudian meledak Revolusi 1945. Dalam kebudayaan, semangat revolusi itu ditandai
semangat menghancurkan penanda-penanda yang membeku. Merdeka juga berarti
melepaskan diri dari osifikasi jati diri.

Chairil Anwar dan teman-temannya disebut sebagai Angkatan 45, tapi tampak: elan
perlawanan mereka tak diwujudkan dalam pekik nasionalisme yang lazim, yang umumnya
dikaitkan dengan tahun 1945. Kalimat terkenal dalam manifesto mereka, Surat Kepercayaan
Gelanggang, yang terbit pada 1949:
Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk
kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang
kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap
hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk
dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan
baru yang sehat.
Dengan itulah generasi Chairil memerdekakan kita: menerjang kebekuan.

Goenawan Mohamad

Cerdas
JUM'AT, 19 AGUSTUS 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Lomba makan kerupuk merayakan ulang tahun kemerdekaan sudah berakhir. Pembicaraan
soal Gloria Natapradja Hamel dan Arcandra Tahar juga mulai sepi. Orang kembali ngomong
soal Ahok dan memelototi sidang Jessica yang rajin disiarkan televisi bak sinetron.
Gloria dan Arcandra jadi simbol kecerdasan seseorang, tapi sangat awam dalam bidang lain,
misalnya soal hukum. Lihatlah bagaimana Gloria menjawab pertanyaan, bagaimana isi

suratnya kepada Presiden Joko Widodo, terlepas apakah dia sendiri yang menulis surat itu
atau dibantu orang lain. Arcandra Tahar, menteri tersingkat dalam sejarah republik, kurang
apa lagi cerdasnya. Dua puluh tahun lebih di luar negeri menghasilkan penemuan yang sudah
dipatenkan dalam bidang energi.
Di mana letak kekurangan kaum cerdas ini? Gloria lahir pada 2000 dari ibu orang Indonesia
dan ayahnya orang Prancis. Gloria menempuh semua pendidikan di dalam negeri. Ia tak
merasa menjadi orang asing. Ia tak peduli dengan paspor, bukankah persyaratan menjadi
pengibar bendera pusaka tak harus menyerahkan paspor, bahkan kartu tanda penduduk pun
tidak? Ibu kandung Gloria, Ira Natapradja, mungkin hanya tahu Undang-Undang Tahun 2006
bahwa anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa memilih kewarganegaraan, apakah
ikut ayah atau ikut ibu setelah berusia 18 tahun. Gloria masih punya waktu untuk
memilihnya, karena usianya baru 16 tahun.
Ternyata Undang-Undang 2006 ini tidak berlaku surut. Karena Gloria lahir tahun 2000, ia
harus tunduk pada UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan. Di sini diatur, anak yang lahir
dari perkawinan campuran, status kewarganegaraannya berdasarkan pertalian darah menurut
garis ayah. Jadi Gloria otomatis warga negara Prancis, suatu hal yang mungkin sekali tak
pernah dipikirkan anak seusia Gloria. Keawamannya dimaklumi.
Arcandra menempuh pendidikan S-2 dan S-3 di Amerika Serikat, kariernya mencuat dan
memegang jabatan penting di perusahaan Amerika. Ia mendapat kewarganegaraan Amerika
Serikat pada 2012. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 yang mengatur dwikewarganegaraan,
Arcandra harus melepaskan kewarganegaraan Indonesia, dan hal itu wajib hukumnya.
Kalaupun tidak dilepaskan, menurut undang-undang tersebut, paspor Indonesia yang
dipegangnya tak lagi sah, walau masa berlakunya sampai 2017. Belakangan Arcandra
mengaku tidak tahu ada undang-undang itu. Keawamannya dianggap mustahil, meski setelah
dicopot dari menteri ia bicara soal takdir.
Dua takdir yang berbeda. Gloria menerima takdirnya sebagai remaja cerdas yang berakhir
happy ending, karena Presiden Jokowi mengizinkan anak ini ikut menurunkan bendera
pusaka setelah gagal ikut mengibarkannya. Gloria bahkan satu-satunya anggota pasukan
pengibar bendera pusaka yang diajak makan oleh Presiden. Akan halnya Arcandra, takdirnya
tentu sulit kembali menjadi menteri. Ia sudah dewasa untuk menduduki jabatan politis yang
jadi rebutan banyak orang itu. Ketidaktahuannya tentang undang-undang telah menodai
kecerdasannya.
Itulah pelajaran lain dari kasus ini. Begitu banyak undang-undang dibuat, tapi seberapa
banyak orang tahu apa saja yang diatur? Secara formal setiap warga negara dianggap tahu
dan wajib menaati undang-undang setelah diumumkan di lembaran negara. Lalu seberapa
banyak yang membaca lembaran negara? Sosialisasi undang-undang yang "tidak populer"
hampir tak ada. Bahkan banyak undang-undang, termasuk yang mengatur kewarganegaraan
ini, ternyata perlu direvisi setelah ada kasus. Orang cerdas bisa menerima takdir buruk jika
abai baca undang-undang.

Fobia
SENIN, 22 AGUSTUS 2016

BAGIAN yang menyedihkan dalam sejarah adalah ketika tak ada lagi orang-orang tak
bersalah. Jika benar seorang ulama di wilayah Queens, New York, ditembak kepalanya dari
jarak dekat, hanya karena ia muslim atau berpakaian seperti orang Timur Tengah, maka ia
seseorang yang dianggap terlibat dengan kejahatan, bahkan kekejaman, di tempat lain, di
waktu lain, yang dilakukan atas nama Islam. Maulama Akonjee seorang imam masjid yang
halus budi, tapi orang yang menembaknya memastikan ia ikut dalam satuan politik orangorang jahat. Label sudah dipasang. Dendam bisa dibalaskan kepadanya.
Kini orang-orang berbicara tentang "islamofobia" yang berjangkit di Eropa dan Amerika.
Kata "fobia"--sebagaimana halnya dalam "komunistofobia", "xenofobia", dan pelbagai
bentuk penolakan kolektif--tak sepenuhnya tepat. Yang berkecamuk bukan cuma gejala
kejiwaan sosial. Mungkin ini lebih berupa gema sejarah konflik politik yang panjang, yang
melibatkan orang ramai secara luas, ketika agama dikibarkan dalam keyakinan dan
kebencian.
Tak mudah menemukan dari mana mulainya. Bisa disebut tahun 852, ketika sebuah armada
"Saracen" dengan 73 kapal mendarat di Pulau Ostia dan menyerbu ke darat, menuju Roma.
Gereja St. Petrus dan St. Paulus dibakar.
Dengan segera, Paus yang baru, Leo IV, yang sudah membangun tembok melindungi bukit
Vatikan, membentuk angkatan laut bersama penguasa kota Napoli, Amalfi, dan Gaeta. Perang
pun berlangsung. Roma menang.
Tujuh abad kemudian Rafaelle mengabadikannya dalam lukisan yang menghiasi salah satu
istana Vatikan: di kanvas sebelah kanan, tampak sisa-sisa armada "Saracen" yang kalah,
dibelenggu dan dijambak rambutnya oleh tentara Kristen dengan pedang terhunus; di tengah,
kapal-kapal yang berantakan; di kanvas sebelah kiri, tampak Paus menatap ke langit,
berterima kasih kepada Tuhan yang telah mengirim taufan yang memporak-porandakan
armada "Saracen".
Tampaknya taufan yang datang hari itu dianggap pertolongan Ilahi kepada pasukan Kristen-memperkuat apa yang kemudian berulang: iman sangat penting dalam peperangan.
Sebenarnya tak ada tanda bahwa orang "Saracen" menyerbu atas nama Islam; umumnya
mereka perompak yang menjarah harta. Kata "Saracen" konon berasal dari
Yunani, Sarakenos. Ada yang mengatakan, aslinya memang dari bahasa Arab, syarqiy, "dari
Timur", orang-orang dengan warna kulit gelap.
Dalam perkembangannya kemudian, sejak Perang Ostia, di masa Abad Pertengahan akhir,
dikotomi "Timur" dan "bukan-Timur" beralih jadi "Islam" dan "Kristen". "Saracen" juga
sebutan bagi muslim di Albania dan Chechnya.

Tiga abad setelah kemenangan Paus di Ostia, sebuah konflik yang kian mengukuhkan posisi
agama sebagai motif utama berkecamuk: Perang Salib. Perang yang bermula di abad ke-11
ini dikobarkan oleh Paus Urbanus II untuk merebut Yerusalem. Tapi ada sejumlah perang
yang disebut "Perang Salib", dalam skala besar dan kecil, sampai dengan abad ke-13. Tak
selamanya yang diperebutkan Tanah Suci, dan tak selamanya melawan Turki.
Tapi "Turki" tetap jadi sosok yang negatif. Tahun 1453, Sultan Muhammad II merebut
Konstantinopel, mengakhiri Imperium Byzantium. Tahun 1526, Sultan Sulaiman I (15201566) menaklukkan Hungaria.
Suasana terancam menyebabkan Martin Luther sejak 1528 berbicara. Bapak Protestantisme
ini menyatakan bangsa Turki "perampok dan pembunuh". Merasa bahwa mereka sudah di
ambang pintu dunia Kristen, Luther melihatnya sebagai peringatan Tuhan tentang sudah
dekatnya hari Kiamat, agar umat Kristen bertobat.
Tapi Luther juga melihat bahaya sebaliknya: Islam bisa memikat. Dalam komentarnya atas
sebuah risalah tentang agama dan adat-istiadat orang Turki, yang disiarkan pada 1830, Luther
melihat kelebihan "agama orang Turki dan Muhammad" dalam adat-istiadat. Ada
kesederhanaan soal "makanan, busana, tempat tinggal... juga dalam hal puasa,
bersembahyang, dan berhimpun". Seraya menyerang kaum Katolik, Luther mengatakan ia
"sepenuhnya yakin, tak akan ada penganut Paus, rahib, dan padri yang mampu tetap dalam
iman mereka andai mereka tinggal tiga hari saja bersama orang Turki".
Ada selalu drama dan hiperbol dalam gambar-gambar besar sebuah konflik--drama yang
menutup pelbagai hal yang di luar pola umum. Pada 1687, filosof Leibniz menyebut "wabah
Islam", la peste de mahometisme, di Eropa. Seperti dikatakan Ian Almond dalam History of
Islam in German Thought, Leibniz memahami Islam pada hakikatnya sebuah satuan politik.
Dalam hal itu, ia, yang menganggap Islam "wabah", sama dengan kaum islamis yang kini
menganggap diri sebagai wakil Islam yang sah. Islam: sebuah satuan politik yang tak
memungkinkan perbedaan, dalam satu label. Di sana, tiap orang terlibat. Tak ada yang tak
bersalah. Tak ada yang bisa tak ikut, untuk membunuh atau dibunuh.

Goenawan Mohamad

Antara Erdogan, Rusia, dan Suriah


SELASA, 23 AGUSTUS 2016

Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Kendati telah berlangsung lima tahun, krisis Suriah masih saja memanas. Perang Aleppo,
yang dilancarkan pasukan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad terhadap oposisi, hingga
kini belum membuahkan hasil. Aleppo adalah kota terbesar kedua setelah Damaskus dan
merupakan kota industri. Tapi tujuan serangan pasukan Assad bukanlah menguasai kota itu
sepenuhnya, melainkan memecah-belah Provinsi Aleppo, memutus jalur suplai senjata dari
Turki, lalu mengisolasi bagian-bagian yang terpecah.
Dengan begitu, bantuan kemanusiaan PBB ke bagian-bagian wilayah yang diisolasi itu sangat
bergantung pada belas kasih rezim Assad, yang hendak meningkatkan posisi tawarnya saat
menghadapi oposisi dalam perundingan damai di Jenewa kelak. Namun, berkat bantuan
senjata dari negara-negara Arab Teluk dan Turki, oposisi berhasil membongkar kepungan
rezim Assad dan koalisinya sehingga jalan militer sebagai solusi politik krisis Suriah mentah
kembali.
Bagaimana pun, ada perkembangan baru pasca-kudeta gagal terhadap Presiden Turki Recep
Tayyip Erdogan di Turki. Pada 9 Agustus lalu, pertemuan antara Presiden Erdogan dan
Presiden Rusia Vladimir Putin di Saint Petersburg, Rusia, membicarakan krisis Suriah. Putin
mendesak Erdogan mempertahankan Bashar al-Assad di kursi kekuasaan sebagai syarat
pemulihan penuh hubungan politik dan ekonomi kedua negara yang sempat terganggu garagara pesawat tempur F-16 Turki menembak pesawat tempur Su-24 Rusia pada November
tahun lalu. Selama ini, Turki bersama Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara Arab
Teluk mendukung oposisi untuk mendongkel Assad.
Pada 12 Agustus lalu, giliran Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif bertemu
dengan Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu di Ankara. Keduanya juga berbicara
mengenai krisis Suriah. Iran adalah pendukung Assad. Dan, sebagaimana Rusia, Iran adalah
mitra ekonomi Turki yang penting. Baik Putin maupun Presiden Iran Hassan Rouhani
membuat Erdogan senang ketika mereka mengecam kudeta gagal itu.
Memang tidak mudah bagi Erdogan untuk mengubah posisinya di Suriah, mengingat selama
bertahun-tahun media-media Turki telah mengasah kebencian rakyat Turki terhadap Assad.
Apalagi Turki akan kehilangan aliansinya dengan negara-negara Arab Teluk. Tapi bukan tidak

mungkin Erdogan berubah pikiran, mengingat hubungan Turki dengan AS dan UE kian
memburuk belakangan ini. Selain itu, Unit Perlindungan Rakyat (YPG)--milisi Kurdi-dengan bantuan AS telah menguasai sebagian besar wilayah Suriah utara yang telah
diproklamasikan sebagai wilayah federal Kurdi. Rezim Assad, Iran, dan Turki menentang
perkembangan ini.
Hubungan Turki-AS memburuk karena Washington belum mau mengekstradisi ulama liberal
Turki, Muhammad Fethullah Gulen, karena lemahnya bukti keterlibatan Gulen dalam kudeta
gagal di Turki itu. Sementara itu, UE terus saja mengkritik Erdogan karena perlakukan brutal
aparat Turki terhadap puluhan ribu pengikut Gulen. UE juga belum menerapkan perjanjian
Turki-UE mengenai pengungsi Suriah, padahal Turki telah memenuhi kewajibannya dengan
menghentikan gelombang pengungsi ke Eropa. Seharusnya, UE segera memberikan bantuan
8 miliar euro, membebaskan visa bagi warga Turki yang mau bepergian ke wilayah
Schengen, dan membuka pembicaraan tentang lamaran Turki menjadi anggota UE. UndangUndang Anti-Terorisme Turki yang berpotensi melanggar hak asasi manusia dan demokrasi
menjadi alasan utama UE menangguhkan penerapan perjanjian itu.
Mengingat AS dan UE tak dapat ditekan dan tampak tidak akan memenuhi harapan Turki,
logislah bila Erdogan berpaling ke Rusia dan Iran. Terlebih, ini menyangkut integritas
wilayah Turki. Berdirinya wilayah federal Kurdi di Suriah utara, yang didominasi YPG,
mengancam keamanan Turki. YPG adalah bagian dari kelompok separatis Partai Pekerja
Kurdistan (PKK) yang sejak 1984 mengangkat senjata melawan Ankara. Bila perkiraan ini
tidak meleset, peta politik Suriah akan segera berubah ke arah yang menguntungkan Assad.

RUU ITE Ancam Kebebasan Pers


KAMIS, 25 AGUSTUS 2016

Sabam Leo Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers 2007-2010

Ketua Komisi Informasi Abdul Kharis Almasyhari mengatakan DPR menargetkan


pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) rampung pada Oktober 2016. Menurut politikus PKS itu, terdapat
perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR di beberapa poin dari 33 dalam daftar
inventaris masalah (Koran Tempo, 2 Agustus 2016). Namun sikap bersama pemerintah dan
DPR mengenai revisi Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE masih tetap
mengancam, bukan hanya kebebasan pers, tapi juga kebebasan berekspresi rakyat.
Dinamika pemerintah dan DPR dalam menyikapi kontrol dan kritik pers serta masyarakat
menunjukkan paradoks. Pertama, lebih kejam daripada penjajah. Di negara-negara demokrasi
yang menjunjung kedaulatan rakyat, keluhan akan kritik pers dan rakyat untuk kepentingan
umum tidak diproses dalam perkara pidana, tapi dalam perkara perdata dengan denda
proporsional.
Di Indonesia, yang katanya negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika
Serikat, pemerintah dan DPR justru menerbitkan UU ITE. Undang-undang ini mengancam
rakyatnya dengan hukuman yang lebih bengis dibanding ancaman KUHP, produk hukum
peninggalan kolonial Belanda.
Dalam Pasal 310 KUHP, ancaman penjara bagi pelaku penghinaan atau pencemaran nama
baik hanya sampai 1 tahun 2 bulan. Dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE,
bagi pelaku penghinaan dan pencemaran nama baik yang didistribusikan lewat elektronik,
ancaman penjaranya sampai 6 tahun. Pada Pasal 310 KUHP, pilihan hukuman adalah penjara
atau denda hanya sebesar Rp 4.500. Tapi hukuman berdasarkan UU ITE berupa penjara dan
denda sampai Rp 1 miliar. Menurut KUHP, terdakwa dipenjara setelah hakim memutuskan,
sedangkan menurut UU ITE, tertuduh dapat langsung ditangkap. Luar biasa ancaman penjara
UU ITE itu: lima kali lebih berat daripada KUHP.
Kedua, langkah mundur. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dibuat oleh pemerintah dan
DPR hasil Pemilu 1997. Pemilu di zaman Orde Baru itu tidak demokratis karena tidak jujur

dan adil. Namun UU Pers itu didesain berparadigma demokrasi. Ketentuannya mendorong
dan melindungi pers dan rakyat banyak mengekspresikan kritik dan kontrol terhadap
penyelenggara negara demi kepentingan umum. Pemberitaan dengan fakta yang merugikan
nama baik, sanksinya hak jawab dan meminta maaf serta didenda paling banyak Rp 500 juta.
Sebaliknya, pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2004 yang demokratis justru menerbitkan UU
ITE, yang intensinya tidak lagi mendorong atau melindungi pers dan rakyat agar berani
mengemukakan kontrol dan kritik, tapi justru bertujuan meredam keluhan dan kritik pers dan
rakyat untuk kepentingan penyelenggara negara.
Ketiga, arah petinggi negara berseberangan. Pada diskusi "Forum Legislasi: RUU ITE" di
Gedung DPR, Jakarta, pada 2 Agustus lalu, Staf Ahli Menkominfo Henri Subiakto
mengatakan, "Dalam UU ITE sanksinya hukuman penjara 6 tahun. Pada usulan revisi UU
ITE pemerintah mengusulkan sanksi hukumannya diturunkan menjadi 4 tahun."
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanudin mengatakan seluruh fraksi sepakat
hukuman pencemaran nama baik yang diatur dalam UU ITE diturunkan dari semula 6 tahun
menjadi kurang 5 tahun. Dengan hukuman di bawah 5 tahun, tersangka tidak langsung
terkena penangkapan. Apakah sikap pemerintah dan DPR tersebut sejalan dengan sikap partai
dan presiden? Sangat mungkin tidak.
Korban pertama UU ITE adalah Prita Mulyasari. Keluhannya tentang pelayanan RS Omni
Tangerang di sebuah forum surat elektronik dinilai menghina rumah sakit tersebut. Saya
mengunjungi Prita di penjara wanita Tangerang pada 3 September 2009 untuk memprotes
penggunaan UU ITE terhadapnya. Sorenya, dalam suasana kampanye pemilihan presiden,
Megawati Soekarnoputri, calon presiden saat itu, juga mengunjungi Prita. Beberapa jam
kemudian Prita dilepaskan.
Ketua Umum PDIP itu menjelaskan bahwa kasus hukum yang menimpa Prita merupakan
bukti nyata neoliberalisme. "Kekuatan neolib-lah yang menggunakan UU ITE, yang dibuat
untuk memuluskan kepentingan neolib dengan mengalahkan kepentingan hak asasi
masyarakat."
Bagi Presiden Joko Widodo, demokrasi adalah mendengar suara rakyat. Jokowi ingin
mendengar keluhan dan kritik rakyat, baik yang dikemukakan dalam blusukan maupun yang
disuarakan lewat media masa. Permasalahannya, mungkinkah Presiden dapat mengetahui
keluhan dan kritik rakyat secara lengkap jika ketentuan UU ITE justru dirancang untuk
membungkam kebebasan berekspresi?
Ribuan orang pers dan pergerakan telah dikirim ke penjara karena keluhan dan kritiknya
dinilai mencemarkan nama baik aparat penjajah Belanda. Kini rakyat terancam oleh pola
pikir paradoks pemerintah dan DPR. Padahal, sejalan dengan sistem politik yang berlaku di
negara-negara demokrasi, pemerintah dan DPR juga ada berkat pilihan rakyat pemilik
kedaulatan.

Ironisnya, di negara-negara demokrasi, keluhan dan kritik pers dan masyarakat yang dinilai
mencemarkan nama baik hanya diproses dalam perkara perdata dengan denda proporsional.
Di Indonesia pemerintah dan DPR--yang menyikapi kesalahan yang sama--masih
mempertahankan UU ITE yang ancaman hukumannya empat kali lebih bengis dan fasis
dibanding konsep hukum penjajah Belanda.

Tiga Rumah Mewah yang Digeledah


Wakil Rakyat
SABTU, 27 AGUSTUS 2016

Putu Setia

Romo Imam sangat mengagumi Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan yang berhasil
dipulangkan oleh Presiden Joko Widodo. Sri disebutnya "dewa penyelamat anggaran" dan
berkali-kali dipuji. "Saking kerasnya bekerja, ada menteri yang tugasnya menjadi ringan.
Misalnya, Menteri BUMN. Menteri ini tak bisa hadir di DPR dan Sri Mulyani yang
mewakili. Hebat, bisa-bisa menteri lain jadi iri," kata Romo.
Saya menebak-nebak ke mana arah obrolan ini. Saya biarkan Romo bicara. "Wakil rakyat
banyak artisnya. Wajar tak mengerti kedudukan seorang menteri yang hanya pembantu
presiden. Yang memilih dan mengganti menteri kan presiden, kok wakil rakyat memboikot
Menteri BUMN dan meminta menteri itu diganti. Presiden mau didikte, tersinggung, dong.
Jangan-jangan menteri yang tadinya mau diganti malah dipertahankan."
Saya mulai bisa menebak, tapi Romo melanjutkan. "Apa ada hubungan antara wakil rakyat
yang artis dan menteri yang diboikot?" tanya Romo. Saya menjawab, "Memang di komisi
yang membidangi BUMN itu ada wakil rakyat mantan pemain sinetron? Tapi itu tak ada
korelasinya."
"Setuju," kata Romo. "Tidak semua artis itu bodoh dalam soal politik dan ketatanegaraan.
Juga tak semua yang bukan artis otomatis pintar. Yang sudah jelas, mutu wakil rakyat kita
memang banyak di bawah standar, apalagi di tingkat provinsi dan kabupaten. Sistem pemilu
kita membuat siapa pun yang punya uang untuk membeli suara rakyat, bisa menjadi wakil
rakyat."
Saya kaget. "Romo jangan menuduh, dong," kata saya. Romo langsung menyambar, "Saya
katakan banyak, memang bukan semuanya. Ada yang modal ilmunya bagus, meskipun tetap
pakai uang karena memang perlu ongkos. Tetapi di tingkat kabupaten, ada preman pasar yang

tiba-tiba jadi wakil rakyat. Mereka memang terkenal di lingkungannya, lalu membayar ke
partai untuk jadi calon, dan terpilih karena menyebarkan uang ke desa-desa. Bagaimana
mungkin wakil rakyat seperti ini bisa menghasilkan peraturan daerah, wong membahas
anggaran saja tak mengerti? Untuk di pusat, kelasnya tentu lebih tinggi, lebih terkenal lagi
layak artis atau memang artis yang sebenarnya dan modalnya lebih gede. Hasilnya, wakil
rakyat seperti apa yang kita miliki? Wakil rakyat yang tak tahu hak prerogatif, wakil rakyat
yang tak tahu membuat undang-undang, bahkan wakil rakyat yang tak tahu bagaimana
berdoa di forum yang formal. Menyedihkan...."
Romo lalu diam seperti orang capek. Saya menghiburnya. "Romo, pemerintah sudah mulai
sadar kekurangan ini dan berusaha merevisi undang-undang penyelenggara pemilu. Salah
satu anggota tim pakar pemerintah yang menyusun revisi undang-undang itu, Dani Syarifudin
Nawawi, mengusulkan memperketat syarat untuk calon anggota legislatif. Nantinya, calon
wakil rakyat harus paling tidak setahun menjadi anggota partai aktif. Tak bisa ujuk-ujuk dan
tak bisa pula jadi kutu loncat, gagal membayar mahar untuk partai ini, lalu loncat ke partai
itu."
"Apa itu cukup?" Romo memotong. "Harus ada sertifikat bahwa calon itu sudah lulus kursus
ketatanegaraan dan tahu bagaimana cara bersidang, termasuk etika dan sopan-santunnya.
Partai harus selektif dan tak hanya mengejar jumlah kursi. Ini sulit, tapi kita tak harus lelah
untuk berbuat yang lebih baik lagi bagi bangsa dan negara ini."
Saya hampir tertawa. Romo bak pejabat negara yang senang berkata demi bangsa dan
negara betapa pun kata itu terasa klise. Tapi saya suka Romo memberikan jalan keluar,
karena banyak orang mencela mutu anggota wakil rakyat tapi tidak memberikan solusi.

Korupsi di Beleid Amnesti Pajak


SENIN, 29 AGUSTUS 2016

Oce Madril, Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM

Walaupun telah disahkan dan disosialisasi, Undang-Undang Amnesti Pajak masih menuai
pro-kontra. Di satu sisi, kebijakan ini bertujuan meningkatkan penerimaan negara dari pajak.
Di sisi lain, kebijakan ini berbenturan dengan upaya penegakan hukum. Beleid ini
dikhawatirkan dapat menghambat penegakan hukum, khususnya kejahatan korupsi dan
pencucian uang.
Berkali-kali pemerintah dan DPR meyakinkan publik bahwa undang-undang ini terbatas
hanya untuk sanksi perpajakan. Bahwa tax amnesty hanya bicara penghapusan pajak terutang,
penghapusan sanksi administrasi pajak, serta penghapusan sanksi pidana perpajakan dengan
cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Kebijakan ini diklaim tidak ada
kaitannya dengan pengampunan kejahatan lainnya di luar pidana perpajakan. Namun, jika
kita pahami secara utuh, tidak demikian adanya. Undang-undang ini memuat ganjalan bagi
penegakan hukum kejahatan lainnya yang terkait, terutama korupsi dan pencucian uang.
Ada yang janggal di sini. Walaupun sebagian besar undang-undang ini bicara mengenai
pengampunan pajak, ada satu ketentuan yang dapat berdampak luas bagi kejahatan lainnya,
yakni Pasal 20. Ketentuan ini mengatur tentang manajemen data dan informasi. Pasal 20

menyatakan bahwa data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan dan
lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang
berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar
penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
Dibaca selintas, pasal itu tidak bermasalah. Bahwa segala data dan informasi yang diserahkan
wajib pajak tidak akan diganggu gugat dan dijadikan bahan untuk mengusut perbuatan
"pidana perpajakan" yang dilakukan wajib pajak tersebut. Ini logis, karena inilah esensi dari
pengampunan pajak, yakni mengampuni pidana pajak. Selama data dan informasi itu
diserahkan kepada Kementerian Keuangan atau pihak lain yang terkait, ketentuan Pasal 20
berlaku.
Yang menjadi persoalan adalah penjelasan Pasal 20 tersebut. Dalam penjelasannya
dinyatakan bahwa tindak pidana yang dimaksudkan dalam Pasal 20 meliputi tindak pidana di
bidang perpajakan dan tindak pidana lain. Di sinilah masalah muncul. Pembatasan akses data
dan informasi itu tidak hanya berlaku bagi pidana perpajakan, tapi juga "tindak pidana lain",
dalam hal ini semua jenis tindak pidana, termasuk korupsi dan pencucian uang yang sangat
terkait dengan kejahatan pajak.
Tentu menjadi pertanyaan besar mengapa harus ada kata "tindak pidana lain" dalam
penjelasan Pasal 20? Mengapa tidak konsisten saja dengan pidana perpajakan? Di sinilah
inkonsistensi undang-undang ini terlihat. Beleid yang digadang-gadang hanya untuk pidana
perpajakan ternyata menyimpan aturan yang memberikan perlindungan bagi kejahatan
lainnya.
Kata-kata "tindak pidana lain" inilah yang dapat dimanfaatkan oleh penumpang gelap.
Dikhawatirkan ketentuan tersebut dimanfaatkan oleh koruptor untuk mencuci bersih dana
yang pada dasarnya bersumber dari kejahatan korupsi. Dengan begitu, uang hasil kejahatan
bisa tersamarkan dan seakan bersih karena sudah membayar kewajiban pajak melalui
program pengampunan pajak, sehingga para koruptor mendapat celah untuk menghindar dari
kejaran aparat penegak hukum.
Ketentuan ini juga menegaskan bahwa besar kemungkinan uang yang akan masuk program
amnesti tidak semata-mata dari kejahatan pajak saja, tapi juga berasal dari kejahatan korupsi,
pencucian uang, atau kejahatan lainnya. Penjelasan Pasal 20 itu dimotivasi untuk
memberikan perlindungan hukum yang istimewa bagi pelaku kejahatan.
Akibat hukum dari Pasal 20 sangat serius. Aturan tersebut akan menjadi ganjalan bagi
penegak hukum yang sedang atau akan mengusut tindak pidana korupsi dan pencucian uang
yang melibatkan mereka yang ikut program pengampunan pajak. Ketentuan ini berpotensi
mengubah haluan pengampunan pajak menjadi pengampunan untuk koruptor.
Penempatan kata "tindak pidana lain" dalam bagian penjelasan dicurigai untuk
menyembunyikannya dari perhatian publik. Penjelasan Pasal 20 itu jelas tak lazim dipandang

dari aturan main pembentukan undang-undang. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011


tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa penjelasan hanya
memberikan keterangan, informasi, atau tafsiran atas norma yang terkandung dalam suatu
pasal. Penjelasan tidak dapat berisi suatu rumusan norma baru atau memperluas dan
menambah norma yang terkandung dalam pasal di batang tubuh.
Penjelasan Pasal 20 itu merupakan bentuk penyelundupan norma hukum. Bukannya
menjelaskan kata dan frasa yang ada dalam Pasal 20, melainkan penjelasan itu memperluas
jenis tindak pidana dari perpajakan menjadi semua jenis pidana. Hal ini mengingkari niat dan
tujuan utama dibentuknya undang-undang yang hanya mengampuni pidana pajak. Model
perumusan penjelasan Pasal 20 ini telah memuat perubahan terselubung terhadap substansi
utama UU Pengampunan Pajak.
Penyelundupan norma hukum ini merupakan salah satu model korupsi legislasi yang sering
kita temui dalam berbagai kasus. Telah banyak preseden buruk ketika ada pasal-pasal dalam
undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan DPR yang dirumuskan berdasarkan titipan
kepentingan segelintir kelompok. Dalam UU Pengampunan Pajak, titipan kepentingan itu
telah menggerus integritas program pengampunan pajak.

Haji Via Filipina dan Kuota


SENIN, 29 AGUSTUS 2016

Ayang Utriza Yakin, Saiful Mujani Research Fellow di PPIM-UIN Jakarta

Tertangkapnya 177 calon haji asal Indonesia berpaspor Filipina pada 19 Agustus lalu di
Manila merupakan fenomena gunung es dari kekisruhan seputar kuota haji yang melanda
negara-negara yang banyak penduduknya muslim. Calon haji amat banyak, tapi jatah
keberangkatan sedikit. Minimnya kuota ini disebabkan oleh pemotongan yang dilakukan
pemerintah Arab Saudi karena tengah memugar dan memperluas Masjidil Haram dan area di
sekitarnya. Keputusan itu mempengaruhi sejumlah negara yang banyak penduduknya
muslim, seperti Turki, Nigeria, Pakistan, Malaysia, India, dan terutama Indonesia.
Kuota calon haji Indonesia berkurang 168 ribuan tiap tahun hingga megaproyek di Masjidil
Haram selesai. Mungkin kuota akan kembali normal setelah musim haji 2018. Artinya, kuota
Indonesia mungkin akan naik seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dengan kuota di
angka 250 ribuan. Tapi dengan angka sebesar ini pun Indonesia belum bisa memberangkatkan
semua calon hajinya dalam lima tahun setelah selesainya perluasan Masjidil Haram.
Di antara sederet negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia merupakan negara yang

paling menderita akibat pemangkasan kuota. Daftar tunggu calon haji Indonesia menjadi
tidak masuk akal. Daerah dengan masa tunggu paling lama adalah Provinsi Sulawesi Selatan.
Rekor masa tunggu terlama dipegang Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan,
yakni hingga 2055. Artinya, yang mendaftar pada tahun ini harus menunggu 35 tahun untuk
bisa berangkat haji.
Melihat data Kementerian Agama itu, tentu calon haji sangat risau menghadapi masalah usia
yang terus bertambah dan kesehatan yang menurun. Tidak mengagetkan bahwa calon haji
memilih menempuh jalan pintas apa pun. Para agen biro perjalanan menangkap peluang
"emas" ini dengan menawarkan berbagai hal, termasuk yang melanggar aturan dan tentu
dengan biaya yang tidak kecil, seperti berangkat melalui negara lain yang punya banyak sisa
kuota. Contohnya, kasus 177 calon haji di atas.
Sesungguhnya, penggunaan paspor negara lain untuk berangkat haji merupakan praktek yang
sudah lama dilakukan di negara-negara Asia Tenggara, tapi selama ini "didiamkan". Praktek
ini dilakukan secara profesional dengan melibatkan jaringan biro perjalanan dan aparat
pemerintah di negara terkait atau oleh perorangan karena adanya ikatan kekeluargaan atau
pertemanan.
Setelah (apalagi sebelum) pemangkasan kuota, negara-negara berpenduduk minoritas
muslim, seperti Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja, memiliki sisa kuota. Inilah yang
membuka peluang para biro perjalanan atau perorangan untuk memanfaatkannya, walau
dengan cara yang risikonya amat tinggi, yaitu menggunakan paspor negara lain. Praktek ini
bukanlah rahasia di kalangan pengusaha biro perjalanan haji. Calon haji Indonesia banyak
ditemukan berangkat dari negara-negara ASEAN dengan paspor negara tersebut.
Saya sendiri menemukan beberapa kasus calon haji Indonesia yang berangkat dari dan
dengan kuota Thailand serta Malaysia. Saya juga menemukan beberapa kasus warga negara
Thailand, Malaysia, dan Filipina yang berangkat haji dari Indonesia. Bahkan ada seorang
warga negara Filipina yang ikut dalam rombongan saya dari kelompok terbang Bekasi.
Jadi, ini memang praktek lama yang melibatkan jaringan profesional (baca: mafia). Pastilah
hal ini melibatkan berbagai pihak di kedua negara, baik orang pemerintah (kependudukan dan
imigrasi) maupun swasta (biro perjalanan/perorangan). Hal ini menggambarkan betapa
lemahnya sistem kependudukan di Indonesia dan negara tetangga di ASEAN.
Harus ditegaskan di sini bahwa berangkat haji dari negara lain itu dibolehkan, tapi tidak
dengan paspor negara tersebut. Saat saya di Mesir, semua mahasiswa Indonesia yang hendak
berhaji dari Kairo jelas mengambil kuota Mesir. Syaratnya, mereka memiliki izin tinggal
resmi di Mesir. Demikian juga orang Indonesia yang tinggal di Eropa. Mereka dapat
berangkat, misalnya, dari Prancis dengan mengambil kuota Prancis. Waktu saya tinggal tujuh
tahun di Prancis dan sering memberi manasik haji kepada warga Indonesia yang hendak
berhaji, mereka berangkat dengan kuota Prancis tapi tetap menggunakan paspor Indonesia.

Mungkin bermukim di negara-negara Eropa sampai mendapat izin tinggal sementara bisa
menjadi salah satu solusi bagi warga Indonesia yang ingin segera berhaji. Jalan lainnya
adalah berhaji dengan visa haji non-kuota. Biasanya, hal ini dapat dilakukan oleh para
pengusaha atau orang yang kenal dengan keluarga Kerajaan Saudi atau biro perjalanan
wisata. Para pengusaha bisa mendapat visa Saudi non-kuota dan menunaikan ibadah haji, tapi
dengan syarat ada alasan sedang menjalin usaha dengan mitra di Arab Saudi. Hal ini cukup
banyak dilakukan oleh beberapa pihak di Indonesia. Tapi harganya dua kali lipat ONH Plus:
sangat mahal.
Jalan ketiga, mungkin dengan "pembelian" kuota negara-negara yang masih memiliki sisa
oleh pemerintah Indonesia. Terutama negara sahabat di ASEAN, seperti Filipina, Vietnam,
Kamboja, dan Thailand. Kuota negara-negara Eropa pun jarang habis, dan itu mungkin bisa
"dibeli" oleh Indonesia. Gagasan ini dianggap mustahil terlaksana, tapi pantas
dipertimbangkan.
Tentu ada cara yang lebih resmi, yaitu melalui permohonan jatah kuota yang tidak habis ke
negara-negara di Eropa dan Asia Tenggara. Tapi hal ini tidak mudah, dan Indonesia
membutuhkan dukungan ASEAN serta Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Langkah awal yang dapat dilakukan pemerintah adalah meyakinkan OKI agar mengadakan
sidang khusus membahas soal kuota haji ini. Pemerintah dapat melobi negara-negara anggota
OKI yang kuotanya tidak habis. Juga mendesak OKI agar memberi rekomendasi kepada Arab
Saudi untuk menambah kuota dengan alasan keadaan darurat lantaran jumlah calon haji
Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim sangat banyak. Jika pemerintah
tidak berusaha sekeras mungkin mencari jalan keluar atas masalah kuota haji ini, kasus "haji
via Filipina" akan terus berulang dengan gaya yang berbeda.

Huesca
SENIN, 29 AGUSTUS 2016

Sejak 1948, puisi itu selalu menggetarkan. Kita, di Indonesia, akan mengenangnya--meskipun
dari sebuah terjemahan--sebagai bagian dari pukau yang bernama Chairil Anwar.
Jiwa di dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku
Bayangan yang bikin tinjauan beku

Chairil telah menunjukkan, menerjemahkan, khususnya puisi, bukanlah mengikuti sesuatu


yang sudah ada, melainkan mencipta. Ia melintasi asal-usul. Dalam bentuk aslinya, "Huesca"
adalah empat bait yang akrab dengan hidup seorang John Cornford.
Penyair Inggris itu menuliskannya sebelum ia tewas dalam Perang Saudara Spanyol pada hari
ulang tahunnya, 27 Desember 1936. Umurnya baru 21 tahun. Sebelumnya, dalam
pertempuran di Madrid melawan pasukan Fasis, ia terluka di kepala. Puisi itu lahir ketika ia
dirawat: sebuah sajak cinta yang murung, di saat hidup akrab dengan kematian:
Dan jika untung malang menghamparkan
Aku dalam kuburan dangkal
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal
Tapi kemurungan itu bukan segalanya--hanya melintas, mendorong, tak menenggelamkan.
Sajak cinta itu bahkan melampaui dirinya sendiri sebagai sajak cinta. Sang penyair tahu ia
sedang di ambang pertempuran yang menentukan dengan merebut Kota Huesca, sebuah
wilayah yang jadi "pagar penghabisan dari kebanggaan kita". Sang penyair tahu ia bisa
dibunuh dan membunuh. Tapi bukan untuk dirinya sendiri. Ia ingin menemukan sesuatu yang
berharga di dunia yang kehilangan harga.
Di sini Chairil tak mengungkapkan apa yang tersirat dalam sajak penyair Inggris itu. "Jiwa di
dunia yang hilang jiwa" (dalam versi Chairil) berbeda dengan kalimat "the heart of the
heartless world"(dalam sajak Cornford). Kata "heartless" sama dengan "tak berperasaan"
atau "bengis". Kata "hilang jiwa" bisa berarti "mati".
Cornford agaknya menulis dengan gaung kalimat Marx yang terkenal tentang "[einer]
herzlosen Welt", dunia yang tak punya hati dan perasaan.
Cornford seorang komunis yang yakin, tapi ia juga penyair, bukan penghafal doktrin. Bagi
Marx "penghibur" atau "penawar", das Gemat, dalam dunia yang bengis itu adalah agama,
yang akhirnya jadi candu yang memperlemah manusia. Bagi Cornford, penawar itu cinta,
kenangan tentang kebaikan, harga diri bersama ("kebanggaan kita"), tekad untuk mengakhiri
keadaan yang tak punya tempat bagi hal-hal yang tak ternilai itu.
Sajak itu ditulisnya buat Margot Heinemann, kekasihnya yang ia tinggalkan di London. Tapi
gadis ini juga kawan seperjuangan. Margot, mahasiswa Cambridge yang aktif dalam gerakan
Kiri, sejak 1934 bergabung dengan Partai Komunis Inggris.
"Huesca" adalah sajak cinta dan sekaligus sajak politik.
Paduan itu membuat empat bait itu begitu tulus hingga tak berteriak. Tak ada slogan.
Suasananya menyentuh, melintasi batas.

Cornford dan Heinemann tak datang dari kelas buruh. Ayah John guru besar sejarah kuno di
Universitas Cambridge, ibunya penyair; ia keturunan Charles Darwin. Margot anak seorang
bankir yang mendukung Partai Buruh. "Kami semua... sekutu yang wajar kelas pekerja," kata
perempuan yang tak pernah meninggalkan Partai itu, biarpun ia pernah kecewa. Baginya, di
hari-hari itu, yang mereka lakukan bukanlah melampaui latar belakang kelas borjuis mereka,
melainkan mencoba menyatukan semua golongan dengan kehendak yang sadar untuk
"menghadapi Fasisme dan perang".
Ketika kaum Fasis mengambil alih kekuasaan di Spanyol dan kaum Republiken bangkit
melawan, sebagian dunia bergerak. Menggetarkan hati bahwa ribuan orang--termasuk sederet
sastrawan dan perupa terkenal--bersedia bertempur bersama di pelbagai tempat di Spanyol.
W.H. Auden, Dos Passos, Hemingway, Malraux, Picasso, Orwell (yang juga terluka dalam
pertempuran)....
Di London, Margot aktif mengedarkan pamflet dan menghimpun rapat umum. John
bergabung (bersama kaum kiri dari segala penjuru dunia) dalam Brigade Internasional. Ia
berangkat ke Spanyol. Pertengahan Juni 1937, ia ada di antara 17 ribu orang yang mengepung
Huesca, kota di timur laut yang dikuasai kaum Fasis itu. Tapi mereka tak sekuat semangat
mereka.
Setelah bertempur sepekan, mereka gagal. Sekitar 9.000 pejuang tewas. Jasad Cornford tak
ditemukan--tak juga di kuburan dangkal.
Agaknya ia tak menyesal. Ia tak pernah membayangkan kematian yang heroik. Sebuah
sajaknya menggambarkan, dengan lugas, betapa tak agungnya seorang pejuang yang
gugur: "Death was not dignified." Heinemann yang menulis elegi untuk kekasihnya tahu:
gugurnya John dan rekan-rekan yang terbaik dan paling berani adalah hal yang tak bisa
ditebus, tapi bisa ditanggungkan. All this is not more than we can deal with.
Spanyol, 1930-an: mungkin buat terakhir kalinya dalam sejarah, energi bangkit untuk
mengukuhkan sesuatu yang universal dalam hidup manusia--dan ada orang-orang siap mati
untuk itu. Meskipun kalah.

Goenawan Mohamad

GBHN dan Sistem Presidensial

RABU, 31 AGUSTUS 2016

Sulardi, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang

Perubahan UUD 1945 pada 1999-2004 menghadirkan masalah ketatanegaraan yang sangat
kompleks. Salah satunya adalah ketiadaan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai
arah pembangunan bangsa dan negara. Saat ini dirasakan betapa pembangunan bangsa ini,
terutama arah pembangunan, tidak tahu mau ke mana akan dilabuhkan. Masalah itu memicu
gagasan untuk kembali menghadirkan GBHN. Tapi keinginan itu bermuara pada kontroversi.
Eksistensi GBHN merupakan amanah UUD 1945 yang dirancang para pendiri negara ini. Hal
tersebut terpatri dalam Pasal 3 UUD 1945, bahwa "MPR menetapkan UUD dan GBHN".
Pada awal kemerdekaan, saat MPR belum terbentuk, untuk pertama kalinya institusi negara
yang diberikan kewenangan menyusun GBHN adalah Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), komite yang pada awalnya merupakan lembaga pembantu presiden.
Dinamika ketatanegaraan pada waktu itu menghendaki peningkatan kedudukan KNIP
menjadi tidak sekadar pembantu presiden. Sebagai jawaban atas keinginan itu, lahirlah
Maklumat Wakil Presiden Nomor "X" yang salah satu isi pokoknya adalah "KNIP ikut
menetapkan GBHN".
Betapa pentingnya pedoman bernegara itu terlihat juga pada era pemerintahan Orde Lama
setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pemerintahan kala itu dijalankan berdasarkan UUD 1945
(lagi), setelah sebelumnya diberlakukan Konstitusi RIS, yang kemudian diganti dengan UUD
Sementara pada 1950. Produk hukum yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) pada era itu ada dua. Keduanya menetapkan tentang GBHN,
yakni Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia
sebagai GBHN dan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.
Setelah rezim Orde Lama berganti Orde Baru, pembangunan nasional di Indonesia didasari
GBHN. GBHN ini setiap lima tahun disusun oleh MPR dan dijalankan oleh Presiden sebagai
mandataris MPR. Pada masa ini pembangunan terencana melalui konsep Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang tertuang dalam GBHN.
Runtuhnya Orde Baru, yang disusul dengan perubahan UUD1945, membawa konsekuensi
berubahnya kedudukan MPR. MPR, yang semula sebagai lembaga tertinggi negara, menjadi
lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lain. MPR tidak lagi memilih Presiden.
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal itu membawa konsekuensi bahwa Presiden
tidak lagi sebagai mandataris MPR dan tidak bertanggung jawab kepada MPR. Konsekuensi

lainnya, GBHN tidak lagi ditetapkan oleh MPR.


Sejak GBHN tidak lagi menjadi arah pedoman pembangunan negara, terasa ada yang hilang
dan kurang, yakni arah pembangunan negara mau dikemanakan. Harus dipahami, sejak
GBHN hilang dari perederan, untuk menjaga pembangunan berkelanjutan, muncullah
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai ganti GBHN. RPJPN
merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 tahunan yang terhitung
sejak 2005 sampai 2025. RPJPN merupakan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Mesti dipahami bahwa visi pembangunan nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang
mandiri, maju, adil, dan makmur. Visi itulah yang hingga saat ini belum ditemukan
wujudnya. Alih-alih terwujud, keresahan dan ketidakpastian masa depan bangsa justru ada di
depan mata dan bahkan menjauh dari nilai-nilai Pancasila.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan, "Pemerintah yang
sekarang ini pun sudah mulai out of the track, melenceng dari Pancasila, UUD, dan
demokrasi." Situasi penyelenggaraan negara yang tidak ada kejelasan mau diapakan dan
dibawa ke mana itulah yang memantik keinginan untuk menghadirkan lagi kewenangan MPR
menetapkan GBHN sebagai pedoman bagi bangsa dan negara ini dalam pelaksanaan
pembangunan. Tentu saja keinginan itu memerlukan kajian yang komprehensif, mengingat
MPR tidak lagi berwenang menyusun GBHN.
Sistem presidensial, yang berlaku sekarang, membawa konsekuensi bahwa presiden dipilih
oleh rakyat. Karena presiden dipilih oleh rakyat, dia bertanggung jawab kepada rakyat dan
konstitusi. Dengan demikian, konsekuensi ketatanegaraan berkaitan dengan arah
pembangunan nasional ditentukan oleh presiden dengan mewujudkan janji-janji yang dia
kampanyekan menjelang pemilihan presiden. Janji-janji itulah yang semestinya diwujudkan
dalam visi dan misi RPJPN, yang dapat diurai menjadi pembangunan jangka pendek dan
jangka panjang.
Hasrat untuk kembali menghadirkan GBHN yang disusun oleh MPR sebagai pedoman
pembangunan nasional secara konstitusional telah tertutup. Bangsa ini sebaiknya
menghormati dan melaksanakan kesepakatan yang diwujudkan dari hasil perubahan UUD
1945. Kini Presiden bukan lagi bawahan MPR dan MPR bukan lagi pemegang dan pelaksana
kedaulatan rakyat, sehingga tidak mungkinlah memaksa MPR menyusun GBHN dan
menyodorkan kepada presiden untuk melaksanakannya. Inilah konsekuensi dari perubahan.

Keadilan dalam Amnesti Pajak


KAMIS, 01 SEPTEMBER 2016

Chandra Budi, Penulis Buku Urus Pajak Itu Sangat Mudah

Masyarakat ramai menanggapi isu keadilan dalam pelaksanaan amnesti pajak. Ini dimulai
dari cerita seorang pensiunan dan besarnya nilai tebusan amnesti pajak yang harus
dibayarkannya. Kisah ini kemudian berantai dan menghakimi bahwa amnesti pajak
melenceng dari marwahnya. Bukankah amnesti pajak menyasar orang kaya dengan harta
berlimpah di dalam maupun luar negeri?
Yang harus digarisbawahi, amnesti pajak adalah hak, bukan kewajiban. Ini merupakan
konsekuensi logis sistem perpajakan Indonesia yang berkiblat ke self assessment (penilaian
diri). Yang paling tahu apakah isi dan daftar harta dalam SPT (surat pemberitahuan tahunan)
pajak sudah benar dan lengkap hanya wajib pajak itu sendiri.
Pengujian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui pemeriksaan dan penegakan
hukum perpajakan hanya menyasar tidak lebih dari 2 persen wajib pajak terdaftar. Dengan
demikian, kalau dilihat dari respons masyarakat yang ketakutan atas amnesti pajak ini,
sebenarnya ini mengkonfirmasi secara tidak langsung premis bahwa sebagian besar isi harta
dalam SPT mereka tidak lengkap.
Ketidaklengkapan tersebut dapat disebabkan banyak faktor, seperti pengetahuan perpajakan
yang belum memadai, kendala teknis pemanfaatan informasi teknologi dalam pelaporannya,
atau memang kesengajaan untuk tidak melaporkan harta secara lengkap. Keresahan ini
dianggap teror karena ada sepotong informasi tidak lengkap tentang klausul sanksi 200
persen apabila wajib pajak tidak mengikuti amnesti pajak.
Karena amnesti pajak adalah hak, maka boleh dimanfaatkan atau tidak dimanfaatkan. Nah,
peraturan Dirjen Pajak tersebut sebenarnya menegaskan (kembali) siapa saja yang dibolehkan
tidak memanfaatkan amnesti pajak ini. Petani, nelayan, pensiunan, TKI, dan pemilik harta
warisan yang belum terbagi, serta warga Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia
lebih dari 183 hari dalam setahun dapat tidak menggunakan haknya untuk mengikuti amnesti
pajak. Penerapan sanksi apabila harta ditemukan pun tidak dilakukan. Syaratnya, mereka
memiliki penghasilan setahun di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yang minimal
Rp 54 juta, bergantung pada statusnya.

Sebenarnya, mereka ini bukanlah wajib pajak sebagaimana dinyatakan dalam peraturan
perpajakan yang berlaku. Aturan mensyaratkan bahwa wajib pajak harus memenuhi dua
syarat: bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia dan memiliki penghasilan di atas
PTKP yang berlaku. Undang-Undang Pengampunan Pajak jelas hanya ditujukan kepada
wajib pajak, orang maupun badan usaha, baik yang sudah terdaftar maupun belum terdaftar.
Mereka yang belum terdaftar ini dapat saja sebagai wajib pajak (secara administrasi belum
memperoleh nomor pokok wajib pajak) namun syarat subyektif dan obyektif sudah terpenuhi.
Lantas, bagaimana ketidaklengkapan pengisian daftar harta dalam SPT dapat diperbaiki bagi
mereka dalam kategori tadi? Tidak perlu khawatir. Wajib pajak yang tidak menggunakan
haknya mengikuti amnesti pajak dapat membetulkan SPT dengan skema pembetulan SPT.
Apabila harta dalam pembetulan SPT diperoleh dari penghasilan yang telah dikenai pajak,
tidak ada kekurangan pajak yang harus dibayarkan lagi. Jadi, perlu ditegaskan, bagi mereka
yang tidak atau belum melaporkan hartanya secara lengkap dan harta tersebut berasal dari
penghasilan yang telah dikenai pajaknya, opsi pembetulan SPT dengan tanpa membayar lagi
pajak tambahan adalah yang terbaik.
Namun, jika harta tersebut diperoleh dari penghasilan yang belum dikenai pajak, wajib pajak
harus membayar kekurangan pajaknya sesuai dengan tarif pajak menurut UU Pajak
Penghasilan. Pun ketika Ditjen Pajak suatu saat menemukan harta yang tidak dilaporkan,
harta tersebut dihitung sebagai penghasilan dan dikenai pajak plus sanksi administrasi sebesar
200 persen.
Amnesti pajak dapat dipandang sebagai rekonsiliasi nasional. Kita harus sadar bahwa
Indonesia butuh dana banyak agar pembangunan menjadi lebih cepat, berkualitas, dan
merata. Namun kemampuan negara untuk mengumpulkan dana tersebut ada batasnya.
Otoritas pajak belum mampu secara maksimal memberantasnya karena keterbatasan
jangkauan. Di satu sisi, tingkat kepatuhan sukarela untuk membayar pajak kalah cepat dengan
laju keinginan untuk menghindari pajakdengan berbagai alibi.
Refleksi pengorbanan tersebut dimanifestasikan dalam wujud membayar pajak. Berapa pun
pajak dibayarkan adalah bentuk rasa cinta kepada negara ini.
Dengan demikian, esensi amnesti pajak adalah bentuk pilihan yang ditawarkan pemerintah
dengan konsekuensi yang melekat di dalamnya. Semua level masyarakat diberi hak yang
sama untuk mengikuti program ini. Bagi yang seharusnya wajib mengikuti tetapi tidak
melakukannya, sudah sepantasnya diberi timbal balik yang setimpal berupa denda tinggi.
Sebaliknya, bagi yang tidak wajib dan memilih untuk tidak menggunakan haknya, tentunya
diperbolehkan. Namun, dapat juga pihak yang tidak wajib tetapi memilih menggunakan
haknya untuk mengikuti amnesti pajak, tidak ada satu pasal pun yang melarang. Dengan
demikian, sebenarnya keadilan dalam amnesti pajak dimanifestasikan dari bentuk kontribusi
sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Mewujudkan Kota Cerdas Berkelanjutan


JUM'AT, 02 SEPTEMBER 2016

Nirwono Joga, Koordinator Kemitraan Kota Hijau

Dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) V pada
akhir Juli lalu di Kota Jambi, 88 kota sepakat untuk bersama-sama bertransformasi menuju
kota cerdas berkelanjutan (KCB). KCB tidak sekadar kota yang mengandalkan kemajuan
teknologi informasi yang didukung oleh jaringan infrastruktur internet kuat serta pasokan
listrik yang memadai. Kota itu juga mampu menggali potensi lokal dan memaksimalkan
sumber daya kota serta warga untuk mengatasi masalah ekonomi dengan cerdas (ekonomi).
Kota juga didukung pusat bisnis dan industri (jasa) ramah lingkungan, memaksimalkan
sumber daya alam yang (sangat) terbatas (air, lahan, dan energi fosil), sehingga tumbuh
perekonomian yang berkelanjutan (ekonomi hijau).
Kota memiliki pusat pendidikan berkualitas dan berwawasan lingkungan untuk mencetak
sumber daya manusia berkualitas unggul sebagai aset dan aktor utama penggerak ekonomi.
Kota menciptakan suasana aman, nyaman, produktif, dan memiliki tata kelola sumber daya
manusia yang baik sebagai unsur pengungkit (sosial).
Warga mendapat layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, dan layanan publik lain dengan
layak, mudah, dan murah. Masyarakat mudah berinteraksi dengan warga dan pemerintah,
baik secara konvensional (tatap muka) maupun digital, di media sosial.
Kota didukung oleh aspek pengungkit berupa teknologi informasi dan komunikasi, tata kelola
pemerintahan, serta sumber daya manusia sebagai pendorong munculnya aneka solusi
inovatif dan kreatif terhadap persoalan kota. Pemerintah membangun modal sosial melalui
komunikasi intensif dan menumbuhkan rasa saling percaya untuk bersama membangun kota.
Untuk mewujudkan KCB, ada 10 indikator yang harus dipenuhi. Pertama, memiliki
perencanaan dan perancangan berwawasan lingkungan dan tanggap akan perubahan iklim,
yakni rencana tata ruang wilayah, rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi, rencana tata
bangunan dan lingkungan, serta panduan perancangan kota.

Kedua, menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) dengan porsi 30 persen dari luas
kota/kawasan (publik 20 persen dan privat 10 persen). Taman, jalur hijau, dan pepohonan
besar membentuk jaringan infrastruktur hijau. Kota menyusun rencana induk RTH yang
dijabarkan dalam rencana detail, target tahunan, lokasi peruntukan, serta alokasi dana yang
berkelanjutan.
Ketiga, warga terbiasa berjalan kaki atau bersepeda ke tempat yang dekat atau menggunakan
transportasi publik ke luar kawasan. Tersedia trotoar ramah pejalan kaki serta infrastruktur
sepeda aman dan nyaman (jalur, parkir, bengkel, persewaan), serta didukung oleh transportasi
publik terpadu dan terjangkau (bus, kereta api, dan angkutan tradisional).
Keempat, menuju kawasan bebas sampah. Pengolahan sampah, terutama sampah organik
(kompos), sesedikit mungkin tersisa atau tidak bisa diolah atau harus dikirim ke tempat
pembuangan (dan pengolahan), dilengkapi dengan koperasi bank sampah dan alat
pembangkit listrik (biogas).
Kelima, bebas banjir dan tersedia air bersih. Warga mendapat akses dan jaminan ketersediaan
air bersih pada musim kemarau. Tidak ada air terbuang dan semua diserap kembali ke dalam
tanah (sumur resapan, kolam penampung, dan situ/waduk).
Keenam, menerapkan standar bangunan hijau, yakni pencahayaan cukup, udara segar
mengalir lancar, air tercukupi dan tidak ada yang terbuang, listrik terpenuhi, serta bahan
bangunan lokal atau daur ulang (dengan arsitektur lokal).
Ketujuh, warga beralih secara bertahap ke energi terbarukan (surya, bayu, biogas), tagihan
listrik turun, dan pasokan listrik aman. Hak warga akan kebutuhan energi dasar (penerangan,
bahan bakar) terpenuhi dengan memanfaatkan energi terbarukan di lingkungan terdekat.
Kedelapan, membangun semangat sukarela, gotong-royong, peduli lingkungan, dan sosialbudaya masyarakat dalam perkembangan kota. Muncul banyak komunitas teritorial
(pramuka, karang taruna) dan kategorial (Bike to Work, pencinta alam), terjalin komunikasi
intensif antar-komunitas, serta muncul gerakan warga/komunitas peduli kota.
Kesembilan, menumbuhkan ekonomi ramah lingkungan dan meningkatkan pendapatan
semua pihak secara berkelanjutan. Karena itu, perlu ada keberpihakan terhadap produk lokal,
labelisasi/sertifikasi produk hijau, insentif bisnis hijau, proses produksi ramah lingkungan,
dan penggunaan energi terbarukan dalam proses produksi.
Kesepuluh, pemerintah memberikan teladan kepada masyarakat dalam menerapkan prinsip
hidup hijau cerdas (partisipatif, transparan, akuntabel, sinergis, dan berkelanjutan). Juga harus
ada birokrasi transparan dan egaliter serta penerapan e-Government (penguatan infrastruktur
jaringan dan pusat data, infrastruktur sistem informasi, integrasi data, pengembangan aplikasi
terintegrasi, dan pembuatan "gudang data") yang dieksekusi dalam kebijakan kota.

DPRD
SABTU, 03 SEPTEMBER 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Anggaran kementerian banyak yang dipangkas. Pemerintah juga perlu duit untuk
membangun infrastruktur--janji yang kerap diucapkan Presiden Joko Widodo. Uang yang
diharapkan mengalir dari luar negeri setelah ada pengampunan pajak jauh dari target.
Pemerintah lagi pusing menyelamatkan anggaran.
Anehnya, Presiden malah berjanji akan menaikkan gaji dan tunjangan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peraturan pemerintah untuk itu sudah disetujui Jokowi,
meski keluarnya dijanjikan pada akhir tahun. Kabar itulah yang membuat Romo Imam
terbahak-bahak. "Apa hebatnya kerja DPRD? Bikin peraturan daerah saja banyak yang
dianulir Menteri Dalam Negeri," kata Romo.
Romo tadinya enggan membicarakan anggota Dewan di daerah yang mengaku bergaji kecil.
"Gaji pokok memang kecil, tapi tunjangannya banyak. Belum lagi saweran," katanya. "Kalau
DPR, gaji pokoknya Rp 15 juta, tapi ada tunjangan listrik, aspirasi, kehormatan, komunikasi,
pengawasan, entah apa lagi. Jumlahnya sampai Rp 60 juta lebih. Lalu ada tambahan dari
perjalanan studi banding, uang reses, uang sidang membahas rancangan undang-undang,
belum tunjangan jabatan. Waduh...."
"Tunjangan anggota DPRD kan tak sebanyak itu, Romo?" tanya saya. Romo kembali
nyerocos: "Banyak juga. Gaji pokoknya kecil, ya, Rp 5 juta. Jenis tunjangan hampir sama
dengan DPR, nilainya saja beda. Tapi ada tunjangan rumah dan fasilitas yang aneh-aneh,
tergantung dana di daerah. Ada yang mendapat jatah mobil seharga ratusan juta rupiah. Ada
jatah handphone seharga Rp 18 juta, seperti di Bone, Sulawesi Selatan. Tunjangan
komunikasi di berbagai daerah hampir sama hingga Rp 4 juta. Padahal ada anggota DPRD
yang hanya memakai pulsa paket hemat Rp 40 ribuan. Ada lagi yang unik, disebut dana
hibah."
Perihal dana hibah itu, Romo Imam bicara panjang. Intinya begini. Setiap anggota DPRD
membawa proposal dari konstituen untuk pembangunan di daerah pemilihannya. Bermacam

ragamnya, dari pembangunan jalan, irigasi, tempat ibadah, hingga kesenian. Proposal itu
diajukan ke bupati oleh DPRD kabupaten dan ke gubernur oleh DPRD provinsi. Biasanya
proposal itu pasti disetujui. Maklum, legislatif dan eksekutif di daerah sangat akrab. Tapi
kadang kala ada saja yang tidak disetujui atau persetujuan ditunda dengan alasan obyek yang
disasar tidak merupakan prioritas pembangunan pemerintah daerah. Atau justru tumpangtindih dengan perencanaan yang sudah disusun pemerintah daerah. Apalagi pemerintah
daerah punya dana sejenis yang disebut bansos alias bantuan sosial. Nah, kalau dana hibah ini
ternyata tidak cair, akan ada ketegangan dan itu tecermin dalam sidang DPRD. Bisa saja
wakil rakyat di daerah itu ngambek, lalu menghambat program pemerintah daerah.
Dana hibah itu kalau cair uangnya masuk kantong anggota DPRD karena wakil rakyat ini
yang menyerahkan kepada konstituennya. Apakah dana diterima utuh sesuai dengan proposal
oleh rakyat, itu sudah pasti tidak. Tak ada pertanggungjawaban ke pemerintah daerah seperti
penggunaan bansos, namanya saja dana hibah. "Ini yang harus ditertibkan. Ini sumber
korupsi," kata Romo Imam.
"Hampir sama dengan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR yang menjadi makelar
proyek sejak membahas anggaran," kata Romo melanjutkan. "Bedanya, di DPR itu namanya
komisi dari pelaksana proyek dan itu tergolong korupsi. Di DPRD, dana hibah yang disunat
sebelum sampai ke masyarakat itu tak pernah diusut. Sudah begitu, minta gaji naik juga?"
"Minta gaji naik supaya tidak korupsi, alasannya begitu," kata saya. Romo terbahak-bahak.

Teroris Amatir dan Melek Digital


SENIN, 05 SEPTEMBER 2016

Noor Huda Ismail, Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian

Salah satu hasil survei nasional tentang Islam dan terorisme yang dikeluarkan oleh The
Wahid Institute yang bekerja sama dengan Indo Barometer (IB) menyimpulkan bahwa caracara kekerasan, baik terhadap umat beragama lain maupun untuk memerangi kemaksiatan,
ditentang oleh mayoritas rakyat Indonesia (93,9 persen). Ini juga berarti negara masih ada
"PR" untuk menangani sekitar 6,1 persen orang yang bersikap sebaliknya. Dengan jumlah
penduduk tidak kurang dari 250 juta orang itu, maka 6,1 persen itu tentu bukan jumlah yang
sedikit.
Barangkali, dengan merujuk pada hasil survei di atas, pelaku tunggal percobaan bom bunuh
diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yoseph, Doktor Mansyur, Medan, Ahad dua pekan lalu,
termasuk dalam kategori 6,1 persen itu. Sebagian media menuding aksi tersebut sebagai aksi
"lone wolf" atau aksi mandiri. Namun, benarkah demikian? Meskipun aksi ini amatiran,
pelajaran apakah yang bisa kita petik?
Menurut pengakuan sang bapak pelaku di media massa, putranya mendapat perintah dari
seseorang untuk melakukan aksi teror itu. Apakah seseorang itu terkait dengan ISIS? Sampai
detik ini, pihak aparat belum bisa memastikan hal itu.
Namun, jika benar hal ini terkait dengan jaringan ISIS di Indonesia, bentuk keterlibatan ini
merupakan jenis rekrutmen baru. Pelaku tidak lagi perlu menjadi bagian dari sebuah
kelompok kekerasan seperti JI, JAT, atau Tauhid Wal Jihad terlebih dulu untuk menjadi
pelaku kekerasan. Dalam pola baru ini, mereka hanya terhubung karena kesamaan imajinasi
melalui internet, terutama media sosial.
Ini bukan berarti pelaku kekerasan hanya terpapar oleh media sosial, kemudian terlibat
sebuah aksi. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat komunal ini, pertemuan fisik dengan

pelaku yang lain masih sangatlah diperlukan. Maka, media sosial itu hanya mempercepat dan
mempermudah proses radikalisasi pelaku.
Misalkan, dalam kasus penangkapan kelompok Ibadurrahman di Solo yang merencanakan
aksi teror terhadap polisi, vihara, dan gereja pada Agustus 2015. Jaringan ini terkait dengan
jaringan Bahrun Naim di Suriah melalui telegram. Tapi, baik Ibadurrahman maupun Bahrun
Naim telah menjalin hubungan persahabatan sebelum merencanakan aksi tersebut.
Pola radikalisme seperti kasus-kasus di atas sangatlah mungkin akan menjadi tren di masa
depan. Salah satu ciri pola baru ini adalah rekrutmen berlangsung sangat cepat. Walhasil,
mereka hanyalah anggota "karbitan". Kemampuan serangan mereka pun amatiran. Namun,
dengan semakin lemahnya ISIS di Timur Tengah karena serangan beruntun dari pasukan
koalisi, para kombatan asing yang telah bergabung dengan ISIS akan bertebaran ke seluruh
dunia dan secara cerdik akan menabuh genderang perang terhadap musuh ISIS. Mereka akan
meradikalisasi pendukungnya di seluruh dunia melalui fatwa-fatwa kekerasan di internet,
terutama melalui media sosial.
Sasaran empuk rekrutmen mereka biasanya adalah para anak muda yang masih labil mencari
jati diri dan individu yang termarginalkan secara sosial, politik, dan budaya. Marah terhadap
realitas pedih kehidupan, mereka pun merelakan diri menjadi martir bagi sebuah kelompok
yang mengusung jargon-jargon agama yang bombastis, seperti membangun peradaban baru di
bawah naungan khilafah Islam. Mereka berprinsip "hidup mulia atau mati syahid".
Bandingkan dengan pola lama ketika pelaku selalu terlebih dulu bergabung dengan sebuah
kelompok kekerasan, kemudian secara bertahap dipersiapkan baik secara ideologi maupun
kemampuan mereka. Prinsip mereka yang terangkum dalam ekspresi bahasa Arab "La jihada
illa bil I'dad" ("Tidak ada sebuah jihad itu tanpa sebuah persiapan").
Karena itu, hampir semua serangan teror di Indonesia selalu diikuti terlebih dulu dengan
pelatihan militer secara berkelompok. Proses ini adalah fase penting saat identitas diri lebur
menjadi identitas kelompok, sehingga "tekanan kelompok" menjadi salah satu faktor penting
yang mendorong pelaku terlibat kekerasan. Mereka akhirnya bertindak atas nama kelompok,
bukan atas nama pribadi.
Seperti halnya gerakan sosial-politik yang lain, kelompok kekerasan pun menggunakan
internet untuk penggalangan dana serta membangun loyalitas kelompok yang berawal dari
pertemanan online menjadi brotherhood atau bahkan perjodohan. Media mereka pun lebih
eye catching (memikat) dibandingkan dengan media yang diproduksi oleh negara. Secara
berkala, laman-laman situs mereka pun diperbarui dengan berita-berita yang provokatif.
Ironisnya, sampai detik ini, masih sangatlah sedikit upaya secara sistematis, baik itu
dilakukan oleh negara dan masyarakat sipil, untuk melakukan "narasi tandingan" terhadap
propaganda kelompok-kelompok ini. Hal ini terdengar basi, tapi itu adalah fakta penting yang
perlu segera disikapi dalam jangka waktu dekat, mengingat sudah ada beberapa kasus

beberapa anggota organisasi Islam moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, yang loncat
pagar dan bergabung dengan kelompok kekerasan.
Kondisi ini diperparah oleh rendahnya "melek digital" atau kemampuan membaca secara
kritis informasi yang berseliweran di media digital hari ini. Maka, serangan amatiran terhadap
pastor di Medan itu harus menjadi peringatan serius bahwa, untuk melawan radikalisasi pola
baru ini tidak bisa hanya dilakukan sendiri oleh negara, tapi diperlukan juga kerja sama
semua pihak. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menggalakkan "melek digital" di
kalangan anak muda agar mereka tidak terus menjadi korban dari kampanye kebencian yang
tumpah-ruah di ranah media sosial kita.

Munir, HAM, dan Islamnya


SELASA, 06 SEPTEMBER 2016

Husein Ja'far Al Hadar, Pendiri Cultural Islamic Academy Jakarta

Sudah 12 tahun, tepatnya sejak 7 September 2004, Munir menjadi syahid. Bangsa ini
mengenalnya sebagai pejuang hak-hak asasi manusia yang gigih. Tulisan ini hendak
mengupas aspek yang diakuinya dalam wawancara dengan Ulil Abshar-Abdalla yang
disiarkan Kantor Berita Radio 68H pada 1 Agustus 2002 sebagai dasar sekaligus energinya
dalam membangun konsep dan perjuangan HAM-nya, yakni pandangan keislamannya. Dan,
tampaknya memang basis keislamannya itulah yang menguatkan pandangannya mengenai
HAM.
Sebagaimana ditulis Nurcholish Madjid, yang biasa disapa Cak Nur, dalam HAM dan
Pluralisme Agama (1997), penegakan HAM membutuhkan komitmen tulus yang berakar
pada kesadaran akan makna kehidupan yang berbasis pada agama agar komitmen dan nilainilainya tak dangkal dan hambar. Bahkan, Amerika Serikat sekalipun, yang dibangun sebagai
negara sekular demokratis, tetaplah berlandaskan nilai etika dan moral kekristenan dalam
perkara HAM, khususnya kalangan Protestan Putih Bangsa Anglo-Sakson (White AngloSaxon Protestant/WASP).
Keberpihakan Munir pada HAM sebenarnya tak linier. Ia lahir dalam lingkungan keluarga
yang taat terhadap ritual beragama. Namun, belakangan, ia menilai keberislaman yang taat
ritual saja tidaklah cukup. Menurut dia, sebagaimana dikutipnya dari Cak Nur, kesalehan
religius harus beriringan dengan kesalehan sosial. Bagi dia, ritual-ritual itu menjadi sebuah
deklarasi yang tak bermakna jika tak diterapkan di tingkat sosial-kemanusiaan. Ia tak bisa
membayangkan bagaimana seseorang bisa menghadapkan wajah kepada Tuhan sehari lima
kali dalam salat, jika ia membiarkan ketidakadilan atau, apalagi, menjadi aktor kezaliman.

Munir muda bahkan merupakan seorang muslim ekstrem. Itu diakuinya terjadi dalam kurun
1984-1989, saat ia masih mahasiswa. Beruntung, ekstremismenya lebih disebabkan oleh
kedangkalan pemahaman keislamannya. Berbeda dengan ekstremisme yang, menurut dia, tak
murni, yang timbul karena nafsu berkuasa dan agenda politis, sebagaimana kian memuncak
di Timur Tengah dan telah masuk ke Indonesia.
Karena itu, tak sulit bagi Munir untuk kemudian berhijrah menjadi muslim moderat. Bahkan,
diakuinya, hijrah itu begitu sederhana, lantaran dientak oleh diskusinya dengan Malik Fadjar,
mantan Menteri Pendidikan Nasional, yang menggugahnya untuk berpikir ulang tentang misi
Islam: untuk kekuasaan ataukah pengabdian kepada sesama? Malik Fadjar pula yang
meminta Munir membaca ulang dan merenungkan tulisan-tulisan Cak Nur tentang Islam dan
HAM, khususnya Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), yang
belakangan tampak sangat mempengaruhi pandangan HAM Munir. Cak Nur memang
menggarisbawahi bahwa problem utama dan mendasar soal HAM adalah kekuasaan: baik
kekuasaan politik yang tiranik, kekuasaan agama yang memonopoli kebenaran, atau pun
kekuasaan lainnya.
Munir melampaui pandangan yang sempat berkembang pada zamannya bahwa HAM adalah
konsep Barat untuk mensubversi kita, umat Islam. Munir sepakat dengan Cak Nur bahwa
justru HAM adalah isu baru yang secara historis bahkan, sebagaimana diungkapkan dalam
Renaissance Philosophy of Man oleh Giovani Pico della Mirandola, dimulai di Barat karena
perkenalan masyarakatnya dengan Islam, khususnya orang-orang Sarasan (Arab muslim).
Meskipun kemudian hal itu ditolak oleh kalangan Gereja karena dinilai bertentangan dengan
Bibel, dan Pico akhirnya dihukum Gereja. Sementara di Barat para pejuang HAM cenderung
sekular, yang berpuncak dalam Religion without Revelation karya Julian Huxley, Munir justru
berdiri sebagai penegak HAM yang religius.
Dalam pandangan keislamannya itu, Munir juga menentang keberislaman yang cenderung
menonjolkan atribut simbolik. Bagi dia, atribut-atribut itu adalah produk budaya (Arab).
Keberislaman semacam itu justru membuat Islam berjarak dengan konteks (Indonesia) yang
lain, dan bahkan dengan Islam dan umatnya sendiri. "Jangankan mereka yang non-muslim.
Saya saja yang muslim merasa minoritas kalau berhadapan dengan orang yang berjenggot
panjang dan berkening hitam," katanya dalam wawancara dengan Ulil. Malah, bagi dia, tak
jarang atribut itu dijadikan legitimasi bagi mereka yang kuat atau berkuasa untuk melegalkan
penindasan, pencerabutan hak, dan ketidakadilan.
Pemahaman keislaman Munir ini sebenarnya selaras dengan tesis Ali Syariati, sosiolog asal
Iran, tentang Islam sebagai pembela yang tertindas (musthadafin). Munir bahkan meyakini itu
sebagai misi utama Islam bagi umat manusia. Sebab, penindasan adalah fenomena yang
mustahil absen dalam kehidupan dan Islam hadir dengan memberikan energi perlawanan
sekaligus landasan bagi upaya itu. Karena itu, sebagaimana disampaikan Munir,
memperjuangkan HAM adalah bagian dari agama atau bahkan sebenar-benarnya jihad dalam
arti "perang" yang sesuai dan dibutuhkan zamannya serta zaman kita saat ini: memerangi
penindasan, ketidakadilan, dan lain-lain secara konstitusional-hukum.

Munir juga menggarisbawahi bahwa keadilan harus bersifat inklusif-universal: bukan hanya
untuk kaum muslim, melainkan siapa saja. Tak perlu pula harus beriringan dengan agenda
islamisasi, karena yang utama adalah membuat rahmat (kesempurnaan) Islam dirasakan
semesta, bukan membuat Islam dianut semesta.
Akhirnya, bagi Munir, Islam adalah keadilan. Dan, memang, bahkan dalam pandangan
sebagian ulama dan mazhab Islam, keadilan diletakkan dalam ushuludin (dasar agama). Bagi
dia, kemenangan sejati Islam bukanlah saat masjid sesak oleh jemaah salat, tapi saat keadilan
tegak di mana Islam ada. Maka, tepat jika di tengah dan akhir lagu untuk Munir, Pulanglah,
dari Iwan Fals, diselipi petikan azan: hayya 'ala al-falah (mari menuju kemenangan). Munir
adalah suara keadilan dan itulah sebenar-benarnya suara azan, suara Islam.

Ahok dan Kota Proklamasi


RABU, 07 SEPTEMBER 2016

JJ Rizal, Sejarawan

Sambil merongos dan berleleran air mata, sebanyak 75 keluarga berusaha menghadang 300
personel Satuan Polisi Pamong Praja yang menggusur Kampung Rawajati, Jakarta Selatan.
Di antara korban gusuran yang menghadang itu, termasuklah Ilyas Karim, yang pada 2011
namanya meroket lantaran mengaku-ngaku sebagai pengibar bendera saat Proklamasi 17
Agustus 1945.
Karena itu, di sela-sela perdebatan tentang tidak insaf-insafnya Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta menggusur paksa yang, menurut Resolusi PBB Nomor 24 Tahun 2008, termasuk
pelanggaran hak asasi manusia berat, santer juga perdebatan apakah Ilyas Karimmeminjam
istilah Bung Hattamitos atau realitas di sekitar Proklamasi. Bagaimana memahami kedua
hal itu?
Pertama, tidak ada Ilyas di halaman rumah Sukarno pada 17 Agustus 1945. Ia bukan
pengerek bendera jahitan Fatmawati saat mengandung Guntur Sukarno itu ke tiang bambu
yang dibuat dadakan Barisan Pelopor. Meskipun banyak tersebar mitos di sekitar peristiwa
Proklamasi, para sejarawanberdasarkan berbagai sumber yang lulus kritiktelah sama
sepakat bahwa Latief Hendraningrat dan Soeharsono dibantu Soehoed sebagai pengibar
bendera saat proklamasi adalah sejarah yang sudah diterima kebenarannya (accepted history).
Kedua, justru Ilyas dengan kepalsuannya itu adalah sebuah peringatan ihwal perwujudan janji
Proklamasi yang belum kesampaian. Kadang-kadang peringatan memang turun tak disangkasangka dan dengan cara yang ganjil. Tapi, cobalah percaya. Kepalsuan Ilyas lahir dari
masalah kemiskinan. Ia mewakili wajah kaum miskin kota yang sakit karena dalam periode
panjang Jakarta mereka sering dianggap bukan manusia, apalagi warga negara. Ia korban

pembangunan Jakarta, yang dikatakan Susan Blackburn, dalam bukunya 400 Tahun Sejarah
Jakarta, diorientasikan hanya untuk memenuhi mimpi-mimpi kaum aristokrasi uang dan
politik.
Dalam konteks itulah Ilyas menemukan jalan keluar dari derita kemiskinan di dalam sejarah
Proklamasi RI yang karut-marut serta lama dibiarkan kacau oleh negara. Negara yang abai
terhadap kemiskinan dan sejarah itulah yang dimanfaatkan Ilyas untuk menarik simpati
betapa kenyataan hidupnya sebagai veteran pejuang jauh dari harapan janji kemerdekaan.
Demikianlah, kepalsuan Ilyas sesungguhnya kepalsuan kerja nyata mewujudkan janji
Proklamasi. Bahkan, pengkhianatan janji itu sangat terasa di Jakarta, kota tempat Proklamasi
dibacakan dan janji-janji kemerdekaan disusun. Padahal, dalam upacara pengayunan cangkul
pertama Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur Nomor 56 pada 1 Januari 1961, Jakarta, kata
Sukarno, seharusnya menjadi kota "jang memberi inspirasi kepada kita semua sebagai kota
penunaian djanji-djanji proklamasi".
Sukarno percaya bahwa kota harus dibangun sebagai bagian dari "jang diamanatkan rakjat
Indonesia di dalam perdjoangannja jang berpuluh-puluh tahun agar supaja masjarakat adil
dan makmur sebagai mana termaktub di dalam Amanat Penderitaan Rakjat terlaksana; agar
supaja kami bangsa Indonesia terlepas daripada segala penindasan, penghisapan, agar
kebahagiaan djadi milik kita sekalian."
Jakarta merupakan medium pendidikan nilai kemerdekaan itu. Tidak berlebihan jika Jakarta
disebut Sukarno sebagai kota juang. Sebab, memang Jakarta harus memperjuangkan
wajahnya yang bersari wajah nilai Proklamasi, yaitu merdeka dari ketidakadilan,
ketidakberadaban, dan ketidakmanusiawian. Itulah seharusnya wajah Jakarta, yang dikatakan
Sukarno sebagai wajah Indonesia, wajah orang Indonesia. Jakarta harus menjadi cerminan
manusia Indonesia yang berdiri tegak, tidak menunduk, berwawasan luas, dinamis, inklusif,
penuh solidaritas, tidak menindas, dan simpatik terhadap sesama manusia.
Pemerintah Jakarta harus menyadari bahwa mereka memimpin pembangunan kota untuk
mengedepankan nilai-nilai tersebut di wajah kotanya. Sebagai Ibu Kota, Jakarta memimpin
sambil mengaitkan dirinya dengan kota-kota dan desa-desa di seluruh Indonesia dalam
menempuh kemerdekaan, yang disebut Sukarno sebagai jembatan emas yang di ujungnya
pecah menjadi dua, satu jalan menuju sama rata sama rasa, satu lagi jalan sama ratap sama
tangis. Jangan sampai Jakarta memimpin ke jalan tujuan yang salah.
Sebab itu, Sukarno harus tahu semua rencana pembangunan Jakarta dan memeriksanya
seraya memberi "Acc Soek". Bukan ingin mengambil alih tugas gubernur, melainkan
kesadaran bahwa presiden harus ikut bertanggung jawab atas nasib ibu kota negaranya. Ia
harus terlibat agar ide Kota Proklamasi tetap berapi, tidak tinggal abu. Karena itu, Sukarno
mentradisikan setiap ulang tahun Jakarta berpidato. "Kita bangun Djakarta dengan cara
semegah-megahnya, megah bukan saja karena gedung-gedungnya pencakar langit, megah di
dalam segala arti sampai di dalam rumah-rumah kecil dari pada marhaen di Djakarta harus

ada rasa kemegahan," demikian Sukarno mengingatkan khitah Jakarta sebagai Kota
Proklamasi pada ulang tahun Jakarta ke-435 tahun 1962.
Jakarta terus membangun semegah-megahnya. Tapi, untuk siapa kemegahan itu? Apakah
pembangunan Jakarta kembali ke jalan sesat pembangunanisme otoriter yang sudah
disepakati untuk ditinggalkan pada 1998? Jawabannya tersimpul dalam berita Gubernur Ahok
mengundang para artis ke Balai Kota untuk menjelaskan bahwa tiada penggusuran di Jakarta,
melainkan relokasi, serta berita Ilyas Karim yang mengaku-ngaku pengibar bendera saat
Proklamasi. Sungguh, Ilyas dan Ahok sama palsunya: satu memalsu sejarah pengibar bendera
Proklamasi, satunya lagi memalsu janji Kota Proklamasi.

Hutan untuk Kesejahteraan Rakyat


KAMIS, 08 SEPTEMBER 2016

Didik Suharjito, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB

Pekan-pekan ini, para pihak yang peduli dengan hutan sedang menggelar setidaknya dua
hajatan nasional yang mengusung tema hutan untuk kesejahteraan rakyat. Pertama, Dewan
Kehutanan Nasional (DKN) menyelenggarakan Semiloka Nasional Hutan Indonesia pada 1-3
September 2016 dalam rangka pra-Kongres Kehutanan Indonesia ke-VI dengan tajuk
"Reposisi tata kelola hutan Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kelestarian
lingkungan, dan kesejahteraan rakyat". Kedua, Sarasehan Perhutanan Sosial Nusantara
(PeSoNa) pada 6-7 September 2016 dengan tajuk "Saatnya untuk Rakyat".
Kedua tema tersebut mengingatkan kita pada tema Kongres Kehutanan Dunia ke-8 pada 1978
di Jakarta, yaitu "Forest for People". Keduanya hendak menegaskan bahwa pembangunan
kehutanan harus dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat, khususnya mereka yang bertempat
tinggal di pedesaan sekitar atau dalam hutan, daerah pinggiran tempat sebagian besar
penduduk Indonesia yang tergolong miskin berada.
Hutan untuk kesejahteraan rakyat adalah mandat yang sudah dicanangkan dalam UndangUndang Pokok Kehutanan 1967 dan disebutkan kembali pada Undang-Undang Kehutanan
1999. Program-program yang digelar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa
hutan bukanlah baru dimulai, melainkan sudah puluhan tahun lalu. Apa yang menciptakan
semangat baru?
Program payung Perhutanan Sosial (PS) sepanjang periode 2015-2019 merupakan program
strategis yang akan memberikan hak pengelolaan atas kawasan hutan negara seluas sekitar
12,7 juta hektare kepada masyarakat pedesaan di sekitar hutan. Angka luas lahan hutan itu

masih tergolong kecil dibanding luas hutan negara. Namun, dibanding capaian pemberian hak
pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada masyarakat sejak sekitar 20 tahun lalu, yang baru
mencapai kurang dari 1 juta hektare, target 12,7 juta hektare dapat dianggap sebagai suatu
lompatan.
Program PS direalisasi dalam bentuk hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman
rakyat, serta hutan adat sebagai wujud devolusi pengelolaan hutan kepada tingkat rumah
tangga dan desa. Devolusi pengelolaan hutan berarti pelimpahan kekuasaan dari pemerintah
pusat kepada masyarakat desa hutan.
Alokasi lahan hutan negara sebesar 12,7 juta hektare tersebut juga merupakan upaya
mewujudkan keadilan distribusi penguasaan sumber daya hutan negara, yang selama ini
dikuasai oleh perusahaan skala besar. Alokasi lahan itu setidaknya mengurangi ketimpangan
penguasaan sumber daya hutan negara, belum lagi jika ditambah program distribusi tanah
obyek reforma agraria (TORA) yang berasal dari kawasan hutan negara seluas sekitar 4,1 juta
hektare. Meski demikian, alokasi untuk perusahaan skala besar masih jauh lebih besar, sekitar
40 juta hektare.
Program PS menunjukkan komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap "pembangunan mulai
dari pinggiran". Target perluasan wilayah kelola PS seluas 12,7 juta hektare merupakan suatu
tugas besar yang membutuhkan spirit yang kuat, dukungan organisasi dan manajemen yang
tangguh, serta dana yang besar. Namun demikian, program PS ke depan tidak dapat dicapai
dengan langkah-langkah biasa atau business as usual. Berbagai hambatan di tingkat lokal
sampai pusat dalam bentuk konflik penguasaan lahan, kelembagaan masyarakat yang lemah,
dukungan pemerintah daerah yang lemah, proses perizinan yang panjang dan lama, dan halhal lainnya harus dapat diatasi. Intinya adalah menguatkan kemauan politik pemerintah pusat
dan daerah.
Permasalahan yang sangat krusial dihadapi dalam program PS adalah ketersediaan areal.
Program PS perlu diintegrasikan dalam program pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH), pengelolaan hutan di tingkat tapak yang menunjukkan bahwa pemerintah hadir.
Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial telah menyiapkan Peta Indikatif Area Perhutanan
Sosial, yang dapat menjadi acuan pencadangan areal program PS. Namun realisasinya
bergantung pada kondisi di tingkat tapak/lapangan. Tugas KPH adalah: (1) mengidentifikasi
penguasaan lahan hutan; (2) mengidentifikasi kelompok masyarakat yang akan menjadi
pelaku program PS, mengidentifikasi lahan yang akan dialokasikan, memfasilitasi penguatan
kelembagaan masyarakat, dan memfasilitasi penguatan usaha-usaha berbasis hasil hutan
(kayu, bukan kayu, jasa lingkungan); (3) jika ada sengketa lahan hutan, KPH melakukan
resolusi konflik dan dapat meminta bantuan LSM dan/atau perguruan tinggi.
Area yang dialokasikan untuk program PS setiap tahun perlu diintegrasikan dengan program
pembangunan KPH. Setiap tahun (sepanjang periode 2015-2019) akan dibangun program PS
rata-rata seluas 2,54 juta hektare dan 120 KPH. Rata-rata setiap KPH menanggung 21 ribu
hektare lahan.

Integrasi pembangunan PS ke dalam pembangunan KPH dapat meningkatkan kepedulian dan


tanggung jawab pemerintah daerah terhadap PS. Sebab, KPH adalah unit kerja di bawah
pemerintah daerah. Program PS, dengan demikian, tidak lagi hanya urusan pusat yang tidak
mengakar di daerah dan tingkat tapak.
Namun KPH masih menghadapi keterbatasan sumber daya manusia (kuantitas, kualitas, dan
profesionalitas) serta infrastruktur untuk dapat menjalankan semua tugasnya dengan baik.
Karena itu, beberapa organisasi kehutanan di daerah yang relevan, seperti Dinas Kehutanan,
untuk sementara dapat menjalankan tugas-tugas KPH atau memutasi SDM dari unit-unit
kerja yang telah ada. Penyuluh kehutanan, akademisi dari perguruan tinggi, dan pegiat LSM
akan tetap sangat diperlukan perannya dalam penguatan kelembagaan masyarakat dan
pengembangan usaha berbasis hasil hutan dari PS.

Doa Lintas Batas di Altar Olahraga


JUM'AT, 09 SEPTEMBER 2016

Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga

Sejak lama saya yakin bahwa olahraga memiliki kekuatan sangat dahsyat bagi sebuah bangsa.
Keyakinan saya ini menemukan momentumnya ketika lifter Sri Wahyuni meraih medali
perak untuk kontingen Indonesia dalam Olimpiade di Rio de Janeiro, Brasil, Agustus lalu.
Rakyat Indonesia merasa bangga dan haru atas prestasi Sri. Kebanggaan ini menjadi berlipat
ganda ketika lifter Eko Yuli Irawan juga meraih medali perak.
Ketika bendera Merah Putih dikerek untuk Sri dan Eko Yuli, saya yakin ada doa yang
mengalir dari jutaan rakyat Indonesia, "Sebentar lagi pasti dapat emas!"
Dan, benar saja. Tepat pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, doa seluruh
rakyat Indonesia dikabulkan Tuhan. Kegembiraan dan kebanggaan itu disempurnakan oleh
pasangan ganda campuran, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, dengan mengembalikan tradisi
medali emas Olimpiade dari cabang bulu tangkis.
Semua mata yang menatap babak final bulu tangkis saat itu nyaris tak berkedip ketika
Tontowi/Liliyana mengalahkan pasangan ganda Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying,
dua set langsung dengan skor telak, 21-14, 21-12. Saya rasa dada semua penduduk negeri ini
pun turut bergidik saat menyaksikan bendera Merah Putih berkibar di puncak tertinggi dalam
Olimpiade Rio 2016. Senang, bangga, haru.
Pada Hari Olahraga Nasional hari ini, kita patut melihat olahraga sebagai sebuah fenomena

sosial yang luar biasa. Banyak hal yang identik dengan kemustahilan tiba-tiba luruh begitu
saja. Jarak geografis, perbedaan budaya, dan sekat-sekat sosial disatukan oleh satu bahasa
bernama olahraga. Saya yakin semua pihak yang mendoakan Tontowi/Liliyana malam itu
tidak pernah bertanya lebih dulu apa agama, suku, ras, dan dari mana mereka berasal. Semua
doa dipanjatkan dengan tulus.
Olahraga juga mampu melipat jarak ribuan kilometer sehingga tak menjadi masalah bagi
seorang suporter sepak bola. Harga tiket pertandingan tidak menyurutkan langkah. Usia pun
tidak jadi soal. Semua berbaur dalam euforia bersama untuk sebuah laga olahraga.
Mantra sakti olahraga terbukti ampuh menyatukan perbedaan suku, ras, dan agama di
sejumlah negara. Sejarah mencatat bagaimana sepak bola Amerika (American football)
mampu menyatukan warga Virginia, yang terjebak dalam konflik rasisme pada 1971. Herman
Boone, pelatih berkulit hitam di T.C William High School, dapat mencairkan konflik ras yang
sudah mengeras bertahun-tahun. Boone berhasil mengeliminasi tindakan diskriminatif dan
rasisme dengan mengangkat asisten pelatih berkulit putih, Bill Yoast, dan mengantarkan tim
sepak bola Amerika sekolah tersebut menjadi juara liga. Kisah yang kemudian diangkat
dalam film Remember the Titans ini mengilhami banyak pihak soal bagaimana olahraga
mampu menjadi jembatan dalam penyelesaian konflik-konflik sosial.
Kasus serupa juga pernah terjadi di sini. Pada 1996, Sani Tawailenna, mantan pemain timnas
U-15 asal Tulehu, Maluku, menyelamatkan anak-anak muda di kotanya dari konflik berdarah
yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun melalui sepak bola. Bersama temannya, Rafi,
Sani mendirikan sekolah sepak bola Tulehu Putra. Di sekolah ini, Sani sengaja merekrut
anak-anak muda dengan latar agama berbeda dalam satu tim. Kerja keras Sani membuahkan
hasil. Selain menjauhkan anak-anak muda dari konflik, ia berhasil menanamkan nilai-nilai
toleransi dan keberagaman pada tim itu.
Saat ditunjuk menjadi pelatih timnas U-15, Pengurus Provinsi PSSI Maluku, Sani, berhasil
mengantarkan timnya meraih juara nasional dalam kompetisi Piala Medco antar-pengurus
provinsi se-Indonesia pada 2006. Timnya beranggotakan pemain-pemain muda berbakat
lintas agama.
Kemenangan tersebut disambut dengan sukacita oleh seluruh warga Maluku dan mampu
merekatkan hati yang sempat terpecah-belah. Sepak bola terbukti mampu mengikis ingatan
mereka akan perbedaan pendapat, dendam, dan konflik. Kisah ini pun diangkat ke layar lebar
oleh produser Glenn Fredly dan Angga dengan judul Cahaya dari Timur: Beta Maluku, yang
terpilih sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia 2014.
Kisah dalam Remember The Titans dan Cahaya dari Timur hanyalah sepenggal dari sekian
banyak cerita tentang bagaimana olahraga mampu mengatasi perbedaan sosial, suku, ras, dan
agama. Bukankah olahraga mampu memberikan tempat terhormat bagi Afrika Selatan
sehingga berdiri sejajar dengan bangsa lain saat mereka dipercaya menjadi tuan rumah Piala
Dunia 2010? Bukankah olahraga pula yang berhasil "memaksa" negara super-protektif seperti

Korea Utara menjadi lebih terbuka dan bergaul dengan negara-negara lain?
Karena itu, saya sangat prihatin dan tentu saja kecewa ketika menyaksikan masih ada
sentimen ras serta tawuran antar-suporter, antar-pemain, bahkan antar-ofisial di dunia
olahraga. Olahraga, yang seharusnya menjadi perekat sosial, justru menjadi sumber konflik
sosial. Kita mesti belajar kembali ke kampung-kampung, ke pelosok-pelosok negeri ini, yang
saya yakin memiliki banyak sekali cerita tentang bagaimana olahraga mampu
mempertemukan perbedaan, menjadi perekat sosial, dan menumbuhkan cinta antar-sesama.
Bukankah baru kemarin kita disatukan dalam doa yang sama untuk pahlawan olahraga kita,
pasangan ganda campuran yang jelas-jelas secara agama dan etnis berbeda? Dan kita
menerima perbedaan itu dengan ikhlas, tanpa reserve. Selain atas nama kemanusiaan,
menurut saya, mungkin hanya di altar olahraga kita bisa berdoa bersama-sama menurut
agama kita masing-masing. Selamat Hari Olahraga Nasional.

Molek
SENIN, 12 SEPTEMBER 2016

Ada apa dengan Picasso? Atau Sudjojono? Di sekitar 1950, sewaktu Sudjojono belum 40
tahun, ia memutuskan sesuatu yang tak biasa: bersama seniman lain naik sepeda dari Yogya
ke Jakarta. Tujuan mereka mendesak Presiden Sukarno agar menyetujui ide Sticusa, sebuah
lembaga kebudayaan Belanda di Jakarta, menyelenggarakan pameran besar karya-karya
perupa Eropa abad ke-20: Picasso, Matisse, Braque.
Cerita ini saya petik dari kesaksian Willem Mooijman, yang waktu itu bekerja di Sticusa.
Saya menemukannya dalam buku yang menarik tentang sejarah seni dan kesenian Indonesia
antara tahun 1950 dan 1960, Ahli Waris Budaya Dunia, yang disunting Jennifer Lindsay dan
Maya H.T. Liem.
Sejauh mana Mooijman akurat, saya tak tahu. Yang jelas, sejarah Indonesia setelah
kemerdekaan tak pernah mencatat adanya pameran besar kanvas Picasso. Sudjojono gagal.
Bung Karno menolak.
Mungkin Sudjojono tak tahu betapa rumitnya membuat pameran seperti itu. Mungkin juga
selera seni rupa Bung Karno lain: bukan Picasso yang terpukau seorang perempuan dan
membuat wajahnya seakan-akan retak. Bung Karno lebih menyukai perempuan dengan paras
makin cantik dan tubuh menonjol. Baginya itulah yang "indah", seperti lukisan kembang
sumringah, gunung dan laut biru, sawah menguning.

Sudjojono, kita tahu, mencemooh selera "Mooi Indie" macam itu. Bagi penikmat "Hindia
yang molek," kata Sudjojono, "semua serba bagus dan serba romantis, semua serba enak,
tenang, dan damai." Ia menghendaki perupa Indonesia melukiskan pabrik gula dan petani
lapar, mobil si kaya dan celana kumuh si miskin. Sudjojono, yang kemudian jadi wakil Partai
Komunis di parlemen, ingin menunjukkan realitas Indonesia bukan sawah dan angin sepoisepoi basa. Realitas: pertentangan kelas.
Tapi menarik bahwa Sudjojono lebih menginginkan pameran karya Picasso, Braque, dan
Matisse dari Paris, bukan karya-karya Gerasimov dan Brodsky dari Moskow. Jika kita lihat
lukisannya, Cap Go Meh, yang menghadirkan wajah-wajah ganjil, buruk, dan seram,
Sudjojono tak akan cocok dengan formula Lunacharski, menteri kebudayaan Soviet yang
diangkat Lenin; Lunacharski menghendaki representasi "tubuh yang sehat, wajah yang
ramah, dan senyum yang cerdas dan bersahabat".
Dengan kata lain, Lunacharski juga menghendaki yang "serba bagus", tenang, dan tertib.
Stalin kemudian menegaskannya lebih jauh dengan mengharuskan optimisme--demi
pembangunan. Mungkin bukan kebetulan jika di Jerman Hitler juga memaklumkan doktrin
yang mirip. Nazi mengganyang seni rupa seperti karya Otto Dix sebagai Entartete Kunst,
"seni rupa bobrok", karena di kanvas itu wajah dan tubuh tampak peyot seperti sakit oleh
hidup yang terluka.
Dengan kata lain, penampilan tubuh harus sejalan dengan penertiban manusia: tata harus
ditegakkan di atas hidup yang bergejolak--sesuatu yang juga tersirat dalam estetika "Hindia
Molek". Sebab "Mooi Indie" adalah kanvas-kanvas yang mandul, bahkan mati. "Hindia
Molek" mengemuka karena sudut pandang kolonialisme.
Kolonialisme tak ingin citra koloni adalah kehidupan yang resah, kegelisahan di bawah
represi. Semua tenang, karena semua terkendali. Semua tampak statis, melalui "tatapan
kolonial": melalui fokus dan pigura yang dipegang erat sang penjaga Orde.
Wajar jika estetika "tatapan kolonial" tak menghendaki "the shock of the new"--guncangan
sesuatu yang baru, yang tak terduga-duga, yang menyeruak dalam karya-karya Picasso,
Braque, Dali, dan lain-lain, seperti pernah diuraikan penulis sejarah seni rupa Robert Hughes.
Guncangan itu disebut "modernisme". Yang "molek" bukan lagi kembang dan perempuan
mekar. Segala formula dan kategori dibabat. Duchamp memajang tempat kencing bikinan
pabrik sebagai karya seni.
Sebenarnya dengan semangat semacam itu juga Sudjojono membangkang. Seniman
Indonesia harus melukis pabrik gula, katanya--tanda perubahan dari masyarakat lama.
Namun, dengan begitu, perlawanan terhadap tatapan kolonial ini tak akan kembali ke dunia
pra-pabrik-gula. Sebab kehidupan yang sering dianggap sebagai dunia "Timur" yang anteng
itu diam-diam cocok dengan tatapan kolonial: mandek, dan karena itu eksotis.

Itu sebabnya, bagi Sudjojono, kesenian Indonesia harus "ke Barat, untuk menuju Timur".
Maka ia ingin Picasso, bahkan siap bekerja sama dengan Sticusa yang Belanda. Sebab ada
apa dengan "Barat"? Dengan "Timur"?

Goenawan Mohamad

Pendidikan Agama dan Akar Radikalisme


SELASA, 13 SEPTEMBER 2016

Abdallah, Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta

Sejak kematian pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur, Santoso alias Abu
Wardah, pada 18 Juli lalu, banyak pihak menilai hal itu sebagai keberhasilan ikhtiar negara
menumpas akar-akar terorisme. Namun mungkinkah peristiwa tertembaknya seseorang dapat
menjelaskan bahwa gerakan radikalisme di Indonesia telah berakhir?
Gerakan terorisme di sini tidak bisa dibaca dalam satu sudut pandang. Pengeboman yang
dilakukan oleh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) adalah hilir sebuah persoalan. Selama ini,
hulu gerakan terorisme tidak menjadi perhatian yang serius di kalangan pemerintah. Hal ini

tampak dari agenda Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dititikberatkan
pada deradikalisasi: upaya penyadaran terhadap teroris di lembaga pemasyarakatan.
Hulunya adalah adanya pemahaman keagamaan yang eksklusif. Sasaran empuk para teroris
adalah anak-anak muda yang sedang berusaha mencari jati diri mereka. Sarana yang efektif
digunakan oleh kelompok radikal adalah ruang digital yang kini digemari anak-anak muda
masa kini, seperti media sosial, yang pada kadar tertentu sulit menemukan batas kepantasan.
Menurut survei Kementerian Komunikasi dan Informatika serta UNICEF Indonesia pada
2014, kurang-lebih 43,5 juta anak dan remaja berusia 10-19 tahun di Indonesia adalah
pengguna internet. Artinya, dunia digital sudah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Pada
titik ini, kebenaran tampak kabur di tengah riuhnya wacana yang terus dilempar ke ruang
publik bak buih di tengah hamparan samudra yang mahaluas.
Anak muda yang menjadi sasaran adalah anak-anak SMP dan SMA yang sedang dalam
proses pembentukan kepribadian. Paham keagamaan mereka diberikan di sekolah dengan
waktu yang sangat sedikit: satu jam dalam seminggu. Konsekuensinya, jika tidak mendapat
tambahan pelajaran agama dari orang tua atau ustad di lingkungan mereka, tidak tertutup
kemungkinan anak-anak ini mencari pemahaman agama secara liar.
Perkara pendidikan keagamaan di sekolah tidak sebatas kurikulum dengan waktu yang sangat
terbatas untuk pengajaran agama, tapi juga buku teks pendidikan agama yang dikeluarkan
pemerintahdalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku teks keagamaan
menjadi sorotan masyarakat setelah beredarnya buku ajar yang berisi muatan intoleransi dan
kekerasan di Jombang, Jawa Timur, tahun lalu.
Dalam konteks inilah Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta
melakukan penelitian "Diseminasi Paham Eksklusif dalam Pendidikan Islam" (2016). Hasil
riset ini menemukan bahwa paham intoleransi keagamaan masih ditemukan melalui
penyajian buku ajar di sekolah yang kurang mengedepankan aspek dialogis. Berkenaan
dengan tema teologis, misalnya, penjelasan tentang apa dan siapa itu kafir, musyrik, dan
munafik masih dijelaskan dalam konteks masa Nabiyang acap kali bersifat politisyang
harus diperangi dan dibunuh. Sedangkan tema yang bersifat furu'iyah (berkaitan dengan
praktek agama), seperti bacaan salat, jumlah rakaat salat tarawih, dan bacaan kunut, masih
mengedepankan satu pandangan tertentu.
Ada beberapa hal yang dapat kita renungkan mengenai buku ajar ini. Pertama, isi buku agama
perlu didiskusikan lebih dalam. Buku ajar seyogianya mengedepankan nilai-nilai keislamankeindonesiaan, toleransi, serta keterbukaan dan menerima perbedaan. Berislam dengan tetap
menghargai sang liyan. Beragama dengan kesadaran bahwa Indonesia adalah negara yang
secara sosiologis majemuk. Berkeyakinan dengan mengedepankan rasionalitas, bukan "Islam
sontoloyo" seperti yang dilontarkan Bung Karno. Buku ajar agama yang dikeluarkan
pemerintah mau tidak mau harus mengayomi semua golongan, karena ini kewajiban negara
sebagai pelindung bagi setiap warganya.

Kedua, buku ajar saja tidak cukup. Hal yang harus mendapat perhatian juga adalah pendidik:
guru agama. Di tangan guru agamalah nasib pemahaman agama peserta didik disandarkan.
Guru agama adalah beragam individu yang masing-masing memiliki paham keislaman
berbeda. Kiranya, pemerintah bisa membuat program untuk melatih para guru agama di
seluruh Indonesia guna mencari titik temu kesepahaman bagaimana Islam di Indonesia,
seperti apa yang dicontohkan Walisongo dalam menyiarkan Islam.
Terakhir, kaum akademikus kiranya bisa menyiapkan buku pengayaan untuk bahan ajar
agama, buku yang mengedepankan pandangan Islam yang inklusif, toleran, dan menghargai
perbedaan; buku yang mampu menangkis derasnya paham transnasional yang berbasis pada
Wahabisme yang cenderung mengajarkan nilai saling mengkafirkan (takfiriyah). Pada titik
ini, full-day school yang diwacanakan baru-baru ini alangkah baiknya dialihkan untuk
membenahi dan melanjutkan sistem yang masih membutuhkan perhatian. Jika persoalan
pendidikan agama dipandang sebelah mata dan diabaikan, tidak tertutup kemungkinan akan
lahir Santoso-Santoso baru.

Hukuman
JUM'AT, 16 SEPTEMBER 2016

Putu Setia

Ada seseorang yang menekuni dunia spiritual dan berminat menjadi pendeta. Dia banyak
membaca kitab agama dan sudah mengamati praktek ritual. Ketika niatnya dia sampaikan
kepada perguruan dan dibuka-buka syarat untuk menjadi pendeta, betapa kagetnya orang itu.
Dia tidak memenuhi syarat. Dia pernah dihukum penjara selama 3 bulan beberapa tahun yang
lalu. Kasusnya, terbukti ikut menjadi penyelenggara sabungan ayam.
Berat sekali syarat menjadi pendeta. Pelaku tindak pidana, betapa pun ringannya hukuman
itu, adalah noda tak berampun. Tidak jelas dari mana asal-usul syarat mahaberat itu. Memang

ada yurisprudensi begini. Alkisah ada seorang perampok yang sudah bertobat. Begitu kuat
tobatnya dan bertahun-tahun menekuni samadi, dia ingin menjadi pendeta. Ternyata tak ada
satu pun perguruan yang bersedia menampung karena dia mantan perampok. Tapi orang itu
tak putus asa. Gagal jadi pendeta, dia pun menumpahkan ilmunya dengan menulis sloka
(syair) panjang yang bernapaskan agama. Syair bercerita itu sekarang dikenal sebagai
Ramayana. Dialah Valmiki, bekas perampok yang tetap diberi gelar Rsi, meski bukan
pendeta pemimpin ritual. Rsi Valmiki, namanya lebih harum daripada para resi (pendeta) lain
di zamannya.
Pesan dari kisah ini, seorang pelaku tindak pidana yang sudah dikenai hukuman tetap "orang
yang ternoda". Betapa pun dia menyatakan tobat, tak mengulangi perbuatannya, berkelakuan
baik, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana umumnya syarat-syarat
menjadi seorang pemimpin, tetap saja ada "noda". Dan, "noda" itu tak hilang-hilang. Ibarat
setetes noda tinta dalam segelas air, noda itu membuat air tak bening. Meski kemudian "air
kebajikan" terus-menerus ditambah dan gelas diganti belanga yang jauh lebih besar, "noda"
itu tak hilang, hanya air tampak semakin bening. Penampakan yang kasatmata.
Sekarang, apakah jabatan bupati, wali kota, dan gubernur harus seketat syarat itu dan harus
mendapatkan orang yang betul-betul bebas dari noda dan cela? Ini perlu direnungkan, apakah
calon pemimpin itu cukup dilihat dengan "penampakan kasatmata", artinya dilihat
keadaannya saat ini, atau kita perlu menelisik lebih jauh rekam jejaknya? Peraturan yang
dirancang Komisi Pemilihan Umum (KPU) membolehkan calon peserta pilkada orang yang
dikenai hukuman percobaan. Ini menimbulkan kontroversi.
Yang setuju beralasan bahwa hukuman percobaan adalah hukuman yang sangat ringan dan
tak berdampak pada penahanan kalau selama masa percobaan itu tidak berbuat tindak pidana
lagi. Yang menolak beralasan bahwa hukuman percobaan tetap sebuah keputusan bahwa
orang itu sudah bersalah. Artinya, sudah melakukan tindakan tercela. Persoalannya, apakah
calon bupati, wali kota, dan gubernur harus orang yang betul-betul bersih tanpa cela?
Tidak ada manusia yang sempurna. Namun, jika kita sepakat mencari pemimpin yang punya
kredibilitas dan moralnya terjaga, bukankah kita harus mencari pemimpin yang tingkat
kesalahannya paling kecil? Dua ratus lima puluh juta lebih penduduk Indonesia, apakah
mencari bupati dan gubernur yang tak sampai ratusan itu sulit setengah mati? Apakah stok
orang-orang tak tercela sedikit yang minat menjadi bupati, wali kota, gubernur bahkan
menteri? Bagi yang pernah tercela dan sudah tobat, masih banyak ladang pengabdian yang
lain.
Mari membuat syarat yang lebih ketat untuk jabatan publik. Saring orang-orang yang
jejaknya baik, karena mereka akan menjadi teladan di mata rakyat. Pemimpin tercela, rakyat
tak akan jatuh cinta.

Angsa
SENIN, 19 SEPTEMBER 2016

Jakarta punya sejarah yang panjang, tapi punyakah ia nostalgia? Kota bergerak kian cepat;
pada saat yang sama kian sedikit penghuni yang memandang foto-foto lama sebagai bagian
dari riwayat mereka. Di Jakarta generasi manusia, gedung, dan peta berganti berkali-kali.
Kita punya Chairil Anwar (mungkin dia satu-satunya), yang sekilas mencatat satu adegan
Jakarta modern di ujung 1940-an--bioskop Capitol memutar film Amerika, anak-anak muda
menunggu trem dari Kota--tapi tak ada yang melihat kembali bagian yang ditinggalkan.
Dengan murung atau tidak.
Transformasi tentu juga dialami kota lain. Paris di abad ke-19, misalnya, berganti rupa mirip
ciptaan baru: pada 1853, Napoleon III menugasi Baron Georges-Eugene Haussmann untuk
mengubah Paris. Kembali dari pembuangan selama 12 tahun di London, penguasa itu benci
ibu kotanya sendiri.
Selama ia absen, jumlah penduduk meningkat dari 759 ribu jadi sejuta lebih. Kolera dan tifus
membunuh ribuan orang. Dibandingkan dengan London masa itu, Paris berantakan dan sesak
napas. Napoleon, yang melanjutkan kekuasaannya melalui kudeta dan jadi diktator, ingin
pusat kerajaannya punya lampu terang, udara bersih, air jernih, taman luas,
dan avenue dengan deretan pohon.
Haussmann dianggap pejabat yang tepat untuk transformasi itu. Birokrat bertubuh tinggi
besar ini terkenal pintar di perguruan tinggi. Menteri Dalam Negeri menggambarkannya
sebagai "salah satu dari orang paling luar biasa di zaman kita".
Dan Haussmann, yang bisa omong non-stop selama enam jam, bersedia menyimak ketika
Napoleon III berkata: "Ini yang saya mau." Dibentangkannya peta Paris yang diberi tiga garis
tebal, satu dari utara ke selatan dan dua dari timur ke barat. Artinya, sejumlah wilayah padat-yang juga bersejarah--harus dibongkar.
Maka "Haussmannisasi" pun dimulai. Sekitar 12 ribu bangunan dihancurkan, buat
memperbaiki wilayah Opera National de Paris dan akses ke pasar Les Halles. Stasiun-stasiun
kereta api baru didirikan dan dihubungkan dengan jalan raya yang lempang dan
lebar. Boulevard sepanjang 137 kilometer terentang.
Tapi tak cuma itu. Juga deretan tiang lampu, kios surat kabar, dan pajangan di 27 taman dan
lapangan. Di bawah tanah, Haussmann memasang jaringan saluran limbah kota; dibangunnya
juga akuaduk dan cadangan air minum bersih.
Tak semua orang menyaksikan transformasi itu dengan antusias. Baudelaire menuliskan
sajak-sajaknya yang terkenal dari kegundahan menapak Paris dalam desain Haussmann.
Penyair yang selama hidupnya berpindah dari tempat ke tempat di kota itu suatu hari lewat di
Place du Carrousel, dekat Museum Louvre. Wilayah ini dulu jadi pusat penjual buku dan
karya seni. Ketika Baudelaire menyaksikannya, para pedagang itu sudah dipindahkan.
Rumah-rumah kecil yang jadi kedai sudah hilang. Di sajak ke-89 dalam kumpulannya Les
Fleurs du mal, ia pun menulis:

Paris lama tak lagi di situ!


(Sebuah kota berubah bentuk lebih cepat ketimbang hatiku).
Di bait berikutnya ia menyebut bagaimana ia, di suatu pagi, melihat seekor angsa lepas dari
kandang, tapi tak menemukan air lagi. Bulunya yang putih menyusuri tanah. Di parit yang
kering ia membuka paruhnya yang berlumur debu, bertanya: "Air, kapankah kau turun dalam
hujan?"
Angsa itu sebuah alegori: makhluk elok bukan-manusia yang menanggungkan ambisi,
kepentingan, dan kalkulasi manusia--seperti alam dan mereka yang di pinggiran terancam
perluasan kuasa teknologi dan modal. Baudelaire mempersembahkan Le cygne buat Victor
Hugo yang waktu itu hidup di pengasingan. Kita tahu ke mana pengarang Les Miserables itu
berpihak: bersama para nestapa.
Tapi suara Baudelaire bukan nostalgia. Masa lalu tak semuanya indah. Bait pertama Le cygne
menyebut nama dalam khazanah lama, Andromache, perempuan Troya yang suaminya gugur
dan negerinya dibinasakan dengan bengis oleh yang lebih kuat dan ia jadi budak. Air matanya
mengalir, membentuk sungai kecil yang dalam mithologi Yunani juga dewa, Simoeis. Dengan
tak langsung, Le cygne mengingatkan ada yang kalah hari ini, tapi juga dulu dan nanti--dan
itulah yang menyedihkan dalam sejarah manusia.
Tentu saja bisa ditambahkan: air yang mengalir itu bisa jadi energi. Peradaban bisa terbangun.
Kalimat Walter Benjamin yang sering dikutip itu rasanya benar: "Kisah peradaban adalah
juga kisah kebiadaban."
Saya tak tahu apakah dengan itu Benjamin bisa menjelaskan bahwa "Haussmannisasi" yang
brutal pada akhirnya menjadikan Paris menarik, dan seorang flaneur bisa kluyuran di celahcelahnya, memandang dengan rasa tertarik dan cerdas deretan komoditas di sekitarnya.
Di Jakarta, kita tahu, tak mudah lagi kita kluyuran. Mungkin hanya jauh di malam hari: ketika
jalan lengang, ketika terang dan gelap saling menyeling, dan kota--dalam ketenangan
dinihari--jadi sebuah ilusi.

Goenawan Mohamad

Pilkada dan Sentralisasi Partai

RABU, 21 SEPTEMBER 2016

Sulardi, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017, suasana perpolitikan di Jakarta
sudah memanas. Banyak isu dan rumor dipublikasikan, terutama soal jalur yang dipilih calon
inkumben Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta
mendatang. Yang tak kalah seru adalah mengenai siapa sesungguhnya penantang Ahok.
Sejak memasuki era Reformasi dan pasca-perubahan UUD 1945, regulasi tentang pilkada
merupakan salah satu peraturan yang paling sering diubah. Dinamika regulasinya pada
awalnya digulirkan untuk penguatan demokratisasi dan desentralisasi. Berawal dari UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang sangat
sentralistik sampai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang
fenomenal karena baru berusia dua tahun telah mengalami perubahan dua kali, melalui
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Ini
membuktikan betapa krusialnya pemilihan kepala daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, proses pemilihan wali kota, bupati, dan
gubernur dilakukan oleh DPRD, tapi penentu utama siapa yang bakal menjadi kepala daerah
pada waktu itu adalah menteri dalam negeri, Golkar, TNI, dan tentu saja atas restu presiden.
Nuansa sentralisme sangat terasa pada waktu itu.
Demokratisasi menunjukkan sedikit perbaikan setelah, dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki peran utama dalam menentukan
siapa yang menjadi kepala daerah. Tapi kasus di berbagai daerah menghadirkan distorsi
antara keinginan elite politik dan anggota DPRD di satu pihak yang berhadapan dengan
masyarakat bawah mengenai calon kepala daerah. Bahkan, isu adanya politik uang mewarnai
pelaksanaan pilkada oleh DPRD ini. Asumsi dan temuan terkait dengan hal tersebutlah yang
kemudian mendorong terjadinya perubahan metode dalam pemilihan kepala daerah. Yang
semula dipilih oleh DPRD diubah menjadi dipilih oleh rakyat.
Pergumulan pemikiran untuk mencari solusi atas keruwetan tata cara pilkada yang

terdikotomi antara dipilih oleh DPRD dan rakyat itu diselingi perdebatan yang sesungguhnya
tidak penting. Perdebatan tersebut, antara lain, adalah apakah pilkada itu rezim pemerintah
daerah ataukah rezim pemilu? Bagaimana dengan calon independen? Bagaimana hubungan
antara kepala daerah dan wakil kepala daerah? Apa kedudukan inkumben dalam pilkada serta
perlu izin atau cutikah jika inkumben mencalonkan diri lagi?
Perdebatan itu sungguh tak ada pengaruhnya terhadap hasil pemilihan kepala daerah. Sebab,
ada satu hal yang dilupakan, yakni masih kuatnya cengkeraman partai politik terhadap kaderkader partai di daerah. Sentralisme dalam diri partai politik itu dapat dilihat pada persyaratan
pendaftaran pasangan calon bupati dan pasangan calon wali kota yang dilengkapi dengan
surat keputusan pengurus partai politik tingkat pusat tentang persetujuan atas calon yang
diusulkan oleh pengurus partai di provinsi.
Demikian halnya untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, harus ada surat
keputusan tentang persetujuan dari partai politik pusat atas calon yang diusulkan oleh
pengurus tingkat provinsi. Artinya, persetujuan, yang dalam bahasa politiknya menjadi
rekomendasi ketua partai, merupakan syarat mutlak untuk dapat mendaftarkan diri sebagai
calon gubernur, bupati, ataupun wali kota. (Lihat Pasal 42 ayat 5 dan 6 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016)
Pilihan sistem pemerintah daerah adalah desentralisasi, yang berfokus pada penyerahan
kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah. Jika pemerintah pusat sudah menyerahkan
urusan-urusannya kepada daerah, seolah-olah masalah desentralisasi telah selesai. Padahal,
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah itu semestinya masyarakat daerah mendapatkan
porsi yang memadai untuk berkontribusi atas keberhasilan penyelenggaraan pemerintah
daerahnya.
Namun dengan sentralisasi sistem pencalonan kepala daerah dalam tubuh partai politik ini
sesungguhnya sistem pemerintahan desentralisasi belum ada. Sebab, pemimpin partai politik
di tingkat pusat masih sangat menentukan siapa yang bisa menjadi calon-calon kepala daerah.
Hal itu yang lepas dari perhatian kita semua. Sentralisasi dikritik, tapi tetap diabadikan untuk
menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah.
Sudah saatnya desentralisasi dilakukan sepenuhnya. Oleh sebab itu, perlu penguatan kepada
partai politik di daerah agar mempunyai kekuatan untuk menentukan siapa yang pantas
memimpin daerahnya. Ini bisa diselenggarakan lewat konvensi di daerah atau pimpinan partai
politik di daerah bermusyawarah untuk menentukan siapa kader partainya yang akan
dijagokan dalam pilkada. Hal itu perlu agar desentralisasi berjalan seiring dengan kekuasaan
partai politik yang diserahkan juga kepada pemimpin di daerah.

Efek Berantai Impor Daging Kerbau


KAMIS, 22 SEPTEMBER 2016

Khudori, Anggota Ahli Pokja Dewan Ketahanan Pangan Pusat

Mulai September ini konsumen daging memiliki alternatif baru: daging kerbau. Pada tahap
awal, 9.500 ton daging kerbau asal India itu masuk sampai akhir September. Sisanya,
sebanyak 70 ribu ton, didatangkan pada OktoberDesember. Sebagai pengimpor, Bulog
membanderol daging kerbau dengan harga Rp 60 ribu per kilogram.
Pemerintah yakin kehadiran daging kerbau akan mengerek turun harga daging sapi yang
masih tinggi. Per 10 September 2016, menurut laman Kementerian Perdagangan, harga
daging sapi secara nasional sekitar Rp 114.950 per kg. Dibanding sebelum dan saat Ramadan
lalu, harga daging sapi cenderung turun, dari Rp 120-an ribu per kg, tapi masih jauh dari yang
dijanjikan Presiden Jokowi: Rp 80 ribu per kg.
Benarkah daging kerbau akan efektif menekan harga daging sapi? Sebelum menjawabnya,
ada baiknya dipahami terlebih dulu perbedaan daging sapi dan kerbau. Dari sisi tekstur,
daging kerbau lebih keras ketimbang sapi, sehingga memerlukan waktu lebih lama untuk
dimasak. Daging sapi beraroma anyir, sedangkan daging kerbau tidak memiliki aroma
spesifik. Dari sisi warna, daging kerbau lebih merah ketimbang daging sapi.
Dari sisi gizi, kalori daging sapi 2,5 kali dari daging kerbau, tapi kandungan protein keduanya
hampir seimbang. Daging kerbau unggul dalam kandungan kalsium dan zat besi, serta lemak
yang amat rendah. Dari sisi kesehatan, tentu daging kerbau lebih menyehatkan daripada
daging sapi.
Masalahnya, masyarakat tak terbiasa dengan daging kerbau. Hampir bisa dipastikan angka
konsumsi per kapita daging kerbau lebih kecil daripada daging sapi. Mungkin karena angka
konsumsi daging kerbau tidak dicatat spesifik dalam statistik. Fakta-fakta ini berujung titik

kepastian: tak mudah menggaet konsumen daging kerbau.


Saat ini India merupakan pengekspor terbesar kedua daging kerbau dengan lebih dari 20
persen pangsa pasar dunia untuk 65 negara tujuan ekspor. Asia menerima lebih dari 80 persen
daging kerbau India, Afrika sekitar 15 persen. Vietnam dan Malaysia, yang keduanya tertular
penyakit mulut dan kuku (PMK), merupakan dua importir terbesar daging kerbau India
dengan 52 persen pangsa pasar. India memiliki sumber daya ternak luar biasa: 199 juta ekor
sapi dan 108 juta ekor kerbau. Tapi PMK membuat negara itu tidak bisa optimal meraih nilai
lebih dalam perdagangan internasional (Naipospos, 2016).
Untuk itu, ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah soal impor daging
kerbau India ini. Pertama, ancaman perubahan status bebas PMK Indonesia. UU Nomor 41
Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memang membolehkan impor dari
suatu zona bebas PMK dari sebuah negara yang belum bebas PMK, seperti India dan Brasil.
Namun aturan ini sebenarnya menegasikan pentingnya kaidah keamanan maksimum. Bagi
negara-negara bebas PMK, seperti Indonesia, penting memastikan impor ternak dan
produknya bersumber dari negara dengan status sama. Jika PMK kembali berjangkit,
kerugian yang ditimbulkan tak ternilai. Kerugian ekonomi Indonesia menangani PMK selama
100 tahun (18871986), menurut Ditjen Peternakan (2002), mencapai US$ 1,66 miliar. Selain
itu, rasanya kurang elok karena aturan impor dari negara tertular PMK tengah diujimaterikan
di Mahkamah Konstitusi.
Kedua, perembesan daging kerbau India keluar wilayah Jabodetabek. Menurut pemerintah,
daging kerbau India hanya untuk memasok pasar Jabodetabek karena pasar inilah yang
selama ini dipasok daging sapi impor. Tapi, siapa yang menjamin daging kerbau India tidak
merembes ke pasar-pasar tradisional di luar Jabodetabek? Jika itu terjadi, harga daging sapi
lokal yang dua kali lipat dari kerbau akan terjun bebas. Pada gilirannya, peternak mutung dan
pasar domestik sepenuhnya diisi daging impor.
Ketiga, kematian mata rantai industri daging sapi. Harga daging kerbau India yang murah,
kurang dari setengah harga daging sapi Australia, membuat produk daging sapi domestik sulit
bersaing. Ada baiknya belajar dari konsekuensi ekonomi yang dialami Filipina dan Malaysia.
Mereka sudah lama mengimpor daging kerbau India. Dari 220 peternakan sapi potong
teregistrasi di Filipina pada awal 1990-an, saat ini tinggal tujuh. Sabah, Malaysia, pada awal
1990-an yang biasa menyembelih sapi tiap tiga pekan, berhenti begitu saja dengan masuknya
daging India (Naipospos, 2016). Daging kerbau yang rendah berpotensi memukul telak
semua mata rantai industri daging sapi.
Industri daging sapi menjadi gantungan hidup jutaan pekerja. Peternak kecil, yang jumlahnya
mencapai 5,1 juta rumah tangga, menguasai 98 persen atau 12,3 juta ekor sapi. Sebanyak 2
persen sisanya dipelihara oleh perusahaan. Meskipun hanya usaha sambilan, memelihara sapi
jadi sumber penting pendapatan rumah tangga peternak. Dalam setahun, nilai ekonomi
daging sapi lebih Rp 63 triliun. Itu belum menghitung nilai yang tercipta dalam industri

pakan, pemotongan, pelayuan dan di hilir. Mata rantai ini berpeluang menyusut oleh serbuan
daging kerbau India. Sudahkan pemerintah memikirkannya?

Lawan Pelecehan Negara dengan Satu


Peta
JUM'AT, 23 SEPTEMBER 2016

T. Nirarta Samadhi, Direktur World Resources Institute Indonesia

Penyanderaan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan


Hidup dan Kehutanan (KLHK) merupakan bentuk pelecehan negara yang merendahkan
wibawa negara. Mereka disandera ketika sedang menyegel lahan yang terbakar di kawasan
PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL) di Rokan Hulu, Riau, awal bulan ini. Wajarlah jika
Menteri Siti Nurbaya marah dan memprioritaskan penyelidikan atas PT APSL sebagai
terduga pemrakarsa penyanderaan dalam kaitan dengan perambahan kawasan hutan,
pembakaran lahan, dan penyanderaan aparat negara.
Kejadian tersebut mencerminkan lemahnya tata kelola penggunaan lahan kita. PT APSL
sudah diketahui bermasalah sejak Juni 2014, ketika DPRD Riau menuduh mereka membuka
kebun sawit di wilayah hutan lindung seluas 2.000 hektare di sana sejak 2009. Bahkan, pada
Agustus 2015, di depan majelis hakim Pengadilan Tinggi Rokan Hilir, PT APSL mengaku
tidak memiliki izin usaha perkebunan sawit di kawasan hutan yang berkategori hutan
produksi itu. Perusahaan tersebut juga tidak terdaftar di dinas perkebunan setempat.
Pencatatan kegiatan penggunaan lahan merupakan bagian dari tata kelola yang saat ini sedang
diperbaiki, antara lain melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang percepatan
pelaksanaan kebijakan satu peta. Salah satu hasil dari pelaksanaan peraturan itu adalah

terbitnya peta pertanahan skala luas di bawah tanggung jawab Kementerian Agraria dan Tata
Ruang. Izin usaha perkebunan seperti yang seharusnya dimiliki PT APSL akan termuat dalam
peta tersebut. Jika izin usaha tersebut berasal dari bekas kawasan hutan yang dikonversi
statusnya menjadi non-hutan, seharusnya tercatat pada KLHK dan termuat dalam peta
kawasan hutan.
Kasus penyanderaan di atas setidaknya mengangkat tiga isu tata kelola lahan. Pertama,
Indonesia masih belum memiliki basis data informasi geospasial terpadu yang
memungkinkan pencatatan dan pemutakhiran data serta informasi konsesi dan perizinan
lahan secara lintas sektor atau kementerian. Kawasan hutan yang dikonversi menjadi nonhutan seharusnya tercatat dalam lajur pengurangan luas kawasan hutan di KLHK. Lahan nonhutan hasil konversi tersebut segera dicatat dalam lajur penambahan luas lahan non-hutan di
KATR. Rekonsiliasi kedua catatan itu di kedua kementerian masih belum mulus. Peta-peta
yang digunakan masih perlu dibuat sinkron untuk meniadakan lahan-lahan tak bertuan. Ini
adalah celah yang selama ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk mengambil
keuntungan tanpa peduli akan dampaknya terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Kedua, Dinas Perkebunan, yang secara de facto merupakan perpanjangan tangan dari
Kementerian Pertanian, tidak selalu mencatat dengan baik izin yang telah terbit, termasuk
letak, luas, dan bentuk-ukuran lahan yang ada, apalagi memverifikasi di lapangan. Bantuan
pemerintah untuk peningkatan produktivitas pekerja kebun kecil jadi sulit dilakukan. Ini
adalah celah yang dimanfaatkan orang untuk tidak membayar pungutan non-pajak. Catatan
Kantor Wilayah Pajak Riau menyatakan 1,1 juta hektare lahan sawit terdaftar di Direktorat
Jenderal Pajak. Padahal, data resmi Dinas Perkebunan Riau menyatakan ada 2,3 juta hektare
lahan. Penelitian UKP4 (2014) di sembilan kabupaten untuk tiga provinsi menunjukkan
bahwa ketidakcermatan pencatatan semacam ini merugikan daerah sebesar 60-300 persen.
Ketiga, perambahan hutan untuk perkebunan selama bertahun-tahun tanpa penertiban dan
penegakan hukum menunjukkan telah mengerasnya persepsi pihak-pihak tertentu soal
penegakan hukum. Ketiadaan pencatatan yang baik, peta tunggal untuk rujukan semua pihak,
komunikasi horizontal lintas sektor, serta komunikasi vertikal lintas lapisan pemerintahan
mengakibatkan kontrol yang lemah atas lahan dan penggunaan lahan. Peta-peta pembuktian
kepemilikan lahan berseliweran tanpa referensi geometrik serta kadastral yang akurat dan
benar. Akibatnya, hukum yang terkait dengan penggunaan lahan dipandang ringan. Hal ini
tecermin dari adanya penyanderaan terhadap aparat negara.
Pelaksanaan kebijakan satu peta akan menghasilkan data dan informasi geospasial yang
kokoh, akuntabel, dan berintegritas. Peraturan ini memuat klausul tentang sinkronisasi petapeta untuk menuju satu peta. Hal itu akan mempermudah penggunaan data dan peta secara
lintas sektor serta tingkatan pemerintahan.
Namun perlu dipastikan bahwa peta-peta tersebut telah melalui proses sinkronisasi dengan
melibatkan segenap pemangku kepentingan. Dalam kasus di atas, pemangku kepentingan
meliputi KLHK, KATR, Dinas Perkebunan di provinsi dan kabupaten, pemerintah desa,
pengusaha besar, serta pekerja kebun kecil dan masyarakat setempat. Peraturan Presiden

Nomor 9 Tahun 2016 telah menyiratkan kebutuhan untuk melibatkan semua pihak, tapi masih
belum secara kuat mendorong proses sinkronisasi pada tataran tapak.
Diperlukan peran bijak pemerintah untuk menciptakan kesimetrisan posisi para pihak. Tanpa
hal itu, dialog dan komunikasi akan buntu serta memberikan harapan kosong atas
penyelesaian berbagai aspek dan urusan pengelolaan lahan yang tumpang-tindih.

Tanding
SABTU, 24 SEPTEMBER 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Negeri ini menghadirkan pertandingan yang mengasyikkan hari-hari ini. Ada Pekan Olahraga
Nasional (PON) di Jawa Barat, adu tanding para atlet untuk menjadi yang paling perkasa.
Ada perhelatan pemilihan kepala daerah, adu tanding untuk menjadi bupati, wali kota, atau
gubernur di 101 daerah pemilihan. Meski baru tahap mendaftar, keriuhan tak kalah dibanding
perhelatan PON. Politik dan olahraga sama saja, adu strategi dan kelicikan.
Apa yang dikejar dari pertandingan ini? Dari PON, diharapkan muncul atlet berprestasi lewat
adu tanding antardaerah. Ini ajang seleksi siapa yang terbaik di Nusantara, kelak akan diadu
tanding ke tingkat dunia. Di situlah nama baik bangsa dipertaruhkan.
Dari pemilihan kepala daerah, diharapkan muncul pemimpin yang mampu membuat rakyat
sejahtera. Rinciannya bisa banyak, misalnya tersedia lapangan kerja untuk rakyatnya, ada
rasa aman tinggal di rumah tanpa ancaman penggusuran, anak-anak bisa sekolah dengan
gratis, juga pelayanan kesehatan bagus dengan obat murah tapi tidak palsu. Untuk kota besar
seperti Jakarta yang warganya lebih manja, ya, jalanan lancar, air tak selalu menggenangi
rumah dan jalanan di kala hujan yang dulu disebut banjir.

Sayang, tujuan utama itu kalah oleh tujuan jangka pendek. Target yang diraih terlalu kecil
karena ego yang besar. Harus menjadi juara umum PON, lalu sportivitas dinomorduakan. Ada
pembajakan atlet, tiba-tiba atlet yang berprestasi pindah ke daerah lain. Wasit yang tak netral.
Buntutnya terjadi kerusuhan yang melibatkan penonton.
Calon bupati, wali kota, gubernur juga saling sikut jauh sebelum pertandingan yang
sebenarnya di tempat pemungutan suara. Hampir di mana-mana ada drama, tak cuma di
Jakarta. Adu strategi dan kelicikan dengan mengabaikan etika. Misalnya, Ahok sebagai
inkumben yang ingin bertahan. Dia tak berpartai, dulu sih suka loncat sana loncat sini. Ahok
memang dekat dengan bos partai besar, tapi dia ragu apa partai itu mau mengusungnya atau
tidak. Ahok minta jaminan jauh hari, tapi "mekanisme partai" tak mengizinkan. Ahok pun
menempuh jalur independen sambil menyindir kejelekan partai: sarang malinglah, minta
maharlah. Pokoknya anti-partai.
Semangat anti-partai ini disambut satu juta dukungan pemilik kartu tanda penduduk. Dengan
modal besar ini, tiba-tiba sejumlah partai menawari Ahok untuk "pindah kendaraan" dari
independen ke partai. Ahok langsung tertarik karena tak perlu lagi verifikasi kartu tanda
penduduk yang ribet. Bahkan partai besar teman Ahok itu pun ikut bergabung. Cerita Ahok
pernah "melecehkan partai" segera dilupakan.
Yang menarik juga penantang Ahok. Mereka bukan kader partai yang punya suara di DPRD.
Tapi mereka lihai, blusukan ke sana-kemari di kawasan yang menjadi korban kebijakan
Ahok. Foto-foto diunggah ke media sosial dengan opini "saya berpihak ke rakyat kecil lo."
Nama mereka berhasil masuk ke lembaga survei mendampingi nama Ahok, biarpun suara
kecil tak apa-apa. Dengan modal itu, mereka menawarkan diri ke partai. Sempat diberi
harapan meski akhirnya dilupakan pula. Kasihan.
Puncak keprihatinan kita akhirnya datang dengan dicalonkannya Agus Harimurti, putra
mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "kader" tentara nasional yang cemerlang untuk
menantang Ahok. Kalau ujungnya seperti ini, lalu apa fungsi partai kalau tidak menciptakan
kader-kader pemimpin bangsa? Sungguh adu tanding saat ini, apakah itu atlet ataupun calon
gubernur, targetnya sangat berjangka pendek. Bagaimana negeri bisa maju kalau
pemimpinnya asal tunjuk?

Rakyat

SENIN, 26 SEPTEMBER 2016

Setelah pembangkangan 17 Juni itu,


Sekretaris Persatuan Pengarang membagikan selebaran
di Jalan Raya Stalin.
Dikatakannya bahwa rakyat telah melanggar
kepercayaan Pemerintah,
dan hanya bisa menebusnya kembali
dengan usaha berlipat ganda.

Tidakkah dalam hal ini sebenarnya lebih mudah


bagi Pemerintah
untuk membubarkan rakyat
dan memilih rakyat yang baru?
Bertolt Brecht (1953)

Pagi hari di pertengahan Juni 1953, buruh bangunan di satu bagian timur Berlin memulai
sesuatu yang semula tak terpikirkan di bawah kekuasaan Partai Komunis: mereka mogok.
Mereka berontak.
Sudah sejak musim semi ketakpuasan menjalar: upah dirasakan tak cukup dan penghasilan
timpang. Kepada para pejabat Partai dan serikat pekerja Bolsyewik yang datang membujuk,
seorang buruh berseru, "Perut kalian buncit, tapi coba lihat kami; penghasilan kalian tak
cuma 144 mark; kalian mendapat 1.200." Dan ketika masih diulang anjuran agar buruh
bekerja keras "untuk masa depan yang lebih baik", mereka pun membuang semua alat kerja
dan turun ke jalan. "Kami bukan budak," teriakan terdengar.
Dengan segera buruh di tempat lain bergabung. Pemogokan jadi protes politik. Keberanian
berkembang di pelbagai kota Jerman Timur. Penduduk melucuti polisi, mengepung kantor
Partai Komunis, dan menyerbu penjara, membebaskan para tahanan. Tanggal 17 Juni 1953
jadi tanggal pembangkangan. Semua berakhir setelah tank-tank Uni Soviet datang
memadamkannya dan korban jatuh.
Dengan humor yang getir, Brecht (ia sudah dikenal sebagai pengarang Komunis terkemuka
yang tinggal di Jerman Timur) menulis sajaknya yang saya kutip di atas. Dan kita pun
berpikir: mungkinkah rakyat dibubarkan? Bisakah "rakyat yang baru" dipilih Pemerintah?
Brecht memakai kata das Volk. Dalam bahasa Jerman setelah runtuhnya Nazi, kata itu lebih
terlepas dari pengertian etnis. Kita menerjemahkannya dengan "rakyat". Kata ini sudah ada
dalam naskah Nusantara lama, tapi maknanya berubah setelah bangkitnya gerakan politik
untuk kemerdekaan di abad ke-20. Majalah Fikiran Ra'jat didirikan Bung Karno pada awal
1930-an misalnya. Di sampulnya ada kalimat: "Kaoem Marhaen! Inilah madjallah kamoe!"
"Rakyat", dengan kata lain, identik dengan "marhaen", anggota lapisan sosial yang miskin.
Namun ia bukan lagi orang bawahan yang hanya dihimpun untuk menuruti titah raja seperti
dalam Sejarah Melayu. Rakyat di abad ke-20 telah jadi subyek yang menderita tapi
ber-"fikir". Ia dibayangkan homogen, padu, kuatjuga setengah misterius karena hanya bisa
sedikit jelas definisinya bila dihadapkan dengan yang "bukan-rakyat".
Biasanya, yang "bukan-rakyat" itu "Pemerintah"yang dianggap ditentukan rakyat. Rakyat
yang berdaulat mendasarinya. Saya bayangkan "Pemerintah" seperti bahtera di atas laut
dalam; laut itulah "rakyat" yang terus-menerus ada dan dianggap perkasa dan utuh. Sajak

Brecht di atas bermain-main dengan pintar: ia tahu tak mungkin ada Pemerintah yang
memilih rakyat baru. Bahtera itu yang datang dan pergi. Laut tetap.
Tapi analogi itu tak selamanya pas. Rakyat bisa terbentuk baru. Di Jerman Timur Juni 1953
itu, buruh di pelbagai tempat, berbareng dalam ketakpuasan yang setara dengan penduduk
lain, jadi "rakyat" hampir seketika. Dalam "revolusi sosial" yang meletus di Sumatera Timur
pada 1946yang mencoba menumbangkan kekuasaan kaum bangsawan Melayurakyat
terbentuk jadi baru sebagai suara amarah, menghadapi satu hal yang membuat mereka
terpadu dan jadi kekerasan. Sejumlah besar kerabat Kesultanan Melayu Asahan dibunuh. Di
hari-hari yang ganas itu, "rakyat" adalah suara yang menghendaki keadilan tapi juga kekuatan
yang menggila.
Di Berlin, pertengahan Juni 1953, rakyat terbentuk dan sekaligus berubah. Ia bukan lagi nama
yang menggerakkan cita-cita sosialisme. Ia barometer sebuah defisit: ia menunjukkan
kekurangan dan ketimpangan sosial. Tapi ia juga satu kekuatan yang tak-rasional, yang
meledak tanpa menimbang kekuatannya sendiri. Maka "rakyat", yang selama itu dikendalikan
dan diwakili Partai, makin tak bisa diandalkan. Rakyat, kata Brecht, telah "melanggar
kepercayaan Pemerintah".
Wajah "rakyat" yang dua-sisi itu kembali setelah Republik Demokrasi Jerman roboh pada
1989. Kini tak ada partai yang legitimasinya tak bergantung pada rakyat. Tapi dalam suasana
serba waswas akan terorisme, pendatang, dan Islam, tampak wajah irasionalitas lain. Kini
orang berbicara tentang "populisme", yang menganggap suara cemas adalah suara sah Jerman
yang tak bisa diwakili elite politik mana pun.
Di Indonesia, sesuatu yang lain berlangsung. Partai-partai dan parlemen (tanpa mengikuti
Brecht) seakan-akan telah "membubarkan rakyat dan memilih rakyat yang baru". Politik
hanya transaksi di antara oligarki. Rakyat yang baru mereka bentuk: sebagai gema dari jauh.

Goenawan Mohamad

Peta Politik Pilkada Jakarta


SENIN, 26 SEPTEMBER 2016

Ikhsan Darmawan, Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Baru saja pada Jumat lalu drama pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta
menyelesaikan salah satu babak yang penting, yaitu pencalonan. Sejak itu, peta politik
akhirnya menjadi terang-benderang. Pada injury time, ternyata ada tiga pasangan calon yang
diusung oleh tiga poros.
Poros pertama, yang mendaftar paling awal, terdiri atas empat partai, yakni PDIP, Partai
Golkar, Partai Hanura, dan Partai NasDem. Poros ini mendukung calon inkumben: AhokDjarot.
Poros kedua, yang disebut-sebut sebagai poros Cikeas, terdiri atas Partai Demokrat, PPP,
PKB, dan PAN. Yang mengagetkan, calon yang diusung ialah anak Susilo Bambang
Yudhoyono, Agus Harimurti, yang dipasangkan dengan Sylviana Murni.
Poros ketiga ialah poros Partai Gerindra dan PKS. Menjelang penutupan pendaftaran, poros
ini akhirnya mendaulat Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai calon yang mereka usung.
Menarik untuk mendiskusikan pasangan calon di luar inkumben. Mengapa Agus HarimurtiSylviana Murni? Pertama, sulit untuk dielakkan bahwa sosok Agus merupakan bagian dari
kepentingan politik keluarga Cikeas. Menyusul adiknya, Ibas, yang lebih dulu terjun di dunia
politik praktis, Agus juga tak ketinggalan diikutkan sebagai pelanjut keluarga politik SBY.
Adapun Sylviana adalah birokrat yang telah lama berkecimpung di birokrasi DKI Jakarta.
Karena belum pernah diperhitungkan dalam survei-survei sebelumnya, sulit untuk menebaknebak bagaimana peluang pasangan ini. Apalagi dengan belum adanya pengalaman politik
praktis dari keduanya, kemungkinan besar mereka akan sulit bersaing.
Lantas, apa untungnya "berspekulasi" mendorong keduanya maju? Apalagi kedua-duanya
harus melepas jabatannya di militer dan pegawai negeri sipil. Dalam jangka panjang, bukan
tidak mungkin keduanya dipersiapkan untuk pemilihan-pemilihan umum yang akan datang.
Kalaupun tidak berhasil di pilkada Jakarta 2017 yang akan datang, setidaknya keduanya
mendapat ekspos dari media nasional selama kurun waktu tertentu. Ekspos media itu menjadi
salah satu modal politik untuk bertarung dalam pemilihan umum legislatif 2019.
Kedua, karena juga didukung oleh PPP, PKB, dan PAN, pencalonan Agus-Sylviana dapat
dilihat sebagai strategi memecah suara pendukung bukan Ahok. Sederhana saja, karena di
luar Partai Demokrat, ketiga partai itu adalah partai pendukung Jokowi. Kemenangan
inkumben erat kaitannya dengan memuluskan langkah Jokowi dalam pemilihan presiden
2019 nanti. Lagi pula, jika secara terang-terangan berdiri di barisan pendukung Ahok, hal itu
akan berdampak pada tergerusnya basis pemilih tradisional ketiga partai tersebut.

Yang tak kalah menarik juga adalah mengapa Anies-Sandiaga? Pertama, figur Anies
merupakan antitesis dari Ahok. Pembawaannya yang tenang dan santun akan membuat
pemilih yang tidak suka gaya meluap-luap dari Ahok memilih pasangan ini. Apalagi dengan
pernah menjadi menteri di kabinet Jokowi, sosok Anies telah memiliki "nilai jual" yang patut
diperhitungkan. Adapun Sandiaga adalah pengusaha yang memiliki jejaring bisnis yang luas.
Kedua, kemunculan Anies akan memperluas segmen pemilih pasangan ini. Ceruk pemilih
pasangan ini menjadi tidak hanya pemilih Gerindra dan PKS yang memiliki ideologi Islam
yang kuat, tapi juga pemilih lain di luar itu.
Ketiga, komposisi keduanya, menurut hasil survei terakhir dari sebuah lembaga survei,
dianggap paling sedikit selisihnya dengan persentase elektabilitas inkumben. Dengan sisa
waktu yang cukup panjang, bukan hal yang mustahil kandidat ini dapat bersaing ketat dengan
inkumben.
Lantas, akan seperti apa dan bagaimana pilkada DKI Jakarta ke depan? Yang jelas,
pertarungan selama lima bulan ke depan akan sengit dan tentu saja mengundang rasa
penasaran banyak orang. Mengapa demikian? Pertama, tak seperti pilkada di daerah lain,
untuk dapat menang di pilkada Jakarta, satu pasangan calon harus meraih minimal 50 persen
plus satu. Dengan tiga pasangan kandidat seperti ini, tidak menutup kemungkinan akan
terjadi lebih dari satu putaran pemilihan.
Kedua, meski disebut-sebut elektabilitas inkumben selama ini masih lebih tinggi dibanding
calon lain, kecenderungan merosotnya raihan persentase elektabilitas Ahok belakangan ini
menjadi pertanda bahwa persaingan masih terbuka lebar. Apalagi selama ini Ahok tidak
pernah meraih persentase sangat besar (lebih dari 70 persen) secara konsisten seperti halnya
Jokowi saat di pilkada Solo dan Risma di pilkada Surabaya. Selain itu, terdapat data masih
ada 25,7 persen pemilih yang belum menentukan pilihan.

Dilema Siaran Langsung Persidangan


SELASA, 27 SEPTEMBER 2016

Wisnu Prasetya Utomo, Peneliti media Remotivi

Siaran langsung proses sidang pembunuhan menggunakan kopi bersianida dengan terdakwa
Jessica Kumolo Wongso menarik dicermati. Hampir setiap sidang yang sudah berlangsung 24
kali (sampai artikel ini ditulis) disiarkan langsung oleh stasiun televisi. Ini masih ditambah
dengan berbagai program siaran lain, seperti berita, talk show, dan infotainment. Kadar
peliputan yang sedemikian massif ini belum pernah ada dalam sejarah siaran langsung
persidangan di televisi Indonesia.
Di satu sisi, siaran langsung semacam ini bisa membuat persidangan berjalan lebih akuntabel
dan transparan. Sebaliknya, peliputan yang sedemikian massif membawa sejumlah persoalan
yang menarik untuk didiskusikan lebih jauh.
Mesti dipahami bahwa salah satu hal yang mendasari kerja stasiun televisi adalah logika
akumulasi kepentingan ekonomi. Logika ini yang menggerakkan berbagai program
siarannya, termasuk siaran langsung.
Dalam kerangka ini, persaingan atau kompetisi dengan stasiun televisi lain untuk
memperebutkan penonton menjadi tidak terelakkan. Konsekuensinya, dibutuhkan diferensiasi
agar televisi dapat menang. Pada titik inilah dramatisasi program siaran menjadi sulit
dihindari. Dalam konteks siaran langsung persidangan, upaya membuat pengadilan lebih
akuntabel berubah menjadi ruang untuk mengakumulasi keuntungan melalui dramatisasi.
Ada tiga masalah yang gamblang dari gegap-gempitanya siaran langsung persidangan Jessica
ini. Pertama, trial by press atau penghakiman oleh media. Peliputan yang massif bisa
membentuk opini atau kesan keliru tentang siapa pihak yang bersalah atau tidak bersalah.
Jika menyimak kasus ini, sulit menghindari kesan bahwa berbagai berita itu mengarahkan
opini publik bahwa Jessica sudah pasti bersalah. Penggiringan opini tentu berbahaya karena
proses sidang masih jauh dari usai.
Efek kerugian bagi pihak yang dituduh bersalah oleh media bahkan bisa berlipat jika
mengingat siaran langsung juga dilakukan secara streaming. Dengan peliputan yang
multiplatform, berbagai siaran ini terarsip dengan baik di dunia maya. Artinya, efek kerugian
bagi pihak yang dituduh bersalah bisa bertahan lama.
Kedua, dramatisasi peliputan. Liputan yang sensasional dan berbeda menjadi unsur yang

penting untuk meraih perhatian publik dan memenangi persaingan dengan media lain. Contoh
paling baik dari hal ini adalah siaran langsung pengadilan aktor dan atlet Amerika Serikat,
O.J. Simpson, yang didakwa membunuh mantan istrinya pada 1995. Peristiwa ini menjadi
momen paling ikonik yang mengubah lanskap peliputan persidangan di televisi Amerika
Serikat.
Sebagaimana disebut Paul Thaler dalam The Watchful Eye: American Justice in the Age of
the Television Trial (1993), kasus seperti ini menyediakan bahan baku dramatisasi yang
lengkap: O.J. Simpson adalah selebritas Hollywood, mantan atlet populer, dan berkulit hitam
yang menjadi isu sensitif di AS. Sejak kasus ini meledak, opini publik menuduh O.J.
Simpson sebagai pelaku pembunuhan, meski pada akhirnya pengadilan menetapkan ia tidak
terbukti membunuh.
Belajar dari kasus ini, yang terjadi akhirnya adalah dramatisasi terhadap fakta persidangan.
Berbagai program siaran kemudian tidak membuat persidangan lebih akuntabel, melainkan
menjadi panggung sirkus bagi perdebatan "para pakar" yang berujung pada disinformasi.
Ironisnya, dramatisasi ini juga memberikan ruang bagi penonton untuk merasa lebih tahu
ketimbang fakta-fakta hukum yang ada.
Ketiga, dilema pelanggaran etika jurnalistik. Hal ini bersumber dari fakta bahwa tidak semua
sidang yang dinyatakan terbuka oleh hakim layak dikonsumsi puluhan juta pasang mata.
Kasus siaran langsung persidangan Antasari Azhar pada 2009 menunjukkan hal tersebut.
Dalam salah satu siaran langsung, ternyata materi persidangan berkaitan dengan seksualitas
yang vulgar. Momen tersebut yang membuat Komisi Penyiaran Indonesia saat itu sempat
menggagas pembatasan siaran langsung persidanganide yang segera mendapat penolakan
banyak pihak karena dianggap memberangus kebebasan pers.
Terlepas dari perdebatan tersebut, siaran langsung memang memiliki kekurangan karena sulit
melakukan sensor apabila ada hal-hal yang berpotensi melanggar tidak hanya etika
jurnalistik, tapi juga standar kepatutan yang lain, misalnya pornografi. Potensi pelanggaran
ini semakin besar jika mengingat proses sidang yang lama dan memakan waktu berbulanbulan.
Menyimak massifnya liputan sidang Jessica, regulator media seperti KPI dan Dewan Pers
idealnya menyiapkan aturan main. Hal ini penting untuk memastikan siaran langsung
persidangan semacam ini berjalan sesuai dengan koridor, tidak melanggar etika, dan terutama
tidak mengubah persidangan menjadi hiburan.
Aturan semacam ini adalah hal yang normal di beberapa negara, seperti di Inggris, yang
hanya mengizinkan televisi menyiarkan beberapa bagian persidangan. Dengan begitu,
marwah pengadilan untuk menguji fakta-fakta yang ada tetap terjaga dan siaran langsung bisa
membuat persidangan berjalan akuntabel serta melayani kepentingan publik.

Tantangan BI Repo Rate


RABU, 28 SEPTEMBER 2016

Haryo Kuncoro, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Pelonggaran kebijakan moneter melalui pemotongan 7-days Reverse Repo Rate ini telah
diberlakukan pada 22 September lalu. Repo Rate kini berada di level 5 persen, turun 50 basis
poin dari posisi April saat diperkenalkan pertama kali sebagai suku bunga acuan yang baru
menggantikan BI Rate.
Dalam pandangan Bank Indonesia, pelonggaran kebijakan moneter diambil sebagai respons
atas perkembangan makroekonomi yang semakin kondusif. Pertumbuhan ekonomi, misalnya,
sudah mulai menggeliat, tumbuh 4,91 persen pada triwulan pertama, naik menjadi 5,18
persen pada semester awal.
Laju inflasi dalam batas tertentu masih dalam kendali otoritas moneter. Hingga Agustus,
inflasi tahunan hanya 2,79 persen, jauh di bawah sasaran 4 persen. Nilai tukar dalam tiga
bulan terakhir menguat akibat arus dana yang masuk melalui program pengampunan pajak.
Imbasnya, cadangan devisa per akhir Agustus menembus US$ 110 miliar.
Kondisi eksternal turut mendukung relaksasi kebijakan moneter. Sebelumnya, The Fed, bank
sentral Amerika Serikat, mengumumkan penundaan kenaikan suku bunga acuannya. Faktor
Brexit di Eropa, stagnasi konsumsi di Jepang, dan lambannya pemulihan ekonomi Cina
sedikit meredakan risiko ketidakpastian global.
Bagi pelaku pasar domestik, relaksasi moneter ini sesuai dengan harapan. Kebijakan tersebut
merupakan momen yang ditunggu sebagai sinyal positif guna membangkitkan optimisme.
Dunia usaha berharap semakin murahnya suku bunga kredit yang akan mereka bayar.
Industri perbankan juga menaruh asa agar likuiditasnya segera menguat. Pemangkasan suku
bunga acuan yang dibarengi dengan pemotongan suku bunga deposit facility menjadi 4,25
persen dan lending facility menjadi 5,75 persen melambungkan harapan semakin derasnya
ekspansi kredit.
Momen positif di atas sangat boleh jadi akan diganggu oleh potensi kenaikan suku bunga
acuan Fed Fund Rate sampai akhir tahun. Pidato gubernur bank sentral Amerika Serikat Janet

Yellen saat mengumumkan penundaan Fed Rate, sehari sebelum BI memotong Repo Rate,
memberikan isyarat kenaikan Fed Rate, meski belum menyebutkan waktunya.
Kekhawatiran yang muncul adalah pelarian modal ke luar negeri. Dalam pasar keuangan
global yang semakin terintegrasi, suku bunga yang berlaku di satu negara normatifnya akan
mendekati suku bunga negara lain, baik besaran maupun arah perubahannya.
Pengalaman pada awal tahun ini memberikan pelajaran berharga. Setelah lama stagnan di
posisi 0,25 persen, Fed Rate dinaikkan sebesar 25 basis poin pada Desember 2015 menjadi
0,5 persen yang berlaku hingga sekarang. Sebaliknya, BI pada Januari 2016 menurunkan BI
Rate menjadi 7,25 persen. Akibatnya, gejolak pasar keuangan domestik pun tak terhindarkan.
Menurut agenda yang tertulis di situs resmi masing-masing bank sentral, jadwal The Fed
mengumumkan keputusannya lebih dulu (selang satu hari) dibanding jadwal Rapat Dewan
Gubernur BI. Artinya, BI bisa mengambil keputusan setelah mengetahui strategi keputusan
The Fed.
Jika strategi yang ditempuh The Fed adalah menunda kenaikan suku bunga acuannya, apa
pun keputusan yang diambil oleh BI akan memberikan imbas minimum. Perekonomian
nasional tidak memperoleh manfaat lebih dan juga tidak menanggung kerugian besar jika
Repo Rate dipangkas atau dipertahankan.
Namun apabila The Fed memutuskan menaikkan suku bunga acuannya, apa pun keputusan
BI terhadap Repo Rate (terutama jika Repo Rate diturunkan), berakibat pada massifnya
pelarian modal ke luar negeri seperti kekhawatiran awal. Alhasil, pengalaman pahit
ketidakefektifan BI Rate bisa terulang.
Implikasi dari pelarian modal adalah aset finansial berdenominasi rupiah milik asing akan
ditukar dengan dolar untuk dipindahkan ke negaranya. Artinya, permintaan terhadap dolar
melesat tajam. Apabila pasokannya tipis, cadangan devisa tersedot untuk memenuhi tingginya
kebutuhan valuta asing. Dampak akhirnya adalah nilai tukar rupiah merosot.
Tampaknya tantangan Repo Rate sampai akhir tahun ini terkait kental dengan isu arus modal,
cadangan devisa, dan nilai tukar. Alhasil, trade-off niscaya terjadi. Mengejar stabilitas
internal (inflasi, suku bunga, dan likuiditas perbankan) akan mengesampingkan stabilitas
eksternal; demikian pula sebaliknya.
Lain halnya jika rilis data terakhir mempertebal keyakinan atas prospek ekonomi dalam
negeri, BI bisa merancang kebijakan moneternya terlepas dari keputusan The Fed. Itulah
strategi optimal BI. Hanya dengan bekal fundamental ekonomi domestik yang kokoh,
keputusan BI bisa mandiri tanpa terikat lagi oleh kebijakan negara lain.
Dalam cakupan yang lebih luas, kebijakan moneter BI terlepas dari bayang-bayang kenaikan
Fed Rate menjadi sinyal kepada dunia internasional bahwa pasar keuangan Indonesia

semakin kondusif. Penurunan bertahap Repo Rate selama empat bulan terakhir menjadi
isyarat risiko keuangan yang semakin kecil.
Apa pun strategi The Fed, relaksasi moneter masih bisa ditempuh melalui pemangkasan giro
wajib minimum atau kebijakan makroprudensial lainnya. Kedua jalur ini komplementer
terhadap aturan LTV (loan to value) dan FTV (financing to value) yang telah dilonggarkan
sebelumnya.
Dengan konfigurasi masalah di atas, sisi positifnya adalah BI terdorong semakin jeli dalam
menempatkan kebijakannya di lingkungan mikro-meso-makro-global. Maka, kepentingan
perekonomian domestik tetap terakomodasi tanpa mengorbankan perspektif internasionalnya.

Anak-anak (Bukan) Korban Bencana


KAMIS, 29 SEPTEMBER 2016

Reza Indragiri Amriel, Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia

Dalam situasi bencana, jatuhnya korban jiwa merupakan potensi yang tak bisa dimuskilkan
dan anak merupakan salah satu kelompok rentan yang membutuhkan dukungan khusus.
Kendati demikian, Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 memunculkan
keinsafan bahwa anak-anak bukan manusia yang hanya bisa berpasrah diri, tak berdaya, saat
berhadapan dengan bencana alam. Sendai Framework meletakkan dasar bagi semua
pemangku kepentingan untuk bersikap positif bahwa anak-anak harus dipandang sebagai
insan dengan segenap ketangguhan potensial untuk beradaptasi dalam bencana.
Untuk mengejawantahkan Sendai Framework, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
selekasnya menjadikan anak-anak sebagai pemangku kepentingan dalam perancangan dan
implementasi kebijakan, rencana kerja, dan standar penanganan bencana. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
perlu mendirikan desk perlindungan anak. Desk tersebut bekerja merancang standar
pelayanan dan pendampingan bagi anak-anak dalam situasi bencana, mekanisme koordinasi
antar-kementerian dan lembaga, serta mobilisasi partisipasi publik.
Bermitra dengan Kementerian Pendidikan dan Kementerian Sosial, desk perlindungan anak
juga perlu merancang materi pengajaran tentang kebencanaan dalam kurikulum seluruh
jenjang pendidikan formal serta pembinaan anak-anak tak bersekolah. Kesungguhan sekolah
dalam mengantarkan materi kebencanaan ke para peserta didik bahkan sudah sepatutnya
menjadi salah satu kriteria mutu sekolah.
Simultan dengan itu, otoritas keamanan harus bersiaga penuh untuk menangkal bencana
kemanusiaan yang berpeluang terjadi menyusul bencana alam, yakni melindungi anak-anak
yang terpisah dari orang tua (keluarga) mereka sehingga berisiko dipindahkan,
diperdagangkan, dan dieksploitasi. Orang-orang yang datang dengan jubah pekerja sosial,
agamawan, dan tim penyelamat lainnya harus dipantau secara ketat. Berbagai catatan
menunjukkan, salah satu modus sindikat perdagangan orang adalah memasuki daerah
bencana dengan menyaru sebagai pembawa bala bantuan, lalu mengincar anak-anak. Imingiming membawa anak ke wilayah yang lebih aman dan janji membiayai kebutuhan anak bisa
dengan mudah membius orang tua untuk serta-merta percaya kepada para "penyelamat"

tersebut.
Walau minimal, kegiatan pendidikan, bahkan sekolah, perlu diaktifkan selekas mungkin.
Rutinitas sekolah, apalagi dalam situasi bencana, merupakan unit yang sangat penting untuk
memastikan anak-anak tetap terpantau dalam lingkungan yang relatif terkendali. Perpindahan
anak ke luar lokasi bencana dapat ditangkal dengan hal itu.
Rencana pemerintah untuk menerbitkan kartu identitas anak atau sejenisnya yang terdata
secara terpusat di tingkat nasional juga bermanfaat sebagai acuan pelacakan jumlah anakanak sebelum dan setelah bencana. Pencatatan kependudukan, khususnya anak, secara lokal
dan manual, jelas tidak terlalu bisa diandalkan, mengingat setiap orang tentu menjadikan
sanak keluarga dan properti mereka masing-masing sebagai prioritas yang harus
diselamatkan.
Respons tanggap bencana bukan hanya tugas kementerian dan lembaga pelat merah lainnya.
Dunia usaha sepatutnya terpanggil untuk mengaktifkan program tanggung jawab sosial
mereka di bidang perlindungan anak, termasuk penanganan anak-anak dalam situasi bencana.
Ini selaras dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Anak. Meski anak-anak tetap
sewajarnya tidak didorong untuk bekerja, ketika sarana dan prasarana sekolah belum dapat
dipulihkan dan keluarga juga kehilangan sumber daya finansial untuk menopang pendidikan
anak-anak, dunia usaha dapat menggiatkan diri dengan inisiatif-inisiatif berupa pengadaan
pekerjaan yang memungkinkan anak-anak putus sekolah memperolah pelatihan kerja dan
bekerja di lingkungan mereka sendiri, dengan tetap mengacu pada ketentuan yang ada. Hal
itu dimaksudkan untuk memperkecil potensi migrasi di kalangan anak-anak putus sekolah.
Pada akhirnya, semua kalangan berkepentingan untuk membuktikan bahwa anak-anak lebih
tepat disebut sebagai penyintas bencana, alih-alih korban. Mereka, anak-anak di kawasan
yang diterjang bencana alam, adalah penyintas cilik yang berdaya inspirasi bagi orang-orang
dewasa untuk selekasnya memulihkan Garut dan daerah-daerah lain yang juga terpapar
bencana alam.

Masihkah TVRI Relevan?


JUM'AT, 30 SEPTEMBER 2016

Muhamad Heychael, Direktur Remotivi

Empat belas tahun sejak reformasi penyiaran berlalu, dewan dan direksi silih berganti, namun
nasib TVRI masih saja sama: antara ada dan tiada. TVRI seolah tenggelam dalam hiruk-pikuk
dinamika penyiaran saat ini dan gagal menjadi relevan di tengah publik.
TVRI tak ubahnya stasiun televisi swasta lainnya. Banyak programnya yang merupakan tiruan
dari program televisi swasta. Sementara di RCTI ada Dahsyat, TVRI punya Keren. Sialnya,
bukan lebih baik, Keren bahkan jauh dari kategori layak tonton. Indikasi lain dari
kegamangan identitas TVRI sebagai televisi publik adalah maraknya program yang disponsori
Istana. Program seperti Sudut Istana dan banyak acara dialog lain di stasiun itu tak lebih dari
etalase berbagai program kerja kementerian. Dua contoh tersebut merupakan tanda kegagalan
TVRI dalam memahami konsep televisi publik.
Proses pemilihan Dewan Pengawas TVRI, yang telah dimulai pada 25 Agustus lalu,
merupakan momentum berharga untuk merumuskan kembali konsep TVRI sebagai televisi
publik. Karena itu, panitia seleksi bentukan Kementerian Komunikasi dan Informasi mesti
memiliki pemahaman yang utuh mengenai televisi publik.
Televisi publik adalah konsep yang berbeda dengan televisi swasta atau pemerintah. Secara
konseptual, perbedaan tersebut terletak pada bayangan mengenai siapa yang menonton.
Kitley (2001) berargumentasi bahwa pembayang tentang penontonlah yang mengarahkan
seluruh proses produksi. Sementara televisi swasta membayangkan penontonnya sebagai
konsumen dan televisi pemerintah membayangkan penontonnya sebagai konstituen (pemilih),
televisi publik mestinya membayangkan penontonnya sebagai publik.
Keberhasilan televisi publik idealnya tidak diukur dari sejauh apa ia mampu mendatangkan
iklan atau membangun citra positif dari pemerintah berkuasa. Sebaliknya, hal ini bergantung
pada sejauh apa lembaga tersebut mampu melayani kebutuhan publik yang beragam,

termasuk merepresentasikan suara-suara minoritas.


Dewan Pengawas berperan penting mendefinisikan publik TVRI. Sebagai contoh, British
Broadcasting Company (BBC) membagi publik Inggris menjadi beberapa bidang. Misalnya,
publik politik dalam konteks Inggris bisa dipetakan menjadi sosialis, konservatif, dan liberal.
Dalam konteks agama, BBC memetakannya menjadi Katolik, Protestan, Islam, dan ateis.
Berpegang pada definisi tersebut, BBC merancang program yang mampu memenuhi berbagai
spektrum ideologi politik serta agama yang ada. Berbekal visi publik inilah Dewan Pengawas
dalam konteks TVRI dan board dalam konteks BBC mengevaluasi kinerja direksi.
Kemampuan merumuskan visi publik itulah yang perlu menjadi dasar bagi panitia seleksi
untuk menilai kelayakan calon Dewan Pengawas nantinya.
Masalah TVRI yang lain adalah pendanaan. Minimnya pendanaan merupakan faktor yang
turut membuat stasiun ini kesulitan membuat program yang bermutu. Tahun ini, pemerintah
memang telah menaikkan pagu anggaran TVRI dalam APBN dari Rp 800 miliar pada tahun
lalu menjadi Rp 1,6 triliun saat ini. Namun ini masih sangat jauh dibanding biaya operasional
program RCTI, yang pada 2012 saja mencapai Rp 2,5 triliun. Televisi publik memang
berbeda dengan televisi swasta, tapi fakta bahwa kualitas program terkait erat dengan
pendanaan tidak bisa dipungkiri.
Salah satu opsi pendanaan yang mungkin bagi TVRI adalah dengan membuat kebijakan yang
mengalokasikan sebagian dari pajak iklan televisi swasta untuk membiayai stasiun televisi
tersebut.Opsi lainnya adalah memungut dana dari publik. Meski opsi terakhir itu sulit
dilakukan di tengah rendahnya kepercayaan publik kepada pemerintah, inilah yang paling
dekat dengan semangat televisi publik sebagai lembaga independen. Hanya dengan sumber
pendanaan yang berada di luar APBN-lah TVRI bisa terbebas dari politik anggaran di DPR.
Pada akhirnya, opsi mana pun yang dipilih pemerintah nantinya, dua hal perlu menjadi
pertimbangan, yaitu kecukupan dana dan independensi.
Pendanaan TVRI, yang berasal dari APBN, juga menimbulkan masalah lain, yakni birokrasi
yang panjang. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencairkan dana membuat TVRI tidak
kompetitif. Sulit bagi TVRI merespons peristiwa-peristiwa yang terjadi mendadak, seperti
bencana alam atau konflik yang terjadi di berbagai daerah karena biaya peliputan tidak
dianggarkan dalam pagu anggaran. Jika pemerintah menghendaki TVRI menjadi lembaga
penyiaran publik yang kuat, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 tentang lembaga
penyiaran publik perlu ditinjau kembali.
Namun dana tak boleh begitu saja diberikan tanpa memastikan dana publik yang dikelola
TVRI sepenuhnya kembali ke publik dalam bentuk layanan program. Kita tentu masih ingat
beberapa kali kasus korupsi terjadi di TVRI. Paling akhir adalah yang menimpa Mandra. Agar
hal serupa tidak terulang, dibutuhkan implementasi manajemen profesional yang mengusung
semangat keterbukaan di tubuh TVRI. Dengan latar belakang demikian, salah satu tugas
utama Dewan Pengawas adalah membangun sistem audit keuangan dan efektivitas kerja yang
profesional.

Penguatan TVRI tak mungkin berjalan tanpa desain regulasi yang menopangnya. Persoalan
TVRI tidak bisa hanya diselesaikan dengan sebatas pemilihan Dewan Pengawas atau direksi
nantinya. Tanpa dukungan nyata pemerintah lewat pendanaan dan regulasi, siapa pun yang
kelak terpilih sebagai Dewan Pengawas akan tersandera oleh masalah yang sama. Karena itu,
revisi Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 mesti dilakukan sebelum Dewan
Pengawas terpilih, atau minimal secara bersamaan. Jika tidak, saya khawatir Dewan
Pengawas dan direksi terus berganti, tapi TVRI masih saja akan seperti yang kita saksikan
hari ini.

Dimas Kanjeng
SABTU, 01 OKTOBER 2016

Putu Setia

Di awal-awal mengenal Romo Imam, saya pernah memanggilnya dengan sebutan


Kangmas. Saya pikir itu sebutan yang sangat terhormat. Tapi Romo tak suka sebutan itu.
Dia merasa persahabatan kami tak perlu pemanis sapa, apalagi sebagai penghormatan.
Karena itu, saya kaget ketika kemarin sore Romo menyapa saya begini, "Dimas mau minum
apa?"
Saya tertawa. Romo pasti mengajak guyon. Tapi Romo serius. "Sekarang sebutan dimas lagi
populer, apalagi ditambah kanjeng. Kedua kata itu patut disandang orang-orang terhormat,
orang yang patut dijadikan teladan, orang yang dianggap punya ilmu lebih, khususnya ilmu
agama."
"Tapi Dimas Kanjeng sekarang ditahan, Romo. Dia diduga menjadi otak pembunuhan
terhadap dua santrinya," kata saya. Romo langsung menimpali. "Itulah yang betul-betul tak
masuk akal. Sudah sebutannya Dimas Kanjeng, yang menyiratkan orang yang patut
dijunjung martabatnya, namanya juga dahsyat, Taat Pribadi. Kalau betul ini nama
pemberian orang tuanya dan bukan nama jadi-jadian, sebagaimana nama artis, Taat Pribadi
itu menyiratkan perintah untuk teguh kepada hati nurani. Lo, ini kok Dimas Kanjeng Taat
Pribadi melakukan pembunuhan berencana?"
"Romo, itu baru dugaan," saya menyela. "Romo harus menghormati asas praduga tak
bersalah dan jangan menghakimi. Beginilah kalau Romo terlalu sering menonton sidang kopi
Jessica, berbagai opini berseliweran di luar sidang untuk mempengaruhi hakim."

"Kasus Dimas Kanjeng beda, ini transparan banget. Dua korban sudah ditemukan, motif
pembunuhan pun sudah jelas," kata Romo. "Yang aneh bin ajaib, pangkal masalahnya adalah
praktek sesat Dimas Kanjeng yang mengaku bisa menggandakan uang. Ismail Hidayat,
korban pembunuhan itu, justru awalnya percaya dan bahkan mengajak orang-orang lain
menitipkan uangnya untuk digandakan. Ketika Ismail sadar bahwa penggandaan uang itu
sesuatu yang mustahil dan ia bersama teman-temannya menuntut uang itu dikembalikan,
Dimas pun merasa terganggu. Dan Ismail, yang diberi pangkat Sultan Agung, dihabisi Dimas
Kanjeng."
"Apa itu Sultan Agung?" tanya saya. Romo menjelaskan, "Sebutan semacam pangkat
tertinggi di padepokan itu karena Dimas Kanjeng menyebut dirinya raja. Padepokan yang
konon punya lebih dari 3.000 santri itu ternyata tidak mengajarkan ilmu agama. Kegiatannya
hanya terpusat pada penggandaan uang yang diberi pernik-pernik zikir dan salawat. Bahkan
menurut Ketua Majelis Ulama Jawa Timur, Abdusshomad Buchori, salah satu salawatnya
disebut salawat fulus. Lebih ajaib lagi banyak orang percaya hal itu, dari pengusaha,
pegawai negeri, apalagi petani. Beratus-ratus juta rupiah disetorkan untuk digandakan.
Tragisnya, cendekiawan muslim bekas anggota DPR, Ibu Marwah Daud Ibrahim, juga
menjadi bagian dari padepokan itu, malahan menjabat ketua yayasan. Ini bangsa lagi sakit
apa?" Romo mengeluh panjang.
Saya yang justru lebih tenang. "Padepokan ini berdiri sudah lama, 2005, dan banyak tokoh
penting berkunjung ke sana. Sudah tercium pula keanehan itu sejak lama. Tapi tak ada yang
bereaksi, malahan padepokan ini memanfaatkan perangkat modern untuk mempromosikan
dirinya. Ada video yang diunggah ke YouTube, ada media sosial untuk menampung
aktivitasnya. Lalu ada kaum cerdik pandai yang bergabung. Promosi itu membuat orang
ramai-ramai menyetor uangnya untuk digandakan. Sesuatu yang sangat irasional, tapi sepuluh
tahun lebih tak ada yang melakukan apa-apa. Romo, saya kira ini musibah yang dahsyat,
sepertinya banyak orang ikut mengajarkan kebodohan."
Romo makin nelangsa.

Aura
SENIN, 03 OKTOBER 2016

Ada suatu masa ketika raja dan kesatria menghilang. Para pangeran Pandawa lenyap ke
dalam rimba selama 13 tahun; Rama menyingkir dari istana Ayudhya dan hidup dalam
belantara hampir satu setengah dasawarsa. Dalam kedua wiracarita itu hutan meniadakan
penampilan; tapi hidup jadi bagian ritus ke arah kemenangan.
Dalam tradisi Veda, ritus itu disebut vanaprastha, "menyingkir jauh ke dalam rimba". Di
sana, meskipun tak selamanya diartikan harfiah, tak tampak di depan umum mengisyaratkan
hidup yang tak lagi digoda kekenesan dan nafsu lain.
Keadaan itu meruapkan sebuah aura tersendirisatu hal yang juga terjadi dalam sejarah
politik modern. Di Ekuador, Velasco Ibarra, presiden yang hidup dalam pengasingan, dikenal
sebagai El Gran Ausente: ia absen dan ia hebat dalam ketidakhadirannya. Pada 1933 ia dipilih

dengan 80 persen dari suara yang masuk, tapi kudeta militer menjatuhkannya. Velasco pun
hidup sebagai eksil, tak tampak di tanah air, tapi kemudian muncul kembali dan berkuasa
(meskipun kemudian dijatuhkan lagi). Velasco tak pernah sepenuhnya kalah. Pada 1968, ia
menang buat kelima kalinya; usianya 75 waktu itu. Kali ini pun ia dikudeta, tapi Ekuador tak
bisa menghapus El Gran Ausente dari ingatan.
Absen dan aura juga terpaut dalam sejarah Iran abad ke-20. Ayatullah Khomeini menentang
kebijakan Shah yang berkuasa. Ia pun ditangkap. Empat belas tahun setelah November 1964
itu ulama besar tersebut hidup dari tempat pengasingan yang satu ke yang lainnya: Bursa di
Turki, Najaf di Irak, Neauphle-le-Chteau di Prancis. Selama itu, namanya semakin
termasyhur, auranya membubung, dan pengaruh politiknya semakin menyebar.
Aurasemacam daya yang bukan fisik yang memancar dari seseorang atau sebuah benda
terbit karena sifat unik orang atau benda itu. Tapi tak hanya itu. Juga karena "di luar", karena
jarak. Walter Benjamin, yang menulis satu esai yang terkenal tentang perubahan perspektif
atas karya seni sesudah zaman mesin, mendefinisikan aura sebagai einmalige Erscheinung
einer Ferne, penampilan unik dari sebuah jarak, betapa pun dekatnya fenomena itu.
"Jarak" itu bisa berarti ruang dan waktu, tapi juga bisa berarti kondisi ketika ia terasa tak bisa
didekati. Aura patung Durga di dalam satu ruang candi di Prambanan di Jawa Tengah
terbentuk bukan saja karena kehadirannya yang remang-remang, tapi juga karena suasana
yang tumbuh dari kemegahan kompleks pemujaan itu. Sebagaimana dibangun di abad ke-9,
ada 240 candi yang tersusun dengan ukiran yang menakjubkan di wilayah yang luas itu.
Aura itu kini punah. Tentu karena orang datang, dalam bus-bus yang gembira, bukan untuk
menyembahnya. Benjamin menguraikan hilangnya aura pada karya seni karena dunia modern
masuk dan kapitalisme dengan gampang mereproduksi karya itu: patung Rodin, "sang
pemikir", tak lagi menggetarkan setelah ia diperbanyak dalam pelbagai ukuran di gerai
turisme.
Tapi saya kira mudahnya reproduksi justru melahirkan efek sebaliknya. Aura malah tumbuh.
Dalam sejarah politik modern, dalam "pemujaan sosok pribadi" Stalin, Mao Zedong, Kim Ilsung, dan Bung Karno, aura justru diproduksi lewat bahasa dan gambar, slogan dan poster
yang diulang-ulang mengumandangkan keagungan mereka. Di sini, aura dibentuk dalam
rekayasa. Indoktrinasi diperkuat dengan kultus dan mantra ideologi.
Semakin dilambungkan sang pemimpin, seperti ketika semakin banyak predikat "agung"
dikenakan kepada Bung Karno, semakin tak terjangkau ia oleh pemikiran dan imajinasi orang
banyak. Karena posisinya, karena hierarki, seorang pemimpin mengandung enigma. Kultus
mempertebal lapisan yang menutup enigma itu, menghindari dari apa yang transparan dalam
dirinya. Dengan begitu sang pemimpin seakan-akan berada di atas politik. Ia tak ikut siasat
dan menunjang kepentingan diri. Ia bukan bagian politik sebagai antagonisme; ia seakanakan jadi panutan bersama.

Dengan kata lain, ia tampil sebagai gema dari panggilan moral yang universal. Velasco
Ibarra, misalnya, mengidentifikasikan dirinya dan pendukungnya bukan sebagai pengejar
kebendaan. Yang layak diusahakan ialah "keagungan moral", [la] grandeza moral, sesuatu
yang abadi.
Aura, jarak dari politik dan retorika moralsemua itu tak dengan sendirinya kabar baik.
Dalam kultus, dalam melipatgandakan aura, seorang besar dibentuk atau membentuk diri, tapi
pengalaman panjang sejarah Tiongkok telah mengajarkan sebuah pemeo: "orang besar adalah
nasib malang masyarakat".
Apalagi ketika antagonisme politik disikapi sebagai pergulatan moral. Publik pun akan
terbelah dalam kubu-kubu yang melihat diri sebagai pembawa "keagungan moral":
argumenku jadi mutlak, bahkan suci sepenuhnya.
Yang tak diakui ialah bahwa politik juga (yang nisbi dan terbatas) yang menentukan mana
yang suci dan yang busuk. Tak jarang intoleransi bertaut dengan kemunafikan.

Goenawan Mohamad

Gegabah Menyita Buku


SELASA, 04 OKTOBER 2016

Tindakan polisi menyita enam buku berjudul Manifesto Komunis dari pameran buku
internasional berlebihan. Buku berlogo palu-arit terbitan Thukul Cetak itu dijual di stan
pameran yang diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia di Balai Sidang Senayan, Jakarta.
Polisi kian kelewatan karena enam warga negara Malaysia penjaga gerai buku akhirnya
dideportasi.

Sebagai tuan rumah, Indonesia mencoreng wajah sendiri. Tak semestinya polisi bertindak
terlampau jauh. Sebagai negara demokratis, penyitaan dan pendeportasian itu sungguh
paradoksal. Polisi Indonesia masih memperlihatkan sikap anti-demokrasi dan anti-kegiatan
intelektual. Demokrasi tegak ketika suatu negara memberikan jaminan kebebasan berpikir,
berpendapat, dan berekspresi.
Pelarangan buku itu mencerminkan polisi belum beranjak dari kebiasaan zaman Orde Baru
dan Orde Lama. Di era gelap itu, buku bisa dilarang beredar karena alasan yang samar. Jika
bukan mengganggu ketertiban umum, alasan yang lazim diberikan adalah menyebarkan
paham komunis/Marxisme-Leninisme. Polisi berdalih, buku itu sensitif di Indonesia. Ironis,
tabiat buruk polisi itu muncul ketika bangsa ini telah meninggalkan Orde Baru sejak 18 tahun
silam.
Penyitaan buku Manifesto Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels kian menggelikan,
karena buku ini sungguh mudah didapatkan di jejaring internet dengan gratis. Edisi bahasa
Indonesia, juga bahasa-bahasa yang lain, tersedia dalam format buku digital maupun teks.
Orang bisa membaca buku ini setiap saat asalkan ada jaringan internet. Kampus di Indonesia
pun biasa mendiskusikan buku itu sebagai bagian dari kegiatan ilmiah.
Sejumlah tokoh Indonesia pun tak haram membaca buku itu. Sebut saja, misalnya, Wakil
Presiden pertama Mohammad Hatta. Ia menerbitkan risalah berjudul "Persoalan Ekonomi
Sosial Indonesia" dengan membahas panjang-lebar gagasan Marxisme Karl Marx. Hatta fasih
menjelaskan isi buku itu. Presiden Abdurrahman Wahid juga telah membaca Das Kapital
karya Marx sejak ia remaja.
Polisi bertindak gegabah karena Mahkamah Konstitusi sebetulnya telah mencabut undangundang yang memberikan kewenangan terhadap kejaksaan dan kepolisian untuk menyita
buku sejak enam tahun lalu. Mahkamah mengabulkan permintaan pemohonpihak yang
langsung dirugikanmenghapus Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan
terhadap Barang-barang Cetakan. Mahkamah memutuskan, undang-undang itu melanggar
konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum lagi.
Di bawah kekuasaan Orde Baru, undang-undang ini menjadi alat kekuasaan untuk
memberangus buku dan pikiran yang dianggap berbahaya oleh pemerintah. Kini, ketika
Mahkamah Konstitusi telah menggugurkan aturan itu, polisi tetap berpikir dan bertindak
dengan standar lama. Polisi bermimpi produk hukum yang berasal dari masa kolonialisme
Belanda itu masih bergigi, sesuatu yang menyedihkan.

Pengamanan Polisi untuk Siapa?


SELASA, 04 OKTOBER 2016

Maharani Siti Shopia, Tenaga Ahli DPR RI

Masih ingat Salim Kancil? Aktivis dan petani Lumajang ini tewas akibat melawan
penambangan pasir liar di desanya, Selok Awar-Awar. Kasus ini diduga melibatkan oknum
polisi. Kasus yang mirip menimpa Nurdin, petani Bengkulu yang dibui karena dituduh
mencuri tandan sawit milik perusahaan perkebunan PT Agri Andalas. Kasus ini menambah
panjang deretan kriminalisasi terhadap rakyat kecil. Berdasarkan data Walhi Bengkulu, sejak
2010 ada 38 petani yang dikriminalisasi karena dituduh mencuri buah sawit milik
perusahaan.
Kisah Nurdin dan Salim merupakan representasi dari penderitaan rakyat yang kerap tidak
berdaya ketika berhadapan dengan perusahaan karena ada aparat penegak hukum di
belakangnya atas nama "pengamanan". Tapi Polri justru semakin melegalkan jaminan
keamanannya dengan adanya penandatangan kerja sama Jaminan Keamanan Berinvestasi
antara Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Polri pada 19 Agustus lalu. Model
kerja sama ini seolah mempertegas pola relasi kekuasaan yang semakin meminggirkan
kepentingan rakyat.
Upaya Polri membangun citranya tidak juga menurunkan predikat buruknya di mata
masyarakat. Menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pada 2015 kepolisian
menempati urutan pertama jumlah terbanyak pengaduan masyarakat, yakni 2.734 pengaduan.
Selain itu, berdasarkan data kasus penyiksaan sepanjang Mei 2015Mei 2016, Komnas HAM
menyebutkan kepolisian pun menempati urutan pertama pihak yang diadukan, yakni 120
pengaduan atas tindak kesewenang-wenangan dalam penghukuman, perlakuan kejam, tidak
manusiawi, serta pelanggaran hak atas rasa aman masyarakat.
Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan
sepanjang 2015 terjadi 238 peristiwa pembatasan kebebasan secara sewenang-wenang. Polisi
disebut sebagai "pelaku utama" dalam aksi tersebut dengan 85 peristiwa. Khusus untuk hak
atas tanah, Kontras mencatat ada sekitar 40 peristiwa pelanggaran hak atas tanah, yang turut
melibatkan unsur pelanggaran HAM, kekerasan aparat keamanan, dan minimnya ruang
pengakuan publik, khususnya petani, dalam menggunakan haknya.
Selain itu, Indonesia Police Watch (IPW) memaparkan telah terjadi 22 kasus perusakan
kantor polisi sepanjang 2015. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat emosi massa terhadap
polisi masih cukup tinggi. Massa mudah terprovokasi oleh segala hal yang berbau polisi.
Adanya kerja sama pengamanan investasi yang digagas BKPM dan disokong Polri ini jelas
akan melukai hati rakyat. Kerja sama ini justru akan memperburuk situasi ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan yang dilakukan Polri selama ini. Ke depan, diperkirakan agenda
meraup sejumlah investor akan menjadi proyek yang mendominasi pembangunan. Alih-alih
defisit dan target penerimaan negara tidak tercapai, negara seolah mencari alasan untuk
memprioritaskan kepentingan investor ketimbang persoalan hak-hak keadilan rakyat.
Agenda keadilan dan tuntutan-tuntutan masyarakat ini akan semakin ditekan dan kebebasan

akan semakin menjadi barang langka karena dianggap menyita waktu aparat penegak hukum
untuk melindungi investor. Suara tuntutan dikhawatirkan hanya akan dicap dengan fitnahfitnah anti-Pancasila dan anti-NKRI.
Kita tentu tidak ingin wajah polisi kian tercoreng. Masyarakat berharap polisi sebagai
penegak hukum kian bersih dan berwibawa. Selain itu, polisi diharapkan dapat berperilaku
dan berprestasi dalam menjamin keamanan rakyatnya. Tentu, upaya pembenahan Polri tak
cukup hanya pada sistem perekrutan yang kian transparan dan akuntabel. Agenda untuk
memperbaiki citra polisi yang semakin pro-rakyat dan profesional karena bebas KKN harus
terus dievaluasi dan ditingkatkan. Masyarakat tentu berharap kegagahan polisi tidak hanya
berhenti pada penanganan terorisme dan narkoba, tapi harus terus membenahi dirinya untuk
dapat zero tolerance terhadap KKN dan bebas kepentingan apa pun.
Berdasarkan data IPW, Sumatera bagian utara pada Juli 2016 tergolong rawan konflik sosial.
Setidaknya ada empat konflik sosial yang terjadi, yakni di Sijunjung, Sumatera Barat, pada
26 Juli; Tanjungbalai dan Tanah Karo di Sumatera Utara, pada 29 Juli; dan Aceh Pidi pada 30
Juli, yang warganya mengamuk memprotes pembangunan pabrik semen. Bahkan, selama
JanuariJuli 2016, di Sumatera Barat ada tujuh konflik sosial, yakni di Padang (isu
Ahmadiyah), Pesisir Selatan (isu sengketa batas wilayah), Solok Selatan (tenaga kerja asing),
Agam (konflik warga versus PT Mutiara Agam), Pasaman Barat (konflik lahan perkebunan
sawit dengan warga), Padang Pariaman (konflik warga dengan pengusaha galian C), dan
Sijunjung (konflik tapal batas).
Situasi rawan konflik masyarakat dan perusahaan selaku investor ini seharusnya membuka
mata polisi untuk kembali mencermati fenomena ketidakadilan yang kerap muncul. Kondisi
ketidakadilan politik, sosial, ekonomi, dan ketidakseimbangan pembangunan sering kali
menjadi penyebab munculnya konflik dalam masyarakat. Selain itu, perilaku kebanyakan
polisi yang arogan dan mengedepankan kekerasan dalam menangani konflik kian
menciptakan kebencian masyarakat terhadap institusi Polri.
Untuk itu, agenda pengamanan investasi tersebut harus ditinjau ulang. Rasanya mustahil jika
agenda pengamanan tersebut dapat lebih menjamin keamanan masyarakat ketimbang
investor. Kita tentu tidak ingin konflik sosial kembali terulang. Upaya perbaikan dan
reformasi Polri harus terus digulirkan, tapi sembari agenda reformasi ini berjalan, sebaiknya
Polri memoratorium agenda yang tak pro-rakyat.

Mediasi Sengketa Investasi


KAMIS, 06 OKTOBER 2016

Muhammad Iqbal Hasan, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Pelita Harapan

Indonesia saat ini sedang menghadapi beberapa gugatan investor asing, yaitu Churchill and
Planet Mining dan IMFA (India Metals and Ferro Alloys Limited). Gugatan yang didaftarkan
di Badan Penyelesaian Sengketa Investasi Internasional (ICSID) tersebut bernilai masingmasing US$ 1,3 miliar (sekitar Rp 16,9 triliun) dan US$ 581 juta (Rp 7,5 triliun). Nilai
gugatan sebesar itu sudah biasa dalam gugatan investor terhadap pemerintah pada forum
arbitrase internasional.
Investor asing lazimnya memang memilih forum arbitrase internasional untuk menggugat
negara. Pengadilan nasional negara tuan rumah bukan tempat favorit bagi mereka karena
masih adanya faktor keraguan terhadap imparsialitas pengadilan dan kompetensi hakim
dalam mengadili perkara.
Adapun forum arbitrase internasional, yang sering dianggap sebagai solusi, juga bukan tanpa
masalah. Profesi arbiter tidak terlepas dari konflik kepentingan. Selain itu, proses arbitrase
yang katanya lebih cepat daripada pengadilan tidak selalu tepat. Kita ingat dulu kasus Amco
yang memakan waktu kurang-lebih 12 tahun ketika ICSID sampai harus mengeluarkan
putusan hingga tiga kali.
Yang paling harus dipertimbangkan pada arbitrase internasional adalah faktor biaya. Survei
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukkan bahwa
biaya beracara di arbitrase internasional untuk satu kasus rata-rata mencapai Rp 100 miliar
dan bisa Rp 389 miliar pada beberapa kasus (OECD, 2012). Itu baru biaya beracara. Belum
biaya ganti rugi yang harus dikeluarkan kalau negara diputuskan bersalah.
Sebenarnya, hampir semua perjanjian investasi internasional sudah mengatur mekanisme
penyelesaian sengketa secara berjenjang. Ini dimulai dengan penyelesaian melalui
musyawarah. Jika gagal, dilanjutkan dengan penyelesaian melalui negosiasi, konsiliasi atau
mediasi, dan, jika masih gagal, baru diselesaikan melalui pengadilan atau arbitrase sesuai
dengan kesepakatan para pihak.
Dalam praktek yang sering terjadi, penyelesaian melalui mediasi dijalani dengan cara yang
tidak seharusnya atau bahkan dilewatkan sama sekali karena dianggap hanya membuang
waktu. Cara mediasi yang tidak benar tentu hampir pasti akan melahirkan kegagalan.
Kegagalan terjadi karena tidak pahamnya para pihak mengenai teknis dan prosedur serta
manfaat mediasi. Sedihnya lagi, mediatornya pun sama tidak pahamnya dengan para pihak.
Selain itu, kesalahpahaman sering terjadi ketika hasil perdamaian melalui mediasi dianggap
kurang memiliki kekuatan hukum. Padahal, kesepakatan perdamaian mediasi dapat dikuatkan
di pengadilan, sehingga memiliki kekuatan eksekutorial.

Mediasi memiliki disiplin ilmu dan pendekatan tersendiri yang unik. Mediasi menghendaki
mediator untuk memiliki keahlian khusus dan mindset yang berbeda dengan penegak hukum.
Tidak mengherankan jika mediator yang belum paham tata cara mediasi yang benar akan
bertindak seperti penegak hukum, yang kemudian membuat para pihak merasa membuangbuang waktu dan memutuskan segera ke pengadilan atau arbitrase.
Keahlian dalam mencari dan mendeteksi kesepahaman antara para pihak, merumuskan
masalah yang dapat disepakati para pihak, memandu jalannya negosiasi, hingga seni dalam
menghadapi kebuntuan negosiasi merupakan keahlian khusus yang dimiliki mediator.
Keahlian ini didapat melalui pendidikan khusus sertifikasi mediator. Tentu, selain pendidikan
khusus, kualitas mediator bergantung pada jam terbangnya.
Dalam sengketa investasi internasional, sebenarnya tidak ada negara atau investor yang
sampai ingin beracara di pengadilan, apalagi arbitrase internasional. Alasan utamanya adalah
faktor biaya tinggi, lamanya waktu penyelesaian, dan pada akhirnya nasib mereka ditentukan
sang pengadil. Namun, sekali lagi, karena belum tersosialisasinya mekanisme mediasi dengan
baik, para pihak sering menjadi terburu-buru untuk langsung menuju penyelesaian pada
pengadilan atau arbitrase.
Jika mediasi dijalankan dengan benar, hal itu akan menguntungkan semua pihak. Negara
akan menghemat anggaran dan tenaga, beban perkara di pengadilan akan berkurang, dan
investor dapat kembali berfokus menjalankan bisnisnya.
Untuk itu, penyelesaian sengketa melalui mediasi harus mulai disosialisasi dengan cara yang
benar. Adapun penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase tetap disediakan sebagai
jaminan kepastian hukum bagi investor asing, tapi sedemikian rupa diupayakan menjadi
solusi terakhir setelah mediasi gagal menemukan kesepakatan.

Menuju World Culture Forum


JUM'AT, 07 OKTOBER 2016

Agus Dermawan T., Konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden

World Culture Forum (WCF) II akan digelar di Bali Nusa Dua Convention Center pada 10-14
Oktober 2016 dengan tema "Culture for An Inclusive Sustainable Planet". Forum ini
mendaftar 1.800 tamu dari 65 negara yang terdiri atas tokoh budaya internasional, penerima
Hadiah Nobel, menteri dan direktur kebudayaan seluruh dunia, serta akademikus. Sebagai
penulis kebudayaan terundang (namun berhalangan datang), saya menjunjung WCF lewat
artikel ini sebagai bahan refleksi.
Sejumlah koran edisi 29 November 2013 memuat berita kekacauan dalam Festival Musik
Dunia di Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma, Sukawati, Bali, 27 November tahun itu.
Acara ini adalah perhelatan pamungkas WCF I, yang digelar pada 24-27 November 2013 di
Bali. Kekacauan acara disebabkan oleh padamnya listrik selama dua jam dan kurangnya
persediaan makanan, sehingga sebagian besar dari 500 delegasi kesenian dunia kelaparan.
Peristiwa itu "melengkapi" kekacauan beberapa hari sebelumnya dalam Festival Musik Etnik
Dunia di Denpasar Art Center. Hujan yang mengguyur tak diperhitungkan penyelenggara,
sehingga para tamu dan pemusik lari terbirit-birit untuk berteduh. Sebagian pemusik pun
batal tampil.
Sejak jauh hari, banyak orang yang khawatir akan munculnya kejadian seperti itu. Setidaknya
setelah pers mengamati kekacauan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Yogyakarta pada
Oktober 2013, yang dianggap sebagai "pemanasan" sebelum WCF I. Kontroversi pemilihan
sejumlah pembicara sampai kelambanan pengundangan (sehingga banyak kursi kosong)
adalah beberapa buktinya.
Masyarakat tahu benar bahwa kongres itu, termasuk WCF I, dicoba sebisanya dilaksanakan
sendiri oleh para pekerja institusi negara, seperti Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Acara ini tidak dikerjakan oleh event organizer
(EO), panitia profesional. Sebuah upaya elok yang patut diapresiasi. Namun, ketika upaya ini
tidak optimal dan terkesan cuma coba-coba, khalayak merasa dirugikan. Apalagi perhelatan
budaya ini selalu menelan biaya amat tinggi.
Sesungguhnya, pada masa sebelum 2000, atau era Orde Baru, pemerintah memang selalu
bekerja sendiri untuk menuntaskan berbagai kegiatannya. Apabila perhelatannya besar,
institusi terkait baru memanggil para ahli untuk memberikan pengarahan dan bobot
penyelenggaraan. Dalam pelaksanaan, tenaga-tenaga dari pemerintahlah yang bekerja.

Dengan sistem kerja seperti itu, penyelenggaraan kegiatan budaya (dan seni) dalam beragam
skala berlangsung lancar selama puluhan tahun. Dan para ahli yang diperbantukan, dengan
honorarium yang senantiasa disunat, anehnya selalu setia dengan semboyan: kerja untuk
negara dan bangsa.
Wajar bila ketidaksempurnaan WCF I memunculkan dugaan bahwa jajaran Direktorat orde
sekarang memang kurang mampu membikin acara sebesar itu. Musababnya, belasan tahun
sebelumnya, Direktorat terlalu kerap menggunakan jasa EO untuk menggelar acara akbar.
Tak bisa dimungkiri, penyerahan tanggung jawab kerja kepada EO menyebabkan kurangnya
kecakapan jajaran Direktorat dalam melahirkan peristiwa yang lancar dan bermutu.
Kita tahu bahwa EO adalah perencana dan pelaksana berbagai kegiatan. Peran EO amat
kompleks, dari soal penentuan waktu dan anggaran hingga publikasi serta keamanan.
Kompleksitas itu mendorong EO merekrut orang-orang yang ahli di setiap bidang terkait.
Keberadaan EO disambut baik oleh pemerintah. Penyambutan ini didorong beberapa faktor.
Pertama, kepraktisan, lantaran pemerintah akhirnya hanya menyediakan dana pelaksanaan.
Kedua, EO bisa menolong pemerintah dalam menyempurnakan dan merealisasi gagasan.
Ketiga, EO bisa menggantikan tenaga-tenaga pemerintah yang tidak (atau belum) mampu
bekerja optimal. Walhasil, pemerintah pun cuma memposisikan diri sebagai konseptor dan
fasilitator.
Dengan begitu, penggunaan jasa EO amat berpotensi menyusutkan spirit aparat pemerintah
untuk berpikir tajam, luas, dan jauh karena mereka menganggap dirinya hanya perlu
memberikan gagasan dasar untuk dikembangkan oleh EO. Kita sah-sah saja membayangkan,
jika sistem kerja semacam ini berlangsung lebih dari satu dekade, kemampuan berpikir dan
keterampilan aparat pemerintah akan tumpul.
Masyarakat tidak tahu apakah pelaksanaan WCF II pekan depan mendayagunakan EO atau
tidak. Apabila menggunakan EO, panitia ini harus sepenuh-penuhnya memikul tanggung
jawab yang dibebankan oleh pemerintah. Apabila tidak menggunakan EO, jajaran Direktorat
mesti bekerja keras menajamkan kemampuannya setelah berbilang tahun kemampuan itu
tumpul akibat penggunaan EO. Pengalaman tiga tahun silam layak menjadi bahan refleksi.
Kita boleh yakin, Direktorat di bawah pimpinan Hilmar Farid sanggup melaksanakan WCF II
dengan relatif sempurna. Mata dunia siap menyorotinya.

Pulang
Jum'at, 07 Oktober 2016

Ramai diperbincangkan surat terbuka Dr Marwah Daud Ibrahim yang diunggah di Facebook.
Diberi judul "Izinkan Saya Melanjutkan Perjalanan", dalam surat itu cendekiawan muslim ini
bertutur tentang tekadnya meneruskan perjalanan spiritual setelah Padepokan Dimas Kanjeng
Taat Pribadi menjadi heboh. Marwah adalah ketua yayasan padepokan itu.
Surat ini seolah menjawab permohonan "adindanya", politikus Akbar Faisal, yang meminta
Marwah "pulang". Marwah dan Akbar, yang berasal dari daerah yang sama, Sulawesi Selatan,
mengaku akrab sebagai junior dan senior. Permohonan "pulang" itu sudah diunggah Faisal di
akun Twitter-nya sebelum diulang saat keduanya bertemu di acara talk show televisi.
Meski tak dirinci arti "pulang", orang tahu Faisal Akbar ingin Marwah kembali ke habitatnya,
dunia intelektual. Marwah adalah aktivis yang malang-melintang sejak berkuliah di
Universitas Hasanuddin, Makassar. Puncak kariernya sebagai politikus adalah anggota DPR,
sedangkan di ranah agama dia adalah pengurus Majelis Ulama Indonesia.
Marwah menolak "pulang" dan justru menyiratkan "izinkan saya melanjutkan perjalanan".
Dia menyebut perjuangannya saat ini "jauh lebih tinggi dan mulia dari sekadar membela guru
besar padepokan, Y.M. Dimas Kanjeng Taat Pribadi". Dia melanjutkan: Terus terang, sebelum
dan sejak awal Reformasi sampai detik ini, saya merasa "diperjalankan" dan "dipertemukan"
oleh Allah SWT dengan orang "hebat" dan "berilmu" di banyak pulau Indonesia dan terutama
di Pulau Jawa yang punya kemampuan setara dengan Dimas Kanjeng.
Keyakinan Marwah harus dihormati. Bagaimana memaksa orang yang asyik berjalan disuruh
pulang? Apalagi "diperjalankan", yang berarti ada orang atau sesuatu yang memaksa dia
berjalan, dan lalu "dipertemukan" (dipaksa untuk bertemu) dengan orang hebat dan berilmu.
Dari awal, Marwah sudah menyebutkan dia dengan hati terbuka, bahagia, ikhlas, tulus, dan
sepenuh hati menerima dukungan atau pun hujatan sebagai rasa cinta dan sayang.
Coba baca lagi penggalan tulisan Marwah ini. "Pembelaan saya terhadap Mas Kanjeng adalah
pembelaan menyangkut sebuah proses pencarian, penemuan, dan atau peneguhan "ideologi"
untuk sebuah Peradaban Baru di abad ke-21." Kata "ideologi" ditulis dalam tanda petik,
semakin multitafsir, bahkan sulit ditebak apa maksudnya.
Yang jadi masalah: apakah Marwah harus "pulang" ataukah diizinkan terus "berjalan"? Lalu,
adakah yang dirugikan kalau dia terus "berjalan"? Ini akan menjadi perdebatan yang tak
pernah selesai sepanjang yang diperbincangkan adalah keyakinan. Dan jika keyakinan itu

dalam bungkus alam gaib, akan lebih runyam lagi kalau yang mendebat adalah orang yang
tak bersentuhan dengan alam gaib itu. Orang bilang "jaka sembung, tidak nyambung".
Tapi ada yang bisa digugat. Jika sebuah keyakinan, termasuk yang gaib, berdampak buruk
terhadap masyarakat, maka persoalannya adalah "urusan duniawi". Kalau Dimas Kanjeng
terbukti memerintahkan pembunuhan dan penipuan dengan dalih penggandaan uang, itu
adalah tindak pidana. Marwah sebagai ketua yayasan padepokan memang sangat layak untuk
diperiksa, sejauh mana dia tahu rencana pembunuhan itu. Juga cerita tentang uang dua koper
di emperan rumahnya, harus diusut kebenarannya. Kalau uang itu terkait dengan penipuan
Dimas Kanjeng, maka Marwah turut serta menikmati hasil penipuan. Dalam kasus inilah
Marwah layak untuk diminta "pulang" dan diperiksa atas nama hukum, karena ia di jalan
yang sesat.
Sayang, surat terbuka Marwah Daud Ibrahim tak menyinggung masalah yang menjurus
pidana dari tokoh yang ia sebut "hebat" seperti Dimas Kanjeng.

Bhima

Senin, 10 Oktober 2016

"Ia mencari air kehidupan, mungkin ia mencari kebenaran," kata dalang yang semalam
mengisahkan cerita Bhima yang menemui Dewa Ruci di tengah samudra. "Mungkin kesatria
itu tak tahu apa yang dicarinya dan yang akan diperolehnya," katanya lagi.

Saya terkesima. Semalam, di layar, saya menatap wujud kecil itu, Dewa Ruci, berkata kepada
kesatria itu agar masuk ke dalam dirinya melalui telinganya. Bhima mesti meyakini yang
mustahil sebagai yang mungkin. Dan ia menurut. Dan ia berhasil.
Ia menerobos lubang kuping itu dan menemukan dirinya berada di dalam ruang yang tak
terkira. Serat Dewa Ruci menggambarkannya sebagai "samodragung, tanpa tepi nglangut
lumaris/leyep adoh katingal"--samudra besar, tanpa tepi dan semua sayup tampak di
kejauhan. Dalam adegan yang sering mengutip risalah-risalah kebatinan Jawa, di sanalah
Bhima menyaksikan permainan empat warna: hitam, merah, kuning, putih. Warna-warna itu,
menurut Dewa Ruci, merupakan imaji dari energi apa yang ada dalam diri sendiri-durmaganing tyas, terutama yang negatif, kecuali yang putih.
Tampak benar fokus cerita ini adalah manusia dan kemampuannya mengendalikan diri dan
mencapai sesuatu. Ketika di bagian berikutnya ada paparan tentang persamaan "jagat besar"
dengan "jagat kecil", kita kembali bertemu dengan manusia sebagai penentu perspektif
tentang semesta. Bahwa kemudian dikatakan tubuh hanyalah perkakas yang dikuasai yang
memberi hidup, kang karya gesang, itu justru menunjukkan betapa yang kekal dekat sekali
dengan kefanaan insan.
Serat Dewa Ruci (yang saya baca teks yang digubah Mas Ngabehi Mangunwijaya dari
Wanagiri sebagai tafsir dari karya Sunan Bonang di abad ke-15) berasal dari sebuah masa
ketika manusia dianggap akan mampu mencapai kebenaran dengan puruhita, mencari dan
berguru lewat jalan yang rumit--dan bisa bertemu dengan yang dicari. Belum ada kekecewaan
ketika manusia, dengan kehendaknya untuk benar, ternyata melahirkan bencana.
Namun ada yang perlu ditambahkan di sini. Serat Dewa Ruci, meskipun meletakkan manusia
sebagai pengendali diri, tak bertolak dari norma yang sudah jadi. "Ajaran" dalam teks ini
bersifat pragmatis. Yang penting bukanlah kejelasan apa itu "kebenaran" atau kepastian yang
kita ketahui; yang penting bukanlah alasan yang logis, melainkan tindakan mengubah diri dan
efeknya bagi dunia; yang utama adalah aksi, laku. Tak ada hukum atau pun aturan moral yang
sudah dirumuskan.
Sejak awal, Bhima dikatakan mencari "air kehidupan". Dengan "air" (tirta atau toya) sebagai
perumpamaan, kita mendapat kesan betapa pentingnya apa yang dicari itu bagi hidup. Tapi
sekaligus betapa tak kedap; air transparan, mengalir, luwes, selalu merespons sebuah
lingkungan. Maka apabila yang dicari kesempurnaan--atau kebenaran yang membawa
kesempurnaan--yang diperoleh bukan sesuatu yang mandek dalam aturan atau standar.
Mungkin itu sebabnya "kearifan lokal" seperti ini--berbeda dengan agama-agama yang
berpegang kepada Kitab--tak menawarkan hukum. Filsafat, bagi teks ini, bukan metafisika,
melainkan "ethika": uraian dan penjelajahan keadaan yang memungkinkan terjadinya
tindakan dan kehidupan yang "baik". Tapi "ethika" di sini terbatas. Dalam Dewa Ruci tak ada
orang lain yang membuat semua itu berharga. Tak ada orang lain dengan siapa Bhima berbagi

dalam proses pencarian dan penemuannya. Kesatria Pandawa itu meninggalkan saudarasaudaranya. Ia sendirian.
Kesendirian itu lebih terasa ketika orang lain bisa berarti musuh yang tersembunyi. Bhima
pergi karena Durna, guru dan juga sekutu Kurawa, hendak menjerumuskannya, dan ia pulang
dari perjalanannya dengan kemampuan mengalahkan dirinya sendiri dan dunia. Selesai
meresapkan ajaran Dewa Ruci ia (merasa) lebih unggul, seakan-akan seantero jagat raya bisa
ia rengkuh sekaligus, sawengkon jagad raya/sagung kawengku.
Ada kecenderungan solipsisme yang kuat dalam Serat Dewa Ruci. Ada tendensi menganggap
hanya kesadaran sendiri yang ada dalam proses pencarian kebenaran. Orang lain, liyan, hadir
tanpa bekas. Mungkin karena naskah ini dilahirkan dalam ruang-ruang meditatif dan
lingkungan di mana percakapan adalah percakapan hierarkis, antara guru dan murid atau
orang yang berbeda tingkat keilmuan. Tak ada dialog.
Maka dalam kalimat-kalimat tembang yang setengah gelap, naskah Dewa Ruci sering
berakhir sebagai sesuatu yang esoterik: makin sedikit dipahami, makin mempesona. Hanya
seorang dalang yang piawai yang berkata: mungkin Bhima (dan kita semua) tak tahu apa
kebenaran yang dicari dan yang akan diperoleh.
Dan dalang tua itu tersenyum kecil dan kita ingat: tirta adalah sesuatu yang mengalir, tak
berhenti. Dengan itulah ada kearifan lain: sungguh berbahaya proses mencari kebenaran, tapi
lebih berbahaya lagi setelah yang dicari ditemukan.

Goenawan Mohamad

Amnesti Pajak, Kepercayaan, Rasa Aman

Senin, 10 Oktober 2016


Heru Narwanta, Bekerja di Direktorat Jenderal Pajak

Di sebuah negara, sekitar 366 ribu orang datang berduyun-duyun dan masing-masing
menyerahkan mobil baru seharga Rp 265 juta kepada negaranya. Itulah gambaran capaian
periode pertama program amnesti pajak di Indonesia tahun 2016. Hingga 30 September 2016,
jumlah uang tebusan amesti pajak mencapai Rp 97,2 triliun dari 366.768 wajib. Sebuah angka

yang besar. Bandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Indonesia, yang saat ini
masih berkisar Rp 44 juta per tahun.
Angka itu fenomenal, bukan hanya dari besarannya, tapi juga prosesnya. Masyarakat
menyetor uang ke negara bukan karena ada tagihan atau paksaan dari kantor pajak, melainkan
sukarela menurut hitungan masing-masing. Tulisan ini mencoba mengamati perilaku wajib
pajak dalam merespons program amnesti pajak.
Mengapa masyarakat antusias merespons program ini? Ada sederet jawaban atas pertanyaan
ini. Salah satunya: kepercayaan. Peran Presiden Joko Widodo dalam membangun
kepercayaan publik terhadap program amnesti pajak sangat sentral. Presiden turun langsung
bukan hanya pada saat pencanangan program, tetapi juga dalam sosialisasi di berbagai tempat
dan daerah bersama Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak. Keberadaan pimpinan
dari berbagai unsur--DPR, Kejaksaan Agung, Polri, KPK, PPATK, BI, OJK, dan para
menteri--dalam beberapa acara yang berkaitan dengan amnesti pajak bersama Presiden
memberi sinyal kepada masyarakat tentang dukungan semua pihak terhadap program ini.
Pada saat yang sama, negara juga menawarkan kepercayaan yang begitu besar kepada
masyarakat. Masyarakat diberi kebebasan untuk memilih: mengikuti amnesti pajak atau tidak.
Masyarakat dipercaya mengungkap harta apa, mana saja, dan menentukan berapa nilai
wajarnya secara sepihak. Direktorat Jenderal Pajak wajib menerima tanpa koreksi. Sekali
lagi: tanpa koreksi.
Apa yang kemudian terjadi? Alih-alih memanfaatkan kelonggaran ini secara negatif,
masyarakat justru menyambutnya dengan membayar tebusan dalam jumlah yang relatif besar.
Ini adalah pengalaman baru tentang perilaku wajib pajak yang selama ini jarang ditemui.
Selama ini mereka cenderung enggan membayar pajak. Kasus terbunuhnya pegawai pajak
oleh oknum wajib pajak beberapa waktu lalu adalah fakta betapa selama ini tidak mudah
meminta wajib pajak membayar pajak.
Kepercayaan timbal balik antara masyarakat dan pemerintah boleh jadi telah menumbuhkan
suasana nyaman dan rasa saling menghargai sehingga mendorong kesadaran masyarakat
dalam berpajak. Jaminan bahwa tidak akan ada pemeriksaan pajak untuk tahun 2015 dan
seterusnya ke belakang merupakan pertimbangan penting bagi masyarakat. Mereka rela
membayar tebusan dalam jumlah besar, asalkan ada jaminan bahwa urusan pajaknya di masa
lalu tidak lagi dipersoalkan. Masyarakat menginginkan kepastian. Masyarakat menginginkan
rasa aman. Lega. Uang tebusan adalah harga untuk memperoleh rasa aman dari permasalahan
perpajakan.
Masyarakat menyetor uang ke negara dan kemudian mendapatkan manfaat langsung. Suasana
itu tidak dirasakan oleh mereka ketika melaksanakan kewajiban perpajakan selama ini.
Kesuksesan program amnesti pajak periode pertama ini membuktikan apa yang selama ini
dinantikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam meningkatkan kinerja perpajakan: dukungan

nyata semua pihak. Selama tiga bulan ini nyata sekali dirasakan dukungan dari semua pihak,
pemerintah, atau pun swasta di seluruh Nusantara. Jika dukungan ini diteruskan, kinerja
perpajakan Indonesia ke depan akan semakin baik.
Perhatikan perilaku positif masyarakat. Mereka tetap membayar uang tebusan pada angka
relatif tinggi, padahal memiliki kesempatan untuk membayar lebih rendah. Ini sebaiknya
direspons Direktorat Jenderal Pajak dengan menata ulang persepsi formal petugas pajak
terhadap wajib pajak.
Pelajaran berharga yang dapat dipetik adalah masyarakat rela membayar pajak dalam jumlah
relatif besar asalkan mereka mendapat imbalan kepastian terbebas dari permasalahan
perpajakan. Harus disadari bahwa aspek penting inilah yang justru tidak ada dalam kegiatan
perpajakan selama ini.
Masyarakat yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) di suatu tahun baru
merasa "lega" setelah lima tahun kemudian ketika masa kedaluwarsa tiba. Selama rentang
lima tahun itu, dia dibayangi kekhawatiran dapat diperiksa oleh kantor pajak kapan saja. Di
samping risiko timbulnya Surat Ketetapan Pajak (SKP) Kurang Bayar, persoalan menyiapkan
data dan dokumen tiga-empat tahun sebelumnya untuk tim pemeriksa adalah beban dan
ketidaknyamanan bagi wajib pajak.
Jika dapat dirumuskan suatu mekanisme yang memungkinkan wajib pajak segera
mendapatkan kepastian (lega, terbebas dari permasalahan perpajakan) tidak lama setelah
masa pelaporan SPT, boleh jadi kepatuhan perpajakan masyarakat meningkat tajam. Hal ini
perlu pemikiran lebih lanjut. Pada SPT Tahunan 2016 nanti mungkin dapat dimulai dari wajib
pajak yang telah mengikuti amnesti pajak karena kewajiban pajak mereka tahun 2015 ke
belakang sudah dinyatakan clear.

Andai Soe Hok Gie Tak Mati Muda

Selasa, 11 Oktober 2016


Christianto Wibisono, Penulis Aksi Aksi Tritura: Sejarah Demonstrasi Mahasiswa 1966

"Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang
kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua."
(Catatan Seorang Demonstran)

Mulutmu harimaumu. Entah mengapa Soe Hok Gie mengutip kata-kata itu dan terjadi pada
dirinya sendiri, yang wafat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 pada 16 Desember
1969 di Gunung Semeru karena gas beracun. Saya akrab dengan dia meski berbeda kampus.
Dia di Rawamangun sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI. Saya mahasiswa
Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI di kampus
Salemba.
Sebenarnya, pergolakan politik sejak 1 Oktober 1965 lebih banyak berlangsung di Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Wujudnya berupa pembunuhan massal terhadap massa PKI
oleh militer dan partai politik yang mengalami tekanan atas aksi sepihak PKI dalam reformasi
agraria pada 1963-1965.
Grafik eksistensi PKI memang ajaib karena dalam pemilu 1955, atau hanya tujuh tahun
setelah pemberontakan Madiun, PKI menjadi empat besar pemenang pemilu di bawah PNI,
Masyumi, dan NU. Adapun PSI mengkeret menjadi partai gurem, hanya punya lima kursi di
DPR.
Ekonomi Indonesia kemudian merosot karena nasionalisasi perusahaan Belanda, terutama
Koninklijke Paketvaart Maatschappij, tanpa kemampuan melanjutkan jasa Regular Liner
Service, yang mengakibatkan biaya logistik di Nusantara termahal di dunia. Ongkos angkut
jeruk Pontianak ke Jakarta lebih mahal daripada jeruk Mandarin Shanghai ke Tanjung Priok.
Pada 25 Agustus 1959, Menteri Keuangan Djuanda dan Menteri Muda Keuangan
Notohamiprojo melakukan sanering kedua dalam sejarah RI setelah kebijakan serupa pada
1950 oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara. Djuanda menghapus nol dari
pecahan Rp 1.000 dan Rp 500 sehingga nilainya menjadi Rp 100 dan Rp 50.
Situasi perekonomian Indonesia terus memburuk. Menteri Keuangan Sumarno dan Gubernur
Bank Sentral Jusuf Muda Dalam pada 13 Desember 1965 menukar uang Rp 1.000 lama
dengan uang Rp 1 baru. Hal ini memicu inflasi 650 persen dan harga melambung sehingga
mahasiswa bergerak sejak 10 Januari 1966 hingga terbitnya Supersemar pada 11 Maret 1966.
Sehari setelah menerima Supersemar, Soeharto membubarkan PKI dan menahan 15 menteri
kabinet, termasuk dua wakil perdana menteri Subandrio dan Chairul Saleh serta Gubernur BI
Jusuf Muda Dalam. Pada Juni 1966, Sidang Umum V MPRS meralat Ketetapan MPRS 1963
yang mengangkat Sukarno sebagai presiden seumur hidup dan mengukuhkan Supersemar
menjadi Ketetapan MPRS yang tidak bisa dicabut lagi oleh Presiden Sukarno. MPRS juga
menugaskan Soeharto membentuk Kabinet Ampera sebagai Ketua Presidium 25 Juli 1966.
Pada 17 Agustus 1966, Presiden Sukarno masih berpidato di depan massa di lapangan Monas
yang berjudul "Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah", yang disingkat Jasmerah. Itulah
pidato terakhir Bung Karno. Sebab, pada Maret 1967, Sidang Istimewa MPRS mencabut
mandatnya dan menetapkan Soeharto sebagai pejabat presiden. Pada 1968, Soeharto

menyelenggarakan Sidang Umum MPRS yang mengukuhkan dirinya sebagai presiden untuk
melaksanakan Pemilihan Umum 1971. Soeharto nyaris mengulangi cara Sukarno sebagai
presiden seumur hidup lantaran terus ditetapkan MPR sebagai presiden sampai tujuh kali.
Semua ini pasti tidak terbayangkan oleh Soe Hok Gie, yang mati muda pada 1969. Andai
masih hidup, Soe Hok Gie punya kemampuan untuk menjadi elite di pemerintahan, termasuk
menteri kabinet. Tapi ia menolak jalur formal anggota DPR dan justru mengirim lipstik
kepada presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), motor demonstrasi yang
menjatuhkan Sukarno. Presidium KAMI itu diangkat menjadi anggota DPR Gotong Royong
untuk mengukuhkan Soeharto sebagai presiden.
Kakak Soe Hok Gie, Arief Budiman, mengkompensasi kematian adiknya dengan berperan
aktif dalam Komite Anti Korupsi 1970 bersama Akbar Tanjung. Arief sebetulnya merasa
lebih pas menjadi budayawan dan bukan aktivis sibuk seperti Soe Hok Gie.
Gaya Soe Hok Gie yang tidak konvensional memang sikap sosial demokrat tulen mengikuti
pola lawan politik yang gentleman, kesatria, dan sportif seperti pandangan Voltaire dan
Rousseau, yang berbeda pendapat pandangan tapi tidak perlu bermusuhan secara fisik. Gie
memang membenci PKI, tapi ia berada di garis terdepan saat terjadi pembantaian anggota
PKI yang dibunuh dan ditahan sewenang-wenang.
Pesan substansial yang harus kita camkan adalah biarlah suksesi melalui kuasa rakyat
berdarah seperti 1966 dan 1998 tidak terulang lagi di masa depan Republik yang sudah
berusia 71 tahun ini. Biarlah pemilihan umum yang adil dan jujur menjadi penentu siapa yang
patut berkuasa dan bukan intrik politik keji model 1966 atau 1998.

Pembusukan dari Dalam KPK

Kamis, 13 Oktober 2016


Adnan Topan Husodo, Koordinator ICW

Mendekati satu tahun usia pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2015-2019,
beberapa isu tak sedap mulai menyeruak. Tak dapat dimungkiri, lembaga ini dari awal selalu
menghadapi tantangan yang berat, khususnya ketika mengemban tugas dan fungsi penegakan
hukum. Kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK telah menyeret aktor-aktor penting, baik
dari lembaga yudikatif, eksekutif, maupun legislatif; dari elite partai politik hingga
pengusaha.

Serangan balik terhadap KPK datang bertubi-tubi. Strateginya pun kian canggih, dari
kriminalisasi terhadap pimpinan dan staf KPK, pelemahan regulasi KPK melalui percobaan
amendemen, judicial review (JR) Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi,
pembatasan usia KPK, pengucilan dari pergaulan antarlembaga negara, hingga, yang terbaru,
indikasi menyelundupkan orang-orang tertentu untuk menjalankan misi pembusukan dari
dalam. Untuk upaya-upaya yang telah dilakukan, hampir semuanya mentah kembali karena
perlawanan publik cukup efektif.
Untuk indikasi pembusukan dari dalam, masyarakat tentu kesulitan mendeteksi dan
merancang strategi perlawanannya karena proses dilakukan melalui mekanisme yang legal
dan prosedural serta berada dalam lingkup internal KPK sendiri. Pembusukan itu bisa dimulai
dari penempatan pimpinan KPK yang tidak sejalan dengan semangat dan budaya institusi ini.
Akibatnya, keputusan yang diambil oleh pimpinan KPK lebih menguntungkan pihak tertentu
yang tengah berurusan dengan lembaga itu daripada mencerminkan profesionalitas dan
independensi KPK.
Gejalanya bisa dilihat dalam penanganan kasus reklamasi. Masyarakat tentu sudah mafhum
bahwa kasus reklamasi merupakan kasus besar (grand corruption). Bahkan, melalui
pemimpinnya, Saut Situmorang dan Laode Syarief, KPK pada awalnya sudah menyimpulkan
bahwa suap reklamasi yang melibatkan PT Agung Podomoro Land adalah grand corruption.
Apalagi muncul nama Aguan, pemilik holding perusahaan properti raksasa itu.
Tapi, lambat-laun, label grand corruption menjadi tak lagi bermakna karena sepanjang proses
persidangan terhadap Sanusi, anggota DPRD DKI yang menerima suap, serta Ariesman
Widjaya, Direktur Utama PT Agung Podomoro Land, yang memberi suap, tak banyak yang
bisa diungkap oleh KPK untuk menunjukkan sisi kakap dari kasus itu. Basaria Pandjaitan,
pemimpin KPK lainnya, bahkan "menutup" investigasi kasus suap reklamasi itu dengan
menyatakan bahwa status pencegahan ke luar negeri terhadap Aguan telah dicabut KPK.
Sinyal bahwa pimpinan KPK terbelah dalam menyimpulkan posisi Aguan dalam pusaran
kasus reklamasi ini kian kuat karena beredar rumor keputusan untuk mencabut status
pencegahan itu tidak diambil melalui suara bulat, melainkan voting. Kekhawatiran bahwa
pimpinan KPK tidak memiliki satu visi yang sama dalam memberantas korupsi, terutama
dalam penanganan kasus-kasus sensitif dan kakap, mungkin dalam waktu dekat akan menjadi
kenyataan. Jika perbedaan pandangan itu disebabkan oleh persepsi terhadap alat bukti, tentu
hal itu bisa dipahami. Tapi, jika perbedaan itu lebih diakibatkan posisi "politik" dalam
melihat sosok yang dianggap terlibat, pimpinan KPK dapat dianggap telah menggadaikan
profesionalismenya untuk kepentingan pihak tertentu.
Isu lain yang tak kalah santer adalah penempatan orang-orang tertentu yang loyal dengan
kepentingan pihak lain di luar KPK di posisi strategis yang berkaitan langsung dengan fungsi
penegakan hukum. Upaya itu mulai dilakukan sejak KPK ditangani oleh caretaker karena dua
pemimpin KPK definitif berstatus tersangka dalam epik "Cicak vs Buaya" jilid IV.

Kecenderungan untuk menempatkan pejabat struktural berlatar belakang polisi dalam posisi
strategis di KPK semakin kencang. Sekurang-kurangnya sudah ada tiga pos penting di KPK
yang dipegang pejabat dari kepolisian, yakni Direktur Penyidikan, Deputi Penindakan, dan
Kepala Biro Hukum KPK. Satu posisi kunci yang tengah diperebutkan adalah Direktur
Monitor KPK. Calon dari kepolisian juga memiliki kans besar untuk mendudukinya. Nilai
strategis dari posisi terakhir itu adalah karena kerja-kerja penyadapan KPK berada dalam
kendali direktorat ini.
Jika pada akhirnya posisi strategis, khususnya pada kerja-kerja penindakan KPK, diisi oleh
pihak yang memiliki loyalitas ganda, lantas apakah makna independensi KPK masih relevan?
Persoalan loyalitas dan status independen KPK ini menjadi penting untuk didudukkan
kembali karena kerja penindakan KPK pasti akan bersinggungan dengan lembaga pemerintah
lain dan para pejabatnya. Jika pada akhirnya kendali penegakan hukum KPK jatuh pada
orang-orang yang memiliki keraguan dalam bersikapkarena faktor pangkat, kedekatan, dan
yang melekat di dalam diri mereka adalah jiwa lembaga lainkerja-kerja penegakan hukum
KPK akan dilakukan dengan tebang pilih.
Perlu disadari bahwa usia KPK telah menginjak 12 tahun. Ini merupakan usia lembaga antikorupsi independen tertua sepanjang sejarah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di
Indonesia. Berbeda dengan lembaga sejenis pada periode sebelumnya, KPK mampu bertahan
karena dukungan publik yang kuat. Tapi dukungan itu tidak akan bisa membuat KPK tetap
konsisten dan profesional dalam menangani kejahatan korupsi apabila serangan dari dalam
berupa upaya pembusukan KPK tidak diantisipasi sejak dini. Kita tentu tidak berharap KPK
tetap ada, tapi kehilangan rohnya sebagai komisi independen anti-korupsi yang mumpuni dan
berkelas, seperti diakui negara lain selama ini.
Aleppo dan Kontestasi Iran-Arab

Jum'at, 14 Oktober 2016


Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Dalam beberapa waktu terakhir, rezim Suriah dan Rusia melancarkan serangan udara gencar
terhadap kelompok oposisi di Aleppo timur. Di darat, pasukan rezim Suriah juga
mengandalkan bantuan pasukan khusus Iran, milisi Syiah Irak, milisi Syiah Afganistan, dan
milisi Hizbullah-Libanon. Keterlibatan tiga milisi Syiah itu tak lepas dari pengaruh dan
dorongan Iran. Sementara itu, puluhan milisi oposisi, kecuali Jabhat Fath al-Syam (dulu
bernama Jabhat al-Nusra, Al-Qaidah cabang Suriah), dibantu Amerika Serikat, Turki, dan
khususnya negara-negara Arab Teluk.
Kendati sama-sama membantu rezim Suriah, Rusia dan Iran punya sasaran berbeda. Rusia

ingin menyelamatkan pangkalan militernya di Tartus, Suriah, satu-satunya pangkalan


militernya di Timur Tengah. Presiden Suriah Bashar al-Assad adalah kawan lama Rusia dan
importir senjata terbesar negara itu. Di samping itu, melalui Suriah-lah Rusia dapat
mengimbangi AS di Timur Tengah.
Iran ingin mempertahankan rezim Suriah, sekutunya, karena faktor-faktor berikut ini.
Pertama, Suriah adalah pintu masuk Iran ke Libanon. Bantuan senjata Iran ke Hizbullah,
musuh besar Israel, di Libanon selama ini melalui Suriah. Kedua, Iran, yang tidak mengakui
eksistensi Israel, menjadikan Suriah bersama Libanon sebagai garda depan dalam
menghadapi negara Yahudi itu. Dengan menguasai Suriah, Iran memiliki keunggulan
geopolitik dan geostrategi vis a vis Arab. Karena alasan inilah, Arab, khususnya negaranegara Teluk, memberikan bantuan militer dan keuangan yang besar kepada kelompok
oposisi Suriah.
Di Aleppo timur, kelompok oposisi terbesar adalah Jabhat al-Haleb. Turki membantu
kelompok oposisi karena rezim Assad dari dulu membantu Partai Pekerja Kurdistan (PKK),
kelompok separatis Turki yang sejak 1984 angkat senjata melawan Ankara. Karena itu, Turki
menyediakan diri sebagai negara transit bagi senjata yang dipasok negara-negara Arab untuk
kelompok oposisi. AS pun diberi izin menggunakan pangkalan udara Incirlik, Turki selatan,
untuk menyerang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan memasok senjata ke kelompok
oposisi.
Perang Aleppo yang sedang berlangsung sekarang cukup menentukan bagi kelangsungan
hidup rezim Assad. Di Aleppo timur terdapat Jabhat Fath al-Syam dan Fath al-Haleb dengan
lebih dari seratus ribu anggota pasukan asing yang gigih melawan serangan udara rezim
Assad dan Rusia. Bila rezim Assad dan Rusia berhasil memenangi pertempuran di Aleppo
timur, hal ini akan meningkatkan bargaining power rezim Assad vis a vis kelompok oposisi
di meja perundingan damai di Jenewa kelak.
Rezim Assad bisa memaksakan syarat-syarat perdamaian. Salah satu yang menjadi kunci dari
semua persoalan Suriah saat ini adalah posisi Assad. Pihak oposisi, dibantu AS, Turki, dan
negara-negara Arab, menuntut Presiden Bashar al-Assad tidak lagi berperang dalam
pemerintahan Suriah mendatang. Bila Aleppo timur jatuh ke tangan rezim Suriah, tuntutan
kelompok oposisi itu akan kehilangan bobotnya. Tak mengherankan, perang hidup-mati
sedang berlangsung di Aleppo timur saat ini.
Sebenarnya AS tidak terlalu berkepentingan di Suriah karena tidak terkait langsung dengan
kepentingan nasional negara adidaya itu. Keterlibatan Washington di Suriah lebih diarahkan
untuk menaklukkan ISIS. Turki juga sudah lebih siap menerima kelangsungan hidup rezim
Assad, mengingat Unit Perlindungan Rakyat (YPG), milisi Kurdi Suriah, telah
memproklamasikan berdirinya wilayah federal di Suriah timur laut, yang akan semakin
mendorong separatisme PKK.
Maka, kerja sama Turki dengan rezim Assad diperlukan untuk membungkam YPG. Yang

menjadi persoalan adalah sikap ngotot-ngototan Iran mempertahankan Assad di tampuk


kekuasaan dan Arab yang menghendaki Assad lengser, yang dengan demikian akan
menghilangkan pengaruh Iran di Suriah dan melemahkan Hizbullah di Libanon.
Menyedihkan, kontestasi Iran dan Arab yang berbau sektarian itu mengorbankan jutaan
rakyat Suriah.

Hilang
SABTU, 15 OKTOBER 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

"TELAH hilang sebuah dokumen penting dan siapa yang menemukannya harap
mengembalikan". Jika pengumuman tersebut tertempel di kantor kelurahan, itu hal yang
biasa. Tapi, kalau dokumen tadi adalah hasil investigasi tim pencari fakta (TPF) kematian
Munir Said Thalib, itu hal yang luar biasa. Luar biasa aneh dan luar biasa ajaib. Juga luar
biasa ceroboh.
Ketika Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan agar hasil investigasi TPF kasus Munir
diumumkan, memenuhi tuntutan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras), ternyata dokumen itu raib. Sekretariat Negara tak merasa menyimpannya.
Sekretariat Kabinet pun tak tahu. Sejumlah orang kaget.
Munir meninggal akibat racun dalam penerbangan ke Belanda pada 7 September 2004. Pada
23 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim pencari fakta. Tim

ini menyerahkan hasilnya pada 24 Juni 2005 langsung kepada Presiden Yudhoyono,
didampingi Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Kabinet Sudi
Silalahi. Ke mana dokumen itu setelah diterima presiden? Logika orang waras tentu dari
presiden diberikan ke ajudannya. Presiden tak boleh pegang-pegang barang terlalu lama.
Apakah ajudan presiden menggeletakkan begitu saja dokumen penting itu entah di mana, lalu
lupa mengambilnya? Tak masuk akal. Pasti ada prosedur baku bagaimana sebuah dokumen
negara disimpan.
Dokumen penting yang hilang bukan hanya di era Presiden Yudhoyono. Di era Soeharto juga
ada yang hilang, justru ini teramat penting karena menyangkut sejarah bangsa, yakni Surat
Perintah 11 Maret yang diberikan Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto. Surat yang asli
hilang, sehingga sejarah tak bisa dengan terang menyebutkan apa sesungguhnya isi surat
perintah yang biasa disingkat Supersemar itu.
Di gedung Arsip Nasional saat ini tersimpan tiga versi Supersemar yang ketiganya tidak
otentik. Satu dari Sekretariat Negara, satu dari Pusat Penerangan TNI AD, dan satu lagi
diserahkan oleh seorang ulama dari Jawa Timur. Bagaimana bisa menyusun sejarah
perjalanan bangsa yang benar kalau tak ditemukan Supersemar yang asli? Apa benar Sukarno
menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto atau hanya sekadar meminta Soeharto
mengamankan situasi? Orang hanya bisa menebak tergantung "ke mana angin bertiup".
Hilangnya Supersemar yang asli juga menimbulkan tebak-tebakan siapa yang berperan
menghilangkan dan apa motifnya. Sekarang orang cenderung menebak bahwa itu pastilah
ulah Soeharto sendiri untuk legalitas kepemimpinannya yang akhirnya berhasil "merebut
kekuasaan". Tapi jangan katakan hal itu pada saat Soeharto berkuasa di era Orde Baru, Anda
bisa masuk bui. Pertanyaannya, apa tebakan Soeharto memelintir Supersemar pasti benar?
Tidak ada jaminan karena tak ada bukti lantaran Supersemar yang asli hilang.
Lalu, apakah ada motif tertentu dari Presiden Yudhoyono untuk menghilangkan dokumen
TPF Munir? Siapa tahu ada yang "menebak" SBY ingin menyelamatkan koleganya atau
mungkin pula menyelamatkan sebuah institusi. Memang betul mengumumkan hasil TPF
Munir ke publik perlu. Tapi rasanya itu tidak sulit. Pasti bekas anggota tim masih menyimpan
salinannya, meski akan ditanyakan legalitasnya kalau prosesnya menjadi kasus hukum yang
baru. Namun, yang juga sangat penting, siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya
dokumen ini dan melacak apa ada motif tertentu di balik hilangnya? SBY dan orang-orang
dekatnya ketika di Istana wajib ditanya. Tentu mustahil kalau administrasi Istana lebih buruk
daripada administrasi kantor lurah.
HALAMAN INI

Seperti Santos, Jokowi pun Bisa


SELASA, 18 OKTOBER 2016

Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua

Pemerintah Kolombia di bawah kepemimpinan Presiden Juan Manuel Santos berhasil


mengakhiri konflik pemerintah Kolombia versus Angkatan Bersenjata Revolusioner
Kolombia (Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia/FARC). Konflik yang
berlangsung selama lima dekade ini telah menyebabkan 220 ribu orang tewas, 45 ribu hilang,

dan 6,8 juta orang kehilangan tempat tinggal. Konflik yang dimulai sejak 1964 ini diakhiri
dengan penandatangan pakta damai oleh Presiden Santos dan Komandan FARC Timoleon
Jimenez, yang populer dipanggil Timochencho, pada 26 September 2016 di Havana, Kuba.
Presiden Santos memilih negosiasi sebagai cara untuk mengakhiri konflik dengan FARC.
Ketika terpilih sebagai Presiden Kolombia pada 2010, dia berinisiatif untuk menjalin
perundingan rahasia dengan para pemimpin FARC. Pada 2012, pemerintah dan FARC
memulai secara formal perundingan damai. Dalam periode pertama Santos sebagai presiden,
upaya negosiasinya belum membuahkan hasil.
Setelah terpilih sebagai presiden untuk periode kedua pada 2014, Santos melanjutkan
negosiasi hingga berhasil mencapai kesepakatan damai pada tahun ini. Dibutuhkan enam
tahun untuk mencapai kesepakatan bersama yang tertuang dalam pakta perdamaian sebanyak
298 halaman. Tiga perundingan sebelumnya berakhir dengan kegagalan.
Mengambil pelajaran dari peristiwa penandatangan pakta perdamaian antara pemerintah
Kolombia dan FARC, kita yakin bahwa, jika di negara itu konflik selama 52 tahun bisa
diselesaikan melalui negosiasi, konflik Papua yang berumur 53 tahun pun dapat diakhiri
dengan cara serupa. Presiden Joko Widodo bisa mengakhiri konflik Papua melalui negosiasi
dengan Gerakan Perlawanan Papua yang direpresentasikan oleh Persatuan Gerakan
Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP).
Jokowi mempunyai dasar yang kuat untuk memulai proses negosiasi dengan ULMWP.
Pertama, besarnya perhatian Presiden terhadap Papua yang diakui semua pihak. Hal ini
tecermin dalam komitmennya untuk mengunjungi Papua tiga kali per tahun serta upaya
mempercepat pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Rakyat Papua juga tahu bahwa Presiden Jokowi ingin mengakhiri konflik Papua.
Kedua, besarnya dukungan dari rakyat Indonesia. Presiden Jokowi dipilih langsung secara
demokratis oleh rakyat. Inilah modal dan kekuatan utama bagi Presiden Jokowi tanpa perlu
takut digulingkan hanya karena berinisiatif melakukan negosiasi dengan ULMWP. Rakyat
akan melindungi dan membela presiden pilihan mereka. Jika ada yang ingin mengguncang
kepemimpinan Presiden Jokowi karena tidak menyetujui upaya penyelesaian konflik Papua
melalui negosiasi, mereka akan berhadapan dengan kekuatan dari rakyat Indonesia dari
Sabang hingga Merauke.
Ketiga, besarnya dukungan legislatif. Pemerintahan Jokowi didukung oleh mayoritas anggota
DPR RI. Tujuh partai politik telah bersatu dalam koalisi partai pendukung pemerintah, yakni
PDIP, NasDem, PKB, Hanura, PPP, Golkar, dan PAN. Dengan dukungan dari tujuh partai itu,
DPR akan memberikan dukungan penuh terhadap upaya negosiasi ini.
Keempat, kuatnya dukungan dari Papua. Rakyat Papua sudah lama mendambakan
penyelesaian konflik secara damai. Maka, inisiatif Presiden Jokowi untuk bernegosiasi
dengan ULMWP akan didukung penuh oleh berbagai pihak di Papua, seperti pemerintah

daerah, parlemen Papua dan Papua Barat, Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua
Barat, tokoh agama, tokoh adat, akademikus, perempuan, serta pemuda.
Kelima, tidak mempunyai beban masa lalu. Presiden Jokowi tidak mempunyai beban dengan
kebijakan yang diambil oleh pemerintah sebelumnya, seperti pendekatan keamanan dan
berbagai bentuk pelanggaran HAM di tanah Papua. Hal ini memudahkan dia untuk memulai
proses negosiasi dan memungkinkan pihak Papua, termasuk ULMWP, menyambut gagasan
negosiasi yang ditawarkan pemerintah.
Atas dasar lima faktor di atas, Presiden Jokowi bisa menyelesaikan konflik Papua melalui
proses negosiasi dengan ULMWP. Maka, langkah pertama yang perlu diambil oleh Presiden
adalah mengangkat seorang pejabat yang bertugas secara khusus menangani penyelesaian
konflik Papua, termasuk urusan negosiasi. Presiden dapat mengikuti perkembangan proses
negosiasi melalui pejabat ini.
Mesti dipastikan bahwa pejabat tersebut mempunyai pemahaman yang benar dan menyeluruh
atas konflik Papua, bukan orang yang mengetahui konflik Papua secara parsial. Proses
negosiasi antara pemerintah dan ULMWP tidak harus berlangsung selama enam tahun seperti
di Kolombia. Kita berharap justru dapat berakhir lebih cepat.
Apabila proses negosiasi berhasil mengantar pemerintah dan ULMWP mencapai kesepakatan
dan menandatangani pakta damai, nama Presiden Jokowi akan terukir dengan tinta emas
dalam lembaran sejarah Indonesia. Masyarakat Indonesia akan mengingat Jokowi sebagai
presiden yang mampu mengakhiri perlawanan gerakan separatis selama 53 tahun.
Bukan hanya masyarakat Indonesia, dunia pun akan mengakui upayanya dalam mengakhiri
konflik Papua melalui negosiasi. Maka, bukan sesuatu yang luar biasa dan tidak perlu heran
apabila upaya negosiasi ini nantinya mengantar Jokowi sebagai pemenang Hadiah Nobel
Perdamaian.

Kebijakan Harga Gas Berbasis Nawacita


RABU, 19 OKTOBER 2016

Ryad Chairil, Forum Energizing Indonesia Universitas Indonesia

Harga gas di Indonesia cukup mahal. Saat ini rata-rata harga gas pada wellhead (titik
penyerahan setelah sumur minyak dan gas) berkisar US$ 6-8 per juta British thermal units
(MMBTU), bergantung pada jenis lapangannya. Inilah yang ditengarai sebagai penyebab
mahalnya harga produk industri. Menteri Perindustrian menyatakan seharusnya harga gas

industri bisa turun menjadi US$ 5 per MMBTU. Akhirnya, dalam rapat kabinet terbatas pada
4 Oktober 2016, Presiden Jokowi meminta agar harga gas industri turun menjadi US$ 6 per
MMBTU dalam waktu dua bulan.
Apakah keinginan Presiden untuk menurunkan harga gas ini realistis? Artikel ini hendak
melihat kondisi industri gas domestik saat ini serta mengusulkan bagaimana mengelola
kebijakan tata niaga gas dalam jangka pendek dan panjang agar harga gas terjangkau oleh
masyarakat sesuai dengan tujuan program Nawacita pemerintah.
Pasokan gas nasional didapatkan dari dalam negeri dan impor. Dari dalam negeri, umumnya
diperoleh dari produksi kontrak bagi hasil (KBH) migas. Biaya produksi gas lapangan sampai
di wellhead akan mempengaruhi harga gasnya. Ditambah biaya pengolahan, penyimpanan,
dan pengangkutan, didapatkan harga gas industri. Harga gas juga dipengaruhi oleh fluktuasi
harga minyak mentah (HMM) global dan indeks harga gas di luar negeri. Jika HMM naik,
harga gas akan ikut naik.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Migas, semua sumber daya gas adalah milik negara
sampai di wellhead. Pemerintah menetapkan harga gas industri berdasarkan biaya produksi
hulu dan hilirnya.
Teorinya, pemerintah juga berhak memasarkan produk gas dengan harga yang
menguntungkan bagi negara. Tapi, faktanya, pemerintah tidak dapat menetapkan harga gas
secara mandiri, melainkan dipengaruhi asumsi biaya produksi usulan kontraktor. Asumsi ini
belum tentu mencerminkan biaya yang sesungguhnya karena kontraktor tidak pernah mau
membuka biaya produksi. Kontraktor cenderung menaikkan biaya produksi untuk
mendapatkan ganti rugi melalui mekanisme cost recovery (CR). Inilah salah faktor penyebab
harga gas yang tinggi.
Dengan mempertimbangkan hal di atas, pemerintah sebenarnya dapat menetapkan beberapa
strategi kebijakan untuk mendapatkan harga gas di tataran US$ 6 per MMBTU. Pertama,
pemerintah langsung menetapkan harga gas di wellhead dari produksi lapangan tua sebesar
US$ 4 per MMBTU. Biaya lapangan tua umumnya rendah karena seluruh biaya investasi
sudah diganti melalui CR.
Kedua, menurunkan bagian pemerintah pada KBH, seperti porsi bagi hasil (split), jatah migas
bagian negara (first trench petroleum), atau bagian pajak-pajak lainnya. Tujuannya untuk
menurunkan biaya produksi dan mendapatkan harga gas yang wajar. Namun skenario ini
harus dilakukan dengan cermat, karena setiap penurunan pendapatan negara dapat ditafsirkan
sebagai bentuk kerugian negara (tipikor). Disarankan kebijakan ini ditetapkan melalui
keputusan/peraturan presiden.
Ketiga, menyiapkan kebijakan subsidi pada harga gas. Subsidi seperti ini juga dilakukan oleh
pemerintah Malaysia dan Singapura. Keempat, menetapkan kebijakan impor gas yang saat ini
lebih murah untuk memancing harga gas domestik supaya turun.

Dalam jangka panjang, pemerintah wajib menetapkan kebijakan harga gas berdasarkan
kemandirian bangsa. Beberapa strategi bisa dilakukan. Pertama, membuat Indeks Harga Gas
Nasional (IHGN) agar pemerintah dapat menetapkan harga gas industri secara mandiri. Ini
bisa dilakukan dalam dua tahap.
Kedua, melaksanakan pemisahan kegiatan usaha hulu dan hilir secara konsekuen
(unbundling). UU Migas secara tegas menetapkan bahwa kegiatan usaha hulu dan hilir harus
terpisah. Prakteknya, kedua kegiatan ini bercampur. Misalnya, SKK Migas yang bertugas
mengawasi kegiatan hulu masih terlibat dalam merekomendasikan harga gas industri, yang
seharusnya menjadi kewenangan BPH Migas. Bercampurnya kegiatan usaha ini menjadi
sebab tingginya harga gas.
Ketiga, melakukan pengaturan open access pada fasilitas publik. Jaringan pipa gas utama dan
infrastrukturnya adalah fasilitas publik yang harus dikuasai dan diatur pemerintah. Selama
ini, pembangunan dan penggunaan jaringan terbuka untuk swasta, termasuk trader, sehingga
harga gas ditentukan oleh pelaku usaha yang mempunyai jaringan pipa gas berdasarkan
asumsi biaya operasinya. Jika biaya produksi tinggi, harga jual gas akan tinggi pula.
Ke depan, semua pembangunan jaringan pipa gas harus dikuasai oleh pemerintah melalui
BUMN. Kontraktor gas, termasuk trader, diberi akses untuk memanfaatkan jaringan pipa
BUMN ini dengan membayar toll fee. Pemerintah mengelola kegiatan ini secara cermat, adil
dan transparan untuk mendapatkan harga gas yang wajar, serta memberikan keadilan kepada
pelaku usaha dengan keuntungan yang wajar pula.
Keinginan Presiden untuk menetapkan harga gas pada tataran US$ 6 per MMBTU bisa
dilaksanakan. Namun kebijakan ini sifatnya pragmatis dan harus dilakukan dengan penuh
kecermatan. Dalam jangka panjang, pemerintah harus menetapkan kebijakan yang kokoh.
Tujuannya untuk mengontrol harga gas pada batas yang wajar dan dapat digunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat sesuai dengan Nawacita.

Paket Kebijakan Reformasi Hukum


Jokowi
KAMIS, 20 OKTOBER 2016

Binziad Kadafi, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera

Setelah meluncurkan paket kebijakan ekonomi, Presiden Joko Widodo berencana

mengeluarkan paket yang sama di bidang hukum. Bermacam agenda besar disebut, seperti
peningkatan kualitas aparat penegak hukum, perbaikan sarana-prasarana penegakan hukum,
hingga pembentukan budaya hukum.
Namun yang menarik adalah keinginan Presiden meningkatkan kepercayaan publik pada
berbagai institusi hukum. Sebab, dalam aspek ini akan mengemuka persoalan pelayanan
hukum bagi masyarakat. Untuk mengkajinya, data di pengadilan menarik untuk dilihat.
Mari kita lihat gugatan perdata yang biasa dipakai untuk mengukur kepercayaan masyarakat
pada pengadilan. Pada gugatan perdata, masyarakat secara sukarela membawa masalah
hukumnya ke pengadilan untuk didengar dan diputus. Ini berbeda dengan perkara pidana kala
masyarakat dihadirkan dengan upaya paksa penegak hukum.
Pada 2015, sebanyak 353 pengadilan negeri di seluruh Indonesia menerima 28.374 gugatan
perdata. Jumlah tersebut sebenarnya sudah meningkat sejak 2014, yang bisa diklaim sebagai
tanda mulai meningkatnya kepercayaan publik terhadap pengadilan. Sebelumnya, rata-rata
gugatan perdata ada di kisaran 17 ribu perkara per tahun.
Jumlah itu, meski meningkat, harus diakui kecil. Rasio 28.734 gugatan perdata terhadap 57,8
juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia hanya 0,05 persen.
Padahal, UMKM merupakan kelompok masyarakat yang paling potensial membawa gugatan
perdata ke pengadilan. Merekalah yang sehari-hari harus bertransaksi, dari soal produksi,
distribusi, penjualan, hingga kontrak perburuhan. Semuanya berpeluang menjelma menjadi
sengketa perdata.
Rasio gugatan perdata terhadap 258 juta penduduk Indonesia menjadi lebih kecil lagi, yakni
hanya 0,01 persen. Dibanding negara tetangga, seperti Australia, rasio tersebut bisa mencapai
2,7 persen.
Data di masa lalu juga layak diajukan. Menurut catatan Barend Ter Haar, pada 1927 saja
perkara perdata yang ditangani Landraad, pengadilan di masa Hindia Belanda bagi golongan
pribumi, berjumlah 36 ribu setahun.
Dari situ bisa diartikan, ketika menghadapi sengketa perdata, masyarakat kita, termasuk para
pelaku UMKM, cenderung pasrah. Menganggapnya semata cobaan Tuhan atau soal
peruntungan. Sebab, jika harus membawanya ke peradilan perdata, kuat persepsi bahwa
prosesnya akan panjang dan mahal, yang sesudah diputus pun tidak berarti banyak karena
putusannya sulit dilaksanakan.
Jika punya waktu dan sumber daya, akan lebih menjanjikan membawanya ke ranah pidana,
sambil berharap adanya ancaman penjara, yang akan memaksa pihak lawan memenuhi
kewajiban perdatanya. Tren ini dikonfirmasi pula oleh data. Dari 1.750 perkara pidana umum
yang masuk ke Mahkamah Agung pada 2015, sebanyak 40 persen merupakan jenis tindak
pidana yang sangat mungkin berasal dari transaksi perdata, yaitu penipuan, penggelapan, dan

pemalsuan surat. Akhirnya, penjara makin penuh sesak. Lemahnya mekanisme penyelesaian
sengketa perdata ikut menyumbang penjara kelebihan kapasitas.
Memang, pengadilan kita adalah lembaga yang sangat sibuk. Begitu pula berbagai lembaga
hukum yang bekerja dengannya, seperti KPK, kepolisian, kejaksaan, lembaga
pemasyarakatan, dan profesi hukum. Setiap tahun tidak kurang dari 4,6 juta perkara yang
mereka tangani.
Namun, jika dipilah, dari 4,6 juta perkara pada 2015, sebanyak 3,8 juta (84,5 persen) adalah
perkara pidana cepat. Diperkirakan, 3,2 juta dari perkara pidana cepat itu adalah perkara
tilang dengan menempatkan masyarakat sebagai tersangka pelanggaran lalu lintas ringan.
Bisa dibayangkan dampaknya jika 3,2 juta orang itu menempuh proses yang tidak jelas dan
penuh calo. Cukup bercerita ke tiga orang saja, akan ada lebih dari 12 juta masyarakat
Indonesia setiap tahun yang berbagi persepsi negatif tentang pengadilan, aparat penegak
hukum, dan sistem hukum secara keseluruhan.
Apa relevansi semua itu dengan paket kebijakan hukum yang akan diluncurkan Presiden?
Jawabannya cukup kuat. Salah satu yang penting, Presiden selaku pemegang kekuasaan
tertinggi dalam pembinaan aparatur sipil negara bisa turut memastikan berbagai jabatan kunci
di institusi hukum, termasuk MA, diisi oleh orang-orang yang peduli dan mengerti apa arti
angka-angka di atas dan kaitannya dengan kepentingan masyarakat. Juga orang-orang yang
selalu termotivasi meningkatkan kinerja lembaga, bukan yang abai dan justru membebani
lembaga dengan perilaku tidak patut.
Berbagai inisiatif baik yang sudah dilakukan juga bisa terus didukung Presiden agar makin
sempurna. Misalnya untuk mengikis persepsi negatif bahwa proses peradilan lama dan rumit,
pengadilan sudah membentuk dan menjalankan mekanisme gugatan sederhana yang dalam 1
tahun sejak didirikan telah memeriksa 404 perkara di 124 pengadilan negeri yang mayoritas
diputus kurang dari 25 hari. Persepsi negatif bahwa proses peradilan tertutup sudah lama
dijawab dengan publikasi putusan yang saat ini hampir mencapai angka 2 juta.
Yang jelas, banyak tantangan untuk meningkatkan kepercayaan publik pada pengadilan dan
lembaga hukum. Kebijakan berbasis data yang digodok secara partisipatif akan menjadi kunci
keberhasilan jika digunakan sejak menentukan area-area yang harus dijamah pembenahan,
merumuskan langkah-langkah rinci pembenahannya, hingga memantau pencapaiannya nanti.

Siasat Kenaikan Subsidi Partai


JUM'AT, 21 OKTOBER 2016

Donal Fariz, Koordinator Divisi Korupsi Politika ICW

Lagi, Kementerian Dalam Negeri melempar wacana kenaikan bantuan keuangan untuk partai
politik. Akankah gagasan ini menjadi langkah yang tepat untuk pembenahan partai?

Setahun lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pernah mengusulkan hal yang sama,
yakni menaikkan bantuan keuangan partai sebesar Rp 1 triliun untuk semua partai yang
memiliki kursi di DPR. Belum sempat direalisasi, usul tersebut kandas akibat penolakan
masyarakat.
Kini, usul serupa kembali diangkat. Hanya, jumlah kenaikan yang semula diusulkan sebesar
Rp 1 triliun berubah menjadi 50 kali lipat dari anggaran yang diterima partai politik saat ini.
Jika satu suara dihargai Rp 108, pemerintah harus siap-siap menggelontorkan dana negara
sebesar Rp 658 miliar untuk seluruh partai setiap tahun.
Sulit dielakkan, wacana kenaikan anggaran untuk partai maupun besarannya selalu memicu
perdebatan. Selalu ada pihak yang setuju dan kontra.
Sebagian besar masyarakat belum yakin peningkatan bantuan keuangan akan menekan laju
korupsi di tubuh partai. Penilaian tersebut tentu tidak sepenuhnya keliru. Namun pandangan
ini bisa saja berubah saat kita memahami anatomi kasus-kasus korupsi yang terjadi.
Secara sederhana, bisa dikelompokkan dua faktor pemicu korupsi, yakni kebutuhan (by need)
dan ketamakan (by greed). Peningkatan bantuan keuangan negara bagi partai merupakan
jawaban atas persoalan korupsi karena biaya politik yang tinggi (high cost politics) di
Indonesia. Pada titik ini, korupsi terjadi karena kebutuhan biaya yang besar untuk
menjalankan partai di tengah syarat pendirian partai yang mahaberat.
Rata-rata kebutuhan operasional satu partai politik setiap tahun berada dalam rentang Rp 150250 miliar (ICW 2014). Akhirnya, sebagian anggota partai mengeruk anggaran negara
melalui korupsi untuk dialirkan ke partai mereka. Selain korupsi anggaran, partai menggelar
panen musiman saat pemilihan kepala daerah dengan cara menarik mahar dalam pencalonan
(candidacy buying).
Hal ini disebabkan oleh adanya jurang yang besar antara kebutuhan dan kemampuan
pendanaan partai secara mandiri. Maka, kehadiran negara sangatlah dibutuhkan. Kehadiran
negara juga dibutuhkan untuk melawan arus para pengusaha yang seolah-olah menjadikan
partai perusahaan mereka (corporate party). Fenomena ini terjadi lantaran partai didanai
secara tunggal oleh elite organisasi tersebut.
Praktek pendanaan partai politik oleh pemerintah diadopsi berbagai negara di dunia. Jerman,
Turki, dan Jepang di antaranya. Jadi, peningkatan bantuan keuangan untuk partai adalah
kebutuhan yang tidak terelakkan.
Jika kenaikan anggaran partai adalah sebuah keniscayaan, mengapa wacana kenaikan bantuan
keuangan partai yang digagas pemerintah selalu kandas? Penyebabnya tidak lepas dari usulan
pemerintah yang sangat minimalis. Pemerintah hanya berputar-putar berbicara tentang
besaran anggaran untuk partai, nyaris tanpa konsep untuk memperbaiki tata kelola partai
secara keseluruhan.

Kesimpulan ini bisa dilacak dari upaya pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 5
Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik. Pilihan ini dapat dianggap
sebagai jalan pintas untuk menaikkan anggaran partai semata. Sebab, muatan peraturan
tersebut lebih terfokus pada aspek teknis besaran anggaran, distribusi penggunaan, dan
pertanggungjawaban.
Peraturan itu tidak bisa dijadikan landasan untuk memperbaiki tata kelola keuangan partai.
Sebab, ada dua sumber lain, yakni iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum,
yang juga menjadi sumber pendanaan partai dan tidak diatur dalam peraturan tersebut.
Padahal dua sumber keuangan yang terakhir ini selalu menjadi ruang gelap keuangan partai
yang hanya diketahui segelintir elite partai.
Sumber keuangan tersebut berdampak dalam audit. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya
mengaudit keuangan yang bersumber dari APBN. Selebihnya, partai melakukan audit melalui
kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh mereka sendiri. Tidak ada acuan, bahkan
pengaturan, dalam penunjukan akuntan publik tersebut. Akibatnya, tidak hanya rawan
manipulasi, laporan keuangan partai yang terkonsolidasi pun akhirnya tidak pernah bisa
tersaji.
Beberapa hal di atas hanyalah sekelumit persoalan besar mengenai buruknya tata kelola partai
saat ini. Karena itu, jika pemerintah ingin memperbaiki partai secara keseluruhan, revisi
Undang-Undang Partai Politik merupakan pilihan yang paling realistis untuk diambil.
Dalam kajian ICW (2016), setidaknya ada tujuh aspek yang membutuhkan perbaikan
peraturan. Yakni sumber keuangan, peruntukan keuangan, pelaporan, audit, keterbukaan
informasi, sanksi, dan pengawasan. Karena itu, Presiden Jokowi semestinya memprioritaskan
pembenahan partai dalam agenda reformasi hukum yang tengah digagas. Ini merupakan
tanggung jawab Presiden sebagai kepala negara.
Tentu gagasan pembenahan tersebut harus bulat dan utuh untuk bisa memperbaiki tata kelola
partai secara keseluruhan. Bukan siasat melalui perubahan peraturan pemerintah untuk
menaikkan anggaran.

Dylan
SENIN, 17 OKTOBER 2016

Saya tak mengerti Bob Dylan. Mungkin memang harus demikian: sesuatu yang memukau
adalah sesuatu yang tak harus, atau bisa, dimengerti. Saya baca Tarantula, buku puisinya
yang ia tulis pada umur 25 tahun atau pada 1966. Di dalamnya kata-kata bergerak bukan
sebagai huruf, bukan sebagai wadah makna, melainkan sebagai bunyi: pengulangannya,
konsonannya, tekanannya, panjang-pendek suku katanya:
mother say go in That direction & please
do the greatest deed of all time & say i say
mother but it's already been done & she say
well what else is there for you to do & i say
i dont know mother, but i'm not going in That
direction--i'm going in that direction & she
say ok but where will you be & i say i dont
know mother but i'm not tom joad & she say
all right then i am not your mother
Kita hidup di suatu masa ketika tak ada lagi hierarki antara makna dan bunyi, antara kata dan
nada. Kita hidup di suatu masa ketika yang sastra dan yang bukan-sastra tak jelas terpisah-dan bahwa Dylan menerima Hadiah Nobel Kesusastraan menunjukkan runtuhnya struktur
imajiner yang memisahkan itu. Tarantula sendiri memperlihatkan saat ketika khaos hadir di
celah-celah bentuk. Yang kacau tak dijinakkan yang tertata, dan yang tertata tetap berada di
dalam yang kacau.
Ruang ini, dengan 4.800 karakter, terbatas untuk menghormati Dylan secara sepatutnya. Jika
ada yang harus saya katakan: saya tak kagum kepada tiap kalimatnya; saya terpesona akan
suaranya yang bergetar, lugu, dengan kesayuan yang tiap kali ditingkah patahan dan ironi.
Tapi saya tak heran bahwa ia bergema kuat: ia bisa dibaca, atau didengarkan--rekaman
suaranya yang bersahaja tapi menyentuh, dengan harmonika di mulut dan gitar di pelukan-tatkala kejadian-kejadian dilontarkan dalam headline atau dibaca keras di televisi. Tapi kita
terpukau karena ada yang tak hilang dari sana: pertanyaan.
How many seas must a white dove sail
before she sleeps in the sand?

Di tahun 1960-an, lagu ini dijadikan suara protes. Tapi kini mungkin protes itu tak lebih
ketimbang sebuah sajak yang merundung kita terus-menerus.
Blowing in the Wind pertama kali jadi termasyhur melalui suara Peter, Paul, dan Mary, trio
penyanyi folk yang mewakili suasana Amerika tahun 1960-an, ketika Amerika mengirimkan
anak-anak muda ke kancah Perang Vietnam, ketika kaum hitam mulai menggugat perlakuan
masyarakat mayoritas putih, ketika sebuah generasi resah--antara cemas dan cinta, antara
santai dan gemuruh, ketika begitu banyak pertanyaan tentang hidup tak terjawab. Perang,
kematian, ketakadilan, kekejaman, tapi juga kesetiaan dan pengorbanan: pernahkah akan
berakhir? Mengapa? The answer, my friend, is blowing in the wind....
Melodi itu datang ke kenangan Dylan dari sebuah negro spiritual yang lama, No More
Auction Block -- suara yang menusuk, ketika para budak mensyukuri kebebasan di sekitar
Perang Saudara Amerika di abad ke-19. Tak ada lagi tempat lelang, tak ada lagi lecutan, tak
ada lagi garam yang disiramkan ke luka siksaan.
Tapi Blowing in the Wind seakan-akan nyanyian yang lebih tua ketimbang itu, dengan
kata-kata yang lebih langgeng. Dylan, yang nama masa kecilnya Bobby Zimmerman,
dibesarkan dalam keluarga Yahudi pemilik toko mebel dan peralatan di Hibbing, Minnesota.
Mungkin saja di kepalanya bergaung petilan Kitab Kejadian dan Ezekiel. Tapi tak berarti
puisi dan nyanyi mematuhinya. Mereka menerobos peta dan mengelakkan genealogi.
Citra Bob Dylan adalah citra anak muda yang menerobos. Ia tampil seperti penyanyi
pujaannya, Woody Guthrie, yang menggubah lagu ketika mengunjungi daerah Amerika yang
terpukul kemiskinan selama depresi ekonomi. Sejak ia pindah ke New York dan
mengabadikan namanya di Greenwich Village, Dylan seperti berpindah bahkan dari asalusulnya, mengaburkannya, dan muncul dalam persona yang berbeda dari saat ke saat. I'm Not
There (2007) mencoba menangkap itu: film ini diilhami oleh musik dan pelbagai hidup Bob
Dylan--dan enam aktor memerankan pelbagai sosok dirinya, termasuk aktor perempuan
yang ulung itu, Cate Blanchett.
Dengan parasnya yang feminin dan halus, rambutnya yang lebat tak tersisir, dengan suaranya
yang seperti menutupi melankoli, dan puisinya yang tak linear, Dylan--seperti dalam
albumnya, The Freewheelin' Bob Dylan--adalah penggubah dan pengubah: seperti ketika ia
bertolak dari corak musik folk seraya menjadikannya sesuatu yang lain.
Tapi ada yang tetap datang di dalam dirinya: kepekaan kepada hidup yang dicederai.
Meskipun ia tak bisa jadi pembimbing. Ia menemukan yang lain. Aku menemukan sifat
religius dan filsafat dalam musik.... Aku tak mengikuti rabi, pengkhotbah, evangelis, semua
itu.
Anehnya, suaranya terasa lebih benar ketimbang khotbah:
Yes, how many ears must one man have

Before he can hear people cry?

Goenawan Mohamad

Pencitraan
SABTU, 22 OKTOBER 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Tulisan "padepokan" di beranda rumah Romo Imam sudah tak ada lagi. Kata Romo, sejak ada
kasus di Padepokan Dimas Kanjeng, ia merasa tak enak dengan kata "padepokan" itu.
"Tadinya saya pikir diganti dengan tulisan Rumah Budaya," kata Romo.
"Itu bagus. Apalagi ada perpustakaan dan sering orang kumpul-kumpul di sini," kata saya.
Tapi Romo menjawab: "Saya takut dituduh pencitraan. Kata ini sudah mendapat label negatif.
Padahal setiap orang wajar ingin mengubah citranya menjadi lebih baik. Pencitraan itu
positif; berlomba untuk kebaikan itu mulia."
Saya katakan: "Jangan terpengaruh omongan para politikus, Romo. Mereka selalu menuduh
Presiden Jokowi melakukan pencitraan, bahkan selama dua tahun menjabat pencitraan
melulu. Penilaian itu pangkalnya adalah kekecewaan akut karena kalah dalam pemilihan
presiden tempo hari. Ada kejengkelan yang tak sembuh-sembuh. Apa pun yang dilakukan
Jokowi pasti disebut pencitraan."
Romo mengangguk. "Pencitraan atau tidak juga menyangkut budaya dan kebiasaan hidup
seseorang," katanya. "Selama ini seorang presiden pasti mendapat pelayanan yang luar biasa.
Gerimis sedikit ada yang memayungi. Kacamatanya dibawa ajudan. Tak ada pula presiden
yang melangkah di jalan becek, apalagi naik tangga periksa bak air. Berpakaian selalu rapi,
bagaimana berjalan, berbicara, gerak tangannya seperti apa, semuanya dikelola berdasarkan
etika yang ada bukunya. Ibu calon Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno punya kursus untuk
pencitraan itu."
Romo tertawa sejenak. Saya jadi ingat Mien Uno yang dimaksudkan Romo. Juga ingat Ibu
Mooryati Sudibyo, yang pernah memberi tahu saya bagaimana bersikap jika menjadi orang
penting dalam sorotan publik. "Jokowi menyimpang dari tata etika seorang presiden yang
selama berpuluh tahun disaksikan rakyat. Tapi Jokowi melakukannya secara alami, tidak
dibuat-buat. Ia memegang payung sendiri tatkala gerimis. Pergi ke genangan air untuk

membasuh muka, padahal presiden sebelumnya mustahil membasuh muka di depan umum.
Kalaupun cuma cuci tangan, airnya dari baskom yang jernih, plus tersedia handuk yang
baru."
Romo memotong ucapan saya. "Anehnya juga kebijakan Jokowi pun dianggap pencitraan.
Misalnya soal harga bahan bakar minyak yang harus sama di Papua dan di Jawa. Jokowi
mungkin berhitung, dengan harga yang sama, ekonomi bergerak, investor datang, Papua
berkembang. Memang ada subsidi sampai delapan ratus miliar rupiah, tapi itu tak mengurangi
keuntungan Pertamina yang puluhan triliun rupiah. Presiden sebelumnya kebijakannya beda.
Pertamina harus untung sebesar-besarnya, untuk apa jual minyak di Papua dengan merugi?
Kalaupun Jokowi harus dikritisi soal ini, sebut saja: 'hati-hati dengan subsidi membengkak di
saat anggaran bermasalah'. Jangan pakai omongan 'ah, Jokowi melakukan pencitraan di
Papua'."
Kini saya yang mengangguk. Dan Romo meneruskan: "Memang, jangan sampai pencitraan
itu kebablasan. Setiap status atau jabatan ada batas etikanya. Pendeta punya etika yang
disebut sesana kewikon, tak bisa bercelana pendek sambil menyapu meski itu di halaman
rumahnya sendiri. Raja punya sesana keprabon yang layak dijadikan acuan etika presiden.
Misalnya, ketika menerima pasukan kehormatan lalu hujan turun, tak bisa presiden membawa
payungnya sendiri. Atau tiba-tiba melepas sepatunya yang kotor di saat acara resmi."
Saya memotong: "Kalau presiden membeli sepatu di pasar swalayan, pencitraan atau bukan,
Romo?" Romo tertawa: "Tergantung niat, kalau ngajak-ngajak wartawan untuk pamer,
mungkin pencitraan."

Korupsi (Atas Nama) Partai


SENIN, 24 OKTOBER 2016

Imam Anshori Saleh, Mantan Anggota DPR

Rasanya tidak ada partai politik di Indonesia yang secara resmi memerintahkan kadernya
untuk melakukan tindak pidana korupsi yang kemudian harus disetor ke partainya. Yang ada,
partai tutup mata atas sumbangan kadernya, seberapa pun besarnya. Partai pada umumnya
juga tidak pernah mempertanyakan asal-usul kontribusi dari kadernya. Konon, partai tidak
boleh berburuk sangka terhadap kadernya sendiri, kendati jumlah dana yang disetor tidak
masuk akal. Biasanya, kader yang banyak memberi dana untuk partai akan mendapat
"reward", misalnya akan mendapat prioritas kalau ada lowongan jabatan di kelengkapan
DPR, masuk panitia khusus yang menarik, jabatan di internal partai, atau nomor bagus calon
anggota legislatif dalam pemilihan umum.
Dengan demikian, yang diungkapkan oleh Indra Jaya, Kepala Bidang Pelaksana Jalan, Tata
Ruang, dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat, sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 10 Oktober 2016, merupakan hal yang biasa. Dalam
kesaksiannya, Indra mengungkapkan bahwa uang Rp 500 juta yang diterima anggota Komisi
III DPR RI, Putu Sudiartana, tidak hanya sebagai imbalan agar dana alokasi khusus (DAK)
Provinsi Sumatera Barat dapat dicairkan, tapi juga untuk menyumbang Partai Demokrat.

Tentu kasus seperti ini tidak hanya melanda Partai Demokrat. Partai politik lainnya tak
tertutup kemungkinan mengalami hal yang sama. Dengan alasan besarnya biaya yang
diperlukan untuk menggerakkan roda partai, para kader partai di pusat atau pun daerah
diimbau untuk memberikan kontribusi dana. Partai seolah-olah melegalkan pencarian dana
dengan cara-cara yang ilegal. Sikap permisif seperti inilah yang kemudian biasa dijadikan
alasan atau dimanfaatkan kader partai di legislatif atau pun eksekutif untuk mengkorupsi
uang negara.
Menurut Undang-Undang Partai Politik, sumber keuangan partai adalah iuran anggota,
penyumbang, dan bantuan negara. Sejak warga negara dibebaskan mendirikan partai politik
menjelang Pemilu 1999 hingga Pemilu 2009, belum ada satu pun partai yang berhasil
mengumpulkan iuran anggota. Kebanyakan dana datang dari para penyumbang, baik
penyumbang perseorangan maupun badan usaha. Namun, jika daftar penyumbang partai dan
daftar penyumbang dana kampanye yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum ditelusuri,
jumlah dana yang dilaporkan tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan perkiraan
biaya riil partai per tahun atau biaya kampanye pada masa pemilu.
Selama ini semua partai di Indonesia sebenarnya sudah memiliki sumber dana yang tetap,
seperti dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, iuran para anggota legislatif di DPR ataupun DPRD, juga kontribusi dari
calon-calon kepala daerah yang berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah. Selain itu,
sumbangan para pengusaha yang bersimpati terhadap partai politik yang bersangkutan.
Jumlah iuran yang dikenakan partai terhadap anggota legislatif dan pejabat eksekutif
bervariasi. Biasanya 1530 persen dari persentase gaji bersih legislator. Untuk pejabat
eksekutif, seperti menteri dan para kepala daerah, biasanya tidak menggunakan persentase,
melainkan nominal tertentu, tergantung potensi ekonomi daerah.
Sumbangan dari para calon kepala/wakil kepala daerah, yang biasa disebut "mahar", juga
sering bermasalah. Tiap-tiap partai sering mematok jumlah yang sangat besar dan
memberatkan para calon. Apalagi bagi calon yang memerlukan banyak partai untuk
memenuhi syarat pencalonan, jumlah "mahar" yang harus disetor sang calon kadang kala
tidak masuk akal.
Bantuan APBN untuk partai berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 jo
Peraturan Pemerintah No. 83/2012 tentang Bantuan Kepada Partai Politik sebesar Rp 108 per
suara. Jumlah ini dinilai banyak pihak terlalu kecil. Sebagai perbandingan, pada
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, APBN memberikan sumbangan Rp 1.000 setiap
suara yang diperoleh partai. Karena itu, belakangan ini muncul wacana untuk menaikkan
jumlah dana APBN terhadap partai. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo
dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyetujui gagasan bantuan APBN terhadap
partai diperbesar.
Tujuan bantuan keuangan untuk partai politik adalah menjaga kemandirian partai. Jika

kebutuhan dana partai lebih banyak dipenuhi para penyumbang, partai cenderung
memperhatikan kepentingan penyumbang daripada kepentingan anggota atau rakyat dalam
mengambil keputusan atau kebijakan. Apabila hal ini terjadi, posisi dan fungsi partai sebagai
wahana memperjuangkan kepentingan anggota atau rakyat menjadi tidak nyata.
Di sisi lain, pemberian dana dari negara terhadap partai dimaksudkan agar para kader tidak
mencari dana secara liar dengan mengatasnamakan partai. Rasanya tidak mungkin mereka
nekat melakukan korupsi hanya demi partai tempat mereka bernaung. Pada diri mereka sudah
ada niat untuk berbuat jahat dan kebetulan ada peluang yang dibukakan oleh partai. Seperti
yang sering "dinyanyikan" oleh Nazaruddin, mantan anggota DPR dari Partai Demokrat,
kader dan partai secara simbiosis mutualisme sama-sama mempunyai andil dalam tindak
pidana korupsi itu. Andai pengadilan kita sudah menerapkan ketentuan kejahatan korporasi
dengan baik, kader atau pun pemimpin partai sama-sama dapat dijatuhi hukuman pidana.
Mandeknya pembicaraan tentang besaran bantuan negara terhadap partai saat ini terjadi ada
kemungkinan karena berkaitan dengan defisit APBN kita. Tetapi, dengan semakin sering
terungkapnya korupsi oleh kader partai atas nama kepentingan partai, kiranya pembicaraan
masalah ini menjadi semakin relevan. Yang penting dan mesti menjadi perhatian, pemberian
bantuan itu harus disertai dengan aturan yang ketat tentang tata kelola, transparansi, dan
pengawasan penggunaan dana. Jangan sampai subsidi dari negara yang sudah diperbesar itu
yang justru dikorup para kader partai, walaupun dengan cara-cara itu belum ada jaminan
bahwa ini akan menghentikan korupsi untuk dan atas nama partai.

Vonis Mati bagi Predator, Lalu?


SELASA, 25 OKTOBER 2016

Reza Indragiri Amriel, Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia

Dua predator seksual anaksatu di Bengkulu dan lainnya di Kalideres, Jakarta Barat
dijatuhi vonis bersalah dan hukuman mati. Itulah pemenuhan janji pemerintah bahwa sejak
2002 Indonesia mempunyai undang-undang yang memuat ketentuan tentang hukuman mati
bagi pelaku kejahatan tertentu terhadap anak-anak. Berlanjut pada 2014, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono memaklumatkan gerakan nasional anti-kejahatan seksual terhadap
anak.
Berganti masa, datang Nawacita yang memasukkan perlindungan anak sebagai salah satu
agenda kerja utama pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. DPR dan pemerintah intens
menggodok sebuah legislasi pemberatan sanksi bagi predator. Hingga akhirnya enam hakim
bulat sepakat dua manusia durjana layak dikirim ke neraka atas kekejian mereka terhadap
anak-anak yang tak berdosa.
Yang tak bisa diabaikan adalah perintah Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) bahwa
predator juga harus membayar restitusi kepada korban. Ini ketentuan indah yang tidak bisa
direalisasi dengan mudah. Agar isi UUPA bisa terpenuhi, harta predator harus dirampas.
Setelah melunasi kewajibannya terhadap korban, barulah eksekusi mati dilakukan.

Masalahnya, bagaimana cara pelaku membayar restitusi jika ia berasal dari golongan tak
punya? Bahkan, seandainya si predator (narapidana) ikut dipekerjakan dalam privatisasi
lembaga pemasyarakatan sehingga memperoleh penghasilan, tetap mustahil baginya
mengumpulkan uang yang setara dengan harga nyawa korban. Negara juga pasti menolak
menanggung utang manakala si predator sudah angkat tangan.
Ancaman teror lainnya datang dari para predator seksual yang sebatas dihukum penjara dan
mungkin kini sudah menyelesaikan masa pemenjaraan mereka. Jumlah mereka pasti lebih
banyak daripada predator yang dijatuhi hukuman mati. Lokasi mereka tidak diketahui.
Khalayak juga barangkali tak lagi ingat beberapa tahun silam ada manusia bertabiat setan
yang dijebloskan ke jeruji besi hanya untuk waktu sekian lama.
Data Kementerian Hukum Amerika Serikat memberikan alasan bagi setiap anggota
masyarakat untuk tidak menganggap sepele potensi bahaya predator-predator yang hanya
dihukum penjara. Data Kementerian tersebut memperlihatkan bahwa dalam kurun tiga tahun
sejak keluar dari penjara, 5 persen predator mengulangi kejahatan serupa dan 43 persen
lainnya melakukan kejahatan berbeda.
Yang semakin mengerikan, 40 persen residivis predator bahkan mengulangi lagi kejahatannya
sejak satu tahun setelah menyelesaikan masa hukuman mereka. Penjara, tak terbantahkan,
malah membuat predator kian buas. Dan sifat-sifat tak manusiawi itu tidak akan bisa diredam
dengan sanksi kebiri kimiawi, kecuali apabila kastrasi hormonal itu dilakukan berdasarkan
keinginan si predator sendiri sebagai bagian dari proses rehabilitasi atas dirinya.
Alhasil, penting bagi otoritas terkait untuk menerbitkan pemberitahuan publik setiap kali ada
predator yang akan segera bebas dari penjara. Lebih mendasar lagi, perbanyak saja hukuman
mati bagi predator seksual yang memangsa anak-anak. Proses hukum yang cepat (berarti
murah), vonis berat, dan ajek adalah kunci efek jera. Spesifik dalam kasus kejahatan seksual
terhadap anak, unsur cepat dan berat sudah mulai terealisasi, seperti yang didemonstrasikan
dalam persidangan atas predator Bengkulu dan Kalideres. Semoga ajek juga segera
menyusul.

Kesungguhan Memimpin Perubahan


RABU, 26 OKTOBER 2016

Jilal Mardhani, Pengamat Manajemen

Seruan Presiden Joko Widodo untuk menyapu bersih segala bentuk pungutan liar (pungli) di
jajaran birokrasi pemerintah harus disambut baik. Imbauan yang disampaikannya setelah
operasi tangkap tangan oleh aparat Kepolisian RI di lingkungan Departemen Perhubungan
pada 11 Oktober 2016 itu terkait dengan proses perizinan angkutan laut.
Pungli sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka. Bahkan, pada masa Presiden Soeharto,
dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Tertib untuk
menertibkan pungli. Seluruh pemimpin lembaga pemerintah diminta meningkatkan
pengawasan dan penertiban dalam institusi mereka serta mengambil tindakan administratif
dan hukum bagi mereka yang melanggar.
Reformasi 1998, yang mengakhiri era kekuasaan Orde Baru, juga berlatar belakang

memerangi dan menghapus praktek korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) yang marak. Bahkan


niat ini disertai langkah konstitusional yang melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan tujuan agar pemberantasan lebih cepat dilakukan. Ketika itu, memang ada keraguan
terhadap lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Tapi mengapa hingga kini praktek
lancung itu masih berlangsung di mana-mana?
John P. Kotter, profesor emeritus bidang kepemimpinan di Harvard Business School, rajin
mencermati penyebab kegagalan dalam berbagai perubahan yang dilakoni bermacam
organisasi global saat mengantisipasi ancaman persaingan dan peluang masa depan (John P.
Kotter, Accelarate: Building Strategic Agility for a Faster-Moving Forward, Harvard
Business Review Press, 2014). Meski bukan satu-satunya aspek, kesadaran dan kesungguhan
terhadap pentingnya perubahan yang dicita-citakan (sense of urgency) merupakan hal utama
dan terpenting.
Meninggalkan budaya pungli dan KKN di kalangan birokrasi kita bukanlah hal yang mudah.
Meski KPK berulang kali menyajikan tontonan yang mengejutkan dan mempermalukan agar
muncul efek jera, kenyataannya tetap saja berkebalikan. Pungli dan KKN masih berlangsung.
Kita harus akui, sejak Orde Baru hingga kini, maksud meninggalkan perilaku dan kebiasaan
buruk itu belum pernah tercapai.
Semestinya, proses transformasi perubahan dari keadaan sebelumnya ke arah yang dicitacitakan dikelola secara berkesinambungan. Langkah demi langkah perlu dirumuskan.
Masing-masing disertai dengan "ongkos dan capaian yang terukur. Syarat kesuksesan upaya
perubahan sesungguhnya telah diraih Jokowi-JK melalui putra-putri terbaik pilihan yang ada
di sekelilingnya hari ini.
Sebagai bagian dari lingkaran terdekat, tentu mereka berikhtiar tulus. Tapi hal itu tak akan
cukup jika tidak disertai dengan kepiawaian menghadirkan kesadaran dan kesungguhan sikap
pada seluruh jajaran organisasinya. Mereka pun harus mampu membangun koalisi demi
koalisi yang terus berkembang pada lingkungan masing-masing. Mereka harus mempertajam
visi sambil tanpa henti mengkomunikasikan strategi terbaik dan terpilih yang akan ditempuh.
Mereka perlu merencanakan capaian jangka pendek yang harus diraih dan
mengkonsolidasikan setiap kemajuan dan capaian sambil mencanangkan perubahanperubahan berikutnya sehingga melembagakan berbagai pendekatan dan tata laksana baru
yang sesuai dengan cita-cita. Memimpin perubahan (leading change) untuk
mentransformasikan hal lama kepada yang baru dan ideal merupakan hal penting. Tanpa hal
itu, niscaya semua hanya menjadi mimpi.
Sesungguhnya banyak hal naif yang tidak sesuai lagi dengan perubahan yang kita harapkan.
Ketentuan yang menyangkut kepegawaian atau aparatur sipil negara merupakan salah
satunya. Undang-undang dan peraturan yang tersedia bukan hanya tak mampu digunakan
untuk menuntut kinerja yang sesuai dengan paramater saat ini, tapi juga cenderung
melindungi mereka meski tak mumpuni. Di sisi lain, pintu untuk melibatkan putra-putri

terbaik yang mampu dan ingin berkarya juga tertutup.


Jika tempat bagi mereka yang lebih cakap, profesional, dan piawai pada jajaran pemimpin
institusi dan lembaga pemerintahan telah lama terbuka untuk sosok-sosok yang tidak pernah
berkarier di korps pegawai negeri, mengapa wacana yang sama tidak diwujudkan pada
tingkat dan lapisan yang lain? Kita tentu memahami bahwa peluang dan keterbukaan posisi
puncak institusi ataupun lembaga pemerintah bagi sosok-sosok non-birokrat itu salah satunya
untuk memudahkan kerja Presiden mengembangkan kebijakan dan menjalankan programnya.
Tapi bukankah hal itu tidak diperlukan jika keberadaan kalangan birokrat karier telah "diatur
sekaligus "dilindungi oleh undang-undang, dan berbagai peraturan itu mampu memenuhi
kualifikasinya? Perubahan memang selalu disertai dengan tuntutan dan keikhlasan untuk
mengubah, bahkan mengganti, hal-hal yang sebelumnya dipandang baku. Apalagi jika hal
tersebut menjadi kendala utama yang menghambat keberlangsungan proses transformasi.
Di sisi lain, tanpa kesediaan mengubahnya, bisa jadi segala sesuatunya menjadi sia-sia dan
hanya mengembalikan kita kepada keadaan semula yang sesungguhnya ingin ditinggalkan:
status quo.

Izin Bersyarat bagi Industri Televisi


KAMIS, 27 OKTOBER 2016

Muhamad Heychael, Direktur Remotivi

Pada 14 Oktober lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika memperpanjang izin siar 10
stasiun televisi swasta untuk 10 tahun ke depan. Mereka adalah RCTI, MNC TV, Global TV,
Indosiar, SCTV, Trans TV, Trans 7, ANTV, dan TV One. Ini pertama kalinya dalam sejarah
penyiaran kita televisi swasta memperpanjang izin siar. Penting bagi kita mengingat tanggal
ini. Selain karena peristiwa bersejarah, perpanjangan izin siar merupakan momentum
berharga untuk pembenahan kualitas siaran yang telah lama dirindukan publik. Sudahkah
momentum ini dimanfaatkan dengan baik oleh regulator atau, seperti yang sudah-sudah,
televisi diberikan cek kosong untuk 10 tahun mendatang?

Umum diketahui, di era Orde Baru, izin siar hanya diberikan kepada keluarga dan kroni
Presiden Soeharto tanpa landasan hukum yang jelas. Baru di pengujung era kekuasaan Orde
Baru diberlakukan Undang-Undang Penyiaran Nomor 24 Tahun 1997 yang mengatur batas
waktu izin siar selama 10 tahun.
Sayangnya, pada saat izin tersebut berakhir pada 2006, alih-alih memproses perpanjangan
izin, Sofyan Djalil, Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, mengeluarkan Peraturan
Menteri Nomor 17 Tahun 2006 tentang tata cara penyesuaian izin bagi lembaga penyiaran
yang telah memiliki izin siar. Implikasi kebijakan ini adalah stasiun televisi tidak perlu
mengikuti prosedur perpanjangan izin sebagaimana diharuskan UU Penyiaran. Boleh
dikatakan, izin siar diberikan begitu saja seperti cek kosong. Kebijakan tersebut jelas
bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 4 UU Penyiaran Tahun 2002 yang mensyaratkan perizinan
diberikan setelah adanya "rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran yang
dikeluarkan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia)".
Berbeda dengan 10 tahun silam, proses perpanjangan izin yang berlangsung pada tahun ini
telah sesuai dengan prosedur. Tapi perpanjangan izin bukan sekadar prosedur, tapi juga
instrumen yang efektif bagi regulator untuk mengoreksi perilaku stasiun televisi yang kerap
melukai kepentingan publik. Dalam proses perpanjangan izin, peluang ini ada pada tahap
evaluasi dengar pendapat (EDP) antara KPI dan pemohon izin. Setiap stasiun televisi yang
hendak memperpanjang izin mesti mempresentasikan evaluasi 10 tahun penggunaan
frekuensi yang dipinjamnya, sekaligus mengajukan proposal rencana 10 tahun ke depan.
Sayangnya, peluang ini tidak mampu dimanfaatkan oleh KPI.
EDP yang digelar KPI pada Mei 2015 sangat jauh dari cita-cita pembenahan kualitas siaran.
Dalam evaluasinya, KPI sama sekali tak punya indikator untuk menilai apakah stasiun
televisi layak atau tidak mendapat rekomendasi. Apakah stasiun televisi telah memenuhi 10
persen kuota siaran lokal? Apakah kuota iklan stasiun televisi tidak lebih dari 20 persen dari
total waktu siaran? Kita tidak pernah tahu. Banyak hal tak terjawab dalam EDP. EDP
berlangsung seperti temu kangen alumnus sekolah menengah. Tidak serius dan tanpa
kerangka yang jelas.
Pertanyaannya, atas dasar apa KPI mengeluarkan rekomendasi kelayakan perpanjangan izin
10 stasiun televisi tersebut? Kita tidak pernah tahu. Dokumen tersebut tak pernah
dipublikasikan oleh KPI.
Apakah ini berarti sekali lagi industri televisi akan mendapatkan cek kosong? Belum tentu.
Dalam rapat dengar pendapat Komisi I DPR dengan Kementerian Komunikasi dan KPI pada
3 Oktober 2016, Kementerian menyampaikan rencana perubahan kebijakan terkait dengan
evaluasi izin siar. Meski izin diberikan tiap sepuluh tahun, evaluasi akan dibuat per tahun.
Hasil evaluasi per tahun akan diakumulasi tiap 10 tahun untuk menentukan kelayakan
perpanjangan izin.
Usul ini bisa mengatasi dua masalah sekaligus. Pertama, persoalan transisi di tubuh KPI.

Evaluasi yang dilakukan setiap 10 tahun dapat berdampak buruk terhadap kualitas evaluasi.
Alasan data hilang atau belum diserahkan oleh pejabat sebelumnya kerap menjadi persoalan.
Dengan evaluasi tahunan, persoalan transisi semestinya tak lagi menjadi masalah. Kedua,
publik tidak harus menunggu 10 tahun untuk mengharapkan perubahan kualitas siaran.
Catatan evaluasi per tahun bisa menjadi cambuk bagi stasiun televisi agar taat pada regulasi
penyiaran.
Untuk memungkinkan hal tersebut, Kementerian perlu merevisi Peraturan Menteri Nomor 28
Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Syarat Perizinan Penyiaran. Revisi ini mesti meliputi dua
hal, yakni pasal yang mengatur kerangka waktu evaluasi yang dilakukan tiap tahun dan
parameter untuk menentukan kelayakan perpanjangan izin. Idealnya, agar bisa mulai
diterapkan pada tahun depan, peraturan ini seharusnya sudah berlaku sekarang.
Dalam acara pelantikan pejabat eselon I di lingkungan kementerian pada 7 Oktober 2016,
Geryantika Kurnia, Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi, mengatakan kepada saya
dan dua anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran bahwa revisi peraturan itu telah
dibuat drafnya dan tinggal menunggu tanda tangan menteri. Di ruang yang sama, Menteri
Rudiantara membenarkan hal tersebut.
Kini, tiga pekan setelah pertemuan itu, peraturan yang dimaksudkan belum juga diterbitkan.
Hal ini mengingatkan saya pada obrolan singkat dengan Rudiantara selepas acara pelantikan.
Dia mengatakan, "Integritas seseorang diukur dari seberapa sesuai perkataan dengan
tindakannya." Kini, dengan ukuran yang sama, kita akan menilai integritas beliau dan
kementerian yang dipimpinnya.

Pemuda Indonesia (Siap) Menatap Dunia


JUM'AT, 28 OKTOBER 2016

Imam Nahrawi, Menteri Pemuda Dan Olahraga

Pemuda adalah aset penting yang menjadi tumpuan bangsa. Di tangan para pemuda, tampuk
kepemimpinan bangsa ini digantungkan. Regenerasi adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah
bangsa yang tidak bisa ditolak atau dihindari. Bangsa mana pun yang ingin tetap berjaya dan
bertahan lama pasti akan menyiapkan keberlanjutan regenerasinya.
Data demografi Indonesia menyebutkan bahwa jumlah pemuda di Indonesia dengan rentang
usia 16-30 tahun, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang
Kepemudaan berjumlah 61,8 juta orang atau 24,5 persen dari total jumlah penduduk (BPS,
2014). Jumlah pemuda akan meningkat tajam pada 2020-2035, bersamaan dengan datangnya

era bonus demografi bagi Indonesia. Ini era yang sangat langka bagi sebuah negara. Saat itu,
jumlah usia produktif Indonesia diproyeksikan berada pada grafik tertinggi dalam sejarah,
yakni mencapai 64 persen dari total penduduk 297 juta jiwa.
Secara kuantitas, tentu hal ini menjadi peluang yang sangat baik bagi Indonesia. Namun,
secara kualitas, kita harus berintrospeksi lebih dalam. Indeks pembangunan manusia (IPM)
kita hari ini meningkat dari 68,80 menjadi 69,55. Tapi, jika dilihat dari peringkat di Asia
Tenggara, IPM kita masih di bawah Thailand dan Malaysia.
Tentu, kita tidak boleh pesimistis. Mengapa? Karena kita memiliki pemuda-pemuda
potensial. Pemuda masa kini, atau yang sering disebut sebagai generasi Z, mempunyai
pemikiran-pemikiran cemerlang, motivasi tinggi untuk perubahan, keluwesan dalam bergaul,
dan berani melakukan terobosan-terobosan serta inovasi, juga selalu menginginkan hal-hal
baru dan mampu berpikir out of the box.
Generasi Z Indonesia hari ini telah membuat Indonesia bangga di depan negara-negara lain.
Beberapa waktu lalu, dunia dibuat terkesima oleh tampilnya pemuda Indonesia yang mampu
menembus level tertinggi balap mobil internasional F1, Rio Haryanto. Pemuda 23 tahun itu
telah membuktikan bahwa Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata dengan mampu
menembus arena balapan paling bergengsi di dunia.
Masih di bidang olahraga, Owi dan Butet, yang masing-masing berusia 27 dan 30 tahun, juga
mampu mengembalikan tradisi meraih emas Olimpiade dari cabang bulu tangkis di Rio de
Janeiro.
Di berbagai sektor lain, seperti industri kreatif, kita juga mempunyai bakat-bakat muda yang
berhasil mengharumkan negara dan bangsa di kancah internasional. Ada Christiawan Lie,
ilustrator komik yang karyanya telah menembus pasar Amerika Serikat. Ia membesut komik
Return of The Labyrinth yang diterbitkan Tokyopop. Komik bergaya manga tersebut sukses
menduduki posisi keempat komik terlaris di AS, bersaing dengan Naruto.
Di industri film, tentu kita tidak ragu akan kapasitas Joe Taslim, aktor muda yang berhasil
mengguncang panggung Hollywood melalui film Fast and Furious. Ada juga sutradara 27
tahun asal Blitar, Jawa Timur, Livi Zheng, yang berhasil mengundang decak kagum di
panggung perfilman Hollywood melalui karya-karya berkelasnya.
Kita pun tentu tidak asing lagi dengan Sandhy Sondoro, musikus muda yang pada usia 28
tahun telah menyabet penghargaan internasional Contest of Young Pop Singer di Latvia pada
2009 dengan mendapatkan nilai hampir sempurna dari seluruh juri. Ada juga grup Mocca dari
Bandung, yang dengan musik pop, jazz, dan swing-nya telah melanglang hingga ke Eropa.
Perkembangan teknologi yang kian pesat juga mendorong anak muda Indonesia menciptakan
inovasi bisnis, seperti perusahaan start-up. Hari ini Indonesia mempunyai Nadiem Makarim,
pendiri Go-Jek; Achmad Zaky, CEO Bukalapak; dan ratusan CEO muda di bidang teknologi

informasi lainnya yang dipercaya oleh perusahaan multinasional. Bahkan, dilaporkan terdapat
62 start-up yang kebanjiran dana investasi hingga puluhan triliun rupiah. Omzet situs belanja
online (e-commerce) Indonesia pada 2015 dilaporkan telah menembus Rp 200 triliun
(Kementerian Perdagangan, 2015).
Ini tentu menjadi angin segar bagi Indonesia di tengah perekonomian dunia yang lesu.
Terutama untuk menambah amunisi Indonesia dalam menjalankan agenda sebagai bagian dari
MEA dan pasar bebas di era global ini.
Hal itulah yang melandasi pengambilan tema "Pemuda Indonesia Menatap Dunia" untuk
peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-88 pada 28 Oktober 2016. Tema ini adalah bagian dari
apresiasi dan penghargaan kita terhadap prestasi-prestasi pemuda Indonesia yang terus
membangun visi global dengan mengharumkan nama negeri ini di kancah internasional.
Di sisi lain, yang membuat kita sangat terkesan adalah anak-anak muda yang mendunia
tersebut tetap cinta kepada Tanah Air dan tidak melupakan budaya Indonesia sebagai warisan
leluhur. Hal ini menjadi pesan penting bagi pemuda Indonesia di mana saja bahwa global
mind dianjurkan, tapi dengan tetap menghargai dan melestarikan kearifan lokal.
Melalui prestasi internasional anak-anak muda ini, kita menjadi yakin dan percaya apa yang
dikatakan oleh Bapak Proklamator Bung Karno, bahwa dengan 10 pemuda saja Indonesia
bisa mengguncang dunia, betul-betul menjadi nyata.

Komedie
Senin, 31 Oktober 2016

Di negeri ini, ada orang-orang yang tampil di atas podium, ada yang berjubel tampak dan tak
tampak. Sebenarnya yang tampak-dan-tak-tampak itulah yang membuat sejarah.
Saya ingin mengatakan: "Indonesia" dimulai dari bawah; 28 Oktober 1928 bukanlah awalnya.
Sebelum namanya ditetapkan, "Indonesia" sudah terjadi di tempat-tempat yang dianggap
remeh, di pinggir percaturan politik, di kehidupan yang tampaknya main-main, tapi
sesungguhnya jerih-payah. Salah satunya: di dunia hiburan.
Kita mulai di Surabaya. Sebelum 1928, di sini lahir sebuah usaha seni pertunjukan, Komedie
Stamboel.
Dalam The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903, Matthew
Isaac Cohen menceritakan kehidupan grup pertunjukan zaman itu dengan rinci, memikat, dan
informatif. Membaca hasil penelitian sejarahnya kita akan mendapat gambaran tentang teater

populer akhir abad ke-19, selera artistik produsen dan konsumennya, dengan latar sosial
masyarakat kolonial di kota-kota. Kita akan dibawa ke tengah kehidupan orang-orang
peranakan, jatuh-bangun mereka, peran artistik dan sosial mereka. Kita akan melihat dunia
seni pertunjukan masa itu seakan-akan dunia burung-burung yang hinggap dari pohon ke
pohon dan tanpa sengaja menebar benih. Dari situlah tumbuh sebuah kebudayaan baru yang
disentuh dunia modern dan kosmopolitanisme, justru dari dunia orang ramai, orang
kebanyakan, bukan dari sebuah elite yang berselera tinggi.
Berangsur-angsur ini berpengaruh pada sebuah kesadaran yang terbuka. Dari situ keIndonesia-an terbentuk, tanpa diprogram, tanpa ideologi, dan tanpa dinding pemisah kelas,
suku, dan etnis yang kedap. Sumpah Pemuda 1928 penting, tapi lebih sebagai upacara
pembaptisan.
Komedie Stamboel didirikan pada Januari 1891 ketika Surabaya tumbuh sebagai kota dengan
penduduk hampir 130 ribu orang--sangat kecil jika dilihat sekarang, tapi sangat besar di masa
itu. Mereka beragam: 90 persen "pribumi", sisanya Tionghoa, Arab, Eropa, dan peranakan,
dengan kekayaan dan status sosial yang tak setara. Yang menyatukan mereka: dunia urban
yang baru.
Matthew Isaac Cohen menyebut kota sebagai "arena of observation", tempat saling
memperhatikan, dan masyarakat di tempat-tempat padat di Indonesia sebagai "an opengallery society". Di masyarakat ini, apa yang dipamerkan, dipertunjukkan, dan disajikan di
depan umum berpengaruh pada harkat sosial. Galeri terbuka adalah ruang bersama untuk
mengungkapkan diri, coarticulation, dengan dinding pembatas yang mudah diterobos dan
pembatasan yang tak ketat. Komedie Stamboel lahir dan tumbuh di situ.
Rombongan teater ini sebuah bisnis kecil. Dalam kongsi yang memilikinya ada nama Yap
Gwan Thay. Ia wiraswasta. Usahanya beragam dan manajemennya simpang-siur: firma obat
tradisional "Banyu Urip", pabrik limun, usaha dekorasi gedung. Ia, yang pernah dipenjara
karena terlibat pemalsuan uang, oleh sebuah koran berbahasa Melayu di Surabaya pada 1899
disebut sebagai "pujangga".
Yap membangun beberapa gedung pertunjukan untuk Opera Cina berbahasa Tionghoa dan
topeng Jawa, di samping membentuk rombongan sandiwara berbahasa Melayu. Dengan
bahasa Melayu pula--yang sudah jadi tanpa diperintahkan--Komedie Stamboel mementaskan
cerita 1.001 Malam yang populer di masa itu dengan menampilkan fantasi dunia "Arab". Juga
lakon Nyai Dasima dan cerita Si Conat, kepala bandit dari Tangerang. Juga Pembunuhan
Pangeran William van Oranye.
Ada sifat gado-gado dalam sejarah sosial Komedie Stamboel, ada sifat eklektik pada
pementasannya, ada campuran keragaman dalam penggemarnya. Dalam Pandji Poestaka
Armijn Pane mencatat: untuk beroleh laba, pilihan cerita Komedie Stamboel diolah untuk
memenuhi selera kelompok etnis dan kelas sosial yang berbeda-beda.
Tapi mungkin itu juga indikasi sebuah himpunan sedang terbentuk, melintasi pengelompokan
etnis dan sosial. Pelbagai elemen--umumnya dari kalangan di luar tatanan kelas dan norma
sosial yang ada--pelan-pelan mencari identitasnya sendiri.

Tokoh sejarah teater masa itu, sosok utama yang dengan menarik ditampilkan Cohen, adalah
Auguste Mahieu. Ia aktor, penulis lagu, manajer, sutradara--orang berdarah Jawa yang lahir
di Bangkalan, Madura. Riwayatnya perlu tulisan tersendiri untuk ditampilkan. Sementara ini
bisa dikatakan: ia, yang dikagumi tapi juga tak sepenuhnya diakui secara sosial karena
seniman panggung dan "Indo" tak pernah jadi bagian yang terhormat, adalah elemen sejarah
yang nyaris tak tercatat dalam proses simbiosis dalam keanekaragaman yang kemudian
bernama "Indonesia". Bahasa, selera, dan posisi pinggiran yang sama mempertemukan itu.
Komedie Stamboel menunjukkan bahwa bukan cuma surat kabar ("kapitalisme cetakan", kata
Benedict Anderson), tapi juga bisnis hiburan populer berkeliling yang membangun pertemuan
itu. Sungguh, Indonesia tak datang dari atas.

Goenawan Mohamad

Jessica
Sabtu, 29 Oktober 2016
Putu Setia

Jessica Kumala Wongso dihukum 20 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Meski tak ada fakta hukum formal bahwa dari tangannya racun sianida itu
dituangkan ke gelas kopi, hakim berhasil merangkai berbagai tingkah laku Jessica jauh
sebelum tragedi itu terjadi. Kesimpulannya, Wayan Mirna tewas setelah minum kopi di
restoran Olivier dan yang menuangkan sianida ke gelas kopi itu diyakini oleh hakim
dilakukan Jessica sendiri. Tak ada orang lain; Jessica pembunuh tunggal.
Sidang pun gemuruh. Puluhan orang berbaju "Justice for Mirna" bahkan bersorak ria. Untuk
sementara sinetron peradilan yang konon menarik minat banyak orang ini--dan karena itu

stasiun televisi ramai-ramai menyiarkan secara langsung--berakhir. Meski Jessica dan


penasihat hukumnya akan banding, tak akan ada keriuhan dalam persidangan di pengadilan
tinggi. Paling hanya debat pernyataan.
Inilah sidang peradilan terheboh di negeri ini. Lebih heboh dari sidang Mahkamah Militer
Luar Biasa (Mahmilub) pasca-tragedi G30S yang digelar pada 1968. Di saat itu tak ada
televisi selain TVRI, apalagi media sosial. Juga tahun itu tak ada saksi yang berani berbicara
dengan bebas. Dalam sidang Jessica, ada perang antarsaksi ahli yang begitu dahsyat. Saksi
ahli jaksa memberatkan Jessica dan saksi ahli pembela meringankannya, seolah keahlian bisa
diarahkan ke mana maunya.
Sidang Jessica betul-betul menerapkan prinsip "keterbukaan mutlak". Sidang memang
terbuka untuk umum jika bukan kasus cabul, juga terdakwa bukan anak-anak. Tapi, sesuai
dengan ketentuan hukum yang masih berlaku, saksi yang belum diperiksa tak boleh duduk si
ruang sidang. Hakim punya daftar saksi yang akan didengar. Tujuannya agar saksi tidak
saling mencocokkan atau saksi yang belakangan sudah menyiapkan diri untuk mematahkan
saksi terdahulu. Kalau televisi menyiarkan langsung, apa bedanya saksi ada di ruang sidang
dan tiduran di rumah? Sungguh hakim amat modern, selain ingin numpang populer.
Terdakwa dan keluarga korban juga orang-orang modern dan banyak uang. Keluarga korban,
jaksa, dan pengacara setiap saat bisa diwawancarai televisi dan memberikan opininya. Apa
yang disebut trial by the press mungkin sudah kedaluwarsa.
Bagaimana kalau korban pembunuhan yang "rada gelap" ini terjadi di daerah, apakah sehebat
itu perhatian publik dan media massa? Mungkin tidak. Yuyun, yang diperkosa dan dibunuh
belasan lelaki di Bengkulu yang jauh itu, tak jelas juntrungan beritanya, tak jelas berapa saksi
ahli yang hadir, tiba-tiba ada yang dihukum mati. Jadi, yang disebut TKP (tempat kejadian
perkara) punya pengaruh atas ingar-bingarnya sidang Jessica.
Keluarga Mirna puas dan bisa lebih tenang karena pembunuh Mirna sudah jelas dan dihukum
lewat peradilan yang modern. Kalau di daerah terpencil ada "kearifan lokal" ihwal bagaimana
keluarga korban pembunuhan mencari ketenangan siapa pelakunya. Di pedesaan Bali,
misalnya, lewat balian (sejenis dukun) yang bisa memanggil roh korban untuk bercerita siapa
pembunuhnya. Di Manggarai, Flores, ada cara unik. Keluarga korban datang ke makam, lalu
menyemburkan daun sirih dan buah pinang, sambil memohon dengan bahasa Sierra Leone
agar sang pembunuh ditunjukkan atas kebesaran Sang Mori Dedek (Tuhan Yang Maha Esa).
Semua ini dasarnya keyakinan. Bukankah hakim yang menghukum Jessica juga berdasarkan
keyakinan setelah merangkai perilaku terdakwa? Jadi, apakah Jessica benar pembunuh atau
tidak, masih ada pengadilan akhirat. Di situlah keadilan sejati.

Perguruan Tinggi Antikorupsi


Senin, 31 Oktober 2016
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja ICW

Ratusan perwakilan dari 86 perguruan tinggi di Indonesia melakukan deklarasi antikorupsi di


Yogyakarta, Rabu pekan lalu. Deklarasi itu muncul salah satunya karena keprihatinan atas
maraknya korupsi, termasuk di lingkungan perguruan tinggi. Institusi yang dikenal memiliki
Tri Dharma Perguruan Tinggi itu kini menjadi lahan subur dari praktek korupsi. Beberapa
kalangan bahkan menilai korupsi di sana sebagai kejahatan "kerah putih" karena dilakukan
oleh orang-orang terdidik dan terpelajar.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) selama 10 tahun terakhir, terdapat
sedikitnya 37 kasus dugaan korupsi di perguruan tinggi yang melibatkan 65 orang pelaku
yang telah dan sedang diproses oleh penegak hukum maupun pengawas internal. Jumlah
kerugian keuangan negara yang ditimbulkan cukup fantastis, mencapai Rp 218 miliar.
Dari sejumlah kasus korupsi yang terpantau, ICW memetakan sedikitnya 12 pola korupsi,
antara lain korupsi pengadaan barang dan jasa, korupsi dana hibah pendidikan, korupsi
anggaran di internal perguruan tinggi, korupsi dana penelitian, korupsi dana beasiswa
mahasiswa, korupsi penjualan aset milik perguruan tinggi, serta korupsi dana SPP mahasiswa.
Pola lainnya adalah suap dalam penerimaan mahasiswa baru, suap dalam pemilihan pejabat,
suap atau "jual-beli" nilai, suap yang berkaitan dengan akreditasi (program studi atau
perguruan tinggi), dan suap dari mahasiswa kepada dosen.
Kondisi yang paling memprihatinkan adalah ketika korupsi itu dilakukan oleh pucuk
pimpinan, yaitu rektor atau wakil rektor. Mereka bahkan ada yang telah dijebloskan ke
penjara. Sedikitnya 15 rektor telah menjadi tersangka atau terpidana korupsi.
Salah satu contoh kasus yang melibatkan rektor terjadi di Universitas Airlangga (Unair)
Surabaya. KPK, pada 30 Maret lalu, telah menetapkan Rektor Unair Fasichul Lisan sebagai
tersangka dalam dua kasus pengadaan barang dan jasa: kasus pembangunan Rumah Sakit
Pendidikan Unair yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) periode
2007-2012 serta kasus peningkatan sarana dan prasarana Rumah Sakit Pendidikan Unair yang
bersumber dari DIPA periode 2009. Selaku kuasa pengguna anggaran Unair, Fasichul diduga
melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang
lain. Dari proyek senilai lebih dari Rp 300 miliar itu, negara dirugikan hingga Rp 85 miliar.
Fenomena korupsi di perguruan tinggi tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga muncul di
sejumlah negara. Sebagaimana dilansir Channel News Asia, pada 2013, seorang profesor
hukum dari sebuah universitas ternama di Singapura, Tey Tsun Hang, dinyatakan terbukti
bersalah atas dakwaan menerima gratifikasi seks dan barang-barang mewah dari Darinne Ko
Wen Hui, mahasiswanya. Gratifikasi yang diterima Tey Tsun ini sebagai imbalan atas nilai
bagus yang dia berikan kepada mahasiswa tersebut.
Munculnya korupsi di perguruan tinggi selama ini dipicu, antara lain, oleh tidak
transparannya pihak kampus atas keuangan yang dikelola, lemahnya pengendalian internal
dan sistem administrasi, serta tidak adanya mekanisme pengawasan yang melibatkan
masyarakat. Pemicu lainnya adalah kesejahteraan dosen maupun pegawai lain. Dalam riset
yang dilakukan oleh Jobplanet (2016), terungkap bahwa gaji rata-rata dosen di Indonesia
adalah Rp 3.326.700 per bulan. Kecilnya gaji ini mengakibatkan dosen terpaksa bekerja di
tempat lain untuk memenuhi kebutuhannya atau mengambil jalan pintas dengan mencari
untung dari wewenang yang dimilikinya, misalnya memperjual-belikan nilai.
Dampak korupsinya tidak sebatas pada pemborosan atau merugikan uang negara atau
yayasan, tapi lebih luas lagi. Korupsi di perguruan tinggi akan merusak kredibilitas

penyelenggara pendidikan. Sebab, korupsi terjadi sejalan dengan fungsi yang dijalankan
kampus.
Nama baik perguruan tinggi sudah selayaknya harus dibersihkan. Maka diperlukan suatu
usaha serius dan sistematis untuk mencari jalan keluar dalam memperbaiki citra perguruan
tinggi. Memberantas korupsi di sana tidak cukup sekadar mengucapkan "deklarasi
antikorupsi". Untuk mencegah korupsi, diperlukan langkah konkret dengan membangun nilai
dan prinsip antikorupsi melalui perbaikan tata kelola di instansi ini secara sistematis. Prinsip
antikorupsi di perguruan tinggi setidaknya mencakup aspek transparansi, partisipasi, dan
akuntabilitas.
Cara pencegahan lainnya adalah memberikan pemahaman yang luas atas ancaman yang
ditimbulkan dari korupsi di perguruan tinggi. Jika mahasiswa, dosen, maupun pegawai
lainnya paham akan bahaya korupsi, mereka dapat meresponsnya dengan efektif. Kurikulum
antikorupsi sebaiknya sudah diajarkan di setiap perguruan tinggi. Di sisi lain, perlu dibangun
zona antikorupsi atau zero tolerance atas korupsi di perguruan tinggi.
Pencegahan juga harus didorong oleh pemerintah maupun pihak lainnya melalui peningkatan
kesejahteraan dosen dan pegawai perguruan tinggi. Semakin baiknya kesejahteraan mereka
akan mengurangi niat mereka untuk melakukan korupsi atau usaha-usaha lain yang
menyimpang.

Membangun Jakarta Minus Konsep


Selasa, 01 November 2016
Ikhsan Darmawan, Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Penulis tahun lalu terlibat dalam sebuah riset tentang sistem transportasi publik terintegrasi di
Jakarta. Riset tersebut didanai oleh dana hibah kampus tempat penulis mengabdi. Salah satu
temuan penting hasil riset adalah kepala daerah inkumben tidak memiliki konsep yang jelas
dan benar dalam membangun transportasi publik terintegrasi. Praktek implementasi kebijakan
transportasi publik yang terlihat selama ini seperti berjalan sendiri. Padahal seharusnya
pembangunan yang baik dipayungi oleh sebuah konsep yang mengarahkan bagaimana
semestinya kebijakan dijalankan.

Menurut Yiu Kwok Kin Antonio (2005), transportasi publik terintegrasi dapat didefinisikan
sebagai transportasi yang menyediakan perjalanan kepada penumpang dengan memberi
koneksi pelayanan yang baik, waktu tunggu untuk pergantian moda yang reasonable,
informasi yang komprehensif, dan tiket yang terintegrasi antar-moda transportasi berbeda.
Hemat kata, sistem transportasi publik terintegrasi wajib sifatnya menyediakan perjalanan
yang terintegrasi menggunakan seluruh moda transportasi publik sehingga cocok dengan rute
seluruh penumpang.
Dalam berbagai kesempatan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok
menekankan bahwa, untuk mengatasi kemacetan Jakarta, sistem transportasi publik
terintegrasi diwujudkan dengan cara menambah jumlah bus Transjakarta. Pertanyaannya,
apakah kebijakan Transjakarta itu sejalan dengan konsep transportasi publik terintegrasi?
Penulis masih belum yakin dengan hal itu.
Dengan menggebu-gebu dan terburu-buru, Ahok telah menjalankan kebijakan pembukaan 17
trayek baru Transjakarta pada tahun ini. Persoalannya, transportasi publik terintegrasi bukan
sekadar kuantitas. Aspek kualitas juga perlu menjadi pertimbangan.
Kualitas itu, seperti disebutkan Antonio, antara lain apakah memudahkan perpindahan
antarmoda, berapa lama waktu tunggu, informasi yang komprehensif, dan tiket yang
terintegrasi antarmoda. Secara kasatmata, perpindahan antarmoda di titik tertentu ada yang
relatif memudahkan, tapi tidak mempertimbangkan aspek lainnya untuk memudahkan itu.
Sebagai contoh, pada Transjakarta rute Palmerah-Sudirman, tempat bus di dekat Stasiun
Palmerah ditempatkan di badan jalan. Padahal, sebelum ada Transjakarta, jalan di sebelah
Stasiun Palmerah sudah macet. Apalagi dengan ditambah adanya bus Transjakarta di situ,
sehari-hari jalanan di situ semakin tidak dapat lepas dari kemacetan.
Selanjutnya, untuk waktu tunggu dan informasi yang komprehensif, penulis belum memiliki
data spesifik soal hal itu. Namun, berdasarkan pengamatan lapangan pada dua rute, DepokCawang dan Palmerah-Sudirman, seringkali terlihat sepi. Ini boleh jadi ada kaitannya dengan
soal waktu tunggu dan kurang terinformasinya secara menyeluruh mengenai rute-rute baru
Transjakarta ini.
Berikutnya mengenai tiket yang terintegrasi antarmoda masih bersifat terbatas dan bahkan
cenderung tidak diusahakan untuk dapat terintegrasi. Sejak awal diterapkan e-ticketing di
Transjakarta, kartu yang bisa dipakai hanya Flazz BCA. Pertanyaannya ialah mengapa tidak
bisa seperti di Beijing, dengan satu kartu bisa dipakai di bus, kereta, dan moda transportasi
lain? Mengapa sampai saat ini Transjakarta belum juga dikoneksikan dengan tiket
berlangganan kereta api Commuterline?
Selain di pembangunan transportasi publik, pembangunan minus konsep terlihat pada
kegiatan penggusuran di sejumlah wilayah Jakarta. Secara konseptual, pembangunan

ditujukan untuk memberikan kesejahteraan bagi seluruh warganya. Namun hal itu tidak
terjadi dalam kasus penggusuran yang terus terjadi.
Penulis menangkap maksud Gubernur DKI melakukan penggusuran adalah membuat Jakarta
seperti Singapura. Dengan demikian, pembangunan diartikan olehnya sebagai perwujudan
dari modernitas semata. Pertanyaannya, apakah infrastruktur modern seperti Singapura
merupakan kebutuhan dan untuk menyejahterakan (baca: membahagiakan) mayoritas
masyarakat Jakarta? Sayangnya, hal itu tidak pernah ditanyakan kepada publik. Seakan-akan
imajinasi bagaimana sebaiknya pembangunan diwujudkan adalah hak mutlak dari gubernur
semata.
Selama ini Singapura di satu sisi memang membanggakan pembangunan infrastruktur, tapi di
sisi lain berhadapan dengan kondisi ketika tingkat dan jumlah bunuh diri warganya relatif
tinggi. Menurut Menteri Pembangunan Sosial dan Keluarga Singapura Tan Chuan-Jin, selama
2010-2014, rata-rata setiap tahun ada 400 kasus bunuh diri dan seribu kasus percobaan bunuh
diri. Sangat mungkin hal itu berkaitan dengan pembangunan yang selama ini lebih
berorientasi pada infrastruktur daripada kebahagiaan manusia.
Seakan sejalan dengan itu, dalam kasus penggusuran di Jakarta, Ahok hanya berambisi
membangun infrastruktur dengan cara melakukan penggusuran, tapi tidak memikirkan
bagaimana dengan manusianya. Kita bisa melihat setidaknya setelah masyarakat yang
digusur dipindahkan ke rumah-rumah susun, banyak yang tidak sanggup membayar iuran
bulanan. Artinya, kebijakan penggusuran itu bermasalah. Belum lagi masyarakat itu terpaksa
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya dan mencari penghidupan yang baru.

Deradikalisasi: Gagal atau Berhasil?


Selasa, 01 November 2016
Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Penyerangan kantor kepolisian Cikokol, Tangerang, yang dilakukan Sultan Aziansyah,


melahirkan pandangan bahwa program deradikalisasi telah gagal. Banyak pula yang
memperbincangkan pelaksanaan program deradikalisasi yang dijalankan pemerintah melalui
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Ada yang berharap besar terhadap
program itu, ada yang mendukung, ada yang tidak mendukung, ada yang menolak, ada yang
belum mengerti, ada merasa mengerti, bahkan ada juga yang tidak mau mengerti. Tapi tidak
sedikit pula yang menaruh curiga terhadap istilah "deradikalisasi".

Program deradikalisasi BNPT meliputi dua kategori. Pertama, deradikalisasi bagi warga
binaan lembaga pemasyarakatan dalam kasus tindak pidana terorisme. Kedua, deradikalisasi
dalam masyarakat bagi mantan narapidana terorisme, mantan teroris, keluarga, jaringan dan
terduga kasus tindak radikal-anarkistis, serta korban akibat ledakan bom.
Memahami deradikalisasi harus berawal dari niat baik semua pihak untuk pembinaan mental
keagamaan dan kebangsaan, pemberdayaan potensi usaha, pendampingan kewirausahaan,
advokasi penegakan hukum, serta pemulihan nama baik dan kondisi fisik yang terpuruk
akibat pengaruh tindakan radikal anarkistis serta aksi teroris yang bertentangan dengan nilai
agama, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010, BNPT memiliki tugas dan fungsi
mengkoordinasikan upaya, strategi, program, dan rumusan kebijakan negara dalam
menanggulangi tindak pidana terorisme. Penanggulangan dilakukan dengan meminimalkan
penyebaran paham radikal yang menanamkan kebencian dan permusuhan terhadap sesama
saudara satu agama, satu bangsa, dan sesama manusia.
Program deradikalisasi telah dilakukan BNPT sejak 2011, dan dari tahun ke tahun terus
ditingkatkan. BNPT menggandeng tokoh agama, psikolog, tokoh masyarakat, dan akademisi
untuk membina para narapidana terorisme di dalam 68 lembaga pemasyarakatan di seluruh
Indonesia. Para narapidana itu mendapat pembinaan keagamaan, wawasan kebangsaan, dan
kewirausahaan agar nanti di tengah masyarakat dapat berusaha seperti sebelum terpapar oleh
pandangan radikal.
Data pada 2016 menunjukkan bahwa para mantan narapidana terorisme yang telah bertobat
telah diidentifikasi berjumlah 530 orang di 17 provinsi. Hingga kini, masih terdapat 222
narapidana terorisme di lembaga pemasyarakatan yang masih dibina oleh BNPT.
Upaya tersebut tidak cukup maksimal jika hanya dilaksanakan oleh BNPT. Berangkat dari
kesepahaman bersama bahwa fenomena aksi terorisme dan penyebaran paham radikal
merupakan kejahatan luar biasakejahatan lintas negara dan kejahatan kemanusiaan
sinergi seluruh komponen bangsa dan semua lapisan masyarakat sangat menentukan
keberhasilan program deradikalisasi.
Koordinasi dengan seluruh kementerian dan lembaga telah menghasilkan rumusan rencana
aksi. Ini harus dilanjutkan dalam bentuk aksi secara nasional yang melibatkan tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh pendidik, akademisi, tokoh adat, tokoh pemuda, serta para
pegiat dan pencinta kedamaian.
Sebetulnya, semua kementerian dan lembaga dapat berkontribusi dalam menjalankan
program deradikalisasi atau pembinaan, baik secara fisik (infrastruktur) maupun non-fisik
(mental dan spiritual). Bentuk konkret keterlibatan itu dapat dilakukan, misalnya, oleh
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, yang membawahkan
Direktorat Kemasjidan. Melalui lembaga tersebut, pembinaan dan pencerahan wawasan

keagamaan yang akomodatif, kontemporer, dan akulturatif dapat dilaksanakan dengan


melibatkan para imam, khatib, remaja masjid, dan pegawai masjid untuk menangkal paham
keagamaan yang radikal-anarkistis dan mudah disebarkan melalui rumah ibadah. Selama ini,
bukannya mereka tidak berperan, melainkan belum bersinergi dan berfokus pada upaya
penangkalan tersebut.
BNPT dan Kementerian Agama dapat bersinergi. Misalnya, BNPT membagi data rumahrumah ibadah yang cenderung disalahgunakan oleh oknum radikal-anarkistis. Kementerian
Agama dapat memberdayakan para imam, khatib, dan pengurusnya untuk memaksimalkan
peran rumah ibadah sebagai pusat pembinaan umat.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah juga dapat berperan. Pembinaan serta
pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan dapat dilakukan Kementerian Koperasi dengan
memberikan pinjaman modal usaha secara bergulir tanpa bunga kepada mantan narapidana
terorisme, mantan teroris, keluarga, jaringan dan pihak yang terindikasi radikal, serta korban
aksi terorisme dan korban ledakan bom.
Selama ini, Direktorat Deradikalisasi BNPT telah memberikan modal usaha kepada sebagian
warga binaan, tapi belum sesuai dengan target yang diharapkan. Di sinilah Kementerian
Koperasi dapat berperan melalui koperasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Melalui
lembaga ekonomi kerakyatan tersebut, para mantan teroris dapat diberdayakan.
Gerakan Nasional Deradikalisasi merupakan bentuk sinergi semua kementerian dan lembaga
dalan merealisasi prinsip Nawa Cita Presiden Joko Widodo. Kerja sama semua pihak dan
seluruh komponen bangsa harus diwujudkan karena yang ada saat ini barulah tataran "samasama kerja".

PSSI, Kembalilah ke Khitah 1930


Jum'at, 04 November 2016
Eddi Elison, Pengamat Sepak Bola Nasional

Rekomendasi Federasi Asosiasi Sepak Bola Dunia (FIFA) yang mengakomodasi surat
Kementerian Pemuda dan Olahraga ihwal pemindahan tempat Kongres Luar Biasa (KLB)
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia dari Makassar ke Jakarta pantas diberi apresiasi
khusus. Demikian juga waktu pelaksanaan KLB, yang awalnya diputuskan Exco PSSI pada
17 Oktober 2016, oleh FIFA digeser ke 10 November 2016.
Padahal sebelumnya pengurus PSSI mencoba bertahan untuk tetap melaksanakan KLB di
Makassar dengan dalih sesuai dengan statuta FIFA. Jika pindah tempat, berarti KLB harus
diundur delapan minggu. Ternyata FIFA tidak merespons pendapat PSSI karena pengunduran

jadwal yang diputuskan FIFA kurang dari tiga minggu.


Apa yang telah diputuskan FIFA tersebut pantas mendapat apresiasi secara khusus. Hal ini
membuktikan bahwa FIFA di bawah pimpinan Gianni Infantino dengan Sekretaris Jenderal
Fatima Samoura jauh berbeda dengan kepemimpinan terdahulu di bawah Sepp BlatterJerome Valcke. Janji reformasi Infantino sesaat setelah terpilih sebagai Presiden FIFA tahun
lalu mulai dilaksanakannya. Dia tidak lagi membutakan matanya terhadap kekurangan dan
kelemahan statuta FIFA.
Duet Blatter-Valcke, yang saat ini sedang menjalani hukuman atas tindakan korupsi, biasanya
mendiskreditkan pemerintah Indonesia dengan selalu membenarkan laporan PSSI, sehingga
semua pengurus PSSI mendewakan FIFA. Bahkan Hinca Panjaitan pernah menyatakan
bahwa sepak bola Indonesia adalah milik FIFA, bukan milik rakyat Indonesia.
Bagi insan sepak bola, rekomendasi yang diberikan FIFA untuk pemindahan KLB dari
Makassar dan menetapkan 10 November 2016 sebagai jadwal pelaksanaan KLB jelas
merupakan gambaran bahwa FIFA juga menyetujui dilakukannya perubahan total terhadap
PSSI, seperti yang diinstruksikan Presiden Jokowi. Hal ini bisa dimengerti karena Indonesia
merupakan sumber dana bagi industri/bisnis persepakbolaan dunia, sehingga prestasinya
perlu ditingkatkan. Tanpa perombakan total, tidak mungkin prestasi persepakbolaan nasional
dapat ditingkatkan. Maklum, selama ini PSSI hanya dijadikan sarana mencari
panggung/muka orang-orang yang bergelut dalam berbagai kegiatan politik dan mencari duit
dengan menggunakan berbagai cara, seperti pengaturan skor, taruhan, judi, sepak bola gajah,
dan berjenis bentuk permafiaan lainnya, termasuk kartelisasi.
Berkaitan dengan usaha reformasi total PSSI yang harus dilaksanakan selama KLB nanti,
kami menyarankan agar PSSI kembali ke khitah 1930. Khitah ini dideklarasikan sesaat
setelah PSSI dilahirkan oleh para perintis kemerdekaan, seperti Ir. Soeratin Sosrosoegondo,
M. Daslam Adiwarsito, Moh. Amir Notopratomo, Anwar bin Noto, H. Moerdan bin Noto, dan
H.A. Hamid.
Khitah 1930 tergambar jelas pada proses kelahiran PSSI. Sebulan sebelum dibentuknya PSSI,
beberapa tokoh sepak bola Yogyakarta merencanakan pertandingan amal. Agar lebih ramai,
diundanglah klub-klub dari luar Yogyakarta. Namun klub-klub tersebut mengusulkan agar
panitia meminta izin terlebih dulu dari Nederlands Indische Voetbal Bond (NIVB). Jawaban
NIVB, Tidak bisa. Anggota NIVB dilarang bermain dengan perkumpulan sepak bola
inlander yang tidak teratur.
Bisa saja penghinaan terhadap komunitas sepak bola Indonesia tersebut dicetuskan NIVB
karena setahun sebelumnya telah terbentuk Indonesische Voetbal Bond (IVB) atas inisiatif
tokoh-tokoh pergerakan, seperti Tjindarbumi, Soebroto, dan Soeroto. Namun IVB tidak
pernah aktif. Setelah PSSI terbentuk, IVB dilebur ke dalam PSSI.
Untuk membuktikan kemampuan bangsa Indonesia dalam mengurus sepak bola, yang

menjadi pendorong utama terbentuknya PSSI, seperti dinyatakan Ketua Panitia Pembentukan
PSSI Daslam Adiwarsito saat membuka sidang pada 1930: Kita orang koempoelan sport
bagi kemoeliaan bangsa.
Berbagai pernyataan sikap dan tekad kemudian tercetus pada saat PSSI disahkan pada pukul
00.30 di Gedung Handeprojo (sekarang Gedung Batik), Jakarta. Salah satunya tekad Soeratin,
yang terpilih sebagai Ketua PSSI, adalah klub-klub PSSI tidak boleh kalah dari klub-klub
Belanda. Pernyataan dan tekad para tokoh sepak bola pada 1930-an tersebut merupakan
komponen khitah, yang kemudian dituangkan dalam bentuk Mukadimah Statuta PSSI.
Kembali ke khitah 1930 bukan berarti kemunduran. Khitah tersebut memiliki jiwa, semangat,
dan nilai-nilai perjuangan luar biasa yang sampai kapan pun tetap relevan, terutama untuk
melahirkan prestasi digdaya, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Apalagi sejak
lebih dari seperempat abad lalu khitah tersebut tidak dapat dihayati PSSI, padahal alinea
pertama mukadimah jelas tertulis bahwa PSSI adalah alat perjuangan dan pemersatu bangsa.
Mukadimah adalah meta law dari sebuah organisasi, seperti Pembukaan UUD 1945 bagi
bangsa Indonesia. Faktanya, saat ini PSSI menjadi wadah turbulensi persepakbolaan nasional
dengan hasil: paceklik prestasi.

Penistaan
SABTU, 05 NOVEMBER 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Penistaan agama dampaknya bisa besar. Agama punya ajaran yang merupakan wahyu dari
Tuhan, dengan nama apa pun Tuhan itu disebutkan. Kalau itu dinistakan, jutaan umat akan
membela. Mungkin benar Tuhan tak perlu dibela, Tuhan Maha Agung yang tak bisa tersentuh
oleh kekotoran duniawi. Tapi pengikut-Nya wajib menjaga ke-maha-agungan Beliau.
Pemimpin redaksi tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto, masuk bui gara-gara "menghina
Islam, menghina Nabi Muhammad". Wendo--ini kasus sudah lama--dalam kegairahannya

bercanda, membuat survei yang isinya siapa tokoh yang paling populer. Nama Nabi
Muhammad ada yang memilih dan masuk rangking bawah. Di atasnya ada nama Arswendo.
Umat Islam marah, Wendo didemo dan ditahan, Monitor dibredel. Harga yang mahal untuk
survei candaan.
Apakah Wendo punya niat menghina? Barangkali seperti Basuki Tjahaja Purnama dalam
kasus yang paling anyar sekarang ini, tak ada niat. Namun umat Islam tak harus mengusut
ada niat atau tidak--sesuatu yang sulit juga untuk dilacak. Ahok pun didemo besar-besaran,
meski sudah minta maaf.
Saya menduga, Wendo waktu itu, tak tahu bagaimana memposisikan Nabi Muhammad yang
begitu dimuliakan, meski ada buku yang menulis Muhamad Manusia Biasa. Tapi dalam hal
Ahok saya menduga ia tahu ayat-ayat Al-Quran yang disebutkan itu. Ia menyebutnya dengan
lancar. Patut disesalkan, kenapa Ahok menyebut-nyebut ayat itu padahal ia bukan muslim?
Penistaan agama akhirnya menjadi hal rumit kalau berdalih "tak punya niat menista". Bisa
benar bisa tidak. Tukul Arwana, presenter doyan bercanda, pernah dianggap menghina umat
Hindu ketika dia masuk pura dan berkoar-koar menyebut ada hantu dan sejenisnya. Saya
percaya Tukul hanya melucu dan ia tak tahu apa-apa kalau pura itu adalah tempat ibadat umat
Hindu yang disucikan. Seperti halnya dulu--sekarang sudah berkurang--orang sering
menyebut umat Hindu menyembah patung atau menyembah berhala. Saya setuju memaafkan
Tukul dengan alasan ia tak tahu apa-apa, hanya sok berceloteh. Ketimbang main gugatgugatan yang pasti ada luka di kedua pihak, lebih baik diselesaikan dengan damai. Adem
rasanya.
Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, penistaan agama tak cuma lewat ucapan, juga
tindakan atau perilaku. Saya jadi ingat bagaimana patung Buddha di atas sebuah vihara di
Tanjung Balai, Sumatera Utara, terpaksa diturunkan baru-baru ini karena sejumlah orang
menyebutkan kota itu jadi "kurang islami" dengan adanya patung Buddha. Vihara itu punya
izin resmi. Apakah ini bukan sebuah penistaan, bagaimana mungkin memisahkan vihara
dengan patung Buddha? Syukurlah tak ada ketegangan karena pendeta Buddha setempat
mengambil satu ayat "sarva prani hitan karah" (semua makhluk berbahagia). Kalau patung
itu turun menjadikan semua orang berbahagia, ya, bukankah kedamaian itu yang dicari dalam
prilaku beragama?
Toleransi di negeri ini mutlak diperlukan dan itu harus dilalui dengan saling mengenal
perbedaan yang ada. Dalam hal ini saya luar biasa kagum dengan Bupati Purwakarta Dedi
Mulyadi yang mengharuskan semua sekolah punya ruangan untuk tempat bersembahyang
murid-murid dari seluruh agama yang ada. Saling mengenal ini membuat murid yang Islam
tahu kalau murid Hindu tidak menyembah berhala walau di depannya ada patung kecil,
sementara murid Hindu tahu kalau murid Islam bukan mencium lantai tetapi bersujud pada
Allah. Meskipun begitu, tetap saja kita harus lebih hati-hati mengomentari agama lain, yang
tidak kita lakoni. Agamamu agamamu, agamaku agamaku.

Dusta
SENIN, 07 NOVEMBER 2016

Kita, di negeri ini, hidup dengan politik yang sangat ramai tapi sepele. Tak ada hal-hal
mendasar yang dipertarungkan--hal-hal yang mendasar karena menggetarkan hati, pikiran,
dan kehidupan hampir semua orang.
Pernah, dahulu, politik bisa gemuruh mirip gempa laut: politik adalah antagonisme yang
membuat sebuah kekuasaan yang mapan guyah dalam tubuh dan jiwanya. Kini yang
semacam itu absen. Kebenaran yang kukuh--hingga tak hanya bergaung secara partisan, tapi
juga di dalam kesadaran kawan dan lawan--kini lapuk. Bahkan tidak bisa ada. Kini
pertarungan bergerak semata-mata karena opini, dengan opini.
Dalam situasi seperti ini saya bisa mengerti kenapa Badiou menyebut opini secara mutlak
bertentangan dengan "ethika kebenaran", lethique de la verite. Badiou adalah salah satu dari
sedikit pemikir di masa ini yang mempertahankan pandangan bahwa kebenaran bukanlah
hasil bentukan sepihak; ia bersifat universal, tak tergantung posisi, waktu, dan tempat.
Kebenaran ini muncul melintas bersama l'evenement, kejadian yang mengguncang keadaan.
Ketika pertempuran mati-matian terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya, waktu itu
tampak jelas keadilan dan kemerdekaan hendak direnggutkan lagi dari bangsa Indonesia.
Makin tampak pula ada sesuatu yang jahat terungkap pada rezim kolonial yang hendak
memaksakan kekuasaannya kembali. "Keadilan" dan "kemerdekaan" hari itu tak dirumuskan,
tapi keduanya tetap kebenaran yang mengimbau, menggugah, dan menggetarkan saat itu,
juga dalam kenangan hari ini.
Ada sebuah cerita. Konon di Surabaya hari itu seorang opsir Inggris melihat seorang pejuang
Indonesia muda tertidur di sebuah sudut, beristirahat dengan bedil di sampingnya ketika
tembak-menembak berhenti sementara. Ia mengatakan--kalau tak salah kepada Bung Hatta
yang dikawalnya--bahwa Indonesia tak akan bisa dikalahkan dalam perang di bulan
November itu: di tubuh kecil itu ada suatu keyakinan yang besar. Saya kira sang opsir, di
pihak seberang, tanpa banyak bicara mengakui sifat universal dari kebenaran yang mendasari
keyakinan itu.
Memang, selalu, di mana pun, ketika kebenaran dirumuskan jadi pengetahuan dan hukum,
ketika ia dipaksakan sebagai sesuatu yang mutlak, ia tak lagi seperti ketika ia buat pertama
kalinya mencekam dan menggugah; ia jadi pandangan sepihak, yakni yang sedang berkuasa.
Hari ini politik adalah politik pandangan-pandangan sepihak. Ia politik tak-peduli-kebenaran.
Majalah The Economist menyebut keadaan ini, yang bercabul seperti wabah di mana-mana,
sebagai politik post-truth, "pasca-kebenaran". Sebagaimana yang terjadi dalam pemilihan
Presiden Amerika, dan pilkada di Jakarta, dusta, fitnah, dan manipulasi kata dan fakta
berkecamuk. Para politikus dan aktivis tak lagi merasa perlu mengacu pada nilai yang
universal.
Berbeda dengan politik di zaman yang terdahulu. Dulu kebohongan juga disebar dan
dikomunikasikan, namun dengan argumen yang mengacu pada kebenaran, meskipun

kebenaran yang lemah dan hanya lamat-lamat. Dulu diam-diam masih ada pengharapan
bahwa dusta yang diucapkan itu, melalui waktu dan adu pendapat, akhirnya akan bisa
diterima siapa saja. Ketika para propagandis Nazi berpedoman bahwa "kebohongan yang
terus-menerus diulang akan jadi kebenaran", orang-orang Hitler itu sebenarnya masih
mempedulikan kebenaran, meskipun dengan sikap kurang ajar dan sinis.
Kini dusta dan manipulasi dilakukan tanpa peduli itu. Faktor yang baru dalam komunikasi
politik yang sarat dusta kini adalah kecepatan. Teknologi, dengan internet, membuat
informasi dan disinformasi bertabrakan dengan langsung, dalam jumlah yang nyaris tak
terhitung, menjangkau pendengar dan pembaca di ruang dan waktu yang nyaris tak terbatas.
Bagaimana untuk membantah? Bagaimana memverifikasi?
Pernah zaman ini mengharap internet akan membawa pencerahan. Informasi makin sulit
dimonopoli. Ketertutupan akan bocor. Dialog akan berlangsung seru. Yang salah
diperhitungkan ialah bahwa media sosial yang hiruk-pikuk kini akhirnya hanya
mempertemukan opini-opini yang saling mendukung. Yang salah diperkirakan ialah bahwa
dalam banjir bandang informasi kini orang mudah bingung dan dengan cemas cenderung
berpegang pada yang sudah siap: dogma, purbasangka yang menetap, dan takhayul modern,
yaitu "teori" tentang adanya komplotan di balik semua kejadian.
Tak ada lagi Hakim dan Juri yang memutuskan dengan berwibawa mana yang benar dan yang
tidak, mana yang fakta dan mana yang fantasi. Media, komunitas ilmu, peradilan: semua ikut
kehilangan otoritas, semua layak diduga terlibat dalam orkestrasi dusta yang luas kini.
Dan agama? Yang tak disadari kini: agama telah mengalami sekularisasi, ketika Tuhan jadi
alat antagonisme politik, bukan lagi yang Mahasuci yang tak dapat dijangkau nalar dan
kepentingan sepihak.

Goenawan Mohamad

Demokrasi tanpa Partai Politik


SENIN, 07 NOVEMBER 2016

Sulardi, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang

Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta telah menetapkan tiga pasangan calon Gubernur dan
Wakil Gubernur DKI yang akan mengikuti pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017. Para
calon itu adalah Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang didukung Partai Demokrat,
PPP, PKB, dan PAN; Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang diusung PDIP,
Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai NasDem; serta Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang
disokong oleh Partai Gerindra dan PKS.
Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis partai mana yang akan merebut kursi nomor satu di
DKI, melainkan hendak menunjukkan bahwa partai politik tidak mampu menjalankan
fungsinya, terutama dalam mencetak pemimpin bangsa dan wakil rakyat yang berkualitas.
Hal ini terlihat kasatmata. Agus Harimurti berasal dari kalangan militer serta bukan anggota
dan kader Partai Demokrat ataupun koalisinya. Basuki bukan kader PDIP ataupun partai
koalisinya. Anies juga bukan anggota dan kader Partai Gerindra ataupun PKS. Lantas, apa
gunanya partai politik dalam berdemokrasi jika tidak mampu mempersiapkan calon
pemimpin bangsa?
Bangsa ini bisa menyelenggarakan rekrutmen pimpinan tanpa melalui mekanisme yang
melibatkan partai politik. Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah, pemilihan kepala
desa, dan pemilihan dekan ataupun rektor di perguruan tinggi, misalnya, dapat berjalan
demokratis dan menghasilkan pemimpin yang andal tanpa partai politik. Lagi pula,
demokrasi pertama diselenggarakan pada abad ke-5 sebelum Masehi di Yunani Kuno berjalan
tanpa adanya partai politik.
Selain itu, apakah ada kontribusi partai politik bagi kesejahteraan rakyat? Lebih-lebih jika
partai dapat dana dari negara melalui APBN. Oleh sebab itu, sudah saatnya kita memikirkan
kemungkinan penyelenggaraan demokrasi tanpa partai politik. Sebab, keberadaan partai
politik justru tidak mampu menghadirkan calon terbaiknya.
Menurut Miriam Budiardjo (2000: 163), terdapat setidaknya ada empat fungsi partai politik
yang terkait satu sama lain. Pertama, partai politik sebagai sarana komunikasi politik. Dalam
hal ini, peran partai adalah penggabung kepentingan dan perumus kepentingan. Sebagai
penggabung kepentingan, berarti ia menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi
masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam
masyarakat berkurang. Kemudian pendapat, ide-ide, dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu

diolah dan dirumuskan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi
materi kebijakan kenegaraan yang resmi. Pada intinya, kedua fungsi tersebut menyatakan
bahwa komunikasi politik merupakan proses penyaluran aspirasi.
Kedua, sebagai sosialisasi politik. Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan
partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan umpan balik berupa
dukungan dari masyarakat luas. Di sini, partai juga berperan sangat penting dalam pendidikan
politik. Partailah yang menjadi struktur-antara (intermediate structure) yang membumikan
cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat.
Ketiga, sebagai sarana rekrutmen politik. Fungsi ini merupakan fungsi yang penting, baik
bagi keberlangsungan dan kelestarian partai politik itu sendiri ataupun untuk mencetak
pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas. Pada dasarnya partai dibentuk untuk menjadi
"kendaraan" yang sah dalam menyeleksi kader-kader pemimpin negara.
Keempat, sebagai pengatur konflik, nilai-nilai, dan kepentingan-kepentingan yang tumbuh
dalam kehidupan masyarakat yang sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling
bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan
yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai yang menawarkan
ideologi, program, dan alternatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain. Artinya,
sebagai pengatur atau pengelola konflik partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan
yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan
politik partai.
Keempat fungsi partai politik di atas menunjukkan bahwa partai politik adalah elemen yang
penting untuk membangun kehidupan yang demokratis. Sampai saat ini Indonesia masih
berproses dan mencari bentuk ideal menuju kehidupan demokratis sebagaimana yang dicitacitakan konstitusi. Dengan demikian, demokrasi sesungguhnya dapat dijalankan tanpa harus
adanya partai politik. Demokrasi tanpa partai politik pun, tetap saja demokrasi.

Pengawasan Dana Politik


SELASA, 08 NOVEMBER 2016

Reza Syawawi, Peneliti Transparency International Indonesia

Rezim regulasi pemilihan umum kepala daerah (pilkada) belum mampu menghadirkan sistem
pengawasan dana kampanye yang mumpuni. Secara umum, sistem pengawasan lebih
mengarah pada hal yang berbau administratif, dari pembatasan penyumbang dan jumlahnya,
kewajiban memiliki rekening khusus dana kampanye, hingga audit dana kampanye.
Dana kampanye harus dilihat sebagai bagian dari dana politik yang berkontribusi besar dalam
menentukan arah kebijakan politik kepala daerah. Pengawasan dana kampanye saat ini
hanyalah bagian kecil dari siklus pengawasan dana politik yang terbatas pada tahapan tertentu
dalam pilkada. Padahal hilir dan hulu dana politik telah muncul dan berdampak jauh sebelum
dan sesudah penyelenggaraan pilkada.
Ada kelemahan mendasar dari sistem pengawasan dana kampanye. Pertama, pengawasan
dana kampanye dipisahkan dari siklus besar dana politik. Dana politik dalam konteks ini juga
meliputi keuangan partai politik. Regulasi gagal menghubungkan relasi akuntabilitas antara
dana kampanye dan keuangan partai politik. Padahal, di dalam undang-undang, secara jelas
disebutkan bahwa salah satu sumber utama pendanaan kampanye adalah partai politik atau
gabungan partai politik yang mengusulkan calon kepala daerah.
Dalam konteks ini akan muncul satu persoalan mengenai bagaimana cara menguji keabsahan
dan legalitas sumbangan yang berasal dari partai politik? Praktis hal ini tidak saling
terhubung karena pengujian akuntabilitas keuangan partai politik dilakukan oleh lembaga
yang berbeda. Bahkan selama ini keuangan partai politik, khususnya yang bersumber dari
non-negara (iuran anggota dan sumbangan pihak ketiga), juga tidak terbuka kepada publik.
Kedua, mekanisme akuntabilitas dana kampanye tidak digunakan secara maksimal, baik
karena keterbatasan regulasi maupun kemampuan penyelenggara pemilu. Instrumen rekening
dana kampanye hanya digunakan sebagai syarat administratif untuk pendaftaran pasangan
calon kepala daerah. Kewajiban membuat rekening khusus dana kampanye tidak diikuti

dengan keharusan untuk menggunakannya sebagai satu-satunya saluran untuk mengelola


dana kampanye. Padahal kehadiran rekening khusus dana kampanye akan memudahkan
penelusuran sumber-sumber dana kampanye. Dari segi sanksi juga tidak dijelaskan
bagaimana jika dalam masa kampanye ada penggunaan rekening lain di luar rekening khusus
tersebut.
Pembatasan sumber dan penggunaan dana kampanye hanya menyasar hal-hal yang secara
resmi digunakan dan dilaporkan oleh pasangan calon atau tim sukses. Padahal, dalam
prakteknya, banyak aktivitas yang dilakukan oleh pihak tertentu yang menguntungkan calon
tertentu tapi tidak tercatat sebagai bagian dari aktivitas yang wajib dilaporkan. Bagaimana
penyelenggara pemilu bisa menjangkau dan mengawasi aktivitas ini? Sayangnya, hal ini di
luar kuasa penyelenggara pemilu dan ketiadaan sanksi di dalam undang-undang.
Pada bagian akhir berkaitan dengan audit dana kampanye. Sejauh mana audit dana kampanye
dapat memberikan gambaran yang utuh tentang pengelolaan dana kampanye? Sayangnya,
audit hanya dilakukan sebatas terhadap laporan yang disampaikan oleh pasangan calon
sehingga akan sangat sulit untuk menera dan membandingkan antara aktivitas kampanye
yang dilakukan dan yang dilaporkan.
Semua gambaran ini sebetulnya mencerminkan lemahnya pengawasan dana kampanye.
Masalah pengawasan dana kampanye saat ini memberikan dampak yang tidak terlalu positif
terhadap perbaikan hasil pilkada karena pengawasan dijalankan apa adanya, tanpa terobosan.
Sistem ini seolah mengafirmasi pola rekrutmen politik terhadap calon kepala daerah yang
juga bermasalah, termasuk diperbolehkannya tersangka tindak pidana (termasuk korupsi) dan
mantan terpidana korupsi menjadi calon kepala daerah.
Kombinasi sistem pemilu yang buruk, khususnya dalam konteks pengawasan, dengan
pengelolaan partai politik yang amatiran, ditambah dengan pendidikan politik yang timpang
kepada publik, menyebabkan hasil pilkada tidak selalu menjanjikan munculnya kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang baik. Problem struktural ini tidak akan pernah bisa selesai
tanpa mengubah wajah pengawasan dana politik yang sangat parsial ini. Salah satu caranya
tentu dengan mengubah regulasi yang mengatur tentang pengawasan dana kampanye dan
dana partai politik. Selain itu, secara kelembagaan, badan pengawasan yang dirancang
haruslah didesain memiliki struktur yang relevan dengan konteks pengawasan dana politik,
bukan hanya lembaga yang mengawasi secara administratif.

Ancaman Kedaulatan Rakyat untuk


Berekspresi
RABU, 09 NOVEMBER 2016

Sabam Leo Batubara, Mantan Wakil Ketua Dewan Pers

Saya tertarik membandingkan perkembangan kedaulatan rakyat Indonesia untuk


mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan dengan rakyat Belanda, negeri bekas penjajah
Indonesia. Pada era penjajahan Belanda, penguasa memperlakukan penghuni bumi Nusantara
sebagai rakyat terjajah dan kumpulan penjahat potensial. Penjajah memberlakukan peraturan
bahwa barang siapa menyuarakan pendapat atau kritik yang dinilai mencemarkan nama baik
aparat, pelakunya akan dianggap sebagai penjahat. Berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)waktu itu disebut Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie
sang pelaku terancam pidana 1 tahun 4 bulan penjara atau denda maksimal Rp 4.500.
Dengan satu KUHP itu, Belanda mampu mengendalikan Indonesia selama 350 tahun.
Di negerinya, pemerintah Belanda memperlakukan rakyatnya sebagai warga negara merdeka,
berdaulat, dan bermartabat. Ekspresi dan pendapat rakyat yang dinilai mencemarkan nama
baik tidak dianggap sebagai kejahatan. Pelakunya hanya dapat diproses dalam perkara
perdata dengan denda proporsional.
Setelah Indonesia merdeka, ketika Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto berkuasa,
kedaulatan berada di tangan penguasa rezim, meski UUD 1945 menyatakan kedaulatan
berada di tangan rakyat. Rakyat diposisikan sebagai burung beo. Setelah rakyat
mendelegasikan kedaulatannya kepada MPR, selanjutnya MPR menggadaikan kedaulatan itu
kepada penguasa. Kemudian penguasa menjadi pemegang kedaulatan tertinggi. Demi
memenuhi kehendaknya, Sukarno diangkat oleh MPR menjadi presiden seumur hidup.
Soeharto tidak mau menjadi presiden seumur hidup. Ia hanya mau dipilih oleh MPR
sebanyak tujuh kali. Dan, dalam pemilihan, calon presiden yang harus dipilih hanya boleh

satu, yakni Soeharto sendiri.


Pers yang berani memberitakan ekspresi ketidakpuasan dan kritik rakyat bukan hanya dicabut
izin penerbitannya, wartawannya pun terancam dikriminalkan.
Bagaimana kedaulatan berekspresi rakyat pada era Reformasi ini? Fakta-fakta menunjukkan
pola pikir penyelenggara negara terkesan cenderung paradoksal. Pertama, penegak hukum,
yakni kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung, menunjukkan kebijakan melindungi
kebebasan pers berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Adapun
DPR dan pemerintah, dalam kewenangannya membuat undang-undang, justru semakin
mengancam kebebasan pers. Hasil survei Indeks Kebebasan Pers Indonesia 2015 oleh Dewan
Pers menunjukkan, meski secara umum kebebasan pers pada 2015 dikategorikan masih "agak
bebas", paling tidak penegak hukum dinilai tidak lagi gemar mengkriminalkan pers.
Paradoksnya, kecenderungan DPR dan pemerintah untuk mengkriminalkan kedaulatan
berekspresi rakyat semakin lebih represif ketimbang kecenderungan penjajah Belanda. Saat
ini, revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE), revisi KUHP, serta revisi Undang-Undang Penyiaran sedang diagendakan dan
dibahas di DPR. Rancangan revisi UU ITE dan rancangan revisi KUHP masih menilai
pencemaran nama baik sebagai tindak kejahatan.
Salah satu pasal rancangan UU Penyiaran mendesain agar siaran wajib disensor oleh lembaga
sensor sebelum disiarkan. Tidakkah draf ketentuan itu bermakna bahwa DPR dan pemerintah
sama sekali tidak mempercayai kedaulatan rakyatnya yang bergiat di bidang pers penyiaran?
Padahal penjajah Belanda saja masih menaruh kepercayaan kepada rakyat Indonesia,
sehingga media pers tidak perlu disensor terlebih dulu. Semua rancangan tersebut bertujuan
mengebiri hak-hak dasar rakyat.
DPR dan pemerintah hasil Pemilihan Umum 1997, yang tidak demokratis, pada akhir masa
baktinya menerbitkan UU Pers. Selain diberi fungsi untuk mengekspresikan kontrol rakyat,
pers diberi peran untuk mengawasi, mengkritik, dan mengoreksi hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan umum.
Amendemen konstitusi semakin melindungi fungsi dan peran pers tersebut. Pasal 28F UUD
1945 menyatakan, "Setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia."
Namun DPR dan pemerintah, yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang
demokratis, masih menghasilkan revisi UU ITE yang isinya tidak mengubah ancaman sanksi
pidana bagi pelaku pencemaran nama baik menjadi perkara perdata dengan sanksi
proporsional, seperti yang lazim diberlakukan di negara-negara demokratis. Hasil revisi UU
ITE itu ternyata masih mengkriminalkan rakyat pelaku pencemaran nama baik dengan
ancaman pidana sampai 4 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 750 juta.

Persoalannya, mengapa UU ITE masih mengancam rakyat dengan hukuman yang jauh lebih
berat dibanding ancaman hukum kolonial? Apakah karena DPR dan pemerintah masih
menilai rakyat cenderung sebagai penjahat potensial yang dapat mengancam kedaulatan DPR
dan pemerintah? Poin dari tulisan ini, DPR dan pemerintah terkesan masih berpola pikir
bahwa kedaulatan rakyat negeri ini harus di bawah kendali DPR dan pemerintah.

Robohnya Sekolah Kami


KAMIS, 10 NOVEMBER 2016

Muhammad Alfisyahrin, Divisi Advokasi YAPPIKA

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla merilis daftar pencapaian pemerintah
selama dua tahun memimpin. Salah satunya memuat pencapaian dalam infrastruktur
pendidikan, yakni telah membangun 14.223 ruang kelas baru dan merenovasi 11.633 ruang
kelas. Sayangnya, klaim tersebut menjadi kehilangan konteksnya ketika pemerintah tidak
secara terbuka menjelaskan berapa banyak sebenarnya ruang kelas yang perlu dibangun dan
direhab sekarang. Juga sekolah mana saja yang menerima alokasi pembangunan dan rehab
tersebut.
Studi YAPPIKA (2016) menunjukkan adanya kesenjangan antara alokasi anggaran dan
kebutuhan pembangunan/rehab ruang kelas serta buruknya tata kelola yang membuat
penentuan dan penyaluran alokasi pembangunan/rehab tidak tepat sasaran. Dalam rentang
2013-2015, pemerintah rata-rata hanya bisa merehab 9.280 ruang kelas SD per tahun. Dengan
total 196.708 (18,6 persen) ruang kelas SD yang masih rusak hari ini, diperkirakan butuh
waktu 21 tahun untuk merehab semuanya.
Di tingkat SMP, kondisinya tidak jauh berbeda, ada 57.611 (16,62 persen) ruang kelas yang
rusak. Akibatnya, sejak 2014, telah jatuh 105 anak korban luka dan 4 anak korban jiwa. Jika
pemerintah tetap business as usual, diperkirakan 6,6 juta anak lainnya akan bernasib serupa
karena masih belajar di ruang kelas yang rusak dan bisa roboh kapan saja.
Sebanyak 10 persen pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang menjadi sampel studi

YAPPIKA rata-rata hanya mengalokasikan 0,99 persen dari APBD 2016 untuk pembangunan
dan rehabilitasi ruang kelas. Padahal, rata-rata anggaran pendidikan 10 daerah tersebut sudah
30,43 persen. Tapi sebagian besar dari anggaran pendidikan itu tersedot untuk membiayai
pegawai struktural dan fungsional.
Dengan membandingkan kebutuhan anggaran untuk pembangunan dan rehab ruang kelas SD
dan SMP serta ketersediaannya saat ini, diperkirakan butuh waktu rata-rata 6,3 tahun bagi
sepuluh pemerintah daerah tersebut untuk menyelesaikan persoalan sekolah rusak. Situasi
paling ekstrem terjadi di Kabupaten Jayapura yang membutuhkan waktu 28,7 tahun. Tapi
alokasi anggaran dari pusat yang diharapkan dapat melengkapi alokasi anggaran dari Pemda
dan mempercepat waktu penyelesaian persoalan ini justru terus menurun. Dari 0,41 persen
APBN 2014 menjadi hanya 0,37 persen dari APBN 2015 dan 0,21 persen dari APBN 2016.
Bahkan, pada APBN 2016, dana alokasi khusus (DAK) untuk jenjang pendidikan SMP sama
sekali tidak dialokasikan.
Pengecekan lapangan oleh mitra YAPPIKA membuktikan bahwa dua dari lima SD penerima
dana rehab di Kabupaten Serang dan tiga SD penerima dana rehab di Kabupaten Bogor
kondisinya tidak lebih parah dibanding sekolah lain yang tidak menerima dana. Petunjuk
Teknis (Juknis) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) DAK Pendidikan yang diterbitkan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setiap tahunnya terbukti belum bekerja dengan
baik di tingkat daerah. Bahkan, menurut ICW (2013), kasus korupsi terbanyak dan dengan
nilai kerugian negara terbesar itu terjadi dalam pengelolaan DAK.
Keselamatan anak-anak mesti diprioritaskan. Pemerintah harus mengambil langkah cepat
dengan meningkatkan alokasi anggaran, memperbaiki tata kelola pembangunan dan rehab
ruang kelas, membangun sistem informasi pembangunan infrastruktur pendidikan, serta
mengembangkan sistem pengaduan tentang sekolah rusak agar dapat memberikan respons
cepat terhadap kasus di lapangan.

Palsu
SABTU, 12 NOVEMBER 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Dimas Kanjeng Taat Pribadi punya tujuh mahaguru, demikian istilah yang diperkenalkannya.
Ketujuh mahaguru tugasnya hanya duduk mendampingi Dimas Kanjeng saat memberikan
wejangan kepada pengikutnya. Para mahaguru itu meyakinkan dalam hal perwajahan. Dibalut
jubah hitam, hampir semuanya memelihara jenggot dengan raut wajah kekurangan gizi-gambaran wajah para spiritual yang karena hidup disiplin dengan kesederhanaan mukanya
jadi kurang cerah. Sekali mendampingi Dimas, masing-masing mahaguru mendapat bayaran
Rp 2-15 juta. Luar biasa!
Ternyata mahaguru itu palsu. Kata palsu ini diucapkan polisi, yang berhasil menangkap tujuh
orang itu di rumah petaknya masing-masing di metropolitan Jakarta. Profesi mereka
semuanya penganggur. Kalaupun ada yang bekerja, itu di sektor informal sebatas menjadi
pemulung. Mereka tak menguasai ilmu agama, mengaji pun tak pernah.

Tapi Dimas menyulap mereka menjadi mahaguru. Dengan kawalan mahaguru itu, apa pun
yang diucapkan Dimas kepada pengikutnya mendapatkan legitimasi. Dimas menyebutkan
bisa menggandakan uang, pengikutnya percaya setelah mahaguru mengangguk. Lempengan
bata merah disebutkan bisa menjadi emas batangan dan pengikut Dimas percaya setelah
mahaguru mengangkat tangannya tanda membenarkan. Pengikut Dimas bukan orang bodoh,
bukan juga miskin harta. Mereka berpendidikan dan ada yang kaya raya sampai punya harta
miliaran rupiah, namun tetap mau digandakan. Ketua yayasan yang menaungi padepokan
Dimas di Probolinggo itu juga bukan orang sembarangan, dia seorang cendekiawan doktor
lulusan Amerika.
Sementara itu, di sudut kawasan yang lain, banyak orang berpenampilan agamis, berjubah
dengan jenggot maupun tidak. Lewat busananya mereka menampilkan diri sebagai orang
spiritual yang sarat ilmu agama. Mereka mengumandangkan kebesaran Tuhan dengan
teriakan lantang, tangan mengepal ke atas atau menuding, lalu kata yang keluar: "tangkap dia,
tahan dia, bunuh dia." Keagungan Tuhan dengan ciri welas asih, pemaaf, pemurah, penuh
kedamaian terkuburkan. Mereka ini bukan gelandangan seperti mahaguru Dimas Kanjeng.
Mobilnya saja Pajero atau Alphard.
Orang-orang kagum dan langsung mengiyakan apa yang mereka katakan itu sebagai
kebenaran. Orang cepat terpesona oleh penampilan. Sebelum polisi menciduk Dimas Kanjeng
karena kasus pembunuhan dan penipuan, tak seorang pun pula yang meragukan kewibawaan
mahaguru Dimas, apalagi menyebutnya palsu. Artinya, sepanjang mereka pandai berakting
dan belum ada tindakan pidana, tak akan ada yang memberi cap palsu.
Tampaknya ada perubahan dalam memilih pemimpin dan mempercayai seseorang di era
hiruk-pikuk media sosial ini. Orang yang disukai adalah orang yang berani, orator ulung,
nabrak sana nabrak sini, bukan yang kalem dan "biasa-biasa saja". Wakil rakyat yang dipuji
adalah mereka yang ikut dalam aksi demo, berorasi di jalanan disambut acungan tangan
mengepal dari massa. Seharusnya wakil rakyat itu digaji untuk berorasi di gedung parlemen,
mengawasi jalannya pemerintahan.
Jika ada ulama memberi wejangan dari rumahnya lewat tulisan atau lisan, tak ada yang
mendengarkan. Yang didengar adalah mereka yang berteriak di atas mobil di lautan massa
dengan nada kemarahan. Donald Trump memenangi pemilihan presiden di Amerika Serikat
karena ia berkampanye mengobarkan rasisme dan pengetatan imigrasi. Nadanya marah dan
warga Amerika merasa dilindungi oleh kampanye Trump ini.
Dunia sepertinya akan tetap riuh dengan kemarahan, setelah ini. Juga di negeri ini.

Trump dan Dilema Jokowi


SENIN, 14 NOVEMBER 2016

Vishnu Juwono, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi UI

Dunia kembali dikejutkan oleh pesta demokrasi di Amerika Serikat yang puncaknya

berlangsung pada pemilihan presiden pada 8 November 2016. Kandidat dari Partai Republik,
Donald Trump, pengusaha properti dan bekas bintang reality show, terpilih menjadi Presiden
Amerika Serikat ke-45. Dengan sistem penghitungan electoral college, yang pemenangnya
ditentukan oleh jumlah total negara bagian yang dimenangi, Trump memperoleh 279
electoral college, sedangkan pesaingnya, Hillary Clinton, 228. Trump menang, meskipun
Hillary memenangi jumlah total suara pemilih (47,7%) dibanding Tump (47,4%). Ini gempa
politik global dunia kedua setelah peristiwa Brexit, ketika melalui referendum rakyat Inggris
di luar dugaan memutuskan keluar dari Uni Eropa pada Juni lalu.
Kemenangan Donald Trump ini unik. Sebagai jutawan dengan aset US$ 3,7 miliar (Forbes,
2016), ia mendapat banyak suara dari golongan menengah bawah kelas pekerja kulit putih
dengan meraih kemenangan di beberapa negara bagian penting, seperti Michigan,
Pennsylvania, dan Ohio. Akibatnya, di dalam segmen pemilih penting ini, Trump unggul
telak dengan meraih suara sebanyak 67% dibanding Hillary (28%).
Fenomena ini didefinisikan sebagai "rich populism" oleh Ian Buruma (2016), yakni
kelompok pengusaha kaya baru yang lihai berpolitik dengan memanfaatkan rasa frustrasi dari
kaum pekerja terhadap kaum elite perkotaan yang dianggap memanipulasi pemerintah untuk
memperkaya diri mereka. Akibatnya, selain Trump, di masa lalu terjadi pula fenomena
berkuasanya Berlusconi di Italia atau Thaksin di Thailand. Pengalaman panjang Hillary
Clinton di sektor publik, seperti menjadi menteri luar negeri, malah menjadi titik lemah bagi
Hillary karena dianggap sebagai bagian dari kalangan elite tersebut.
Selain itu, sumber kemarahan lain dari golongan menengah bawah kulit putih tersebut adalah
faktor ekonomi, dan Trump mengeksploitasi soal tingginya tingkat kemiskinan di masa
Presiden Obama, yang mencapai puncaknya dengan 42,6 juta penduduk berada di bawah
garis kemiskinan pada 2010. Untuk menarik simpati mereka, Trump mengecam kebijakan
perdagangan bebas yang diakselerasi pada masa Presiden Bill Clinton era 1990-an. Kebijakan
perdagangan bebas dengan 11 negara dalam Kemitraan Trans Pasifik (TPP) yang diadvokasi
oleh Obama juga menjadi sasaran kritik Trump, yang disebutnya akan mengambil pekerjaan
dari kelompok menengah bawah putih serta hanya menguntungkan korporasi dan negara
asing.
Mengenai prospek hubungan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat, Kedutaan AS di
Indonesia sepertinya harus bekerja keras dalam menjalankan fungsi diplomasi publik.
Berdasarkan survei South China Morning Post pada 6 November lalu, hanya 10% warga
Indonesia yang memilih Trump dibandingkan Hillary, dengan 90%. Ketidakpopuleran Trump
di Indonesia terutama karena retorika anti-muslim Trump selama kampanye. Apalagi
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim.
Dalam bidang ekonomi, Presiden Jokowi sepertinya harus mengurungkan niatnya agar
Indonesia bergabung dalam TPP, karena bujukan Obama, mengingat Trump kemungkinan
besar akan membatalkannya. Selain itu, program bantuan ke Indonesia, seperti Millennium
Challenge Corporation (MCC) senilai US$ 600 juta, terutama komponen program lingkungan

hidup, ada kemungkinan akan dikaji ulang oleh Trump, yang skeptis terhadap bahaya
perubahan lingkungan dan berjanji akan membatalkan berbagai inisiatif lingkungan hidup
Obama.
Presiden Jokowi saat ini memfokuskan hampir seluruh sumber daya pemerintahnya pada
sektor ekonomi, terutama infrastruktur. Karakter "developmentalis" ini mengingatkan pada
pemerintah Orde Baru masa Soeharto (Warburton, 2016). Dengan latar belakang yang sama,
sebagai pengusaha, serta gaya kepemimpinan "developmentalis" Trump dan Jokowi yang
mirip, mereka berpeluang menciptakan hubungan personal yang cocok jika diwujudkan
dalam hubungan bilateral kedua negara dengan prioritas kerja sama di bidang ekonomi.
Terlebih iklim politik AS mendukung Trump. Melalui pemilihan umum yang sama, menurut
perkiraan CNN, Partai Republik juga menguasai parlemen dengan 238 kursi (Demokrat 193
kursi) dan senat dengan 51 kursi (Demokrat 48 kursi).
Fokus kerja sama di bidang ekonomi kemungkinan besar pada sektor infrastruktur, keuangan,
teknologi informasi, dan energi dengan perusahaan multinasional AS memiliki keunggulan
teknologi dan kapital. Hingga triwulan pertama 2016, jumlah modal asing dari AS, menurut
data BKPM, ternyata masih kecil, hanya di urutan ke-20 dengan nilai investasi US$ 10,65
juta, walaupun volume perdagangan kedua negara cukup besar, senilai US$ 14 miliar atau
10% dari total ekspor Indonesia ke seluruh dunia.
Pada akhirnya, tantangan Jokowi ke depan adalah bagaimana mendatangkan investasi dan
meningkatkan volume perdagangan dengan AS melalui diplomasi ekonomi yang intensif
tanpa menimbulkan sentimen negatif dari masyarakat terhadap dirinya, khususnya dari
kalangan muslim. Untuk itu, Jokowi mempunyai tugas tambahan yang berat, yaitu
meyakinkan masyarakat bahwa hubungan bilateral dengan AS, yang dipimpin Trump, adalah
semata-mata untuk memperjuangkan kepentingan negara dan demi manfaat bagi Indonesia.

Bandang Bandung Akan Berulang


SENIN, 21 NOVEMBER 2016

Budi Brahmantyo, Dosen teknik geologi ITB dan koordinator Kelompok Riset
Cekungan Bandung

Secara mengejutkan dan seolah-olah luput dari antisipasi warga Bandung, pada akhir Oktober
dan awal November 2016 terjadi peristiwa yang dikenang sebagai banjir bandang Bandung.
Banjir dengan aliran cepat dan berarus deras yang sebenarnya merupakan luapan Sungai
Citepus itu secara alamiah memang merupakan peristiwa alam yang berhubungan dengan
hujan besar di daerah aliran sungai (DAS) hulu Citepus. Dengan karakteristik seperti itu,
banjir Citepus dapat dikategorikan sebagai banjir bandang.
Banjir bandang (flash flood) didefinisikan banyak institusi, kamus, ataupun ensiklopedia
sebagai peristiwa alam naiknya secara tiba-tiba debit sungai dengan kecepatan tinggi yang
disebabkan curah hujan besar. Banjir bandang berbeda dengan banjir (flood). Banjir adalah
peristiwa meluapnya air sungai yang menggenangi wilayah bantaran sungai. Datangnya tidak
secara tiba-tiba, relatif bertahap, dan dapat terpantau. Sementara banjir umumnya
menggenang cukup lama, banjir bandang hanyalah aliran besar sesaat, tapi sangat besar
dengan arus kuat.
Dari peristiwa banjir bandang Citepus, banyak yang heran mengapa peristiwanya baru
sekarang terjadi? Banyak yang menduga bahwa, selain memang pola curah hujan yang
menjadi besar di utara Bandung, dicurigai terjadi perubahan tata guna lahan di DAS hulu
Citepus. Kecurigaan ini bisa benar karena fakta lapangan menunjukkan bahwa di DAS hulu
Citepus di atas Jalan Dr Junjunan (Terusan Pasteur) terjadi pembangunan permukiman yang
rapat dan bahkan hingga hulunya di wilayah Lembang.
Melalui penelusuran dari peta Street Atlas Bandung (Periplus, 2004-2005), Citepus, yang
bermuara ke Citarum di sekitar Cangkuang, mempunyai aliran ke arah hulu, ke utara, melalui
Terminal Leuwipanjang, Nyengseret, Pekuburan Astanaanyar (dan di sini bergabung Ci
Kakak), memotong terusan Jalan Pasirkoja, Jalan Pagarsih, Jalan Jenderal Sudirman di sekitar
Andir, Ciroyom, Jalan Bima, hingga Pekuburan Sirnaraga. Di sekitar Lapangan Terbang
Husein Sastranegara, Citepus bercabang dua, satu ke arah barat laut sebagai sungai utama dan
bernama Cibeureum, satu lagi berupa cabang pendek Cipedes.
Cabang utama Cibeureum adalah aliran sungai cukup besar yang mengalir melalui
permukiman padat di daerah Setra Duta, mengalir di sebelah barat UPI, dan wilayah
Cihideung tempat aliran Cihideung juga bergabung. Ke arah hulu, aliran terus hingga sebelah
barat Lembang, dan ujung sungai-sungai ini berada di lereng selatan Gunung
Tangkubanparahu.
Dari kondisi morfologi ini dapat digambarkan bahwa gradien sungai (kemiringan aliran)
relatif landai dari muaranya di selatan hingga di sekitar Husein Sastranegara. Di atas itu,
gradien sungai meninggi selari dengan memasuki kawasan perbukitan yang semakin tinggi di

Setra Duta, Cihideung, dan semakin tinggi setelah Lembang. Dalam proses terjadinya banjir
bandang, kondisi morfologi seperti ini sangat tipikal. Hal itu tidak hanya terjadi pada Citepus,
tapi juga sungai-sungai yang berhulu di perbukitan Kawasan Bandung Utara (KBU).
Analisis morfologi menunjukkan wilayah-wilayah yang rawan terjadi banjir bandang adalah
wilayah tempat perubahan gradien sungai dari tinggi ke rendah. Bayangkan arus deras yang
menggelontor di daerah perbukitan dengan lembah sungai curam mendadak memasuki lereng
landai dengan lembah mendangkal. Luapan dengan dorongan arus keras akan terjadi di
tempat-tempat, seperti ini. Maka tidak mengherankan jika wilayah-wilayah rawan itu terjadi
kebetulan sejalan dengan poros Terusan Pasteur, Surapati, Cicaheum, Ujungberung, hingga
Cileunyi.
Sebuah penelitian kecil pernah dilakukan Sagara, Riono, Adityo, dan Brahmantyo pada 2010
untuk dua DAS, yaitu Cidurian dan Cisaranten. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
bentuk DAS Cidurian yang cenderung lurus dan sempit lebih rawan mengalami banjir
bandang dibanding DAS Cisaranten, yang berbentuk membundar dan lebar. Hal ini selaras
juga dengan penelitian yang dilakukan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) yang
menunjukkan bahwa dalam curah hujan yang sama, DAS yang menyempit akan dengan cepat
meningkatkan debit secara tiba-tiba dibanding DAS yang melebar.
Secara geologi, batuan utama di wilayah perbukitan KBU merupakan hasil endapan letusan
Gunung Sunda Purba berupa breksi dengan sisipan lava yang kompak dan keras. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa uji infiltrasi air sangat kecil di wilayah perbukitan dengan
lereng-lereng terjal ini. Dapat disimpulkan bahwa perbukitan KBU mempunyai daya resap air
hujan rendah sehingga, saat hujan besar, akan lebih banyak limpasan permukaan. Kondisi ini
diperparah hilangnya hutan di KBU dan digantikan permukiman atau ladang-ladang terbuka.
Perubahan tata guna lahan ini semakin meningkatkan limpasan air permukaan. Padahal, hasil
penelitian Leopold yang dikutip dalam Morisawa (1985) menjelaskan bahwa kenaikan debit
sungai secara cepat dalam waktu jeda yang singkat akan terjadi pada DAS dengan permukaan
yang impermeabel atau relatif kedap air.
Dari beberapa kajian geologi dan morfologi wilayah utara Bandung, terang bagi kita bahwa
banjir bandang akan terus mengancam Bandung. Sungai-sungai yang berhulu di utara
Bandung, yang mempunyai batuan dasar breksi-lava yang kompak dan keras, apalagi
ditambah berubahnya hutan menjadi permukiman atau ladang, serta DAS yang relatif lurus,
akan sangat rawan tertimpa banjir bandang. Jadi, dengan perubahan tata guna lahan yang luar
biasa di perbukitan KBU, kejadian banjir bandang akan lebih sering kita alami di masa depan.

Penjara Tak Membuatnya Jera

SELASA, 22 NOVEMBER 2016

Noor Huda Ismail, Yayasan Prasasti Perdamaian

Bom gereja meledak lagi. Kali ini sasarannya adalah Gereja Oikumene, Samarinda,
Kalimantan Timur. Pelakunya, Juhanda, mantan narapidana teroris bom buku 2011. Sebagai
bangsa, kita telah "terperosok pada lubang yang sama".
Sejak bom Hotel Marriot kedua pada 2009, aksi terorisme di Indonesia melibatkan mantan
narapidana terorisme. Keterlibatan yang kedua kalinya, mereka naik "kasta" karena adanya
peningkatan peran dan aksi. Misalnya, Urwah, salah satu pelaku pengeboman Hotel Marriot
2009. Ketika pertama kali Urwah ditangkap, ia hanya berperan menyembunyikan informasi
keberadaan Noordin M. Top. Dalam aksi kedua, Urwah menjadi salah satu perancang
serangan maut itu. Demikian juga dengan Afif alias Sunakim, pelaku bom Sarinah 2016.
Awalnya, Afif hanya terlibat dalam pelatihan militer di Aceh pada 2010. Setelah bebas, ia
menjadi pelaku utama serangan di awal tahun ini.
Pola tersebut terulang kembali dengan pelaku serangan bom di Samarinda. Wajar jika
kemudian Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menyatakan niat negara untuk mengevaluasi
program deradikalisasi yang selama ini dijalankan. Mungkin, langkah evaluasi pertama yang
perlu kita lakukan adalah dengan memahami "titik balik" kehidupan narapidana terorisme di
dalam dan di luar penjara.
Pada kasus Juhanda, terlihat jelas bahwa penjara justru menjadi "sekolah" yang membuatnya
naik "kasta". Dalam wawancara dengan penulis, Pepi Fernando, pelaku utama bom buku
2011 mengatakan: "Dalam aksi yang kami lakukan (bom buku 2011), Ju (panggilan Juhanda)
tidak terlibat apa pun. Semua aksi di Jakarta dan dia (Ju) di Aceh". Dalam kasus terbarunya
ini, Ju "dikorbankan oleh mentor-mentor pengecut. Mereka memberi Ju beban yang tidak
berani mereka pikul sendiri".
Bagi Pepi, para mentor itu bukanlah sosok misterius yang susah diendus oleh aparat karena
mereka ini adalah para tahanan teroris pendukung ideologi Negara Islam Irak dan Suriah
(ISIS), yang biasa disebut sebagai ISIS-ers, di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Kurun
20112014 tampaknya telah menjadi "titik balik" kehidupan dan komitmen Juhanda. Ia
dikelilingi oleh narapidana ISIS-ers dan bahkan dinikahkan dengan seorang akhwat (wanita)
dari jaringan ISIS-ers di Kalimantan.
Rupanya, penjara tidak menjadikan para narapidana terorisme ini jera dan putus dengan dunia
luar. Mereka sangat aktif memantau apa yang terjadi di luar tembok penjara melalui telepon
pintar yang mereka dapatkan secara sembunyi-sembunyi. Setelah deklarasi ISIS oleh Al
Baghdadi pada 2014, narapidana terorisme terbagi menjadi dua kelompok besar.

Pertama, mereka yang dengan gegap gempita mendukung. Inilah yang disebut kaum ISIS-ers.
Sebagai bukti komitmen mereka terhadap ISIS, secara umum mereka menolak bersikap
kooperatif terhadap pembinaan dari negara, terutama pihak lembaga pemasyarakatan dan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Bagi mereka, pegawai penjara dan staf BNPT
adalah anshorut toghut atau pendukung penguasa lalim yang tidak tunduk terhadap hukum
Islam. Sikap resistansi mereka ini ditunjukkan dengan membuat kelompok kecil dan
melakukan konsolidasi antar-mereka.
Kedua, kelompok yang menolak ISIS. Mereka ini lebih lunak, kooperatif, dan menerima
program pembinaan, baik dari LP maupun institusi lain, seperti lembaga swadaya
masyarakat. Pada kelompok ini, BNPT relatif telah berhasil merangkul sebagian napi
terorisme di dalam dan di luar penjara dengan membantu mereka dengan pemberian modal
untuk usaha kecil.
Karena penolakan para ISIS-ers ini, program pembinaan dari LP dan BNPT hampir tidak
menyentuh mereka. Negara "kedodoran" menyikapi jenis narapidana seperti ini. Bahkan,
ISIS-ers juga enggan mengurus hak-hak mereka, seperti pembebasan bersyarat. Mereka
menilai hak-hak semacam itu bermuatan ideologis karena ada persyaratan harus
menandatangani surat kesetiaan kepada NKRI. Karena itu, mereka lebih memilih bebas
murni.
Fenomena resistansi ISIS-ers lumrah terjadi di LP yang memiliki warga binaan kasus
terorisme. Misalnya di LP Pasir Putih Nusakambangan, terdapat sekitar 23 orang narapidana
kasus terorisme. Delapan di antaranya bersikap kooperatif dan menolak memberikan
dukungan kepada ISIS. Selebihnya memilih menjadi pendukung gerakan radikal ISIS dan
menolak pembinaan. Yang tergolong kelas ideolog, seperti Aman Abdurrahman, ditempatkan
di blok isolasi. Adapun pengikut ISIS yang lain ditempatkan satu blok tersendiri.
Juhanda berada dalam kelompok yang menolak program deradikalisasi ini. Ia kemudian
justru "dibina" oleh ISIS-ers bernama Agung alias Ayas asal Samarinda, yang terlibat dalam
pelatihan militer Poso, di bawah komando Santoso. Meskipun Juhanda tidak kooperatif, ia
masih mendapatkan remisi Idul Fitri selama satu bulan pada 2014. Sebelumnya, ia juga
mendapatkan remisi khusus pada Oktober 2013 selama satu bulan dan remisi umum pada
Agustus 2013. Dengan akumulasi remisi tersebut, Juhanda bebas murni pada 28 Juli 2014.
Pada fase inilah barangkali BNPT kehilangan momentum emas untuk melakukan koordinasi
pihak terkait, seperti dinas sosial, tokoh masyarakat, atau bahkan pihak keluarga Juhanda,
ketika ia bebas. Dalam rentang waktu dua tahun setelah bebas, negara dan masyarakat tidak
hadir dalam kehidupan Juhanda. Ia justru diterima dengan tangan terbuka oleh komunitas
ISIS-ers di Samarinda atas rekomendasi Agung. Dalam kelompok kecil inilah "titik balik"
Juhanda mendorongnya menjadi pelaku bom di Samarinda yang menewaskan Intan.

Pungutan Liar, Pemerasan, dan Suap

KAMIS, 24 NOVEMBER 2016

Cris Kuntadi, Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan

Pada Oktober lalu, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menggelar operasi tangkap
tangan di Kementerian Perhubungan terhadap pegawai golongan rendah (eselon IV dan staf).
Enam orang diciduk di ruang loket pengurusan izin Direktorat Perkapalan dan Kepelautan
lantai 6 Gedung Karya. Mereka tertangkap tangan melakukan pungli.
Presiden Joko Widodo segera menandatangani Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016
tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Menteri Perhubungan juga membentuk Tim
Satgas Operasi Pemberantasan Pungli.
Saya sepakat bahwa pungli masuk dalam tindak pidana korupsi. Tapi masyarakat perlu
memahami tidak semua sebab-akibat pungli sama. Misalnya, pelaku pungli atau modus yang
dilakukan seperti pungli dapat dalam bentuk pemerasan, suap, dan gratifikasi.
Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku korupsi terbagi
dalam tiga kelompok, yakni korporasi, pegawai negeri, dan perorangan. Senada dengan itu,
menurut KUHP Pasal 55, pelaku diartikan sebagai yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, yang turut serta melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang lain
untuk berbuat.
Banyak di antara kita mengenal istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Tapi,
belakangan, istilah korupsi lebih sering mencuat. KKN merupakan bentuk kecurangan (fraud)
yang tak bisa dipisahkan. Korupsi ialah bagian dari kecurangan yang mengakibatkan
kerugian material di pihak lain, baik negara, perusahaan, saudara, maupun persahabatan.
Adapun kolusi ialah kecurangan yang melibatkan dua pihak atau lebih. Jenis kecurangan ini
terbilang sulit terdeteksi karena dilakukan secara terorganisasi. Adapun nepotisme merupakan
bentuk kecurangan yang dilakukan dengan memanfaatkan jabatan untuk memberi hasil bagi
keluarga, kerabat, dan sahabat, sehingga menutup kesempatan bagi orang lain.
Jadi, intinya adalah kecurangan. Secara umum kecurangan mengandung tiga unsur penting:
perbuatan tidak jujur, niat atau kesengajaan, dan keuntungan yang merugikan orang lain.
Association of Certified Fraud Examinations (2000) menggunakan istilah "pohon
kecurangan" dan mengkategorikan kecurangan dalam tiga kelompok: laporan keuangan,
penyalahgunaan aset, dan korupsi. Ada juga istilah "segitiga kecurangan", yakni tiga kondisi
yang mendorong terjadinya kecurangan, yakni kesempatan, tekanan, dan pembenaran.
Setiap tindakan selalu ada ganjarannya. Begitu juga kecurangan. Dalam laporan "ACFE

Report to The Nation of Occupational Fraud and Abuse 2014", ACFE menyebutkan, setiap
tahun perusahaan menderita kerugian sekitar 5 persen dari pendapatannya akibat kecurangan.
Pelakunya mayoritas (77 persen) karyawan di enam bagian/departemen: akuntansi, operasi,
penjualan, pejabat tinggi, customer service, dan pembelian.
Dalam laporan tersebut juga disebutkan, semakin tinggi kedudukan pelaku kecurangan,
semakin besar pula kerugian yang dialami perusahaan. Rata-rata kerugian akibat kecurangan
yang dilakukan pemilik mencapai US$ 573, manajer US$ 180 ribu, dan karyawan US$ 60
ribu. Umumnya pelaku melakukan kecurangan pertama kali. Sebanyak 87 persen pelaku
sebelumnya belum pernah melakukan kecurangan dan 84 persen belum pernah dihukum atau
dipecat akibat kecurangan.
Kembali pada sebab-akibat pungli. Menurut saya, pungli bisa dikategorikan sebagai
pemerasan, apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat menguntungkan diri
sendiri dengan menyalahgunakan kekuasaannya dan memaksa seseorang memberikan sesuatu
atau meminta bayaran di luar aturan. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
Pasal 12, pelaku bisa pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling
lama 20 tahun. Pidana lainnya adalah denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling besar Rp 1
miliar.
Selain itu, pungli bisa dikategorikan sebagai suap apabila masyarakat ingin mendapat
perlakuan khusus dari penyelenggara negara dengan memberikan uang atau barang kepada
petugas. Dalam Pasal 13 UU Tipikor, pelaku suap bisa dipidana dengan penjara paling lama 3
tahun dan denda paling besar Rp 150 juta. Adapun pegawai negeri yang menerima suap bisa
dipidana 1-5 tahun penjara atau denda Rp 50-250 juta. Dari dua kategori tersebut, pemerasan
dianggap tindak pidana korupsi yang paling tinggi dengan hukuman yang juga dapat
maksimal, sampai dengan pidana seumur hidup. Dari segi pelaku, penerima suap juga
dihukum lebih tinggi dibanding pelaku suap. Hal itu menunjukkan pegawai negeri atau
penyelenggara harus dapat menolak jika ada upaya suap terhadap dirinya.
Pungli juga bisa dikategorikan sebagai bentuk gratifikasi. Hal tersebut terjadi jika masyarakat
memberikan uang tambahan kepada penyelenggara negara dengan alasan puas atas pelayanan
yang diberikan. Dalam hal ini, penyelenggara terancam pidana penjara hingga 20 tahun dan
denda Rp 1 miliar. Tapi gratifikasi tersebut bisa gugur jika si penyelenggara melaporkan
kepada KPK.
Karena itu, pemberantasan pungli memerlukan aksi komprehensif melalui tindakan
pencegahan, pendeteksian, dan penindakan segala bentuk kecurangan. Pencegahan melalui
sosialisasi dan penanaman nilai-nilai, pendeteksian oleh aparat pengawasan internal
pemerintah, dan penindakan oleh aparat penegak hukum. Tapi mencegah lebih baik daripada
mengobati. Maka, kementerian negara/lembaga, pemerintah daerah, dan badan usaha perlu
menerapkan sistem kendali kecurangan.

Donald Trump dan Timur Tengah


JUM'AT, 25 NOVEMBER 2016

Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Mulai Januari mendatang, Donald Trump menduduki Gedung Putih sebagai Presiden
Amerika Serikat yang baru. Dengan Amerika di bawah pemerintahan Trump, Timur Tengah
akan mengalami perubahan sekaligus ketegangan baru. Israel, Palestina, Suriah, Iran, dan
negara-negara Arab Teluk menghadapi situasi baru beserta dampaknya yang besar. Dukungan
pemerintah Trump yang tanpa reserve kepada pemerintah garis keras Israel, termasuk
mendukung pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat serta pemindahan ibu kota
Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, akan mengobarkan pemberontakan Palestina dan memberi
pembenaran bagi Hamas untuk mulai angkat senjata lagi.
Korban berikutnya adalah pengungsi Suriah. Tidak seperti Barack Obama, Trump menolak
pengungsi Suriah masuk ke AS. Untuk mengatasi soal pengungsi, AS akan mengupayakan
"zona aman" di dalam wilayah Suriah. Tapi AS juga akan menekan negara Arab Teluk agar
membiayai kebutuhan jutaan pengungsi tersebut. Selanjutnya, dalam rangka rekonsiliasi
dengan Rusia, AS berencana memberi kebebasan kepada Moskow untuk mencapai targettargetnya di Suriah. Dan, sebagaimana Rusia, AS juga akan mendukung rezim Presiden
Suriah Bashar al-Assad. Sebaliknya, AS akan menekan negara Arab Teluk agar menghentikan
bantuan senjata dan logistik lainnya ke kelompok-kelompok oposisi. Bersama Moskow,
Washington akan membentuk pemerintahan persatuan dengan Bashar al-Assad sebagai
pemimpin serta menyertakan kelompok oposisi yang mau berdamai dengan Assad. Tentu ini
akan menciptakan ketegangan antara AS di satu pihak dan Arab Teluk di pihak lain.
Kebijakan AS lainnya yang akan menimbulkan keruwetan baru di Timur Tengah adalah niat
Trump membatalkan perjanjian nuklir dengan Iran, yang dicapai pada Juni tahun lalu antara
Iran dan P5 (anggota permanen Dewan Keamanan PBB, yakni Cina, Prancis, Rusia, Inggris,
dan AS) plus Jerman. Perjanjian ini mengharuskan Iran membatasi program pengayaan
uranium hingga batas yang tidak memungkinkan Iran membuat bom nuklir. Bagaimana pun,
perjanjian ini telah membuat Israel dan Arab Saudi sekutu AS marah besar. Iran tidak
dipercaya dapat memegang janjinya. Terlebih, perjanjian itu membebaskan Iran dari sanksi di
bidang ekonomi, sehingga negeri itu dipandang lebih leluasa menjalankan politik regionalnya
yang merugikan Arab dan Israel.
Untuk menstabilkan Timur Tengah dalam kaitan isu Iran, AS akan membangun hubungan
segitiga Turki-Mesir-Arab Saudi di bawah sokongan AS. Pembatalan perjanjian nuklir
dengan Iran akan memuluskan jalan kaum konservatif di Iran kelompok yang menentang

perjanjian nuklir memenangi pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada Mei tahun
depan.
Kebijakan AS terhadap Iran ini kontradiktif dengan kebijakan terhadap Suriah. AS tidak
mungkin memaksa Rusia dan Suriah memutus hubungan dengan Iran, yang ikut terlibat
dalam perang Suriah. Iran adalah sekutu Rusia dan Suriah terkait dengan proxy war di Suriah.
Selain itu, niat Trump memerangi dengan keras Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) tidak
akan mulus tanpa keterlibatan Iran, yang memiliki milisi Syiah di Irak dan pasukan di Suriah.
Bila AS membatalkan perjanjian itu, kredibilitas pemerintah Trump sebagai pihak yang
berkomitmen pada perjanjian internasional akan tercoreng. Lebih dari itu, AS menciptakan
ketegangan dengan Iran yang akan memaksa negara itu terutama bila kaum konservatif
menang menghidupkan lagi program nuklirnya.
Memang tidak mudah menjalankan kebijakan yang ideal di Timur Tengah. Tapi kebijakan AS
yang agresif, yang memberi keleluasaan kepada Israel, menciptakan permusuhan baru dengan
Iran. Adapun membebani negara Arab Teluk dengan biaya besar untuk penanganan pengungsi
Suriah saat pendapatan mereka menurun drastis akibat anjloknya harga minyak dunia hanya
akan menambah persoalan baru di Timur Tengah. Trump juga harus menilik kebijakan
mendukung koalisi Arab dalam perang di Yaman. Tidak ada prospek kemenangan koalisi
Arab dalam perang itu, sementara kehancuran infrastruktur dan tragedi kemanusiaan sedang
berlangsung di negara Arab termiskin tersebut.

Artefak
SABTU, 26 NOVEMBER 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Pemerintah Belanda akan mengembalikan 1.500 artefak ke Indonesia. Ini berita penting
dalam sejarah perjalanan bangsa. Tapi siapa yang peduli saat ini, tatkala proses pemilihan
gubernur di Jakarta begitu panas? Orang lebih suka membicarakan apakah kepolisian berhasil
ditekan dengan aksi demo agar Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditahan. Atau berdebat
apakah salat Jumat sah atau tidak jika dilakukan di jalan raya. Apalagi adanya isu yang
"ngeri-ngeri sedap", seperti makar misalnya. Itu pasti lebih menarik dibanding membicarakan
artefak. Tak perlu survei, hanya sedikit yang tahu apa itu artefak.
Artefak adalah benda arkeologi yang dibuat oleh manusia dan dari benda itu jejak-jejak
sejarah bisa dilacak. Artefak bisa berupa arca, patung, keris, tombak, tulisan kuno yang
ditorehkan di batu, di daun lontar, atau mungkin sudah berupa buku. Dari sini sejarah bangsa
bisa dirangkai. Setidaknya kita bisa belajar tentang kearifan dan juga ketidakarifan di masa
lalu.
Belanda berhasil memboyong ribuan artefak dari bumi Indonesia. Tempat penyimpanan
khusus artefak itu diberi nama The Nusantara Collection, bagian dari Delft Museum. Para
arkeolog dan peminat budaya Indonesia banyak yang datang khusus ke Delft untuk belajar
tentang Indonesia. Para profesor di Fakultas Budaya dan Sastra Universitas Udayana
Denpasar acap kali menyebutkan, kalau mau belajar tentang sejarah Nusantara, termasuk
sejarah Bali, pergilah ke Delft. Di sana ada ratusan tanpa diketahui jumlah yang pasti lontar
kuno yang memuat tentang sejarah, kesusastraan, keyakinan, dan legenda rakyat. Keris yang
dipakai raja-raja Bali saat "Perang Puputan" juga ada di Belanda.
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte berencana mengembalikan 1.500 artefak itu ke
Indonesia. Sebagai bukti awal, Rutte menyerahkan sebuah keris kepada Presiden Joko
Widodo dalam pertemuannya Rabu lalu. Banyak orang yang terkejut, salah satunya Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Yang sesungguhnya lebih membuat terkejut adalah alasan kenapa Belanda mengembalikan
artefak itu tanpa imbalan. Ternyata alasan biaya, karena memelihara benda kuno seperti itu
membutuhkan dana besar. Mungkin ada alasan lain, misalnya, Belanda sudah tak
memerlukan lagi menyimpan "sejarah bangsa lain". Indonesia sudah pasti ibarat mendapat
durian runtuh. Menteri Muhadjir pun bilang ini peristiwa bagus, meski tak tahu harus berbuat
apa sebelum pergi ke Belanda melihat benda-benda itu.
Akan ditaruh di mana artefak itu nantinya? Menteri Muhadjir hanya menyebutkan artefak
akan dipilah-pilah, kalau berupa buku ditaruh di Perpustakaan Nasional. Artinya, artefak yang

berupa patung akan ditaruh di Museum Nasional atau museum yang ada di daerah
disesuaikan dengan asal artefak. Maka artefak yang berupa lontar mungkin akan menghuni
Museum Lontar Gedong Kirtya di Singaraja, Bali.
Apakah kita siap dengan dana memelihara artefak itu jika Belanda saja kewalahan? Artefak
itu harus dirawat. Sebaiknya jika berupa buku apalagi berbentuk lontar perlu disalin dalam
format digital. Itu tahap awal dan dilanjutkan proyek penerjemahannya. Upaya ini pernah
dilakukan untuk koleksi di Gedong Kirtya oleh sebuah lembaga swasta, tapi tak berlanjut
karena pemerintah tak punya perhatian. Kalau pemerintah tetap tak punya perhatian terhadap
urusan budaya luhur bangsa ini karena lebih banyak rupiah disedot urusan politik maka
pengembalian 1.500 artefak dari Belanda adalah bencana. Artefak dipulangkan untuk
dicampakkan dan lenyap pelan-pelan.

Yang Ditampik
SENIN, 28 NOVEMBER 2016

Yang ditampik, yang berdosa, yang sifilis, yang perempuan, yang tak punya apa-apa, adalah
Maria Zaitun. Kita tak mudah melupakan tokoh dalam sajak Rendra itu. Dalam kesakitan ia
memperkenalkan diri dengan lurus: "Maria Zaitun namaku/Pelacur yang sengsara/Kurang
cantik dan agak tua".
Kita akan selalu teringat adegan dalam sajak "Nyanyian Angsa" ketika pelacur lapuk itu
diusir dari bordil. Sang germo menilai pekerja seks ini--komoditas ini--sudah tak akan
menghasilkan uang lagi. Perempuan itu pun melangkah ke jalan, tak tahu akan ke mana:
Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak ada mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Maria Zaitun tak hanya sakit parah; ia sampah. Ketika ia pergi ke dokter langganannya, ia
hanya diinjeksi vitamin C. Tuan Dokter tahu pasien itu tak bisa bayar, dan "sudah jelas"
hampir mati. Kemudian, ketika ia datang ke pastoran ("Saya perlu Tuhan atau apa saja/untuk

menemani saya"), ia dihadapi seorang rohaniwan yang kenyang dan tak peduli. Dengan bau
anggur di mulutnya sang pastor menyatakan tak bersedia menerimanya.
Dan Maria Zaitun pun angkat kaki ketika Bapa Pastor memutuskan bahwa pendosa yang
setengah sekarat itu adalah orang yang setengah gila. Ia perlu psikiater, ujarnya, bukan pastor.
Sajak "Nyanyian Angsa" memang menusuk di sini: kalkulasi laba-rugi dalam perdagangan
seks dan ketabiban telah membuang Maria Zaitun; kini di tempat di mana kasih Tuhan
dikutip dengan takzim ia juga persona non grata. Agama telah jadi tembok.
Andai masih hidup hari ini, Rendra mungkin akan dihukum; "Nyanyian Angsa" jelas
"melecehkan agama"--meskipun dengan alasan yang adil. Sajak ini dengan lugas
memperlihatkan bagaimana agama telah jadi Orde yang dijaga hakim-hakim, bukan
lingkungan yang menemani yang daif dan luka. Para hakim inilah yang membagi siapa yang
di dalam dan siapa yang harus di luar. Di sana vonis pastor (atau ulama) berkuasa: "Kamu
telah tergoda dosa". Dan keputusan itu didukung lambang-lambang keabadian.
Ada sosok penting dalam "Nyanyian Angsa", meskipun tak di pusat adegan: "malaikat
penjaga firdaus". Dalam tiga refrain sajak ini, makhluk surga itu kadang-kadang tampak
tampan, dingin, atau jahat. Tapi selamanya "dengki".
Dengki adalah sikap penuh cemburu, curiga, dan benci. "Nyanyian Angsa" memperlihatkan
bahwa firdaus--yang sering digambarkan secara hiperbolik sebagai karunia nikmat dan suci-adalah wilayah diskriminasi yang bengis. Malaikat, makhluk yang murni itu, akan mengusir
mereka yang najis, yang tak murni.
Siapa? Maria Zaitun, tentu. Tapi jika memang ada ukuran keadilan yang universal--jika ada
keadilan Tuhan--si germo, si dokter, bahkan si pastor juga berdosa; mereka keji.
Tapi dengki tak pernah adil.
Dengki menyusun tembok, dan tembok dikukuhkan kekuasaan, dan kekuasaan jadi Sang
Penampik. Dengan Kitab yang tak dibantah, dengan suara berwibawa atau memekik, Sang
Penampik (ia bisa juga polisi, atau suara keras mayoritas) menyusun secara sepihak ukuran
yang diberlakukan kepada siapa saja. Dengan itu seseorang atau sekelompok manusia
diterima atau diusir--sebuah "politik pengakuan", politics of recognition, yang selektif.
Sasarannya bukan hanya seorang Maria Zaitun, tapi juga (tergantung di mana kebencian
diletakkan): yang hitam, yang cina, yang arab, muslim, kristen, yahudi, syiah, ahmadiyah,
liberal, komunis, LGBT.... Pendeknya "yang-lain".
Sekilas tampak, kezaliman Sang Penampik untuk meniadakan "yang-lain" itu berbeda dengan
ketakpedulian (bahkan pengisapan) si kaya terhadap si miskin. Sekilas tampak, tak adanya
keadilan dalam "politik pengakuan"--dengan memberlakukan diskriminasi rasial, agama, atau
gender--tak berkaitan dengan tak adanya keadilan sosial.

Tapi lihat baik-baik: dalam hidup yang mengalir, perbedaan yang ditetapkan Sang Penampik,
yang membuat seseorang atau sekelompok manusia dipojokkan, tak pernah jadi klasifikasi
sosial yang beku. Maria Zaitun tak cuma pelacur yang diperas; ia juga si sifilis yang ingin
ditemani Tuhan, "pendosa" yang dianggap layak disumpahi laki-laki. Sang Penampik
memproduksi si lemah, dan si lemah berakhir sebagai korban--dalam pelbagai versi.
Dan pembebasan? "Nyanyian Angsa" bercerita, akhirnya hanya korban lain yang mampu
membebaskan--dengan menerima si najis sebagai sesama dan melepaskannya dari
eksploitasi. Setidaknya dalam imajinasi. Sang pembebas, yang memeluknya dengan penuh
cinta di saat ajal, adalah sebuah kehadiran yang pernah difitnah, dicerca, disalibkan.

Goenawan Mohamad

Ada Apa dengan Rush Money?


SENIN, 28 NOVEMBER 2016

Haryo Kuncoro, Direktur Riset SEEBI dan pengajar di Universitas Negeri Jakarta

Belakangan ini, santer beredar ajakan menarik dana secara massal dari bank (rush money)
yang disebarkan melalui media sosial. Pihak kepolisian mencatat sedikitnya ada 70 akun
yang menyebarluaskan isu tersebut. Ajakan ini terkait dengan akan dilakukannya demonstrasi
pada 2 Desember mendatang. Walhasil, tensi kegelisahan masyarakat kian tinggi.
Kekhawatiran atas kondisi keamanan seperti demonstrasi pada 4 November lalu
berakumulasi dengan keamanan secara ekonomi.
Fenomena ini mengingatkan pada krisis ekonomi 1997/1998, turbulensi ekonomi yang
dimatangkan dengan kegaduhan politik yang berujung pada pergantian rezim. Salah satunya
ditandai dengan antrean panjang untuk mengambil uang tunai di bank.
Membandingkan kedua kasus di atas tentu saja tidak adil. Sistem keuangan saat ini memiliki
fondasi yang kuat. Beberapa indikator, seperti rasio kecukupan modal, manajemen risiko, dan
cadangan wajib, memperlihatkan bahwa bank dalam status sehat untuk menjalankan
fungsinya.

Fungsi perbankan menjembatani antara pemilik dana dan pihak yang butuh dana. Perbankan
menghimpun dana dari nasabah. Hasilnya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dana
debitor. Jika kebutuhan debitor lebih besar daripada dana terhimpun, bank menyertakan
modal sendiri dan/atau mencari sumber pendanaan lain.
Intinya, bank menjalankan misinya melalui proses transformasi antara simpanan masyarakat
dan maturitas jangka pendek menjadi kredit dengan maturitas lebih panjang. Bank biasanya
menyimpan kas untuk cadangan sendiri sebesar 5-10 persen dari total dana nasabah.
Namun sesehat apa pun perbankan niscaya akan sempoyongan jika mengalami penarikan
dana massal. Bank yang kekurangan likuiditas bisa ambruk. Mata uang rupiah akan terpuruk,
pasar saham anjlok, dan investor akan melarikan uangnya ke luar negeri. Dampak terbesarnya
adalah instabilitas perekonomian.
Secara konseptual, penarikan dana massal disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kondisi
internal perbankan. Saat bank dalam proses menuju kebangkrutan, misalnya, nasabah secara
bersama-sama akan menarik dananya. Kasus Bank Duta pada dekade 1990-an menjadi
pelajaran penting bank bangkrut karena kesalahan sendiri.
Kedua, kondisi ekonomi yang ekstrem. Pengalaman di Argentina dan Meksiko pada awal
1980-an menjadi bukti konkretnya. Perekonomian kedua negara itu didera krisis utang yang
memacu inflasi yang hebat. Akibatnya, rakyat lebih memilih menarik uang tunai dari bank
untuk mengejar kenaikan harga.
Akar dari kedua kemungkinan itu sebenarnya adalah kepercayaan. Artinya, rush money bisa
terjadi kapan saja, terlepas dari kesehatan bank dan kondisi perekonomian yang kondusif, jika
kepercayaan telah hilang. Imbasnya, nasabah yang sudah tidak percaya serentak menarik
dana guna menghindari risiko yang lebih buruk.
Jadi, rush money kalaupun betul-betul terjadi tidak berada pada ranah mana pun. Jika faktor
kepercayaan dijadikan dasar, ini pun masih bisa diperdebatkan apakah obyektif karena
kalkulasi teknis finansial atau hanya sebatas sentimen yang bersifat subyektif.
Konsekuensinya, penarikan dana juga masih harus ditelusuri lagi atas dasar bentuk
simpanannya. Jika simpanan berjenis tabungan, penarikan telah dibatasi sampai nominal
tertentu setiap hari. Apabila rekening tabungan ini sekaligus akan ditutup, jumlahnya pun
relatif kecil (sekitar 10 persen) untuk menggoyang likuiditas perbankan.
Jika berbentuk deposito berjangka, penarikan dana yang belum jatuh tempo niscaya akan
terkena penalti. Nasabah yang rasional tentu akan menghitung ulang untung-ruginya. Sangat
boleh jadi, imbal hasil bersih yang diperoleh nasabah tidak cukup material untuk dibawa
pulang.
Dengan skenario pesimistis tabungan dan deposito akan dicairkan seluruhnya, bank tentu

sudah punya mekanisme untuk mengantisipasi risiko semacam ini. Langkah awalnya, bank
yang terkena rush money akan menarik cadangan wajibnya yang disimpan di Bank Indonesia.
Berikutnya, bank akan meminjam dari bank lain untuk memenuhi kebutuhan likuiditas
nasabahnya. Kalaupun tidak mencukupi, bank akan meminjamnya dari bank sentral sebagai
lender of the last resort. Intinya, bank sehat tapi "kelimpungan" terkena rush money alih-alih
mismanagement harus tetap hidup. Istilah populernya, "too big to fail".
Dalam konteks inilah, upaya penyelamatan Bank Century, yang kemudian menimbulkan
polemik, sebenarnya dilatarbelakangi spirit agar masyarakat tidak terpengaruh kondisi sebuah
bank. Kondisi ini potensial berefek sistemik, bukan hanya perbankan, tapi juga menjalar pada
sektor riil.
Di sisi lain, aspek ideologis dipakai untuk alasan ajakan mencairkan uang di bank
konvensional. Maka, opsi pengalihan dana menuju perbankan syariah sangat terbuka. Dalam
hal ini, dana masyarakat sejatinya masih berada dalam sistem perbankan nasional sehingga
stabilitas perekonomian tetap terpelihara.
Risiko yang masih harus diantisipasi adalah potensi migrasi dana ke luar negeri, alih-alih
menuju bank syariah di dalam negeri. Mata rantainya akan menyambung dari penarikan dana,
pembelian valuta asing, penurunan cadangan devisa, dan fluktuasi kurs. Pelarian modal ke
luar negeri sayangnya terjadi di saat Trump effect masih berlangsung.
Namun perekonomian, sektor keuangan, dan industri perbankan Indonesia secara umum
masih cukup tahan meredam gejolak rush money. Walhasil, tidak ada alasan yang andal untuk
menyikapi rush money secara berlebihan.

Membagi Kekuasaan Kehakiman


SELASA, 29 NOVEMBER 2016

Binsar M. Gultom, Dosen Pascasarjana Universitas Esa Unggul Jakarta

Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim


dan kini memasuki tahap pembahasan oleh DPR serta pemerintah. Rancangan ini akan
mengubah kekuasaan kehakiman sekarang karena membagikan tanggung jawab kekuasaan
kehakiman kepada lembaga lain.
Yang pertama-tama harus digarisbawahi adalah independensi kekuasaan kehakiman harus

dijaga. Mengapa? Pertama, Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 mengatakan "Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan", sehingga lembaga ini perlu dijaga sedemikian rupa, jangan sampai ada
pihak lain yang mengintervensi sesuai dengan ajaran Trias Politica-Montesquieu (sistem
pembagian kekuasaan negara). Untuk menjaga martabat dan wibawa kekuasaan kehakiman
itu, pemerintah telah membentuk sebuah lembaga Komisi Yudisial (KY) sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22/2004 tentang KY.
Kedua, Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan "Kekuasaan kehakiman dipegang oleh
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi (MK)".
Dengan dasar ini, tidak ada landasan hukum sedikit pun bagi pemerintah dan DPR untuk
membagikan tanggung jawab kepada lembaga yudikatif (MA) di luar kekuasaan kehakiman.
Jika pemerintah berkehendak membagikan tanggung jawab kekuasaan kehakiman selain
kepada MA dan MK, menurut penulis, ubah dulu Pasal 24 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
Diadakannya sistem satu atap lembaga kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung
merupakan kesepakatan reformasi untuk mengembalikan kemurnian sifat independensi
kekuasaan kehakiman yang mandiri, yang selama ini terabaikan oleh pemerintah. Jika masih
ada produk undang-undang lain yang bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang di
bawahnya dengan sendirinya akan batal demi hukum atau setidaknya bisa dibatalkan lewat
pengajuan materiil ke MK.
Buktinya, untuk memurnikan independensi kekuasaan kehakiman tersebut dari segala campur
tangan pemerintah dan legislatif, termasuk pihak lain, presiden telah mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 21 Tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan
finansial di lingkungan peradilan umum, tata usaha negara dan agama ke MA. Yang selama
ini dipegang oleh Kementerian Kehakiman (Kementerian Hukum dan HAM), kini telah
dipegang seutuhnya oleh lembaga yudikatif, yakni MA.
Ada alasan bahwa kekuasaan kehakiman yang ditumpuk pada satu titik di MA membuat
beban berat bagi MA dalam manajemen hakim dan perkara. Sehingga, idealnya aspek
manajemen hakim dibagi dengan lembaga independen lain untuk mencegah kekuasaan
absolut di satu lembaga. Alasan ini haruslah ditolak karena pembagian kekuasaan kehakiman
tidak menjamin tidak akan ada lagi masalah di lembaga yudikatif (MA).
Jika kekuasaan kehakiman yang dipegang MA akan dibagi-bagikan kepada lembaga
independen lain, apakah lembaga yudikatif, seperti MK, atau lembaga legislatif dan eksekutif
akan dibagi-bagikan juga tanggung jawabnya kepada lembaga independen lain? Lembaga
mana di Indonesia ini yang administrasi dan manajemennya sempurna 100 persen? Hemat
penulis, jika ada kekurangan di MA, bukan berarti lembaganya yang diobok-obok, tapi mari
kita berpikir jernih untuk mencari solusi tanpa harus merombak Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman dan turunannya yang masih berlaku.
Kewenangan kekuasaan kehakiman, baik secara teknis peradilan maupun administrasi

peradilan, dipegang MA yang memiliki dasar hukum. Pertama, konstitusi dan UU No.
48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004.
Kedua, putusan MK tertanggal 7 Oktober 2015, yang telah mencabut kewenangan KY di
bidang perekrutan hakim pada tingkat pertama.
Jika pemerintah dan DPR berinisiatif mengadopsi semangat pembagian kekuasaan
kehakiman, seperti dalam hal perekrutan dan promosi serta mutasi hakim, hemat penulis,
campur tangan dan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman tersebut justru bertentangan
dengan ketentuan Pasal 24 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Dengan demikian, menyangkut
pembagian kekuasaan kehakiman dan usia para hakim yang rencananya akan diturunkan dan
dilakukan periodisasi sebaiknya tidak perlu dimasukkan ke RUU Jabatan Hakim. Selain
perubahan itu akan bertentangan dengan UUD 1945, hal tersebut akan kontradiktif dengan
putusan MK terkait dengan dikabulkannya usia hakim pajak, tanpa periodisasi yang telah
disetarakan dengan usia hakim tinggi pada pengadilan tinggi tata usaha negara yang
maksimal 67 tahun. Dengan diturunkannya usia para hakim hingga hakim agung akan
berdampak bagi perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang
Peradilan Umum, Agama, Tata Usaha Negara, dan Militer, yang masih menetapkan usia
pensiun para hakim tingkat pertama pada 65 tahun, hakim tingkat banding 67 tahun dan
hakim agung 70 tahun.
Penurunan usia hakim dan periodisasi setiap lima tahun tidak akan menyentuh persoalan
terhadap peningkatan kinerja para hakim. Hal ini justru akan merosotkan kualitas putusan
hakim karena keahlian para hakim yang bertugas nantinya mayoritas kurang memiliki
kemampuan di bidang teknis perkara. Hemat penulis, yang menjadi fokus pada RUU Jabatan
Hakim ini sebaiknya menyangkut kesejahteraan dan keamanan para hakim dan status
jabatannya sebagai pejabat negara yang selama ini terabaikan oleh pemerintah.

Membangun Demokrasi, Jadinya Oligarki


RABU, 30 NOVEMBER 2016

Sulardi, Wakil Sekjen Asosiasi HTN-HAN Pusat

Pada tahun ini, alam sedang mengajari kita semua bagaimana demokrasi bekerja. Di Amerika
Serikat, hasil pemilihan presiden sangat mengejutkan. Donald Trump, yang dalam berbagai
survei tidak pernah muncul sebagai pemenang, ternyata mampu melalui mekanisme
demokrasi yang menunjukkan ia memperoleh suara lebih banyak dibanding lawannya,
Hillary Clinton.
Trump memenangi pemilihan presiden setelah mendapat 277 electoral vote, dengan syarat

270 poin untuk menang. Faktanya, Trump menang. Ini merupakan kemenangan "masyarakat
bawah" Amerika Serikat, yang selama ini merasa ditinggalkan oleh kelas atas/mapan.
Demikian juga halnya di Indonesia. Tahun depan, akan diselenggarakan pemilihan kepala
daerah serentak di 101 kota, kabupaten, dan provinsi.
Menjelang pilkada serentak pada 2017, yang hiruk-pikuk dan menyedot perhatian publik
hanyalah pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Bukan disebabkan oleh masalah krusial yang
berkaitan dengan mekanisme pilkada, melainkan perkara penistaan agama yang dilakukan
salah seorang kandidat, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Demokrasi yang kini dikenal dan diselenggarakan dengan metode one man, one vote adalah
demokrasi yang dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), yang berkontribusi
melahirkan tatanan demokrasi melalui konstruksi kontrak sosial, yang melahirkan kekuasaan
tertinggi yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat (bukan orang per orang) mempunyai hak
untuk mengganti penguasa jika dalam menjalankan kekuasaannya tidak seperti yang
dikehendaki oleh rakyat. Revolusi Perancis pada 14 Juli 1789 merupakan salah satu penanda
kelahiran demokrasi yang berhasil menumbangkan pemerintahan absolut pada waktu itu.
Demokrasi inilah yang selanjutnya ditafsirkan oleh penyelenggara negara dan pegiat
demokrasi dengan model suara mayoritas menentukan keputusan yang dihasilkan, termasuk
suara mayoritas dalam pemilihan umum. Dalam pilkada, yang jumlah calonnya lebih dari
dua, calon harus memperoleh mayoritas 30 persen suara agar dapat menang. Khusus pilkada
DKI, suara mayoritas yang diperlukan 50 persen plus 1.
Model demokrasi one man, one vote ini berpegang pada asas kesetaraan, tapi sesungguhnya
ada ketidakselarasan dan ketidakkeseimbangan. Suara seorang guru besar, yang mempunyai
gagasan-gagasan besar untuk menata sistem kepolitikan dan ketatanegaraan, sama persis
dengan suara orang awam yang tidak mengenal sekolah sekali pun. Di kotak suara, nilai sang
guru besar dan masyarakat awam yang tak bersekolah sama persis, yakni 1.
Model seperti ini sangat menguntungkan bagi mereka yang mencalonkan diri sebagai kepala
daerah atau wakil rakyat. Sebab, mendekati rakyat untuk mendapatkan suara bakal jauh lebih
mudah. Tidak perlu gagasan-gagasan besar untuk memajukan kota, kabupaten, provinsi, atau
negara. Ia cukup berjanji masyarakat awam itu memperoleh keuntungan yang akan langsung
dirasakan jika mereka terpilih kelak. Mereka menjanjikan sekolah gratis, fasilitas kesehatan
gratis, serta tersedianya kebutuhan pokok dengan harga murah dan terjangkau. Mendatangi
dan mendengarkan curhat rakyat menjadi daya tarik bagi masyarakat awam. Padahal, kita
tahu, tanpa mereka menjanjikan hal-hal itu, tugas mereka sebagai kepala daerah adalah
menyejahterakan masyarakat. Ini tentu mencakup layanan publik yang murah dan terjangkau.
Plato, filsuf yang hidup 25 abad lampau, telah mengenalkan kepada para peminat
ketatanegaraan soal sistem oligarki. Negara disebut oligarki jika terdapat aturan yang
menyatakan bahwa yang dapat menjadi penguasa hanyalah kaum kaya. Negara yang dikuasai

oleh kaum kaya (dalam bahasa sekarang: kapitalis) inilah yang kelak mendapat tantangan dari
masyarakat dan ditumbangkan sehingga melahirkan tatanan demokrasi.
Tesis Plato ternyata terbalik untuk kasus Indonesia. Munculnya oligarki justru berasal dari
demokrasi yang gagal melahirkan tatanan demokrasi yang substansial. Demokrasi yang
dihadirkan di negara ini berada di level prosedural: bagaimana cara memilih, dicoblos atau
dicontreng, manual atau elektronik, berapa persen dukungan, berapa ambang batas perolehan
suara, dan bagaimana mekanisme pencalonan. Semua masih berkutat di sini.
Pilkada serentak 2017 telah menjawab bahwa yang sedang diselenggarakan adalah pemilihan
penguasa model oligarki. Sebab, yang bisa mencalonkan diri untuk menjadi kepala daerah
hanyalah orang yang berduit, atau yang kaya-raya. Untuk dicalonkan saja harus punya duit.
Di dunia politik, berlaku ungkapan "tak ada makan siang gratis". Demikian juga menjalankan
mesin tim sukses, tim survei, dan tim kampanye. Semuanya butuh duit, baik untuk politik
uang maupun uang politik.
Tidak usah heran jika para pemenang pilkada itu lebih berfokus mengembalikan modalnya
daripada menyejahterakan rakyat dan memikirkan kemakmuran bersama. Sudah cukup bukti,
71 tahun usia negara dan bangsa ini, tapi target menyejahterakan rakyat dan mencerdaskan
kehidupan bangsa masih terus menjadi "obyek dan materi kampanye". Perlahan tapi pasti,
demokrasi sedang dilumpuhkan dan oligarki dihidupkan. Bungkusnya demokrasi, isinya
oligarki. Artinya, selama ini kita merasa membangun demokrasi, tapi ternyata menghasilkan
oligarki.

Ketika Subsidi Listrik Dicabut


KAMIS, 01 DESEMBER 2016

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI

Dalam dunia transportasi yang berbasis aplikasi, ada istilah "tarif petir". Biasanya, tarif petir
dikenakan pada jam tertentu karena macet atau hujan, sehingga nilainya amat mahal
dibanding biasanya. Model tarif petir tampaknya akan segera menimpa konsumen/pelanggan
listrik PT PLN, khususnya untuk golongan 900 volt ampere (VA). Sebab, per 1 Januari 2017,
pemerintah, atas persetujuan DPR, akan mencabut subsidi konsumen listrik 900 VA tersebut.
Memang, pencabutan subsidi ini tidak menimpa semua konsumen. Tapi, dari 22 juta

konsumen 900 VA, tinggal 4 jutaan yang masih menerima subsidi. Artinya, 18 juta konsumen
900 VA akan dicabut subsidinya. Itu artinya tagihan konsumen listrik mereka akan
melambung sangat tinggi.
Padahal, selama ini, lebih dari 75 persen tarif listrik 900 VA disubsidi negara. Dari harga
dasar Rp 1.460 per kWh, hanya Rp 575 yang dibayar konsumen dan Rp 875 dibayar negara
via subsidi. Jika subsidinya dicabut, bisa dipastikan tagihan listrik konsumen akan
membengkak minimal 75-80 persen dari tagihan sebelumnya.
Ada beberapa pertanyaan kritis terkait dengan hal ini. Misalnya, sudah tepatkah pencabutan
subsidi untuk golongan 900 VA? Bagaimana mekanisme pencabutannya dan bagaimana pula
penanganan pengaduannya jika ternyata keliru?
Dari sisi politis, tampaknya konsumen golongan 450 dan 900 VA adalah golongan yang
"sakral" untuk disentuh. Sejak 2003, golongan ini belum pernah mengalami
penyesuaian/kenaikan tarif. Maka, dari sisi momentum, setelah 16 tahun mengendap, ada
benarnya jika subsidi pada 900 VA dicabut/dikurangi. Apalagi lebih dari 15 persen dari total
populasi penduduk Indonesia belum mendapat aliran energi listrik. Kurang adil jika di satu
sisi ada kelompok masyarakat/konsumen berlimpah subsidi, tapi sekelompok masyarakat
lainnya boro-boro memperoleh subsidi, mendapatkan listrik saja belum.
Namun, ini yang paling krusial, cara pencabutan subsidinya itu yang berpotensi menimbulkan
masalah (besar). Pencabutan subsidi dengan klaim "tepat sasaran" ini berpotensi tidak tepat
sasaran jika pendataannya salah atau tidak akurat. Sangat besar potensinya sebagian
masyarakat yang berkategori tidak mampu justru dicabut subsidinya dan atau sebaliknya.
Ketidakakuratan pendataan menjadi pemicu utama. Padahal, pendataan merupakan masalah
serius di negeri ini.
Memang, tampak kasatmata bahwa model pendataan kali ini lebih baik karena telah melalui
bermacam "verifikasi" dari berbagai sumber, seperti Kementerian Sosial, BPS, Kementerian
ESDM, PT PLN, dan bahkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Kendati
demikian, potensi salah sasaran dalam pencabutan subsidi listrik masih terbuka lebar.
Potensi ini bisa diatasi dengan mekanisme pengaduan yang lebih parsitipatif, aksesibilitas
tinggi dan "ramah" terhadap masyarakat konsumen listrik, dan tidak sebaliknya. Mekanisme
penanganan pengaduan inilah yang belum terlalu ramah dengan hak-hak warga.
Karena itu, pencabutan subsidi listrik harus paralel dengan beberapa hal berikut ini. Pertama,
pemerintah harus meninjau pelanggan listrik dari golongan 1.300 VA. Ingat, pada masa lalu
masyarakat dipaksa berlangganan 1.300 VA karena akses 450-900 VA ditutup demi
penghematan subsidi. Akibatnya, banyak strata sosial masyarakat yang sejatinya tak mampu,
tapi terpaksa berlangganan 1.300 VA karena tidak ada pilihan. Sekarang, agar berimbang,
pelanggan 1.300 VA dari golongan tidak mampu tersebut mesti diberikan pilihan untuk turun
kelas menjadi 450/900 VA atau tetap konsisten dengan 1.300 VA.

Kedua, harus ada jaminan dari sisi pelayanan bahwa, pasca-pencabutan subsidi listrik, PT
PLN akan makin membaik dan tidak ada lagi pasokan listrik yang endut-endutan. Tidak adil
jika tarifnya sudah sesuai dengan biaya pokok, termasuk nilai keekonomiannya, tapi
pelayanannya masih di bawah standar. Persentase kompensasi terhadap ketidakmampuan PT
PLN dalam menjaga tingkat mutu pelayanan pun harus ditingkatkan. Contohlah di Australia,
jika listrik padam setengah hari berturut-turut, konsumen dibebaskan tagihan satu bulan.
Ketiga, realokasi pencabutan subsidi listrik harus digunakan untuk mempercepat akses
sambung baru listrik dan percepatan rasio elektrifikasi. Saat ini tidak kurang dari 15 persen
penduduk Indonesia belum mendapatkan akses energi listrik.
Keempat, agar lebih adil dan tepat sasaran, pemberian subsidi listrik ke depan harus flat.
Contohlah pemerintah Afrika Selatan yang memberikan subsidi listrik pada rumah tangga
miskin 100 kWh per bulan. Jika melebihi 100 kWh akan dikenai tarif progresif. Dengan
model ini, ada upaya menghemat oleh konsumen. Sangat sulit mewujudkan perilaku hemat
listrik tanpa tekanan dari sisi harga.
Kelima, janganlah ada kedok bahwa pencabutan subsidi listrik hanya strategi untuk
menerapkan tarif listrik yang pro-pasar ("neolib"), yang hanya berbasis kurs rupiah terhadap
dolar, inflasi, dan harga minyak mentah dunia; sebagai basis penentuan harga. Bagaimana
pun listrik merupakan infrastruktur yang harus disediakan dan dikuasai oleh negara, dan
bukan pasar. Itulah mandat putusan Mahkamah Konstitusi saat membatalkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Tentara
SABTU, 03 DESEMBER 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Romo Imam ternyata pernah menjadi tentara. Pangkat terakhirnya sersan kepala, bertugas di
Bagian Keuangan Komando Daerah Militer (Kodam). Suatu ketika komandannya ketahuan

menyelewengkan surat perjalanan dinas dan dihukum pindah tugas. "Ada perjalanan fiktif.
Sebagai bawahan saya tak enak hati, lalu mengundurkan diri," ceritanya.
"Apa kesan selama dinas?" tanya saya. "Disiplin tentara ketat, meski ada juga celah untuk
korupsi kecil-kecilan menambah uang lauk-pauk. Pakaian dinas tak boleh sembarangan. Topi
harus terus dipakai sesuai ketentuan. Pernah kaki kiri saya luka, tak bisa pakai sepatu, kaki
harus dibalut. Tapi kaki kanan tetap bersepatu, lalu pakai tongkat dan memberi hormat."
Romo tertawa.
"Sekarang kan masih disiplin, Romo," kata saya basa-basi. Romo berkata: "Tapi tuntutan
zaman mulai aneh kalau dilihat dari masa lalu. Tentara berpakaian dinas memakai kopiah haji
berwarna putih, berbaur dengan ulama, berzikir untuk ketenteraman negeri. Kemarin dulu
tentara dengan pakaian dinas lengkap memakai ikat kepala berwarna merah putih, katanya
ada apel Nusantara Bersatu."
Saya mulai memancing. "Artinya apa, Romo?" Romo menjawab: "Tentara sejak dulu selalu
repot. Tugas pokoknya menjaga pertahanan negara dari serangan musuh, tetapi tentara juga
membangun jembatan di desa. Ada tanah longsor atau banjir, tentara turun tangan. Sekarang
ada ribuan orang melakukan aksi demo, eh maaf, aksi doa bersama, tentara pula yang
mengamankan. Kebinekaan diasumsikan tergerus, tentara pula yang mengobarkan semangat
untuk menyatukan Nusantara. Para panglima di daerah-daerah memimpin apel dan berorasi
perlunya persatuan."
"Itu panggilan tugas, Romo. Yang penting tidak dwifungsi lagi," kata saya. Romo semangat
menjawab: "Dwifungsi yang dulu ada aturannya, bukan sembarangan. Istilahnya, dikaryakan.
Tentara yang dikaryakan menjadi bupati pangkatnya minimal letnan kolonel, setara dengan
pangkat komandan Distrik Militer. Yang dikaryakan jadi gubernur berpangkat kolonel setara
komandan Resor Militer, bahkan sudah berbintang supaya lebih matang. Kan ada
musyawarah pimpinan daerah, di sana ada panglima kodam, ketua pengadilan tinggi, dan
seterusnya. Masak gubernur pangkatnya mayor, ya, nanti menghormat ke koleganya, dong...."
"Stop, Romo, jangan diteruskan, nanti ada yang tersindir," saya memotong. "Yang saya
persoalkan, kalau tentara direpotkan dengan doa bersama, menggelorakan kerukunan,
menyemangati persatuan Nusantara, apa tidak pecah konsentrasinya dalam menjaga keutuhan
bangsa dari serangan luar? Memang ancaman dari luar diprediksi tidak ada, atau mungkin
tidak mencemaskan benar, tetapi bukankah program membangun pulau terluar lebih penting
melibatkan tentara? Daripada memakai kopiah haji bersama ulama atau memakai ikat kepala
merah-putih kayak mengusir penjajah."
"Itu kekhawatiran saya juga," kata Romo. "Awalnya tentara hanya mem-back-up polisi.
Lama-lama menjadi kebutuhan yang tak bisa ditinggalkan. Polisi senang mendapat bantuan.
Presiden juga senang tentara berkomitmen menjaga kebinekaan, terbukti Presiden berkeliling
mengunjungi kesatuan elite. Rakyat pun juga senang, merasa ada yang mengayomi dari
kegiatan yang paling ditakuti: makar. Buktinya apel Nusantara Bersatu di pusat sampai

daerah yang tampil di depan komandan tentara, bukan kepala polisi setempat. Kalau
semuanya senang, ya, lama-lama ini pintu masuk untuk munculnya dwifungsi gaya baru.
Apalagi partai gagal memunculkan pemimpin sipil."
Saya tepok jidat.

400 Tahun untuk Ahok

JUM'AT, 02 DESEMBER 2016

Ahmad Syafii Maarif, Pendiri Maarif Institute

Jika dalam proses pengadilan nanti terbukti terdapat unsur pidana dalam tindakan Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok pada 27 September 2016 itu, saya usulkan agar dia dihukum
selama 400 tahun atas tuduhan menghina Al-Quran, kitab suci umat Islam, sehingga pihakpihak yang menuduh terpuaskan tanpa batas. Biarlah generasi yang akan datang yang menilai
berapa bobot kebenaran tuduhan itu. Sebuah generasi yang diharapkan lebih stabil dan lebih
arif dalam membaca politik Indonesia yang sarat dengan dendam kesumat ini.
Saya tidak tahu apakah di KUHP kita terdapat pasal tentang rentang hukuman sekian ratus
tahun itu. Jika tidak ada, ciptakan pasal itu dan Ahok saya harapkan menyiapkan mental
untuk menghadapi sistem pengadilan Indonesia yang patuh pada tekanan massif pihak
tertentu.
Di media sosial, dalam minggu-minggu terakhir yang panas ini beredar kicauan bahwa,
melalui Ahok, konglomerat "Sembilan Naga" akan lebih leluasa menguasai ekonomi
Indonesia yang memang sebagian besar sudah berada dalam genggaman mereka. Benarkah
demikian? Jawabannya: tidak salah, tapi tidak perlu melalui Ahok yang mulutnya dinilai liar
dan jalang itu, karena prosesnya sudah berjalan puluhan tahun, jauh tersimpan dalam rahim
paruh kedua abad ke-20 setelah kekuasaan Bung Karno terempas karena salah langkah dalam
mengurus bangsa dan negara.
Tapi pihak manakah yang memberi fasilitas kepada para naga yang jumlahnya bisa puluhan
itubukan sebatas sembilan? Tidak sulit mencari jawaban atas pertanyaan ini: fasilitatornya
adalah penguasa dan pihak perbankan Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Sekali
lagi, sebagian besar beragama Islam. Pihak-pihak inilah yang memberi surga kepada para
naga itu untuk menguasai dunia bisnis di negeri ini. Saya memasukkan para pihak ini ke
kategori bermental anak jajahan, sekalipun sering berteriak sebagai patriot sejati.
Atau, mungkin juga, berbisnis dengan kalangan sendiri belum tentu selalu taat janji, karena
tidak jarang yang punya mental menerabas. Serba sulit, memang. Tapi harus ada terobosan
dari negara untuk mendidik warganya ke arah pemberdayaan anak bangsa secara keseluruhan
agar punya mental manusia merdeka yang terampil berbisnis, bukan manusia hamba yang
lebih senang tetap menjadi wong cilik.
Karena itu, kita harus jujur kepada diri sendiri: mengapa mereka yang mengaku sebagai
warga negara tulen tidak punya mental kuat dengan disiplin tinggi agar uang menjadi jinak di
tangan mereka? Lihatlah pihak sana, sekali memasuki dunia bisnis, perhatiannya 100 persen

tercurah untuk keperluan itu. Nilai inilah yang seharusnya kita ambil dari mereka. Jika
terpaksa jadi jongos dalam perusahaan teman kita ini, sifatnya mestilah sementara, untuk
kemudian semua kemahiran dagang mereka kita ambil alih. Jangan tetap setia jadi jongos
sampai ke liang kubur.
Semestinya pembenci Ahok tidak hanya mahir bermain secara hiruk-pikuk di hilir lantaran
buta peta, karena masalah utamanya berada di hulusetidak-tidaknya bisa ditelusuri sejak
rezim Orde Baru. Selama masalah besar dan utama ini dibiarkan berlanjut, jangan bermimpi
kesenjangan sosial yang masih menganga dapat dipertautkan. Dan, prahara sosial bisa
muncul setiap saat untuk meluluhlantakkan apa yang telah dibangun selama ini. Sikap benci
dan marah tanpa bersedia mengoreksi diri secara jujur dan berani, sorak-sorai demo, akan
berujung pada kesia-siaan. Apalagi, kabarnya, kekerasan juga telah menjadi ladang usaha
bagi sebagian orang yang punya mentalitas duafa, sekalipun menikmati mobil super-mewah.
Tapi, Tuan dan Puan, jangan salah tafsir. Yang bermental patriotik dan nasionalis dari
kelompok etnis ini juga tidak kurang jumlahnya. Saya punya teman dekat dari kalangan ini,
sekalipun mereka belum tentu masuk dalam barisan naga itu. Dan, naga itu pun tidak
semuanya masuk dalam lingkaran konglomerat hitam. Cinta teman dekat saya ini kepada
tanah leluhur sudah lama mereka tinggalkan dan tanggalkan. Tanah air mereka tunggal:
Indonesia! Mereka lahir dan berkubur di sini, sikap mereka tidak pernah mendua.
Adalah sebuah angan-angan kosong sekiranya Ahok dijatuhi hukuman selama 400 tahun,
sementara mentalitas terjajah atau jongos tetap diidap sebagian kita. Ujungnya hanya satu:
kalah. Dan, kekalahan mendorong orang menuju sikap kalap yang bisa menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan. Maka, amatlah nista bila nama Tuhan disebut-sebut untuk
membenarkan mentalitas kalah dan kalap ini. Tanpa perbaikan mendasar dalam struktur
kejiwaan kita, maka ungkapan Bung Karno tentang bangsa kuli di antara bangsa-bangsa
bukan mustahil menjadi kenyataan. Ke depan, diperlukan otak dingin dan kecerdasan
spiritual tingkat tinggi untuk membenahi Indonesia. Masalah bangsa ini sangat kompleks,
tapi pasti ada solusinya, dengan syarat kita semua masih punya akal sehat dan hati nurani.

Independensi Hakim dan Peradilan


Modern
SENIN, 05 DESEMBER 2016

Muhamad Ilham, Kepala Sub-Bagian Hubungan Antarlembaga Komisi Yudisial RI

Binsar M. Gultom, dosen pascasarjana Universitas Esa Unggul Jakarta, menulis artikel
"Membagi Kekuasaan Kehakiman" di Koran Tempo pekan lalu mengenai Rancangan
Undang-Undang Jabatan Hakim. Binsar mengkritik gagasan dalam rancangan itu, yang akan
membagikan tanggung jawab kekuasaan kehakiman kepada lembaga lain. Tulisan ini sebagai
tanggapan atas artikel tersebut.
Reorientasi konsep pengelolaan peradilan menjadi wajar dilakukan mengingat lebih dari 10
tahun reformasi peradilan berjalan tanpa perubahan signifikan. Pada 2016 saja, sampai
September tercatat setidaknya 28 aparat peradilan, yang terdiri atas 23 hakim dan 5 pejabat
pengadilan, terlibat berbagai kasus, seperti mafia peradilan, pengaturan perkara,
pertimbangan yang aneh, dan koneksi pejabat. Data terbaru sejak 2016, sebagaimana dirilis
Doingbusiness.org mengenai Indeks Kualitas Proses Peradilan Bank Dunia, menunjukkan,
pada aspek bisnis, Indonesia berada pada posisi 6,5 dari skala 0-18 atau sekitar 36,1 persen
dari proses peradilan yang ideal pada aspek bisnis.
Deretan fakta di atas dan fenomena yang terus kita ikuti di media seharusnya mampu
menyadarkan kita mengenai hal yang harus dievaluasi dalam cara negara ini mengelola
peradilannya. Perbaikan pada pola manajemen hakim mutlak dan harus terus-menerus
diperbaiki. Ini mengingat konsep perubahan awal pada 1999 lewat Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman itu lebih
didasari pada euforia untuk menghilangkan intervensi pemerintah melalui departemen.
Bicara mengenai independensi kekuasaan kehakiman, sebaiknya kita juga tidak ahistoris atau
bahkan pura-pura lupa bahwa prinsip tersebut tidak pernah berdiri sendiri. Di mana ada
independensi, di situ pula terdapat akuntabilitas yang sama penting untuk juga diperjuangkan.
Dalam setiap prinsip universal, pada setiap momen internasional, atau melalui para sarjana di
bidang hukum, dari International Commission of Jurists di Bangkok pada Februari 1965
sampai Mount Scopus International Standards of Judicial Independence di Yerusalem pada
2008 dan dari komentar hakim Kanada pada saat Montreal Declaration pada 1983 sampai
pendapat hakim agung Paulus Efendi Lotulung pada 2003 di Denpasar, Bali, semua
menyuarakan bahwa tidak pernah ada independensi yang disuarakan secara sepihak tanpa

disandingkan dengan akuntabilitas.


Sebuah larangan hanya berlaku bagi upaya yang melanggar independensi individual hakim.
Reorientasi konsep "atap" bukan merupakan pelanggaran independensi. Ia merupakan realitas
sekaligus tuntutan yang terjadi di banyak tempat. Praktek pengelolaan peradilan modern
adalah fakta yang paling jelas bahwa peradilan tidak mungkin diberi beban lebih selain hanya
fokus dalam perkara dan kesatuan hukum untuk keadilan.
Berdasarkan dokumen Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), Resource
Guide on Strengthening Judicial Integrity and Capacity (New York, Desember 2011), konsep
shared responsibility (pembagian tanggung jawab) adalah fakta empiris yang telah terjadi di
banyak negara, terutama rumpun negara-negara dengan tradisi hukum sipil (civil law). Intensi
banyak negara membuktikan bahwa pemisahan jelas antara tugas yudisial dan tugas nonyudisial semata-mata bertujuan memfungsikan hakim dan tidak membebaninya dengan
pekerjaan yang lain. Konsep tersebut sekaligus memberikan pelajaran berharga untuk
mendudukkan hakim sebagai sebenar-benarnya pemutus perkara, bukan seorang manajer.
Intervensi tidak selalu ditafsirkan berasal dari pengaruh luar. Intervensi sangat mungkin
datang justru dari pengaruh internal dan muncul karena tidak adanya kontrol. Masalah
sebenarnya adalah kekuasaan yang tanpa kontrol, sehingga menumpuk kekuasaan
pengelolaannya berada pada satu entitas saja sangat berpotensi mengulangi kesalahan yang
sama. Perubahan yang signifikan hanya akan terjadi pada saat upaya perbaikan telah
menyentuh oknum-oknum yang selama ini mendapatkan keistimewaan dan menghentikan
praktek oligarki pada kekuasaan mana pun, tidak terkecuali kekuasaan kehakiman.
Tidak ada istilah "harga mati" untuk seluruh upaya yang lebih baik, termasuk dalam
pembahasan RUU Jabatan Hakim. Rancangan ini terlalu sederhana jika hanya diperuntukkan
bagi kesejahteraan dan fasilitas para hakim, karena di dalamnya ada kepentingan publik yang
juga harus dipikirkan: orang-orang yang nasibnya berada di bawah palu para hakim. Jadi,
dengan lahirnya UU Jabatan Hakim nanti, masyarakat berhak mendapatkan hakim yang lebih
baik dan memastikan perkara mereka diurus oleh hakim yang berintegritas dan cakap.

Bencana
JUM'AT, 09 DESEMBER 2016

Bencana tak putus-putusnya menghampiri negeri kita. Ada yang datang secara tiba-tiba, tanpa
tanda apa pun sebelumnya. Ada yang seharusnya bisa diantisipasi, tapi kita selalu lengah atau
mungkin mengira itu urusan kecil. Syukur jika ada bencana yang tidak jadi datang karena kita
siap mencegahnya.
Tentu saja ini rupa-rupa bencana, bukan yang sejenis atau yang bisa diperbandingkan.
Bencana tanpa permisi itu, contohnya, gempa yang menggoyang Pidie Jaya di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Betapa pun ilmu gempa sudah dikuasai pakar kita, namun tak
ada seorang pun yang tahu kapan gempa itu datang. Tampaknya ini rahasia alam yang harus
tetap jadi misteri.
Ilmu tentang gempa semakin banyak diketahui. Para pakar sudah bisa memetakan daerah
yang potensial mengalami gempa. Jalur patahan lempeng Bumi sudah bisa digambar. Di
Sumatera, misalnya, setidaknya ada tiga sesar (patahan di darat), yakni Sesar Sumatera, Sesar
Seulimeum, dan Sesar Samalanga-Sipopok. Sedangkan di laut, ada Lempeng AustraliaEurasia. Kabupaten Pidie Jaya, yang Rabu subuh lalu kebagian gempa, termasuk berada di
jalur Sesar Samalanga-Sipopok itu. Pada 1967 gempa juga terjadi persis di kawasan ini.
Tapi kenapa korban masih juga berjatuhan dalam jumlah besar? Karena kita mengabaikan
pesan para pakar, juga pesan para leluhur untuk membangun rumah tahan gempa di atas
patahan bumi itu. Para leluhur kita di masa lalu sudah menemukan arsitektur tahan gempa
dengan bangunan kayu, dan terbukti aman dari goyangan gempa. Sayang hal ini banyak
ditinggalkan dengan alasan rumah kayu lebih mahal dibanding rumah beton. Lalu,
pengawasan dari pemerintah pun alpa. Korban gempa di Pidie sebagian besar tertimbun
bangunan yang roboh karena konstruksi ruko--rumah toko--yang bertingkat itu tak memenuhi
standar. Ini bukan persoalan di Pidie saja, tapi juga di banyak tempat rawan gempa.
Seharusnya ini bisa jadi pelajaran ke depan bagaimana membangun di atas patahan bumi itu.
Bencana yang tak ada hubungan dengan gempa, contohnya masih saja dipamerkan sikap
intoleransi dalam melaksanakan keyakinan beragama. Perayaan Natal di Gedung Sabuga
Bandung dihentikan oleh ormas yang bernapaskan agama lain yang tidak merayakan Natal.

Apa pun kasusnya, mungkin termasuk urusan izin yang tak sempurna, penghentian paksa itu
adalah bencana, karena seharusnya bukan ormas keagamaan yang bertindak. Aparat
hukumlah yang melarang atau tetap mengizinkan. Kalau "urusan kecil" seperti ini terus
dipelihara, berbuih-buihlah bicara soal aksi super damai, orang akan tetap waswas akan
terpeliharanya kebinekaan di negeri ini.
Dua bencana yang disebut itu, sekali lagi, tak saling berkaitan. Yang satu fenomena alam
yang sulit ditebak, yang lain bencana yang gejalanya bisa dibaca. Ada perilaku kurang baik
dari ormas keagamaan yang suka merecoki urusan umat beragama lain. Hanya orang yang
punya hobi membodohi masyarakat yang menyebutkan gempa di Aceh adalah "balasan" dari
intoleransi di Bandung. Ini karangan pemabuk khas di media sosial.
Lalu, bencana mana yang batal datang? Tergolong embrio bencana atau tidak, urusan makar
yang dituduhkan kepada beberapa aktivis cukup mengagetkan masyarakat. Mereka yang
ditangkap polisi adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah sepuh, yang sepertinya tak
punya kekuatan untuk melakukan makar. Tapi proses hukum sedang berlanjut, mari kita ikuti.
Harapan kita ini bukan masalah besar, meskipun penangkapan itu ternyata penting juga agar
aksi super damai yang disebut 212 di Monas tidak ternoda.

Amarah
SENIN, 12 DESEMBER 2016

Negeri ini didirikan dengan impian yang ramah. Tapi itu tiga perempat abad yang lalu.
Kita ingat: menjelang 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan didengungkan sebagai sesuatu
yang aktual ("sekarang!" seru Bung Karno pada 1 Juni tahun itu), ada keyakinan: "Di dalam
Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita!" seperti kata Bung Karno. Ada
harapan rakyat Indonesia punya potensi penuh untuk jadi manusia yang tak terbelenggu,
karena kemerdekaan politik adalah "jembatan emas"--gilang-gemilang, kukuh, dan aman
untuk mencapai yang dituju.
Tapi semenjak tiga perempat abad lalu, "jembatan emas" itu ternyata impian yang terlalu
manis atau retorika yang khilaf: Indonesia pasca-kolonialisme adalah juga sebuah negeri
yang penuh kekerasan, ketidakadilan, konflik, kecurangan.
Tampak pula bahwa sebagian besar "rakyat" bukan pribadi-pribadi yang menentukan pilihan
sendiri. Mereka yang miskin dicengkeram ketimpangan sosial. Mereka yang bersuara
disumpal dogma. Mereka yang bersikap ternyata tak berani melepaskan diri dari panutan
kolektif.
Impian yang ramah juga terasa ketika dalam pidato 1 Juni itu Bung Karno menegaskan:
negara Indonesia yang akan berdiri "bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara

untuk satu golongan", melainkan negara "satu buat semua, semua buat satu". Bung Karno
meyakini, dalam proses perpaduan antara "satu" dan "semua" itu akan efektif "musyawarah",
lewat suatu proses politik dengan perwakilan rakyat.
Tiga perempat abad kemudian inilah yang sering dialami: "musyawarah" bisa berarti
pengekangan yang tersamar terhadap pendirian yang berbeda; "perwakilan rakyat" jadi
parlemen yang diangkat seorang diktator atau diseleksi para pendukung oligarki. Tak jarang
dari sana berkuasa suara yang digerakkan hasutan, uang suap, atau kepicikan.
Kemudian, mimpi yang ramah 1945 pun terguncang bersama sejarah dunia yang terguncang.
Tiga kali, setidaknya.
Yang pertama gagalnya ikhtiar besar untuk mendirikan masyarakat yang tumbuh dalam
kesetaraan. Sosialisme bukan lagi janji masa depan yang pasti; sosialisme kini jadi petilasan
masa silam--mungkin terasa indah atau sebaliknya grotesk, tapi tak bergerak.
Yang kedua ketakaburan dan kesia-siaan "globalisasi". Pernah ada janji, menyebarnya modal
dan perdagangan bebas ke segala penjuru akan membuahkan rasa kenyang dan perdamaian.
"Tak ada dua negeri yang sama-sama punya McDonald's pernah bertempur satu sama lain,
sebab masing-masing punya McDonald's-nya sendiri," kata suara yang paling optimistis
tentang globalisasi, diwakili Thomas L. Friedman.
Tapi ternyata McDonald's bukan lambang dan jalan damai, melainkan, sebagai modal,
penyebab kegendutan dan keretakan. Hanya sedikit yang bisa menikmati akumulasi modal
global--dan bagi yang tak kebagian, McDonald's (atau mobil Ferrari, atau koper Louis
Vuitton) menandai sesuatu yang mudah dicurigai: benda dari kebudayaan dan keserakahan
asing. Globalisasi pun ditentang--juga di Amerika Serikat dan Eropa, dua wilayah ekonomi
yang paling kuat berperan dalam penyebaran modal yang lepas dari perbatasan itu.
Yang ketiga: kegalauan, amarah, dan kekerasan yang merundung orang-orang beragama.
Yang paling nyaring, kita tahu, terdengar dari "dunia Islam".
Dalam sebuah esai yang baru-baru ini terbit di The Guardian, yang merekam dengan peka
dan menilik dengan dalam hiruk-pikuk dewasa ini, Pankaj Mishra menyebut masa ini sebagai
"Zaman Kemarahan".
Ia tak membatasi "kemarahan" kolektif itu di dunia Islam tempat terorisme tumbuh. Amarah
yang seperti api dalam sekam itu juga terdengar sebagai suara pelbagai kaum di pelbagai
negeri. Tapi Indonesia hari-hari ini menyaksikan yang lebih khusus--sesuatu yang tak dikenal
tiga perempat abad yang lalu, dalam mimpi ramah para pendiri Republik: kebencian yang
diteriakkan, permusuhan yang menghalalkan fitnah dan dusta, demagogi ala Rizieq.
Apa gerangan sebabnya? Mishra menyebut satu pengertian yang dulu antara lain
dikemukakan Nietzsche ketika mengamati gejala psikologi kaum yang beragama:

ressentiment. Dalam kata ini terkandung "paduan yang intens rasa iri, rasa terhina, dan tak
berdaya"--seperti dahulu, ketika para ulama Yahudi dikungkung hegemoni Romawi.
Kini di kalangan ulama Islam ressentiment itu juga menunjukkan sesuatu yang intens: sebuah
frustrasi. Mereka sadar tapi tak mau mengakui bahwa apa yang disebut "Barat", yang
sebenarnya campuran yang hidup dari pelbagai anasir, tak henti-hentinya berada dalam
hegemoni, sementara dunia Islam tak mampu lagi menghasilkan sesuatu yang berarti bagi
peradaban. Frustrasi itu jadi suara amarah yang makin nyaring tapi tak beroleh jalan ke luar,
kecuali penghancuran.
Sampai kapan, kita tak tahu. Yang jelas, Indonesia bisa terbangun dari impian ramah 1945-atau cuma ketakutan.

Goenawan Mohamad

Keterbukaan Peta Hutan


RABU, 14 DESEMBER 2016

Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia

Di Indonesia, transparansi masih menjadi barang langka. Baru saja Komisi Informasi Pusat
(KIP) memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia. Pada akhir Oktober lalu, KIP
memutuskan data peta tutupan lahan hutan dan peta perizinan konsesi kelapa sawit, hak
pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, serta pinjam-pakai kawasan hutan untuk
pertambangan dalam format shapefile terbuka untuk publik. Sebagai tergugat, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) wajib memberikan data tersebut.

Namun KLHK mengatakan pemerintah tidak menerima keputusan KIP karena UndangUndang Informasi Geospasial mengharuskan informasi geospasial disahkan sebelum
diumumkan dan shapefile tidak memiliki cara untuk memuat digital signature. Kementerian
berencana mengajukan banding, meski majelis KIP sudah menolak dalil ini karena informasi
tersebut sudah disahkan saat diumumkan dalam format lain. Permohonan banding KLHK ini
bertolak belakang dengan komitmen Presiden Joko Widodo. Nawa Cita, yang dibacakan saat
pelantikan Jokowi sebagai Presiden, menegaskan bahwa pemerintahannya berniat
membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, demokratis, dan dapat dipercaya.
Apalagi, Indonesia merupakan satu dari delapan negara pendiri The Open Government
Partnership pada 2011, bahkan sempat memimpin gerakan ini pada 2013. Fondasi
pemerintahan terbuka juga sudah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Transparansi dan keterbukaan informasi publik sangat penting untuk menjaga lingkungan dan
hutan Indonesia agar bisa bebas dari perusakan alam dan pembalakan hutan. Dengan
terbukanya informasi tentang pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya, masyarakat
bisa turut berpartisipasi menjaga hutan dan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Keterbukaan informasi bahkan bisa menjadi salah satu solusi bagi kebakaran hutan.
Sejumlah media menyebut kebakaran hutan tahun lalu sebagai bencana iklim terparah abad
ini, yang mencakup enam negara di kawasan Asia Tenggara. Ledakan emisi gas rumah kaca
saat itu melebihi pelepasan emisi harian di Amerika Serikat. Nilai total kerugian ekonomi
yang ada lebih besar daripada yang ditimbulkan bencana tsunami Aceh pada 2004.
Berdasarkan penelitian Harvard University, bencana dengan paparan asap beracun selama
berbulan-bulan mengakibatkan lebih dari 100 ribu kematian dini di Asia Tenggara.
Parahnya, kebakaran hutan dan lahan gambut tahun lalu akhirnya mendorong Presiden
mengeluarkan kebijakan moratorium izin baru kelapa sawit serta pertambangan. Sayangnya,
komitmen moratorium sukar diterapkan karena tidak adanya transparansi peta. Selama izin
konsesi, area hutan yang dilindungi dan wilayah kelola masyarakat masih dirahasiakan dan
tumpang-tindih. Walhasil, akan sulit bagi pemerintah untuk menerapkan komitmen ini, juga
komitmen Kebijakan Satu Peta.
Tidak dibukanya akses peta untuk publik akan melemahkan janji Presiden Joko Widodo
bahwa Indonesia berpartisipasi dalam upaya global menanggulangi perubahan iklim. Tahun
lalu, dalam acara COP21 di Paris, Presiden menyampaikan komitmennya di hadapan para
pemimpin dunia untuk menerapkan Kebijakan Satu Peta sebagai upaya Indonesia
menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030. Penerapan
Kebijakan Satu Peta ini perlu disertai dengan transparansi peta. Awal November lalu, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah mengulangi janji ini dalam COP22,
yang berlangsung di Marrakesh, Maroko. Dunia internasional akan melihat bagaimana
pemerintah Indonesia menindaklanjuti janjinya: menurunkan emisi karbon dan membenahi

pengelolaan hutan.
Tidak transparannya peta juga akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat adat dan
lokal yang tempat tinggal dan wilayah penghidupannya kerap terancam akibat operasi
perusahaan besar. Pada Juli 2015, KLHK telah berjanji menyerahkan 12,7 juta hektare hutan
sosial untuk dikelola masyarakat di sekitar kawasan hutan. Ini tentunya tidak bisa
diimplementasikan dengan baik jika peta untuk menentukan wilayah tersebut tidak dibuka
bagi masyarakat.
Disediakannya peta untuk publik akan memperkuat peran masyarakat adat dan lokal serta
seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya penyelamatan hutan dan
wilayah kelolanya sekaligus memonitor hot spot dan mencegah kebakaran hutan. Karena itu,
mari kita dorong pemerintah merealisasi keputusan KIP agar mulai transparan dan membuka
akses informasi demi kepentingan publik.

PSSI Setelah KLB Ancol


KAMIS, 15 DESEMBER 2016

Eddi Elison, Pengamat Sepak Bola Nasional

Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada 10 November 2016 di kawasan Ancol, Jakarta,
menghasilkan 15 personel pengurus baru. Letnan Jenderal Edy Rahmayadi dipercaya sebagai

Ketua Umum PSSI. Lalu Joko Driyono dan Iwan Budianto masing-masing menjadi Wakil
Ketua Umum. Lantas ada 12 anggota Executive Committee, yakni Hidayat, Yunus Nusi,
Condro Kirono, Papat Yunisal, Gusti Randa, Pieter Taunuri, Jupeni A. Rachman, A.S.
Sukawijaya, Johar Lin Eng, Refrizal, Dirk Soplanit, dan Very Mulyadi.
Setelah pengurus teras terpilih, timbul pertanyaan, apakah kepengurusan ini telah memenuhi
apa yang dikehendaki Presiden Joko Widodo? Jauh hari sebelum KLB, Presiden telah
menginstruksikan dilakukannya reformasi total terhadap PSSI sebagai penyelesaian
turbulensi di tubuh PSSI yang mengakibatkan persepakbolaan nasional gonjang-ganjing dan
bahkan paceklik prestasi.
Ingat, sejak PSSI dikenai sanksi administrasi oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Imam
Nahrawi, kemudian di-banned FIFA, persepakbolaan nasional mengalami degradasi
peringkat FIFA menjadi selevel "negara kelas dasar" di bawah Filipina dan bahkan Timor
Leste. Apalagi kemudian pengurus PSSI pimpinan La Nyalla Mattalitti menghentikan
kompetisi.
Menteri Imam terpaksa membentuk Tim-9, diketuai Komisaris Jenderal Purnawirawan
Oegroseno, disusul lahirnya Tim Transisi yang dipimpin Inspektur Jenderal Purnawirawan
Bibit Samad Rianto untuk mengatasi kevakuman kegiatan sepak bola. Bahkan, Presiden
Jokowi minta dilaksanakan turnamen khusus yang diikuti klub-klub, yang sebelumnya
berlaga di wadah Indonesia Super League (ISL) dengan operator PT Liga Indonesia (LI).
Terlaksanalah berbagai turnamen, seperti Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, Piala Jenderal
Soedirman, atau Piala Bhayangkara. Bahkan, saat ini sedang berlangsung Torabika Soccer
Championship (TSC) yang dilaksanakan PT Gelora Trisula Semesta (GTS), yang juga
menjadi operator Liga Nusantara (klub amatir) dan Piala Soeratin (U-17). Sebelumnya, di
daerah-daerah terlaksana kompetisi Piala Gubernur, Piala Bupati, dan sebagainya.
Semua kegiatan tersebut adalah bukti bahwa gairah sepak bola masyarakat tidak pernah
luntur, apalagi setelah sanksi Menteri dan FIFA dicabut. Kegairahan bersepak bola yang lepas
dari PSSI ini bukan bagian dari reformasi total sebagaimana dikehendaki Presiden, melainkan
hanya sebagai jalan atau pengisi waktu terkait dengan sanksi Menteri dan FIFA saja, menuju
KLB.
Meskipun KLB Ancol sudah memilih 15 pengurus, sesuai dengan Pasal 33 Statuta PSSI,
kepengurusan PSSI di bawah komando Edy Rahmayadi ini baru akan efektif dalam waktu 60
hari setelah 10 November. Artinya, pada 10 Januari 2017 kepengurusan ini baru total aktif.
Waktu dua bulan ini tentu digunakan untuk menyusun kepengurusan lengkap, selain
mempersiapkan kongres tahunan dengan materi bahasan, antara lain, program 2017,
inventarisasi pasal-pasal statuta yang perlu diamendemen agar segaris dengan Instruksi
Presiden (reformasi total), serta pengesahan kembalinya tujuh klub sebagai anggota PSSI
yang selama ini disingkirkan La Nyalla dan kolaboratornya, yakni Persebaya 1927 Surabaya,
Persibo Bojonegoro, Persema Malang, Arema Indonesia, Persikasi Kota Bekasi, Lampung

FC, dan Persewangi Banyuwangi.


Selain itu, yang paling penting adalah menyiapkan kompetisi 2017/2018. Apakah pesertanya
akan dipertahankan 18 klub? Apakah operatornya tetap PT Liga Indonesia? Untuk kedua
masalah tersebut, demi terlaksananya reformasi total, sebaiknya jumlah peserta ditambah,
bisa 20 atau 22 klub, dengan operator baru yang dipilih melalui lelang.
PT LI tidak pantas lagi dipertahankan, mengingat, selama melaksanakan ISL, operator justru
menjadi wadah permainan atur skor, sepak bola gajah, atau match-fixing. Konon pula direktur
utamanya adalah Joko Driyono, yang kini terpilih menjadi Wakil Ketua Umum PSSI.
Termasuk juga PT GTS, yang saat ini aktif mengelola turnamen TSC karena direktur
utamanya juga Joko Driyono. Jadi, dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan. Apalagi
ada kartelisasi melalui kontrak 10 tahun antara PSSI/PT LI dengan BV Sport, sehingga
masalah keuangan terkesan tertutup. Padahal, atas gugatan Komisi Informasi Publik,
pengadilan memutuskan bahwa PSSI adalah organisasi terbuka.
Tahap pertama kontrak 10 tahun tersebut harus dibatalkan. Selanjutnya, diadakan lelang
terbuka bagi setiap perusahaan yang berminat menjadi operator kompetisi dengan syaratsyarat tertentu.
Dalam statuta PSSI tidak ada pasal yang menentukan seorang pengurus PSSI harus melepas
jabatan di perusahaan yang ada temalinya dengan kepentingan PSSI atau rangkap jabatan di
dalam PSSI, seperti asisten provinsi atau pengurus klub, melainkan tuntutan reformasi total;
siapa pun yang terpilih sebagai pengurus teras sebaiknya mundur dari jabatan lamanya untuk
menghindari terpecahnya konsentrasi sebagai pengurus pusat atau menghentikan kepentingan
pihak lain. Agar lebih konkret, sebaiknya ada pasal baru tentang pelarangan rangkap jabatan
dalam statuta PSSI.

Maju Berteknologi, Kuat Berdesa


JUM'AT, 16 DESEMBER 2016

Sunaji Zamroni, Direktur Eksekutif Institute for Research and Empowerment


Yogyakarta

Banjir teknologi informasi tak bisa lagi terbendung. Kanal sosial-budaya yang rapat di desa
kini jebol juga diterjangnya. Undang-Undang Desa pun kian tertantang untuk memitigasi
dampak peranti canggih ini. Berteknologi akhirnya menjadi keniscayaan. Dalam hidup
berdesa pun tak lagi bisa dihindari. Tekad pemerintah Jokowi-Kalla memasang jaringan
internet sampai penjuru desa relevan ditagih. Upaya Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mewujudkan target 5.000 desa online pada 2019 pun
layak diawasi.
Terpilihnya Desa Dermaji di Kecamatan Lumbir, Banyumas, Jawa Tengah, menjadi Desa
Unggulan Tempo 2016 mengabarkan adanya geliat desa yang maju berteknologi informasi.
Desa-desa lainnya pun telah banyak yang berteknologi dalam membangun desa. Bahkan
program e-village budgeting yang dijalankan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sejak 2015
menjadikan 189 desa di ujung timur Pulau Jawa ini akrab berteknologi dalam penganggaran
desa. Warga desa bisa memelototi besaran uang masuk ke desa, belanja desa, maupun
dinamika harian desa setiap saat dan dari mana pun.
Kalau takut dilambung ombak, jangan berumah di tepi pantai. Kemajuan dan penetrasi
teknologi informasi ke desa memang keharusan zaman. Negara telah membuka akses
sambungan internet meluas ke desa, demikian pula pelaku bisnis telepon pintar. Situasi ini
sesuai dengan mandat Pasal 86 Undang-Undang Desa yang menghendaki dibukanya akses
informasi pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan.
Berpijak dari apa yang telah ditempuh oleh Desa Dermaji, desa-desa di Banyuwangi, dan
desa-desa lainnya, penting sekiranya memetik pelajaran dan tantangan. Pertama, berteknologi
informasi bisa dilakukan di desa. Sajian data dan informasi melalui situs desa bisa
memancing kepedulian dan keterlibatan warga, juga rasa kepemilikan terhadap desa mereka.
Di mana pun dan kapan pun, warga bisa menengok apa saja yang terjadi di desanya. Mereka
bisa urun gagasan, ikut dalam jaringan pertemanan, dan menyumbang uang untuk
pembangunan desa. Desa pun bisa menginformasikan data tentang aset dan potensi yang
dikandungnya kepada siapa pun, tapi pastinya dengan mekanisme pengamanan tertentu agar
desa tidak terintai mata jahat selama 24 jam. Praktek berteknologi model Desa Dermaji
memberikan pelajaran berharga bahwa kemauan adalah yang terpenting, bukan kemampuan.
Kedua, desa cerdas dan interaktif. Memang, desa-desa yang memiliki situs terlihat maju dan
dinamis. Tapi penting dilacak sejauh mana laman desa tersebut merupakan jelmaan lain dari
"deliberative forum" yang telah terkubur oleh rezim politik negara masa lalu. UndangUndang Desa sesungguhnya mendorong tumbuhnya warga negara aktif yang berkapasitas
individual dan organisasi untuk berpartisipasi dalam aksi kolektif desa. Dengan kata lain,

teknologi informasi harus ditransformasi menjadi metode mutakhir bagi entitas desa untuk
menghidupkan kembali tradisi berdesa yang sarat dengan prinsip dan nilai-nilai demokrasi.
Adanya situs desa seharusnya mempercepat dan memudahkan musyawarah antarwarga
maupun warga dengan pemangku kebijakan desa. Teknologi informasi harus bisa menerobos
sekat laten yang justru selama ini mendominasi alam bertindak orang desa. Sikap ewuh
pakewuh (baca: enggan, inferior) dalam bermusyawarah bisa digerus dengan interaksi aktif
melalui laman desa.
Ketiga, desa berteknologi untuk berdemokrasi. Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau
terlampaui. Peribahasa ini mengingatkan bahwa desa-desa seperti Desa Dermaji sebenarnya
bisa menyelesaikan dua-tiga tantangan berdesa dengan sekali merengkuh teknologi informasi.
Apa tantangan berdesa itu? Sejumlah tradisi berdesa telah lama hilang, seperti warga yang
selalu peduli desa, aksi kolektif warga desa, dan bermusyawarah untuk mencapai mufakat.
Teknologi informasi dalam bentuk laman desa, aplikasi dalam telepon pintar, dan bentuk
lainnya bisa digunakan untuk membangun tradisi berdesa dan berdemokrasi. Jika saat ini
Desa Dermaji belum memperbaiki partisipasi warga dalam musyawarah desa serta
musyawarah perencanaan dan pembangunan desa, aplikasi berbasis telepon pintar bisa
dikembangkan lebih lanjut. Jika selama ini desa-desa berteknologi belum menyediakan
layanan publik secara online, bisa dikembangkan pengurusan surat pengantar desa tanpa tatap
muka. Perantau di Jakarta, misalnya, tidak harus pulang kampung sekadar untuk mengurus
surat pengantar desa guna keperluan kerja maupun izin tinggal sementara di Ibu Kota.
Akhirnya, cita-cita Undang-Undang Desa menjadikan desa kuat, maju, mandiri, dan
demokratis bisa ditempuh dengan memanfaatkan teknologi informasi secara cerdik dan
produktif. Banjir bandang teknologi informasi harus ditransformasikan secara produktif guna
memindahkan nalar kekunoan ke alam pikir masa kini. Tradisi berdesa yang dulu sarat
dengan ketersediaan ruang pertemuan luas dan waktu yang lama kini bisa diringkas dalam
laman desa maupun aplikasi desa. Namun, yang penting dicatat, saat maju berteknologi,
jangan sampai melupakan tujuan utama dalam memperkuat kembali tradisi berdesa.

Piknik
SABTU, 17 DESEMBER 2016

Gemuruh sorak menggema di Stadion Pakansari Cibinong menyambut kemenangan tim


nasional sepak bola Indonesia melawan Thailand. Banyak yang berteriak "hidup Indonesia".
Di lapangan para pemain ceria, ada Rizky Rizaldi Pora dari Ternate, ada Manahati Lestusen
dari Ambon, ada Boaz Solossa dari Sorong, ada Ferdinand Alfred Sinaga dari Bengkulu. Ada
lagi yang datang dari Palembang, Balikpapan, dan tentu ada yang dari Jawa.
Indonesia begitu luas. Dengan mengeja namanya saja, pemain tim nasional datang dari
berbagai daerah, bahkan dari beragam agama--soal agama ini seharusnya tidak ditulis. Tiga
puluh ribu penonton di stadion dan puluhan ribu lagi yang tak bisa masuk stadion tapi bisa
mendapatkan roti, eh bukan, bakso gratis tak menghiraukan perbedaan itu. Indonesia adalah
kita, begitu slogan terbaca. Kicauan di media sosial berhamburan memberi selamat, dari
presiden, wakil presiden, menteri, pimpinan parlemen, semua memuji tim yang anggotanya
beragam ini.
Setelah stadion sepi? Tak ada lagi kebanggaan yang sama. Kita terkotak-kotak kembali.
Orang mudah mencela orang lain, tak peduli itu kawan lamanya, kalau beda dukungan calon
gubernur, misalnya. Apalagi ditambah dengan beda agama. Kata-kata pun sangat tak sopan.
Kebencian dipelihara. Apa pun yang dilakukan orang lain selalu salah, termasuk
menyalahkan aparat. Polisi menangkap teroris yang belum meledakkan bom disebut
pengalihan isu. Bom meledak, polisi kecolongan.
Mungkin kita perlu banyak menggelar atau terlibat dalam turnamen sepak bola internasional.
Juga mengirim atlet-atlet berprestasi lainnya, seperti bulu tangkis. Terbukti saat medali emas
Olimpiade diraih pemain bulu tangkis, kita pun sempat bangga sebagai bangsa tanpa
mempersoalkan dari mana asal pemain itu dan apa keyakinannya. Indonesia adalah kita yang
majemuk.
Lewat sepak bola atau bulu tangkis atau mungkin prestasi anak bangsa yang lain, kita bisa
bersatu dan menghargai kebinekaan. Kita bisa melupakan hal-hal yang seharusnya tidak perlu
dipermasalahkan yang menyangkut perbedaan, baik dalam masalah budaya, keyakinan atau
apa pun. Apakah perlu kita ungkit kembali pemakaian atribut Santa menjelang Natal,
misalnya? Atribut itu banyak dipakai karyawan supermaket untuk menarik pelanggan sambil
menawarkan diskon Natal. Sepanjang tak ada pemaksaan, apalagi karyawan pasar modern itu
melakukan dengan senang hati, dapat bonus pula kalau target penjualan tercapai, apa ada
yang salah? Toh, menjelang Lebaran, mereka juga memakai kerudung dan mal-mal dihias
ketupat di setiap sudut. Ketupat Lebaran yang cara menganyamnya warisan dari budaya

Hindu di era Majapahit. Apa yang salah kalau itu cuma atribut yang tidak berkaitan erat
dengan akidah? Toh, diskonnya diterima oleh siapa pun yang berbelanja, tak diperiksa
agamanya apa.
Mungkin kita perlu lebih banyak menonton pertandingan olahraga, apalagi jika tim kita yang
berlaga. Atau istilah anak muda sekarang, kita perlu lebih banyak piknik. Selama ini kita
terkurung di kelompok yang sempit. Cobalah piknik mencari angin di semesta yang luas. Kita
punya berbagai budaya di Nusantara, tak bisa kita seragamkan dengan satu budaya saja. Kita
warisi budaya itu dari leluhur yang sangat menghormati keberagaman. Wali Songo
menyebarkan Islam dengan budaya wayang, kenapa patung tokoh wayang harus kita
robohkan sekarang? Sunan Kudus merawat candi Hindu untuk dipakai menara masjid,
kenapa sekarang kita tidak meneladani perbedaan itu?
Mari kita lebih banyak piknik untuk melapangkan hati.

Calas
SENIN, 19 DESEMBER 2016

Ia tak percaya kepada agama apa pun. Voltaire hanya percaya kepada Tuhan--dan ia selalu
dikenang karena kecamannya yang keras dan mendasar. Dan bertalu-talu.
Sastrawan, penulis lakon, esais, dan pemikir yang terkemuka di Eropa ini menggugah dalam
menyampaikan pikiran, kocak dalam mengejek. Nada tulisannya ceria, baik dalam berkisah
maupun dalam polemik. Tapi sejak awal 1760-an, Voltaire kehilangan sikap cerianya; dari
penanya lahir pamflet-pamflet yang marah.
Persisnya sejak Maret 1762, setelah seseorang bernama Jean Calas dijatuhi hukuman agar
disiksa dan dibunuh.
Syahdan, saudagar tekstil yang sukses di Toulouse ini di umur 68 tahun dihukum karena
kematian anak sulungnya, Marc-Antoine. Bersama tiga anaknya yang lain dan seorang
pelayan, Calas dituduh berkomplot membunuh pemuda itu. Dugaan, atau dakwaan, atau
desas-desus: mereka, orang Protestan, melakukan kejahatan itu karena marah ketika tahu
anak muda itu telah murtad dari agamanya dan siap memeluk keyakinan Katolik.
Keluarga Calas membantah: Marc-Antoine mati karena gantung diri. Pemuda berumur 29
tahun itu masuk ke sekolah tinggi hukum, tapi tanpa harapan akan dapat bekerja. Undangundang Prancis waktu itu melarang orang berpraktek sebagai dokter dan pakar hukum kecuali
bila ia punya sertifikat yang menunjukkan ia seorang Katolik. Marc-Antoine menolak
berpindah agama, tapi ia juga tak bisa cari nafkah lain dan tak menyukai bekerja di toko
ayahnya, sementara utangnya menumpuk di meja judi. Agaknya pemuda pemurung ini
jengkel dengan nasibnya, merasa hina-dina di antara keluarganya, atau putus asa--dan
memilih mati.
Seharusnya Calas mengungkapkan itu kepada polisi. Tapi ketika ia diinterogasi pertama
kalinya, ia mencoba membuat cerita bahwa Marc-Antoine tewas terbunuh, dan si pembunuh

raib. Agaknya ini caranya untuk mengelakkan sesuatu yang juga menakutkan: di masa itu, di
Prancis, jasad seseorang yang bunuh diri akan ditelanjangi dan diseret sepanjang jalan. Tapi
dengan cerita palsunya, Calas membuat penyebab kematian Marc-Antoine makin kabur. Para
dokter yang memeriksa mayatnya menyimpulkan: pemuda malang itu "digantung hiduphidup, oleh dirinya sendiri atau oleh orang-orang lain".
Tiga puluh enam jam setelah disekap di dalam sel bawah tanah, barulah Calas mengatakan:
Marc-Antoine "digantung hidup-hidup oleh dirinya sendiri".
Sistem peradilan Prancis di abad ke-19 tak punya asas "praduga tak bersalah" atau cara lain
untuk melindungi seorang tersangka dari prasangka dan fitnah. "Satu bisikan dapat
mematikan bagaikan sampar," kata seorang penulis. Dan di hari-hari itu, sampar berkembang
lewat desas-desus dan kabar angin, tatkala penyebab kematian anak muda itu serba
meragukan.
Pada akhirnya Calas dibawa ke depan mahkamah ("parlemen") dan para hakim yang
mengadilinya memutuskan: si terdakwa harus dipaksa agar menunjuk nama-nama anggota
komplotannya--lalu tubuhnya dipatahkan dengan roda, dan dibakar.
Calas tak menyebut nama siapa pun, sebab memang tak ada. Maka siksaan dijalankan. Ada
tahap ketika mulutnya dicagak dengan dua tongkat agar terbuka dan disentor air berkendikendi dan kemudian lubang hidungnya dipencet. Ketika tak ada juga pengakuan, ia dibawa ke
depan umum, diarak ke alun-alun, diangkat ke perancah, dan diikat ke sebuah salib berbentuk
X. Seorang algojo dengan besi panas menghancurkan tulang-tulang orang tua itu. Setelah
tubuhnya patah, ia ditautkan dengan sebuah roda dan mukanya dihadapkan ke langit. Dua
jam lamanya. Tapi ia tak juga mengakui kesalahannya, tak mau melepaskan imannya. "Aku
mati tanpa salah," katanya. Ia dicekik. Tubuhnya dilontarkan ke api....
Ecrasez l'infame! Ganyang kekejian itu! Dengan dua kata itu, yang artinya tak pernah persis
tapi semangatnya menggelegak, Voltaire pun menyatakan perangnya kepada kebencian yang
dinyalakan fanatisme agama. "Orang yang mengatakan kepadaku, 'Berimanlah dengan
imanku, kalau tidak, Tuhan akan mengutukmu,' kini akan mengatakan, 'Berimanlah dengan
imanku, kalau tidak, aku bunuh kau'."
Voltaire sendiri beriman kepada "wujud" yang maha-luhur, tapi ia "tak bergabung dengan
salah satu sekte yang akan saling bantah." Agama seorang "deist", katanya, adalah agama
paling purba: semata-mata menjunjung satu Tuhan yang mendahului "semua sistem di dunia".
Ia telah menyaksikan bagaimana "sistem" itu--sistem kepercayaan itu--tidak hanya mengikat,
tapi juga membuat kecurigaan mudah dan paranoia gampang. Juga: permusuhan dan
prosekusi. Risalah tentang Toleransi yang ditulisnya ia tutup dengan sebuah doa: "Semoga
semua variasi kecil ini yang membedakan tiap zarah yang bernama manusia tak akan memicu
kebencian dan penindasan."

Di tengah suasana yang menyesakkan seperti Prancis di abad ke-18 itu, Voltaire seakan-akan
berdoa di samping kita, di Indonesia, kini.

Goenawan Mohamad

Pemakzulan Presiden Korea


RABU, 21 DESEMBER 2016

Hani Adhani, Panitera Pengganti Mahkamah Konstitusi RI

Isu adanya korupsi yang dilakukan oleh Presiden Korea Park Geun-hye pada akhirnya telah
memaksa ribuan rakyat Korea untuk turun ke jalan guna menuntut Majelis Nasional Korea,
parlemen negeri itu, memakzulkan Park. Awal Desember lalu, parlemen akhirnya
memutuskan untuk memakzulkan Park dengan dukungan 234 dari jumlah total 300 legislator.
Dalam konstitusi Republik Korea, proses pemakzulan tidak hanya dapat dilakukan terhadap
presiden, tapi dapat juga dilakukan terhadap pejabat publik lainnya, seperti perdana menteri,
menteri, hakim konstitusi, hakim, pejabat audit, dan anggota komisi pemilihan umum. Jika
pejabat tersebut dianggap melanggar konstitusi atau melanggar tugas dan kewajibannya
sebagai pejabat publik, parlemen dapat mengajukan permohonan pemakzulan jika diusulkan
oleh 1/3 anggota parlemen dan disetujui oleh 2/3 anggota parlemen.
Dalam sejarah ketatanegaraan di Negeri Ginseng, proses pemakzulan presiden melalui
Mahkamah Konstitusi pernah juga terjadi pada 2004. Pada saat itu, Presiden Roh Moo-hyun

dimakzulkan oleh parlemen karena dianggap telah melanggar undang-undang pemilihan


umum. Dia secara terang-terangan mendukung salah satu partai politik menjelang pemilihan
anggota Majelis Nasional, padahal Undang-Undang Pemilu Korea menggariskan bahwa
pejabat publik harus bersikap netral.
Atas pelanggaran tersebut, parlemen pada 12 Maret 2004 memakzulkan Roh Moo-hyun.
Mahkamah Konstitusi, yang salah satunya kewenangannya menyelesaikan permohonan
pemakzulan, kemudian menyidangkan permohonan pemakzulan tersebut dan pada 14 Mei
2004 membacakan putusannya dengan Nomor Perkara 2004 Hun-Na.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan bahwa konferensi pers Presiden
Roh Moo-hyun yang berisi tentang dukungan terhadap salah satu partai politik adalah
tindakan yang bukan termasuk dalam kategori pelanggaran hukum berat. Meski Presiden
telah melanggar hukum, tapi pelanggaran tersebut tidak cukup serius untuk menjatuhkannya
dari kursi presiden. Karena itu, Mahkamah menolak permohonan pemakzulan itu. Putusan ini
menjadi salah satu putusan landmark yang menjadi patokan dalam memutus perkara
pemakzulan presiden secara konstitusional dan menjadi rujukan bagi peradilan konstitusi di
seluruh dunia.
Dalam pengambilan keputusan atas permohonan pemakzulan Presiden tersebut, sama seperti
halnya di Mahkamah Konstitusi Indonesia, kuorum pengambilan keputusan harus juga
dihadiri oleh minimal tujuh hakim konstitusi. Jumlah hakim MK Korea berjumlah sembilan
orang yang setiap tiga orang merupakan representasi dari parlemen, presiden, dan Mahkamah
Agung. Meskipun dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Korea disebutkan bahwa
sembilan hakim MK dipilih oleh presiden, dalam proses pemilihannya, parlemen diberi hak
juga untuk menentukan tiga hakim dan tiga hakim lainnya dinominasikan juga oleh Ketua
Mahkamah Agung Korea.
Proses persidangan perkara pemakzulan Presiden Park Geun-hye ini mungkin akan memakan
waktu 180 hari dan dalam kurun tersebut Mahkamah Konstitusi akan melakukan persidangan
guna mendengarkan keterangan dari berbagai pihak, yaitu Majelis Nasional selaku pemohon
dan dari kubu Presiden Park selaku pejabat publik yang dimakzulkan. Bila melihat
pentingnya perkara ini, pastinya Mahkamah akan berupaya untuk menghadirkan para pihak
tersebut dalam persidangan, meskipun bisa saja Mahkamah menyidangkan dan memutus
perkara tersebut tanpa dihadiri para pihak khusus pejabat yang dimakzulkan.
Sebelum adanya putusan final dari Mahkamah, pejabat publik tersebut tidak boleh
melaksanakan tugasnya (non-aktif). Apabila permohonan/gugatan pemakzulan tersebut
dikabulkan oleh Mahkamah, pejabat publik yang dimakzulkan tersebut tidak boleh menjadi
pejabat publik selama lima tahun ke depan dan keputusan tersebut tidak menyebabkan
pejabat tersebut lepas dari tuntutan pidana.
Patut kita tunggu proses persidangan dan putusan Mahkamah Konstitusi Korea mengenai
pemakzulan Presiden Park ini. Apakah nantinya Mahkamah akan mengabulkan permohonan

pemakzulan itu atau mungkin ditolak seperti perkara pemakzulan Roh Moo-hyun pada 2004
lalu? Perkara ini bukan hanya menjadi sorotan masyarakat Korea, tapi juga masyarakat
dunia.

Islam dan Energi Terbarukan


JUM'AT, 23 DESEMBER 2016

Fachruddin M. Mangunjaya, Ketua Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional

Konferensi PPB untuk Perubahan Iklim (COP22) tahun ini berlangsung di Marrakesh,
Maroko, November lalu. Bagi dunia Islam, setelah diumumkan Deklarasi Islam untuk
Perubahan Iklim di Istanbul pada 2015, inisiatif gerakan iklim sewajarnya semakin masif
dilakukan, termasuk kegiatan yang dilakukan di berbagai belahan dunia Islam.
Sebagai bagian dari penghuni planet Bumi, umat Islam harus ambil bagian sebagai pemberi
solusi, bukan sebaliknya. Karena itulah kita bergembira tahun ini. Ada komitmen penting
negara muslim sebagai penandatangan COP dan sangat penting ada aksi nyata yang

ditunjukkan oleh umat Islam untuk perubahan iklim dengan basis keimanan.
Maroko, misalnya, telah memulai gerakan dengan menggunakan energi terbarukan yang
memanfaatkan tenaga matahari. Negara ini mempunyai ambisi menjadi contoh sebagai
negara Afrika yang menggunakan panel surya terbesar di daratan Afrika Utara. Baru-baru ini,
mereka mengumumkan akan membantu pembangunan panel surya di 600 masjid untuk
menurunkan dampak perubahan iklim pada 2019. Ada 100 masjid yang akan diselesaikan
pada akhir tahun ini.
Pemerintah Maroko sudah memasang panel surya antara lain di masjid bersejarah Al
Qotubiah di Marrakesh dengan papan pemantau emisi dan efisiensi energi. Tentu saja ini
sebuah langkah awal yang besar dan pemerintah, melalui Kementerian Agama, akan
menginisiasi 70 persen investasi dari kegiatan tersebut, yang bergandengan tangan dengan
para aktivis lingkungan serta dibantu oleh pemerintah Jerman. Hal yang sama juga telah
dilakukan di 400 dari 6.300 masjid di Yordania tahun lalu.
Di sisi arena COP22, yang dilakukan oleh Global Muslim Climate Network (GMCN),
Indonesia tidak ketinggalan mengumumkan sebuah aplikasi Green Hajj, sebuah petunjuk haji
ramah lingkungan berbasis telepon pintar yang disumbangkan oleh dunia akademis dari Pusat
Pengajian Islam Universitas Nasional. Sebelumnya, Indonesia juga sudah mencanangkan
Program Ekomasjid (masjid ramah lingkungan) yang dipelopori oleh Pemuliaan Lingkungan
Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia. Kegiatan ini mengusung program
penghematan air wudu dan penanaman pohon di berbagai masjid.
Di Pavilion Indonesia pada COP22, MUI juga mengumumkan kontribusinya atas pelarangan
pembakaran hutan dan lahan, yakni berupa fatwa kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran
hutan dan lahan dan pembukaan lahan-lahan baru merupakan 80 persen kontribusi Indonesia
dalam perubahan iklim. Jadi, dengan mencegah pembukaan lahan dan hutan yang efektif,
Indonesia dapat berkontribusi signifikan untuk pengurangan (mitigasi) dalam mengatasi
perubahan iklim.
Perubahan iklim memang tengah nyata terjadi. Tapi kita menyaksikan sesungguhnya selama
bertahun-tahun sebuah paradoks juga berlangsung di dunia muslim. Di satu sisi, umat Islam,
yang mewakili lebih dari seperlima populasi global, hidup di beberapa daerah yang paling
terpengaruh oleh perubahan iklim, seperti Turki dan Timur Tengah dengan kekeringan yang
semakin meningkat serta banjir tak berkesudahan di Bangladesh dan Indonesia yang kerap
kita saksikan.
Sangat disayangkan, hari ini masih banyak negara berpenduduk mayoritas muslim terus
berkontribusi terhadap perubahan iklim dengan menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu
bara, gas, dan minyak dalam jumlah berlebihan. Sekarang sudah saatnya umat Islam
berkonsentrasi pada energi terbarukan, terutama di negara pengimpor minyak seperti
Indonesia. Indonesia sudah seharusnya menggunakan potensi energi alternatif seperti
geothermal yang ada di beberapa kawasan di Sumatera dan Jawa serta secara massif beralih

ke energi surya.
Sangat disayangkan pula Indonesia telah memutuskan pembangunan energi tidak terbarukan
selama 2014-2019untuk menghasilkan listrik bertenaga 35 ribu megawattberbasis batu
bara yang berdampak bukan saja pada kontribusi gas-gas rumah kaca, tapi juga pada
lingkungan yang tercemar dan Bumi yang berlubang. Ada dampak fatal lainnya yang dikaji
oleh UNICEF pada 2016 bahwa batu bara adalah salah satu kontributor terbesar atas tiga juta
kematian bayi prematur setiap tahun yang disebabkan oleh penyakit terkait dengan polusi
udara.
Jalan pembangunan yang kita tempuh, dengan energi berbasis batu bara, jelas bertentangan
dengan maqasid syariah. Jika fakta terjadi demikian, sudah saatnya pemerintah dan lembaga
keuangan Islam, seperti Bank Pembangunan Islam, berkontribusi dengan menggeser arus
keuangan dari pembangkit listrik bersumber fosil ke investasi pada energi yang berkelanjutan
dan bersih.

Telolet
JUM'AT, 23 DESEMBER 2016

Fenomena membunyikan klakson yang kemudian dikenal dengan irama telolet sudah ada
sejak setahun lalu. Bahkan lebih. Sekelompok anak-anak di jalur pantai utara Jawa iseng
merekam suara klakson bus antarkota dengan handphone-nya. Rekaman ini kemudian
dikirim ke teman-temannya, lalu menyebar. Terjadi kelatahan, ramai-ramai berburu klakson.
Adapun sopir bus, yang ternyata tak keberatan, memasang variasi bunyi klakson agar tambah
seru.

Begitulah sejarah lahirnya telolet. Antara keisengan dan kecanggihan teknologi handphone,
plus sambutan bersahabat para sopir. Kini telolet mewabah di mana-mana. Anak-anak dan
remaja tanggung siap berburu telolet sambil mengacungkan poster yang berbunyi "Om
Telolet Om". Aksara di poster itu lalu menjadi trending topic dunia. Berbagai variasi musik
dengan inspirasi telolet lahir. Ini kesuksesan besar bangsa Indonesia yang berhasil
mengekspor produk keisengannya yang bernama Om Telolet Om.
Kenapa penemuan unik ini baru meledak sekarang? Mungkin kita lagi bosan dengan
kejenuhan politik yang tiap hari mengobarkan permusuhan di media sosial. Kita bosan
dengan ujaran kebencian dan rekayasa informasi yang seenaknya merendahkan orang lain
yang kita posisikan sebagai lawan. Kita bosan dengan aktivitas politik yang dibungkus
agama. Adapun pemimpin agama tak bisa dijadikan teladan bagaimana kita bergaul dalam
kebinekaan suku, budaya, dan agama. Di tengah kebisingan itu, ada orang yang jeli menjual
telolet ke media sosial. Kesederhanaan anak-anak tanggung di jalur Pantura dalam mencari
kegirangan dengan biaya murah diunggah ke media sosial dengan penyedap berbagai rasa.
Om Telolet Om.
Apakah telolet perlu dilarang? Kalau dilarang, alasan apa yang paling baik digunakan? Polisi
memang repot untuk mengingatkan anak-anak jalanan itu saat meminta sopir bus antarkota
membunyikan telolet. Mereka bisa keseruduk. Tapi, ya, tak apa-apa. Ini pekerjaan lebih
ringan dibanding polisi mengamankan ormas radikal yang sweeping topi Santa.
Telolet ini mencairkan ketegangan kita yang tak perlu menjelang Natal hari-hari ini.
Ketegangan karena hari suci umat Kristiani ternyata membuat sibuk umat yang lain. Sibuk
melarang memakai atribut Natal bagi warga muslim. Kalau atribut itu berkaitan dengan
akidah, barangkali tepat diharamkan. Tapi kalau hanya produk budaya, sejauh itukah sampai
merusak akidah? Padahal, dalam sejarah perjalanan agama-agama di Nusantara, budaya yang
berbeda menjadi inspirasi untuk kebersamaan. Tak jarang pula budaya lokal itu justru
dimanfaatkan untuk penyebaran agama.
Wali Songo menyebarkan Islam di Jawa dengan meminjam budaya Hindu seperti wayang.
Padahal, cerita wayang pada awalnya adalah kisah tentang penjabaran kitab suci Hindu yang
dikenal dengan istilah Ithiasa. Syekh Jafar Sodiq yang lebih terkenal disebut Sunan Kudus
membangun masjid dengan memanfaatkan peninggalan candi Hindu untuk menaranya pada
1549. Sampai sekarang tak ada yang mengharamkan masjid di tengah-tengah kota Kudus itu.
Apakah umat Kristiani di Bali dilarang menggunakan destar (ikat kepala) untuk merayakan
Natal? Atau muslim di Pegayaman, Bali Utara, diharamkan memakai nama Putu, Nengah,
Ketut, Wayan, dan seterusnya karena nama itu dipakai orang Bali yang Hindu? Ternyata
tidak, destar atau pun nama-nama itu hanyalah produk budaya. Ah, kita capek setiap hari
disuguhi berita sekitar ini, maka Om Telolet Om jadi pilihan untuk hiburan sehat. Selamat
Natal bagi sahabat Kristiani dan mari kita menikmati telolet.

Anti-Santa

SENIN, 26 DESEMBER 2016

Menjelang Natal 1951, di Kota Dijon, Prancis, para pastor memutuskan menggantung patung
Patre Noe, alias Sinterklas, alias Santa Klaus, di halaman Katedral. Kemudian jenggotnya
dibakar. Kemudian seluruh tubuhnya dimakan api.
Sebanyak 250 anak diundang buat menyaksikan upacara itu. Gereja menjelaskan alasannya
dalam sebuah siaran pers, mengisyaratkan bahwa Sinterklas adalah dusta dan "dusta tak
mampu membangunkan rasa keagamaan pada diri anak".
Kata para padri Dijon pula: "Bagi kita yang Kristiani, hari raya Natal harus tetap merupakan
hari lahir Juru Selamat kita."
Di Indonesia, sebagian orang Islam dengan konyol masih percaya, Sinterklas dan topinya
yang berbentuk kantong merah-putih itu penanda "Kristen". Mereka tak menelaah sejarah: di
negeri Nasrani sendiri bahkan seluruh perayaan Natal pernah diharamkan, dan acara
Sinterklas--dengan keramaiannya yang tak religius dan perdagangannya--dikecam. Tak amat
mengherankan jika para pastor di Dijon ingin meniadakan tokoh ganjil yang disebut "Bapa
Kermis" itu dari fantasi anak-anak.
Pada mulanya para anti-Santa bukan penganut Katolik. Pada mulanya--sebelum Sinterklas
jadi tokoh sentral di Hari Natal--yang kuat adalah anti-Natal.
Di Skotlandia, hari Natal telah dihapuskan pada 1560-an oleh penguasa Protestan. Pada
Januari 1645, di London, parlemen mengumumkan Directory for the Public Worship of
God, arahan bagi orang yang akan beribadah di tempat umum. Parlemen, yang dikuasai kaum
Puritan yang anti-gereja dan memusuhi segala ornamen dan kemeriahan ala Katolik,
menganggap Natal tak perlu dirayakan, apalagi dengan disertai wanton Bacchanalian
feast, "pesta binal mabuk-mabukan".
Memang sebelum itu, Natal adalah libur yang asyik. Selama 12 hari, gereja dan gedunggedung di London dirias dengan cantik, hadiah dibagikan kepada fakir miskin, makanan
terlezat disiapkan, dan pesta berlangsung. Orang bersantap, berdansa, bernyanyi, minum,
berjudi. Antara iman dan syahwat, antara syukur dan gairah tubuh, terdapat batas yang sangat
samar.
Bagi kaum Puritan, ini semua akan berujung pada dosa. Ketika berkuasa, mereka menolak
menyebut Natal "Christmas" (ada kata "mass"). Natal adalah "Christ-tide". Tanggal 25
Desember mereka nyatakan bukan hari libur; pasar dan toko harus buka seperti di hari lain.
Tentu saja tak ada ramai-ramai. Jika ada yang istimewa: 25 Desember adalah hari puasa dan
berdoa, hari umat bersujud dan mengenang dosa.

Dalam sejarah Inggris, sejak 1660 berangsur-angsur kaum Puritan terpojok. Mereka yang
mengungsi ke Amerika--khususnya ke daerah New England--melanjutkan pandangan hidup
mereka. Tak mengagetkan bila pada 1659, di Massachusetts, orang didenda jika merayakan
Natal.
Baru satu abad kemudian pesta Natal mulai bermunculan, dan baru pada 1830-1890 Natal
dianggap perayaan yang dijamin hukum.
Dari sini Sinterklas, dalam wujudnya sekarang, ditampilkan: bukan oleh gereja Protestan
tentu saja, bukan pula oleh gereja mana pun, melainkan oleh imajinasi khalayak, hasrat
bersuka-suka, dan mekanisme modal.
Mula-mula adalah perdagangan hadiah. Makin lama, hadiah Natal bukan dibuat sendiri,
melainkan dibeli. Toko-toko pun menggelar etalasenya. Hasrat pun berkembang jadi
kebutuhan dan rasa kurang yang tak putus-putus. Pada 1874 Macy's, toserba besar di New
York, memajang tableau boneka-boneka dengan harga total 10 ribu dolar. Sejak itu, etalase
yang bersaing gilang-gemilang jadi bagian hari Natal.
Sosok Sinterklas, sebagaimana kita lihat kini, adalah bagian dari etalase itu: sebuah ilusi yang
menyajikan janji tentang milik dan benda-benda. Tokoh Natal Amerika ini memang mirip
tokoh religi; ia mengandung misteri. Tapi ia, sebagai salesman, tak menakutkan. Ia ceria. Jika
dongengnya mirip dongeng agama, karena ia dipercaya anak-anak kecil yang diperdayakan
orang-orang dewasa. Antropolog Levi Strauss menyebut Sinterklas "dewa dari sebuah
kelompok usia di masyarakat kita".
Dari fantasi Sinterklas kita pun melihat dua dunia yang terpisah tapi berjenjang: dunia anakanak dan dunia orang dewasa, yang dijalani dalam inisiasi, rites of passage.
Para pastor di Dijon mungkin melihat bagaimana "ritus" itu perlu dijauhkan dari "dusta",
yakni dusta tentang Sinterklas. Dusta tak pernah mendidik, kata mereka--dan lagi pula Si
Bapa Kermis telah mengambil peran Kristus sebagai tokoh Natal. Maka ia harus
dimusnahkan.
Tapi orang yang tak beriman mungkin akan mengatakan, di balik Katedral Dijon itu-sebagaimana di dalam lembaga agama mana pun--tersimpan dusta juga, meskipun lain.
Jangan-jangan orang dewasa memerlukan agama seperti konsumen suka nonton etalase: perlu
janji, perlu dusta atau ilusi yang indah, sebagaimana anak-anak perlu Santa. Ritus ke arah
dewasa terjadi ketika mereka menyadari kemungkinan itu.

Goenawan Mohamad

Masalah RUU Penyelenggaraan Pemilu


SELASA, 27 DESEMBER 2016

Khoirunnisa Nur Agustyati, Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem)

Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu telah dibentuk


dan siap bekerja. Berdasarkan jadwal yang disusun Pansus, pembahasan akan diakhiri pada
28 April 2017. Artinya, DPR dan pemerintah hanya memiliki waktu kurang dari lima bulan
untuk membahas RUU Penyelenggaraan Pemilu.
Berkaca dari pembahasan undang-undang pemilu sebelumnya, undang-undang untuk
menyelenggarakan Pemilu 2009 disahkan oleh DPR dan pemerintah pada 2008. Dengan
demikian, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, hanya memiliki waktu kurang
dari 12 bulan untuk menyelenggarakan Pemilu 2009.
Adapun untuk Pemilu 2014, undang-undang penyelenggaraan pemilu telah disahkan pada
2012. Artinya, KPU dan Bawaslu yang dilantik pada 2012 memiliki cukup waktu untuk
mempersiapkan Pemilu 2014. Meski masih ada kekurangan, secara keseluruhan
penyelenggaraan Pemilu 2014 berjalan dengan baik.
Jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013,
penyelenggaraan Pemilu 2019 dilakukan secara serentak, baik pemilu legislatif (DPR, DPD,
dan DPRD) maupun pemilihan presiden dan wakil presiden. Dengan demikian,
penyelenggara pemilu akan menghadapi tahapan yang lebih kompleks dibanding sebelumnya.
Untuk itulah, dibutuhkan undang-undang pemilu yang sudah matang dan disahkan paling
lambat pertengahan 2017 agar penyelenggara pemilu memiliki cukup waktu untuk
menyelenggarakan Pemilu 2019.
Sistem pemilu

Jika membaca RUU Penyelenggaraan Pemilu yang diusulkan pemerintah, setidaknya terdapat
enam isu krusial dalam RUU penyelenggaraan pemilu, yakni pemilih, sistem pemilu,
kampanye, pungut hitung, penegakan hukum, dan kelembagaan.
Khusus untuk isu sistem pemilu sendiri, terdapat lima variabel krusial yang selalu menjadi
perdebatan dalam pembahasan, yakni soal alokasi kursi dan daerah pemilihan, formula
penghitungan kursi, ambang batas, metode pemberian suara, dan metode pencalonan.
Sistem pemilu menjadi isu yang paling lama diperdebatkan dalam pembahasan. Musababnya,
pilihan sistem pemilu ini nantinya akan menentukan partai mana yang mendapat kursi.
Bahkan dalam pembahasan RUU Pemilu pada 2012, isu sistem pemilu dibawa ke paripurna
untuk divoting karena tidak mencapai kata sepakat dalam pembahasan undang-undang dalam
tingkat pansus.
Potensi perdebatan yang panjang ini sangat mungkin terulang saat ini. Tiga variabel utama
yang berpotensi juga diperdebatkan adalah metode pemberian suara, penghitungan kursi, dan
besaran daerah pemilihan.
Pada variabel pemberian suara, pilihannya adalah sistem proporsional terbuka atau tertutup.
Fraksi yang mendukung sistem proporsional terbuka antara lain PPP, PAN, PD, NasDem,
Gerindra, dan Hanura. Sedangkan fraksi yang mendukung sistem proporsional tertutup adalah
PDIP, Golkar, dan PKS.
Pada metode penghitungan kursi, pemerintah mengusulkan perubahan dari yang semula
berdasarkan kuota murni menjadi metode St. Lague Modifikasi. Metodenya adalah suara sah
partai politik akan dibagi dengan sejumlah bilangan pembagi dan menentukan partai
perolehan kursi berdasarkan hasil pembagian terbesar.
Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan Perludem, jika metode ini diterapkan pada Pemilu
2014, partai menengah-besarlah yang paling diuntungkan. Namun hasil pemilunya menjadi
lebih tidak proporsional karena indeks disproporsionalitasnya menjadi 5,8 dari yang semula
hanya 2,7.
Adapun metode besaran daerah pemilihan diusulkan agar besaran per daerah pemilihan
diperkecil dari yang sebelumnya 3-10 kursi menjadi 3-8 kursi atau 3-6 kursi. Konsekuensi
dari perubahan daerah pemilihan ini adalah diuntungkannya partai menengah-besar. Itu
karena semakin sedikit kursi yang diperebutkan di dapil, semakin sedikit pula partai yang
berpeluang mendapatkan kursi.
Menghadapi penyelenggaraan Pemilu 2019, terdapat sejumlah agenda politik penting. Saat
ini, misalnya, telah dibentuk panitia seleksi untuk menyeleksi anggota KPU dan Bawaslu
yang akan dilantik pada April 2017. Kemudian terdapat pilkada serentak tahap ke-2 yang
akan digelar pada 15 Februari 2017.

Dua agenda politik ini mungkin akan menjadi perhatian DPR dan pemerintah. Selain itu,
muncul wacana untuk membahas Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang MD3
dengan tujuan agar terjalin kesinambungan satu sama lain.
Penggabungan pembahasan ini pada dasarnya baik bagi keselarasan undang-undang paket
politik. Tapi yang perlu diperhatikan adalah masalah waktu pembahasan. Jangan sampai
pembahasan undang-undang pemilu menjadi terlambat.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan penyelenggaraan Pemilu 2019
adalah dengan menggabungkan undang-undang pemilu legislatif dan pemilu presiden tanpa
mengubah substansinya. Yang perlu diperhatikan: teknis penyelenggaraan yang berimplikasi
pada keserentakan Pemilu 2019. Selain itu, sangat penting untuk memperhatikan putusan
Mahkamah Konstitusi perihal undang-undang pemilu untuk diadopsi ke dalam undangundang pemilu yang baru.

Masa Jabatan Hakim Konstitusi


RABU, 28 DESEMBER 2016

Sulardi, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Penegakan hukum di negara ini dalam kondisi buram dan acap kali dirasakan tidak adil.
Dalam buku Peradilan Sesat yang ditulis E.A. Pamungkas (2010), tercatat 19 proses
penegakan hukum dianggap sesat. Mulai dari kasus Sum Kuning si penjual telur di
Yogyakarta (1970) hingga kasus Parto, pencuri lima buah jagung di Situbondo. Beberapa
tahun lalu, kita juga menyaksikan pedang keadilan yang "tajam ke bawah" menimpa seorang
nenek bernama Asyani, yang didakwa mencuri kayu milik Perhutani Bondowoso. Perempuan
renta itu terancam hukuman 5 tahun penjara, yang menimbulkan keprihatinan masyarakat.
Saat penegakan hukum masih menjadi problem tersendiri, kini mencuat persoalan masa
jabatan hakim. Saat ini, terjadi argumentasi soal masa jabatan hakim agung dan hakim
konstitusi. DPR sedang mempersiapkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jabatan
Hakim bersama pemerintah. Poin yang cukup menarik adalah usul tentang masa jabatan
hakim agung. Dalam Pasal 31, hakim agung memegang jabatan selama lima tahun dan
selanjutnya dapat dipilih kembali. RUU itu juga mengatur soal usia pensiun hakim agung,

seperti diatur dalam pasal 51 ayat 2. Dalam pasal itu, hakim agung akan diberhentikan
dengan hormat atau pensiun ketika memasuki usia 65 tahun.
Kita perlu juga melihat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Pada Pasal 22, disebutkan masa jabatan hakim konstitusi adalah lima tahun dan
dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Pasal ini tengah diajukan
dalam permohonan uji materi oleh peneliti dari Center for Strategic Studies University Of
Indonesia (CSS-UI)/Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia, Tjiep Ismail. Tjiep
melihat pasal 22 UU ini bersifat diskriminatif dan berpotensi membatasi MK dalam
menyelenggarakan peradilan demi penegakan hukum dan keadilan. Argumentasi lainnya
yang diajukan oleh pemohon, di berbagai negara hakim sebagai penyelenggara kekuasaan
yudisial memiliki masa jabatan sampai usia pensiun.
Seharusnya dipahami bahwa masa jabatan hakim konstitusi di berbagai negara ternyata tidak
sama. Council of Grand Justice atau hakim konstitusi di Taiwan, misalnya, terdiri atas 15
orang dengan masa jabatan 8 tahun dan tidak dapat dipilih kembali. Di Prancis, Dewan
Konstitusi Hakim mencakup sembilan orang plus mantan presiden. Jabatan mantan Presiden
berlaku seumur hidup, sedangkan hakim lainnya bermasa jabatan tidak lebih dari 9 tahun dan
hanya memiliki satu kali masa jabatan. Adapun hakim konstitusi di Korea Selatan memiliki
masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih kembali.
Tiga negara dengan berbagai perbedaan masa jabatan hakim di atas cukup untuk
menunjukkan bahwa masa jabatan hakim konstitusi tidak harus sampai pensiun atau pun
seumur hidup. Sebab, menempatkan hakim konstitusi dengan masa jabatan seumur hidup
atau memasuki usia pensiun berujung konsekuensi serius atas penegakan keadilan.
Dengan demikian, jika ada gagasan untuk menjadikan masa jabatan hakim konstitusi seumur
hidup atau hingga usia pensiun, hal-hal yang harus diperhatikan adalah apakah ada jaminan
bahwa mereka benar-benar memiliki integritas sebagai negarawan, seperti yang disyaratkan
oleh Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Jika hakim konstitusi tidak memiliki kadar negarawan yang kuat atau integritas dan moralitas
yang baik, hal itu tentu saja berpengaruh terhadap kualitas putusan Mahkamah Konstitusi.
Harus diingat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan akhir. Artinya, tidak
ada upaya hukum untuk mengoreksi atau memperbaiki putusan MK yang sudah diputuskan.
Masalah ini sangat riskan mendera penegakan keadilan di kemudian hari.
Lagi pula, mesti diingat bahwa proses untuk menjadi hakim agung dan hakim konstitusi
tidaklah sama. Sebelum reformasi 1998, hakim agung adalah hakim karier. Untuk menjadi
hakim agung, disyaratkan seseorang telah berpengalaman pada berbagai jenjang pengadilan,
baik secara struktural, fungsional, maupun eselonisasi.
Lain halnya dengan hakim konstitusi, yang disyaratkan berpengalaman di bidang hukum
minimal 15 tahun. Ia juga harus berpendidikan Doktor Ilmu Hukum dengan gelar sarjana di

bidang yang sama, berintegritas, dan yang paling penting merupakan negarawan. Titik inilah
yang membedakan proses menjadi hakim agung dengan hakim konstitusi.
Oleh sebab itu, masa jabatan hakim konstitusi sudah dianggap layak di angka 5 tahun dan
dapat dipilih kembali paling lama dua kali masa jabatan, seperti halnya masa jabatan pejabat
publik dan lembaga negara lainnya.

Manuver Ekonomi di Tengah Ancaman


Global
KAMIS, 29 DESEMBER 2016

Latif Adam, Ekonom LIPI

Tahun 2017, masyarakat ingin ada pembuktian bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla lebih baik dibanding pemerintahan sebelumnya. Pemerintah dituntut tidak hanya
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi juga menata polanya, sehingga tingkat
kemiskinan dan pengangguran bisa berkurang.
Permasalahannya, upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan akan
mendapat tantangan. Dari sisi eksternal, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika
Serikat ke-45 yang pro-proteksionisme akan semakin meningkatkan ketidakpastian dan

memperlambat laju perdagangan global.


Karena itu, sisi ekspor tetap akan menjadi titik lemah dari kinerja perekonomian Indonesia.
Target ekspor non-migas 2017 sebesar 10,4 persen terkesan ambisius. Sebab, selain AS,
beberapa negara tujuan ekspor, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Cina, masih berkutat dengan
persoalan internal. Pertumbuhan ekonomi Cina menurun, bahkan terendah dalam 25 tahun
terakhir. Demikian halnya, pasca-Brexit, beberapa negara Uni Eropa seperti Prancis
menghadapi isu anti-globalisasi dan mendukung pembatasan tenaga kerja migran.
Namun Indonesia bisa bermanuver untuk keluar dari problema global. Simulasi yang
dilakukan Pusat Penelitian Ekonomi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI)
memperlihatkan, jika Indonesia mampu mengoptimalkan modal yang dimilikinya,
pertumbuhan ekonomi 2017 bisa mencapai 5,5 persen.
Daya Beli
Penguatan ekonomi domestik dengan mempertahankan dan memperkuat peran konsumsi
dalam perekonomian akan menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi 2017.
Simulasi yang dilakukan Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2E-LIPI) menunjukkan bahwa daya beli masyarakat akan terjaga pada level sekitar 4
persen, dengan asumsi pemerintah mampu menjaga inflasi. Konsumsi akan berkontribusi 3,1
persen terhadap pertumbuhan ekonomi 2017.
Hanya, upaya menjaga inflasi dihadapkan pada dua tantangan besar. Pertama, keputusan The
Fed yang secara bertahap meningkatkan The Fed Rate tidak hanya meningkatkan risiko
terjadinya pelarian modal dari pasar uang domestik, tapi juga pelemahan nilai tukar rupiah
terhadap dolar. Ketergantungan Indonesia terhadap impor akan membuat pelemahan mata
uang rupiah mendorong inflasi melalui mekanisme imported inflation. Mengurangi
ketergantungan impor, terutama barang-barang konsumsi, menjadi krusial untuk menekan
munculnya imported inflation.
Kedua, analisis P2E-LIPI memperlihatkan harga pangan dan energi cenderung bergerak
secara bersamaan. Sejak 2000, korelasi gerakan harga pangan dan energi cukup kuat dengan
koefisien korelasi mencapai 0,88 persen. Implikasinya, kenaikan harga pangan atau energi
menjadi pendorong utama inflasi dan bisa menstimulasi komoditas lain. Masalahnya, ada
indikasi pada 2017 harga pangan dan energi, khususnya minyak, akan meningkat. Harga
minyak pada 2017 akan bergerak di kisaran US$ 50-60 per barel.
Untuk merespons kemungkinan kenaikan harga minyak, pemerintah dituntut untuk
mengembangkan energi non-BBM. Dalam dua tahun terakhir, komitmen pemerintah dalam
pengembangan energi non-BBM kelihatannya terhenti seiring dengan era harga minyak
murah. Soal pangan, pemerintah harus mampu memastikan bahwa program-program seperti
dana desa bisa berdampak positif terhadap stabilisasi harga dan terbangunnya ketahanan
pangan yang solid.

Masa Memanen
Semakin protektifnya tata perdagangan global memunculkan blessing in disguise bagi sektor
investasi. Indonesia akan merespons tata perdagangan global yang semakin protektif dengan
menerapkan aturan-aturan yang juga protektif. Kesulitan memasuki pasar Indonesia yang
besar dan menjanjikan melalui sektor perdagangan akan meningkatkan investasi langsung,
terutama dari penanaman modal asing.
Peningkatan investasi pada 2017 juga berjalan beriringan dengan tibanya masa panen 15
paket kebijakan stimulus yang disemai selama 2016. Peningkatan peringkat kemudahan
melakukan bisnis dari 106 menjadi 91 dan peningkatan rating Fitch outlook sovereign credit
dari stabil menjadi positif merupakan indikasi awal masa memanen paket kebijakan segera
tiba. Karena itu, ada keyakinan bahwa investasi pada 2017 akan tumbuh sesuai atau bahkan
melebihi target pemerintah sebesar 12,6 persen menjadi Rp 670 triliun. Investasi ini
berpotensi menyumbang 1,8 persen terhadap 5,5 persen pertumbuhan ekonomi 2017.
Masa panen ini juga akan dinikmati oleh pengelolaan APBN. Setelah mereformasi sisi
belanja dengan memangkas subsidi BBM, pada 2016 pemerintah meluncurkan program
amnesti pajak yang bermanfaat untuk membangun basis perpajakan lebih solid. Tidak
mengherankan jika proyeksi penerimaan pajak pada 2017 lebih kredibel dan realistis sebesar
Rp 1.499 triliun (naik 13,5 persen dari proyeksi penerimaan pajak 2016). Proyeksi
penerimaan pajak yang lebih realistis pada 2017 akan membuat pemerintah leluasa menyusun
dan membiayai pos belanja produktif, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang
bisa memberikan multiplier effect lebih optimal untuk mendorong perekonomian.

Mewaspadai Bioterorisme
JUM'AT, 30 DESEMBER 2016

Khudori, Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

Serangan teror kini tak lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional, melainkan
memanfaatkan teknologi. Di antaranya, teror menggunakan bahan kimia dan agen biologis
yang dikenal dengan istilah bioterorisme. Pelaku teror pun tak lagi dimonopoli para teroris,
melainkan bisa siapa saja.
Cara pandang ini bisa digunakan untuk melihat penangkapan empat warga negara Cina oleh
aparat imigrasi Bogor pada 8 November 2016. Tidak hanya melanggar Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian atas penyalahgunaan izin tinggal, mereka juga

ketahuan menanam 5.000 batang cabai di lahan seluas 4.000 meter persegi di Kecamatan
Sukamakmur, Bogor. Yang mengejutkan, setelah diperiksa Badan Karantina Pertanian, cabai
Cina itu terdeteksi mengandung bakteri Erwinia chrysanthemi.
Erwinia chrysanthemi merupakan organisme pengganggu tanaman karantina (OPTK)
golongan A1 atau belum ada di Indonesia. Menurut Badan Karantina Pertanian, karena
sifatnya yang demikian, bakteri ini tidak dapat diberi perlakuan apa pun selain pemusnahan
atau eradikasi. Bakteri ini diyakini bisa menimbulkan kerusakan atau kegagalan panen hingga
70 persen. Bukan hanya cabai, tanaman seperti bawang dan sawi juga bisa terserang dan
tertular bakteri tersebut.
Ditilik dari sisi keamanan nasional, peristiwa ini tidak bisa dianggap remeh. Pertama, dalam
bingkai keamanan non-konvensional (non-conventional security approach), pangan adalah
hal strategis tak ubahnya bedil dan mesiu dalam pendekatan keamanan konvensional. Namun,
berbeda dengan bedil dan mesiu, pangan hanya terlibat pada operasi rendah kekerasan (lowintensity conflict). Operasi ini mengandalkan kehancuran ekonomi dan keresahan masyarakat
sebagai media utama memenangi pertempuran. Sasaran operasi bukan kekuatan militer,
melainkan rezim yang berkuasa.
Kedua, dalam konteks yang lebih besar, produksi cabai yang cukup akan turut memperkokoh
ketahanan pangan nasional. Inilah landasan pemikiran bahwa food security penting bagi
sebuah negara. Ketahanan pangan tidak kalah penting dibanding bahaya teroris, yang
dianggap sebagai ancaman serius bagi keamanan nasional dan global. Itu sebabnya hampir
semua negara, lebih-lebih negara maju, melakukan segala cara guna membangun ketahanan
pangan yang tangguh.
Amerika Serikat, misalnya, meskipun jumlah petaninya tinggal 2 persen, tak pernah surut
mengurus sektor pertanian, terutama pangan. Sektor ini berkontribusi 13 persen dalam
produk domestik bruto (GDP) dengan nilai ekspor US$ 140 miliar per tahun. Jika sektor ini
dihancurkan teroris, bukan hanya peluang ekonomi yang terancam hilang, melainkan seluruh
sendi kehidupan AS juga bisa lumpuh akibat seretnya pasokan pangan.
Pada 2014, produksi cabai besar Indonesia mencapai 1,075 juta ton dan cabai rawit 0,8 juta
ton (BPS, 2015). Apabila terjadi kegagalan panen 75 persen dan harga cabai Rp 40 ribu per
kilogram, potensi kerugian mencapai Rp 56,2 triliun.
Kegagalan panen cabai akan diikuti penurunan pasokan. Pasar akan panik apabila antisipasi
menambah pasokan cabai dari impor tidak dilakukan dengan baik. Ujung-ujungnya, inflasi
akan terpantik tinggi dan menekan daya beli warga.
Berpijak dari kondisi itu, untuk menciptakan kerusuhan sosial di Indonesia, tidak usah
menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan. Cukup dengan menyebarkan isu cabai
yang kita makan mengandung bakteri tidak sehat, akan geger seluruh negeri. Dalam konteks
inilah penting mewaspadai betapa berbahayanya bioterorisme.

Empat warga Cina yang tertangkap tengah menanam cabai di Bogor memang belum terbukti
melakukan aktivitas ilegal terkait dengan bioterorisme. Tapi amat naif kalau menganggap
aktivitas mereka tidak perlu dicurigai. Bakteri Erwinia chrysanthemi merupakan organisme
baru yang bisa mengganggu keseimbangan ekosistem. Dalam konteks keamanan nasional,
aktivitas mereka bisa jadi merupakan infiltrasi atau subversi untuk melemahkan ekonomi
nasional.
Di antara negara ASEAN seperti Thailand dan Singapura, Indonesia tergolong lemah dalam
hal biosekuriti. Padahal, sebagai negara tropis, Indonesia merupakan gudang berbagai agensia
biologis. Di sisi lain, sebagai negara agraris, Indonesia sangat rentan terhadap kemungkinan
ancaman agen biologis. Sementara itu, kesiapsiagaan terhadap munculnya wabah-wabah
penyakit pada manusia, hewan, dan tumbuhan masih sangat rendah. Bioteror saat ini hanya
dipandang sebagai ancaman bagi kesehatan manusia, belum dianggap sebagai pelemahan
ketahanan nasional.
Karena itu, ke depan, Indonesia perlu mewaspadai aneka kemajuan bioteknologi. Tidak hanya
mencermati pesatnya perkembangan bioteknologi dan rekayasa genetika, tapi juga mesti
awas terhadap kembali munculnya penyakit lama dan baru.
Yang tidak kalah penting adalah mewaspadai setiap aktivitas penelitian, apa pun tujuannya,
termasuk yang berkedok untuk perdamaian. Terakhir, memastikan manusia dan barang yang
masuk ke Indonesia lewat setiap jengkal titik, termasuk di wilayah terluar, telah melalui
pemeriksaan karantina dan kepabeanan.

Anda mungkin juga menyukai