Anda di halaman 1dari 3

DUSTA ORANG-ORANG BUTA (21+)

(Dr. Julhelmi E.M.Hum)

Umberto Eco seorang pakar linguistik dari Italia berpendapat bahwa Kebanyakan manusia
memang berbahasa dan beretorika untuk menutupi ideologi, kepentingan dan kesalahannya. Bukan
hanya sebagai penulis novel, beliau semakin terkenal ketika menyatakan bahwa semiotika adalah ilmu
dusta. Terlepas dari peluang variasi pemaknaan dari sebuah teks, segala wacana bisa saja menjadi teks
terbuka maupun teks tertutup. Untuk menjelaskan teori semiotika ini, penulis ingin memulainya
dengan menceritakan fiksi tragedi:

Suatu ketika, berjalanlah lima orang lelaki berkaca mata hitam bersama dengan tongkatnya.
Mereka Berjalan dengan beriringan sambil menyanyikan lagu. Kompak sekali! Mereka
mendedangkannya bersama-sama senada dan seirama. Tidak ada suara lain atau bahkan suara
jangkrik, yang terdengar hanya nyanyian mereka. Satu bait, dua bait, atau mungkin 8 baris lirik telah
mereka nyanyikan. namun, ditengah kesunyian, nyanyian mereka berhenti. Tak lama Kemudian sangat
jelas ada suara teriakan, tidak! Ada juga suara jeritan menyayat pilu bagi siapapun yang mendengarnya.
Bagaimana mungkin! Nyanyian menjadi jeritan.

Telah ditemukan satu mayat tergeletak terjatuh di bawah jembatan dekat halte bus umum.
Dugaan awal, kematian karena orang buta ini tewas karena jatuh. Tetapi kemudian, bagai intel mossad,
MI6, atau CIA, para tim penyelidikan dari kepolisian pun berhasil meringkus empat orang yang
berpotensi besar sebagai tersangka. Namun karena terlalu banyak kasus kriminal hari itu,
mengakibatkan kurangnya personil tim pengungkap fakta. Dia orang baru, seorang ahli linguistik
forensik muda dituntut untuk menemukan siapa pembunuhnya hanya dari hasil penuturan mereka.
Berat memang! Karena tentu saja dia juga dituntut untuk membongkar motif si pelaku. Demikianlah,
Tanpa bekal keahlian dilapangan, yang bisa dia lakukan hanya menginterogasi.

Saat diinterogasi, pria pertama menceritakan bahwa malam itu mereka memutuskan berjalan
bersama, menurut pengakuannya ia hanya mengikuti mereka sambil bernyanyi riang. Tentu saja karena
buta, Pria ini menyatakan tidak mengenal korban secara pasti.

“Meski akhirnya aku mengikuti mereka, namun aku tak pernah setuju mengikuti mereka.
Awalnya aku sangat berharap salah satu dari mereka tidak ikut. Tapi mereka semua
memutuskan untuk keluar dari panti kami. Pasti aku akan sendirian lagi. Padahal mereka
adalah satu-satunya saudaraku, mereka yang paling mengenal diriku. Mereka yang paling
memahami keterbatasanku. Ternyata meski Kami senasib seperjuangan, tidak lantas
membuat kami punya pendapat yang sama. Tahu apa mereka tentang kebebasan, mengerti
apa mereka tentang kemerdekaan, Mereka seharusnya menyadari tidak ada yang namanya
kebebasan. Seberapa jauh pun mereka berjalan, Bukankah sebebas-bebasnya mereka, mereka
tetaplah manusia? Keinginan kita terbatas! Pendapat kta dibatasi pendapat orang lain, ideologi
kita dibatasi ideologi lain, dan kalaupun beragama, diharuskan mempercayai dogma akhirat.
Ah, agama bukanlah kebebasan, agama adalah kepentingan: harta, tahta, wanita. Nah inilah,
Sejahat-jahat dan seantusiasnya tindakan orang, tidak pernah benar-benar sejahat dan
seantusias tindakan atas nama keyakinan agamanya. Ada banyak sekali Kriminalisasi dan
konflik karena agama. Bukannya sama saja? Ujungnya kita dibatasi dengan kematian pula.
Inilah akibatnya, perjalanan ini akan berakhir menjadi kematian. Tragedi acak yang bisa
melibatkan siapa saja, termasuk orang buta yang merasa bebas.”

Selanjutnya giliran pria kedua yang diinterogasi. Ia juga menceritakan bahwa malam itu
mereka memutuskan berjalan bersama empat orang lainnya, menurut pengakuannya ia hanya
mengikuti mereka sambil bernyanyi riang. Tentu saja karena buta, Pria ini juga menyatakan tidak
mengenal korban secara pasti.

“Salah seorang dari kami memberi aba-aba untuk berhenti dan mengatakan bahwa ia sangat
kenal daerah ini. sebelum mengalami kebutaan, katanya ia sering melewati daerah sini dan
ternyata benar saja, seperti yang dikatakannya ada sebuah kursi, kursi yang cukup panjang
untuk kami berlima. Lalu kami pun duduk bersama di kursi itu. ia menceritakan bahwa ia ingat
sekali bahwa di sudut jalan seberang sana terletak sebuah baliho besar. Ada foto wanita cantik
di dalam baliho tersebut. Sebagai lelaki normal, kami sangat antusias mendengarkan. Salah
satu dari kami juga berdialog dan mendiskusikan tentang kewanitaan. Memang naluri sekali,
sesekali kami tertawa terbahak-bahak. Tetapi bagiku, yang menarik bukanlah cerita tentang
wanita cantik tersebut, atau detil keseksian tubuh yang digambarkannya, meskipun aku buta
dan sudah lama tak pernah menyaksikan mahluk paling indah di bumi ini, aku hanya tertarik
dengan filosofi dari perjalanan ini. Bagiku kecantikan itu membosankan, karena kecantikan
lebih mudah diprediksi. Bagaimana dengan cinta? Kita mampu mencintai seseorang tidak
mungkin dengan logika saja, ada perasaan yang tak terjelaskan. Cinta tak mungkin hanya
karena melihat kecantikannya saja. Lebih dari itu, ketika kita mampu melihat kejelekannya, kita
berusaha untuk menyempurnakannya. Para pria menikahi wanita karena tertantang dengan
tanggung jawab besar. Menyempurnakan ketidaksempurnaan. Bukankah, sebagai manusia
perdebatan tentang kejelekan adalah hal yang paling menantang bagi kita? Kita tidak suka
dengan hal-hal yang sederhana. Kita semua suka hal yang menantang. Inilah alasan kami
orang-orang buta berjalan bersama malam pada malam hari, kami ingin menantang kematian.
Tragedi acak yang bisa melibatkan siapa saja, termasuk orang buta yang merasa bebas.”

Selanjutnya giliran pria ketiga yang diinterogasi. Ia menceritakan bahwa ia sengaja mengajak
keempat teman butanya untuk berjalan bersama. Malam itu mereka memutuskan untuk keluar dari
panti. Tentu saja karena buta, Pria ini juga menyatakan tidak mengenal korban secara pasti.

“Bodoh memang, tapi aku mengajak mereka tanpa paksaan sedikit pun. Bagiku, kami sebagai
orang buta membutuhkan kebebasan. Jangan pernah menyerah dengan keadaan. Paling tidak
meski kami buta, setidaknya kami merasa bebas. Aku menanyakan pendapat mereka. Awalnya
aku khawatir, hanya aku sendiri yang akan keluar. Tak kusangka, kedengarannya mereka
tergugah, lalu mereka pun setuju untuk mengikutiku. Bayangkan! kemerdekaan semacam apa
sih yang bisa kami dapatkan? Di langkah pertama di depan pintu, Aku agak bingung juga
awalnya. Kemudian, aku teringat dengan masa-masa perjuanganku di medan perang. Agar
perjalanan kami ini lebih terasa, aku mulai menyanyikan lagu patriotis. Indonesia tanah airku...
tanah tumpah darahku... di sinilah aku berdiri... jadi pandu ibuku... suara dari belakang mulai
mengikuti, nasionalisme bangkit, kami berjalan dengan riang sambil menyanyikan lagu yang
sama. Tak lama seseorang dibelakang mengatakan bahwa ia sangat kenal daerah ini. sebelum
mengalami kebutaan, katanya ia sering melewati daerah sini dan ternyata benar saja, seperti
yang dikatakannya ada sebuah kursi, lalu kami pun duduk bersama di kursi itu. Ia menceritakan
bahwa ia ingat sekali bahwa di sudut jalan seberang sana ada sebuah baliho besar. Ada lukisan
wanita cantik di dalam baliho tersebut. Sebagai lelaki normal, kami sangat antusias
mendengarkan. Cerita-cerita seks berlumuran birahi itu membuat kami tertawa terbahak-
bahak. Begitulah, meski awalnya Kami tertawa bersama, menikmati kebebasan kami. Aku tak
menyangka semua petualangan singkat kami ini justru menjadi kisah kematian juga. Tragedi
acak yang bisa melibatkan siapa saja, termasuk orang buta yang merasa bebas.”

Terakhir, giliran pria keempat yang diinterogasi. Ia juga menceritakan bahwa malam itu
mereka memutuskan berjalan bersama empat orang lainnya, menurut pengakuannya dia hanya
mengikuti mereka sambil bernyanyi riang. Tentu saja karena buta, Pria ini juga menyatakan tidak
mengenal korban secara pasti.

“Salah seorang dari kami memberi aba-aba untuk berhenti dan mengatakan bahwa ia sangat
kenal daerah ini. sebelum mengalami kebutaan, katanya ia sering melewati daerah sini dan
ternyata benar saja, seperti yang dikatakannya ada sebuah kursi, lalu kami pun duduk bersama
di kursi itu. ia menceritakan bahwa ia ingat sekali bahwa di sudut jalan seberang sana ada
sebuah baliho besar. Ada lukisan wanita cantik di dalam baliho tersebut. Ia sangat pandai
menceritakan kemolekan wanita itu, semua detil tentang keindahan tubuhnya, bahkan sisi
kewanitaannya mengingatkanku pada seorang perempuan yang sangat ku cintai. Birahiku
memuncak, hawa nafsuku tak tertahankan. Tak kan ku biarkan siapa pun menghalangi fantasi
ini. Sekian lama menduda membuat aku sampai tak ingat, entah berapa lama aku tak
merasakan sensasi ini. Aku masturbasi, ah, ah tidak! bukan hanya aku. Aku sangat yakin
mereka yang lain juga melakukan yang sama, kami mengerang dan mendesah bersama.
Pengalaman khayali yangmenjijikkan memang, hidung kami berbagi bau sperma. Gila!
Sungguh sebuah pengalaman yang awalnya menyenangkan meskipun akhirnya menyedihkan.
Tragedi acak yang bisa melibatkan siapa saja, termasuk orang buta yang merasa bebas.”

Selain hasil interogasi, hasil otopsi almarhum mengatakan terdapat banyak sekali luka memar
di beberapa tempat, demikianlah, pukulan-pukulan benda tumpul. Tentu saja tongkat-tongkat inilah
yang membuat si mayat meregang nyawa. Pukulan random; beberapa di dada, di perut dan tangan,
dan sisanya di kaki. Berdasar hasil penyelidikan identitas, lelaki buta ini pernah diberitakan di
infotainment. Pria ini menjadi viral karena menjadi gila dan membutakan matanya sendiri karena tak
tahan menyaksikan perzinahan istrinya. Biasalah, berita skandal perselingkuhan dengan seorang aktor
dan mantan model terkenal.

Ingat, kekompakan mereka harus berakhir dengan pembunuhan. Apakah selain buta lahiriah,
mereka juga buta secara batiniah? Jadi, apa yang membuat seorang buta dikeroyok oleh orang buta
sampai terbunuh? Entahlah... teks ini cukup terbuka bagi beragam penafsiran.

Anda mungkin juga menyukai