Kita hadir setelah begitu banyak hal terjadi, selama lebih dari ratusan ribu tahun, di dunia ini. Dan untuk memahami hal-hal baru, yang ada di hadapan, alangkah penting mempelajari peristiwa-peristiwa dari masa sebelum kita lahir. Itu nasihat Umberto Eco kepada cucunya dalam sebuah surat Natal. Dia bukan kakek saya, tentu, namun saya senang membayangkannya bicara kepada semua orang, seperti pak tua bijaksana dalam masyarakat pemburu-peramu. Sebagaimana umumnya orang tua, Eco punya kekhawatiran besar terhadap generasi kiwari. Ia cemas, misalnya, kemudahan memperoleh informasi di internet pelan-pelan menggembosi daya ingat kita. "Yang berbahaya dari anggapan bahwa komputer bisa memberitahumu kapan saja adalah hilangnya kebiasaan menyimpan informasi di otak," tulisnya. Namun, berbeda dari kakek saya, yang percaya bahwa dia harus mengencangkan urat leher saban kami bercakap-cakap lewat telepon ("Kau kan di Jawa," katanya. "Kalau tidak berteriak, nanti suaraku tidak sampai"), kekhawatiran Eco dilandasi pemahaman yang memadai atas teknologi. "Setelah beberapa tahun, komputer di mejamu bakal melambat dan harus diganti," ujarnya. "Tetapi otakmu sanggup bertahan hingga 90 tahun. Bila kau terus membuatnya sibuk, kelak ia akan jauh lebih kaya ketimbang sekarang. Dan itu fitur gratis." Seandainya sejak kecil saya mendengarkan Eco, yang bijaksana dan caranya menasihati begitu memikat, akankah saya lebih berani menghadapi kebaruan? Kebaruan, masa depan, serbaneka yang belum terjadi, terasa menakutkan karena diselubungi misteri. Sebagian orang, mungkin karena kepalanya penuh wawasan (atau malah tak berisi apa-apa), menerobos selubung itu secara gagah berani. Sebagian lainnya memilih bercokol di sudut terjauh, gemetar, sampai kebaruan yang terus meluas tak terhindarkan lagi. Dalam lebih dari sepuluh tahun pertama hidup saya, pekerjaan Ayah menuntut keluarga kami berpindah-pindah tempat tinggal. Tak seperti Ibu yang pembawaannya mudah disenangi orang, atau adik saya, yang masih balita sehingga dipandang pantas-pantas saja menancapkan gigi-giginya yang runcing dan beracun pada apa pun yang bergerak, saya cemas setengah mati setiap kali kami harus pindah. Saya takut ditolak. Saya takut dianggap kampungan karena logat saya berbeda. Apa jadinya kalau di sekolah baru tak ada murid Tionghoa, sehingga saya jadi dua kali lipat lebih menggiurkan bagi para perundung? Atau bagaimana kalau sebaliknya, kebanyakan murid di sana adalah Kevin dan David dan Sean, anak- anak Tionghoa totok, padahal saya hanya seperempat thong ngin dan punya satu lidah Melayu utuh, yang terkenal berduri dan panjangnya lebih dari 2 meter? Saat kami bersiap-siap pindah dari Muntok, Kabupaten Bangka Barat, ke Sungailiat, Kabupaten Bangka, saya memohon agar rencana itu dibatalkan saja. Alasannya, kata saya, orang-orang di sana terkenal sombong. Kedua orangtua saya cuma tertawa. Dan saya, yang waktu itu hendak naik ke kelas 3 SMP, kecewa berat karena merasa mereka telah mengabaikan kebenaran. Di kemudian hari saya sadar bahwa pernyataan itu bukanlah kebenaran. Ia cuma persepsi, yang terbentuk dari pengalaman menumpang di kota itu selama tiga bulan ditambah beberapa kali kunjungan singkat beberapa tahun sebelumnya. Tak cukup untuk menyimpulkan apa pun, tentu saja. Kini saya telah berpindah-pindah lebih sering ketimbang orangtua saya. Namun, terlepas dari berbagai pengalaman kurang sedap, toh saya berhasil keluar hidup- hidup dan menemukan teman di semua tempat yang pernah saya singgahi. Sebagian besar ketakutan saya tak terjadi. Dan sebagian kecil yang terjadi rupanya tak seseram khayalan saya. Ada berapa banyak pasangan yang mempertahankan hubungan beracun karena takut tak mendapat ganti, atau malah mendapat ganti yang lebih payah? Ada berapa banyak buku cemerlang yang batal ditulis karena calon pengarangnya takut menghasilkan karya buruk? Ada berapa banyak calon pebisnis yang mencekik impiannya sendiri karena takut gagal? Para kekasih meyakini bahwa mereka tak bisa hidup tanpa satu sama lain, pengarang yang tak kunjung menulis merasa kurang berbakat, dan si pengusaha pemula mengira tak ada yang berminat pada inovasinya. Daftar ini bisa berlanjut, tetapi intinya: ketidaktahuan dan paranoia yang mengiringinya kerap menciptakan ilusi kebenaran yang mengelabui kita. Dari mulut seorang anak yang tidak ingin pindah rumah, hal itu barangkali cuma terdengar seperti kerewelan sepele. Namun, di tengah masyarakat, ilusi kebenaran melahirkan hoaks dan teori konspirasi. Jika sudah begitu, tanggapan yang patut tentu bukan sekadar ketawa. Menurut Karl Popper dalam sebuah esai di Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge(1963), teori konspirasi lebih kuno dibandingkan kebanyakan agama. Ia bahkan bisa dilacak hingga Homer, penyair Yunani Kuno yang memberitahu kita bahwa kehancuran Troya adalah hasil persekongkolan dewa-dewa di puncak Olimpus. "Teori konspirasi adalah versi lain teisme yang sama, di mana dewa-dewa yang berkuasa atas segalanya digantikan oleh orang-orang jahat yang luar biasa kuat dan bertujuan menyengsarakan kita," tulis Popper. Belakangan ini, seberapa sering kita mendengar, misalnya, tuduhan bahwa seorang calon presiden bakal membiarkan negara ini diserbu tenaga kerja asing, sementara calon presiden saingannya dikabarkan hendak membangun fondasi bagi kekhalifahan? Sebagian dari kita menelan informasi-informasi tersebut bulat-bulat dan meyakininya sebagai kebenaran. Maka, saat kedua kubu meninggikan status coblos-mencoblos calon presiden menjadi peperangan hitam lawan putih, atau batil lawan suci, atau setan lawan Tuhan, atau omprengan lawan becak motor, sambil terus mengeksploitasi hoaks dan teori konspirasi, kita terseret-seret belaka. Padahal, boleh jadi ganti presiden merupakan penyegaran yang dibutuhkan bangsa ini. Atau, sebaliknya, periode pemerintahan kedua untuk presiden yang kini berkuasa mungkin saja membawa bangsa kita kepada kemenangan. Umberto Eco, yang lahir satu dekade setelah kebangkitan fasisme di Italia, semasa kecilnya dididik untuk mengingat bahwa bangsa Inggris, Yahudi, dan para kapitalis bersekutu menindas rakyat Italia. "Hitler menjual narasi yang sama. Dan Berlusconi menghabiskan jadwal kampanye untuk membicarakan konspirasi ganda para hakim dan orang-orang komunis. Padahal tidak ada lagi orang komunis, sekalipun kau mencarinya pakai lampu," kata Eco. AS Laksana, seorang pak tua lain yang saya senangi, mengatakan bahwa jalan terbaik bagi masyarakat untuk menangkal narasi-narasi penuh kebohongan itu ialah dengan menumbuhkan perangai ilmiah alias scientific temper. Dan memang teori konspirasi bertentangan dengan sains. Jika ilmu-ilmu sosial bertujuan memahami dan menjelaskan konsekuensi-konsekuensi terencana dan, terutama, yang tak terencana dari suatu situasi sosial, agar keburukan yang pernah terjadi tak terulang, teori konspirasi justru mengabaikan konsekuensi tak terencana. Teori-teori konspirasi senantiasa berangkat dari keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada masyarakat merupakan hasil rancangan yang disengaja. Artinya, alih-alih memberikan pemahaman objektif, teori-teori konspirasi hanya menyediakan jawaban sekenanya bagi pikiran-pikiran yang takut dan tidak tahu. "Dengan menumbuhkan scientific temper, kita mendorong masyarakat untuk bergairah melakukan pencarian kebenaran dan pengetahuan baru, berpikir kritis, dan selalu bersandar pada fakta yang teramati, bukan prakonsepsi, apalagi sekadar otak-atik gatuk," tulis AS Laksana. Rasa takut terhadap kebaruan, apa pun bentuknya, mungkin takkan pernah benar-benar meninggalkan kita. Atau, meminjam istilah Eco tentang paranoia universal yang melahirkan teori-teori konspirasi: ia senantiasa jadi rayuan psikologis yang tak dapat kita tolak. Namun, laku ilmiah dapat membantu kita menyiapkan diri. Mengantungi sedikit pengetahuan yang tepat jelas lebih berharga ketimbang menggendong ransel penuh kesalahpahaman. Sepekan yang lalu, saya datang ke kantor Asumsi untuk pertama kali. Meski telah berupaya mencari tahu dan mengingat sebanyak mungkin tentang media ini, saya tetap takut. Bagaimana kalau, misalnya, Pangeran Siahaan tidak seasyik dalam video-video Pangeran, Mingguan? Apa jadinya jika Lisa Siregar ternyata suka mengancam anak-anak buahnya dengan pentungan? Aduh, seram sekali. Namun, pada akhirnya, saya kira, satu-satunya cara untuk benar-benar menyingkap kebaruan adalah dengan mengalaminya secara langsung. Sehari- hari saya bertugas sebagai editor, dan setiap senin saya akan menerbitkan satu kolom. Saya harap kesempatan menjalankan rutin ini, juga kerja-kerja lain yang saya lakukan buat Asumsi, menjadi kebaruan yang menggembirakan bagi pembaca sekalian. Api dan Takhta Daenerys Targaryen
May 20th, 2019
Api! Api! Kapal-kapal perang remuk dan tenggelam, barisan tentara bayaran termahal di dunia kocar-kacir, tembok dan ballista porak-poranda. Puing dan abu dan kematian di mana-mana. Dan setelah jeda yang terasa seperti selamanya, lonceng-lonceng berdentangan. Cersei Lannister meneteskan air mata. Rakyat King's Landing, yang cemas dan barangkali tahu bahwa mereka dimanfaatkan sang ratu sebagai perisai hidup, memutuskan untuk menyerah. Bagi banyak karakter Game of Thrones, juga banyak penonton, amukan Daenerys Targaryen semestinya cukup. Dia sudah menang. Hore! Selamat! Panjang umur Mama Naga! Pemindahan kekuasaan dan lain-lain dapat diselenggarakan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Namun, Drogon mengepakkan sayap dan kamera disentakkan. Tiba-tiba kita hanya dapat melihat Daenerys dan naganya dari jauh, dari ketinggian atau dari jalanan di bawah, sebagai pembinasa tak berwajah. Tak berwajah seperti puing dan abu. Seperti Robert Oppenheimer yang berkata, "Kini akulah maut, pemusnah dunia," saat menyaksikan bom atom ciptaannya bekerja. Api! Api! Tyrion Lannister termangu-mangu. Barangkali dia memikirkan nasib rakyat King's Landing, terutama anak-anak, dan kegagalannya melindungi mereka. Arya Stark, yang belakangan ini meraih banyak keberhasilan pribadi tetapi cuma terlunta- lunta di medan perang terakhir, mungkin menambahkan Daenerys ke daftar orang yang hendak dibunuhnya. Oberyn Martell dan Petyr Littlefinger, karakter- karakter kesukaan saya, sudah lama mati. Yang satu kepalanya dipencet sampai lembek dan yang lain disembelih seperti ayam. Maka, berbeda dari banyak penonton yang memusatkan perhatian pada "kegilaan" Daenerys (Aaron Bady menulis esai yang bagus tentang kewarasan "Mad Queen" di LA Review of Books), saya malah memikirkan King's Landing itu sendiri, kota terbesar sekaligus pusat pemerintahan Seven Kingdoms. "Red Keep tak pernah tumbang, dan takkan tumbang hari ini," kata Cersei kepada Qyburn, Dr Frankenstein sekaligus Zhuge Liang privatnya, menjelaskan keputusannya menonton amukan Daenerys dari jendela kastil. Selain merasa lebih pintar daripada yang sebenarnya, Cersei jelas tak tahu diri dalam banyak hal lain. Ya ampun, bukankah kedudukannya sebagai ratu jelas- jelas dihubungkan rantai kausalitas dengan kejatuhan Red Keep 24 tahun sebelumnya? Memang, sepanjang Game of Thrones, kita tak pernah melihat Cersei membaca buku sejarah. Tetapi agak mengejutkan bahwa ia tak mempertimbangkan Harrenhal, kastil terkuat dan terbesar di Westeros, sebagai pengingat bahwa musuh yang datang menunggangi naga sebaiknya dituruti, bukan malah dipancing-pancing supaya mengamuk. "Harrenhal sanggup membendung gempuran sejuta prajurit," kata Tywin Lannister, ayah Cersei, suatu kali. Jenderal dan politikus cemerlang itu tentu membicarakan serbuan darat. Adapun semburan naga, semua orang selain Cersei tahu, ialah perkara berbeda. Tiga abad sebelumnya, Aegon I Targaryen, leluhur Daenerys sekaligus orang pertama yang menaklukkan seluruh Westeros, memanggang Harrenhal beserta seluruh anggota dinasti Hoare yang bersembunyi di dalamnya. Dibandingkan Harrenhal, King's Landing jauh lebih rentan. Tak perlu sejuta prajurit, lebih-lebih naga, untuk menaklukannya. Ada banyak celah, termasuk yang dipakai Davos Seaworth untuk menyelundupkan Jaime Lannister, buat menyusup dan merebut kota dari dalam sebagaimana di Yunkai dan Meereen. Sial bagi penduduk Westeros, Daenerys menyeberangi Narrow Sea bukan untuk membebaskan kelas terperintah, melainkan merebut takhta, meski harus dengan api dan darah. Adapun rakyat Westeros, yang menurutnya sudah membusuk karena tirani, bukan persoalan penting. Api dan darah adalah wujud belas kasihnya kepada generasi mendatang, kata Daenerys, agar mereka terbebas dari derita yang sama. "Terdengar seperti Nazi," kata sejarawan Barry Strauss dalam sebuah wawancara di The Atlantic. Hari ini, dalam episode terakhir Game of Thrones, kita akan mengetahui apa-apa yang akan dilakukan oleh (dan terjadi kepada) Daenerys. Mungkin persis mimpi yang ia alami di House of the Undying, mungkin lain. Barangkali kita akan mengingat serial ini sebagai salah satu yang terbaik sepanjang sejarah, atau justru kecewa, dengan banyak kata-kata, setidaknya di media sosial. Yang tak bisa lain adalah situasi King's Landing. Tyrion Lannister, dalam upayanya membujuk Daenerys agar tak menjalankan siasat bumi hangus, mengatakan ada sejuta orang di kota itu. Namun, menurut Steve Doig, pengajar jurnalisme data di Arizona State University, populasi King's Landing jauh lebih sedikit jika dinilai berdasarkan pemandangan dari jendela Red Keep. Jumlahnya lebih dekat ke 500 ribu jiwa, seperti perkataan Tyrion beberapa tahun sebelum itu. Untuk memperkirakan jumlah korban serangan Daenerys, Matt Wynn dari USA Today membandingkannya dengan beberapa peristiwa historis. Yang pertama adalah pemboman Dresden oleh pasukan Sekutu pada 1945, di mana 4.500 ton bom api dijatuhkan ke area seluas 13 mil persegi. Berdasarkan kepadatan penduduk Dresden kala itu, hampir 5 ribu jiwa per mil persegi, serangan tersebut diduga menggempur 65 ribu penduduk, dengan tingkat kematian mencapai 28%. Perbandingan lainnya adalah dengan pemboman Tokyo pada tahun yang sama. Serangan pertama Angkatan Udara Amerika Serikat di Jepang itu menyasar wilayah 15,8 mil persegi, yang sebagian besarnya pemukiman, selama tiga jam. Dengan kepadatan sekitar 16 ribu orang per mil persegi, populasi terdampak mencapai 254 ribu jiwa. "Jika serangan fiksional Drogon semematikan di Dresden, ada sekitar 140 ribu warga Westeros terbunuh. Kalau setara Pemboman Tokyo, jumlah korban jiwa mencapai 39% penduduk atau sekitar 200 ribu orang," tulis Wynn. George R.R. Martin pernah mengatakan bahwa Westeros kurang lebih seluas Amerika Selatan. Pertanyaannya, bagaimana memerintah sebuah benua, yang terdiri dari tujuh kerajaan vassal, dari ibu kota yang telah kehilangan hampir separuh penduduk dan nyaris seluruh infrastrukturnya, ditambah catatan si penguasa baru dan penyebab kehancuran adalah orang yang sama? Dalam kenyataan, ada banyak kota yang berhasil bangkit dari kehancuran mutlak. Dresden dan Tokyo lahir kembali dari abu peperangan, demikian pula Berlin dan Hiroshima. Lisbon dan San Fransisco, meski pernah hancur-lebur digulung gempa, kini tergolong kota-kota terbesar dan termaju di negara masing- masing. Namun, dalam konteks Westeros, Daenerys tak punya banyak sumber daya. Jangankan memulihkan seluruh kota, untuk membangun ulang Red Keep saja dananya belum tentu memadai, mengingat pemborosan Cersei dan utang- piutang takhta Seven Kingdoms kepada Iron Bank of Braavos. Pada Abad ke-12, Raja Henry II Inggris menghabiskan hingga 40% pemasukan tahunannya untuk membangun dan merawat kastil-kastilnya. Seabad kemudian, di tangan Raja Edward I, kerajaan nyaris bangkrut membiayai benteng-benteng di Wales. Dari segi waktu, pembangunan kastil Abad Pertengahan--yang paling menyerupai dunia Game of Thrones--berlangsung selama dua hingga 10 tahun. Sampai hari ini, saya baru membayangkan dua opsi bagi Daenerys dalam penutupan Game of Thrones, dengan catatan ia tak kena tikam Jon Snow atau Arya Stark atau siapalah dan cerita berakhir konyol dengan Bran Stark duduk di Iron Throne. Pertama, kembali ke Dragonstone sembari pelan-pelan membangun King's Landing, seperti yang pernah dilakukan Aegon I. Namun, perlu diingat bahwa Dragonstone diciptakan untuk perang, bukan memerintah atau mengumpulkan kekayaan, dan letaknya yang terpencil jelas akan mempersulit kendali atas Seven Kingdoms. Kedua, yang lebih baik, ialah memindahkan pusat pemerintahan ke kota besar lain yang lebih stabil dan mempunyai kedudukan strategis serta infrastruktur lengkap, seperti Oldtown, Highgarden, atau Casterly Rock. Jika menjalankan rencana itu, Daenerys tak perlu memikirkan ketersediaan air, risiko bencana alam, serta dampak terhadap hutan lindung, kan? Apalagi keadaannya darurat. Tetapi bagaimana jika, katakanlah, tetap ada penolakan dari kota yang hendak dijadikan pusat pemerintahan baru? Bagaimana dengan kepentingan politik elite Westeros, yang mungkin terusik? Seingat saya, King's Landing penuh penolakan dan politik, dan kini ia rata dengan tanah. Valar morghulis. Tentang 22 Mei: Harapan, dari Dekat Sekali
May 27th, 2019
Kalau kota ini terbakar, saya ingin berada di sebuah tempat yang bersih dan terang, dan--jika boleh meminta lebih banyak--berciuman dengan orang yang saya cintai. Bukan buat melepaskan diri dari kenyataan yang berantakan, melainkan untuk merayakan bahwa hidup tak bisa sepenuhnya hancur-lebur. Bahwa selalu ada harapan, betapa pun kecilnya. 22 Mei 2019, menjelang malam, saya tiba di gedung Bawaslu bersama empat orang simpatisan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno: dua perempuan seusia ibu saya dari Bandung dan Ancol; seorang laki-laki paruh baya dari Banten; dan seorang laki-laki muda dari Tarakan, Kalimantan Utara. Kami berkenalan di depan rumah Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, pada hari yang sama. Saya bilang saya berasal dari Pulau Bangka, dan berkat baju koko putih yang saya kenakan, mereka mengira saya seorang mualaf yang datang jauh- jauh untuk memprotes hasil pemilu. Saya menanggung ongkos taksi, Ibu dari Ancol membelikan kami makanan dan minuman untuk berbuka puasa, pria dari Banten berjalan paling depan, dan laki- laki dari Tarakan--yang mengenakan cincin dan jam emas--mengatakan kami berlima jangan sampai terpisah. "Kita dari daerah ini kan tidak tahu medan," ujarnya. Saya manggut-manggut, tetapi sepuluh menit kemudian meninggalkan mereka untuk bergabung dengan rekan-rekan Asumsi di Artotel Sarinah. Karena pemerintah membatasi akses internet, ditambah koneksi yang sewajarnya buruk di tempat banyak orang berhimpun, saya hanya bisa mencari tahu letak tujuan saya dengan cara bertanya ke orang-orang. Mula-mula, berdasarkan informasi dari beberapa demonstran, saya berjalan ke timur. Tak ketemu, saya menanyai beberapa orang lain dan diberitahu bahwa saya seharusnya berjalan ke barat. Deritanya mungkin tidak sebanding dengan Ti Pat- kay dalam serial televisi Journey to the West yang mondar-mandir di gurun karena diperintahkan berjalan mengikuti matahari, tetapi saya merasa kami sama konyolnya. "Masya Allah, kalau berjodoh, Allah pasti mempertemukan!" Kata-kata itu keluar dari mulut Ismail, yang saya kenal sehari sebelumnya, juga di Kertanegara, saat kami berpapasan. Dia berasal dari Medan, pernah bekerja di Jakarta Timur, dan sudah berhari-hari menginap di tenda di luar rumah Prabowo. "Peci merah loreng Abang kelihatan dari jauh," kata saya. Dia tertawa dan mengajak saya berbuka puasa bersama. Saya bilang harus mencari hotel tempat rekan-rekan saya berkumpul. Sekitar 100 meter dari tempat bertemu Ismail, saya berhenti lagi karena massa hendak salat berjamaah. Takut mengganggu, saya bersila di dekat sekelompok pemuda dan remaja berkaus hitam (beberapa di antara mereka mengenakan ikat kepala dengan tulisan Arab) yang duduk-duduk sambil merokok. Kelak, begitu kerusuhan terjadi, saya langsung teringat rombongan ini. Saya jelas tidak relijius, tetapi rasa-rasanya ada semacam keharuan yang membuai ketika menyaksikan ribuan orang rukuk dan sujud bersama-sama. Alih- alih amarah dan penolakan, saya hanya melihat mereka memasrahkan diri kepada yang mereka yakini berkuasa atas segalanya. Kelak, dari berbagai foto, saya tahu bahwa di balik kawat berduri, para polisi pun meletakkan dahi di atas aspal untuk Tuhan yang sama, dengan cara yang sama, pada saat yang sama. Selepas Magrib, para pemandu aksi 22 Mei meminta para demonstran membubarkan barisan sembari mengemasi sampah masing-masing. "Jangan tolah-toleh ke polisi. Pulang, keluarga menunggu di rumah!" kata salah seorang di antaranya. "Perjuangan kita belum selesai. Kami akan mengirimkan undangan untuk saudara-saudara sekalian kalau waktu untuk bergerak sudah tiba." Saya terus berjalan ke barat, melewati beberapa ambulans. Artotel belum kelihatan dan jaringan internet tetap buruk. Saya terpikir untuk menulis tentang pembatasan akses internet. Menurut Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), kebebasan menerima dan menyebarkan informasi memang tergolong sebagai hak-hak yang boleh dibatasi negara dalam keadaan darurat. Namun, apakah situasi Indonesia darurat? Jika ya, mengapa tak ada penetapan resminya? Mengapa pula pembatasan itu diumumkan setelah diberlakukan, bukan sebaliknya? Kemudian, gara-gara melihat Holiday Inn Express, pertanyaan-pertanyaan itu berubah jadi lamunan: suatu tengah malam, sehabis dari Jaya Pub--yang terletak di seberangnya, saya terlampau teler baik untuk pulang ke indekos di Kemang maupun menyadari bahwa harga sewa kamar di hotel itu semalam akan menghukum saya selama sepekan. Ini bukan ingatan yang menarik, tetapi saya kira ia jauh lebih menyenangkan ketimbang apa-apa yang terjadi dan mengisi kepala saya setelahnya. Tiba-tiba saya mendengar suara orang berteriak-teriak dari arah belakang. Merasa ada yang tak beres, saya mempercepat langkah dan menyelinap ke sebuah warung makan di samping Holiday Inn Express. Namanya Warteg Kharisma Bahari. Tak sampai lima menit, warung itu ditinggalkan semua pengunjungnya kecuali saya, yang tak tahu harus ke mana lagi. Kursi-kursi ditumpuk, kaca dilapik gorden, pintu dikunci, dan lampu-lampu dimatikan. Bersama para pegawai warung, sesekali saya mengintip ke jalanan dari jendela atau ventilasi. Orang-orang marah dan berlarian. Api menyala dan letupan mercon bergaung tak putus-putus. Saya tak suka kegelapan karena ia selalu merawankan saya, membuat saya mudah takut. Padahal takut bukan perasaan yang saya inginkan saat itu. Saya ingin keluar, berdiri di dekat api unggun, dan melaporkan segalanya. Tapi, kata satu suara dalam kepala saya, baterai ponselmu belum penuh. Dan berturut- turut: Tapi kau Cina. Tapi para perusuh di luar sana bukan orang-orang yang datang bersamamu. Tapi mereka tak bakal menyambutmu seperti saudara. Tapi, kalau kau terjebak, polisi belum tentu percaya bahwa kau--yang tak punya kartu pers karena baru pindah kantor--adalah seorang jurnalis, dan bisa saja mereka menyadari bahwa tubuhmu bertato dan malah menghajarmu sebab mengira kau seorang perusuh. Tapi... Saya kira pegawai-pegawai warteg memadamkan lampu agar tak terkesan mengundang penjarah. Mungkin malam sebelumnya mereka melakukan hal yang sama dan baik-baik saja meskipun polisi dan pengacau saling tumbuk. Namun, kemungkinan kena serbu tetap berseliweran dalam benak saya. Empat laki-laki dewasa, tiga perempuan, dan satu anak perempuan. Kira-kira, berapa lama kami bisa bertahan? Meski pernah belajar karate dan tinju, saya sangat jarang berkelahi dan tak pernah ikut tawuran. Maka, kecuali para pengacau itu--yang sebagian besarnya berbadan kurus dan melengkung seperti udang rebon--punya adab (ini oksimoron, tentu saja) untuk baku pukul satu lawan satu dan bersikap ksatria saat saya mematahkan lengan mereka sesuai giliran, tak banyak yang bisa saya harapkan. Kalau saya sampai mati, saya akan jadi hantu yang menjaili Wiranto setiap hari. Sesekali jaringan internet membaik dan saya dapat berkomunikasi lewat ponsel. "Bro, tarik diri sekarang dari lokasi," kata Pangeran Siahaan dalam pesan pendek yang tertunda beberapa menit. Kalau selamat, pikir saya waktu itu, saya akan memberitahunya bahwa saya tidak suka dipanggil "Bro." Sementara itu, pacar saya bilang ia sangat cemas dan mengomel kenapa saya mau-maunya meletakkan diri di tengah "orang-orang barbar. Sambil berusaha menenangkannya, saya menjawab bahwa massa aksi dan kelompok yang sedang berantam dengan polisi tidak sepenuhnya sama. Sebagian demonstran mungkin terpancing dan ikut-ikutan menyerang, tetapi kelompok inti perusuh, saya yakin, terdiri dari para pengacau profesional. Dan para profesional ini semestinya lebih mudah dikendalikan. Kelak, beberapa di antara mereka yang tertangkap polisi mengaku bahwa mereka memang dibayar. Saya bilang saya justru mengkhawatirkan para simpatisan sungguhan, yang sama rentannya dengan saya dalam kekacauan ini. Apakah si Ibu dari Ancol, yang berkata, "Alhamdulillah, masih ada orang baik di Jakarta" ketika saya membayar ongkos taksi kami, dapat pulang dengan selamat ke rumahnya? Apakah Ismail, yang mengaku bahwa nuraninya diketuk oleh Tuhan agar tak diam saja, ikut berkelahi? Apakah dua pemuda Lampung yang saya temui, seorang petani dan seorang kasir minimarket, benar-benar memilih "kabur kalau berhadapan dengan polisi" seperti niat mereka? Pilihan politik orang-orang tersebut, sebagaimana gagasan mereka tentang Indonesia yang lebih baik, jelas berbeda dari saya. Mereka bicara banyak dalam pertemuan-pertemuan kami yang singkat, dan meski tak sepakat, saya tidak mau merasa lebih benar dari mereka. Saya kira kesediaan untuk mendengarkan pandangan lain, juga kesiapan untuk memeriksa (kalau perlu, menyesuaikan) pendapat sendiri, wajib dimiliki semua orang. Dan dalam politik, tentu akan sangat mengerikan jika hanya boleh ada satu cara memandang. "Indonesia tidak mungkin tanpa sayap konservatif," kata politikus Budiman Sudjatmiko. Menurutnya, harus ada dialog yang ajek antara kelompok progresif dan kelompok konservatif dalam politik, agar--salah satunya--kemajuan dapat dijaga oleh nilai-nilai yang telah mapan. Yang menyedihkan, kita tahu, pemilihan presiden kali ini telah mengubah ruang untuk bercakap-cakap dan berdebat menjadi medan perang. Hasil penghitungan suara menunjukkan bahwa Jokowi menguasai daerah- daerah berpenduduk mayoritas Islam nominal dan tradisional atau agama-agama lain, serta daerah-daerah yang kebanyakan penduduknya beretnis Jawa. Di sisi lain, Prabowo menang di daerah-daerah yang komposisi etnis dan corak keagamannya berbeda, seperti Aceh dan Sumatera Barat. Menurut ilmuwan politik Made Tony Supriatma, penyebabnya ialah penggunaan sentimen identitas besar-besaran oleh kedua kubu dalam musim kampanye yang berkepanjangan, ditambah penyebaran hoaks, berita palsu, dan penyesatan lewat media sosial. Siasat itu mempertebal perbatasan sekaligus menjadikan para anggota tiap-tiap kubu menganggap pihak lawan sebagai pembawa kehancuran. "Jika Anda pendukung Prabowo, berita-berita palsu dibikin untuk menguatkan keyakinan Anda bahwa pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan represif yang akan menindas Anda. Jika Anda pendukung Jokowi, Anda akan dipaksa untuk melihat Prabowo sebagai ancaman eksistensial," tulisnya. Memang, pada dasarnya, tak ada kelompok yang tidak memiliki musuh. Musuh diperlukan untuk mendefinisikan diri serta menguji sistem nilai setiap kelompok. Pertarungan melawan musuh ialah upaya meyakinkan diri bahwa kelompok masing-masing sungguh-sungguh hebat dan benar. "Akan jadi apa kita tanpa orang-orang biadab?" tanya seorang warga Byzantium dalam baris-baris penutup puisi "Waiting for Barbarians" karya C.P. Cavafy, "mereka menyelesaikan masalah kita." Hanya dengan kabar kedatangannya, orang-orang itu jadi penyeimbang kehidupan di Byzantium. Selain mengukuhkan kehebatan kekaisaran, ia mencegah kemutlakan yang melenakan dan menggerakkan kembali apa-apa yang mandek dalam politik. Namun, permusuhan antarkelompok berbasis identitas dalam sebuah bangsa, sebagaimana terjadi di Indonesia kini, hanya menghasilkan gerak yang sia-sia. Permusuhan ideologis yang mematuhi aturan main memang menyehatkan demokrasi dan memperbaiki kehidupan, tetapi apa yang mungkin kita harapkan bila yang dipandang berbeda dan dibela hanyalah keutamaan hal-hal yang terberi dan biasanya tak dapat diutak-atik, seperti ras dan keyakinan? Made mengaku tak yakin kita bisa pulih dari keterbelahan akibat pemilihan presiden kali ini. Pada satu sisi, kubu Prabowo sibuk mendelegitimasi hasil pemilu (sejauh ini belum ada bukti kuat tentang kecurangan terorganisasi seperti tuduhan mereka), sementara pendukung Jokowi sama sekali tidak mengendurkan permusuhan. "Kita berhadapan dengan polarisasi yang tidak pernah selesai," tulisnya. Dan Made menuntut kedua tokoh yang bertarung itu bertanggungjawab "menyembuhkan bangsa ini." Meski sama sekali tidak percaya Prabowo dan Jokowi bakal memenuhi tugas itu, saya yakin bangsa kita akan pulih. Made Supriatma, selaku seorang ilmuwan politik, tentu punya dasar untuk berharap kepada perilaku politikus dan partai- partai politik selepas pemilihan. Namun, sebagai orang yang bersembunyi di tempat gelap ketika api menyala, terpisah dari semua orang yang saya kenal, saya menaruh harapan kepada orang pertama yang mengajak saya bicara. Namanya Anis, anak perempuan berumur sembilan atau sepuluh tahun. Mungkin ia putri atau keponakan salah satu pegawai Warteg Kharisma Bahari. Sekitar sejam setelah kerusuhan dimulai, ia mendekati saya dan bertanya: "Kakak mau di sini sampai kapan?" Suaranya tak mengesankan ketakutan. "Kalau sampai sepi, boleh?" "Kemarin, sih, jam tujuh baru sepi," katanya sambil mengaduk teh manis dalam gelas plastik. "Tujuh pagi?" "Iya, tapi nggak apa-apa. Kakak tidur di sini saja," katanya. "Nggak apa-apa. Di luar berbahaya." Pada 22 Mei 2019, api menyala di sebagian kecil Jakarta, dan saya menemukan harapan, keindahan kecil dalam kekacauan itu, dalam bentuk belas kasih seorang anak. Tidak sesuai khayalan, memang, tetapi toh saya bukan karakter dalam novel Haruki Murakami atau puisi Aan Mansyur. Saya bisa makan gorengan dingin atau minum kopi saset sambil melihat api bekerja, dari balik jendela. Rumah = Nostalgi + Fantasi
June 03th, 2019
Pada hari kedatangan saya di Mexico City, ibu saya mengirimkan sebuah pesan pendek. "Bagaimana cara mengucapkan selamat pagi dalam bahasa Spanyol?" katanya. Saya menjawab dan kami mengobrol sebentar soal jet lag dan perbedaan waktu antara Indonesia dan Meksiko. Esoknya, begitu membuka mata, saya menemukan satu pesan baru: "Buenos Aires, Nak." "Caracas, Mama." Obrolan itu saya ceritakan kepada Tania sekitar sebulan kemudian. "Manis sekali," katanya sambil menyeka air mata yang keluar saat ia terbahak-bahak. "Aku tidak paham kenapa kau menampik rumah, tempat ibu semanis itu menunggumu, dan malah menginginkan tempat celaka ini," katanya. Saya tidak tahu apakah waktu itu saya paham tetapi tidak cukup artikulatif untuk menjelaskan ataukah sebenarnya sama bingungnya dengan dia. Yang bisa saya katakan hanya: "Kita tidak bisa memilih asal-usul, kan? Lagi pula, kautahu, yang menungguku di sana tidak semuanya manis," lalu menumpahkan keluhan demi keluhan tentang masa kecil dan remaja dan urusan percintaan dan seterusnya dan seterusnya, yang serba morat-marit dan tentu saja sudah didengarnya. "Mexico City lumayan, kok," kata saya sambil meraih gelas berisi mezcal di meja. "Pertengahan tahun depan aku bisa kembali dan menjalani hidup yang kuinginkan, bersama orang-orang yang menerimaku apa adanya." Dia mendengus. "Satu lagi," katanya, dengan mimik serius. "Aku heran kenapa orang sepintar kau bisa tolol sekali." "Kenapa tidak bilang, 'dasar bocah tidak tahu apa-apa,' kayak biasanya?" tanya saya. Dia tak mengatakannya, tetapi sore itu kami berhenti membicarakan rumah. Sebenarnya, kami berhenti membahas apa pun setiap kali dia, yang lebih tua 14 tahun (Halo, Vargas Llosa!), bersikap menggurui atau kebiasaannya itu saya ungkit-ungkit. "Aku cukup tua untuk jadi ibumu," katanya kadang-kadang. Lama- kelamaan saya terbiasa dengan lagak itu dan hubungan kami justru selesai ketika dia mengatakan tak hendak menunggu, tidak seperti ibu saya. Rumah bukan cuma perkara ruang, tetapi juga waktu. Hari-hari itu saya membayangkannya selalu sebagai cita-cita, yakni sesuatu yang ada di depan, yang kelak, sambil menampik segala yang ada di belakang dan telah berlalu. Dengan kata lain: fantasi. Saban mengingat rumah tempat saya tumbuh besar, yang melintas di pikiran cuma perkataan Asrul Sani dalam sebuah cerpen di buku Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat, "Tiada lagi. Telah punah hubunganku dengannya." Hanya setelah fantasi itu pecah berkeping-keping saya sanggup menyadari bahwa gagasan saya tentang rumah harus dibongkar kembali. Bertahun-tahun sebelumnya, pernah juga saya membayangkan rumah sebagai tempat asal, udik atau hulu dari mana saya berangkat. Seperti karakter-karakter rekaan Umar Kayam, waktu itu saya mengira: terlepas dari apa-apa yang terjadi, asal-usul adalah sesuatu yang tetap dan sebagiannya selalu terbawa dalam diri. Lihat bagaimana, misalnya, Lantip dalam Para Priyayi dan Jalan Menikung memastikan semua anggota keluarganya insaf bahwa pada intinya mereka adalah Orang Jawa, dan selapis kemudian barulah tentara atau simpatisan partai komunis atau pegawai negeri. "Jangan jadi kacang lupa kulit," tulis saya di buku harian, dengan perasaan compang-camping, ketika berangkat kuliah ke Yogyakarta. Catatan itu saya bikin dengan huruf besar-besar, tegak mendampingi sepasang nasihat orangtua saya yang tak kalah dramatis: "kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana saja" dan "jangan lupa salat." Entah kapan pikiran itu berubah. Hanya, rasa-rasanya pulang, lebih-lebih mudik yang riuh setiap tahun, semakin lama semakin kehilangan daya gugahnya. Saya pernah berkeras melewatkan malam lebaran dengan mengetik saja di kantor meski ibu saya merajuk dan mengancam untuk tak memasak raya kalau anak- anaknya tak lengkap. Mungkin sebabnya adalah kemarahan. Saya marah karena pernah terpaksa menumpang tinggal di rumah orang lain, terpisah dari semua anggota keluarga. Saya marah karena orang yang hanya dapat saya pandangi punggungnya selagi saya tumbuh dewasa, pemberi teladan utama tentang menjadi laki-laki, pernah menelepon saya dan menceritakan sebuah pengkhianatan sambil terisak-isak. Saya marah karena banyak hal yang, anehnya, terasa biasa-biasa saja saat terjadi. Saya membayangkan rumah hanya sebagai kenang-kenangan, yang ada di belakang dan mesti terjaga kemurniannya. Dengan kata lain: nostalgi. Dan seperti fantasi, nostalgi pun terpisah jauh dari kenyataan. Jarak itulah yang, tanpa saya sadari, memungkinkan saya merasa patut menghakimi rumah secara keras dan semena-mena. "Kautahu puisi Khalil Gibran yang mengatakan 'anakmu bukan anakmu'?" kata AS Laksana pada suatu tengah malam, menanggapi ocehan saya. Saya menggeleng dan mulai mengetik. Pencarian singkat di internet menghadirkan baris-baris berikutnya: "Mereka putra-putri kehidupan. Mereka datang lewat engkau tetapi bukan darimu. Dan meski bersamamu, mereka bukan milikmu." "Caraku memahami puisi itu berubah setelah punya anak," katanya. Pendapat serupa pernah dikatakan ayah saya dalam satu dari sekian banyak pertengkaran kami. Dia bilang dia mengerti perasaan saya karena ia pun seorang anak, tetapi saya, yang belum pernah menjadi orangtua, mungkin tak mengerti perasaannya. Saya baru tahu betapa sedih kata-kata itu sebenarnya, dan betapa lembut ia sebagai cara menanggapi kekurangajaran saya ketika menolak diatur, bertahun- tahun kemudian. "Meski punya jutaan kata-kata indah," kata Maxwell Perkins kepada Tom Wolfe dalam film Genius, "kau sama sekali tak mengerti hidup, tak mengerti bagaimana rasanya menatap mata seseorang dan merasa sakit karena kesedihannya." Saya menonton adegan itu dengan air mata berderai-derai. Ayah saya jelas tak mirip Colin Firth, tetapi potongan dialog itu mengingatkan saya kepada perbantahan kami. Sepotong dialog lain, mungkin dari sebuah film atau buku lain: "Tanganmu bakal terikat terus kalau kau tak memaafkan." "Tapi mereka belum meminta maaf." "Apa perlunya? Kau melakukannya untuk dirimu, bukan buat mereka." Tentu saya bukan satu-satunya orang yang dijerat kerumitan saat berusaha memahami rumah. Beberapa bulan lalu saya membaca novel grafis Fun Home karya Alison Bechdel. Dalam karya otobiografis itu, Bechdel membayangkan kehidupannya semasa kanak dan hubungannya dengan keluarga, terutama ayahnya, sebagai pantulan kisah-kisah fiksional yang mereka baca. Ia memahami keputusan sang ayah untuk bunuh diri lewat buku-buku Albert Camus; mengenal sifatnya dari Stephen Dedalus, yang penuh keraguan serta berjarak dari orang-orang lain dan dunia; dan menyamakan nasibnya dengan Icarus, yang celaka karena terbang kelewat dekat dengan matahari. Kata Bechdel di akhir cerita, ayahnya jatuh ke laut seperti Icarus, tetapi ia percaya laki-laki itu menunggu di sana, bersiap menangkapnya jika suatu saat ia memutuskan untuk melompat. David Sedaris juga banyak membicarakan rumah dalam kumpulan esai terbarunya, Calypso. Dalam "Now We Are Five", misalnya, ia menyandingkan pengalamannya berlibur bersama keluarga semasa kecil, yang penuh keterbatasan, dengan pengalamannya kini, ketika dia punya segalanya namun telah kehilangan ibu dan seorang adik. Cita-cita Sedaris untuk memiliki hunian lapang dengan banyak kamar, juga rumah liburan di tepi pantai, sudah terpenuhi, tetapi mengapa ia baru dapat merasa lengkap setelah merelakan ketidakutuhan keluarganya? Saat merencanakan tulisan ini beberapa hari lalu, perut saya mulas berat. Saya tiba-tiba menyadari sebuah kekeliruan: tak semestinya saya memilih rumah hanya sebagai kenang-kenangan atau cita-cita, semata nostalgi atau fantasi, sembari membantah yang lainnya. Kedua orangtua saya, sebagai bagian dari asal-usul, tak pernah melarang saya menghasratkan kehidupan yang saya anggap lebih baik. Demikian pula sebaliknya Nadya, pasangan saya, bagian dari hari depan, malah tak putus- putus mengingatkan agar saya selalu memperhatikan orangtua. Saya terlambat memahami bahwa rumah tak seharusnya hanya dibayangkan sebagai salah satu di antara kemarin dan besok. Gagasan tentang rumah semestinya mengatasi dulu, kini, dan nanti, sebab ia terus bergerak bersama diri saya dan orang-orang yang saya anggap sebagai bagiannya. Saya merasa beruntung karena menyadari itu sekarang. Beruntung sekali. Nanti siang, ketika tulisan ini terbit, barangkali saya sedang meletakkan oleh-oleh titipan pacar di meja makan, lalu memeluk kedua orangtua saya sambil berbisik, "Buenas tardes, Mama." Dia mungkin akan menjawab, "Guatemala", dan saya akan mensyukuri semua yang saya miliki hari ini, merayakan yang lengkap dan yang tidak dalam hidup, dengan kegembiraan tak terkira. Jakarta, Kenapa Kita Tidak Berdansa?
Author : Dea Anugrah
June 25th, 2019 Berapakah penghasilan minimum untuk hidup layak di Jakarta? Kalau Anda melajang, kata penulis Ika Natassa dalam sebuah twit, 10 juta rupiah saja. Pada twit berikutnya, dia menyampaikan anggaran kasar, mulai dari biaya sewa tempat tinggal hingga alokasi tabungan. Kalau mau tinggal di tempat eksklusif, katanya, harus punya gaji 20 juta supaya lega. Rangkaian twit itu mewabah dan orang beramai-ramai menanggapi Ika: sebagian mengejek kemampuannya berhitung, sebagian lagi menghakimi gaya hidupnya. Berkisar dari komentar ke komentar, saya menemukan seseorang mengatakan,"Gaji saya cuma 4 juta. Hidup saya nggak layak, dong." Saya menekan tombol like dua kali untuk orang itu dan kecemasannya. Seandainya ontran-ontran itu terjadi lima tahun lalu, kata-kata sedih tersebut mungkin saja berasal dari saya. Lima tahun lalu, saya menjalani pekerjaan tetap pertama di Jakarta dengan gaji 4 juta rupiah per bulan. Di luar pajak dan kewajiban lain-lain, perusahaan memberikan diskon 500 ribu rupiah karena hampir setiap hari saya menempelkan jari di mesin pencatat kehadiran pada waktu paling mustajab untuk berdoa, yakni sepertiga terakhir malam, alih-alih pagi dan sore. Apa istilah untuk menyebut orang yang memiliki uang berjuta-juta? Jutawan, tentu saja. Dan selaku jutawan, saya bisa menyewa sebuah kamar yang jendelanya tidak bisa ditutup, makan tiga kali sehari, dan membeli sekaleng Bintang buat menyempurnakan me time--artinya duduk-duduk sambil mendengarkan lagu "Indonesia Pusaka" yang disetel berulang-ulang oleh tetangga saya--setiap malam. Hidup terasa cukup dan satu-satunya yang tidak saya miliki cuma harapan. E.B. White, dalam esainya yang terkenal, "Here is New York", mengatakan bahwa ada tiga New York. Satu milik orang-orang yang bercokol di dalamnya sejak lahir atau kanak-kanak, satu buat para pekerja yang umumnya datang dari kawasan-kawasan satelit, dan satu lagi milik para perantau. Saya kira begitu pula kota-kota raksasa lain di seluruh dunia, termasuk Jakarta. Warga asli memberi Jakarta identitas, rombongan pekerja ulang-alik memberinya kesibukan, dan para perantau memberinya gairah. Semuanya, meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma, adalah Homo jakartensis. Saya seorang pendatang, tetapi tak ingin selamanya begitu. Saya hendak menetap sebagaimana urusan-urusan penting dan kesempatan-kesempatan terbaik menetap di kota ini. Namun, rencana itu memerlukan harapan besar, dan harapan, pada titik tertentu, menuntut keleluasaan finansial. Berita buruknya: hari-hari ini, rata-rata orang di seluruh dunia menggunakan 49,3% penghasilan untuk mencicil rumah, jauh lebih berat dibandingkan 17,5% pada 1996, misalnya. Dan dalam lima tahun terakhir, menurut Real Estate Indonesia (REI), harga rumah di perkotaan naik 10 hingga 30% meski rata-rata inflasi hanya sebesar 5%. Maka, hasil survei Kompas pada 2017 wajar belaka: 61% warga berumur 25-35 tahun di tujuh kota besar Indonesia belum memiliki rumah. Khusus di Jakarta, yang akan menjadi salah satu kota dengan penduduk terbanyak di dunia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, hampir separuh penduduk tak punya rumah, dengan backlog alias kekurangan tempat tinggal sebanyak 1,3 juta hunian. Lima tahun lalu, saya tak sanggup membayangkan masa depan yang aman di Jakarta. Dan kalau saya saja, yang tumbuh besar dalam keluarga kelas menengah, belajar di salah satu universitas terbaik di negeri ini, dan punya pekerjaan dengan gaji di atas upah minimum merasa terancam, bagaimana dengan orang-orang miskin? Oh, mereka terperosok makin dalam. Menurut BPS, ketimpangan ekonomi telah banyak berkurang dibandingkan pada 2014, tetapi di sisi lain, saya--yang kini berpenghasilan sesuai standar minimum Ika Natassa--bahkan mulai merasa hanya sanggup membeli rumah bersubsidi, seperti banyak orang dengan kemampuan ekonomi setingkat. Pertama, aturan soal batas penghasilan bisa disiasati dengan memisahkan gaji dalam dua rekening. Kedua, saya tak sanggup mengejar kenaikan harga di perumahan- perumahan biasa, yang diperlekas oleh kebiasaan orang-orang berduit untuk menjadikan rumah sebagai instrumen investasi. Jadi, di manakah orang-orang miskin semestinya tinggal? Bagi kelas menengah- atas Jakarta pada umumnya, jawaban untuk pertanyaan itu terang-benderang: di mana saja asalkan tak dekat-dekat sini. Ian Wilson, dalam "Pengalihan Isu Ketimpangan & Kemiskinan di Pilgub Jakarta", mengatakan: "Hasrat memperoleh keamanan, gaya hidup mewah, dan kenyamanan berarti perluasan pemisahan hidup dari orang-orang miskin. Mereka mengurung diri di dalam rumah-rumah mewah berpagar, bangunan-bangunan apartemen yang menjulang, pusat-pusat perbelanjaan, dan kendaraan pribadi." Wilson juga menulis bahwa penataan ulang kota semasa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama--yang melibatkan penggusuran sejumlah pemukiman liar-- populer di kalangan kelas menengah karena, salah satunya, mewakili hasrat mereka untuk bebas dari kekumuhan. Salah satu konsekuensi terburuk pemisahan ruang hidup adalah distribusi air. Kita tahu mayoritas penduduk Jakarta, kaya maupun miskin, mengandalkan air tanah alih-alih jaringan PAM. Dari 1 miliar meter kubik konsumsi air per tahun di Jakarta, sekitar 630 juta meter kubiknya didapat dari sumur-sumur. Masalahnya, menurut riset Michelle Kooy dan Kathryn Furlong, pompa-pompa berkekuatan tinggi di lingkungan-lingkungan bisnis dan pemukiman warga kaya mengisap sebagian besar air tanah dalam. Itu menyebabkan penurunan permukaan tanah sekaligus meningkatkan risiko banjir. Dan kalau banjir terjadi, cadangan air tanah yang tercemar pertama kali jelas di daerah-daerah kumuh, terutama di pesisir yang rendah. Coba tebak siapa yang tinggal di sana? Petunjuknya: jangankan alat-alat pengolahan air, membeli air minum dalam kemasan saja mereka sering tak sanggup. Kerawanan ekonomi, bayangan berembun tentang masa depan, penyingkiran dari ruang-ruang hidup yang melekat dengan mata pencarian, ditambah ancaman kesehatan karena terpaksa minum air beracun, saya kira, lebih dari cukup buat menjepit saraf siapa saja. Dan dalam keputusasaan, sebagaimana ditunjukkan olehbanyak sekali lagu pop kita, yang tersisa tinggal "mengapa." "Mengapa kami menderita?" misalnya, adalah pertanyaan bertenaga besar yang gampang dimanfaatkan secara politis. Semasa Orde Baru, pemerintah menjawab dengan cara menunjuk orang-orang Tionghoa. Belum lama ini, siasat serupa dipakai kembali. Menurut Wilson, jaringan pendukung Anies Baswedan pada pemilihan gubernur yang lalu "tidak segan-segan mengeksploitasi kecemasan dan penderitaan kaum papa dengan ceramah-ceramah yang mencampurkan kritik terhadap neoliberalisme dan demokrasi dengan kebencian terhadap 'asing.'" Sewaktu gelombang kemarahan itu bangkit ke permukaan sebagai hasil politik identitas yang brutal, berapa banyak di antara kita yang malah mengoceh soal keberagaman sampai berbusa-busa atau, lebih buruk lagi, menggoblok- goblokkan mereka? Dua hari lalu, Jakarta berulang tahun ke-492. Saya mendatangi puncak perayaannya di Bundaran HI. Ramai sekali. Orang-orang berdesakan di sekitar panggung buat menyaksikan penampilan grup-grup musik terkenal dan pertunjukan lain-lain. Di sepanjang Jalan MH Thamrin, gelombang manusia tak putus-putus mendekati atau menjauhi pusat kerumunan. Namun, suasana yang saya rasakan sama sekali tak mengesankan pesta. Dalam pesta, orang membaur dan berdansa, bukannya sibuk dengan ponsel atau otopet masing- masing. Dalam pesta, lampu-lampu bersinar terang. Dalam pesta, kegembiraan menyala-nyala. Saya kehilangan minat, lalu buru-buru mengambil sepeda motor yang terparkir di belakang bioskop Djakarta XXI. Sepanjang jalan, saya berpikir apakah orang- orang tidak berpesta sebagaimana mestinya karena merasa berbeda satu sama lain? Atau semata-mata karena memang tak ada pencapaian yang patut dirayakan dalam setahun terakhir? Begitu tiba di kamar, saya membuka pintu balkon lebar-lebar dan menuang Jose Cuervo Especial ke dalam dua gelas. Langit bersih dan terang. Hampir dua tahun lalu, juga ketika langit bersih dan terang, saya bertanya kenapa orang- orang di Mexico City bisa berpesta kapan dan, sepertinya, untuk alasan apa saja. Teman saya Abraham Lobillo bilang bahwa saya beruntung datang ke kota itu beberapa pekan setelah gempa. Tidak terlalu cepat, tidak terlambat. "Gempa, Bung. Gempa keparat itu mengeluarkan sisi terbaik kami," katanya. Saya menelan isi gelas pertama untuk Jakarta, sambil berharap ia senantiasa aman dari bencana. Kemudian gelas kedua, diiringi harapan lain, untuk diri sendiri. Lima tahun lalu, belum ada satu pun buku saya yang diterbitkan dan teman saya Sabda Armandio mirip sekali dengan Sujiwo Tedjo. Apa susahnya, sih, mencari sesuatu buat dirayakan? Kalau saja ada musik, asalkan bukan "Indonesia Pusaka", dan dua atau tiga orang lain, asalkan bukan Pak Gubernur, saya tak berkeberatan menunjukkan joget T-Rex andalan saya. Kalau Nasi Sudah Jadi Bubur
June 17th, 2019
Beberapa hari lalu Vice Indonesia menerbitkan berita tentang seorang bos geng pelajar di Tangerang yang diburu polisi karena perkelahian antara kelompoknya dan kelompok lain pada Minggu, 9 Juni 2019, mengakibatkan kematian. Redaktur pelaksana media tersebut, Ardyan M. Erlangga, menikah kemarin (selamat, Bung!) dan kecil kemungkinan dia mengucapkan ijab kabul sambil membayangkan gir motor yang diikat sabuk taekwondo dan diputar-putarkan. Tetapi saya memikirkan berita itu sampai hari ini. Bukan perkara tawurannya, yang tak pernah saya alami, melainkan: si buron, remaja 16 tahun bernama Dea Imut, mungkin akan masuk penjara, tempat yang jelas tak menyimpan keimutan jenis apa pun. Berapa lama ia bakal dikurung? Apakah dia akan kehilangan tahun-tahun terbaiknya? Para orangtua, atau setidaknya orangtua saya sendiri, sering menggunakan cerita-cerita seperti itu buat mengantarkan nasihat. "Kalau nasi sudah jadi bubur, cuma bisa menyesal," kata ibu saya. Tetapi apakah orang yang dihukum karena bersalah pasti menyesal? Dan apa yang disesalinya? Hukuman atau kesalahannya? Saya ingin percaya bahwa setiap orang, kecuali segelintir saja yang punya masalah kimiawi tertentu di otak mereka, sanggup menyesali kesalahan--dengan atau tanpa hukuman. Dasarnya ialah kenyataan bahwa diribukanlah sesuatu yang beku. Ia bisa berubah, berkembang, membaik, seiring laju hidup. Dua pekan lagi, saya bakal berumur 28 tahun. Kadang saya mendengar orang mengatakan bahwa mencapai usia itu adalah sebuah kemenangan, meski saya tak pernah tahu terhadap apa. Beberapa teman sebaya bilang: tahun ke-27, kalau bukan yang terberat, merupakan salah satu yang paling menentukan, dalam hidup mereka. Tetapi saya hanya tahu: sepanjang tahun ini saya gembira dan kecewa karena banyak hal, menangis dan tertawa karena banyak peristiwa. Secara umum sama dengan yang sudah-sudah. Bedanya, tentang tahun-tahun yang lebih lampau, mata saya lebih awas menilai, juga lidah saya lebih luwes bicara. Kata George Saunders dalam pidatonya saat melepas wisudawan Syracuse University pada 2013 (pidato itu kemudian dibukukan dengan judul Congratulations, By the Way), ada tiga manfaat orang-orang tua bagi anak muda: meminjamkan duit, menjadi bahan tertawaan, dan memberitahukan hal- hal yang disesalinya dalam hidup. Tentang yang terakhir, kata Saunders, "Kadang, seperti yang kalian tahu, orang-orang tua bercerita meski tidak ditanya. Dan kadang mereka tetap bercerita walaupun kalian sudah bilang jangan." Sebulan lalu, seorang rekan saya di Asumsi, yang sebelas tahun lebih muda, memanggil saya "Om." Mungkin ini waktu yang tepat untuk menceburkan diri ke kolam pemandian air panas dan mulai bicara soal penyesalan, meski tidak ditanya.... Sebelas tahun lalu, saya tinggal di rumah kontrakan yang pada atapnya terpacak sebuah tiang besi, dan pada tiang itu bendera Partai Keadilan Sejahtera berkibar-kibar. Kamar yang saya tempati tak kalah hebat: pada salah satu temboknya ada poster Intifada Palestina berukuran besar, dan pada sisi lainnya ada lubang akhir zaman yang bisa mengeluarkan kecoa terbang kapan saja. Tetapi ongkos sewa kamar itu murah dan itulah satu-satunya tempat yang ditawarkan oleh pemandu saya, seorang tetangga yang lebih dulu kuliah di Jogja. "Insyaallah hanif," kata si pemandu saat memperkenalkan saya kepada kawan- kawannya. Saya menanyakan apa arti hanif. "Orang yang lurus. Lurus di jalan Allah," katanya. Dan hanya dalam beberapa hari, latihan para penghuni baru rumah itu, mahasiswa-mahasiswa semester pertama di UGM dan UNY, untuk menjadi kader-kader Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dimulai. Pemuda Islam yang baik adalah yang sedikit tidurnya, kata seorang murabbi alias pembimbing. Maka kami mengikuti liqa atau pengajian dalam kelompok-kelompok kecil di kampus, di masjid-masjid, dan di rumah, juga berbagai pelatihan kepepimpinan dan kegiatan organisasi. Saya pernah merayap-rayap seperti biawak di sebuah kali dangkal berbatu di daerah Kaliurang, ikut membakar baliho bergambar George Bush dalam demonstrasi, dan menancapkan bendera-bendera PKS di sepanjang Jalan Affandi pada jam tiga pagi. Sampai sekarang, teman-teman sekelas di kampus senang menceritakan sebuah adegan dari masa ospek setiap kali kami berkumpul. Waktu itu kakak- kakak tingkat menyuruh kami maju bergiliran buat memperkenalkan diri. Itu bukan pengalaman biasa buat saya, yang seumur hidup hanya menggunakan bahasa Melayu dialek Bangka, termasuk di sekolah, dan tidak pernah berbicara di depan umum. Tekanan itu bertemu sifat berterus-terang yang tak kenal tempat, dan hasilnya ialah bunyi-bunyian berikut: "Saya Dea Anugrah. Saya Cina tapi Islam, dan saya gemar membaca teori-teori konspirasi." Minyak rambut saya meleleh bersama keringat. "Terus, terus, ingat nggak kelen tasnya Dea?" kata Chandra Siagian, salah satu kawan kuliah yang paling akrab dengan saya, seorang peranakan campuran Batak-jet pump, yang keahlian utamanya ialah mengisap apa-apa yang terkubur jauh di dalam tanah lalu menyemburkannya kencang-kencang. "Ada patch bendera Palestinanya, oi!" katanya, lalu tertawa memakai jatah empat orang. Namun, kelurusan di jalan tarbiyah itu cuma bertahan sebentar. Semester berikutnya, meski tetap tinggal di rumah itu karena sudah membayar sewa buat setahun, saya tak pernah lagi mengikuti kegiatan para penghuni lain. Saban waktu salat subuh tiba, misalnya, pintu kamar saya digedor-gedor. Dan saya, yang biasanya tidur pagi, cengengesan saja sambil menyumpal kuping dengan headset. Saya menukar majalahSabili dan Eramuslim Digest dengan buku-buku Islam Pembebasan, terutama karya-karya Ashgar Ali Engineer dan Ali Shariati, kemudian menukarnya lagi dengan buku-buku yang membicarakan ide-ide pembebasan, tanpa Islam, dan seterusnya, dan seterusnya. Suatu kali, sepulang kuliah, saya menemukan kertas bertuliskan "KALAU SAMPAI TERCIUM ASAP ROKOK, JANGAN SALAHKAN KAMI" tertempel di dinding lorong depan kamar saya. Ancaman itu hadir tanpa aba-aba, seperti saya yang melintas di depan beberapa murabbi saat mereka menggosipkan bokong Agnes Monica di depan televisi, hanya tak mengejutkan. Para penghuni rumah itu kemudian pergi satu demi satu. Beberapa orang lulus kuliah. Sisanya, termasuk kawan-kawan yang sebaya saya, mungkin hijrah ke kontrakan baru bersama-sama. Suatu malam, selain lampu meja di kamar saya, semua lampu di rumah itu tak bisa dinyalakan, dan barulah saya menyadari bahwa saya sendirian di bangunan lapuk dua lantai itu. Bau bangkai tikus menguar ke mana-mana dan berhari-hari saya tidak berhasil menemukan sumbernya. Uang kiriman dari orangtua saya waktu itu Rp500 ribu per bulan, dan lebih dari separuhnya sudah saya tukar dengan buku-buku. Maka, jangankan buat menyewa tempat tinggal baru, urusan makan pun kadang saya mesti memakai siasat 1:1, yaitu sehari makan dan besoknya cuma minum air galon, berselang- seling. Kadang, saya menumpang makan di kos-kosan teman saya Rozi Kembara, yang hampir sama miskinnya dengan saya. Banyak pengalaman waktu itu, juga keputusan-keputusan yang saya ambil di dalamnya, kini terasa keliru. Memperkenalkan diri dengan ucapan "saya Cina tapi Islam" di fakultas filsafat, misalnya, tentu akan selamanya jadi salah satu perbuatan paling memalukan dalam hidup saya. Demikian pula soal keterlibatan saya di KAMMI. Tetapi saya tak menyesal, juga tidak kepengin mengubah apa- apa, sekalipun dapat kembali ke hari-hari itu. Di sisi lain, terlepas dari kekecewaan terhadap satu-dua orang, saya menyesal karena telah memutus pertemanan dengan orang-orang pertama yang menyambut saya di perantauan. Saya menyesali urusan itu sebagaimana saya menyesal kerap ikut tertawa ketika seorang teman sekelas saya di sekolah dasar dihina karena rambutnya berbau sampah setiap hari. Atau dua tahun kemudian, di sekolah yang sama, ketika saya mengatakan, "Eit, eit, lihat ke mana sih?" kepada seorang teman yang bermata juling. Tak ada hukuman yang saya terima untuk perbuatan-perbuatan jahat itu, tetapi saya tak pernah bisa melupakannya. Mungkin karena secara alamiah, seperti kata Saunders, usia menumbuhkan belas kasih. "Selagi menua, kita menyadari bahwa bersikap egois tak ada gunanya, bahkan tak masuk akal," katanya. Perubahan itu membuat orang menilai kembali apa-apa yang sudah dilakukannya. Gagasan-gagasan moral Saunders agaknya banyak dipengaruhi Buddhisme dan, hingga taraf tertentu, Katolikisme. Saya tidak paham keduanya, tetapi saya pernah membaca soal pentingnya belas kasih dalam karya-karya Arthur Schopenhauer. Immanuel Kant, dalam Groundwork of the Metaphysic of Morals, mengatakan bahwa sebuah tindakan dapat dikatakan bermoral hanya jika orang yang menjadi sasaran perbuatan itu diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar alat. Dengan kata lain, tindakan tersebut harus steril dari kepentingan pelakunya. Dan ia memperkenalkan imperatif kategoris, gagasan bahwa setiap manusia terlahir membawa semacam perintah Tuhan yang membuatnya rela bersusah- payah, bahkan berkorban, demi keselamatan dan kebaikan orang lain. Namun, karena didasari "perintah dari atas", sistem itu secara otomatis mengandaikan sebuah hukum universal, di mana setiap orang dituntut memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin orang lain memperlakukannya. Dan dari sisi mana pun, kata Schopenhauer dalam esainya "On the Basis of Morality", sistem macam begitu jelas egoistik. Dia mengatakan ada satu nasib yang mengganduli bahu setiap orang di dunia, yaitu kehidupan, yang tidak bertujuan, dan karenanya merupakan rangkaian penderitaan tak kunjung padam. Selama puluhan tahun orang bisa mengumpulkan harta, tahta, cinta, popularitas, dan macam-macam lagi, tetapi yang menunggu sama belaka: kematian, tanpa makna lebih. Situasi itu melahirkan "Fenomena belas kasih (mitleid), yaitu keterlibatan langsung seseorang--tanpa kepentingan terpendam--dalam kubangan penderitaan pihak lain, dan berujung kepada bantuan simpatik untuk mencegah atau mengurangi penderitaan itu." Hanya tindakan-tindakan yang didasari belas kasih, kata Schopenhauer, yang mempunyai nilai moral. Sebab ia murni, bebas dari keakuan orang yang mengerjakannya. Namun, mungkinkah belas kasih menjadi landasan moralitas kita semua, dan kemudian menjadi jalan keluar untuk persoalan-persoalan orang banyak, mulai dari, katakanlah, kebiasaan tawuran antarpelajar hingga keterbelahan bangsa akibat pemilihan presiden? Tentu saja tidak. Menyesali perbuatan-perbuatan jahat, atau tepatnya ketidaksanggupan bertindak dengan dasar belas kasih, bukanlah urusan sulit. Bahkan sekalipun penyesalan itu amat besar sampai-sampai saya merasa harus menyembunyikannya di akhir tulisan: sebelum merantau, saya sering mengatakan bahwa semua orang Jawa harus diusir dari kampung halaman saya, karena mereka culas dan senang merebut kesempatan kerja para pribumi, dan seterusnya, dan seterusnya.... Yang luar biasa sulit ialah perkara setelahnya. Arti Sebuah Nama
June 10th, 2019
Setiap kali berkenalan dengan seseorang, hal pertama yang saya lakukan adalah menunggu. Lima, empat, tiga ... kalau matanya mendelik atau mengerjap- ngerjap dengan cepat, kemungkinan besar obrolan kami akan diawali dengan pertanyaan. Tiga, dua, satu, "Kok namamu Dea?" Beberapa teman saya merahasiakan nama asli mereka yang feminin dan memilih panggilan yang lebih umum buat laki-laki. Dalam sebuah wawancara, Linda Raharja menanyakan apakah saya pernah terpikir untuk menggunakan pseudonim. Pilihan-pilihan itu tersedia, tetapi saya menyukai nama saya sebagaimana adanya. Ia mudah diingat, bunyinya sedap, dan, kata ayah saya, mengandung harapan agar saya senantiasa menghormati perempuan seperti saya menghormati diri sendiri. Selama ini, tanpa malu-malu, saya mengira sudah memenuhi harapan tersebut. Memang saya tidak pernah memperlakukan perempuan secara kurang ajar, juga tak pernah berpikir "sALah sEnDiri paKai RoK pEnDek" atau semacamnya tentang korban kekerasan seksual, misalnya, tetapi apakah itu sudah cukup untuk disebut menghormati? Seorang teman pernah memberitahu saya bahwa ada kenalannya yang tak menyukai Bakat Menggonggong dan penulisnya, yaitu saya sendiri, karena cerita-cerita di dalam buku itu "terlalu maskulin." Waktu itu saya membela diri, juga tanpa malu-malu, dengan argumen pinjaman dari novelis Jim Harrison dalam wawancaranya dengan Paris Review: "Masak orang disalahkan hanya karena menulis tentang apa-apa yang dia alami dan ketahui?" Namun, ketika membaca ulang buku itu untuk keperluan penerjemahannya baru- baru ini, saya merasa penilaian yang disampaikan teman saya kelewat halus. Mungkin, sebelum mengatakannya, dia sudah menyaringnya bolak-balik. Semua narator dan tokoh utama cerita-cerita saya laki-laki, sedangkan karakter-karakter perempuannya cuma kebagian peran cerewet, sulit diajak bicara, khianat, dan selalu memperkeruh keadaan meski sekadar berjongkok di pinggiran cerita. "Sejarah mencatat terlalu banyak lelaki hebat yang tumpas karena gagal menjinakkan perempuan," kata narator cerpen "Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada." Seorang pembaca berkomentar di Twitter: "Kenapa pula perempuan harus dijinakkan?" Kita memang bisa bicara berbuih-buih bahwa narator atau tokoh utama tidak sama dengan pengarang, bahwa pendapat yang satu belum tentu mencerminkan yang lain, tetapi bagaimana menjelaskan keseragaman cara pandang 14 cerita di buku itu selain mengakui betapa sempit penglihatan penulisnya? Setiap pengarang, kata Intan Paramaditha dalam esainya "Jalur Feminis pada Pengaruh Sastra", mesti mencari jejak-jejak suara, pikiran, dan cerita para pendahulu perempuan dalam karya masing-masing, dan mencari tahu sebabnya apabila jejak itu tak ketemu. Saya senang mempelajari puisi-puisi Wislawa Szymborska, Gabriela Mistral, Emily Dickinson, Alejandra Pizarnik, dan banyak penyair perempuan lain. Kalau harus membuat daftar pengaruh atau rekomendasi dadakan, satu atau dua dari nama-nama itu bakal saya cantumkan di tiga besar. Namun, sebagai penulis cerita pendek dan esai, urusan serupa menjadi pelik. Selain Lydia Davis, mungkin semua penulis prosa yang saya anggap hebat dan hendak saya ikuti adalah laki-laki. Bagaimana dengan penulis perempuan Indonesia? Mungkin, saya bahkan tak bakal membaca Habis Gelap Terbitlah Terang seandainya tak kepepet. Pada 2013, Ubud Writers and Readers Festival menjadikan judul kumpulan surat Kartini itu sebagai tema pokok. Saya tidak pernah tahu mengapa panitia mendudukkan saya, bukan emerging writer lain, di samping Joost Cote, penerjemah dan pakar Kartini dari Monash University, Australia, dan Ayu Utami dalam diskusi berjudul Kartini's Letters. Panitia mungkin tidak menyangka bahwa saya bakal mempermalukan diri saya dan semua orang hanya beberapa menit setelah pidato pembuka festival oleh Goenawan Mohamad. Setelah membaca buku itu dalam sekali duduk, saya pikir surat-surat Kartini adalah sumbangan besar pertama Indonesia untuk Global Whining. "Siapa, sih, orang itu?" tanya Goenawan kepada Zunifah, teman seangkatan saya di kampus yang menjadi relawan festival dan kebetulan berdiri di sampingnya. Zunifah menceritakan itu selepas diskusi. "Keningnya berkerut dan jarinya nunjuk-nunjuk kamu, lho," katanya, lalu tertawa kencang sekali. Saya kabur sebelum bunyi-bunyian itu reda. Orang-orang mengatakan bahwa selera bacaan tak pernah murni. Ia bukan sekadar mengikuti pengetahuan dan pandangan si pembaca, melainkan juga membimbingnya. Ia berjalan di belakang sekaligus di depan. Dan ketika berjalan di depan pembaca, selera itu sebenarnya mengikuti jalur yang telah disiapkan pihak-pihak lain lewat, misalnya, kanonisasi dan politik kebudayaan. Jika tulisan- tulisan saya yang menampakkan kesempitan pandangan tentang perempuan merupakan akibat kekotoran saya sebagai pembaca, saya kira cara terbaik untuk mengubahnya ialah dengan memperluas bacaan, tanpa memedulikan arahan selera. Mudah saja, pikir saya beberapa bulan lalu, sewaktu mengambil dua novel tipis karya pengarang perempuan, Clarice Lispector dan Sayaka Murata, dari rak toko buku. Satu atau dua halaman, tidur, dan sampai sekarang saya belum beres membaca keduanya. Teman saya Sabda Armandio berkali-kali merekomendasikan, bahkan mau meminjamkan, novel Homegoing karya Yaa Gyasi. Tapi saban kami mengobrol, yang saya tanyakan cuma penyakit tukak lambungnya. Di sisi lain, buku-buku George Saunders dan Yuri Herrera yang saya beli belakangan malah rampung dalam sekali baca. Siasat berikutnya adalah membaca novel-novel grafis yang dibuat seniman dan penulis perempuan. Berhasil. Saya menikmati Anya's Ghost karya Vera Brosgol, This One Summer karya Mariko dan Jillian Tamaki, dan lain-lain. Memang sebagian besar merupakan kisah-kisah coming-of-age, yang cenderung mudah dibaca, tapi setidaknya saya jadi bisa menghibur diri: kesulitan membaca cerita-cerita perempuan pasti bisa terobati. Dan dua hari lalu, nenek saya dari pihak ibu, yang biasanya selalu kelihatan sibuk bekerja, bercerita tentang ayahnya. Saya pernah mendengar cerita sepotong-sepotong dari Ibu dan Bibi bahwa kakek buyut saya, namanya Tjhia Tjung, datang dari Taipei. Rupanya cerita itu keliru. Kata nenek saya, ayahnya berasal dari provinsi Guangdong di Cina Daratan, dan melarikan diri dari wajib militer--kemungkinan besar untuk Perang Cina-Jepang Kedua (1937-1945) atau Revolusi Komunis Cina (1945-1949). Dia tiba di Pulau Bangka dan memutuskan untuk beranak-pinak. Pada akhir 1950-an, Tjung sekeluarga hendak kembali ke Cina tetapi batal karena nenek buyut saya hamil dan takut melahirkan di kapal. Dan kapal tak pernah datang lagi. Setelah cerita singkat tentang keterampilan kungfu kakek buyut, pelan-pelan minat saya bergeser. Saya jadi lebih banyak bertanya tentang riwayat si juru cerita, nenek saya. Namanya Tjhia Jun Lan dan ia bilang ia disayangi ayahnya karena gesit mengerjakan apa saja, mulai dari menganyam pukat sampai mengangkut kayu-kayu untuk membangun rumah. Sementara itu, ibunya gila judi dan agak sedeng. Ketika Jun Lan berumur 16 tahun, ibunya, yang didorong cemburu buta, mengancam: "Kalau bukan dia, aku yang keluar dari rumah." Maka Jun Lan mengalah. Dia memulai hidupnya di kota asing, sebatang kara, sebagai pembantu rumah tangga yang cuma dibayar makanan. Kalau pekerjaan sudah beres, dia mencari uang tambahan dengan menjahit. Lama-kelamaan, koleksi keahliannya menumpuk: mengobras, memasak, membuat kue, memangkas rambut, memelihara segalanya. Dua tahun kemudian ia kawin dengan kakek saya, seorang Melayu, dan memilih untuk menjadi mualaf. Hubungannya dengan ayah dan ibunya putus. Namun, tentu saja tidak ada penderitaan terakhir. Kakek saya senang main perempuan dan, kata nenek saya, ia menanggung derita itu sendirian selama 17 tahun. "Mau cerita ke siapa? Adik-adikku paling cuma akan bilang, 'siapa suruh kawin sama Melayu?'" katanya. "Jadilah aku menangis sambil menguleni adonan kue. Entah sudah berapa banyak orang yang makan air mataku," katanya. Kapan-kapan, saya ingin menceritakan kisah hidupnya secara lebih rinci. Namun, kembali ke urusan jejak suara, cerita, dan pikiran perempuan, kini saya punya satu riwayat yang bakal saya dekap erat-erat sampai kapan pun. Lisan saja, tapi berapa banyak di antara kita yang mula-mula berminat kepada cerita berkat kelisanan? Berkat kisah ini, yang bekasnya pada saya tak kalah dalam ketimbang The Old Man and the Sea, misalnya, saya merasa mendapat tambahan rasa percaya diri untuk mendengarkan lebih banyak cerita dan pikiran perempuan, untuk membaca buku-buku mereka, meski mungkin tetap tak mudah. Menghormati seseorang, saya kira, mencakup keinginan untuk mendengarkannya, mengetahui pendapat-pendapatnya, mempertimbangkan perasaannya, dan seterusnya, dan seterusnya. Bukan sekadar tak berbuat jahat kepadanya. "Tapi," kata Nadya Noor, yang pertama membaca rancangan tulisan ini, "kenapa kamu merasa harus menghormati perempuan?" Bukan agar lebih memahami perempuan, juga bukan supaya bisa menulis lebih baik tentang mereka. Itu jelas tak masuk akal, sebab perempuan bukan sekadar konsep atau cangkir di atas meja, yang kedudukannya tetap dan tinggal diraih. Setiap orang adalah pribadi, bukan setumpuk kopi yang identik dari selembar kertas. "Atau, masak cuma untuk memenuhi harapan dalam namamu?" Saya mengatakan sesuatu kepadanya, yang tak hendak saya tuliskan di sini. Tetapi tentu saja bukan perkara nama. Lagi pula, seperti kata Juliet Capulet dalam lakon Shakespeare yang judulnya diketahui semua orang: apa, sih, arti sebuah nama? Asal-usul Penderitaan
Author : Dea Anugrah
July 15th, 2019 Beberapa jam setelah tulisan pertama saya untuk Asumsi terbit, saya menerima pesan WhatsApp dari Zen RS. Katanya, kalau saya berhasil menulis kolom mingguan selama setahun tanpa ada yang terlewat, dia bakal membelikan sesuatu. Sesuatu, kata yang dipilihnya, mungkin saja berarti obat nyamuk bakar, maka saya tak merasa terbebani. Yang mengganggu pikiran saya adalah kalimat berikutnya. "Aku pernah dikoyak-koyak deadline seminggu satu tulisan," kata Zen. Kesempatan memperoleh obat nyamuk bakar itu menguap pada pekan kedelapan alias dua minggu lalu. Saya berada di Luwuk, sebuah kota kecil yang indah di ujung timur Sulawesi, untuk mengoceh tentang kepenulisan di depan banyak orang, tetapi benar-benar tidak tahu harus menulis apa untuk ruang yang dipercayakan sepenuhnya kepada saya. Sehari, dua hari--kembali ke Jakarta-- seminggu... beban makin menumpuk, saya tetap tak kuasa. Hari ini, pekan kesepuluh, ada tiga draf tulisan terbuka di layar dan semuanya mampat. Langit makin terang dan pandangan makin buram. Segenap tulang, otot, dan saraf pada jari-jari kita sudah lebih dari cukup untuk menulis apa saja, kata Wislawa Szymborska dalam sebuah puisinya. Saya pernah mengutip kata-kata itu, dengan kepercayaan diri berlimpah, untuk menjawab pertanyaan tentang writer's block dalam sebuah wawancara. "Seperti dosa," kata saya waktu itu, "ia hanya ada kalau kita memikirkannya." Tak ada yang berubah dalam cara saya bekerja. Setiap tulisan berangkat dari ikhtisar. Saya memecah pokok pembicaraan menjadi balok-balok kecil, membayangkan pilar dan kamar, lalu mengatur penempatan setiap balok agar kelak ia menjadi bangunan yang kokoh, molek, sekaligus nyaman. Saya mengawali rancangan tulisan yang pertama, tentang kekuatan cerita, lewat sebuah peribahasa populer "satu gambar bernilai setara seribu kata." Kita sering mendengar bahwa kata-kata itu berasal dari Konfusius, atau siapalah orang bijak lain dari Cina Kuno, kan? Saya mengira atribusi itu wajar, sebab memang ungkapan tersebut terasa antik: ia ringkas, gampang dipahami, dan menggunakan kata "seribu" semau-maunya--seperti Lawang Sewu, Candi Sewu, dan lagu Didi Kempot "Sewu Kuto." Rupanya, menurut Burton Stevenson dalam buku The Home Book of Proverbs, Maxims, and Familiar Phrases, ungkapan itu mula-mula digunakan sebagai trik pemasaran iklan bergambar pada awal abad ke-20, tak lama setelah kamera- kamera murah menyerbu pasar dan fotografi jadi bisa diakses semua orang. Sampai di situ uraian mandek karena saya tak kunjung menemukan cara yang pas untuk mengaitkannya dengan pokok pembicaraan. Untuk tulisan kedua, tentang kesempatan para penulis mendapat penghasilan dari luar industri buku, saya benar-benar menjumput bahan dari Cina Kuno, tepatnya dari abad ke-3 SM: Perdana Menteri Lü Buwei dari kerajaan Qin menghimpun ribuan sarjana untuk menuliskan kitab berisi "segala urusan Langit dan Bumi, hal-hal tak tepermanai, masa lalu dan kini" alias semacam kombo maut buku RPUL, pengantar ilmu pemerintahan, dan astrologi. Hasil proyek ambisius itu sewajarnya sempurna. Dan buat membuktikannya, Perdana Menteri Lü menawarkan seribu keping emas kepada siapa pun yang sanggup menyunting Lüsi Chunqiu, meski hanya menambahkan atau mengurangi satu huruf. Untuk menciptakan kontras, saya iseng-iseng menghitung waktu yang diperlukan teman saya Safar Banggai buat mengumpulkan seribu keping emas dengan pekerjaannya sebagai editor lepas di Yogyakarta. Begitu hasilnya keluar, yaitu 308 tahun saja, segenap rancangan yang terpacak dalam kepala saya roboh. Mungkin Safar membuat saya jadi agak putus asa, tetapi mungkin juga tak ada hubungan apa-apa di antara keduanya. Satu-satunya yang terang ialah saya tak sanggup meneruskan cerita. Kebuntuan demi kebuntuan itu membuat saya merasa gagal sebagai penulis. Namun, seperti mata yang dapat membedakan terang dari gelap, menyadari kegagalan berarti menyadari pula bahwa di sisi yang berlawanan, di seberang sana, ada keberhasilan. Keberhasilan, kata orang, ialah kesanggupan memenuhi tujuan. Tetapi apa, sih, tujuan orang menulis? Saya senang membayangkan bahwa saya menulis untuk meneruskan kebaikan buku-buku yang pernah saya baca. Ada harapan kelak, entah di mana, tulisan- tulisan saya menyentuh seseorang dan mengubah caranya memandang dunia, sebagaimana novel-novel Hemingway dan Camus, misalnya, pernah menyadarkan saya bahwa dalam hidup ini orang harus bertahan meski tahu pada akhirnya akan kalah. Namun, kalau benar-benar menginginkan hal itu, semestinya saya lebih giat mencari pembaca, sebanyak-banyaknya. Beberapa teman penulis menyarankan agar saya mencari penerjemah, mengirimkan karya ke media-media berbahasa asing, dan seterusnya, dan seterusnya. Saya tak berminat menjalani urusan- urusan itu karena tahu tak bakal menderita seandainya harapan itu tidak terwujud. Ada banyak sekali buku hebat di dunia ini, dan kalau itu tak cukup untuk menyentuh dan mengubah cara orang memandang dunia, atas dasar apa saya merasa dapat memperbaiki keadaan? Lagi pula, kata Schopenhauer dalam "The Art of Being Right", kalau seseorang menyadari bahwa pendapatnya berbeda dari orang lain, hal pertama yang ia lakukan bukanlah mencari kesalahan dalam proses berpikirnya sendiri, melainkan menganggap lawan bicaranya keliru. Sebaliknya, kalau menemukan pandangan yang sejalan dengan miliknya, meski melenceng, orang akan dengan senang hati turut memeluknya. "Pada dasarnya," kata Schopenhauer, "kita ini keras kepala." Tetapi dia, juga saya, percaya bahwa orang dapat berubah. Jika Schopenhauer yakin bahwa filsafat membukakan jalan bagi belas kasih, dan belas kasih melahirkan penerimaan, saya percaya bahwa hasil yang sama dapat dilahirkan oleh tulisan- tulisan yang baik. Tetapi tulisan tak sepatutnya dibuat dengan tujuan mengubah orang. Saya baru menyadari bahwa itulah sumber penderitaan saya dalam tiga pekan belakangan. Kelewat ingin menyampaikan bermacam-macam urusan, saya lupa bahwa aturan utama dalam menulis bukanlah menanamkan ide di kepala orang. Kata George Saunders, yang tulisan-tulisannya senantiasa penuh empati dan memancarkan harapan dalam situasi segelap apa pun, selagi menulis dia cuma berpikir untuk mengurangi keburukan tulisannya. Kalau ada kalimat sembrono, ia membuatnya lebih kaya. Kalau ada karakter yang terkesan cuma seperti setan, ia memberinya kepribadian dan latar belakang. Begitu terus, kata Saunders, sampai alat ukur imajiner dalam kepalanya menunjukkan bahwa ia sudah menulis sebaik yang ia bisa. Bukan kali ini saja kata-kata Saunders menyentuh dan mengubah cara berpikir saya. Kalau suatu hari nanti kami bertemu, saya hendak mengucapkan terima kasih dan memberinya oleh-oleh, tapi tentu bukan obat nyamuk bakar. Lahir seorang Rich Brian, Tenggelam Beratus Ribu
July 23th, 2019
Rich Brian menyebut "Kids" lagu istimewa saat mengumumkan peluncurannya lewat Twitter. Tak bisa lain, memang. Musiknya sedap, boom bap dengan cita rasa kiwari, dan sang MC bukan lagi badut dalam "Dat $tick" atau pecundang dalam "History." Kali ini Brian berbicara tentang diri yang gagah sekaligus rawan, yang siap menaklukkan dunia tetapi penuh hormat terhadap segala yang menaunginya: keluarga, kultur hip hop, Indonesia, Asia, dan tradisi diaspora. Kedalaman membuat lagu ini terasa tulus, dan ketulusan itu menggugah. "Fuck bein' one of the greatest, I'm tryna be the greatest one," ujarnya. Dan pada baris lain, dia mengatakan: "Everyone can make it, don't matter where you're from." Sebagaimana Presiden Jokowi yang tersenyum kebapakan saat lagu itu diputarkan untuknya di istana, saya tentu berharap cita-cita Brian terwujud. Saya juga senang membayangkan bahwa pencapaian demi pencapaiannya menyalakan api dalam diri orang-orang lain. Namun, pada saat yang sama, hasrat Brian yang meluap-luap terhadap kesuksesan dalam "Kids" mengingatkan saya kepada sebuah perkara sedih. "Umur kita hampir 30 tahun, dan aku belum jadi apa-apa," kata seorang teman baik saya suatu kali. "Such a failure." "Memangnya situ mau jadi apa, Bung?" tanya saya. "Setidaknya di umur 30 sudah bikin album musik atau apalah," katanya. Pengantar daftar tahunan "30 Under 30" Forbes pada 2014 menyatakan bahwa anak-anak muda masa kini beruntung, sebab dunia digital yang dinamis memungkinkan kita untuk langsung menguber tujuan-tujuan besar tanpa berlama-lama mematangkan diri seperti angkatan terdahulu. Namun, yang tak dikatakan catatan tersebut, kesempatan menggapai cita-cita yang terbuka lebar hadir bersama tuntutan semena-mena: sukses dalam tempo sesingkat- singkatnya. Usia 30, seperti yang dikhawatirkan teman saya, memang telah jadi semacam simpang di mana orang-orang sukses dan gagal berpisah. Menurut Paul Graham, seorang venture capitalist ternama, para pendiri perusahaan yang berusia di atas 32 tahun cenderung lebih sulit mendapatkan pendanaan. Kita, ujar Chairil Anwar dalam puisinya "Catetan Th. 1946," bagai anjing diburu. Dan hari-hari ini, lebih dari 70 tahun kemudian, sama saja. Teman saya tentu bukan satu-satunya yang cemas mendapati bahwa hidupnya tak sesuai dengan naratif kesuksesan. Padahal, tak peduli seberapa erat kita memeluk keyakinan bahwa setiap orang punya kesempatan yang sama, kesuksesan, lebih-lebih di usia muda, menuntut bakat, akses, daya tahan, ambisi, dan mungkin hal-hal lain lagi. Tentu sedikit saja orang yang memiliki semuanya. "Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu," kata Chairil dalam puisi yang sama. "Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat." Jika si besar hari-hari ini adalah orang yang memenuhi tuntutan kesuksesan, katakanlah seperti Rich Brian, tempat macam apa yang patut diberikan kepada mereka yang tenggelam? Saya berharap kita bisa lebih relaks. Orang yang belum jadi apa-apa saat berumur 30 tahun mungkin saja mekar di kemudian hari, seperti Paul Cézanne atau Mark Twain. Dan yang terpenting, saya kira, kita mesti bertanya: kenapa, sih, orang harus sukses? "Masyarakat kita tak pernah puas menelan cerita-cerita tentang kekayaan dan kesuksesan," kata Paul Dolan, Kepala Departemen Psychological and Behavioural Science di London School of Economics. "Tanpa keduanya, kita gelisah dan menderita." Naratif-naratif sosial itu memandu hidup kita, menyediakan jalan. Namun, ujung- ujungnya, "lebih dari ingin memastikan diri selalu berada di jalan itu, kita bahkan memarahi orang-orang yang melenceng," kata Dolan. Di titik inilah pikiran kita terperangkap: hanya ada satu cara. Hanya dengan berpikir demikian kita menganggap yang tak sukses, yang tak menjadi apa-apa, sebagai kesia-siaan. Kita terbiasa mengira akan semakin bahagia bila semakin banyak harta dan kesuksesan bertumpuk, bila terus-terusan meraih lebih. Padahal, sebagaimana ditunjukkan riset American Time Use Survey (ATUS), orang-orang berpenghasilan di atas US$100 ribu tak lebih bahagia ketimbang yang mendapat kurang dari US$25 ribu. Bahkan, orang-orang dari kelompok berpenghasilan paling tinggi justru paling sering mengaku merasa hidupnya hampa. Menurut Penelitian City & Guilds pada 2012, 87% floris dan tukang kebun di Inggris merasa bahagia. Jumlah itu jauh lebih tinggi ketimbang bankir (44%) dan pengacara (64%), sekalipun kelompok profesi yang terakhir jelas lebih makmur. Orang-orang yang berbahagia, saya kira, mengerti bahwa kesuksesan bukanlah harga mati. Kalau ada kesempatan, saya ingin mengatakan kepada teman saya bahwa tak peduli sukses atau tidak, menjadi besar atau tidak, dia tetaplah salah satu orang paling menyenangkan yang saya kenal. Dan atas dasar itu saja, hidupnya patut dirayakan. "Jauh di dasar jiwamu bertampuk suatu dunia," kata Chairil dalam sebuah puisi untuk sahabatnya, penyair LK Bohang. Dan pada baris lain, ia memuji sepenuh hati, "Duka juga menengadah melihat gayamu melangkah." Tak ada satu pun karya Bohang yang saya ingat. Mungkin karena memang tak ada yang istimewa. Bagi saya, ia cuma satu dari ribuan nama yang tenggelam dalam sejarah sastra Indonesia, tetapi Chairil Anwar merayakannya. Di Balik #AsumsiDistrik: Mengurai Manggarai Sejauh yang saya ingat, kakek saya selalu tinggal di Kampung Katak, sebuah kampung kota di belakang Jalan Sudirman, Pangkal Pinang. Rumahnya sesak dan bobrok dan berimpitan dengan bangunan-bangunan lain. Beberapa tahun sebelum meninggal dunia, dia pindah ke rumah yang lebih patut di lingkungan yang sama. Gang-gang di sana sempit, apak, gelap, dan umumnya tergenang air buangan rumah tangga. Kakek saya beruntung karena jalan menuju rumahnya dilengkapi pelimbahan, dan saya senantiasa berhati-hati agar tak menginjak terali penutup lubang tersebut. Bukan soal merawat fasilitas umum, cuma tak mau belepotan tahi anak tetangga. Tak jauh dari rumah kakek saya, sepanjang jalan utama kampung, ada selokan mati selebar lima meter. Airnya meluap saban hujan deras. Kalau cuaca cerah dan hari sudah malam, kadang ada orang dewasa berjongkok di atas pipa besar yang melintang di atasnya—tentu buat berak juga. Kata ibu saya, dia pernah tercebur ke selokan itu saat belajar mengendarai sepeda. Di Yogyakarta, saya dan dua kawan baik tinggal di tepi Kali Winongo, Kricak Lor, selama setahun. Menurut kami rumah itu bagus dan sewanya terjangkau. Meskipun beberapa teman asli Yogya mengingatkan supaya kami selalu waspada (“Banyak gentho dan maling,” kata salah seorang di antara mereka), saya pikir kehidupan di Kricak wajar-wajar saja. Sesekali memang saya terbangun tengah malam, dikejutkan oleh bunyi slopok- slopok dari rumah tetangga, lalu memindahkan bantak ke ujung lain kasur sambil menggerutu. Tapi itu bukan masalah. Pengalaman paling menjengkelkan buat saya justru datang dari luar kampung: suatu hari rumah kami disemprot racun serangga pagi-pagi, tanpa pemberitahuan, atas nama pemberantasan demam berdarah. Kota yang saya tempati selama hampir enam tahun belakangan, Jakarta, jelas menyembunyikan banyak sekali kampung kota di belakang jalan-jalan besar, pencakar langit, dan pusat-pusat perbelanjaannya. Menurut catatan Badan Pertanahan Nasional dan Bank Dunia, hampir 49% wilayah Jakarta, 118 dari 267 kelurahannya, memiliki pemukiman kumuh, termasuk Kelurahan Bangka tempat saya tinggal dan bekerja sekarang. Namun, terus terang saja, saya tak pernah memikirkan perkara tersebut hingga setahun terakhir. Saya bahkan tak mengingat-ngingat Kampung Katak sejak kakek saya wafat, dan baru tadi malam mengetahui Kricak masuk daftar prioritas program pengentasan kekumuhan. Dengan kata lain, terlepas dari kedekatan fisik yang pernah dan sedang saya alami dengan kampung-kampung kota beserta para penghuninya, pikiran saya selalu berjarak dari mereka. Dan jarak itu pernah mengelabui pikiran saya. Pada 2017, ketika jaringan pendukung salah satu pasangan calon gubernur Jakarta mengeksploitasi kecemasan dan penderitaan orang-orang di perkampungan kota, yang mula-mula saya lihat hanya rasisme gila-gilaan. Maka berbuih-buihlah mulut saya mengucapkan kata toleransi. Mencuplik contoh dari sana-sini, termasuk kampung halaman saya—di mana masyarakat yang heterogen hidup secara harmonis—saya bertingkah seolah-olah paling mengerti apa artinya menjadi beradab. Kalau saat itu ada yang mengatakan kaum miskin kota bodoh dan gampang dihasut, saya mengangguk. Ketika ada yang marah-marah, menuduh mereka telah mengkhianati pemimpin serbamulia yang muncul hanya sekali dalam 348 tahun, saya jadi ikut sebal dan kecewa. Itulah pikiran yang tak adil. Bagaimana mungkin seseorang beradab tanpa terlebih dahulu berusaha menjadi manusia yang seadil-adilnya?