Anda di halaman 1dari 186

DAFTAR ISI

KURIKULUM KEMBALI KE ASAL (2)


Dedi Mulyadi

BIKSU TAK BERJUBAH


Mohamad Sobary

IBU MEMBENTUK MENTAL BANGSA


Anna Muawanah

10

(PROSES) TRANSFORMASI MENTAL


Mudji Sutrisno

13

MEMBANGUN DESA MANDIRI


Herry Firdaus

15

MISTERI ORANG MAJUS


Daud Sihombing

19

MENGEMBALIKAN TERANG YANG SEJATI


Benny Susetyo

22

NATAL, MILAD, DAN HARLAH


Komaruddin Hidayat

25

BELOKAN PLURALISME GUS DUR


Moh Mahfud MD

28

SEPULUH TAHUN TSUNAMI: KAMI AKAN SELALU


MENGENANGNYA
Moazzam Malik

31

MENANTI GEBRAKAN RISET PERGURUAN TINGGI


Rakhmat Hidayat

33

MANUSIA MODERN (1)


Sarlito Wirawan Sarwono

37

TAMBAH PUSING OLEH MIRAS OPLOSAN


Dedi Mulyadi

40

TAHUN BARU TANPA HARAPAN


Mohamad Sobary

44

DUNIA PENERBANG
Dibyo Dwiatmodjo

47

KECELAKAAN PESAWAT DAN VISI SELAMAT


Abdul Rohim Tualeka

50

AIRASIA DAN KERJASAMA INTERNASIONAL


Dinna Wisnu

53

JURNALISME KEMASAN TANPA PERASAAN


Gun Gun Heryanto

56

RESPONS KITA PASCABENCANA


Reza Indragiri Amriel

59

PENDIDIKAN JIWA MENURUT RASULULLAH


Ilham Kadir

62

MANUSIA MODERN (2): TAKHAYUL


Sarlito Wirawan Sarwono

66

TAHUN BARUAN: TRADISI DAN LARANGAN


Dedi Mulyadi

69

KEWALIAN DAN GUS DURIAN


Mohamad Sobary

73

MERAWAT RUMAH HUKUM


Sudjito

76

TANGGUNG JAWAB BBM MURAH


Dinna Wisnu

79

PERINGKAT PTN KITA


Ali Khomsan

82

MUHAMMAD: NABI DAN NEGARAWAN


Faisal Ismail

85

JK PUNYA CERITA
Komaruddin Hidayat

89

DI BALIK TRAGEDI CHARLIE HEBDO


Rakhmat Hidayat

92

PAPUA BUTUH KEBERPIHAKAN


Ivan Hadar

96

MANUSIA MODERN (3): WAKTU


Sarlito Wirawan Sarwono

99

AKU NAIK KAU NAIK, AKU TURUN KAU TAK MAU TURUN
Dedi Mulyadi

102

CHARLIE HEBDO, EKSTREM KANAN, DAN VATIKAN


Tom Saptaatmaja

106

REKONSTRUKSI PEMBANGUNAN DESA


Ahmad Erani Yustika

109

PARA KEKASIH PUJAAN MEDIA


Mohamad Sobary

112

SATIR VERSUS TEROR


Ivan Hadar

115

JERMAN, XENOPHOBIA, DAN PEGIDA


Dinna Wisnu

118

CHARLIE HEBDO DAN KEGAGALAN MULTIKULTURALISME


Abdul Muti

121

DARIPADA KE AUSSIE LEBIH BAIK KE BEKASI


Rhenald Kasali

124

SALUT, CAPT!
Reza Indragiri Amriel

128

PENDIDIKAN TINGGI BERKUALITAS


Muhammad Dai

131

PENDIDIKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN


Biyanto

135

MANUSIA MODERN (4/TERAKHIR): HAK DAN KEWAJIBAN


Sarlito Wirawan Sarwono

138

NYIMPEN UANG DI KUTANG LEBIH AMAN DARIPADA DI BANK


Dedi Mulyadi

141

PERSAHABATAN UNTUK PERDAMAIAN


Mohamad Sobary

144

STOP DEFORESTASI
Ali Masykur Musa

147

HUKUMAN MATI
Rhenald Kasali

150

THE MAN WHO NEVER MEET STRANGERS


Zainal Abidin

153

MENJEJAK PERJUANGAN KHALID IBN WALID


Mahfud MD

156

Kurikulum Kembali ke Asal (2)

Koran SINDO

22 Desember 2014

Pendidikan harus mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mampu melihat seluruh tuntunan
perilaku hidup yang meliputi penglihatan pada ruang keluarga, pada ruang masyarakat, dan
pada ruang alam.
Harus jujur, kita akui seluruh ruang itu kini mengalami penyempitan. Media massa, media
elektronik, dan media sosial kini tumbuh menjadi kekuatan yang sangat memengaruhi
karakter anak-anak kita. Ruang yang begitu bebas dan terbuka telah menyeret anak-anak kita
pada sudut kesempitan berpikir, sehingga lahir berbagai tindak yang abnormal yang kini
dilakukan anak-anak usia remaja.
Kurikulum tidak mesti mengatur pada hal-hal bersifat teknis, karena sepandai-pandainya
seseorang yang memiliki kepakaran dalam bidang pendidikan tidak akan mungkin dia
memahami seluruh kebutuhan anak Indonesia yang tersebar luas dan memiliki keragaman
kualifikasi personal dan komunal.
Anak-anak perkotaan hidup di belantara tiang beton, bersemayam di rumah tanpa jendela,
berlari di gang-gang sempit, berenang di sungai yang hitam dan pekat. Hidup di antara bising
kendaraan, sisi penat sebuah kehidupan tiada hari tanpa kemacetan dan makanan yang harus
diperoleh di tengah-tengah himpitan hidup yang semakin kejam.
Di sisi lain ada yang hidup dalam rimba riang kemudahan, air yang mengalir jernih dari sudut
kamar mandi yang mengkilap, berlari dari pintu ke pintu perumahan mewah yang terhampar
taman yang tertata dan asri, makanan yang siap tersaji di meja makan. Ada pula anak-anak
perdesaan yang hidup di antara belantara alam yang luas, sungai yang mengalir jernih, sawah
yang terbentang tanpa batas, gunung yang tinggi menjulang dirimbuni pepohonan, setiap hari
bercengkerama dengan ayam, domba, sapi, kuda, dan kerbau.
Kurikulum semestinya memberikan panduan untuk membangun kesempurnaan diri mereka
agar mampu beradaptasi dan melakukan perubahan pada lingkungan yang mengurungnya.
Anak-anak di perkotaan dididik untuk melakukan perubahan terhadap lingkungan yang tidak
tertata, belajar membuat biopori, mengelola sampah organik dan anorganik, berangkat ke
4

sekolah dengan bersepeda atau berjalan kaki, menjernihkan air yang kotor, belajar hidup
menabung dan hidup berbagi terhadap sesama, serta berbagai pembelajaran lain yang
membangun kekukuhan hidup secara personal dan kekokohan hidup secara komunal.
Kekukuhan tersebut akan mampu melahirkan manusia yang memiliki jati diri dan daya saing
di tengah persaingan hidup yang semakin berat, kompetisi yang melahirkan kepenatan
berpikir dan gelombang manusia frustrasi karena kehilangan kendali diri dan kendali
ekologi.
Anak-anak perdesaan dididik untuk memahami peta dunia, melakukan pengelolaan alam
secara paripurna tanpa harus melakukan perusakan terhadap seluruh tata nilai budaya yang
menjadi warisan leluhurnya. Mereka harus diberikan sebuah keyakinan akan keberadaban
ajaran leluhur Nusantara tanpa harus inferior terhadap ajaran impor.

Aku bangga menjadi anak Papua, aku adalah Papua, aku adalah Aceh, aku adalah Sunda, aku
adalah Jawa, aku adalah Bugis, aku adalah Minang, aku adalah Batak, aku adalah Betawi,
aku adalah Bali, akulah Indonesia yang sebenarnya. Mereka akan tumbuh menjadi para
diplomat budaya yang berdiri tegak dan kukuh di tengah-tengah percaturan dunia.
Karakter itulah yang menjadi dambaan kita semua. Dari keakuan itulah akan lahir kreativitas,
diplomasi tanpa harus melakukan kekerasan, dan marketing perdesaan tanpa harus perusakan
lingkungan yang mampu mengadvokasi kearifan budaya dari berbagai intervensi dan
penghancuran atas nama modernisasi, kemapanan, dan peradaban baru yang semu.
Konsepsi pendidikan tersebut harus terpetakan secara menyeluruh di seluruh lapisan
pendidikan Nusantara sehingga pola pembelajaran yang diajarkan adaptif terhadap
lingkungan. Guru-guru harus tumbuh menjadi inspirator bagi para muridnya, menjadikan
lingkungan sebagai laboratorium terbuka untuk mengadakan pengayaan dan penghayatan
terhadap pengetahuan anak didiknya.
Pola rekrutmen guru harus memperhatikan ketersediaan tenaga yang berasal dari lingkungan
tidak hanya mesti didasarkan pada standar formal, tetapi juga harus mencoba membaca
aspek-aspek informal kekuatan guru. Pola rekrutmen yang tidak didasarkan pada aspek
wilayah, telah melahirkan kesenjangan ketersediaan guru di sebuah wilayah. Awalnya Aku
bersumpah bahwa aku bersedia ditempatkan di mana pun ketika aku diangkat menjadi
pegawai negeri sipil, tetapi setelah itu kelas-kelas menjadi sepi karena ditinggal oleh
gurunya yang kembali ke kampung halamannya.

Hal seperti itu memang tidak terjadi pada semua guru, masih banyak guru-guru yang mau
bertahan di tempat-tempat yang disebut daerah istimewa. Saya menyebutnya daerah

istimewa, bukan daerah terpencil karena daerah terpencil itu sebenarnya memiliki berbagai
keistimewaan. Istimewa bahasa masyarakatnya, istimewa makanannya, istimewa pakaiannya,
istimewa tata bahasanya, istimewa alamnya. Keistimewaan tersebut adalah cermin kekayaan
alam Indonesia yang masih orisinal milik negeri kita sendiri, belum tergadaikan dan belum
dibeli oleh bangsa lain.
Orisinalitas ini adalah kekayaan Indonesia yang sebenarnya karena kota dan pusat peradaban
semu sudah bukan lagi milik kita. Hotel-hotel berbintang yang tinggi menjulang, tumpukan
uang yang ada di berbagai perbankan, lalu lintas telekomunikasi yang kita nikmati, media
sosial yang kita gandrungi, sebenarnya punya siapa? Rambut berwarna yang mereka pakai,
sebenarnya rambut siapa... rambut, rambut siapa ini... begitulah kata Teh Evi Tamala.
Apabila kurikulum dibuat dalam kerangka general dan diterjemahkan secara efektif dan
objektif oleh para pelaksana pendidikan yang kultur dan menyeluruh, maka kurikulum tidak
ada kalimat tahunan. Dia akan menjadi kekuatan yang tumbuh membingkai keanekaragaman
Indonesia.

Persoalan dihentikannya pelaksanaan Kurikulum 2013 menimbulkan pertanyaan yang cukup


mendalam, kenapa sebuah kebijakan yang menyangkut keberlangsungan keberadaban sebuah
bangsa menjadi kebijakan yang tidak mencerminkan kematangan dalam berpikir dan
kecerdasan dalam bertindak. Sudah berapa besar uang yang dibelanjakan untuk membeli
buku, berapa besar uang yang dibelanjakan untuk membeli iklan, sosialisasi, pelatihan, dan
sistem yang dibangun? Angka-angka tersebut kini menjadi angka-angka tanpa makna dan
terbuang percuma di tengah-tengah negeri yang sibuk melakukan efisiensi.
Ketika sekarang memutuskan kembali ke Kurikulum 2006, mengapa dulu membuat
Kurikulum 2013? Kalau kata Meggi Z....Kau yang nyalakan, engkau juga yang padamkan...
Guru dan murid adalah manusia yang memiliki rasa, bukan tumpukan kertas atau barang
tanpa makna. Tidak beradab rasanya menempatkan mereka sebagai bagian dari percobaan
estimasi berpikir sempit yang dilakukan oleh para pakar pendidikan. Maka bergemuruhlah
berbagai pertanyaan, sebagaimana ceuk Mang Udin urang lembur, Bapa, apanan nu ganti
mah ukur menteri jeung ngaran departemenna wungkul, ari anak buahna mah apanan
henteu ganti? (Kata Mang Udin yang orang kampung, Bapak, kan yang berganti hanya
menteri dan nama departemennya. Anak buahnya kan tidak diganti?), artinya bahwa yang
menyusun dan menghentikan Kurikulum 2013 adalah orang dan lembaga yang sama.
Kemudian, saya berujar pada Mang Udin, sudahlah, tidak usah ribut, karena semua peristiwa
ini sudah ada dalam catatan peristiwa pengembaraan Bang Haji Rhoma Irama: Kurikulum
2013... kau yang mulai, kau yang mengakhiri.

DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta

Biksu Tak Berjubah

Koran SINDO

23 Desember 2014

Sitor pernah muda. Dan seperti anak muda pada umumnya dia punya ambisi besar.
Taklukkan Kota Paris / mimpiku dulu / angan-angan muda: menggetarkan langit!

Tapi dia tahu, impiannya dianggap sepi. Dan langit sama sekali tak tergetar. Dia berkata
dengan datar, mungkin malu, mungkin heran, mungkin kecewa: Tapi langit bisu saja.
Langit menganggap tak penting kehadiran Sitor di dunia ini?

Ini bait pertama puisinya, yang berjudul Biksu Tak Berjubah, yang kemudian menjadi judul
buku kumpulan puisinya yang diterbitkan Komunitas Bambu pada 2004, sepuluh tahun lalu,
ketika Sitor berusia 81 tahun.
Penyair dari Danau Toba, yang tangkas sekali berdebat ini lahir pada 2 Oktober 1924. Kini
dia pergi untuk takkan kembali pada usia 91 tahun lebih dua bulan. Dia pergi seperti begitu
saja, dan kita tak bisa menemuinya lagi.

Kita pun tak akan lagi mendengar dia membaca puisinya dengan nada yang begitu khas:
bergumam pelan, tapi tekanan-tekanan suaranya, pilihan-pilihan nadanya, untuk segi-segi
penting dalam kandungan puisinya sangatlah Sitor. Penyair lain tidak begitu.

Tiap membaca puisi, Sitor tidak berdeklamasi, sebagaimana diajarkan guru-guru di sekolah,
dengan acting, dengan mimik yang dipas-paskan dengan nada, dan semangat dalam puisi,
tapi tidak pernah pas. Sitor membaca puisi seperti kakek membacakan cerita pada cucunya.
Gumam dibuat jelas, semangat diberi tekanan suara dari dalam jiwanya. Dan bacaan berakhir
seperti film Eropa yang bersifat anti-hero. Berakhir duka, atau suka, bertanya, atau
menjelaskan, bagi Sitor sama saja. Pendek kata, Sitor membaca puisi seperti gaya dia
membaca kitab suci.
Sabda, berupa perintah, atau larangan, atau sejarah, dibaca dengan nada sama, tapi getaran
jiwanya berbeda, seperti ketika berkata: Tapi langit bisu saja di atas. Kemudian
disambungnya: Paris pun jadi tua / aku dewasa.

Sejarah tak berarti guncangan, dan bukan pula kegetiran. Dalam dewasanya itu dia pasrah,
tanpa kecewa, tanpa protes. Dengan kepasrahan seperti biksu tua / berkemas / masuk biara
mati raga.
Di sini, kita tidak tahu mengapa, menjelang titik puncak kematangan rohaniah, dengan
kepasrahan totalnya, tiba-tiba Sitor mementahkan diri. Kelihatannya dia tidak tuntas
memasuki dunia rohani. Cintanya tampak dalam imajinasinya pada tanah air, Nusantara,
ditonjolkan secara naif, di saat seharusnya dia bicara tentang kesejatian cinta, seperti
layaknya seorang biksu, tanpa jubah..., karena jubahnya berupa cinta.
Tapi mengapa jubah Sitor berupa cinta--yang bukan wujud kesejatiannya, melainkan pada
benda, pada rupa: Nusantara--? Apa perlunya Nusantara, tanah air, di saat kita sudah
berhadapan dengan apa yang lebih sejati, yang tak lagi perlu diuji, karena dia kebenaran
tertinggi?

Biksu tanpa jubah, yang dalam situasi meditatif tertinggi, ketika ada suara tak didengar, ada
bau tak dihirup, ada rupa tak dilihat, dan kita hanya terpesona pada SATU esensi, yang
tertinggi, mengapa kita balik ke bumi, dan sibuk mengurus Nusantara, yang dalam konteks
rohaniah itu tak penting, tak menarik sama sekali, dan tak relevan? Ah, biarlah, Sitor yang
tahu jawabnya.
Dia, yang kini dalam perjalanan pulang, biarlah berjalan lempang, ke rumah sejatinya,

dan semoga dia lupakan Nusantara, supaya jalannya tak usah membelok-belok. Ya, tapi
bagaimana bisa kita mencelanya?
Betul, saya memang tak pernah meragukan cintanya pada tanah air. Dia ini seorang nasionalis
bukan karena warna partainya, bukan karena aliran politiknya, melainkan karena jiwanya
yang utuh, penuh, cinta pada tanah air itu. Tak mengherankan, dalam batas dunia ini dan
dunia sana, yang dia ingat Nusantara.
Pernah dia mau menginap di rumah saya. Kamar sudah saya siapkan beberapa lama
sebelumnya, tapi mendadak dia membatalkan lewat seorang teman. Dia bilang: Katakan
pada Sobary, buat orang seusia saya, cinta tanah air ternyata bisa dikalahkan oleh cinta pada
istri. Itu kurang dari sepuluh tahun lalu, ketika istrinya, Ibu Barbara, sakit. Dan saya
memahaminya.
Istri sakit pun diperhadapkan pada persoalan cinta tanah air. Kita tahu, atau merasakan, dia
menjerit ketika cinta tanah air itu dikalahkan oleh cinta pada istri. Kalau watak nasionalis
itu hanya gincu, dan sejenis wedhak pupur niscaya peduli apa tiap saat bicara tanah air?
Sitor merantau jauh. Tapi hatinya di tanah Batak, di Toba tercinta. Seekor burung boleh
terbang tinggi. Tapi dia mana dia hinggap bila bukan di kubangan? Dan apa kubangan di sini,
bila bukan sekeping tanah, tempat ketika darah pertamanya tumpah, disusul hirupan napas
pertama, di udara terbuka, di tanah airnya sendiri?
Di kantor saya, dia mau membaca sesuatu, tapi dia tak memakai kaca mata. Dia minta
kacamata saya, dan saya pinjamkan. Dia pun membaca dengan kacamata itu. Sampai akhir.
Kemudian kacamata dimasukkan ke saku kiri bajunya, dengan cara begitu rupa. Kacamata,
kata saya, sambil mengulurkan tangan kanan, untuk memintanya. Saya membaca pakai apa
kalau ini kau minta? katanya kalem, kemudian berdiri, seolah tak terjadi apa-apa.
Saya merangkulnya dari belakang, dengan perasaan bahwa hal itu luar biasa, dan saya
menerimanya tanpa protes.
Bung Sitor, saya mengenangmu, dengan kehangatan, demi apa yang mungkin bernama
kekaguman, atau persahabatan, yang tak mungkin saya berikan pada banyak orang. Kenangan
ini, dilihat dengan cara lain, bisa berarti seolah saya mengkritikmu. Tapi persetan apa kata
orang, karena bukankah kita sama-sama mengerti apa maknanya?
Bung, selamat jalan. Biksu yang tak lagi berjubah, memang karena tak memerlukan jubah. Di
sana, buat Bung, ada jubah yang lain. Penyair yang nasionalis, senasionalis-nasionalisnya
pun, dalam posisi Bung sekarang, tak memerlukan lagi tanah air, seperti Nusantara ini, karena
di sana, untuk Bung ada tanah air tersendiri.
Ada jubah, bagi yang melupakan jubah lahiriah. Ada tanah air, bagi yang melupakan tanah
airnya yang dulu, karena tanah air yang akan datang, lebih otentik, lebih sejati. Dan jubahmu,
di sana lebih bagus. Biksu tak berjubah, bukan karena tak punya jubah.
9

MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com

10

Ibu Membentuk Mental Bangsa

Koran SINDO

23 Desember 2014

Hari Ibu yang diperingati tiap tanggal 22 Desember tahun ini menjadi tahun pertama
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di waktu yang berdekatan, pemerintahan ini
juga baru berusia dua bulan terhitung 20 Oktober lalu.
Pemerintahan Jokowi hadir dengan narasi besar yang populis dengan sebutan revolusi mental.
Sederhananya, revolusi mental diharapkan mampu mengubah secara radikal mental
masyarakat Indonesia. Dalam konteks revolusi mental dan peringatan Hari Ibu pemerintah
harus sadar bahwa ibu adalah awal dari pembentukan mental semua manusia Indonesia,
karena itu ibu perlu mendapatkan perhatian khusus.
Ide revolusi mental Presiden Jokowi ini harus didukung dalam praktik di lapangan.
Operasionalisasi ide ini tentu tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Ada
perangkat lunak yang mesti disiapkan. Ada pula kesiapan di lapangan yang juga harus siap
dioperasikan.

Terdapat dua pendekatan yang juga harus ditempuh. Pendekatan struktural dan pendekatan
kultural. Pendekatan struktural secara sederhana telah ditampilkan oleh Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi
dengan penerbitan sejumlah surat edaran (SE) seperti SE Nomor 10/2014 tentang Hidup
Sederhana. Bagaimanapun terdapat catatan kritis atas aksi Menpan-RB ini. Imbauan menteri
sifatnya masih artifisial dan tidak membumi. Buktinya, ada resistensi yang tidak kecil dari
internal aparatur sipil negara.

11

Sejak awal, kami mendukung keseriusan ide revolusi mental, dengan mendorong lahirnya
UU Revolusi Mental. Tujuannya nyata, agar ide Presiden Jokowi tidak berhenti pada jargon
atau slogan semata. Lebih dari itu, dengan adanya undang-undang, ada payung hukum dalam
operasionalisasi revolusi mental. Ini melengkapi berbagai regulasi lain yang memiliki benang
merah dengan ide dasar revolusi mental. Sebut saja UU Aparatur Sipil Negara (ASN).

Proyek besar revolusi mental juga tak bisa dihindari dengan menerapkan pendekatan
kultural. Pendekatan ini menjadi muara dari berbagai ikhtiar sebagaimana disebutkan di atas.
Bahkan di pendekatan inilah esensi dari revolusi mental diletakkan. Salah satu pintu masuk
utama untuk pendekatan kultural dalam melakukan revolusi mental dimulai dari ibu yang
juga merupakan sekolah pertama bagi anaknya (al-um madrasatul ulaa li ibniha).
Dari Ibu Revolusi Mental Dimulai
Dalam literatur keislaman, baik di dalam Alquran maupun Hadis, peran orang tua khususnya
ibu menjadi cukup vital. Seperti gambaran tentang ibu yang mengandung selama sembilan
bulan lamanya dilanjutkan dengan proses menyusui selama dua tahun. Dalam konteks ini, ibu
memiliki peran penting untuk mewujudkan salah satu tujuan bersyariah (maqashid alsyariah) yakni menjaga keturunan (hifdz al-nasl).
Gambaran peran signifikan orang tua terhadap masa depan anak juga ditujukan dengan sabda
Nabi Muhammad SAW tentang keridaan Tuhan kepada hamba-Nya sangat tergantung
keridaan orang tua kepada anaknya.
Singkat, beragam argumentasi keagamaan tentang peran sentral orang tua atau ibu dalam
peran membentuk mental anak menegaskan peran signifikan orang tua, khususnya ibu.
Situasi ini menemukan padanannya dengan narasi besar yang didengungkan Presiden Jokowi
yakni dengan ide revolusi mentalnya.
Gerakan kultural untuk menyemai revolusi mental tidaklah berlebihan bila hal tersebut
dimulai dari ibu atau orang tua. Ibu sebagai gerbang pertama dalam pembentukan karakter
anak juga menjadi etalase masa depan peradaban sebuah bangsa. Semakin bagus tingkat
kualitas ibu, maka akan lebih baik pula generasi berikutnya. Namun, peran signifikan ibu
dalam membentuk karakter anak tidaklah berdiri sendiri. Banyak faktor yang
memengaruhinya, seperti persoalan pembangunan manusia di Indonesia.
Kondisi Riil
Dalam konteks di Tanah Air, Indeks Pembangunan Manusia (IPM/Human Development
Index) merujuk data UNDP, pada tahun 2014 masih berada di peringkat ke-108. Beberapa

12

indikator IPM di antaranya terkait dengan harapan hidup (life expectancy at birth),
pendidikan (melek huruf dan rata-rata sekolah), pendapatan, dan standar hidup layak
(kemampuan daya beli masyarakat).
Beberapa indikator tersebut bila diurai satu per satu, seperti harapan hidup masyarakat
Indonesia memang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Seperti pada tahun 2014 ini,
merujuk data dari Kementerian Kesehatan, harapan hidup masyarakat Indonesia hingga usia
72 tahun, alias meningkat dibanding satu dekade sebelumnya, yaitu hingga usia 66 tahun.
Persoalan daya beli masyarakat juga menjadi catatan khusus, terlebih setelah ada kebijakan
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada pertengahan November lalu. Diprediksikan,
inflasi pada Desember tahun ini akan mengalami peningkatan. Ini merujuk data dari Badan
Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2013 atau setelah satu bulan kebijakan kenaikan harga BBM
di era pemerintahan SBY, tingkat inflasi year on year (Juli 2013 terhadap Juli 2012) sebesar
8,61 persen. Angka ini tertinggi secara bulanan sejak Juli 1998 silam.
Belum lagi, bila memedomani target yang diterapkan dalam Millenium Development Goals
(MDGs) 2015, dalam urusan ibu dan bayi ditargetkan kematian ibu maksimal 102 per
100.000 kelahiran dan angka kematian bayi 23 per 100.000 kelahiran. Kenyataannya,
menurut survei kedokteran pada tahun 2012 angka kematian ibu masih di atas 200 per
100.000 kelahiran dan kematian anak di atas 34 per 100.000 kelahiran. Tentu ini harus
menjadi perhatian serius pemerintah.
Dalam konteks inilah, tantangan pemerintahan Presiden Jokowi dalam menggulirkan gagasan
revolusi mental dapat dimulai dengan peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia. Bila
dirunut lebih detail lagi peningkatan kualitas hidup dapat dikhususkan kepada para ibu di
Indonesia. Karena memperbaiki kualitas hidup perempuan di Indonesia sama saja negara
mengawali peradaban baru masa depan Indonesia. Semoga.

ANNA MUAWANAH
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKB

13

14

(Proses) Transformasi Mental

Koran SINDO

24 Desember 2014

Ketika Mochtar Lubis menuliskan ciri-ciri manusia Indonesia dua dekade lalu, satu watak
negatif yang menonjol adalah sikap munafiknya. Maka itu, pertanyaan langsung untuk proses
perubahannya mengarah ke jalan pendidikan dari transformasi mental kultural menjadi
transformasi sikap menghayati kenyataan dan tindakan nyata.
Transformasi memuat sekaligus unsur mengolah watak-watak negatif yang bercokol dari cara
pikir sampai cara bertindak. Pokok ini mengandaikan proses tidak bisa dikarbit atau
dijalanpintaskan lantaran butuh internalisasi nilai, bukan hanya cukup pemahaman dan
menyadari materi persoalan.
Ketika antropolog Koentjaraningrat meneliti sikap mentalitas mana yang cocok dan yang
tidak cocok dengan pembangunan (baca: sebagai modernitas), ditunjuklah sikap malas dalam
menghayati waktu dan ruang yang tidak cocok dengan sikap rajin, kreatif, dan dinamis
menyerap serta daya eksplorasi.
Apakah jalan keluarnya mesti lewat pendidikan? Apakah pendidikan kesadaran yang tidak
cukup untuk kognitif, tahu lalu paham saja tanpa tindak laku nyata? Inilah ranah pertanyaan
perubahan mentalitas pribadi atau perubahan sistemik bila strukturalisme memberi tahu
bahwa manusia itu tidak hanya mengonstruksi kenyataan dengan sistem, namun ia juga
dikonstruksi oleh sistem dengan catatan bahwa sistem merupakan konstruksi rasional
manusia untuk menata sesuatu (a rational ordering of something).
Sejak kita memiliki sistem pendidikan akademik mulai dari TK, SD, dan seterusnya sampai
di perguruan tinggi, kita sudah berasumsi bahwa manusia-lah subjek sadar yang mampu
merefleksi aksinya dan mengolahnya hingga mau mengubah perilakunya menjadi semakin
baik.
Pengandaian inilah yang menyumberi kenapa untuk perguruan tinggi --sebelum orang-orang
menjadi ahli di bidangnya (baca: profesional dan kompeten)-- dua dekade lalu ada studium
15

generale yang merupakan ilmu humanis budaya (humaniora) untuk menyadarkan dan
menegaskan bahwa ilmu-ilmu itu tidak bebas nilai, namun harus menjadi ranah sarana
penyejahteraan manusia dengan harkatnya.
Artinya, humanisasi sebagai jalan budaya makin memanusiakan manusia itulah yang
mengontrol pemakaian dan praksis ilmu-ilmu agar tidak menjadi dehumanis dan anti-budaya
hidup. Meminjam pemikiran Jurgen Habermas, yang digarap sebagai sikap adalah
rasionalitas tujuan dan bukan rasionalitas instrumentalis atau teknis belaka.
Mengapa studium generale humaniora dilepaskan? Mengapa kita mengeluh apabila yang
berlaku adalah nilai pragmatis, teknis, dan praktis jangka pendek di antara pengambilpengambil kebijakan dan tokoh-tokoh parpol serta intelektual kita? Mengapa pula
transformasi perubahan mentalitas menjadi lebih dewasa, beradab, yang diharapkan dari
pendidikan ternyata menghasilkan pragmatisme perilaku dan jalan pintas tidak menghargai
proses, tetapi melulu berorientasi hasil? Jawabnya ada dua.
Pertama, karena nilai kehidupan berdasar pada proses sebagian yang hakiki dari kehidupan
ini dilupakan. Lihatlah, kita dikandung sebelum lahir selama sembilan bulan. Kita menapaki
proses dari anak, remaja, dewasa, sampai usia lanjut berbingkai proses dan proses.
Kedua, pendidikan menuntut syarat transformasi yang berarti perubahan proses kesadaran
dan mentalitas serta mengolah nilai-nilai (yang baik, yang benar, yang suci dan yang indah
dari kehidupan) agar membatin dan menjadi sikap perilakunya. Tidak cukup kognisi
pengetahuan, tidak cukup tahu dan paham bila tanpa ranah olahan di budi, nurani dalam
refleksi mengolah pengalaman-pengalaman hidup untuk menjadi aksi transformatif menuju
peradaban dan bukan mundur ke kebiadaban.
Karena itu, harus disimak baik-baik penelitian Umar Kayam bahwa ciri negatif bangsa ini
--yang tidak mampu mengolah dalam refleksi dan tak mengontrolnya-- adalah cepat marah
dan mengamuk bila berkonflik. Tidak pertama-tama diskusi dahulu bila konflik kepentingan,
tetapi marah dahulu.
Lihatlah perilaku motor dan mobil di lalu lintas Jakarta, padahal mereka umumnya kelas
menengah terdidik. Lihat para yang mulia dan terhormat anggota-anggota DPR yang tidak
mulia dan tidak pantas dihormati lagi akhir-akhir ini saat berkelahi, menjungkir balik meja
sidang.
Lalu? Hanya dengan kembali ke kesadaran nilai pokok hidup adalah proses merefleksiberaksi-merefleksi lagi untuk transformasi., di sanalah harapan pada pendidikan mentalitas
masih menemukan sinarnya. Hanya dengan teladan-teladan guru-guru kehidupan yang beri
contohlah kita bisa mentransformasikan diri dalam mentalitas kita. Inikah sebabnya, karena
waktu sudah mendesak, jargonnya dari evolusi menjadi revolusi mentalitas. Utopiakah? PR
kita semua!

16

MUDJI SUTRISNO, SJ
Budayawan

Membangun Desa Mandiri

Koran SINDO

24 Desember 2014

Sejak dilantik 27 Oktober 2014 lalu, para menteri Kabinet Kerja langsung tancap gas.
Beberapa menteri bergegas melakukan blusukan untuk mengetahui detail lapangan.
Sebagaimana Presiden Joko Widodo, virus blusukan menjadi salah satu faktor kunci sejauh
mana program-program langsung menyentuh hajat hidup masyarakat, tingkat akseptabilitas
masyarakat, kapabilitas pengambil kebijakan, ataupun daya dukung di masyarakat itu sendiri.
Di sinilah peran penting gaya blusukan yang ditularkan Presiden Jokowi kepada para
menterinya.
Salah satu kementerian baru yang menjadi sorotan adalah Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDT dan Trans). Kementerian baru
pemerintahan Presiden Jokowi ini merupakan gabungan secara parsial antara Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dengan Direktorat Jenderal Transmigrasi dan
Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, yang semula masing-masing menjadi bagian
dari Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Dalam Negeri.
17

Mengapa kementerian ini relatif menjadi sorotan? Ada tiga hal yang menjadikan kementerian
ini memiliki peran yang cukup kuat dan vital. Pertama, payung hukum dalam bentuk
Undang-Undang Desa. UU yang disahkan pada 15 Januari 2014 menjelang akhir masa
pemerintahan Presiden SBY, adalah UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang kemudian
diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 sebagai peraturan
pelaksanaannya.
Amanat dalam UU tersebut sangat jelas. Salah satunya yang pernah menjadi diskusi hangat
publik adalah dana desa. Amanat UU malah menetapkan 10% dari dana perimbangan, di luar
dana transfer daerah, setelah dikurangi dana alokasi khusus akan diterima oleh desa.
Diperkirakan jumlah tersebut bisa mencapai sekitar Rp103,6 triliun.
Jumlah tersebut akan dibagi ke 74.000 desa se-Indonesia, sehingga masing-masing desa
diperkirakan akan memperoleh dana sekitar Rp1,4 miliar per tahun. Tentu saja dana yang
cukup besar tersebut menuntut desa untuk melakukan perubahan, penguatan secara internal
secara organisasi pemerintahan desa yang lebih efektif, profesional, transparan, dan
akuntabel. Pengaturan desa seperti tersebut dalam UU merupakan upaya untuk memajukan
perekonomian dan pembangunan sektor-sektor penting di pedesaan.

Kedua, daya dukung desa. Sesuai amanat UU Desa, dengan dukungan dana yang cukup
besar, desa dituntut lebih mampu mengorganisasi diri. Tumpuan pembangunan yang bergulir
ke pinggiran, yaitu desa-desa, maka daya dukung desa perlu ditingkatkan.
Penguatan aparatur desa dalam hal perencanaan pembangunan, akuntabilitas, untuk
menghasilkan kinerja yang efektif, transparan, bersih, dan bisa dipercaya. Tanpa adanya
pendampingan dan pelatihan yang digulirkan baik dari LSM maupun pemerintah, bisa jadi
daya dukung desa kurang optimal.

Berkaitan dengan daya dukung desa, perlu diketahui bahwa antara desa yang satu dan desa
yang lain memiliki perbedaan yang signifikan. Pun dengan keunikan cita rasa adat lokal.
Maka dengan tanpa mengurangi keunikan cita rasa lokal, pemerintah dituntut lebih jeli
menimba potensi lokal berikut pengembangannya.

Hal yang sama dialami desa-desa di perbatasan. Diperlukan pendekatan berbeda. Sebagai
jendela sebuah negara, desa-desa di daerah perbatasan masih banyak yang memiliki problem
utama. Infrastruktur, misalnya.

18

Ketiga, hadirnya negara. Negara yang hadir tidak hanya memberikan payung hukum berupa
UU, atau telah bergerak sesuai amanat UU saja. Pada titik yang lain, negara sebagai fasilitator
dan melakukan pendampingan untuk mengangkat derajat desa.

Negara tak hanya mendekati pembangunan desa sebagai objek, tetapi juga sebagai
subjek. Memberikan fasilitas pada segenap masyarakat desa untuk bisa mengelola,
mengorganisasi, dan membuat perencanaan pembangunan desa sesuai amanat lokal.
Harapannya adalah desa mampu mengangkat dirinya sendiri dengan pemerintah sebagai
fasilitator dan mentornya. Pemerintah mampu mengelola suatu kebijakan untuk mendorong
komitmen pemegang kunci pembangunan di desa.

Pemerintah, dengan segala kekuatan perangkat yang dimilikinya, harus hadir untuk
menggenapi efek psikologis UU Desa yang sangat memberikan peluang berkembangnya
desa-desa mandiri, sehingga jangan sampai desa menjadi salah kelola hanya karena
ketidaktahuan aparaturnya karena persoalan administrasi, atau akunting, misalnya.
Gambaran tersebut menunjukkan tugas menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi tidak ringan. Sebab selain persoalan di atas, Kementerian yang saat ini
dipercayakan kepada politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Jafar itu juga masih
perlu menyatukan persepsi dari tiga kementerian secara parsial.
Dengan pengalaman selama 10 tahun sebagai anggota di Komisi Bidang Infrastruktur DPR,
Marwan diharapkan memahami persoalan di daerah tertinggal, perbatasan, atau pun terpencil.
Dia menjabat ketua Fraksi PKB DPR RI periode 2009-2014, yang juga menjadi inisiator
RUU Desa. Semoga pengalaman tersebut menjadi modal terwujudnya desa yang lebih kuat,
maju, mandiri, demokratis dan sejahtera.
Menteri Desa menyarikan tantangan dari berbagai blusukan yang dilakukan dan menyusun
program kerja prioritas yang disebutnya sebagai Nawakerja 2015. Berikut adalah program
kerjanya: Gerakan 5.000 Desa Mandiri, pendampingan dan penguatan kapasitas kelembagaan
dan aparatur di desa, mendorong pembentukan dan pengembangan 5.000 BUM desa,
pembangunan infrastruktur untuk mendukung penguatan produk unggulan di 5.000 desa
mandiri, revitalisasi pasar desa di 5.000 desa/kawasan perdesaan, penyiapan implementasi
penyaluran dana desa Rp1,4 miliar per desa secara bertahap, penyaluran modal bagi
koperasi/UKM di 5.000 desa, pilot project sistem pelayanan publik jaringan koneksi online di
5.000 desa, dan program Save Villages di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan,
terluar, dan terpencil.

Nawakerja yang digagas Marwan Jafar sebenarnya sejurus dengan sembilan agenda strategis
prioritas (Nawacita) Presiden Jokowi, terutama pada poin tiga, yaitu membangun Indonesia

19

dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara
kesatuan. Dan Nawacita itu diperkuat dengan strategi pembangunan nasional, yang di
antaranya sangat berkaitan dengan desa yang menjadi kewenangan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa Kementerian Desa bahkan menjadi
salah satu pilar utama yang menampakkan keberpihakan secara riil negara kepada rakyatnya,
sekaligus sebagai pusat koordinasi pembangunan desa yang memiliki interkonektivitas
dengan desa-desa yang lain. Tujuannya adalah peningkatan kemampuan daya saing.
Korea Selatan, misalnya. Salah satu negara kuat di Asia ini dikenal sebagai negeri industri
baru. Meski begitu, Korea Selatan tetap mempertahankan Kementerian Pertanian, Pangan,
dan Urusan Desa (Ministry of Agriculture, Food, and Rural Affairs).
Kemudian ada Malaysia, negeri tetangga dekat Indonesia, juga memiliki Kementerian
Pembangunan Desa dan Regional (Ministry of Rural and Regional Development). Sedangkan
Tiongkok, raksasa ekonomi Asia, juga yang memiliki Ministry of Housing and Urban-Rural
Development, atau India yang memiliki Kementerian Pembangunan Desa (Ministry of Rural
Deelopment), yang mengoordinasikan berbagai kegiatan seperti rural livelihood, rural
connectivity, dan national social assistance. Negara-negara tersebut tentu saja memahami
bahwa dengan memperkuat desa maka otomatis memperkuat manusianya, yang kemudian
bisa memperkukuh pilar ketahanan ekonomi nasional.
Membangun desa adalah tugas utama pemerintahan yang memiliki banyak makna strategis,
karena jika rakyat di pedesaan memiliki suatu daya ekonomi maka ekonomi seluruh bangsa
akan merasakan manfaatnya, sehingga perlu dikelola oleh satu kementerian khusus bernama
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Di sinilah diperlukan
kehadiran negara. Pada sisi yang lain, desa juga perlu untuk mendorong dirinya sendiri
sebagai entitas yang memiliki kehidupan dan penghidupan.

HERRY FIRDAUS
Sekretaris Petani Center dan Anggota Forum Alumni IPB

20

21

Misteri Orang Majus

Koran SINDO

25 Desember 2014

Dalam Alkitab hanya dikatakan bahwa ada orang-orang Majus dari Timur yang datang ke
Betlehem guna membesuk bayi Yesus Kristus yang telah terlahir di sana.
Tidak dijelaskan jumlah orangnya dan dari negeri mana mereka berasal, selain hanya

22

menyebut dari Timur. Itu saja, tidak lebih dari itu. Sehingga tidak dapat dipastikan siapa
mereka itu yang sejatinya.

Disebut dari Timur, itu berarti dari Timur negeri Israel. Sebab subyek yang diceritakan adalah
di negeri Israel. Dengan demikian, orang-orang Majus tersebut, apabila mengacu pada peta,
maka dimungkinkan berasal dari negeri Babilonia (Irak sekarang) atau dari Persia.

Kisah orang Majus ini, acap kali--kalau tidak dapat dikatakan senantiasa--ditampilkan dalam
momen-momen memperingati hari kelahiran Yesus Kristus. Namun penggambarannya atau
pengisahannya banyak keliru dan kurang lengkap.
Dalam lukisan-lukisan atau diorama-diorama misalnya, sering ditampilkan orang-orang
Majus itu membesuk bayi Yesus secara bersama-sama dengan para gembala dan tempatnya
pun pada umumnya diperlihatkan di kandang hewan dengan sang bayi sedang terbaring lelap
di dalam palungan (pinggang hewan).
Padahal, kedatangan orang-orang Majus itu bukanlah tepat pada hari kelahiran Yesus Kristus,
sebagaimana kedatangan para gembala tersebut, yang memang mereka ini datang pada waktu
itu juga, sesaat setelah mereka mendapat pemberitahuan dari malaikat di tempat mereka
menggembala, yaitu di padang Betlehem.
Sementara orang-orang Majus itu datangnya bukanlah pada saat itu, melainkan beberapa
waktu kemudian, yaitu antara satu hari hingga dua tahun setelah kelahiran Yesus Kristus.
Pandangan ini dirujuk dari tindakan Raja Herodes yang membunuh para bayi berusia dua
tahun ke bawah di seluruh daerah yang menjadi tempat kelahiran bayi Yesus Kristus, yaitu di
Betlehem dan sekitarnya.
Rentang waktu hingga dua tahun itu diperoleh Raja Herodes dari hasil penelusurannya
terhadap keterangan yang disampaikan oleh orang-orang Majus ketika mereka dipanggilnya
ke istana guna menjelaskan tentang kelahiran sang bayi raja yang tempatnya dicari-cari oleh
mereka.
Informasi tentang telah lahirnya sang bayi raja dimaksud, tidak diperoleh orang-orang Majus
itu dari pemberitahuan siapa pun, melainkan dari hasil pengamatan mereka terhadap
kemunculan satu bintang unik yang terlihat memancar di sebelah barat dari negerinya.
Menurut analisis mereka selaku ahli perbintangan, bintang tersebut merupakan bintang dari
seorang raja istimewa yang telah terlahir di negeri sebelah barat.

23

Kemudian dari hasil penyelidikan mereka lebih lanjut, dipahami dan diyakini oleh mereka
bahwa raja istimewa itu adalah sang Mesias, Raja Ilahi, yang lahirnya di negeri dan bangsa
Yahudi, sehingga mereka sebut Raja orang Yahudi. Pemahaman dan keyakinan akan hal
itulah diperkirakan yang mendorong dan menggerakkan orang-orang Majus tersebut
berangkat dan pergi ke negeri orang Yahudi, mengikuti arah pergerakan bintang unik tersebut
guna membesuk dan menyembah sang Mesias yang telah terlahir di sana.
Jika bukan karena pemahaman dan keyakinan yang demikian itu, maka sangat sulit dapat
dimengerti alasan mereka untuk bersusah diri pergi jauh-jauh ke sana. Sebab orang-orang
Yahudi itu bukanlah bangsa penguasa dunia, yang rajanya layak dan mesti disembah oleh
warga bangsa-bangsa dunia. Malah, saat itu justru orang-orang Israel itu menjadi bangsa yang
sedang terpuruk dan berada di bawah kekuasaan bangsa lain, yaitu bangsa imperialis
Romawi.
Oleh sebab itu, sungguh sangat keliru Raja Herodes, yang menganggap sang bayi Yesus
Kristus, yang disebut oleh orang-orang Majus itu sebagai Raja orang Yahudi, merupakan
ancaman bagi kelangsungan kekuasaannya. Atas dasar pandangan itulah dia melakukan
pembunuhan massal terhadap semua anak laki-laki yang berusia dua tahun ke bawah di
seantero daerah yang menjadi tempat kelahiran bayi Yesus Kristus, yaitu di Betlehem dan
sekitarnya, demi melenyapkan sang bayi raja dimaksud. Umur dua tahun ini sesuai dengan
batas usia yang diperolehnya dari hasil penyelidikannya terhadap keterangan yang
disampaikan oleh orang-orang Majus tersebut.
Sesungguhnya, apabila Raja Herodes berpikir jernih, maka dia tidak akan berbuat biadab
demikian itu. Sebab sudah sangat jelas sebenarnya, bahwa sang bayi Raja orang Yahudi
yang disebutkan oleh orang-orang Majus itu, bukanlah raja duniawi, yang menjadi pesaing
atau rivalnya Herodes. Karena tidak mungkinlah bagi orang asing seperti orang-orang Majus
itu, yang notabene bukanlah warga yang berada di bawah kekuasaan orang Yahudi, datang ke
negeri orang Yahudi untuk membesuk dan menyembah raja orang Yahudi yang lahir.
Namun karena Raja Herodes itu mabuk kekuasaan, maka dia langsung terkaget-kaget dan
cemas, begitu mendengar telah terlahir seorang raja lain di Israel. Sehingga karena itu dia
berupaya untuk melenyapkannya, yang untuk itu dia memerintahkan aksi pembunuhan
massal terhadap semua bayi laki-laki yang seusia dengan bayi raja yang baru terlahir tersebut
sebagaimana yang dikemukakan di atas.
Timbul pertanyaan, dari mana orang-orang Majus itu memiliki pemahaman tentang Mesias?
Subyek Mesias ini tidak dikenal di luar dari orang-orang Yahudi. Sementara orang-orang
Majus itu dapat dipastikan bukanlah orang Yahudi, yang dapat dilihat dari kata-kata
pertanyaan yang mereka ajukan, yaitu: Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru
dilahirkan itu? (periksa Mat 2:2). Sekiranya mereka itu orang Yahudi, maka tentu tidak akan
bertanya dengan kata-kata sedemikian kepada orang-orang Yahudi, yaitu kata-kata raja
orang Yahudi, melainkan raja kita.

24

Besar kemungkinannya pemahaman tentang Mesias itu mereka peroleh dari orang-orang
Yahudi yang berada di diaspora, terutama sejak pembuangan bangsa Israel di Babel (yang
berlangsung hingga tiga kali; pertama tahun 597 SM, kedua tahun 587 SM, dan ketiga tahun
582 SM) serta pada waktu-waktu lainnya ketika terjadinya pelarian orang-orang Yahudi
keluar negeri akibat negerinya dijajah atau dikuasai oleh bangsa-bangsa lain yang lebih kuat.
Tentu orang-orang Yahudi yang tersebar di diaspora tersebut secara tersembunyi-sembunyi,
kalau memang tidak bisa secara terang-terangan, menjalankan ajaran agamanya di sana. Dari
sinilah kemungkinannya orang-orang Majus itu mendapat pemahaman tentang Mesias
dimaksud.
Selain dari pada itu, bisa juga mereka mendapat wangsit (amanat gaib) dari Ilahi, sehingga
karena itu mereka tergerak untuk berangkat dan pergi ke negeri orang Yahudi, sesuai dengan
tempat yang ditunjukkan oleh arah pergerakan dari bintang unik yang mereka amati, guna
membesuk dan menyembah sang Mesias yang telah terlahir di sana, yang mereka sebut sang
Raja orang Yahudi.

DAUD SIHOMBING
Pati Polri; sedang kuliah Magister Teologi di STTII Jakarta.

25

Mengembalikan Terang yang Sejati

Koran SINDO

25 Desember 2014

Natal merupakan pancaran cahaya kemuliaan Tuhan dalam pengalaman kesederhanaan di


sebuah kandang mungil. Kemuliaan dan kesederhanaan yang kini hampir lenyap dalam jiwa
sanubari kaum elite.
Kaum elite sibuk dalam janji perbaikan kehidupan, namun janji itu begitu lama terealisasi dan
terkubur dalam mimpi. Mendung dunia politik diciptakan kaum elite karena politik lebih
banyak dimaknai sebagai perdagangan kata-kata dan tipu sana tipu sini. Wajah masa depan
politik yang penuh dengan kepalsuan.
Rakyat dididik bermimpi di siang bolong tanpa memperhatikan kenyataan ekonomi dunia
yang begitu berat. Elite politik kehilangan nalarnya untuk memberikan harapan. Para
pemimpin kehilangan kesejatiannya karena mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Rakyat
kehilangan sosok pemimpin sejati yang memiliki kepedulian dan keseriusan untuk
membelanya di tengah berbagai gejolak.
Terang Baru
Natal mengajarkan kepada manusia tentang era kehidupan baru, dari kegelapan menuju
26

terang. Terang Natal bukanlah seperti yang diwujudkan dalam warna-warni lampu hias itu
semata, melainkan bagaimana secara sadar diri membawa kehidupan baru yang lebih adil dan
damai. Manusia membutuhkan momentum untuk merefleksikan diri.
Makna terdalam kedatangan Sang Juru Selamat untuk zaman ini adalah menegaskan kembali
semangat-Nya untuk melawan ketidakadilan dan penindasan. Ketidakadilan sudah begitu
membudaya. Ketidakadilan telah menggerus kebijaksanaan dalam kehidupan. Ketidakadilan
banyak dicerminkan dari kehidupan yang timpang, antara yang kaya dan miskin, bodoh dan
pintar, banyak dan sedikit, atau elite dan jelata.
Mereka yang miskin dan bodoh selalu menjadi obyek yang dikorbankan oleh yang kaya dan
pintar. Mereka yang banyak sering mempermainkan yang sedikit. Mereka yang sedikit tapi
pintar dan kaya mengorbankan yang banyak tapi melarat dan bodoh. Harmoni kehidupan
tercipta secara tidak seimbang.
Harapan untuk membuat kehidupan bisa saling memberi dan menerima antara yang
berkelebihan dan berkekurangan nyaris pupus, sebab mereka yang berkelebihan sering
memperolehnya secara paksa atau dengan tipu daya dari mereka yang berkekurangan. Begitu
pula dengan yang elite dan jelata. Mereka yang jelata berjumlah mayoritas namun dalam
setiap peristiwa, merekalah yang menjadi korban kepintaran kaum elite. Bila suatu kali terjadi
amuk massa, itu terjadi karena elite yang keterlaluan memperdayai.

Tak tebersit dalam pikiran mereka, bahwa kekuasaan dan jabatan yang dimilikinya
merupakan daulat dari rakyat semesta. Orang kaya pun sering kehilangan kesadaran bahwa
kekayaannya, sebagian terbesar merupakan sumbangan dari sebagian besar orang yang
disebut miskin. Sebab tak ada orang kaya bila tak ada mereka yang dilabeli miskin.
Saat Moralitas Diabaikan
Kehidupan ini semakin merosot ketika moralitas keseimbangan diabaikan. Ketidakadilan
dalam berbagai jenisnya dikembangbiakkan dan sering diwarnai seolah-olah itu merupakan
fakta alami. Bahkan ketidakadilan dalam berbagai cara, oleh sang penguasa dan orang kaya,
diajarkan sebagai suatu keadilan. Kita kehilangan kebijaksanaan dalam hidup.

Agama tak mampu menjadi semangat dan jalan untuk mengoreksi berbagai kekeliruan yang
terjadi. Sebab agama sekedar menjadi simbol semata, dan nilai-nilainya tak jarang direduksi
dalam kekuasaan atau uang. Pragmatisme kehidupan ini juga dicerminkan dalam budaya
komersialisasi yang begitu keras. Pencemaran nilai-nilai agama oleh budaya komersialisme
dewasa ini bahkan sudah berada dalam tahap mencemaskan. Tak terkecuali Natal.

27

Kita mengerti mengapa Paus Benediktus pernah mengkritik tajam Natal yang bercorak
komersial sehingga kerap menggerus makna hakikinya. Tanpa disadari, ketercerabutan nilainilai agama baik oleh kekuasaan maupun uang sudah nyaris melumpuhkan nilai-nilai
kemanusiaan. Penghayatan nilai kemanusiaan luntur oleh situasi yang membolehkan manusia
bersikap serakah dan mencaplok hak orang lain.
Kesenjangan adalah wujud ketidakadilan yang paling nyata. Namun bukanlah kesenjangan
itu yang dipermasalahkan melainkan mengapa kesenjangan terjadi dan bagaimana sikap
untuk mengatasi kesenjangan itulah yang menjadi masalah. Kesenjangan terjadi akibat
solidaritas yang lemah, dan upaya untuk mengangkat kesejahteraan diri sering dengan
menikam yang lebih lemah.
Setelah itu, kesenjangan itu sedikit demi sedikit dilupakan sebagai masalah, sehingga
solidaritas seolah-olah tidak diperlukan lagi. Ini terjadi ketika semua orang berpikir cari
selamat sendiri-sendiri. Watak individualisme merupakan bawaan dari kebudayaan
kapitalisme yang mengajarkan hedonisme melalui penguasaan terhadap harta benda.
Komersialisme merupakan media untuk menghantarkan semua orang mendapatkan
kesenangan personal.
Kebahagiaan kolektif tercipta akibat kebahagiaan personal. Namun ajaran demikian, yang
sekarang semakin nyata dan menjadi perikehidupan sehari-hari, selalu mengabaikan fakta
bahwa kebahagiaan individual itu tidak pernah datang secara bersama-sama. Akibatnya,
mereka bertarung untuk memperebutkan kebahagiaan individual itu sering dengan
menghancurkan lainnya. Inilah gelap yang harus dihapus.

Gelap itu sebuah situasi di mana ketidakadilan, kesenjangan, penindasan, penghisapan,


nafsu serakah dan kekejaman berbaur menghilangkan toleransi, keadilan dan kebijaksanaan.
Masihkah ada kesempatan bagi manusia untuk keluar dari jurang yang gelap ini? Natal
merupakan kehidupan baru, yakni momentum bagi refleksi diri manusia agar berubah lebih
solider, bijaksana, adil untuk melahirkan budaya damai.
Kelahiran Juru Selamat itu bermakna sebagai kelahiran kehidupan baru yang lebih damai dan
menyingkirkan penindasan. Kini penindasan demi penindasan sudah ada di depan mata,
bahkan dalam bentuknya yang elok-elok seolah itu bukan penindasan. Makna Natal bagi
orang beriman adalah untuk melawan penindasan dengan menegakkan kedamaian dan
memperluas sikap solider dan menjunjung tinggi kesadaran berkehidupan bersama. Selamat
Natal.

BENNY SUSETYO
Rohaniwan

28

29

Natal, Milad, dan Harlah

Koran SINDO

26 Desember 2014

Dari segi bahasa ketiga kata di atas artinya sama, yaitu menunjuk pada peringatan hari
kelahiran. Yang pertama berasal dari bahasa Latin, kedua bahasa Arab, ketiga bahasa
Indonesia.
Namun dari rasa bahasa yang tumbuh dari konteks sosial yang berbeda, masing-masing
punya rasa dan makna yang juga berbeda. Istilah natal biasanya digunakan oleh umat
kristiani untuk mengenang lahirnya Yesus Kristus, milad digunakan di kalangan
Muhammadiyah, dan harlah (hari lahir) di lingkungan NU. Dua yang terakhir untuk
memperingati berdirinya ormas Islam yang terbesar di Indonesia, Muhammadiyah (1912) dan
Nahdlatul Ulama (1926).

Kata natal sendiri kadang digunakan di lingkungan universitas, yaitu dies natalis,
memperingati hari kelahirannya. Namun yang paling populer, kata natal selalu menggema
di akhir tahun, dikaitkan dengan 25 Desember, yang bagi umat kristiani merupakan hari yang
disakralkan, mengingat tanggal itu telah lahir Juru Selamat Yesus Kristus.
Ada pun mengenai tanggal kelahirannya, sesungguhnya sejarawan tidak memiliki data dan
bukti yang akurat sehingga di kalangan kristiani terbagi menjadi empat versi dalam
memperingati hari natal Yesus Kristus. Namun, persoalan tidak akuratnya hari dan tanggal
juga mengena semua tokoh-tokoh sejarah dan para nabi mengingat mereka lahir dan hidup
ribuan tahun yang lalu, yang waktu itu belum ada sistem kalender yang baku dan tertulis
seperti hari ini.
Kita percaya adanya para nabi rasul Tuhan sejak Nabi Adam, tetapi secara ilmiah-historis kita
tidak memiliki catatan dan pengetahuan yang valid. Jadi, bagi umat kristiani peringatan Natal
lebih merupakan sikap iman, bukan penetapan jam, hari, dan tanggal. Di situ terdapat unsur
aproksimasi.
30

Kalau dalam konteks Nabi Muhammad yang terkenal adalah dia dilahirkan pada Tahun Gajah
(622 M), saat tentara Abrahah ingin menghancurkan Kakbah dengan mengendarai gajah.
Hanya jika membandingkan catatan historis dari sekian sosok nabi, tentu Nabi Muhammad
paling akurat ketimbang yang lain mengingat sosok bayi Muhammad lahir paling akhir; dan
tradisi lisan, memori, serta tulis bangsa Arab waktu itu dikenal sudah mapan.
Untuk peringatan hari lahir individual, biasanya digunakan HUT (hari ulang tahun), seperti
topik nyanyian: Selamat Ulang Tahun, atau Happy Birthday yang dinyanyikan setiap
acara peringatan ulang tahun keluarga atau teman. Karena peristiwa memperingati kelahiran
seseorang, tokoh sejarah, negara dan institusi bersifat universal, tentu ucapan ulang tahun di
berbagai bangsa dan negara berbeda-beda sesuai dengan tradisi dan bahasanya. Dalam
upacara ini, ada ungkapan rasa syukur, permohonan doa, dan berbagi kebahagiaan dengan
sesama.

Tetapi dalam hal Natal yang berkaitan dengan kelahiran Yesus Kristus, dalam masyarakat
selalu saja muncul diskusi dan sikap pro kontra, apakah umat Islam boleh atau tidak
mengucapkan selamat Natal pada teman kristiani. Ada yang berpendapat, selama itu dalam
wilayah persahabatan sebagaimana peringatan hari-hari kelahiran lain maka itu baik-baik
saja. Ucapan ikut berbahagia merayakan natal sebagai hari yang dianggap istimewa
merupakan ungkapan persahabatan. Tak ubahnya selamat merayakan hari-hari istimewa
lainnya.
Namun, ada yang beranggapan mengucapkan selamat Natal pada teman kristiani tidak
dibenarkan. Itu sama saja menerima dan mengakui iman kristiani tentang Yesus Kristus
sebagai Juru Selamat, yang jelas berbeda dari keimanan dalam Islam. Tapi sesungguhnya di
sini terdapat wilayah remang-remang yang perlu diperjelas, terutama oleh yang
bersangkutan. Apakah ucapan itu sebatas kemanusiaan dan persahabatan layaknya dalam
konteks merayakan hari-hari istimewa, semacam HUT, milad, dan harlah; ataukah melibatkan
sikap iman.

Bagi seorang menteri agama, ketika ada peringatan hari besar keagamaan, termasuk Natal,
mesti menyampaikan ucapan selamat dalam kapasitasnya sebagai menteri. Beberapa presiden
di kawasan Timur Tengah juga biasa mengucapkan selamat merayakan Natal. Jadi, akhirnya
dikembalikan pada pribadi masing-masing saja. Bayangkan, jika Anda seorang muslim,
sementara orang tua beragama Kristen, sikap apakah yang mau diambil? Atau bos Anda
seorang Kristen, sementara setiap Idul Fitri selalu memberi kado lebaran pada Anda, apa
yang biasa Anda lakukan? Di situ ada pertimbangan persahabatan dan keyakinan agama yang
tidak perlu dikonfrontasikan, namun juga tetap menghargai keyakinan iman masing-masing.

31

Dalam kritik sejarah muncul dugaan kuat, sosok Yesus Kristus itu tak lain adalah Isa AlMasih. Hanya, antara umat kristiani dan muslim berbeda dalam konsep, tafsir, dan keyakinan
tentang sosok ini.
Secara singkat, bagi iman Kristen Yesus Kristus adalah Sang Juru Selamat, sebuah konsep
yang memerlukan penjelasan panjang lebar. Bagi umat Islam, Yesus Kristus atau Isa AlMasih adalah sosok nabi rasul Allah sebagaimana nabi-nabi lain seperti Ibrahim, Musa, dan
Muhammad.

Lalu, bagaimana proses perubahan ucapan dari Isa ke Yesus? Itu semata persoalan bahasa dan
budaya, mirip nama-nama pemain bola asal Arab-Afrika yang berubah ucapan dan panggilan
setelah pindah ke klub Eropa. Yang masih dekat adalah Ibrahim jadi Abraham, Musa menjadi
Moses, Yusuf menjadi Yoseph. Hasan Anwar menjadi Eisenhower?
Jadi, kita mesti membedakan antara bahasa, konsep, substansi dan keyakinan keagamaan agar
tidak bingung dan berdebat tiap tahun soal bungkus dan kemasan, namun tidak masuk ke isi
dan substansi. Selamat merayakan libur akhir tahun. Selamat merayakan natal Yesus Kristus
bagi teman-teman kristiani. Selamat merayakan milad Nabi Isa bagi umat Islam.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT


Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat

32

33

Belokan Pluralisme Gus Dur

Koran SINDO

27 Desember 2014

Tiga hari lagi, genap lima tahun kita ditinggalkan oleh Presiden keempat Republik Indonesia,
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang wafat pada 30 Desember 2009.
Di Indonesia, kalau orang berbicara Gus Dur, tak bisa dilepaskan dari gerakan pluralisme
sebagai bagian penting dari paham kebangsaan kita. Tak kurang dari Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono yang mengatakan bahwa Gus Dur adalah Bapak Pluralisme Indonesia,
seperti yang diucapkan pada sambutan resminya saat pemakaman Gus Dur di kompleks
Ponpes Tebuireng, Jombang.
Gus Dur memang gigih memperjuangkan pluralisme untuk merawat Indonesia. Bagi Gus
Dur, pluralisme adalah fakta dan keharusan karena perbedaan primordial antarmanusia ke
dalam berbagai agama, ras, suku, daerah, bahasa tak mungkin dihindari. Orang yang beriman
pasti yakin bahwa Tuhan sendirilah yang menciptakan perbedaan itu.
Maka itu kita harus mau hidup di dalam perbedaan primordial, tetapi bersatu dalam kesamaan
tujuan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya, bangsa ini harus menerima Pancasila
sebagai dasar negara untuk kemudian perbedaan-perbedaan yang niscaya ada di dalam
masyarakat yang plural harus diatur dengan prinsip dan sistem demokrasi.
Di dalam demokrasi harus ada persamaan dan kebebasan tetapi harus dikawal dengan
tegaknya hukum. Itulah sebabnya pluralisme tidak dapat dipisahkan dari kedaulatan rakyat
(demokrasi), kedaulatan hukum (nomokrasi) dan ketaatan pada konstitusi sebagai dasar-dasar
34

pengaturan berdemokrasi dan bernomokrasi.


Bagi Gus Dur, mengonsepkan pluralisme tak perlu rumit-rumit, apalagi sampai menggeser
debat konsep ke debat kusir. Kata Gus Dur, bayangkan saja kita hidup di sebuah rumah besar
yang banyak kamarnya dan kita mempunyai kamar sendiri-sendiri. Saat di dalam kamar maka
masing-masing pemilik kamar bisa menggunakan dan merawat kamarnya sendiri-sendiri
serta boleh berbuat apa pun di dalamnya, tetapi ketika ada di ruang keluarga atau di ruang
tamu maka kepentingan masing-masing kamar dilebur untuk kepentingan rumah bersama.
Penghuni rumah, tanpa mempersoalkan asal kamar masing-masing, harus bersatu merawat
rumah itu dan mempertahankannya secara bersama-sama dari serangan yang datang dari luar.
Begitulah gambaran pluralisme.

Kita mempunyai rumah besar NKRI yang sudah dibangun dengan fondasi kokoh Pancasila
dan yang terdiri dari kamar-kamar primordial. Kita harus bersatu menjaga rumah NKRI ini
tanpa kehilangan identitas primordial masing-masing.

Tentu saja sangat banyak pejuang pluralisme lainnya di Indonesia, tetapi Gus Dur-lah yang
paling efektif memperjuangkannya sebab dia mempunyai puluhan juta umat NU yang
tawadu terhadapnya. Terlebih lagi keulamaan dan intelektualitas Gus Dur sangat mumpuni.
Mengapa dan sejak kapan Gus Dur meyakini dan kemudian memperjuangkan pluralisme?
Pertanyaan ini penting karena kalau mau jujur sebenarnya pada awalnya NU maupun Gus
Dur berada di jalur perjuangan Islam eksklusif. Pada tahun 1945 di Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tokoh NU Wachid Hasyim berada di
barisan kelompok pejuang dasar negara Islam bersama Agus Salim, Ki Bagoes Hadikusumo,
dan tokoh-tokoh lain yang kemudian ikut aktif menyusun Piagam Jakarta.

Wachid Hasyim pun membantah ketika Hatta menyatakan bahwa perubahan Piagam Jakarta
menjadi Pembukaan UUD 1945 sudah dimintakan persetujuan terhadap empat tokoh Islam,
termasuk dirinya. Dalam perjuangan di Konstituante, NU berada dalam satu barisan dengan
Masyumi memperjuangkan dasar Islam bagi Indonesia. BPUPKI dan Konstituante memang
forum resmi untuk memperjuangkan dasar negara secara sah, sehingga pilihan politik NU
pun saat itu adalah sah.

Gus Dur sendiri saat mudanya adalah pengikut paham al-Ikhwan al-Muslimun, satu gerakan
politik Islam yang radikal di bawah pimpinan Hasan al Banna. Menurut Syafii Anwar pada
35

1963 Gus Dur sempat membuka cabang al-Ikhwan al-Muslimun sendiri di Jombang tetapi
Greg Barton mengatakan, Gus Dur belum sempat mendirikan cabang Ikhwan meskipun
memang penganut politik gerakan tersebut. Keduanya mengonfirmasi bahwa Gus Dur adalah
penganut Ikhwan.
Yang kita tahu, sepulang dari studinya di Mesir dan Irak, Gus Dur tampil sebagai penganut
inklusivisme Islam serta pejuang pluralisme yang paling berpengaruh di Indonesia. Bahkan
ketika masih banyak kaum muslimin menolak asas tunggal Pancasila, pada tahun 1984, Gus
Dur berduet dengan Kiai Achmad Sidiq menyatakan bahwa NU menerima Pancasila sebagai
asas kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak banyak yang tahu, bagaimana dan kapan
belokan dari eksklusivisme ke pluralisme itu terjadi.
Saya sendiri hanya pernah mendengar cerita kecil. Pada suatu hari di tahun 1970-an Gus Dur
mampir ke perpustakaan di kota Fes, Maroko. Setelah hampir seharian membaca sebuah
buku, Gus Dur menangis tersedu-sedu sampai menarik perhatian petugas perpustakaan yang
kemudian menanyakan kalau-kalau dirinya sakit dan perlu bantuan.
Gus Dur bercerita bahwa di perpustakaan itu dia membaca karya filosof Yunani Aristoteles,
Etika Nikomacheia. Dari buku itu dirinya menemukan filsafat yang sangat tinggi tentang
manusia, masyarakat, dan negara yang dasar-dasarnya juga ada di dalam Quran dan Sunah
Nabi. Di dalamnya ada penjelasan tentang asal-muasal (di dalam Islam disebut fitrah)
manusia, adanya perbedaan-perbedaan, dan tuntutan etik yang harus dilaksanakan oleh
manusia.

Tentu saja, kisah buku Ethika Nikomacheia di Fes itu hanya setetes peristiwa yang ikut
membangun falsafah pluralisme Gus Dur. Secara akademis, kita masih ingin tahu lebih rinci
tentang kapan dan bagaimana belokan ke pluralisme itu terjadi. Kami selalu berdoa untukmu,
Gus.

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi

36

37

Sepuluh Tahun Tsunami: Kami Akan Selalu


Mengenangnya

Koran SINDO

27 Desember 2014

Tak terasa 10 tahun telah berlalu. Minggu pagi kelabu 26 Desember 2004 akan selalu
dikenang oleh dunia. Hantaman gelombang Tsunami yang meluluhlantakkan Provinsi Aceh
menggemparkan masyarakat internasional, tak terkecuali kami yang tinggal di Inggris.
Masih tergambar dengan jelas melalui liputan dan pemberitaan media tentang kondisi Aceh
beberapa jam pascatsunami. Ratusan ribu korban jiwa berjatuhan, infrastruktur yang hancur
sama rata dengan tanah, harta benda dan mata pencaharian yang punah--sungguh sebuah
pemandangan yang memilukan! Siapa pun akan meneteskan air mata melihat, mendengar dan
mengamati bagaimana terjangan gelombang tsunami memorak-porandakan provinsi yang
terletak di bagian barat Indonesia itu.
Bantuan pun tiba. Dunia bersatu bahu-membahu membantu melewati masa tersulit yang
dihadapi saudara-saudara kami di Aceh. Segera setelah akses dibuka untuk masyarakat
internasional, Inggris mengirimkan tim tanggap darurat tiga hari setelah tsunami menghantam
bumi Nanggroe. Total 13 pesawat dikerahkan Inggris untuk membawa bantuan vital yang
mendesak ke Indonesia.
Jumlah bantuan 55 juta poundsterling dialokasikan untuk usaha tanggap darurat di Aceh
melalui Departemen Pembangunan Internasional (DFID) yang mewakili Pemerintah Inggris
dalam memimpin operasi ini. Setelah itu Inggris kembali menyetujui pendanaan lebih lanjut
38

sebesar 59,2 juta poundsterling untuk proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.
Tiga area yang kami fokuskan saat itu termasuk mata pencarian, manajemen keuangan, serta
resolusi konflik. Bantuan kami disalurkan untuk sektor-sektor penting seperti persediaan
makanan, pelayanan penyiaran, dan membangun perumahan baru bagi mereka yang
kehilangan tempat tinggal.
Pendanaan tersebut juga dialokasikan untuk membantu pembangunan berbasis komunitas,
pelayanan kesehatan mental, dan menyediakan pembangunan kapasitas bagi sistem peradilan
yang berhubungan dengan pelayanan perlindungan anak.

Sejumlah menteri dan pejabat pemerintahan Inggris yang terlibat dalam program bantuan
tsunami satu per satu datang mengunjungi Aceh. Mereka datang untuk memberikan bantuan
moral dan mengevaluasi efektivitas dana bantuan yang dikucurkan, memastikan masyarakat
Aceh mendapatkan bantuan yang sesuai guna memperbaiki kehidupannya pasca tsunami.

Hampir sepuluh tahun yang lalu, saya yang menjabat sebagai Sekretaris Pribadi Bapak Hilary
Benn, Menteri Pembangunan Internasional Inggris saat itu, menginjakkan kaki untuk pertama
kalinya di tanah Aceh. Kami tiba di Aceh dengan pesawat militer Inggris membawa bantuan
keperluan mendesak yang akan digunakan dan dibagikan oleh PBB. Kami mengunjungi areaarea yang terkena dampak tsunami dan berbicara dengan para korban serta perwakilanperwakilan PBB dan DFID di lapangan. Kami sering mengunjungi daerah-daerah yang
terkena bencana dan melihat kehancuran. Namun yang terjadi di Aceh sungguh mengejutkan,
semua infrastruktur porak-poranda dan yang tersisa hanya puing-puing berserakan,
menunjukkan betapa dahsyatnya hantaman tsunami.

Dari Banda Aceh kami bertolak ke Medan dan bertemu dengan tim DFID Inggris dan
mendiskusikan langkah-langkah selanjutnya serta menjadikan Medan sebagai pusat kendali
operasi bantuan tsunami dari Inggris.
Proses rekonstruksi pun dimulai. Namun, masyarakat Aceh sadar bahwa situasi yang
kondusif diperlukan guna kelancaran proses rekonstruksi pascatsunami dan konflik
berkepanjangan di Aceh harus dihentikan, untuk sekarang dan selamanya.

Selama kurang lebih tiga puluh tahun masyarakat Aceh hidup dalam ketakutan dan
ketidaknyamanan. Bencana tsunami semakin memperburuk kondisi kehidupan akan tetapi
malapetaka ini juga menjadi pendorong kuat untuk menciptakan perdamaian. Inggris yang
39

saat itu menjadi Presiden Uni Eropa kembali terlibat dalam proses perdamaian Aceh. Misi
Pemantauan Aceh (Aceh Monitoring Mission) yang diprakarsai oleh Uni Eropa dan ASEAN
dikirim ke Aceh sebagai mediator perjanjian perdamaian antara Republik Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka.
Proses rekonstruksi pascatsunami dan rekonsiliasi antara kedua kubu yang bertikai berjalan
beriringan, dengan berbagai pihak terlibat di dalamnya, bekerja sama, bernegosiasi dan
mencari jalan yang terbaik dan mengedepankan persatuan dan kesatuan. Proses yang tidak
mudah untuk dilalui tetapi sepadan dengan apa yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat
Aceh yaitu perdamaian dan kesejahteraan yang abadi.
Inilah yang diharapkan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam proses perdamaian. Sepuluh
tahun bagaikan sekejap mata namun dalam kurun waktu tersebut masyarakat Aceh semakin
kuat berdiri, melewati trauma tsunami dan kekejaman konflik dengan hati yang lebih terbuka
dalam kondisi damai serta berpartisipasi dalam pembangunan menuju Aceh yang adil dan
makmur. Dunia tidak akan pernah lupa dengan Nanggroe Aceh Darussalam. Semoga.

MOAZZAM MALIK
Duta Besar Inggris untuk Indonesia

Menanti Gebrakan Riset Perguruan Tinggi

Koran SINDO

27 Desember 2014

Secara resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) sudah dipisahkan dari
naungan Kemendikbud dan berada di bawah tanggung jawab Kemenristek yang kemudian
nomenklaturnya berubah menjadi Kemenristek-Dikti.
Sebelum perubahan ini, banyak akademisi yang mendesak agar Dikti dikelola satu atap
dengan Ristek dan desakan tersebut direspons oleh pemerintahan Joko Widodo. Saya kira
poinnya adalah masyarakat kampus sepakat bahwa Dikti harus dikolaborasikan dalam
kebijakan Ristek agar lebih memiliki dampak dan manfaat nyata dan memiliki koneksitas

40

dengan dunia industri.


Setelah pelantikan Kabinet Kerja kemudian dilanjutkan dengan serah terima jabatan
Kemenristek-Dikti, kini saatnya kita menagih gebrakan dan terobosan yang akan dilakukan
kementerian ini dalam mengakselerasi kebijakan Dikti dalam naungan Kemenristek-Dikti.
Kata kuncinya adalah perguruan tinggi, riset, dan dunia industri.
Menristek-Dikti Dr Nasir menuturkan, agenda pertama kementeriannya setelah pelantikan
adalah reorganisasi yang menekankan bahwa penggabungan Dirjen Dikti akan berjalan lancar
tanpa memberikan efek kepegawaian. Menteri menargetkan reorganisasi akan selesai pada
akhir Desember 2014.
Terkait reorganisasi tersebut, Menteri Nasir mengatakan bahwa pegawai di Kementerian
Ristek dan Dirjen Dikti tak perlu khawatir. Sesuai arahan Presiden, Menteri Nasir
mengatakan akan menggunakan sumber daya yang ada untuk segera memulai program.
Tahun 2014 akan berakhir dan masa reorganisasi Kemenristek-Dikti juga akan segera selesai.
Tahun 2015 adalah waktu di mana realisasi program-program riset perguruan tinggi yang
dinantikan seluruh pemangku kepentingan pendidikan tinggi. Ini sekaligus menjadi
ekspektasi kita pada 2015 dalam menunggu terobosan riset di perguruan tinggi.
Globalisasi
Pernyataan Gerard Delanty benar dalam bukunya, Challenging Knowledge; The University in
The Knowledge Society (2001), bahwa saat ini universitas berada di antara globalisasi dan
kapitalisme akademik. Ketika menjelaskan tema ini, Delanty mengatakan bahwa universitas
mengalami transformasi yang sangat pesat.

Pertama, universitas, sebagaimana perspektif konvensional, hanya dianggap sebagai agen


utama produsen pengetahuan. Hari ini cara pandang itu perlahan-lahan mulai terbantahkan.
Bahwa sebagai konsekuensi logis globalisasi, universitas bukan satu-satunya otoritas tunggal
produsen pengetahuan. Selain universitas terdapat korporasi atau media yang juga kian
diperhitungkan sebagai produsen pengetahuan.
Kedua, saat ini universitas semakin terintegrasikan dengan dunia global. Universitas
mengalami persinggungan di antara transnasionalisasi komunikasi, pasar, dan modal.
Membaca konteks Indonesia dengan cara pandang Delanty rasanya sangat tepat. Sebagai
bagian dari komunitas global, universitas di Indonesia juga berada dalam kondisi yang sudah
dijelaskan Delanty. Dalam praktiknya, kita melihat apa yang disampaikan Delanty, yaitu
universitas berada dalam ranah globalisasi.
Meski tesis Delanty relevan dalam melihat posisi universitas di Indonesia dalam ranah
41

globalisasi, kondisi Indonesia masih berkutat dengan setumpuk masalah yang tak kunjung
usai. Seolah kita melihat wajah universitas berada dalam posisi yang paradoks. Di satu sisi
berada dalam akselerasi globalisasi, di sisi lain masih menghadapi berbagai persoalan
internal.
Politik Pendidikan
Paling tidak ada dua masalah utama yang sangat prinsip dalam diskursus universitas di
Indonesia. Pertama, kita masih terjebak dengan riuh politik pendidikan yang menjadi acuan
pengelolaan universitas. Energi republik ini terkuras habis dalam memikirkan polemik
otonomi versus komersialisasi pendidikan. Dari UU BHP hingga UU Pendidikan Tinggi.
Benang merahnya sama: komersialisasi masih dianggap sebagai momok menakutkan dalam
manajemen universitas. Otonomi dianggap sebagai zombi yang menyeramkan bagi masa
depan universitas. Muncul resistensi dari berbagai kalangan terhadap kebijakan otonomi bagi
universitas. Padahal, secara filosofis, otonomi selalu melekat dalam sosok universitas.
Deklarasi Bologna 18 September 1988, yang kemudian dikenal dengan Magna Charta
Universitatum, dengan tegas menyebutkan otonomi sebagai prinsip fundamental universitas.
Otonomi dari sistem politik dan birokrasi yang ada di sekitarnya. Polemik komersialisasi
yang terjadi selalu terkait dengan posisi universitas.
Rasanya tema selalu bermuara pada perdebatan yang sangat panjang dan melelahkan.
Padahal, banyak energi lain yang sejatinya dapat diselesaikan sesegera mungkin. Polemik
komersialisasi mencerminkan juga politik pendidikan sebagai salah satu masalah krusial
dalam pendidikan di Indonesia.
Peran negara tetap saja tak terbantahkan memiliki kekuatan strategis dalam merumuskan
berbagai kebijakan pendidikan. Alhasil, seringkali universitas harus melakukan berbagai cara
dan mekanisme sebagai strategi merespons globalisasi. Universitas dipaksa melakukan
berbagai pola adaptasi melalui berbagai cara. Salah satu di antaranya peningkatan kapasitas
dan perubahan manajemen.
Karut-marutnya pendidikan tinggi Indonesia bisa jadi disebabkan tidak jelasnya visi politik
pendidikan yang dijalankan di negeri ini. Negara masih dominan dalam manajemen
universitas. Tawarannya adalah mempertegas sekaligus meluruskan politik pendidikan
dalam konteks Indonesia.
Masalah Riset
Masalah lain yang sangat penting adalah riset universitas. Ada dua hal penting terkait riset.
Pertama, pemanfaatan hasil penelitian untuk pengembangan pendidikan masih lemah.
Penelitian harusnya menjadi faktor utama dalam proses pengambilan kebijakan. Di negara
maju, apa pun kebijakan diambil tidak akan ditempuh tanpa penelitian ilmiah yang valid.
42

Kedua, terkait dengan minimnya anggaran untuk riset. Kita masih jauh tertinggal dari segi
alokasi dana riset dibandingkan dengan negara-negara seperti China, Korea Selatan, Jepang,
India, dan Brasil. Jepang bahkan memiliki anggaran riset teknologi terbesar kedua di bawah
Amerika Serikat. Selain itu, negara-negara berkembang lain seperti Brasil dan India juga
sangat mendukung pertumbuhan investasi untuk riset dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologinya.
Bagi universitas, riset menjadi penggerak penting kemajuan ilmu pengetahuan. Budaya dan
peradaban universitas tak bisa hanya dilakukan ibarat business as usual, yaitu dengan
mengutamakan pengajaran konvensional.
Menurut data Dirjen Dikti, universitas adalah sumber penting penelitian dan
pengembangan. Lebih dari 50 persen penelitian dasar yang menghasilkan terobosan
pemikiran dilakukan oleh universitas. Ini sekaligus menjadi kritik bagi universitas dalam
memacu produktivitas riset yang bermanfaat bagi kehidupan.
Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas riset perguruan tinggi?
Menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, tentu saja menambah
jumlah anggaran riset untuk perguruan tinggi yang mencakup seluruh disiplin maupun
multidisiplin. Dalam hal ini penyebaran anggaran harus merata dan tidak termonopoli oleh
satu disiplin tertentu.
Kedua, terbuka lebarnya akses dan informasi forum-forum internasional berupa konferensi,
seminar, workshop, fellowship, short course, yang mendukung kapasitas dosen dan peneliti
Indonesia untuk mengembangkan kemampuan meneliti atau mengajar serta mendapatkan
pengalaman internasional.
Kesempatan ini juga agar bisa diprioritaskan kepada peneliti/dosen muda yang memiliki
kemampuan dan prestasi. Selama ini faktanya forum-forum internasional banyak didominasi
oleh akademisi senior, sementara akademisi muda masih terbatas kesempatannya.
Ketiga, memberikan suasana dan iklim kondusif dalam mengembangkan kualitas riset. Ini
bisa dilakukan dengan pemberian insentif maupun penghargaan yang memacu produktivitas
hasil riset. Penghargaan bisa diberikan pemerintah, dunia swasta maupun dunia industri.
Di Amerika Serikat terdapat sebuah SMA yang bernama Bronx High School of Science.
Sekolah ini berada di kawasan New York. Seperti diberitakan BBC News, sekolah ini
menghasilkan delapan alumni yang menjadi pemenang Nobel dalam bidang fisika dan kimia
sejak 1972. Sekolah ini memiliki program andalan dalam bidang sains. Bahkan, banyak
ilmuwan muda yang tertarik mendaftar di sekolah tersebut. Tentu dengan seleksi yang sangat
ketat.
Jika sekolah di Amerika Serikat bisa menghasilkan alumninya yang mendapatkan Nobel,
43

seharusnya menjadi motivasi bagi universitas yang ada di Indonesia untuk melakukan hal
yang sama. Kita tidak kalah dalam hal sumber daya manusia. Banyak ilmuwan Indonesia
lulusan terbaik dari luar negeri. Mereka punya prestasi cemerlang ketika di luar negeri.
Saatnya membuktikan bahwa universitas menjadi ujung tombak dalam pengembangan riset
dan teknologi. Tidak sekadar sibuk mengurus perdebatan yang sangat melelahkan.

RAKHMAT HIDAYAT
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & PhD Lulusan Universit Lumire Lyon 2 France

44

Manusia Modern

Koran SINDO

28 Desember 2014

Kabinet Jokowi berjudul Kabinet Kerja, semboyannya pun Kerja, kerja, kerja!. Bagus!
Sejauh ini pun masyarakat sudah melihat kehadiran pemerintah dalam menyelesaikan
berbagai masalah seperti pemulangan TKI dengan pesawat Hercules TNI AU,
penenggelaman kapal-kapal ikan liar oleh TNI AL, pembangunan permukiman baru untuk
pengungsi Gunung Sinabung, dan masih banyak yang lain.
Tetapi, membangun bangsa tidak cukup hanya oleh pemerintah. Rakyat harus terlibat, bahkan
rakyatlah soko guru utama dari pembangunan. Tugas pemerintah adalah menciptakan suasana
yang kondusif untuk rakyat bekerja optimal guna membangun negara di sektornya masingmasing. Tetapi, rakyat tidak cukup disuruh Kerja, kerja, dan kerja! saja. Banyak rakyat
yang seumur hidupnya bekerja membanting tulang, setiap hari, sejak remaja sampai tua-renta,
tetapi kehidupannya tidak beranjak dari di bawah garis kemiskinan.
Pada 1970-an, seorang sosiolog dari Universitas Harvard, AS, bernama Alex Inkeles,
mengamati bahwa banyak negara berkembang yang tidak berkembang, alias macet cet,
seperti Jalan Ciawi-Puncak pada masa liburan dan Lebaran. Inkeles kemudian meneliti lima
negara berkembang dan satu negara maju (Argentina, Chili, India, Bangladesh, Nigeria, dan
Israel) dan menyebarkan angket ke berbagai lapisan dari atas sampai paling bawah dan dari
berbagai pekerjaan.

Dia menemukan bahwa negara-negara yang macet justru yang punya SDA (sumber daya
alam) yang melimpah, tetapi SDM (sumber daya manusia) mereka tidak mempunyai
mentalitas modern (pastinya Indonesia juga seperti itu).
Adapun mentalitas modern, menurut Inkeles ditandai oleh sembilan ciri yaitu (1) menerima
ihwal yang baru dan terbuka untuk perubahan, (2) bisa menyatakan pendapat atau opini
mengenai diri sendiri dan lingkungan sendiri atau hal di luar lingkungan sendiri serta dapat
45

bersikap demokratis, (3) menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi ke masa depan
daripada masa lalu, (4) punya rencana dan pengorganisasian, (5) percaya diri, (6) punya
perhitungan, (7) menghargai harkat hidup manusia lain, (8) lebih percaya pada ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan (9) menjunjung tinggi keadilan yaitu bahwa imbalan haruslah
sesuai prestasi.
Sekarang marilah kita lihat bagaimana ciri-ciri mental orang Indonesia. Mochtar Lubis
(budayawan Indonesia, pemenang penghargaan Ramon Magsasay) dalam pidato budayanya
di Taman Ismail Marzuki pada 1977 menceritakan 10 sifat yang melekat pada manusia
Indonesia yaitu (1) munafik atau hipokrit, (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatannya,
(3) sikap dan perilaku yang feodal, (4) masih percaya pada takhayul, (5) artistik, (6) lemah
dalam watak dan karakter, (7) malas, bekerja hanya kalau terpaksa, (8) suka menggerutu, (9)
pencemburu, pendengki, dan (10) sok.
Tentu saja tidak semua manusia Indonesia seperti yang digambarkan oleh Mochtar Lubis.
Karena itu, saya termasuk salah satu pengkritik beliau ketika pidato budaya itu diterbitkan
sebagai buku Manusia Indonesia. Tetapi, setelah sekian puluh tahun berlalu, saya pikir-pikir
betul juga kata Mochtar Lubis, dan masih berlaku sampai hari ini. Tentu bukan untuk semua
orang Indonesia, tetapi jelas untuk sebagian besar orang Indonesia.
Orang Indonesia masih memberlakukan jam karet, caleg dan calon kepala daerah minta
dukungan dukun atau mandi di bawah air terjun keramat, koruptor yang ditangkap KPK
malah senyum-senyum dan memakai baju koko atau berjilbab di pengadilan seakan-akan dia
paling siap masuk surga, pejabat tingkat atas mewajibkan setoran dari pejabat-pejabat tingkat
bawahnya, lebih percaya kepada yang di atas (baca: nasib) daripada perencanaan dan ilmu
pengetahuan, merasa dirinya (baca: agama, etnik atau golongannya) sendiri yang benar dan
seterusnya.
Hanya sifat artistik orang Indonesia yang positif, yang sejalan dengan kebijakan pemerintah
untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Sisanya merugikan semua untuk
pembangunan bangsa.

Menyadari kenyataan bahwa mentalitas orang Indonesia masih jauh dari modern, dalam
rangka revolusi mental, Presiden Jokowi meminta sebuah tim yang dipimpin Prof Dr
Paulus Wirutomo, sosiolog UI, untuk merumuskan ciri-ciri mental yang paling diperlukan
orang Indonesia untuk menjadikannya modern dan mampu bersaing.
Maka, tim itu pun mengundang berbagai golongan masyarakat dari pengusaha sampai
rohaniwan, dari mahasiswa sampai cendekiawan, untuk dilibatkan dalam berbagai FGD
(focus group discussion) sesuai bidangnya masing-masing, dengan tujuan untuk menjaring
dan menyaring nilai-nilai yang paling diperlukan, yang konkret dan operasional untuk
membangun bangsa ini.
46

Hasilnya adalah enam nilai modern versi Indonesia yaitu (1) citizenship (sebagai warga
negara sadar akan hak dan kewajibannya dan aktif berpartisipasi untuk masyarakat), (2) jujur
(dapat dipercaya), (3) mandiri (dapat menyelesaikan persoalan sendiri, tidak hanya
bergantung kepada pemerintah atau pihak lain), (4) kreatif (mampu berpikir alternatif,
mampu menemukan terobosan, berpikiran fleksibel), (5) gotong-royong, dan (6) saling
menghargai (yang kuat menghargai yang lemah, yang mayoritas menghargai yang minoritas,
yang laki-laki menghargai yang perempuan, yang generasi senior menghargai yang muda dan
seterusnya, dan tentu saja sebaliknya).
Secara teoretis, di atas kertas, enam nilai modern untuk bangsa Indonesia sudah pas dengan
kebutuhan Indonesia sekarang. Sudah sesuai dengan ciri-ciri manusia modern versi Alex
Inkeles dan sangat kompatibel (saling melengkapi) dengan Pancasila. Masalahnya,
bagaimana mengoperasionalkan nilai-nilai itu sampai ke tingkat lapangan?
Alex Inkeles mengusulkan proses pendidikan, tetapi pendidikan terlalu lama untuk bangsa
ini, sementara kebutuhan di Indonesia sudah sangat mendesak. Perintah Presiden untuk
menalangi dana ganti rugi kepada korban Lapindo belum apa-apa sudah dibom dengan
formalitas (sumber dana dari mana dan sebagainya), apalagi di tingkat lapangan, pasti banyak
permainan dari ketua RT/RW, lurah, camat, bahkan mungkin sampai bupati sehingga dana
jatuh ke tangan yang tidak berhak. Alamaaak.....

SARLITO WIRAWAN SARWONO


Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

47

48

Tambah Pusing oleh Miras Oplosan

Koran SINDO

29 Desember 2014

Saat ini jagat Indonesia diguncang berbagai peristiwa dari mulai longsor di Banjarnegara;
banjir di Bandung, Aceh, dan Jawa Timur; peledakan kapal nelayan asing oleh Bu Susi; serta
tidak kalah menariknya adalah tewasnya beberapa orang warga di berbagai daerah seperti
Garut, Sukabumi, Indramayu, Sumedang karena menenggak minuman keras (miras) oplosan.
Miras bukan barang baru bagi masyarakat kita. Sejak Inggris dan Belanda datang ke
Indonesia, mereka mulai memperkenalkannya kepada warga kita sebagai minuman yang
dikonsumsi untuk meningkatkan kehangatan tubuh yang disebabkan oleh suhu udara yang
sangat rendah.

Di Eropa dan Amerika miras salah satu komoditas strategis yang memiliki nilai jual yang
sangat tinggi. Semakin lama umur sebuah minuman, seperti wine, semakin mahal pula
harganya. Tidak tanggung-tanggung minuman tersebut ada yang mencapai harga Rp4,8
miliar.

Miras biasanya dikonsumsi menggunakan gelas khusus seperti sloki, wine glass, atau
cocktail glass pada kegiatan-kegiatan pesta, diminum secara bersama dengan tradisi toast
kemudian mereka bersukaria, berdansa, berdisko, salsa, dan berbagai aktivitas lain,
berpakaian rapi, berdandan dandy sebagai kegiatan resmi dengan berbagai perangkat etika
yang dimilikinya. Kemudian selesai melakukan aktivitas pesta dan berbagai keriangan
lainnya, mereka tidur nyenyak agar pagi harinya badannya kembali segar sehingga mampu
beraktivitas dengan vitalitas yang semakin prima.

Ketika zaman Belanda, para centeng yang berkumis tebal dan berbadan tegap dengan golok
panjang bertengger di pinggang sebelah kiri pun ikut menikmati. Tetapi, karena jatahnya
terbatas, mereka membuat miras sendiri yang terbuat dari berbagai jenis pangan tradisional,
49

dari mulai tapai seperti tradisi sake di Jepang dan lahang atau sari gula dari pohon aren yang
melahirkan tuak sehingga dari sisi kebudayaan mereka bisa mengikuti kebudayaannya para
londo dengan menggunakan berbagai fasilitas yang tradisional. Pokoknya gayanya sama
dengan Belanda, cuma rasa dan harganya saja yang berbeda. Yang penting gaya.
***

Kebiasaan para centeng zaman Belanda rupanya terwariskan dari generasi ke generasi, dari
mulai tumbuhnya preman kampung yang biasa malak truk pasir dan batu; sampai preman
kota yang mengendalikan distribusi limbah pabrik, menjadi debt collector yang menyita
motor kredit, maupun yang menyita dan mempertahankan tanah-tanah sengketa di perkotaan
dengan nilai ratusan miliar bahkan triliunan.
Miras merupakan bagian dari gaya hidup mereka. Saking jagonya, minumnya tidak lagi pakai
sloki, tapi langsung ditenggak tanpa ada ukurannya. Tubuhnya tidak lagi hangat, tapi panas
terbakar ditambah lagi kulitnya terbakar pula oleh panasnya sinar matahari tropis. Kepalanya
pusing tujuh keliling, perutnya mual kemudian muntah, isinya cendol, karedok, asin peda.
Hebat kan?
Sugesti akan kepercayaan diri yang tinggi disebabkan oleh miras berpuncak pada keberanian
untuk melakukan tindakan apa pun sesuai perintah atau kehendak dirinya. Miras melahirkan
berbagai problem sosial yang cukup parah karena melahirkan agresivitas yang tanpa kendali
sehingga berdampak pada berbagai problem kemanusiaan yang cukup fatal. Dari mulai
kecelakaan lalu lintas, perkelahian, pembunuhan, pemerkosaan, perusakan berbagai fasilitas
umum, dan berbagai problem lain yang menimbulkan keresahan sosial di tengah masyarakat.

Secara psikologi, miras merusak sistem saraf dalam diri seseorang yang berdampak pada
menurunnya daya ingat, daya cerna, serta tingkat kemalasan yang sangat tinggi sehingga
seseorang yang menjadi pencandu miras tidak lagi produktif dalam kehidupannya.
Tetapi, di sisi lain ketergantungan dan kebutuhan memperoleh barang tersebut merupakan
sesuatu hal yang pokok dalam kehidupannya. Akhirnya seluruh kekacauan pikiran para
pencandu miras dimanfaatkan oleh para pedagang dengan membuat miras oplosan. Minuman
ini campuran berbagai jenis zat yang diperoleh baik dengan memproduksi sendiri maupun
membeli dari pihak lain dengan harga yang murah.
Ada vodka yang dicampur dengan spiritus, ada wiski yang dicampur dengan tuak, ada
alkohol murni yang dicampur air mentah dan minuman suplemen, ada lagi yang
menambahnya dengan obat-obatan yang dijual bebas atau bahkan obat nyamuk bakar...
Makin banyak campurannya, makin dahsyat hasilnya, makin cepat kematiannya... Gelo

50

sugan... (Gila barangkali...) Anggur merah, yang selalu memabukkan diriku ku anggap belum
seberapa... dahsyatnya.
Pokona mah asal bisa fly weh... (Pokoknya asal bisa fly-fly saja...). Kaler mana kaler, eta
panonpoe atawa bulan euy... (Utara mana utara, itu matahari atau bulan ya ...). Begitulah
ekspresi almarhum Asep Sunandar saat memperagakan orang mabuk dengan wayangwayangnya.
***

Miras oplosan kini menjadi problem sosial yang serius, bukan hanya berbagai peristiwa
tindak kriminal dan sejenisnya seperti yang diceritakan di atas, tetapi ancaman kematian
massal yang akan menimpa siapa saja yang mengonsumsinya.

Kematian massal akibat miras atau miras palsu bukan hanya melanda warga kita. Seorang
penerbang dari Rusia yang terkenal ketangguhan dalam minum minuman keras ternyata jatuh
terkulai ketika menenggak vodka ala Indonesia.
Memang hebat vodka yang beredar di kita, jauh lebih ampuh dibanding dengan vodka di
tempat asalnya. Tak perlu menunggu waktu lama, seorang jagoan pun bisa tewas seketika.
Peristiwa tersebut memberikan peringatan kepada kita, alangkah kejamnya kalau negara terus
membiarkan berbagai problem sosial itu tanpa solusi yang memadai.
Penyelesaian peredaran miras dan miras oplosan secara hukum akan menemui jalan buntu
karena sampai saat ini payung hukum yang mengatur masalah tersebut belum ada. Miras di
Indonesia beredar tanpa kendali, di tengah-tengah pidato para petinggi yang sibuk
berkampanye tentang revolusi mental bangsa.
Satu-satunya payung hukum yang diandalkan adalah peraturan daerah yang dikategorikan
sebagai tindak pidana ringan dengan ancaman hukuman yang sangat rendah sehingga seorang
pengedar miras apabila dilakukan penggeledahan dan diproses secara hukum, hanya berujung
pada denda yang besarannya paling sekitar Rp2,5 juta.

Pasukan yang diandalkan adalah Satpol PP yang di lapangan akan berhadapan dengan
berbagai kekuatan, baik preman sipil maupun oknum aparat negara dengan kenekatan yang
luar biasa yang tidak segan-segan melakukan perlawanan, baik tersembunyi maupun terbuka.
Di sini terasa tidak adil, masak sepeda diadukan dengan bus.
Kalau kurang keberaniannya, jangankan menyita atau merubuhkan, baru digertak saja sudah

51

gugup. Kamu berani sama saya? itulah ucapan yang sering terlontar dalam operasi
penertiban sehingga langkah yang dilakukan, operasi yang dilaksanakan, tidak akan memiliki
dampak apa pun bagi peredaran miras dan miras oplosan.
***
Sebagai negara yang memiliki dasar falsafah Pancasila yang bersendikan pada nilai
ketuhanan dan kemanusiaan, sudah saatnya masalah tersebut ditangani. Peredaran miras
sudah semestinya diatur oleh undang-undang, dibuat kualifikasi peruntukannya untuk siapa.
Negara bisa memiliki data secara valid siapa yang suka mengonsumsinya, berapa jumlah
orang asing yang tinggal di Indonesia, berapa kebutuhannya, apa saja jenis yang
dibutuhkannya. Semua bisa diatur dengan distribusi yang memadai sehingga miras tidak jatuh
dan beredar secara luas dan terbuka di tengah-tengah masyarakat kita yang miskin, malas,
dan cenderung emosional.
Kata Mang Udin, orang susah mah tidak usah minum miras atau miras oplosan kalau hanya
untuk bikin lieur kepalanya; karena mikirin kontrakan yang naik, sembako yang naik, ongkos
yang naik, listrik yang naik, tarif air yang naik pun sudah pusing, sedangkan cari duit makin
susah. Jangankan lowongan baru, karyawan yang ada pun di-PHK. Sudah pusing kepala,
malah minum oplosan... Jadinya tambah pusing.
Saking pusingnya, nenek-nenek pun disangkanya gadis belia lalu diperkosa sampai akhirnya
sang pemabuk menemui ajalnya. Berdasarkan hasil diagnosis, kematiannya disebabkan oleh
dua hal. Pertama, karena kandungan senyawa beracun miras dan oplosan. Kedua, akibat
keracunan susu kadaluwarsa yang tidak sengaja diminumnya.
Opo ora eman duite, gawe tuku banyu setan. Opo ora mikir yen mendem, iku bisa ngrusak
pikiran. Ojo diteruske mendeme, mergo ora ono untunge. Yo cepet marenono mendemmu,
ben dowo umurmu.
Selamat Natal dan Tahun Baru 2015. Damai Indonesiaku tanpa miras dan diskriminasi.

DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta

52

53

Tahun Baru Tanpa Harapan

Koran SINDO

29 Desember 2014

Apa gunanya tahun baru kalau masa depan sama gelapnya dengan masa lalu? Masa depan
yang dekat gelap. Masa depan yang masih jauh dan belum kelihatan pun kegelapannya sudah
terasa. Soalnya, di depan sana tidak ada apa-apa yang bisa menjadi harapan bersama. Dengan
kata lain, masa depan sama saja dengan masa lalu.

Semua yang terjadi pada masa yang sudah lama lewat itu suasana gelap gulitanya, pedih, dan
duka nestapanya seperti baru terjadi kemarin. Kita tahu karena kepedihan tak mungkin
membiarkan kita lupa. Masa lalu tidak menjadi kenangan menyejukkan, tapi merupakan
trauma menakutkan.
Apa gunanya organisasi yang bernama negara dan pemimpin-pemimpin yang dipilih dengan
hati gembira kalau masa depan sama gelapnya dengan masa lalu? Apa gunanya jaminan
konstitusi kalau jaminan itu hanya merupakan selembar cek kosong, tanpa isi, tanpa arti?
Tahun lalu hanya menjadi riwayat. Dengan catatan, di dalamnya hanya ada apa yang pedih.
Tahun lalu merupakan riwayat kepedihan.
Bagaimana kepedihan dikenang? Mungkin kita mengenang secara khusus untuk
melupakannya. Janji-janji yang tak pernah dipenuhi, kita lupakan. Hati kita memang selebar
tujuh samudera raya, ditambah tujuh kali yang sudah ada itu. Kita melupakan semua
kesalahan masa lalu dengan jiwa besar. Jauh lebih besar dari sejuta pohon beringin, ditambah
sebanyak itu pula.
Jiwa kita besar tak terkira. Karena begitu, masa depan berlalu dan segenap kesalahan kita
lupakan. Kita menghadap ke depan dengan harapan siapa tahu masa depan lebih baik. Tapi,
kenyataannya masa depan sama buruknya dengan masa lalu. Para pemimpin hanya sibuk
berebut kursi. Ketika kursi belum diperoleh, kekuasaan belum di tangan, betapa indah mereka
punya janji. Tapi, begitu masa depan itu sehari demi sehari berlalu dan tahu-tahu sudah
menjadi masa lalu, kita hanya bertemu omong kosong. Ada kalanya kita bertemu para
pemimpin yang dikirim ke penjara oleh KPK.

54

Kita tidak tahu, apakah itu jawaban atas cita-cita atau harapan kita? Kita berharap makmur,
tapi yang kita jumpai hanya para pencuri kemakmuran kita yang dipenjara. Dapatlah kita
merasa makmur hanya karena pencuri-pencuri ditangkap, ditahan, dan dipenjara?

O, memang bukan kemakmuran yang kita jumpai, tapi keadilan. Dapatkah kita merasa
telah memperoleh keadilan, hanya karena para pencuri diadili? Seharusnya bisa
Seharusnya? Siapa yang mengharuskan? Pencuri dihukum mungkin cermin keadilan. Tapi,
warga negara yang punya hak hidup layak, cukup sandang, cukup papan, cukup pangan, dan
rasa damai, apa berarti semuanya telah kita dapatkan ketika seorang pencuri, atau beberapa
puluh pencuri, diadili dan dihukum?

Negara hanya sibuk mengurus dirinya sendiri. Tata negara punya aturan dan hukum-hukum
yang mengatur hidup kenegaraan yang baik. Tapi, kesibukan di bidang itu tak berarti bahwa
negara atau para pejabat negara telah mengatur kehidupan rakyat.

Dalam kesadaran para penyelenggara negara, rakyat itu tidak ada. Bagi mereka, yang ada
negara dan aturan-aturan ketatanegaraan yang ruwet itu. Selebihnya, yang ada diri mereka
sendiri. Mereka yang mengatur kemakmuran dan diri mereka sendiri yang diutamakan.
Mereka menjadi yang paling utama, tapi belum cukup. Pencurian besar-besaran masih terus
terjadi.
Penyelenggara negara tak perlu merasa malu. Di masyarakat, terutama di kalangan
masyarakat politik, kalau ada pejabat tertangkap, dia dianggap bodoh. Di sini urusannya
jelas: bodoh berarti tidak rapi, tidak cermat, tidak hati-hati, dan ceroboh karena meninggalkan
jejak. Seharusnya mereka lebih lihai lagi. Tidak ada yang berkata: seharusnya sudah cukup
dengan gaji yang ada. Seharusnya lebih dari cukup untuk hidup dengan kekayaan yang ada.
Atau, seharusnya kita menjaga kredibilitas moral dan keluhuran agama.
Pencurian tidak disesali karena itu salah, tapi karena pencuri yang tertangkap itu ceroboh.
Pencurian tidak ada sangkut pautnya dengan etika bahwa pencuri menodai hak hidup orang
banyak. Pencurian tak dilihat sebagai dosa sosial, dosa politik, dosa kemanusiaan, dan dosa
keagamaan. Di masyarakat politik dan di dalam lingkungan birokrasi pencurian tidak ada
hubungannya dengan etika dan agama atau hukum. Sekali lagi, pencurian disesali karena
tidak terampil, tidak hati-hati, dan tidak cermat.
Pak Jokowi. Kita tahu Sampean itu pemimpin yang tulus, lebih dari yang lain-lain. Tapi, tulus
jangan disimpan di hati. Tulus jangan hanya dibawa ke Tanah Suci dan di rumah-rumah suci

55

yang Sampean kunjungi.


Tahun baru tak membawa harapan. Pejabat-pejabat baru tak menjanjikan kebersihan diri
untuk tak mencuri. Bagi mereka, mencuri salah hanya kalau tertangkap. Kalau cermat, lihai,
dan profesional, mencuri tak ada masalah. Uang negara boleh dirampok semua. Negara boleh
bangkrut, tapi pencuri harus tak ketahuan.
Ketulusan itu kapital. Pak Jokowi harus mengapitalisasikannya dengan baik dan berani.
Bukankah Sampean tidak takut berjuang demi negara dan rakyat di dalamnya supaya rakyat
hidup lebih baik, lebih makmur, lebih adil?
Sampean presiden. Tugas presiden mengubah yang gelap menjadi terang. Menciptakan
suasana tanpa harapan menjadi sebaliknya. Selebihnya Pak, orang tulus, yang apa adanya,
dan tak berharap yang bukan-bukan, bisa mengubah masa lalu yang gelap menjadi masa
depan yang terang.
Masa lalu tidak sama dengan masa depan. Masa lalu boleh gelap, tapi masa depan tidak. Pak
Jokowi, jangan biarkan tahun baru dan masa depan tanpa harapan. Tapi, jangan pula hanya
memberi harapan karena meskipun tanpa harapan itu mengecewakan, kalau harapan sekadar
harapan, itu membunuh kemanusiaan dan keadilan?

MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com

56

Dunia Penerbang

Koran SINDO

31 Desember 2014

Menjadi suatu kepuasan dan kebahagiaan bagi penerbang jika suatu misi penerbangan yang
diawakinya sampai di bandara tujuan dengan selamat, aman, sesuai jadwal, tidak ada keluhan
dari penumpang, dan bahan bakar yang dikonsumsi tidak melebihi dari yang direncanakan.
Bekerja di udara memerlukan persiapan yang matang. Selain pengetahuan dan kemampuan
teknis, kondisi fisik menjadi salah satu yang utama. Penerbang sudah harus hadir untuk
melakukan persiapan terbang paling lambat 1 jam 30 menit sebelum jadwal keberangkatan.
Pertama sekali yang harus dilakukan adalah memeriksa rencana penerbangan atau dikenal
dengan nama flight plan yang sudah disiapkan oleh petugas penyedia flight plan atau dikenal
dengan nama dispatcher. Flight plan adalah rencana rute penerbangan, lamanya waktu
penerbangan, berat muatan kargo dan penumpang, serta jumlah bahan bakar yang harus
dimuat untuk penerbangan dari satu bandara keberangkan ke bandara tujuan.
Flight plan yang sudah disiapkan oleh dispatcher disertai informasi tentang kondisi pesawat
yang harus layak terbang, kondisi dan prakiraan cuaca sepanjang perjalanan, bandara tujuan
dan beberapa bandara sekitarnya, serta informasi lain yang berkaitan dengan penerbangan itu

57

sendiri. Informasi tersebut merupakan data bagi penerbang untuk memutuskan berapa jumlah
bahan bakar yang harus dimuat.

Kurang lebih satu jam sebelum jadwal keberangkatan, penerbang sudah harus berada di
pesawat untuk melakukan pengecekan kondisi pesawat, mengecek perlengkapan yang harus
ada di pesawat beserta validitasnya (emergency equipment) dan persiapan penerbangannya itu
sendiri.
Situasi yang sangat krusial terjadi pada saat lepas landas dan menjelang pendaratan. Namun
bukan berarti sepanjang perjalanan, penerbang bisa santai dan duduk diam di kokpit. Setiap
saat penerbang harus tahu kondisi dan posisi pesawat.

Barangkali sangat mudah dipahami semua orang bahwa, saat lepas landas merupakan saat
krusial, genting, dan siaga. Untuk bisa lepas landas, pesawat untuk membutuhkan tenaga
besar, temperatur mesin bisa mencapai 900oC. Pada putaran mesin yang sangat tinggi, sedikit
saja ada gangguan, misalnya arus udara yang tidak beraturan, pun mampu membuat mesin
mati (stall). Kemungkinan lain misalnya terhisapnya benda-benda asing (kerikil, burung) oleh
mesin; tidak menutup kemungkinan mesin bisa terbakar bahkan bisa merontokkan turbin,
sementara bahan bakar di dalam tangki masih banyak.
Demikian juga pada saat pendaratan di mana sudut pendaratan sekitar 3 derajat merupakan
kondisi genting, hening, dan penuh konsentrasi.

Seperti saya sebutkan di atas, walaupun saat lepas landas dan pendaratan merupakan kondisi
yang genting, bukan berarti di perjalanan sepanjang penerbangan membuat penerbang
menjadi lengah. Memang betul tampak santai, tetapi siap setiap saat, detik demi detik
penerbang harus tetap siap dan waspada. Apa pun yang terjadi pada pesawat, penerbang harus
dengan cepat dan tepat memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan pengamanan.

Pada saat cruise, penerbang tampak santai ngobrol dengan sesama awak; tetapi pada saat
bersamaan seorang penerbang dituntut mampu mendengarkan instruksi menara pengontrol
(ATC) dan memperhatikan kondisi instrumen.
Hal itulah mengapa seorang penerbang harus memiliki kesehatan fisik dan mental yang
prima. Fatigue, kelelahan, tekanan batin ataupun beban pikiran sering tidak muncul pada
kondisi fisik. Bisa saja kondisi fisik terlihat sehat padahal pikiran sedang galau. Pada kondisi
ini, penerbang sangat disarankan untuk melakukan konsultasi dokter dan istirahat.
58

Keadaan cuaca tidak lepas dari perhatian. Di negara-negara tropis seperti di Indonesia, musim
penghujan terjadi pada bulan September sampai dengan Maret setiap tahun. Sebagai
informasi, hujan terjadi oleh awan cumulonimbus (CB). Awan ini terbentuk pada kondisi
udara yang tidak stabil. Perbedaan panas permukaan laut dan permukaan bumi
mengakibatkan perbedaan tekanan udara, dan mendorong udara yang mengandung uap air ke
atas.
Pada ketinggian tertentu, terjadi kondensasi dan terbentuklah awan. Awan ini akan terus
membesar ke arah atas hingga menembus ketinggian di mana temperatur uap air menjadi nol,
dan terus meninggi hingga mencapai temperatur jauh di bawah nol. Di daerah tropis, awan
CB bisa mencapai ketinggian 60.000 kaki.

Paling tidak, ada tiga hal penting terjadi di dalam awan CB yang besar. Pertama, adanya arus
udara yang tidak beraturan di dalam awan. Kedua, kandungan uap air pada temperatur sekitar
nol dan minus, yang jika berbenturan akan menghasilkan hujan dan es. Ketiga, kandungan
ion positif dan negatif yang akan menghasilkan petir. Bisa dibayangkan guncangan yang
terjadi jika pesawat masuk pada awan CB. Risiko gangguan komunikasi dan atau alat
navigasi bisa terjadi.

Dalam pesawat terbang, ada suatu alat yang disebut pitot tube, berupa tabung pipa
berdiameter sekitar 2 cm, yang diberi beberapa lubang kecil, terpasang di bagian hidung
pesawat bagian luar. Pitot tube berfungsi antara lain memberikan sensor untuk mengetahui
ketinggian dan kecepatan pesawat.
Memasuki awan CB, lubang pada pitot tube bisa tertutup es dan mengakibatkan instrumen
tidak bekerja baik. Akan sangat membahayakan jika komputer di pesawat menerima sinyal
yang salah dan secara otomatis memerintahkan auto-pilot dengan perintah yang salah pula.

Karakter awan CB sudah sangat dikenal oleh para penerbang, sehingga mereka akan selalu
berusaha menghindar awan tersebut. Awan CB yang terbentuk di sekitar bandara menjadi
perhatian serius bagi para penerbang. Terjadinya perubahan angin secara tiba-tiba (wind
shear, downdraft dan updraft) sangat dimungkinkan. Pada situasi ini, lepas landas bisa
ditunda. Demikian juga pada saat pendaratan, batal mendarat dan mengalihkan ke bandara
lain bisa terjadi.

59

Adalah tanggung jawab penerbang, khususnya bagi seorang captain yang menjadi pimpinan
misi penerbangan atau biasa disebut pilot in command membawa pesawat dan penumpang
beserta segala yang diangkut pada pesawat tersebut, dengan selamat, aman, nyaman, sampai
di tujuan sesuai waktu yang dijadwalkan.
Menjadi penerbang perlu melakukan pendidikan dan pelatihan yang ketat. Setiap enam bulan
dilakukan pelatihan dan ujian baik teori maupun praktik sehingga penerbang selalu terlatih
menghadapi segala kondisi. Untuk menjamin kesehatan fisik, uji kesehatan juga dilakukan
setiap enam bulan.
Kita kagum dengan keandalan Valentino Rossi yang memacu motornya sampai 300 km per
jam, menikung hingga bahunya menempel di aspal. Dia mampu melakukan itu karena latihan
rutin. Setiap penerbang mampu dan menjadi terbiasa menghadapi segala kondisi dengan
melakukan pendidikan dan pelatihan secara rutin. Segalanya bisa karena biasa.

CAPTAIN DIBYO DWIATMODJO


Penerbang Airbus A330

60

Kecelakaan Pesawat dan Visi Selamat

Koran SINDO

31 Desember 2014

Dalam satu tahun ini telah terjadi beberapa kali kecelakaan pesawat; mulai kasus pesawat
mendarat darurat, jatuh, hilang, terbakar; baik pesawat komersial maupun militer.
Angka kerugian berupa nyawa melayang, kerugian secara fisik dan material sangat besar.
Untuk pesawat AirAsia yang masih dalam proses pencarian menelan kerugian sekitar
Rp200,5 miliar.

Itulah risiko kecelakaan di pesawat. Tingkat risikonya tinggi bila dibandingkan dengan risiko
moda transportasi yang lain. Karena tingkat risikonya tinggi maka penerapan aspek
keselamatan di maskapai penerbangan harus menjadi prioritas utama.
Sedikit saja terjadi kesalahan menyebabkan kecelakaan maka akan memberikan efek yang
luar biasa baik terhadap animo penumpang maupun kerugian secara finansial yang bisa
membuat maskapai bangkrut. Kasus ini telah dialami oleh salah satu maskapai penerbangan
di Indonesia.
Visi Selamat
Dalam tataran aspek keselamatan penerbangan tampaknya maskapai masih berorientasi pada
konsep-konsep keselamatan yang telah kedaluwarsa. Seperti human error yang sering
dikambinghitamkan sebagai penyebab utama keselamatan. Manusia-lah, pemberi kontribusi
88% dari setiap kejadian kecelakaan. Faktor human error ini mengganti aspek mechanical
error yang pada 10 tahun sebelumnya sering dijadikan penyebab utama kecelakaan.

61

Namun, tidak pernah disangka, ibarat tubuh manusia, human error masih merupakan bagian
terluar dari penyebab kecelakaan. Bagian yang lebih dalam dari tubuh manusia adalah
perilaku, lebih dalam yaitu struktur sistem, lebih dalam lagi yaitu mental model, dan lebih
dalam lagi yang merupakan inti penyebab semua kejadian adalah visi.

Daniel Kim (2010) mengatakan visi merupakan pengungkit utama dari semua kejadian yang
ada. Adanya visi sehat dan selamat akan melahirkan kejadian yang selamat, begitu pula visi
tidak sehat dan tidak selamat akan menjadikan kejadian tidak sehat atau tidak selamat. Anda
adalah apa yang anda pikirkan, ini adalah kata-kata mutiara yang sering diungkapkan.

Kita dapat melihat bahwa banyak perusahaan, termasuk maskapai penerbangan yang tidak
memiliki visi selamat. Para maskapai banyak yang memiliki visi komersial, finansial, karena
itulah yang dikejar. Target utama maskapai adalah jumlah seat atau tempat duduk yang
digunakan, selalu diharapkan 100%. Target tempat duduk memang wajar bagi suatu
perusahaan maskapai. Namun, harus diketahui bahwa tingkat risiko kecelakaan pesawat
(dilihat dari aspek peluang dan konsekuensi) termasuk tinggi.
Tingginya risiko kecelakaan pesawat disebabkan faktor frekuensi bukan probabilitas.
Probabilitas kecelakaan memang rendah, namun konsekuensi kejadiannya, yakni kerugian
secara finansial dan imej perusahaan sangat besar. Ini yang sering menjadikan maskapai
bangkrut.

Untuk menurunkan konsekuensi kecelakaan dari tinggi menjadi rendah dibutuhkan kekuatan
visi keselamatan maskapai. Dengan visi keselamatan maskapai akan memberikan anggaran
yang tinggi untuk program keselamatan, membuat standar-standar keselamatan, serta
berbagai pelatihan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap standar-standar keselamatan yang
telah ditetapkan.
Apa yang terjadi pada kasus hilangnya pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501
adalah indikasi lemahnya program keselamatan dan tidak adanya kepatuhan terhadap standar
keselamatan yang telah ditetapkan, bisa juga karena lemahnya standar keselamatan
penerbangan.
Telah jamak diketahui seperti yang disinyalir oleh para ahli penerbangan bahwa hilangnya
pesawat tersebut karena tidak mampu keluar dari awan cumulonimbus, yang sering dikatakan
sebagai raja segala awan, penyebab terjadinya kecelakaan pesawat. Bagaimanapun besarnya
atau luasnya awan itu bukanlah menjadi akar utama terjadi kecelakaan. Penyebabnya yakni
tidak adanya kepatuhan terhadap standar (yaitu harus men-delay penerbangan karena adanya

62

awan), karena begitu teridentifikasi keberadaan awan tersebut apalagi diketahui jarak awan
sekitar puluhan mil maka seharusnya tidak bisa dijadikan lintasan penerbangan.

Penyebab perilaku tidak patuh terhadap standar karena lemahnya struktur sistem maskapai
dalam memberikan reward dan punishment (reinforcing factor), juga karena sikap atau
mental model. Berdasarkan hasil riset, 85% mental model orang Indonesia adalah mental
model negatif, termasuk di dalamnya mental model tidak selamat.

Walaupun secara teknis pesawat layak terbang, adanya mental model tidak selamat sebagai
penyebab utama kecelakaan. Pemaksaan pesawat untuk terbang dalam kondisi cuaca darurat
karena ada raja awan di area lintasan pesawat adalah bagian dari mental model tidak
selamat. Apalagi di atasnya terdapat pesawat lain yang juga melintas membuat pesawat
mudah terjebak bila terbang dalam kondisi cuaca darurat.

Mental model negatif disebabkan oleh visi negatif. Visi inilah yang menjadi akar dari setiap
kejadian. Dengan visi selamat akan melahirkan kejadian selamat. Dengan visi tidak selamat
akan melahirkan kejadian tidak selamat. Karena visi merupakan akar dari setiap kejadian
maka visi maskapai sebenarnya harus menjadi fokus utama pemerintah dalam menilai
kelayakan suatu maskapai.
Visi selamat telah menjadi visi bersama semua karyawan maupun manajemen, termasuk
pilot, kopilot, dan penjaga menara. Visi selamat merupakan doa selamat bila didengungkan
secara terus menerus pada setiap individu di maskapai ketika berkomunikasi dengan
seseorang maupun lebih akan melahirkan budaya selamat di maskapai. Lewat visi atau doa
selamat ini, salah satu ketua ormas besar Islam di Indonesia mengimbau agar para
penumpang pesawat senantiasa berzikir kepada Allah.
Budaya selamat adalah perilaku selamat yang dilaksanakan secara otomatis, karena
kejadiannya di bawah sadar. Insiden AirAsia mengindikasikan belum adanya budaya selamat
di maskapai tersebut. Pada 2015 pemerintah Indonesia telah mencanangkan sebagai Tahun
Indonesia Berbudaya K3. Adanya kecelakaan pada maskapai AirAsia ini memberikan umpan
balik kepada pemerintah bahwa Indonesia memang belum berbudaya K3.
Pemerintah harus bekerja keras untuk menciptakan budaya K3 bagi semua lapisan
masyarakat di Indonesia, khususnya perusahaan-perusahaan yang memiliki risiko tinggi
terjadi kecelakaan seperti maskapai penerbangan. Pemerintah harus fokus pada pembenahan
visi perusahaan agar semua perusahaan memiliki visi selamat. Visi itu harus menjadi visi
bersama yang akan melahirkan budaya selamat.

63

Visi selamat melahirkan mental model selamat, mental tersebut akan melahirkan struktur
sistem selamat. Struktur sistem selamat akan melahirkan budaya selamat, budaya selamat
akan melahirkan kejadian selamat. Dengan budaya selamat pada maskapai akan memberikan
kenyamanan pada semua penumpang.

ABDUL ROHIM TUALEKA


Dosen Departemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga

AirAsia dan Kerja Sama Internasional


64

Koran SINDO

31 Desember 2014

Menjelang penutupan tahun 2014, sebuah pesawat AirAsia QZ8501 mengalami musibah
hilang di kawasan Asia Tenggara. Pada beberapa bulan lalu, pesawat Malaysia Airlines
MH370 juga hilang dalam perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Beijing.
Kita boleh bersyukur bahwa nasib pesawat AirAsia telah dapat dipastikan menyusul
ditemukannya serpihan pesawat dan penumpangnya di dekat Pangkalan Bun, Kalimantan
Tengah. Sayangnya, bersamaan dengan itu, duka meruah dan karena itu saya pun turut
mengirimkan doa dan belasungkawa bagi keluarga penumpang pesawat.
Kolom kali ini menyoroti kerja sama internasional yang terjalin terkait upaya penemuan
pesawat AirAsia tersebut. Segera setelah ada breaking news mengenai hilang kontaknya
pesawat QZ8501, regu pencari dan penyelamat berlomba dengan waktu untuk segera
menemukan pesawat tersebut. Alasannya, selain kemanusiaan, juga teknis karena sumber
energi alat-alat keamanan pesawat seperti emergency locator transmitter (ELT) hanya bisa
aktif 48 jam dan underwater locator beacon terbatas hanya untuk 30 hari.

Beberapa negara segera menawarkan bantuan dan dimintai bantuannya oleh Pemerintah
Indonesia. Pemerintah melaporkan telah memberi izin kepada kapal laut dan pesawat dari
Singapura, Malaysia, Australia, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan China untuk membantu
pencarian pesawat di bawah koordinasi Indonesia.

Tawaran bantuan dari negara-negara sahabat tersebut adalah peristiwa diplomatik yang
wajar. Sebelumnya, dalam kasus hilangnya MH370, hampir seluruh anggota ASEAN
ditambah dengan Amerika Serikat, Prancis, Australia, dan China terlibat dalam pencarian
tersebut. Tiap negara mengerahkan segala kemampuan dan peralatan canggih yang dimiliki
untuk menemukan pesawat tersebut. Meskipun hingga saat ini pesawat secara utuh belum
ditemukan, kerja sama internasional tersebut adalah yang terbesar selama dekade terakhir ini.

***

65

Kerja sama internasional macam ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi pergaulan
internasional, negara-negara yang memiliki maskapai penerbangan nasional terikat dalam
Konvensi Penerbangan Sipil Internasional Tahun 1944. Hampir seluruh negara anggota PBB
yang berjumlah 193 mengikatkan dirinya pada perjanjian ini kecuali tiga negara; yakni
Dominika, Liechtenstein, dan Tuvalu.
Salah satu penyebab negara tersebut tidak terikat adalah karena wilayah daratan dan
penduduknya yang relatif rendah dan sedikitnya frekuensi penerbangan ke negara tersebut.
Dominika dan Tuvalu adalah negara-negara yang masing-masing memiliki penduduk 73.000
dan 11.000 jiwa. Lebih kecil dibandingkan penduduk Kecamatan Jatinegara di Jakarta Timur.

Sementara Liechtenstein sendiri adalah sebuah negara kecil (microstate) yang berbatasan
dengan Swiss di wilayah barat-selatan dan Austria di sisi timur-utara. Liechtenstein telah
meminta Swiss untuk mengaplikasikan konvensi itu bagi wilayah udara negara mereka.
Setiap negara perlu meratifikasi konvensi tersebut agar dapat didarati oleh pesawat
penerbangan internasional dari negara lain. Konvensi itu penting karena memuat segala
peraturan dan syarat-syarat penerbangan internasional. Selain mengatur tentang sistem
internasional untuk penerbangan, konvensi ini juga mengatur prosedur untuk melakukan
pencarian dan penyelamatan apabila terjadi insiden ataupun kecelakaan (accident) pesawat.
Dalam konvensi tersebut ada istilah contracting state dan party. Menurut Vienna
Convention on the Law of Treaties 1969, (f) contracting state berarti negara yang telah
sepakat untuk terikat oleh perjanjian, terlepas dari apakah perjanjian tersebut ditegakkan atau
pun tidak; sementara itu (g) party berarti negara yang telah sepakat untuk terikat pada
perjanjian dan ketika perjanjian tersebut ditegakkan.
Di dalam Lampiran 12 Konvensi telah disebutkan bahwa contracting state wajib
mengoordinasikan organisasi pencarian dan penyelamatan bersama dengan negara tetangga
yang berdekatan dengan contracting state. Secara prosedural, pelibatan negara-negara
tetangga tersebut juga harus didasarkan atas permintaan. Dalam kasus QZ8501, walaupun
telah banyak negara yang menawarkan bantuan untuk mencari pesawat, Indonesia tetap harus
membuat surat permintaan kepada negara-negara tersebut. Isinya tentang detail dari misi
penyelamatan, kebutuhan yang diperlukan, syarat-syarat tentang apa yang boleh dan yang
tidak boleh dilakukan serta bagaimana cara berkoordinasi dengan Basarnas.
Negara-negara yang terlibat juga perlu melaporkan berapa jumlah personel, jenis kendaraan
atau alat yang dibawanya pada saat akan membantu. Oleh sebab itu kita dapat
membayangkan kerumitan langkah dan prosedur dalam situasi genting.
***

66

Kedua, kerja sama antarnegara juga dapat dikaitkan dari sisi ekonomi, penting untuk mencari
tahu penyebab hilangnya pesawat QZ8501 karena pesawat yang berjenis Airbus A320- 200
ini juga banyak digunakan negara-negara lain.
Pesawat ini termasuk keluarga Airbus A320. Jumlah pemesanan dari keluarga A320 ini
mencapai 6.300 unit dan telah dikirim lebih dari 3.500 pesawat untuk 280 operator di seluruh
dunia. Pesawat ini dirakit sebagian besar di Prancis, tetapi dengan sejumlah fasilitas produksi
yang menyebar di Jerman, Spanyol dan Inggris.
Tahun 2009, China adalah salah satu negara yang mendapat kesempatan untuk mendirikan
fasilitas akhir perakitan Airbus di luar daratan Eropa. Hal ini dapat terjadi karena China
termasuk pembeli terbesar produk-produk Airbus.
Jumlah pemesanan untuk jenis Airbus A320 mencapai 351 unit untuk 12 operator. AirAsia
sendiri telah memesan 184 dan telah dipenuhi 157 buah. Pemesanan ini cocok dengan strategi
bisnis AirAsia yang membidik pasar penerbangan jangka menengah yang memiliki jangkauan
6.150 km. Satu harga pesawat A320-200 diperkirakan mencapai USD94 juta atau sekitar
Rp1,1 triliun.
***
Dalam musibah QZ8501, Indonesia juga diminta melakukan introspeksi dalam hal prosedur
keselamatan penerbangan. Sejumlah komentator mengingatkan status rendahnya kualitas
keselamatan penerbangan kita seperti pada tahun 2007 ketika Komisi Uni Eropa melarang
seluruh penerbangan dari maskapai Indonesia mendarat di Eropa. Saat itu tingkat kecelakaan
fatal maskapai penerbangan Indonesia lebih tinggi dari rata-rata dunia. Rata-rata kecelakaan
fatal dunia untuk tiap 1 juta take-off hanyalah 0,25, sementara skor Indonesia 3,77.
Mengingat ke depan permintaan terhadap transportasi yang membantu mobilitas penduduk
akan terus meningkat, termasuk juga moda transportasi udara, Pemerintah Indonesia
diingatkan untuk bergegas membenahi sistem dan kualitas keselamatan penerbangan. Hal ini
mencakup kondisi kelayakan pesawat udara; sumber daya manusia yang menerbangkan,
menjadi awak, serta mengawal lalu lintas penerbangan; juga prosedur ketika sampai terjadi
musibah.
Kerja sama internasional untuk mencari solusi ketika sampai terjadi musibah terbukti berjalan
cukup baik, prosedurnya pun cukup jelas. Artinya perhatian untuk perbaikan justru perlu
diarahkan ke dalam diri sendiri. Semoga instansi terkait berhasil menciptakan rasa aman yang
sempat terkoyak karena musibah QZ8501.

DINNA WISNU, PhD


Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
67

Jurnalisme Kemasan Tanpa Perasaan

Koran SINDO

Kamis, 1 Januari 2015

Tabir gelap hilangnya Pesawat AirAsia QZ8501 mulai terungkap dengan ditemukannya
serpihan pesawat dan jasad yang diduga penumpang oleh tim Basarnas di sekitar Selat
Karimata, Selasa (30/ 12). Seluruh kanal informasi mulai media arus utama hingga media
sosial dibanjiri berita seputar musibah ini.

Yang mengejutkan sekaligus membuat geram adalah tayangan sebuah stasiun televisi berita
nasional yang secara berulang-ulang menyiarkan jasad yang diduga penumpang tersebut
secara dramatis tanpa di-blur! Atas nama eksklusivitas dan kebaruan berita, stasiun televisi
tersebut seolah tanpa bersalah menerabas etika serta standar perilaku siaran sekaligus
menyakiti perasaan keluarga korban dan membuat resah masyarakat yang menyimak produk
jurnalisme kemasan mereka.
Resonansi Dramatis?

68

Tentu masyarakat butuh informasi yang cepat dan akurat untuk mengetahui setiap
perkembangan terkait dengan musibah pesawat AirAsia tersebut. Hal ini, juga menjadi tugas
media massa untuk mengabarkan setiap kejadian yang menjadi perhatian publik. Tetapi
mengabarkan suatu kejadian, terlebih yang bersifat musibah dan bisa menimbulkan trauma
psikologis dan kesedihan mendalam pada banyak orang, butuh empati dan kehati-hatian
dalam memproduksi dan menyebarkannya.
Media audio-visual seperti televisi memiliki resonansi melebihi kanal saluran informasi
lainnya. Eksploitasi gambar dan narasi kesedihan secara berlebihan akan menghadirkan
dramatisasi fakta. Fenomena seperti ini secara sadar menjerumuskan jurnalisme kemasan
pada salah satu pelanggaran yang sering diingatkan Paul Jhonson dalam artikelnya, The
Media and Truth: Is There a Moral Duty? (1997), tentang Seven Deadly Sins sebagai
dramatisasi fakta. Meskipun bukan fakta palsu, eksploitasi visual jasad mengambang tanpa
di-blur menurut penulis sederajat dengan kesalahan saat media mengumbar fakta palsu!

Ada beberapa kritik terkait dengan resonansi dramatis yang dikemas beberapa media dalam
musibah AirAsia QZ8501. Pertama, beberapa media mengejar banyak keluarga korban untuk
diwawancarai. Kalau kita perhatikan secara saksama, di banyak tayangan yang disiarkan live
beberapa stasiun televisi, banyak keluarga korban yang merasa terintimidasi oleh kerja
jurnalis televisi. Bidikan kamera, berondongan pertanyaan yang tentu secara sadar ditonton
jutaan pemirsa, menjadi potongan cerita yang diramu secara melodramatik.

Yang menyebalkan, saat keluarga korban tampak tak sanggup menahan kesedihan dan tak
kuasa menahan nestapa yang harus mereka tanggung, tanpa canggung jurnalis televisi
tersebut justru mencoba mengambil sudut gambar yang menjadi pesan ketidak berdayaan
keluarga korban sebagai komoditi eksklusivitas. Tak disangkal, bahwa nilai humanistis
menjadi salah unsur kuat dalam nilai berita, tetapi tayangan tersebut secara sadar telah
mengintimidasi dan mengeksploitasi korban secara berlebihan.
Di beberapa tayangan, keluarga korban yang sudah berupaya menyetop wawancara, terus
dipancing dan dijerat untuk menjawab dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak
terlalu signifikan untuk publik dan juga keluarga yang ditimpa musibah.
Kedua, banyak tayangan sejumlah televisi yang mencampuradukkan kebutuhan informasi
terkait dengan musibah hilangnya AirAsia QZ8501 dengan spekulasi, isu, dan gosip jalanan.
Sejumlah grafik dan visual lainnya menjadi pengabsah paket kemasan untuk meyakinkan
khalayak. Celakanya, di beberapa stasiun televisi spekulasi diwadahi tanpa diperkuat datadata mendalam dan analisis ahli secara verifikatif sehingga ulasan tampak hanya di kulit
permukaan.

69

Bercampurnya fakta dan asumsi mengenai penyebab musibah, spekulasi keberadaan pesawat,
dan bumbu-bumbu cerita menyedihkan seputar korban dan keluarga korban lebih banyak
memosisikan musibah ini sebagi komoditi siaran. Fenomena semacam ini semakin
meneguhkan tesis Douglas Kellner dalam bukunya, Television and the Crisis of Democracy
(1990) yang menyatakan tingkah laku industri penyiaran akan semakin ditentukan oleh the
logic of accumulation and exclusion.
Memang benar, bahwa musibah semacam ini mengundang rasa ingin tahu, tetapi media
massa, terlebih banyak ditonton orang, bukanlah saluran gosip, isu, dan haru biru para korban
dalam perspektif jualan paket kesedihan. Salah satu bentuk logika komodifikasi musibah
ini adalah tayangan kasatmata jasad yang diduga penumpang tadi. Mengacu pada tulisan
Vincent Mosco dalam The Political Economi of Communication (1996), komodifikasi itu
merupakan pemanfaatan isi media dilihat dari kegunaannya sebagai komoditi yang dapat
dipasarkan.
Sangat bisa dimaklumi, saat salah satu televisi berita menayangkan berulang-ulang jasad
penumpang tanpa di-blur, sontak protes dan sumpah serapah berhamburan dari keluarga
korban yang sedang berkumpul di Crisis Center Terminal 2 Juanda dan juga masyarakat
beperhatian (attentive public) yang melek bahwa tayangan tersebut melanggar kepatutan dan
standar siaran!
Retrogresi Media
Kegelisahan soal tayangan musibah di televisi, sesungguhnya bukan semata saat hilangnya
pesawat AirAsia QZ8501 saja. Di banyak musibah lain yang terjadi sebelumnya, kerap siaran
berita juga kurang mengembangkan jurnalisme empati. Secara substantif, hal ini juga
berpotensi menyebabkan retrogresi media atau pemburukan dan penurunan kualitas isi media
karena lemahnya standar kerja jurnalistik yang diterapkan. Muncul sejumlah paradoks peran
media dalam menjaga eksistensinya sebagai ruang publik.
Ilmuwan John Hartley dalam Politics of Picture: The Creation of the Public in the Age of
Popular Media (1992), menegaskan televisi, koran, majalah, dan media lainnya merupakan
domain publik, tempat di mana publik sering diciptakan, oleh karenanya mengandung
pemahaman public sphere. Saat media lebih mengedepankan kepentingan kumulasi ekonomi
atau kepentingan politik pemilik maka faktanya urusan dan harapan publik terpinggirkan
dengan sendirinya. Prinsip bonum commune atau media mengedepankan kepentingan umum
dianggap utopia oleh para pengelolanya.
Media sebagai ruang publik terlebih yang menggunakan frekuensi milik publik wajib
menghormati nalar, etika dan regulasi yang berlaku guna menjaga keadaban publik. Media
dibutuhkan sebagai pemberi kabar, bukan semata-mata penjual paket kesedihan!

DR GUN GUN HERYANTO


70

Dosen Komunikasi Politik di UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute

Respons Kita Pascabencana

Koran SINDO

2 Januari 2015

Persepsi manusia tentang bencana memang sangat subjektif. Itu sebabnya, ambil misal,
seorang mahasiswa bernama sapaan Cia bisa mengirim pesan haru-biru tentang kecelakaan
pesawat AirAsia, tatapi absen berkomentar satu kata atau bahkan satu simbol pun di akun
Facebook-nya.
71

Subjektivitas itu pula yang contoh lain mendorong seorang petinggi lembaga negara sampai
memasang ikon kedukaan AirAsia, tetapi tidak pernah mendisplai ikon kesedihan bencana
lain sebagai foto Blackberry-nya.

Subjektivitas sedemikian rupa pada dasarnya manusiawi. Namun respons-respons subjektif


itu juga yang kemudian memantik sinisme dari sesama masyarakat. Orang-orang mulai saling
membandingkan perbedaan reaksi terhadap satu bencana dan bencana lain.

Media massa tidak luput dari sorotan itu. Reportase panjang dan dramatis bertubi-tubi tentang
AirAsia dihidangkan ke pemirsa. Sepintas tidak ada perbedaan dengan liputan mereka
mengenai musibah-musibah lainnya. Namun, bila diamati lebih jauh, hanya pada kejadian
AirAsia semua media elektronik menayangkan breaking news dengan frekuensi luar biasa
tinggi. Wajar, itu karena pada peristiwa inilah otoritas berwenang lebih intens melakukan
konferensi pers, dan media memburu itu.
Puncaknya, manakala serpihan tubuh pesawat serta jasad penumpang ditemukan, berbagai
kalangan termasuk media menyampaikan iklan khusus berisikan ungkapan duka cita terhadap
para korban kecelakaan pesawat AirAsia. Iklan serupa anehnya tidak terlihat saat Pasar
Klewer Solo hangus dalam api, Banjarnegara luluh lantak dalam timbunan tanah longsor,
serta Bandung remuk dalam sapuan angin dan banjir.
Kemalangan di daerah-daerah itu seolah sudah berakhir. Pekerja sosialnya seakan kalah
perkasa. Kerugian para korban seperti telah terganti.

Ada yang mengaitkan perbedaan-perbedaan di atas dengan nasionalisme. Satu bencana


memakan korban orang asing, sementara bencana lain sebatas menewaskan orang lokal,
sehingga liputan media pun lebih mengglobal.
Pihak lain menyebut sentimen primordialistik sebagai biang keladi pembeda derajat simpati
khalayak. Lainnya mengutarakan alasan klasik, bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya
gampang lupa dan mudah terpesona oleh sesuatu yang baru.

Apa pun itu, sulit disanggah bahwa kemasan tayangan yang ditampilkan media berkontribusi
besar terhadap pembentukan persepsi pemirsa serta proses-proses psikologis mereka pada
tahap berikutnya. Dengan asumsi bahwa segala bencana mendatangkan kesedihan yang sama
dan kita semua memanjatkan doa maupun harapan kebaikan terhadap para korban, tanpa
72

kecuali media terlihat berhasil mengekspos kecelakaan AirAsia ke dalam acara-acara yang
lebih teatrikal ketimbang yang mereka lakukan terhadap tragedi-tragedi lainnya.

Bukan semata tangis histeris keluarga korban yang direkam seperti yang sudahsudah. Analisis bisnis penerbangan Tony Fernandes (Chief Executive AirAsia), telaah ilmiahpopuler tentang awan cumulonimbus, keterlibatan teknologi yang dikerahkan armada bala
bantuan, serta dominannya sosok Wakil Presiden Jusuf Kalla selama tahap pencarian
berlangsung yang kemudian digantikan Presiden Joko Widodo setelah korban mulai
ditemukan, semuanya adalah beberapa bahan baku yang sukses diadon menjadi hidangan siap
santap. Saya gunakan kata sukses karena tayangan demi tayangan itu yang mengunci
masyarakat untuk terus bergelut dengan perasaan mereka sejak pertama kali kabar hilang
kontaknya pesawat AirAsia QZ8501 disebar media.

Fenomena betapa publik terhipnosis oleh warta tentang serba-serbi kepiluan AirAsia
membuktikan tesis Marc Trussler dan Stuart Soroka. Melalui penelitian eksperimen, Trussler
dan Soroka menyimpulkan bahwa kendati kebanyakan orang mengklaim lebih menginginkan
informasi positif, namun faktanya mereka secara inheren lebih tertarik mengikuti berita-berita
negatif. Berdasarkan teori tersebut, bisa dipahami bahwa kejadian AirAsia mengandung
berbagai sudut kepiluan yang lebih atraktif untuk membebat afeksi penonton.
Demikian pula, klimaks berupa hancurnya pesawat dan tewasnya seluruh penumpang
menjadikan pemberitaan tentang AirAsia sungguh-sungguh sesuai dengan simpulan Trussler
dan Soroka tadi, bahwa kecanduan pemirsa akan berita buruk terpuaskan pada momen
puncak sekaligus episode akhir liputan tentang kejadian maskapai milik pengusaha Malaysia
itu.
Pembelajaran
Derasnya ulasan berita tentang kecelakaan pesawat AirAsia hari-hari belakangan ini
memantik beberapa persoalan. Pertama, simpulan Trussler dan Soroka mengenai negativity
bias membuat pandangan bahwa jurnalis perlu intensif berlatih menghasilkan warta-warta
kebaikan menjadi rekomendasi yang tidak tepat guna. Karena pada kenyataannya masyarakat
sendiri lebih menantikan kabar-kabar yang penuh horor dan depresif, maka awak media tentu
terdorong untuk mampu bekerja efektif mengenyangkan publik akan rasa lapar kolektif
mereka tersebut.

Kedua, merujuk pada banyak studi, pengaruh pemberitaan media mengenai rentetan bencana
tidak berhenti pada uluran simpati masyarakat kepada para korban. Semakin sering kabar

73

tentang bencana yang media wartakan, semakin tinggi pula keluhan psikosomatis yang akan
pemirsa derita.
Efek sedemikian rupa berlangsung melalui mekanisme vicarious trauma atau vicarious
anxiety. Artinya, tanpa harus mengalami langsung situasi bencana, di kalangan masyarakat
dapat mewabah gangguan kesehatan hanya karena menyimak berita di media cetak dan
elektronik. Di situ terjadi semacam perambatan perasaan terguncang, yakni dari lokasi
bencana ke tempat-tempat lain di mana sekian banyak orang mengikuti perkembangan situasi
bencana tersebut.

Membawa hasil riset di atas ke Tanah Air, epidemi pascabencana menjadi ancaman yang
nyata bagi Indonesia. Statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
memperlihatkan jumlah peristiwa bencana yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada
Agustus 2014 tercatat 972 bencana di Indonesia. September 2014, angka kejadian meningkat
ke 1.027. Bulan Oktober 2014, 1.096. Dan naik ke 1.305 pada November 2014.
Apabila peningkatan jumlah kejadian tersebut diikuti dengan kian gencarnya pemberitaan,
maka vicarious trauma juga semakin potensial dialami pemirsa. Ini, pada gilirannya, dapat
berpengaruh antara lain terhadap produktivitas kerja masyarakat serta kesiapan negara dalam
mengongkosi kebutuhan masyarakat akan biaya pemeliharaan kesehatan.
Ketiga, sebegitu dahsyatnya efek media terhadap reaksi psikologis masyarakat, membuat
saya mengernyitkan kening membayangkan kemurnian rasa belasungkawa masyarakat saat
berhadapan dengan bencana. Bagaimana mungkin menaiknya berita tentang AirAsia justru
menghilangkan berita tentang bencana-bencana lainnya di Tanah Air? Atau dalam manifestasi
lain bagaimana mungkin berpijarnya kedukaan publik terkait AirAsia justru (seakan)
memadamkan simpati terhadap para korban pada beraneka tragedi lainnya? Bagaimana
mungkin simpati terhadap korban bencana ini dan bencana itu bisa berlangsung seperti anak
neraca yang tidak pernah mencapai kesetimbangan?

Sebagai proses psikologis, reaksi semacam itu sekali lagi lumrah belaka. Namun, saya
berharap pertanyaan retoris barusan mendorong kita untuk lebih jujur: apa sesungguhnya
unsur dalam bencana yang membuat ketenangan hati kita pecah berserak digantikan oleh
kesedihan yang berderai air mata? Allahu alam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL


Anggota World Society of Victimology; Anggota Tim Penulis Buku Membantu Anak Pulih
dari Trauma Bencana

74

Pendidikan Jiwa Menurut Rasulullah

Koran SINDO

3 Januari 2015

Selain ekonomi dan politik, pendidikan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam hidup
manusia, karena itu pula selalu hangat untuk dijadikan topik bahasan dalam berbagai arena.
Tema-tema diskusi tentang pendidikan pun terus berkembang dan selalu menawarkan ragam
formula mutakhir.
Memang, kejayaan sebuah bangsa sangat terkait dengan pendidikan. Jika pendidikannya
maju, maju jayalah bangsanya, jika pendidikannya hancur-hancuran, demikian pula keadaan
suatu bangsa. Buktinya, begitu banyak negara yang kaya-raya sumber daya alamnya, tetapi
tetap tengkurap dalam kemiskinan disebabkan pendidikannya yang tidak tepat atau salah
menyusun formulasi yang tertuang dalam kebijakan pendidikan nasionalnya.
Contoh konkretnya adalah Indonesia, apa yang kurang pada negara ini? Alamnya memendam
kekayaan migas yang melimpah, penduduknya yang bersuku dan berbangsa nan kaya
khazanah budaya, dan keindahan marga satwanya tak ada duanya. Namun sebaliknya dengan
taraf hidup penduduknya, mayoritas dalam kemiskinan dan berdiam di tempat
kumuh. Benarlah kata pepatah, ayam mati di lumbung padi, itik tenggelam di kolam air.

Saksikan pula negara tetangga yang terdekat, Singapura. Negara itu tidak terlihat dalam peta
dunia, tapi namanya mengalahkan negara sebesar Indonesia. Alamnya tidak ada apa-apanya

75

bila dibandingkan dengan Indonesia. Hanya seonggok pulau yang berisi tanah bebatuan dan
sedikit pasir, bahkan sumber air minum pun tidak ada dan terpaksa harus memasok dari
negeri jiran, Malaysia dan Indonesia. Namun negara itu justru jauh lebih maju daripada
Indonesia. Kabarnya, kemajuan dari sisi pendidikan saja sudah meninggalkan Indonesia lima
generasi ke depan.
Dari segi ragawi, tujuan pendidikan adalah untuk menjaga kelangsungan hidup umat manusia
dengan mengajarkan pada setiap generasi cara bertahan hidup dengan memenuhi kebutuhan
asasinya. Pendidikan akan mengajarkan bagaimana bercocok tanam, membangun teknologi,
mengatur negara, menjaga agama, dan sejenisnya.
Tapi, sisi lain pendidikan, terutama yang berhubungan dengan jiwa manusia, juga penting
yang tidak bisa diabaikan sehingga sifat-sifat tercela pada diri manusia dapat direduksi atau
diminimalkan. Begitu banyaknya masalah yang terjadi di negara ini tidak bisa dilepaskan dari
hasil pendidikan yang selama ini dianggap penuh dengan masalah dan kepentingan golongan
tertentu.
Tindakan tercela yang dilakukan masyarakat umum seperti pembunuhan, perampokan,
pemerkosaan, pencurian, penjambretan masih terus terjadi. Adapun golongan terdidik seperti
pelajar dan mahasiswa kerap melakukan tawuran, demo anarkistis hingga perbuatan asusila
berupa pornografi dan pornoaksi. Demikian pula orang-orang terhormat dari anggota dewan,
jaksa, hakim, politisi, kepala daerah hingga menteri tak luput dari kasus korupsi yang
menggerogoti uang negara dan mengakibatkan bangsa berada dalam kemiskinan dan
kenistaan.

Tiga Tahap

Salah satu fungsi diutusnya Nabi Muhammad kepada seluruh umat manusia adalah agar
menjadi suri teladan (uswatun hasanah) dalam berbagai aspek, tak terkecuali dalam
pendidikan.
Fungsi Nabi sebagai pendidik dipertegas dalam Alquran, Sebagaimana kami telah mengutus
kepadamu Rasul (Muhammad) dari kalangan kamu yang membacakan ayat-ayat Kami,
menyucikan jiwa kamu dan mengajarkan kitab dan hikmah, serta mengajarkan apa yang
belum kamu ketahui. (QS Al-Baqarah: 151).
Rasulullah, selain mengajarkan ayat-ayat dalam bentuk tekstual sebagaimana yang tertuang
dalam kitab suci, juga mengajarkan ayat kontekstual berupa hamparan bumi, langit, dan
segenap isinya, semua itu adalah bagian dari kurikulum pendidikan sang Nabi kepada
segenap umat manusia.

76

Ada pula bentuk hikmat yang juga tertuang dalam sila keempat Pancasila Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Hikmat dalam
pandangan Alquran adalah kebaikan yang banyak, Dia memberikan hikmah kepada siapa
yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi
kebaikan yang banyak, (QS Al- Baqarah: 269).

Namun roh pendidikan Nabi yang berbasis wahyu adalah pendidikan jiwa atau dengan nama
lain penyucian jiwa (tazkiatun-nafs), inilah inti dan tujuan utama sebuah pendidikan.
Dapat dimengerti, karena manusia memiliki dua unsur utama jiwa dan raga, pendidikan yang
mengutamakan fisik dan material hanyalah menyentuh dimensi raga saja, belum pada aspek
jiwanya. Jiwa adalah fitrah dan pada hakikatnya manusia terlahir dalam keadaan fitrah nan
suci; keluarga, alam, dan lingkungan yang akan mengubahnya menjadi manusia curang,
pendusta, penipu, dan tidak amanah.
Maka pendidikan akan berfungsi mengembalikan manusia pada fitrahnya. Allah pun
mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan. Maka beruntunglah orang
yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang yang mengotorinya.

Setidaknya ada tiga pendidikan jiwa yang telah digagas dan dipraktikkan
Rasulullah. Pertama, tahkliyah, sebuah proses mengosongkan jiwa dari segala ajakan hawa
nafsu dari kecenderungan yang dapat menjerumuskan diri dari perbuatan yang diharamkan
Allah, terangkum dalam dua fitnah, subhat dan syahwat. Yang pertama merupakan bentuk
kesamaran yang ditiup oleh setan ke dalam hati manusia agar mereka senantiasa berada
dalam keragu-raguan. Subhat juga beragam, ada subhat syirik, nifak, dan bidah.

Adapun yang kedua merupakan insting yang dengannya jiwa menyukai sesuatu dan
cenderung kepadanya. Syahwat mencakup berahi, rakus, syahwat kekuasaan, syahwat politik,
kikir, boros, dusta, dengki, dendam, marah, sombong, bangga diri, pamer, berpikir
keterlaluan, terlampau sedih, terlalu senang, malas, dan putus asa.

Kedua, tahliyah. Setelah selesai melakukan pengosongan diri dari cengkeraman hawa nafsu,
tahap berikutnya adalah pengisian jiwa oleh sifat-sifat terpuji (mahmudah). Kebiasaan lama
yang buruk telah ditinggal dan ditanggalkan lalu diganti dengan kebiasaan baru yang baik,
sehingga tercipta kepribadian yang baru. Inilah tahliyah sesungguhnya yang merupakan
proses penghiasan jiwa dengan amal saleh.
77

Ibnul Jauzi, sebagaimana ditulis Ahkmad Alim dalam Tafsir Pendidikan Islam, 2014,
menyebut bahwa jiwa harus diisi dengan bertahap, yaitu mujahadah (perjuangan),
muhasabah (introspeksi), tafakur (merenungi keagungan Tuhan), takut kepada Allah (khauf),
selalu mengharap (raja), dan puncak dari semua proses itu adalah cinta yang tertinggi hanya
pada Allah (mahabbatullah).
Ketiga, tahqiq atau aktualisasi sikap. Setelah melalui proses pertama dan kedua (takhliyah
dan tahliyah), tahapan selanjutnya adalah tahqiq ubudiyah. Tahqiq bermakna aplikasi
(muthabaqah), kesesuaian (muwafaqah), dan penerapan (itsbat) permurnian (tashfiyah);
sementara ubudiyah adalah bentuk pengabdian seorang hamba pada Allah semata dengan
mengerjakan apa yang dicintai-Nya dalam bentuk ucapan, perbuatan, baik lahir maupun
batin.
Maka yang dimaksud tahqiq ubudiyah adalah suatu proses untuk mengaktualisasikan dari
nilai ibadah yang dikerjakan untuk kemudian dipraktikkan dalam perilaku hidup sehari-hari
sebagai bentuk pengabdian pada Tuhan. Proses ini pula dalam pandangan Ibnul Jauzi sebagai
proses pengejawantahan dari ilmu dan amal menuju manusia yang menghambakan diri hanya
kepada Allah.
Maka pendidikan jiwa dapat diartikan sebagai, an yalama annallaha taala maahu haitsu
kana. Mengetahui bahwa Allah selalu bersamanya di mana dan kapan pun berada. Atau
sebuah upaya untuk menyucikan jiwa dari berbagai kecenderungan buruk dan dosa,
kemudian menghiasinya dengan amal saleh dan sifat-sifat terpuji agar selalu tunduk dan
patuh pada Allah.
Begitulah pendidikan jiwa ala Rasulullah yang sangat layak menjadi pertimbangan untuk
diikuti segenap rakyat Indonesia, lebih khusus pengikut Rasulullah yang hari ini merupakan
hari kelahirannya (12 Rabiul Awal 1436 H) atau lazimnya disebut hari maulid.
Akan lebih sempurna jika Maulid kali ini menjadi momentum untuk meneladani beliau dari
segi pendidikan jiwa agar jiwa-jiwa rakyat Indonesia sehat, bukannya sakit jiwa lantaran
masalah kian datang silih berganti akibat kebijakan orang-orang yang tidak
mempertimbangkan aspek kejiwaan para rakyatnya. Dan untuk para pendidik hendaklah
mendidik sepenuh jiwa agar peserta didik pun menimba ilmu tidak separuh jiwa. Wallahu
alam!

ILHAM KADIR
Peneliti MIUMI dan Mahasiswa Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor

78

Manusia Modern (2): Takhayul

Koran SINDO

4 Januari 2015

Pada 10 November 2014 lalu kebetulan saya menghadiri sebuah acara Hari Pahlawan di
Gedung Joang, Jakarta Pusat. Selesai acara, ketika bersiap naik mobil mau lanjut ke kampus,
Junus, sopir saya, minta uang Rp50.000.

79

Ketika saya tanya buat apa? Jawabnya, dia baru saja tidak sengaja menggilas kucing yang
sedang tidur di bawah roda mobil yang sedang parkir dan dia mau minta tolong satpam untuk
mengubur jenazah kucing selayaknya, jangan sampai nanti dia celaka gara-gara arwah si
kucing.

Karena saya tidak percaya takhayul, saya tidak mau memberinya uang. Maka kata saya,
Kucing itu kan kamu yang melindas, bukan saya? Ya sudah, kamu tanggung jawab. Eeeh...
ternyata dia benar-benar mau tanggung jawab, yaitu dia minta uang makannya untuk hari itu,
siang itu juga, dan diserahkannya langsung kepada pak satpam. Buat Junus, lebih baik dia
pulang tanpa uang makan daripada dia diuber-uber arwah kucing terus.

Sebaliknya, saya pernah berwisata dengan teman-teman dari kampus UI, menuju Cirebon,
naik bus wisata. Di tengah jalur pantura yang mulus, bus sedang berjalan kencang, tiba-tiba
terdengar suara Dug! dan terasa bis membentur benda keras. Penumpang yang duduk di
kursi paling belakang, menyempatkan diri untuk menengok ke belakang. Apaan, tuh? tanya
penumpang yang lain. Enggak apa-apa, anjing doang, jawab yang melihat dan bus itu
melaju terus tanpa mengurangi laju bus. Bahkan, percaya atau tidak, kita sering membaca
berita tentang kasus tabrak lari, walaupun yang tewas itu manusia; bukan kucing, apalagi
anjing.

Lain cerita teman saya yang kebetulan bermukim di Melbourne, Australia. Pada suatu hari dia
juga naik bus dan tiba-tiba busnya menabrak kanguru (yang sering menyeberang seenaknya,
seperti sapi-sapi di Aceh), maka bus itu pun berhenti.
Tetapi yang mencengangkan ada tiga mobil lain yang ikut berhenti, penumpangnya turun
untuk ikut membantu kalau-kalau ada yang bisa dilakukan, dan salah satu di antara mereka
melalui ponselnya menelepon petugas taman wisata (kalau di Amerika Serikat disebut
ranger) untuk melaporkan kejadian dan minta pertolongan. Sesudah mobil petugas datang,
barulah orang-orang ini pergi meninggalkan tempat. Di Australia, negara sekuler, nyawa
binatang pun dilindungi undang-undang.

***

Dalam tulisan akhir tahun saya Minggu lalu, 28 Desember 2014, saya menyampaikan ciri-ciri
manusia modern menurut versi Alex Inkeles dan Revolusi Mental Prof Dr Paulus Wirutomo.
Dua-duanya sosiolog. Yang satu dari Harvard, AS; yang kedua dari UI, Indonesia.
80

Di samping itu, saya sampaikan juga gambaran mental orang Indonesia menurut budayawan
Mochtar Lubis yang menerangkan betapa kontradiksinya mentalitas manusia Indonesia
dengan ciri orang modern seperti yang digambarkan oleh Inkeles dan Wirutomo. Salah satu
ciri manusia Indonesia yang merupakan kontradiksi dari ciri modern adalah percaya kepada
takhayul itu.
Dalam pidato kebudayaannya tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki, Mochtar Lubis
mencontohkan takhayul bukan tentang kucing, anjing atau jailangkung, melainkan hal-hal
yang biasa disampaikan oleh para pemimpin bangsa ketika itu. Berikut saya kutipkan
sebagian pidato beliau, Manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung, dan
keris mempunyai kekuatan gaib. Percaya manusia harus mengatur hubungan khusus dengan
ini semua untuk mereka-mereka (baca: kekuatan gaib, yang di atas, yang maha kuasa) agar
jangan memusuhi manusia, termasuk memberi sesajen.
Kemudian kita membuat mantra dan semboyan baru: Tritura, Ampera, Orde Baru, the rule
of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang adil dan merata, insan pembangunan.
Sekarang kita membikin takhayul dari berbagai wujud dunia modern. Modernisasi satu
takhayul baru, juga pembangunan ekonomi. Model dari negeri industri maju menjadi
takhayul dan lambang baru, dengan segala mantranya yang dirumuskan dengan kenaikan
GNP atau GDP.
Tetapi apakah Indonesia bisa maju karena mantra dan semboyan itu? Sama sekali tidak.
Itulah takhayulisme yang menurut Mochtar Lubis adalah adanya kepercayaan yang di luar
logika, yaitu bahwa segala sesuatu ditentukan oleh yang di luar kita dan yang di luar kita
itu bisa kita bujuk melalui doa dan mantra. Kalau kita tarik ke zaman reformasi sekarang,
kata-kata yang sering jadi jargon pemimpin-pemimpin masa kini seperti demokrasi, otonomi
daerah, hati nurani, HAM, kebebasan pers, good governance, akuntabilitas, hukum syariah,
dll. juga takhayul.
Dengan takhayul, salah satu syarat manusia modern yang tidak bisa dipenuhi adalah bahwa
manusia modern itu punya rencana dan pengorganisasian dan lebih percaya pada ilmu
pengetahuan dan teknologi dari pada takhayul. Bahkan saya berani mengatakan bahwa agama
pun sudah dijadikan takhayul. Seolah-olah kalau sudah meneriakkan takbir Tuhan akan
mengizinkan segala sesuatu yang kita kehendaki, termasuk yang merugikan orang lain.
Anak nakal dimasukkan pesantren dengan harapan otomatis akan menjadi baik. Perempuan
dilarang membonceng sepeda motor ngangkang supaya tidak merangsang syahwat laki-laki,
dan sebagainya. Padahal semua itu tidak ada hubungan sebab akibat, sejauh yang dilakukan
hanya simbol-simbol belaka, tanpa ada usaha khusus.
Agama seperti yang diajarkan para nabi adalah bekerja/berusaha dulu, baru diiringi doa
(dalam bahasa Latin: ora et labora). Jadi anak nakal didik dulu yang baik sesuai dengan ilmu
pendidikan yang benar, baru didoakan (boleh di pesantren, boleh juga tidak), maka anak itu
81

akan menjadi baik. Mau memberantas pelacuran atau perkosaan, laki-lakinya yang dihukum
berat, jangan perempuannya yang dilarang ngangkang.
Terus bagaimana caranya agar Junus bisa menyopiri saya dengan selamat? Jaga kondisi fisik,
cek kondisi mobil dengan teratur, hati-hati dan fokus di jalan, dan jangan lupa berdoa
sebelum jalan. Insya Allah selamat. Jadi enggak usahlah buang-buang uang makan hanya
untuk memakamkan seekor kucing yang wafat di Gedung Joang saat Hari Pahlawan.

SARLITO WIRAWAN SARWONO


Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

82

Tahun Baruan: Tradisi dan Larangan

Koran SINDO

5 Januari 2015

Perayaan malam pengujung akhir tahun atau malam tahun baruan yang dalam istilah bahasa
Inggris new years eve merupakan tradisi baru bagi masyarakat Indonesia.
Setiap malam pergantian tahun, seluruh masyarakat riuh rendah membuat berbagai acara

83

untuk menyambutnya seolah-olah malam itu begitu sakral dan menentukan nasib dan
kehidupan seseorang. Bahkan malam tersebut dianggap sebagai makhluk yang harus
mendapat perlakuan istimewa dengan berbagai persiapan dan penataan ritual upacara, mulai
penataan hiburan, kembang api, terompet, bahkan makanan dan minuman dengan beragam
jenis menurut kemampuan masing-masing. Mereka yang tidak memiliki acara karena
keterbatasan kemampuan keuangan biasanya tumpah ruah ke jalan untuk menunggu detikdetik pergantian tahun dengan penuh sukacita sehingga kemacetan merupakan kegiatan rutin
yang biasa dijumpai.
Ingar-bingar lampu yang berwarna-warni; musik yang berdentum dengan keras; suara
penyanyi mulai dari kelas miliaran, seratusan juta, puluhan juta, kelas jutaan, kelas ratusan
ribu, bahkan penyanyi yang tidak kebagian kelas; melengking mengisi langit-langit malam,
menggetarkan jantung seluruh pengunjungnya, membawa mereka pergi terbang ke angkasa
menuju singgasana kebahagiaan, melupakan berbagai peristiwa yang menimpanya dalam
setahun ke belakang.
Tawa dan jerit pengunjung terus bergemuruh diiringi jingkrak badan, geleng kepala, dan
kepalan tangan tanpa terbatasi oleh usia, tua muda sama saja, pokona mah palebah malam
taun baru mah, aki-aki jeung nini-nini jadi ngora deui. Padahal pergantian tahun adalah
berkurangnya umur.

Ketika waktu menunjukkan pukul 23:59:51, tibalah saat istimewa itu. Terhitung angka
mundur dari 9, 8. 7, 6 , 5, 4, 3, 2 ,1, maka pecahlah seluruh kegembiraan itu. Langit menjadi
berwarna-warni karena dihiasi kembang api, suara terompet bergemuruh membelah
keheningan malam, setiap orang menjerit mengekspresikan kegembiraan, saling
mengucapkan salam dan berpelukan seolah-olah mendapat hadiah besar dari langit ketujuh.
Berbagai aksi pecahlah setelah itu; suara motor yang meraung, knalpot yang tiada henti,
musik yang semakin keras membuat bumi menjadi bergetar, langit pun ikut bergoyang.
Setelah itu berbagai peristiwa itu diekspresikan dengan berbagai tingkah manusia pawai
berkeliling jalan, melanjutkan duduk bergerombol atau hal-hal lain yang 17 tahun ke atas. Itu
dulu, sekarang sudah bukan 17 tahun ke atas, tetapi sudah merambah 17 tahun ke bawah,
pokona mah kitu we lah.
Sebagai masyarakat yang gehgeran (latah), peringatan Tahun Baru itu seperti menjadi
kenduri wajib yang mesti dilaksanakan. Tanpa harus digerakkan negara, masyarakat rela
melakukan apa pun dengan biaya sendiri. Mereka keluar rumah sejak sore hari membawa
berbagai perbekalan yang dianggap perlu untuk menyambut tibanya pukul 00.01.

Kini budaya Tahun Baru dengan terompetnya sebagai aksesori ritual bukan hanya dominasi
masyarakat perkotaan. Di pinggir-pinggir desa kini ritual tersebut mulai dilaksanakan. Entah

84

siapa yang memulainya dan entah mulai kapan kebudayaan ini begitu kuat pengaruhnya bagi
masyarakat Indonesia.
Berbagai imbauan dan larangan terus digulirkan oleh berbagai pihak yang tidak sepakat
dengan peringatan Tahun Baru karena dianggap bertentangan dengan nilai ajaran dan
keyakinan, bahkan untuk tahun ini imbauan itu juga muncul dari institusi negara karena
Indonesia sedang berduka dengan jatuhnya pesawat AirAsia QZ 8501 yang memberikan duka
yang cukup dalam bagi bangsa Indonesia.
Terlepas dari persoalan duka itu, sebuah keharusan kemanusiaan kita mesti memberikan doa
dan empati bagi korban dan keluarganya atas musibah yang dialami. Sebagai bangsa dan
masyarakat yang memiliki nilai solidaritas, kemanusiaan, dan persatuan, alangkah naifnya
apabila empati tersebut harus tergerus oleh berbagai keinginan yang bersifat sesaat.
Walaupun selalu saja ada tanya dari Mang Udin di kampung saya, mengapa bila pesawat
yang jatuh semua orang menjadi sibuk, menjadi berita besar; sedangkan bila tabrakan motor,
tergulingnya bus atau kereta, atau Ma Icih yang sakit hingga meninggal karena tak mampu
berobat tidak pernah jadi berita besar apalagi mendapat empati dunia?

Kata saya, pertama, peristiwa jatuhnya pesawat merupakan peristiwa yang langka. Yang
kedua, penerbangan itu melibatkan hubungan internasional. Yang ketiga, korban dalam
pesawat bukan hanya orang Indonesia, melainkan warga dari berbagai negara sehingga
peristiwa tersebut selalu menjadi berita utama baik berita nasional maupun internasional.
Keempat, peristiwa tersebut juga menjadi perhatian para kepala negara dan kepala
pemerintahan di berbagai belahan dunia.
Namun peristiwa duka tersebut seolah tidak memberikan pengaruh bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Tetap saja peringatan Tahun Baru memiliki catatan kemeriahan di
berbagai tempat.
***

Kalau bicara tahun baru, orang Indonesia itu memiliki 3 peristiwa tahun baru. Pertama, Tahun
Baru Masehi, yang kedua Tahun Baru Hijriah, dan yang ketiga tahun baru daerah seperti
tahun baru dalam sistem penanggalan Jawa, tahun baru dalam sistem penanggalan Sunda, dan
tahun baru dalam sistem penanggalan di berbagai daerah di seluruh Nusantara.
Tahun Baru Masehi dalam tradisi ibu saya selalu disebutnya dengan bulan umum, artinya
sistem penanggalan yang mengadopsi tradisi budaya Masehi dan menjadi penanggalan resmi
pemerintah. Tahun Masehi merupakan standardisasi penanggalan Pemerintah Indonesia yang

85

berlaku untuk dunia birokrasi, dunia perbankan, dan kepentingan penanggalan lain. Atas
nama hukum penanggalan yang berlaku secara internasional, kita sudah masuk secara budaya
penanggalan menjadi subordinasi dari sebuah kebudayaan global yang merupakan tradisi
orang lain.

Yang kedua adalah bulan Hijriah, merupakan sistem penanggalan yang didasarkan pada
peristiwa Hijrah Rasulullah SAW dengan sistem penanggalan bulan sebagai rujukan
perhitungan. Dari sisi wilayah, peristiwa tersebut terjadi pada wilayah Timur Tengah yang
menjadi pusat lahir dan berkembangnya ajaran Islam. Penanggalannya diawali pada 1
Muharam.

Dalam sistem penanggalan Hijriah sering kali saya dibuat bingung dengan sistem penetapan 1
Ramadan dan 1 Syawal karena sering kali terjadi perbedaan pendapat antara satu golongan
dengan golongan yang lain. Terlepas dari perbedaan itu adalah hikmah, ada pertanyaan yang
sampai hari ini belum terjawab, kenapa kalau menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal sering
berbeda, sedangkan menentukan 1 Muharam selalu sama? Logikanya adalah kalau ada 1
tanggal yang beda pada bulan Ramadan dan bulan Syawal, kenapa tanggal 1 Muharam bisa
sama?
Atau mungkin perbedaan itu hanya khusus untuk 1 Ramadan dan 1 Syawal? Kalau begitu
saya memiliki usul terbalik, tanggal yang lain boleh beda, tapi kalau tanggal 1 Ramadan dan
1 Syawal harus sama karena tanggal ini sangat strategis dan sakral bagi saya dan masyarakat
muslim Indonesia.
Penanggalan berikutnya adalah penanggalan yang didasarkan pada kebudayaan pada setiap
daerah. Ibu saya menyebutnya bulan urang. Dalam sistem penanggalan Jawa yang di
dalamnya dikenal istilah Wage, Pahing, Kliwon, Legi, setiap tanggal dan hari memiliki
makna sendiri-sendiri bagi setiap orang, tergantung pada hari dan tanggal kelahiran.
Penanggalan dalam tradisi sering kali berhubungan dengan hal-hal yang bersifat mistis
spiritual atau mistis rasional, tergantung pada kita melihat dari sudut pandang masingmasing. Tradisi penggunaan tanggal ini masih sangat hidup di tengah-tengah masyarakat
tradisional yang digunakan untuk penanggalan pernikahan, musim tanam, musim panen,
bahkan dalam dunia pelayaran yang dilakukan para nelayan tradisional.
Rujukan yang digunakan dalam penanggalan ini didasarkan pada peredaran bintang. Dari
situlah para petani dan nelayan mengambil keputusan untuk menanam, memanen atau
berlayar. Tanpa lembaran kalender yang tertera dalam kertas dan perangkat elektronik,
mereka cukup hafal seluruh penanggalan tersebut dan menjadi bagian dari keyakinan hidup
mereka sebagai bangsa yang memiliki warisan kebudayaan leluhurnya.

86

Setiap pergantian tahun mereka selalu melaksanakan ritual. Dalam kebudayaan Sunda ada
yang dikenal dengan peristiwa Seren Taun yang ditandai dengan diturunkannya padi yang
tersimpan di leuit setahun yang lalu untuk ditumbuk dan disimpannya padi hasil panen tahun
ini di dalam leuit. Hal tersebut menunjukkan sistem penghitungan tanggal mereka telah
melahirkan sistem pertanian yang tertata. Kebutuhan akan beras pun tercukupi dengan baik,
bahkan mereka memiliki cadangan yang cukup untuk setahun ke depan.

Begitu juga para nelayan yang menggunakan sistem penanggalan dan pelayaran dengan
kebudayaan mereka. Sebenarnya mereka cukup mapan dengan hasil yang diraihnya.
Kehancuran mereka lebih disebabkan persaingan yang tidak seimbang di tengah laut antara
kaum tradisi dengan kaum kapitalis serta budaya tauke yang terjadi ketika mereka di darat.
Sebesar apa pun penghasilan mereka, hal itu tidak membuat mereka menjadi kaya, yang kaya
tetap saja para tauke.
Kalau kaum tradisi dengan keyakinan penanggalan leluhurnya telah mampu menjadi
masyarakat yang makmur dan mandiri, kenapa kita yang menggunakan penanggalan
internasional berdasarkan tradisi yang dimiliki orang lain menjadi bangsa yang terus
bergantung kepada mereka?
Jangan-jangan kita ini memang salah dalam menggunakan penanggalan sehingga
penghitungan politik, ekonomi, dan hubungan perdagangan kita mudah dilacak dan dibaca
teknologi yang mereka miliki. Bagi para pegawai, kini tanggal 1, 2, 3 atau tanggal muda
sudah tidak menarik lagi karena seluruh gajinya sudah habis dipotong oleh bank yang
bertanggalkan internasional.

DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta

87

Kewalian dan Gus Durian

Koran SINDO

5 Januari 2015

Inikah yang disebut impian menjadi kenyataan? Di masa hidupnya, Gus Dur sudah disebut
wali oleh sementara kalangan kaum nahdliyin. Tapi yang disebut sementara ini jumlahnya
berjuta-juta orang dan yang berjuta-juta ini pengaruh sosial-politiknya tidak kecil.

Kita tahu media nasional sangat terpengaruh. Ini boleh jadi karena mereka percaya Gus Dur
memang wali sehingga media menyiarkannya bukan sekadar di kalangan kaum nahdliyin,
melainkan di seluruh Indonesia. Media nasional menyanyikan lagu kewalian Gus
Dur. Kemudian media daerah mengikutinya.

Ada orang-orang media yang mungkin skeptis, bahkan tak percaya Gus Dur wali, tapi mereka
menyiarkannya juga karena fenomena kewalian itu jelas laku sekali dijual. Ada momenmomen penting pada tahun 1990-an dulu ketika ibaratnya Gus Dur terbatuk-batuk atau
dehem-dehem pun menjadi berita penting dan diulas panjang lebar di media.
Dalam tiap kali muktamar NU Gus Dur menjadi pusat perhatian seluruh media. Kita ingat
beliau disebut news maker. Berita apa pun, kalau Gus Dur sumbernya, dianggap penting.
Dalam tiap muktamar itu, ketika Gus Dur berdiri dari kursinya dan sekadar mau ke belakang
pun para insan pers yang duduk berkelompok di suatu tempat dengan sigap segera berdiri
untuk dahulu-mendahului agar bisa mengajukan suatu pertanyaan penting. Padahal bisa jadi
saat itu Gus Dur betul-betul hanya ke belakang dan tak mungkin memberikan suatu
wawancara.

Gus Dur seorang wali, resminya wali Allah, diterima luas pula di kalangan media yang bukan
komunitas kaum nahdliyin. Apalagi kalau di dalam media itu ada warga kaum nahdliyin yang
88

menjadi wartawan. Otomatis dia atau mereka akan tampil paling gigih untuk tiap kali
mengulas dalam berita atau esai mereka tentang kewalian Gus Dur.

Meski begitu, banyak di antara kawan-kawan Gus Dur sendiri, terutama dari kalangan
Muhammadiyah atau punya tetesan darah Masyumi, sangat tak percaya pada apa yang
mereka anggap takhayul belaka atau lelucon tak menarik itu. Almarhum Utomo Dananjaya
salah satu contohnya. Almarhum Muslim Abdurahman juga menganggapnya lelucon belaka.

Lalu Gus Dur pun wafat pada tanggal 30 Desember tahun 2009. Jutaan umat NU, ditambah
Muhammadiyah, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan komunitas-komunitas lain, tumplek
blek di Jombang, mengantarkannya ke tempat pemakaman dan menunjukkan dengan tulus
penghormatan terakhir mereka kepada beliau.
Pada saat itulah secara mengejutkan kedudukan beliau sebagai wali ke-10 dikukuhkan. Tentu
saja tak seorang pun menjadi panitia pengukuhan itu. Kita hanya tahu mobil demi mobil,
beribu-ribu banyaknya, ditempeli tulisan Gus Dur wali ke-10.

Kita tidak tahu psikologi kaum nahdliyin. Kita belum tahu bagaimana sebetulnya
penghormatan kaum nahdliyin kepada Gus Dur. Dan pada hari pemakaman beliau itulah kita
tahu betapa tulus sikap hormat mereka kepada beliau.

Saya sendiri, di tengah kerumunan itu, merasa ada kejutan besar yang mengguncang jiwa;
menjadi sebuah kesimpulan bahwa Gus Dur yang sudah dimahkotai kewalian di masa
hidupnya kini mahkotanya itu dikukuhkan dengan resepsi besar-besaran di saat
kematiannya. Dengan merinding saya menafsirkan, tampaknya kewaliannya bukan lelucon,
melainkan anugerah dunia-akhirat yang tak perlu dipertanyakan, tak perlu diragukan.

Di masa duka itu, tak mungkin ada rekayasa. Siapa orangnya yang siap dengan sebuah
rekayasa untuk sebuah kematian yang datang mendadak. Siapa yang, di antara orang-orang
yang hidup dalam dunia rohani itu, siap membuat kebohongan dalam masa duka mendalam
seperti itu?
Tak ada komando mewalikan Gus Dur. Jika hal itu ada, tampaknya dari langit datangnya.
Pada hari itu, kewalian duniawinya dikukuhkan menjadi kewalian dunia-akhirat.

89

Kita dibuat mengerti, beliau bukan sekadar pahlawan nasional. Kepahlawanan bukan apa-apa
dibandingkan dengan kewalian. Ada wartawan sebuah televisi yang begitu mentah
pendapatnya ketika siarannya membahas isu politik bahwa Gus Dur diusulkan menjadi
pahlawan nasional.
Dia membandingkan Gus Dur dengan Pak Harto. Dia bilang Pak Harto belum dijadikan
pahlawan, padahal berjasa; sedangkan Gus Dur, yang dilengserkan, malah dicalonkan sebagai
pahlawan. Dia sama sekali tak tahu persoalan. Gus Dur dicalonkan sebagai pahlawan
nasional atas kapasitas pribadinya dan tidak ada hubungan dengan kepresidenan.

Sebagai pribadi Gus Dur sangat besar. Orang bilang Gus Dur itu larger than life. Jadi, kalau
toh beliau dijadikan pahlawan nasional, apa gunanya kepahlawanan dibandingkan, sekali
lagi, kewalian tadi?

Dawam Rahardjo, yang hampir tak pernah akur dengan Gus Dur, pada akhirnya, entah
mengapa, percaya betul Gus Dur itu wali. Mungkin beliau melihat dengan hati, sedangkan
dua teman yang disebut di atas menganggap kewalian Gus Dur sebagai lelucon, mungkin
lebih karena mereka melihatnya dengan pikiran rasional. Tapi pengakuan atau penolakan
sementara kalangan kelihatannya tak begitu penting dibandingkan gegap gempitanya
penerimaan komunitas kaum nahdliyin yang begitu besar.
Selebihnya, saya kira bangsa kita memang membutuhkan sekali sesuatu yang dapat dijadikan
sejenis pujaan hati seperti kewalian tadi. Fenomena ziarah kubur ke makam wali-wali
membuktikan itu. Menggilanya kunjungan ke makam Gus Dur, yang hingga kini tetap
membanjir, jelas membuktikan bahwa bangsa kita ini haus akan rohani. Ini untuk
menenteramkan hati yang dirusak oleh ekonomi kapitalistik yang serakah dan kejam, dan
oleh politik, dengan segenap watak korup di kalangan pejabat partai maupun birokrasi yang
membuat hancur kepercayaan kita atas apa yang mulia, agung, dan luhur di dalam hidup ini.

Ketika masih hidup, Gus Dur mengobati jiwa masyarakat dengan berbagai sikap dan
pandangan politik yang mengayomi. Sesudah wafat, beliau masih juga tampil dengan
kewaliannya dan menyiram kehausan maupun kekeringan rohani bangsa kita. Saya kira ini
penting menjadi perhatian kaum muda yang tergabung di dalam Gus Durian. Mereka
pengagum dan pengikut Gus Dur yang setia, bukan dengan kesetiaan buta, bukan dengan
sikap taklid, tapi dengan rasio yang sehat wal-afiat. Tiap saat mereka berkumpul dan
mengingat kembali kemuliaan Gus Dur.

90

Di Wisma Makara, Depok, belum lama ini mereka menyelenggarakan simposium. Apa yang
penting di sana? Dalam forum kebudayaan, saya usulkan agar Gus Dur tidak dijadikan mitos.
Dipuji baik sekali. Tapi dipuja apalagi dipuja-puja buruknya bukan main. Jadi jangan lakukan
itu.
Sebaliknya, gagasan bahwa Islam merupakan rahmat bagi semesta alam hendaknya
dirumuskan sebagai suatu teori dan pemikiran kebudayaan, yang akan mengukuhkan gagasan
itu pada tingkat tindakan-tindakan, bukan berhenti sebagai hafalan teologis yang bertakhta di
alam kesadaran yang tak tersentuh.

Kaum muda Gus Durian banyak yang hebat dan memiliki kapasitas akademik yang tinggi.
Niscaya mereka bisa mewujudkan proses teoretisasi tadi. Mungkin hal itu tidak mudah, tapi
itu jawaban yang kita butuhkan sekaligus untuk menghindarkan diri dari pemitosan kewalian
Gus Dur. Kita tahu, menjadi wali mungkin beliau senang. Tapi menjadi dongeng dalam
mitologi bagi dirinya sendiri mungkin tidak.

MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com

Merawat Rumah Hukum

Koran SINDO

7 Januari 2015

91

Si Mamad, tukang pijat langganan, sengaja saya panggil ke rumah di penghujung tahun ini.
Sembari memijat, obrolan ringan menghiasi suasana santai.

Mad, apa harapanmu ke depan di tahun 2015? Dijawab, Mengalir saja Pak, seperti
air. Rezeki sudah ada yang ngatur. Asal mengalir di jalan yang benar, pasti sampai tujuan.

Lho, tujuannya ke mana? Saya mencoba mengelaborasi lebih dalam. Jawabnya, Anak dan
istri sehat, tidur nyenyak, tidak punya utang. Tersirat dari tutur kata yang jujur dan polos,
nyata benar bahwa falsafah hidup wong cilik cukup sederhana.
Ungkapan, sikap, dan perilakunya seakan mengingatkan dengan bijak terhadap semua orang
tentang kehidupan yang kini kian serakah, keras, dan ganas. Terlalu banyak manusia memilih
jalan pintas untuk mencapai tujuan, tanpa hirau terhadap moralitas hukum.

Sesungguhnya, menemukan manusia Indonesia yang jujur, polos, dan tangguh menghadapi
dekadensi moral tidaklah sulit. Mereka ada di mana-mana, pada setiap rumah tangga.
Pasangan suami-istri yang mampu menanam bibit kesalehan dan memupuknya dengan kasih
sayang, rumah tangganya laksana pohon rindang, buahnya lebat, rasanya manis. Itulah
gambaran rumah tangga idaman.

Di sela renungan yang melambung, si Mamad menyela bertanya, Pak, kenapa korupsi sulit
diberantas? Apa karena hukumannya kurang berat? Saya jawab, Benar. Salah satu sebabnya
karena hukumannya terlalu ringan. Tetapi sebab yang lebih mendasar karena bibit korupsi
sudah ditanam di dalam keluarga. Anak-istri setiap hari diberi santapan makanan haram.
Jarang diberi santapan rohani. Akibatnya, korupsi dipandang sebagai tradisi, panggilan
zaman. Zaman edan, zaman kalabendu. Kalau tidak korupsi, khawatir tidak mendapatkan
bagian. Agar korupsi bisa dicegah, mestinya, negara hukum Indonesia seperti rumahmu itu
Mad, rumah hukum yang setiap hari dirawat dengan kasih sayang.

Ada fenomena, keluarga sakinah dan bibit anak-anak saleh kini kian menjadi kerdil.
Mengapa? Karena kurang disiram air kesejukan, air kedamaian, air suci perwitasari.
Genangan air comberan, penuh sampah, dan bakteri mengitarinya. Celotehan, sikap, dan

92

perilaku elite, setiap saat ditayangkan media, telah memaksa setiap orang berkubang dalam
air comberan.

Diprediksi, pada 2045, ketika kemerdekaan Indonesia berusia 100 tahun, akan terjadi bencana
demografi. Anak-anak saleh, cerdas, dan cendekia akan memilih bekerja di luar negeri karena
muak dengan kondisi negeri sendiri yang koruptif, manipulatif, dan tidak populis.
Anak-anak dan keluarga jangan sekali-kali dipersalahkan. Mereka korban keserakahan elite,
korban mismanajemen negara, dan korban korupsi. Sebaik apa pun bibit-bibit anak bangsa,
kalau keliru mendidik, merawat, dan memperlakukannya, anak saleh bisa menjadi orang
jahat, dan anak pendusta menjadi tokoh durhaka.
Pertanyaannya, bagaimana merawat bibit-bibit bangsa agar tumbuh berkembang menjadi
patriot, pembela negara, atau negarawan? Kuncinya, pada pendidikan. Dalam perspektif
Pancasila, sebenarnya semua komponen bangsa Indonesia memiliki potensi menjadi patriot
bangsa. Potensi itu ada di dalam jiwanya. Potensi itu akan termanifes menjadi sikap dan
perilaku patriotik manakala dibina dan dikembangkan.
Wahana pembinaan dan pengembangan terbaik adalah pendidikan. Mengacu pada pendapat
Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak untuk memajukan
kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan selaras dengan dunianya. Melalui
pendidikan, dapat ditumbuhkembangkan karakter patriotik.

Character dari kata charasein (Yunani dan Latin). Artinya mengukir corak yang tetap
dan tidak terhapuskan. Karakter menjadi tanda pembeda yang bersifat tetap antara satu
bangsa dan bangsa lain. Dasar karakter adalah bakat yang melekat pada kodrat biologisnya.
Bakat akan berkembang manakala bersentuhan dengan ajar yakni pendidikan yang
berlangsung sejak manusia masih dalam kandungan hingga akil balig.
Betapapun di dalam setiap jiwa ada karakter individual, namun sebagai bangsa, karakter yang
menonjol pada bangsa Indonesia adalah gotong-royong, komunalistik-religius. Bung Karno
menyebut rakyat Indonesia sebagai rakyat gotong-royong. Bela negara, merebut
kemerdekaan dilakukan secara gotong-royong, dengan semboyan holopis kuntul baris. Inilah
karakter bangsa, kunci keberhasilan membangun negara.
Dengan demikian, pendidikan karakter patriotik perlu dikelola dalam semangat gotongroyong, terorganisasi, bersifat long life education, dimulai dengan penanaman nilai-nilai
Pancasila oleh keluarga, masyarakat, dan negara, baik melalui jalur pendidikan non-formal
maupun formal.

93

Seberapa potensial bibit-bibit anak bangsa dapat dikembangkan menjadi negarawan? Ihwal
ini dapat dikenali dari jawaban atas pertanyaan, bagaimana semestinya kita bernegara
hukum? Benar bahwa Indonesia adalah negara hukum, tetapi negara hukum baru merupakan
kerangka besar dan bukan resep standar bersifat mutlak. Segalanya bergantung manusiamanusia di dalamnya.

Satjipto Rahardjo (2009) mengajarkan bahwa negara hukum Indonesia adalah a state with
conscience and compassion, negara yang ingin mewujudkan moral terkandung di dalamnya
dan bukan sekadar negara by job description. Dengan demikian, semestinya seluruh
komponen bangsa, utamanya penyelenggara negara, memiliki komitmen moral dalam
kerangka affirmative action mewujudkan kebahagiaan seluruh rakyat.

Selanjutnya negara hukum perlu dirawat sebagai rumah hukum yakni tempat berinteraksi,
membina kasih sayang atas dasar nilai-nilai gotong-royong (communitarian values). Si
Mamad dan banyak wong cilik, dalam eksistensi dan posisinya masing-masing, telah
berusaha merawat rumah hukum sebaik-baiknya dengan cara menjalankan kebajikan secara
ajek (kontinu). Sebagai tukang pijat, boleh jadi nilai amalannya kecil. Walau demikian, bila
hal serupa dijalankan secara kontinu, amat besar manfaatnya bagi terwujudnya rumah hukum
yang sehat. Sebaliknya, bila amalan jahat (maksiat) sekecil apa pun dilakukan secara terusmenerus, muaranya rumah hukum hancur-berantakan. Wallahualam.

PROF DR SUDJITO SH MSI


Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM

94

Tanggung Jawab BBM Murah


95

Koran SINDO

7 Januari 2015

Harga minyak dunia dalam beberapa bulan terakhir mulai turun hingga ke titik yang paling
rendah.

Banyak faktor yang mendorong pelemahan harga tersebut. Namun seperti yang pernah saya
tulis dalam kolom ini beberapa waktu yang lalu, penyebab utamanya adalah revolusi
teknologi yang dapat membuat cadangan minyak dan gas dalam bentuk sedimen batu di
dalam perut bumi dapat dieksplorasi. Teknologi baru ini dikuasai negara-negara non-OPEC,
khususnya Amerika Serikat.
Di sisi lain situasi politik internasional seperti krisis politik di Rusia dan Timur Tengah
mendorong negara-negara penghasil minyak terbesar dunia semakin menggenjot produksinya
untuk menjaga pendapatan negaranya agar tidak defisit. Hal ini meningkatkan suplai minyak
bumi sehingga harga minyak dunia terus turun. Turunnya harga minyak tentu menjadi berkah
buat kita semua.
Pemerintah telah menurunkan harga bensin premium dan pertamax menjadi Rp7.600 dan
Rp8.800. Pemerintah memiliki rencana bahwa penyesuaian harga bakar minyak akan
dilakukan sebulan sekali karena saat ini harga tersebut akan didorong masuk ke dalam
mekanisme pasar, termasuk harga bensin premium.
Ketua Satgas Antimafia Migas Faisal Basri mengusulkan bahwa premium yang memiliki
oktan lebih rendah dari pertamax diserahkan ke pasar agar timbul kompetisi dan tidak
menimbulkan monopoli yang selama ini dinikmati segelintir orang.

Banyak pihak yang mengatakan bahwa harga premium yang ditetapkan itu masih kelewat
mahal dan sebetulnya masih dapat diturunkan bahkan lebih rendah dari sebelum
dinaikkan. Pemerintah dianggap tidak memiliki visi kerakyatan karena mengambil untung
dari harga premium yang dijual dan karena berbagai alasan lain.

96

Terlepas dari perdebatan tersebut serta bagaimana hitungan ekonomi dan rencana jangka
panjang pemerintah, saya pikir kita perlu memasukkan faktor ancaman terhadap lingkungan
bila ingin mendiskusikan lebih dalam lagi tentang seberapa penting bahan bakar murah untuk
rakyat.
Dengan kata lain, tinggi rendahnya harga yang kita jual kepada masyarakat tidak hanya
mempertimbangkan untung-rugi dari sisi ekonomi pasar, tetapi juga untung-rugi dari
kelestarian lingkungan. Kita perlu berpartisipasi menjaga cadangan alam minyak bumi agar
tidak membahayakan kesempatan untuk generasi kita di masa depan.
Keadilan akan sumber daya alam tidak hanya perihal pembagian yang adil di antara
kelompok-kelompok atau bangsa-bangsa di generasi saat ini, tetapi juga perlu dipikirkan
untuk generasi masa datang. Norwegia adalah negara yang mencoba menjalankan secara
konsisten komitmen tersebut.

Sebagai pengekspor minyak 10 terbesar di dunia, Norwegia justru memberikan pajak tinggi
atas bahan bakar minyaknya. Bahan bakar solar di sana per liter pada bulan Desember 2014
adalah 1,60 euro atau sekitar Rp24.000, sementara premium 95 adalah 1,72 euro atau sekitar
Rp26.000. Tingginya harga bahan bakar di sana karena Pemerintah Norwegia menerapkan
pajak yang tinggi. Sepertinya bahan bakar dalam pandangan Pemerintah Norwegia memang
benar-benar masuk dalam kategori barang mewah.
Apakah rakyat Norwegia menerima pilihan kebijakan tersebut? Jawabannya adalah tentu saja
tidak. Mereka sangat menentang kebijakan tersebut. Sebuah survei menyatakan bahwa 7 dari
10 penduduk Norwegia sangat tidak suka dan menentang pajak yang tinggi atas bahan bakar
minyak (Financial Times).
Apabila tokoh politik yang berkuasa di Norwegia ingin mendapatkan simpati dengan
menggratiskan bensin, mungkin hal itu bisa dilakukan karena produksinya yang dua kali lipat
dari Indonesia, tetapi dengan jumlah penduduk yang 1/50 lebih kecil. Kebijakan itu memiliki
arti bahwa politik yang berjalan di Norwegia adalah politik yang memang berlandaskan akal
dan perhitungan.
Keuntungan dari perdagangan minyak tersebut diinvestasikan kembali ke dalam pendidikan,
kesehatan, dan kesejahteraan penduduknya. Norwegia tampaknya sudah menyadari dan
mempersiapkan strategi untuk menghindari kutukan sumber daya alam yang banyak dialami
negara-negara berkembang.
Mereka memaksa penduduknya untuk mengandalkan kemampuan sumber daya manusianya
demi mendorong pertumbuhan ekonomi ketimbang mengandalkan ekspor minyak bumi. Ini
catatan penting buat kita di Indonesia karena dorongan untuk sumber daya manusia kita
justru terkorbankan demi perhatian pada sanggup tidaknya kita membeli bensin.

97

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan meningkatkan pajak tersebut Norwegia dapat
dikatakan telah melindungi lingkungan? Jawabannya ya dan tidak. Ya karena di dalam negeri
mereka membatasi konsumsi dan menyebabkan pencemaran lingkungannya menjadi rendah,
tetapi juga tidak karena pencemaran itu diekspor seiring dengan meningkatnya penjualan
minyak ke negara-negara lain seperti China, Amerika, atau India. Polusi terjadi di belahan
dunia lain.
Oleh sebab itu, konsep pelestarian lingkungan dan semangat untuk menjaga sumber daya
alam untuk generasi mendatang juga harus memastikan aspek kesetaraan (ekuitas). Upaya
dunia untuk mendorong pembangunan berkelanjutan harus menekankan dimensi keadilan
sosial dari pembangunan berkelanjutan tersebut.
Perlu ada keadilan alokasi atas akses sumber daya, khususnya antara generasi saat ini dengan
generasi di masa datang. Eksploitasi sumber daya perlu dibatasi agar anak cucu kita bisa tetap
mengakses sumber daya tersebut di masanya.
Pembangunan berkelanjutan adalah kesetaraan yang terdistribusi, sebuah sharing-capacity
antara generasi sekarang dan yang nanti (intergerational). Namun sharing-capacity itu juga
perlu diberlakukan dalam masyarakat generasi yang sekarang. Dunia saat ini masih memiliki
kesenjangan yang lebar antara negara maju dengan negara berkembang, antara masyarakat
perkotaan dengan masyarakat perdesaan. Kesenjangan ini juga perlu dijembatani agar mereka
juga dapat menikmati sumber daya yang terbatas ini.
Dari kejadian turunnya harga minyak bumi, hendaknya muncul refleksi lebih kuat tentang
tanggung jawab kita semua terhadap bumi. Kita memang membutuhkan energi yang murah
agar dapat mendorong pembangunan. Tapi definisi murah itu juga harus diperhitungkan lebih
jauh ke depan dan tidak hanya untuk kepentingan sesaat. Perlu penelitian yang lebih dalam
apakah energi yang murah itu digunakan untuk hal yang sifatnya produktif atau hanya
konsumtif.
Sampai saat ini pro-kontra tentang naik dan turunnya harga BBM lebih banyak didominasi
kepentingan politik sesaat. Para tokoh politik perlu merumuskan sebuah konsensus politik
tentang kebijakan energi untuk masa depan Indonesia 30 atau 50 tahun ke depan dan jangan
terjebak dalam kepentingan jangka pendek.
Kita perlu mendorong agar pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada kemampuan
sumber daya manusia ketimbang sumber daya mineral. Karena di masa depan, tekanan
perdagangan dunia dengan alasan kelestarian lingkungan juga akan semakin kuat. Tekanan
itu sendiri tidak lepas dari kepentingan negara-negara untuk memasarkan teknologi ramah
lingkungan mereka ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Apabila tidak siap
mengantisipasi, kita akan selalu menjadi bangsa tertinggal.

DINNA WISNU, PhD


98

Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina


@dinnawisnu

Peringkat PTN Kita

Koran SINDO

8 Januari 2015

Hanya ada tiga universitas di Indonesia yang masuk peringkat 500 besar World Rank
University. Ini menunjukkan bahwa Kementerian Ristek-Dikti punya pekerjaan rumah (PR)
berat untuk memacu mutu pendidikan tinggi di Tanah Air.
Berikut adalah nama-nama perguruan tinggi negeri (PTN) dan peringkatnya: UI (peringkat
ke-273), UGM (401-450), ITB (451-500), IPB (601+), Undip (601+), Universitas Brawijaya
(601+), ITS (601+), dan Unair (601+). Tampaknya alokasi dana pendidikan 20% APBN
belum menunjukkan daya ungkit signifikan bagi perbaikan universitas kita.
Negara tetangga serumpun kita yaitu Malaysia tampaknya telah ada pada jalur yang benar
karena tidak tanggung-tanggung menginvestasikan sumber dayanya di bidang pendidikan
sehingga berhasil menempatkan universitas-universitasnya jauh lebih baik daripada Indonesia
dalam World Rank University. Posisi tertinggi diraih oleh Universiti Malaya (peringkat ke156), diikuti oleh Universiti Kebangsaan Malaysia (261), Universiti Sains Malaysia (326),
Universiti Teknologi Malaysia (358), dan Universiti Putra Malaysia (360). Jadi, hanya UI
yang kiranya mampu mengejar perguruan tinggi di Malaysia.
Kelemahan banyak perguruan tinggi di Indonesia adalah dalam keberadaan dosen
internasional, mahasiswa internasional, dan sitasi dosen (dalam publikasi ilmiah). Alokasi
dana penelitian memang dirasakan meningkat sejak beberapa tahun terakhir. Namun,

99

penelitian yang dibiayai umumnya yang kecil-kecil yaitu dengan budget sekitar Rp100 juta
per judul penelitian. Setelah dipotong pajak, dana penelitian semakin menciut.

Tragisnya, karena dana penelitian ini menggunakan dana APBN, pertanggungjawabannya


juga sangat ketat. Akibat itu, peneliti disibukkan oleh urusan mempersiapkan tetek bengek
bukti penggunaan dana penelitian. Bahkan sudah lazim kalau sekarang ini peneliti
menghasilkan laporan pertanggungjawaban keuangan riset yang jauh lebih tebal dari laporan
risetnya.

Sebagai seorang dosen dan sekaligus peneliti, saya bermimpi bahwa suatu ketika nanti
pertanggungjawaban dana penelitian dilakukan at cost. Artinya, peneliti menerima honor
bulanan resmi dari aktivitas riset yang sedang dilakukannya, sedangkan semua kegiatan untuk
mendukung penelitian seperti perjalanan untuk survei, pembelian bahan-bahan kimia
laboratorium, pengolahan data, rapat, pembuatan laporan, dan sebagainya; semua dilakukan
at cost sesuai biaya yang dikeluarkan.

Universitas di Indonesia sulit meraih predikat perguruan tinggi internasional karena


keberadaan dosen atau mahasiswa internasional memang masih minim. Adakalanya
mahasiswa asing yang kuliah di Indonesia harus terlebih dahulu belajar bahasa Indonesia agar
dapat mengikuti perkuliahan. Malaysia, Singapura, atau Filipina lebih berhasil merekrut
kedatangan mahasiswa asing karena mereka menawarkan perkuliahan dalam bahasa Inggris.
Bagi universitas-universitas yang ingin meraih predikat world class university, penguatan
program studi harus dilakukan untuk program pascasarjana dan program sarjana. Sebaliknya,
program diploma ataupun ekstensi perlu ditelaah kembali apakah kedua program ini akan
mendukung atau justru mengaburkan visi menuju status universitas internasional.
Kampus-kampus terkenal di luar negeri yang dibanjiri mahasiswa asing adalah perguruan
tinggi yang memiliki kekuatan dalam tradisi risetnya. Sebab itu, program pascasarjana
menjadi tumpuan utama untuk menjadikannya sebagai world class university.
Kita harus mau belajar dari universitas-universitas besar di luar negeri. Universitas Harvard
ketika didirikan pada 1636 hanyalah college kecil, yang kemudian pada akhir abad 19
menjadi national university. Perjalanan panjangnya membuat Universitas Harvard kini
menjadi perguruan tinggi internasional terkemuka dengan ribuan mahasiswa asing yang
menuntut ilmu di sana.
Sebagian perguruan tinggi kita justru meningkatkan daya tampung untuk program diploma
dan ekstensi. Membengkaknya jumlah mahasiswa jalur diploma atau ekstensi secara finansial

100

akan menguntungkan institusi pendidikan tinggi. Dosen-dosen pun mungkin ada yang lebih
menyukai mengajar di kedua program ini karena honor mengajarnya lebih besar.
Apabila perhatian akademisi di universitas lebih tercurah pada program diploma dan ekstensi,
sesungguhnya kita sedang meninggalkan cita-cita menuju research university dan sebaliknya
kita mulai mengarah ke teaching university. Rasanya sulit mewujudkan world class
university kalau orientasi kita justru pada tataran teaching university.
Kini sebagian universitas mewajibkan mahasiswa pascasarjananya untuk memublikasikan
hasil risetnya sebelum yang bersangkutan bisa menempuh ujian akhir. Ini langkah yang
positif. Sayangnya, wahana publikasi yaitu jurnal ilmiah yang berstatus terakreditasi Dikti
sampai saat ini masih merupakan barang langka. Kelemahan jurnal ilmiah kita adalah waktu
penerbitan yang sulit diprediksi alias tidak tepat waktu.
Sebenarnya kewajiban publikasi lebih tepat untuk jalur pascasarjana by research (tanpa
perkuliahan) seperti sekolah-sekolah pascasarjana di Jepang atau Eropa. Sementara sistem
pendidikan pascasarjana kita banyak yang menganut model pendidikan Amerika yaitu
mahasiswa harus menempuh kuliah terlebih dahulu selama 2-3 semester baru kemudian
melakukan riset untuk tesis dan disertasinya.
Membangun universitas berkelas dunia memang berat. Dosen yang dimiliki harus berkualitas
(bergelar magister/doktor). Selain itu, pemerintah juga dituntut untuk mengalokasikan
anggaran riset yang signifikan per judul penelitian sehingga terbuka kesempatan bagi dosendosen untuk berlomba menyusun proposal penelitian yang bermutu.
Kalau semangat Kementrian Ristek-Dikti dalam alokasi dana penelitian adalah mengacu pada
kinerja pemerataan, memang akan sangat banyak dosen yang diberi kesempatan meneliti,
namun penelitiannya hanya kelas gurem yang tidak layak dipublikasikan di tingkat
internasional karena dananya tidak cukup untuk menghasilkan temuan ilmiah yang
spektakuler.
Akhirnya, untuk meraih level perguruan tinggi yang mendunia tidak bisa dilakukan dengan
langkah-langkah biasa. Kita harus melakukan langkah luar biasa melalui peningkatan mutu
dosen, pembiayaan riset, dan perekrutan mahasiswa internasional secara lebih intensif.

ALI KHOMSAN
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB

101

Muhammad: Nabi dan Negarawan

Koran SINDO

9 Januari 2015

William Montgomery Watt (1909-2006), profesor yang pada masa hayatnya pernah mengajar
di Universitas Edinburgh (Inggris), terkenal sebagai salah seorang orientalis Barat terkemuka
yang berpandangan positif terhadap sosok pribadi Nabi Muhammad SAW (570-632). Watt
bahkan dapat dipandang sebagai seorang orientalis besar yang dalam banyak karyanya
meletakkan pandangan apresiatif tentang Islam dan jati diri Nabi Muhammad.
Sebelum Watt, pandangan kebanyakan kaum orientalis tentang Islam dan Muhammad banyak
yang negatif. Misalnya HAR Gibb (1895-1971) pada 1946 ketika mengantarkan bukunya
yang berjudul Modern Trends in Islam masih saja mengulangi pandangan Duncan Black
McDonald yang menyatakan bahwa salah satu aspek Islam yang terpenting adalah patologi
102

yang seteliti-telitinya terhadap jiwa Muhammad.


Maksudnya, perlu dilakukan pemeriksaan secara teliti dan akurat terhadap jiwa Muhammad,
apakah dia waras atau tidak dalam kaitannya dengan klaimnya bahwa dia telah menerima
wahyu dari Allah dan mendeklarasikan agama baru yang bernama Islam.
Nabi dan Negarawan
Tidak sama dengan visi kebanyakan orientalis sebelumnya, Montgomery Watt memandang
positif sosok Muhammad. Dalam bukunya yang terkenal bertajuk Muhammad: Prophet and
Statesman, Watt menguraikan secara komprehensif sejarah hidup Muhammad secara objektif.
Buku tersebut pemadatan dari dua buku yang dikarang Watt sebelumnya, masing-masing
berjudul Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina.
Di mata Watt, Muhammad seorang nabi dan sekaligus seorang negarawan. Menurut Watt,
Muhammad (sebagai seorang nabi) mengajarkan dan menyebarkan agama Islam (yang ia
yakini diterimanya dari Tuhan) sebagai tatanan etik, moral, dan sosial bagi masyarakat yang
dibangunnya.
Masyarakat yang dibangun Muhammad, yang sebelumnya pada masa pra-Islam didasarkan
pada ikatan kesukuan dan pertalian darah, digantinya dengan ikatan yang didasarkan pada
ikatan keagamaan dan persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah) yang bercorak demokratis
dan egalitarian. Dalam visi Watt, Muhammad sebagai seorang negarawan memerlukan
kekuasaan politik untuk menata sistem pemerintahan yang kuat dan mantap.
Ketika Muhammad berhasil membangun komunitas muslim dan mendirikan negara Islam di
Madinah, ia mengadakan perjanjian dengan kelompok-kelompok Arab non-muslim dan
komunitas Yahudi. Perjanjian ini tertuang dalam suatu piagam yang dinamakan Piagam
Madinah yang, menurut para sejarawan muslim, dikenal sebagai konstitusi tertulis pertama
dalam sejarah.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertera dalam piagam tersebut, tiap-tiap komunitas
baik muslim maupun non-muslim di Madinah diberikan kebebasan beragama sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaan mereka masing-masing. Sikap tenggang rasa, toleransi, dan
kerukunan antarumat beragama dan antaretnis benar-benar ditunjukkan Nabi Muhammad
baik dalam ucapan maupun tindakan, baik dalam ajaran maupun dalam praktik, dalam
membingkai pluralitas hidup kemasyarakatan dan kenegaraan yang dibangunnya.
Tugas kenabian dan kenegarawanan telah dilaksanakan Nabi Muhammad dengan sukses yang
besar. Keberhasilan ini diindikasikan oleh kenyataan bahwa sukuisme sempit yang merajalela
pada masa Jahiliah (taasub Jahiliyah) telah dilenyapkan dan digantikan oleh struktur
masyarakat Islam yang didasarkan pada fondasi tauhid, kesamaan, persamaan, keadilan, hak
asasi, dan demokrasi.

103

Dalam khutbah haji wada (perpisahan), Nabi sekali lagi menegaskan bahwa dalam
pandangan Islam sama sekali tidak ada perbedaan antara etnis Arab dan etnis non-Arab.
Dalam pandangan Islam, manusia pada hakikatnya adalah setara, setingkat, dan sama dalam
martabat, harkat, derajat, dan kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hanya satu hal
yang membedakan yaitu bobot, nilai, dan kualitas ketakwaan manusia itu kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Itu berarti bahwa Muhammad sebagai seorang nabi dan negarawan secara jelas mengajarkan
perlunya sistem pembinaan dan pemantapan sendi-sendi pluralisme, inklusivisme,
egalitarianisme, dan humanisme dalam tatanan hidup kemasyarakatan dan kenegaraan. Nabi
sama sekali tidak menoleransi dan tidak membenarkan segala bentuk sukuisme, kabilaisme,
rasialisme, eksklusivisme, chauvinisme, feodalisme, superioritas kesukuan dan kebangsaan
yang dangkal dan sempit.
Dalam posisi demikian, Muhammad sekaligus tampil sebagai sosok reformis sejati pada
zamannya dan semangat reformasi ini masih tetap sangat relevan dengan zaman sekarang ini
dan masa-masa yang akan datang. Semangat reformasi yang dicanangkan Muhammad pada
15 abad yang silam itu masih tetap sejalan dengan visi kemanusiaan universal karena sejalan
dengan fitrah kemanusiaan sepanjang sejarah peradaban insani.
Fondasi Kenegarawanan Muhammad
Menurut Montgomery Watt, ada tiga fondasi utama yang menjadi landasan kebesaran
kenegarawanan Muhammad. Pertama, Muhammad mempunyai bakat dan visi sebagai
pengamat jeli yang bisa menerawang, melihat berbagai permasalahan jauh ke depan.
Melalui dia, atau dalam pandangan teologis muslim salaf melalui wahyu yang diterimanya,
dunia Arab telah diperuntukkan kepadanya sebagai arena yang dapat memunculkan kerangka
gagasan dan ide-idenya yang memungkinkan dia melaksanakan penyelesaian terhadap
ketegangan-ketegangan sosial yang ada pada masa dia melaksanakan misi kenabiannya.
Tersedianya kerangka semacam ini memerlukan wawasan visioner untuk memahami sebabsebab penting tentang kerusakan sosial pada masanya dan memerlukan pula sosok kejeniusan
untuk mengekspresikan wawasannya itu ke dalam bentuk yang bisa mengarahkan para
pendengarnya memahami keadaan dirinya.
Kedua, Muhammad sebagai seorang negarawan besar bersifat arif, adil, dan bijaksana dalam
melaksanakan segala sikap kenegarawanannya. Struktur konseptual yang terdapat dalam
Kitab Suci Alquran adalah bersifat kerangka dasar. Kerangka-kerangka dasar ini untuk
menopang dasar-dasar pembentukan dan pengembangan kebijakan dan institusi-institusi yang
konkret.
Kebijakan Muhammad dalam hal ini ditunjukkan oleh ekspansi yang cepat dari negara kecil
(Madinah) yang dibangunnya menjadi negara besar setelah dia wafat, dan ditunjukkan pula
104

oleh penyesuaian institusi-institusi sosialnya terhadap berbagai lingkungan sosial budaya


yang berbeda-beda pada abad-abad sesudahnya.
Ketiga, Muhammad memiliki seperangkat kecakapan dan strategi sebagai seorang
administrator dan mempunyai pengetahuan dalam memilih para pembantunya untuk
menangani masalah-masalah administratif. Pranata-pranata yang baik dan kebijakankebijakan yang bagus tidak akan terlalu bergeser jauh apabila mekanisme operasionalnya ada
yang meleset atau menyimpang.
Ketika Muhammad meninggal dunia, negara yang telah ia bangun sudah mapan dan dapat
bertahan serta bisa menanggulangi berbagai guncangan dan kemudian negara itu dapat
berkembang secara cepat.
Selanjutnya Montgomery Watt mengatakan bahwa lebih banyak dan lebih mendalam
seseorang berefleksi tentang lika-liku sejarah hidup Muhammad, ia akan lebih merasa kagum
terhadap kebesaran prestasi-prestasi yang telah dicapainya.
Keadaan lokalitas memang telah memberinya peluang kepadanya dan ini jarang dimiliki oleh
setiap orang, tetapi kelebihan Muhammad terletak pada kenyataan bahwa ia telah berjuang
dan berpacu dengan waktu untuk mewujudkan prestasi-prestasinya yang luar biasa itu.
Seandainya ini bukan karena kecakapannya sebagai orang yang mempunyai visi dan misi
yang jeli sebagai negarawan dan administrator dan di balik semua ini adalah kepercayaan
kuatnya kepada Tuhan dan keyakinannya bahwa Tuhan telah mengutusnya, sebuah bab
penting dalam lembaran perjalanan sejarah umat manusia tidak akan ditulis.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

105

106

JK Punya Cerita

Koran SINDO

9 Januari 2015

Seperti biasanya, setiap menemani Pak Jusuf Kalla (JK) bermain golf sambil menikmati jalan
pagi di atas rumput yang hijau, selalu saja ada obrolan menarik untuk saya tulis dan dibagi
dengan teman-teman.
Kali ini Pak JK memulai obrolannya dengan sebuah pertanyaan: sejak kapan ibu-ibu rumah
tangga itu berubah ritme dan gaya hidupnya? Pertanyaan itu dijawabnya sendiri. Perubahan
yang mencolok sejak mereka menggunakan mesin cuci, memiliki kulkas dan microwave.
Pekerjaan mencuci yang semula mesti dilakukan berjam-jam dengan tangan, sekarang

107

dilakukan oleh mesin cuci. Tenaga dan waktu menjadi sangat berkurang sehingga ibu-ibu
rumah tangga bisa melakukan pekerjaan lain.
Soal belanja, dulu setiap mau masak mesti pergi ke warung atau toko. Sekarang ibu-ibu bisa
belanja sekali untuk keperluan seminggu dengan cara diawetkan di dalam kulkas. Bahan
makanan tetap segar. Asal punya uang, kapan saja bisa belanja membeli bahan makanan yang
segar di supermarket. Masakan yang berlebih pun dapat dihangatkan kembali dengan
microwave.
Jadi, dengan teknologi rumah tangga ini para ibu menjadi dimanjakan dan dengan sisa waktu
yang ada sebagian mereka lalu bekerja mencari nafkah di luar rumah. Makanya tidak
mengherankan bila sekarang banyak pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja kantoran
karena urusan dapur dan masak-memasak tidak serumit dan serepot pada generasi
pendahulunya.
Namun yang menarik dan perlu dicermati adalah kehadiran televisi ke dalam rumah. Dengan
waktunya yang semakin luang, ibu-ibu lalu menjadi pemirsa setia acara televisi dengan aneka
ragam menu dan kualitasnya. Oleh pemilik TV, perubahan ritme dan gaya hidup ibu-ibu
sungguh merupakan pasar yang menggiurkan. Sebagian besar acara didesain untuk konsumsi
ibu-ibu.
Ada beberapa sinetron yang sudah memasuki serial tayangnya di atas 150 kali, yang alur
ceritanya dibuat ngalor-ngidul tidak karuan, tetapi sangat menghibur dan menemani ibu-ibu
di rumah. Tidak sekadar menghibur, yang lebih penting lagi adalah mengejar rating jumlah
pemirsa sehingga dengan mudah mendapatkan sponsor iklan.
Di sinilah ibu-ibu mulai digiring masuk perangkap konsumerisme yang dilakukan secara
agresif, canggih, dan halus. Acara sinetron itu isinya menjual mimpi-mimpi yang diiringi
dengan iklan yang menjadi selera dan idaman ibu-ibu. Iklan-iklan itu mengajak pemirsa
membayangkan memiliki mobil produk mutakhir, tinggal di kompleks perumahan yang
tertata rapi, dilengkapi dengan peralatan rumah yang serbaluks dan stylish, juga makananmakanan cepat hidang.
Akibatnya, belanja rumah tangga membengkak untuk memenuhi kebutuhan sekunder bahkan
tersier. Dampak lebih jauh tentu saja dirasakan suami untuk selalu mencari penghasilan lebih
dan lebih. Acara arisan dan pengajian ibu-ibu muncul di mana-mana. Artinya, mereka juga
memerlukan kendaraan dan sopir yang tentu saja meningkatkan jumlah belanja keluarga.
Tak ketinggalan adalah juga konsumsi gadget handphone yang selalu muncul model baru
setiap tahunnya. Semua ini, menurut Pak JK, merupakan situasi dan perkembangan sosial
yang mudah diamati.

108

Tentu saja banyak perkembangan dan cerita positif dari dunia ibu-ibu ini. Banyak success
story. Misalnya mereka yang berkarier dalam dunia politik, birokrasi, pendidikan, ilmuwan,
dan bisnis di mana wanita Indonesia lebih menikmati kebebasan dibandingkan di dunia Arab.
Pak JK menyinggung ibu-ibu muda Jepang yang mendapatkan cuti kerja sehabis melahirkan
selama lima tahun. Ibu-ibu di sana jam kerjanya lebih sedikit dengan alasan demi
menyiapkan generasi penerus yang unggul, yaitu mendampingi pertumbuhan dan pendidikan
anak-anaknya. Rupanya ada pertimbangan human investment di balik pengurangan jam kerja
ibu-ibu muda di Jepang. Bukannya alasan diskriminasi.
Perhatian ibu-ibu muda pada pendidikan anak-anak juga menonjol pada masyarakat Korea
Selatan (Korsel). Banyak bapak-bapak yang kesepian sehabis pulang kerja karena istrinya
menemani anaknya belajar di luar negeri, terutama di negara English speaking countries.
Produk ekspor Korsel senantiasa membutuhkan ahli-ahli pemasaran yang lancar berbahasa
Inggris dan berwawasan global.
Jadi, di zaman modern ini peran dan gaya hidup wanita memiliki peluang dan pilihan yang
semakin terbuka dan beragam. Berbeda-beda antara masyarakat yang satu dari yang lain.
Berbeda antara kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas secara ekonomi dan pendidikan.
Kembali cerita di seputar kita, dulu para pembantu rumah tangga kalau memiliki uang lebih
selalu dibelikan hiasan emas sebagai tabungan atau dikirim ke keluarga di kampungnya.
Sekarang dibelanjakan untuk membeli handphone dan pulsa. Kalau pulang mudik Lebaran
masing-masing memegang handphone.
Menonton TV, SMS-an atau bergosip lewat telepon merupakan fenomena baru berkat
kemajuan teknologi rumah tangga, tetapi tidak selalu dimanfaatkan secara optimal untuk
menambah pengetahuan dan peningkatan kualitas diri. Dulu sewaktu di kampung ibu-ibu
mengobrol sambil mencuci atau mandi ramai-ramai di kolam besar atau sungai. Sekarang
mengobrol lewat telepon sambil menonton TV yang penuh iklan itu.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

109

110

Di Balik Tragedi Charlie Hebdo

Koran SINDO

10 Januari 2015

Tragedi penyerangan majalah satir Charlie Hebdo membuat muslim di Prancis pada kondisi
yang semakin sulit. Penyerangan terhadap majalah tersebut telah menewaskan 12 orang
korban.
Apa pun alasannya, penyerangan tersebut tak bisa diterima karena dilakukan secara anarkistis

111

dan melahirkan efek sosial yang sangat dirasakan oleh muslim di Prancis. Di Prancis satu
nyawa hilang sia-sia dianggap sebagai kecelakaan besar. Apalagi hingga menewaskan 12
orang sekaligus. Ironisnya, hilangnya nyawa sia-sia tersebut dilakukan atas nama Islam untuk
membela Nabi Muhammad.
Aksi brutal tersebut juga dikecam oleh Asosiasi Muslim Prancis (le Conseil Francais du Culte
Musulman) yang mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan serangan terhadap
demokrasi. Berbagai asosiasi muslim di kota-kota Prancis lain juga mengeluarkan pernyataan
sikap mengecam tindakan biadab tersebut. Pernyataan sikap tersebut diunggah di website
resminya. Cara ini dianggap sebagai upaya meredakan suasana dan memberikan jaminan
keamanan bagi muslim di wilayahnya karena asosiasi tersebut memiliki pengaruh dan
menjadi rujukan bagi muslim-muslim di daerah tersebut.

Saya kira kecaman serupa juga dilakukan muslim-muslim lain di Prancis yang berpikir jernih
bahwa tragedi tersebut memberikan dampak jangka panjang bagi kehidupan mereka.
Hari-hari ini dipastikan tayangan televisi, media on line, hingga koran menayangkan
pemberitaan Tragedi Charlie Hebdo. Saya bisa memastikan keluarga-keluarga muslim di
Prancis, khususnya muslimah Indonesia yang menikah dengan muslim Prancis, memantau
terus perkembangan kasus ini di media televisi.
Siapa yang dirugikan? Tentu saja muslim di Prancis. Saat ini sulit untuk tidak mengatakan
bahwa publik Prancis menjadikan Islam sebagai musuh bersama pascatragedi ini. Inilah
perjuangan terberat bagi muslim Prancis yang harus dirasakan saat ini.
Efek Sosial Jangka Panjang
Kondisi itu juga kemudian menyebabkan wajah Islam di Prancis semakin akrab dengan
kekerasan dan anarkistis. Akibat itu, ruang gerak warga muslim di Prancis semakin terbatas
dan membuat mereka berada di bawah tekanan publik yang anti-Islam. Saya bisa merasakan
ketakutan dan kegelisahan muslim-muslim di Prancis pascatragedi tersebut. Pengalaman studi
dan menetap di Prancis selama 3,5 tahun memberikan suasana kebatinan tersendiri ketika
berinteraksi dengan sesama muslim Prancis maupun warga non-muslim.

Selama tinggal di Prancis, saya membawa keluarga. Istri saya berhijab dan anak saya sekolah.
Jika keluarga saya masih tinggal di Prancis dalam kondisi mencekam seperti saat ini, pasti
secara langsung akan merasakan dampaknya. Pengalaman tersebut yang membuat saya
merasa bahwa Tragedi Charlie Hebdo adalah tindakan bodoh dan konyol yang dampaknya
dirasakan oleh muslim lain.

112

Selama interaksi dengan warga muslim maupun non-muslim, saya berusaha meyakinkan
bahwa Islam (khususnya Islam Indonesia) adalah agama yang rahmatan lil amin yang
menyampaikan pesan-pesan damai dan menghindari kekerasan. Meski begitu, faktanya,
Tragedi Charlie Hebdo semakin melegitimasi bahwa kekerasan selalu berkaitan dengan
Islam. Tafsir inilah yang kemudian semakin melekat dalam ruang kognitif warga Prancis dan
Eropa.

Sebagai negara Eropa yang memiliki komunitas muslim terbanyak, wajar jika muslim di
Prancis menjadi referensi muslim di Eropa. Suasana hari-hari ini sulit membayangkan
bagaimana muslim di Prancis bisa beraktivitas di ruang publik. Apalagi mereka yang berhijab
maupun menggunakan atribut-atribut lain.

Gairah Islam yang terjadi di masjid-masjid Prancis dipastikan akan lebih sepi dan berada di
bawah bayang-bayang ancaman yang mencoba balas dendam dari penyerangan Charlie
Hebdo. Di Lyon, misalnya, tempat saya pernah studi, banyak masjid-masjid yang menggelar
salat Jumat hingga jalan raya karena kapasitas jamaah tak bisa tertampung di dalam
masjid. Pascatragedi tersebut, fenomena tersebut akan berkurang jamaahnya. Beberapa
masjid di beberapa kota dikabarkan diancam teror oleh pihak-pihak yang merasa terganggu
dengan penyerangan Charlie Hebdo.

Bagi warga Indonesia di Paris dan beberapa kota-kota lain, mereka sudah dianjurkan oleh
KBRI Paris maupun KJRI Marseille untuk tetap waspada dari ancaman-ancaman yang bisa
memberikan bahaya bagi keselamatan dirinya. Mereka dianjurkan tidak keluar rumah jika
dianggap tak memiliki keperluan mendesak. Bagi warga Indonesia, khususnya mahasiswi
yang berhijab, memang lebih berisiko jika berada di ruang publik karena mereka seringkali
menjadi sorotan dari beberapa pihak yang dikenal islamophobia.
Saya mengikuti berbagai perkembangan di beberapa media sosial seperti Facebook dan
Twitter, imbauan dari beberapa teman yang sedang studi maupun warga Indonesia yang
tinggal di Prancis untuk mengabarkan berbagai perkembangan terbaru pascatragedi tersebut.
Meski pusat lokasinya terjadi di Paris, dampaknya terasa juga di berbagai kota lain. Di Lyon,
Kamis (08/01), terjadi aksi besar-besaran untuk mengecam aksi brutal tersebut. Aksi tersebut
berlangsung di Place de Terraaux yang merupakan salah satu ruang publik di Lyon.

113

Teror Publik
Dalam suasana seperti ini, tentu keselamatan warga Indonesia khususnya dan warga Prancis
secara umum harus diprioritaskan oleh Pemerintah Prancis maupun otoritas Pemerintah
Indonesia di Prancis. Nyawa mereka tanggung jawab pemerintah yang harus dijamin
kepastiannya.
Tragedi ini refleksi dari perjuangan muslim Eropa untuk menebarkan wajah Islam yang
damai dan anti-kekerasan. Tidak mudah memang melakukan ini di negara-negara Barat di
mana Islam menjadi minoritas. Apalagi dengan gerakan islamophobia yang tak pernah surut.
Saya mencatat ada dua hal penting yang harus menjadi perhatian dari tragedi ini. Pertama,
kasus ini bisa menjadi titik balik dari Islam Eropa yang sebenarnya semakin hari
perkembangannya semakin dinamis dan menggairahkan di berbagai negara Eropa. Titik balik
karena tragedi ini juga memberikan pengaruh bagi muslim-muslim lain di Eropa seperti
Jerman, Belanda, atau Inggris yang dikenal memiliki komunitas muslim banyak. Termasuk di
dalamnya warga muslim Indonesia yang sedang studi, bekerja, atau menetap di negara-negara
tersebut. Serangan balik terhadap komunitas muslim sangat mungkin terjadi dan dialami oleh
pihak-pihak yang tak berdosa seperti muslimah maupun anak-anak.
Karena itu, otoritas keamanan di Eropa khususnya bagi komunitas muslim menjadi
keniscayaan untuk lebih waspada dari ancaman-ancaman teror sebagai bentuk simpati
terhadap korban Charlie Hebdo. Di beberapa negara Eropa terdapat sekolah muslim dan
masjid yang tersebar di berbagai kota. Tempat-tempat inilah yang harus mendapatkan
perhatian ekstra dari otoritas setempat.
Kedua, kasus ini membawa muslim Prancis khususnya dan Eropa umumnya untuk semakin
terjal menghadapi perjuangan mereka menghadapi gerakan-gerakan islamophobia. Inilah fase
terjadi rekonsolidasi islamophobia di berbagai pelosok Prancis untuk mengecam Islam dan
perlahan-perlahan meminggirkannya dalam peran sosial-ekonomi.
Bukti nyatanya akan dirasakan oleh keluarga-keluarga yang anak-anaknya di-bullying di
sekolah oleh warga asli Prancis atau mereka dipersulit urusan-urusan administrasi, catatan
sipil, hingga urusan-urusan publik lain. Apalagi di Prancis saat ini masih dililit krisis finansial
yang sangat terasa semakin sulitnya kehidupan.
Sementara muslim di Prancis sebagian besar adalah imigran dari negara-negara Maghribi
seperti Aljazair, Maroko, maupun Tunisia. Ini akan menyebabkan mereka semakin sulit
menjalani hari-harinya. Dalam konteks yang lebih luas adalah semakin buruknya citra Islam
di Prancis.
Wajah Islam di Prancis berada pada titik nadir terendah. Kita tak bisa membiarkan kasus ini
semakin berkepanjangan. Sambil menunggu penyelesaian dari pihak Kepolisian Prancis,
muslim di Indonesia harus memberikan dukungan moral kepada muslim Prancis untuk berada
114

pada barisan terdepan yang mengampanyekan Islam yang damai, ramah, dan jauh dari
perilaku barbar. Selain tentunya mengecam perilaku agresif tersebut.
Dukungan moral inilah, meski jauh dipisahkan benua, menjadi suntikan moril dari negara
seperti Indonesia yang mayoritas muslim agar muslim di Prancis bisa menjalani hari-harinya
yang saat ini berada pada ancaman ketakutan. Satu hal yang pasti, Tragedi Charlie Hebdo
bisa terjadi di mana pun saja. Karena itu, kita harus semakin waspada kepada pihak-pihak
yang akrab dengan teror publik atas nama memperjuangkan Islam.

RAKHMAT HIDAYAT
Pengajar Jurusan Sosiologi UNJ & PhD Sosiologi lulusan Universite Lumiere Lyon 2 France

115

Papua Butuh Keberpihakan

Koran SINDO

10 Januari 2015

116

Jangan ada lagi kekerasan, demikian kata Presiden Jokowi saat peringatan Natal Nasional
di Jayapura, Papua, Sabtu malam, 27 Desember 2014. Jokowi pun mengimbau, Agar
saudara kita yang masih di dalam hutan, di atas gunung-gunung, marilah bersama
membangun Papua sebagai tanah yang damai. Menurutnya, masalah yang ada di Papua tidak
hanya berkaitan dengan ekonomi, sosial, atau politik, namun terutama adalah tidak ada saling
percaya antara rakyat dan pemimpinnya.

Meski agak berbeda, Pater Neles Tebay, koordinator Jaringan Papua Damai (JPD), mengakui
Papua masih bermasalah. Dalam beberapa tahun terakhir, insiden berdarah di Tanah Papua
masih saja terjadi, terakhir di Kabupaten Painai. Ibarat api dalam sekam, pergolakan di Tanah
Papua menyimpan bara yang setiap saat bisa meletup dengan meminta korban jiwa jika tidak
dilakukan tindakan preventif.
Tebay merekomendasikan tiga hal demi perdamaian yaitu pengakuan TPN-Papua Barat/OPM
bukanlah sebuah kelompok kriminal bersenjata karena sejatinya memiliki motivasi dan
tujuannya politik; semua khususnya pemerintah dan OPM perlu mengadakan pertemuan
informal guna mengurangi kecurigaan dalam mengidentifikasi masalah dan menetapkan
solusi politik secara bersama; serta pemerintah perlu mempercepat pembangunan sambil
mencari solusi politik dan berupaya menyembuhkan memori yang terluka.
Kepada Presiden Jokowi, diusulkan perlunya satu unit kerja di Kantor Presiden yang bersifat
ad hoc, bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan berfungsi sementara hingga Papua
menjadi tanah damai dan pembangunan dilaksanakan tanpa gangguan.

Kenyataannya, kondisi riil Tanah Papua saat ini, dipenuhi oleh berbagai hal yang
kontradiktif. Di satu sisi, seperti yang didendangkan Franky Sahilatu sebagai surga kecil
jatuh ke bumi, Tanah Papua memiliki tiga modal dasar yang bisa menjadi faktor utama
pembawa kesejahteraan yaitu sumber daya alam (SDA) yang berlimpah; kawasan ekosistem
yang luas dan kaya; serta jumlah penduduk yang relatif sedikit, sekitar empat juta
jiwa. Modal dasar tersebut semakin diperkuat dengan ada transfer dana dari pusat berupa
pembagian hasil eksplorasi SDA dan dana otonomi khusus (otsus) yang, sejak diberlakukan
otsus 12 tahun lalu, berjumlah lebih dari Rp30 triliun.

Namun, di sisi lain, potensi modal dasar yang demikian besar tidak membawa hasil yang
sebanding. Persentase kemiskinan di Tanah Papua misalnya masih di atas 20%, jauh di atas
rata-rata nasional. Provinsi Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia.

117

Hal yang sama juga berlaku terkait indeks pembangunan manusia (IPM). IPM Provinsi Papua
menempati peringkat juru kunci, sementara IPM Provinsi Papua Barat berada pada posisi ke29 dari 33 provinsi di Indonesia.

Dari kondisi tersebut, yang menjadi keprihatinan luas adalah kenyataan bahwa mayoritas
orang asli Papua (OAP) sebagai pemilik awal surga kecil ini masih berkutat dalam
kemiskinan dan keterbelakangan. Usia harapan hidup, lama pendidikan, dan kondisi
kesehatan penduduk asli misalnya jauh lebih rendah dibandingkan pendatang. Pada saat
bersamaan, secara bertahap OAP pun tergusur dari sentra-sentra ekonomi di kawasan
perkotaan.

Kondisi kontradiktif tersebut patut dicemaskan akan terus memunculkan berbagai ekspresi
ketidakpuasan dan konflik yang mengarah pada tuntutan kemerdekaan Tanah
Papua. Mengaca pada Aceh, dibutuhkan dialog perdamaian sebagai sarana untuk
menyelesaikan konflik di Tanah Papua dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan
yang masih mengganjal.

Secara umum sumber-sumber konflik di Tanah Papua bisa dikelompokkan dalam empat
permasalahan berikut ini (LIPI, 2009). Pertama, marjinalisasi dan diskriminasi OAP oleh
pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Tanah Papua sejak
1970. Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan
pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, ada kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas
politik antara Papua dan Jakarta. Keempat, pertanggungjawaban atas kekerasan negara pada
masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua, terutama terhadap korban, keluarganya,
dan warga Indonesia di Papua secara umum.
Selain itu, terdapat tiga kepentingan OAP seperti yang diamanatkan oleh UU Otsus yang
selama ini belum sepenuhnya diimplementasikan oleh pemerintah (Ridha, 2011) yaitu (1)
kepentingan substansial, menyangkut hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya; (2)
kepentingan formal prosedural terkait pengakuan konkret terhadap peran lembaga adat dan
Majelis Rakyat Papua (MRP) serta dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta
Pengadilan HAM; dan (3) kepentingan psikologis menyangkut pengakuan terhadap eksistensi
dan simbol-simbol budayanya.
Sebenarnya, dalam UU No 21/2001, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang
35/2008 terkait Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, telah disebutkan agar
dalam proses pembangunan di dua provinsi tersebut perlu memperhatikan keberpihakan,
pemberdayaan, dan perlindungan terhadap penduduk asli Papua. Tiga alasan tersebut menjadi

118

pertimbangan bagi sebuah pendekatan baru dalam mempercepat proses pembangunan yang
membawa kesejahteraan bagi mayoritas OAP yang masih terpinggirkan, tanpa melupakan
penduduk miskin lain.

Dalam batasan tertentu, secara konkret kebijakan pembangunan di Tanah Papua sebenarnya
telah berpihak pada OAP. Selain posisi gubernur, bupati, dan wali kota yang diharuskan
dijabat oleh penduduk asli, sistem kuota pun diberlakukan dalam penerimaan pegawai di
jajaran pemerintahan, sekolah, dan universitas. Namun, lebih dari itu, keberpihakan harus
berupa kepekaan terhadap budaya dan zona ekosistem Tanah Papua yang memengaruhi
budaya, mata pencaharian, dan pola hidup penduduk asli Papua.
Banyak pihak meyakini, berhasil dan tidak pembangunan di Tanah Papua sangat dipengaruhi
oleh kebijakan dan perencanaan pembangunan yang peka terhadap budaya dan geografi
tempat tinggal OAP. Selama ini pertumbuhan perekonomian Tanah Papua lebih bertumpu
pada sektor pertambangan, keuangan, dan usaha padat modal yang kurang memberikan
kontribusi terhadap perluasan lapangan pekerjaan.

Konkretnya, pertumbuhan ekonomi ternyata tidak membawa dampak positif bagi


peningkatan kesejahteraan mayoritas OAP yang bekerja di sektor pertanian yang selama ini
terbengkalai. Karena itu, menjadi sebuah keniscayaan untuk menyusun perencanaan
pembangunan berbasis budaya, memprioritaskan sektor pertanian yang menjadi penyumbang
lapangan pekerjaan terbesar, serta mengacu kondisi geografis tepat tinggal OAP.
Keberpihakan terhadap mayoritas OAP yang masih berada dalam kondisi miskin perlu
dilakukan tanpa melupakan kelompok-kelompok sosial lain, termasuk perempuan yang juga
terpinggirkan dalam proses pembangunan. Hal tersebut diyakini akan menjadi langkah awal
agar surga kecil yang sedang membara ini bisa kembali damai dalam kesejahteraan bagi
semua. Semoga!

IVAN HADAR
Penulis Utama Laporan Pembangunan Manusia Provinsi Papua dan Papua Barat (2014)

119

Manusia Modern III: Waktu

Koran SINDO

11 Januari 2015

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah talk show TV terkenal yang digelar dalam rangka
memperingati 10 tahun tsunami dan diselenggarakan di Aceh, Menteri Kelautan dan
Perikanan ikut menjadi salah satu narasumber.
Dalam kesempatan itu narasumber yang lain mengomentari betapa hebatnya Aceh, yang

120

dalam waktu10 tahun pascatsunami sudah menggeliat bangun lagi ekonominya, bahkan jauh
lebih bagus dari sebelum tsunami. Ditunjukkan dalam talk show itu, antara lain Kota
Meulaboh di pantai barat Aceh, yang dulu rata dengan tanah oleh tsunami, sekarang sudah
menjadi kota yang ramai, banyak toko, dan betor (becak motor) berlalu lalang.
Tetapi ibu menteri, narasumber yang namanya Susi Pudjiastuti, sekilas saja ikut memuji
perkembangan Aceh. Selanjutnya dia mengimbau kepada masyarakat agar mengurangi hobi
ngerumpi di warung kopi dari tiga jam menjadi sejam saja. Maksudnya, agar ngobrol
sebentar saja, selebihnya waktu digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, lebih
produktif: kerja, kerja, kerja!
Susi jelas bukan ustazah, apalagi ulama. Pendidikannya tergolong rendah, ijazah SMA pun
dia tidak punya. Apalagi konon (saya sendiri belum pernah melihat) tubuhnya bertato (suatu
hal yang sering diidentikkan dengan premanisme). Tetapi ucapannya benar sekali, bahkan
ditegaskan oleh wahyu Allah dalam surat al-Ashr (Masa/Waktu).
Waktu adalah hal yang dibagikan sama rata sama rasa oleh Tuhan kepada setiap
orang. Tidak peduli kaya atau miskin, berpendidikan atau buta huruf, pejabat atau rakyat,
ulama atau umat, sakit atau sehat; semua kebagian waktu yang sama, yaitu 24 jam sehari, 7
hari seminggu, 365 hari setahun. Tinggal terserah kepada kita (manusia) masing-masing
untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Makin banyak waktu kita manfaatkan untuk kemaslahatan orang-orang lain, atau pun untuk
diri kita sendiri, semakin baik; dan pahalanya pun tidak usah menunggu sampai hari kiamat.
Di dunia ini pun Allah akan membalaskan kerja kita dengan balasan yang kontan dan bisa
dinikmati, baik oleh diri kita sendiri, maupun oleh masyarakat yang ikut merasakan manfaat
dari kerja kita.
***
Beberapa hari sesudah talk show tersebut, tepatnya tanggal 28 Desember 2014, terjadi
musibah jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura yang diduga
menewaskan seluruh penumpang dan awaknya. Terlepas dari drama dan tragedi yang pasti
mengikuti setiap musibah, kecelakaan pesawat AirAsia kali ini menyuguhkan tontonan (di
TV) betapa sekian banyak orang (termasuk yang tadinya tidak saling mengenal) bisa bekerja
sangat kompak berkejaran dengan waktu.
Presiden Joko Widodo yang ketika musibah terjadi sedang di Papua, segera menggelar
konferensi pers dan memerintahkan untuk mengerahkan segala daya dan upaya untuk
menemukan pesawat yang hilang itu dan mengevakuasi korban secepat-cepatmya. Maka
semua langsung bergerak! Basarnas sebagai pemimpin dan semua terkoordinasi dengan
sangat rapi.
Bantuan negara lain berdatangan dengan alat-alat dan personel. Helikopter terbang dan
121

mendarat, kapal-kapal mencari korban di tengah laut yang bergolak, setelah lokasi jatuhnya
pesawat ditemukan. Di pos-pos evakuasi, petugas bersama-sama berlarian membawa brankar,
ada yang berseragam Basarnas, TNI, dan Polisi (sama sekali tidak terasa adanya isu
pertikaian antar TNI-Polisi).
Dalam waktu tiga hari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini hadir di Lanud Juanda Surabaya
dan juga mendatangi rumah-rumah penumpang yang ditinggalkan semua penghuninya yang
ikut dengan pesawat nahas itu. Rumah-rumah itu digembok dan disuruh jaga oleh Satpol PP.
Di Kabupaten Belitung Timur, Bupati Basuri Tjahaja Purnama spontan menyiapkan sarana
posko karena ada dugaan pesawat jatuh di sekitar situ. Ketika korban mulai dievakuasi ke
Pangkalan Bun, Presiden menyempatkan diri untuk mengunjunginya dan dari situ langsung
terbang ke Surabaya untuk bertemu langsung dengan keluarga korban.
Bukan itu saja. Sebagian sejawat saya, psikolog-psikolog yang ada di Surabaya, melalui
Himpunan Psikologi Indonesia cabang Jatim, langsung membuka meja-meja konseling di
Lanud Juanda. Tidak ada yang menanyakan uang makan apalagi honorarium. Pokoknya:
kerja!
Hasil kerja itu ternyata memang luar biasa. Dalam waktu tiga hari lokasi kecelakaan sudah
ditemukan dan selanjutnya bantuan dan evakuasi bisa dilaksanakan. Pujian dari luar negeri
bermunculan, dan yang terpenting rasa puas dari keluarga korban sendiri di tengah duka
mereka (inilah pahala langsung bagi para pekerja keras itu).
Tentu hal ini tidak akan terjadi jika dibentuk pansus dulu, diseminarkan dulu, atau dibahas
dulu dengan Badan Anggaran DPR. Memang budaya Indonesia lebih cenderung kepada
budaya oral atau lisan. Kita mahir sekali untuk berdebat, berdiskusi, berpantun, berseloka,
berdendang atau mendongeng, tetapi kurang cekatan kalau disuruh kerja.
Waktu bisa dibuang-buang untuk kebiasaan oral ini. Saya lihat sendiri di Banda Aceh (dua
minggu dan dua tahun pascatsunami ketika saya ke sana) warung-warung kopi buka seharian
sampai malam, dan selalu penuh dengan orang yang mengobrol sambil minum kopi. Bahkan,
mungkin lebih dari tiga jam. Konon para elite Aceh juga mengobrol di warung-warung kopi
itu.
Tetapi kata kawan-kawan saya yang belakangan ini sering mondar-mandir ke Aceh, jalanjalan raya di Aceh sekarang mulus-mulus, dibeton, bukan seperti yang dulu jamannya DOM
(daerah operasi militer). Jadi siapa yang membangun prasarana itu? Jelas orang-orang yang
senang bekerja demi waktu, karena tidak bisa orang membangun sesuatu sambil ngobrol... Ya
kan?

SARLITO WIRAWAN SARWONO


Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

122

123

Aku Naik Kau Naik, Aku Turun Kau Tak Mau


Turun

Koran SINDO

12 Januari 2015

Saat ini masyarakat Indonesia sudah masuk fase gila otomotif. Setiap hari jalan dipadati oleh
jutaan kendaraan yang mengakibatkan kemacetan, kepenatan, dan rasa frustrasi yang tiada
henti. Kendaraan yang merupakan alat transportasi untuk mempercepat proses perjalanan
mencapai tujuan, kini kadang berubah menjadi sarana untuk mempercepat depresi dan
pemborosan.
Kendaraan bermotor roda dua yang lazim disebut sepeda motor atau secara umum disebut
motor merupakan generasi baru yang kini menjadi kekuatan gelombang monster di
jalanan. Baik perseorangan maupun bergerombol kini kendaraan roda dua tersebut telah
menjadi alat transportasi yang murah dan demokratis. Saking demokratisnya, motor kini bisa
dipakai siapa saja; tua, muda, ibu-ibu, bapak-bapak, aki-aki, nini-nini, bahkan anak umur
enam tahun sekalipun kini sudah pandai menunggangi kuda mesin tersebut.
124

Jalan kaki sebagai kebiasaan hidup yang sehat kini tinggal kenangan. Seluruh perjalanan,
baik dekat maupun jauh, kini tergantikan oleh kendaraan bermotor. Orang enggan berjalan
kaki mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama, rasa malas yang ada dalam dirinya. Kedua,
ketidaknyamanan ketika berjalan karena trotoarnya penuh dengan kaki lima. Kalau turun ke
jalan, disambar oleh mobil atau motor.
Akibat itu, hantaman penyakit terhadap masyarakat kita kini menjadi gelombang yang tidak
terhindarkan lagi, dari mulai penurunan daya tahan tubuh, tekanan darah tinggi, kolesterol,
jantung, asam urat, asam lambung, dan berbagai penyakit asam lain yang kini menjadi hantu
yang menakutkan seperti muka asam dan otak asam.
Muka asam dan otak asam kini dialami oleh para pemilik kendaraan bermotor, baik roda dua
maupun roda empat yang dalam setiap bulan harus menghadapi tagihan dengan bunga
leasing yang sangat tinggi. Kalau telat membayar, bersiaplah menghadapi debt collector
dengan muka yang garang, badan yang kekar, dan mampu membuat Anda bertambah sakit
lagi yaitu serangan jantung.
Debt collector kini menghadapi lawan tanding yaitu ormas sehingga dari urusan tagih
menagih dan sita menyita berujunglah pada konflik dan kekerasan yang sering memakan
korban jiwa.
Yang menjadi pertanyaan, apakah dikenal istilah debt collector dalam undang-undang kita,
yang berpatokan pada KUH Perdata? Setahu saya, dalam KUH Perdata apabila salah satu
pihak wanprestasi tidak dikenal harus beracara melalui debt collector. Mungkin bagi para
pengusaha, debt collector adalah salah satu pilihan cepat untuk menyelesaikan masalah
karena rumit dan panjangnya proses beracara di Indonesia. Kata Mang Udin, tetangga di
kampung saya, Kalau memakai formal beracara ala KUH Perdata lama, waktunya serta
mahal biayanya. Bisa-bisa untuk menagih utang ayam harus menjual kerbau.
Sebagai negara yang tanggap, sudah saatnya masalah sengketa utang piutang yang
hubungannya dengan persoalan jual beli dan sejenisnya dibuat peradilan yang cepat dengan
hakim-hakim khusus di berbagai daerah, diberi batasan waktu proses peradilannya serta
dibatasi untuk tidak banding atau kasasi, sehingga semua berjalan dengan cepat dan tepat
waktu. Akhirnya, para pengusaha tidak mengalami kerugian dan alam demokrasi kita
terhindar dari konflik pertikaian dari urusan perdata menjadi pidana.
Urusan anjuk menganjuk atau utang piutang bukan lagi dunia baru bagi masyarakat kita.
Kalau tidak nganjuk atau mengutang, kita tidak akan punya apa-apa. Kenaikan upah dan gaji
pegawai dalam setiap tahun tidak berpengaruh pada kesejahteraan karena sebelum upah
diterima, tambahan pinjaman sudah lebih dulu ditingkatkan.
Berdasarkan penelitian, para pegawai di Indonesia itu masuk dalam kategori 10 keajaiban
dunia. Ajaibnya adalah kerjanya di pemda, SK-nya ada di bank. Setelah itu gajinya dalam
setiap bulan ternyata ada yang tinggal Rp200.000, Rp100.000, bahkan ada yang minus
125

sampai Rp500.000. Tapi, jangan salah, mereka masih bisa hidup dengan bahagia, bahkan
masih sanggup menambah jumlah istrinya. Hebat euy...
***
Urusan kendaraan adalah urusan bahan bakar minyak (BBM). Ini selalu menjadi trending
topic dalam pembicaraan para ekonom, ahli pemerintahan, ahli transportasi, pengamat
kemiskinan, karena begitu besarnya penggunaan bahan bakar minyak di Indonesia.
Setiap hari sibuk berseminar, berpidato tentang problem bahan bakar dan transportasi yang
sudah mendekati titik kulminasi kecemasan, tetapi setiap hari juga jutaan kendaraan
diproduksi dan masuk ke seluruh jaringan rumah tangga Indonesia. Di kampung sudah
hampir tak terdengar suara kerbau, kambing, dan domba, yang ada raungan kendaraan
bermotor. Akibat itu, kita harus impor daging sapi dari Australia dengan jumlah yang sangat
besar.
Triliunan rupiah dihabiskan untuk memberikan subsidi bagi raungan seluruh kuda besi
tersebut yang penggunaannya kini sudah bertentangan dengan tujuan berkendara; hanya
untuk balapan, hanya untuk pamer kekayaan, dan hanya untuk ekspresi kekecewaan.
Di negara yang menghasilkan produk kendaraan dan menikmati pendapatan yang tinggi dari
seluruh produksi yang dijualnya, keadaannya justru terbalik. Jalan rayanya sangat tertata,
penggunaan kendaraan bermotor dibatasi, alat transportasi umum menjadi pilar utama
mobilisasi masyarakat. Anak-anak muda menggunakan sepeda di pusat-pusat perbelanjaan,
pusat-pusat pendidikan dengan fasilitas jalan yang sangat nyaman dan terlindungi. Di
perdesaan tumbuh kekuatan peternakan dengan pengelolaan yang sangat sempurna serta
perlindungan negara yang sangat tinggi sehingga kita mengenal wagyu dari Jepang,
tenderloin dan sirloin steak dari Australia atau Amerika.
Maka muncullah pertanyaan, lebih maju mana mereka dengan kita? Lebih kaya mana mereka
dengan kita? Jangan-jangan rakyat kita, anak-anak muda kita, sebenarnya miskin, tapi
sombong.
***
Kenaikan harga BBM sebagai solusi untuk mengurangi subsidi dan mendorong masyarakat
untuk efisien ternyata menimbulkan dampak yang cukup luas. Kenaikan harga barang yang
tanpa menunggu pengumuman serta ongkos berkendaraan umum yang dengan cepat
ditetapkan oleh para supir tanpa harus menunggu surat keputusan, memberikan dampak yang
cukup besar bagi beban hidup masyarakat.
Industri mengalami dilema psikologis yang sangat berat antara kenaikan komponen produksi
dari mulai bahan baku sampai upah buruh, tetapi harga barang yang dijual yang berorientasi
ekspor belum tentu mengalami kenaikan atau yang berorientasi domestik pun mengalami
126

depresi pasar karena menurunnya daya beli masyarakat.


Waduuh, jadi serius begini nih.. Kata Ma Icih, tetangga sebelah rumah saya, masih mending
pegawai naik gajinya, buruh naik gajinya, sanajan berat masih keneh bisa meuli sabab boga
penghasilan (meskipun berat masih bisa membeli karena punya penghasilan). Bagaimana
nasib emak yang tidak punya suami, tidak punya pekerjaan dan penghasilan, sedangkan
semua yang dibeli serbamahal, harus bagaimana ujang?
Tapi, emak punya usul, bagaimana kalau untuk mengentaskan kemiskinan atas nama undangundang, walaupun emak sudah dapat Rp200.000, tapi kan emak ingin sejahtera. Caranya
adalah instruksikan kepada seluruh orang kaya untuk bertambah istri pada orang yang seusia
emak sehingga emak tidak menjadi beban negara. Atau dibuat program Ibu Angkat, kan Jang
Dedi sudah tidak punya ibu, gajinya besar, emak aja jadikan ibunya Jang Dedi sehingga
sayangnya Jang Dedi pada almarhum ibunda bisa diwujudkan dengan menyayangi emak
sepenuh hati.
Di tengah-tengah kegentingan masalah bahan bakar, rupanya Tuhan masih menyayangi
kita. Ternyata harga minyak dunia terus mengalami penurunan sehingga harga bahan bakar
kita kembali menurun, tuh... memang kalau waktu turun, tidak ada yang demo. Jalanan jadi
sepi dari antrean kendaraan di SPBU, negeri ini menjadi seperti sangat tenteram dan damai.
Namun, ada yang menarik yaitu harga. Kalau waktu harga BBM naik, harga-harga cepat naik,
bahkan sebelum diumumkan sudah naik. Nah, giliran BBM turun, harga kebutuhan kita dan
tarif angkutan sulit sekali turun. Para supir tidak sesigap waktu BBM naik untuk menaikkan
tarif. Mukanya memang tidak segarang dan secekatan waktu BBM naik. Tidak ada kalimat,
Nih BBM turun, ongkosnya dengan penuh sukacita saya turunkan.
Di pasar tidak terdengar ucapan para pedagang seperti dulu, Bu mohon maaf, BBM naik
sehingga harga cabai harus naik. Kini suara mereka tidak nyaring lagi, tidak ada ucapan,
Nih BBM turun, dengan sepenuh hati aku turunkan harga jengkol. Oh, betapa harum
mulutku kalau itu engkau lakukan.

DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta

127

128

Charlie Hebdo, Ekstrem Kanan, dan Vatikan

Koran SINDO

12 Januari 2015

Lebih dari 700.000 orang di Prancis menggelar long march menyusul rentetan teror yang
menewaskan 17 orang, Sabtu (10/1/2015) malam waktu setempat.
Presiden Prancis Francois Hollande, beberapa pemimpin dunia seperti Kanselir Jerman
Angela Merkel, Perdana Menteri Inggris David Cameron, dan lainnya dikabarkan ikut dalam
aksi ini. Ulama-ulama muslim di Prancis juga mendorong warga muslim Prancis untuk ikut
dalam aksi tersebut. Seruan ini disampaikan di lebih dari 2.300 masjid yang ada di seluruh
wilayah Prancis. Terdapat sekitar 5 juta warga muslim di Prancis. Demikian seperti dilansir
AFP, Sabtu (10/1/2015).
Aksi long march itu memang dilakukan untuk menghormati 17 korban dari dua pria
bersenjata yang menyerbu masuk ke kantor mingguan satir Charlie Hebdo pada Rabu (7/1).
Pemimpin redaksi-nya, Stephane Charbonnier yang kerap dipanggil Charb salah satu yang
tewas bersama tiga kartunis lainnya. Jelas pemberitaan tentang mingguan satir Charlie
Hebdo punya implikasi luas, termasuk bagi relasi Islam-Kristen.
Syukurlah, di tengah kondisi sulit ini, ada beberapa tokoh, baik dari Islam atau Kristen yang
menggarisbawahi bahwa agama tidak bisa disamakan atau didegradasi sebagai tindakan
barbar terorisme. Misalnya Thareq Oubrou, imam masjid di Bordeaux, Prancis, yang sedang
berkunjung ke Vatikan saat terjadi serangan ke Charlie Hebdo. Dia mengajak umat muslim
untuk turun ke jalan, memprotes serangan dua teroris yang justru dianggapnya menodai Islam
sebagai agama damai. Dia bahkan menyebut serangan itu seperti serangan yang dilakukan
terhadap Amerika pada 11 September 2001 yang menewaskan 3000 orang.
Vatikan mengutuk serangan ke Charlie Hebdo sekaligus mengecam tindakan mingguan itu
yang gemar menghina ihwal yang dianggap suci oleh umat Islam. Atas nama kebebasan

129

berekspresi yang begitu didewakan di Barat, junjungan umat Islam, Nabi Muhammad,
dijadikan objek penghinaan atau olok-olok.
Serangan ke Charlie Hebdo diyakini sebagai aksi balasan pada mingguan yang pernah dinilai
menghina Nabi Muhammad. Pada 2007 Charlie Hebdo harus membela diri di pengadilan
sehubungan dengan kartun Nabi Muhammad, yang dicetak ulang di majalah itu, dan
membuat marah umat muslim dunia.
Bagi Vatikan, kasus Charlie Hebdo menjadi tantangan apakah kita mau menyerah pada
ekstremitas atau kebebasan berekspresi, dua ekstrem yang sering justru menjadi gangguan
besar bagi upaya membangun dialog yang jujur antara Islam dan Kristen. Selama ini memang
upaya membangun relasi setara dan saling menghargai seringkali justru terkendala oleh aksi
para ekstremis.
Di Eropa misalnya kini muncul kekuatan ekstrem kanan dalam satu dekade terakhir.
Sebagaimana cara teror yang digunakan para penyerang ke Charlie Hebdo, para pendukung
ekstrem kanan juga setali tiga uang. Ini terlihat nyata dari kasus pembunuhan 92 orang (90an lainnya terluka) di Pulau Utoeya, Norwegia oleh Anders Behring Breivik pada Juli
2011. Kerusuhan di Inggris pada 2011 juga memicu ketidaksukaan para penganut ekstrem
kanan pada kaum imigran, khususnya kaum pendatang muslim.
Serangan ke Charlie Hebdo juga ditakutkan membangkitkan kebencian terhadap Islam.
Islamofobia memang sudah lama muncul amat kuat di Eropa, namun kini islamofobia nyata
menjangkiti para penganut ekstrem kanan yang konservatif, anti-imigran, dan antiIslam. Tidak heran bila Islam telah didegradasi oleh para penganut ekstrem kanan sebagai
agama yang layak dipersalahkan atas situasi buruk yang terjadi di Eropa seperti kemiskinan
dan pengangguran di kalangan warga asli Eropa.
Kaum ekstrem kanan dengan sepihak menolak kehadiran orang asing di luar Eropa,
khususnya orang Islam di wilayah yang batas-batasnya mereka tentukan sendiri. Batas itu
konyolnya juga diberi label agama. Mereka menyebut Eropa itu milik Kristen, sedangkan
umat Islam tak ada tempatnya di Eropa meski populasi umat Islam merupakan 5% dari total
penduduk Eropa. Ini tentu saja tak beda dengan pandangan kaum ekstremis mana pun dari
agama apa pun, yang bahkan merasa seolah sang Pencipta ada di pihak mereka.
***
Dalam situasi seperti ini, Tahta Suci Vatikan, pusat bagi segenap umat Katolik di dunia, tetap
menaruh empati dan penghargaan untuk umat Islam. Vatikan mengutuk pandangan
islamofobia atau pandangan yang mereduksi Islam sebagai agama kekerasan. Lagipula, sikap
apresiatif pada Islam, konsisten menjadi sikap resmi Vatikan sejak dekade 1960-an.
Memang dalam dokumen Nostra Aetate yang menjadi ajaran resmi gereja, disebutkan
Gereja Katolik mengakui kebenaran dalam agama-agama lain, termasuk Islam. Nah, lewat
130

pendekatan seperti itu, Vatikan hendak mengajak umat beragama yang berkehendak baik
untuk tidak memakai pendekatan konflik seperti diyakini para ekstremis.
Vatikan memang suka mengedepankan pendekatan kerja sama, dialog, serta cara-cara damai
dan menghindari cara-cara kekerasan yang tidak bermartabat. Kita masih ingat ketika terjadi
agresi tentara sekutu yang dimotori Amerika Serikat ke Irak, Vatikan paling menentang,
karena yakin agresi atau perang hanya akan menjadi kekalahan bagi kemanusiaan dan cela
bagi agama-agama.
Vatikan amat menaruh harapan pada kaum muda, khususnya mahasiswa dari negara-negara
Islam, untuk memperjuangkan masa depan yang baik di dunia ini. Untuk itu, mereka juga
diberi beasiswa untuk studi di Vatikan. Vatikan juga mendorong perguruan tinggi Katolik
untuk mengajarkan Islam, dari sudut pandang Islam sendiri, dengan mengundang pakar-pakar
Islam untuk menjadi dosen.
Ketika ribut-ribut soal pelarangan jilbab di Prancis, Gereja Katolik juga tampil sebagai
penentang utamanya. Vatikan memang termasuk lantang dalam memperjuangkan kebebasan
beragama sehingga dia mendorong dijadikannya Eropa sebagai kawasan kondusif bagi semua
umat beragama, termasuk Islam sebagai agama damai dan menjunjung perdamaian.
Bicara tentang perdamaian, bagi Vatikan, bukan sekadar menjadi wacana atau teori yang jauh
dari praksis hidup. Perdamaian harus menjadi pilihan kita bersama. Nah, langkah-langkah
perdamaian atau sikap pro-dialog dari Vatikan sesungguhnya senada dengan pandangan
mainstream tokoh-tokoh Islam di negeri ini yang rata-rata memang dikenal moderat, penuh
toleransi, dan apresiasi.
Ini cocok dengan pandangan cendekiawan muslim Mohammed Arkoun yang mengimbau
agar relasi Islam-Kristen jangan hanya difokuskan pada prinsip ideologi antagonisme seperti
konflik atau perang saja, tetapi juga perlu dilihat pada berkah dan sumbangan-sumbangan
positif yang sudah diberikan masing-masing umat.
Sayangnya, Vatikan tidak memiliki kekuatan politik seperti negara-negara Eropa
lainnya. Vatikan hanya punya kekuatan moral bahwa sikap ekstrem dan eksklusif
bertentangan dengan kehendak Tuhan yang menciptakan satu dunia agar para penghuninya
saling menjalin relasi dan tali silaturahmi yang baik.
Sekarang terserah pada kita, mau percaya pada kekuatan dialog seperti disodorkan Vatikan
atau kekuatan prasangka buruk dari kaum ekstremis yang gemar memakai kekerasan sebagai
penyelesaian masalah. Jangan lupa, setiap kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.

TOM SAPTAATMAJA
Teolog

131

Rekonstruksi Pembangunan Desa

Koran SINDO

12 Januari 2015

Pembangunan desa (perdesaan) selalu menjadi isu penting di Indonesia sejak dulu kala,
apalagi saat kampanye.
Dua hal ini menjadi isu pokoknya: (i) sebagian besar penduduk Indonesia berdiam diri di
wilayah desa, meskipun proporsinya dari tahun ke tahun semakin merosot. Saat ini
diperkirakan 60% penduduk masih tinggal di desa; (ii) kesejahteraan penduduk di desa jauh
tertinggal dibandingkan penduduk kota. Sebagian besar penduduk desa bekerja di sektor
pertanian atau sektor informal dengan pendapatan yang rendah. Saat ini sekitar 63% dari total
penduduk miskin berdiam diri di desa.
Tentu ada alasan lain di luar itu, misalnya sebagian besar sumber daya ekonomi yang ada di
desa. Namun, kedua argumen di atas merupakan poin utama tentang pentingnya
pembangunan perdesaan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik.

132

Benturan Kepentingan
Selama ini terdapat banyak pendekatan pembangunan perdesaan dari zaman ke zaman.
Sekurangnya pendekatan itu bisa dibagi dalam enam fase berikut (Ellis dan Biggs, 2001:
444). Pertama, model dualisme ekonomi menjadi isu strategis pembangunan perdesaan di
negara-negara berkembang pada 1950-an.
Pada fase ini, tujuan pembangunan perdesaan diarahkan dari semula pembangunan komunitas
(1950-an) ke penekanan pertumbuhan usaha tani kecil (smallfarm) [1960-an]. Kedua,
pertumbuhan usaha tani kecil (1960-an) dilanjutkan kepada upaya pembangunan perdesaan
yang terintegrasi (1960-an), di antaranya melalui kebijakan transfer teknologi, mekanisasi,
dan penyuluhan pertanian.
Ketiga, pergeseran pembangunan perdesaan yang dipandu negara (state-led) [1970-an]
menuju liberalisasi pasar (1980-an) melalui kebijakan penyesuaian struktural dan pasar
bebas. Keempat, pembangunan perdesaan diarahkan untuk penguatan pendekatan proses,
partisipasi, pemberdayaan, dan pelaku (actor) [tahun 1980-an dan 1990-an].
Kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja
yang terintegrasi dalam pembangunan perdesaan (1990-an), di antaranya lewat penguatan
kredit mikro, jaring pengaman perdesaan, dan peran perempuan dalam pembangunan.
Keenam, menempatkan pembangunan perdesaan sebagai strategi untuk mengurangi
kemiskinan (2000-an).
Dari fase-fase tersebut bisa diidentifikasi bahwa proses komersialisasi sektor perdesaan (lebih
tepat lagi sektor pertanian) sudah terjadi pada 1960-an, melalui serangkaian kebijakan yang
berupaya meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, revolusi hijau, dan penciptaan petani
yang rasional.
Pertanyaan gentingnya, mengapa pendekatan yang relatif komprehensif tersebut tidak juga
memajukan desa dan menyejahterakan penduduknya (khususnya yang bekerja di sektor
pertanian)? Terdapat tiga hipotesa kunci untuk memetakan fenomena tersebut. Pertama,
pembangunan perdesaan ditangani terlampau banyak institusi sehingga sinkronisasi dan
koordinasi sulit dikerjakan. Bahkan kerap terjadi, antarinstitusi berbenturan untuk
memperoleh manfaat ekonomi dan politik.
Kedua, pembangunan perdesaan dijalankan dengan tidak menyertakan reformasi struktural di
wilayah desa itu sendiri, baik dari sisi fiskal, sumber daya ekonomi (tanah), dan administrasi
pemerintah (desa). Ketiga, pembangunan perdesaan dikerjakan secara isolatif sehingga
terlepas dari pembangunan secara keseluruhan (sektoral, wilayah, dan lain-lain).
Tata Kelola Desa
Dalam konteks pembangunan perdesaan, yang terlebih dulu harus dibenahi adalah
133

tersedianya lingkungan yang layak (enabling environment) sebagai dasar alas pembangunan.
Lingkungan yang layak itu antara lain adalah terwujudnya kondisi sosial, budaya, ekonomi,
dan politik yang kondusif bagi individu untuk memperoleh pilihan-pilihan dalam
mengerjakan kegiatan yang bersinggungan dengan kelangsungan hidup (ekonomi).
Secara ekonomi, desa dikepung dengan komersialisasi ekonomi yang melumpuhkan kegiatan
ekonomi tradisional di perdesaan. Sementara itu, secara sosial, jaringan kekerabatan dan
kultur saling membantu telah dikikis dengan sistem ekonomi pasar yang mendasarkan relasi
antarindividu dengan basis kalkulasi material. Pertemuan infrastruktur politik, ekonomi, dan
sosial yang tidak menguntungkan itulah yang menenggelamkan individu-individu (rumah
tangga) tunadaya (powerless) ke dalam kubang kemiskinan.
Syarat untuk memperoleh lingkungan yang layak tersebut setidaknya bersumber dari dua
aspek: reformasi desentralisasi dan kapasitas lokal (termasuk pembangunan
kelembagaan).Desentralisasi sebagai konsep yang bertujuan memberi ruang bagi pemerintah
lokal (dan juga masyarakat) untuk merencanakan dan bertindak mengatasi persoalannya
sendiri, ternyata kerap juga terjebak dalam gurita ekonomi/politik/birokrasi yang
diciptakannya sendiri sehingga dengan begitu desentralisasi juga perlu direformasi. Pola yang
sama diharapkan juga terjadi pada penguatan kapasitas lokal, di mana aspek politik,
administratif, fiskal, dan tanah merupakan hal-hal yang mesti disentuh agar memperoleh
penguatan.
Secara ringkas, penguatan kapasitas lokal diharapkan berujung kepada partisipasi masyarakat
untuk menentukan pembangunan di tingkat lokal (desa). Tepat pada titik inilah sengketa soal
perebutan ladang urusan desa bisa diurai.
Semangat UU Desa Nomor 6/2014 adalah menyejahterakan masyarakat desa, bukan lagi
pembangunan di desa yang dikendalikan ketat secara administratif dari atas (rezim
kontrol). Oleh sebab itu, implementasi pembangunan desa sejak sekarang sebaiknya berada di
bawah kendali Kementerian Desa (Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi).
Urusan pemerintahan desa tak lagi dimaknai sebagai turunan kepentingan politik pemerintah
pusat terhadap desa, namun diartikan sebagai upaya reformasi administrasi/politik untuk
memberdayakan desa.
Jika model ini diambil, konsep yang dibangun di atas dan menjadi spirit UU Desa akan bisa
dijalankan secara utuh. Semoga semangat perubahan ini dipahami oleh pemerintah sehingga
rekonstruksi pembangunan desa bisa dikerjakan!

AHMAD ERANI YUSTIKA


Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

134

Para Kekasih Pujaan Media

Koran SINDO

13 Januari 2015

Kalau kita perhatikan dengan saksama, mungkin kira-kira sejak tahun 1980-an ada orangorang yang mendapat perhatian agak istimewa dari media kita. Mereka kelihatan begitu
menarik bagi media. Sering mereka menjadi sumber informasi mengenai politik,
kepemudaan, dunia kampus, dan masa depan bangsa.
Ini semua terasa betul bahwa agaknya idealisme politik media sendiri sesuai dengan
pemikiran mereka. Kelihatannya, idealisme media ada pula di dalam sikap dan wawasan
politik mereka.
135

Dalam pengertian tertentu sebenarnya, media sedang mencoba mengetes idealisme mereka
sendiri melalui tokoh-tokoh ini. Ada suatu proyek politik mengenai pemuda, kebebasan
ekspresi, dan masa depan bangsa. Kita memahami hal ini sebagai ungkapan suasana sumpek
di bawah rezim Orde Baru yang tak memberi sama sekali kesempatan pada masyarakat,
termasuk media, untuk bernapas agak leluasa di dalam politik. Termasuk politik kepemudaan
yang diberangus menteri pendidikan dan kebudayaan, yang ganasnya bukan main terhadap
pemuda dan mahasiswa.
Media yang baik hati, dan yang berpikir agak jauh ke depan mengenai demokrasi dan
kebebasan warga masyarakat, termasuk kebebasan mimbar akademik, tidak tinggal
diam. Media bersedia membuang banyak waktu berpikir tentang masa depan, mengeluarkan
dana dan mencari tokoh-tokoh yang bisa bersuara, seperti suara aspirasi media sendiri.
Diskusi, pertemuan informal, seminar dan begitu banyak forum dibentuk. Para tokoh media
tadi diundang dan diminta berbicara. Laporan mengenai diskusi, pertemuan informal dan
seminar, serta berbagai macam forum itu ditulis di ruang khusus, dengan ulasan serius.
Jangan lupa, forum-forum tadi juga melibatkan para tokoh lain, para ilmuwan kita di berbagai
bidang, untuk memperkuat pemikiran tokoh-tokoh utama, tamu utama, sumber informasi
utama, yaitu para kekasih pujaan media tadi.
Atas nama dan demi aspirasi kultural masyarakat, yang juga aspirasi media sendiri, muncul
suatu corak pemberitaan yang menggambarkan kehausan kita, juga kehausan media, akan
perlunya suatu public sphere di dalam masyarakat kita. Ini merupakan suatu pencarian,
boleh juga kerinduan, di kalangan kelas menengah kita pada tahun 1980-an tadi.
Gejala kegelisahan itu sudah disuarakan media. Dan ditampilkan secara khusus, dengan
berbagai cara. Laporan-laporan media memperlihatkan gerak maju, di jalan sempit dan
berbahaya itu. Dan sekali lagi, media yang baik, yang merasa memiliki tanggung jawab
sosial, pelan-pelan, dan sangat berhati-hati, berani mengambil risiko.
Tak jarang media ditelepon oleh pusat kekuasaan di bidang politik dan keamanan, dengan
teguran keras, dengan gertak, dan disertai ancaman seperlunya; agar suatu berita atau suatu
laporan diskusi politik tak disiarkan. Tak jarang ancaman itu bahkan melampaui batas
keperluan.
Jadi jelas betul kita rasakan, sikap overacting kalangan militer, yang hendak
memperlihatkan bahwa mereka lebih patriotik, dan lebih heroik dibanding siapa pun di
bawah langit dan di atas bumi pertiwi kita ini. Media manut saja. Tapi itu bukan tanda
takluk. Media, demi aspirasi kultural dan cita-cita masyarakat mengenai perlukan suatu ruang
publik tadi, harus pura-pura tuli.
Ada hal yang didengar. Tapi banyak hal yang seolah tak didengar. Berita, tulisan atau ulasan
khusus, esai,dan reportase yang nakal, sejauh itu memiliki kaitan dan napas demokrasi,
136

diterbitkan, untuk siap menerima telepon dari yang berkuasa di negeri ini. Telepon itu
kadang datang dengan ancaman dan aneka corak kekerasan. Tetapi kadang sama sekali tak
terjadi apa-apa.
Kita menduga, aparat keamanan, yang merasa paling memiliki negeri ini, saat itu mungkin
sedang tidur. Tak mengherankan tokoh-tokoh yang dipuja media tadi, berbicara lebih gencar.
Ada di sana suatu semangat gerilya dan usaha mengisi kesempatan. Mumpung aparat
keamanan sedang tidur, mumpung kesempatan-kesempatan terbuka, gerilya media
dilancarkan dengan penuh tanggung jawab, yang tak kalah penting, dan tak mungkin kalah
mutu politik dan kemanusiaannya dibanding semangat heroik aparat keamanan.
***
Dekade 1980-an itu tadi bergulir terus menjadi tahun 1990-an, tahun yang lebih aman secara
politik. Para kekasih pujaan media tadi hilang lenyap tanpa jejak, entah ke mana. Pelan-pelan,
kita temukan, mereka sudah tak lagi punya gairah hidup seperti pada tahun 1980-an lalu
idealisme mereka sudah pupus. Media tak bisa bekerja sama dengan mereka.
Dalam arti tertentu mereka, yang selama itu menjadi kekasih pujaan media, sudah tak bisa
lagi diajak berpikir bersama, demi kepentingan politik yang dibayangkan bakal penting buat
masa depan kita. Idealisme mati muda.
Sebetulnya ini tak mengejutkan kita. Para tokoh mahasiswa, yang disebut tokoh Angkatan 66,
dulu memberi mereka pelajaran politik penting: berjuang tak mungkin selamanya. Ada masa
ketika pejuang harus menikmati kemewahan, untuk tak lagi berjuang. Ada yang menikmati
kemewahan karena posisi-posisi politik, bisnis, dan kekuasaan lain, telah mereka raih. Dalam
masa sesudah hasil perjuangan diraih, buat apa lagi berjuang?
Kira-kira para tokoh tahun 1980-an tadi, yang belum tua, dan masih layak disebut muda,
menjadi lebih tak sabar lagi. Mereka, sekali lagi, lenyap dalam kegelapan struktur politikekonomi negeri ini. Masing-masing merasa sudah saatnya menikmati hasil perjuangan.
Hasil? Betapa jemawa. Siapa bisa kasih bukti bahwa apa yang terjadi di dalam tatanan politik
yang sudah berubah pada tahun 1990-an itu merupakan hasil perjuangan para tokoh itu?
Apakah mereka mengira, yang berjuang pada tahun 1980-an itu hanyalah mereka yang masuk
media tadi?
Apakah perubahan tatanan politik, yang dahulunya otoriter, dan menjadi lebih demokratis itu
hanya merupakan hasil perjuangan mereka sendiri? Dari mana rumusan pemikiran tentang
saatnya menikmati hasil perjuangan itu? Hasil perjuangan siapa? Hak apa, dan dari mana
datangnya, yang mereka anggap hasil perjuangan itu? Kita tidak tahu. Tapi kita tahu mereka
sudah lenyap dari pandangan. Masing-masing sudah menguburkan diri di dalam wilayah
nyaman yang mereka incar sejak lama.
Dan kita tahu, rupanya, yang selama ini disebut perjuangan itu ialah masa muda, masa
137

menganggur, masa belum punya pekerjaan, dan masa itu mereka isi dengan kegiatan-kegiatan
berbau politik, dan ketika tatanan politik berubah, mereka merasa sudah sukses.
Sekali lagi, masa muda, masa belum punya pekerjaan, masa menganggur, masa berdiskusi,
dianggap masa perjuangan. Ketika mereka menemukan momentum ekonomi dan politik yang
bisa dan bersedia mengakomodasi mereka dengan baik, masa itu disebut menikmati hasil
perjuangan? Media ditinggal sendirian.
Para kekasih pujaan media itu juga kekasih pujaan sontoloyo, yang juga berkhianat, seperti
kekasih dalam roman picisan, yang minggat begitu saja ketika bertemu kekasih baru, yang
serba lebih, serba menarik, dibanding kekasih lama.
Kita tidak tahu mengapa. Apakah mereka memang sontoloyo? Ataukah media yang sangat
naif memandang manusia lain. Kita tidak tahu.

MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com

Satir Versus Teror

Koran SINDO

13 Januari 2015

138

Dalam perjalanan pulang dari Kuala Lumpur dengan Garuda Indonesia, saya sempat
menonton film 99 Cahaya di Langit Eropa, sebuah kisah nyata terkait perjalanan tentang
pencarian peradaban Islam di Eropa.
Dalam sebuah adegan, Fatma (yang diperankan dengan baik oleh Raline Shah), mengajarkan
anak dan temannya agar membalas dengan kasih sayang ketika dihina atau bahkan
diperlakukan secara kasar oleh (sebagian) penduduk Eropa yang rasis dan intoleran.
Perilaku rasis dan intoleran ada di mana-mana, di negeri ini pun ada, juga di Eropa. Di
Jerman, tepatnya di kota Dresden sejak akhir Oktober lalu, misalnya, dimulai sebuah
kelompok yang menyebut dirinya PEGIDAsebuah singkatan dari Patriotische Europer
Gegen die Islamisierung des Abendlandes , yang artinya kurang lebih Kaum Patriotis
Melawan Islamisasi Eropa.
Harus diakui bahwa ketika mengalami economic boom pada tahun 70-80an, Jerman cukup
banyak mendatangkan pekerja (kasar) dari Turki, yang umumnya beragama Islam. Setelah
itu, terutama akibat perang di Afghanistan, Irak, dan kemudian Suriah, semakin banyak
pencari suaka dari Timur Tengah ke negara-negara Eropa. Hal tersebut, antara lain, telah
menimbulkan kecemasan terutama bagi kelompok masyarakat terbawah yang terancam
menganggur, serta kelompok rasis dan intoleran.
Selain Jerman, beberapa negara Eropa juga mengalami ketegangan antara penduduk asli
dan pendatang yang memiliki kebudayaan dan agama yang berbeda. Swedia misalnya,
sebuah negara kesejahteraan Eropa yang akhir-akhir ini paling banyak menerima peminta
suaka dari Timur Tengah, juga mengalami ketegangan dan kekerasan, termasuk berupa
pembakaran rumah ibadah para pendatang. Ketegangan, dengan berbagai alasan tersebut,
harus diakui sudah cukup lama terjadi.
Kasus pembantaian 17 orang, termasuk anggota redaksi dan pemimpin Mingguan Charlie
Hebdo di Paris, baru-baru ini dilakukan oleh empat (tiga di Mingguan Charlie Hebdo dan
satu di supermarket) pelaku teror berasal dari kelompok Islam garis keras. Sebenarnya, sudah
cukup lama mingguan ini memperoleh ancaman teror, bahkan pada 2011 kantornya pernah
dilempar bom molotov hingga terbakar, meski tanpa korban jiwa dan cedera.
Pada tahun 2006, sebagai bagian dari solidaritas, Charlie Hebdo memuat kembali karikatur
harian Denmark, Jyllands-Posten, yang (dianggap) menghina Nabi Muhammad ditambah
dengan karikatur Nabi Muhammad yang menggunakan bom sebagai sorban. Beberapa
organisasi Islam di Prancis menuntut Charlie Hebdo ke pengadilan, namun proses pengadilan
berakhir dengan putusan tak bersalah dengan alasan masih dalam batas kebebasan pers.
Karikatur dalam bentuk satire, terus dipertahankan.

139

Awal 2013, pemimpin redaksi Charlie Hebdo, Stphane Charbonnier (Charb),


mempublikasikan sebuah Biografi Nabi Muhammad dalam bentuk komik satire yang
mendulang banyak kritik. Pada hari pembantaian, Charlie Hebdo menjadikan penulis Michel
Houellebecq sebagai berita utama, terkait publikasi novel terbarunya Subjugation dengan
skenario islamisasi Prancis.
Bagi Charb, berbagai karikatur Charlie Hebdo hanya memprovokasi kelompok garis keras,
sama sekali tidak ditujukan kepada mayoritas umat Islam. Hal yang sama juga ditujukan
kepada kelompok agama lain, termasuk ketika membuat karikatur satire terkait Paus dan
Gereja.
Charb juga terkenal sebagai pendukung organisasi anti-rasialisme. Salah satu karikaturnya,
menggambarkan seorang bos kulit putih ketika menolak calon pegawai kulit hitam: Saya
ingin menerima Anda, tapi saya tidak menyukai warna..eehhh...warna dasi Anda.
Pembantaian di kantor Charlie Hebdo dilakukan oleh kelompok garis keras. Sementara itu,
hampir semua organisasi dan pemuka agama Islam di seluruh dunia, mengutuk pembantaian
tersebut. Conseil Franais du Culte Musulman (CFCM), yang berkedudukan di Paris dan
memiliki sekitar lima juta anggota di Prancis, menyebutnya sebagai tindakan biadab dan
serangan terhadap demokrasi dan kebebasan pers.
Imam paling terkenal di Prancis, Hassen Chalghoumi, yang berasal dari kelompok Ikhwanul
Muslimin, mengatakan kebiadaban para teroris, sama sekali tidak ada kaitannya dengan
Islam. Kutukan juga berdatangan dari Imam Al-Azhar (Kairo), juga dari Presiden Partai
Islam Ennahda (Tunisia), El Rachid Ghannouchi, yang menyebut pembantaian tersebut
sebagai tindakan kriminal pengecut dan harus dihukum (Taz, 7/1).
Pada saat yang sama, Presiden CFCM Daili Boubakeur mengatakan Dalam sebuah konteks
internasional yang dipenuhi ketegangan politik, dipanasi oleh kelompok teroris gila yang
secara salah menyebut dirinya Islam, kami menghimbau semua pihak yang mendukung nilainilai demokrasi, agar tidak melakukan provokasi yang bisa menjadi siraman bensin ke dalam
api. (Taz, 8/1).
Namun, bagi Charb, dalam melawan provokasi kelompok fundamentalis yang sedang terjadi
di berbagai penjuru dunia, karikatur satire dalam bentuk provokasi yang memalukan dan
mempermalukan sekalipun akan selalu dilakukannya.
Salah satu yang bisa menjadi pertanda adalah dalam publikasi Charlie Hebdo yang
rencananya akan terbit sehari setelah pembantaian. Karikatur yang dibuat sendiri oleh Charb,
menggambarkan seorang pejuang Islam garis keras dengan senjata di punggung. Di atasnya
terdapat tulisan, Hingga kini tidak ada serangan teroris di Prancis. Sebagai jawaban, Sang
Pejuang Islam garis keras mengatakan: Orang masih bisa menginginkan sesuatu pada tahun
baru ini, hingga akhir Januari - Tunggu saja!

140

Ketika semua anggota redaksi Charlie Hebdo sedang membahas bahan-bahan yang akan
dicetak, terjadi pembantaian yang seolah berupa keinginan yang terkabulkan. Charb adalah
salah satu yang menjadi korban.

IVAN HADAR
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe); pernah mukim di Eropa selama
15 tahun

Jerman, Xenophobia, dan Pegida

141

Koran SINDO

14 Januari 2015

Dunia dikejutkan dengan serangan mematikan yang dilakukan para teroris kepada redaksi
majalah Chalie Hebdo di Prancis seminggu yang lalu. Aksi itu sendiri mengejutkan karena
dugaan aksi terorisme yang diramalkan akan muncul di Asia termasuk Indonesia ternyata
justru muncul di daratan Eropa.

Banyak pihak yang mengutuk serangan tersebut sebagai tindakan pengecut dan barbar.
Komunitas muslim di Eropa dan khususnya di Prancis langsung mengutuk serangan itu
sebagai tindakan yang tidak mencerminkan semangat Islam yang penuh damai dan kasih.
Namun serangan itu juga telanjur menjadi momentum bagi Komunitas Masyarakat Eropa
Anti-Islam untuk menunjukkan garis ideologi mereka dengan melakukan demonstrasi besar
seperti yang dilakukan Patriotische Europ aumler gegen die Islamisierung des Abendlandes
(Pegida) di Jerman. Pegida melakukan aksi demonstrasi mereka sebagai reaksi atas
penembakan di Prancis pada 5 Januari 2015 di kota Dresden. Peserta demonstrasi
diperkirakan mencapai 18.000 orang.

Demonstrasi tersebut dianggap sebagai demonstrasi dengan peserta terbesar dalam sejarah
demonstrasi yang pernah mereka lakukan selama ini. Namun yang paling mengejutkan
ternyata demonstrasi anti-Pegida justru lebih besar daripada demonstrasi Pegida itu
sendiri. Diperkirakan ada lebih dari 30.000 pengunjuk rasa melakukan aksi di tanggal yang
sama di Dresden, Stuttgart, Hamburg, Muenster, Berlin, dan Cologne. Gerakan tersebut tidak
terlepas dari peran Kanselir Jerman Angela Merkel yang mengimbau masyarakat Jerman
untuk menolak sikap kebencian dari kelompok Pegida. Seruan itu bukan sekadar menandingi
Pegida, tetapi juga untuk menekankan nilai-nilai Jerman yang mendukung demokrasi dan
pluralisme.

Yang menarik, meskipun dukungan terhadap demokrasi dan pluralisme masih kuat di Jerman
dan Eropa pada umumnya, kelompok-kelompok anti-Islam dan anti-imigran telah
berkembang secara signifikan. Kelompok Stopp Islamiseringen av Norge (SIAN) di
142

Norwegia, English Defence League di Inggris, Swedish Defence League di Swedia, dan
beberapa kelompok lain tumbuh meningkat seiring dengan tindakan-tindakan terorisme
seperti yang dilakukan ISIS dan Al-Qaeda.

Kelompok seperti Pegida tidak membutuhkan seorang pemimpin yang cerdas dan
berpendidikan untuk bisa berkembang selama dapat memanfaatkan momentum-momentum
tersebut dengan baik. Contoh adalah Pegida yang dipimpin Lutz Bachmann, seorang bandar
narkoba dan perampok yang pernah melarikan diri ke Afrika Selatan untuk menghindari
vonis penjara.
Ia mendirikan kelompok ini pada bulan Oktober 2014 dengan tujuan menggalang sentimen
anti-imigran tidak hanya di Jerman, tetapi juga di seluruh negara Eropa. Oleh sebab itu, ia
menggunakan kata Des Abendlandes yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai
The Occident yang maknanya lebih terkait dengan Eropa barat dan bukan kata Der
Western yang artinya The West atau Barat.
Ia ingin mengatakan bahwa Eropa memiliki budaya yang berbeda dengan negara lain, bahkan
dengan Amerika sekalipun. Tumbuhnya kelompok seperti itu semakin memperkuat dan
mendorong sentimen xenophobia atau kebencian yang tidak beralasan terhadap seseorang
atau komunitas dari negara lain.
Xenophobia dapat juga dikatakan sebagai sebuah perasaan tidak aman atau ketakutan akan
hilangnya identitas karena hadirnya kelompok lain. Kelompok xenophobia biasanya curiga
bahwa sebuah kegiatan yang dilakukan kelompok dari suku bangsa lain akan menyebabkan
nilai-nilai kelompoknya runtuh. Xenophobia ini dapat berkembang menjadi islamofobia atau
kristenfobia karena mengaitkan suku bangsa atau budaya dengan agama tertentu. Misalnya
asumsi bahwa seluruh orang Timur Tengah pasti beragama Islam atau semua orang pemeluk
Kristen pasti mendukung masyarakat Barat.

Menariknya bahwa mereka yang mengalami xenophobia umumnya tidak memercayai


demokrasi dan pluralisme, termasuk di Jerman. Mereka beranggapan bahwa demokrasi yang
terjadi di Jerman hanya menguntungkan masyarakat pendatang yang berasal dari negaranegara berkembang dan sedang mengalami konflik seperti di Timur Tengah dan Asia. Mereka
menuduh para pendatang itu memanfaatkan sistem negara kesejahteraan yang sudah mapan.
Di Eropa dan khususnya Jerman, sentimen ini tumbuh kuat.
Jerman sendiri adalah negara kedua tujuan dari para pencari suaka setelah Amerika Serikat.
Tahun lalu negara ini menerima 200.000-an pencari suaka yang mayoritas berasal dari Suriah,
Irak, negara-negara Timur Tengah lain, termasuk dari negara-negara Eropa timur seperti
Bulgaria atau Ukraina. Jumlahnya 4 kali lipat dibandingkan pencari suaka pada 2012.

143

Jumlah imigran tersebut membentuk struktur demografi penduduk Jerman yang berjumlah 80
juta orang. Dari jumlah tersebut, 15 juta orang lahir bukan beretnik Jerman dan 6,2 juta di
antaranya bukanlah warga negara Jerman. (Washington Times, 11/9/14).

Tingginya jumlah imigran tersebut berhubungan dengan kebutuhan akan tenaga kerja yang
tinggi. Banyak para analis yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Jerman yang
relatif stabil dibandingkan dengan negara-negara Eropa lain disebabkan jumlah tenaga kerja
imigran yang melimpah itu.

Kelebihan imigran tersebut terutama untuk menutupi kekurangan tenaga kerja akibat
rendahnya angkatan kerja. Jerman adalah salah satu negara dari 10 negara dunia yang
memiliki penduduk terbanyak berusia di atas 65 tahun, sementara usia harapan hidupnya
meningkat dari 77 tahun menjadi 82 tahun.
Di Eropa, Jerman juga adalah negara kedua setelah Monako yang angka kelahirannya
terendah. Hal ini membuat beban ekonomi negara semakin bertambah. Sebagai gambaran, di
awal tahun 1990-an, setiap tiga pekerja yang produktif menanggung hidup satu orang yang
berusia tidak produktif atau berusia di atas 60 tahun. Di awal abad ke-21, rasionya berubah
satu pekerja produktif menanggung 2,2 orang usia lanjut.
Rasionya akan semakin berat pada 10 tahun mendatang seiring dengan ramalan bahwa
penduduk Jerman akan berkurang 6,5 juta. Oleh sebab itu, para imigran ini memiliki arti
ekonomi yang penting bagi para industrialis dan partai politik di Jerman. Apabila Jerman
tidak membuka pintu bagi para imigran, pabrik-pabrik dan industri akan mencari tempat lain
di Eropa yang menawarkan jumlah tenaga kerja yang melimpah.
Uraian di atas sekadar menggambarkan bahwa terorisme, xenophobia, dan kepentingan
ekonomi memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Gambaran itu juga menunjukkan bahwa
dunia semakin lama terintegrasi tidak hanya dari sisi industri, tetapi juga masyarakat dan
suku-suku bangsa.
Bagi Indonesia, kejadian di Jerman membawa pelajaran yang menarik mengenai kemampuan
suatu pemerintahan dalam menjaga kinerja ekonominya di tengah kecenderungan segmensegmen dalam masyarakatnya yang mengalami xenophobia. Kondisi Indonesia yang
multietnis sangat riskan mengalami konflik akibat pendalaman kesenjangan ekonomi
menyusul integrasi ekonomi Indonesia pada ekonomi global.
Dengan demikian, pendekatan untuk mengatasi terorisme dan xenophobia ternyata belum
cukup dengan sekadar pendekatan religius karena akar masalahnya sudah lebih kompleks di
abad ini.

144

DINNA WISNU, PhD


Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas
Paramadina @dinnawisnu

Charlie Hebdo dan Kegagalan


Multikulturalisme

Koran SINDO

14 Januari 2015

Pesta kembang api menyambut tahun 2015 belum usai. Eropa yang tengah membeku di
musim dingin membara oleh serangan bersenjata di kantor majalah Charlie Hebdo dan toko

145

milik orang Yahudi.


Apa motif penyerangan masih diselidiki pihak berwenang di Prancis. Walaupun di tengah
aksinya penyerang Charlie Hebdo meneriakkan takbir, Presiden Prancis mengatakan serangan
tidak terkait dengan agama (Islam). Benarkah demikian? Mengapa dalam satu dasawarsa
terakhir haru biru kerap terjadi di benua biru?
Kegagalan Multikulturalisme
Salah satu sebab haru biru di benua biru adalah kegagalan multikulturalisme. Kasus Charlie
Hebdo seakan membenarkan pernyataan Perdana Menteri Inggris David Cameron dan
Kanselir Jerman Angela Merkel.
Dalam satu dasawarsa terakhir, di negara-negara Eropa dan Barat muncul gejala multi hated
society (Amali, dkk, 2013). Multi-hated society terjadi karena beberapa hal. Pertama, strategi
kebijakan kewargaan yang menempatkan kaum minoritas, khususnya imigran, sebagai
kelompok masyarakat kelas dua. Mayoritas imigran di Eropa berasal dari negara-negara
bekas jajahan yang hijrah ke Eropa sebagai blue-collar workers.
Demi persatuan bangsa, negara-negara menerapkan kebijakan integrasi dan asimilasi satu
arah. Kelompok minoritas harus menyesuaikan diri dengan pandangan hidup, perilaku dan
bahasa Eropa (Nielsen, 2004). Kebijakan ini mengancam eksistensi agama, identitas, dan
budaya imigran. Fundamentalisme dalam berbagai bentuk dan ekspresi lahir sebagai reaksi
atas kebijakan asimilasi satu arah dan perjuangan untuk mempertahankan identitas.
Kedua, multi-hated society terjadi karena kesenjangan nilai antar kelompok masyarakat.
Dalam konteks Eropa, kesenjangan dapat terjadi antara kelompok agama, etnis, ras, dan
budaya. Kasus Majalah Charlie Hebdo (Prancis) dan Jylland-Posten (Denmark) yang dinilai
menghina Nabi Muhammad dan tokoh-tokoh agama yang sangat dihormati umat beragama
menunjukkan kesenjangan nilai-nilai agama dengan sekularisme dan liberalisme.
Karena sama-sama mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai yang dianut, baik
pelaku penyerangan maupun redaksi Charlie Hebdo sama-sama merasa berada pada jalan
yang benar. Walaupun lahir dan tumbuh di Eropa, sebagian imigran masihberperilaku
sebagai orang asing dan eksklusif.
Ketiga, multi-hated society terjadi karena ketegangan antara imigran dengan orang asli.
Di kalangan orang asli terdapat kepanikan demografis, kecemburuan ekonomi, dan kebencian
rasial karena ledakan jumlah, kemajuan ekonomi dan posisi sosial-politik imigran.
Sebagaimana penelitian Tamas Berecs dan Kristof Domina (2012) negara-negara mengalami
masalah keamanan yang disebabkan oleh meningkatnya domestic extremism dalam bentuk
islamophobia, rasisme, antisemitisme, dan xenophobia.
Keempat, multi-hated society timbul karena kebijakan pemerintah yang dilatarbelakangi oleh
146

kebencian. Sejak peristiwa pengeboman 11 September, muslim dan umat Islam di negaranegara Barat termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa mengalami tekanan,
diskriminasi, dan kriminalisasi. Kebijakan yang diterapkan atas dasar kebencian dirasakan
oleh komunitas muslim dalam layanan sosial, permukiman, keterwakilan, keyakinan dan
budaya (Amali, dkk., 2014).
Muslim menjadi korban cultural stereotype, pesakitan dan kambing hitam atas berbagai
permasalahan. Kebijakan yang demikian sangat berpengaruh terhadap psikologi kaum
muslim di Eropa yang cenderung berkepribadian konservatif.
Menghidupkan Pembicaraan Global
Redaksi Charlie Hebdo akan menerbitkan majalah lebih awal. Halaman depan memuat
kartun Nabi Muhammad. Tiras yang semula 60.000 akan dilipatgandakan menjadi 3 juta,
diterbitkan dalam 16 bahasa dan diedarkan di seluruh dunia.
Masalah Charlie Hebdo tidak hanya urusan dalam negeri Prancis. Dimungkinkan terjadi
reaksi global yang sulit diperkirakan. Dalam jangka pendek, pemerintah dan perwakilan
Prancis, terutama di negara mayoritas muslim, perlu mengambil langkah proaktif dengan
membuka dan memfasilitasi pembicaraan dengan masyarakat muslim.
Dalam jangka panjang, masyarakat dunia perlu menghidupkan kembali global conversation
(pembicaraan global), terutama antara tokoh atau kelompok yang berseberangan (Mahbubani,
2013). Menurut Mahbubani, di tengah berbagai ketegangan yang terjadi, dunia telah
mengalami konvergensi nilai yang memungkinkan masyarakat dunia yang bersatu, menerima
etika global, saling menghormati dan bekerja sama.
Masyarakat dan negara-negara Barat perlu lebih realistis dan arif terhadap dunia lain. Perlu
perubahan paradigma dan implementasi multikulturalisme yang lebih terbuka. Sudah
waktunya masyarakat Barat melihat masyarakat Timur dengan rasa hormat dan, jika perlu,
belajar dari nilai-nilai dan kearifan mereka. Kasus Charlie Hebdo adalah sinyal kuat wajah
Eropa yang berubah. Sudah waktunya, pemerintah negara-negara Barat mengubah haluan
multikulturalisme ke arah yang lebih inklusif dan humanis.
Kasus Charlie Hebdo memberi pesan pentingnya makna saling menghormati. Keamanan
negara tidak ditentukan oleh kekuatan angkatan bersenjata, melainkan oleh kerukunan
masyarakatnya. Sebagai bangsa multikultur, Indonesia perlu belajar agar peristiwa serupa
tidak terjadi di tanah air kita.

ABDUL MUTI
Sekretaris PP Muhammadiyah; Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

147

Daripada ke Aussie Lebih Baik ke Bekasi

Koran SINDO

15 Januari 2015

148

Andaikan demikian bunyi iklan Indosat, saya yakin wali kota Bekasi pasti senang. Rakyatnya
juga tak ikut berdemo, apalagi harus mengumpulkan SIM card Indosat atau mematahkannya.
Apalagi kalau Jalan Raya Hankam di perbatasan Bekasi yang berbatasan dengan DKI Jakarta,
yang sering saya lewati, tak lagi berlubang dalam seperti saat ini. Saya pasti ikut senang.
Kadang saya heran, pengecoran jalan raya kok hanya 90%, sisanya dicicil 20 meter setahun
sekali. Padahal truk-truk besar bermuatan superberat dibiarkan lewat dan saluran airnya
tersumbat.
Apalagi belakangan ia menjadi jalan alternatif warga Cibubur menuju Jakarta. Kalau saya
ambil jalan tembus lewat permukiman penduduk, alamaaaak... polisi tidurnya banyak sekali.
Mengapa pemilik warung kaki lima dan warga Bekasi senang sekali membuatnya setiap
beberapa meter? Ini tentu juga patut ditertibkan.
Sejak kedai siap saji waralaba dari Amerika Serikat dibuka di tepi jalan tol di pintu masuk
Jalan Raya Hankam, jalan itu menjadi sering macet. Kampus-kampus baru dan sekolah
internasional bermunculan, dan sebentar lagi apartemen baru di muka pintu tol akan dibuka.
Entahlah bagaimana kita mengatasi kemacetannya. Padahal ini letaknya persis di perbatasan
dengan Ibu Kota.
Mengapa Mem-bully Bekasi?
Maka, entah apa gerangan, para stand up comedian dan warga di medsos senang sekali membully Bekasi. Kadang saya geram juga karena banyak orang yang tahunya Bekasi itu TPA
Bantar Gebang dan jalan-jalan rusaknya di perbatasan Jakarta. Bekasi yang dekat tiba-tiba
terkesan jauh. Ada yang mem-bully-nya begini: Bekasi berada di luar Bumi, ke sananya harus
pakai roket.
Mungkin tak banyak yang tahu Bekasi itu ada dua administrasi pemerintahan: kota dan
kabupaten. Tapi, entah mengapa, warga Kota Bekasi-lah yang lebih bereaksi.
Ada juga yang mem-bully dengan gambar atlas begini: Peta Bekasi dijual terpisah. Di
YouTube ada video yang mengatakan, harus menabung seminggu agar uangnya cukup untuk
membeli BBM ke Bekasi. Bahan jokes itu muncul beruntun. Tak sedikit pula meme yang
dibuat publik dan disebarkan lewat ponsel.
Citra Bekasi yang seakan jauh dari peradaban ini digoreng banyak pihak yang tak jarang juga
warga Bekasi sendiri. Tak ada yang benar-benar marah, kebanyakan hanya bercanda. Saya
juga kadang terkekeh dan kemudian tertegun, Ada benarnya juga ya jokes ini.
Mungkin karena jokes berwarna kritik itu tak terlalu digubris, ia menjadi liar, lalu menjadi
serius ketika menjadi copy iklan Indosat. Kekecewaan yang terpendam seakan menemukan
149

pintunya. Padahal selama ini tidak ada yang protes terhadap buruknya infrastruktur yang bisa
melahirkan branding tidak baik. Kenapa kita tak ramai-ramai memprotes diri kita sendiri?
Tapi, ini belum seberapa. Di Yekaterinburg, kota terbesar keempat di Rusia, sekelompok
relawan sampai membentuk website (Ura.Ru) untuk mengomunikasikan buruknya pelayanan
publik. Tagline-nya: A Site for A Better City . Tetapi, ketika tak menciptakan perubahan,
mereka mengusung Graphity for Change menggunakan kemampuan artistik. Kalau tidak
dibuat personal, Viral Sensation tidak akan terbentuk. Tanpa sensasi, perubahan akan sia-sia,
begitu saran pakar komunikasi.
Tiga buah potholes (lubang besar di jalan raya) dijadikan grafiti berupa gambar mulut dan
kepala para politisi yang dianggap tak bekerja dan sering ingkar janji. Wajah ketiganya
digambar tepat di tiga lubang itu. Esoknya foto-fotonya sudah di-upload di situs Ura.Ru. Di
bawah mulut mereka tertera ucapan-ucapan yang sering mereka janjikan.
Bak virus yang cepat mewabah, sensasi itu menyebar cepat sampai ke telinga ke tiga politisi
tadi. Namun, alih-alih melayani kepentingan publik, mereka justru menugaskan pegawai
negeri sipil (PNS) untuk membersihkan wajah-wajahnya dan janji-janji kosongnya. Namun,
para relawan sudah siap dengan kamera tersembunyi. Di lokasi yang sama yang telah
dibersihkan mereka menulis: Painting is not fixing it (mengecat ulang bukanlah
memperbaikinya). Tulisan berwarna putih di atas dasar hitam, terbaca sangat jelas.
Popularitas politisi jeblok. Mereka terancam kalah dalam pilkada. Apa akibat selanjutnya?
Dalam tempo 24 jam, tiga kaleng cat semprot yang digunakan seniman-seniman grafiti
berhasil mengubah pikiran politisi-politisi malas. Malam harinya lubang-lubang besar itu
segera dirapikan. Hanya dengan cara itulah, rakyat Yaketerinburg dapat menikmati
kenyamanan jalan yang mereka inginkan.
Masukan Lebih Baik
Kembali ke Bekasi, ini tentu baik kita cermati. Jangan kira kota-kota lain yang wali kotanya
kurang aktif membangun kotanya aman. Semua akan kena giliran. Sekarang Bekasi, dulu
Banten. Esok mungkin Tangerang, Depok, Karawang, Lampung, atau Bengkulu.
Semua dapat giliran kalau infrastruktur publik abai diperbaiki. Mungkin karena itulah,
creative director pembuat iklan Indosat jadi punya pikiran mengaitkan iklannya dengan
Bekasi. Apalagi rima suku kata akhirnya dengan Aussie sama.
Bekasi jelas punya masalah dalam pencitraan. Maka, kadang saya juga berpikir terbalik:
Kok para komedian itu cerdas sekali. Tahu siapa yang harus diberi masukan. Sebab, bila
dibandingkan dengan tiga kota satelit lainnya di perbatasan Jakarta (Tangerang, Depok, dan
Bogor), Bekasi masih punya pekerjaan rumah (PR) besar. Maka, sekali lagi, ketika Bekasi dibully, tak semua warga Bekasi sepakat dengan para pendemo yang marah terhadap
Indosat. Sebagian malah angguk-angguk kepala berharap kejadian ini bisa menjadi awal
perbaikan bagi fasilitas publik.
150

Saya berharap bully ini hanyalah konsultasi gratis agar pemda dan warganya bangun menata
diri. Dulu wali kotanya sudah gigih menata kebersihan, bahkan memperjuangkan agar Bekasi
menerima penghargaan Adipura. Tapi, kini ia ada di tahanan KPK.
Tapi, to be fair, baik juga kalau Anda sempat mampir ke sudut-sudut indah di sekitar Kota
Bekasi. Seperti Rumah Perubahan yang lokasinya juga di Bekasi. Sebagian kaki kami di
Jakarta, sebagian lagi di Bekasi. Benar-benar di perbatasan yang kerapkali tak hadir
pemerintahan.
Kami punya rumah baca terbaik di Jawa Barat, taman kanak-kanak (TK) yang dikelola secara
profesional dan asri dengan partisipasi masyarakat. Toleransi warganya juga bagus sekali.
Kami juga memiliki hutan mini dengan aneka tanaman langka. Warga saya tak punya banyak
uang, tapi mereka punya hati sehingga perhatian kepada sesamanya relatif baik.
Bila Anda hadir, mungkin Anda tak lagi mem-bully Bekasi. Anda bahkan bisa membalik iklan
Indosat: Lebih baik ke Bekasi. Atau jangan-jangan malah mengatakan, Kok bisa juga ya
kesejukan seperti ini ada di Bekasi?
Interstellar dan Bekasi
Apa yang terjadi jika Bumi yang padat dan kumuh ini tak lagi layak huni sehingga manusia
harus mengirim para astronot ke galaksi baru di belakang black hole yang berjarak jutaan
tahun cahaya dari Bumi sehingga manusia bisa memulai kehidupan baru?
Saya ajak Anda menonton film Interstellar yang disutradarai Christopher Nolan. Pada bagian
akhir film, Dr Brand, salah satu astronot dalam film itu, berhasil mendarat di sebuah planet
baru di galaksi yang amat jauh. Tempat itu tak kalah indahnya dengan Bumi. Salah satu
meme yang saya temukan menggambarkan Bekasi mirip-mirip dengan kisah ini, sangat jauh.
Namun, akan halnya di film itu, planet ini justru memberikan harapan. Bisakah Bekasi
berakhir seperti dalam kisah ini? Paling tidak untuk warganya sendiri.
Dengan perhatian, pembenahan, dan manajemen birokrasi, saya pikir berbagai masalah
infrastruktur bisa diperbaiki dengan cepat. Konsep city branding harus diterapkan dengan
baik. Ini menjadi penting karena Bekasi harus memperkuat keunggulan-keunggulan yang
dimiliki. Sehingga, kota ini menjadi lebih layak ditinggali dan warganya lebih bahagia
bahkan bangga.
Kota-kota dunia yang memiliki branding kuat, dapat dipastikan warganya akan ikut serta
menjadi ambassador. Bukan tidak mungkin, Bekasi bisa menawarkan wisata hebat suatu saat.
Apakah ini sepenuhnya tanggung jawab pemerintah? Jawabannya tidak. Ada lebih dari dua
juta warga Bekasi yang harus turut serta membangun branding kota kita ini.
Branding tidak muncul secara instan, juga bukan sekadar pasang iklan dan ganti logo.
Banyak kok konsultan yang menyesatkan pemda dengan menyamakan city branding dengan
151

logo dan promosi. Masalahnya justru ada pada produk, layanan, struktur birokrasi, sumber
daya manusia (SDM), dan perhatian pada eksekusi.

RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

152

Salut, Capt!

Koran SINDO

16 Januari 2015

Tiga kejadian mengisi gelembung-gelembung khayali saat saya menulis naskah ini. Pertama,
perjumpaan kembali dengan sahabat saya semasa duduk di SD Muhammadiyah 24
Rawamangun, Jakarta.
Puluhan tahun berpisah, belum lama ini dia secara mengejutkan menepuk pundak saya di
tangga pesawat. Syamsu Rizal namanya. Si juara kelas yang, saban kali berkomunikasi via
ponsel cerdas, kini saya sapa Capt! sesuai panggilan hidupnya. Bangganya hati mempunyai
teman yang berhasil membentangkan sayap-sayapnya di langit.

153

Kedua, lewat proses vicarious learning, pemberitaan panjang tentang musibah pesawat
AirAsia QZ 8501 sedikit banyak memunculkan gambaran tentang berisikonya perjalanan
dengan moda transportasi udara. Ditambah lagi, ketiga, beredar dari satu ponsel cerdas ke
ponsel cerdas lain sebuah tayangan tentang situasi tatkala pesawat sedang menempuh proses
pendaratan.
Di situ terlihat, ketika penumpang bisa menyitir Bang Haji Oma Irama, Yok kita santai agar
syaraf tidak tegang di kabin, bahkan penumpang yang mabuk udara pun tetap bisa
menikmati penderitaannya dengan cara merebahkan badan, pilot dan timnya di kokpit justru
sepenuhnya berada dalam keadaan berbeda 180 derajat. Kokpit ternyata bising oleh berbagai
suara dan bunyi.
Karena penerbangan berlangsung malam hari, suasana pun gelap. Ruangan lumayan sempit.
Jarak pandang, di mata awam saya, tidak ada. Yang terlihat hanya kaca depan kokpit yang
ditampar gumpalan awan tebal secara bertubi-tubi. Pesawat berguncang tak kunjung henti.
Dengan situasi sedemikian rupa, disertai faktor keletihan dan kecemasan, seberapa besar
sebenarnya peluang pilot salah menekan tombol di antara puluhan bahkan mungkin ratusan
tombol dengan fungsi yang berbeda-beda di ruang kemudi pesawat itu?
Sepintas terkesan gila, bahwa ada orang (penumpang!) yang sanggup memasrahkan hidup
mereka di tangan para pilot. Pasalnya, jangankan penumpang, pilot profesional pun di tengah
cuaca yang tidak bersahabat itu tidak lagi bisa mengandalkan matanya sendiri untuk
memantau keadaan di depan. Sang pilot pun hanya bisa berikhtiar melancarkan
penerbangan yang ia pimpin dengan mengandalkan sinyal radar dan informasi dari menara
bandara yang berada di kejauhan. Padahal, petugas di menara bandara juga semata-mata
membaca gambar radar. Luar biasa: teknologi punya kuasa atas hidup manusia! Dahsyat:
sungguh berat tugas yang diemban setiap pilot!
***
Dulu banyak sekali anak-anak yang bercita-cita menjadi pilot. Profesi pilot divisualisasi
sebagai sosok gagah: tinggi tegap, berbaju putih, bercelana gelap, berdasi, sejumlah pangkat
di bahu, wing di dada, topi ala polisi, dan berkaca mata hitam. Sosoknya perkasa lagi
misterius; karena sejak tinggal landas hingga menjelang mendarat, hampir selalu hanya
suaranya yang disaksikan penumpang. Itu pun sebatas menyampaikan informasi-informasi
yang bisa jadi tidak terlalu dipedulikan penumpang. Orang-orang juga meyakini pilot sebagai
sosok yang pintar dalam ilmu eksakta.
Dengan citra paripurna semacam itu, imajinasi awam pun berlanjut. Bahwa pilot adalah
cowboy udara merangkap playboy darat. Artinya, pilot tidak hanya bermuhibah dari satu
bandara ke bandara lain, pilot juga menjelajah dari satu hati ke hati lainnya.
Saking berkuasanya, sampai-sampai pada suatu masa tersiar desas-desus bahwa konon hanya
154

awak kabin yang sudi menjadi tempat pendaratan yang akan diajak pilot terbang ke
angkasa. Sebuah kabar burung yang tidak pernah saya buktikan secara empiris!
Sebaliknya, saya beberapa kali menumpang pesawat yang dikemudikan oleh pilot dengan
standar kesantunan di atas kelaziman. Dalam penerbangan SJ 210 dari Jakarta ke Solo Senin
lalu, misalnya, sesaat sebelum pintu pesawat dibuka, pilot menegur para penumpang melalui
pengeras suara, Terima kasih, selamat jalan, assalamualaikum.
Lebih menyentuh lagi adalah sapaan pilot dalam penerbangan jurusan Rengat-Tanjung
Pinang-Palembang-Jakarta belasan tahun silam. Selepas dari bandara Tanjung Pinang, fasih
lengkap pilot katakan, Assalamualaikum, para penumpang.... Alhamdulillah, cuaca cerah
dengan jarak pandang.... Insya Allah kita akan tiba di tujuan pada pukul.... Terima kasih,
selamat menikmati penerbangan, assalamualaikum.
Bagi penumpang yang acap membaca simpulan bahwa pesawat adalah moda transportasi
yang lebih aman ketimbang kendaraan darat dan laut, kemerduan salam sang pilot membuat
saya terkesima dan kian yakin bahwa dia memang layak membawa ratusan orang melayang
di udara di dalam besi seberat ratusan ton itu.
***
Nah, setelah kemalangan yang dialami maskapai AirAsia berikut para penumpangnya
menjelang akhir Desember 2014, muncul pertanyaan: apakah bekerja sebagai pilot masih
menjadi impian banyak orang dewasa ini?
Sebuah survei dengan tema The Conference of Grown-Up Dreams menemukan bahwa, dari
ribuan responden berusia dewasa, hanya 16 persen yang pada hari ini berhasil menekuni
pekerjaan yang sesuai dengan cita-cita mereka ketika masih kanak-kanak. Penyebab
kesenjangan itu adalah karena untuk menggapai cita=cita dibutuhkan biaya finansial yang
tidak murah. Andaikan biaya itu tersedia, cita-cita tetap harus dikesampingkan akibat
munculnya agenda-agenda baru dalam kehidupan yang juga menuntut untuk dipenuhi.
Juga dibutuhkan waktu terbang ribuan jam sebelum pilot benar-benar bisa menjadi juru mudi
pesawat yang mumpuni, bekerja di maskapai bonafide, dan memegang setir pesawat kelas
raksasa. Bisa dibayangkan, pada kurun yang sama ada sekian banyak biaya sosial yang juga
harus dikeluarkan si pilot demi mengubah asa kanak-kanak menjadi kenyataan dewasa.
Kendati demikian, 60 responden survei di atas ternyata masih tetap memendam harapan
untuk menggapai cita-cita awal mereka. Harapan yang kemudian ditumpukan ke anak-cucu
mereka agar dapat direalisasikan.
Kendala untuk menekuni pekerjaan yang sesuai dengan cita-cita itulah yang kiranya menjadi
salah satu penyebab belum berhasilnya dunia penerbangan nasional memenuhi kebutuhan
sumber daya manusia mereka sendiri. Itu terlihat pada sejumlah data bahwa industri
155

penerbangan Indonesia berkembang sedikitnya dua kali lipat lebih kencang daripada
pertumbuhan ekonomi nasional. Kebutuhan akan pilot anyar naik sekitar 15%, sementara
setiap sekolah penerbangan baru bisa menelurkan beberapa ratus lulusan baru dan itu hanya
setara dengan 5,21% dari total yang dibutuhkan.
Kenyataan itu memaksa para pemangku kepentingan mengelus-elus dahi mereka, mengingat
Indonesia telah memasuki Open Sky 2015 yang mengharuskan maskapai nasional siap
bersaing dengan maskapai asing.
Sisi lain, laju pertumbuhan industri penerbangan di Tanah Air, serta kian terjangkaunya harga
tiket pesawat domestik, boleh jadi membuat masyarakat sudah sangat terbiasa dengan ihwal
kepilotan. Kekaguman yang membahana pada masa lalu terhadap profesi tersebut kini
mungkin cenderung menjadi biasa-biasa saja.
Namun, entakan yang ditimbulkan peristiwa kelabu AirAsia QZ 8501 berhasil merangsang
saya untuk kembali melamunkan dunia pilot. Dari situ terbit lagi kekaguman, penghormatan,
sekaligus keharuan saya terhadap mereka yang telah membuat keputusan untuk mencukupi
kebutuhan anak dan istri mereka dari balik gagang kemudi burung-burung besi. Allahu
alam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL


Psikolog Forensik; Penulis Buku Ajari Ayah, Ya Nak

Pendidikan Tinggi Berkualitas

Koran SINDO

16 Januari 2015

Memasuki tahun 2015 perguruan tinggi di Indonesia mulai melaksanakan proses penerimaan
mahasiswa baru, baik bagi perguruan tinggi negeri maupun swasta.

156

Penerimaan mahasiswa baru (input), merupakan tahap awal yang sangat krusial dalam
membangun sistem pendidikan tinggi yang berkualitas, yang bermuara pada peningkatan
mutu sumber daya manusia di Indonesia.
Bila menilik indikator Human Development Index (HDI), Indonesia pada 2013 menempati
peringkat ke-108 dan terkategori sebagai kelompok negara dengan capaian HDI medium.
Salah satu indikator dari HDI adalah mean years of schooling, di mana Indonesia memiliki
rata-rata 7,5 tahun dari yang diharapkan 12,7 tahun. Indikator ini menunjukkan masih
rendahnya aksesibilitas pendidikan tinggi oleh masyarakat di Indonesia.
Hal ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi perguruan tinggi di Indonesia,
mengingat kompleksitas terkait aksesibilitas perguruan tinggi ini yang antara lain dikaitkan
beberapa faktor. Pertama, masih belum meratanya tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk
yang menyebabkan masyarakat tidak mampu mengakses pendidikan tinggi (jurang
perekonomian). Kedua, pemerataan mengakses pendidikan yang berkualitas masih rendah,
sehingga dijumpai perbedaan kemampuan bersaing untuk memasuki perguruan tinggi oleh
penduduk Indonesia.
Perspektif terhadap perguruan tinggi masih menunjukkan perbedaan kualitas yang cukup
mencolok antara pendidikan tinggi di Jawa dan di luar Jawa, meskipun ada indikator yang
menunjukkan semakin berkurangnya gap perguruan tinggi negeri dan swasta. Hal ini
ditunjukkan dengan masuknya perguruan-perguruan tinggi swasta pada jajaran 50 perguruan
tinggi terbaik di Indonesia seperti pada akreditasi BAN PT, Webometrics, dan 4icu, perguruan
tinggi seperti Gunadarma, Bina Nusantara, Mercubuana, UII, UMM, UMY, UMS, dan
perguruan tinggi lain menunjukkan geliat kualitas yang semakin memberikan keleluasaan
bagi masyarakat untuk mengakses perguruan tinggi berkualitas di Indonesia.
Dengan kondisi tersebut perguruan tinggi, sebagai salah satu wahana untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, perlu mengembangkan sistem dan kultur yang mendorong
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Tidak hanya dapat diakses, tetapi juga mendorong peningkatan produktivitas SDM Indonesia.
Pengembangan ini terkait dengan tahapan input, proses, dan output perguruan tinggi yang
memerlukan pendekatan komprehensif untuk mengangkat kualitas pada level yang
diinginkan.
Output Perguruan Tinggi
Kali ini penulis memulai elaborasi terhadap tahapan output yang menjadi komponen kunci
keberlanjutan suatu pendidikan tinggi. Output perguruan tinggi adalah lulusan dan produk
akademik lain yang memberikan kontribusi besar bagi masyarakat bangsa dan negara.
Saat ini sebagian besar pendidikan tinggi di Indonesia masih berorientasi untuk mencetak
lulusan. Hal ini diindikasikan dengan masih banyaknya perguruan tinggi dengan rasio dosen
157

dan mahasiswa yang besar (di atas 1:50). Orientasi terhadap jumlah mahasiswa yang besar
sering memunculkan situasi yang kurang tepat, dengan menyandarkan indikator kualitas pada
tingkat mahasiswa yang tidak mengalami DO dan lulusan tepat waktu. Indikator ini
menyebabkan lulusan yang dihasilkan sering kali belum memenuhi aspek relevansi lulusan
dengan dunia kerja ataupun lulusan yang mampu membuka peluang kerja bagi dirinya
maupun masyarakat luas.
Hal ini menjadi indikator kunci keberlanjutan suatu perguruan tinggi, semakin kuat relevansi
yang dihasilkan akan memunculkan ekspektasi dan apresiasi yang besar dari kalangan
masyarakat untuk menitipkan keluarganya dalam menempuh pendidikan tinggi. Pendidikan
tinggi dengan orientasi menghasilkan lulusan mestinya fokus dalam menghasilkan lulusan
yang unggul dan mampu berkompetisi secara positif.
Produk perguruan tinggi yang lain adalah penelitian, pengabdian masyarakat, dan publikasi
ilmiah. Penelitian dan publikasi ilmiah Indonesia saat ini relatif masih sangat rendah
dibanding Thailand, Malaysia, dan Filipina. Anggaran riset sebesar lebih kurang Rp3 triliun
dalam setahun belum mampu mengangkat produktivitas penelitian dosen dan peneliti lain
secara signifikan baik untuk produk berupa publikasi maupun produk penelitian yang bisa
diaplikasikan di dalam industri maupun di masyarakat.
Secara makro, kebijakan pemerintah untuk memberikan dana penelitian yang besar patut
diapresiasi, namun hal ini tampaknya perlu diimbangi dengan perbaikan faktor lain. Pertama,
kebijakan anggaran, sering kali pendanaan penelitian dari pemerintah diturunkan pada bulan
Juli/Agustus dan pada November peneliti harus sudah melaporkan kegiatan penelitiannya.
Meskipun hal ini telah disiasati dengan penentuan penelitian yang berhak didanai setahun
sebelumnya, tetap saja peneliti merasa gamang untuk melaksanakan penelitian karena masih
diliputi keraguan mengenai kepastian cairnya dana dan peneliti bukanlah investor yang
memiliki cukup dana untuk melaksanakan penelitian terlebih dulu.
Kedua, perlu dikaji mengenai kepabeanan. Alat-alat lab dan bahan-bahan penelitian yang
diperlukan oleh peneliti non-bidang ilmu sosial sebagian besar masih impor. Seringnya untuk
mendatangkan alat atau pun bahan tersebut memerlukan waktu yang lama (1-3 bulan),
dengan harga bisa mencapai tiga kali lipat dibanding di negara lain.
Proses Perguruan Tinggi
Sumber daya manusia, sarana-prasarana, kurikulum, manajemen perguruan tinggi, dan sistem
penjaminan mutu merupakan aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan untuk mendorong
penguatan proses pembelajaran akademik di perguruan tinggi. Insan perguruan tinggi harus
memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk menyediakan kebutuhan sivitas akademika
secara memadai.
Hal ini akan mendorong terbangunnya atmosfer akademik yang kondusif, yang mendorong
proses tri darma perguruan tinggi yang lebih berkualitas. Sumber daya manusia (khususnya
158

dosen), memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan sikap dan atmosfer
akademik di perguruan tinggi.
Dalam beberapa kesempatan kolaborasi dengan perguruan tinggi asing, masalah kualitas
SDM merupakan faktor yang sangat penting dan menjadi perhatian utama perguruan tinggi
mitra. Kualitas SDM (khususnya di berbagai PTS) masih rendah. Perlu adanya kesadaran dari
perguruan tinggi untuk memperbaiki mutu SDM.
Proses pembelajaran yang berkualitas dengan keluaran yang terukur dan relevan dengan
kebutuhan masyarakat merupakan faktor penting untuk menghasilkan lulusan yang unggul
dan kompetitif. Kualitas ini tidak dapat hanya dari capaian nilai dan persentase keterlibatan
mahasiswa dalam pembelajaran.
Kurikulum dan metode pembelajaran yang dikembangkan di perguruan tinggi perlu inovasi
untuk mendorong perkembangan peserta didik untuk menjadi pribadi yang memiliki
kemampuan hard skill dan soft skill yang seimbang. Perguruan tinggi harus memiliki
kesadaran untuk mewujudkan janji yang telah diberikan kepada peserta didik dalam
menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Proses di perguruan tinggi merupakan faktor yang dapat dikendalikan oleh manajemen
perguruan tinggi. Hal ini menjadi tanggung jawab perguruan tinggi untuk membangun sistem
dan kultur yang berkualitas dalam menopang prestasi peserta didik.
Mahasiswa perlu dikenalkan sistem yang menempatkan mereka sebagai peserta didik yang
dihargai, peserta didik perlu dikenalkan pada kemajuan dan sikap mental yang positif. Hal ini
akan melahirkan intelektual yang berkualitas, yang dapat menghargai orang lain dan memiliki
semangat untuk maju.
Input Perguruan Tinggi
Output dan proses perguruan tinggi akan sangat menentukan demand (input) perguruan
tinggi. Output dan proses suatu perguruan tinggi yang telah terbukti memiliki kualitas yang
baik akan menjadi daya tarik bagi calon mahasiswa.
Calon mahasiswa yang berkualitas akan mampu mengangkat citra dari suatu perguruan
tinggi. Siklus ini merupakan siklus yang normal, yang perlu dipertahankan apabila suatu
perguruan tinggi ingin sustain.
Kualitas input mahasiswa sangat dipengaruhi oleh proses seleksi yang dilakukan oleh suatu
perguruan tinggi. Input yang diperoleh tanpa melalui seleksi kerap memunculkan problem
bagi suatu perguruan tinggi. Seleksi bukan berarti harus menerapkan kriteria yang tinggi,
tetapi seleksi dilakukan untuk menjaring calon mahasiswa yang siap untuk mengembangkan
diri dan beradaptasi dengan sistem perguruan tinggi.

159

Melalui proses seleksi yang adequate, maka perguruan tinggi akan mendapatkan peserta
didik yang siap untuk digembleng untuk berakselerasi dan kemajuan dan dinamika
masyarakat.

DR MUHAMMAD DAI, MSi, Apt


Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

Pendidikan Berwawasan Lingkungan

Koran SINDO

17 Januari 2015

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Surabaya kini semakin memantapkan diri sebagai kota
160

dengan branding bersih, sehat, dan hijau. Branding ini melengkapi berbagai label yang telah
dicapai Surabaya sebagai kota pendidikan, wisata religi, dan vokasi.
Beberapa daerah di Nusantara juga telah belajar ke Surabaya. Itu berarti virus clean, green,
and hygiene (CGH) kini telah tersebar di banyak kota. Melalui fasilitas taman yang tersedia
di beberapa sudut kota, warga metropolis dimanjakan dengan sarana bermain untuk keluarga
sambil menikmati hijaunya pepohonan dan udara yang segar.
Kesadaran warga terhadap kesehatan lingkungan juga semakin meningkat. Untuk
meningkatkan kesadaran warga terhadap kesehatan lingkungan, Pemerintah Kota (Pemkot)
Surabaya mengadakan ajang tahunan bertajuk Surabaya Bersinar Green and Clean (SBGC).
Juga ada program Merdeka dari Sampah (MdS) yang melibatkan banyak kader lingkungan.
Melalui program tersebut, kampung-kampung di Surabaya diajak untuk beradu bersih, sehat,
dan hijau.
Program SBGC dan MdS terasa relevan karena salah satu problem yang dihadapi kota-kota
besar, termasuk Surabaya, adalah kesehatan lingkungan. Tentu saja program ini harus
dikembangkan lebih massif dengan melibatkan berbagai elemen. Salah satu elemen yang
layak dilibatkan adalah lembaga pendidikan.
Satuan pendidikan, khususnya tingkat dasar dan menengah, harus didorong untuk
mengembangkan kurikulum CGH. Kurikulum CGH penting untuk menanamkan kesadaran
warga sekolah mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Dengan menjadikan lingkungan
bersih, hijau, dan sehat, berarti lembaga pendidikan turut mengatasi problem pemanasan
global (global warming).
Persoalannya,sekolah umumnya tidak memiliki lahan yang cukup untuk bercengkerama dan
bermain bagi anak. Akibatnya, anak merasa bosan jika harus berlama-lama di sekolah,
apalagi jika kondisi lingkungan di sekolah tidak sehat. Karena itulah, pendidikan CGH
mutlak diperlukan.
Untuk menjadikan sekolah berwawasan lingkungan dapat ditempuh dengan cara yang
mudah. Salah satunya dengan pengadaan tanaman yang ditempatkan di teras depan kelas.
Meski terkesan sederhana, banyak sekolah yang belum melakukan. Padahal, cara ini dapat
menyebabkan udara terasa segar dan lingkungan menjadi hijau.
Yang penting, pendidikan CGH tidak harus dipahami sebagai mata pelajaran mandiri. Itu
karena loading materi dalam kurikulum pendidikan nasional sudah banyak. Alternatifnya,
materi CGH dapat disisipkan (inserting) pada mata pelajaran relevan. Yang dibutuhkan
adalah modul pembelajaran CGH.
Materi CGH juga dapat diajarkan secara otentik, seperti guru membawa masuk tempat
sampah yang sudah ditulisi sampah kering dan sampah basah atau sampah organik dan
sampah anorganik. Guru cukup menjelaskan secara singkat jenis sampah. Selanjutnya, anak
diajak untuk berburu sampah dan memasukkannya di tempat sampah sesuai dengan jenisnya.
161

Dengan model pembelajaran otentik, materi pendidikan berwawasan lingkungan tidak mesti
diajarkan di kelas. Anak dapat diajak berkeliling untuk mengamati problem lingkungan yang
terjadi di sekolah dan sekitarnya. Proses pembelajaran ini dinamakan berparadigma
konstruktivis. Melalui metode ini anak memperoleh pengalaman mengamati lingkungan,
menemukan problem yang dihadapi, dan terlibat aktif merumuskan solusinya. Anak-anak
akan menemukan alternatif jawaban dari hasil kerja sama dengan temannya.
Pasti banyak kejadian menarik yang ditemukan selama proses pembelajaran materi
CGH. Misalnya jika ditemukan puntung rokok maka anak akan berpikir bahwa masih ada
budaya merokok di lingkungan sekolah. Padahal, sekolah termasuk zona yang harus terbebas
dari rokok. Demikian juga ketika ditemukan bekas bungkus makanan yang berserakan maka
anak akan saling mengingatkan. Jika pembelajaran materi CGH dilakukan dengan benar,
pasti dapat membangun budaya hidup bersih, hijau, dan sehat.
Pembelajaran materi CGH juga dapat dilakukan melalui kegiatan ekstra, seperti keterampilan
memanfaatkan sampah sebagai bahan dasar. Sebagai fasilitator, guru dapat menjelaskan
bahwa jenis sampah kering berupa plastik dan kertas termasuk yang sulit dihancurkan.
Karena itu, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan plastik dan kertas
sebagai bahan berbagai jenis keterampilan. Sementara untuk sampah basah, anak dapat
belajar membuat kompos yang bermanfaat bagi tanaman. Melalui cara ini berarti guru telah
mengajarkan anak untuk mengatasi problem sampah dengan reduce (mengurangi), reuse
(menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang).
Kegiatan ekstra di bidang kesehatan juga dapat dijadikan media pembelajaran materi CGH
melalui gerakan cuci tangan pakai sabun (CTPS). Kultur CTPS ini penting ditanamkan sejak
dini. Anak perlu diyakinkan bahwa mencuci tangan saja tidak cukup. Karena itu, mencuci
tangan harus menggunakan sabun agar lebih bersih. Melalui pembelajaran ini anak
memperoleh pengalaman cara yang benar dan waktu yang penting untuk CTPS. Waktu yang
penting untuk CTPS adalah sebelum makan, setelah buang air besar, sebelum memegang
bayi, sebelum menceboki anak, dan sebelum menyiapkan makanan.
Budaya CPTS ini tampak sepele, padahal banyak manfaat yang dapat diperoleh. Salah
satunya adalah dapat menghindarkan diri dari ancaman penyakit diare. Menurut data
Lembaga Kesehatan Dunia (WHO), diare merupakan penyebab nomor satu kematian balita.
Diare juga menjadi penyebab kematian balita nomor dua di Indonesia setelah infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA). Lembaga dunia yang mengurusi pendidikan anak (UNICEF), juga
memperkirakan bahwa setiap 30 detik ada anak yang meninggal dunia karena diare.
Kementerian Kesehatan RI bahkan memberitakan bahwa setiap tahun ada 100.000 anak
meninggal karena diare. Dampaknya, anak-anak itu tidak dapat merayakan ulang tahunnya
yang ke-5 akibat wabah diare. Karena itulah, pendidikan berwawasan lingkungan perlu
ditanamkan sejak dini melalui pembiasaan hidup yang bersih dan sehat pada anak-anak.

162

Dari mereka inilah, kita berharap muncul kader-kader lingkungan hidup pada masa
mendatang. Bukankah agama telah mengajarkan bahwa kebersihan merupakan bagian dari
iman? Itu berarti bahwa kualitas keimanan seseorang salah satunya dapat dilihat dari
kemampuannya untuk menjaga kebersihan. Karena itu, hidup bersih dan sehat adalah sebuah
keniscayaan.

BIYANTO
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

Manusia Modern IV (Terakhir): Hak dan


Kewajiban

163

Koran SINDO

18 Januari 2015

Ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang AirAsia menjelang Tahun Baru 2015 yang lalu,
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini segera menyuruh stafnya mencari nama-nama
penumpang dari Surabaya dan rumah yang seluruh penghuninya berada dalam pesawat yang
mengalami kecelakaan itu.
Ditemukan lima rumah yang memang ditinggalkan dalam keadaan kosong. Tindakan
selanjutnya, Wali Kota datang sendiri ke rumah-rumah yang ditinggalkan kosong tersebut dan
melapor ke ketua RT masing-masing. Dengan sepengetahuan RT, Wali Kota menyuruh
stafnya menggembok dobel rumah-rumah itu dan menyuruh Satpol PP menjaga rumah-rumah
itu 24 jam. Wali Kota tidak mau kalau di tengah musibah ada orang-orang yang memancing
di air keruh, mengaku-aku kerabat korban, dan mencoba mengambil alih rumah tanpa hak,
atau sekadar mau merampok, dsb.
Masalahnya, mengapa Wali Kota Risma harus melakukan itu, padahal kalau dia tidak
melakukannya pun tidak apa-apa? Tidak ada undang-undang atau peraturan daerah yang
mewajibkannya untuk berbuat seperti itu, sementara dia sudah muncul di Bandara
Internasional Juanda untuk langsung memberi semangat kepada para keluarga penumpang
yang sedang sangat stres dan depresi, dan yang penting sudah masuk televisi juga. Jadi
citranya tetap baik, walaupun tidak perlu dia repot-repot membeli gembok untuk rumahrumah kosong itu.
Di sisi lain, berkali-kali kita menyaksikan demo untuk menuntut sesuatu. Contohnya demo
buruh. Massa buruh, ribuan jumlahnya, menutup jalan, menghambat pengguna jalan yang
mau ke kantor atau ke sekolah, atau ambulans yang membawa pasien gawat darurat,
dsb. Sering kali mereka melakukan sweeping ke pabrik-pabrik dan memaksa buruh-buruh
yang sedang bekerja untuk ikut demo.
Tuntutannya tidak jauh-jauh dari UMR. Pokoknya UMR naik, tidak peduli perusahaan
untung atau buntung. Tidak terpikir bahwa dengan mereka demo mereka tidak bekerja, dan
kalau mereka tidak bekerja pabrik tidak berproduksi, kalau pabrik tidak berproduksi tidak
menghasilkan uang, dan ujung-ujungnya tidak bisa membayar upah, sehingga mereka pilih
hengkang ke luar negeri saja, dan akhirnya yang paling dirugikan adalah si buruh sendiri
yang kehilangan pekerjaan. Ironisnya semua demo itu dilakukan dengan slogan demi
kebaikan dan demi keadilan.
***

164

Salah satu ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk adalah filsafat etika. Etika
(berasal dari kata Latin, ethos), yang artinya sama dengan moral (dari kata Yunanai,
mores), mempelajari kapan sesuatu hal itu dianggap baik dan kapan dianggap tidak baik.
Jadi etika tidak bicara tentang benar lawan salah (itu dibicarakan dalam logika) atau bagusindah-cantik lawan jelek-buruk (yang merupakan tugas estetika).
Tetapi tidak selalu mudah untuk mengatakan mana yang baik atau tidak baik. Demo buruh
mungkin saja dianggap baik, harus dilakukan karena buruh sudah sekian lama diabaikan
nasibnya, harga-harga melambung terus, terutama sesudah kenaikan BBM (tetapi waktu
BBM turun tidak ada yang demo). Adalah hak setiap warga negara untuk mendapat upah
yang layak sesuai dengan standar hidup masing-masing daerah. Karena itu mereka demo.
Menurut teori hedonisme dari filsuf Epikuros (341-270 SM), demo buruh itu etis karena
membela kepentingan buruh yang berdemo itu sendiri. Teori eudonisme yang dipelopori oleh
filsuf kondang sampai kiamat, Aristoteles (384-322 SM) juga akan setuju dengan demo
buruh, karena setiap orang selalu mengejar tujuan terakhir, yaitu kebahagiaan, yang
disebutnya dengan eudomania.
Tetapi aliran lain dari filsafat etika, yaitu utilitarianisme, yang dipelopori oleh filsuf Jeremy
Bentham (1748-1832) mempertanyakan bagaimana mungkin perilaku yang hanya
menyenangkan diri sendiri tetapi mengorbankan orang lain bisa disebut etis atau bermoral.
Perilaku etis atau bermoral harus bermanfaat bagi sebanyak-banyak atau bahkan kalau bisa
untuk semua orang.
Nah, di sinilah terjadinya selisih pendapat tentang etika, apakah yang baik itu sebenarnya?
Sampai di mana batas-batas kebaikan itu? Untuk diri sendiri, keluarga, golongan, agama?
Demi siapakah kebaikan itu?
Di Paris baru-baru ini empat orang teroris membunuh 12 orang staf redaksi majalah Charlie
Hebdo gara-gara memuat gambar Nabi Muhammad. Buat orang lain, mungkin perbuatan
mereka jauh dari etis (membunuhi orang tak berdosa, tak bersenjata, tak berdaya, mana
mungkin etis?), tetapi para pelaku sendiri merasa dirinya sangat mulia karena membela
agama dan nabi (sama juga dengan serdadu yang dalam perang membunuh lawan demi
membela negara).
Di tengah-tengah perdebatan itu, muncullah filsuf Jerman bernama Immanuel Kant (17241804) yang menawarkan teori deontologi dalam etika. Buat Kant, yang penting dalam etika
adalah niat atau maksud dalam seseorang itu melakukan sesuatu. Sesuatu yang baik itu wajib
dilakukan (deon berarti wajib atau harus), dalam keadaan apa pun, kapan pun oleh siapa pun
(dalam istilah Kant, kategori imperatif). Jadi yang penting bukan dampaknya, melainkan
niatnya (dalam ungkapan umat Islam: nawaitu, aku berniat...).
Perbuatan etis itu universal, kata Kant. Contohnya adalah tindakan Wali Kota Risma di atas.
Dalam situasi apa pun, ditinjau dari sudut mana pun, perbuatan Wali Kota yang didasari oleh
165

niat baik itu ya baik. Titik.


***
Dalam teori tentang manusia modern Alex Inkeles menyebutkan salah ciri manusia modern
(ciri ketujuh) adalah menghargai harkat hidup manusia lain. Konsekuensi dari ciri ini adalah
manusia modern mendahulukan kewajibannya sendiri (artinya mendahulukan hak orang lain)
ketimbang hak dirinya sendiri (artinya menomor duakan hak orang lain).
Dengan demikian, mudah-mudahan kita dapat menilai, mana yang bisa dijadikan contoh
sebagai perilaku yang etis dan modern: perilaku buruh pendemo, teroris di Paris, atau Ibu
Wali Kota Surabaya

SARLITO WIRAWAN SARWONO


Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

166

Nyimpen Uang di Kutang Lebih Aman


daripada di Bank

Koran SINDO

19 Januari 2015

Dalam dunia ekonomi dikenal istilah transaksi yang memiliki makna sebuah proses
perdagangan terjadinya hubungan timbal balik yang bersifat tukar-menukar atau jual-beli.
Proses jual-beli mengalami sejarah panjang seiring dengan perkembangan peradaban
kehidupan masyarakat kita, dari tukar-menukar barang antara satu daerah dan daerah yang
lainnya, yang bertujuan membangun kelangsungan hidup agar tercukupi semua yang menjadi
kebutuhannya.
Proses transaksi jual-beli kini mengalami perubahan perilaku yang didasarkan pada tingkat
167

kualitas dan kuantitas transaksi tersebut, dari transaksi menggunakan uang tunai yang
dibayarkan secara langsung sampai transaksi menggunakan kartu ATM, kartu kredit, bahkan
transaksi antarperbankan atau antarnegara dengan menggunakan letter of intent yang tidak
pernah terlihat di mana uangnya.
Semakin tinggi kualitas dan kuantitas transaksi, maka semakin tidak terlihat pula uang
sebagai alat jual-beli. Yang ada hanya pencatatan dalam sistem perbankan kita yang telah
memiliki standar keamanan yang sangat tinggi.
Kata Mang Udin tetangga saya, Ternyata orang kaya itu tidak pernah punya duit, karena
tidak punya uang seperti saya mulai dari pecahan Rp100, Rp1.000, Rp10.000, Rp20.000,
Rp50.000 sampai pecahan Rp100.000... meskipun rada jarang yang Rp50.000 dan
Rp100.000, kebanyakan Rp10.000-an... tapi orang kaya hanya punya kartu. Makan pakai
kartu, nginap pakai kartu, beli bensin pakai kartu, belanja di minimarket pakai kartu, belanja
di mal pakai kartu, pokona mah serbakartu we lah...
Saking bergengsinya kartu, sampai-sampai menjadi alat ukur keberhasilan pembangunan,
baik Kartu Sehat, Kartu Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera. Semakin banyak kartu yang
dimiliki, semakin sukseslah pembangunan. Semakin banyak kartu yang dimiliki, semakin
kayalah dia.
***
Sejarah transaksi yang menggunakan jasa perbankan merupakan sebuah proses panjang yang
dilakukan dalam evolusi keuangan di Indonesia. Dulu seingat saya, waktu jumlah bank masih
sangat terbatas, pemerintah di bawah kepemimpinan Pak Harto melakukan promosi yang luar
biasa kepada masyarakat untuk menyimpan uang di bank. Alasannya karena kebiasaan
masyarakat kita pada waktu itu uangnya tidak pernah tersimpan di bank, tetapi tersimpan di
celengan yang terbuat dari kaleng susu, ruas bambu, tanah liat, atau cengcelengan palered, di
bawah bantal, di balik kasur, atau dalam kotak uang yang dikubur.
Dalam perilaku sosial kesehariannya ini, terkadang mendapat gangguan keamanan oleh
makhluk yang bernama kencit (tuyul). Kencit alias tuyul diyakini sebagai sosok makhluk
halus yang tugasnya mencuri uang dengan menggunakan kekuatan gaib sehingga sulit
terdeteksi oleh sang pemilik. Selain tuyul dan kencit, kepercayaan terhadap kejahatan
keuangan yang menggunakan kekuatan gaib pada waktu itu juga dikenal dengan nama babi
ngepet.
Saya tidak tahu fakta dari semua itu ada atau tidak, tapi yang jelas pada saat itu keyakinan
orang akan adanya tuyul, kencit, dan babi ngepet sangat kuat. Saking trennya maka lahirlah
berbagai tuduhan kepada orang-orang kaya yang dianggap tidak wajar cara memperoleh
kekayaannya. Mereka diyakini memiliki tuyul, kencit, nyegik, atau munjung, ular dan
berbagai makhluk lainnya dan dalam setiap tahun memerlukan tumbal untuk
dipersembahkan.
168

Mitologi tersebut menjadi daya magnet yang menggemparkan bagi para seniman sehingga
lahirlah berbagai cerita rakyat yang menjadi bahan komersial seperti untuk pembuatan film,
dongeng, atau tulisan dalam berbagai karya sastra.
Kata Mang Udin, Jika memang pemujaan itu ada, bila tuyul itu benar adanya, bangsa kita
tidak usah pinjam uang ke luar negeri untuk membangun negara, atau tidak perlu menjual
gunung emas, gunung batu bara, gas, membabat hutan, dan berbagai eksploitasi lainnya
hanya untuk meningkatkan pendapatan. Cukup saja nyuruh pasukan tuyul, kencit dan muja ke
Nyi Ratu agar bisa mendapatkan dolar yang tersimpan di bank-bank luar negeri.
Seiring dengan kebijakan pemerintah Pak Harto pada waktu itu yang melakukan deregulasi di
bidang ekonomi dan perbankan, maka tumbuhlah berbagai bank swasta di Indonesia dengan
jumlah yang sangat banyak. Aspek promosi yang dikemas secara apik telah melahirkan
gairah masyarakat untuk menabung pada lembaga-lembaga perbankan dengan berbagai
harapan. Dari harapan keamanan, harapan mendapat bunga yang tinggi, sampai hadiah
undian dalam setiap tahun.
Seluruh harapan tersebut sering kali kandas dilanda petaka karena para pemilik bank tidak
mengelolanya secara jujur. Uang tabungan masyarakat yang jumlahnya sangat besar
digunakan untuk investasi kelompoknya, kemudian macet proyeknya atau dananya
dipindahkan ke luar negeri sehingga terjadilah ketidakstabilan perbankan yang berdampak
pada rush atau jumlah pengambilan masyarakat yang sangat tinggi karena faktor resesi
ekonomi. Ujung-ujungnya negara mengeluarkan dana talangan dalam jumlah yang sangat
besar berbentuk bantuan likuiditas untuk menjaga kestabilan dan kepercayaan publik.
Lembaga perbankan tersebut hampir seluruhnya terpusat di Jakarta, sehingga distribusi
keuangan masyarakat Indonesia terkontrol oleh fasilitas perbankan yang terpusat. Dari sinilah
lahir ketidakadilan ekonomi, karena jumlah uang yang beredar menjadi tersentralisasi pada
sebuah wilayah yang sangat mudah untuk dimanipulasi atau rawan terjadi penyimpangan,
baik kesalahan kebijakan investasi maupun larinya uang itu ke luar negeri sehingga
menimbulkan kesengsaraan.
Bukan hanya kesengsaraan bagi para penyimpan uang di bank, melainkan juga masyarakat
secara umum karena Bank Indonesia akan jebol dengan mengalirnya uang yang cukup besar
hanya untuk menalangi keserakahan mereka yang terencana.
Mang Udin sekarang mulai mengerti, ternyata kencit, tuyul, dan babi ngepet itu ada...
Buktina ayeuna mah geus kapanggih, loba duit Ma Icih nu baheula dinu kutang ayeuna mah
leungit ku lantaran ditunda di bank. Duit hasil pajak anu dikumpulkeun di BI ayeuna mah
beak dipake nalangan duit nu dibawa kabur ku babi ngepet (buktinya sekarang sudah
ketemu, banyak duit Ma Icih yang dulu disimpan dalam kutang kini hilang karena disimpan
di bank. Duit hasil pajak yang terkumpul di BI sekarang habis dipakai menalangi uang yang
dibawa kabur babi ngepet).

169

Terus yang menyimpan uang di bank, banyak yang hidupnya mengalami penderitaan sampai
dia meninggal, dikorbankan, ditumbalkan oleh para pengelola perbankan. Yang hidupnya
kaya karena dia munjung (memuja) kepada keserakahan. Tah... palebah dieu mah asa bener
omongan Mang Udin teh (Nah, di sini terasa benar omongannya Mang Udin). Jadi kencit,
tuyul, babi ngepet jeung nu munjung teh geningan bener-bener aya.
Selain itu, kalau kita seorang penyelenggara negara, menyimpan uang di bank hari ini harus
berhati-hati. Jangan-jangan yang tadinya berniat baik dan bersikap jujur untuk menyimpan
uang atas nama sendiri bisa dianggap sebagai transaksi yang mencurigakan.
Kata Ma Icih, daripada pusing-pusing nunda duit di bank, geus we urang tunda dinu
kutang, meh babari ngodokna mun hayang jajan... (daripada pusing menyimpan uang di
bank, sudah simpan saja dalam kutang, biar mudah mengambilnya kalau ingin jajan).

DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta

Persahabatan untuk Perdamaian

Koran SINDO

19 Januari 2015

170

Di dalam kehidupan sehari-hari yang makin terasa begitu teknis, dan kering, makna
perdamaian kita rasakan sebagai sesuatu yang asing, jauh, terlalu abstrak, dan tidak praktis.
Kita sudah terjerumus terlalu jauh ke dalam apa yang serbapraktis. Rebutan jabatan di suatu
partai. Berniat, dengan penuh dendam, menjadi kekuatan oposisi sesudah dikalahkan di
dalam suatu pemilihan umum. Desak mendesak, bahkan saling mencakar demi jabatan dalam
birokrasi. Dan dengan serakah memasang iklan dan membangun citra positif dari kehidupan
yang serbanegatif. Sibuk mengusahakan perpanjangan jabatan sebelum masa jabatan
berakhir, termasuk jebakan praktis itu.
Mungkin itu cermin keserakahan orang-orang yang tidak punya agenda maupun pemikiran
besar. Tak terlalu mengherankan bahwa pemikiran besar, seperti perdamaianapalagi
perdamaian duniayang merupakan mandat konstitusi, kita abaikan.
Seorang tokoh dunia dari Jepang, Daisaku Ikeda, berdialog dengan Gus Dur. Hasil dialog itu
dibukukan, dengan judul Dialog Peradaban: Untuk Toleransi dan Perdamaian. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, memperoleh hak menerbitkannya, pada tahun 2010.
Daisaku Ikeda memilih Gus Dur dengan alasan yang jelas. Sebagai tokoh dunia, Ikeda
menghendaki untuk berdialog dengan tokoh sekaliber dia sendiri. Lama sebelumnya dia
sudah mewawancarai banyak tokoh besar dunia. Sejarawan terkemuka, Arnold Toynbee dari
Inggris; Majid Tehranian, profesor yang ahli dan menaruh perhatian khusus di bidang
perdamaian; dan Presiden Rusia Mikhail Gorbachev pun sudah diwawancarainya.
Dialog mereka menjadi buku penting yang memberikan tawaran alternatif pemecahan
masalah-masalah besar dunia. Bagi Ikeda, Gus Dur tak kalah besar dibanding mereka itu.
Dialog dengan Gus Dur, pun dengan tema besar: peradaban dunia. Keduanya memang
memiliki agenda besar, dan diam-diam masing-masing merasa ada masalah serius di dalam
peradaban kita. Keduanya memiliki keresahan yang sama, dan semangat yang sama pula
untuk mencari pemecahan secara damai.
Mereka berbicara mengenai toleransi dan perdamaian. Keduanya yakin bahwa toleransi
merupakan landasan membangun perdamaian. Tanpa toleransi tak mungkin lahir perdamaian.
Ini merupakan urusan sangat mendesak. Padahal, kita kekurangan kemampuan untuk
mengembangkan toleransi. Dengan sendirinya sukar bagi kita untuk menciptakan
perdamaian.
Sudah agak lama kita mengesampingkan toleransi. Di negeri kita, bahkan tampak jelas, dari
hari ke hari kita berhadapan dengan keruwetan politik, juga politik keagamaan, karena kita
tak mampu menghidupkan toleransi di dalam tatanan sosial, politik dan agama. Sebaliknya,
makin lama toleransi dianggap tak diperlukan. Watak serba tidak toleran itu malah sengaja
dikapitalisasikan untuk menimbulkan kericuhan demi kericuhan pada tingkat yang lebih luas,
menjadi suatu kericuhan global yang makin mengerikan.
171

Kericuhan seperti itu kadang terasa seperti sebuah proyek yang sengaja diciptakan. Ada
kalanya sangat terasa, di sana ada bisnis politik yang besar, dan bisa membikin suasana hirukpikuk, yang meneror kedamaian hidup pribadi kita. Kedamaiansetidaknya dalam bayangan
kitamerupakan satu-satunya kekayaan yang kita banggakan. Bahkan kedamaian sekadar
sebagai harapan yang belum terwujud pun sudah membuat kita merasa agak tenteram.
Tapi perdamaian itu sering dikoyak-koyak dengan segenap kekerasan yang melampaui batas.
Sering kekerasan itu dilakukan demi agama, atau demi Tuhan. Kita tidak mampu memikirkan
kekerasan demi agama dan demi Tuhan. Tapi kekerasan itu tiba-tiba menjadi akrab dengan
kita. Kita mengutuk kekerasan. Tapi kita juga menjadi bagian yang terkutuk karena kita
diam.
Dalam situasi seperti itu, kita menyaksikan persahabatan Gus Dur dan Ikeda, yang dibangun
dengan agenda perdamaian itu, sebagai fenomena yang demikian anggun, dan layak
dikagumi. Sikap itu mengukuhkan posisi masing-masing sebagai tokoh dunia yang sangat
peduli terhadap perdamaian.
Kita menyaksikan sendiri, sejak sebelum maupun sesudah masa kepresidenannya, Gus Dur
tampil dalam berbagai agenda membangun toleransi yang makin hari makin redup, bahkan
makin gelap, dan makin mengecilkan hati orang-orang yang serius memikirkan keutuhan
bangsa kita. Pemikiran mengenai keutuhan itu juga gelap. Dalam kegelapan macam itu, Gus
Dur, dengan berani, menyalakan lilin, dan mengabaikan risiko apa pun.
Musuh Gus Dur banyak sekali. Sebagian juga datang dari kalangan Islam sendiri. Tak
tertutup pula kemungkinan bahwa lawannya juga sebagian orang NU yang wawasan
keagamaannya tak sejalan dengan wawasan Gus Dur.
Tindakan demi tindakan yang sudah dilakukan Gus Dur menunjukkan bahwa beliau
pemberani. Baginya, pemberani itu bukan berarti tak mengenal takut. Orang yang disebut
berani itu juga merasa takut, dan memiliki ketakutan. Tapi dia mampu mengecilkan ketakutan
itu dan kemudian melangkah ke depan.
Kadang sangat terasa, Gus Dur bukan hanya menyalakan lilin, melainkan bersedia menjadi
lilin itu sendiri. Dan siap terbakar. Baginya, itu risiko perjuangan sejati.
Dalam usaha membangun toleransi yang berisiko, dan tak jarang membuatnya babak belur,
Gus Dur dipuji, bahkan dikagumi banyak kalangan minoritas. Ada kalangan yang bahkan
menganggapnya dewa. Mungkin ini agak berlebihan tapi mungkin akan tidak bijaksana bila
kita melarang ungkapan syukur dari mereka yang merasa dilindungi.
Wajar bahwa kelompok-kelompok yang selama puluhan tahun tertindas, dimarjinalisasikan
dan dibuang dari pergaulan, tiba-tiba tampil tokoh yang memberi mereka bukan hanya
pembelaan, melainkan juga perlindungan. Hanya Gus Dur yang mampu berbuat seperti itu.
172

Buktinya nyata sekali, selain beliau, tidak ada, atau hampir tidak ada, orang yang berani, atau
bersedia, melakukan tindakan yang sama.
Dan apa yang terjadi sesudah wafatnya? Masih ada yang mengutuknya? Atau mencaci maki
sikapnya? Mungkin tidak. Dan biarpun mungkin Gus Dur bukan dewa, tapi kita tahu, beliau,
yang sejak masa hidupnya disebut wali, sesudah wafatnya, kewalian itu diteguhkan. Gus Dur
membuat umat, bukan hanya kaum nahdliyin, merasa begitu histeris. Dipuji. Dipuja.
Dikagumi. Dan tanah di makamnya dibawa pulang para pengunjung sebagai ekspresi
penghormatan tertinggi.
Ada pulakah kultus di dalamnya? Mungkin ada meskipun umat paham sepaham-pahamnya
bahwa kultus itu dilarang. Tapi bagaimana melarang gerak hati sesama manusia, yang kita tak
punya saluran organisasinya dan sarana komunikasinya? Memang menjadi jelas bagi kita
bahwa Gus Dur didewakan, justru setelah beliau tak ada lagi.
Keberanian dan komitmennya membangun toleransi buat perdamaian dunia itu bukan hanya
dilakukannya di sini, di tanah air kita sendiri. Gus Dur juga menyerukan hal yang sama di
dunia internasional. Seperti dapat kita baca di halaman 5 buku tersebut, Gus Dur gigih
berceramah di Amerika Serikat untuk menyebarkan wawasan yang lebih sehat tentang Islam,
dan berharap mengurangi salah paham dunia Barat pada Islam.
Di halaman 4 buku itu pula, yaitu pada millennium summit di PBB tahun 2000, dikisahkan
bahwa Gus Dur menyampaikan gagasan tentang betapa mendesaknya dialog yang dapat
menciptakan wajah manusia, yang tak membedakan suku, atau etnisitas, budaya dan latar
belakang sejarah mereka. Dialog terbuka yang mengakomodasi semua pihak dan memberi
masing-masing posisi yang sama seperti itu, akan dapat membuka jalan untuk meningkatkan
nilai-nilai universal dan komitmen global.
Gus Dur bukan orang teknis. Beliau tak pernah terjebak ke dalam perkara teknis. Dan tak
pernah pula beliau berurusan dengan apa yang teknis. Pemikiran filosofis Gus Dur besar.
Keberaniannya besar. Dan aspirasinya pun besar: perdamaian dunia.

MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com

Stop Deforestasi

173

Koran SINDO

21 Januari 2015

Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan perekonomian nasional antara


lain harus berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pasal ini
mengandung filosofi tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang bertujuan untuk menyejahterakan
rakyat generasi saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.
Mengungkap pentingnya pembangunan berkelanjutan sangat relevan, karena tanah longsor,
banjir, kebakaran hutan, dan bencana alam lainnya yang tak berkesudahan akhir-akhir ini
menandakan ada kesalahan tata kelola kehutanan di Indonesia.
Indonesia dituding sebagai negara perusak hutan tercepat di dunia. Bank Dunia pada 2007
merilis laporan bahwa laju deforestasi Indonesia telah mencapai 2 juta ha per tahun, dan
Indonesia sebagai penyumbang emisi gas karbondioksida (CO2) terbesar ke-3 di dunia
(setelah Amerika Serikat dan Cina). Emisi CO2 (gas rumah kaca/GRK) yang dihasilkan
Indonesia adalah sekitar 34% dari total dunia, yang berasal dari kebakaran hutan, illegal
logging, dan konversi hutan ke sektor non-kehutanan, terutama ke hutan tanaman industri
(HTI) dan perkebunan kelapa sawit.
Kementerian Kehutanan melalui Surat No. S.258/II-REN/ 2013 tanggal 26 Maret 2013
menyatakan bahwa telah berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam bidang
kehutanan dan lahan gambut sebesar 0.67 giga ton CO2 atau sebesar 87,6% dari target
nasional (26%). Perhitungan ini berdasarkan penurunan laju deforestasi, yaitu dari 1,125 juta
ha/tahun pada 2000-2006 telah turun menjadi 0,45 juta ha/tahun pada 2009-2011. Pernyataan
ini tidak berdasarkan metodologi perhitungan yang dapat diyakini kebenarannya oleh
berbagai pihak. Selain itu perlu dikaji lebih lanjut hubungan kausal antara data penurunan
laju deforestasi dan target yang tercantum dalam Perpres No. 61 Tahun 2011, karena dalam
perpres tersebut tidak tercantum target penurunan laju deforestasi.
Dengan demikian disimpulkan bahwa pernyataan komitmen pemerintah Indonesia untuk
menurunkan emisi GRK sebesar 26% adalah pernyataan politik yang sulit dijabarkan melalui
kegiatan-kegiatan nyata.
Kelemahan Tata Kelola
Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu modal utama untuk
mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. Perlu dikritisi bahwa pembangunan di
Indonesia masih hanya berkiblat pada aspek modal ekonomi. Aspek kelestarian lingkungan
dan pembangunan manusia hanya dipenuhi sebagai unsur formalitas belaka.

174

Konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keseimbangan tiga dimensi, yaitu


pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan upaya perlindungan kelestarian lingkungan
hidup. Aktivitas ekonomi yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
sosial tidak akan berarti banyak bagi pembangunan berkelanjutan, kalau ternyata merusak
lingkungan dan menghabiskan sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Faktanya, sekitar 30% hutan dan kawasan konservasi atau seluas 10,5 juta hektare rusak
karena beragam faktor, seperti perambahan, pembalakan liar, dan kebakaran hutan. Upaya
restorasi terus dilakukan, tetapi belum mampu mengatasi laju kerusakan. Setiap tahun ratarata dilakukan restorasi 100.000 hektare. Namun, masih jauh tertinggal dari luasan yang
rusak. Saat ini total luas kawasan Indonesia sekitar 35 juta hektare.
Kerusakan lingkungan akan menurunkan derajat kualitas manusia dan lingkungan itu sendiri.
Habisnya sumber daya alam akan menurunkan aktivitas ekonomi atau pertumbuhan ekonomi.
Kerusakan lingkungan dan terkurasnya SDA pada akhirnya akan menggerogoti nilai
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial. Kita hanya akan mewariskan tangis kepada
anak-cucu, jika dalam pembangunan Indonesia sekarang ini kita tidak turut memperhatikan
aspek lingkungan dan pembangunan komunitas manusia secara berkelanjutan
Tiga Langkah
Wewenang untuk berbagai hal terkait tata kelola hutan dan lahan ada pada tingkat pemerintah
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Proses yang dimaksud termasuk proses penataan
ruang dan perizinan, perlindungan lingkungan hidup dan konservasi, pengawasan, dan
penegakan hukum terhadap proses pengelolaan hutan dan lahan, dan pengaturan anggaran
untuk mencapai pelaksanaan kebijakan secara optimal.
Menurut data Bank Dunia, wilayah hutan Indonesia pada 2006 tinggal seluas 187,91 juta/ ha,
itu pun di antaranya seluas 83,25 juta/ha (44,30%) dalam kondisi kritis, dirambah penduduk,
dan telah beralih fungsi (terutama ditanami kelapa sawit). Deforestasi tersebut
mengakibatkan perubahan iklim (climate change) yang dampaknya telah dirasakan juga oleh
Indonesia, berupa kenaikan temperatur rata-rata permukaan bumi di Indonesia sebesar 0,3
derajat Celsius dibandingkan tahun 2000, kemarau panjang, tingkat curah hujan yang ekstrem
yang mengakibatkan antara lain banjir dan tanah longsor, wabah penyakit flu burung.
Selama ini tata kelola hutan dan lahan marak dengan persoalan termasuk tumpang tindih
peraturan dan kebijakan, permasalahan tenurial yang belum jelas, kurang terkoordinasi
masalah data dan peta, kurangnya kapasitas teknis pada pemerintahan daerah tertentu,
kurangnya transparansi dan partisipasi masyarakat, serta penegakan hukum lemah.
Komitmen semua pihak, khususnya pemerintah harus diwujudkan dengan melakukan tiga
langkah. Pertama, memperbaiki tata kelola kehutanan yang menyangkut perizinan dengan
melibatkan sejak dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah. Distorsi otonomi daerah
175

dalam eksploitasi sumber daya alam, khususnya di sektor pertambangan harus dihentikan
dengan cara membuat tata ruang secara nasional.
Kedua, penegakan hukum atas eksploitasi hutan yang diwujudkan sejak dari pemberian
konsesi hutan sampai dengan penyimpangan penerimaan keuangan negara/daerah harus
ditegakkan tanpa pandang bulu. Kebijakan untuk melakukan koordinasi antara penegak
hukum, BPK, dan BPKP, serta Kementerian Dalam Negeri tidak boleh ditunda, karena ini
adalah langkah preventif sejak dari hulu yang akhirnya berimplikasi pada hilir di sektor
kehutanan.
Ketiga, moratorium pemberian izin konsesi hutan dan izin pengelolaan ekonomi di sektor
kehutanan, seperti hak penguasaan hutan (HPH), dan izin pertambangan harus mendapat
dukungan semua pihak. Sejauh ini tingkat deforestasi dan kerusakan hutan sudah sangat luar
biasa sehingga mengakibatkan rusaknya ekosistem kehutanan. Pertambangan batu bara
adalah salah satu jenis usaha di sektor kehutanan yang mempunyai kontribusi signifikan
terhadap laju rusaknya hutan di satu sisi, dan di sisi lain dengan produktivitas batu bara yang
tidak terkendali mengakibatkan rusaknya mekanisme harga batu bara dalam perekonomian
global, belum lagi pascakegiatan tambang melahirkan rusaknya ekosistem dan sistem nilai
yang sangat merugikan masyarakat di sekitarnya.
Bangsa ini tidak cukup berpikir untuk satu generasi, tetapi juga harus hidup tanpa batas bagi
generasi berikutnya. Tidak ada kata lain kecuali menyelamatkan hutan dan sumber daya alam
bagi ketersediaan jaminan hidup generasi ke depan. Untuk itu, pencegahan deforestasi hutan
harus dilakukan pemerintah dan masyarakat luas. Setujukah Anda?

ALI MASYKUR MUSA


Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

176

Hukuman Mati

Koran SINDO

22 Januari 2015

Ini dongeng klasik Cina. Begini kisahnya. Fu Tun adalah seorang tokoh yang sangat terkenal
di Cina. Ia penganut ajaran Mohisme (didirikan oleh Mo Tze, inti ajarannya tentang cinta
yang universal) dan abdi setia Raja Qin.
Suatu ketika, anak tunggal Fu Tun terlibat perkelahian dengan penduduk setempat sampai
lawannya meninggal dunia. Anak Fu Tun ditangkap. Aturan yang berlaku ketika itu, siapa
yang membunuh, dia harus dibunuh. Namun, karena Fu Tun adalah pejabat yang loyal, Raja
Qin memutuskan untuk mengembalikan persoalan kepada Fu Tun. Kata Raja Qin, Oleh
karena pengabdianmu selama ini dan dengan pertimbangan anakmu adalah anak tunggal, aku
beri kelonggaran kepadamu untuk menangani kasus ini.
Fu Tun tertegun. Dia menjawab, Saya adalah orang yang menghargai dan menempatkan
hukum di atas segala-galanya. Secara pribadi, saya sangat menghargai keputusan Raja dan
saya juga sangat mencintai anak saya. Setelah terdiam sejenak dan menarik napas panjang,
Fu Tun melanjutkan, Tapi, sekali lagi, hukum tidak mengenal keluarga, tidak mengenal
teman, atau siapa pun. Meski kejadian ini merupakan pukulan berat, saya berharap Baginda
Raja tetap menjalankan peraturan yang sudah ditetapkan. Itu lebih besar manfaatnya bagi
bangsa dan negara ini.

177

Mendengar jawaban Fu Tun, sang anak pun meraung-raung memohon ampun kepada
ayahnya dan Raja Qin. Namun Fu Tun bergeming. Dengan berurai air mata, pejabat itu
menyaksikan anak tunggalnya terpaksa dihukum mati.
Mandat Kehidupan
Bicara tentang hukuman mati, negara kita baru saja melakukannya. Tentu ada rasa tidak
nyaman di hati sebagian kita. Apalagi enam terpidana mati karena kasus narkoba itu di-blowup terus sepanjang hari sejak sebelum eksekusi dilakukan pada Minggu (18/1) di hadapan
regu tembak. Tapi mungkin ada gunanya juga untuk menimbulkan sinyal agar tidak
sembarangan terlibat dalam bisnis haram ini.
Melalui televisi, kita bisa menyaksikan liputan detik-detik menjelang dilakukannya eksekusi
tersebut. Di antaranya liputan tentang iring-iringan mobil yang mengangkut para terpidana
menuju titik-titik tempat mereka bakal dieksekusi. Saya, terus terang, tercekam oleh liputan
tersebut. Sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana perasaan para keluarga terpidana
saat menyaksikan liputan tersebut. Iring-iringan tersebut mengangkut kerabat mereka yang
beberapa saat lagi bakal dijemput oleh malaikat maut. Kalau saya saja tercekam, mereka
tentu lebih lagi.
Dan kita masih akan menyaksikan lagi liputan serupa dalam beberapa waktu ke depan. Sebab
untuk tahun ini akan ada 68 narapidana narkoba yang akan dieksekusi. Sebagian di antara
mereka adalah warga negara asing sehingga bakal memicu masalah diplomatik tersendiri.
Menyaksikan liputan tersebut, saya jadi teringat dengan kalimat pertama dalam buku saya,
Self Driving (2014). Bunyinya begini: Kita semua adalah pemegang mandat kehidupan.
Sewaktu dilahirkan, Tuhan hanya bersabda, Inilah hidupmu. Setelah itu kita menjalani
kehidupan kita sendiri. Enam terpidana narkoba yang telah dieksekusi tentu menerima
mandat kehidupan yang sama dengan kita. Hanya mereka memilih jalan kehidupannya
sendiri yang pada akhirnya mengantar mereka sampai ke hadapan regu tembak. Kita tentu
prihatin. Siapakah kita sehingga berhak mencabut hak hidup orang lain?
Hukuman mati tersebut juga membuat negara kita dinilai mundur beberapa tahun ke
belakang. Saat ini jumlah negara yang telah menghapus hukuman mati sudah jauh lebih
banyak ketimbang yang mempertahankannya. Dari 197 negara, sebanyak 129 di antaranya
sudah menghapuskan hukuman mati. Jadi, melaksanakan hukuman mati sama dengan
perbuatan yang melawan arus. Tapi, menurut saya, saat ini kita masih memerlukan pemimpin
yang berani melawan arus. Mengapa?
Kondisi Darurat
Semasa remaja, saya kebetulan kenal beberapa anak sekitar kampung yang sebagian
menganggap saya sebagai kakak. Atau setidak-tidaknya saya dianggap lebih tua. Ketika anakanak itu tumbuh menjadi remaja, saya juga masih mengenalinya. Bahkan beberapa kali kami
178

masih bertegur sapa.


Dalam satu dua kesempatan saat bergosip dengan tetangga di kanan-kiri, saya mendengar
beberapa dari mereka terjerat sebagai pengguna narkoba. Saya mengelus dada. Lalu, tibalah
masanya. Satu per satu dari mereka dipanggil menghadap Ilahi. Mereka meninggal dunia.
Rupanya narkoba bukan hanya membuat mereka kecanduan, tetapi juga merusak organ-organ
dalam tubuhnya. Jantung rusak, pembentukan sel-sel darah terganggu, terjadi pula gangguan
otak, gangguan tulang, gangguan pembuluh darah, gangguan pencernaan, gangguan paru,
gangguan sistem saraf, dan sebagainya. Itu baru gangguan fisik. Belum ditambah dengan
gangguan mental dan kejiwaan. Dengan gangguan sebanyak itu, tak mengherankan kalau
Ilahi akhirnya memanggil mereka.
Itu fenomena yang saya lihat dalam skala sangat mikro. Di kampung-kampung. Dalam skala
makro, fenomenanya lebih mengerikan. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan,
setiap hari 50 penduduk Indonesia meninggal karena penyalahgunaan narkoba. Masih dari
data BNN, selama tahun 2014, jumlah pecandu narkoba di negara kita sudah mencapai 4,5
juta jiwa dengan 1,2 juta di antaranya sudah tidak bisa direhabilitasi. Untuk tahun 2015,
jumlah pecandu ini diperkirakan naik menjadi 5,8 juta jiwa. Dan, ini yang patut dicatat,
sebanyak 75% pecandu tersebut adalah kalangan pelajar dan kelompok penduduk usia
produktif.
Lalu, dari lalu lintas peredaran narkoba di kawasan ASEAN, sebanyak 43% ada di negara
kita. Maka, tak aneh kalau ada anggapan, Indonesia adalah surga para bandar narkoba.
Kalimat Indonesia darurat narkoba jelas tidak berlebihan. Bayangkan, dulu hukuman mati
itu begitu mengerikan kalau kita dengar terjadi di Malaysia. Tapi entah mengapa sekarang
banyak beredar barang haram itu dari Malaysia? Seorang oknum polisi kita yang ditangkap di
Malaysia belum lama ini ternyata bukannya dieksekusi oleh pengadilan Malaysia dengan
hukuman mati, malah dipulangkan ke Tanah Air. Ada apa?
Di Bandara Ngurah Rai Denpasar belum lama ini petugas Bea Cukai memberi tahu saya
bahwa ia baru saja menangkap seorang guru perempuan yang ketahuan membawa dadah.
Mulanya ia diundang oleh organisasi guru di sana dan setelah itu ia pun digarap menjadi
kurir. Sekali lagi, mengapa Malaysia kini menjadi begitu terkesan tidak tegas? Lalu apakah
kecanduan kaum muda terhadap narkoba di sana juga sama seperti di sini? Rasanya tidak.
Maka, saya bangga punya pemimpin yang berani melawan arus dengan tetap menerapkan
hukuman mati. Sonna cosa nostra, kata Don Corleone dalam novel The Godfather. Artinya,
biarlah kita yang mengurus urusan kita sendiri. Bukan orang atau negara lain. Semua bangsa
perlu menjaga kaum mudanya agar kita tumbuh menjadi bangsa yang kompetitif, sehat, dan
bersatu. Bukan yang cacat, penyakitan, dan lumpuh karena narkoba.

179

Hanya, kalau boleh memilih, saya tentu akan jauh lebih bangga kalau suatu saat kelak negara
kita tak perlu lagi menerapkan hukuman mati. Baik untuk kasus-kasus narkoba, pembunuhan
sadis, atau perbuatan kriminal lain termasuk korupsi, tentunya, meski belum ada satu pun
koruptor di negara ini yang dihukum mati. Atau, jangan-jangan, mungkin, kita perlu
menerapkannya satu-dua kali dulu supaya betul-betul jera?

RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

The Man Who Never Meet Strangers

Koran SINDO

22 Januari 2015

Lepas zuhur di Kemchicks Caf, kawasan Kemang. Hanya 1-2 kursi yang kosong. Sebagian
pengunjung sedang menikmati makan siang dengan menu masing-masing. Kami: Om Bob
Sadino, Pak Marlock, dan saya duduk di meja favorit kami bersama, di depan bar.
Om, seperti biasa, duduk menghadap pintu masuk. Menu istimewa saya sesuai pesanan Om,

180

tak pernah berubah. Tenderloin medium well with frenchfries. Aku minta satu dua potong aja,
Jay.
Pintu kaca Kemchicks dibuka seseorang. Seorang perempuan muda muncul dari balik pintu,
diikuti oleh seorang perempuan yang lebih tua. Pasti ibunya, pikir saya. Saya lihat Om
melambaikan tangan ke arah dua perempuan anak-beranak itu. Senyum mengembang di
bibirnya.
Kedua orang yang awalnya hendak bergerak menuju rak-rak aneka produk, kemudian
membelokkan langkahnya ke arah Om. Om bangkit dari kursi, mengulurkan tangannya
kepada kedua tamu Kemchicks yang baru datang, lalu cipika-cipiki. Si ibu menanyakan kabar
dan kesehatan Om. Akrab sekali. Dilanjutkan dengan basa-basi sejenak, kedua tamu itu
diperkenalkan kepada kami sebelum melangkah menuju ruang belanja. Ahaaaai, cuma
salaman doang...
Om duduk kembali, dan saya bertanya. Siapa, Om? Nggak tahu, jawab Om sambil
menggelengkan kepalanya. Gantian saya yang menggelengkan kepala. Bagaimana mungkin
orang yang nggak kenal, bisa akrab bicara, bahkan sampai cipika-cipiki. Tapi belakangan
saya tahu persis, begitulah adanya. Om memang orang yang mudah akrab, dengan siapa saja.
Bagi saya, Om adalah the man who never meet strangers. Bisa jadi, kemampuan
komunikasinya itulah yang membuat pelanggan Kemchicks datang dan datang lagi, tak bisa
pindah ke lain toko. Belum pernah saya melihat pemilik Gelael, Hero, Alfa, Indomaret atau
minimarket lain yang menyambut dengan ramah kehadiran para pelanggannya. Tapi di
Kemchicks, hal seperti itu saya jumpai setiap kali saya ke sana.
Dan, beliau bisa bicara dalam banyak bahasa. Bukan cuma bahasa asing, tapi juga bahasa
daerah. Om lancar bicara bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Mandarin, Korea, dan Jepang.
Sayangnya, saya tidak pernah dengar beliau bicara bahasa Arab. Beberapa bahasa daerah juga
dikuasainya, seperti bahasa Padang, Jawa, Sunda, dan Bali. Waktu di Pontianak, saya sempat
dengar beliau lontarkan beberapa kosakata bahasa Dayak. Karena Om tahu saya orang
Betawi, beliau juga enak sekali bicara lu-gue dengan saya.
Sekitar 18 tahunan saya mengenal Om Bob. Dari tidak kenal, lalu berkenalan di sebuah
seminar dalam perkenalan yang tidak umum. Saat seminar, saya bertanya soal apa yang harus
dilakukan oleh sarjana peternakan yang mau mulai usaha. Jawabannya bukan nasihat, tapi
sebuah kata yang menggelegar bagai petir di siang bolong. Goblok! Ilmunya kamu punya,
tapi praktiknya lebih banyak yang saya lakukan! Itu jawaban sang legenda, Om Bob
Sadino.
Sederhana, tapi dalam menusuk sampai ke dasar hati. Kata orang sekarang, sakitnya tuh di
sini... Beliau tahu persis kepada siapa satu kata itu diarahkan. Bertahun-tahun mendampingi
beliau dalam banyak seminar, saya jadi sedikit tahu salah satu kriteria orang yang pantas
dapat ucapan itu: orang yang banyak pengetahuan, tapi sedikit bertindak!

181

Siangnya, kami makan bersama. Dan perkenalan pun berlanjut, sampai kami dekat bukan
hanya secara pribadi, tapi juga melibatkan keluarga. Setelah saya menulis buku Monyet Aja
Bisa Cari Duit tahun 2009, Om lebih suka menyapa saya dengan Nyet daripada nama saya.
Almarhumah tante, lebih sering menanyakan kabar istri saya dengan Bu monyet ke mana?
Satu hal yang sering dititiptanyakan teman-teman saya di Dompet Dhuafa, adalah soal yang
berkaitan dengan celana buntung dan hem tanpa lengan yang menjadi pakaian kebangsaan
Om. Dengan pakaian seperti itu, memunculkan persepsi bahwa Om bukanlah orang yang
religius. Wong pakaiannya saja mengumbar aurat!
Kedekatan yang cukup lama, mendampingi Om di dalam dan luar negeri membuat saya
menyimpulkan, bahwa Om memang berkehendak dipersepsikan seperti itu. Beberapa kali
saat di kamar hotel di luar kota, saya pergoki beliau sedang salat, dengan caranya sendiri.
Pakai sarung, duduk di kursi dan salat dengan isyarat.
Sejak tante meninggal dunia pertengahan Ramadan 2014, kondisi kesehatan Om menurun
drastis, walau tidak ada penyakit spesifik. Beberapa kali Om keluar-masuk rumah sakit. Senin
dini hari, pukul 01.20, 19 Januari 2015, sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Om kritis di
RSPI. Denyut jantungnya melemah. Lantunan surah Yasin yang dibaca beberapa orang yang
menunggui terdengar pelan. Agaknya malaikat maut sudah harus menjalankan tugasnya.
Menjelang masuk waktu magrib, di redupnya langit Jakarta, Om mengembuskan napas
terakhir. Pelan. Tenang. Di antara orang-orang tercintanya, Om pergi menghadap Sang
Pencipta. Isak tangis pun pecah di ruangan perawatan di RSPI.
Saya tulis sebuah SMS ke istri saya: Om sudah berangkat ... Selamat jalan, our mentor, The
Legend, Bob Sadino. Semoga ilmu yang Om ajarkan menjadi pemberat timbangan akal
kebajikan, seperti tasbih yang tidak pernah berhenti berhitung ...

ZAINAL ABIDIN
Rektor Institut Kemandirian Dompet Dhuafa; Direktur Pengawasan dan Kepatuhan TDA

182

183

Menjejak Perjuangan Khalid ibn Walid

Koran SINDO

23 Januari 2015

Kamis (22/1/2015) Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) menyelenggarakan


silaturahmi nasional tokoh-tokoh KAHMI lintas politik dan profesi. Hadir Wapres Jusuf
Kalla, Ketua Wanbin Golkar Akbar Tanjung, beberapa ketua lembaga negara, beberapa
menteri, dan anggota DPR dan DPD dari KAHMI. Berikut petikan pidato pembukaan Ketua
Majelis Nasional KAHMI Prof Dr Moh Mahfud MD.

184

***
Pertemuan silaturahmi ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk membangun sinergi langkah
warga KAHMI ke dalam satu tujuan meski dalam pilihan-pilihan dan perahu politik serta
profesi yang berbeda.
Silaturahmi kaukus KAHMI ini penting untuk menegaskan bahwa idealisme HMI sebagai
pencetak insan cita harus terus dibangun secara bersama, tak peduli apa pun perahu politik
atau kendaraan organisasi yang dipakai masing-masing. Tentang ini saya ingin mengambil
iktibar (pengibaratan) dari sikap panglima perang Khalid ibn Walid ketika tiba-tiba harus
berhenti sebagai panglima perang dan menjadi serdadu biasa.
Khalid ibn Walid adalah seorang sahabat nabi yang menjadi panglima yang selalu menang
dalam peperangan seperti Perang Muktah, Perang Yarmuk, dan sebagainya. Sepanjang
kariernya sebagai panglima tak sekalipun pasukan Khalid ibn Walid kalah. Karena
keperkasaannya dalam memimpin perang, Khalid ibn Walid oleh Rasulullah dijuluki sebagai
Pedang Allah (Saifullah).
Tetapi, sungguh dramatis, ketika Khalid berada pada puncak prestasinya yang penuh sinar
gemilang, saat ekspansi Islam ke Yaman dan bagi tentara Islam kemenangan sudah tinggal
selangkah lagi, Khalifah Umar ibn Khaththab tiba-tiba memberhentikan Khalid dari
jabatannya sebagai panglima perang.
Umar sendiri sebenarnya pengagum Khalid ibn Walid sehingga dia pernah mengatakan
bahwa takkan pernah ada seorang ibu yang bisa melahirkan anak seperkasa Khalid. Khalid
tak pernah tidur dan membuat orang tidak bisa tidur untuk selalu berjuang, kata Umar.
Tetapi, Umar khawatir terjadi kultus terhadap Khalid ibn Walid karena setiap orang meyakini
Khalid pasti akan menang dalam setiap perang yang dipanglimainya. Maka itu, Umar pun
memutuskan untuk memberhentikan Khalid ibn Walid. Kaum muslimin kecewa dan
mempertanyakan sikap Umar terhadap Khalid itu.
Tetapi, Khalid ibn Walid, sang Pedang Allah, berkata dengan tegar, Saya berperang bukan
untuk Umar. Saya berperang untuk Allah. Sebab itu, jadi panglima atau jadi serdadu biasa
saya akan tetap berjuang di jalan Allah. Khalid pun terus berperang, membawa panji-panji
Islam, meratakan pemahaman dan perasaan bagi umat manusia bahwa Islam adalah agama
yang lurus, penyebar rahmat bagi seluruh alam.
Iktibar yang dapat kita ambil dari episode Khalid ibn Walid itu adalah pada posisi apa pun
kita berada hendaklah tetap berpijak pada nilai dasar perjuangan. Kalaulah ada di antara kita
yang merasa gagal karena kemenangan atau karena kekalahan seseorang dalam kontes politik
misalnya dalam pileg dan pilpres kemarin, kita harus tetap berkata dengan gagah, Saya
berjuang bukan untuk Jokowi atau yang lain bisa mengatakan, Saya berjuang bukan untuk
Prabowo, tapi berjuang untuk Indonesia.

185

Berjuang untuk Indonesia artinya mendukung pemimpin yang telah dipilih oleh rakyat
Indonesia. Siapa pun yang menang atau yang kalah haruslah diterima sebagai kewajaran
dalam proses politik yang demokratis dan kita akan terus berjuang melalui posisi masingmasing karena sebenarnya tujuan kita sama yakni Indonesia yang maju dan jaya.
Kita tidak perlu bermusuhan dan masing-masing kita harus menjadi Khalid ibn Walid untuk
bangsa dan negara, harus terus fokus pada tujuan membangun kesejahteraan rakyat Indonesia
sebagai tujuan konstitusional negara kita. Karena tujuan konstitusional dan tujuan ber-HMI
kita sudah jelas, berdiri dari posisi politik mana pun asal kita konsisten dan istikamah dengan
tujuan itu, hasilnya akan baik.
Kita tidak harus berkumpul di satu lingkaran, tapi bisa berada di lingkaran dan jalan yang
berbeda-beda, namun dengan titik tujuan yang sama: kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Pertemuan silaturahmi ini dimaksudkan untuk menyatukan kesamaan ide dan suasana batin di
antara kita yang berbeda-beda posisi.
Mari memperkuat kalimatun sawa (visi dan langkah yang disinkronkan arahnya ke tujuan
yang sama) melalui pintu-pintu eksekutif, legislatif, yudikatif, auditif, konsultatif, ormas,
LSM, perkumpulan, paguyuban, dan lain-lain. Yang berjuang di lingkungan eksekutif
bekerjalah habis-habisan agar lembaga eksekutif sukses di dalam tugas-tugas
konstitusionalnya. Begitu pun yang ada di lembaga legislatif atau lembaga lain, bekerjalah
secara lurus dan istikamah agar lembaga yang digelutinya sukses pula meraih tujuan-tujuan
konstitusional kita.
Semua berangkat dari idealisme HMI untuk menuju idealisme HMI pula yakni Indonesia
sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur, bukan Indonesia sebagai baldatun
sayyiatun wa rabbun rujuum. Indonesia sebagai negara sejahtera yang mendapat ampunan
Tuhan bukan Indonesia sebagai negara terpuruk yang dilaknat oleh Tuhan.
Tugas-tugas ke-HMI-an untuk membangun insan akademis pencipta dan pengabdi sangatlah
luas, tak terbatas pada soal-soal politik. Itulah sebabnya pada malam ini MNKAHMI
meluncurkan pula Gerakan Wakaf yang akan didedikasikan pada upaya membangun
lembaga pendidikan (ambisinya, membangun universitas) dan pelayanan kesehatan
(ambisinya, membangun rumah sakit) dengan harapan dapat digelindingkan oleh seluruh
warga KAHMI demi khidzmah bagi bangsa dan negara.

MAHFUD MD
Ketua Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)

186

Anda mungkin juga menyukai