Seperti berulang-ulang telah saya nyatakan sendiri, Pendidikan adalah tempat persemaian segala
benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Dengan maksud agar segala
unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya. Dan dapat kita
teruskan kepada anak cucu kita yang akan datang. Dalam pada itu, sudah pada waktu berdirinya
Tamansiswa saya beranggapan (dan ini tidak disinggung-singgung oleh Prof. Sardjito), bahwa
kemerdekaan nusa dan bangsa untuk mengejar keselamatan dan kebahagiaan rakyat, tidak mungkin
tercapai hanya dengan jalan politik.
bahwa para penguasa bangsa Belanda di Indonesia sebenarnya sama sekali tidak memperhatikan
soal pendidikan kebudayaan. Mereka sematamata mementingkan pengajaran, yang intelektualitas
serta materialistis, karena pendidikan di situ semata-mata berupa pendidikan intelek. Dalam
keadaan yang sedemikian, anak-anak dan pemuda-pemuda kita, yang di rumah keluarganya, masih
dapat mengecap suasana kultural tetap mendapatkan pengaruh dari segala apa yang terus hidup di
dalam berbagai tradisi kebudayaan, sekalipun dalam lapangan ini belum ada pendidikan yang
modern. Keuntungan dari keadaan tersebut ialah, bahwa banyak pemimpin-pemimpin di zaman
sekarang itu tidak terasing atau kehilangan dasar-dasar nasionalismenya. Ini bukan barang “aneh”,
sebaliknya hal yang “logis” yang dapat dimengerti, hal biasa, hal yang semestinya.
Semoga soal ini kita perhatikan secukupnya, yaitu bahwa disamping pendidikan kecerdasan pikiran
harus ada pendidikan yang kultural. Jangan sampai kita hanya meniru sistem pendidikan dan
pengajaran yang sepi pengaruh kebudayaan, seperti yang kita alami di zaman Belanda, dengan
pendidikannya yang intelektualis, materialise dan kolonial itu.
Baiklah di sini kita sadari, bawah pendidikan dan pengajaran secara Barat tidak boleh mutlak kita
anggap jelek. Banyak ilmu pengetahuan yang harus kita kejar, sekalipun dengan melalui sekolah-
sekolah Barat. Kita mengerti, bahwa juga di Indonesia kini masih banyak pendidikan dan pengajaran
yang dilakukan secara sistem Barat. Ini tidak mengapa, asalkan kepada anak-anak kita diberi
pendidikan kultural dan nasional, yang semua-semuanya kita tujukan ke arah keluhuran manusia,
nusa dan bangsa, tidak dengan memisahkan diri dari kesatuan kemanusiaan. Untuk dapat mencapai
tujuan ini cukuplah di sini saya nasehatkan: didiklah anak-anak kita dengan cara yang sesuai dengan
tuntutan alam dan zamannya sendiri. Di samping itu pelajarilah hidup kejiwaan rakyat kita, dengan
adat istiadatnya yang dalam hal ini bukannya kita tiru secara mentah-mentah, namun karena bagi
kita adat istiadat itu merupakan petunjuk-petunjuk yang berharga.
Saudara Ketua, janganlah sekali-kali orang mengira, bahwa kita harus menolak pengaruhpengaruh
kultural dari dunia luar umumnya, dunia Barat khususnya. Jangan sekali-kali! Sebaliknya janganlah
kita memasukan bentuk, isi dan irama dari luar yang tidak perlu. Dalam hal ini kita wajib
mewujudkan kepada dunia, bahwa kita cukup bebas dan merdeka serta berdaulat, untuk memilih
sendiri segala apa yang kita perlukan.
Pada hal pendidikan dan pengajaran itu sebenarnya harus bersifat pemeliharaan tumbuhnya benih-
benih kebudayaan.
Dalam pendidikan, seorang guru harus mampu mendidik sesuai kodrat alam dan kodrat zaman.
Kodrat alam merupakan lingkungan tempat pesserta didik berada, baik kultur budaya maupun
kondisi alam geografisnya. Kodrat alam juga berhubungan dengan karakter dasar yang dimiliki
seorang anak atau peserta didik yang tentunya berbeda satu sama lain, ada yang disiplin,
bertanggung jawab, rajin, jujur, malas, pemalu, penakut, pasif dan sebagainya. Mengajar dengan
menyesuaikan dengan kodrat alam peserta didik adalah sesuatu yang penting dilakukan oleh
seorang guru, sebab apa yang disampaikan seorang gurulah yang akan menentukan perkembangan
dari dasar yang dimiliki peserta didik ini menuju ke arah yang lebih baik atau justru sebaliknya. Oleh
karena itu, seorang guru perlu menjadi model yang bisa dicontoh sehingga menjadi teladan bagi
peserta didik.
Adapun kodrat zaman diartikan sebagai perubahan dari waktu ke waktu. Seorang guru perlu
membekali peserta didik sesuai dengan zamannya agar mereka mampu berkarya dan menyesuaikan
diri. Dalam konteks pendidikan zaman ini, seorang guru perlu menguasai teknologi dan
menerapkannya dalam proses pembelajaran, terutama kecendurangan peserta didik sekarang
adalah mereka lebih banyak menghabiskan waktu menggunakan teknologi untuk berbagai macam
kepentingan. Untuk itu, guru harus memanfaatkan momentum seperti itu untuk melakukan strategi
pengajaran yang sesuai dengan minat dan kecenderungan peserta didiknya. Meskipun
menyesuaikan dengan perkembangan zaman, tetapi guru juga harus mampu menyeimbangkannya
dengan tetap memperhatikan kearifan lokal sesuai dengan tagline: berwawasan global dan
berkearifan lokal. Artinya guru harus melahirkan peserta didik yang wawasannya membentang luas
tetapi tetap berdiri tegak menjujung nilai-nilai luhur bangsanya.
Pendidikan. Inilah suatu bentuk dari sifat "Bhineka Tunggal Ika". Identitas manusia Indonesia yang
lahir,tumbuh dan berkembang dalam kebhinekatunggalikaan mestinya selaras dengan apa yang
disampaikan Ki Hajar Dewantara. Juga pemaknaan dari Pendidikan adalah tempat persemaian
segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan.
Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dimana manusia tertaut dengan
tingkah laku, norma dan ajaran budaya. Oleh karena itu pendidikan sendiri sebenarnya saling
terintegrasi dengan kebudayan, pendidikan selalu berubah sesuai perkembangan kebudayaan.
Karena pendidikan merupakan proses transfer kebudayaan dan sebagai cermin nilai-nilai
kebudayaan.
Dalam prespektif pendidikan, bermacam sosio kultural di Indonesia justru dimaknai sebagai salah
satu upaya untuk mengurangi pengaruh budaya asing dengan menerapkan pembelajaran
sosiokultural untuk menuntun dan membentuk karakter peserta didik.
Kebhinekatunggalikaan
“Makna manusia Indonesia Lahir, Hidup dan Berkembang dalam Kebhinekatunggalikaan” adalah
ungkapan yang menekankan pentingnya persatuan dan kebersamaan dalam masyarakat Indonesia.
Idealnya adalah bahwa sebagai manusia, kita semua terhubung dan saling bergantung, dan bahwa
kita harus bekerja sama dan saling mendukung untuk berkembang dan sukses. Konsep persatuan
ini tercermin dalam semboyan bangsa Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", yang berarti "persatuan
dalam perbedaan". Itu mengingatkan kita bahwa terlepas dari perbedaan kita, kita semua adalah
manusia yang sama, dan dengan bersatu dan bekerja menuju tujuan bersama, kita dapat
membangun masyarakat yang lebih kuat dan lebih hidup.
Manusia Indonesia sebagai Manusia Pancasila adalah konsep yang menggambarkan sikap, tingkah
laku, dan prinsip yang harus dipegang oleh setiap warga negara Indonesia yang berkiblat dengan
Pancasila sebagai dasar negara. Oleh karena itu, sebagai Manusia Pancasila harus memahami dan
menghargai prinsip-prinsip ini, dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini termasuk
menghargai hak asasi manusia, berkontribusi untuk kemajuan dan kebersamaan dalam masyarakat,
serta menghargai perbedaan-perbedaan budaya dan agama yang ada di Indonesia.
Pancasila menjadi entitas dan identitas bangsa Indonesia dalam kebhinekaan dalam
setiap latar belakang kehidupan sosial-budaya, ekonomi dan agama. Profil Pelajar
Pancasila yaitu Beriman, Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia;
Berkebinekaan Global; Gotong Royong; Kreatif; Bernalar Kritis dan Mandiri menjadi profil
lulusan pelajar dalam pendidikan Indonesia
Pendidikan demi kesatuan bangsa adalah pendidikan yang bertujuan untuk membangun persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia. Hal ini sangat penting karena Indonesia merupakan negara yang
terdiri dari beragam suku, ras, agama, dan budaya yang berbeda-beda. Pendidikan demi kesatuan
bangsa bertujuan untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut dan membangun rasa
persatuan di antara seluruh warga negara Indonesia. Pendidikan demi kesatuan bangsa juga harus
mampu menanamkan nilai-nilai toleransi dan keberagaman dalam diri siswa, sehingga mereka
dapat menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan demikian, pendidikan
demi kesatuan bangsa akan membantu dalam membangun keharmonisan di tengah-tengah
masyarakat Indonesia.
Sekolah Kembang memberikan pandangan akan sebuah konsep pendidikan yang menekankan pada
perkembangan individu sebagai individu yang merdeka dan memiliki kemampuan untuk berpikir
kritis dan mandiri. Prinsip-prinsip pendidikan dalam "Sekolah Kembang" mencakup memberikan
pengalaman belajar yang menyenangkan, memberikan kesempatan untuk belajar melalui
pengalaman, dan memberikan dukungan yang diperlukan untuk mencapai potensi maksimal siswa.
Konsep ini dianggap sebagai pendidikan yang memerdekakan karena memberikan kesempatan
yang sama bagi semua siswa untuk berkembang sebagai individu yang kompeten dan merdeka.
Sekolah Erudio berpendapat bahwa pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang
bertujuan membuat setiap siswa bisa belakar tanpa paksaan sesuai dengan cita-cita dan harapan
hidupnya. Cara belajarnya harus yang nyaman dan sesuai dengan dirinya, membuat mereka belajar
hidup mandiri dan merdeka dari tekanan agar bisa berkontribusi dalam masyarakat dengan peran
dan tanggung jawab sesuai kodrat dan jati dirinya dan bertujuan agar mereka bisa tidak hanya
sebagai pelajar yang mandiri, tapi mereka mampu membangun kemandirian dan kemerdekaan dari
masyarakat dimana dia berada. Menjadikan anak manusia seutuhnya yang dapat beradaptasi
dengan segala perubahan dan bisa menerapkan prinsip prinsip ketuhanan, kemanusiaan,
kesetaraann dan keadilan sosial dalam kehidupan sehari hari. Pada intinya, tujuan belajar Erudio
Indonesia adalah membantu para siswa untuk menemukan jati diri, kodrat hidup dan menentulan
perannya dalam masyarakat yang sesuai dengan prinsip pembelajaran yang memerdekakan peserta
didik.