Anda di halaman 1dari 38

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN KEMISKINAN DAN KORUPSI PUNGUTAN LIAR

Anggota Kelompok:

Arvin Sahadi (00000070246)

Ferdinand Dwidiantra Sukardi (00000071085)

Dwi Putri Cahyani (00000070847)

Aurellia Shabrina Nurfitriani (00000071156)

Jonathan Ridcho Andreas Marpaung (00000088706)

Muhammad Hanief Alif Sampayya (00000071355)

CIVICS-UM163

Manajemen D - 2022

Fakultas Bisnis

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

TANGERANG

2022

i
Lembar Pengesahan

Proposal penelitian yang berjudul “Hubungan Kemiskinan dan Korupsi


Pungutan Liar” telah disahkan dan disetujui pada:

Hari :

Tanggal :

Disetujui oleh :

Ketua Dosen PKM Dosen Pancasila

(Agustinus Sugeng Priyono,


B.A.; S.Pd.; M.Th.; M.Hum.; M.Pd.) (Christian Siregar, S.Th, M.Pd.)

NIDN : L00381 NIDN : L00591

Dosen Religiositas Dosen English 1

(Faustinus Sirken, S.S., M.A.) (Dwi Rahayu, S.Pd., M.A. )

NIDN : L01034 NIDN : 0414107904

Ketua Kelompok

(Ferdinand Dwidiantra Sukardi)

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul……………………………………………………………….i

Lembar Pengesahan……………………………………………………………ii

Daftar Isi………………………………………………………………………iii

BAB 1: PENDAHULUAN………..……………………………………………1

1.1 Latar Belakang...……………………………………………………….1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….…..5

1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………….…5

1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………...5

1.5 Metode Penulisan………………………………………………………6

1.6 Sistematika Penulisan…………………………………………………..6

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….7

2.1 Definisi Korupsi………………………………………………………..7

2.2 Jenis - Jenis Korupsi……………………………………………………8

2.3 Penyebab Korupsi………………………………………………………9

2.4 Dampak Korupsi………………………………………………………..9

2.5 Pengertian Kemiskinan………………………………………………..10

2.6 Penyebab Kemiskinan………………………………………………….11

2.7 Dampak Kemiskinan…………………………………………………...12

2.8 Pengertian Pungutan Liar………………………………………………14

2.9 Penyebab Pungutan Liar……………………………………………….15

2.10 Dampak Pungutan Liar……………………………………………….15

iii
2.11 Korupsi Menurut Perspektif Kewarganegaraan………………………16

2.12 Korupsi Menurut Perspektif Pancasila……………………………….18

2.13 Korupsi Menurut Perspektif Religiusitas…………………………….19

BAB 3 : METODE PENELITIAN……………………………………………..23

3.1 Metode Pengumpulan Data……………………………………….……23

3.2 Metode Analisis Data…………………………………………….…….23

3.3 Cara Penafsiran…………………………………………….…………..24

3.4 Penyimpulan Hasil Penelitian………………………………………….24

3.5 Pertanyaan Untuk Responden…………………………………………24

BAB 4 : JADWAL KEGIATAN………………………………………………..25

4.1 Jadwal Kegiatan………………………………………………….…….25

4.2 Biaya Kegiatan…………………………………………………………25

BAB 5 : DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………26

LAMPIRAN……………………………………………………………………27

iiii
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah


penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi,
yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Definisi
lainnya dari korupsi disampaikan World Bank pada tahun 2000, yaitu “korupsi
adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi". Definisi
World Bank ini menjadi standar internasional dalam merumuskan korupsi.
Dewasa ini korupsi telah menjadi hal yang tabu. Dapat dilihat, perwujudan dan
praktik korupsi mendominasi kemampuan kita untuk menggambarkannya. Di
Indonesia, korupsi menjadi masalah yang cukup parah hingga tak terhitung lagi.
Hampir setiap hari berita tentang korupsi disiarkan oleh semua media. Bahkan
korupsi dianggap biasa dan dimaklumi banyak orang sehingga masyarakat sulit
membedakan nama perbuatan korupsi dan mana perbuatan yang tidak korup.
Meskipun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beberapa
instansi anti korupsi lainnya, faktanya negeri ini menduduki peringkat teratas
sebagai negara terkorup di dunia, yaitu peringkat 96 dari 180 negara. Tindak
korupsi di negeri ini bisa dikatakan mulai merajalela dan yang lebih
memprihatinkan adalah korupsi hal yang sepele. Berbagai upaya telah dilakukan
oleh KPK namun korupsi masih saja merajalela.

Banyak faktor yang bisa mendorong seseorang untuk melakukan tindak


korupsi. Salah satunya ialah faktor kemiskinan yang tinggi di Indonesia.
Kebutuhan dan pendapatan setiap orang tentu berbeda. Apalagi semenjak
pandemi terjadi kebutuhan masyarakat semakin meningkat dan perekonomian
dunia menjadi tidak stabil. Faktor seperti ini tentu dapat mendorong seseorang
untuk melakukan tindak korupsi agar dapat memenuhi kebutuhan sehari -
harinya.

Di Indonesia sendiri terdapat banyak kasus korupsi yang menyebabkan


kerugian hingga triliunan. Salah satu kasus korupsi paling sederhana yang ada
adalah pungutan liar. Hal ini sudah menjadi salah satu bentuk tindak pidana yang
sudah sangat akrab terdengar di telinga masyarakat. Walaupun dalam Kitab
Undang - Undang Hukum Pidana atau KUHP telah dicantumkan bahwa tidak
satupun ditemukan pasal mengenai tindak - tindak pidana pungutan liar. Tetapi,
pada dasarnya pungutan liar dan korupsi merupakan perbuatan yang sama,
2

dimana kedua perbuatan itu sama - sama menggunakan kekuasaan demi


mencapai tujuan untuk memperkaya diri. Contoh konkretnya adalah adanya
pungli seputar pemberian izin ke PKL. Syukri Fadholi Wakil Walikota
Yogyakarta pada saat diskusi publik tentang PKL di Kantor Humas dan
Informasi Kota Yogyakarta beberapa waktu lalu. Syukri mengatakan bahwa ia
mendapatkan laporan dari masyarakat tentang adanya pungli seputar pemberian
izin ke PKL. Slamet sebagai Ketua PPKLY menyatakan secara detail proses
dilakukannya pungli ketika petugas membagikan formulir ke PKL untuk proses
pemberian izin tersebut pungli itu terjadi. Mereka diwajibkan membayar Rp
25.000 lalu ditarik pula tambahan biaya pengurusan lainnya sebesar Rp 12.500,
sehingga total pungli tiap bulannya sebesar Rp 25.000.

Upaya pemberantasan korupsi sekarang hanya sebatas lewat penuntutan


korupsi, padahal yang dibutuhkan sekarang ini adalah pemikiran dan kepekaan
setiap orang untuk patuh pada undang-undang korupsi. Kinerja KPK, kepolisian,
dan kejaksaan dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi sangat terbatas.
Hukuman koruptor dari tahun ke tahun semakin ringan, divonis hakim rata-rata
2 tahun 1 bulan selama Januari-Juni 2016 dari 325 perkara (ICW, 2017). Tren
vonis ringan koruptor itu tidak banyak berubah di berbagai tingkat pengadilan
2012-2016. Bangsa Indonesia sekarang butuh generasi yang berakhlak mulia,
dalam artian memiliki perilaku dan sikap yang baik dan mulia. Kesadaran
tersebut membuat pemerintah berpikir ulang tentang bagaimana langkah yang
tepat untuk menciptakan hal tersebut. Lebih khusus kepada penanaman nilai anti
korupsi pada setiap warga negara bangsa. Namun masalahnya adalah
membentuk hal tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Korupsi memang
masih terdapat di generasi sekarang, tetapi di generasi yang akan datang semoga
kita hanya akan melihat kejahatan korupsi, kemiskinan dan ketimpangan sosial
pada deretan diorama di Museum Nasional. Harapan segenap bangsa ini adalah
dimana korupsi tidak akan terjadi lagi di generasi berikutnya. Lain sisi,
penindakan korupsi sekarang ini belum cukup dan belum mencapai sasaran,
hingga pemberantasan korupsi perlu ditambah dengan berbagai bidang.

Sejak tahun 2015, Universitas Multimedia Nusantara telah berinovasi


untuk menanamkan prinsip 5C kepada seluruh bagian Kompas Gramedia.
Prinsip ini mengandung nilai Caring, Credible, Competent, Competitive, dan
Customer Delight. Prinsip 5C didasarkan pada filosofi Humanisme
Transendental yang berarti berperi kemanusiaan, berdasarkan keyakinan akan
Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menyelenggarakan sesuatu. Salah satu tujuan
penelitian ini yaitu mengenai hubungan kemiskinan dengan korupsi pungutan
liar sebagai bentuk implementasi nilai 5C. Terkait dengan itu, terdapat 3 nilai 5C
yang menonjol dalam penelitian ini, yaitu Caring, Credible, dan Competent.
3

Sebagai mahasiswa, kami mengimplementasikan nilai caring dengan cara


melakukan wawancara kepada masyarakat khususnya pedagang kaki lima,
wawancara ini adalah bentuk rasa peduli kita agar masyarakat dapat bertindak
dan lebih waspada jika mereka kedepannya menjadi korban dari praktik pungli
lagi. Serta kami mengimplementasikan nilai credible dengan cara mengambil
informasi mengenai praktik pungli dengan akurat karena kami mewawancarai
langsung pihak yang pernah terlibat dalam kasus tersebut. Selain itu kami
dengan senantiasa menjaga identitas dari para narasumber, hal ini bertujuan
untuk menjaga keamanan mereka. Selain itu, kami mengimplementasikan nilai
Competent dengan cara mengutamakan kerja sama antar anggota kelompok
untuk hasil yang terbaik. Dengan cara ini, besar kemungkinan hasil penelitian ini
akan menambah wawasan dan pengetahuan yang luas atas praktik pungutan liar
sehingga dapat diantisipasi.

Sebaliknya, dalam sudut pandang tindak korupsi dan pungutan liar tentu
bertentangan dengan nilai Caring, Credible, dan Competent. Tidak sesuai karena
dalam prinsip 5C, Caring berarti peduli dengan orang lain atau demi kepentingan
orang lain. Sedangkan, tindak korupsi dan pungutan liar merupakan tindakan
yang egois karena hanya mementingkan keuntungan diri sendiri dan merugikan
orang lain. Maka dari itu kami mengkaji penelitian ini dan melakukan
wawancara agar masyarakat lebih sadar dan waspada akan pungli. Sehingga,
korban pungutan liar yang tidak sadar bahwa dirinya telah menjadi korban dapat
mengetahuinya dan mengantisipasi agar tidak terkena praktik tercela ini lagi.

Lalu, tidak sesuai dengan prinsip Credible karena nilai tersebut berarti
dapat dipercaya dan diandalkan oleh masyarakat. Sedangkan, tindak korupsi
pungutan liar membuat resah masyarakat dan apabila lembaga pemerintah tidak
segera menindak lanjuti dengan baik dan benar, akan terjadi krisis kepercayaan
kepada lembaga pemerintah tersebut dan biasanya masyarakat tidak percaya lagi
kepada lembaga pemerintah karena pelaku tindakan pungli tidak dijatuhkan
hukuman yang sebanding dengan perbuatannya, sehingga masyarakat tidak lagi
percaya pada proses hukum yang berlaku. Maka dari itu, penelitian ini dikaji
agar dapat memberikan informasi kepada lembaga pemerintah mengenai kasus
pungutan liar. Sehingga, diharapkan para lembaga pemerintah dapat mengambil
langkah selanjutnya untuk mengatasi kasus pungutan liar yang masih kerap
meresahkan masyarakat. Serta tidak sesuai dengan Competent karena nilai
tersebut berarti melakukan pekerjaan dengan sikap bertanggung jawab dan
profesional. Namun perilaku korupsi berupa pungli berarti tidak melakukan
tugasnya dengan baik karena hanya mencari keuntungan untuk dirinya sendiri
dengan merugikan masyarakat. Maka dari itu, penelitian ini dikaji agar dapat
menambahkan wawasan dan pengetahuan terkait pungutan liar agar masyarakat
menjadi pribadi yang profesional sehingga tidak melakukan praktik tersebut.
4

Korupsi sebagai suatu tindakan yang melanggar hukum dalam artian


untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain (korporasi) yang dapat merugikan
perekonomian negara. Penyalahgunaan wewenang menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya korupsi, karena ia menganggap bahwa dirinya
yang berkuasa atas jabatan yang diberikan tersebut sehingga hal tersebut
membuat terjadinya tindakan korupsi. Peran pengawasan merupakan salah satu
strategi yang efektif. Transformasi digital pelayanan publik untuk memindahkan
proses manual menjadi proses berbasis sistem akan menutup ruang intervensi
pribadi sehingga dapat meminimalisir terjadinya praktik Trading in Influence.
Oleh karena itu penyalahgunaan kekuasaan harus segera dihilangkan karena
dapat bertentangan dengan hukum. Dalam perspektif kewarganegaraan korupsi
berhubungan dengan identitas nasional, Seperti yang kita ketahui identitas
nasional merupakan jati diri nasional yang dimiliki oleh suatu bangsa yang
membedakan suatu bangsa dengan bangsa yang lainnya. Saat ini korupsi sering
terjadi yang menjadikan bangsa Indonesia kehilangan jati diri dan identitasnya
karena korupsi yang telah membudaya di Indonesia. Tetapi bagaimanapun itu
korupsi bukan jati diri bangsa tapi sisi negatif dari kebiasaan yang dilakukan oleh
seseorang. Lalu korupsi juga telah melanggar hak asasi manusia (HAM), dimana
hak asasi manusia merupakan hak yang harus dijaga atau dijunjung tinggi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang. Dikatakan bahwa korupsi
berhubungan dengan HAM karena telah terjadi perampasan terhadap hak-hak
masyarakat atas hak ekonominya.

Nilai religius dapat dikatakan sebagai nilai mutlak dan tertinggi yang
bersumber langsung dari kepercayaan agama. Terkait hal ini, masing - masing
agama memiliki perspektif yang berbeda terhadap korupsi. Dalam agama Islam,
korupsi dikenal sebagai ghulul yang awalnya bermakna mengambil sesuatu dari
harta hasil perang sebelum dibagikan. Semenjak itu, kata ghulul selalu
disebutkan untuk setiap perbuatan curang dalam suatu urusan. Lalu, dalam
pandangan agama Kristen, menyebutkan sebesar apapun kekuasaan yang ada,
korupsi tetaplah tindakan penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi juga disebutkan
dalam firman Tuhan: "Jika iya, hendaklah kamu katakan iya. Jika tidak,
hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat"
( Matius 5 : 37 ). Lalu, dalam agama Hindu disebutkan bahwa korupsi
merupakan hal yang mengumbar hawa nafsu misalnya mencuri, berzinah, madat,
berjudi dan sebagainya. Hal ini adalah salah satu aturan dalam PancaSila
Buddhis yang perlu dihindari oleh umatnya. Begitu pula dengan agama Buddha,
yang dimana perspektifnya terhadap korupsi memiliki makna yang tidak jauh
beda dari agama Hindu, yaitu melanggar aturan moralitas. Dari beberapa agama
yang disebutkan sebelumnya, tindakan korupsi tentu sangat bertentangan dengan
ajaran agama manapun juga. Semua agama sepakat bahwa mengambil hak yang
5

bukan miliknya dan menimbulkan kerugian bagi banyak orang merupakan


perbuatan yang dilarang dan berdosa.

Dalam pancasila terdapat lima sila yang masing-masing memiliki arti


yang berbeda tetapi memiliki satu tujuan yaitu mewujudkan dan mewujudkan
cita-cita negara Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan, korupsi adalah salah
satu penipuan paling umum di Indonesia. Tindakan ini tidak hanya melanggar
peraturan negara tetapi juga melanggar ideologi dan prinsip Pancasila. Dengan
menyimpang dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan Pancasila, maka
akan menghancurkan cita-cita yang diidam-idamkan oleh negara dan bangsa dari
masa ke masa. Oleh karena itu, ada hal penting dalam tindakan korupsi terhadap
Pancasila, yaitu dengan melakukan tindakan korupsi kita sama saja dengan
menghancurkan Pancasila yang dengan susah payah diciptakan oleh para
founding fathers bangsa kita yang berjuang mati-matian.

Maka dari itu, dilakukanlah riset mengenai korupsi ini untuk


memperoleh pengetahuan tentang berbagai tindakan korupsi yang terjadi dan
sebagai pembuktian atau pengujian terhadap kebenarannya. Hal ini sangat
diperlukan sebagai dasar dalam pengambilan data tentang caranya menjalankan
tugas sebagai pejabat pemerintahan. Serta riset ini juga meliputi pertanyaan
tentang bagaimana tanggapan beliau tentang maraknya kasus korupsi di
Indonesia dan bagaimana cara beliau mencegah tindak korupsi di wilayah
lingkungan kerjanya.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari permasalahan yang diangkat, dapat dirumuskan


masalah sebagai berikut:

1) Apakah kasus pungutan liar masih kerap terjadi, terutama kepada


pedagang kaki lima?
2) Siapa kelompok oknum yang masih menyelenggarakan praktik pungutan
liar, sebagai mata pencahariannya?
3) Apa saja faktor terbesar yang menyebabkan terjadinya fenomena
pungutan liar?
4) Bagaimana cara para pedagang kaki lima dalam menanggapi praktik
pungutan liar yang kerap menjadikan mereka sebagai target kriminalnya?
5) Bagaimana tindak pidana untuk menyelesaikan kasus pungli yang masih
kerap terjadi terhadap pedagang kaki lima?

1.3 Tujuan Penelitian


6

Tujuan dari penelitian yang ingin dilakukan mengenai permasalahan,


dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Untuk memenuhi persyaratan nilai tugas mata kuliah Studi Humaniora.
2) Untuk mengetahui kasus pungutan liar yang kerap terjadi di pedagang
kaki lima.
3) Untuk mengetahui siapa saja kelompok oknum yang masih
menyelenggarakan praktik pungutan liar.
4) Untuk mengetahui faktor terbesar terjadinya fenomena pungutan liar.
5) Untuk mengetahui cara pedagang kaki lima dalam menanggapi praktik
pungutan liar.
6) Untuk mengetahui tindak pidana untuk menyelesaikan kasus pungli.

1.4 Manfaat Penelitian


Laporan penelitian ini memiliki berbagai manfaat baik bagi peneliti,
pembaca, objek yang diteliti, maupun pemangku kebijakan.
a. Bagi Peneliti
Laporan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan
memperluas wawasan, serta meningkatkan kemampuan dalam
mengintegrasikan sumber bacaan dengan gagasan sendiri dan berlatih
menggabungkan beberapa referensi bagi peneliti.
b. Bagi Pembaca
Laporan ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat
kesadaran dan kewaspadaan pembaca terhadap pungutan liar yang kerap
terjadi dalam masyarakat.
c. Bagi Objek Penelitian
Laporan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi para korban
pungutan liar agar kedepannya berani melaporkan tindak korupsi ini
kepada pihak yang berwajib.
d. Bagi Pemangku Kewajiban
Laporan ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemangku
kewajiban mengenai kasus pungutan liar. Sehingga, diharapkan
pemangku kewajiban dapat mengambil langkah selanjutnya untuk
mengatasi kasus pungutan liar yang kerap terjadi dan meresahkan
masyarakat.

1.5 Metode Penulisan


Dalam penyusunan proposal ini, metode yang digunakan adalah metode
kualitatif berupa observasi. Metode ini berupa pengamatan langsung ke lapangan
dimana biasanya tindak pungutan liar paling sering terjadi. Selain itu, metode
yang digunakan adalah metode wawancara. Kami memilih pedagang kaki lima
sebagai objek wawancara.
7

1.6 Sistematika Penulisan


● Bab 1: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
● Bab 2: Tinjauan Pustaka yang terdiri dari definisi korupsi, jenis-jenis
korupsi, penyebab korupsi, dampak korupsi, pengertian kemiskinan,
penyebab kemiskinan, dampak kemiskinan, pengertian pungutan liar,
penyebab pungutan liar, dampak pungutan liar, korupsi menurut
perspektif Kewarganegaraan, korupsi menurut perspektif Pancasila, dan
korupsi menurut perspektif Religiusitas.
● Bab 3: Metode Penelitian yang terdiri dari teknik pengumpulan data dan
analisis data, cara penafsiran, penyimpulan hasil penelitian, dan
pertanyaan untuk responden.
● Bab 4: Jadwal Kegiatan 3 minggu yang disusun dalam bentuk bar chart
untuk rencana penelitian yang diajukan, serta laporan biaya kegiatan.
● Bab 5: Daftar Pustaka yang disusun berdasarkan sistem nama dan tahun,
dengan urutan abjad nama pengarang, tahun, judul tulisan, dan sumber.
8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Korupsi


Korupsi dapat diartikan dalam berbagai perspektif yang berbeda - beda.
Korupsi dalam perspektif etimologi berasal dari bahasa latin “Corruptio”
(Fackema Andrea : 1951) atau “Corruptus” (Webster Student Dictionary :
1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “Corruption” berasal dari kata
“Corrumpere”, suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin tersebut
kemudian dikenal istilah “Corruption, Corruptie” (Inggris), “Corruption”
(Perancis) dan “Corruptie/Korruptie” (Belanda), yang berarti kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian.
Sedangkan, pada perspektif hukum pengertian korupsi telah dijabarkan di
UU No. 31 Tahun 1999 dan diubah menjadi UU No, 20 Tahun 2001 yakni tindak
pidana yang memenuhi unsur-unsur seperti perbuatan melawan hukum,
penyalahgunaan kekuasaan, kesempatan atau fasilitas, memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau bisnis, merugikan keuangan atau ekonomi pemerintah. Oleh
karena itu, arti kata korupsi dalam lingkup politik adalah sesuatu yang bersifat
tidak bermoral, sifat dan keadaan yang tidak benar, yang menyangkut status
badan dan lembaga pemerintahan, mengangkut berbagai faktor seperti ekonomi
dan politik, seperti penempatan keluarga dan golongan ke dalam kedinasan di
bawah kekuasaan jabatan.
Sedangkan, dalam definisi Mushtaq Khan, dalam bukunya yang berjudul
a Typology of Corrupt Transactions in Developing Countries ( April 1996 ) ,
korupsi adalah penyimpangan dari aturan formal perilaku yang mengatur
perilaku orang-orang dalam posisi kekuasaan publik dengan motif pribadi,
seperti kesejahteraan, kekuasaan atau status. Konsep yang lebih sederhana
tentang korupsi dikemukakan oleh Senturia (1993) dalam Jeremy Pope (2003)
bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, kepercayaan untuk
keuntungan pribadi. Selain itu, Kartini Kartono (2002) juga memberi pengertian
yang hampir sama dengan Senturia, bahwa korupsi adalah tingkah laku individu
yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum dan negara.
Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa korupsi mengacu
pada perilaku atau tindakan yang ditujukan pada seseorang, yang mewakili
negara atau otoritas publik untuk kepentingan pribadi.

2.2 Jenis - Jenis Korupsi


Menurut Alatas (1987) dari segi tipologi, membagi korupsi ke dalam
tujuh jenis yaitu:
9

a. Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjuk kepada adanya


kesepakatan timbal balik antara pemberi dan penerima, demi keuntungan
kedua belah pihak.
b. Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjuk adanya
pemaksaan kepada pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah
kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau hal-hal
yang dihargainya.
c. Korupsi investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau
jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
d. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), adalah penunjukan yang
tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan
dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan
istimewa secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
e. Korupsi defensive (defensive corruption), adalah korban korupsi dengan
pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
f. Korupsi otogenik (autogenic corruption), adalah korupsi yang dilakukan
oleh seseorang seorang diri.
g. Korupsi dukungan (supportive corruption), adalah korupsi yang
dilakukan untuk memperkuat korupsi yang sudah ada.
Selain itu, Dikutip dari buku Teori & Praktik Pendidikan Anti Korupsi
(2020), karya Haji Sukiyat, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Transparency
International Indonesia, praktik-praktik korupsi mencakup :
a. Penyuapan (Bribery), adalah pembayaran dalam bentuk uang atau
sejenisnya yang diberikan maupun diambil dalam hubungan korupsi.
b. Penggelapan atau Pencurian (Embezzlement), adalah tindakan kejahatan
penggelapan atau mencuri uang rakyat yang dilakukan oleh pegawai
pemerintah, sektor swasta maupun aparat birokrasi.
c. Penipuan (Fraud), adalah tindakan kejahatan ekonomi berwujud
kebohongan, penipuan, dan perilaku.
d. Pemerasan (Exotic), adalah korupsi yang melibatkan aparat dengan
melakukan pemaksaan guna mendapatkan keuntungan sebagai imbal jasa
pelayanan yang diberikan
e. Favoritisme atau pilih kasih (favoritism), adalah tindak penyalahgunaan
kekuasaan yang melibatkan tindak privatisasi sumber daya.
Sedangkan korupsi bila dilihat dari sifat korupsinya dibedakan menjadi
dua yaitu :
● Korupsi individualis, yaitu penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu
atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu
mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan
10

terkena hukuman yang bisa disudutkan, dijauhi, dicela, dan bahkan


diakhiri nasib karirnya.
● Korupsi sistemik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh sebagian besar
(kebanyakan) orang dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang).

2.3 Penyebab Korupsi


Korupsi adalah setiap tindakan yang hanya menguntungkan diri sendiri
atau kelompok sendiri dan merugikan orang lain. Orang yang melakukan korupsi
biasanya ingin mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cepat dan mudah.
Menurut Teori Triangle Fraud (Donald R. Cressey) Ada tiga penyebab mengapa
orang melakukan korupsi, yaitu adanya tekanan (pressure), adanya kesempatan
(opportunity) dan adanya rasionalisasi (rationalization).
Sedangkan menurut teori GONE (Jack Bologne) faktor penyebab
terjadinya korupsi adalah keserakahan (greed), kesempatan (opportunity),
kebutuhan (needs), dan pengungkapan (expose). Ada pula menurut Cheryl W
Gary dan Daniel Kaufmann, dalam bukunya yang berjudul Corruption and
Development, (Maret 1998) korupsi terjadi dan tersebar luas bukan karena
masyarakat mereka berbeda dari masyarakat di tempat lain tetapi karena kondisi
yang mendukung untuk itu. Sehingga dapat diambil kesimpulan, penyebab
korupsi adalah adanya keinginan dari individu untuk mendapatkan keuntungan
pribadi dengan melakukan korupsi dan juga adanya kondisi yang mendukung,
yang menyebabkan pelaku melakukan tindak korupsi.

2.4 Dampak Korupsi


Korupsi yang merajalela adalah tindakan buruk, tidak jujur ​dan
melanggar rasa keadilan masyarakat. Penyimpangan akibat korupsi telah
menurunkan kualitas pelayanan publik pemerintah. Dampak yang langsung
terasa adalah kerugian material yang sangat besar bagi negara. Selain kerugian
material, negara juga mengalami kerugian immaterial harkat dan martabat
bangsa di dunia internasional. Selain menimbulkan kerugian yang material dan
immaterial, korupsi juga berdampak pada terciptanya ekonomi biaya tinggi,
sehingga memberikan tugas yang sangat berat bagi sektor swasta. Jeremy Pope
(2003) mencatat bahwa pada tahun 1994 perusahaan Ukraina yang disurvei,
melaporkan bahwa mereka menghabiskan rata-rata 28% dari jam kerja mereka
untuk mengurusi pemerintahan, dan pada tahun 1996 hal ini meningkat menjadi
37%.
Jika pemerintah tidak mengambil langkah dan tindakan nyata untuk
memberantas korupsi, upaya pemerintah dalam menarik investor asing untuk
berinvestasi di Indonesia dengan mengunjungi berbagai negara yang
menghabiskan miliaran rupiah, akan menjadi tindakan yang merugikan. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pr. Shang-Jin-Wei, seorang profesor di Kennedy
School of Government di Harvard University, yang dikutip oleh Jeremy Pope
11

(2003) menunjukkan kenaikan satu angka tingkat korupsi berkorelasi dengan


turunnya total investasi asing sebesar 16 persen. Karena memburuknya korupsi
di negara penerima investasi akan menyebabkan peningkatan tarif pajak
marginal perusahaan asing.
Selain itu, S.H. Alatas (1987) mengemukakan enam dampak buruk yang
dapat ditimbulkan oleh korupsi, yaitu: (1) terjadinya berbagai bentuk
ketidakadilan, (2) timbulnya inefisiensi, (3) memunculkan segala jenis kejahatan
lain, (4) pelemahan mental birokrasi dan mereka yang menjadi korban korupsi. ,
(5) menurunkan kemampuan negara dalam memberikan pelayanan publik, dan
(6) peningkatan biaya pelayanan. Dari berbagai pengaruh dan pengaruh tersebut,
dapat disimpulkan bahwa korupsi selalu meninggalkan akibat negatif bagi proses
demokratisasi dan pembangunan, karena korupsi telah menghilangkan
kepercayaan publik terhadap proses demokratisasi dan pembangunan melalui
money-politik. Korupsi juga telah mendistorsi pengambilan keputusan dalam
kebijakan publik, kurangnya akuntabilitas publik, dan pengingkaran terhadap
supremasi hukum. Sementara itu, puluhan juta orang menangis dalam derita dan
menunggu bantuan pemerintah. Oleh karena itu, korupsi secara langsung
maupun tidak langsung menghambat kemajuan bangsa, negara dan
memperparah kemiskinan. Membiarkan korupsi merajalela berarti mengabaikan
kepentingan umum atau kepentingan rakyat secara keseluruhan, yang tentunya
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan membiarkan korupsi,
berarti kita juga membiarkan negara menuju kehancuran, keterbelakangan dan
melanggengkan kemiskinan.

2.5 Pengertian Kemiskinan


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), miskin itu berarti tidak
berharta benda. Miskin juga berarti tidak mampu mengimbangi tingkat
kebutuhan hidup standar dan tingkat penghasilan dan ekonominya rendah.
Secara singkat kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat
hidup yang rendah yaitu adanya kekurangan materi pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Menurut World Bank (2015), dalam definisi kemiskinan ialah kemiskinan
itu merupakan kondisi dimana seseorang tidak dapat menikmati segala macam
pilihan dan kesempatan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti tidak
dapat memenuhi kesehatan, standar hidup layak, kebebasan, harga diri, dan rasa
dihormati seperti orang lain.
Seseorang dikatakan miskin bila mengalami "capability deprivation" dimana
seseorang tersebut mengalami kekurangan kebebasan yang substantif.
Kebebasan substantif ini memiliki dua sisi: kesempatan dan rasa aman.
Kesempatan membutuhkan pendidikan dan keamanan membutuhkan kesehatan
(Amartya Sen dalam Bloom dan Canning, 2000).
12

Adapun yang menjadi konsep kemiskinan ada tiga yaitu:


1. kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang
konkret, ukuran ini lazimnya berorientasi pada kebutuhan hidup dasar
minimum anggota masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan
memang berlainan. Karena ukurannya dipastikan, konsep kemiskinan ini
mengenal garis batas kemiskinan. Pernah ada gagasan yang ingin
memasukkan kebutuhan dasar kultur seperti pendidikan, keamanan,
rekreasi dan sebagainya, disamping kebutuhan fisik. Konsep dan ukuran
kemiskinan itu berbeda- beda di setiap daerah, contohnya kebutuhan
masyarakat pedesaan berbeda dengan kebutuhan masyarakat perkotaan,
dan begitu pula antara masyarakat desa pertanian dan desa nelayan.
Meskipun demikian konsep ini sangat populer.
2. kemiskinan relatif dirumuskan dengan dimensi tempat dan waktu.
Asumsinya adalah kemiskinan di suatu daerah berbeda dengan daerah
lainya, dan kemiskinan pada waktu tertentu berbeda dengan waktu yang
lain, konsep kemiskinan ini lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan
anggota masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kekayaan
hidup. Konsep ini juga telah memperoleh banyak kritikan, terutama
karena sangat sulit menentukan bagaimana hidup yang layak itu. Ukuran
kelayakan juga beragam dan terus berubah- ubah. Apa yang dianggap
layak dalam komunitas tertentu boleh jadi tidak layak bagi komunitas
lainnya. Dan apa yang dianggap layak pada saat ini boleh jadi tidak layak
pada dua- lima tahun kedepan.
3. kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan kelompok kemiskinan itu
sendiri. Konsep ini tidak mengenal dan tidak memperhitungkan.
Kelompok menurut ukuran kita berbeda di bawah kemiskinan, boleh jadi
tidak menganggap dirinya semacam itu dan demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu konsep kemiskinan ini dianggap lebih tepat apabila
dipergunakan untuk memahami kemiskinan dan merumuskan cara atau
strategi yang efektif untuk penanggulangannya. ( Sunyoto, 2006: 126 ).

2.6 Penyebab Kemiskinan


Kemiskinan (poverty) merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh
negara, terutama di negara-negara berkembang dan tertinggal. Masalah
kemiskinan bersifat multidimensional yang disebabkan oleh banyak faktor yang
tidak hanya menjadi domain bidang ekonomi saja, tetapi juga politik, sosial,
budaya dan sistem sosial lainnya (Suharto, 2005). Penyebab kemiskinan menurut
Suharto (2005) yaitu: (a) Faktor Individual, terkait dengan aspek patologis,
termasuk kondisi fisik dan psikologis individu yang miskin. Orang miskin
disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan dari individu yang miskin itu
sendiri dalam menghadapi kehidupan; (b) Faktor Sosial, kondisi-kondisi
lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya,
13

diskriminasi berdasarkan usia, gender, etnis yang menyebabkan seseorang


menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini adalah kondisi sosial dan ekonomi
keluarga individu yang miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar
generasi; (c) Faktor Kultural, Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan
kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk pada konsep kemiskinan
kultural atau budaya kemiskinan yang menghubungkan budaya kemiskinan
dengan kebiasaan hidup. Penelitian Oscar Lewis di Amerika Latin menemukan
bahwa orang miskin memiliki subkultur atau kebiasaan tersendiri, yang berbeda
dengan masyarakat kebanyakan (Suharto, 2008). Sikap-sikap “negatif” seperti
malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa wirausaha, dan
kurang menghormati etos kerja, misalnya, sering ditemukan pada orang-orang
miskin; (d) Faktor Struktural, berkaitan dengan struktur atau sistem yang tidak
adil, tidak sensitif dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau
sekelompok orang menjadi miskin. Sebagai contoh, sistem ekonomi
neoliberalisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani,
nelayan, dan pekerja sektor informal terjerat oleh, pajak dan iklim investasi lebih
menguntungkan orang kaya dan pemodal asing untuk terus menumpuk
kekayaan.
Menurut Kartasasmita (1996), konsep kemiskinan berdasarkan pola
waktu, yaitu: (a) kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun Daerah
seperti itu pada umumnya merupakan daerah-daerah yang kritis sumber daya
alamnya, atau daerahnya yang terisolasi (persistent poverty); (b) kemiskinan
yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan (cyclical poverty); (c)
kemiskinan musiman seperti dijumpai pada kasus nelayan dan petani tanaman
pangan (seasonal poverty); (d) kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau
dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat (accidental poverty).

2.7 Dampak Kemiskinan


Kemiskinan yang tak juga teratasi menimbulkan dampak di setiap aspek
kehidupan seperti berikut:
1. Kesehatan yang buruk
Kemiskinan menimbulkan dampak yang signifikan terhadap tingkat
kesehatan masyarakat yang buruk. Masyarakat miskin tentu memiliki
tingkat daya beli yang rendah, artinya mereka rentan mengalami
kelaparan dan gizi buruk. Hal ini jelas berpengaruh pada daya tahan
tubuh yang rentan terhadap penyakit. Benar saja, secara global, jutaan
orang mengalami gangguan kesehatan dan penyakit menular akibat
kemiskinan. Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui sumber-sumber
air yang terkontaminasi, ketiadaan air dan sanitasi, dan minimnya akses
pelayanan kesehatan yang layak.
2. Tindak kriminalitas meningkat
14

Setiap negara mengalami masalah tingkat pengangguran yang tinggi,


termasuk juga Indonesia. Kurangnya kesempatan bekerja dan ekonomi
menyebabkan pemiskinan yang kemudian mengarah pada tindak
kejahatan. Kemiskinan menimbulkan dampak terhadap meningkatnya
tingkat kriminalitas. Orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan
dan tidak memiliki akses ke peluang ekonomi yang memadai, hidup
dengan cara berbahaya dan tanpa segan melakukan apa pun yang
diperlukan untuk bisa bertahan hidup. Tingkat pengangguran yang tinggi
memicu aktivitas kriminal yang tinggi pula, seperti pembunuhan,
perampokan, pencurian, dan lain sebagainya.
3. Tingkat pendidikan rendah
Sebuah studi menemukan adanya korelasi langsung antara prestasi
akademik yang rendah dengan kemiskinan. Anak-anak dari keluarga
miskin umumnya mengalami kesulitan dengan perkembangan kognitif,
bicara, dan mengelola stres. Bahkan di negara-negara tertentu, seperti
Nigeria misalnya, sebagian besar penduduknya masih buta huruf,
sehingga tidak memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis.
Mereka yang tumbuh dan berkembang di bawah garis kemiskinan
cenderung lebih memilih bekerja untuk memperoleh penghasilan bagi
keluarga dibandingkan harus menuntut ilmu di bangku sekolah yang
notabene membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, bisa jadi
anak-anak dari keluarga miskin tidak memiliki akses pendidikan ke
sekolah yang layak karena jaraknya terlalu jauh dari tempat tinggalnya.
Miris, namun fakta di lapangan tidak terbantahkan, bahwa kemiskinan
merenggut hak-hak anak-anak dari keluarga miskin untuk mengenyam
pendidikan yang layak.
4. Gangguan psikologis
Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan berisiko lebih besar
mengalami masalah perilaku dan emosional, yang dapat mencakup
impulsif, kesulitan bergaul dengan teman sebaya, agresif, hiperaktif, dan
gangguan perilaku. Selain itu, ada juga perasaan cemas, depresi, dan
harga diri yang rendah. Mereka yang telah dewasa mungkin menghadapi
gejala kronis dari efek kemiskinan seperti stres dan depresi. Sementara
bagi pasangan yang sudah menikah, hidup dalam kondisi serba terbatas
bahkan kekurangan menimbulkan tekanan tersendiri dalam kehidupan
rumah tangganya, yang seringkali ditunjukkan dengan perilaku
pengasuhan yang lebih keras.

Selain itu, kemiskinan juga dapat memicu terjadinya korupsi. Menurut


Himawan (2009), Korupsi terjadi karena adanya kemiskinan, kekurangan yang
dialami. Sehingga kebutuhan menjadi tidak tercukupi dan pelaku melakukan
tindak korupsi. Jika kebutuhan tercukupi, korupsi tidak akan terjadi, kecuali
15

karena keserakahan. Berdasarkan data tahun 2007, kinerja Kejaksaan Agung


menunjukkan bahwa aktor tersangka korupsi yang dijerat, paling banyak, berasal
dari pemerintah tingkat ke bawah, di antaranya kepala dinas, kepala cabang
BUMD, pengurus ormas, atau rekanan pemerintah daerah. jarang sekali terdapat
kasus tersangka korupsi yang berasal dari pemerintah tingkat menengah hingga
tingkat tinggi. Maka dari itu, untuk mengurangi tindak korupsi diperlukan
kenaikan gaji namun disertai dengan penilaian kinerja aparat pemerintahan.
Menurut Febri Diansyah (2009), tidaklah cukup jika hanya dengan menaikkan
gaji, akan tetapi harus ada penilaian kinerja yang termasuk dalam manajemen
SDM yang diperbaiki.

2.8 Pengertian Pungutan Liar


Kata pungutan liar atau pungli sudah sangat familiar di telinga
masyarakat Indonesia. Pungli ini dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan oleh
siapa saja. Tindakan ini juga merupakan tindakan yang tercela karena telah
merugikan banyak masyarakat. Pungutan liar atau biasa disebut pungli
merupakan perbuatan yang dilakukan oleh oknum - oknum dengan cara meminta
pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
dibesar - besarkan. Hal ini sering disamakan dengan perbuatan pemerasan,
penipuan atau korupsi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pungutan liar atau
yang sering disingkat pungli adalah kegiatan menuntut sesuatu dari seseorang,
lembaga, atau perusahaan, berupa uang, atau hal lain, tanpa mengikuti aturan
yang lazim. Sedangkan, berdasarkan catatan dari Dokumen Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tentang Upaya Pemberantasan Korupsi, pungutan liar
merupakan pungutan tidak resmi, permintaan, penerimaan segala pembayaran,
hadiah atau keuntungan lainnya, secara langsung atau tidak langsung, oleh
pejabat publik atau wakil yang dipilih dari suatu negara dari perusahaan swasta
atau publik termasuk perusahaan transnasional atau individu dari negara lain
yang dikaitkan dengan maksud untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
tugas yang berkaitan dengan suatu transaksi komersial internasional.
Secara keseluruhan, pungutan liar dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang dengan meminta pembayaran sejumlah uang
yang dilakukan dengan melebih - lebihkan tarif. Kegiatan pungutan liar sendiri
juga termasuk dalam tindak pemerasan, penipuan ataupun korupsi.

2.9 Penyebab Pungutan Liar


​Pungutan liar atau pungli telah merambat ke berbagai sektor seperti
pendidikan, kesehatan, pelayanan publik dan sebagainya. Tindakan ini biasanya
dijadikan oleh beberapa oknum sebagai alat untuk mencari penghasilan
tambahan di luar gaji yang diterima. Aksi pungutan liar ini dapat terjadi karena
beberapa faktor penyebab yang kerap meresahkan masyarakat. Menurut Hardi
16

(2022), beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab terjadinya pungutan liar
antara lain adalah penyalahgunaan wewenang, faktor mental, faktor ekonomi,
faktor kultural dan budaya organisasi, terbatasnya sumber daya manusia, dan
juga lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh atasan, serta pelaku dituntut
untuk menyerahkan sebagian hasil pemungutannya kepada oknum tertentu.
Faktor penyalahgunaan wewenang dapat menjadi penyebab pungutan
liar, karena dengan adanya kekuasaan akan memudahkan mendapatkan atau
memperoleh sesuatu, sehingga seseorang yang memiliki jabatan atau wewenang
lebih berpotensi dalam melakukan aksi pungutan liar. Sedangkan, faktor mental
dapat menjadi penyebab pungutan liar, karena seseorang melakukan pungutan
liar atas karakter ataupun kelakuan dari pelaku dalam bertindak serta mengontrol
dirinya sendiri untuk tidak melakukan aksi pungutan liar. Lalu, faktor ekonomi
juga dapat menjadi penyebab pungutan liar, karena kebutuhan fisiologis pelaku
belum terpenuhi atau tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Lalu, adanya faktor
kultural dan budaya disebabkan oleh organisasi yang terbentuk dan berjalan
terus menerus di suatu lembaga sehingga pungutan liar menjadi suatu hal yang
biasa di masyarakat. Sedangkan, faktor terbatasnya sumber daya manusia bisa
menyebabkan aksi pungutan liar karena pelaku akan menyalahgunakan
keterbatasan tersebut untuk meminta sejumlah uang yang tidak lazim.
Sedangkan untuk faktor lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh atasan
dapat menjadi penyebab aksi pungutan liar karena akan membuat pelaku merasa
lebih bebas dan berani dalam melakukan aksi pungutan liar.

2.10 Dampak Pungutan Liar


Aksi pungutan liar atau pungli dapat terjadi dimanapun, kapanpun, dan
oleh siapapun. Biasanya aksi pungutan liar dilakukan oleh oknum pejabat atau
aparat, namun pungli juga dapat terjadi di lingkungan masyarakat. Contoh
kasusnya dapat dilihat pada aksi pungutan liar yang dilakukan oleh tiga warga
yang berinisial N (43 tahun), YB (36 tahun), dan RH (41 tahun). Aksi pungutan
liar ini dilakukan dengan cara meminta uang kepada para pengguna jalan dengan
modus menawarkan jasa penyeberangan di simpang tiga Sayangan, Jalan
Patimura, Kelurahan Salatiga. Perbuatan ini jelas sangat merugikan bukan hanya
bagi masyarakat, tetapi juga negara. Ibrahim menuliskan dalam bukunya yang
berjudul Rahasia Dibalik Sapu Bersih Pungli (2017), ada beberapa dampak dari
aksi pungutan liar atau pungli antara lain:
1. Merusak Moral
Orang Indonesia terkenal akan kesantunan dan juga keramahannya.
Namun, sayangnya hal ini sering digunakan oleh banyak individu untuk
melakukan aksi pungutan liar atau pungli.
2. Merusak Budaya
Pungutan liar yang dilakukan secara terus-menerus dan secara sistematik
serta dalam jangka waktu yang sangat lama, akan melahirkan budaya
17

yang buruk bagi bangsa ini, yakni budaya koruptif. Jika pungutan liar
telah menjadi budaya, tentu akan amat sulit untuk disembuhkan. Untuk
itu, agar tidak menjadi budaya, kasus pungli seharusnya segera ditumpas
dengan tegas. Jangan ada pembiaran, apalagi dalam waktu yang lama.
3. Merusak Demokrasi
Pungutan liar yang dilakukan dalam kegiatan pemilihan umum oleh
seorang kandidat, dengan memberikan imbalan berupa uang atau bentuk
apapun bagi siapa saja yang memilihnya agar ia menang dan menduduki
jabatan tertentu. Tentu akan mengakibatkan rusaknya nilai demokrasi
yang telah dibangun untuk kebebasan berbangsa dan bernegara.
4. Merusak Ekonomi dan Menambah Angka Kriminalitas
Pungutan liar yang dilakukan dapat mengakibatkan menurunnya tingkat
​perekonomian dalam suatu negara. Hal ini dapat terjadi, karena
perbuatan ini akan membuat suatu perusahaan tidak dapat bertahan
secara efisien dan tidak berkembang, sehingga lapangan pekerjaan
semakin berkurang dan jumlah pengangguran menjadi semakin
bertambah. Maka, secara otomatis keamanan bagi suatu negara menjadi
tidak lagi kondusif, karena angka kriminalitas akan meningkat akibat dari
sulitnya mendapatkan kebutuhan fisiologis.
5. Terjadinya Krisis Kepercayaan
Pungutan liar yang dilakukan dapat mengakibatkan tidak adanya
kepercayaan terhadap lembaga pemerintah, karena masyarakat merasa
tidak puas atas tindakan hukum yang dijatuhkan atau perbuatan yang
dilakukan oleh para pelaku tidak sebanding dengan hukuman yang
diberikan oleh lembaga pemerintah. Sehingga, masyarakat tidak lagi
percaya pada proses hukum yang berlaku.

2.11 Korupsi dan Pungutan Liar Menurut Perspektif Kewarganegaraan


Identitas nasional merupakan kepribadian nasional atau jati diri yang
melekat pada bangsa, yang dibuat dan disepakati oleh masyarakat yang
bertempat tinggal diwilayah tersebut. Identitas nasional dijadikan ciri khas setiap
negara untuk membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Identitas
nasional bangsa Indonesia adalah sikap gotong royong. Sikap gotong royong
adalah suatu sikap saling membantu antar masyarakat dengan sukarela. Menurut
Sudrajat (2014) gotong royong adalah suatu bentuk solidaritas sosial yang
dibentuk atas dukungan pihak lain yang memastikan bahwa semua warga negara
berdiri setia sebagai satu kesatuan. Gotong royong berarti mementingkan
kepentingan bersama, namun korupsi berupa pungutan liar adalah sikap egois
yang hanya mementingkan dirinya sendiri maupun kelompoknya saja. Oleh
karena itu, tindakan korupsi sangatlah bertentangan dengan identitas bangsa kita
yakni gotong royong.
18

Selain itu, korupsi berupa pungutan liar juga melanggar hak asasi
manusia (HAM). Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang diterima setiap
manusia mulai dari lahir hingga ia meninggal. Menurut John Locke dalam
bukunya yang berjudul The Second Treatise of Civil Government and a Letter
Concerning Toleration (1964), Hak asasi manusia adalah hak yang dikaruniai
oleh alam yang melekat didalam diri individu berupa hak atas hidup, kebebasan
dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut
atau diganggu gugat oleh negara. Korupsi melanggar hak asasi manusia karena
telah merebut hak yang seharusnya diperoleh oleh orang lain namun malah
dijadikan keuntungan untuk dirinya sendiri. Misalnya saja pada kasus korupsi
dana bantuan sosial COVID-19 yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial
Juliari Batubara, yang menggelapkan dana bantuan sosial hingga $14,5 miliar.
Padahal harusnya rakyat memperoleh hak mereka untuk menerima dana tersebut
untuk memenuhi kebutuhan mereka di tengah krisis pandemi COVID-19 pada
tahun 2020. Adapun kasus lain yang terjadi pada tahun 2022 mengenai tindak
korupsi berupa pungutan liar atau biasa disingkat pungli. Aksi pungli yang
dilakukan oleh aparat kepolisian lalu lintas di Jalan Tol Cipularang KM 84
sangatlah meresahkan sopir karena meminta uang dengan nominal besar serta
diancam dengan Surat Tilang walaupun tidak ada kesalahan atau melanggar
peraturan lalu lintas. Tentu saja kasus ini berkaitan dengan penyelewengan
kekuasaan dan juga melanggar hak asasi manusia yang membuat masyarakat
sengsara. Menurut Lawalata (2013) tindak korupsi menimbulkan kesengsaraan
bagi masyarakat kecil di suatu negara.
Dengan tindak korupsi yang melanggar hak asasi manusia (HAM) maka
juga telah melanggar hukum yang ada. Korupsi dapat dipandang sebagai
perbuatan melawan hukum, karena setiap orang yang melakukan tindak korupsi
telah merugikan keuangan pemerintah atau perekonomian pemerintah, dengan
tujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, korporasi, dan/atau kelompok.
Dalam hukum, definisi korupsi telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU
No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk tindak pidana korupsi yang
menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan apa saja yang termasuk
kedalam bisa tindak korupsi dan harus diberikan sanksi pidana. 30 bentuk tindak
pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 7 tindak
pidana korupsi yakni:
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap-menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
19

7. Gratifikasi
Adapun bentuk tindak pidana korupsi yang juga telah dijelaskan pada
UU No.31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 adalah:
a. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
b. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
c. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
d. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan
palsu
e. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan
atau memberikan keterangan palsu
f. Saksi yang membuka identitas pelapor

2.12 Korupsi dan Pungutan Liar Menurut Perspektif Pancasila


Indonesia memiliki suatu sumber sekaligus sudut pandang yang harus
dijadikan pedoman dalam segala hal yakni Pancasila. Menurut Notonegoro
(1967), Pancasila merupakan falsafah dan ideologi dasar bangsa, dan diharapkan
dapat menjadikan pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan
landasan, lambang persatuan dan kesatuan, serta sebagai pertahanan bangsa dan
negara Indonesia. Pancasila sendiri berisi lima sila yang masing-masing
memiliki makna yang berbeda tetapi saling berkesinambungan dengan tujuan
yang sama untuk menciptakan dan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.
Kasus tindakan korupsi marak dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
jabatan. Menurut Harkristuti (2002), Pelaku korupsi bukanlah individu
sembarangan, karena mereka dapat menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan,
atau fasilitas yang mereka miliki untuk melakukan korupsi tersebut. Tindak
korupsi tidak hanya melanggar peraturan pemerintah tetapi juga merusak
ideologi dan prinsip Pancasila, karena akan membuat cita-cita bangsa Indonesia
akan hancur seiring berjalannya waktu.
Menurut Iwan Irawan (2020), tindakan korupsi merupakan tindakan yang
sangat fatal bagi negara, terutama tindakan korupsi juga telah melanggar dan
menyeleweng dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam butir-butiran
Pancasila. Tindak korupsi bertentangan dengan sila pertama Pancasila karena,
jika kita melakukan tindakan korupsi berarti sama saja kita telah membohongi
Tuhan dan telah menyangkal ajaran agama. Tindak korupsi juga bertentangan
dengan sila kedua Pancasila karena, telah menyalahgunakan kekuasaan sebagai
tempat untuk mendapatkan apa yang diinginkan demi kepentingan diri sendiri
dengan mengambil hak milik orang lain. Pelanggaran selanjutnya yang
dilakukan oleh para koruptor adalah dengan mementingkan kepentingan pribadi
di atas kepentingan nasional bangsa dan negara, sehingga dapat dikatakan tindak
korupsi juga melanggar sila persatuan Indonesia. Korupsi juga dapat
mengganggu kehidupan berbangsa-bernegara karena membuat keputusan sendiri
untuk kepentingan diri sendiri. tentunya hal ini tidak baik karena jika disangkut
20

pautkan dengan sila keempat Pancasila, seharusnya dalam menentukan dan


melakukan segala sesuatu haruslah berdasarkan keputusan bersama dan untuk
kepentingan bersama, karena Indonesia sangatlah menjunjung tinggi
musyawarah. Selain itu, korupsi juga menunjukan ketidakadilan antar
pemerintah dan masyarakat. Bukan hanya itu juga ketidakadilan terhadap negara
sendiri karena telah menggunakan sesuatu yang bukan haknya untuk dijadikan
kebahagiaan bagi diri sendiri tanpa memikirkan kepentingan nasional bangsa
dan negara, sehingga tidak sesuai dengan sila kelima Pancasila.

2.13 Korupsi dan Pungutan Liar Menurut Perspektif Religiusitas


Nilai religius merupakan nilai ketuhanan yang bersumber langsung dari
kepercayaan agama, yang menjadikannya nilai tertinggi dan mutlak. Menurut
Ahmad Thontowi (2005), Nilai religiusitas merupakan bentuk hubungan
manusia dengan Penciptanya melalui ajaran agama yang terinternalisasi dalam
diri individu dan tercermin dalam sikap dan tindakannya sehari-hari. Tindakan
korupsi jelas telah menentang nilai religiusitas dan dapat dikatakan bahwa
mereka telah menafikan ajaran agama. Kini tindakan korupsi telah marak terjadi
di jajaran pemerintahan yang dilakukan oleh para pejabat. Menurut Integrito
(2017), Penyelewengan berupa korupsi oleh partai merupakan akibat ataupun
pengaruh jabatan, karena dengan adanya jabatan berarti memiliki kekuasaan dan
dapat memicu perilaku korupsi. Tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat,
dapat terjadi akibat dari berbagai faktor, yang salah satunya berupa rendahnya
kekuatan iman yang dimiliki para pejabat. Iman adalah kepercayaan dan
keyakinan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang berkaitan dengan
keagamaan (Ari Welianto, 2020). Seharusnya para pejabat memiliki iman yang
kuat agar tidak mudah terpengaruhi oleh tindak korupsi yang hanya
menguntungkan dirinya sendiri. Tindakan korupsi tentunya juga sangat
bertentangan dengan ajaran agama manapun juga. Semua agama sepakat bahwa
mengambil hak yang bukan miliknya dan menimbulkan kerugian bagi banyak
orang merupakan perbuatan yang dilarang dan berdosa (Syurya Muhammad Nur
& Rahmah Ningsih, 2019).
Selain itu, dalam perspektif religiusitas, tindak korupsi juga dapat terjadi
karena adanya ketidakpuasan atas kebutuhan manusia atau individu. Kebutuhan
manusia menurut pendekatan Abraham Maslow dibagi menjadi 5 tingkat dari
yang paling mendasar yakni:
1. Fisiologis, adalah kebutuhan tubuh secara biologis untuk mencapai
kepuasan hidup. Bila salah satu dari kebutuhan fisiologis ini tidak
didapatkan, pemenuhan kebutuhan dasar selanjutnya dapat terganggu.
Contohnya adalah makanan, minuman, tidur, pakaian, uang, dll.
2. Rasa aman, adalah kebutuhan untuk memperoleh ketentraman, kepastian
dan keteraturan dari keadaan lingkungannya yang ditempati. Contohnya
21

adalah pemenuhan keamanan pribadi, pekerjaan, sumber daya,


kesehatan, dan properti.
3. Kebutuhan sosial, adalah kebutuhan untuk mendapatkan cinta dan kasih
sayang dari orang lain agar dapat mengatasi rasa kesepian. Contohnya
adalah relasi, afeksi, keluarga, pertemanan, koneksi, dll.
4. Kebutuhan penghargaan, adalah kebutuhan untuk dihargai, dipandang,
dihormati, dan dipercaya oleh orang lain. Contohnya adalah
mendapatkan prestasi, penilaian baik dari orang lain, apresiasi, dll.
5. Aktualisasi diri, yakni kebutuhan yang paling tinggi, dengan mencapai
apa yang dikehendaki secara bertanggung jawab atas pekerjaan yang
sedang dikerjakan. Contohnya ingin menjadi penari yang baik maka ia
harus mengembangkan kemampuan dalam menari dengan terus berlatih.
Dalam kasus tindak korupsi, dapat terjadi dikarenakan adanya ketidakpuasan
ataupun kekurangan akan kebutuhan fisiologis berupa uang. Menurut Himawan
(2009), Korupsi terjadi karena adanya kemiskinan, kekurangan yang dialami.
Karena kebutuhan fisiologis tidak didapatkan atau terpenuhi dengan baik,
pemenuhan kebutuhan selanjutnya dapat terganggu. Sehingga, membuat
kebutuhan aktualisasi diri tidak akan bisa berjalan dengan baik, karena seorang
koruptor malah melakukan tindak korupsi dan tidak bertanggung jawab atas
pekerjaan yang telah dipercayakan kepadanya.
Sedangkan, dalam pendekatan Victor Frankl mengkritik bahwa
kebutuhan dasar manusia adalah dengan meraih kehidupan bermakna dan bukan
aktualisasi diri. Kemampuan manusia dalam memaknai hidupnya dalam keadaan
apapun, dengan kebebasan manusia untuk menerima atau menolak 3 hal yakni
naluri-naluri, disposisi bawaan, dan lingkungan. Namun kebebasan untuk
memilih tersebut harus disertai dengan tanggung jawab untuk mewujudkan
nilai-nilai sebagai pemenuhan makna keberadaan pribadinya yang berkaitan
dengan masyarakat, kemanusiaan suara hati, dan Tuhan Yang Maha Esa.
Pemaknaan hidup dapat dilihat secara objektif maupun subjektif. Secara objektif
berarti pemaknaan hidup berada pada di luar diri manusia dan harus dikejar.
Sedangkan, secara subjektif berarti pemaknaan hidup berhubungan dengan
manusia lain secara unik dan personal. Untuk mengetahui dan meraih
pemaknaan hidup diperlukan komitmen total dan dapat dilakukan dengan
merealisasikan 3 nilai yakni:
1. Nilai-nilai kreatif (creative values) adalah nilai yang direalisasikan dalam
bekerja. Dalam bekerja, manusia menghadirkan eksistensi dirinya yang
unik dalam relasinya dengan masyarakat. Individu menyumbangkan
sesuatu kepada masyarakat dan sebaliknya masyarakat mengantarkan
individu pada penemuan makna.
2. Nilai-nilai eksperiensial (experiential values) adalah sikap menerima atau
menyerahkan diri pada dunia, dengan jalan menemui keindahan,
kebenaran, antar sesama. Setiap individu dapat menemukan makna
22

dengan menemui kebenaran, baik melalui realisasi nilai-nilai ajaran


agama maupun nilai-nilai ajaran filsafat.
3. Nilai-nilai bersikap (attitudinal values) adalah kesanggupan manusia
dalam menghadapi nasib buruk, atau situasi menghambat yang tidak bisa
diubahnya, ataupun penderitaan yang dialaminya dengan bersikap ikhlas
dan tabah, serta tetap dapat merealisasikan nilai-nilai, khususnya nilai
bersikap, yang bisa mengantarkannya pada makna.
Dalam kasus tindak korupsi, dapat terjadi karena koruptor masih belum
menemukan kebermaknaan hidup yang sebenarnya. Menurut Victor Frankl,
kebermaknaan hidup manusia tergantung pada terpenuhinya atau tidak tuntutan
tugas-tugas hidup ini. Apabila seorang individu sanggup menjalankan tugasnya
dengan penuh komitmen, maka ia telah menemukan kebermaknaan hidup.
Walaupun para koruptor mampu membentuk karakter dan menentukan nasib
mereka sendiri, namun dalam pemaknaan hidup harusnya kebebasan tersebut
disertai dengan tanggung jawab terhadap masyarakat, kemanusiaan suara hati,
dan Tuhan. Apalagi, seorang koruptor pasti memiliki tanggung jawab yang telah
dipercayakan oleh rakyat dalam menjalankan tugasnya namun malah
disalahgunakan dan menyebabkan kesengsaraan masyarakat. Selain itu,
berdasarkan pendekatan Victor Frankl, tindakan korupsi tidaklah sesuai dengan
nilai-nilai bersikap (attitudinal values), karena seorang koruptor tidak memiliki
kesanggupan dalam menghadapi nasib buruk atau penderitaan yang dialaminya
dengan bersikap ikhlas dan tabah, serta tetap dapat merealisasikan nilai-nilai,
khususnya nilai bersikap, yang bisa mengantarkannya pada makna. Maka dari
itu, dapat dikatakan pelaku tindak korupsi belum menemukan kebermaknaan
hidup. Namun dilihat dari sudut pandang korban yang mengalami tindak korupsi
berupa pungutan liar, tentunya membayar sejumlah uang yang tidak jelas
arahnya kemana atau untuk apa tentunya akan memberikan dampak negatif bagi
korban. Misalnya saja, pungutan liar ini kerap terjadi di antara para pedagang
kaki lima. Para pedagang kaki lima terpaksa membayarkan sejumlah uang
kepada para pelaku, entah karena memang sudah tahu namun terbiasa atau
malah tidak mengetahui bahwa itu tindak pungutan liar atau bahkan karena
memang terpaksa memberikan sejumlah uang tersebut, yang tentu membuat
keuntungan menjadi lebih berkurang dan pengeluaran menjadi bertambah. Maka
dari itu, tindakan pungutan liar dapat menyengsarakan masyarakat dan korban
yang membayar dengan pasrah berarti ia tidak mementingkan pemaknaan hidup
yang sesuai dengan Pendekatan Victor Frankl.
Selain itu, dalam perspektif religiusitas juga mengenal 3 hal proses
internal dalam diri manusia yakni: suara hati, hati nurani, dan suara batin. Suara
hati adalah keputusan praktis akal budi yang membantu seseorang dalam
menyelesaikan atau membatalkan suatu tindakan. Menurut Magnis Suseno,
suara hati adalah adanya kesadaran dalam batin dan diri kita mengenai
kewajiban mutlak untuk selalu menghendaki apa yang menjadi kewajiban dan
23

tanggung jawabnya. Sedangkan, hati nurani adalah kodrat manusia untuk terarah
kepada kebaikan yakni Tuhan. Menurut, Yong Ohoitimur, hati nurani adalah hati
yang di cahayai oleh Tuhan atau Allah, sehingga selalu terarah kepada hal yang
baik. Sedangkan, suara batin adalah hasil internalisasi atau hasil pembatinan dari
norma-norma yang diterima di masyarakat, atau keluarga, atau sekolah atau
agama dan biasanya muncul dalam bentuk perasaan bersalah. Dalam kasus
tindak korupsi, tentunya telah melanggar atau tidak sesuai dengan ketiga proses
internal dalam diri manusia. Dalam suara hati, pelaku korupsi membuat
keputusan dalam bertindak tidak disertai dengan akal budi, karena ia tidak dapat
berpikir dan mengembangkan hidupnya untuk orang lain, ia hanya
mementingkan dirinya sendiri. Dalam hati nurani, tindak korupsi tidaklah sesuai
dengan ajaran kebaikan Tuhan dan terarah kepada hal yang buruk, yang
merugikan banyak orang untuk memenuhi kebahagiaan dirinya sendiri.
Sedangkan dalam suara batin, pelaku korupsi harusnya mengalami perasaan
bersalah dalam batin, karena telah melakukan suatu pelanggaran padahal ia
dapat menilai bahwa pelanggaran aturan bukanlah hal yang baik. Walaupun,
tindakan korupsi disebabkan keadaan mendesak seperti keadaan ekonomi yang
tidak baik, namun tidak dapat dibenarkan perbuatan korupsi tersebut. Karena
uang yang diperoleh didapat dari pengambilan hak milik orang lain dan tentunya
tidak halal apalagi tindak korupsi tersebut sudah pasti menimbulkan
kesengsaraan. Misalnya pada pedagang kaki lima yang sering menjadi korban
kasus korupsi berupa pungutan liar. Yang seharusnya ia mendapatkan lebih
banyak keuntungan dari hasil penjualan malah menjadi menambahkan
pengeluarannya akibat dari pungutan liar tersebut yang kerap merugikan
pedagang.
24

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pengumpulan Data


Pada penelitian ini, penulis berusaha untuk mengumpulkan data dari
informasi akurat yang dapat menunjang proses dan hasil penelitian. Berikut ini
merupakan metode pengumpulan data yaitu :
1. Field Researching (Penelitian Lapangan)
Penelitian lapangan adalah penelitian langsung pada objek yang diteliti,
dalam hal ini kami meneliti pedagang kaki lima di sekitar Universitas
Multimedia Nusantara yang seringkali menjadi korban dari praktik
pungutan liar. Pengumpulan data diperoleh melalui :
a. Respondents
Melakukan observasi langsung kepada 10 pedagang kaki lima di sekitar
Universitas Multimedia Nusantara. Pedagang kaki lima yang kami pilih
kira-kira berumur 35-50 tahun, dan diperkirakan sudah berjualan selama
5 tahun di sekitaran Universitas Multimedia Nusantara. Kami memilih
pedagang yang sudah cukup lama berjualan di sekitar Universitas
Multimedia Nusantara, karena pengalaman yang mereka dapat bagikan
kepada kami seputar pungutan liar pasti lebih banyak. Selain itu
walaupun kawasan Summarecon terbilang lingkungan yang berisikan
orang-orang ekonomi menengah ke atas, tetapi tidak menutup
kemungkinan dapat terjadi kasus pungutan liar di daerah tersebut.
b. Wawancara
Melakukan wawancara dengan pihak yang terkait dalam masalah tentang
banyaknya tingkat pungutan liar terhadap para pedagang kaki lima,
dalam hal ini yaitu para pedagang kaki lima sebagai objek wawancara.

2. Library Researching (Penelitian Kepustakaan)


Penelitian kepustakaan yaitu teknik berdasarkan literatur guna
memperoleh dasar teoritis dalam sebuah metode penelitian yang
digunakan. Selain itu, pencarian literatur lain berupa jurnal penelitian
dengan masalah dan metode serupa sebagai acuan penelitian.

3.2 Metode Analisis Data


Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu pada para
pedagang kaki lima di sekitar Universitas Multimedia Nusantara, maka secara
umum analisis data yang digunakan antara lain penilaian kualitatif berupa
wawancara terhadap para pedagang kaki lima, mengenai maraknya praktik
pungutan liar. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data kualitatif adalah
teknik analisis naratif. Teknik analisis data naratif pada penelitian kualitatif
bertujuan untuk menganalisis atau meneliti mengenai kumpulan deskripsi suatu
25

peristiwa atau fenomena yang terjadi, kemudian menyajikannya dengan bentuk


narasi atau cerita.

3.3 Cara Penafsiran


Penafsiran data merupakan suatu kegiatan yang menggabungkan hasil
analisis dengan pernyataan, kriteria, atau standar tertentu untuk menemukan
makna dari data yang dikumpulkan untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian yang sedang diperbaiki.
Maka cara kami menafsirkan data adalah dengan menggabungkan hasil
analisis melalui metode kualitatif yaitu dengan wawancara, dengan pernyataan
atau tanggapan para ahli yang akan kami cari datanya melalui metode Penelitian
Kepustakaan. Penelitian kepustakaan yaitu teknik berdasarkan literatur guna
memperoleh dasar teoritis dalam sebuah metode penelitian yang digunakan.
Selain itu, pencarian literatur lain berupa jurnal penelitian dengan masalah dan
metode serupa sebagai acuan penelitian.

3.4 Penyimpulan Hasil Penelitian


Untuk penarikan kesimpulan, kami harus menguasai:
1. Langkah-langkah dalam mengumpulkan fakta untuk validasi kebenaran
ilmiah (metode ilmiah)
2. Penguasaan terhadap perangkat ilmiah yaitu, bahasa dan logika
Kesimpulan yang bisa kami tarik adalah tanpa kedua poin di atas
penarikan kesimpulan akan kurang tajam bahkan akan salah.

3.5 Pertanyaan Untuk Responden


1. Apakah Bapak/Ibu tahu apa itu korupsi dan pungutan liar?
2. Apakah bapak/ibu pernah mengalami tindakan pungutan liar?
3. Siapa oknum yang melakukan pungutan liar terhadap bapak/ibu?
4. Apakah Bapak/Ibu merasa keberatan dengan pungutan liar yang dialami
Bapak/Ibu?
5. Bagaimana cara Bapak/Ibu menanggapi praktik pungutan liar?
6. Apakah Bapak/Ibu pernah mencoba untuk melaporkan kasus pungutan
liar yang terjadi pada Bapak/Ibu?
7. Menurut Bapak/Ibu, apakah tindakan para penegak hukum sudah tepat
dalam menghadapi kasus korupsi berupa pungutan liar dan berikan
alasannya?
26

BAB 4
JADWAL KEGIATAN

4.1 Jadwal Kegiatan


Jadwal Kegiatan

4.2 Biaya Kegiatan

No Jenis Pengeluaran Biaya

1 Biaya Konsumsi Rp 250.000,-

2 Biaya Print Rp 70.000,-


27

BAB 5
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, 1987, Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi, Jakarta: LPIS


Aminah dan Himawan. 2009. Bahan-Bahan Berbahaya dalam
Kehidupan. Bandung : Salamadani.
Ahmad Thontowi. “Hakekat Religiusitas”. Widyaiswara Madya Balai
diklat Keagamaan Palembang on line,
(http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/hakekatreligiusitas.pdf, diakses
tanggal 22 Maret 2015).
Andrea, F. (1951). Kamus Hukum, Terjemahan. bandung: Bina Cipta.
Harkrisnowo, Harkristuti. Kriminalisasi Pemutihan Uang : Tinjauan
Terhadap UU No 15 Tahun 2002, Proceeding-Kerjasama Pusat Kajian Hukum
dan Mahkamah Agung RI. Cetakan ke-1. Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2003.
Hot Ibrahim,2017, Rahasia Dibalik Sapu Bersih Pungli. Sleman: CV
Budi Utama.
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Transparency International
Indonesia (The Coalition Against Corruption), Jakarta, 2003.
Kartasasmita Ginanjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. PT. Pustaka Cidesindo ; Jakarta
Kartono, Kartini. 2002. Psikologi Umum. Bandung : Sinar Baru Algies
Indonesia
KBBI. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta
Lawalata M. G. (2013). Prinsip-Prinsip Pembangunan Jalan
Berkelanjutan. Jurnal Transportasi, 13(2): 115-124.
Notonagoro, 1967, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila.
Pantjuran Tujuh, Jakarta
Sukiyat. Strategi Implementasi Pendidikan Karakter. Surabaya: CV.
Jakad Media Publishing, 2020.
Suharto, Edi. (2005), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat.
Bandung : Refika Aditama.
Suharto, Edi.(2008), Kebijakan Sosial Sebagai kebijakan Publik.
Bandung: Alfabeta.
Sudrajat, Ajat. (2014). Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi
Sebagai Sumber Pembelajaran IPS. Disertasi, Sekolah Pascasarjana, Universitas
Pendidikan Indonesia.
28

LAMPIRAN

Lampiran 1. Biodata Ketua, Anggota, dan Dosen Pembimbing

1.1 Biodata Ketua Kelompok

1 Nama Lengkap Ferdinand Dwidiantra Sukardi

2 NIM 00000071085

3 Program Studi Studi Humaniora-Pancasila

4 E-mail ferdinand.dwidiantra@student.umn.ac.
id

5 Nomor telepon/HP 081281292264

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata
ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pengajuan Proposal PKM Penelitian.

Tangerang, ......., .........................


Ketua Kelompok

Ferdinand Dwidiantra Sukardi


(NIM. 00000070246)
29

1.2 Biodata Anggota Kelompok

1 Nama Lengkap Aurellia Shabrina Nurfitriani

2 NIM 00000071156

3 Program Studi Studi Humaniora-Pancasila

4 E-mail aurellia.shabrina@student.umn.ac.id

5 Nomor telepon/HP 089664346409

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata
ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pengajuan Proposal PKM Penelitian.

Tangerang, ......., ........................


Anggota Kelompok 1

Aurellia Shabrina Nurfitriani


(NIM.00000071156)
30

1 Nama Lengkap Arvin Sahadi

2 NIM 00000070246

3 Program Studi Studi Humaniora-Pancasila

4 E-mail arvin.sahadi@student.umn.ac.id

5 Nomor telepon/HP 089627207240

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata
ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pengajuan Proposal PKM Penelitian.

Tangerang, ......., .........................


Anggota Kelompok 2

Arvin Sahadi
(NIM. 00000070246)
31

1 Nama Lengkap Dwi Putri Cahyani

2 NIM 00000070847

3 Program Studi Studi Humaniora-Pancasila

4 E-mail dwi.putri@student.umn.ac.id

5 Nomor telepon/HP 081319641188

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata
ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pengajuan Proposal Penelitian.

Tangerang, ......., .........................


Anggota Kelompok 3

Dwi Putri Cahyani


(NIM. 00000070847)
32

1 Nama Lengkap Jonathan Ridcho Andreas Marpaung

2 NIM 00000088706

3 Program Studi Studi Humaniora-Pancasila

4 E-mail jonathan.ridcho@student.umn.ac.id

5 Nomor telepon/HP 089529286388

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata
ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pengajuan Proposal PKM Penelitian.

Tangerang, ......., .........................


Anggota Kelompok 4

Jonathan Ridcho Andreas Marpaung


(NIM. 00000088706)
33

1 Nama Lengkap Muhammad Hanief Alif Sampayya

2 NIM 000000071355

3 Program Studi Studi Humaniora-Pancasila

4 E-mail muhammad.hanief@student.umn.ac.id

5 Nomor telepon/HP 081389524443

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata
ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pengajuan Proposal Penelitian.

Tangerang, ......., .........................


Anggota Kelompok 5

Muhammad Hanief Alif Sampayya


(NIM. 000000071355)
34

1.3 Biodata Ketua Dosen Pembimbing

1 Nama Lengkap (dengan gelar) Agustinus Sugeng A. P., B.A., S.Pd.,


M.Th., M.Hum., M.Pd.

2 NIDN L00381

3 Jabatan Fungsional Ketua Dosen PKM Kelas D

4 Program Studi Studi Humaniora-Civics

5 E-mail agustinus.sugeng@lecturer.umn.ac.id
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata
ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pengajuan Proposal PKM Penelitian.

Tangerang, ......., .........................


Ketua Dosen PKM

Agustinus Sugeng A. P., B.A.,


S.Pd., M.Th., M.Hum., M.Pd.
(NIDN. L00381)

Anda mungkin juga menyukai