Anda di halaman 1dari 21

GRATIFIKASI TENTANG UANG PELICIN

DOSEN : NURDAHLIANA, SKM. M. Kes


MK : PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2


Deva Eliza Fitria
Dila Rahmayani
Dina Islami
Elsa Oktavia
Faturrahmi
Intan Fitriani
Liza Farhana
Nur Ziar Saumi
Winda Maulida

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES ACEH
JURUSAN KEBIDANAN BANDA ACEH
PRODI D-III KEBIDANAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT dan Shalawat atas Nabi
Muhammad SAW, karena atas berkat dan Rahmat nya kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah yang berjudul “ Grativikasi Tentang Uang Pelicin ”. Pada
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih.

Penulis menyadari dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna. oleh
karna itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun agar
makalah ini mampu menjadi yang lebih baik dan bermanfaat.

Aceh Besar, 02 Desember 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................
A. Latar Belakang........................................................................................................................
B. Tujuan.....................................................................................................................................
C. Manfaat...................................................................................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI..............................................................................................................
A. Gratifikasi...................................................................................................................................
1. Pengertian Grativikasi................................................................................................................
2. Penggolongan Grativikasi..........................................................................................................
3. Perkembangan Peraturan............................................................................................................
4. Contoh-Contoh Grativikasi........................................................................................................
B. Uang Pelicin...............................................................................................................................
1. Pengertian Uang Pelicin.............................................................................................................
2. Perkembangan Peraturan............................................................................................................
3. Penipuan Melalui Pemberian Uang Pelicin................................................................................
4. Dampak Uang Pelicin.................................................................................................................
5. Contoh Kasus Uang Pelicin........................................................................................................
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................
A. Kesimpulan.................................................................................................................................
B. Saran...........................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam memotret banyak kasus korupsi, media kita cen- derung memukul
rata kasus korupsi dalam konteks suap. Padahal, meski saling berhimpitan satu sama
lain, suap dan pemerasan adalah dua hal yang berbeda. Pada yang pertama, titik
berat persoalan ada pada pihak yang memberi uang pelicin, sementara si pejabat
bertindak sebagai aktor yang pasif. Namun, pada yang kedua sumber korupsi lebih
berada di sisi sang pejabat yang secara aktif melakukan berbagai tindakan yang
memaksa pihak lain untuk memberikan sejumlah uang atau barang kepadanya.
Dalam pengamatan saya, tak cuma memukul rata sebagai penyuapan, nada
liputan kebanyakan pers kita cenderung kurang adil pada pihak pemberi uang.
Dimensi pemerasan sering tidak muncul. Padahal, kebanyakan pihak, termasuk
pejabat pemerintah, berada di posisi yang lebih lemah ketika misalnya harus
berurusan dengan anggota parlemen dan aparat hukum. Dalam banyak kasus,
memberi uang kepada pihak pemeras seperti tak terhindarkan. Belum tentu mereka
bersalah, penolakan menyediakan uang pelicin bisa berarti fatal. Rancangan
undang-undang yang krusial bisa terus dipendam di laci atau penyidikan.
Pemberian kepada birokrasi untuk membuatnya bekerja sebagaimana
mestinya atau membuatnya lebih berkompeten sesuai keinginan dari pihak pemberi
disebut sebagai uang pelicin.Selama ini, kasus uang pelicin mudah dan sering
ditemui SurveiTilain di Global Corruption Barometer (GCB) mengemukakan I dari
3 responden masyarakat di Indonesia mengaku membayar suap untuk mengakses
layanan publik pemerintah. 71 persen dari mereka menyatakan melakukannya untuk
mempercepat layanan tersebut. Karenanya, uang pelicin sering dianggap sebagai
korupsi masif dan sangat merusak mental pemberantasan korupsi.

4
Tidak mudah menyelesaikan kasus uang pelicin.Sering dilakukan secara
masif di masyarakat mengindikasikan bahwa uang pelicin diperdagangkan dalam
nominal transaksi kecil dan frekuensi transaksi sedikit. Penindakan hukum
terhadapnya dirasakan teramat boros dan membebani keuangan negara Diperlukan
pengembangan strategi lebih daripada penindakan. Di sini, strategi pencegahan
dalam pengembangan sistem manajemen integritas sangat potensial menjawab
tantangan penyelesaian.
Kerjasama yang telah dibangun oleh Til dan KPK mengembangkan strategi
pencegahan menjawab tantangan penyelesaian, disebarluaskan agar turut diinisasi
oleh pemangku kepentingan lain dari kalangan pemerintah, pebisnis dan masyarakat
sipil. TII dan KPK merangkul berbagai pihak pemangku kepentingan baik dari
kalangan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat luas, menginisiasi Indonesia
Bersih dari Uang Pelicin. Buku Indonesia Bersih Uang Pelicin merupakan panduan
pertama yang diterbitkan untuk merekam pengembangan strategi pencegahan uang
pelicin oleh para pemangku kepentingan.
Strategi pencegahan dalam pengembangan sistem manajemen integritas
sangat potensial menjawab penyelesaian uang pelicin Strateginya pun tidak terbatas
pada aktor penerima uang pelicin yang selama ini dilekatkan dengan birokrasi
pemerintah. Tapi juga untuk merangkul masyarakat luas. Inilah kunci dari strategi
optimalisasi pemberantasan korupsi.
Data survei Global Corruption Barometer (GCB) yang diluncurkan
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih saja terbiasa memberi uang
pelicin
untuk mendapatkan akses layanan publik. Sekitar 71% dari seribu warga mengaku
membayar sejumlah uang untuk mempercepat proses layanan pemerintah Angka itu
menunjukkan betapa rusaknya mental sebagian besar masyarakat yang turut ambil
bagian dalam melemahkan integritas para pegawai di sektor layanan publik.
Dari data yang tersaji dalam survei itu, institusi layanan publik yang dinilai
paling rawan dengan uang pelicin adalah kepolisian, dengan persentase tertinggi.

5
(75%). Setelah itu, yang tak kalah rawannya adalah lembaga peradilan, dengan
angka 66%. Lalu berturut- turut lembaga perizinan, pertanahan, pendidikan, dan
kesehatan, yang masing-masing mendapat angka 37%, 32%, 21%, dan 12%. Ini
sangat kontras dengan negeri jiran Malaysia yang institusi layanan publiknya paling
bersih di antara enam negara Asia Tenggara.

B. Tujuan
1. Agar mampu memahami pengertian gratifikasi
2. Agar mampu memahami jenis-jenis gratifikasi
3. Agar mampu memahami penggolongan gratifikasi
4. Agar mampu memahami bahaya gratifikasi

C. Manfaat
1. Bagi instusi pedidikan
a. Diharapkan dapat memberikan manfaaat bagi pembaca untuk memahami
tentang proses apa saja mengenai gratifikasi
b. Mengimplementasikan teori dan ilmu yang telah didapatkan dalam
perkuliahan serta mempelajari tentang gratifikasi
2. Bagi pihak lain
a. Diharapkan berguna sebagai bahan evaluasi pengembangan tentang
gratifikasi
b. Diharapkan bermanfaat bagi pembaca untuk mempelajari tentang
gratifikasi

6
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Gratifikasi
1. Pengertian Grativikasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) seperti dikutip dari situs
Kemdikbud, gratifikasi artinya pemberian yang diberikan karena layanan atau
manfaat yang diperoleh. Pengertian gratifikasi ini selaras dengan yang dilansir
situs KPK berikut ini (Mansyur, 2022).

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian


uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik. Pengertian gratifikasi ini termuat dalam Pasal 12b ayat (1)
UU No. 20 Tahun 2001 (Mansyur, 2022).

Gratifikasi adalah pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau


penyelenggara negara. Maka dari itu, gratifikasi bersifat netral sehingga tidak
semua gratifikasi dilarang atau salah. Berikut ini perbedaan antara gratifikasi
yang dilarang dan yang boleh diterima (Asri, 2022).

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-


Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
gratifikasi adalah "pemberian", dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Tindakan gratifikasi dilarang karena dapat mendorong penyelenggara negara
atau pegawai negeri untuk bersikap tidak objektif, tidak adil, dan tidak

7
profesional dalam melakukan pekerjaannya. Hal ini dapat membuat para petugas
negara tersebut tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

Pada buku Buku Saku Memahami Gratifikasi dalam Pasal 12B ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 dijelaskan pengertian gratifikasi. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang
diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (Asri, 2022).

2. Penggolongan Grativikasi
Menurut Asri (2022), grativikasi di golongkan menjadi 2 golongan, yaitu :

a) Gratifikasi yang dilarang adalah yang memenuhi kriteria:


1) Gratifikasi yang diterima berhubungan dengan jabatan.
2) Penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan
dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan, atau merupakan
penerimaan yang tidak patut atau tidak wajar
b) Gratifikasi yang boleh diterima Gratifikasi yang boleh diterima memiliki
karakteristik:
1) Berlaku umum, yaitu kondisi pemberian yang diberlakukan sama dalam
hal jenis, bentuk, persyaratan, atau nilai untuk semua peserta serta
memenuhi prinsip kewajaran atau kepatutan.
2) Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Dipandang sebagai wujud ekspresi, keramah- tamahan, dan
penghormatan dalam hubungan sosial antar sesama dalam batasan nilai
yang wajar.

8
4) Merupakan bentuk pemberian yang berada dalam ranah adat istiadat
kebiasaan dan norma yang hidup di masyarakat dalam batasan nilai yang
wajar.

3. Perkembangan Peraturan
Asas hukum gratifikasi adalah sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2022
tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam Pasal 12b ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001
disebutkan, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: Gratifikasi
yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pembuktian
terbalik) Gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penuntut umum (Mansyur, 2022).

Adapun hukuman sanksi tindak gratifikasi adalah termuat dalam Pasal 12 b


ayat (2) sebagai berikut:

1) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan
paling lama 20 tahun
2) Pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Menurut buku pedoman 'Mengenal Gratifikasi' oleh KPK, pada dasarnya
gratifikasi adalah 'suap yang tertunda' atau sering juga disebut 'suap
terselubung'. Pegawai negeri atau penyelenggara negara (Pn/PN) yang
terbiasa menerima gratifikasi terlarang, lama kelamaan dapat terjerumus
melakukan korupsi bentuk lain. Seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya

Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu


dilihat rumusan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001:

9
"Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan sebagai
berikut: "
Jadi, bila dilihat dari rumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu perbuatan
pidana suap, khususnya pada seorang penyelenggara negara atau pegawai
negeri menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak mana
pun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan
jabatannya ataupun pekerjaannya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, Bab II Pasal 2 penyelenggara negara yang dilarang menerima
gratifikasi meliputi:
a) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
b) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
c) Menteri
d) Gubernur
e) Hakim
f) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (misalnya Kepala Perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan
Bupati/Walikotamadya), dan
g) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (meliputi: Direksi, Komisaris, dan pejabat
struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Daerah; Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan

10
Penyehatan Perbankan Nasional; Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil,
militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; Jaksa; Penyidik;
Panitera Pengadilan; dan Pemimpin dan
bendaharawan proyek).
Menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam
dengan hukuman pidana.
1) Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
2) Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3) Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
4) Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
"Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggaran negara dianggap pemberian suap, apabila

11
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
5) Pasal 12 B ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta).
6) Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1)
tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
b. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
c. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat
menjadi milik penerima atau milik negara.
d. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status

12
gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur
dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

4. Contoh-Contoh Grativikasi
Menurut Asri (2022), adapun contoh-contoh pemberian yang dapat
dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi adalah :

a. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan
oleh rekanan atau bawahannya.
b. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh
rekanan kantor pejabat tersebut.
c. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan
pribadi secara cuma- cuma.
d. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari
rekanan.
e. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
f. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara- acara pribadi lainnya dari
rekanan.
g. Pemberian hadiah atau suvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
h. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah
dibantu

B. Uang Pelicin
1. Pengertian Uang Pelicin
Uang pelicin adalah pembayaran finansial yang dapat dianggap sebagai suap
dan dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat proses administrasi. Ini adalah
pembayaran yang diberikan kepada pejabat publik atau pemerintah yang
bertindak sebagai insentif bagi pejabat tersebut untuk menyelesaikan suatu

13
tindakan atau proses dengan cepat, demi kepentingan pihak yang melakukan
pembayaran (Listiani, 2021).
Suap (sogok atau uang pelicin) adalah suatu usaha atau tindakan yang
dilakukan pihak tertentu melalui cara-cara yang tidak benar untuk mencapai
tujuan-tujuan yang dianggap lebih menguntungkan atau memudahkan. Misalnya
menyuap supaya pengurusan surat lebih cepat daripada biasanya, menyuap
supaya mendapatkan pekerjaan atau jabatan tertentu, menyuap supaya tidak
terkena sanksi atau hukuman (lase, 2021).
Uang pelicin/suap yang biasa terjadi antara lain dalam bentuk uang pelicin
masuk kerja/pengang- katan pegawai, uang pelicin untuk kenaikan jabat- an,
komisi dalam transaksi dagang, uang pelicin untuk memenangkan tender suatu
proyek, uang pelicin untuk mengurus surat di kelurahan, polisi minta uang
damai di jalan, pembuatan surat-surat penting dan uang pelicin petugas di laut
(Winarta, 2009).
Mengenai pengertian pemberian uang pelicin secara lebih detail adalah
sebagai berikut menurut (Arifin, 2014) :
a. Uang pelicin diberikan oleh A (pihak pemberi) yang merupakan individu
perseorangan atau kumpulan individu (organisasi)
b. Uang pelicin diberikan oleh B (pihak penerima) yang merupakan individu
perseorangan atau kumpulan individu (organisasi).
c. A (pemberi) dan B (penerima) dapat berupa organisasi pemerintah,
perusahaan ataupun organisasi bentuk lain
d. Inisiatif pemberian uang pelicin dapat muncul atau berasal dari A atau B. A
mungkin saja dapat berinisiasi untuk memberi. Namun B dapat menginisiasi
pem- berian ketika B secara terang-terangan meminta atau- pun menahan
serta menunda dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perbuatan sampai A
memberi pemberian.

14
e. Pemberian uang pelicin tidak hanya terbatas pada pemberian. Pemberian
dapat berupa janji pemberian. Jadi meskipun masih berupa janji pemberian
tetap hal itu masuk dalam kategori pemberian
f. Pemberian uang pelicin dapat dilakukan untuk benar- benar memengaruhi
kewenangan B, atau karena mengingat pengaruh kewenangan yang dimiliki
B.
g. Pemberian uang pelicin dapat dilakukan untuk. memengaruhi dilakukan atau
tidak dilakukannya sesuatu oleh B, atau sesuatu di luar yang berhubungan
dengan dilakukan atau tidak dilakukannya sesuatu oleh B.
h. Pemberian uang pelicin dapat dilakukan sebelum, pada saat, atau setelah
suatu perbuatan pertentangan B dalam kewajibannya dilakukan.
i. Pemberian uang pelicin dilakukan secara rahasia dan tidak memiliki bukti
transaksi yang diberikan oleh penerima uang pelicin kepada pemberi uang
pelican
Ada sejumlah literatur akademis yang membahas uang pelicin yang
dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan sebutan facilitation payment.
Satu di antaranya adalah karya Antonio Argandona, Profesor Emeritus
Ekonomi di Universitas Navarra, Spanyol. Dalam tulisannya yang berjudul
Corruption and Companies: The Use of Facilitating Payment, ia
menyebutkan bahwa uang pelicin adalah penyakit yang bukan saja mendera
negara- negara berkembang, tapi juga negara maju (Arifin, 2014).
2. Perkembangan Peraturan
Peraturan Undang-Undang tentang uang Pelicin :
Pemberian uang pelicin merupakan salah satu bentuk tindakan suap.
Penyuapan sebagai tindak pindana tersebut diatur di dalam sejumlah peraturan
yang ada di Indonesia, terutama dalam Undang-Undang Tindak Pindana
Korupsi (Tipikor) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

15
Terkait lamanya pidana yang bisa dijatuhkan dan pengertian dari pemberian
uang pelicin sebagai bentuk tindakan suap diatur dalam Pasal 5 ayat (1). Di
pasal tersebut disebutkan bahwa dipidana dengan pindana penjara paling singkat
1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit
Rp50.000.000 dan paling banyak Rp250.000.000 setiap orang yang melakukan :
1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau
2. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

3. Penipuan Melalui Pemberian Uang Pelicin


Penipuan melalui pemberian uang pelicin (kickback) adalah salah satu
bentuk penipuan yang sering kali berkaitan dengan pembelian. Kebanyakan
perusahaan mengharapkan staf pembeliannya memilih pemasok yang
memberikan produk terbaik dengan harga yang terendah. Untuk memengaruhi
keputusan staf pembelian, pemasok dapat memberikan hadiah kepada staf
tersebut (uang tunai, hadiah, tiket sepak bola, dan sebagainya). Hal ini dapat
menyebabkan pemesanan pada pemasok tersebut meskipun produknya
berkualitas lebih rendah dan harganya lebih tinggi (Hall, 2007).

4. Dampak Uang Pelicin


Pemberian uang pelicin mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi sang
pemberi uang pelicin dan pada kemudian hari bisa memengaruhi iklim berbisnis
di suatu tempat. Lebih parah lagi, uang pelicin dan uang suap berpotensi kuat
menghancurkan mentalitas bangsa karena jelas- jelas menggerogoti integritas
pejabat publik dan para penyelenggara layanan publik. Dengan uang pelicin dan

16
uang suap, mereka terbiasa dan dibiasakan menerima imbalan lebih yang bukan
haknya untuk melakukan pekerjaan yang memang sudah menjadi kewajibannya.

pemberian uang suap tidak sebatas memengaruhi proses adminstratif seperti


pada pemberian uang pelicin, tapi lebih jauh lagi yakni untuk memengaruhi
pengambilan keputusan. Otomatis, orang yang menerima uang suap berada di
level yang lebih tinggi dibandingkan dengan penerima uang pelicin karena ia
punya kekuatan lebih besar di tingkat pengambilan keputusan. Walau demikian,
uang pelicin dan uang suap pada dasarnya sama-sama tidak berakibat langsung
pada kerugian keuangan ataupun perekonomian negara (Arifin, 2014).

Walaupun uang pelicin dan uang suap tidak langsung mengakibatkan


kerugian keuangan ataupun perekonomian negara, dampak yang ditimbulkan
kedua perbuatan itu tidak kalah merusak. Pemberian uang pelicin
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi sang pemberi uang pelicin dan pada
kemudian hari bisa memengaruhi iklim berbisnis di suatu tempat (Arifin, 2014).

Lebih parah lagi, uang pelicin dan uang suap berpotensi kuat
menghancurkan mentalitas bangsa karena jelas- jelas menggerogoti integritas
pejabat publik dan para penyelenggara layanan publik. Dengan uang pelicin dan
uang suap, mereka terbiasa dan dibiasakan menerima imbalan lebih yang bukan
haknya untuk melakukan pe- kerjaan yang memang sudah menjadi
kewajibannya. Lebih jauh lagi, kedua perbuatan itu boleh dibilang tidak etis
karena mendorong pejabat publik dan para penyelenggara layanan publik untuk
melanggar kode etik profesinya (Arifin, 2014).

5. Contoh Kasus Uang Pelicin


Pelicin untuk memperoleh anggaran :
Kasus pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) di
parlemen berujung pemberian uang pelicin dari pengusaha ke anggota parlemen.
Uang pelicin ini agar suatu daerah mendapat jatah DPID dari anggaran negara.

17
Sejumlah pengusaha terbukti memberikan uang pelicin kepada anggota Badan
Anggaran di parlemen senilai Rp6,25 miliar. Modus pemberian uang pelicin ini
dilakukan tidak secara langsung. Para pengusaha memberikan uang kepada
perantara. Selanjutnya, sang perantara mentransfer dana itu secara bertahap
kepada staf anggota parlemen. Berbekal uang ini, sang anggota parlemen
mengawal dan memuluskan pengalokasian dana DPID tahun 2011 ke beberapa
kabupaten seperti Aceh Besar, Pidie Jaya, Bener Meriah, dan Minahasa.
Mahkamah Agung telah menyatakan perbuatan anggota Badan Anggaran DPR
itu melanggar Undang- Undang Antikorupsi. Hakim menjatuhkan hukuman
penjara selama enam bulan kepadanya.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gratifikasi adalah suatu pemberian, imbalan atau hadiah oleh orang yang
pernah mendapat jasa atau keuntungan atau oleh orang yang telah atau sedang
berurusan dengan suatu Lembaga public atau pemerintah dalam misalnya untuk
mendapatkan suatu kontrak. Dimana gratifikasi sudah dilandaskan dalam pasal No.
20 Tahun 2001. Gratifikasi itu sendiri ada yang dianggap suap maupun tidak.
Gratifikasi juga berdampak buruk,serta banyaknya contoh yang bisa kita lihat
sekarang gratifikasi yang dilakukan.

B. Saran
Kita sebagai mahasiswa dan terpelajar hendaknya bisa membedakan
gratifikasi dan korupsi dan bisa menghindari gratifikasi dimana pun kita berada dan
pelajari sehingga kita tidak menyimpang serta pahami tentang gratifikasi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, L. H. (2014). Indonesia Bersih Uang Pelicin. Jakarta: Transparency International


Indonesia.

Asri, A. (2022). Tindak Pidana Khusus. Jawa Barat: CV Jejak.

Hall, J. A. (2007). Sistem Informasi Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat.

lase, p. (2021). mengenal hati Allah. Yogyakarta: PBMR ANDI.

Listiani, A. (2021). 15 materi dasar pendidikan anti korupsi. jawa barat: Guepedia.

Mansyur, A. I. (2022). Pendidikan Antikorupsi (Menciptakan Pemahaman Gerakan dan


Budaya Antikorupsi). Bandung: WIDINA BHAKTI PERSADA BANDUNG.

Winarta, F. H. (2009). Suara Rakyat Hukum Tertinggi. Jakarta: PT Kompas Media


Nusantara.
Ridwan Zachrie, W. (2013). Korupsi Mengorupsi Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.

20
Pelaksanaan Presentasi Tentang Uang Pelicin

Hari/tanggal : Jumat, 01 Desember 2023


Waktu : 10:00 WIB

1. Moderator : Liza Farhana


2. Pemateri : Winda Maulida
3. Yang Menjawab Pertanyaan : Deva Eliza Fitria
4. Yang Bertanya : Nur Kamalia (Kelompok 1)

Pertanyaan :
1. Sebutkan salah satu contoh kasus uang pelicin di lingkungan sekitar ?

21

Anda mungkin juga menyukai