Anda di halaman 1dari 88

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN TBC

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah KMB I

Dosen : Ns. Erlangga Galih ZN,.M.kep

Disusun oleh Kelompok 4

Zahratul A’yun P07120121079


Zakiatul Fuada Hasnur P07120121080
Sarah Nurizka P07120121073
Tasya Nabila Rizqia P07120121076
Liza P07120121054
Delia Altav P07120121046
Nurul Fitria P07120121063
Yasmin Hafifah P07120121078
Nur Azkiya P07120121062
Rina Asyifa Putri P07120119074

D-III KEPERAWATAN BANDA ACEH

POLTEKKES KEMENKES ACEH

2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga tugas laporan pendahuluan yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN TBC” Ini dapat terselesaikan pada waktu yang telah di tentukan.

Dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekeliruan dan kekurangan serta masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang besifat konstruktif dan membangun demi kesempurnaan penyusun ke
depannya.

Tugas laporan pendahuluan ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan dari anggota
kelompok. Maka, dari itu izinkan kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
anggota yang telah membantu menyelesaikan tugas ini.

Akhir kata semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya kami penyusunnya.

Banda Aceh, 11 Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4
1.2 Tujuan Umum...................................................................................................................4
1.3 Tujuan Khusus..................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................5
2.1 Definisi TBC....................................................................................................................5
2.2 Etiologi TBC....................................................................................................................5
2.3 Manifestasi Klinis.............................................................................................................6
2.4 Patofisiologi......................................................................................................................6
2.5 Pemeriksaan Fisik.............................................................................................................8
2.6 Pemeriksaan Pemenuhan Kebutuhan Dasar.....................................................................9
2.7 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................................10
2.8 Penatalaksanaan Medis & Keperawatan........................................................................11
2.9 Diagnosa Keperawatan yang muncul dan Rencana Tindakan Keperawatan.................12
BAB III PENUTUP..................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................18
3.2 Saran...............................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari Mycobacterium
tuberculosis, yang mempengaruhi paru-paru. TB merupakan salah satu penyakit tertua
yang diketahui mempengaruhi manusia menjadi penyebab utama kematian di seluruh
dunia (Kasper, 2010).TB adalah salah satu dari 10 penyebab kematian di seluruh
dunia. Pada tahun 2017, 10 juta orang jatuh sakit dengan TB (WHO,2018). Bakteri ini
lebih sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan organ tubuh manusia, dan
juga merupakan salah satu penyakit yang paling mematikan di dunia.

1.2 Tujuan Umum


Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan penyakit TBC

1.3 Tujuan Khusus


1. Untuk memahami definisi TBC
2. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit TBC
3. Untuk mengetahui patofisiologi (pathway) TBC
4. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik (head to toe)
5. Untuk mengetahui pemeriksaan pemenuhan kebutuhan dasar
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan
8. Untuk mengetahui dioagnosa keperawatan yang muncul
9. Untuk mengetahui rencana tindakan keperawatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi TBC
Tuberkulosis (TBC) atau TB adalah penyakit menular akibat infeksi bakteri. TBC umumnya
menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lain, seperti ginjal, tulang
belakang, dan otak. Menurut WHO, sebanyak 1,5 juta orang meninggal akibat penyakit TBC
di tahun 2020. Penyakit ini merupakan penyakit dengan urutan ke–13 yang paling banyak
menyebabkan kematian, dan menjadi penyakit menular nomor dua yang paling mematikan
setelah COVID-19. Penyakit ini dapat berakibat fatal bagi penderitanya jika tidak segera
ditangani. Meski begitu, TBC adalah penyakit yang dapat disembuhkan dan bisa dicegah.

Penularan dan Gejala Tuberkulosis (TBC)

Penularan tuberkulosis (TBC) terjadi ketika seseorang tidak sengaja menghirup percikan
ludah (droplet) saat seseorang yang terinfeksi TBC bersin atau batuk. Oleh sebab itu, risiko
penularan penyakit ini lebih tinggi pada orang yang tinggal serumah dengan penderita TBC.

TBC pada paru-paru akan menimbulkan gejala berupa batuk lebih dari 3 minggu yang dapat
disertai dahak atau darah. Selain itu, penderita juga akan merasakan gejala lain, seperti
demam, nyeri dada dan berkeringat di malam hari.

2.2 Etiologi TBC


Tuberkulosis paru atau TBC paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang
merupakan basil tahan asam dan alkohol. M. tuberculosis adalah bakteri yang bersifat aerobik
obligat, fakultatif, dan intraseluler. Kandungan lipid yang tinggi pada dinding sel M.
tuberculosis menyebabkan bakteri ini dapat resisten terhadap beberapa jenis antibiotik dan
sulit diwarnai dengan pewarnaan Gram atau pewarnaan lainnya.

M.tuberculosis dapat bertahan dalam kondisi asam dan basa yang ekstrem, kondisi rendah
oksigen, dan kondisi intraseluler. Bakteri ini umumnya menginfeksi paru-paru tetapi dapat
juga menginfeksi organ lain, seperti tulang, otak, hati, ginjal, dan saluran pencernaan.
Manusia merupakan satu-satunya host Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menyebar
dari orang ke orang melalui partikel droplet aerosol. Ukuran droplet infeksius dari pasien
tuberkulosis paru bervariasi dari 0,65 µm hingga >7,0 µm.
Partikel aerosol yang berukuran kecil dapat melewati nasofaring hingga trakea dan bronkus,
lalu terkumpul di saluran napas distal. Sementara itu, partikel aerosol yang lebih besar dapat
terkumpul di saluran napas atas atau orofaring dan mengakibatkan tuberkulosis orofaring atau
tuberkulosis nodus limfatik servikal.

2.3 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala yang sering terjadi pada Tuberkulosis adalah batuk yang tidak spesifik
tetapi progresif. Penyakit Tuberkulosis paru biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala
yang khas. Biasanya keluhan yang muncul adalah :

a. Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.

b. Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang /
mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulent
(menghasilkan sputum)

c. Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru

d. Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

e. Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot
dan keringat di waktu di malam hari

2.4 Patofisiologi
Tempat masuk kuman Mycobacterium Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi
melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel
yang berasal dari orang yang terinfeksi.

Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas dengan melakukan
reaksi inflamasi bakteri dipindahkan melalui jalan nafas, basil tuberkel yang mencapai
permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga
basil, gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar
bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil
tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada
tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah
hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala Pneumonia akut.

Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang
tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau
berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar
getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit.
Reaksi ini membutuhkan waktu 10 – 20 hari.

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, isi
nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel
epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih
fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.

Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah
bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi
pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk
kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain di
paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer
menjadi rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk.
Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.

Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan
parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan tertutup oleh
jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat
mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh
dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan
ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan
bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos
melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-
kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal
sebagai penyebaran limfo hematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen
merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan Tuberkulosis milier. Ini terjadi
apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam
sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh. Komplikasi yang dapat timbul akibat
Tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada sistem
pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan gagal nafas, sedang
diluar sistem pernafasan menimbulkan Tuberkulosis usus, Meningitis serosa, dan
Tuberkulosis milier (Kowalak, 2011).
2.5 Pemeriksaan Fisik
1. Tes kulit (Mantoux test)

Tes kulit, atau mantoux tuberculin skin test (TST), merupakan metode yang paling sering
digunakan dalam pemeriksaan TBC. Biasanya, tes ini dilakukan di negara-negara dengan
angka kejadian TBC yang rendah, di mana kebanyakan orang hanya memiliki TBC jenis
laten di dalam tubuhnya.

Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikkan cairan yang disebut dengan tuberkulin. Itu
sebabnya, tes ini disebut juga dengan nama uji tuberkulin. Tuberkulin disuntikkan di bagian
bawah lengan Anda. Setelah itu, Anda akan diminta untuk kembali ke dokter dalam waktu
48-72 jam setelah tuberkulin disuntikkan.

2. The Interferon Gamma Release Assays (IGRA)

IGRA adalah jenis pemeriksaan TBC terbaru yang dilakukan dengan mengambil sedikit
sampel darah Anda. Tes darah dilakukan untuk mengetahui bagaimana sistem imun tubuh
Anda merespons bakteri penyebab TBC.

3. Sputum smear microscopy

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya TBC adalah sputum smear
microscopy, atau mengambil sedikit cairan dahak untuk diperiksa di bawah mikroskop. Anda
mungkin lebih mengenalnya dengan nama tes dahak atau pemeriksaan BTA.

4. Rontgen thorax TB paru

Hasil rontgen dada (thorax) dapat memberikan gambaran klinis dari kondisi paru-paru
seseorang sehingga bisa mendeteksi penyakit TBC.

Pemeriksaan TBC ini mungkin dilakukan setelah satu spesimen tes dahak BTA menunjukkan
hasil positif dan dua spesimen lainnya negatif. Anda juga akan diminta melakukan rontgen
thorax apabila hasil tes Anda negatif semua dan Anda telah diberikan obat antibiotik non-TB
paru, tapi tak ada perbaikan.

2.6 Pemeriksaan Pemenuhan Kebutuhan Dasar


Abraham Maslow menjelaskan kebutuhan dasar manusia dibagi dalam 5 tahap yaitu,
fisiologis, rasa aman dan nyaman, cinta dan dicintai, harga diri dan aktualisasi diri. Adanya
gangguan pada salah satu system tubuh akan membawa pengaruh terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar manusia. Penderita TB paru akan mengalami perubahan dan gangguan
dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu : Kebutuhan dasar manusia

1) Oksigenasi

Adanya gejala batuk-batuk berdahak, sekret yang kental mengakibatkan bersihan jalan nafas
yang tidak efektif dan akhirnya kebutuhan oksigen tidak terpenuhi secara optimal. Tanda dan
gejala lain yang mengakibatkan terjadinya gangguan pada kebutuhan oksigenasi ialah sesak
nafas, wheezing, batuk hingga batuk berdarah.

2) Nutrisi

Terjadinya penurunan berat badan akibat dari proses metabolisme yang meningkat serta
timbulnya anoreksi maka akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan nutrisi yang

kurang.

3) Pola aktifitas

Penurunan kadar oksigen dalam darah menyebabkan suplai oksigen ke jaringan menurun
yang mengakibatkan proses pembentukan ATP terhambat, akhirnya energi yang di hasilkan

sedikit, menyebabkan penderita TB paru merasa lelah dan lemah. Bahkan, pasien TB juga
bisa mengalami rasa sakit kepala, meriang, lemah badan dan gejala malaise lainnya sehingga
mengakibatkan terjadinya gangguan pada pola aktifitas.

4) Gangguan kebutuhan rasa aman

Timbul perasaan cemas akan penyakit yang diderita dan ancaman kematian, dan
kekhawatiran penyakitnya akan menular kepada orang lain. Adanya rasa nyeri dada akibat
dari batuk yang terus menerus juga bisa dirasakan pada pasien TB mengakibatkan terjadinya
gangguan rasa nyaman. 5) Gangguan pemenuhan kebutuhan harga diri Perasaan tidak
berharga karena tidak bisa melakukan peran dan fungsinya akibat adanya sakit. (Alimul,
2014).

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita TB paru adalah :

a. Pemeriksaan Diagnostik
b. Pemeriksaan sputum

Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan di ketemukannya kuman BTA diagnosis
tuberculosis sudah dapat di pastikan. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali yaitu: dahak
sewaktu datang, dahak pagi dan dahak sewaktu kunjungan kedua. Bila didapatkan hasil dua
kali positif maka dikatakan mikroskopik BTA positif. Bila satu positif, dua kali negatif maka
pemeriksaan perlu diulang kembali. Pada pemeriksaan ulang akan didapatkan satu kali positif
maka dikatakan mikroskopik BTA negatif.

c. Ziehl-Neelsen (Pewarnaan terhadap sputum). Positif jika diketemukan bakteri taham

asam.

d. Skin test (PPD, Mantoux)

Hasil tes mantaoux dibagi menjadi :

1) indurasi 0-5 mm (diameternya ) maka mantoux negative atau hasil negative

2) indurasi 6-9 mm ( diameternya) maka hasil meragukan

3) indurasi 10- 15 mm yang artinya hasil mantoux positif

4) indurasi lebih dari 16 mm hasil mantoux positif kuat

5) reaksi timbul 48- 72 jam setelah injeksi antigen intrakutan berupa indurasi kemerahan
yang terdiri dari infiltrasi limfosit yakni persenyawaan antara antibody dan antigen tuberculin

e. Rontgen dada

Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas, timbunan kalsium dari lesi
primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang menunjukkan perkembangan Tuberkulosis
meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.

f. Pemeriksaan histology / kultur jaringan Positif bila terdapat Mikobakterium Tuberkulosis.

g. Biopsi jaringan paru

Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan terjadinya nekrosis.

h. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi.

i. Analisa gas darah (AGD)

Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan jaringan paru.

j. Pemeriksaan fungsi paru

Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang fungsi, meningkatnya rasio residu udara pada
kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen sebagai akibat infiltrasi parenkim /
fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura (akibat dari tuberkulosis kronis).

2.8 Penatalaksanaan Medis & Keperawatan


a. Pengobatan TBC Paru

Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni:

1) Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4–5 macam obat anti TB per hari dengan
tujuan mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakteri sidal), menghilangkan
keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut, mencegah timbulnya resistensi obat

2) Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2 macam obat per hari
atau secara intermitten dengan tujuan menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi),
mencegah kekambuhan pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33
kg, 33 – 50 kg dan lebih dari 50 kg.

b. Perawatan bagi penderita tuberkulosis

Perawatan yang harus dilakukan pada penderita tuberculosis adalah :

1) Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah orang

terdekat yaitu keluarga.

2) Mengetahui adanya gejala efek samping obat dan merujuk bila diperlukan

3) Mencukupi kebutuhan gizi seimbang penderita

4) Istirahat teratur minimal 8 jam per hari

5) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan kedua, kelima
dan enam

6) Menciptakan lingkungan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan yang baik

c. Pencegahan penularan TBC

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah :

1) Menutup mulut bila batuk

2) Membuang dahak tidak di sembarang tempat. Buang dahak pada wadah

tertutup yang diberi lisol

3) Makan makanan bergizi

4) Memisahkan alat makan dan minum bekas penderita

5) Memperhatikan lingkungan rumah, cahaya dan ventilasi yang baik

6) Untuk bayi diberikan imunisasi BCG (Depkes RI, 2010)

2.9 Diagnosa Keperawatan yang muncul dan Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa NOC NIC
Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan nafas
jalan napas berhubungan keperawatan diharapakan a) Bersihkan jalan nafas
dengan mokus dalam jumlah status pernafasan : kepatenan dengan teknik chin lift atau
berlebihan, eksudat jalan jalan nafas dengan kriteria jaw thrust sebagai mana
dalam jalan alveoli, hasil : mestinya
bertahan/sisa sekresi sekresi a) Frekuensi pernafasan b) Posisikan pasien untuk
Definisi: tidak ada deviasi dari kisaran memaksimalkan ventilasi
Ketidakmampuan normal c) Identifikasi kebutuhan
membersihkan sekresi atau b) Irama pernafasan tidak aktual/potensial pasien untuk
obstruksi dari saluran nafas ada deviasi dari kisaran memasukkan alat membuka
untuk mempertahankan normal jalan nafas
bersihan jalan nafas Batasan c) Kemampuan untuk d) Lakukan fisioterapi dada
karakteristik : mengeluarkan secret tidak sebagai mestinya mana
1. Batuk efektif yang tidak ada deviasi dari kisaran e) Buang secret dengan
2. Dyspnea normal memotivasi pasien untuk
3. Gelisah d) Suara nafas tambahan melakukan batuk atau
4. Kesulitan verbalisasi bunyi tidak ada menyedot lender
5. Penurunan nafas e) Dispenea dengan aktifitas f) Instruksikan bagaimana
6. Perubahan frekensi nafas ringan tidak ada agar bias melakukan efektif
7. Perubahan pola nafas f) Pengunaan otot bantu batuk
8. Sputum dalam jumlah yang pernafasan tidak ada g) Auskultasi suara nafas
berlebihan h) Posisikan untuk
9. suara nafas tambahan status pernafasan ventilasi meringankan sesak nafas
dengan kriteria hasil :
Faktor yang berhubungan : a) Frekuensi pernafasan Monitor Pernafasan
1. Lingkungan tidak ada deviasi dari a) Monitor kecepatan,
a) Perokok Kisaran normal irama, kedalaman
b) Perokok pasif b) Irama pernafasan dan kesulitan
c) Terpapar asap tidak nada devisiasi bernafas
2. Obstuksi jalan nafas dari kisaran normal b) Catatan pergerakan
a) Adanya jalan nafas c) Suara perkusi nafas dada, catat
buatan tidak ada deviasi dari ketidaksimetrisan,
b) Benda asing dalam kisaran normal penggunaan otot
jalan nafas d) Kapasitas vital tidak bantu pernafasan dan
c) Eksudat dalam ada devisiasi dari rektrasi otot
alveoli kisaran normal c) Monitor suara nafas
d) Hyperplasia pada tambahan
dinding bronkus d) Monitor pola nafas
e) Mucus berlebihan e) Auskultasi suara
f) Spasme jalan nafas nafas, catatan area
3. Fisiologis diaman terjadi
a) Disfungsi penurunan atau tidak
neoromuskular adanya ventilasi dan
b) Infeksi keberadaan suara
nafas tambahan.
Ketidakefektifan pola nafas bd f) Kaji perlunya
hiperventilasi penyedotan pada
Definisi : jalan nafas dengan
auskultasi suara
Batasan karakterisktik nafas (ronki) di paru
1. Bradipnea g) Monitor kemampuan
2. Dyspnea batuk efektif pasien
3. Pengunaan otot bantu h) Berikan bantuan
pernafasan terapi nafas jika
4. Penurunan kapasitas- diperlukan (misalnya
kapasitas vital : nebulizer)
5. Penurunan tekanan
ekspirasi Manajemen jalan nafas
6. Penurunan tekanan a. Bersihkan jalan nafas
inspirasi dengan tehnik chin
7. Pernafasan bibir lift atau jaw thrust
8. Pernafasan cuping sebagai mana
hidung mestinya
9. Takipnea b. Posisikan pasien
untuk
Faktor yang berhubungan : memaksimalkan
1. Ansietas ventilasi
2. Cidera medulla c. Identifikasi
spinalis kebutuhan
3. Hiperfentilasi aktual/potensial
4. Keletihan pasien untuk
5. Keletihan otot memasukkan alat
pernafasan pembuka jalan nafas
6. Nyeri d. Lakukan fisioterapi
7. Obesitas dada sebagaimana
8. Posisi tubuh yang mestinya
menghambat ekpansi e. Buang skret dengan
paru memotivasi pasien
untuk melakukan
batuk atau menyedot
lendir
f. Intruksikan
bagaimana agar biasa
melakukan batuk
efektif
g. Auskultasi suara
nafas
h. Posisikan untuk
meringankan jalan
nafas
Terapi oksigen
a. Pertahankan
kepatenan jalan nafas
b. Siapkan peralatan
oksigen dan berikan
melalui sistem
humidifier
c. Berikan oksigen
tambahan seperti
yang diperintahkan
d. Monitor aliran
oksigen
e. Monitor ektifitas
terapi oksigen
f. Amati tanda – tanda
hipoventilasi induksi
oksigen
g. Konsultasi dengan
tenaga kesehatan lain
mengenai pengunaan
oksigen tambahan
selama kegiatan atau
Setelah dilakukan
tidur
tindakan keperawatan
diharapkan status
Ganguan pertukaran gas pernafasan:
berhubungan dengan Pertukaran gas dengan
perubahan membram alviolar kiteria hasil Terapi oksigen
– kapiler a. Tekanan parsal a. Pertahankan
Definisi : oksigen didarah arteri kepatenan jalan nafas
Kelebihan atau deficit (paO2) Tidak ada b. Siapkan peralatan
oksigenasi dan / atau eliminasi defiasi dari kisaran oksigen dan berikan
karbon dioksida pada normal melalui sistem
membran alviola – kapiler b. Tekanan parsia lumidifier
karbon dioksida di c. Berikan oksigen
Batasan karakteristik darah akteri (PaCO2) tambahan seperti
1. Dyaporesis Tidak ada defiasi dari yang diperintahkan
2. dyspmea kisaran normal d. Monitor aliran
3. Ganguan perlihatan c. Saturasi oksigen oksigen
4. Gas darah akteri tidak ada deviasi dari e. Monitor efektivitas
akternal kisaran normal terapi oksigen
5. Gelisah d. Kesiimbangan f. Amati tanda-tanda
6. Hiperkapnia ventilasi dan perfusi hipovetilasi induksi
7. Hipoksemia tidak ada deviasi dari oksigen
8. Hipoksia kisaran normal g. Konsultasi dengan
9. Ph arteri up normal tenaga kesehatan lain
10. Pola pernafasan up Tanda –tanda vital dengan mengenai
normal kiteria hasil : penggunaan oksigen
11. Signosis a. Suhu tubuh tidak ad tambahan selama
deviasi dari kisaran kegiatan dan atau
Faktor berhubungan normal tidur
1. Ketidak seimbangan b. Denyut nadi radial Monitor tanda- tanda vital
ventilasi – perfusi tidak ada deviasi dari a. Monitor tekanan
2. Perubahan membram kisaran normal darah, nadi ,suhu dan
alveolar-kapiler c. Tingkat pernafasan status pernafasan
tidak ada deviasi dari dengan tepat
kisaran normal b. Monitor tekanan
d. Tingkat pernafasam darah saat pasien
tidak ada deviasi dari berbaring,duduk dan
kisaran normal berdiri
e. Tekana darah sistolik c. Sebelum dan setelah
tidak ada deviasi dari perubahan possisi
kisaran normal d. Monitor dan
f. Tekan darah diastolik laporkan tanda dan
tidak ada deviasi dari gejala hiportemia dan
kisaran normal hipertemia
e. Monitor keberadaan
nadi dan kualitas
nadi
f. Monitor irama dan
tekanan jantung
g. Monitor suara paru-
paru
h. Monitor warna
kulit,suhu dan
kelembaban
identifikasi
kemungkinan
penyebab perubahan
tanda tanda vital
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit
parenkim paru. Nama Tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras
yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru.
Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang
dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.

Sumber penularan penyakit Tuberkulosis adalah penderita Tuberkulosis BTA positif pada
waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan. Tempat masuk kuman Mycobacterium Tuberculosis adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC)
terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil
tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.

3.2 Saran
Ada beberapa hal yang dapat disarankan demi keperluan pengembangan hasil penelitian
hubungan motivasi diri dengan kepatuhan minum obat anti tuberculosis (OAT) pada pasien
TB paru :

1. Bagi Puskesmas
Bagi pihak Puskesmas disarankan agar lebih di tingkatkan dalam mengawasi serta
memberikan perhatian lebih kepada p asien TB Parukhususnya pasien TB Paru lansia
yang mempunyai motivasi tinggi untuk sembuh tapi terkendala dengan tidak adanya
keluarga yang mengawasi dengan cara melakukan kunjungan rumah dan memberikan
tanggung jawab kepada petugas kesehatan yang bertanggung jawab sebagai PMO
(Pengawas Minum Obat) yang nantinya akan berperan untuk mengawasi dan
mengingatkan secara terus menerus untuk minum obat. Dan untuk pasien TB Paru
yang mempunyai motivasi rendah agar selalu diberikan dukungan dan pengertian
akan pentingnya kepatuhan dalam menjalani pengobatan TB Paru agar pasien TB
paru dapat termotivasi dalam menjalani pengobatan sehingga tercapainya kesembuhan
penyakit TB paru secara optimal.
2. Bagi Pasien dan keluarga
Diharapkan kepada pasien TB paru agar tetap patuh dalam menjalani pengobatan agar
kesembuhan dapat dicapai sesuai yang diharapkan. Dan bagi keluarga sebaiknya tetap
memberikan dukungan pada pasien dengan cara selalu mengingatkan dan memotivasi
pasien untuk minum obat secara teratur serta meluangkan waktu untuk mengantarkan
pasien berobat ketika pasien membutuhkan bantuan.
3. Bagi Institusi pendidikan
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk perpustakaan dan
menambah wawasan bagi mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Modifikasi teori Gordon dalam Irwan (2017), Kemenkes (2020), Putri (2018), Nizar (2017),
Agustin (2018), Irianti (2016). Sumber : http://repositori.unsil.ac.id/5077/5/Bab
%20II.pdf

dr. Pittara, “TBC (Tuberkulosis)” (2022). Sumber : https://www.alodokter.com/tuberkulosis

dr. Jocelyn Prima Utami,” Etiologi Tuberkolosis Paru” (2021). Sumber :


https://www.alomedika.com/penyakit/pulmonologi/tuberkulosis-paru/etiologi

Shylma Na’imah, “Metode Pemeriksaan untuk Mendiagnosis TBC” (2020). Sumber :


https://hellosehat.com/pernapasan/tbc/pemeriksaan-tbc/
CHONIC OBSTUCTIVE PULMONARY DISEASE

(COPD)
Dosen Pengampu: : Ns. Erlangga Galih Z.N. M.Kep

Oleh:

Rizky febriansyah maman ardiansyah

Irhamna alaudinsyah hafiz ihsan ara

Muhammad raisal akbar Rifal amarsyah maulana

Muhammad fiqih luthfi muhibbul shadri

Said muajir yuriza(perbaikan)

PRODI D-III KEPERAWATAN BANDA ACEH

POLTEKKES KEMENKES ACEH

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga tugas laporan pendahuluan yang berjudul
“ASUHAN KEPERAWATAN COPD” Ini dapat terselesaikan pada waktu yang telah di
tentukan.

Dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekeliruan dan kekurangan serta
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca yang besifat konstruktif dan membangun demi
kesempurnaan penyusun ke depannya.

Tugas laporan pendahuluan ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan
dari anggota kelompok. Maka, dari itu izinkan kami menyampaikan ucapan terima
kasih kepada semua anggota yang telah membantu menyelesaikan tugas ini.

Akhir kata semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya kami
penyusunnya.

Banda Aceh, 11 Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................4
A.Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).........................................4
B.ETIOLOGI......................................................................................................6
C.MANIFESTASI KLINIS..................................................................................7
D.PATOFISIOLOGI COPD................................................................................7
E.PEMERIKSAAN FISIK...................................................................................7
F.PEMERIKSAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR................................8
G.PEMERIKSAAN PENUNJANG.....................................................................8
H.PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN...............................10
I.DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL (NANDA,MINIMAL 5 DIAGNOSA
KEPERAWATAN )...........................................................................................11
J.RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN (NIC/NOC).................................13
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................14
A. Kesimpulan.................................................................................................14
B. Saran...........................................................................................................14
DAFTAR PUSAKA..............................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis kronis atau
empisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya progresif kadang diikuti oleh
hiperaktivitas jalan nafas dan kadangkala parsial reversibel, sekalipun empisema
dan bronkitis kronis harus didiagnosa dan dirawat sebagai penyakit khusus,
sebagian besar pasien PPOK mempunyai tanda dan gejala kedua penyakit tersebut.
( Amin, Hardhi, 2013).Sekitar 14 juta orang Amerika terserang PPOK dan Asma
sekarang menjadi penyebab kematian keempat di Amerika Serikat. Lebih dari
90.000 kematian dilaporkan setiap tahunnya. Rata-rata kematian akibat PPOK
meningkat cepat, terutama pada penderita laki-laki lanjut usia. Angka penderita
PPOK di Indonesia sangat tinggi. Banyak penderita PPOK datang ke dokter saat
penyakit itu sudah lanjut. Padahal, sampai saat ini belum ditemukan cara yang
efisien dan efektif untuk mendeteksi PPOK. Menurut Dr Suradi, penyakit PPOK di
Indonesia menempati urutan ke-5 sebagai penyakit yang menyebabkan kematian.
Sementara data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun
2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan ke-4 sebagai penyebab
kematian. "Pada dekade mendatang akan meningkat ke peringkat ketiga. Dan
kondisi ini tanpa disadari, angka kematian akibat PPOK ini makin
meningkat.penyakit PPOK selayaknya mendapatkan pengobatan yang baik dan
terutama perawatan yang komprehensif, semenjak serangan sampai dengan
perawatan di rumah sakit. Dan yang lebih penting dalah perawatan untuk
memberikan pengetahuan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang
perawatan dan pencegahan serangan berulang pada pasien PPOK di rumah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)


1. Definisi Penyakit Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)

adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernapasan yang disebabkan


oleh emfisema dan bronkitis kronis. Menurut American College of Chest
Physicians/American Society, (2015). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
adalah sekolompok penyakit paru menahun yang berlangsung lama dan disertai
dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara (Padila, 2012). Selompok
penyakit paru tersebut adalah bronkitis kronis, emfisema paru-paru dan asma
bronchial (Smeltzer, 2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit
paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara, bersifat
progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas
yang beracun / berbahaya (Antariksa B, Djajalaksana S, Pradjanaparamita, Riyadi J,
Yunus F, Suradi, dkk 2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit
yang umum, dapat dicegah dan dapat ditangani yang memiliki karakteristik gejala
pernafasan yang menetap dan keterbatasan aliran udara. Hal ini dikarenakan
abnormalitas saluran napas dan/atau alveolus yang biasanya disebabkan oleh
pajanan gas atau partikel berbahaya (GOLD, 2017).

Penyakit Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)merujuk pada


beberapa hal yang menyebabkan terganggunya pergerakan udara masuk dan keluar
paru. Meskipun beberapa jenis seperti, bronkitis obstruktif, emfisema, dan asma
dapat muncul sebagai penyakit tunggal, sebagian besar bertumpangan dalam
manifestasi klinisnya. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dapat terjadi sebagai
hasil dari peningkatan resistensi sekunder terhadap edema mukosa bronkus atau
kontraksi otot polos. Hal tersebut juga dapat diakibatkan oleh penurunan kelenturan,
seperti pada emfisema. Kelenturan (elastic recoil) adalah kemampuan
mengempiskan paru dan menghembuskan nafas secara apasif, serupa dengan
kemampuan karet kembali ke bentuk semula setelah diregangkan. Penurunan
kelenturan dapat dibayangkan sebagai pita karet yang lemah dan telah diregangkan
melebihi batas kemampuannya, sehingga akan berakibat penurunan kemampuan
paru untuk mengosongkan isinya (Black, 2014).

A.DEFINISI

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh
emfisema dan bronkitis kronis

B.ETIOLOGI
Merokok merupakan resiko utama terjadinya Penyakit Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD). Sejumlah zat iritan yang ada didalam rokok
menstimulasi produksi mukus berlebih, batuk, merusak fungsi silia, menyebabkan
inflamasi, serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus. Faktor resiko lain
termasuk polusi udara, perokok pasif, riwayat infeksi saluran nafas saat anak-anak,
dan keturunan. Paparan terhadap beberapa polusi industri tempat kerja juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Black,
2014)

Menurut Irwan (2016) etiologi Penyakit Chronic Obstructive Pulmonary Disease


(COPD). sebagai berikut :

a. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab utama. Prevalansi


terjadinya gangguan sistem pernafasan dan penurunan faal paru lebih tinggi terjadi
pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun, dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan :

1) Riwayat merokok

a) Perokok aktif

b) Perokok pasif

c) Bebas perokok
2) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

a) Ringan : 0-200

b) Sedang : 200-600

c) Berat : >600 3) Derajat berat merokok berdasarkan banyak rokok yang dihisap
perhari dibagi menjadi 2 klasifikasi yaitu :

a) Ringan : 0-10 batang / hari

b) Sedang : 11-20 batang / hari

c) Berat : >20 batang / hari

C.MANIFESTASI KLINIS
Gejala dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah seperti susah bernapas,
kelemahan badan, batuk kronik, nafas berbunyi, mengi atau wheezing dan terbentuknya
sputum dalam saluran nafas dalam waktu yang lama.

D.PATOFISIOLOGI COPD
Didefinisikan sebagai COPD jika pernah mengalami sesak napas yang bertambah ketika
beraktifitas dan atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau
pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

E.PEMERIKSAAN FISIK
 Mengukur suhu tubuh, berat badan dan tinggi (sesuai angka BMI).
 Mengamati gejala infeksi pada telinga, mata, hidung, dan tenggorokan.
 Memeriksa detak jantung dan paru-paru Anda dengan stetoskop.
 Memeriksa darah di pembuluh vena leher, yang memungkinkan mengakibatkan
masalah jantung, misalnya cor pulmonale.Menekan-nekan bagian perut.
 Memeriksa jari dan bibir Anda jika berubah warna (cyanosis).
 Memeriksa jari Anda apakah terdapat pembengkakan atau memeriksa kuku jika
terjadi clubbing (tonjolan).
 Memeriksa kaki hingga jari apakah terdapat pembengkakan (edema).
F.PEMERIKSAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR
1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap pertama dalam proses perawatan yang menyangkut data
yang komprehensif dan valid akan menentukan penetapan diagnosis keperawatan dengan
tepat dan benar. Pengkajian terdiri dari dua yaitu pengkajian skrining dan pengkajian
mendalam. Pengkajian skrining dilakukan ketika menentukan apakah keadaan tersebut
normal atau abnormal, jika ada beberapa data yang ditafsirkan abnormal makan akan
dilakukan pengkajian mendalam untuk menentukan diagnosa yang tepat Terdapat 14 jenis
subkategori data yang dikaji yaitu respirasi, sirkulasi, nutrisi dan cairan, eleminasi, aktivitas
dan istirahat, neurosensori, reproduksi dan seksualitas, nyeri dan kenyamanan, integritas ego,
pertumbuhan dan perkembangan, kebersihan diri, penyuluhan dan pembelajaran, interaksi
sosial, serta keamanan dan proteksi .

Secara umum data keperawatan yang harus dikaji pada pasien mencakup identitas
pasien, alasan riwayat rumah sakit (keluhan utama, riwayat penyakit sekarang), riwayat
sebelumnnya dan riwayat penyakit keluarga, pemenuhan kebutuan pasien, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Data fokus keperawatan yang dapat pada pasien PPOK dengan
bersihan jalan napas tidak efektif meliputi tanda gejala mayor dan minor bersihan jalan napas
tidak efektif. Data mayornya yaitu batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih,
mengi, wheezing dan ronkhi kering. Data minornya yaitu gelisah, sianosis, bunyi napas
menurun, frekuensi napas berubah, pola napas berubah dispnea, sulit bicara, ortopnea

G.PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator)Uji faal paru
berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan
prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi
saluran nafas dalam berbagai tingkat.

Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah
inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity(FVC). Spirometri juga mengukur
volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver
tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari
kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai fungsi
paru.Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC serta
nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-bronchodilato dilakukan dengan memberikan
bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 <20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator dapat
digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOKberdasarkan derajat obstruksinya.
Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:

1. Stage I : Ringan Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio


FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.

2. Stage II : Sedang Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80%
dari nilai prediksi.
3. Stage III : Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50%
dari nilai prediksi.
4. Stage IV : Sangat Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari
30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.
• Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru lain.
Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah
dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang
menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis
kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat
terlihat corakan bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.
• Analisa Gas Darah (AGD)

Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting dilakukan dan wajib
dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi
dan secara klinis tampak tanda-tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti
sianosis sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure.
Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema
dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas
darah menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%.
Dapat juga menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta
asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkankarena pada
bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata. Sedangkan
pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi maupun perfusi,
keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh
karena itu pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia
atau hipoksia ringan, dan normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup
tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa.

• Pemeriksaan sputumPemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk


mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
• Pemeriksaan Darah rutin Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor
pencetus seperti leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut, polisitemia pada
hipoksemia kronik.
• Pemeriksaan penunjang lainnya Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk
mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi
pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih
kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-scan resolusi tinggi,ekokardiografi, dan
pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin.

H.PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN


tujuan dilakukkan terapi pada pasien PPOK adalah untuk memperbaiki keadaan
obstruksi kronis, mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut, menurunkan kecepatan
perkembangan penyakit, meningkatkan keadaan fisik, dan psikologis pasien sehingga dapat
melakukan kegiataan sehari-hari. Melakukan penatalaksanaan pada PPOK yaitu dengan
terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non-farmakologi antara lain seperti
berhenti merokok, rehabilitasi, melakukan aktivitas fisik, dan vaksinasi. Penghentian
merokok merupakan hal yang penting karena hal tersebut dapat menurunkan gejala, dan
meningkatkan kualitas hidup penderita. Selain itu, perlu menghindari polusi udara dan
menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi. Terapi nonfarmakologis lainnya yang perlu
diberikan pada pasien PPOK adalah pemberian vaksinasi influenza. Pemberian vaksin ini
terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai 50 %

Untuk terapi farmakologi yang diberikan untuk pasien PPOK adalah sebagai berikut:

a. Bronkodilator

Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini biasannya
digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan napas ketika terjadi serangan, atau
secara regular untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala

b. Antibiotik

Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus atau
bakteri. Data menunjukan bahwa sedikitnya 80 % eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh
infeksi. Dari infeksi ini 40-50% disebabkan oleh bakteri, 30 % disebabkan oleh virus, dan 5-
10 % tidak diketahui bakteri penyebabnya. Karena itu, antibiotik merupakan salah satu obat
yang sering digunkan dalam penatalaksanaan PPOK. Contoh antibiotik yang sering
digunakan adalah penicillin

c. Mukolitik

Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan simtomatikbila


tedapat dahak yang lengket dan kental. Contohnya : glycerylguaiacolate, acetylcysteine.
d. Anti inflamasi

Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan jangka


panjang pada PPOK stabil hanya bila ujisteroid positif. Pada eksaserbasi dapat digunakan
dalam bentuk oral atau sistemik

e. Terapi oksigen jangka panjang

Pemberian oksigen dalam jangka panjang akan memperbaiki PPOK disertai kenaikan
toleransi latihan. Biasannya di berikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur
atau waktu latihan

I.DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL (NANDA,MINIMAL 5


DIAGNOSA KEPERAWATAN )
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon pasien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialami baik secara aktual maupun potensial.
Diagnosa keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons pasien terhadap situasi yang
berkaitan dengan kesehatan (Tim hamna dkk) Diagnosa keperawatan dibagi menjadi dua
jenis, yaitu diagnosa negatif dan diagnosa positif. Diagnosis negatif menunjukkan bahwa
pasien dalam kondisi sakit atau berisiko atau berisiko mengalami sakit sehingga penegakan
diagnosa ini akan mengarahkan pemberian intervensi keperawatan yang bersifat
penyembuhan, pemulihan dan pencegahan. Diagnosis ini terdiri dari diagnosis aktual dan
diagnosis risiko. Diagnosis positif adalah menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi sehat
dan dapat mencapai kondisi yang lebih sehat atau optimal. Diagnosis ini juga disebut dengan
diagnosis promosi kesehatan (Timhamna dkk).

Diagnosa keperawatan dalam penelitian ini yaitu diagnosis aktual. Diagnosis ini
menggambarkan respons pasien terhadap kondisi kesehatan atau proses kehidupannya yang
menyebabkan pasien mengalami masalah kesehatan. Tanda/gejala mayor dan minor dapat
ditemukan dan divalidasi pada pasien. Diagnosa keperawatan memiliki dua komponen utama
yaitu masalah (problem) atau label diagnosa dan indicator diagnostik yang terdiri dari
penyebab (etiology) dan tanda (sign) dan gejala (symptom) (Timhamna dkk).

Masalah (problem) merupakan label diagnosis keperawatan yang menggambarkan inti


dari respons pasien terhadap kondisi kesehatan atau proses kehidupannya. Label diagnosis
terdiri atas deskriptor atau penjelasan dan fokus diagnostik. Tidak efektif merupakan
deskriptor, sedangkan bersihan jalan napas merupakan fokus diagnostik. Penyebab (etiologi)
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan. Etiologi dapat
mencangkup empat kategori yaitu fisiologis, biologis atau fisiologis, terapi atau tindakan,
situasional (lingkungan atau personal), dan maturasional (Timhamna dkk)

Tanda (sign) merupakan data objektif yang diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan prosedur diagnostik sedangkan gejala (symptom) merupakan
data subjektif yang diperoleh dari hasil anamnesis. Tanda dan gejala dikelompokkan menjadi
dua kategori yaitu mayor dan minor. Mayor merupakan tanda/gejala ditemukan sekitar 80%-
100% untuk validasi diagnosis, sedangkan minor merupakan tanda/gejala tidak harus
ditemukan, namun jika ditemukan dapat mendukung penegakan diagnosis (Timhamna dkk).

Proses penegakan diagnosis (diagnostic prosess) atau mendiagnosis merupakan suatu


proses yang sistematis yang terdiri dari tiga tahap yaitu analisis data, identifikasi masalah dan
perumusan diagnosis. Analisis data dilakukan dengan membandingkan data dengan nilai
normal dan mengelompokkan data. Selanjutnya adalah mengidentifikasi masalah, setelah
data dianalisis lalu dilakukan identifikasi masalah aktual. Pernyataan masalah kesehatan
merujuk ke label diagnosis keperawatan. Terakhir adalah perumusan diagnosis keperawatan
yang disesuaikan dengan jenis diagnosis keperawatan. Metode penulisan pada diagnosis
aktual terdiri dari masalah berhubungan dengan penyebab ditandai dengan tanda gejala
(Timhamna dkk).

Setelah dilakukan analisa data untuk mengetahui penyebab masalah maka dapat
dirumuskan diagnosa keperawatan yaitu bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan
dengan hipersekresi jalan napas ditandai dengan batuk tidak efektif, tidak mampu batuk,
sputum berlebih, mengi, wheezing dan ronkhi kering,dispnea, sulit bicara, ortopnea, gelisah,
sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah,dan pola napas berubah

J.RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN (NIC/NOC)


Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang
diharapkan. Komponen intervensi keperawatan terdiri atas tiga komponen yaitu label
merupakan nama dari intervensi yang menjadi kata kunci untuk memperoleh informasi terkait
intervensi tersebut. Label terdiri atas satu atau beberapa kata yang diawali dengan kata benda
(nomina) yang berfungsi sebagai deskriptor atau penjelas dari intervensi keperawatan.
Terdapat 18 deskriptor pada label intervensi keperawatan yaitu dukungan, edukasi,
kolaborasi, konseling, konsultasi, latihan, manajemen, pemantauan, pemberian, pemeriksaan,
pencegahan, pengontrolan, perawatan, promosi, rujukan, resusitasi, skrining dan terapi.
Definisi merupakan komponen yang menjelaskan makna dari label intervensi keperawatan.
Tindakan merupakan rangkaian aktivitas yang dikerjakan oleh perawat untuk
mengimplementasikan intervensi keperawatan. Tindakan pada intervensi keperawatan terdiri
dari empat komponen meliputi tindakan observasi, tindakan terapeutik, tindakan edukasi dan
tindakan kolaborasi

Klasifikasi intervensi keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif termasuk dalam
kategori fisiologi dan termasuk ke dalam subkategori.Dalam perencanaan keperawatan dibuat
prioritas dengan kolaborasi pasien dan keluarga, konsultasi tim kesehatan lain, modifikasi
asuhan keperawatan dan catat informasi yang relevan tentang kebutuhan perawatan kesehatan
pasien dan penatalaksanaan klinik.

Sebelum menentukan perencanaan keperawatan, perawat terlebih dahulu menetapkan


luaran (outcome). Luaran (outcome) terdiri dari dua jenis yaitu luaran positif (perlu
ditingkatkan) dan luaran negatif (perlu diturunkan). Adapun luaran yang diharapkan pada
klien dengan bersihan jalan napas yaitu bersihan jalan napas meningkat dengan kriteria hasil
meliputi batuk efektif meningkat, produksi sputum menurun, mengi menurun, wheezing
menurun, dispnea menurun, gelisah menurun

Setelah menetapkan tujuan dilanjutkan dengan perencanaan keperawatan. Perencanaan


keperawatan pasien dengan bersihan jalan napas tidak efektif yaitu menggunakan intervensi
utama. Intervensi utama terdiri dari label manajemen jalan napas dan pemantauan respirasi

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan gambaran perilaku merokok pada
responden di RS Paru Dungus Madiun adalah sebagian besar perokok aktif, rata- rata usia
awal merokok responden 14 tahun, rata-rata telah merokok selama 33 tahun. Sedangkan
jenis rokok yang dihisap adalah rokok filter dengan jumlah 8-18 batang perhari. Rata-rata
responden berhenti merokok 3 tahun. Mayoritas responden memiliki anggota keluarga yang
merokok dan semua tamu merokok dirumah responden.

B. Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan maka saran yang perlu disampaikan sebagai berikut :

1. Bagi Institusi Kesehatan

Dengan adanya penenlitian ini, diharapkan pihak institusi kesehatan dapat meningkatkan
dan mempertahankan mutu pelayanan atau program yang telah ada untuk mengurangi
perilaku merokok pada pasien PPOK.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya dapat menambahkan data pasien dengan perbedaan derajat PPOK.
Selain itu jugaa perlu adanya studi komparasi di RS Paru Manguharjo Kota Madiun.

DAFTAR PUSAKA
Abdul, G. 2014. Hubungan Perilaku Merokok Dengan Kejadian PPOK di Paviliun Cempaka
RSUD Jombang. Eduhealth, 4(1).
Ahnyar, W. 2009. Bahaya Merokok Bagi Kesehatan. Jakarta : Bina Medika

Alsagaff, H. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University

Press.

Arikunto, S. 2012. Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta

Badan Pusat Statistik. 2015. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2010. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta

Bustan, M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT.Rineka Cipta.

Celli, B. R. MacNee, W. Agusti, A dan Anzueto, A.2004. Standarts for the Diagnosis and
Treatment of Patient with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Ameican Thoracic
Society dan European Respiratry Society. New York

Ganesha, A.T. 2013. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Penyakit Paru
Obstruktuif Kronis Pada Wanita di Rumah Sakit HA. Rotinsulu. Skripsi. Bandung

GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease). 2007. Executive summary
global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease update
2007.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17507545
MAKALAH

KMB (keperawatan medikal bedah)

Dosen pengampu : Ns. Erlangga Galiuh Zulva Nugruho,.M.Kep

JUDUL : COR PUlMONALE


Di SUSUN

Kelompok 2

PUTRO DELLA SARI (P0712021065) RINA SANTIKA (P07120121068)

MUNADHIRAH ( P07120121059) MUKLISA(P07120121058)

NAZIRAH (P07120121060) ORNELLA TAMITA( Po7120121064)

RAHMATIL MAULIDYA (P07120121066) RISKA MAULIDA SARI (P07120121069

RUWAIDA(P07120121071) NANDA (PERBAIKAN)

POLTEKES KEMENKES ACEH

PRODI D -lll KEPERAWATAN BANDA ACEH

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kelompok telah berhasil menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas mata pelajaran Keperawatan Medikal Bedah 1.
Makalah ini juga disusun karena ingin memberikan informasi kepada semua pembaca
mengenai cor pulmonel (gagal jantung ). Kelompok kami menyadari bahwa makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran para pembaca akan
kami terima dengan senang hati demi menyempurnakan makalah ini di masa yang akan
datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Banda Aceh , 11 Agustus 2022


DAFTAR ISI

BAB I.PENDAH
ULUAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi……………………………………..
B. Etiologi……………………………….
C. Manifestasi klinis……………………….
D. Patofisiologi (pathway) ……………………
E. Pemeriksaan Fisik (Head to toe)…………….
F. Pemeriksaan Pemenuhan Kebutuhan Dasar……………..
G. Pemeriksaan Penunjang………………………
H. Penatalaksanaan Medis & Keperawatan……………………
I. Diagnosa Keperawatan yang muncul (NANDA, minimal 5 diagnosa keperawatan)
…………………..
J. Rencana Tindakan Keperawatan (NIC/NOC)…………………..
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN
Cor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikelkanan
akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerangstruktur, fungsi
paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjutmenjadi gagal jantung kanan.
Menurut World Health Organization (WHO),definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis
dengan hipertrofi ventrikel kananyang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur
paru. Tidak termasukkelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit
jantungkongenital (bawaan).

Istilah hipertrofi yang bermakna sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi
ventrikel kanan.Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel
kanandengan bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru
akanmempengaruhi secara selektif jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum
yangmenyebabkan kor pulmonal adalah peningkatan dari resistensi aliran darah
melaluisirkulasi paru dan mengarah pada hipertensi arteri pulmonal.Kor pulmonal dapat
terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor pulmonalakut tersering adalah emboli
paru masif sedangkan kor pulmonal kronik seringdisebabkan oleh penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).

Pada kor pulmonal kronikumumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan sedangkan pada
kor-pulmonal akutterjadi dilatasi ventrikel kanan. Insidens yang tepat dari kor pulmonal
tidak diketahuikarena seringkali terjadi tanpa dapat dikenali secara klinis. Diperkirakan
insidenskor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung. Di Inggristerdapat
sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya kor pulmonal pada populasi usia lebih
dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalamihipertensi pulmonal yang
membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.

Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yangsecara


primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang mengganggualiran darah paru.
Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia, menemukan penyebabterbanyak kor pulmonal
berturut-turut adalah asma bronkial, tuberkulosis paru
BAB ll

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
cor-pulmonel diartikan sebagai keadaan patologis dengan ditemukannya
hipertropi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktural
paru. (WHO, 1993) Pulmonary heart disease adalah pembesaran ventrikel kanan
(hipertrofi dan/ataudilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada,
atau kelainan padakontrol pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung
kanan yang terjadiakibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung bawaan.
(Boughman, 2000) Kor pulmonal merupakan suatu keadaan dimana timbul hipertrofi
dan dilatasiventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan; timbul akibat
penyakit yangmenyerang struktur atau fungsi paru-paru atau pembuluh darahnya.
Definisi inimenyatakan bahwa penyakit jntung kiri maupun penyakit jantung
bawaan tidak bertanggung jawab atas patogenesis kor pulmonale. Kor pulmonale
bisa terjadi akut (contohnya, emboli paru-paru masif) atau kronik. (A. Price Sylvia and
M.Wilson Lorraine, 1995) Kor Pulmonal adalah terjadinya pembesaran dari jantung
kanan (dengan atau tanpagagal jantung kiri) sebagai akibat dari penyakit yang
mempengaruhi struktur ataufungsi dari paru-paru atau vaskularisasinya. (Irman
Somantri, 2012) Kor Pulmonal adalah penyakit pembesaran jantung kanan (ventrikel
kiri) dengan atautanpa gagal jantung kiri. (Menurut Kelompok).

B. ETIOLOGI

Penyakit itu disebabkan oleh:. 1. Penyakit paru obstruksi


keronis .

2. Emfisema. 3. Penyumbatan vaskuler/


remodeling vaskuler/ obstruksi pembuluh darah:emboli paru, atau penyakit yang
menyebabkan kompresi perivaskular ataudestruksi jaringan pada fibrosis paru,
granulomatosis, kanker paru.

4. Trombo emboli

5. Vasokonstriksi pulmonal menyeluruh: dapat disebabkan oleh hipoksia, pirauintra


pulmonal kanan ke kiri.

6. Penyakit / radang pembuluh darah

7. Penyakit sickle cell

8. Penyakit parenkim dan pengurangan daerah pembuluh darah

9. Bronkiektasis difus
10. TB paru luas

11. Hipertensi pulmonal primer. Hipertensi pulmonale merupakan


komplikasihemodinamik.Mekanisme terjadinya hipertensi pulmonale pada kor
pulmunale dapat di bagimenjadi 4 kategori yaitu :

a. ObstuksiTerjadi karena adanya emboli paru baik akut maupun kronik.


ChronicThromboembolic Pulmonary Hypertesion (CTEPH) merupakan salah satu
penyebab hipertensi pulmonale yang penting dan terjadi pada 0.1– 0.5 % pasien
dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli paru, systemfibrinolisis akan bekerja
untuk melarutkan bekuan darah sehinggahemodinamik paru dapat berjalan dengan
baik. Pada sebagian kecil pasien system fibrinolitik ini tidak berjalan baik sehingga
terbentuk emboliyang terorganisasi disertai pembentukkan rekanalisasi dan
akhirnyamenyebabkan penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah paru.

b. ObliterasiPenyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi


pulmonaleadalah lupus eritematosus sistemik scleroderma, sarkoidosis,
asbestosis,dan pneumonitis radiasi. Pada penyakitpenyakit tersebut adanya fibrosis
paru dan infiltrasi sel-sel yang progersif selain menyebabkan penebalan atau
perubahan jaringan interstisium, penggantian matriks mukopolisakaridanormal
dengan jaringan ikat, juga menyebabkan terjadinya obliterasi pembuluh paru.

c. VasokontriksiVasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam


patogenesisterjadinya hipertensi pulmonale. Hipoksia sejauh ini
merupakanvasokontrikstor yang paling penting. Penyakit paru obstruktif
kronikmerupakan penyebab yang paling di jumpai. Selain itu tuberkolosis
dansindrom hipoventilasi lainnya misalnya sleep apnea syndrome,
sindromhipoventilasi pada obesitas, dapat juga menyebabkan kelainan ini. Asidosis
juga dapat berperan sebagai vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapidengan
potensi lebih rendah. Hiperkapnea secara tersendiri tidak mempunyaiefek
fasokonstriksi tetepi secara tidak langsung dapat meningkatkantekanan arteri
pulmunalis melalui efek asidosisnya. Eritrositosis yangterjadi akibat hipoksia kronik
dapat meningkatkan vikositas darah sehinggamenyebabkan peningkatan tekanan
arteri pumonalis.

d. IdiopatikKelainan idiopatik ini didapatkan pada pasien hipertensi pulmonale


primeryang di tandai dengan adanya lesi pada arteri pumonale yang kecil
tanpadidapatkan adanya penyakit dasar lainnya baik pada paru maupun pada
jantung. Secara histopatologis di dapatkan adanya hipertrofi tunika media,fibrosis
tunika intima, lesi pleksiform serta pembentukan mikro thrombus.Kelainan ini
jarang di dapat dan etiologinya belum di ketahui. Walaupunsering di kaitkan
dengan adanya penyakit kolagen, hipertensi portal, penyakit autoimun lainnya
serta infeksi HIV
C. MANIFESTASI KLINIS

Dalam perjalanan penyakit kor pulmonal dibedakan dalam 5 fase, yaitu:Fase IPada
fase I, belum ada gejala klinis yang jelas selain adanya permulaan penyakit
paruobstruktif kronik, tuberkulosis lama, bronkiektasis, dan lain-lain. Penderita biasanya
sudahberumur lebih dari 50 tahun, sering dalam anamnesis terdapat kebiasaan banyak
merokok. Fase IIPada fase II sudah mulai ada tanda-tanda berkurangnya ventilasi. Gejala
batuk yanglama sering disertai dahak banyak terutama pada bronkiektasis. Sesak napas
dan napasberbunyi apabila ada konstriksi bronkus akibat asma bronkial. Sesak napas
terutama timbulpada waktu berjalan menanjak atau sesudah banyak berbicara, dan
penderita sering disebutdengan istilah pink puffers.

Timbul asidosis, pH darah turun. Pada fase ini sudah timbul tanda-tanda kor Pulmonal
potensial dan tekanan pulmonal sudah mulai meningkat.Fase V Pada fase V sudah
tampak kelainan di jantung. Tekanan di arteri pulmonal mulaimeningkat. Mula-mula
tekanan rata-rata arteri pulmonal kurang dari 25 mmHg tetapikemudian akan naik
sampai melampaui di atas 25 mmHg. Penderita sudah masuk ke dalamfase impending
cor pulmonale. Sudah tampak kerja ventrikel kanan yang lebih berat agardapat
mengatasi kenaikan tekanan di arteri pulmonal, tetapi fungsi jantung kanan masih
dapatmengadakan kompensasi. Ventrikel kanan menjadi hipertrofi dan akhirnya
terjadilah gagaljantung kanan.Pada pemeriksaan klinis, penderita tampak sianotik, vena
jugularis di leher tampakterbendung, hati membesar karena kongesti, timbul edema di
tungkai, kaki, dan kadangdisertai asites.

D. PATOFISIOLOGIS (PATHWAY)
E. PEMERIKSAAN FISIK (HEAD TO TOE)
Temuan pemeriksaan fisik cor pulmonale umumnya muncul setelah penyakit
berkembang menjadi tahap lanjut. Temuan pemeriksaan fisik pada cor pulmonale
antara lain adalah distensi vena jugular, regurgitasi trikuspid, edema perifer, iktus
kordis teraba, kelainan bunyi jantung (seperti splitting S2, murmur holosistolik
trikuspid, atau bunyi gallop. Pada regio abdomen dapat ditemukan hepatomegali
dan ascites
F. PEMERIKSAAN KEBUTUHAN DASAR
Cor pulmonale perlu dibedakan dengan gagal jantung kongestif. Pada gagal
jantung kongestif, gangguan struktur dan fungsi terjadi pada ventrikel kiri dengan
atau tanpa keterlibatan ventrikel kanan. Faktor risiko tersering adalah hipertensi
yang tidak terkontrol.

Diagnosis banding lain yang juga harus disingkirkan adalah gagal jantung kanan
sebagai akibat infark miokard ventrikel kanan. Pada keadaan ini, tidak ditemukan
adanya penyakit primer pada paru, berbeda dengan cor pulmonale yang disebabkan
oleh penyakit primer pada sistem pernapasan.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kateterisasi jantung kanan adalah pemeriksaan penunjang yang paling akurat,
namun jarang dilakukan karena bersifat sangat invasif. Pemeriksaan penunjang lain
yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis cor pulmonale adalah EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan radiologi.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS & KEPERAWATAN


Pelaksanaan tindakan keperawatan
Menurut Rosdhahl, C.B (2015) pelaksanaan implementasi
pada ganguan kebutuhan nyaman nyeri yaitu
a. Bina hubungan suportif dan saling percaya antara perawat dan klien.
b. Ajarkan tentang fungsi nyeri dan tanamkan keyakinan bahwa
program penatalaksanaan nyeri yang sukses dapat dibuat.
c. Hilangkan atau rubah penyebab nyeri (kapan pun jika memungkinkan) dan ubah
faktor yang menurunkan toleransi nyeri.
d. Upaya pereda nyeri noninvasif yang tepat digunakan: distraksi, imajinasi,
relaksasi, stimulasi kutaneus (mamase, aplikasi panas atau dingin, vibrasi, tekanan).
e. Berikan analgesic yang telah diresepkan; jika pasien
mengunakan unit analgesia yang dikontrol pasien(PCA), ajarkan klien tentang
pengunaanya.
f. Pelajari tentang pengunaan terapi nyeri yang lain oleh klien, secara tepat,
akupuntur, biofeedback, bedah saraf
(neurosurgery), stimulasi saraf elektrik dan lain-lain.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN yang MUNCUL (NANDA)


1) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia secara
refersible atau menetap,refraktori dan kebocoran intertisial pulmonel/alveola
pada status cedera kapiler paru.
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya
bronkhokonstriksi,akumulasi secret jalan nafas , dan menurunnya kemampuan
batuk efektif.
3) Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan edema pulmonal,penurunan
aliran balik vena,penurunan curah jantung.
4) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan penurunan nafsu makan.
5) Ganguan ADL yang berhubungan denan kelemahan fisik umum dan kelebihan .

J. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN (NIC,NOC)

DIAGNOSIS
KEPERAWATAN (NANDA) NIC NOC
Bersihan jalan nafas tidak 1. Pencegahan aspirasi Manajemen jalan nafas
efektif berhubungan (Aspiration Prevention) (Airway Management)
dengan penumpukan 2. Status Respirasi : Jaga kepatenan jalan nafas
sekret di jalan nafas Bersihan jalan nafas : Buka jalan nafas, batuk
efektif (Respiratory Status: efektif, suction,fisioterapi
Airway Patency) dada Identifikasi
3. StatuS kebutuhan insersi jalan
Respirasi :Ventilasi efektif nafas buatan Monitor
(Respiratory Status : status respirasi (adanya
Ventilation) Selama suara nafas tambahan)
dilakukan asuhan dan oksigenasi Ajarkan
keperawatan :Mampu menggunakan inhaler
mengidentifikasi dan Kolaborasi medis :
mencegah faktor yang pemberian O2,
dapat menghambat jalan pemeriksaan
nafas Menunjukkan jalan laboratorium, insersi jalan
nafas yang paten (klien nafas Identifikasi sumber
tidak merasa tercekik, alergi (obat,
frekuensi pernafasan makanan, ........) dan reaksi
dalam rentang normal yang biasa terjadi
(dewasa : 16-24x/mnt), Monitor respon alergi
tidak ada suara nafas selama 24 jam Ajarkan/
abnormal) Mampu diskusikan untuk
mengeluarkan sputum menghindari alergen
dari jalan nafas Kolaborasi : tes alergi,
Menunjukkan pertukaran obat anti alergi
gas efektif (PaO2 dan Pencegahan Aspirasi
PaCO2 normal, pH arteri (Aspiration Precautions)
dbn,saturasi O2 normal, Monitor tingkat
status mental dbn, tidak kesadaran, reflek batuk,
ada dyspnea dan sianosis, muntah dan kemampuan
mampu bernafas dengan menelan. Berikan
mudah )Menunjukkan makanan sedikit demi
ventilasi adekuat (RR sedikit/secara bertahap
normal, ekspansi dinding Pada klien yang terpasang
dada simetris, tidak ada : NGT: cek residu NGT
penggunaan otot-otot sebelum pemberian
nafas tambahan, retraksi makan/ tunda pemberian
dinding dada, nafas cuping makan bila residu
hidung, dyspnea, taktil banyak .Tinggikan posisi
fremitus) kepala tempat tidur 30-45
menit setelah makan
Berikan obat dalam
bentuk halus Posisikan
pasien semi-fowler untuk
mengurangi Dyspnea
bronkhodilator, terapi
Kerusakan petukaran gas 1. Kontrol Respon Alergi: Manajemen Elektrolit&
berhubungan dengan Sistemis (Allergic Asam-basa (Acid- base and
meningkatnya sekresi dan Response :Sistemik) electrolite management)
akumulasi eksudat 2. Keseimbangan elektrolit Pertahankan kepatenan
dan asam basa (Electrolyte infus Monitor AGD dan
and Acid/Base Balance) elektrolit dan
3. Status respirasi : abnormalitas serum
Pertukaran gas Monitor kehilangan asam
(Respiratory Status:Gas (misal: muntah, output
Exchange) nasogastrik, diare, dan
4. Status respirasi : diuresis) Monitor
Ventilasi (Respiratory kehilangan bikarbonat
Status: Ventilation) (missal : drainase fistula
5. Perfusi jaringan : dan diare) Berikan terapi
pulmonary adekuat oksigen bila perlu Monitor
(Tissue Perfotion : status neurologi dan atau
Pulmonary) Setelah neuromuskular (misal :
dilakukan asuhan tingkat kesadaran dan
keperawatan : adanya kebingungan,
Tanda-tanda vital dan parestesia, kejang)
irama jantung normal Tingkatkan periode
Bebas dari reaksi alergi istirahat yang adekuat
(integritas mukosa utuh) Monitor pencatatan input
Nilai WBC dbn dan output yang akurat
Menunjukkan Kolaborasi : pemberian
keseimbangan elektrolit elektrolit tambahan
dan asam-basa (Na, K, Cl, (misal: oral, nasogastrik,
Ca, Mg, pH, HCO3, parenteral), ahli gizi:
BUadbn) Menunjukkan (pemberian diet sesuai
orientasi kognitif baik, dan ketidakseimbangan
kewaspadaan status elektrolit pasien)
mental. Menunjukkan Kolaborasi pencegahan
pertukaran gas efektif dan penanganan asidosis
(PaO2 dan PaCO2 normal, respirasi (misal: posisi
pH arteri dbn, saturasi O2 tegak, pertahankan
normal, status mental kepatenan jalan nafas,
dbn, tidak ada dyspnea jalan nafas bersih) dan
dan sianosis, mampu alkalosis respirasi Jaga
bernafas dengan mudah ) kepatenan jalan
Menunjukkan ventilasi nafas :batuk efektif,
adekuat (RR normal, suction, fisioterapi dada,
ekspansi dinding dada Monitor status respirasi
simetris, suara nafas dan oksigenasi Ajarkan
bersih, tidak ada : menggunakan inhaler
penggunaan otot-otot Kolaborasi pemberian :
nafas tambahan, retraksi O2, bronkhodilator, terapi
dinding dada, nafas cuping nebulizer, pemeriksaan
hidung, dyspnea, taktil sputum Hemodynamic
fremitus) Tidak ada nyeri regulation Auskultasi
dada, hemoptisis, suara nafas, bunyi jantung
kecemasan, AGD dbn Monitor nadi perifer,
capillary refill, suhu dan
warna ekstremitas,
edema, distensi JVP
Kolaborasi obat
vasodilator dan atau
vasokonstriktor
Identifikasi sumber alergi
(obat,makanan, serbuk,
debu, cuaca,.) dan reaksi
yang biasa terjadi Monitor
respon alergi selama 24
jam Ajarkan/ diskusikan
untuk menghindari
allergen Kolaborasi : tes
alergi, obat anti
Alergi.
Intoleransi aktivitas 1. Mentoleransi aktifitas Managemen Energi
berhubungan dengan yang biasa dilakukan (Energy Management) Kaji
keletihan, perubahan (Activity Tolerance) respon emosi, sosial dan
ststus nutrisi, dan 2. Mampu melakukan spiritual terhadap
demam aktifitas sehari-hari secara aktifitas. Evaluasi motivasi
mandiri (Self Care: ADL) dan keinginan pasien
Selama dilakukan Asuhan untuk meningkatkan
Keperawatan : aktifitas. Monitor respon
Berpartisipasi dalam kardiorespirasi terhadap
aktifitas fisik tanpa disertai aktifitas (takikardi,
peningkatan TD, N, RR dan disaritmia, dispnea,
ECG normal. diaforesis, pucat,
Mengidentifikasi aktifitas tek.hemodinamik,
dan atau situasi yang respirasi, gambaran EKG).
menimbulkan kecemasan Monitor asupan nutrisi
yang berkonstribusi pada untuk memastikan
intoleransi aktifitas. Pasien keadekuatan sumber
mengungkapkan secara energi. Monitor respon
verbal, paham dan tahu terhadap pemberian
tentang kebutuhan oksigen (nadi, irama
oksigen, pemgobatan dan jantung, frek. Respirasi)
peralatan yang dapat terhadap aktifitas
meningkatkan toleransi perawatan diri. Monitor
terhadap aktifitas. Pasien pola istirahat pasien dan
mampu beraktifitas lamanya waktu tidur. Kaji
sehari-hari tanpa bantuan adanya faktor yang
atau dengan bantuan menyebabkan kelelahan
minimal tanpa Ajarkan teknik relaksasi
menunjukan kelelahan selama aktifitas, tentang
pengaturan aktifitas dan
teknik pengelolaan waktu
untuk mencegah
kelelahan. Terapi Aktivitas
(Activity Therapy) Bantu
pasien melakukan
ambulasi yang dapat
ditoleransi. Rencanakan
jadwal antara aktifitas dan
istirahat. Bantu dengan
aktifitas fisik teratur
(misal: ambulasi, berubah
posisi, perawatan
personal) sesuai
kebutuhan. Minimalkan
anxietas dan stress.
Berikan istirahat yang
adekuat
Kolaborasi dengan
tenagarehabilitasi medis/
fisioterapi
dalam pemilihan terapi
yang tepat.
Nyeri akut berhubungan 1. Tingkat kenyamanan Manajemen nyeri (Pain
dengan iritasi jalan nafas (Comfort Level) 2. Management) Kaji nyeri
atas sekunder akibat Kontrol nyeri (Pain (lokasi, durasi,
infeksi. Control) 3. Tingkat karakteristik, frekuensi,
Nyeri (Pain Level) Setelah intensitas, factor
dilakukan asuhan pencetus) Observasi tanda
keperawatan : non verbal dari
Melaporkan gejala ketidaknyamanan Monitor
terkontrol Melaporkan keefektifan tindakan
kenyamanan fisik dan mengontrol nyeri Kontrol
psikologis Mengenali faktor lingkungan yang
factor yang menyebabkan dapat mempengaruhi
nyeri Melaporkan nyeri respon pasien Ajarkan
terkontrol (skala nyeri) tehnik non farmakologis
Menggunakan terapi kepada pasien dan
analgetik dan non keluarga : relaksasi,
analgetik Tanda vital dbn distraksi, guided imagery,
Tidak menunjukkan hipnoterapy Ajarkan pada
respon non verbal adanya pasien dan keluarga
nyeri tentang penggunaan
analgetik dan efek
sampingnyaAnjurkan
pasien untuk
meningkatkan istirahat
Kolaborasi medis
(pemberian analgetik),
fisioterapis/ akupungturis.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN


KESIMPULAN
Cor pulmonal didefinisikan sebagai perubahan dalam struktur dan fungsi
dariventrikel kanan yangdisebabkan oleh adanya gangguan primer dari system
pernapasan. Hipertensi pulmonal merupakan factor penghubung tersering antara
disfungsi paru-paru dan jantung dalam cor pulmonal. +erapi oksigen dapat
meningkatkan hemodinamik paru, kinerja ventrikel dan kelangsungan hidup pada
pasien hipoksia dengan cor pulmonale. Agonis dan teofilin memiliki fungsi sebagai
bronkodilator dan mempunyai efek yang menguntungkan pada kinerja ventrikel
kanan dan hemodinamik sirkulasi paru. Asodilator dapat dipertimbangkan bila terapi
konvensional seperti oksigen dan bronkodilator telah gagal untuk membalik kan atau
menghentikan perkembangan hipertensi arteri pulmonalis. Namun, vasodilator
dapat menghasilkan hipotensi sistemik sehingga menyebabkan kekacauan
pertukaran gas dan dapat kembali terjadi vasokonstriksi pulmonal hipoksia.

SARAN
Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk dapat
lebihmengembangkan ilmu pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, Irman. 2012. Asuhan keperawatan pada Klien dengan gangguan
sistemPernapasan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.Somantri, Irman. 2007. Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Gangguan sistemPernapasan. Jakarta : Salemba
Medika.A. Price Sylvia, M. Wilson Lorraine. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Buku 2. Jakarta: EGCSmeltzer, suzanne C; Bate, Brenda G. 2002.
Buku Ajar Keperawatan Medikal BedahBrunner & Suddarted 8 Vol 3. Jakarta :
EGCDoenges, Marilyn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
untukPerencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
CAD

(coronary artery disease)

Dosen Pengampu : Ns,Erlangga galih zn,M,kep

Mata Kuliah : KMB1

Disusun oleh kelompok : 5

Anggrah juwita

Erna

Enrica soviatul nadila

Indah rahmatika

Nurhaliza

Selviyani

Syarifah humairah

Wahdani

Yolanda (PERBAIKAN)

DIII KEPERAWATAN BANDA ACEH

POLTEKKES KEMENKES ACEH

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat
dan Hidayah- Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Sebagaimana telah diketahui bahwa mata kuliah KMB1 merupakan pendidikan


yang sangat penting bagi seorang calon perawat yang profesional.

Hal yang akan kami diskusikan dalam makalah ini mengenai Seperti yang kita
tahu, kami Tidak ada kalimat yang patut diucapkan selain ucapan Alhamdulillah
serta puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala puji bagi Allah Rabb
semesta alam yang kepada-Nya kita menyembah dan kepada-Nya pula kita
memohon pertolongan. Shalawat serta salam kepada Nabi junjungan kita yakni
Nabi Muhammad saw.

Banda Aceh, 11Agustus 2022

Tim penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II.TINJAUAN
PUSTAKA

A. Definisi
B. Etiologi
C. Manifestasiklinis
D. Patofisiologi(pathway)
E. Pemeriksaan Fisik (Head to toe)
F. Pemeriksaan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
G. Pemeriksaan Penunjang
H. Penatalaksanaan Medis & Keperawatan
I. Diagnosa Keperawatan yang muncul (NANDA, minimal 5 diagnosa
keperawatan)
J. Rencana Tindakan Keperawatan (NIC/NOC)

BAB III

A. DAFTAR PUSTAKA
B. KESIMPUL
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Coronary Artery Disease (CAD) atau disebut juga Penyakit Jantung


Koroner (PJK) adalah penyakit yang disebabkan oleh aterosklerosis pada arteri
koroner yang membatasi aliran darah ke jantung (Fajar, 2015). Aterosklerosis
adalah suatu kondisi dimana arteri koronaria menyempit diakibatkan adanya
akumulasi lipid ekstrasel, pembentukan sel busa yang akhirnya dapat
menimbulkan penebalan dan kekakuan pada pembuluh darah arteri (Rahman,
2012). Aterosklerosis merupakan proses yang berkembang perlahan-lahan dari
waktu ke waktu biasanya dimulai pada masa remaja dan memburuk selama
beberapa dekade, jika penyempitan pembuluh darah semakin parah maka dapat
menimbulkan serangan jantung (Sari et.al, 2010). Bentuk Klinis dari CAD
dibagi menjadi dua, yaitu chronic coronary syndromes yang meliputi stable
angina dan stable ischemic heart disease, dan acute coronary syndromes yang
meliputi unstable angina, MI (Myocardiac Infarction), dan sudden cardiac death
(Katz & Ness, 2015). World Health Organization (WHO) telah melaporkan
bahwa penyakit jantung merupakan salah satu penyebab utama dan
penyumbang tersering kematian didunia sampai saat ini, setiap tahunnya
Coronary Artery Disease (CAD) telah membuat sekitar 7 juta orang meninggal
dunia dan akan terus meningkat hingga tahun 2020 mendatang (WHO, 2014).

Menurut WHO, pada tahun 2004 penyakit kardiovaskular menempati


urutan pertama dari sepuluh penyakit penyebab kematian diseluruh dunia, pada
tahun 2005 telah dilaporkan sebanyak 17,5 juta kematian dari seluruh kematian
didunia dan CAD menyumbang kematian sebanyak 7,6 juta (Kandou, 2014). Di
Indonesia, CAD merupakan penyakit tidak menular pembunuh tersering,
berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI
prevalensi CAD semakin meningkat dari tahun ke tahun (Kandou, 2014).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, data yang dilaporkan mengenai
kejadian CAD di Indonesia telah diestimasikan berdasarkan diagnosis dokter
terbanyak di Propinsi Jawa Barat sebanyak 160.812 orang (0,5%) dan jumlah
paling sedikit terdapat di Propinsi Maluku Utara yaitu sebanyak 1.436 orang
(0,2%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita CAD
terbanyak terdapat di daerah Propinsi Jawa Timur sebanyak 375.127 orang
(1,3%) dan jumlah paling sedikit terdapat di daerah Propinsi Papua Barat yaitu
sebanyak 6.690 orang (1,2% ) (Riskesdas, 2013). Sebuah penelitian telah
menyebutkan CAD dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi jenis kelamin,
usia, dislipidemia, hipertensi, merokok dan diabetes mellitus (Ramandika,
2012), sehingga diperlukan suatu sistem penilaian atau sebuah scoring
multivariabel risiko pada individu untuk dapat memprediksikan kejadian CAD
atau penyakit jantung koroner, dengan sistem penilaian tersebut dapat mencegah
faktor-faktor risiko tersebut agar tidak berkembang menjadi penyakit
kardiovaskular yang mematikan, misalnya dengan menggunakan Framingham
Risk Scoreyang saat ini telah sering digunakan sebagai penilaian prediksi
peluang terkena penyakit jantung yang telah divalidasi di Amerika Serikat
(Bittonet.al, 2010).

1.2. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan Framingham Risk Score dengan derajat stenosis


berdasarkan signifikan non signifikan angiografi pada pasien CAD?

1.3 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan Framingham Risk Score dengan derajat stenosis


berdasarkan signifikan non signifikan angiografi pada pasien CAD.

1.4 tujuan khusus

a. Untuk mengetahui persentase ringan dan beratnya derajat stenosis CAD


berdasarkan penghitungan Framingham Risk Score.

b. Untuk mengetahui seberapa besar faktor risiko FRS dengan derajat stenosis.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN CAD
Coronary Artery Disease (CAD) atau lebih dikenal Penyakit
Jantung Koroner (PJK) merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang
disebabkan karena adanya penyempitan dan tersumbatnya pembuluh
darah jantung. Kondisi ini dapat mengakibatkan perubahan pada
berbagai aspek, baik fisik, psikologis, maupun sosial yang berakibat pada
penurunan kapasitas fungsional jantung dan kenyamanan (Mutarobin
dkk, 2019). Menurut Glassman & Shapiro (2014) penyakit arteri koroner
atau Coronary Artery Disease (CAD) adalah penyempitan atau
penyumbatan arteri koroner, arteri yang menyalurkan darah ke otot
jantung. Bila aliran darah melambat, jantung tak mendapat cukup
oksigen dan zat nutrisi. Hal ini biasanya mengakibatkan nyeri dada yang
disebut angina. Bila satu atau lebih dari arteri coroner tersumbat sama
sekali, akibatnya adalah serangan jantung dan kerusakan pada otot
jantung.
CAD juga merupakan kondisi patologis arteri koroner yang ditandai
dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan
fibrosa di dinding pembuluh darah yang mengakibatkan perubahan
struktur dan fungsi arteri dan penurunan aliran darah ke jantung (Setyaji
dkk, 2018)

B. ETIOLOGI

Penyebab CAD secara umum dibagi atas dua, yakni menurunnya asupan
oksigen yang dipengaruhi oleh aterosklerosis, tromboemboli vasopasme,
dan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Dengan kata lain,
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan
masukannya yang dikenal menjadi 2, yaitu hipoksemia (iskemia) yang
ditimbulkan oleh kelainan vaskuler (arteri koronaria) dan hipoksia
(anoksia) yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah.
Perbedaannya ialah pada iskemia terdapat kelainan vaskuler sehingga
perfusike jaringan berkurang dan eliminasi metabolit yangditimbulkannya
(misal asam laktat) menurun juga sehingga gejalanya akan lebih cepat
muncul (Katz, 2015).
Penyempitan dan penyumbatan arteri koroner disebabkan zat lemak
kolesterol dan trigliserida yang semakin lama semakin banyak dan
menumpuk dibawah lapisan terdalam endothelium dari dinding
pembuluh darah arteri. Hal ini dapat menyebabkan aliran darah ke otot
jantung menjadi berkurang ataupun berhenti, sehingga menggangu kerja
jantung sebagai pemompa darah. Efek dominan dari jantung koroner
adalah kehilangan oksigen dan nutrisi ke jantung karena aliran darah ke
jantung berkurang. Pembentukan plak lemak dalam arteri mempengaruhi
pembentukan bekuan aliran darah yang akan mendorong terjadinya
serangan jantung. Proses pembentukan plak yang menyebabkan
pengerasan arteri tersebut dinamakan arterosklerosis. (Firdiansyah,
2014)Penyakit jantung koroner adalah salah satu akibat utama
aterosklerosis (pengerasan pembuluh nadi) pada keadaan ini pembuluh
darah nadi menyempit (Naga, 2013). Mekanisme timbulnya penyakit
jantung koroner didasarkan pada lemak atau plak yang terbentuk di
dalam lumen arteri koronaria (arteri yang mensuplai darah dan oksigen
pada jantung). Plak dapat menyebabkan hambatan aliran darah baik total
maupun sebagian pada arteri koroner dan menghambat darah kaya
oksigenmencapai bagian otot jantung. Kurangnya oksigen akan merusak
otot jantung (Kasron, 2012).

C. MANIFESTASI KLINIS

 Manifestasi klinis menurut Price & Lorraine (2001) seperti:

1. Dada terasa tak enak(digambarkan sebagai mati rasa, berat, atau


terbakar dapat menjalar ke pundak kiri, lengan, leher, punggung, atau
rahang)
2. sesak pafas
3. berdebar debat
4. denyut jantung lebih cepat
5. pusing
6. mual
7. kelemahan yang luar biasa

 Menurut Pangkalan (2010) Gejala yang umum terjadi pada


seseorang yang terkena CAD atau penyakit jantung koroner, yaitu :

1. Nyeri dada (Angina)


Seseorang penderita CAD akan merasa tekanan atau sesak di dada. Rasa
sakit tersebut disebut sebagai angina, biasanya dipicu oleh tekanan fisik
atau emosional. Hal ini hilang dalam beberapa menit setelah
menghentikan aktivitas yang menyebabkan tekanan. Pada beberapa
orang, terutama perempuan, nyeri ini mungkin sekilas atau tajam dan
terasa di perut, punggung atau lengan.
2. Sesak Napas
Jika jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi
kebutuhan tubuh, maka seseorang akan mengalami sesak napas atau
kelelahan ekstrem tanpa tenaga.

3. Serangan Jantung
Jika arteri koroner benar-benar diblokir, seseorang akan mengalami
serangan jantung.

D. PATOFISIOLOGI

CAD atau penyakit jantung koroner berawal dari penimbunan lemak


pada pembuluh darah arteri yang mensuplai darah ke jantung. Akibat dari
proses ini pembuluh darah arteri menyempit dan mengeras, sehingga
jantung kekurangan pasokan darah yang kaya oksigen. Akibatnya fungsi
jantung terganggu dan harus bekerja sangat keras. Penyakit ini sering juga
disebut dengan istilah atherosklerosis (Suiraoka, 2012). Aterosklerosis
merupakan komponen penting yang berperan dalam proses pengapuran
atau penimbunan elemen-elemen kolesterol. Salah satu hal yang tidak
bisa dipungkiri bahwa kolesterol dalam batas normal juga sangat penting
bagi tubuh. Masalahnya akan berbeda ketika asupan kolesterol
berlebihan. Asupan lemak yang adekuat yang berhubungan dengan
keadaan patologi yaitu Penyakit Jantung Koroner erat hubungannya
dengan peningkatan kadar profil lipid (Suiraoka, 2012). Kebutuhan
oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh darah
yang mengalami gangguan menyebabkan terjadinya iskemia miokardium
lokal. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan
reversible pada tingkat sel dan jaringan, dan menekankan fungsi
miokardium. Apabila iskemia ini berlangsung lebih dari 30-45 menit akan
menyebabkan kerusakan sel yang sifatnya irreversible serta nekrosis atau
kematian otot jantung. Bagian yang mengalami infark atau nekrosis akan
berhenti berkontraksi secara permanen. Otot yang mengalami infark
mula-mula akan tampak memar dan sianotik akibat berkurangnya aliran
darah regional. Dalam waktu 24 jam akan timbul edema pada sel-sel,
respons peradangan disertai infiltrasi
E. PEMERIKSAAN FISIK
mengukur denyut nadi dan tekanan darah memeriksa pembuluh vena di
leher, apakah terjadi pembengkakan atau tekanan darah tinggi di pembuluh
yang mengalirkan darah kembali ke jantung. Pembengkakan ini
mengindikasikan bahwa jantung sebelah kanan gagal berfungsi atau yang
lebih parahnya lagi jantung sebelah kiri juga gagal berfungsimemeriksa
pernapasan (di paru-paru) memeriksa detak jantung, apakah ada suara lain
yang muncul selain detak jantung (murmur) memeriksa bagian perut yang
membengkak akibat penumpukan cairan atau nyeri di bagian hati
memeriksa kaki dan pergelangannya jika terjadi pembengkakan akibat
cairan (edema) mengukur berat badan.

F. PEMERIKSAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR


Pemenuhan oksigen sangat perlu dipertahankan agar seseorang dapat
bertahan hidup karena oksigen akan digunakan untuk respirasi otot jantung.
Jika oksigen tidak dapat disalurkan, maka jantung akan lemah dan tidak dapat
menyediakan darah ke seluruh tubuh. Kondisi patologis dari arteri koroner ini
yang mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri serta penurunan
aliran darah ke jantung sehingga suplai darah tidak adekuat (iskemia) atau
terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan otot jantung terhadap oksigen
dengan persediaan oksigen yang diberikan pembuluh darah koroner (Sumiati
et al., 2010). PJK adalah yang menjadi respons iskemik dari otot jantung
yang disebabkan oleh penyempitan arteri koronaria secara permanen atau
tidak permanen (Kasron, 2012).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes darah

Tes darah dilakukan untuk mengetahui kerja ginjal dengan memeriksa


kadar limbah dalam darah, seperti kreatinin dan ureum.
2. Tes urine

Dalam tes ini, kadar albumin (protein darah), kreatinin, dan sel darah
merah dalam urine akan diperiksa. Hasil pemeriksaan tersebut bisa
menunjukkan seberapa parah kerusakan ginjal yang dialami pasien.

3. Pemindaian

Pemindaian ini bertujuan melihat struktur dan ukuran ginjal. Umumnya,


pemeriksaan yang dilakukan adalah USG ginjal, tetapi bisa juga menggunakan
MRI atau CT scan.

4. Biopsi ginjal

Biopsi ginjal dilakukan dengan mengambil sampel kecil dari jaringan


ginjal. Sampel ini selanjutnya akan dianalisis di laboratorium, agar penyebab
kerusakan ginjal bisa diketahui.

Melalui hasil pemeriksaan di atas, dokter dapat menghitung perkiraan laju


filtrasi glomerulus (LFG). Perhitungan ini dapat menentukan stadium gagal
ginjal kronis pasien dan metode pengobatan yang tepat.

Berdasarkan pemeriksaan LFG, stadium gagal ginjal dapat dikategorikan


menjadi:

Stadium 1, nilai LFG di atas 90 mL/menit/1,73 m2

Stadium 2, nilai LFG 60 hingga 89 mL/menit/1,73 m2

Stadium 3, nilai LFG 30 hingga 59 mL/menit/1,73 m2

Stadium 4, nilai LFG 15 hingga 29 mL/menit/1,73 m2

Stadium 5, nilai LFG di bawah 15 mL/menit/1,73 m2


Perlu diketahui, nilai kisaran di atas tidak dapat digunakan untuk menentukan
stadium gagal ginjal kronis. Hal ini karena orang yang berusia lanjut bisa
memiliki nilai LFG yang setara dengan GGK stadium 2, meski ia tidak
menderita penyakit ginjal. Sebagai gambaran, berikut ini adalah nilai rata-rata
LFG yang normal berdasarkan usia:

Usia 20-29, nilai LFG rata-rata 116

Usia 30-39, nilai LFG rata-rata 107

Usia 40-49, nilai LFG rata-rata 99

Usia 50-59, nilai LFG rata-rata 85

Usia diatas 70 tahun, nilai LFG rata-rata 75

Oleh sebab itu, penentuan diagnosis dan stadium gagal ginjal kronis hanya bisa
dilakukan oleh dokter.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN


a. Terapi awal

Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat
MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan. Yang dimaksud
dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis
kerja kemungkinan CAD atau CAD atas dasar keluhan angina di ruang gawat
darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung.

1) Tirah baring.

2)Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2


arteri < 90 % atau yang mengalami distress respirasi.
3) Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.

4) Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.

5) Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan
untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik atau dosis awal clopidogrel
adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien
yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel

6)Nitrogliserin(NTG)spray/tabletsublingualbagipasiendengannyeridada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. jika nyeri dada tidak hilang
dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal
tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif
dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG,
isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.

7) Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.

8) Penyekat Beta (Beta Bloker)

Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor
beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi
hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-
ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri.
Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika
terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat kontra
indikasi.

9) Calcium channel blockers (CCBs)

Nifedipin dan amlodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau
tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem
mempunyai efek terhadap SA. Node dan AV Node yang menonjol dan
sekaligus efek dilatasi arteri.

10) Antikoagulan

Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko


yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkuta

Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.Heparin tidak terfraksi
(UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul rendah
(LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila
fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia

11) Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin

Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi


remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark- miokard
yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung
klinis.

12) Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin)
harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang
telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra

b.Terapi Invasif Percutaneous Coronary Intervention (PCI).

Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan


strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif melalui
tindakan angioplasti coroner.

Angioplasti koroner merupakan tindakan revaskularisai koroner non bedah,


sering disebut dengan Percutanious Transluminal Coronary
Angioplasty(PTCA). PTCA merupakan tindakan melebarkan penyempitan
arteri koroner dengan menggunakan balon atau stent yang diarahkan melalui
kateter. Pada perkembangan teknik angioplasti koroner, PTCA lazim disebut
dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI). Istilah PCI di Indonesia
dikenal dengan Intervensi Koroner Perkutan (AHA, 2012).

Seperti tindakan kateterisasi, prosedur PTCA juga hanya menggunakan


pembiusan/anastesi lokal di kulit. Akses pembuluh darah bisa di pergelangan
tangan ataupun di pangkal paha. Setelah dipasang selongsong (sheath) di
pembuluh darah kaki atau tangan, maka kateter akan dimasukan sampai pada
pembuluh darah koroner jantung. Kateter yang digunakan mempunyai diameter
lumen yang lebih besar dibandingkan dengan kateter yang digunakan untuk
kateterisasi jantung. Untuk masuk ke pembuluh darah koroner yang menyempit,
harus dipandu dengan menggunakan guide wire dengan ukuran sangat kecil,
yaitu 0,014 inchi.

Waktu pelaksanaan kateterisasiditentukan berdasarkan beberapa parameter dan


dibagi menjadi 4 kategori, yaitu
 Primary Percutaneous Coronary Intervention adalah tidakan yang
 dilakukan pada Akut Coroner Infark dengan Onset gejala kurang
dari 12 Jam, Keterlambatan door to needle atau door to balloon
tiap 30 menit akan meningkatkan risiko relative 1 tahun sebanyak
7.5%. Sehingga segala usaha harus dilakukan untuk mempercepat
reperfusi.
 Early Percutaneous Coronary Intervention adalah tidakan yang
dilakukan pada Akut Coroner Infark dengan Onset gejala lebih dari
12 Jam
 Rescue Percutaneous Coronary Intervention adalah tidakan yang
dilakukan pada Akut Coroner Infark dengan Onset gejala kurang
dari 12 Jam setelah mengalami kegagalan terapi Fibrinolitik
 Percutaneous Coronary Intervention Elektif
Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi
dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:

a) Nyeri dada tidak berulang Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung

b) TidakadakelainanpadaEKGawalataukedua(dilakukanpadajamke-6 hingga 9)

c) Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-hingga 9)

d) Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia).

c. Indikasi untuk dilakukan PCI adalah:

 Acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) adalah sindrom


Koroner akut dengan deviasi ST segmen elevasi > 1 mm di ekstrimitas
dan > 2 mm di precordial, lead yang bersebelahan serta peninggkatan
CKMB lebih dari25μ/l , Troponin T positif > 0,03
 Non–ST-elevationa cutecorona rysyndrome(NSTE ACS)adalah sindrom
Koroner akut dengan deviasi ST segmen depresi > 0,5mm, dapat disertai
dengan gelombang T inverse dan peningkatan CKMB > 25 μ/l Troponin T
positif > 0,03
 Unstable angina adalah sindrom Koroner akut dengan deviasi ST segmen
depresi > 0,5mm, dapat disertai dengan gelombang T inverse dan Enzim
jantung (Bio-marker) normal
 Stable angina
 Anginal equivalent (eg, dyspnea, arrhythmia, or dizziness or syncope)
 High risk stress test findings
d. Kontraindikasi

o CHF yang tidak terkontrol, BP tinggi, aritmia


o Gangguan elekrolit
o Infeksi ( demam )
o Gagalginjal
o Perdarahan saluran cerna akut/anemia
 Stroke baru (< 1 bulan)
 Intoksikasi obat-obatan (seperti : Kontras )
 Pasien yang tidak kooperatif
 Usia kehamilan kurang dari 3 bulan
e. Area Penusukan

Area penusukan pada tindakan PCI terdiri atas:

o Arteri Femoralis
o Arteri Brachialis
o Arteri Radialis
f. Komplikasi

o Diseksi arteri coroner


o Vasospasme arteri coroner
o Akut disritmia
o Cardiacarrest
o Tamponadejantung
o Hipotensi
o
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL (NANDA)
Diagnosa keperawatan yang muncul terdiri dari:

o Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan


komponen seluler yang diperlukan untuk suplai oksigen.
o Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru ditandai dengan sesak, RR <24 x/menit, terdapat
pernafasan cuping hidung.
o Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas jantung ditandai dengan perubahan EKG, palpitasi,
takikardia, edema, keletihan, murmur, penurunan nadi perifer,
ologuria, pengisian ulang kapiler memanjang,perubahan warna
kulit, crakels, batuk, ortopnea, dispnea paroksimal
nocturnal,bunyi S3, atau bunyi S4.
o Nyeri akut berhubungan dengan agen biologis (iskemia).
o Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan intake nutrisi tidak adekuat.
o Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
o Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi tandai dengan edema ekstremitas dan turgor
kulit tidak elastis.

J. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN (NIC/NOC)

NO Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


1. Gangguan perfusi Setelah dilakukan  selidiki  Perfusi celebral

jaringan tindakan keperawatan perubahan tiba secara langsung b.d


15 menit diharapkan tiba atau curah jantung dan
klien tidak terjadi gangguan mental dipengaruhi oleh
penurunan cardiac kontinyu seperti elektrolit hypoxis
uotput yang ditandai cemas,bingung, atgaupun enboli
dengan klien tidak pingsan. sistemik
tampak lelah dan tidak  Lihat  Vasakanstrikasi
mual dan muntah pucat,cynosis,kuli sistemik diakibatkan
t dingin atau oleh penurunan curah
lembab dan catat jantung mungkin
kekuatan nadi dibuktikan oleh
perifer. penurunan perfusi
 Kaji tanda homan kulit atau perubahan
(nyeri pada betis denyut nadi.
dengan posisi  Indirator
dorsofleksi). trambosisvena
 Menurukan statis
vena,mningkatkan
aliran vena dan
menurukan resiko.
BAB III

PENUTUP

 KESIMPULAN DAN SARAN


Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit yng menyerang organ
jantung.Gejala dan keluhan dari PJK hampir sama dengan gejala yang dimiliki
oleh penyakit jantung secara umum. Penyakit jantung koroner juga salah satu
penyakit yang tidakmenular. Kejadian PJK terjadi karena adanya faktor resiko
yang antara lain adalah tekanan darah tinggi (hipertensi), tingginya kolesterol,
gaya hidup yang kurangaktivitas fisik (olahraga), diabetes, riwayat PJK pada
keluarga, merokok, konsumsi alkohol dan faktor sosial ekonomi lainnya.
Penyakit jantung koroner ini dapatdicegah dengan melakukan pola hidup sehat
dan menghindari fakto-faktorresiko.seperti pola makan yang sehat, menurunkan
kolesterol, melakukan aktivitasfisik dan olehraga secara teratur, menghindari
stress kerja.

Saran
Kelompok berharap makalah ini dapat digunakan oleh perawat untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam memberikan intervensi
keperawatan pada pasien CAD sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan yang diberikan dan perbaikan kondisi pasien.Kelompok juga
berharap makalah ini dapat digunakan oleh mahasiswa keperawatan untuk
meningkatkan tentang CAD dan asuhan keperawatan pada pasien CAD
sehingga dapat menjadi bekal pengetahuan untuk meningkatkan prestasi
akademi maupun ketrampilan saat terjun ke klinik. .Apabila dalam penulisan
makalah ini ada kesalahan maupun kekurangan, maka kelompok mengharapkan
kritik dan saran untuk memperbaiki makalah ini di masa yang akan datang.
EFFUSI PLUERA
Dosen Pembimbing : Ns. Erlangga Galiuh zulva Nugroho,S.Kep,.M.Kep

Disusun Oleh Kelompok 3 :

Fatdila Maulana (P07120121050)


Annisa Arif (P07120121043)
Alya Khairunnisa (P07120121041)
Aulia Rahmi (P07120121044)
Cut Putri Rahayu (P07120121045)
Dilla Fitria (P07120121047)
Fira Bilqis Luqyana (P07120121051)
Nora Septianda (P07120121061)
Nadila Fitri (P07120121130)
Farma ( Perbaikan )

POLTEKKES KEMENKES ACEH D-III


KEPERAWATAN BANDA ACEH TA 2021/2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-nya sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini guna untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah dengan judul EFFUSI PLUERA.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak
yang tulus memberikan saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan terbatasnya
pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki, oleh karena itu kami mengharapkan segala bentuk
saran serta masukan bahkan kriti yang membangun dari berbagai pihak,kami berharap makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Banda Aceh,11 Agustus 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………...1

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………………….2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………..3

A. Definisi………………………………………………………………………………..4

B. Etiologi………………………………………………………………………………..5

C. Manifestasi klinis…………………………………………………………………….6

D. Patofisiologi (pathway)……………………………………………………………...7

E. Pemeriksaan Fisik (Head to toe)…………………………………………………..8

F. Pemeriksaan Pemenuhan Kebutuhan Dasar…………………………………….9

G. Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………………..10

H. Penatalaksanaan Medis & Keperawatan………………………………………..11

I. Diagnosa Keperawatan yang muncul ( NANDA )………………………………12

J. Rencana Tindakan Keperawatan (NIC/NOC)…………………………………..13 BAB III. KESIMPULAN

DAN SARAN……………………………………………………14

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….15 BAB I


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Effusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura, cairan
tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Cairan dalam jumlah yang berlebihan
dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru selama inhalasi.

Effusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah
yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam
rongga pleura sekitar 10-200 ml.

Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura
mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu <1,5 gr/dl. Pleura adalah membra tipis terdiri
dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri
dari sel mesothelial, jaringaan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang
sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis,
sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan mediastinum
disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga
pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura.
BAB II PEMBAHASAN

A.DEFINISI

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura.Hal ini dapat
disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya Absorpsi. Efusi play ora
merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering dengan Etiologi yang
bermacam-macam mulai dari Kardiopulmoner. Inflamasi. Hingga ke ganasan yang harus
segera di evaluasi atau diterapi. Efusi pleura adalah suatu keadaan di mana terdapat
permukaan cairan di rongga pleura selain cairan dapat juga terjadi penumpukan pus atau
udara. effusi pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura akibat transsudasi
atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura.

B.ETIOLOGI

Menurut Hudak Dan gallo (1998:562) penyebab efusi pleura adalah

1. Peningkatan tekanan negatif intra pleural


2. Penurunan tekanan osmotik koloid darah
3. Peningkatan tekanan kapiler supleura
4. Ada inflamasi atau neoplastik

Efusi pluera merupakan proses penyakit primer yang jarang terjadi, tetapi biasanya
merupakan penyakit Sekunder terhadap penyakit lain. Menurut Brunner & suddart 2001,
terjadi efusi pluera disebabkan oleh dua faktor yaitu

• Infeksi
Penyakit – Penyakit infeksi yang menyebabkan efusi pluera antara lain :
turburculosis , pneumonitis , abses paru , abses subfrenik.
Macam- macam penyakit infeksi lain yang dapat menyebabkan efusi pluera antara
lain :

o Pleuritis karena virus & Miko plasma agak jumlahnya pun tidak banyak dan
kejadiaannya hanya selintas saja. Echovirus,coxsackie
virus,chlamidia,rickettsia,Dan mikoplasma.cairan Cairan efusi biasanya eksudat
dan berisi leukosit antara 100- 6000 per cc o Plueritis karena bakteri piogenik

C.MANIFESTASI KLINIS
Adapun manifestasi klinik dari efusi pleura yaitu :

a. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah


cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak nafas.

b. Adanya gejala penyakita seperti demam, menggigil,dan nyeri dada pleuritis


(pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberculosis), banyak keringat, batuk,
banyak riak.

c. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika penumpukan cairan
pleural yang signifikan.

d. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan berkurang. bergerak dalam pernafasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam
keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis ellis damoiseu).

e. Didapati segi tiga garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis ellis damoiseu. Segitiga grocco-rochfusz, yaitu dareah pekak kkarena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain,pada auskulasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronki.

f. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura

D.PATOFISIOLOGI ( PATHWAY )
E.PEMERIKSAAN FISIK ( HEAD TO TOE )

Pada pemeriksaan fisik :

- Inflamasi dapat terjadi friction rub


- Atelektaksis kompresif (kolaps paru parsial ) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus.
- Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan.
- Focal fremitus melemah pada perkusi didapati pekak, dalam keadaan duduk permukaan
cairan membentuk garis melengkung (garis ellis damoiseu).

F.PEMERIKSAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR

kebutuhan dasar 1.
Pola makan
2. Pola minum
3. Pola tidur
4. Pola Aktivitas

G.PEMERIKSA PENUNJANG

Dokter akan mendiagnosis efusi pleura dengan melakukan wawancara medis,


pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, seperti: Rontgen dada. Melalui
pemeriksaan rontgen dada, efusi pleura akan tampak putih pada sinar-X, sementara itu
ruang udara terlihat hitam.Hasil aspirasi kemudian akan dilakukan analisis cairan pleura.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan biokimia untuk menentukan jenis cairan
efusi pleura, pemeriksaan sitologi untuk melihat adanya sel-sel darah atau proinflamasi, dan
mikrobiologi untuk mendeteksi penyebab infeksi.

H.PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN

Penatalaksanaan efusi pleura umumnya terbagi menjadi empat, yaitu penanganan


etiologi dasar, drainase, pleurodesis, dan tindakan pembedahan.[1-3]

Penatalaksanaan efusi pleura berdasarkan etiologi spesifik yang mendasarinya umumnya


menjadi solusi dari kebanyakan efusi pleura transudat. Beberapa contoh penatalaksanaan
spesifik efusi pleura dijelaskan secara singkat pada tabel 2.

Tabel 2. Penatalaksanaan Efusi Pleura berdasarkan etiologi spesifik


Etiologi efusi pleura Penatalaksana
Penyakit jaringan ikat:artritis rheumatoid,lupus Steroid: umumnya resolusi tercapai dalam
2 minggu
Tuberkulosis Obat antituberkulosis

Amebiasis metronidazole 3x 800mg/hari selama 5-10


hari, dilanjutkan diloxanide furoate 3x 500
mg/hari selama 10 hari
Pleural hydatidosis Albendazole 1x400mg selama 1 bulan
sebelum pembedahan eksisi kista

Pankreatitis Somatostatin + octreotide

Gagal jantung kongestif


Diuretik seperti furosemide

Hepatic hydrothorax Restriksi natrium + diuretic

Empyema Antibiotik + drainase pus

Meigs syndrome
Pengangkatan massa ovarium → resolusi asites
dan efusi pleura dalam 2-3 minggu

Chylothorax Diet low-fat medium-chain triglyceride →

diabsorbsi langsung ke sirkulasi porta untuk


memperbaiki
Malignant chylothorax Hipovolemia dan defisiensi protein/elektroli

Post-traumatic/ post-surgery chylothorax Radioterapi dan/atau kemoterapi

Ligasi (misalnya ductus thoracicus

Keganasan Kemoterapi / radioterapi, torakosentesis


berulang untuk evakuasi cairan bila terus
terakumulas

I.DIAGNOSA KEPERAWATAN

Adapun dignosa yang diangkat dari masalah sebelum dilakukan tindakan infasif adalah:

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambata upaya nafas (kelemahan otot nafas)
(D.0005)
b. Nyeri akut berhubungan denganagen pencedera fisiologis (inflamasi, iskemia, neoplasma)
(D.0077)

c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (D.0056)

d. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)


e. Defisitnutrisiberhubungandengankurangnyaasupanmakanan(D.0019)
f. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
(D.0111) (PPNI, 2017).

Adapun dignosa yang diangkat dari masalah setelah dilakukan tindakan infasif adalah:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi) (D.0077)
b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (D.0142)

J.RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Menurut PPNI (2019) rencana tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien efusi pleura
dengan pola napas tidak efektif mengacu pada Standar Intervensi Kesehatan Indonesia (SIKI) yaitu:
1) Manajemen jalan napas

Mengidentifikasi dan mengelola kepatenan jalan napas

a) Observasi

1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usha napas)


2. Monitor bunyi napas tambahan (misalnya Gurgling, mengi, wheezing, ronchi kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

b) Terapeutik

1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin lift (jaw thrust jika curiga
trauma servikal) 2. Posisikan semi fowler atau fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forcep McGiil
8. Berikan oksigen, jika perlu
c) Edukasi

1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/ hari, jika tidak terkontraindikasi


2. Ajarkan teknik batuk efektif

2) Pemantuan Respirasi

Mengumpulkan dan menganalisis data memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan
pertukaran gas. a) Observasi
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
2. Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,
Cheyne-Stokes, biot, ataksik)

3. Monitor kemampuan batuk efektif


4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
6. palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x-ray toraks
c) Terapeutik

1. Atur interval pemantuan respirasi sesuai kondisi pasien 2.


Dokumentasikan hasil pemantuan
d) Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan, jika perlu


BAB III PENUTUP

1. KESIMPULAN
- Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pluera,
cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru.
- Cairan dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan
dengan membatasi peregangan paru selama inhalasi.
- Penyebab paling sering efusi pleurs transudatif di USA adalah oleh karen
penyakit gagal jantung kiri, emboli paru, dan sironis hepatis, sedangkan
penyebab efusi pleura eksudatif disebabkan oleh pneumonia bakteri,
kegunaan (ca paru, ca mammae, dan lymphoma merupakan 75% penyebab
efusi pleura oleh karena kanker), infeksi virus.
- Dalam keadaan normal, hanya ditemukan selapis cairan tipis yang
memisahkan kedua lapisan pluera.
- Efunsi pleura terjadi karena tertimbunnya cairan pluera secara berlebihan
sebagai akibat transudasi (perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik).

2. SARAN

Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan didalam makalah ini, baik dari tulisan
maupun bahasan yang kami sajikan. Oleh karena itu mohon diberikan kritik serta sarannya
agar kedepannya kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi, dan semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi kita semua.

Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan
menggunakan pedoman-pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun
dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

NANDA-I, 2010. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: Buku
kedokteran EGC

PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai