2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga tugas laporan pendahuluan yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN TBC” Ini dapat terselesaikan pada waktu yang telah di tentukan.
Dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekeliruan dan kekurangan serta masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang besifat konstruktif dan membangun demi kesempurnaan penyusun ke
depannya.
Tugas laporan pendahuluan ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan dari anggota
kelompok. Maka, dari itu izinkan kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
anggota yang telah membantu menyelesaikan tugas ini.
Akhir kata semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya kami penyusunnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4
1.2 Tujuan Umum...................................................................................................................4
1.3 Tujuan Khusus..................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................5
2.1 Definisi TBC....................................................................................................................5
2.2 Etiologi TBC....................................................................................................................5
2.3 Manifestasi Klinis.............................................................................................................6
2.4 Patofisiologi......................................................................................................................6
2.5 Pemeriksaan Fisik.............................................................................................................8
2.6 Pemeriksaan Pemenuhan Kebutuhan Dasar.....................................................................9
2.7 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................................10
2.8 Penatalaksanaan Medis & Keperawatan........................................................................11
2.9 Diagnosa Keperawatan yang muncul dan Rencana Tindakan Keperawatan.................12
BAB III PENUTUP..................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................18
3.2 Saran...............................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari Mycobacterium
tuberculosis, yang mempengaruhi paru-paru. TB merupakan salah satu penyakit tertua
yang diketahui mempengaruhi manusia menjadi penyebab utama kematian di seluruh
dunia (Kasper, 2010).TB adalah salah satu dari 10 penyebab kematian di seluruh
dunia. Pada tahun 2017, 10 juta orang jatuh sakit dengan TB (WHO,2018). Bakteri ini
lebih sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan organ tubuh manusia, dan
juga merupakan salah satu penyakit yang paling mematikan di dunia.
Penularan tuberkulosis (TBC) terjadi ketika seseorang tidak sengaja menghirup percikan
ludah (droplet) saat seseorang yang terinfeksi TBC bersin atau batuk. Oleh sebab itu, risiko
penularan penyakit ini lebih tinggi pada orang yang tinggal serumah dengan penderita TBC.
TBC pada paru-paru akan menimbulkan gejala berupa batuk lebih dari 3 minggu yang dapat
disertai dahak atau darah. Selain itu, penderita juga akan merasakan gejala lain, seperti
demam, nyeri dada dan berkeringat di malam hari.
M.tuberculosis dapat bertahan dalam kondisi asam dan basa yang ekstrem, kondisi rendah
oksigen, dan kondisi intraseluler. Bakteri ini umumnya menginfeksi paru-paru tetapi dapat
juga menginfeksi organ lain, seperti tulang, otak, hati, ginjal, dan saluran pencernaan.
Manusia merupakan satu-satunya host Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menyebar
dari orang ke orang melalui partikel droplet aerosol. Ukuran droplet infeksius dari pasien
tuberkulosis paru bervariasi dari 0,65 µm hingga >7,0 µm.
Partikel aerosol yang berukuran kecil dapat melewati nasofaring hingga trakea dan bronkus,
lalu terkumpul di saluran napas distal. Sementara itu, partikel aerosol yang lebih besar dapat
terkumpul di saluran napas atas atau orofaring dan mengakibatkan tuberkulosis orofaring atau
tuberkulosis nodus limfatik servikal.
a. Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.
b. Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang /
mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulent
(menghasilkan sputum)
c. Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru
d. Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
e. Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot
dan keringat di waktu di malam hari
2.4 Patofisiologi
Tempat masuk kuman Mycobacterium Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi
melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel
yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas dengan melakukan
reaksi inflamasi bakteri dipindahkan melalui jalan nafas, basil tuberkel yang mencapai
permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga
basil, gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar
bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil
tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada
tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah
hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala Pneumonia akut.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang
tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau
berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar
getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit.
Reaksi ini membutuhkan waktu 10 – 20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, isi
nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel
epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih
fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah
bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi
pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk
kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain di
paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer
menjadi rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk.
Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan
parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan tertutup oleh
jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat
mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh
dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan
ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan
bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos
melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-
kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal
sebagai penyebaran limfo hematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen
merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan Tuberkulosis milier. Ini terjadi
apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam
sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh. Komplikasi yang dapat timbul akibat
Tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada sistem
pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan gagal nafas, sedang
diluar sistem pernafasan menimbulkan Tuberkulosis usus, Meningitis serosa, dan
Tuberkulosis milier (Kowalak, 2011).
2.5 Pemeriksaan Fisik
1. Tes kulit (Mantoux test)
Tes kulit, atau mantoux tuberculin skin test (TST), merupakan metode yang paling sering
digunakan dalam pemeriksaan TBC. Biasanya, tes ini dilakukan di negara-negara dengan
angka kejadian TBC yang rendah, di mana kebanyakan orang hanya memiliki TBC jenis
laten di dalam tubuhnya.
Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikkan cairan yang disebut dengan tuberkulin. Itu
sebabnya, tes ini disebut juga dengan nama uji tuberkulin. Tuberkulin disuntikkan di bagian
bawah lengan Anda. Setelah itu, Anda akan diminta untuk kembali ke dokter dalam waktu
48-72 jam setelah tuberkulin disuntikkan.
IGRA adalah jenis pemeriksaan TBC terbaru yang dilakukan dengan mengambil sedikit
sampel darah Anda. Tes darah dilakukan untuk mengetahui bagaimana sistem imun tubuh
Anda merespons bakteri penyebab TBC.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya TBC adalah sputum smear
microscopy, atau mengambil sedikit cairan dahak untuk diperiksa di bawah mikroskop. Anda
mungkin lebih mengenalnya dengan nama tes dahak atau pemeriksaan BTA.
Hasil rontgen dada (thorax) dapat memberikan gambaran klinis dari kondisi paru-paru
seseorang sehingga bisa mendeteksi penyakit TBC.
Pemeriksaan TBC ini mungkin dilakukan setelah satu spesimen tes dahak BTA menunjukkan
hasil positif dan dua spesimen lainnya negatif. Anda juga akan diminta melakukan rontgen
thorax apabila hasil tes Anda negatif semua dan Anda telah diberikan obat antibiotik non-TB
paru, tapi tak ada perbaikan.
1) Oksigenasi
Adanya gejala batuk-batuk berdahak, sekret yang kental mengakibatkan bersihan jalan nafas
yang tidak efektif dan akhirnya kebutuhan oksigen tidak terpenuhi secara optimal. Tanda dan
gejala lain yang mengakibatkan terjadinya gangguan pada kebutuhan oksigenasi ialah sesak
nafas, wheezing, batuk hingga batuk berdarah.
2) Nutrisi
Terjadinya penurunan berat badan akibat dari proses metabolisme yang meningkat serta
timbulnya anoreksi maka akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan nutrisi yang
kurang.
3) Pola aktifitas
Penurunan kadar oksigen dalam darah menyebabkan suplai oksigen ke jaringan menurun
yang mengakibatkan proses pembentukan ATP terhambat, akhirnya energi yang di hasilkan
sedikit, menyebabkan penderita TB paru merasa lelah dan lemah. Bahkan, pasien TB juga
bisa mengalami rasa sakit kepala, meriang, lemah badan dan gejala malaise lainnya sehingga
mengakibatkan terjadinya gangguan pada pola aktifitas.
Timbul perasaan cemas akan penyakit yang diderita dan ancaman kematian, dan
kekhawatiran penyakitnya akan menular kepada orang lain. Adanya rasa nyeri dada akibat
dari batuk yang terus menerus juga bisa dirasakan pada pasien TB mengakibatkan terjadinya
gangguan rasa nyaman. 5) Gangguan pemenuhan kebutuhan harga diri Perasaan tidak
berharga karena tidak bisa melakukan peran dan fungsinya akibat adanya sakit. (Alimul,
2014).
a. Pemeriksaan Diagnostik
b. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan di ketemukannya kuman BTA diagnosis
tuberculosis sudah dapat di pastikan. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali yaitu: dahak
sewaktu datang, dahak pagi dan dahak sewaktu kunjungan kedua. Bila didapatkan hasil dua
kali positif maka dikatakan mikroskopik BTA positif. Bila satu positif, dua kali negatif maka
pemeriksaan perlu diulang kembali. Pada pemeriksaan ulang akan didapatkan satu kali positif
maka dikatakan mikroskopik BTA negatif.
asam.
5) reaksi timbul 48- 72 jam setelah injeksi antigen intrakutan berupa indurasi kemerahan
yang terdiri dari infiltrasi limfosit yakni persenyawaan antara antibody dan antigen tuberculin
e. Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas, timbunan kalsium dari lesi
primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang menunjukkan perkembangan Tuberkulosis
meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.
h. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi.
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan jaringan paru.
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang fungsi, meningkatnya rasio residu udara pada
kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen sebagai akibat infiltrasi parenkim /
fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura (akibat dari tuberkulosis kronis).
1) Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4–5 macam obat anti TB per hari dengan
tujuan mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakteri sidal), menghilangkan
keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut, mencegah timbulnya resistensi obat
2) Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2 macam obat per hari
atau secara intermitten dengan tujuan menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi),
mencegah kekambuhan pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33
kg, 33 – 50 kg dan lebih dari 50 kg.
1) Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah orang
2) Mengetahui adanya gejala efek samping obat dan merujuk bila diperlukan
5) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan kedua, kelima
dan enam
Sumber penularan penyakit Tuberkulosis adalah penderita Tuberkulosis BTA positif pada
waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan. Tempat masuk kuman Mycobacterium Tuberculosis adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC)
terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil
tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
3.2 Saran
Ada beberapa hal yang dapat disarankan demi keperluan pengembangan hasil penelitian
hubungan motivasi diri dengan kepatuhan minum obat anti tuberculosis (OAT) pada pasien
TB paru :
1. Bagi Puskesmas
Bagi pihak Puskesmas disarankan agar lebih di tingkatkan dalam mengawasi serta
memberikan perhatian lebih kepada p asien TB Parukhususnya pasien TB Paru lansia
yang mempunyai motivasi tinggi untuk sembuh tapi terkendala dengan tidak adanya
keluarga yang mengawasi dengan cara melakukan kunjungan rumah dan memberikan
tanggung jawab kepada petugas kesehatan yang bertanggung jawab sebagai PMO
(Pengawas Minum Obat) yang nantinya akan berperan untuk mengawasi dan
mengingatkan secara terus menerus untuk minum obat. Dan untuk pasien TB Paru
yang mempunyai motivasi rendah agar selalu diberikan dukungan dan pengertian
akan pentingnya kepatuhan dalam menjalani pengobatan TB Paru agar pasien TB
paru dapat termotivasi dalam menjalani pengobatan sehingga tercapainya kesembuhan
penyakit TB paru secara optimal.
2. Bagi Pasien dan keluarga
Diharapkan kepada pasien TB paru agar tetap patuh dalam menjalani pengobatan agar
kesembuhan dapat dicapai sesuai yang diharapkan. Dan bagi keluarga sebaiknya tetap
memberikan dukungan pada pasien dengan cara selalu mengingatkan dan memotivasi
pasien untuk minum obat secara teratur serta meluangkan waktu untuk mengantarkan
pasien berobat ketika pasien membutuhkan bantuan.
3. Bagi Institusi pendidikan
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk perpustakaan dan
menambah wawasan bagi mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Modifikasi teori Gordon dalam Irwan (2017), Kemenkes (2020), Putri (2018), Nizar (2017),
Agustin (2018), Irianti (2016). Sumber : http://repositori.unsil.ac.id/5077/5/Bab
%20II.pdf
(COPD)
Dosen Pengampu: : Ns. Erlangga Galih Z.N. M.Kep
Oleh:
Dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekeliruan dan kekurangan serta
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca yang besifat konstruktif dan membangun demi
kesempurnaan penyusun ke depannya.
Tugas laporan pendahuluan ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan
dari anggota kelompok. Maka, dari itu izinkan kami menyampaikan ucapan terima
kasih kepada semua anggota yang telah membantu menyelesaikan tugas ini.
Akhir kata semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya kami
penyusunnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................4
A.Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).........................................4
B.ETIOLOGI......................................................................................................6
C.MANIFESTASI KLINIS..................................................................................7
D.PATOFISIOLOGI COPD................................................................................7
E.PEMERIKSAAN FISIK...................................................................................7
F.PEMERIKSAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR................................8
G.PEMERIKSAAN PENUNJANG.....................................................................8
H.PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN...............................10
I.DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL (NANDA,MINIMAL 5 DIAGNOSA
KEPERAWATAN )...........................................................................................11
J.RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN (NIC/NOC).................................13
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................14
A. Kesimpulan.................................................................................................14
B. Saran...........................................................................................................14
DAFTAR PUSAKA..............................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis kronis atau
empisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya progresif kadang diikuti oleh
hiperaktivitas jalan nafas dan kadangkala parsial reversibel, sekalipun empisema
dan bronkitis kronis harus didiagnosa dan dirawat sebagai penyakit khusus,
sebagian besar pasien PPOK mempunyai tanda dan gejala kedua penyakit tersebut.
( Amin, Hardhi, 2013).Sekitar 14 juta orang Amerika terserang PPOK dan Asma
sekarang menjadi penyebab kematian keempat di Amerika Serikat. Lebih dari
90.000 kematian dilaporkan setiap tahunnya. Rata-rata kematian akibat PPOK
meningkat cepat, terutama pada penderita laki-laki lanjut usia. Angka penderita
PPOK di Indonesia sangat tinggi. Banyak penderita PPOK datang ke dokter saat
penyakit itu sudah lanjut. Padahal, sampai saat ini belum ditemukan cara yang
efisien dan efektif untuk mendeteksi PPOK. Menurut Dr Suradi, penyakit PPOK di
Indonesia menempati urutan ke-5 sebagai penyakit yang menyebabkan kematian.
Sementara data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun
2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan ke-4 sebagai penyebab
kematian. "Pada dekade mendatang akan meningkat ke peringkat ketiga. Dan
kondisi ini tanpa disadari, angka kematian akibat PPOK ini makin
meningkat.penyakit PPOK selayaknya mendapatkan pengobatan yang baik dan
terutama perawatan yang komprehensif, semenjak serangan sampai dengan
perawatan di rumah sakit. Dan yang lebih penting dalah perawatan untuk
memberikan pengetahuan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang
perawatan dan pencegahan serangan berulang pada pasien PPOK di rumah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh
emfisema dan bronkitis kronis
B.ETIOLOGI
Merokok merupakan resiko utama terjadinya Penyakit Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD). Sejumlah zat iritan yang ada didalam rokok
menstimulasi produksi mukus berlebih, batuk, merusak fungsi silia, menyebabkan
inflamasi, serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus. Faktor resiko lain
termasuk polusi udara, perokok pasif, riwayat infeksi saluran nafas saat anak-anak,
dan keturunan. Paparan terhadap beberapa polusi industri tempat kerja juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Black,
2014)
1) Riwayat merokok
a) Perokok aktif
b) Perokok pasif
c) Bebas perokok
2) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
a) Ringan : 0-200
b) Sedang : 200-600
c) Berat : >600 3) Derajat berat merokok berdasarkan banyak rokok yang dihisap
perhari dibagi menjadi 2 klasifikasi yaitu :
C.MANIFESTASI KLINIS
Gejala dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah seperti susah bernapas,
kelemahan badan, batuk kronik, nafas berbunyi, mengi atau wheezing dan terbentuknya
sputum dalam saluran nafas dalam waktu yang lama.
D.PATOFISIOLOGI COPD
Didefinisikan sebagai COPD jika pernah mengalami sesak napas yang bertambah ketika
beraktifitas dan atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau
pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
E.PEMERIKSAAN FISIK
Mengukur suhu tubuh, berat badan dan tinggi (sesuai angka BMI).
Mengamati gejala infeksi pada telinga, mata, hidung, dan tenggorokan.
Memeriksa detak jantung dan paru-paru Anda dengan stetoskop.
Memeriksa darah di pembuluh vena leher, yang memungkinkan mengakibatkan
masalah jantung, misalnya cor pulmonale.Menekan-nekan bagian perut.
Memeriksa jari dan bibir Anda jika berubah warna (cyanosis).
Memeriksa jari Anda apakah terdapat pembengkakan atau memeriksa kuku jika
terjadi clubbing (tonjolan).
Memeriksa kaki hingga jari apakah terdapat pembengkakan (edema).
F.PEMERIKSAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap pertama dalam proses perawatan yang menyangkut data
yang komprehensif dan valid akan menentukan penetapan diagnosis keperawatan dengan
tepat dan benar. Pengkajian terdiri dari dua yaitu pengkajian skrining dan pengkajian
mendalam. Pengkajian skrining dilakukan ketika menentukan apakah keadaan tersebut
normal atau abnormal, jika ada beberapa data yang ditafsirkan abnormal makan akan
dilakukan pengkajian mendalam untuk menentukan diagnosa yang tepat Terdapat 14 jenis
subkategori data yang dikaji yaitu respirasi, sirkulasi, nutrisi dan cairan, eleminasi, aktivitas
dan istirahat, neurosensori, reproduksi dan seksualitas, nyeri dan kenyamanan, integritas ego,
pertumbuhan dan perkembangan, kebersihan diri, penyuluhan dan pembelajaran, interaksi
sosial, serta keamanan dan proteksi .
Secara umum data keperawatan yang harus dikaji pada pasien mencakup identitas
pasien, alasan riwayat rumah sakit (keluhan utama, riwayat penyakit sekarang), riwayat
sebelumnnya dan riwayat penyakit keluarga, pemenuhan kebutuan pasien, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Data fokus keperawatan yang dapat pada pasien PPOK dengan
bersihan jalan napas tidak efektif meliputi tanda gejala mayor dan minor bersihan jalan napas
tidak efektif. Data mayornya yaitu batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih,
mengi, wheezing dan ronkhi kering. Data minornya yaitu gelisah, sianosis, bunyi napas
menurun, frekuensi napas berubah, pola napas berubah dispnea, sulit bicara, ortopnea
G.PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator)Uji faal paru
berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan
prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi
saluran nafas dalam berbagai tingkat.
Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah
inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity(FVC). Spirometri juga mengukur
volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver
tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari
kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai fungsi
paru.Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC serta
nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-bronchodilato dilakukan dengan memberikan
bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 <20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator dapat
digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOKberdasarkan derajat obstruksinya.
Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:
2. Stage II : Sedang Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80%
dari nilai prediksi.
3. Stage III : Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50%
dari nilai prediksi.
4. Stage IV : Sangat Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari
30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.
• Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru lain.
Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah
dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang
menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis
kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat
terlihat corakan bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.
• Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting dilakukan dan wajib
dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi
dan secara klinis tampak tanda-tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti
sianosis sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure.
Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema
dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas
darah menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%.
Dapat juga menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta
asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkankarena pada
bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata. Sedangkan
pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi maupun perfusi,
keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh
karena itu pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia
atau hipoksia ringan, dan normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup
tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa.
Untuk terapi farmakologi yang diberikan untuk pasien PPOK adalah sebagai berikut:
a. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini biasannya
digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan napas ketika terjadi serangan, atau
secara regular untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala
b. Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus atau
bakteri. Data menunjukan bahwa sedikitnya 80 % eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh
infeksi. Dari infeksi ini 40-50% disebabkan oleh bakteri, 30 % disebabkan oleh virus, dan 5-
10 % tidak diketahui bakteri penyebabnya. Karena itu, antibiotik merupakan salah satu obat
yang sering digunkan dalam penatalaksanaan PPOK. Contoh antibiotik yang sering
digunakan adalah penicillin
c. Mukolitik
Pemberian oksigen dalam jangka panjang akan memperbaiki PPOK disertai kenaikan
toleransi latihan. Biasannya di berikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur
atau waktu latihan
Diagnosa keperawatan dalam penelitian ini yaitu diagnosis aktual. Diagnosis ini
menggambarkan respons pasien terhadap kondisi kesehatan atau proses kehidupannya yang
menyebabkan pasien mengalami masalah kesehatan. Tanda/gejala mayor dan minor dapat
ditemukan dan divalidasi pada pasien. Diagnosa keperawatan memiliki dua komponen utama
yaitu masalah (problem) atau label diagnosa dan indicator diagnostik yang terdiri dari
penyebab (etiology) dan tanda (sign) dan gejala (symptom) (Timhamna dkk).
Tanda (sign) merupakan data objektif yang diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan prosedur diagnostik sedangkan gejala (symptom) merupakan
data subjektif yang diperoleh dari hasil anamnesis. Tanda dan gejala dikelompokkan menjadi
dua kategori yaitu mayor dan minor. Mayor merupakan tanda/gejala ditemukan sekitar 80%-
100% untuk validasi diagnosis, sedangkan minor merupakan tanda/gejala tidak harus
ditemukan, namun jika ditemukan dapat mendukung penegakan diagnosis (Timhamna dkk).
Setelah dilakukan analisa data untuk mengetahui penyebab masalah maka dapat
dirumuskan diagnosa keperawatan yaitu bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan
dengan hipersekresi jalan napas ditandai dengan batuk tidak efektif, tidak mampu batuk,
sputum berlebih, mengi, wheezing dan ronkhi kering,dispnea, sulit bicara, ortopnea, gelisah,
sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah,dan pola napas berubah
Klasifikasi intervensi keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif termasuk dalam
kategori fisiologi dan termasuk ke dalam subkategori.Dalam perencanaan keperawatan dibuat
prioritas dengan kolaborasi pasien dan keluarga, konsultasi tim kesehatan lain, modifikasi
asuhan keperawatan dan catat informasi yang relevan tentang kebutuhan perawatan kesehatan
pasien dan penatalaksanaan klinik.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan gambaran perilaku merokok pada
responden di RS Paru Dungus Madiun adalah sebagian besar perokok aktif, rata- rata usia
awal merokok responden 14 tahun, rata-rata telah merokok selama 33 tahun. Sedangkan
jenis rokok yang dihisap adalah rokok filter dengan jumlah 8-18 batang perhari. Rata-rata
responden berhenti merokok 3 tahun. Mayoritas responden memiliki anggota keluarga yang
merokok dan semua tamu merokok dirumah responden.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan maka saran yang perlu disampaikan sebagai berikut :
Dengan adanya penenlitian ini, diharapkan pihak institusi kesehatan dapat meningkatkan
dan mempertahankan mutu pelayanan atau program yang telah ada untuk mengurangi
perilaku merokok pada pasien PPOK.
Peneliti selanjutnya dapat menambahkan data pasien dengan perbedaan derajat PPOK.
Selain itu jugaa perlu adanya studi komparasi di RS Paru Manguharjo Kota Madiun.
DAFTAR PUSAKA
Abdul, G. 2014. Hubungan Perilaku Merokok Dengan Kejadian PPOK di Paviliun Cempaka
RSUD Jombang. Eduhealth, 4(1).
Ahnyar, W. 2009. Bahaya Merokok Bagi Kesehatan. Jakarta : Bina Medika
Press.
Badan Pusat Statistik. 2015. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2010. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta
Bustan, M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT.Rineka Cipta.
Celli, B. R. MacNee, W. Agusti, A dan Anzueto, A.2004. Standarts for the Diagnosis and
Treatment of Patient with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Ameican Thoracic
Society dan European Respiratry Society. New York
Ganesha, A.T. 2013. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Penyakit Paru
Obstruktuif Kronis Pada Wanita di Rumah Sakit HA. Rotinsulu. Skripsi. Bandung
GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease). 2007. Executive summary
global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease update
2007.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17507545
MAKALAH
Kelompok 2
BAB I.PENDAH
ULUAN
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi……………………………………..
B. Etiologi……………………………….
C. Manifestasi klinis……………………….
D. Patofisiologi (pathway) ……………………
E. Pemeriksaan Fisik (Head to toe)…………….
F. Pemeriksaan Pemenuhan Kebutuhan Dasar……………..
G. Pemeriksaan Penunjang………………………
H. Penatalaksanaan Medis & Keperawatan……………………
I. Diagnosa Keperawatan yang muncul (NANDA, minimal 5 diagnosa keperawatan)
…………………..
J. Rencana Tindakan Keperawatan (NIC/NOC)…………………..
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Cor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikelkanan
akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerangstruktur, fungsi
paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjutmenjadi gagal jantung kanan.
Menurut World Health Organization (WHO),definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis
dengan hipertrofi ventrikel kananyang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur
paru. Tidak termasukkelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit
jantungkongenital (bawaan).
Istilah hipertrofi yang bermakna sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi
ventrikel kanan.Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel
kanandengan bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru
akanmempengaruhi secara selektif jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum
yangmenyebabkan kor pulmonal adalah peningkatan dari resistensi aliran darah
melaluisirkulasi paru dan mengarah pada hipertensi arteri pulmonal.Kor pulmonal dapat
terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor pulmonalakut tersering adalah emboli
paru masif sedangkan kor pulmonal kronik seringdisebabkan oleh penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).
Pada kor pulmonal kronikumumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan sedangkan pada
kor-pulmonal akutterjadi dilatasi ventrikel kanan. Insidens yang tepat dari kor pulmonal
tidak diketahuikarena seringkali terjadi tanpa dapat dikenali secara klinis. Diperkirakan
insidenskor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung. Di Inggristerdapat
sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya kor pulmonal pada populasi usia lebih
dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalamihipertensi pulmonal yang
membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
cor-pulmonel diartikan sebagai keadaan patologis dengan ditemukannya
hipertropi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktural
paru. (WHO, 1993) Pulmonary heart disease adalah pembesaran ventrikel kanan
(hipertrofi dan/ataudilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada,
atau kelainan padakontrol pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung
kanan yang terjadiakibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung bawaan.
(Boughman, 2000) Kor pulmonal merupakan suatu keadaan dimana timbul hipertrofi
dan dilatasiventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan; timbul akibat
penyakit yangmenyerang struktur atau fungsi paru-paru atau pembuluh darahnya.
Definisi inimenyatakan bahwa penyakit jntung kiri maupun penyakit jantung
bawaan tidak bertanggung jawab atas patogenesis kor pulmonale. Kor pulmonale
bisa terjadi akut (contohnya, emboli paru-paru masif) atau kronik. (A. Price Sylvia and
M.Wilson Lorraine, 1995) Kor Pulmonal adalah terjadinya pembesaran dari jantung
kanan (dengan atau tanpagagal jantung kiri) sebagai akibat dari penyakit yang
mempengaruhi struktur ataufungsi dari paru-paru atau vaskularisasinya. (Irman
Somantri, 2012) Kor Pulmonal adalah penyakit pembesaran jantung kanan (ventrikel
kiri) dengan atautanpa gagal jantung kiri. (Menurut Kelompok).
B. ETIOLOGI
4. Trombo emboli
9. Bronkiektasis difus
10. TB paru luas
Dalam perjalanan penyakit kor pulmonal dibedakan dalam 5 fase, yaitu:Fase IPada
fase I, belum ada gejala klinis yang jelas selain adanya permulaan penyakit
paruobstruktif kronik, tuberkulosis lama, bronkiektasis, dan lain-lain. Penderita biasanya
sudahberumur lebih dari 50 tahun, sering dalam anamnesis terdapat kebiasaan banyak
merokok. Fase IIPada fase II sudah mulai ada tanda-tanda berkurangnya ventilasi. Gejala
batuk yanglama sering disertai dahak banyak terutama pada bronkiektasis. Sesak napas
dan napasberbunyi apabila ada konstriksi bronkus akibat asma bronkial. Sesak napas
terutama timbulpada waktu berjalan menanjak atau sesudah banyak berbicara, dan
penderita sering disebutdengan istilah pink puffers.
Timbul asidosis, pH darah turun. Pada fase ini sudah timbul tanda-tanda kor Pulmonal
potensial dan tekanan pulmonal sudah mulai meningkat.Fase V Pada fase V sudah
tampak kelainan di jantung. Tekanan di arteri pulmonal mulaimeningkat. Mula-mula
tekanan rata-rata arteri pulmonal kurang dari 25 mmHg tetapikemudian akan naik
sampai melampaui di atas 25 mmHg. Penderita sudah masuk ke dalamfase impending
cor pulmonale. Sudah tampak kerja ventrikel kanan yang lebih berat agardapat
mengatasi kenaikan tekanan di arteri pulmonal, tetapi fungsi jantung kanan masih
dapatmengadakan kompensasi. Ventrikel kanan menjadi hipertrofi dan akhirnya
terjadilah gagaljantung kanan.Pada pemeriksaan klinis, penderita tampak sianotik, vena
jugularis di leher tampakterbendung, hati membesar karena kongesti, timbul edema di
tungkai, kaki, dan kadangdisertai asites.
D. PATOFISIOLOGIS (PATHWAY)
E. PEMERIKSAAN FISIK (HEAD TO TOE)
Temuan pemeriksaan fisik cor pulmonale umumnya muncul setelah penyakit
berkembang menjadi tahap lanjut. Temuan pemeriksaan fisik pada cor pulmonale
antara lain adalah distensi vena jugular, regurgitasi trikuspid, edema perifer, iktus
kordis teraba, kelainan bunyi jantung (seperti splitting S2, murmur holosistolik
trikuspid, atau bunyi gallop. Pada regio abdomen dapat ditemukan hepatomegali
dan ascites
F. PEMERIKSAAN KEBUTUHAN DASAR
Cor pulmonale perlu dibedakan dengan gagal jantung kongestif. Pada gagal
jantung kongestif, gangguan struktur dan fungsi terjadi pada ventrikel kiri dengan
atau tanpa keterlibatan ventrikel kanan. Faktor risiko tersering adalah hipertensi
yang tidak terkontrol.
Diagnosis banding lain yang juga harus disingkirkan adalah gagal jantung kanan
sebagai akibat infark miokard ventrikel kanan. Pada keadaan ini, tidak ditemukan
adanya penyakit primer pada paru, berbeda dengan cor pulmonale yang disebabkan
oleh penyakit primer pada sistem pernapasan.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kateterisasi jantung kanan adalah pemeriksaan penunjang yang paling akurat,
namun jarang dilakukan karena bersifat sangat invasif. Pemeriksaan penunjang lain
yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis cor pulmonale adalah EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan radiologi.
DIAGNOSIS
KEPERAWATAN (NANDA) NIC NOC
Bersihan jalan nafas tidak 1. Pencegahan aspirasi Manajemen jalan nafas
efektif berhubungan (Aspiration Prevention) (Airway Management)
dengan penumpukan 2. Status Respirasi : Jaga kepatenan jalan nafas
sekret di jalan nafas Bersihan jalan nafas : Buka jalan nafas, batuk
efektif (Respiratory Status: efektif, suction,fisioterapi
Airway Patency) dada Identifikasi
3. StatuS kebutuhan insersi jalan
Respirasi :Ventilasi efektif nafas buatan Monitor
(Respiratory Status : status respirasi (adanya
Ventilation) Selama suara nafas tambahan)
dilakukan asuhan dan oksigenasi Ajarkan
keperawatan :Mampu menggunakan inhaler
mengidentifikasi dan Kolaborasi medis :
mencegah faktor yang pemberian O2,
dapat menghambat jalan pemeriksaan
nafas Menunjukkan jalan laboratorium, insersi jalan
nafas yang paten (klien nafas Identifikasi sumber
tidak merasa tercekik, alergi (obat,
frekuensi pernafasan makanan, ........) dan reaksi
dalam rentang normal yang biasa terjadi
(dewasa : 16-24x/mnt), Monitor respon alergi
tidak ada suara nafas selama 24 jam Ajarkan/
abnormal) Mampu diskusikan untuk
mengeluarkan sputum menghindari alergen
dari jalan nafas Kolaborasi : tes alergi,
Menunjukkan pertukaran obat anti alergi
gas efektif (PaO2 dan Pencegahan Aspirasi
PaCO2 normal, pH arteri (Aspiration Precautions)
dbn,saturasi O2 normal, Monitor tingkat
status mental dbn, tidak kesadaran, reflek batuk,
ada dyspnea dan sianosis, muntah dan kemampuan
mampu bernafas dengan menelan. Berikan
mudah )Menunjukkan makanan sedikit demi
ventilasi adekuat (RR sedikit/secara bertahap
normal, ekspansi dinding Pada klien yang terpasang
dada simetris, tidak ada : NGT: cek residu NGT
penggunaan otot-otot sebelum pemberian
nafas tambahan, retraksi makan/ tunda pemberian
dinding dada, nafas cuping makan bila residu
hidung, dyspnea, taktil banyak .Tinggikan posisi
fremitus) kepala tempat tidur 30-45
menit setelah makan
Berikan obat dalam
bentuk halus Posisikan
pasien semi-fowler untuk
mengurangi Dyspnea
bronkhodilator, terapi
Kerusakan petukaran gas 1. Kontrol Respon Alergi: Manajemen Elektrolit&
berhubungan dengan Sistemis (Allergic Asam-basa (Acid- base and
meningkatnya sekresi dan Response :Sistemik) electrolite management)
akumulasi eksudat 2. Keseimbangan elektrolit Pertahankan kepatenan
dan asam basa (Electrolyte infus Monitor AGD dan
and Acid/Base Balance) elektrolit dan
3. Status respirasi : abnormalitas serum
Pertukaran gas Monitor kehilangan asam
(Respiratory Status:Gas (misal: muntah, output
Exchange) nasogastrik, diare, dan
4. Status respirasi : diuresis) Monitor
Ventilasi (Respiratory kehilangan bikarbonat
Status: Ventilation) (missal : drainase fistula
5. Perfusi jaringan : dan diare) Berikan terapi
pulmonary adekuat oksigen bila perlu Monitor
(Tissue Perfotion : status neurologi dan atau
Pulmonary) Setelah neuromuskular (misal :
dilakukan asuhan tingkat kesadaran dan
keperawatan : adanya kebingungan,
Tanda-tanda vital dan parestesia, kejang)
irama jantung normal Tingkatkan periode
Bebas dari reaksi alergi istirahat yang adekuat
(integritas mukosa utuh) Monitor pencatatan input
Nilai WBC dbn dan output yang akurat
Menunjukkan Kolaborasi : pemberian
keseimbangan elektrolit elektrolit tambahan
dan asam-basa (Na, K, Cl, (misal: oral, nasogastrik,
Ca, Mg, pH, HCO3, parenteral), ahli gizi:
BUadbn) Menunjukkan (pemberian diet sesuai
orientasi kognitif baik, dan ketidakseimbangan
kewaspadaan status elektrolit pasien)
mental. Menunjukkan Kolaborasi pencegahan
pertukaran gas efektif dan penanganan asidosis
(PaO2 dan PaCO2 normal, respirasi (misal: posisi
pH arteri dbn, saturasi O2 tegak, pertahankan
normal, status mental kepatenan jalan nafas,
dbn, tidak ada dyspnea jalan nafas bersih) dan
dan sianosis, mampu alkalosis respirasi Jaga
bernafas dengan mudah ) kepatenan jalan
Menunjukkan ventilasi nafas :batuk efektif,
adekuat (RR normal, suction, fisioterapi dada,
ekspansi dinding dada Monitor status respirasi
simetris, suara nafas dan oksigenasi Ajarkan
bersih, tidak ada : menggunakan inhaler
penggunaan otot-otot Kolaborasi pemberian :
nafas tambahan, retraksi O2, bronkhodilator, terapi
dinding dada, nafas cuping nebulizer, pemeriksaan
hidung, dyspnea, taktil sputum Hemodynamic
fremitus) Tidak ada nyeri regulation Auskultasi
dada, hemoptisis, suara nafas, bunyi jantung
kecemasan, AGD dbn Monitor nadi perifer,
capillary refill, suhu dan
warna ekstremitas,
edema, distensi JVP
Kolaborasi obat
vasodilator dan atau
vasokonstriktor
Identifikasi sumber alergi
(obat,makanan, serbuk,
debu, cuaca,.) dan reaksi
yang biasa terjadi Monitor
respon alergi selama 24
jam Ajarkan/ diskusikan
untuk menghindari
allergen Kolaborasi : tes
alergi, obat anti
Alergi.
Intoleransi aktivitas 1. Mentoleransi aktifitas Managemen Energi
berhubungan dengan yang biasa dilakukan (Energy Management) Kaji
keletihan, perubahan (Activity Tolerance) respon emosi, sosial dan
ststus nutrisi, dan 2. Mampu melakukan spiritual terhadap
demam aktifitas sehari-hari secara aktifitas. Evaluasi motivasi
mandiri (Self Care: ADL) dan keinginan pasien
Selama dilakukan Asuhan untuk meningkatkan
Keperawatan : aktifitas. Monitor respon
Berpartisipasi dalam kardiorespirasi terhadap
aktifitas fisik tanpa disertai aktifitas (takikardi,
peningkatan TD, N, RR dan disaritmia, dispnea,
ECG normal. diaforesis, pucat,
Mengidentifikasi aktifitas tek.hemodinamik,
dan atau situasi yang respirasi, gambaran EKG).
menimbulkan kecemasan Monitor asupan nutrisi
yang berkonstribusi pada untuk memastikan
intoleransi aktifitas. Pasien keadekuatan sumber
mengungkapkan secara energi. Monitor respon
verbal, paham dan tahu terhadap pemberian
tentang kebutuhan oksigen (nadi, irama
oksigen, pemgobatan dan jantung, frek. Respirasi)
peralatan yang dapat terhadap aktifitas
meningkatkan toleransi perawatan diri. Monitor
terhadap aktifitas. Pasien pola istirahat pasien dan
mampu beraktifitas lamanya waktu tidur. Kaji
sehari-hari tanpa bantuan adanya faktor yang
atau dengan bantuan menyebabkan kelelahan
minimal tanpa Ajarkan teknik relaksasi
menunjukan kelelahan selama aktifitas, tentang
pengaturan aktifitas dan
teknik pengelolaan waktu
untuk mencegah
kelelahan. Terapi Aktivitas
(Activity Therapy) Bantu
pasien melakukan
ambulasi yang dapat
ditoleransi. Rencanakan
jadwal antara aktifitas dan
istirahat. Bantu dengan
aktifitas fisik teratur
(misal: ambulasi, berubah
posisi, perawatan
personal) sesuai
kebutuhan. Minimalkan
anxietas dan stress.
Berikan istirahat yang
adekuat
Kolaborasi dengan
tenagarehabilitasi medis/
fisioterapi
dalam pemilihan terapi
yang tepat.
Nyeri akut berhubungan 1. Tingkat kenyamanan Manajemen nyeri (Pain
dengan iritasi jalan nafas (Comfort Level) 2. Management) Kaji nyeri
atas sekunder akibat Kontrol nyeri (Pain (lokasi, durasi,
infeksi. Control) 3. Tingkat karakteristik, frekuensi,
Nyeri (Pain Level) Setelah intensitas, factor
dilakukan asuhan pencetus) Observasi tanda
keperawatan : non verbal dari
Melaporkan gejala ketidaknyamanan Monitor
terkontrol Melaporkan keefektifan tindakan
kenyamanan fisik dan mengontrol nyeri Kontrol
psikologis Mengenali faktor lingkungan yang
factor yang menyebabkan dapat mempengaruhi
nyeri Melaporkan nyeri respon pasien Ajarkan
terkontrol (skala nyeri) tehnik non farmakologis
Menggunakan terapi kepada pasien dan
analgetik dan non keluarga : relaksasi,
analgetik Tanda vital dbn distraksi, guided imagery,
Tidak menunjukkan hipnoterapy Ajarkan pada
respon non verbal adanya pasien dan keluarga
nyeri tentang penggunaan
analgetik dan efek
sampingnyaAnjurkan
pasien untuk
meningkatkan istirahat
Kolaborasi medis
(pemberian analgetik),
fisioterapis/ akupungturis.
BAB III
SARAN
Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk dapat
lebihmengembangkan ilmu pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, Irman. 2012. Asuhan keperawatan pada Klien dengan gangguan
sistemPernapasan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.Somantri, Irman. 2007. Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Gangguan sistemPernapasan. Jakarta : Salemba
Medika.A. Price Sylvia, M. Wilson Lorraine. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Buku 2. Jakarta: EGCSmeltzer, suzanne C; Bate, Brenda G. 2002.
Buku Ajar Keperawatan Medikal BedahBrunner & Suddarted 8 Vol 3. Jakarta :
EGCDoenges, Marilyn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
untukPerencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
CAD
Anggrah juwita
Erna
Indah rahmatika
Nurhaliza
Selviyani
Syarifah humairah
Wahdani
Yolanda (PERBAIKAN)
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat
dan Hidayah- Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Hal yang akan kami diskusikan dalam makalah ini mengenai Seperti yang kita
tahu, kami Tidak ada kalimat yang patut diucapkan selain ucapan Alhamdulillah
serta puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala puji bagi Allah Rabb
semesta alam yang kepada-Nya kita menyembah dan kepada-Nya pula kita
memohon pertolongan. Shalawat serta salam kepada Nabi junjungan kita yakni
Nabi Muhammad saw.
Tim penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II.TINJAUAN
PUSTAKA
A. Definisi
B. Etiologi
C. Manifestasiklinis
D. Patofisiologi(pathway)
E. Pemeriksaan Fisik (Head to toe)
F. Pemeriksaan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
G. Pemeriksaan Penunjang
H. Penatalaksanaan Medis & Keperawatan
I. Diagnosa Keperawatan yang muncul (NANDA, minimal 5 diagnosa
keperawatan)
J. Rencana Tindakan Keperawatan (NIC/NOC)
BAB III
A. DAFTAR PUSTAKA
B. KESIMPUL
BAB 1
PENDAHULUAN
b. Untuk mengetahui seberapa besar faktor risiko FRS dengan derajat stenosis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN CAD
Coronary Artery Disease (CAD) atau lebih dikenal Penyakit
Jantung Koroner (PJK) merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang
disebabkan karena adanya penyempitan dan tersumbatnya pembuluh
darah jantung. Kondisi ini dapat mengakibatkan perubahan pada
berbagai aspek, baik fisik, psikologis, maupun sosial yang berakibat pada
penurunan kapasitas fungsional jantung dan kenyamanan (Mutarobin
dkk, 2019). Menurut Glassman & Shapiro (2014) penyakit arteri koroner
atau Coronary Artery Disease (CAD) adalah penyempitan atau
penyumbatan arteri koroner, arteri yang menyalurkan darah ke otot
jantung. Bila aliran darah melambat, jantung tak mendapat cukup
oksigen dan zat nutrisi. Hal ini biasanya mengakibatkan nyeri dada yang
disebut angina. Bila satu atau lebih dari arteri coroner tersumbat sama
sekali, akibatnya adalah serangan jantung dan kerusakan pada otot
jantung.
CAD juga merupakan kondisi patologis arteri koroner yang ditandai
dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan
fibrosa di dinding pembuluh darah yang mengakibatkan perubahan
struktur dan fungsi arteri dan penurunan aliran darah ke jantung (Setyaji
dkk, 2018)
B. ETIOLOGI
Penyebab CAD secara umum dibagi atas dua, yakni menurunnya asupan
oksigen yang dipengaruhi oleh aterosklerosis, tromboemboli vasopasme,
dan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Dengan kata lain,
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan
masukannya yang dikenal menjadi 2, yaitu hipoksemia (iskemia) yang
ditimbulkan oleh kelainan vaskuler (arteri koronaria) dan hipoksia
(anoksia) yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah.
Perbedaannya ialah pada iskemia terdapat kelainan vaskuler sehingga
perfusike jaringan berkurang dan eliminasi metabolit yangditimbulkannya
(misal asam laktat) menurun juga sehingga gejalanya akan lebih cepat
muncul (Katz, 2015).
Penyempitan dan penyumbatan arteri koroner disebabkan zat lemak
kolesterol dan trigliserida yang semakin lama semakin banyak dan
menumpuk dibawah lapisan terdalam endothelium dari dinding
pembuluh darah arteri. Hal ini dapat menyebabkan aliran darah ke otot
jantung menjadi berkurang ataupun berhenti, sehingga menggangu kerja
jantung sebagai pemompa darah. Efek dominan dari jantung koroner
adalah kehilangan oksigen dan nutrisi ke jantung karena aliran darah ke
jantung berkurang. Pembentukan plak lemak dalam arteri mempengaruhi
pembentukan bekuan aliran darah yang akan mendorong terjadinya
serangan jantung. Proses pembentukan plak yang menyebabkan
pengerasan arteri tersebut dinamakan arterosklerosis. (Firdiansyah,
2014)Penyakit jantung koroner adalah salah satu akibat utama
aterosklerosis (pengerasan pembuluh nadi) pada keadaan ini pembuluh
darah nadi menyempit (Naga, 2013). Mekanisme timbulnya penyakit
jantung koroner didasarkan pada lemak atau plak yang terbentuk di
dalam lumen arteri koronaria (arteri yang mensuplai darah dan oksigen
pada jantung). Plak dapat menyebabkan hambatan aliran darah baik total
maupun sebagian pada arteri koroner dan menghambat darah kaya
oksigenmencapai bagian otot jantung. Kurangnya oksigen akan merusak
otot jantung (Kasron, 2012).
C. MANIFESTASI KLINIS
3. Serangan Jantung
Jika arteri koroner benar-benar diblokir, seseorang akan mengalami
serangan jantung.
D. PATOFISIOLOGI
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes darah
Dalam tes ini, kadar albumin (protein darah), kreatinin, dan sel darah
merah dalam urine akan diperiksa. Hasil pemeriksaan tersebut bisa
menunjukkan seberapa parah kerusakan ginjal yang dialami pasien.
3. Pemindaian
4. Biopsi ginjal
Oleh sebab itu, penentuan diagnosis dan stadium gagal ginjal kronis hanya bisa
dilakukan oleh dokter.
Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat
MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan. Yang dimaksud
dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis
kerja kemungkinan CAD atau CAD atas dasar keluhan angina di ruang gawat
darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung.
1) Tirah baring.
4) Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.
Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan
untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik atau dosis awal clopidogrel
adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien
yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel
6)Nitrogliserin(NTG)spray/tabletsublingualbagipasiendengannyeridada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. jika nyeri dada tidak hilang
dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal
tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif
dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG,
isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
7) Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor
beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi
hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-
ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri.
Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika
terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat kontra
indikasi.
Nifedipin dan amlodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau
tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem
mempunyai efek terhadap SA. Node dan AV Node yang menonjol dan
sekaligus efek dilatasi arteri.
10) Antikoagulan
Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.Heparin tidak terfraksi
(UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul rendah
(LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila
fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia
12) Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin)
harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang
telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra
b) TidakadakelainanpadaEKGawalataukedua(dilakukanpadajamke-6 hingga 9)
c) Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-hingga 9)
o Arteri Femoralis
o Arteri Brachialis
o Arteri Radialis
f. Komplikasi
PENUTUP
Saran
Kelompok berharap makalah ini dapat digunakan oleh perawat untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam memberikan intervensi
keperawatan pada pasien CAD sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan yang diberikan dan perbaikan kondisi pasien.Kelompok juga
berharap makalah ini dapat digunakan oleh mahasiswa keperawatan untuk
meningkatkan tentang CAD dan asuhan keperawatan pada pasien CAD
sehingga dapat menjadi bekal pengetahuan untuk meningkatkan prestasi
akademi maupun ketrampilan saat terjun ke klinik. .Apabila dalam penulisan
makalah ini ada kesalahan maupun kekurangan, maka kelompok mengharapkan
kritik dan saran untuk memperbaiki makalah ini di masa yang akan datang.
EFFUSI PLUERA
Dosen Pembimbing : Ns. Erlangga Galiuh zulva Nugroho,S.Kep,.M.Kep
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-nya sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini guna untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah dengan judul EFFUSI PLUERA.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak
yang tulus memberikan saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan terbatasnya
pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki, oleh karena itu kami mengharapkan segala bentuk
saran serta masukan bahkan kriti yang membangun dari berbagai pihak,kami berharap makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………...1
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………………….2
A. Definisi………………………………………………………………………………..4
B. Etiologi………………………………………………………………………………..5
C. Manifestasi klinis…………………………………………………………………….6
D. Patofisiologi (pathway)……………………………………………………………...7
G. Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………………..10
DAN SARAN……………………………………………………14
Effusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura, cairan
tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Cairan dalam jumlah yang berlebihan
dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru selama inhalasi.
Effusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah
yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam
rongga pleura sekitar 10-200 ml.
Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura
mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu <1,5 gr/dl. Pleura adalah membra tipis terdiri
dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri
dari sel mesothelial, jaringaan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang
sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis,
sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan mediastinum
disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga
pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura.
BAB II PEMBAHASAN
A.DEFINISI
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura.Hal ini dapat
disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya Absorpsi. Efusi play ora
merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering dengan Etiologi yang
bermacam-macam mulai dari Kardiopulmoner. Inflamasi. Hingga ke ganasan yang harus
segera di evaluasi atau diterapi. Efusi pleura adalah suatu keadaan di mana terdapat
permukaan cairan di rongga pleura selain cairan dapat juga terjadi penumpukan pus atau
udara. effusi pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura akibat transsudasi
atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura.
B.ETIOLOGI
Efusi pluera merupakan proses penyakit primer yang jarang terjadi, tetapi biasanya
merupakan penyakit Sekunder terhadap penyakit lain. Menurut Brunner & suddart 2001,
terjadi efusi pluera disebabkan oleh dua faktor yaitu
• Infeksi
Penyakit – Penyakit infeksi yang menyebabkan efusi pluera antara lain :
turburculosis , pneumonitis , abses paru , abses subfrenik.
Macam- macam penyakit infeksi lain yang dapat menyebabkan efusi pluera antara
lain :
o Pleuritis karena virus & Miko plasma agak jumlahnya pun tidak banyak dan
kejadiaannya hanya selintas saja. Echovirus,coxsackie
virus,chlamidia,rickettsia,Dan mikoplasma.cairan Cairan efusi biasanya eksudat
dan berisi leukosit antara 100- 6000 per cc o Plueritis karena bakteri piogenik
C.MANIFESTASI KLINIS
Adapun manifestasi klinik dari efusi pleura yaitu :
c. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika penumpukan cairan
pleural yang signifikan.
d. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan berkurang. bergerak dalam pernafasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam
keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis ellis damoiseu).
e. Didapati segi tiga garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis ellis damoiseu. Segitiga grocco-rochfusz, yaitu dareah pekak kkarena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain,pada auskulasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronki.
D.PATOFISIOLOGI ( PATHWAY )
E.PEMERIKSAAN FISIK ( HEAD TO TOE )
kebutuhan dasar 1.
Pola makan
2. Pola minum
3. Pola tidur
4. Pola Aktivitas
G.PEMERIKSA PENUNJANG
Meigs syndrome
Pengangkatan massa ovarium → resolusi asites
dan efusi pleura dalam 2-3 minggu
I.DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun dignosa yang diangkat dari masalah sebelum dilakukan tindakan infasif adalah:
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambata upaya nafas (kelemahan otot nafas)
(D.0005)
b. Nyeri akut berhubungan denganagen pencedera fisiologis (inflamasi, iskemia, neoplasma)
(D.0077)
c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (D.0056)
Adapun dignosa yang diangkat dari masalah setelah dilakukan tindakan infasif adalah:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi) (D.0077)
b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (D.0142)
Menurut PPNI (2019) rencana tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien efusi pleura
dengan pola napas tidak efektif mengacu pada Standar Intervensi Kesehatan Indonesia (SIKI) yaitu:
1) Manajemen jalan napas
a) Observasi
b) Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin lift (jaw thrust jika curiga
trauma servikal) 2. Posisikan semi fowler atau fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forcep McGiil
8. Berikan oksigen, jika perlu
c) Edukasi
2) Pemantuan Respirasi
Mengumpulkan dan menganalisis data memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan
pertukaran gas. a) Observasi
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
2. Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,
Cheyne-Stokes, biot, ataksik)
1. KESIMPULAN
- Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pluera,
cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru.
- Cairan dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan
dengan membatasi peregangan paru selama inhalasi.
- Penyebab paling sering efusi pleurs transudatif di USA adalah oleh karen
penyakit gagal jantung kiri, emboli paru, dan sironis hepatis, sedangkan
penyebab efusi pleura eksudatif disebabkan oleh pneumonia bakteri,
kegunaan (ca paru, ca mammae, dan lymphoma merupakan 75% penyebab
efusi pleura oleh karena kanker), infeksi virus.
- Dalam keadaan normal, hanya ditemukan selapis cairan tipis yang
memisahkan kedua lapisan pluera.
- Efunsi pleura terjadi karena tertimbunnya cairan pluera secara berlebihan
sebagai akibat transudasi (perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik).
2. SARAN
Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan didalam makalah ini, baik dari tulisan
maupun bahasan yang kami sajikan. Oleh karena itu mohon diberikan kritik serta sarannya
agar kedepannya kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi, dan semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi kita semua.
Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan
menggunakan pedoman-pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun
dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
NANDA-I, 2010. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: Buku
kedokteran EGC
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.