Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTIKORUPSI (PBAK)

“GRATIFIKASI”

DOSEN PENGAJAR

HENDRIK DAMPING, S.Pd,M.Pd

DISUSUN OLEH:

GISELA SYALOMITA LUMA

711440120044

TINGKAT 1A

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa telah melimpahkan


rahmat, berkatnya dan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan
sebuah makalah yang berjudul ”Gratifikasi”.

Maksud dan tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk


melengkapi tugas sebagai mahasiswai jurusan keperawatan, khususnya
tentang mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Kerugian Keuangan
Negara bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada


Dosen Mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi yang telah ikhlas
untuk membimbing saya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
banyak sekali kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
saran dan kritiknya yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan bisa dijadikan sebagai bahan acuan. Terimakasih

Manado , 31 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH.............................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH..........................................................................5
1.3 TUJUAN PENULISAN...........................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................6
A. Larangan gratifikasi dalam Birokrasi Pelayanan Publik........................6
B. Pemberian dalam konsep Gratifikasi.....................................................7
C. Tata cara pelaporan Gratifikasi...........................................................10
BAB III KESIMPULAN.................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Permasalahan korupsi merupakan permasalahan serius dalam suatu
bangsa dan merupakan kejahatan yang luar biasa serta dapat
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak
tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan korupsi telah
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi hasil yang dicapai belum sesuai
dengan yang diharapkan. Hal ini berdampak semakin melemahkan citra
Pemerintah dimata masyarakat, yang tercermin dalam bentuk
ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap
hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila
tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat
membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.

Cukup banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang


dibuat sejak tahun 1957, sebenarnya memperlihatkan besarnya niat
bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi hingga saat ini, baik dari sisi
hukum pidana material maupun hukum pidana formal (hukum acara
pidana). Namun demikian, masih ditemui kelemahan yang dapat
disalahgunakan oleh pelaku korupsi untuk melepaskan diri dari jerat
hukum.

Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan,


permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat
dengan sikap dan perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah
melahirkan apatisme dan sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku
korupsi. Akibatnya sistem sosial yang terbentuk dalam masyarakat telah
melahirkan sikap dan perilaku yang permisif dan menganggap korupsi
sebagai suatu hal yang wajar dan normal.

Akan tetapi, yang tak kalah memprihatinkan adalah dampak korupsi bagi
pembentukan sikap pandang masyarakat sehari-hari. Ditengarai,
masyarakat dewasa ini cenderung tidak berkeberatan atau setidaknya abai
tentang perilaku korupsi. Akibatnya, kondisi yang serba abai ini akan dapat
menjelma menjadi serba mengijinkan (permisif). Lama-kelamaan kondisi
sosial ini akan berpotensi memberi ruang pembenaran bahkan kesempatan
bagi pelaksanaan korupsi. Karena, bukannya menjadi sumber nilai-nilai
yang benar, baik dan pantas, kondisi sosial yang serba mengijinkan ini
justru akan dapat menimbulkan kekaburan patokan nilai-nilai. Akibatnya
korupsi pun menjadi hal yang biasa. Termasuk didalam kebiasaan
melakukan pungutan tambahan atas proses pengurusan pembayaran
pajak, perijinan, pengurusan pasport dan pengurusan KTP, maupun
penerimaan baik berupa barang atau uang yang diterima oleh
penyelenggara negara maupun pegawai negeri apabila ada kaitan langsung
terhadap tugasnya. Maka penerimaan tersebut dapat dikategorikan
penerimaan gratifikasi. Di dalam Undang-undang No.20 tahun 2001 pasal
12B pemberian gratifikasi tersebut dianggap perbuatan suap dan masuk
kategori korupsi.

Itulah sebabnya sebabnya, penulis ingin membahas sedikit mengenai


Gratifikasi karena Gratifikasi ini merupakan sebuah pembahasan yang
ringan tetapi mempunyai dampak dan efek yg besar terhadap Tindak
Pidana Korupsi.

1.2 RUMUSAN MASALAH


a. Mengapa Gratifikasi sangat dilarang dalam Birokrasi Pelayanan
Publik?

b. Apakah semua pemberian dapat dikategorikan Gratifikasi?

c. Bagaimana tata cara pelaporan Gratifikasi?

1.3 TUJUAN PENULISAN


a. Untuk mengetahui alasan Gratifikasi sangat dilarang dalam Birokrasi
Pelayanan Publik

b. Untuk mengetahui apakah semua pemberian dapat dikategorikan


Gratifikasi

c. Untuk mengetahui tata cara pelaporan Gratifikasi


BAB II
PEMBAHASAN

A. Larangan gratifikasi dalam Birokrasi Pelayanan Publik


Kalau berbicara mengenai Korupsi, pasti hal ini sangat erat kaitannya
dengan Pemberian, Hadiah, diskoun dan rabat. Tapi dari beberapa Hal
diatas tanpa kita sadari hal tersebut merupakan ruang lingkup Korupsi
Khususnya dalam hal Gratifikasi. Dari berbagai jenis korupsi yang diatur
dalam undang-undang, gratifikasi merupakan suatu hal yang relatif baru
dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Gratifikasi
diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang tersebut di atas. Dalam penjelasan
pasal tersebut, gratifikasi didefinisikan sebagai suatu pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya, yang diterima di dalam
negeri maupun yang di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronika maupun tanpa sarana elektronika.
Meskipun sudah diterangkan di dalam undangundang, ternyata masih
banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami definisi gratifikasi,
bahkan para pakar pun masih memperdebatkan hal ini. Dengan latar
belakang rendahnya pemahaman masyarakat Indonesia atas gratifikasi
yang dianggap suap sebagai salah satu jenis tindak pidana korupsi.

Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah


pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada
orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk “tanda kasih”
tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian
hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah
membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya
interaksi kepentingan, misalnya dalam mengurus pajak, seseorang
memberikan uang tips pada salah satu petugas agar pengurusan pajaknya
dapat diurus dengan segera. Hal ini juga sangat merugikan bagi orang lain
dan perpektif dan nilai-nilai keadilan dalam hal ini terasa dikesampingkan
hanya karena kepentingan sesorang yang tidak taat pada tata cara yang
telah ditetapkan. Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu
mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Di
negara-negara maju, pemberian gratifikasi bagi kalangan birokrat dilarang
keras. Karena hal tersebut dapat mengakibatkan bocornya keuangan
negara yang diakibatkan dari pembuatan kebijakan ataupun keputusan
yang independen. Bahkan dikalangan swasta pun gratifikasi dilarang keras
dan diberikan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Sehingga, pelarangan
gratifikasi dalam ruang lingkup Pelaksanaan Kegiatan Birokrasi Pelayanan
Masyarakat pun perlu dilarang dan diberi sanksi yang tegas bagi para
pelakunya. Hal ini dikarenakan Pelaksanaan Kegiatan Birokrasi Pelayanan
Masyarakat sebagai salah satu sektor strategis yang menguasai atau
mempengaruhi hajat hidup masyarakat banyak. Bank Dunia pun seiring
dengan semakin maraknya upaya pemberantasan korupsi, telah
menempatkan tata pemerintahan (governance) di barisan depan dan pusat
strategi pembangunannya, menerapkan porsi besar analisisnya,
memberikan pinjaman serta sumber daya- sumber daya pengawasannya
untuk membantu memperbaiki tata pemerintahan dan
akuntabilitas.Pelarangan tentang kegiatan gratifikasi sendiri sudah diatur
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun
dalam suatu Kegiatan Birokrasi Pelayanan Publik, hal ini belum
sepenuhnya dipatuhi dan dilakukan oleh semua Birokrasi pelayanan publik
yang ada. Padahal masalah ini bersifat vital dan dapat mempengaruhi
kinerja birokrasi selain daripada merugikan Birokrasi pelayanan publik itu
sendiri dan masyarakat banyak. Pengaturan mengenai pelarangan
gratifikasi di dalam Birokrasi pelayanan publik sendiri hanya secara tak
kasat mata, sehingga tidak memberi efek pencegahan ataupun sanksi yang
jelas bagi pelanggarnya demi kelangsungan berdasarkan tata kelola sistem
pelayanan publik yang baik.

B. Pemberian dalam konsep Gratifikasi


Istilah Gratifikasi berasal dari bahasa Belanda “gratikatie“ yang diadopsi
dalam bahasa Inggris menjadi “gratification“ yang artinya “pemberian
sesuatu/hadiah“. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian gratifikasi
atau Gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense
for a service or benefit” yang dapat diartikan sebagai “sebuah pemberian
yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”. Kita
terkadang sangat sulit membedakan antara “ hadiah (gift) “ dengan “ suap
(bribe) “ ketika berhadapan dengan pejabat.

Dari penjabaran diatas, jelas gratifikasi berbeda dengan hadiah dan


sedekah. Hadiah dan sedekah tidak terkait dengan kepentingan untuk
memperoleh keputusan tertentu, tetapi motifnya lebih didasarkan pada
keikhlasan semata. Gratifikasi jelas akan mempengaruhi integritas,
independensi dan objektivitasnya keputusan yang akan diambil seorang
pejabat/penyelenggara negara terhadap sebuah hal. Didalam Pasal 12 B
Ayat (1) No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001 ditegaskan bahwa
yang dimaksud dengan “gratifikasi” adalah pemberian dalam arti luas yang
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Pemikiran untuk menjaga kredibilitas seorang penyelenggara negara inilah


yang menjadi landasan gratifikasi masuk dalam kategori delik suap dan
diancam dengan sanksi pidana didalam ketentuan Pasal 12 B ayat (1) dan
(2) UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(1) “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara


dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya” dengan ketentuan:

a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,


pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima Gratifikasi;

b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),


pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dilihat dari perumusan ketentuan yang terdapat dalam pasal 12 B ayat (1),
“gratifikasi” bukan merupakan kualifikasi dari tindak pidana korupsi
tentang gratifikasi, tetapi hanya merupakan unsur dari tindak pidana
korupsi tentang gratifikasi.[1]

Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan pejabat ini dilarang


keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan
mempengaruhi pejabat tersebut dalam menjalankan tugas dan pengambilan
keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan
publik.

Namun Pasal 12 C UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001 ini
sebenarnya telah memberikan pengecualian mengenai delik gratifikasi ini
sendiri, dimana ditegaskan bahwa: Ketentuan setiap gratifikasi dianggap
pemberian suap tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyampaian laporan wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib
menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

Dalam analisa yuridis dari ketentuan pasal 12B dan pasal 12 C UU. NO. 31
Tahun 1999 JO UU. No. 20 Tahun 2001:

a) Gratifikasi sesungguhnya merupakan delik korupsi yang unik.


Tidak seperti lazimnya delik pidana lain, gratifikasi ternyata mensyaratkan
tenggat waktu untuk ‘‘naik status menjadi delik pidana sempurna’’. Jadi
tidak mungkin ada kejadian “tertangkap tangan” dalam kasus gratifikasi;

b) Gratifikasi yang terindikasi suap, ternyata dibagi menjadi dua


jenis berdasarkan jumlah dan beban pembuktiannya: kategori pertama, jika
gratifikasi nilainya Rp 10 juta atau lebih, maka beban Pembuktian
gratifikasi tersebut bukan suap berada di tangan penerima, sedangkan
kategori kedua, jika kurang dari Rp 10 juta maka penuntut umum yang
harus membuktikan bahwa gratifikasi itu tergolong suap atau bukan.

c) Didalam penjelasan umum undang-undang Nomor 20 Tahun


2001 disebutkan: “ketentuan mengenai pembuktian terbalik perlu
ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat
Premium Remedium dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus
terhadap pegawai negeri sebagai mana dimaksud dalam pasal 1 angka 2
atau terhadap penyelengaraan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal
2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, kolusi dan nepotisme untuk tidak
melakukantindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini diberlakukan
pada tindak pidana baru tentang gratifikasi… dan seterusnya.”

Yang dimaksud dengan “tindak pidana baru tentang Gratifikasi” dalam


penjelasan umum tersebut adalah tindak pidana korupsitentang gratifikasi
yang nilainya Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih sebagai
manadimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) huruf a.

Yang merupakan tindak pidana dari ketentuan yang terdapat dalam pasal
12 B ayat (1) tersebut bukan mengenai “pemberian gratifikasi” tetapi
mengenai “penerimaan gratifikasi”.[2]

d) UU TIPIKOR juga memberi “Peluang Lolos” bagi penerima


gratifikasi dari ancaman pidana. Syaratnya mudah, cukupo melapor. Pasal
12C menyatakan, bahwa gratifikasi tidak berlaku jika penerima gratifikasi
melapor ke KPK dan dilakukan paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak
gratifikasi diterima.
C. Tata cara pelaporan Gratifikasi
Ada beberapa pejabat/mantan pejabat yang melaporkan/mengembalikan
uang atau barang yang patut diduga berhubungan gratifikasi melebihi
batas waktu 30 (tiga puluh) hari, namun statusnya tidak ditetapkan sebagai
tersangka. Jadi penerapan Pasal mengenai Gratifikasi ini sebenarnya masih
tumpul.

Gratifikasi ini erat sekali hubungannya dengan penghasilan pegawai negeri


kita yang relative masih sangat kecil, sehingga pemberian / gratifikasi ini
dianggap sebagai penghasilan tambahan. Gratifikasi merupakan salah satu
bentuk Tindak Pidana Korupsi bila dapat dibuktikan apakah ketika
gratifikasi itu terjadi bertentangan atau berlawanan dengan kewajiban dan
tugasnya selaku pegawai negeri sipil/penyelenggara negara atau tidak.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 12C UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20
Tahun 2001 laporan wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja disampaikan secara tertulis dengan
mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.

Formulir pelaporan ini sekurang-kurangnya memuat :

Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;

Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;

Tempat dan waktu penerima gratifikasi;

Uraian jenis gratifikasi yang diterima danNilai gratifikasi yang diterima.

Untuk selanjutnya KPK mencatat dan menentukan status kepemilikan


gratifikasi yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan Komisi
Pemberantas Korupsi, apakah gratifikasi tersebut masih status kepemilikan
si penerima gratifikasi atau menjadi milik negara.
BAB III
KESIMPULAN

Gratifikasi merupakan pemberian dalam bentuk hadian, diskount, komisi


pinjaman tanpa bunga dan masih banyak contoh lain yang bisa dijadikan
Gratifikasi. Tanpa disadari, hal tersebut merupakan kegiatan korupsi yang
dapat merugikan masyarakat banyak terutama dalam bidang pelayanan
publik, misalnya dalam pengurusan Pajak secara cepat dengan memberikan
uang tambah atau uang terim akasih kepada petugas pelayanan publik. Hal
tersebut sudah merupakan kegiatan Korupsi, dimana selain mengajari para
karyawan tentang suap baik secara tidak langsung, hal demikian juga telah
menghilangkan nilai-nilai keadilan bagi mereka yang telah antrian dalam
pengurusan pajak. Sehingga hal ini menimbulkan ketidakadilan dalam
pelayanan publik dan mengajari para karyawan pada hal yang salah.
Walaupun batas minimum belum ada, namun ada usulan pemerintah
melalui Menkominfo pada tahun 2005 bahwa pemberian dibawah Rp.
250.000,- supaya tidak dimasukkan ke dalam kelompok gratifikasi. Namun
hal ini belum diputuskan dan masih dalam wacana diskusi

Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah


pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada
orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk “tanda kasih”
tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian
hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah
membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya
interaksi kepentingan, misalnya dalam mengurus pajak, seseorang
memberikan uang tips pada salah satu petugas agar pengurusan pajaknya
dapat diurus dengan segera. Hal ini juga sangat merugikan bagi orang lain
dan perpektif dan nilai-nilai keadilan dalam hal ini terasa dikesampingkan
hanya karena kepentingan sesorang yang tidak taat pada tata cara yang
telah ditetapkan.

Sesuai dengan pasal 16 undang-undang nomor 30 tahun 2002 maka setiap


pegawai negeri atau penyelenggaraan negara yang menerima gratifikasi,
wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantas Korupsi sesuai dengan tata
cara yang telah ditentukan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka si
penerima gratifikasi dapat dijerat perbuatan tindak pidana Korupsi dengan
hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi.2001. Masalah Penegakkan Hukum dan Kebijakan


penanggulangan Kejahatan. Bandung: citra Aditya Bakti.

Hartati Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Edisi kedua. Jakarta: Sinar
Grafika.

Wiryono R. 2007. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi. Cet.

Anda mungkin juga menyukai