Dosen :
Sudarto, S.Kp, MPH (SD)
Disusun Oleh:
1. Cinda 231092010
2. Desi Susanti 231092013
3. Nida Nahda 231092047
4. Paula Angelina 231092056
Assalamualikum Wr.Wb
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan
rahmatnya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini
terdiri dari pokok pembahasan mengenai Dampak dan Bahaya Korupsi Setiap
pembahasan dibahas secara sederhana sehingga mudah di mengerti.
Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa dan mahasiswi yang masih dalam
proses pembelajaran, penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu,kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif,
guna penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Perumusan Masalah.....................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................4
Tinjauan Pustaka...............................................................................................................4
A. KESIMPULAN...........................................................................................................9
B. SARAN........................................................................................................................9
DAFTARPUSTAKA..........................................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak lama dengan menggunakan
berbagai cara, sanksi terhadap pelaku korupsi sudah diperberat, namun hampir setiap hari
kita masih membaca atau mendengar adanya berita mengenai korupsi. Berita mengenai
operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pelaku korupsi masih sering terjadi. Yang cukup
menggemparkan adalah tertangkap tangannya 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang
oleh KPK. Kemudian, tidak kalah menggemparkannya adalah berita mengenai tertangkap
tangannya anggota DPRD Kota Mataram yang melakukan pemerasan terkait dengan dana
bantuan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang terdampak bencana gempa bumi Lombok,
NTB. Di bawah ini akan diuraikan mengenai penyebab, hambatan, solusi dan regulasi
korupsi di Indonesia.
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio. Dalam bahasa Inggris adalah
corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis disebut corruption dan dalam bahasa
Belanda disebut dengan coruptie. Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi
dalam bahasa Indonesia.1 Korup berarti busuk, buruk; suka menerima uang sogok
(memakai kekuasaannya untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).2 Korupsi adalah
perbuatan yang buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya).
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Diharapkan mahasiswa dapat Mengetahui dan paham apa saja dampak dan bahaya
korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan
masyarakat setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut
sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan
baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri
(selfinterest), bahkan selfishness. Tidak akan ada kerja sama dan persaudaraan
yang tulus. Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara7 dan dukungan
teoritik oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif
terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan
perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal
pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain(Setiadi, t.t.).
Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat.
Ketika korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam masyarakat.
Theobald menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan
sinisism.9 Chandra Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu
menempatkan kepentingan diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan
berpikir tentang dirinya sendiri semata-mata.10 Jika suasana iklim masyarakat telah
tercipta demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan dan
perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan hilang(Setiadi, t.t.).
Perumusan kedua pasal di atas (Pasal 2 dan Pasal 3) hampir tidak dapat
dibedakan, karena unsur-unsurnya hampir sama. Perumusan semacam ini berakibat
penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 menjadi tidak optimal. Pasal 3 diperuntukan bagi
pejabat publik sedangkan Pasal 2 diperuntukan bagi orang biasa. Mestinya
ancaman hukuman bagi pejabat publik atau penyelenggara negara lebih berat
ketimbang orang biasa. Selain itu, unsur delik penyaalahgunaan kewenangan dan
kesempatan yang ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan seharusnya lebih
dipertegas dengan mengacu pada UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan. Mengenai unsur kerugian negara, sampai saat ini juga masih belum
ada kesamaan pandangan.22 Jenis korupsi yang mengakibatkan kerugian negara
merupakan jenis korupsi yang paling sering digunakan oleh penegak hukum untuk
menjerat koruptor. Unsur kerugian negara ini justru sering menjadi hambatan
dalam proses peradilan karena harus menunggu penghitungan terlebih dahulu dari
BPK atau BPKP.
Perma ini berlaku untuk terdakwa korupsi yang dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3
UU Tipikor. Prinsipnya, terdakwa merugikan keuangan negara. Perma ini membagi
lima kategori:
1. Paling paling berat yaitu kerugian negara lebih dari Rp 100 miliar.
2. Kategori berat yaitu kerugian negara Rp 25 miliar-Rp 100 miliar
3. Kategori sedang yaitu kerugian negara Rp 1 miliar-Rp 25 miliar
4. Kategori ringan yaitu kerugian negara Rp 200 juta-Rp 1 miliar
5. Kategori paling ringan yaitu kurang dari Rp 200 juta.
Selain faktor uang negara yang dicuri, hukuman yang dijatuhkan mempertimbangkan
kesalahan, dampak, dan keuntungan bagi si koruptor. Ada tiga jenis kesalahan, yaitu:
b. Hukuman Koruptor
Simulasi hukuman berdasarkan Perma 1/2020 itu:
1. Penjara Seumur Hidup atau penjara 16 tahun hingga 20 tahun: terdakwa korupsi Rp
100 miliar lebih, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi.
2. Penjara 13 tahun hingga 16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih,
kesalahan sedang dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang
3. Penjara 10 tahun-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp miliar lebih, kesalahan
ringan, dampak ringan dan keuntungan terdakwa ringan
4. Penjara 13 tahun hingga 16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100
miliar, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi
5. Penjara 10 tahun-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar,
kesalahan sedang dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang
6. Penjara 8-10 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, kesalahan
ringan, dampak ringan dan keuntungan terdakwa ringan.
Biaya sosial yang muncul dalam kasus korupsi adalah tanggungan negara,
yang sudah pasti uangnya berasal dari pajak rakyat. Pajak yang seharusnya bisa untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat malah digunakan untuk mengurusi korupsi dan
mensubsidi kerugian akibat korupsi. Hukuman yang diberikan kepada koruptor juga
kerap dianggap tidak setimpal dan tidak memberi efek jera, di sinilah ketidakadilan
dirasakan oleh rakyat.
Atas kondisi ini, muncullah ide untuk memasukkan pembebanan biaya sosial
korupsi tersebut sebagai bagian pemidanaan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Bentuknya, melalui revisi Pasal 2 dan 3 yakni mengenai Pemidanaan pada UU Nomor
31 Tahun 1999 junto UU No.20 tahun 2001. Cara lainnya adalah mengambil semua
aset dan harta hasil korupsi untuk "memiskinkan para koruptor". Cara ini digunakan
selain membayar biaya sosial korupsi, juga dianggap lebih memberikan efek jera bagi
pelaku korupsi dibanding dipenjara.
Pada dasarnya manusia memiliki dua potensi, yaitu potensi fujur yang mempengaruhi
manusia untuk melakukan perbuatan dosa dan potensi taqwa yang mengantarkan
manusia kepada perbuatan amal saleh. Karena itu banyak orang yang telah terjerumus
dalam perbuatan dosa yang kemudian menyadari kesalahannya, bertekad untuk
meninggalkan perbuatan dosanya. Tekad semacam itu dalam terminologi Islam disebut
tobat. Koruptor pun ada yang memiliki kesadaran semacam itu. Mereka bertobat dan
kembali kepada futrahnya yakni kembali kepada Allah. Namun masalahnya, adalah
bagaimana dengan uang korupsi yang dimilikinya? Untuk menjawab permasalahan
tersebut, perlu dilakukan identifikasi terhadap harta, termasuk uang haram. Secara
fiqhiyah, dalam kaitannya dengan hak, harta haram terbagi dua, yakni ada yang berkaitan
dengan hak Allah dan ada pula yang berkaitan dengan hak manusia.
Dari kedua kategorisasi tersebut, uang korupsi merupakan hak manusia. Karena itu
harus dikembalikan kepada pemiliknya (kantor, atau instansi dimana korupsi dilakukan,
atau kas negara). Disertai permohonan maaf kepada publik. Namun dalam prakteknya
upaya semacam ini sulit dilakukan. Koruptor yang mau bertobat tentu takut kalau itikad
baiknya mengembalikan uang negara itu, akan menyeretnya ke meja hijau dan masuk
penjara. Pemanfaatan uang korupsi untuk kepentingan sosial (umum) karena pemiliknya
insyaf dan mau bertobat memang berbeda dengan melakukan korupsi dengan niat untuk
kepentingan sosial (umum). Sebab yang pertama dilatarbelakangi sikap penyesalan atas
perbuatan dosa yang terlanjur dilakukannya serta menyadari, bahwa uang korupsi yang
berada dalam kekuasaannya sebenarnya bukan miliknya, tetapi milik negara (milik
umum).
Sehingga sewajarnyalah jika uang korupsi itu diserahkan kembali kepada kepentingan
umum. Koruptor yang insyaf itu sendiri tidak mengharapkan pahala dari penyerahan
uang korupsi kepada kepentingan umum itu. Yang diharapkannya hanyalah ampunan
Allah atas dosa-dosanya sekaligus bertobat tidak melakukan korupsi lagi. Persepsi itu
sangat berbeda dengan orang yang melakukan korupsi untuk kepentingan sosial (umum).
Dalam hal ini yang bersangkutan merasa telah berjasa dan telah melakukan amal
kebaikan (amal saleh) sehingga merasa akan mendapatkan pahala dari Allah. Akibatnya,
tidak ada rasa bersalah dalam jiwanya dan sebaliknya korupsi akan terus dilakukan.
Karena itu pula uang korupsi tidak ada zakatnya sebab jika ada zakatnya sama artinya
melegitimasi perbuatan maksiat (dosa)(La Jamaa, 2015).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN