Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Urgensi Pasal Delik Gratifikasi dalam Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi

Dosen pengampu : Bohari, S.Pd.,M.Pd

Disusun oleh :
Michelle Ivana Primaya 20116014

PROGRAM STUDI BAHASA MANDARIN S-1


SEKOLAH TINGGI BAHASA HARAPAN BERSAMA
KUBU RAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Urgensi
Pasal Delik Gratifikasi dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Penyusunan makalah ini dibuat sebagai acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam memaparkan analisis tentang urgensi pasal delik gratifikasi dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini melalui proses yang
panjang mulai dari bangku kuliah, pencarian data, pengelolaan data, hingga
penyusunan sampai terbentuk sekarang ini. Saya juga menyadari bahwa makalah
ini dapat terselesaikan karena banyak pihak yang turut serta membantu,
membimbing, menyediakan saran prasarana, memberi petunjuk, saran, dan
motivasi. Oleh karena itu saya menyampaikan ucapan rasa terima kasih sedalam-
dalamnya, terutama kepada yang terhormat:
1. Orang tua tercinta yang telah memberikan motivasi, doa, nasehat,
dukungan secara sarana dan prasarana, serta kesabaran yang luar biasa
dalam setiap langkah saya.
2. Ibu Tan Hui Tiang selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan Harapan
Bersama yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
3. Bapak Drs. Hartono Azas L., MBA sebagai Ketua Pengurus Yayasan
Harapan Bersama yang juga telah memberikan kesempatan pada saya dan
juga motivasi dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini.
4. Bapak Albert Surya Wibowo, B.Ed., MTCSOL sebagai Ketua Sekolah
Tinggi Bahasa Harapan Bersama yang telah menyediakan sarana dan
prasarana dalam penyelesaian makalah ini.
5. Ibu Weniyanti, S.Kom., MTCSOL sebagai Ketua Program Studi Bahasa
Mandarin di Sekolah Tinggi Bahasa Harapan Bersama yang telah
memberikan arahan dan dukungan moral dalam penyusunan makalah ini.

i
6. Bapak Bohari, S.Pd.,M.Pd sebagai Dosen pengampu Pendidikan Anti
Korupsi yang telah membimbing dan memberikan arahan dalam
penyempurnaan penyusunan makalah ini.
7. Teman-teman mahasiswa angkatan tahun 2020 S1 Bahasa Mandarin
Sekolah Tinggi Bahasa Harapan Bersama yang telah senantiasa
memberikan motivasi selama proses penyelesaian makalah ini.
8. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
berkenan memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang membangun akan berguna agar pada
penulisan selanjutnya dapat menghasilkan karya yang lebih baik. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Kubu Raya, 05 Desember 2022


Penulis
 

Michelle Ivana Primaya

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................


DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................3
C. Tujuan Makalah.....................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Jenis-Jenis Perbuatan Delik Gratifikasi................................................................4
B. Penyebab Terjadinya Delik Gratifikasi.................................................................7
C. Cara Mencegah Delik Gratifikasi Korupsi............................................................9
D. Metode Mengidentifikasi Gratifikasi..................................................................10
E. Rumusan Tindak Pidana Gratifikasi....................................................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................................12
B. Saran....................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin, "corruptio"
dari kata kerja "corrumpere", yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok, mencuri, maling. Korupsi juga
dapat diartikan sebagai tindakan melawan hukum dengan maksud
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau yang berakibat merugikan negara
atau perekonomian negara. Sedangkan menurut kamus Oxford, pengertian
korupsi adalah perilaku tidak jujur atau ilegal, terutama dilakukan orang
yang berwenang.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-
Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan lagi menjadi
7 jenis, yaitu penggelapan dalam jabatan, pemerasan, gratifikasi, suap
menyuap, benturan kepentingan dalam pengadaan, perbuatan curang, dan
kerugian keuangan negara.
Salah satu bentuk korupsi yang paling banyak diungkap saat ini
adalah korupsi dalam bentuk gratifikasi. Pelarangan atas segala bentuk
pemberian hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait kapasitasnya
sebagai pejabat atau penyelenggara negara bukanlah sesuatu yang baru.
Gratifikasi menjadi perhatian khusus, karena merupakan ketentuan yang
baru dalam perundang-undangan dan perlu sosialisasi yang lebih optimal.
Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya.
Perbedaan Pemerasan (Pungli), Suap dan Gratifikasi :
1. Pemerasan (Pungli) terjadi apabila petugas layanan secara aktif
menawarkan jasa atau menerima imbalan kepada pengguna layanan

iv
dengan maksud agar dapat membantu mempercepat tercapainya
tujuan dari pengguna jasa, walau melanggar prosedur.
2. Suap terjadi apabila pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan
kepada petugas layanan dengan maksud agar tujuannya lebih cepat
tercapai, walau melanggar prosedur.
3. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni uang, barang,
rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan
fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri, yang dilakukan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik. Gratifikasi pada dasarnya adalah “suap yang
tertunda” atau sering juga disebut “suap terselubung”. Pegawai negeri
atau penyelenggara negara (Pn/PN) yang terbiasa menerima gratifikasi
terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk
lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi
dianggap sebagai akar korupsi. Gratifikasi tersebut dilarang karena
dapat mendorong Pn/PN bersikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak
professional. Sehingga Pn/PN tidak dapat melaksankaan tugasnya
dengan baik.
Dasar Hukum Gratifikasi :
1. Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31/1999 jo Undang-
Undang Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, berbunyi : Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
2. Pasal 12C ayat (1) Undang-Undang Nomor 31/1999 jo Undang-
Undang Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantan Tindak Pidana Korupsi,
berbunyi : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1)
tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada KPK.

v
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis-jenis perbuatan delik gratifikasi?
2. Apa penyebab terjadinya gratifikasi?
3. Bagaimana cara mencegah delik gratifikasi korupsi?
4. Bagaimana metode mengidentifikasi gratifikasi?
5. Bagaimana rumusan tindak pidana gratifikasi?

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui jenis-jenis perbuatan delik gratifikasi.
2. Mengetahui penyebab terjadinya gratifikasi.
3. Mengetahui cara mencegah delik gratifikasi korupsi.
4. Mengetahui metode mengidentifikasi gratifikasi.
5. Mengetahui rumusan tindak pidana gratifikasi.

vi
BAB II
PEMBAHASAN

Kamus bahasa Indonesia, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah


uang atau kepada pegawai diluar gaji yang sudah ditentukan. Sedangkan dalam
kamus hukum, gratifikasi yang berasal dari bahasa Belanda “gratificatie” atau
dalam bahasa Inggris “gratification” diartikan sebagai hadiah uang. Berdasarkan
kedua pengertian tersebut, ada beberapa catatan. Pertama, baik dalam kamus besar
bahasa Indoesia maupun kamus Hukum, gratifikasi diartikan sebagai pemberian
hadiah berupa uang. Kedua, pengertian gratifikasi dalam kedua kamus tersebut
bersifat netral. Artinya tindakan gratifikasi bukanlah merupakan suatu perbuatan
tercela atau makna suatu perbuatan negatif. Ketiga, obyek gratifikasi dalam
pengertian menurut kamus besar bahasa Indonesia jelas ditujukan kepada
pegawai, sementara dalam kamus hukum obyek gratifikasi tidak ditentukan.
Gratifikasi adalah perbuatan melawan hukum. Menurut Chazawi, sifat
melawan hukum dalam suap menyuap yaitu unsur perbuatannya telah terbentuk
misalnya menjajikan sesuatu walaupun janji itu belum diterima, begitu juga
memberikan hadiah telah dianggap terjadi setelah benda itu lepas dari kekuasaan
yang memberi.

A. Jenis-Jenis Perbuatan Delik Gratifikasi


Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya.
Di negara lain juga menyatakan pemberian yang ditujukan kepada
Pegawai Negeri dan/atau Pejabat Negara juga secara otomatis merupakan
Tindak Pidana Korupsi. Namun oleh karena sifat permisif dan kebiasaan
berbagi merupakan budaya beramah tamah bangsa Indonesia, maka istilah
pemberian sebagai gratifikasi di negara kita perlu diatur tersendiri.

vii
Di Indonesia sendiri telah mengelompokkan ke dalam dua kategori
penerimaan gratifikasi yaitu gratifikasi yang dianggap sebagai suap dan
gratifikasi yang tidak dianggap sebagai suap. Gratifikasi yang dianggap
sebagai suap apabila hal-hal yang diberikan kepada Pegawai Negeri
dan/atau Pejabat Negara yang dianggap tidak sesuai dengan kode etik atau
gratifikasi yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi suap,
bila mana gratifikasi tersebut diberikan kepada pegawai
negeri/penyelenggara negara/pejabat yang berhubungan dengan
jabatannya.
Gratifikasi yang dianggap sebagai suap adalah jika penerimaan
gratifikasi tersebut berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari
penyelenggara negara tersebut. Termasuk untuk mempercepat proses
pelayanan atau menjamin proses pelayanan selesai tepat waktu, atau juga
untuk hal yang menentukan keputusan. Sedangkan gratifikasi yang tidak
dianggap sebagai suap adalah jika hal-hal yang di berikan kepada Pegawai
Negeri dan/atau Pejabat Negara yang tidak berhubungan dengan jabatan
dan tidak bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima gratifikasi.
Kedua jenis gratifikasi ini mungkin relatif mudah dimaknai namun agak
sulit diterapkan. Itu ditandai dengan fakta dan realitas yang terjadi di
khalayak Pegawai Negeri bahkan sampai kepada Pejabat Negara baik
fungsional maupun stuktural.
Contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi,
antara lain :
1. Pemberian hadiah barang atau uang sebagai ucapan terimakasih
karena telah dibantu.
2. Hadiah atau sumbangan dari rekanan yang diterima pejabat pada saat
perkawinan anaknya.
3. Pembelian tiket perjalanan dari rekanan kepada pejabat atau
keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma.
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian
barang atau jasa dari rekanan.

viii
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
atau pegawai negeri sipil.
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya
dari rekanan.
7. Pemberian hadiah atau souvenir dari rekan kepada pejabat atau
pegawai negeri pada saat kunjungan kerja.
8. Pemberian hadiah atau parcel kepada pejabat pada saat hari raya
keagamaan oleh rekanan atau bawahannya.
Gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu, gratifikasi
yang wajib dilaporkan dan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan. Apabila
merujuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.09/2017 tentang
Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan
berikut adalah daftar gratifikasi yang wajib dan tidak wajib dilaporkan.
Secara umum, gratifikasi yang wajib lapor ada dua jenis. Pertama,
gratifikasi yang diterima dan/atau ditolak oleh pegawai negeri yang
berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas
yang bersangkutan. Kedua, gratifikasi yang ditujukan kepada unit kerja
dari pihak yang mempunyai benturan kepentingan.
Contoh gratifikasi wajib lapor yang tidak boleh diterima biasanya
berhubungan dengan hal-hal berikut : 
1. Terkait pemberian layanan pada masyarakat di luar penerimaan yang
sah.
2. Terkait tugas penyusunan anggaran di luar penerimaan yang sah.
3. Terkait proses pemeriksaan, audit, pengawasan (monitoring), dan
evaluasi di luar penerimaan yang sah.
4. Terkait perjalanan dinas di luar penerimaan yang sah atau resmi dari
instansi.
5. Terkait proses penerimaan, promosi, atau mutasi pegawai.
Umumnya gratifikasi tidak wajib lapor dapat dilihat dari jenis
acaranya, yaitu terkait kedinasan atau di luar kegiatan kedinasan.
1. Gratifikasi tidak wajib lapor terkait kedinasan, meliputi:

ix
1. Segala sesuatu yang diperoleh dari seminar, konferensi, pelatihan,
atau kegiatan sejenis di dalam negeri maupun di luar negeri; dan
2. Kompensasi yang diterima dari pihak lain sepanjang tidak
melebihi standar biaya yang berlaku di masing-masing institusi
kementerian. 
2. Gratifikasi tidak wajib lapor tidak terkait kedinasan, meliputi:
1. Hadiah langsung, undian, diskon, atau suvenir yang berlaku
umum; 
2. Prestasi akademis atau nonakademis dengan biaya sendiri;
3. Keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi, atau
kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;
4. Pemberian karena hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan sepanjang tidak berbenturan dengan kepentingan
penerima gratifikasi;
5. Pemberian dari pihak lain sebagai hadiah perayaan perkawinan;
khitanan anak; ulang tahun; kegiatan keagamaan, adat, atau
tradisi, selama tidak berasal dari pihak yang mempunyai benturan
kepentingan dengan penerima gratifikasi;
6. Pemberian dari pihak lain terkait musibah dan bencana dan bukan
dari pihak yang mempunyai benturan kepentingan dengan
penerima gratifikasi.

B. Penyebab Terjadinya Delik Gratifikasi


Perbuatan memberikan uang pelincin, semacam gratifikasi dari
masyarakat kepada penyelenggara negara, merupakan penyebab asal
terjadinya tindak pidana korupsi. Menurut pendapat Tunggal (2000:29)
gratifikasi menjadi perbuatan pidana, khususnya pada seorang
Penyelenggara Negara atau ASN, bila menerima suatu gratifikasi atau
pemberian hadiah dari pihak manapun, sepanjang pemberian tersebut
diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya. Dalam
pemerintahan, gratifikasi menjadi potensi besar perbuatan korupsi di
berbagai kalangan, terlebih lagi diantara Penyelenggara Negara atau ASN.

x
Maka terjadinya gratifikasi dikalangan ASN penyebab timbulnya
keinginan.
Secara umum faktor penyebab gratifikasi dapat dibagi menjadi 2,
yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal.
Faktor Internal terdiri dari aspek sosial dan aspek perilaku
individu, yaitu :
a. Aspek Sosial Keluarga
Aspek Sosial Keluarga dapat menjadi pendorong seseorang untuk
berperilaku koruptif. Menurut kaum bahviouris, lingkungan keluarga
justru dapat menjadi pendorong seseorang bertindak korupsi,
mengalahkan sifat baik yang sebenarnya telah menjadi karakter
pribadinya. Lingkungan justru memberi dorongan bukan hukuman
atas tindakan koruptif seseorang.
b. Aspek Perilaku Individu
Aspek perilaku individu seperti digambarkan diatas yang meliputi
gaya hidup yang konsumtif, sifat tamak/rakus dan moral yang lemah.
Faktor Eksternal terdiri dari aspek sikap masyarakat terhadap korupsi,
aspek ekonomi, aspek politik dan aspek organisasi.
Aspek sikap masyarakat, pada umumnya selalu menutupi tindak
korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi.
Aspek ekonomi, yaitu pendapatan tidak mencukupi kebutuhan,
dimana dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang
mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi, adanya keterdesakan
itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas
diantaranya dengan melakukan korupsi. Aspek politis, yaitu politik
uang (money politics) pada pemilihan umum adalah contoh tindak
korupsi, dimana seseorang atau golongan yang membeli suatu atau
menyuap para pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan
pemilu. Aspek organisasi, yaitu merupakan sistem yang dapat
digunakan sebagai sumber atau cara untuk melakukan korupsi
termasuk gratifikasi.

xi
Faktor Eksternal terdiri dari aspek sikap masyarakat, aspek
ekonomi, aspek politik, dan aspek organisasi, seperti:
a. Aspek sikap masyarakat
Pada umumnya selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan
oleh segelintir oknum dalam organisasi.
b. Aspek ekonomi
Yaitu pendapatan tidak mencukupi kebutuhan, dimana dalam
rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi
terdesak dalam hal ekonomi, adanya keterdesakan itu membuka ruang
bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan
melakukan korupsi.
c. Aspek politis
Yaitu politik uang (money politics) pada pemilihan umum adalah
contoh tindak korupsi, dimana seseorang atau golongan yang membeli
suatu atau menyuap para pemilih/anggota partai agar dapat
memenangkan pemilu.
d. Aspek organisasi
Yaitu merupakan sistem yang dapat digunakan sebagai sumber
atau cara untuk melakukan korupsi termasuk gratifikasi.

C. Cara Mencegah Delik Gratifikasi Korupsi


Menurut sudut pandang hukum, pencegahan adalah suatu proses,
cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu hal tidak
terjadi. Dapat dikatakan pula suatu upaya yang dilakukan sebelum
terjadinya pelanggaran. Upaya pencegahan kejahatan merupakan upaya
awal dalam menanggulangi kejahatan.
Pengertian lain dari upaya pencegahan/preventif adalah sebuah
usaha yang dilakukan individu dalam mencegah terjadinya sesuatu yang
tidak diinginkan. Preventif secara etimologi berasal dari bahasa latin
pravenire yang artinya datang sebelum/antisipasi/mencegah untuk tidak
terjadi sesuatu. Dalam pengertian yang luas preventif diartikan sebagai
upaya secara sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinyan gangguan,

xii
kerusakan, atau kerugian bagi seseorang. Dengan demikian upaya
preventif adalah tindakan yang dilakukan sebelum sesuatu terjadi. Hal
tersebut dilakukan karena sesuatu tersebut merupakan hal yang dapat
merusak ataupun merugikan.
Cara mencegah delik gratifikasi korupsi, sebagai berikut :
1. Adanya pengetahuan tentang gratifikasi.
2. Meningkatkan kesadaran melaporkan gratifikasi.
3. Meminimalkan psikologis para pelapor gratifikasi.
4. Mensyukuri apa yang telah dimiliki.
5. Berani untuk menolak gratifikasi dan melaporkannya.
6. Peningkatan intregitas dan etika penyelenggaraan negara.
7. Penegakan hukum yang tegas, konsisten dan terpadu.

D. Metode Mengidentifikasi Gratifikasi


Terdapat sebuah metode untuk mengidentifikasi gratifikasi yang
dikenal dengan Metode PROVE IT. Metode PROVE IT dilakukan dengan
mengajukan beberapa pertanyaan kepada diri sendiri saat
mempertimbangkan apakah sebuah hadiah boleh kita terima atau tidak.
Beberapa hal yang ditanyakan pada metode PROVE IT adalah
sebagai berikut :
1. Purpose. Apakah tujuan dari pemberian gratifikasi tersebut?
2. Rules. Bagaimanakah aturan perundangan mengatur tentang
gratifikasi?
3. Openess. Bagaimana substansi keterbukaan pemberian tersebut?
Apakah hadiah diberikan secara sembunyi-sembunyi atau di depan
umum.
4. Value. Berapa nilai dari gratifikasi tersebut? Jika gratifikasi memiliki
nilai yang cukup tinggi maka sebaiknya Pn/PN bersikap lebih berhati-
hati dan menolak pemberian tersebut.
5. Ethics. Apakah nilai moral pribadi anda memperbolehkan penerimaan
hadiah tersebut?

xiii
6. Identity. Apakah pemberi memiliki hubungan jabatan, calon rekanan,
atau rekanan instansi?
7. Timing. Apakah pemberian gratifikasi berhubungan dengan
pengambilan keputusan, pelayanan atau perizinan?

E. Rumusan Tindak Pidana Gratifikasi


Rumusan tindak pidana gratifikasi menurut pasal 12B Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagai berikut:
1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum.
2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana seumur hidup atau pidana
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

xiv
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya.
Dalam mengidentifikasi gratifikasi ada sebuah metode yang
dikenal dengan Metode PROVE IT. Metode PROVE IT dilakukan dengan
mengajukan beberapa pertanyaan kepada diri sendiri saat
mempertimbangkan apakah sebuah hadiah boleh kita terima atau tidak.
Beberapa hal yang ditanyakan pada metode PROVE IT adalah sebagai
berikut : Purpose, Rules, Openess, Value, Ethics, Identity dan Timing.

B. Saran
Gratifikasi merupakan akar dari korupsi karena gratifikasi dapat
menjerumuskan kita ke dalam tindakan-tindakan korupsi lainnya. Maka
dari itu gratifikasi harus dihentikan, dimulai dari kesadarkan diri sendiri.
Seperti menolak pemberian dari orang lain, jika pemberian tersebut
terindikasi adanya maksud lain. Dan juga tidak memberikan sesuatu
kepada orang lain dengan ada maksud lain seperti mengharapkan orang
memberikan atau melakukan sesuatu kepada kita karena telah menerima
pemberian.

xv
DAFTAR PUSTAKA

https://ekazai.wordpress.com/makalahartikel-hukum/hukum-pidana/makalah-
gratifikasi/
https://nasional.tempo.co/read/1620440/jenis-gratifikasi-yang-wajib-lapor-dan-
pemberian-yang-tidak-harus-dilaporkan
https://www.bkn.go.id/unggahan/2022/06/30-Policy-Brief-April-2019.pdf
http://repository.unimar-amni.ac.id/4148/1/BAB%202%20-%20Revisi
%20harusnya%20fix.pdf
https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/watampone/id/data-publikasi/artikel/3437-
gratifikasi-awal-korupsi.html
https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/manokwari/id/data-publikasi/artikel/2979-
pengertian-gratifikasi,-kategori-gratifikasi,-metode-mengidentifikasi-gratifikasi,-
dan-mekanisme-pelaporan-gratifikasi.html
https://aclc.kpk.go.id/action-information/lorem-ipsum/20220510-null
http://digilib.uinsby.ac.id/3180/5/Bab%202.pdf
https://www.neliti.com/publications/18002/efektifitas-pembalikan-beban-
pembuktian-dalam-tindak-pidana-gratifikasi

xvi

Anda mungkin juga menyukai