Anda di halaman 1dari 14

SATU PELUANG DI SEKTOR YANG SEDANG TIDAK DISUKAI, DAN

SATU PELUANG LAGI DI SMALL CAP DI BEI.

A. PELUANG DI SEKTOR YANG SEDANG TIDAK DISUKAI

Komoditi bukan merupakan asset-class yang tepat buat semua


orang. Karakternya yang sangat tidak efisien (capital-intensive) dan
posisinya sebagai price-taker, menjadikannya sebagai cyclical stocks.
Volatilitas menjadi bagian yang normal untuk kelompok seperti ini.
Pergerakan harga komoditi (serta commodity-stocks) secara rata-
rata lebih tajam.

Dengan demikian, timing di dalam siklus sebuah komoditi merupakan


faktor yang seringkali menentukan, apakah alokasi dana dalam
sektor ini akan menghasilkan imbal hasil yang lebih dari memuaskan,
ataukah sebaliknya.

Pada saat harga minyak melambung tinggi, sehingga menjadi insentif


peningkatan kegiatan industri shale-oil (yang biaya produksinya
tinggi) menjadi katalis peningkatan harga sahamnya. Double, dan
triple-digit kenaikan harga saham oil companies, bukan merupakan
hal yang luar biasa. Terjadi kesenjangan pasokan (supply), untuk
dapat memenuhi demand yang ada, sehingga harus diisi oleh
pasokan baru.

Namun ketika peningkatan kegiatan produksi ini menambah pasokan


baru di pasar, dan lebih besar dari peningkatan permintaan, kita
sudah seringkali menyaksikan pembalikan yang terjadi.

Mereka yang sedang berada di dalam, saat euphoria sedang berada


di puncaknya, menjadi kelompok yang harus mencuci piring.
Drastisnya penurunan demand akibat Covid-19, menjadi kabar
buruk. Oil price di bawah $ 40, menjadi pertanda kebangkrutan
ratusan oil companies di Amerika.
Bisa jadi, berita buruk berikut ini menjadi kabar baik, bagi mereka
yang ingin mengalokasikan dananya di sektor komoditi, khususnya
minyak.
Berita soal ExxonMobil yang harus dikeluarkan dari Dow Jones, mulai
tanggal 31 Agustus 2020 besok, dalam pandangan saya dapat
menjadi indikasi terbentuknya titik nadir sebuah siklus komoditi yang
dibenci.
Sepuluh tahun yang lalu, ExxonMobil berada di Ranking #1, sebagai
perusahaan dengan Market Cap di terbesar di bursa Amerika. Saat
ini, ExxonMobil sudah tidak terlihat lagi di dalam daftar Top-10.
Bahkan di akhir Agustus besok, bukan hanya sekedar hilang dari
kelompok Top-10, tetapi Exxon juga harus keluar dari Index Dow.

Market Cap Exxon pernah mencapai angka tertingginya di tahun


2014 ($ 445 Milyar), pada saat harga minyak 2.5 kali lebih mahal
dibanding dengan harga saat ini. Exxon sudah kehilangan sekitar 60%
dari harga tertinggi yang pernah dicapainya.

Keluarnya Exxon dari Dow bukan sekedar peristiwa biasa.


Perusahaan ini telah menjadi bagian dari index Dow Jones selama 92
tahun.

Apa yang terjadi dengan ExxonMobil ini, menjadi isyarat


keterpurukan industri perminyakan. Saham-saham di sektor ini
sangat dihindari oleh investor pada saat ini. Berdasarkan informasi
dari Bespoke Investment Group, seperti dilaporkan CNN Business, di
tahun 2018 - di saat harga minyak melesat naik menjadi $ 140 -
sektor energi mewakili 16% Index S&P 500. Saat ini, angkanya hanya
tinggal 2.5% saja. Sektor energi saat ini, memang merupakan sektor
yang sedang dihindari, dengan kinerja paling buruk dalam S&P 500.
Sementara Index S&P 500 meningkat 6%, YTD sektor energi masih
mengalami penurunan 40%.

Terpuruknya sektor energi di dalam 6 bulan pertama tahun 2020 ini,


merupakan kelanjutan kinerja buruk yang juga telah dialami sektor
ini sepanjang tahun 2018 dan 2019. Harga saat ini, $ 40,
mencerminkan penurunan sekitar 30% dari harga sebelum terjadinya
pandemic.

Terpuruknya harga minyak – yang merupakan simbol fossil energy –


semakin tampak kontras dengan melambungnya harga saham Tesla
– yang dianggap sebagai simbol renewable energy.

Dapat menjadi topik tersendiri untuk membahas apakah valuasi


Tesla saat ini – yang untuk saya sangat tidak masuk akal – menjadi
cerminan “pertarungan” yang terjadi antara fossil dan renewable
energy. Hal ini dapat kita bahas di hari lain. Untuk sementara, dalam
pandangan saya, kemampuan menghasilkan EV, tidak menjadikan
Tesla memiliki wide-moat. Sejumlah produsen lain, memiliki
kemampuan yang sama untuk dapat menghasilkan EV. Selain itu,
peralihan ke EV bukan merupakan proses yang berjalan dalam
satuan waktu yang pendek. Tentu sangat mustahil, bahwa konsumsi
minyak dunia sebanyak 95-100 juta barrel per-hari, dapat menguap
begitu saja dalam waktu pendek.

Terganggunya sisi pasokan

Ada sejumlah katalis yang dapat membuat harga minyak saat ini
tidak dapat bertahan di harga yang rendah seperti saat ini.

Bergeraknya kembali kegiatan perekonomian, saat ini merupakan


soal “waktu, dan seberapa cepat” bukan lagi soal “apakah
perekonomian masih bisa pulih”. Pada tanggal 14 Agustus, Fed
Atlanta mengeluarkan proyeksinya, bahwa GDP Amerika pada
Kwartal III akan tumbuh 26%. Sejumlah negara, termasuk Indonesia,
meskipun dengan angka-angka yang berbeda, menyampaikan rasa
optimismenya untuk paruh kedua tahun ini, serta tahun-tahun
berikutnya.
Daftar panjang bangkrutnya oil shale companies di Amerika,
membuat mereka tidak dapat segera kembali melakukan
kegiatannya, walaupun saat ini harga minyak sudah kembali di atas $
40. Seperti disampaikan dalam laporan Baker Huges, akhir tahun
2019, jumlah oil rigs tercatat 805. Pada tanggal 7 Agustus, jumlah itu
sudah turun sebesar 80%, dan hanya tinggal 245 Berdasarkan
publikasi OilPrice, sejak Covid-19 ada sekitar 100,000 orang
kehilangan pekerjaan di oil-field service. Rystad Energy juga
melaporkan bahwa “horizontal-drilling permit” jumlahnya
menunjukan angka terendah dalam 10 tahun ini.

Perusahaan minyak, selain capital intensive, juga time-intensive. Jika


terjadi disrupsi, perusahaan tidak dapat segera meresponse apa yang
terjadi di pasar. Itu sebabnya, penurunan maupun kenaikan harga
bisa berlangsung dalam tempo yang relatif panjang.

Namun demikian, underinvestment yang terjadi dalam sektor ini,


akan menimbulkan disrupsi dari sisi supply. Disrupsi dalam pasokan,
seperti ditunjukan dengan besarnya penurunan oil rigs, akan menjadi
katalis kenaikan harga minyak. Tentu apabila kita berasumsi, bahwa
Covid-19 ini tidak akan berlangsung selamanya.

Dalam pembahasannya di awal Agustus, OilPrice menggambarkan


apa dampak yang ditimbulkan oleh penurunan produksi di Permian
Basin - lokasi ini bertanggung-jawab atas 50% produksi shale oil di
Amerika – tidak lama setelah harga minyak anjlok, sehingga bisa
memberikan gambaran tentang hal ini.

Bulan Maret, tingkat produksi di area Permian masih tercatat 5.4


Juta barrel per-hari. Setelah berlangsungnya “drama” harga minyak
negatif – sebagai akibat transaksi derivatif – harga berada dalam
kisaran $ 12. Masuk bulan April, produksi di area Permian turun dari
5.4 Juta barrel menjadi 4.4 Juta barrel. Penurunan produksi 1 Juta
barrel per-hari ini, bisa mendorong kenaikan harga minyak dari $ 12
menjadi $ 40-an.
Tidak beroperasinya 550 oil rigs setara dengan penurunan produksi
sekitar 440,000 barrel/hari (1 rigs bisa memproduksi sekitar 800
barrel per-hari/BOPD). Ditambah dengan penurunan alami (legacy
decline) ladang minyak sekitar 300,000 BOPD, terjadi penurunan
prduksi 750 ribu BOPD. Tambahan produksi yang dapat dihasilkan rig
yang masih beroperasi, sekitar 200 ribu BOPD, masih menunjukan
terjadinya gap berupa penurunan tingkat produksi. Dengan tingkat
produksi 9.3 juta BOPD (pada saat oil rigs berjumlah 805 unit), maka
adanya kombinasi penurunan oil rigs dan legacy decline, bisa
mengakibatkan penurunan produksi minyak Amerika. Seperti biasa,
berbagai angka perkiraan tadi sangat bervariasi.
Ada pengamat yang memperkirakan penurunan itu bisa sampai 50%,
sehingga kemampuan produksi minyak Amerika bisa kembali turun
ke 5 Juta BOPD. Betapapun bervariasinya perkiraan itu, di luar
OPEC+, kemampuan produksi shale oil Amerika memiliki peran yang
besar dalam pembentukan harga minyak di pasar.

Tambahan disrupsi

Response kebijakan moneter, dan stimulus fiskal, yang lebih besar


dari damage yang ditimbulkan oleh Covid-19, menjadi pemicu
kenaikan di pasar modal. Namun, sejauh ini – dengan belum pulihnya
permintaan, sektor energi masih ketinggalan, dan tidak menjadi
bagian dari adanya rally dalam beberapa bulan terakhir ini. Meskipun
dari sisi supply, kita sudah melihat terjadinya disrupsi.

Minggu ini muncul berita tentang badai yang terjadi di Gulf of


Mexico. Badai ini menjadikan hilangnya pasokan supply sekitar 1.5
Juta BOPD. Berdasarkan estimasi data pemerintah Amerika Serikat,
sekitar 82.4% produksi minyak offshore dan 56.1% produksi gas
offshore dihentikan produksinya.
Badai yang terjadi sekarang ini, masuk dalam kategori 4, sama
seperti Badai Harvey yang terjadi 3 tahun lalu, Agustus 2017, yang
menyapu kawasan Teluk dan sampai ke Texas. Pada saat itu, offshore
platforms dan onshore refinery rusak parah dihantam badai Harvey.
Terjadinya badai yang mendisrupsi supply saat itu, melambungkan
harga minyak.

Apakah badai ini akan memiliki dampak yang sama terhadap oil price
dalam 12 bulan ke depan ini, masih harus kita lihat.

Potensi penurunan produksi shale-oil, badai di Teluk Mexico,


maupun mulai berputarnya kembali roda perekonomian, menjadi
katalis yang dapat mendorong kenaikan harga minyak.
Harga minyak $ 40, bukan harga yang sustainable bagi kelangsungan
hidup perusahaan minyak.

Pandemic telah menekan oil demand sampai ke level 78% bulan


April. Dengan mulai bergulirnya kegiatan ekonomi, saat ini oil
demand telah meningkat ke level 89%. HIS Market memperkirakan,
bahwa dari sisi demand, tingkat permintaan mungkin hanya bisa
mencapai 92%-95% 2 level tahun sebelumnya, atau sekitar 92-95
Juta BOPD. Estimasi yang konservatif ini disebabkan oleh penurunan
frekwensi penerbangan.

Estimasi yang konservatif, seringkali menimbulkan positive surprises,


dan menjadi katalis kenaikan harga minyak.

Di dalam JSP, saat ini sudah ada satu perusahaan yang terkait dengan
industri pertambangan, termasuk sektor minyak dan gas. Kinerja baik
perusahaan, yang masih bisa menghasilkan Cash Flow di dalam
kondisi seperti saat ini, tercermin dalam kenaikan harga sahamnya.
Harganya sempat naik 83% di harga tertinggi sejak dimasukan dalam
JSP>
Dengan adanya sejumlah katalis di atas, ada 2 perusahaan di sektor
ini yang dimasukan dalam JSP bulan Agustus ini, yaitu Elnusa di BEI
serta Occidental Petroleum di NYSE.

ELSA

Elnusa merupakan outlier sebagai oil service company, dengan angka


DER-nya yang relatif rendah, dan dividen-nya yang relatif tinggi.
Kedua metrik ini tidak mudah didapatkan pada oil-related company.
Dengan sentimen negatif di sektor ini, ELSA sekarang ini hanya
dihargai kurang dari 50% NBV. Ibaratnya, Pertamina yang menjadi
major shareholders (bersama-sama Dana Pensiun, menguasai 56%
saham) mengajak Anda kongsian berusaha. Pertamina membayar Rp
1,000, Anda hanya perlu membayar Rp 500/saham. Akhir Juni 2020 ,
NBV ELSA tercatat Rp 506. Dengan maximum harga pembelian yang
dianjurkan Rp 250, Anda bisa berkongsi dengan Pertamina dengan
diskon harga 50%.

Elnusa, merupakan oil service company terbesar di Indonesia.


Sebagai anak perusahaan Pertamina, Elnusa akan memainkan
peranan sangat penting, dalam upaya pemerintah menangani
permasalahan defisit di sektor perminyakan. Penanganan masalah ini
akan sangat membantu mengurangi tekanan pada cadangan devisa
kita.

Indonesia pernah menjadi anggauta OPEC, karena sampai tahun


2003 tingkat produksi Indonesia masih lebih tinggi dari konsumsi.
Meskipun sejak tahun 2003 Indonesia sudah beralih menjadi
importir, Indonesia baru secara resmi keluar dari OPEC tahun 2008.
Peningkatan konsumsi serta penurunan kemampuan produksi,
menjadikan negara kita harus keluar dari OPEC.

Berdasarkan data BP Global Company, sekarang ini konsumsi minyak


Indonesia sekitar 1.79 Juta BOPD, sementara produksi semakin turun
dan tercatat di angka 808 ribu BOPD. Ada defisit hampir 1 Juta barrel
per-hari.

Defisit 1 Juta barrel per-hari itu setara dengan kebutuhan devisa $ 40


Juta per-hari, jika harga minyak $ 40 per-barrel. Dalam sebulan,
devisa yang diperlukan mencapai $ 1.2 Milyar, atau $ 14.4 Milyar
dalam satu tahun. Harga minyak $ 40 tidak dapat bertahan lama.
Harga itu bukan harga yang dapat menjaga kelangsungan hidup
perusahaan minyak.

Apabila oil price kembali ke harga sebelum pandemic, $ 70 per-


barrel, maka kebutuhan devisa kita tentu akan semakin meningkat.
Iya kalau hanya ke $ 70, bagaimana kalau semakin naik ke $ 120
seperti terjadi tahun 2015, 2014, 2012, 2011?. Atau di $ 140 seperti
tahun 2008?

Mengapa sejak tahun 2003 pemerintah tidak mengantisipasi potensi


defisit, yang sangat menguras devisa ini? Membengkaknya keperluan
devisa itu tidak hanya berasal dari potensi kenaikan harga saja, tetapi
juga dengan semakin meningkatnya gap konsumsi vs produksi.
Defisit itu bisa menembus angka lebih dari 1 Juta barrel per-hari.
Mengapa fakta yang sangat simpel – dengan besaran angka seperti
ini – tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Tidak mungkin,
orang-orang pintar yang ada di pemerintahan (bukan hanya
pemerintahan saat ini saja) tidak tahu tentang soal ini.

Fenomena yang hampir sama yang terjadi di industri semen,


mungkin dapat menjawab pertanyaan di atas. Dalam satu
pembicaraan dengan seorang Komisaris Utama perusahaan semen
besar, dia mengatakan bahwa perusahaannya membutuhkan
pasokan batu-bara 3-4 Juta Ton per-tahun. Kebutuhan itu akan
semakin meningkat, dengan terjadinya peningkatan produksi semen
di tahun-tahun mendatang.
Pertanyaan saya : “Dengan adanya kebutuhan pasokan rutin sebesar
itu, mengapa tidak membeli perusahaan batu-bara saja? Selain dapat
memastikan pasokannya terjamin, secara biaya juga pasti dapat lebih
hemat. Kebutuhan 4 Juta Ton per-tahun dengan harga batu-bara $
80 per-ton, kan sudah pasti keluar dana $ 320 Juta per-tahun, atau $
3.2 Milyar dalam sepuluh tahun. Dengan membeli KP Batubara,
untuk bisa memenuhi kebutuhan yang sama, dana yang diperlukan
tentunya bisa lebih kecil dari itu”.

Jawaban yang diberikan, :”Kita kan core business-nya tidak di


tambang batu-bara” tentu saja merupakan jawaban yang santun.
Sama seperti orang-orang pintar yang ada di pemerintahan, mereka
yang kebetulan menjadi manajemen di perusahaan itu, adalah orang-
orang pintar.

Tidak mungkin mereka tidak tahu perhitungan simple seperti itu. Bisa
jadi, jika perusahaan itu memiliki tambang batu-bara sendiri, atau
kita bisa meningkatkan kemampuan produksi minyak sendiri, hal ini
tentu akan menjadikan hilangnya atau menurunnya transaksi
perdagangan. Penurunan transaksi perdagangan batu-bara ( di
perusahaan semen), dan transaksi perdagangan minyak ( di negara
kita), meskipun dapat meningkatkan laba perusahaan semen (cost-
saving) dan mengurangi kebutuhan cadangan devisa kita, bukan hal
yang menyenangkan para pemangku kebijakan.
Oleh karena itu, apabila upaya mengurangi tekanan devisa (sehingga
bisa mengurangi tekanan pada nilai tukar Rupiah) menjadi salah-satu
prioritas, maka kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di sektor migas ini
akan menjadi sektor yang atraktif. ELSA menjadi perusahaan yang
bisa segera muncul di permukaan, setiap kita berbicara tentang
program untuk “menghidupkan kembali” sektor migas.

Dihindarinya sektor ini, membuat valuasi ELSA sangat atraktif. Selain


NBV di bawah 0.5X. ELSA juga hanya dihargai dengan PER (TTM)
5.3X, jauh di bawah average PER di BEI. Dividen yield saat ini sekitar
5%.
Minggu lalu, ELSA menerbitkan obligasi baru senilai Rp 700 Milyar.
Hal ini menjadi indikasi tentang adanya peningkatan kegiatan usaha
ELSA dalam waktu dekat ini. Net Debt ELSA saat ini tercatat di Rp 634
Milyar (Pinjaman, Rp 1.36 Trilyun dan Kas, Rp 727 Milyar), atau
setara dengan adjusted DER 17%. Penambahan obligasi sebesar Rp
700 Milyar, masih menempatkan ELSA di posisinya yang aman.
Besaran CFO di Semester I/2020 (Rp 438 Milyar) dibandingkan angka
CFO Negatif Rp 86 Milyar, dalam Semester I/2019 menjadi indikasi
peningkatan kegiatan usaha.

Saat ini, di rekomendasi harga maximum (Rp 250), Market Cap ELSA
tercatat sebesar Rp 1.8 Trilyun, atau EV sebesar Rp 2.43 Trilyun.
Harga yang sangat menarik, dengan proyeksi EBIT sekitar Rp 400
Milyar pada tahun 2020 ini, maka EV/EBIT ELSA hanya sekitar 6X. A
real steal.

Agar diperhatikan, harga maximum pembelian Rp 250.

B. PELUANG DI SMALL CAP SEKTOR KONSUMSI DI BEI

Warning : Saham yang ada di tangan publik, kurang dari 7%. Atas
dasar ini, DO NOT CHASE the stock, dan secara disiplin hanya
membelinya di harga maximum rekomendasi, Rp 1,250. Jika tidak
dapat membelinya di harga itu, tidak usah dipaksakan. Tunggu,
sampai kesempatan harga itu datang kembali.

Menemukan MidCaps yang memiliki karakter seperti capital-efficient


companies (BigCaps) bukan merupakan hal yang mudah. Terlebih
lagi, jika kita ingin menemukan karakter semacam itu pada SmallCap.

Menjadi masuk di akal, karena SmallCaps memiliki periode


perjalanan usaha yang tentunya relatif lebih pendek, dibanding
MidCaps, apalagi jika dibandingkan BigCaps. (Ada pengecualian
untuk perusahaan yang bergerak di bidang teknologi).
Melihat sejumlah karakter perusahaan ini, seperti kita melihat
gambar ULTJ kecil, sepuluh tahun lalu. Dalam 10 tahun ini, EPS ULTJ
meningkat 1,480%. Peningkatan EPS sebesar ini yang bertanggung-
jawab untuk peningkatan harga saham ULTJ lebih dari 1,200% dalam
periode yang sama. Market Cap ULTJ saat itu masih sekitar Rp 1.7
Trilyun. Angka ini tentu saja berbeda dengan Market Cap-nya saat
ini, Rp 21 Trilyun.

Apakah SmallCaps, dengan Market Cap saat ini sebesar Rp 1.6


Trilyun, akan mampu menghasilkan kinerja seperti ULTJ dalam 10
tahun yang akan datang? Kita masih perlu waktu untuk bisa melihat
terjadinya hal itu. Namun sejumlah metrik sejauh ini, cukup
membuat saya nyaman mengatakan bahwa karakter perusahaan ini
cukup menjanjikan.

Perusahaan ini baru mulai beroperasi tahun 2008, dan menjadi


public company tahun 2019. Kegiatan usahanya dimulai dengan
menjadi toll-manufacturer dari produk yang dikeluarkan anak
perusahaan Fonterra di Indonesia.

Fonterra, perusahaan New Zealand – yang dimiliki 10,000 peternak –


merupakan dairy exporter terbesar di dunia, dan sudah menjalankan
usahanya selama lebih dari 50 tahun. Pentingnya peranan Fonterra
di dalam perekonomian New Zealand, ditunjukan oleh fakta, bahwa
25% nilai export New Zealand berasal dari Fonterra.

Fonterra mengekspor prouksinya ke lebih dari 140 negara (termasuk


Indonesia), dan dikonsumsi oleh sekitar 1 milyar orang setiap
harinya. Sekitar 11% dairy consumption di China berasal dari produk
Fonterra. Saham Fonterra tercatat di Australia & New Zealand Stock
Exchange.

Dengan sekilas menyinggung Fonterra, meskipun Small Cap di BEI ini


belum lama beroperasi, tetapi pengalaman sebagai toll-
manufacturer Fonterra, merupakan basis modal yang kuat, saat
memutuskan untuk memulai transformasi dengan menjadi produsen
independen, melalui brand-nya sendiri : ProChiz.

Pedoman dan standar mutu yang dituntut Fonterra, perusahaan


kelas dunia, memberikan panduan kepada PT Mulia Boga Raya/KEJU
dalam menjalankan kegiatan usahanya. Produk perdana dengan
brand milik sendiri, ProChiz, diluncurkan tahun 2010 berupa keju
cheddar dengan kemasan 2 kg dan 180 gr. Selain untuk memenuhi
konsumsi di dalam negeri, KEJU juga sudah melakukan export ke
sejumlah negara, meski persentasenya relatif kecil.

KEJU berada di sektor makanan dan minuman, yang memiliki tingkat


pertumbuhan di atas PDB. Semakin tebalnya middle-class di
Indonesia menawarkan peluang pertumbuhan yang lebih besar.
Mengacu data-data tahun 2019, pertumbuhan PDB industri makanan
dan minuman mencapai 6,77%, lebih tinggi dari kenaikan PDB
sebesar 5,07%. Sektor ini juga menyumbang sekitar 36% PDB industri
non-migas dan sekitar 6.35% PDB Nasional.

Pasar keju di Indonesia saat ini diperkirakan masih sangat kecil. Tidak
mudah menemukan data-data mutakhir dan lengkap tentang industri
ini di Indonesia. Namun informasi yang dituliskan Statista, misalnya,
menurut hemat saya angkanya terlalu kecil.

Berdasarkan informasi Statista, angka penjualan keju Indonesia


tahun 2017, tercatat sebesar $ 17 Juta, dengan tingkat pertumbuhan
8%. Dalam Laporan Keuangannya, selama tahun 2017, KEJU sudah
berhasil mencatat angka penjualan Rp 788 Milyar (sekitar $ 52 Juta).

Terlepas dari data-data industri yang masih sangat minim, kinerja


yang ditunjukan KEJU dalam 3 tahun terakhir ini cukup impresif.
Penjualan tahun 2017-2019, tumbuh dengan CAGR 11.41%, laba
tumbuh dengan CAGR 51,22%. Peningkatan skala usaha,
menimbulkan skala efisiensi, terjadi perbaikan Gross Margin dari
32.29% (2017) menjadi 36.29%. Kombinasi perbaikan Gross Margin
dan peningkatan angka penjualan, menghasilkan besaran laba yang
lebih besar, serta Net Profit Margin yang lebih tinggi, dari 5.4%
menjadi 10%. Hal ini memberikan indikasi awal tentang karakter satu
capital efficient company.

Perusahaan masih belum mengeluarkan Laporan Keuangan Kwartal


II, tetapi melihat kinerja hasil usaha dan posisi Neraca di Kwartal
I/2020, saya tidak melihat bakal adanya perubahan signifikan – yang
mungkin diakibatkan oleh Covid-19. Posisi Net Cash perusahaan, dan
pinjaman yang praktis nihil, menjadikan perusahaan berada di posisi
yang cukup nyaman. Hutang terbesar perusahaan hanya kepada
pihak terafiliasi, karena “rajinnya” perusahaan membagikan dividen
kepada pemegang sahamnya sebelum melakukan IPO. Pembayaran
dividen ini, menurut pandangan saya terkait restrukturisasi
permodalan sebelum IPO pada tahun lalu dilakukan. Sebagian dari
dividen itu belum didistribusikan, dan masih menggantung dalam
posisi Hutang. Hasil CFO dan saldo Kas perusahaan lebih dari cukup
untuk memenuhi kewajiban itu.

Dengan Market Cap saat ini, Rp 1.6 Trilyun, dan Net Kas Rp 175
Milyar, EV KEJU tercatat sebesar Rp 1.425 Trilyun. Atas dasar EBIT
tahun lalu, Rp 137 Milyar, harga saat ini setara dengan EV/EBIT 10.4
X. Valuasi yang sangat menarik, untuk SmallCaps dengan potensi
pertumbuhan yang tinggi.

Sekali lagi, Do Not Chase the stock, maximum pembelian di Rp 1,250.

Dua SmalCaps di BEI dalam sektor yang sangat berbeda ini menjadi 2
saham penutup JSP dalam bulan Agustus ini.

Anda mungkin juga menyukai