Anda di halaman 1dari 14

Menjadi Agen Gerakan Hukum Progresif

Prof. Dr. Suteki., SH., MHum1

Dunia ini pantharich, terus mengalir, berubah tanpa henti, begitu kata philosof
Yunani, Heracleitos (500 SM). Perubahan terus terjadi yang terus pula menanyakan arti
sebuah keabadian. Adakah keabadian itu? Atau justru apakah perubahan itu merupakan
keabadian? Tatkala dalam perkembangan filsafat dan teori-teori ilmu pengetahuan sosial
setelah abad pertengahan, para pemikir di negeri-negeri Eropa Barat semakin memantapkan
keyakinan akan kebenaran paradigma harmoni yang dinamik. Konsekuensi logisnya adalah
termantapkannya pula ide progresisisme dalam kehidupan manusia itu. Paradigma ini,
berseiring dengan kian populernya konsep Galilean-Newtonian2 mengenai tertib semesta
yang universal ini (untuk menggeser ke pinggiran konsep Aristotelian-Leibnizian3),
menjadikan analisis-analisis empirik-induktif menjadi kian tambah populer dalam dunia
pemikiran di Barat.

Kenyataan dalam kehidupan memberikan banyak contoh bahwa telah terjadi


perubahan yang amat pesat dan dapat disimak. Perubahan tersimak sebagai fakta adanya
perbedaan antara yang dulu dan yang sekarang, dan sekaligus merekamkan pengetahuan
bahwa yang ada sekarang ini, apapun perbedaannya dari yang dulu, sebenarnya hasil
perkembangan saja dari fakta yang semula ada. Berdasarkan konsep Galilean-Newtonian
maka tak ada di alam semesta ini yang bersifat abadi, perubahan adalah suatu keniscayaan
berdasarkan prinsip cause and effect yang bersifat acak. Kata Longfellow: “All must
change to something new and to something strange”.

Fenomena perubahan dan perbedaan terhadap kenyataan telah mendorong para


scientist (Wallace dan Darwin) khususnya di bidang ilmu hayat untuk melakukan
penelitian tentang perkembangan bentuk-bentuk fisikal mahluk-mahluk sepanjang lintasan
sejarah dari satu titik asal moyang yang sama. Hipotetis Darwin tentang the origin ot the

1
Guru Besar Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
2
Konsep Galilean-Newtonian merupakan rumpun sains dengan ciri chaos, mekanistik kausal,
cause and effect, acak. Sains ini mencoba untuk memahami alam semesta ini tidak lagi sebagai
suatu harmonious pre-established order melainkan sebagai suatu keadaan chaos, penuh proses
yang mengungkapkan berbagai kemungkinan hubungan kausal mekanis antar unsur variable.
3
Konsep Aristotelian-Leibnizian merupakan rumpun sains dengan ciri serba normative, pre-
established harmonious order, causa finalis. Sains ini mencoba untuk memahami alam semesta ini
sebagai suatu harmonious pre-established order, semesta diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
sebagai sesuatu rancangbangun tatanan yang bersifat final dan harmoni serta sempurna sejak awal
mulanya.

1
species kemudian dikenal dengan teori evolusi. Hal ini berarti finalitas itu adalah suatu
kemustahilan.

Apa yang lebih menakutkan daripada finalitas? bagi sebagian orang, alih-alih
menakutkan, finalitas adalah suatu yang selalu ingin dicapai, sebuah tujuan dimana segala
penat telah diselesaikan, akan tetapi bukankah finalitas adalah suatu yang menyeramkan
dari pada menenangkan? Satjipto Rahardjo rupanya telah memahami hal tersebut, baginya,
terutama pada dunia hukum, finalitas adalah sebuah hal yang berbahaya, karenanya dapat
dipahami, bahwa bagi Satjipto, hukum tak dapat diam, ia harus terus mengalir 4 hukum yang
beku tak akan menghasilkan apapun kecuali penderitaan. Finalitas Hukum tersebut tampak
setidaknya dalam tiga puluh dua tahun masa kegelapan dibawah rezim Orde Baru. Pada
masa itu, hukum tak dapat berbuat banyak, ia tak jauh berbeda dari Louis XVII ketika
mengatakan “hukum adalah aku!” sebelum di-guilotine pada saat penjara Bastille ambruk
kala revolusi Perancis, sebagaimana lazimnya revolusi, ia tak dapat menghindar dari darah,
pembantaian terjadi pada orang-orang yang dianggap kontra-revolusioner, dari sini,
landasan ontologis dari kedaulatan meneguhkan diri. 5 Orde Baru tak jauh berbeda,
kekuasaanya dilegitimasi oleh pembantaian ratusan ribu atau bahkan jutaan orang yang
dianggap “komunis” meski istilah itu hingga kini masih terlalu rancu, 6 yang jelas kedaulatan
meneguhkan dirinya melalui darah.

Pada sisi lain, kedaulatan nampaknya semu, karena sebagaimana dikatakan oleh Carl
Smith, ia ditegaskan oleh seseorang dalam keadaan mendesak. 7 Sejarah Orde Baru
sebagaimana diceritakan oleh John Rossa menceritakan hal tersebut, dimana Soeharto

4
Satjipto Rahardjo. Membedah Hukum Progresif. Kompas. Jakarta. 2005.
5
Franz Magnis Suseno. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius. Yogyakarta. 2005. Hlm 77-87 Franz
Magnis Suseno mengatakan, bahwa ide Rousseau tentang Volonte Generale menginspirasi Maximilian
Robbesperre dalam rangka Revolusi Perancis mengadakan La Grande Terreure, Teror Agung untuk
membersihkan Perancis dari unsur-unsur kontra revolusioner.
6
Terdapat beberapa versi dari jumlah korban pembunuhan pasca peristiwa G-30-S, versi resmi yang
diumumkan Soekarno pada tahun 1966 adalah 87,000 orang, Stanley Karnow wartawan Washington
Post mengatakan bahwa jumlah korban mencapai 500.000 orang, Seth King dari New York Times
menyatakan pada Mei 1966 korban tewas mencapai 300,000 orang bahkan Seymour Topping
menyatakan bahwa julah korban melebihi angka 500,000 orang. Lihat John Rossa. Dalih
Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Hasta Mitra. Jakarta. 2008. Hlm 30
Rossa selanjutnya mengatakan bahwa angka tersebut diluar dari jumlah orang yang ditahan yang
mencapai lebih dari satu juta orang yang kebanyakan tanpa pengadilan, juga jumlah penyiksaan dan
pelecehan seksual yang dialami oleh tahanan perempuan.
7
Carl Schmitt. Political Theology, Four Chapters On The Concept of Sovereignty. University Chicago
Press. Chicago. 2005. Hlm 5 -6Schmitt mengatakan “ Sovereign is he who decides on the exception.
Only this definition can do justice to a borderline concept [...] The decision on the exception is a
decision n the true sense of the word. Becayse a general norm, as represented by an ordinary legal
prescription , can never encompass a total exception, the decision that a real exception exists cannot
therefore be entirely derrived from this norm.”
2
mengambil inisiatif dengan menegaskan diri dari situasi genting. Namun tentu, penegasan
tersebut tak murah. Ada sisi kelam dari kedaulatan tersebut, yang telah dijelaskan dengan
baik oleh Jacques Derrida, yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah suatu yang mistis,
dan tepat dari situlah hukum berdiri, karena ia tak berdiri diatas keadilan, melainkan
semata-mata hanya sebagai penjamin dari hukum yang berlaku. 8 Sebuah pertanyaan
muncul dari sini, apabila demikian, maka untuk siapakah sebenarnya hukum berlaku ?
apakah ia berlaku untuk manusia dengan segenap darah dan dagingnya, atau ia berlaku
hanya sebagai pelayan atas kekuasaan oligarki-meritokrasi dalam kerajaan pseudo-
demokrasi ?

Di bawah rezim otoriter, keadilan hanya menjadi bagian dari jargon untuk
melegitimasi hukum, namun apakah berhenti sampai disitu ? tentunya tidak, keadaan
demikian memicu perlawanan dari segala penjuru, baik dari hukum maupun non-hukum,
dan justru dari perlawanan tersebut, munculah pertanyaan tentang keadilan, yang pada
akhirnya merongrong legitimasi hukum itu sendiri.

Menyemai Agen Hukum Progresif

Pada era rezim otoriter, lahir pula tokoh-tokoh terkemuka yang pantang menyerah;
Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung Nasution, Yap Tham Hien, adalah sederet nama-nama
yang muncul kala itu dan berani menentang penguasa. Tidak hanya hukum secara an sich,
pada kenyataanya, kesenian, sejarah, maupun bentuk-bentuk kekuasaan lain juga turut
mempengaruhi perkembangan hukum, karena sebagai sebuah sistem sekaligus sub-sistem
sosial, hukum tidak dapat sepenuhnya menutup diri.

Untuk pertama kali, bantuan hukum mulai terbentuk di Indonesia tatkala Prof
Zeylemaker membentuk biro konsultasi hukum pada rakyat tak mampu du Rechtshoge
School Jakarta tahun 1940, disusul Prof Ting Swan Tiong di perguruan tinggi Sim Ming Hui,
yang dilanjutkan dengan mengusulkan pendirian Biro Konsultasi Hukum di Universitas
Indonesia pada tahun 1968 yang pada tahun 1974 berubah menjadi Lembaga Konsultasi
dan Bantuan Hukum, Prof Mochtar Kusuma Atmadja juga mendirikan Biro Bantuan Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung di tahun 1967. 9 Diluar kampus, Adnan
Buyung Nasution, Yap Tham Hien, Djamaludin Dt Singomangkuto, S Tasrif dan Loekman
Wiriadinata mendirikan LBH yang menjadi pelopor LBH di berbagai kota di Indonesia

8
Jacques Derrida. Force of Law, The Mystical Foundations of The Authority. Dalam Jacques Derrida.
Act Of Religion. Routledge. New York & London.
9
Alvon Kurnia Palma. Bantuan Hukum dan Perkembanganya. Makalah Tanpa Tahun. Hlm 2
3
dibawah naungan YLBHI.10 Pada masa kekuasaan otoritarian Orde Baru, LBH menjadi salah
satu pusat perlawanan rezim Soeharto dengan mengusung gagasan pro-demokrasi dan
mengusut pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Orde Baru. 11 Apabila ditelisik lebih jauh,
bantuan hukum dalam hal penyuluhan melalui surat kabar untuk pertama kali di pelopori
oleh Tirto Adi Soerjo melalui Medan Priyayi yang secara rutin memberikan kolom
penyuluhan hukum dengan sasaran buruh maupun petani pada masa kolonial belanda. 12
Perjuangan tersebut dilanjutkan oleh anak ideologis Tirto, Marco Kartodikromo 13 seorang
yang keras dalam melakukan kritik pada pemerintah kolonial, ia berperan sebagai
penyambung antara kaum intelektual dengan rakyat.14

Tentu tidak sedikit harga yang harus dibayar melawan penguasa yang mapan, Tirto
Adi Soerjo dibuang ke tanah Maluku, sementara Mas Marco beberapa kali tersandung
dengan delik pers karena dianggap menghina pemerintahan kolonial dan keluar masuk
penjara. Adnan Buyung Nasution tak jauh berbeda, ketika hendak melakukan ekspansi LBH
ke kota-kota lain, upaya tersebut dianggap sebagai ancaman dan pada Januari 1974 Adnan
Buyung ditahan selama dua tahun tanpa pengadilan. 15

Melalui sedikit cerita diatas, saya hendak memaparkan munculnya agen-agen


progresif melalui gerakan masyarakat, di luar itu, masih banyak lagi upaya perlawanan
terhadap Orde Baru : AJI, ISAI, JAKER, LBH APIK, Kalyamitra, dan lain sebagainya.
Bagaimana seorang agen dapat muncul akan dijelaskan lebih lanjut.

Dari Bourdieu ke Luhmann

Pierre Bourdieu, seorang Sosiolog Perancis mengatakan bahwa terdapat dua kondisi
yang bertentangan dan saling mengandaikan satu sama lain, antara unsur subjektif dan
unsur objektif.16 Kondisi subjektif adalah “pilihan” pada tiap-tiap agen sebagai individu
10
Loc Cit
11
http://www.ylbhi.or.id/sejarah/ diakses tanggal 14 Januari 2014
12
Pramoedya Ananta Toer. Sang Pemula. Hasta Mitra. Yogyakarta. Hlm 46 tidak hanya itu, Tirto Adi
Soerjo dalam catatan Pram juga menerbitkan surat kabar yang berisi seputar isu-isu perempuan.
Menurut Pram, dari media massa inilah Tirto Adi Soerjo juga dapat dikatakan sebagai pelopor
gerakan perempuan di Indonesia sebelum Kartini.
13
Sayangnya, tokoh ini tidak banyak dikenal, menurut Hilmar Farid, Orde Baru yang mengekor
kebijakan kolonial dengan menghapuskan bagian sejarah yang tidak dikehendaki, padahal tokoh
Marco memiliki posisi yang sangat penting, ia mewakili perlawanan dalam hal intelektual. Lihat Hilmar
Farid. Marco Kartodikromo : Jejak Radikalisme dalam Gerakan Nasionalis. Makalah dalam Sekolah
Pemikiran Pendiri Bangsa Jakarta. 1 Maret 2012. Hlm 1
14
Ibid Hlm 3
15
Bryan B Garth & Yvez Dezalay. Law Class and Imperialism. American Bar Foundations. Los Angeles.
Hlm 15
16
Lihat Richar Jenkins. Key Sociologist : Pierre Bourdieu. Routledge. London & New York. Hlm 14-23
bandingkan dengan David L. Swartz & Vera L. Zolberg. After Bourdieu, Influence, Critique,
4
berhadapan dengan kondisi objektif yaitu pola-pola tertentu yang baik disadari maupun
tidak telah menjadi acuan dalam hidup yang disebut sebagai habitus dalam suatu ruang
sosial. Agen sosial sebagaimana diwakili oleh masyarakat LBH adalah tempat di mana
perlawanan terhadap dominasi Orde Baru, mereka tidak menelan doxa yang disuntikkan
mentah-mentah.17

Habitus adalah ranah strategi, ia menjadi tempat para agen beradu kreativitas dalam
ruang sosial dengan aturan-aturan kapital tertentu. Ia menjadi tempat pertarungan antar
agen dengan modal sosial, dengan melakukan pertaruhan tertentu, dan investasi kapital
tertentu, pada konteks ini, rezim memiliki simbolik kapital, yaitu sumber legitimasi dari
kekuasaan yang terbentuk karena relasi-relasi dalam ruang sosial, pada sisi lain, perlawanan
yang dilakukan oleh LBH ditunjukkan dengan investasi kapital, yaitu melalui advokasi pada
buruh dan petani, kemenangan ditentukan dari kreativitas pengolahan strategi.

Pihak yang dominan memiliki kekuatan represif, baik secara faktual maupun
simbolik, yang lahir dari potensi penguasaan modal sosial dalam relasi ruang sosial. Bentuk
tersebut jelas tampak dari penguasaan birokrasi, lemahnya hukum (lihat catatan Pompey
mengenai bobroknya MA), dan lain sebagainya. Disini dapat dikenal sebagai Paradox Doxa,
yaitu disatu sisi, doxa dipercayai sebagai suatu kebenaran umum, namun pada sisi yang lain
doxa adalah suatu upaya pelanggengan kekuasaan.

Apabila posisi agen progresif telah dijelaskan, kemudian bagaimana perubahan


sistem hukum dapat dipahami? Pertanyaan tidak sesederhana kelihatanya, ia mencakup
pertanyaan yang menggoyahkan hukum tepat pada titik nadirnya : persoalan keadilan,
pertanyaan tersebut merongrong dan menikam jantung dari berdirinya hukum dan legitimasi
dirinya pada kedaulatan. Luhmann dengan tepat menjelaskan hal tersebut, bagi Luhmann,
sistem hukum adalah salah atu sub-sistem dari sistem sosial :

“our starting point is the propotion that the legal system is a sub-system of the
social system...the unity of the system can only be produced and reproduced by the
system itself and not by any factors in its environment. This applies both to society
and to its legal system...on the one hand society is the environment for its legal
system; on the other han, all operations of the lagal system are always aso
operations in society, that is, operations of the legal system are always also
operations in socuety that is, operations of the society. The legal system performs
in society by differentiating itself within the society. In other words, the Legal system
Elaboration. Kluwer Academic Publishers. New York. 2004. Hlm 33-38
17
doxa adalah moralitas yang disuntikkan oleh penguasa yang menyaru sebagai nilai-nilai universal,
dalam konteks ini berarti dogma anti-komunisme yang disuntikkan dengan begitu masif baik melalui
film maupun novel, juga penulisan sejarah oleh penguasa. Pierre Bourdieu. Practical Reason On The
Theory of Action. Routledge. London & New York. Hlm 57
5
creates its own territory by its own operations (which at the same time social
operations).”18

Terdapat dua perbedaan yang harus dijeaskan di sini, yang pertama pada sisi
program, sisi ini menunjukkan bagaimana teori hukum diproduksi, dan saling diperdebatkan
dengan pertaruhan batasan-batasan hukum sebagai hukum [ the boundaries of law], di sisi
lain adalah sisi code, yaitu cara kerja hukum yang memisahkan dirinya dari yang bukan
hukum. Sejauh hukum memenuhi dirinya sendiri, maka tidak ada pertanyaan mengenai
keadilan, ia diandaikan telah melekat pada dirinya. Permasalahan baru muncul, ketika
harapan normatif [normatif expectations] yang dicakup dalam hukum gagal ketika
berhadapan dengan kenyataan pada sistem sosial. Kekecewaan tersebut [ normative
dissapointment], kekecewaan normatif tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan yang
fundamental, yang menggoyang batasan-batasan dari hukum, yaitu pertanyaan mengenai
keadilan, Luhmann mengatakan :

“the system itself has to define justice in such a way that makes it clear that justice
must prevail and that the system identifies with it as an idea, principle, or
value...applied to law this could mean, perhaps that the administration of justice has
adapted itself to a normal degree on the scale of qarrels and offences” 19

Kekecewaan normatif tersebut memaksa hukum untuk membuka dirinya,


sebelumnya hukum sebagai sebuah sub-sistem dari sistem sosial adalah merupakan satu
sistem sosial tersendiri, hukum tidak dapat berdiri sendiri apabila ia tidak otonom, sisi
otonom inilah prasyarat hukum sebagai sistem sosial untuk berkomunikasi dengan sub-
sistem sosial lain. Ketika sistem hukum terganggu, maka terjadi gangguan dalam hukum,
keberlangsungan hidup hukum sebagai sebuah sistem terancam dan tepat dari sini, ia
diharuskan untuk membuka drinya dan menyerap dari yang-lain, inilah yang disebut
Luhmann sebagai Autopoiesis.

Bersama kita telah menjadi saksi sejarah, bagaimana sistem hukum demikian
terganggu melalui gangguan dari gerakan dari bawah yang semakiin menguat dan
memuncak dengan pendudukan gedung MPR pada Mei 1998, Rezim Orde Baru tumbang,
hukum mengalami perubahan besar-besaran, tampak misalnya berdasarkan catatan Jimly
Asshidiqie bahwa setidaknya terdapat 34 lembaga negara baru, dan dari jumlah tersebut, 28
di antaranya memiliki kewenangan konstitusional karena diatur dalam Undang-Undang

18
Niklas Luhmann. Law as a Social System. Oxford Socio-Legal Studies. 2004 Hlm 72-73
19
Ibid hlm 215
6
Dasar 1945 pasca amandemen pertama hingga amandemen ketiga yang seluruhnya
memiliki perbedaan baik secara fungsi maupun hierarki. 20

Agen Hukum Progresif

Kita telah melewati satu masa dimana bangsa ini berusaha melampaui suatu rezim
otoritarian dengan tujuan emansipasi. Hukum yang mengandaikan masyarakat yang stabil
dan tertib, pada akhirnya sebagai sistem dan sub-sistem tak dapat menghindarkan diri dari
serbuan zaman, maka tidak ada jalan lain kecuali membiarkan dirinya mengalir, tepat
sebagaimana telah dikatakan Satjipto. Kemudian, apa tantangan hari ini? era demokrasi
seolah-oleh telah mencukupkan dirinya sendiri, padahal, terdapat borok yang selalu
menghantui demokrasi menjadi rezim tirani. Tantangan bagi seluruh dunia hukum dari sini
adalah, bagaimana melampaui rutinitas, -taruhlah semisal hakim, pengacara, jaksa,
akademisi, dsb - sebagaimana dikatakan Schmitt, bahwa rutinitas birokrasi bukanlah
tindakan otentik, ia sebagaimana dikatakan oleh Sartre adalah bad faith, ketertipuan diri,
maka satu lagi konsep hukum progresif muncul di sini dan jelas tak boleh dilupakan, yaitu
melalui cinta. Karena hanya dengan cintalah manusia dapat meneguhkan eksistensi dirinya,
ia berada dalam pusat eksistensi manusia, bagi Fromm, cinta adalah upaya pelampauan dari
bagaimana manusia dapat eksis, mengatasi kesindirian dan keberpisahan. 21
Maka demikian
pula dengan hukum, segenap peraturan dan norma-norma tidak dapat dijalankan tanpa
cinta, karena persis dari cintalah,22 melampaui rutinitas dan banalitas hidup, ia dapat
menghindarkan hukum dari emansipasi, menjadi tiran tanpa nurani.

Gerakan hukum progresi lahir sebagai akibat dari kekecewaan kepada penegak
hukum yang kerap berperspektif positivis. Yakni, hanya terpaku pada teks dalam undang-
undang tanpa mau menggali lebih dalam keadilan yang ada di masyarakat. Para penganut
paham positivisme kerap berdalih paham civil law yang dianut Indonesia 'mengharuskan'
hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi).  Gerakan hukum progresif
merupakan bagian dari proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak
20
Jimly Asshidiqie. Perkembangandan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta. 2006. Hlm vii
21
Erich Fromm. The Art of Loving. Choun Publishing Co. Tanpa Tahun . Fromm mengatakan bahwa
manusia modern tidak memerlukan apapun kecuali kepatuhan atas nama kerja produksi : “ Modern
capitalism needs men who cooperate smoothly in large numbers; who want to consume more and
more; and whose tastes are standardized and can be easily influenced and anticipated. It needs men
who feel free and independent, not subject to any authority or principle or conscience – yet willing to
be commanded, to do what is expected of them, to fit into the social machine without friction, who
can be guided without force, led without leaders, prompted without aim – except then one to make
good, tob on the move to function, to go ahead” hlm 116
22
Fromm mengatakan cinta melampaui dunia narsistik, lebih dari itu, ia mengandaikan, melalui cinta,
orang tak melihat dari kedua matanya sendiri, tapi dari mata seluruh orang lain.
7
pernah berhenti. Hukum progresif bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum
dalam masyarakat berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas
penegakan hukum dalam setting Indonesia pada akhir abad ke-20.23 Penyebaran gerakan
hukum progresif diawali oleh Satjipto Rahardjo, seorang Guru Besar Emiritus pada Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro. Hukum Progresif pada prinsipnya bertolak dari dua
komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku ( rules and behavior).24

Gerakan hukum progresif berangkat dari dua asumsi dasar. Pertama, hukum adalah
untuk manusia, bukan sebaliknya.25 Bertolak dari asumsi dasar ini, kehadiran hukum bukan
untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Oleh karena itu,
ketika terjadi permasalahan hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki,
bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. 26 Kedua,
hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada
dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).27

Dalam gerakan hukum progresif, manusia berada di atas hukum. Hukum hanya
menjadi sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia. Hukum tidak
lagi dipandang sebagai suatu dokumen yang absolut dan ada secara otonom. Hukum
progresif yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya kreativitas.
Kreativitas dalam konteks penegakan hukum selain dimaksudkan untuk mengatasi
ketertinggalan hukum---secara lugas dalam bahasa Jawa dapat dikatakan bahwa hukum
“keponthal-ponthal”---, mengatasi ketimpangan hukum, juga dimaksudkan untuk membuat
terobosan-terbosan hukum bila perlu melakukan rule breaking. Terobosan-terobosan ini
diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yaitu hukum
yang membuat bahagia.28 Hal ini berarti pula bahwa negara hukum juga harus mampu
membahagiakan rakyatnya.

Bagaimanakah gambaran negara yang membahagiakan rakyatnya itu? Setiap dalang


wayang kulit selalu menggambarkan suatu negara atau kerajaan bahagia---yang makmur---
dengan ungkapan yang sangat agung, yaitu sebagai ”negari ingkang panjang

23
Satjipto Rahardjo, Op.Cit. hlm. 3.
24
Satjipto Rahardjo, “Menuju Produk Hukum Progresif”, Makalah Diskusi Terbatas pada Fakultas
Hukum UNDIP, Semarang, 24 Juni 2004.
25
Ibid, hlm. 5.
26
Loc. Cit.
27
Ibid, hlm. 6.
28
Loc. Cit. Untuk memahami kompleksitas gagasan ini, disarankan pembaca untuk mendalami
buku karangan Satjipto Rahardjo yang berjudul “Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya”:
Genta Press, 2009.
8
hapunjung, hapasir wukir loh jinawi, gemah ripah karto raharjo.” Artinya, wilayah
suatu negara meluas dari pantai laut sampai puncak gunung, tanahnya subur (loh), barang-
barang serba murah, terbeli (jinawi), murah sandang-pangan, pedagang dapat bepergian
tanpa gangguan (gemah), rakyat yang jumlahnya banyak hidup rukun (ripah). Karto artinya
petani mempunyai ternak yang cukup tanpa ada gangguan dan raharjo berarti pemerintah
dapat memenuhi kebutuhan rakyat dan tidak ada kejahatan.
Di muka sudah disebutkan bahwa latar belakang kelahiran hukum progresif adalah
ketidakpuasan dan keprihatinan atas kualitas penegakan hukum di Indonesia. Berdasar latar
belakang ini dapat dikatakan bahwa spirit hukum progresif adalah spirit pembebasan.
Pembebasan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 29
1. Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas, dan teori yang selama ini dipakai.
2. Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum ( administration of justice) yang selama
ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan persoalan.
Di sinilah salah satu manfaat pentingnya ” rule breaking”30 dalam sistem penegakan
hukum. Satjipto Rahardjo mendorong agar dalam penegakan hukum hakim harus berani
membebaskan diri dari penggunaan pola baku, dan cara yang demikian sebenarnya sudah
banyak terjadi, termasuk di Amerika Serikat sekali pun. Cara baru inilah yang tadi disebut
rule breaking. Pencarian keadilan tidak mungkin hanya bisa dilihat dari aspek normatif saja,
melainkan juga aspek sosiologis, apalagi sudah menyangkut aspek keadilan sosial ( social
justice) serta konstitusionalitas suatu UU.
Selain asumsi dasar, identitas serta spirit yang telah disebutkan di muka, hukum progresif
memiliki karakter yang progresif dalam hal sebagai berikut: 31
1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya
memandang hukum selalu dalam proses menjadi (law in the making).
2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional maupun
global.
29
Ibid, hlm. 15-16.
30
Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga cara untuk melakukan rule breaking, yaitu: (1)
Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum memberikan pesan
penting bagi kita untuk berani mencari jalan baru ( rule breaking) dan tidak membiarkan diri
terkekang cara lama, menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelkas lebih banyak
melukai rasa keadilan; (2) Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam
menjalankan hukum dan bernegara hukum. Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses
penegakan hukum didorong untuk selalu bertanya kepada hati nurani tentang makna hukum yang
lebih dalam; (3) Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan
perasaan, kepedulian dan keterlibatan (commpassion) kepada kelompok yang lemah. Lihat,
Yusriyadi, Paradigma Sosiologis dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Ilmu Hukum dan
Penegakan Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar FH UNDIP , Semarang, 18
Pebruari 2006, hlm 32-33..
31
Ibid, hlm. 16-17.
9
3. Menolak status quo manakala menimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat
merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan
yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum.
Berdasarkan identitas hukum progresif tersebut, sebenarnya hukum progresif dapat
dikatakan telah melampaui tiga perspektif kehidupan yang oleh Fritjop Capra disebut
structure perpective (materi), pattern perspective (bentuk) dan process perspective
(proses). Menurut Capra, apabila sistem-sistem kehidupan dipelajari dari perspektif bentuk,
maka akan ditemukan bahwa pola organisasi sistem tersebut adalah jaringan yang
membentuk dirinya sendiri, sedangkan dari perspektif materi, struktur material suatu sistem
hidup adalah struktur disipatif, yaitu suatu sistem terbuka yang beroperasi jauh dari
kesetimbangan. Dan akhirnya, dari perspektif proses, sistem kehidupan adalah sistem
kognitif di mana proses kognisi terkait erat dengan pola autopoiesis. 32

Pada diagaram berikut ini, Capra menggambarkan ketiga perspektif sebagai titik-titik
dalam suatu segitiga untuk menekankan bahwa ketiga perspektif tersebut pada dasarnya
saling berhubungan. Bentuk pola organisasi hanya dapat dikenali bila berwujud dalam
materi, dan dalam sistem hidup. Perwujudan ini adalah suatu proses yang
berkesinambungan. Pemahaman atas ketiga perspektif tersebut dapat diragakan sebagai
berikut:

BENTUK

PROSES

MATERI

Bila ketiga perspektif kehidupan tersebut kita kaitkan dengan fenomena kehidupan
hukum, maka pada kelompok aliran legal-positivisme kita dapati ketiga perspektif tersebut
32
Fritjop Capra, The Hidden Connections: Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru, Penerjemah:
Andya Primanda, Jalasutra Press , Yogyakarta, 2004, hlm. 84.
10
sebagai “mantra” utama yang tidak boleh disimpangi. Materi terkait dengan teks-teks
hukum, bentuk berhubungan dengan pola-pola baku sistemnya dan proses mengindikasikan
adanya prosedur konvensional yang harus ditaati dalam penegakan hukumnya, dalam arti
tidak boleh keluar dari “pakem” hukum acara sehingga kemungkinan untuk memiliki spirit
pembebasan sangat kecil bahkan tidak ada. Sistem ini lebih menitik beratkan pada ranah
normative, bukan ranah sosiologis. Rule breaking tidak mudah dilakukan dalam sistem
konvensional yang mengandalkan pertautan ketiga perspektif ini.

Dunia dalam yang berisi berbagai konsep, gerakan, citra, dan lambang, adalah suatu
dimensi kritis realitas sosial, yang membentuk ‘ciri mental dari fenomena sosial’ ( the mental
character of social phenomenon). Para ilmuwan sosial sering menyebutnya sebagai dimensi
‘hermeneutik’ untuk menyatakan pandangan bahwa bahasa manusia melibatkan komunikasi
makna sebagai pusatnya karena hakikat simbolis, dan bahwa tindakan-tindakan manusia
mengalir dari makna yang kita hubungkan dengan lingkungan kita. Capra selanjutnya
berpendapat bahwa pemahaman sistemik atas kehidupan dapat diperluas ke ranah sosial
(sosiologis) dengan menambahkan perspektif ‘makna’ ke tiga perspektif lainnya pada
kehidupan. Capra menggunakan istilah ‘makna’ sebagai kependekan bagi dunia dalam
kesadaran reflektif, yang mengandung banyak sekali ciri yang saling berhubungan. Suatu
pemahaman yang lengkap atas fenomena sosial, karenanya, harus melibatkan integrasi
empat perspektif yaitu bentuk, materi, proses, dan makna. Keempat perspektif tersebut oleh
Capra diragakan sebagai berikut:33

MAKNA

PROSES BENTUK

MATERI

33
Ibid, hlm. 86-87.
11
Pada diagram di atas, Capra menunjukkan saling berhubungannya (korelasi)
perspektif-perspektif tersebut dengan menggambarkannya sebagai sudut-sudut suatu
bangun geometris. Ketiga perspektif pertama membentuk segitiga seperti yang telah disebut
di muka, perspektif makna digambarkan berada di luar bidang segitiga tersebut untuk
menunjukkan bahwa ia membuka suatu ‘dimensi dalam’ baru, sehingga keseluruhan struktur
konseptualnya membentuk limas segitiga (tetrahedron). Integrasi keempat perspektif
berarti mengakui bahwa tiap perspektif memberi sumbangan penting bagi pemahaman
mengenai suatu fenomena sosial dan termasuk di dalamnya adalah hukum.

Berdasar pada konseptual tetrahedron Capra, saya hendak menempatkan gerakan


hukum progresif pada integrasi keempat sudut limas segitiga (tetrahedron) dalam yakni
sudut bentuk, materi, proses dan berujung pada pencarian makna. Bentuk (pola) dari
hukum, materi hukum, dan proses hukum harus diikat dengan makna hukum yang berisi
maksud dan tujuan hukum diciptakan. Hukum progresif merupakan integrasi dari bentuk,
materi, proses dan makna hukum. Oleh karena makna hukum sebagai puncak tetrahedron
sistem hukum progresif, maka pendekatan yang paling sesuai agar gerakan hukum progresif
dapat menjadi lebih konkret harus pendekatan yang holistik kontekstual yakni pendekatan
socio-legal hermeneutics yang seharusnya telah dibingkai dengan paradigma kritikal. 34

Pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif telah menjadi virus dan mulai
mewabah pada setiap jenjang dan lini kehidupan hukum dan kehidupan lainnya. Polisi,
Jaksa, Hakim apalagi teoretisi telah mulai “terinfeksi” oleh virus tersebut bahkan banyak
yang turut “membumikan” gagasan dan gerakan hukum progresif itu. Gerakan hukum
progresif Satjipto Rahardjo tak akan lekang oleh waktu manakala upaya menghadirkan
sebenar keadilan terus diperjuangkan oleh para pendekar hukum. Mahasiswa, teoretisi dan
praktisi perlu terus mengembangkan wajah, sifat, karakter serta tujuan hukum progresif. Di
kalangan praktisi hukum, sangat menarik pernyataan Busyro Muqqodas---sebagaimana
dikutif oleh hukumonline---yang berharap agar dosen-dosen hukum yang masih junior
mengikuti jejak Begawan Ilmu Hukum itu. Satjipto Rahardjo adalah seorang ilmuan besar
tetapi menampilkan pribadi yang sederhana. Para hakim harus mencontoh dan mengikuti
cara berpikir Satjipto Rahardjo dengan mengasup paham dari gerakan hukum progresif itu.
Ini adalah sebuah bentuk pengakuan atas kebenaran gagasan sang Maestro Hukum itu.

34
Suteki, Perkembangan Hukum Sosiologis dan Gerakan Hukum Progresif Dalam Skema Tetra
Hedron, Seminar Nasional Hukum Progresif, Semarang, 19 Juli 2009, hlm. 29.

12
Pengaruh Satjipto Rahardjo di kalangan para penggiat hukum memang tak sedikit.
Sekelompok orang bahkan membentuk sebuah Forum Diskusi Hukum Progresif, misalnya di
Magiaster Ilmu Hukum (MIH) UNDIP. Mereka menamakan dirinya sebagai Kaum Tjip-ian.
Nama “Tjip-ian” diambil dari nama panggilan Satjipto, yakni Prof. Tjip. Di situs pertemanan
facebook, jumlah anggota kaum tjipian ini mencapai hampir 500 orang. Saya pun pernah
berdiskusi dalam salah satu acara Kaum ini, yakni dalam Seminar Prospek Hukum Progresif,
20 Juli 2009. Saya sempat tersentak membaca salah satu judul buku karangan Kaum Tjip-
ian Neo-Aliran Pleburan yang diluncurkan pada saat itu yang bertajuk: “ EVOLUSI
PEMIKIRAN HUKUM BARU: Dari Kera ke Manusia, Dari Positivistik ke Progresif” .
Tulisan-tulisan dalam buku itu mengejutkan saya karena mereka sudah demikian gelisah
menghadapi pembelajaran hukum yang didominasi pada fokus perundang-undangan dan
penerapannya belaka. Melalui pemikiran hukum progresif Satjipto Rahardjo dan media buku
itu kaum Tjip-ian seolah menemukan ruang baru untuk menyalurkan “pikiran memberontak”
mereka secara baik. Saya melihat adanya pemikir-pemikir psikoanalisis kekirian yang
memiliki potensi melakukan falsifikasi terhadap kemapanan positivisme untuk mengarah
pada pemikiran dan praktik hukum yang mampu menghadirkan sebenar keadilan, yakni
bukan saja keadilan formal melainkan lebih mengarah pada keadilan materiil atau keadilan
substantif.

Berdasarkan identitas, pendekatan, serta paradigma yang memayungi gerakan


hukum progresif, dapat dikatakan bahwa hukum progresif seharusnya memiliki sistem
kehidupan hukum yang melampaui ritual-ritual penegakan hukum yang mengandalkan
prosedur kaku legalitas formal. Hukum harus dibingkai dengan perspektif makna
(hermeneutika). Bila tidak, maka kita akan terus terjebak pada formalisme hukum yang
dalam praktik menunjukkan banyak kontradiksi dan kebuntuan dalam pencarian kebenaran
dan keadilan substansial. Salah satunya adalah konsep tentang penegakan hukum. Dalam
formalisme, hukum dan penegakannya dengan mata tertutup pun, akan berjalan sistematis
ibarat rumusan matematika yang jelas, tegas dan pasti. Tidak ada kekeliruan di dalamnya.
Seolah hukum itu seperti mesin automat, tinggal pencet tombol maka keadilan begitu saja
akan diciptakan pula.

Pembentukan KPK, misalnya bisa dikatakan sebagai sikap tidak percaya penuh pada
keyakinan formalisme bahwa aparat penegak hukum bertindak sesuai prosedur. Dalam hal
ini, secara kelembagaan kita telah mengadopsi kritik terhadap kemapanan hukum ala studi
hukum kritis. Pada titik ini, kita telah selangkah lebih maju dari keyakinan lama dimana taat
buta terhadap prosedur digeser menjadi kritis terhadap prosedur. Satu hal yang perlu

13
ditambahkan lagi adalah afiliasi antara berbagai kekuatan pembaharuan yang telah
terbentuk. Sejak tahun 2004, Prof Satjipto Rahardjo telah menyerukan provokasi yang
bunyinya “bersatulah kekuatan hukum progresif”35. Prospek hukum progresif
selanjutnya akan ditentukan oleh banyak faktor, yakni kemauan penegak hukum untuk
bersikap ‘sableng’, dan berlaku ‘gendheng’ dalam arti harus mau dikatakan aneh, tidak
populer, dan melawan arus konvensional. Mantra-mantra braveness, diskresi, rule
breaking, rechtsvinding dan moral reading on law adalah sebuah keniscayaan.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa, untuk dapat menghadirkan gambar hukum yang
utuh di tengah masyarakat, mau atau tidak kita harus mempelajari hukum dan cara
berhukum kita dengan berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya
bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan. Hukum bukan semata-mata
perundang-undangan yang berada ruang hampa yang steril dari aspek-aspek nonhukum.
Hukum harus dilihat dalam perspektif sosial, karena hukum bukan hanya rule, melainkan
juga behavior. Hukum mesti progresif menyongsong perubahan sosial dengan tetap
berupaya menghadirkan keadilan substantif.

Sepanjang tahun 2009 hingga tahun 2013 yang lalu, kita dapat melakukan refleksi
terhadap penegakan hukum di Indonesia. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa wajah
hukum kita masih bopeng. Wajah hukum kita masih diwarnai oleh berbagai elegi penegakan
hukum yang mengoyak hati nurani dan sekaligus membuktikan bahwa birokrat penegak
hukum yang tergabung dalam criminal justice system terpasung pada penegakan hukum
yang lebih berorientasi pada formal/procedural justice dan cenderung memarginalkan
materiil/substantive justice. Wajah buruk demikian mencerminkan bahwa pengadilan kita
sedang sakit. Dalam kondisi demikian, teramat sulit bagi masyarakat pencari keadilan untuk
mendapatkan keadilan substantif yang diharapkan lahir dari institusi pengadilan. Di negeri
ini, mengharapkan keadilan substantif dari ruang pengadilan seringkali terasa bagaikan
menanti datangnya pelangi di malam hari yang sepi. Saya serukan kembali apa yang telah
digelorakan oleh Prof Satjipto Raharja sepuluh tahun yang lalu: BERSATULAH KEKUATAN
<GERAKAN> HUKUM PROGRESIF!!!

35
Kompas 6/9/2004
14

Anda mungkin juga menyukai