PENDAHULUAN
Latar Belakang
Identifikasi Masalah
Yuridis Normatif
Yuridis Empiris
Metode ini merupakan metode sosio legal yang menekankan pada data
primer yang berasal dari lapangan, pengambilan data ini dapat
dilakukan dengan wawancara/ diskusi (focus group discussion) dengan
stakeholderyang terlibat dalam penyelenggaraanpariwisata di
Kabupaten Cola. Wawancara atau FGD bertujuan untuk menggali data-
data primer yang berasal dari lapangan (diskusi dan tanya jawab),
wawancara dapat dilakukan dengan Kepala Dinas Sosial Cola, dan
pihak-pihak yang terkait dengan pariwisata Kabupaten Cola.
Sementara FGD dapat dilakukan beberapa kali dan bertahap (sesuai
materi pembahasan) yang dilakukan selain menggali data primer
mengenai usaha penyediaan pariwisata daerah Kabupaten Cola juga
untuk melihat politik hukum pemerintah daerah, untuk itu FGD harus
dihadiri sekurang-kurangnya beberapa stakeholder, meliputi: (1)
Bagian Hukum Seta Kabupaten Cola; (2) Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, dan SKPD terkait; (3) Pakar Pariwisata Daerah yang
memberikan penilaian kualitas naskah akademik; (4) Masyarakatdan
pemerhati pariwisata; (5) Tim Penyusun Naskah Akademik. Dalam
metode ini, juga dapat digunakan observasi yang mendalam serta
penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum
yang berpengaruh terhadap peraturan daerah.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Kajian Teoritis
Jenis-Jenis Kemiskinan
PRAAMANDEMEN PASCAAMANDEMEN
Bumi dan air dan kekayaan Bumi dan air dan kekayaan yang
yang terkandung di dalamnya terkandung di dalamnya dikuasai oleh
dikuasai oleh negara dan negara dan dipergunakan untuk
dipergunakan untuk sebesar- sebesar-besar kemakmuran rakyat.
besar kemakmuran rakyat.
UUD 1945 juga sebagai hukum tata negara yang berlaku dan
mendasari seluruh segi penyelenggaraan negara, bukan saja
merupakan konstitusi politik, melainkan juga konstitusi sosial,
konstitusi ekonomi, dan konstitusi ekologi atau green constitution.
3
Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum, 2015 “PENGGERUSAN KEDAULATAN NEGARA ATAS AIR”
Seminar UNDIP
Kedua, sebagai konstitusi sosial, UUD 1945 menjadi pedoman
utama bagi masyarakat dalam relasinya dengan warga negara yang
lain, terutama dalam pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai warga
negara. Jika pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut dikaitkan
dengan hak asasi manusia (HAM), maka implementasi HAM berdasar
UUD 1945, haruslah didasarkan pada asas keseimbangan dengan
kewajiban asasi manusia. Maksudnya, HAM dapat dituntut dan
dipenuhi manakala seseorang menunaikan pula kewajiban asasinya.
Dengan kata lain, dalam koridor UUD 1945, tegaknya HAM di negara
ini amat ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan hak asasi
dengan kewajiban asasi. Keseimbangan demikian menjadi indikasi dan
penunjuk derajat moral martabat manusia.
4
DR. ANWAR USMAN, S.H., M.H. 2015 “SEMINAR MEMBANGUN POLITIK HUKUM SUMBER
DAYA ALAM BERBASIS CITA HUKUM INDONESIA” Semarang
aspek lingkungan dalam kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Kota.
Secara teoritis, otonomi akan membantu mewujudkan lingkungan yang
lebih baik, sebagaimana didambakan oleh Prof Otto Soemarwotto dalam
bukunya ADS (Atur Diri Sendiri): Pengelolaan Lingkungan Hidup Masa
Depan. Dengan otonomi mata rantai perencanaan dan pengawasan
menjadi pendek. Pemerintah Kota/ Kabupaten merencanakan dan
melaksanakan sendiri. Mereka lebih mengetahui tentang kondisi
daerahnya. Prof Otto juga berpandangan bahwa dengan otonomi
daerah, sense of ownership pimpinan daerah akan lebih tinggi. Tidak
mungkin mereka akan merusak kondisi lingkunganya sendiri. Dalam
pandangan Prof Otto, Atur Diri Sendiri adalah sebuah mekanisme
dimana berbagai stakeholders bersama-sama merumuskan tentang
masa depan daerahnya. Pola manajemen ADS sesungguhnya terjadi
pada masyarakat tradisional tempo doeloe yang memiliki kearifan lokal
dalam mengelola lingkungan seperti masyarakat Badui yang masih
memegang tradisi pikukuh, masyarakat kampung Naga menjalankan
tradisi karuhun, petani Jawa mempraktekkan nyabuk gunung,
sedangkan petani Sunda dengan ngais gunung.
6
“ Pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakath” www.kemsos.go.id februari 2009
1. Anggaran untuk program-rogram yang berkaitan langsung
maupun tidak langsung dengan penanggulangan kemiskinan
dan pengangguran dilaksanakan dengan pendekatan
pemberdayaan berbasis komunitas dan kegiatan padat karya.
2. mendorong APBD propinsi, kabupaten dan kota pada tahun-
tahun selanjutnya untuk meningkatkan anggaran bagi
penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja
3. Tetap mempertahankan program lama sepertI;
a. BOS (Bantuan Oprasional Sekolah)
b. RASKIN (BERAS MISKIN)
c. BLT (Bantuan Langsung Tunai)
d. Asuransi Miskin,dsb
4. Akselerasi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga
khususnya harga beras
5. memberikan kewenangan yang lebih luas kepada masyarakat
dalam pengambilan keputusan pembangunan.
6. sinergi masyarakat dengan pemerintah dalam
penanggulangan kemiskinan
7. Mendayagunakan potensi dan sumberdaya lokal sesuai
karakteristik wilaya.
8. menerapkan pendekatan budaya lokal dalam proses
pembanguna
9. Prioritas kelompok masyarakat paling miskin dan rentan pada
desa-desa dan kampung-kampung paling miskin
10. Kelompok masyarakat dapat menentukan sendiri kegiatan
pembangunan yang dipilih tetapi tidak tercantum dalam
negative list
11. Kompetitif desa-desa dalam Kecamatan haus berkompetisi
untuk memperbaiki kualitas
8
Menurut A.Hamid S Attamimi, 1990, Disertasi “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Dalam Menyelenggarakan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I- Pelita IV, Program Doktor Fakultas Pasca
Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.331
sesuai dengan proses dan prosedur pembentukan yang telah
ditentukan.
Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hlm.206
9
Untuk itu, kajian ini bertujuan untuk menciptakan kepastian
hukum agar tercapai sinkronisasi antara Peraturan Daerah dengan
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan lebih tinggi yang menjadi
payung hukumnya ataupun Peraturan yang lebih tinggi lainnya.
Sinkronisasi ini diperlukan agar Peraturan Daerah absah secara
konstitusional, selain itu untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
pengaturan. Bahkan lebih jauh diarahkan agar perda yang dibuat tidak
bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya. Untuk
mengantisipasi adanya ketidakharmonisan/ pertentangan norma
hukum diperlukan upaya harmonisasi. Dalam arti bahwa harmonisasi
merupakan upaya maupun proses yang hendak mengatasi batasan-
batasan perbedaan, hal-hal yang bertegangan, dan
kejanggalan.10Harmonisasi perlu mendapat perhatian karena dalam
praktiknya timbul pertentangan antara satu norma hukum dengan
yang lainnya, hal ini disebabkan bahwa tidak adanya jaminan absolut
dalam sebuah kesatuan tatanan hukum tidak adanya problem
pertentangan norma hukum.11
Harmonisasi norma hukum ini bukan sesuatu yang dapat terjadi
dengan sendirinya, melainkan harus diciptakan, salah satu upayanya
adalah melalui evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan
terkait yang dilakukan pada saat pembentukan Peraturan. Hasil
evaluasi dan analisis pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Cola
tentang Pengentasan Kemiskinan, meliputi:
10
Heryandi, dalam “Urgensi Harmonisasi Hukum Pengelolaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Lepas Pantai Era Otonomi Daerah, Jurnal Media Hukum Volume 16 No.3 Desember 2009, hlm.505
11
Imam Soebhechi, 2012, Judical Review: Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.266
pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah terkait
dengan kewenangan daerah yang dimilikinya.
b. Pasal 33 ayat (3) mengatur bahwa “Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pasal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah harus
bertanggung jawab mengelola Sumber Daya Alam guna
kepentingan masyarakat.
c. Pasal 33 ayat (4) mengatur bahwa “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Dalam pasal ini, seharusnya pemerintah konsekuen dengan
peraturan tersebut dan bukan hanya mementingkan
kepentingan salah satu pihak tetapi tidak memperhatikan
pihak yang nantinya akan dirugikan.
d. Pasal 27 ayat (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
e. Pasal 28 H ayat (1) :“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”
f. Pasal 28 H ayat (2) :”Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan”
g. Pasal 28 H ayat (3) :“Setiap orang berhak atas jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat”
h. Pasal 28 H ayat (4) :“Setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Dalam pasal ini
pemerintah harus berlaku adil dalam memutuskan suatu hal
pokok demi kelangsungan hidup masyarakat banyak.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Hal berlakunya norma hukum secara filosofis, artinya adalah
norma hukum itu sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai
nilai positif yang tertinggi (uberpositieven wet). Peraturan Perundang-
undangan selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan
(ideals norm) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur
kehidupan bermasyarakat dan bernegara diarahkan, karena itu
Peraturan Daerah Kabupatendapat digambarkan sebagai cermin dari
cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan
filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui
pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten yang bersangkutan dalam
kenyataan. Oleh karena itu cita-cita filosofis yang terkandung dalam
Peraturan Daerah Kabupaten itu hendaklah mencerminkan cita-cita
filosofis yang dianut masyarakat yang bersangkutan 12
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan
atau dasar filosofis (filosofische grondslag) apabila rumusannya atau
norma-normanya mendapatkan pembenaran (rerchtvaardiging) dikaji
secara filosofis.Dalam sebuah Peraturan Daerah Kabupaten, landasan
filosofis terkandung dalam konsideran/ dasar menimbang
pembentukan Peraturan Daerah tersebut. Secara umumrencana
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Cola tentang Usaha
Penyediaan Sarana Pariwisata bertujuan untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. menghapus kemiskinan;
d. mengatasi pengangguran;
e. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
f. memajukan kebudayaan;
g. mengangkat citra bangsa;
h. memupuk rasa cinta tanah air;
i. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
j. mempererat persahabatan antarbangsa.
Secara khusus rencana pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
Cola tentang Usaha Pengentasan Kemiskinan bertujuan untuk
melindungi masyarakat sekitar dengan akan dibangunnya pabrik
semen diatas lahan yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian
masyarakat sekitar wilayah tersebut dengan tujuan dapat memberikan
manfaat dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat dengan tetap mengupayakan kelestarian lingkungan.
Selain itu bertujuan untuk:
12
Jimly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, JakartaJimly Asshidiqie, hlm.117
a. memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dan lapangan
kerja;
b. mendorong pembangunan Daerah dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat; dan
c. mengedalikan kegiatan usaha untuk menunjang pembangunan
berkelanjutan.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis lebih difokuskan pada perspektif medan
penerapan hukum dalam keadaan nyatanya, yang selalu disertai ciri
berupa penerimaan (acceptance) peraturan oleh sekelompok
masyarakat,berlakunya kaidah hukum secara sosiologis adalah
efektifitas kaidah hukum di dalam lapangan masyarakat. Menurut
Soerjono Soekanto bahwa landasan teoritis sebagai dasar sosiologis
berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dikaitkan dengan
dua teori: pertama, teori kekuasaan, yang pada pokoknya menyatakan
bahwa kaidah hukum itu dipaksakan berlakunya oleh penguasa,
terlepas diterima atau tidak oleh komunitas masyarakat; kedua, teori
pengakuan, yang menyatakan bahwa berlakunya kaidah hukum itu
didasarkan pada penerimaan atau pengakuan masyarakat ditempat
hukum itu diberlakukan.13
Mengkaji persoalan akan didirikannya pabrik semen dikawasan ini
dalam catatan dari AWRPPK, dokumen Amdal tidak pernah
disampaikan kepada warga. Tidak pernah ada penjelasan mengenai
dampak-dampak negatif akibat penambangan dan pendirian pabrik
semen. Intimidasi sering terjadi seiring gerakan warga yang ingin
memperjuangkan hak memperoleh informasi jelas dan lingkungan
hidup sehat. Aliansi juga mencatat ditemukan dugaan pelanggaran
hukum antara lain penggunaan kawasan cekungan air tanah
Watuputih sebagai area penambangan batuan kapur untuk bahan
baku pabrik semen. Ini melanggar Perda RTRW Jawa Tengah Nomor 6
13
Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik, 2011, Legislative Drafting, Total Media, Yogyakarta, hlm.30
Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini kawasan lindung
imbuhan air. Juga Perda RTRW Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal
19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.
Ditemukan juga dugaan penebangan kawasan hutan tidak sesuai
persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri
Kehutanan, surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April
2013. Dalam surat itu menyatakan, kawasan yang diizinkan ditebang
adalah hutan KHP Mantingan, secara administrasi pemerintahan
terletak di Desa Kajar dan Desa Pasucen, Kecamatan Gunem,
Rembang. Fakta di lapangan, SI menebang kawasan hutan Kadiwono,
Kecamatan Bulu kurang lebih 21,13 hektar untuk tapak pabrik.Dari
pendataan aliansi, bukti-bukti lapangan seperti 109 mata air, 49 goa,
dan empat sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai
debit bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding goa, makin
menguatkan keyakinan kawasan karst Watuputih harus dilindungi.
Proses produksi semen berpotensi merusak sumber daya air yang
berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar dan warga
Rembang serta Lasem. PDAM mengambil air dari Gunung Watuputih.
Kebutuhan lahan sangat luas untuk perusahaan-perusahaan semen
akan berdampak pada kehilangan lahan pertanian, hingga petani dan
buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan. Kondisi ini, akan
menurunkan produktivitas pertanian pada wilayah sekitar, karena
dampak buruk timbul, misal, sumber mata air mati, polusi debu, dan
keseimbangan ekosistem alamiah terganggu. Akhirnya, semua akan
melemahkan ketahanan pangan daerah dan nasional.
Dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diatur, “bahwa masyarakat memiliki hak dan
kesempatan berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Ia bisa berupa peran pengawasan sosial, pemberian
saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan dan menyampaikan
informasi dan atau laporan.”
Namun dalam kenyataanya ketidaktransparan serta ketidakadilan di
lapangan saat ini mengakibatkan terjadi perampasan hak rakyat atas
informasi terkait rencana pembangunan pabrik semen yang dalam
analisis yang telah dipelajari oleh para pakarnya dipastikan akan
menimbulkan banyaknya dampak kerugian yang akan diterima olah
masyarakat sekitar, dari mulai hilangnya mata pencarian mereka
sehari-hari hingga dampak yang akan ditimbulkan oleh pencemaran
dari pabrik semen yang akan didirikan tersebut.
C. Landasan Yuridis
Sistem Peraturan Perundang-undanganIndonesia membentuk
bangunan piramida, peraturan yang berlaku berada dalam suatu
sistem yang berjenjang-jenjang, berlapis-lapis, sekaligus berkelompok-
kelompok. Absahnya suatu peraturan secara vertikal ditentukan
sejauhmana peraturan yang berada di bawah tidak bertentangan
(sesuai atau tidak) dengan peraturan di atasnya. Dalam arti bahwa
peraturan tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan
yang lebih tinggi, dan peraturan yang lebih tinggi berlaku, bersumber
dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi pula, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara Indonesia, yaitu:
Pancasila (cita hukum rakyat Indonesia, dasar dan sumber bagi semua
norma hukum di bawahnya).
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 mengandung ketentuan jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang terdiri
atas:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK,
BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan undang-undang atau Pemerintah atas perintah
undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/ Kota,
Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Ayat (2)
menyebutkan: “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan”.
Heirarki peraturan perundang-undangan di atas bertujuan
menentukan derajatnya masing-masing dengan konsekuensi bahwa
peraturan yang berada di bawahnya harus bersumber pada peraturan
yang berada di atasnya dan jika ada peraturan yang bertentangan
maka yang dinyatakan berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi. Di
sini berlaku asas lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang
derajatnya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih
rendah). Beberapa landasan yuridis yang melandasi terbentuknya
Peraturan Daerah Kabupaten Cola untuk Pengentasan Kemiskinan,
meliputi:
BAB V
Ketentuan Umum
Pengentasan Kemiskinan
BAB V PERIZINAN
BAB VI KEWAJIBAN
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
DR. ANWAR USMAN, S.H., M.H. 2015 “SEMINAR MEMBANGUN POLITIK HUKUM
SUMBER DAYA ALAM BERBASIS CITA HUKUM INDONESIA” Semarang
NASKAH AKADEMIK
FAKULTAS HUKUM
2016-2017