Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

“Di sini negeri kami Tempat padi terhampar, Samuderanya kaya


rayaTanah kami subur tuan...Di negeri permai ini Berjuta Rakyat
bersimbah rugah Anak buruh tak sekolahPemuda desa
takkerja...Mereka dirampas haknyaTergusur dan lapar Bunda relakan
darah juang kami Tuk bebaskan rakyat...Mereka dirampas
haknyaTergusur dan laparBunda relakan darah juang kami Padamu
kami berjanji”1.

Lirik lagu tersebut seolah menggambarkan trjadinya kemiskinan


di negri yang subur ini, kemiskinan meraja lela dari awal yang tak
berujung hingga pada hari ini. Kemiskinan di Indonesia merupakan
satu permasalahan sosial yang sudah ada sejak dahulu kala yang tidak
mudah untuk diatasi. Kemiskinan menjadi suatu fenomena sosial yang
tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang tetapi
juga terjadi di negara-negara yang sudah maju dan mapan di bidang
ekonomi. Kemiskinan memang merupakan akar dari suatu
permasalahan sosial dan tidak dapat dihilangkan.

Kemiskinan dalam kenyataannya selalu dilihat dari sudut


ekonomi, dimana batasan kemiskinan adalah suatu kondisi dimana
orang tidak memiliki harta benda dan memiliki pendapatan dibawah
batasan minimal tertentu. Sedangkan kebudayaan kemiskinan
merupakan kemiskinan yang muncul akibat adanya nilai-nilai atau
kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, contohnya malas,
mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan
sebagainya. Ciri dari kebudayaan miskin ini adalah masyarakat enggan
1
Jhon Tobing, lirik lagu “dara juang”
mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis,
curiga, dan terdiskriminasi oleh masyarakat luas selain itu
masyarakat miskin tidak mempunyai akses langsung menuju pembuat
keputusan, sehingga mereka kurang dapat menyalurkan keluh kesah
mereka tentang kehidupan yang mereka jalani, dari aspek yang tidak
dapat disalurkan tersebut membuat keputusan atau kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah terkesan searah dan menimbulkan ketidak
tepatanya sasaran kebijakan yang semakin menekan rakyat miskin.
Selain budaya negative dari masyarakat yg masih dijalankan
kemiskinan juga diakibatkan oleh sistem, sistem yang menindas
masyarakat yang sedang mau berproses melawan kemiskinan.
Kapitalisme, neoliberalisme degradasi moral pejabat juga membuat
kemiskinan semakin merajalela. kebijakan pemerintah yang
mengutamakan kepentingan ekonomi. Kebijakan ekonomi dalam
investasi modal pada sektor-sektor industri yang tidak berbasis pada
potensi rakyat menutup kesempatan untuk mengembangkan
potensinya dan menjadi akar proses kemiskinan.

Setiap daerah mempunyai permaslahan kemiskinan yang hampir


sama sebab dan akibatnya, Ketidak meratanya pembangunan di
daerah-daerah juga semakin menjadikan bertambahnya kemiskinan.
Dengan dalih pembangunan yang mengatasnamakan kesejahteraan
masyarakat daerah justru kontradiktif pada pelaksanaan atau
realitanya. Adanya pembangunan yang tidak merata ini menyebabkan
penggusuran, eksploitasi alam, kesenjangan sosial dll, yang mana hal
tersebut makin lebih mengakibatkan rakyat daerah menderita.

Lebih merinci pada suatu kabupaten Cola yang mana daerah


tesebut mencapai 19,5 % angka kemiskinan. Miris jika melihat potensi
SDA,SDM yang dimiliki kabupaten tersebut, dari segi SDA dalam
kabupaten tersebut memiliki potensi perairan (pantai laut) dan
pegunungan dengan tanah yang cukup subur yang menjadikan potensi
agrarian yang baik bagi pengembangan perekonomian penduduk asli
kabupaten Cola. Dalam lingkup SDM juga pempunyai ekonomi kreatif
potensi sector industry kerajinan warga asli. Namun dari berbagai
potensi yang dimiliki warga Cola tersbut beberapa tahun belakangan
dilakukan suatu pembangunan oleh pemerintah yang mana
mebyebabkan kemiskinan masyarakat asli makin meningkat,
pembangunan yang mengakibatkan penggusuran ini menyebabkan
hilangnya lahan-lahan pekerjaan yang sudah dilakukan oleh penduduk
asli (nelayan dan petani) adalah korban dari pembangunan tersebut.
Sehingga kemungkinan kemiskinan akan meningkat pada daerah ini.
Ditambah dengan naiknya harga-harga pokok akhir-akhir ini
menyebabkan banyak masyarakat makin tercekik terutama warga
kabupaten Cola.

Sehingga kondisi ini membutukan peran pemerintah dalam


pengelolaan kebijakan untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki
warga Cola. Untuk itulah Naskah Akademik ini disusun agar dapat
menjadi patokan pembuat kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan
dan dengan jalur kebijakan pemerintah yang anti kapitalisme
neoliberalisme dan harus Pro-Rakyat kecil melalui pembentukan
Peraturan Daerah.

Identifikasi Masalah

Masalah yang dapat diidentifikasikan terkait dengan pengaturan usaha


penyediaan sarana pariwisata adalah sebagai berikut:

Belum adanya kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Cola yang


secara terpadu mengatur usaha penyediaan sarana pariwisata yang
berpijak pada kelestarian lingkungan hidup, padahal bidang ini justru
berkembang pesat, dan tentunya perkembangan ini jika dikelola
dengan baik, maka dapat meningkatkan meningkatkan pemasukan
bagi devisa daerah dan meningkatkan perekonomian masyarakat
(kemakmuran dan kesejahteraan). Dampak positif lainnya adalah dapat
memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dan laporan kerja
serta mendorong pembangunan daerah.

Ketiadaan aturan tentang pengaturan usaha penyediaan sarana


pariwisata di Kabupaten Cola ini yang menjadi pemicu pengelolaan
usaha yang menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan
lingkungan hidup dan terganggunya kehormanisan sosial budaya.
Permasalahan tersebut harus dipecahkan atau diselesaikan oleh
Pemerintah Daerah Kabupatendan DPRD melalui pembentukan Perda
Usaha Penyediaan Sarana Pariwisata yang mempertimbangkan seluruh
aspek secara holistik, sistematis dan komprehensif.

Sasaran yang akan diwujudkan dalam penyusunan Naskah Akademik


ini, antara lain sebagai berikut:

Tersusunnya dasar-dasar pemikiran, prinsip-prinsip dasar, materi


muatan Rancangan Peraturan Daerah yang dilandasi kajian ilmiah
dalam bentuk laporan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan
Daerah yang sistematis, komprehensif, holistik, dan futuristik.

Memuat gagasan konkret yang berlandaskan nilai-nilai filosofis,


yuridis, dan sosiologis mengenai pentingnya PerdaKabupaten Cola yang
mengatur Usaha Penyediaan Sarana Pariwisata, sehingga dengan
landasan tersebut Pemerintahan Daerah dapat membentuk Peraturan
Daerah yang berkualitas dan menjadi solusi atas permasalahan sarana
pariwisata yang selama ini terjadi.

Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun


2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur
ketentuan bahwa naskah akademik adalah naskah hasil penelitian
atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu
masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
mengenai pengaturan masalah tersebut dalam Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten. Berdasarkan definisi tersebut tujuan naskah
akademik adalah suatu pengkajian terhadap suatu masalah untuk
memberikan solusi atas masalah tersebut. Solusi tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah.

Artinya tepat bahwa naskah akademik yang di susun ini adalah


rangkaian agenda membangun konstruksi berfikir bahwa bahwa
Peraturan Daerah yang mengaturSarana Wisata menjadi semakin
penting bagi masyarakat, khususnya masyarakat di Cola.Secara
substanstif, penulisan naskah akademik ini dimaksudkan untuk
memberikan justifikasi akademik atas penyusunan Raperda Sarana
Wisata, yang tujuannya adalah:

Sebagai dasar ilmiah penyusunan kebijakan Peraturan Daerah Sarana


Wisata Kabupaten Cola

Melakukan analisis akademik mengenai berbagai aspek dari Peraturan


Sarana Pariwisata yang hendak dirancang dengan melakukan
pengkajian secara mendalam mengenai dasar-dasar yuridis, filosofis
dan sosiologis, dan komitmen politik (politik hukum). Serta mengkaji
taraf harmonisasi dan sinkronisasi peraturan daerah yang hendak
dirancang dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan,
baik pada level di atasnya maupun pada level yang setara. Sehingga
dikemudian hari tidak terjadi permasalahan yang berkaitan dengan
substansi dan proses pembentukan Perda tersebut (misalnya
bertentangan dengan Peratruan yang lebih tinggi atau prosesnya yang
tidak sesuai dengan pedoman penyusunan Perda).

Sebagai wahana yang memuat materi muatan yang di dalamnya


dilengkapi cakupan materi, urgensi, konsepsi, landasan, alas hukum,
prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma
yang disajikan dalam bentuk uraian sistematis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum sesuai politik hukum yang
dikehendaki Pemerintahan Daerah Kabupaten Cola. Sehingga dapat
memberikan kejelasan dan pandu arah mengenai Pembentukan Perda
Sarana Pariwisatadan implementasinya dikemudian hari.

Metode Penulisan Naskah Akademik

Metode yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik ini


adalah metode Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris (Sosio legal),
uraian di bawah ini:

Yuridis Normatif

Metode yuridis normatif digunakan sebagai cara untuk melakukan


pengayaan bahan-bahan dalam penulisan naskah akademis ini. Metode
ini dilakukan dengan mempelajari berbagai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan otonomi daerah, pariwisata dan
sarana pariwisata, buku, dokumen, laporan, dan literatur lainnya.
Metode ini sangat berguna terutama untuk hal yang berkaitan dengan
pengembangan dan pengaplikasian teori-teori dan data yang
menunjang guna menjawab permasalahan yang ada.

Yuridis Empiris

Metode ini merupakan metode sosio legal yang menekankan pada data
primer yang berasal dari lapangan, pengambilan data ini dapat
dilakukan dengan wawancara/ diskusi (focus group discussion) dengan
stakeholderyang terlibat dalam penyelenggaraanpariwisata di
Kabupaten Cola. Wawancara atau FGD bertujuan untuk menggali data-
data primer yang berasal dari lapangan (diskusi dan tanya jawab),
wawancara dapat dilakukan dengan Kepala Dinas Sosial Cola, dan
pihak-pihak yang terkait dengan pariwisata Kabupaten Cola.
Sementara FGD dapat dilakukan beberapa kali dan bertahap (sesuai
materi pembahasan) yang dilakukan selain menggali data primer
mengenai usaha penyediaan pariwisata daerah Kabupaten Cola juga
untuk melihat politik hukum pemerintah daerah, untuk itu FGD harus
dihadiri sekurang-kurangnya beberapa stakeholder, meliputi: (1)
Bagian Hukum Seta Kabupaten Cola; (2) Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, dan SKPD terkait; (3) Pakar Pariwisata Daerah yang
memberikan penilaian kualitas naskah akademik; (4) Masyarakatdan
pemerhati pariwisata; (5) Tim Penyusun Naskah Akademik. Dalam
metode ini, juga dapat digunakan observasi yang mendalam serta
penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum
yang berpengaruh terhadap peraturan daerah.

Secara sistematis penyusunan naskah akademik dilakukan melalui


tahapan-tahapan yang runtut dan teratur. Tahapan yang dilakukan
melalui:Identifikasi permasalahan terhadap pariwisata dan sarana
pariwisata di Kabupaten Cola (penelitian normatif dan empiris)

Inventarisasi data primer dan data sekunder (bahan-bahan hukum)


yang terkait dengan sarana pariwisata.

Sistematika data primer dan sekunder

Analisis data primer dan sekunder bahan hukum.

Perancangan dan penulisan Naskah Akademik dan Rancangan


Peraturan Daerah.

Melalui rangkaian tahapan ini diharapkan mampu memberi


rekomendasi yang mendukung perlunya orientasi pemahaman
terhadap sarana pariwisata di Kabupaten Cola, sehingga penting untuk
dibuat kebijakan hukum melalui Peraturan Daerah yang bekualitas
dan partisipatif.

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Kajian Teoritis

1.Otonomi Daerah Dan Usaha Pengentasan Kemiskinan sesuai UUD

“Keberhasilan besar dalam penurunan angka kemiskinan di abad


ke-20 menunjukkan bahwa kemiskinan yang parah dapat dihapuskan
sepenuhnya pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-
21.”Kemiskinan masih terus menurun pesat, termasuk “kemiskinan
absolut” yang biasa didefinisikan sebagai kondisi di mana penghasilan
seseorang kurang dari satu dolar per hari. Pada 1820, sekitar 85
persen penduduk dunia hidup dengan penghasilan yang setara dengan
nilai tersebut. Menjelang 1950 persentasenya turun hingga menjadi
sekitar 50 persen; pada 1980 menjadi 31 persen. Menurut perhitungan
Bank Dunia, kemiskinan absolut sejak 1980 telah turun dari 31 persen
menjadi 20 persen (atau sering disebut sebesar 24 persen, yang
maksudnya 24 persen dari populasi penduduk di negara-negara
berkembang). Penurunan radikal yang dicapai selama 20 tahun
terakhir ini unik tidak saja terjadi dalam hal proporsi, melainkan juga
dalam hal jumlah total penduduk yang berada dalam kemiskinan
absolut; dan hal ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.
Selama dua dasawarsa terakhir, jumlah penduduk dunia telah
meningkat sebesar satu setengah miliar jiwa, tetapi jumlah penduduk
dalam kategori kemiskinan absolute telah berkurang sebanyak kurang-
lebih 200 juta orang. Penurunan ini berkaitan dengan pertumbuhan
ekonomi. Upaya pengentasan penduduk miskin telah berlangsung
paling efektif di daerah-daerah.

Mantan ekonom Bank Dunia Surjit S. Bhalla baru-baru ini


memublikasikan hasil perhitungannya sendiri, dengan menambahkan
temuan-temuan surveinya dengan data akun nasional. Metode ini,
tukasnya dengan penuh keyakinan, mengukur jauh lebih akurat.
Seperti dilaporkan dalam temuannya, kemiskinan telah menurun tajam
dari tingkat 44 persen pada 1980 menjadi 13 persen di akhir 2002.
Jika angka-angka ini benar, itu berarti selama 20 tahun terakhir telah
terjadi penurunan kemiskinan secara luar biasa yang tidak memiliki
presedennya selama ini—yaitu sebesar dua kali lipat dari capaian
selama rentang 20-tahun yang pernah dicatat. Tujuan PBB dalam
upayanya menekan tingkat kemiskinan hingga di bawah 15 persen
pada 2015 telah tercapai dan terlampaui.2

Namun lebih spesifik membahas kemiskinan di Indonesia


tidaklah mendapat kabar baik seperti data diatas. Masih banyak
permasalahan kemiskinan yang terjadi dan sedang melanda negri ini.
Masalah kemiskinan sesungguhnya berpangkal pada buruknya
distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Karena itu, masalah ini
hanya dapat diselesaikan dengan tuntas dengan cara menciptakan pola
distribusi yang adil. Di mana setiap warga negara dijamin pemenuhan
kebutuhan pokoknya dan diberi kesempatan yang luas untuk
memenuhi kebutuhan sekundernya. Kesalahan sistem ekonomi
Kapitalis yang diterapkan saat ini adalah, bahwa upaya penghapusan
kemiskinan difokuskan hanya pada peningkatan produksi, baik
produksi total negara maupun pendapatan per kapita, bukan pada
masalah distribusi. Maka, sistem ekonomi Kapitalis tidak akan pernah
bisa menyelesaikan masalah kemiskinan karena titik pusat
persoalannya, yaitu distribusi kekayaan, tidak ditata sebagaimana
semestinya. Akibatnya, pemerintahan yang datang silih berganti,
termasuk di Indonesia, selalu mengarahkan pandangan mereka pada
pertumbuhan produksi serta peningkatan pendapatan rata-rata
penduduk, namun tidak pernah memberi perhatian pada persoalan
2
Johan Norbreg, 2011, “Membela Kapitalisme Global” Indonesia, Friedrich-Naumann-
Stiftung für die Freiheit hlm 9
bagaimana kekayaan tersebut didistribusikan dengan adil di tengah
masyarakat. Padahal, dari waktu ke waktu, seiring dengan
meningkatnya produksi, telah terjadi penumpukan kekayaan di tangan
segelintir orang. Pihak yang kuat meraih kekayaan lebih banyak
melalui kekuatan yangmereka miliki. Sedangkan yang lemah
semakinkekurangan, karena kelemahan yang ada pada diri mereka.
Hal ini tak ayal semakin menambah angka kemiskinan.

Banyak yang percaya bahwa liberalisasi dan pertumbuhan


ekonomi menumbuhkan kesenjangan di masyarakat. Sekali lagi, saya
ingin menunjukkan bahwa ini bukanlah hal yang terpenting. Jika
standar hidup yang lebih baik layak diperjuangkan, maka yang penting
adalah seberapa baik hidup Anda, titik. Bukan seberapa baik hidup
Anda dalam perbandingan dengan hidup orang lain. Yang penting
adalah bagi sebanyak mungkin orang standar hidup menjadi lebih
baik, dan bahwa standar hidup semua orang dalam semua tingkatan
dan seluruh golongan masyarakat tidak memburuk hanya karena
peningkatan dan perbaikan standar hidup sebagian orang terjad lebih
cepat dari yang lain. Namun demikian, memang ada beberapa alasan
mengapa kesenjangan layak dituju. Pertama, sebagian besar kita
mungkin percaya bahwa seharusnya kesenjangan dalam memulai
perjalanan kehidupan tidak terlalu timpang. Adalah penting bahwa
setiap orang memiliki kesempatan yang sama—memang tidak
sedemikian penting sehingga kita harus mengurangi kesempatan orang
lain agar sesetara mungkin, tetapi cukuplah penting untuk membuat
kita menyadari bahwa kesenjangan sosial yang hebat adalah sebuah
persoalan. Dengan demikian, hal ini merupakan keberatan yang
penting untuk dicermati. Alasan lainnya adalah bahwa pada
kenyataannya kesetaraan itu merangsang pertumbuhan; ini lumayan
bertentangan dengan klaim yang sering kita dengar. Benar, di
masyarakat miskin sedikit ketimpangan mungkin diperlukan agar
setiap orang dapat mulai menabung dan menanam modal; tetapi
banyak penelitian telah menunjukkan bahwa masyarakat dengan
tingkat kesetaraan yang tinggi berhasil mencapai rerata pertumbuhan
ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang tidak
setara, khususnya jika kesenjangan ini berupa ketimpangan dalam hal
kepemilikan tanah. Satu alasan di balik kaitan ini adalah bahwa
masyarakat dengan kesetaraan yang lebih tinggi dapat diperkirakan
memiliki stabilitas yang lebih besar dan guncangan politik yang lebih
kecil. Kesenjangan dapat menimbulkan konflik atau tuntutan untuk
meningkatkan pajak dan redistribusi, yang merupakan ancaman bagi
pertumbuhan.

Kemiskinan memang merupakan akar dari suatu permasalahan


sosial dan tidak dapat dihilangkan, tetapi masih bisa diminimalisir.
Kemiskinan yang dapat diminimalisir tersebut adalah kemiskinan yang
disebabkan karena faktor-faktor struktural yang menyebabkan
pemiskinan.

Kemiskinan dalam kenyataannya selalu dilihat dari sudut


ekonomi, dimana batasan kemiskinan adalah suatu kondisi dimana
orang tidak memiliki harta benda dan memiliki pendapatan dibawah
batasan minimal tertentu. Sedangkan kebudayaan kemiskinan
merupakan kemiskinan yang muncul akibat adanya nilai-nilai atau
kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, contohnya malas,
mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan
sebagainya. Ciri dari kebudayaan miskin ini adalah masyarakat enggan
mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis,
curiga,  dan terdiskriminasi oleh masyarakat luas.

Selama ini banyak perbedaan persepsi tentang kemiskinan. Adanya


perbedaan tersebut, maka perlu adanya pembatas. Banyak instansi
lembaga pemerintah yang mengartikan kemiskinan dari sudut sudut
pandang yang berbeda-beda.
Definisi kemiskinan menurut Bappenas yaitu miskin berarti tidak
mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermatabat. Sedangkan menurut
BPS, pengertian kemiskinan adalah bilamana jumlah rupiah yang
dikeluarkan atau dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
kurang dari 2.100 kalori perkapita. Berdasarkan Bank
Dunia, kemiskinan adalah dengan tidak tercapainya kehidupan yang
layak dengan penghasilan 1,00 dolar AS perhari. Berbeda lagi dengan
pengertian dari BKKBN, menurut BKKBN keluarga dinilai miskin jika : 

a. Tidak mampu makan dua kali sehari.


b. Tidak memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja atau
sekolah dan bepergian. 
c. Tidak bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah.
d. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut keyakinannya

Jenis-Jenis Kemiskinan

Dalam hal ini kemiskinan dibedakan menjadi: 

Kemiskinan absolut, apabila hasil pendapatannya berada di bawah


garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan.

Kemiskinan relatif, merupakan kemiskinan yang dilihat berdasarkan


perbandingan antara sesuatu tingkat pendapatan lainnya. Contohnya,
seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu
bisa jadi termiskin pada masyarakat desa yang lain.

Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah bahwa


budaya kemiskinan merupakan efek dari belenggu kemiskinan
struktural yang menghinggapi masyarakat terlalu lama, sehingga
membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu
terjadi adalah takdir. Contoh kemiskinan ini terdapat pada masyarakat
pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal
lainnya.

Penelitian tentang kemiskinan yang selama ini cenderung


dilakukan pada batas angka statistik makro yang kurang mendalam
serta tidak mendetail dalam mengungkap latar belakang masyarakat
miskin. Akibatnya hasil dari penelitian selama ini tidak dapat melihat
persoalan secara komprehensif mengenai dimensi-dimensi kemiskinan,
karena sesungguhnya persoalan kemiskinan terkait dan saling
mempengaruhi dengan persoalan lainnya. Beberapa faktor sebagai
penyebab kemiskinan antara lain :

Kelembagaan : rakyat miskin tidak memiliki akses langsung menuju


pembuat keputusan dan kebiijakan, disisi lain kelembagaan yang ada
tidak pernah menjaring atau menyalurkan aspirasi yang muncul dari
bawah, dan setiap kebutuhan rakyat miskin sudah didefinisikan dari
atas oleh kelembagaan yang ada sehingga kemiskinan tidak dapat
terselesaikan.

Regulasi : kebijakan pemerintah yang mengutamakan kepentingan


ekonomi. Kebijakan ekonomi dalam investasi modal pada sektor-sektor
industri yang tidak berbasis pada potensi rakyat menutup kesempatan
untuk mengembangkan potensinya dan menjadi akar proses
kemiskinan.

Good governance : tidak adanya transparansi atau keterbukaan pada


pembuatan kebijakan yang mengakibatkan kebijakan hanya bisa
diakses oleh orang-orang tertentu.segala bentuk regulasi diputuskan
oleh lembaga-lembaga pembuat kebijakan tanpa mengikut para pelaku
yang terlibat dan tidak memahami aspirasi masyarakat miskin
sehingga kebijakan yang muncul tidak mendukung rakyat miskin.

Ancaman lainya adalah Gelombang globalisasi menghempas


seluruh negara-negara dunia. Indonesia tidak dapat menghindar dari
imbasnya. Di bidang ketatanegaraan Republik Indonesia, konstitusi
dituntut untuk menyesuaikan perkembangan global tersebut.
Akibatnya, Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah dilakukan sebanyak 4 kali dari tahun 1999 sampai tahun 2002.
Ketentuan tentang Sistem Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan
Rakyat yang antara lain diatur dengan Pasal 33 UUD NRI 1945 telah
diamandemen. Perbandingan antara Pasal 33 UUD NRI 1945
praamandemen dan pascaamandemen adalah sebagai berikut:

Pasal 33 UUD 1945 Pasal 33 UUD NRI 1945

PRAAMANDEMEN PASCAAMANDEMEN

Perekonomian disusun Perekonomian disusun sebagai usaha


sebagai usaha bersama bersama berdasar atas asas
berdasar atas asas kekeluargaan.
kekeluargaan.

Cabang-cabang produksi Cabang-cabang produksi yang penting


yang penting bagi negara dan bagi negara dan menguasai hajat
menguasai hajat hidup orang hidup orang banyak dikuasai oleh
banyak dikuasai oleh negara; negara;

Bumi dan air dan kekayaan Bumi dan air dan kekayaan yang
yang terkandung di dalamnya terkandung di dalamnya dikuasai oleh
dikuasai oleh negara dan negara dan dipergunakan untuk
dipergunakan untuk sebesar- sebesar-besar kemakmuran rakyat.
besar kemakmuran rakyat.

Perekonomian nasional diseleng-


garakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian serta
dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.

Ketentuan lebih lanjut mengenai


pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.

Sebelum Pasal 33 UUD 1945 diamandemen, sistem perekonomian


Indonesia hendak dikembangkan dengan memenuhi beberapa prinsip
ayat (1), (2), dan (3) sebagai kerangkanya. Berdasar ayat-ayat tersebut
politik hukum perekonomian nasional Indonesia hendak diarahkan
pada sebuah konstruksi perekonomian yang disebut Sosialisme
Indonesia. Politik hukum demikian jelas menolak penguasaan bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh perorangan
atau swasta sebagaimana dituangkan dalam Penjelasan Umum UUD
Negara Republik Indonesia sebelum diamandemen.

Setelah Pasal 33 UUD 1945 diamandemen, terdapat


penambahan, yaitu ayat (4)dan ayat (5), sedangkan ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) masih tetap sama. Ayat 4 merupakan sarana untuk
mengadopsi prinsip-prinsip perekonomian modern dengan berbagai
indikator ekonomi global yang sebenarnya berjiwa liberal-kapitalistik,
misalnya prinsip efisiensi (laba, anti subsidi), berkeadilan (individual),
dan kemandirian (tanggung jawab individual). Jadi melalui
penambahan ayat (4), politik hukum perekonomian nasional Indonesia
telah mengalami pergeseran dari Sosialisme Indonesia ke Neo-
Sosialisme Indonesia dengan berdasar pada konsep Good Corporate
Governance yang memiliki ciri-ciri akuntabilitas, transparansi dan
demokrasi. Perekonomian Indonesia dihadapkan gelombang globalisasi
yang mempunyai kecenderungan kepada ekonomi global. Ekonomi
global yang cenderung menganut aliran liberal kapitalistik atau sistem
kapitalis global menuntut adanya privatisasi pada hampir segala lini
kehidupan perekonomian suatu negara. Asumsi yang muncul adalah
bahwa privatisasi tersebut dilakukan agar perusahaan luar negeri,
investor asing dapat masuk sebagai penanam modal atau saham
sekaligus menanamkan pengaruhnya pada skala ekonomi nasional.
Indonesia termasuk negara di Asia yang memiliki hutang luar negeri
yang cukup besar. Hutang tersebut berasal dari negara-negara donor
yang tergabung dalam International Monetery Fund (IMF) dan
Consultative Group on Indonesia (CGI) atau pun World Bank.
Pinjaman yang diberikan oleh IMF, CGI maupun World Bank memiliki
persyaratan khusus yang antara lain adalah privatisasi pada beberapa
bidang perekonomian, salah satunya yaitu investasi di bidang SDA 3.

UUD 1945 juga sebagai hukum tata negara yang berlaku dan
mendasari seluruh segi penyelenggaraan negara, bukan saja
merupakan konstitusi politik, melainkan juga konstitusi sosial,
konstitusi ekonomi, dan konstitusi ekologi atau green constitution.

Pertama, sebagai konstitusi politik, UUD 1945 mengatur


mengenai susunan kenegaraan, hubungan antar lembaga negara dan
hubungannya dengan warga negara. Dalam hal ini, seluruh
penyelenggaraan aktivitas politik didasarkan pada UUD 1945. Pilihan
sebagai negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat, sekaligus negara
nomokrasi yang berkedaulatan hukum, telah final ditetapkan. Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa ”Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Seiring
dengan itu, Pasal 1 ayat (3) menyatakan “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Dalam kerangka demikian, maka demokrasi harus
dilaksanakan dalam koridor hukum, agar tidak liar dan anarkis.
Hukum dibuat dan dirumuskan dalam proses dan substansi
demokratis.

3
Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum, 2015 “PENGGERUSAN KEDAULATAN NEGARA ATAS AIR”
Seminar UNDIP
Kedua, sebagai konstitusi sosial, UUD 1945 menjadi pedoman
utama bagi masyarakat dalam relasinya dengan warga negara yang
lain, terutama dalam pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai warga
negara. Jika pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut dikaitkan
dengan hak asasi manusia (HAM), maka implementasi HAM berdasar
UUD 1945, haruslah didasarkan pada asas keseimbangan dengan
kewajiban asasi manusia. Maksudnya, HAM dapat dituntut dan
dipenuhi manakala seseorang menunaikan pula kewajiban asasinya.
Dengan kata lain, dalam koridor UUD 1945, tegaknya HAM di negara
ini amat ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan hak asasi
dengan kewajiban asasi. Keseimbangan demikian menjadi indikasi dan
penunjuk derajat moral martabat manusia.

Ketiga, UUD 1945 merupakan konstitusi ekonomi. Sebagai


konstitusi ekonomi, UUD 1945 menentukan, sekaligus mengarahkan
sistem perekonomian nasional. Membaca UUD 1945, maka akan
dijumpai secara jelas karakternya sebagai konstitusi ekonomi, karena
UUD 1945 memuat pengaturan tentang sistem dan prinsip-prinsip
dasar perekonomian dalam bab tersendiri. Dalam UUD 1945,
pengaturan mengenai perekonomian nasional dikelompokkan dengan
kesejahteraan sosial. Bahkan, judul Bab XIV dipertegas menjadi
“Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”4.

-UU no. 32 tahun 2004

Gerakan Reformasi tahun 1998 menuntut adanya transparansi,


demokratisasi dan akuntabilitas. Tuntutun ini melahirkan otonomi
daerah yang yang diharapkan mewujudkan lingkungan yang lebih baik.
Undang-Undang Pemerintah Daerah no 22 tahun 1998 dan kemudian
direvisi menjadi Undang-Undang no 32 tahun 2004 menempatkan

4
DR. ANWAR USMAN, S.H., M.H. 2015 “SEMINAR MEMBANGUN POLITIK HUKUM SUMBER
DAYA ALAM BERBASIS CITA HUKUM INDONESIA” Semarang
aspek lingkungan dalam kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Kota.
Secara teoritis, otonomi akan membantu mewujudkan lingkungan yang
lebih baik, sebagaimana didambakan oleh Prof Otto Soemarwotto dalam
bukunya ADS (Atur Diri Sendiri): Pengelolaan Lingkungan Hidup Masa
Depan. Dengan otonomi mata rantai perencanaan dan pengawasan
menjadi pendek. Pemerintah Kota/ Kabupaten merencanakan dan
melaksanakan sendiri. Mereka lebih mengetahui tentang kondisi
daerahnya. Prof Otto juga berpandangan bahwa dengan otonomi
daerah, sense of ownership pimpinan daerah akan lebih tinggi. Tidak
mungkin mereka akan merusak kondisi lingkunganya sendiri. Dalam
pandangan Prof Otto, Atur Diri Sendiri adalah sebuah mekanisme
dimana berbagai stakeholders bersama-sama merumuskan tentang
masa depan daerahnya. Pola manajemen ADS sesungguhnya terjadi
pada masyarakat tradisional tempo doeloe yang memiliki kearifan lokal
dalam mengelola lingkungan seperti masyarakat Badui yang masih
memegang tradisi pikukuh, masyarakat kampung Naga menjalankan
tradisi karuhun, petani Jawa mempraktekkan nyabuk gunung,
sedangkan petani Sunda dengan ngais gunung.

Era reformasi yang melahirkan otonomi daerah ternyata tidak


merubah paradigma pembangunan. Sumber daya alam masih
dipandang sebagai aset untuk menopang perolehan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Kelembagaan lingkungan didaerah juga sangat
tergantung pada visi Kepala Daerah yang sebagian besar berorientasi
pada peningkatan PAD. Hal ini diperburuk oleh proses terpilihnya
Kepala Daerah yang memerlukan biaya politik yang sangat tinggi. Jika
di era Oder Baru yang menonjol fenomena ego sektor, di era otonomi
daerah adalah ego daerah. Dua fenomena ini menghambat terwujudya
pembangunan berkelanjutan karena lingkungan hidup bercirikan multi
sektor dan multi kepentingan, sehingga harus dikelola berdasarkan
prinsip eco-region atau pewilayahan lingkungan.
Konflik-konflik lingkungan di era reformasi menunjukkan
bentuknya yang makin beragam. Konflik tidak lagi terbatas antara
masyarakat dengan pemerintah atau dengan dunia usaha, tetapi telah
muncul konflik antara pemerintah dengan pemerintah (antar sektor,
sektor dengan daerah), antar daerah (antar pemerintah Kota/
Kabupaten), antar masyarakat. Sementara itu, konflik antara
masyarakat dengan pemrakarsa/ dunia usaha masih terus muncul di
permukaan dengan intensitas yang lebih tinggi.

Implikasi orientasi pada pertumbuhan baik pada pemerintahan


Orde Baru maupun reformasi, sikap ego sektor dan ego daerah memicu
berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan. Berikut ini berbagai
evidence. Terjadi peningkatan polutan termasuk limbah B3 di udara
dan air. Berdasarkan pemantauan 30 Bapedal provinsi , kualitas air di
35 sungai di Indonesia telah tercemar berdasarkan kriteria mutu air
kelas 2. Sementara itu menurut Kuswanto (2013) dari segi kuantitas,
ketersediaan air pada tahun 2003, pada musim kemarau hanya dapat
memenuhi 66% dari kebutuhan di Pulau Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara. Pada tahun 2020 diperkirakan proporsinya menurun
menjadi 57,4%. Krisis air dipicu oleh kerusakan kawasan lindung,
hilang dan berkurangnya kawasan resapan air, alih fungsi lahan dan
kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Kualitas udara di Jakarta, Medan, Bandung, Pekanbaru, Jambi


termasuk kategori baik selama setahun hanya 22 hari. Kadar
pencemaran udara 36 kali lipat diatas standar WHO. Sebagaimana
dikutip dari Buku Status Lingkungan Hidup 2012, data dari 33 ibukota
provinsi selama tahun 2006-2012 menunjukkan konsentrasi NO2
cenderung naik. Hal ini disebabkan karena pembakaran bahan bakar
fosil yang terus meningkat terutama dari kendaraan bermotor.
Disebutkan pula bahwa kota-kota yang padat penduduknya
menunjukkan konsentrasi NO2 lebih besar, sedangkan kota-kota
dengan aktivitas industri menunjukkan konsentrasi SO2 lebih tinggi
dibanding kota-kota lainya. Pemantauan udara disejumlah kota besar
menunjukkan bahwa kualitas menurun yang berdampak pada
kesehatan, pertumbuhan hutan, mengurangi jarak pandang dan
merusak bangunan.

Selama kurun waktu tahun 2005-2006, terjadi peningkatan


produksi sampah sebesar 20,9 %.Tahun 1995 baru 08,8 kg per kapita
per hari, tahun 2000 1 kg per kapita per hari, tahun 2020 diperkirakan
2,1 kg per hari. Menurut data dari Status Lingkungan Hidup Indonesia
2012, menunjukkan bahwa volume sampah per hari tahun 2010
mencapai 200.000 ton dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 490
000 ton per hari atau 178 850 000 ton setahun. Volume B3 sebanyak
26.514.833 ton, dimana industri kimia hilir menyumbang sebesar
3.282.641 ton, industtri kimia hulu 21.066.246 ton, industri logam dan
mesin tekstil aneka 1.742.996 ton, IKM 423 ton. Disamping itu
Indonesia juga mengimpor B3 Jepang, China, Australia, Jerman,
Perancis, India, Belanada, Korea Selatan , Singapura dan Inggris.
Hanya 10% terumbu karang yang dalam kondisi baik. Hutan mangrove
tersisa 1,5 juta ha pada tahun 2005 dari 3,7 juta ha pada tahun 1995.
Kerusakan hutan mencapai 59,2 juta hektar.Laju deforestrasi
mencapai 1,19 juta hektar per tahun. Luas lahan kritis 23,2 juta ha
pada tahun 2000 menjadi 74 juta hektar pada tahun 2004.Kondisi
sumber hayati laut pada tahun 2005, 5,83% dalam kondisi sangat
baik, 25 % baik, 26,59% sedang dan 31% dalam kondisi rusak.Sampai
tahun 2006 terjadi 195 bencana, dengan perincian 22 % banjir, 15
tanah longsor dan 13 % kekeringan. Menurut data susenas tahun
2006, jumlah penduduk miskin mencapai 39,05 juta atau
17,75%.Jumlah penduduk miskin yang tiggal disekitar hutan mencapai
sepertiga.

Sebagaimana nampak pada bagan diatas, tantangan dalam


kebijakan dan implementasi pembangunan berkelanjutan selain faktor-
faktor yang telah diuraikan seperti orientasi pada pertumbuhan, ego
sektor dan ego daerah, juga di tataran hulunya tidak ditopang oleh tata
pemerintahan lingkungan yang baik (good environmental governance).
Di kalangan legislatif, belum nampak upaya menginternalisasikan
aspek lingkungan dalam melaksanakan fungsi pengawasan, legislasi
dan budgeting. Birokrasi yang profesional dan responsif, yang mampu
mensinergikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan baru nampak
pada sebagian kecil Pemerintah Provinsi, Kota dan Kabupaten. Kondisi
ini ditengarai karena proses demokrasi transaksional dalam pemilu
legislatif dan pilkada. Para anggota dewan, kepala daerah lebih
disibukkan untuk menghimpun dana sebagai kompensasi untuk
membayar biaya politik yang tinggi yang telah mereka keluarkan pada
waktu kampanye. Disisi lain, peradilan yang bebas dan tidak
memihak masih menjadi dambaan. Keputusan-keputusan tentang
sengketa lingkungan hidup seringkali menempatkan lingkungan pada
pihak yang kalah. Hal ini disebabkan juga oleh pemahaman para
penegak hukum tentang lingkungan hidup masih minim. Sementara
itu, gerakan masyarakat untuk menuntut lingkungan yang bersih dan
sehat makin menguat. Namun demikian, diantara komponen
masyarakat sipil seperti tokoh masyarakat, pers, LSM, akademisi
belum bersinergis dengan baik.

Pada skala global, fenomena global warming dan perubahan


iklim yang mengancam kelestarian lingkungan mampu menumbuhkan
kesadaran baik dikalangan Pemerintah, dunia usaha maupunn
masyarakat. Strategi yang tertuang dalam RAN (Rencana Aksi Nasional)
dan RAD (Rencana Aksi Daerah) yang meliputi mitigasi dan adaptasi
telah dicanangkan dan diimplementasikan. Gerakan lingkungan dan
keswadayaan masyarakat juga tumbuh di berbagai tempat. Program
Proper (Peringkat Kinerja Perusahaan) dan Adipura (Kota Terbersih)
yang merupakan bentuk pengelolaan lingkungan insentif (naming) dan
disinsentif (shaming) mampu menjadi daya tarik Pemerintah Kota dan
Kabupaten untuk mengelola kotanya dengan baik. Kota Surabaya
menjadi contoh pengelolaan kota, bukan hanya menghasilkan berbagai
penghargaan tingkat nasional dan internsional, tetapi juga kota ini
nyaman, teduh, asri dan manusiawi bagi warga kota dan
pengunjungnya.

Kelembagaan SDA dan lingkungan di tingkat pusat seperti


ESDM, Lingkungan Hidup, Kehutanan, Pertanian, Agraria dan Tata
ruang harus memiliki persepsi yang sama tentang pembangunan
berkelanjutan. Kewenangan pemerintah provinsi harus kuat dan
mampu menjadi simpul Kabupaten dan Kota dalam implementasi eco-
region. Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan harus
dilakukan kepada semua pilar tata pemerintahan (governance) mulai
dari DPR, Pemerintah, Lembaga Peradilan dan masyarakat sipil agar
tercipta tata kelola pemerintahan lingkungan yang baik (good
environmental governance). Good governance mempersyaratkan
kemampuan melakukan check and balance diantara elemen bangsa
yang meliputi komponen Negara (eksekutif, legislative dan yudikatif),
komponen dunia usaha (perbankan, koperasi, BUMN, BUMD,
perusahaan swasta) dan komponen masyarakat sipil yang meliputi
akademisi, wartawan, tokoh masyarakat dan LSM. Prasyarat good
governance meliputi lembaga perwakilan yang efektif, sistem peradilan
yang netral dan tidak memihak, birokrasi yang bersih dan responsive,
desentralisasi yang demokratis, masyarakat sipil yang kuat dan
partisipatif serta tersedianya mekanisme penyelesaian konflik yang
memadai5.

PENANGANAN KEMISKINAN DIINDONESIA

Untuk mendorong perekonomian rakyat, banyak para ahli yang


menyarankan agar paket-paket deregulasi dapat secara langsung
membantu atau mendorong tumbuhnya perekonomian rakyat,
5
SUDHARTO P.HADI, 2015 “BAG. HUKUM DAN MASYARAKAT FH” , Semarang
sekaligus untuk mengatasi kesenjangan antara golongan ekonomi kuat
dengan golongan ekonomi lemah. Untuk itu, selain perlunya peranan
pemerintah, maka pengembangan keswadayaan masyarakat juga
penting artinya. Pengembangan keswadayaan masyarakat selain
memerlukan kebijakan publik yang menyentuh kepentingan
masyarakat, inisiatif dari bawah, yang berasal dari masyarakat, juga
diperlukan. Program perkreditan, seperti Kredit Investasi Kecil (KIK),
Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit
Umum Pedesaan (Kupedes), dan program perkreditan lainnya yang
melekat dengan program BIMAS dan INMAS merupakan bagian dari
usaha menggerakkan ekonomi rakyat. Namun hal tersebut masih perlu
dikembangkan dan masih memerlukan kajian, terutama yang
menyangkut efektifivitasnya. Kebijakan perkreditan untuk golongan
ekonomi lemah ini sering mendapat kritikan, terutama faktor bunga
yang terlalu tinggi atau bunga terlalu rendah, sehingga tidak
mendorong petani untuk menggunakan fasilitas kredit tersebut untuk
meningkatkan usaha produktif. Kebijakan ekonomi makro juga
mempengaruhi proses pemerataan adalah kebijakan di sektor
perpajakan. Pertanyaan yang sering muncul adalah sejauh mana
kebijakan di sektor perpajakan dapat mengurangi beban golongan
ekonomi lemah dan sejauh mana pengalokasian penerimaan pajak
dalam program-program yang berkaitan dengan pengentasan
kemiskinan. Sistem perpajakan progresif yang telah diberlakukan
dinilai positif untuk dikembangkan terus, karena selama ini kebijakan
sektor tersebut dianggap masih belum adil. Sebagai contoh, golongan
masyarakat miskin membayar pajak hampir sama dengan masyarakat
yang tingkat penghasilannya sekitar 10 kali lipat.

Proyek-proyek Inpres juga merupakan salah satu sarana yang


dapat dimanfaatkan untuk mendorong program pengentasan
kemiskinan, namun efektivitas dan manfaatnya terhadap golongan
masyarakat miskin masih perlu ditingkatkan. Program Inpres Desa
Tertinggal (IDT) yang dikenalkan mulai awal tahun sembilan puluhan
merupakan upaya mendorong perekonomian rakyat, terutama untuk
meningkatkan kemampuan permodalan dan usaha masyarakat miskin.
Mengingat keberadaan program ini masih pada tahap permulaan, maka
perkembangan dan keberhasilannya masih memerlukan pengamatan
lebih lanjut. PENUTUP Memang ironis bahwa walaupun kemiskinan
merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban manusia, tapi
pemahaman terhadapnya dan upaya untuk mengentaskannya belum
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Bahkan, dengan terjadinya
krisis ekonomi di Indonesia orang miskin "baru" semakin bertambah.
Kemiskinan yang mereka alami memang tidak hanya sebatas
kemiskinan secara ekonomi, melainkan juga kemiskinan non-ekonomi
seperti terbatasnya akses terhadap pengetahuan dan ketrampilan,
produktifitas yang rendah, nilai tukar yang rendah dari komoditi yang
dihasilkan serta terbatasnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan. Dan itu tidak dapat diselesaikan hanya dengan
pembangunan ekonomi atau bantuan finansil, melainkan yang lebih
utama pemberdayaan agar mereka dapat mandiri dan mengubah
nasibnya sendiri seperti yang ingin dicapai dalam proyek P2KP. Proyek
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) adalah suatu
prakarsa baru Pemerintah Indonesia untuk menanggulangi persoalan
kemiskinan di perkotaan. Proyek ini dirancang dengan pengertian,
untuk menanggulangi kemiskinan secara berlanjut, upaya-upaya yang
paling penting harus dilakukan oleh komunitas sendiri, terutama pada
tingkat kelurahan. Pemberdayaan komunitas ini termasuk menangani
masalah kemiskinan juga terbentur inarticulate secara politik.
Sebagian besar desa-desa yang terpencil atau perkampungan tidak
terlihat oleh elit pemerintah. Menyediakan sumber daya yang cukup,
memindahkan pembuat keputusan dan tanggung jawab ke tangan
komunitas sendiri, meningkatkan kepercayaan dan transparansi. Oleh
karena itu unsur perkuatan organisasi antar dan intra masyarakat
dalam proyek mendapat perhatian khusus. Ini diwujudkan dalam
bentuk pendampingan, counselling dan pelatihan. Kalaupun terdapat
input eksternal berupa penyediaan dana bergulir (revolving fund) untuk
kegiatan pengembangan ekonomi dan prasarana skala kecil, namun
peruntukan diprioritaskan bagi 30% dari jumlah rumah tangga pada
wilayah kerja yang menjadi sasaran. Selebihnya proyek ini
menekankan pada pemberdayaan komunitas dalam jangka panjang
melalui perbaikan peran dan tanggungjawab kolektif dalam mengenali
tuntutan lokal, merumuskan langkah-langkah lokal, dan
melaksanakannya. Dalam kaitan ini, pemerintah yang direprentasikan
dalam bentuk proyek P2KP "hanya" memfasilitasi proses dalam bentuk
bantuan teknik dari konsultan.6

Membangun dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi


masyarakat miskin. fokus ini bertujuan melindungi penduduk miskin
dari kemungkinan ketidakmampuan menghadapi guncangan sosial dan
ekonomi. Program teknis yang di buat oleh pemerintah seperti ;

1. Bantuan sosial untuk masyarakat rentan, korban bencana alam,


dan korban bencana sosial
2. Penyediaan bantuan tunai bagi rumah tangga sangat miskin
(RTSM) yang memenuhi persyaratan (pemeriksaan kehamilan
ibu, imunisasi dan pemeriksaan rutin BALITA, menjamin
keberadaan anak usia sekolah diSD/MI dan SMP/MTs dan
penyempurnaan pelaksanaan pemberian bantuan sosial kepada
keluarga miskinRTSM )perluasan Program Keluarga harapan
PKH.
3. Pendataan pelaksanaan PKH (bantuan tunai bagi RTSM yang
memenuhi persyaratan)

Berikut ini adalah program-pogram pemerintah dalam menanggulagi


kemiskinan di Indonesia.

6
“ Pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakath” www.kemsos.go.id februari 2009
1. Anggaran untuk program-rogram yang berkaitan langsung
maupun tidak langsung dengan penanggulangan kemiskinan
dan pengangguran dilaksanakan dengan pendekatan
pemberdayaan berbasis komunitas dan kegiatan padat karya.
2. mendorong APBD propinsi, kabupaten dan kota pada tahun-
tahun selanjutnya untuk meningkatkan anggaran bagi
penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja
3. Tetap mempertahankan program lama sepertI;
a. BOS (Bantuan Oprasional Sekolah)
b. RASKIN (BERAS MISKIN)
c. BLT (Bantuan Langsung Tunai)
d. Asuransi Miskin,dsb
4. Akselerasi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga
khususnya harga beras
5. memberikan kewenangan yang lebih luas kepada masyarakat
dalam pengambilan keputusan pembangunan.
6. sinergi masyarakat dengan pemerintah dalam
penanggulangan kemiskinan
7. Mendayagunakan potensi dan sumberdaya lokal sesuai
karakteristik wilaya.
8. menerapkan pendekatan budaya lokal dalam proses
pembanguna
9. Prioritas kelompok masyarakat paling miskin dan rentan pada
desa-desa dan kampung-kampung paling miskin
10. Kelompok masyarakat dapat menentukan sendiri kegiatan
pembangunan yang dipilih tetapi tidak tercantum dalam
negative list
11. Kompetitif desa-desa dalam Kecamatan haus berkompetisi
untuk memperbaiki kualitas

Ada beberapa program yang perlu dilakukan agar kemiskinan di


Indonesia bisa dikurangi.
a. meningkatkan pendidikan rakyat. sebisa mungkin pendidikan harus
terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia. Banyaknya sekolah yang
rusak menunjukkan kurangnya pendidikan di Indonesia. Tentu bukan
hanya fisik, bisa jadi gurunya pun kekurangan gaji dan tidak mengajar
lagi.

b. Pembagian tanah lahan pertanian untuk petani. Paling tidak


separuh rakyat (sekitar 100 juta penduduk)'ndonesia masih hidup di
bidang pertanian. Menurut Bank Dunia, mayoritas petani Indonesia
memiliki lahan kurang dari 2,3 hektar. Bahkan ada yang tidak punya
tanah dan sekedar jadi buruh tani. Kadang terjadi tawuran antar desa
hingga jatuh korban jiwa hanya karena memperebutkan lahan
beberapa hektar.

c. stop eksploitasi atau pengurasan kekayaan alam oleh perusahaan


asing. Kelola sendiri. Banyak kekayaan alam kita yang dikelola oleh
asing dengan alasan kita tidak mampu dan sedang transfer teknologi.
Kenyataannya dari tahun 1900 hingga saat ini ketika minyak hampir
habis kita masih “transfer teknologi”.

Kajian terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma

Proses pembentukan Perda yang dimulai dari prakarsa hingga


pengesahan tersebut juga harus merujuk pada asas-asas hukum
pembentukan undang-undang, dalam Pasal 5Undang-undang No.12
Tahun 2011. Pasal 5 mengenai asas-asas pembentukan peraturan
daerah di bawah ini:

Asas Kejelasan Tujuan, artinya bahwa Perda harus mempunyai tujuan


yang jelas yang hendak dicapai.

Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, artinya bahwa


Perda harus dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten
Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, artinya bahwa
Perda harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hierarki Perda;

Dapat dilaksanakan, artinya bahwa harus memperhitungkan efektivitas


tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis.

Kedayagunaan dan kehasilgunaan, artinya bahwa Perda dibuat karena


memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

Kejelasan rumusan, artinya bahwa Perda harus memenuhi persyaratan


teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya;

Keterbukaan, artinya bahwa Perda mulai dari perencanaan,


penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan
daerah tersebut.

Asas-asas hukum materiil peraturan perundang-undangan yang baik


dapat berupa asas terminologi dan sistematika yang jelas, asas dapat
dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian
hukum, dan asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan
individual.7. Selain itu, Pasal 6 Undang-undang No.12 Tahun
2011berkaitan dengan proses penentuan materi undang-undang,
bahwa materi muatan undang-undang harus mencerminkan asas,
yaitu:

Yuliandri, Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik:


7

Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.114


Asas Pengayoman, artinya bahwa materi Perda harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.

Asas Kemanusiaan, artinya bahwa materi harus mencerminkan


pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional;

Asas Kebangsaan, artinya bahwa materi Perda harus mencerminkan


sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Asas Kekeluargaan, artinya bahwa materi harus mencerminkan


musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan;

Asas Kenusantaraan, artinya bahwa materi Perda senantiasa


memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia (secara khusus
wilayah Kabupaten Cola) dan materi muatan peraturan daerah usaha
penyediaan sarana pariwisata yang dibuat di daerah merupakan bagian
dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945;

Asas Bhinneka Tunggal Ika, artinya bahwa materi Perdaharus


memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan,
kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;

Asas Keadilan, artinya bahwa materi Perda harus mencerminkan


keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

Asas Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, artinya


bahwa Perda tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.

Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum, artinya bahwa materi harus


dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum.

Asas Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, artinya bahwa


materi Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan
bangsa dan negara.

Asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing.

Secara spesifik, Undang-undang No.10 Tahun 2009 tentang


Kepariwisataan sebagai landasan yuridis pembentukan Peraturan
Daerah Kabupaten Cola juga telah mengatur asas-asas penyelengaraan
pariwisata, meliputi: asas manfaat; asas kekeluargaan; asas adil dan
merata; asas keseimbangan; asas kemandirian; asas kelestarian; asas
partisipatif; asas berkelanjutan; asas demokratis; asas kesetaraan; dan
asas kesatuan. Dalam pembentukan Peraturan daerahmengenai usaha
penyediaan sarana pariwisata, maka asas-asas tersebut di atas harus
menjadi pedoman (directives) dalam proses pembuatan Perda
mengingat fungsinya yang penting dalam persyaratan kualitas aturan
hukum, sehingga Perda yang dihasilkan memiliki efektivitas dari segi
pencapaian tujuan (doeltreffendheid), pelaksanaan (uitvoerbaarheid)
dan penegakan hukumnya (handhaafbaarheid) 8asas-asas umum
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik merupakan
asas-asas yang berfungsi untuk memberikan pedoman dan bimbingan
bagi penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang
sesuai, sehingga tepat penggunaan metode pembentukannya, serta

8
Menurut A.Hamid S Attamimi, 1990, Disertasi “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Dalam Menyelenggarakan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I- Pelita IV, Program Doktor Fakultas Pasca
Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.331
sesuai dengan proses dan prosedur pembentukan yang telah
ditentukan.

Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta


Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat

Praktik pembangunan usaha penyediaan sarana pariwisata sampai


saat ini hanya mendasarkan pada kebijakan di tingkat pusat, dalam
arti Pemerintah Daerah hanya melaksanakan Undang-undang No.10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, sementara pada level lokal hanya
merujuk pada pola pembangunan pariwisata daerah, artinya memang
sampai saat ini Kabupaten Cola tidak memiliki pijakan hukum bagi
pembangunan usaha penyediaan sarana pariwisata daerah.Kondisi
yang berbeda, justru laju perkembangan pariwisata daerah dikalangan
masyarakat cukup signifikan, banyak masyarakat Cola dan sekitarnya
yang berkunjung ke tempat-tempat wisata tersebut, namun laju
pertumbuhan pariwisata ini tidak diikuti oleh peningkatan sarana
pariwisata. Kondisi ini salah satunya disebabkan karena ketiadaan
kebijakan yang mendukung di tingkat daerah.Lebih lanjut, terdapat
dampak kondisi usaha penyediaan sarana pariwisata yang
menyebabkan kondisi perubahan sosial-ekonomi masyarakat,
masyarakat tidak terlindungi secara konstitusional terhadap dampak
negatifnya yang di akibatkan tidak adanya upaya perlindungan hukum
bagi masyarakat.Selain itu, masyarakat Kabupaten Cola belum
merasakan manfaat ekonomi dari kegiatan dan/ atau kepariwisataan.

Kondisi ini jika dikaitkan denganusaha penyediaan sarana pariwisata,


maka terdapat benang merah bahwa selama ini belum ada harmonisasi
pengelolaan pariwisata antara pusat dan daerah, dan antara lembaga-
lembaga di daerah (baik antar dinas pada level provinsi maupun
dengan pemda kabupaten dan kota, maupun dengan kalangan
masyarakat). Selain itu, belum adanya harmonisasi pengelolaan usaha
penyediaan sarana pariwisata dengan agenda lain, misalnya promosi
pariwisata.

Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur


Dalam Peraturan Daerah

Implikasi penerapan Perda Kabupaten Cola tentang Usaha Penyediaan


Sarana Pariwisata, meliputi:

Terpenuhinya kebutuhan hukum masyarakat melalui Perda yang


partisipatif. Kebutuhan hukum adalah adanya aturan yang menjadi
pedoman pelaksanaan pembangunan pariwisata umumnya, dan
pembangunan sarana pariwisata khususnya.

Tercapainya tujuan usaha penyediaan sarana pariwisata, yaitu:


memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja;
mendorong pembangunan daerah dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat; dan mengendalikan kegiatan usaha untuk
menunjang pembangunan berkelanjutan.

Implikasi Perda Baru adalah sumber pendapatan dari Pajak dari


aktivitas usaha Penyediaan Sarana Pariwisata yang justru memperkuat
kondisi keuangan daerah dari penerimanaan pajak kegiatan dan usaha
penyediaan sarana pariwisata. Selain itu, dengan tumbuhnya usaha
penyediaan sarana pariwisata membuka peluang usaha dan sektor bagi
masyarakat Cola, yang lebih lanjut dapat meningkatkan kemandirian
dan kesejahteraan masyarakat.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT

Secara metodologis upaya mencari suatu norma hukum yang


melandasi norma yang lebih rendah dan upaya mencari norma yang
lebih rendah bertentangan dengan norma yang lebih tinggi tidak
berlangsung terus menerus tanpa batas (regressus ad infinitum),sebab
pada akhirnya harus ada norma yang dianggap sebagai norma yang
tertinggi/ puncak atau sampai berhenti pada norma yang diatasnya
tidak ada lagi norma yang lebih tinggi, disebut groundnorm atau
Staatsfundamentalnorm. Merujuk pada teori tersebut, terbukti bahwa
sistem norma hukum Indonesia membentuk bangunan piramida,
norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang
berjenjang-jenjang, berlapis-lapis, sekaligus berkelompok-kelompok.
Absahnya suatu norma hukum secara vertikal ditentukan sejauhmana
norma hukum yang berada di bawah tidak bertentangan (sesuai atau
tidak) dengan norma hukum di atasnya. Dalam arti bahwa norma
hukum tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum
yang lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi pula,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara
Indonesia, yaitu: Pancasila (cita hukum rakyat Indonesia, dasar dan
sumber bagi semua norma hukum di bawahnya).
Norma hukum dalam konteks negara dimaknai sebagai peraturan
perundang-undangan, dan sebagai konsekuensi dari negara hukum
dengan menganut prinsip heirarki norma hukum, maka sistem
peraturan perundang-undangan juga bersifat heirarkis.Pasal 1 angka
2) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan
dalam Peraturan Perundang-undangan. Heirarki peraturan perundang-
undangan di atas bertujuan menentukan derajatnya masing-masing
dengan konsekuensi jika ada peraturan yang bertentangan, maka yang
dinyatakan berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi. Di sini berlaku
asas lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang derajatnya lebih
tinggi mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah).9

Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hlm.206
9
Untuk itu, kajian ini bertujuan untuk menciptakan kepastian
hukum agar tercapai sinkronisasi antara Peraturan Daerah dengan
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan lebih tinggi yang menjadi
payung hukumnya ataupun Peraturan yang lebih tinggi lainnya.
Sinkronisasi ini diperlukan agar Peraturan Daerah absah secara
konstitusional, selain itu untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
pengaturan. Bahkan lebih jauh diarahkan agar perda yang dibuat tidak
bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya. Untuk
mengantisipasi adanya ketidakharmonisan/ pertentangan norma
hukum diperlukan upaya harmonisasi. Dalam arti bahwa harmonisasi
merupakan upaya maupun proses yang hendak mengatasi batasan-
batasan perbedaan, hal-hal yang bertegangan, dan
kejanggalan.10Harmonisasi perlu mendapat perhatian karena dalam
praktiknya timbul pertentangan antara satu norma hukum dengan
yang lainnya, hal ini disebabkan bahwa tidak adanya jaminan absolut
dalam sebuah kesatuan tatanan hukum tidak adanya problem
pertentangan norma hukum.11
Harmonisasi norma hukum ini bukan sesuatu yang dapat terjadi
dengan sendirinya, melainkan harus diciptakan, salah satu upayanya
adalah melalui evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan
terkait yang dilakukan pada saat pembentukan Peraturan. Hasil
evaluasi dan analisis pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Cola
tentang Pengentasan Kemiskinan, meliputi:

1. Undang-Undang Dasar 1945


a. Pasal 18 ayat (6) mengatur ketentuan bahwa “pemerintah
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”.Pasal ini memberikan kewenangan kepada

10
Heryandi, dalam “Urgensi Harmonisasi Hukum Pengelolaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Lepas Pantai Era Otonomi Daerah, Jurnal Media Hukum Volume 16 No.3 Desember 2009, hlm.505
11
Imam Soebhechi, 2012, Judical Review: Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.266
pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah terkait
dengan kewenangan daerah yang dimilikinya.
b. Pasal 33 ayat (3) mengatur bahwa “Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pasal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah harus
bertanggung jawab mengelola Sumber Daya Alam guna
kepentingan masyarakat.
c. Pasal 33 ayat (4) mengatur bahwa “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Dalam pasal ini, seharusnya pemerintah konsekuen dengan
peraturan tersebut dan bukan hanya mementingkan
kepentingan salah satu pihak tetapi tidak memperhatikan
pihak yang nantinya akan dirugikan.
d. Pasal 27 ayat (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
e. Pasal 28 H ayat (1) :“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”
f. Pasal 28 H ayat (2) :”Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan”
g. Pasal 28 H ayat (3) :“Setiap orang berhak atas jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat”
h. Pasal 28 H ayat (4) :“Setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Dalam pasal ini
pemerintah harus berlaku adil dalam memutuskan suatu hal
pokok demi kelangsungan hidup masyarakat banyak.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13.Tahun 2011 Tentang


Penanganan Fakir Miskin. Dalam undang-undang ini, Pemerintah
Daerah Kabupaten memiliki beberapa kewenangan yang tertuang
dalam berbagai Pasal, meliputi:
Pasal 3, Fakir miskin berhak:
a. memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan;
b. memperoleh pelayanan kesehatan;
c. memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan
martabatnya;
d. mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun,
mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya
sesuai dengan karakter budayanya;
e. mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam
membangun, mengembangkan, serta memberdayakan diri dan
keluarganya;
f. memperoleh derajat kehidupan yang layak;
g. memperoleh lingkungan hidup yang sehat;
h. meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan;
dan
i. memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.

Pasal 4, Fakir miskin bertanggung jawab:


a. menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang dapat
merusak kesehatan, kehidupan sosial, dan
ekonominya;
b. meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial dalam
bermasyarakat;
c. memberdayakan dirinya agar mandiri dan meningkatkan taraf
kesejahteraan serta berpartisipasi dalam
upaya penanganan kemiskinan; dan
d. berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan bagi yang
mempunyai potensi.

Pasal 21, Upaya penanganan fakir miskin di wilayah perdesaan


dilakukan melalui:
a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang pertanian,
peternakan, dan kerajinan;
b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil pertanian,
peternakan, dan kerajinan;
c. peningkatan pembangunan sarana dan prasarana;
d. penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintahan desa;
dan/atau
e. pemeliharaan dan pendayagunaan sumber daya.

Pasal 24, Upaya penanganan fakir miskin di wilayah


tertinggal/terpencil dilakukan melalui:
a. pengembangan ekonomi lokal bertumpu pada pemanfaatan
sumber daya alam, budaya, adat istiadat, dankearifan lokal
secara berkelanjutan;
b. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang pertanian,
peternakan, perikanan, dan kerajinan;
c. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil pertanian,
peternakan, perikanan, dan kerajinan;
d. peningkatan pembangunan terhadap sarana dan prasarana;
e. penguatan kelembagaan dan pemerintahan; dan/atau
f. pemeliharaan, perlindungan, dan pendayagunaan sumber daya
lokal.
Pasal 31 mengatur bahwa:
(1) Dalam penyelenggaraan penanganan fakir miskin, pemerintah
daerah kabupaten/kota bertugas:
a. memfasilitasi, mengoordinasikan, dan menyosialisasikan
pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program
penyelenggaraan penanganan kemiskinan, dengan
memperhatikan kebijakan provinsi dan kebijakan nasional;
b. melaksanakan pemberdayaan pemangku kepentingan dalam
penanganan fakir miskin pada tingkat kabupaten/kota;
c. melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap
kebijakan, strategi, serta program dalam penanganan fakir
miskin pada tingkat kabupaten/kota;
d. mengevaluasi kebijakan, strategi, dan program pada tingkat
kabupaten/kota;
e. menyediakan sarana dan prasarana bagi penanganan fakir
miskin;
f. mengalokasikan dana yang cukup dan memadai dalam
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
menyelenggarakan penanganan fakir miskin.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintah daerah kabupaten/kota berwenang menetapkan
kebijakan, strategi, dan program tingkat kabupaten/kota dalam
bentuk rencana penanganan fakir miskin di daerah dengan
berpedoman pada kebijakan, strategi, dan program nasional.
(3) Pemerintah desa melaksanakan penanganan fakir miskin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
3. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 13 mengatur ketentuan bahwa: “Pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan
kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.
Pasal 15 mengatur ketentuan bahwa:
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau
evaluasi: a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana
rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan
rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota; dan b. kebijakan, rencana,
dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak
dan/atau risiko lingkungan hidup.
Pasal 63 menyebutkan secara lebih detail mengenai kewenangan
Pemerintah daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, meliputi:
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan
UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas
rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan
j. petaatan penanggung jawab usahadan/atau kegiatan terhadap
ketentuanperizinan lingkungan dan peraturanperundang-
undangan;
k. melaksanakan standar pelayanan minimal;
l. melaksanakan kebijakan mengenai tatacara pengakuan
keberadaan masyarakathukum adat, kearifan lokal, dan
hakmasyarakat hukum adat yang terkaitdengan perlindungan dan
pengelolaanlingkungan hidup pada tingkatkabupaten/kota;
m. mengelola informasi lingkungan hiduptingkat kabupaten/kota;
n. mengembangkan dan melaksanakankebijakan sistem informasi
lingkunganhidup tingkat kabupaten/kota;
o. memberikan pendidikan, pelatihan,pembinaan, dan penghargaan;
p. menerbitkan izin lingkungan padatingkat kabupaten/kota;

4. Pasal 13 Undang-Undang Pokok Agraria


(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan
agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi
dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia
derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi
diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan
agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang
bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan
sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha
dilapangan agraria.

5. Perda Kabupaten Cola No. 11 Tahun 2014, Tentang Pengelolaan


Keuangan dan Aset Desa
Pasal 38, Pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya alam
seperti yang dimaksud dalam ayat (1) Pengelolaan kekayaan
milik Desa dilaksanakan berdasarkan asas
kepentingan umum, fungsional, kepastian hukum,
keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan kepastian
nilai ekonomi.
Pasal 38, Pemanfaatan demi peningkatan taraf hidup masyarakat
guna mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, seperti
halnya yang tercantum didalam ayat (2) Pengelolaan kekayaan
milik Desa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
taraf hidup masyarakat Desa serta meningkatkan pendapatan
Desa.
Pasal 43 ayat (1) Pengelolaan kekayaan milik Desa bertujuan
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa dan meningkatkan pendapatan
Desa.
Pasal 43 ayat (2) Pengelolaan kekayaan milik Desa diatur dengan
peraturan Desa dengan berpedoman pada Peraturan Daerah dan
peraturan pelaksanaannya.
Pasal 44 ayat (1) Pengelolaan kekayaan milik Desa yang berkaitan
dengan penambahan dan pelepasan aset ditetapkan dengan
Peraturan Desa sesuai dengan kesepakatan Musyawarah Desa.
Pasal 44 ayat (2) Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah
berskala lokal Desa dapat dihibahkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.

Berdasarkan evaluasi dan analisis peraturan peraturan


perundang-undangan tersebut, jika digambarkan dalam skema, yaitu:
Skema 1.Derajat Heirarkis aturan Pengentasan Kemiskinan

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945


UU Republik Indonesia Nomor 13.Tahun 2011
UU Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
Pasal 13 UUPA
Perda Kab. Cola Tentang Pengelolaan
Keuangan dan Aset Desa

Skema tersebut menunjukan bahwa secara heirarkis aturan Perda


Usaha Pengentasan Kemiskinan Kabupaten Cola hendak disusun
memang telahsesuaidengan derajat kekuatan dan kevalidan norma
masing-masing agar tercipta sistem norma hukum yang harmonis baik
secara vertikal maupun horizontal. Artinya bahwa Perda Perda Usaha
Pengentasan Kemiskinan dibuat untuk melaksanakan kewenangan
daerah Kabupaten dalam bidang melindungi masyarakat miskin.
Dengan demikian bahwa Perda tersebut telah harmonis dan sinkron
terhadap Peraturan diatasnya, harmonis dalam arti bahwa adanya
keselarasan, kecocokan, keserasian, keseimbangan antar norma
hukum yang berlaku. Selain itu dalam perspektif sumber hukum,
bahwa Perda Usaha Pengentasan Kemiskinan yang hendak disusun
memang sudah disesuaikan bahkan bersumber pada aturan yang
berada diatasnya (Undang-undang No.32 Tahun 2009 dan Peraturan
lainnya yang lebih tinggi).

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan mengatur beberapa pengertian yang
berkaitan dengan pembentukan undang-undang. Pasal 1 angka 2)
menyebutkan “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan”. Peraturan Daerah Kabupaten adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten dengan persetujuan bersama Bupati. Sedangkan
ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No.12/2011 mengatur ketentuan bahwa
“Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan”.
Terkait pembentukan undang-undang, dalam teori hukum dikenal
adanya landasan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten,
landasan ini diperlukan agar Peraturan Daerah Kabupaten yang
dibentuk memiliki kaidah/ norma hukum yang sah secara hukum
(legal validity) dan menghasilkan Peraturan Daerah Kabupaten yang
berkualitas; memiliki substansi yang berkeadilan, berkemanfaatan
hukum, berkepastian hukum, serta tidak mengandung norma hukum/
materinya yang bertentangan dengan aturan di atasnya; dan tentunya
harus mampu berlaku efektif di dalam masyarakat secara wajar serta
berlaku untuk waktu yang panjang. Beberapa landasan pembentukan
Peraturan Daerah Kabupaten Cola tentang Usaha Pengentasan
Kemiskinan meliputi: landasan filosofis, landasan yuridis, dan
landasan sosiologis. Uraian landasan tersebut di bawah ini:

A. Landasan Filosofis
Hal berlakunya norma hukum secara filosofis, artinya adalah
norma hukum itu sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai
nilai positif yang tertinggi (uberpositieven wet). Peraturan Perundang-
undangan selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan
(ideals norm) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur
kehidupan bermasyarakat dan bernegara diarahkan, karena itu
Peraturan Daerah Kabupatendapat digambarkan sebagai cermin dari
cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan
filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui
pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten yang bersangkutan dalam
kenyataan. Oleh karena itu cita-cita filosofis yang terkandung dalam
Peraturan Daerah Kabupaten itu hendaklah mencerminkan cita-cita
filosofis yang dianut masyarakat yang bersangkutan 12
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan
atau dasar filosofis (filosofische grondslag) apabila rumusannya atau
norma-normanya mendapatkan pembenaran (rerchtvaardiging) dikaji
secara filosofis.Dalam sebuah Peraturan Daerah Kabupaten, landasan
filosofis terkandung dalam konsideran/ dasar menimbang
pembentukan Peraturan Daerah tersebut. Secara umumrencana
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Cola tentang Usaha
Penyediaan Sarana Pariwisata bertujuan untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. menghapus kemiskinan;
d. mengatasi pengangguran;
e. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
f. memajukan kebudayaan;
g. mengangkat citra bangsa;
h. memupuk rasa cinta tanah air;
i. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
j. mempererat persahabatan antarbangsa.
Secara khusus rencana pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
Cola tentang Usaha Pengentasan Kemiskinan bertujuan untuk
melindungi masyarakat sekitar dengan akan dibangunnya pabrik
semen diatas lahan yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian
masyarakat sekitar wilayah tersebut dengan tujuan dapat memberikan
manfaat dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat dengan tetap mengupayakan kelestarian lingkungan.
Selain itu bertujuan untuk:

12
Jimly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, JakartaJimly Asshidiqie, hlm.117
a. memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dan lapangan
kerja;
b. mendorong pembangunan Daerah dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat; dan
c. mengedalikan kegiatan usaha untuk menunjang pembangunan
berkelanjutan.

B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis lebih difokuskan pada perspektif medan
penerapan hukum dalam keadaan nyatanya, yang selalu disertai ciri
berupa penerimaan (acceptance) peraturan oleh sekelompok
masyarakat,berlakunya kaidah hukum secara sosiologis adalah
efektifitas kaidah hukum di dalam lapangan masyarakat. Menurut
Soerjono Soekanto bahwa landasan teoritis sebagai dasar sosiologis
berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dikaitkan dengan
dua teori: pertama, teori kekuasaan, yang pada pokoknya menyatakan
bahwa kaidah hukum itu dipaksakan berlakunya oleh penguasa,
terlepas diterima atau tidak oleh komunitas masyarakat; kedua, teori
pengakuan, yang menyatakan bahwa berlakunya kaidah hukum itu
didasarkan pada penerimaan atau pengakuan masyarakat ditempat
hukum itu diberlakukan.13
Mengkaji persoalan akan didirikannya pabrik semen dikawasan ini
dalam catatan dari AWRPPK, dokumen Amdal tidak pernah
disampaikan kepada warga. Tidak pernah ada penjelasan mengenai
dampak-dampak negatif akibat penambangan dan pendirian pabrik
semen. Intimidasi sering terjadi seiring gerakan warga yang ingin
memperjuangkan hak memperoleh informasi jelas dan lingkungan
hidup sehat. Aliansi juga mencatat ditemukan dugaan pelanggaran
hukum antara lain penggunaan kawasan cekungan air tanah
Watuputih sebagai area penambangan batuan kapur untuk bahan
baku pabrik semen. Ini melanggar Perda RTRW Jawa Tengah Nomor 6
13
Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik, 2011, Legislative Drafting, Total Media, Yogyakarta, hlm.30
Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini kawasan lindung
imbuhan air. Juga Perda RTRW Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal
19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.
Ditemukan juga dugaan penebangan kawasan hutan tidak sesuai
persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri
Kehutanan, surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April
2013. Dalam surat itu menyatakan, kawasan yang diizinkan ditebang
adalah hutan KHP Mantingan, secara administrasi pemerintahan
terletak di Desa Kajar dan Desa Pasucen, Kecamatan Gunem,
Rembang. Fakta di lapangan, SI menebang kawasan hutan Kadiwono,
Kecamatan Bulu kurang lebih 21,13 hektar untuk tapak pabrik.Dari
pendataan aliansi, bukti-bukti lapangan seperti 109 mata air, 49 goa,
dan empat sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai
debit bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding goa, makin
menguatkan keyakinan kawasan karst Watuputih harus dilindungi.
Proses produksi semen berpotensi merusak sumber daya air yang
berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar dan warga
Rembang serta Lasem. PDAM mengambil air dari Gunung Watuputih.
Kebutuhan lahan sangat luas untuk perusahaan-perusahaan semen
akan berdampak pada kehilangan lahan pertanian, hingga petani dan
buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan. Kondisi ini, akan
menurunkan produktivitas pertanian pada wilayah sekitar, karena
dampak buruk timbul, misal, sumber mata air mati, polusi debu, dan
keseimbangan ekosistem alamiah terganggu. Akhirnya, semua akan
melemahkan ketahanan pangan daerah dan nasional.
Dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diatur, “bahwa masyarakat memiliki hak dan
kesempatan berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Ia bisa berupa peran pengawasan sosial, pemberian
saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan dan menyampaikan
informasi dan atau laporan.”
Namun dalam kenyataanya ketidaktransparan serta ketidakadilan di
lapangan saat ini mengakibatkan terjadi perampasan hak rakyat atas
informasi terkait rencana pembangunan pabrik semen yang dalam
analisis yang telah dipelajari oleh para pakarnya dipastikan akan
menimbulkan banyaknya dampak kerugian yang akan diterima olah
masyarakat sekitar, dari mulai hilangnya mata pencarian mereka
sehari-hari hingga dampak yang akan ditimbulkan oleh pencemaran
dari pabrik semen yang akan didirikan tersebut.

C. Landasan Yuridis
Sistem Peraturan Perundang-undanganIndonesia membentuk
bangunan piramida, peraturan yang berlaku berada dalam suatu
sistem yang berjenjang-jenjang, berlapis-lapis, sekaligus berkelompok-
kelompok. Absahnya suatu peraturan secara vertikal ditentukan
sejauhmana peraturan yang berada di bawah tidak bertentangan
(sesuai atau tidak) dengan peraturan di atasnya. Dalam arti bahwa
peraturan tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan
yang lebih tinggi, dan peraturan yang lebih tinggi berlaku, bersumber
dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi pula, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara Indonesia, yaitu:
Pancasila (cita hukum rakyat Indonesia, dasar dan sumber bagi semua
norma hukum di bawahnya).
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 mengandung ketentuan jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang terdiri
atas:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK,
BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan undang-undang atau Pemerintah atas perintah
undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/ Kota,
Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Ayat (2)
menyebutkan: “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan”.
Heirarki peraturan perundang-undangan di atas bertujuan
menentukan derajatnya masing-masing dengan konsekuensi bahwa
peraturan yang berada di bawahnya harus bersumber pada peraturan
yang berada di atasnya dan jika ada peraturan yang bertentangan
maka yang dinyatakan berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi. Di
sini berlaku asas lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang
derajatnya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih
rendah). Beberapa landasan yuridis yang melandasi terbentuknya
Peraturan Daerah Kabupaten Cola untuk Pengentasan Kemiskinan,
meliputi:

1. Undang-Undang Dasar 1945


2. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 18 ayat (6) ,Pasal 33 ayat (3)
,Pasal 33 ayat (4) ,Pasal 27 ayat (2) ,Pasal 28 H ayat (1) ,Pasal 28 H
ayat (2) ,Pasal 28 H ayat (3) ,Pasal 28 H ayat (4).)
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13.Tahun 2011 Tentang
Penanganan Fakir Miskin (Pasal 3, Pasal 4, Pasal 21, Pasal 24, Pasal
31)
4. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 13, Pasal 15, Pasal 63)
5. Pasal 13 Undang-Undang Pokok Agraria
6. Perda Kabupaten Cola No. 11 Tahun 2014, Tentang Pengelolaan
Keuangan dan Aset Desa (Pasal 38, Pasal 43 ,Pasal 44)

BAB V

RUANG LINGKUP PENGATURAN

Ketentuan Umum

Ketentuan umum ini merupakan suatu ketentuan yang berisi


batasan pengertian atau defenisi yang dalam Peraturan Daerah,
singkatan atau akronim, dan hal-hal lain yang bersifat umum yang
berlaku bagi pasal-pasal berikutnya, seperti ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud dan tujuan.

Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan


untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan
oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya
akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan
masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif
dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral
dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah
yang telah mapan, dll.

1). Pendidikan yang Terlampau Rendah

Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang


mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam
kehidupannya. Keterbatasan pendidikan atau keterampilan yang
dimiliki seseorang menyebabkan keterbatasan kemampuan seseorang
untuk masuk dalam dunia kerja.

2). Malas Bekerja

Adanya sikap malas (bersikap pasif atau bersandar pada nasib)


menyebabkan seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah
untuk bekerja.

3). Keterbatasan Sumber Alam

Suatu masyarakat akan dilanda kemiskinan apabila sumber alamnya


tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Hal ini
sering dikatakan masyarakat itu miskin karena sumberdaya alamnya
miskin. EKSPLOITASI

4). Terbatasnya Lapangan Kerja

Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan


bagi masyarakat. Secara ideal seseorang harus mampu menciptakan
lapangan kerja baru sedangkan secara faktual hal tersebut sangat kecil
kemungkinanya bagi masyarakat miskin karena keterbatasan modal
dan keterampilan.

5). Keterbatasan Modal

Seseorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk


melengkapi alat maupun bahan dalam rangka menerapkan
keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk
memperoleh penghasilan. Akibat neolib perdagangan, kapitalisme dll

6). Beban Keluarga

Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak


diimbangi dengan usaha peningakatan pendapatan akan menimbulkan
kemiskinan karena semakin banyak anggota keluarga akan semakin
meningkat tuntutan atau beban untuk hidup yang harus dipenuhi.

Pengentasan Kemiskinan

Penanggulangan kemiskinan yang komprehensif memerlukan


keterlibatan berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dunia usaha (sektor swata) dan masyarakat
merupakan pihak-pihak yang memiliki tanggungjawab sama terhadap
penanggulangan kemiskinan. Pemerintah telah melaksanakan
penanggulangan kemiskinan melalui berbagai program dalam upaya
pemenuhan kebutuhan dasar warga negara secara layak,
meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat miskin,
penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat serta
melaksanakan percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam
upaya mencapai masyarakat Indonesia yang sejahtera, demokratis dan
berkeadilan.

Namun keseluruhan upaya tersebut belum maksimal jika tanpa


dukungan dari para pemangku kepentingan lainnya. Untuk menunjang
penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dan mewujudkan
percepatan penanggulangan kemiskinan dirumuskan empat startegi
utama. Strategi-strategi penanggulangan kemiskinan tersebut
diantaranya:

Memperbaiki program perlindungan sosial;

Meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar;

Pemberdayaan kelompok masyarakat miskin; serta

Menciptakan pembangunan yang inklusif.

Ruang Lingkup dan Isi Pengaturan

Ruang lingkup pengaturan berisi materi-materi yang akan diatur dalam


Peraturan Daerah yang akan disusun, adapun ruang lingkup materi
muatan meliputi:

BAB I KETENTUAN UMUM

BAB II ASAS DAN TUJUAN

BAB III JENIS DAN BENTUK USAHA

BAB IV LOKASI USAHA

BAB V PERIZINAN

BAB VI KEWAJIBAN

BAB VII LARANGAN

BAB VIII PERANSERTA MASYARAKAT

BAB IX PEMBINAAN DAN KOORDINASI

BAB X SANKSI ADMINISTRASI

BAB XI UPAYA ADMINISTRATIF


BAB XII KETENTUAN PENYIDIKAN

BAB XIII KETENTUAN PIDANA

BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN

BAB XV KETENTUAN PENUTUP

BAB VI

PENUTUP

Kesimpulan

Kabupaten Mahakamh Ulu merupakan kabupaten yang memiliki


potensi pariwisata yang besar, terutama wisata alam dan wisata
budaya, potensi tersebut jika dikelola dengan baik dapat dipastikan
meningkatkan devisa daerah, dan kemandirian masyarakat dengan
tumbuhnya usaha penyediaan sarana pariwisata dan lainnya.

Permasalahan kepariwisataan Kabupaten Cola dalam peningkatan


kepariwisataan adalah sarana pariwisata, sarana pariwisata hampir
sebagian besar yang berada di lokasi objek wisata belum memadai,
bahkan secara umum kondisi sarana pariwisata Kabupaten Cola belum
mampu mendukung laju pertumbuhan pariwisata yang semakin
meningkat tajam.

Konsidi belum memadai sarana pariwisata ini disebabkan belum


adanya kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Cola yang secara
terpadu mengatur usaha penyediaan sarana pariwisata yang berpijak
pada kelestarian lingkungan hidup

Ketiadaan aturan tentang pengaturan usaha penyediaan sarana


pariwisata di Kabupaten Cola ini yang menjadi pemicu pengelolaan
usaha yang menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan
lingkungan hidup dan terganggunya kehormanisan sosial budaya.

Permasalahan sarana tersebut di atas harus dipecahkan atau


diselesaikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten (Bupati) dan DPRD
melalui pembentukan Perda Usaha Penyediaan Sarana Pariwisata yang
mempertimbangkan seluruh aspek secara holistik, sistematis dan
komprehensif.

Saran

Berdasarkan uraian di atas maupun masukan dari berbagai kalangan


pihak terkait (stakeholders) dalam basis good governance maka dapat
disimpulkan dan sekaligus disarankan sebagai berikut:

Naskah Akademik dan Draft Rancangan Peraturan Daerah tentang


Usaha Penyediaan Sarana Pariwisata ini terbuka untuk disempurnakan
oleh pihak-pihak terkait, dan diharapkan Rancangan Peraturan Daerah
ini sudah dapat dibahas pada tahun 2016.

Draft Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cola Tentang Usaha


Penyediaan Sarana Pariwisatayang bersifat komprehensif, holistik dan
bersifat solusi harus segera dibuat, sebagai landasan bagi
pembangunan pariwisata yang bersifat terpadu.
Merujuk pada aturan yang lebih tinggi (Undang-undang Pengentasan
Kemiskinan dan beberapa Peraturan Pemeirntah), maka Perda yang
akan di bentuk lebih tepat berjudul Peraturan Daerah tentang Usaha
Penyediaan Sarana Pengentasan Kemiskinan.

DAFTAR PUSTAKA

Johan Norbreg, 2011, “Membela Kapitalisme Global” Indonesia, Friedrich-Naumann-


Stiftung für die Freiheit hlm 9

Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum, 2015 “PENGGERUSAN KEDAULATAN NEGARA ATAS


AIR” Seminar UNDIP

DR. ANWAR USMAN, S.H., M.H. 2015 “SEMINAR MEMBANGUN POLITIK HUKUM
SUMBER DAYA ALAM BERBASIS CITA HUKUM INDONESIA” Semarang

Pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakath” www.kemsos.go.id


februari 2009

Yuliandri, Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm.114

Sosialisme dan Kaum Tani V.I. Lenin (1905)


Peraturan Perundang-undangan:

-Undang-Undang Dasar 1945

-Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 18 ayat (6) ,Pasal 33 ayat (3)
,Pasal 33 ayat (4) ,Pasal 27 ayat (2) ,Pasal 28 H ayat (1) ,Pasal 28 H ayat
(2) ,Pasal 28 H ayat (3) ,Pasal 28 H ayat (4).
-Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13.Tahun 2011 Tentang
Penanganan Fakir Miskin (Pasal 3, Pasal 4, Pasal 21, Pasal 24, Pasal
31)
-Undang-Undang no 32 tahun 2004 menempatkan aspek lingkungan
dalam kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Kota

NASKAH AKADEMIK

PENGENTASAN KEMISKINAN KABUPATEN COLA


Disusun Oleh :

Ahmad Rijal Syathatha 20140610294 (Kelas D)

Riza Imadi Farkhan 20140610115 (Kelas F)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM

PRODI ILMU HUKUM

2016-2017

Anda mungkin juga menyukai