Anda di halaman 1dari 4

Nama: Nahyu Amalya

Nim : 07.21.104
IV.Reg. Pagi
Dosen Pengampu: Dr. Tri Eka Putra M. Waruwu, M.HI

Aliran-Aliran Filsafat
Hukum

A. Pendahuluan
Filsafat hukum berupaya memecahkan persoalan, menciptakan hukum yang lebih sempurna,
serta membuktikan bahwa hukum mampu menciptakan penyelesaian persoalan-persoalan yang
hidup dan berkembang di dalam masyarakat dengan menggunakan sistim hukum yang berlaku
suatu masa, disuatu tempat sebagai Hukum Positif. Indonesia sebagai negara yang menganut
Sistem Hukum Eropa Kontinental (civil law system), eksistensi peraturan perundang-undangan
sangatlah penting, karena bila dikaitkan dengan asas legalitas yang berarti setiap tindakan
pemerintah harus memiliki dasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Filsafat hukum berperan sebagai arah pembentukan hukum di Indonesia dan juga sebagai hal
yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Berperan dalam menerangkan dasar nilai hukum yang
filosofis dimana mampu mewujudkan cita cita keadilan, ketertiban di dalam masyarakat yang
berhubungan dengan kenyataan hukum yang berlaku.
Munculnya aliranaliran filsafat hukum dalam ranah filsafat sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat pada umumnya. Sejarah perkembangan filsafat
memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam menjamurnya aliran-aliran filsafat
berdasarkan tahapan periode perkembangan filsafat itu sendiri. Aliran-aliran filsafat hukum yang
dimaksud meliputi: (1) aliran Hukum Alam; (2) postivisme hukum; 3) utilitarianisme; (4)
mazhab sejarah; (5) sociological jurisprudence; (6) realisme hukum; (7) freirechtslehre.

B. Pembahasan
1. Aliran Hukum Alam
Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori di
dalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam hukum alam
bermunculan dari masa ke masa. Mempelajari sejarah hukum alam, maka kita akan mengkaji
sejarah manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta
kegagalan-kegagalannya. Pada suatu saat hukum alam muncul dengan kuatnya, pada saat yang
lain dia diabaikan, tetapi yang pasti hukum alam tidak pernah mati. Hukum alam adalah hukum
yang normanya berasal tadi Tuhan Yang Maha Esa, dari alam semesta dan dari akal budi
manusia, karenanya ia digambarkan sebagai hukum yang berlaku abadi.1
a. Aliran Hukum Alam Irasional (Teologis)
Aliran hukum alam irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu
bersumber dari Tuhan secara langsung. Dalam pandangan teologis dikatakan bahwa seluruh alam
semesta diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai ciptaannya. Tuhan telah meletakkan prinsip-
prinsip yang abadi untuk mengatur segala kehidupan di dunia ini. Oleh karenanya seluruh aturan
yang diciptakan oleh manusia harus berdasarkan pada hukum Tuhan yang abadi.2
Pandangan yang muncul setelah zaman Renesanse (era ketika rasio manusia dipandang
terlepas dari tertib ketuhanan) berpendapat bahwa hukum alam tersebut muncul dari pikiran
manusia sendiri tentang apa yang baik dan buruk, yang penilaiannya diserahkan kepada
kesusilaan (moral) alam. Pendukung aliran hukum alam irasional antara lain:3

a. John Salisbury (1115-1180)


Menurutnya jika masing-masing penduduk bekerja untuk kepentingan sendiri,
kepentingan masyarakat akan terpenuhi dengan sebaik-baiknya (Schmid, 1965: 91).
Salibury juga melukiskan kehidupan bernegara itu seperti kehidupan dalam sarang lebah,
yang sangat memerlukan kerja sama dari semua unsur; suatu pandangan yang bertitik tolak
dari pendekatan organis. Pemikiran Salisbury dituangkannya dalam suatu kumpulan buku
yang diberi judul Policraticus sive de Nubis Curialtum et Vestigiis Pholosophorum Libri
VIII. Selain itu, terdapat bukunya yang berjudul Metalogicus.

b. Dante Alighieri (1265-1321)


Seperti halnya dengan filsuf-filsuf abad pertengahan, filsafat Dante sebagian besar
merupakan tanggapan terhadap situasi yang kacau balau pada masa itu. Baik Jerman
maupun Prancis pada abad pertengahan menghadapi perselisihan dengan kekuasaan Paus di
Roma. Dante, dalam hal ini berada pada kubu penguasa. Ia amat menentang penyerahan
kekuasaan duniawi kepada Gereja. Baginya, keadilan baru dapat ditegakkan apabila
pelaksanaan hukum diserahkan kepada satu tangan saja berupa pemerintahan yang absolut.
Dante berusaha memberikan legitimasi terhadap kekuasaan monarki yang bersifat mondial.
Monarki dunia inilah yang menjadi badan tertinggi yang memutuskan perselisihan antara
penguasa yang satu dengan lainnya. Dasarnya hukum yang dijadikan pegangan adalah
hukum alam, yang mencerminkan hukum-hukum Tuhan. Menurutnya, badan tertinggi yang
memperoleh legitimasi dari Tuhan sebagai monarki dunia ini adalah Kekaisaran Romawi.
Hanya saja, pada abad pertengahan ternyata Kekaisaran Romawi itu sudah digantikan oleh
kekuasaan Jerman dan kemudian Prancis di Eropa. Karangan Dante yang penting berjudul
De Monarchia.
1
Ramlani Lina Sinaulan, Buku Ajar Filsafat Hukum,(Yogyakarta: Zahir Publishing, 2021). Hal 141.
2
I Ketut Wirawan, DKK, Buku Ajar Pengantar Filsafat Hukum, (Denpasar: Universitas Udayana, 2016).
Hal 31.
3
Selika Aprita, Dan Rio Adhityah, Filsafat Hukum,(Depok: Rajawali Pers, 2020). Hal 98.
c. Piere Dubois (lahir 1255)
Dubois adalah salah satu filsuf terkemuka di prancis. Kedudukannya sebagai pengacara
raja prancis pada masa itu selaras dengan pandangan-pandangannya yang pro penguasa. Ia
mencita-citakan suatu kerajaan Prancis yang mahaluas, yang menjadi pemerintah tunggal
dunia. Di sini tampak, bahwa Dubois sangat meyakini adanya hukum yang dapat berlaku
universal. Sama seperti filsuf Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa (raja) dapat
langsung menerima kekuasaan dari Tuhan, tanpa perlu melewati pemimpin Gereja. Bahkan,
Dubois ingin agar kekuasaan duniawi Gereja (Paus) dicabut dan diserahkan sepenuhnya
kepada raja. Menurut Schmid (1965:108-109), dalam beberapa hal pemikiran-pemikiran
Dubois telah mampu menjawab kebutuhan hukum pada abad-abad kemudian. Misalnya
saja, ia mengusulkan agar hubungan negara-negara (di bawah kekuasaan Prancis) itu diatur
dalam bentuk federasi, yang mengingatkan kita pada badan PBB sekarang. Ia juga
menyatakan, bahwa raja pun memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, tetapi raja
tidak terikat untuk mematuhinya. Bukunya yang terpenting adalah De Rescuperatione Terre
Sance (Tentang Penaklukan Kembali Tanah Suci).

d. Jhon Wycliffe (1320-1384) dan Jhonannes Huss (1369-1415)


Sebagaimana umumnya para filsuf abad pertengahan, Wycliffe – seorang filsuf Inggris –
juga menyoroti masalah kekuasaan Gereja. Ia menolak adanya hak-hak Paus untuk
menerima upeti dari raja Inggris. Wycliffe mengibaratkan hubungan antara kekuasaan
Ketuhanan dan kekuasaan duniawi seperti hubungan antara pemilik dan penggarap tanah.
Masing-masing memiliki bidangnya sendiri, sehingga tidak boleh saling mencampuri.
Urusan negara seharusnya tidak boleh dicampuri oleh rohaniawan, karena corak
pemerintahan para rohaniawan itu adalah corak kepemimpinan yang paling buruk.
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dipimpin para bangsawan. Menurutnya,
kekuasaan Ketuhanan tidak perlu melalui perantara (rohaniawan Gereja), sehingga baik
para rohaniawan maupun orang awam sama derajatnya di mata Tuhan. Huss melengkapi
pemikiran Wycliffe. Ia mengatakan, bahwa gereja tidak perlu memiliki hak milik. Karena
itu, penguasa boleh merampas milik itu apabila Gereja salah menggunakan haknya.
Menurutnya, Paus dan hierarki Gereja tidak diadakan menurut perintah Tuhan. Gereja yang
sebenarnya dibentuk oleh orang yang beriman (Schmid, 1965:115).
e. Hugo Grotius
Grotius adalah penganut humanisme, yang mencari dasar baru bagi hukum alam dalam diri
manusia sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk mengerti segala-galanya secara
rasional melalui pemikirannya menurut hukum-hukum matematika. Manusia dapat
menyusun daftar hukum alam dengan menggunakan prinsip-prinsip a priori yang dapat
diterima secara umum. Hukum alam tersebut oleh Grotius dipandang sebagai hukum yang
berlaku secara riil, sama seperti hukum positif. Hukum alam tetap berlaku, juga seandainya
Allah tidak ada. Sebabnya adalah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia
sebagai bagian dari hakikatnya. Di lain pihak Grotius tetap mengakui, bahwa Allah adalah
pencipta alam semesta. Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan
fundamen hukum alam. Hak-hak alam yang ada pada manusia adalah:4
a. Hak untuk berkuasa atas diri sendiri, yakni ha katas kebebasan.
b. Hak untuk berkuasa atas orang lain.
c. Hak untuk berkuasa sebagai majikan.
d. Hak untuk berkuasa atas milik dan barang-barang.

Grotius juga memberikan prinsip yang menjadi tiang dari seluruh sistem hukum
alam,yakni
a. Prinsip kupunya dan kau punya; milik orang lain harus di jaga.
b. Prinsip kesetiaan pada janji.
c. Prinsip ganti rugi.
d. Prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam.

Sebagaimana telah diutarakan di muka, hukum alam ini selalu dapat dikenali sepanjang
abad-abad sejarah manusia, oleh karena ia merupakan usaha manusia untuk menemukan
hukum dan keadilan yang ideal.

2. Aliran Postivisme Hukum


Positivisme hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu secara tegas memisahkan
antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das
sein dan das sollen).5

Aliran ini berpandangan bahwa hukum itu adalah perintah penguasa (law is a command of
the lewgivers). Bahkan bagian aliran hukum positif yang dikenal dengan nama Legisme
berpendapatlebih tegas, bahwa hukum itu adalah identik dengan undang-undang. Aliran
hukum positif ini dapat dibedakan dalam dua corak, yakni: (1) Aliran Hukum Positif Analitis
(Analitical Jurisprudence) atau biasa disebut positivisme sosiologis yang dikembangkan oleh
Jhon Austin, dan (2) Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) atau dikenal juga dengan
positivisme yuridis yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.6

4
Ramlani Lina Sinaulan, Ibid., Hal 143.
5
Selika Aprita & Rio Adhitya, Ibid,. Hal 103.
6
I Ketut Wirawan, DKK, Ibid., Hal 31.

Anda mungkin juga menyukai