Anda di halaman 1dari 9

HAK ASASI MANUSIA, suatu pengantar

Oleh : DINDIN SUDIRMAN Bc.IP, MSi.

A. Pendahuluan
Istilah globalisasi dewasa ini sudah sangat biasa dibicarakan dan
didengar oleh siapa pun dan dimana pun.Namun tidak banyak orang yang
memahami secara mendalam mengenai hal ini, karena fenomena globalisasi
kendati sudah lama terjadi, namun baru mencuat seperti meteor akhir-akhir ini.
Globalisasi mengandung makna sebagai proses obyektif maupun sebagai
proses subyektif. Sebagai proses obyektif, globalisasi berarti proses
“menciutnya” jarak ribuan kilometer karena teknologi modern dipersempit
“seakan-akan” menjadi beberapa meter saja, sedangkan rentang waktu yang
semula berbulan-bulan, dewasa ini dapat dipersingkat menjadi bebarapa jam
saja. Disamping itu, globalisasi juga merupakan proses subyektif, karena
globalisasi merupakan kondisi semakin sadarnya manusia akan dunia sebagai
keseluruhan. Tingkat kepedulian masing-masing orang tidak lagi ditentukan oleh
relasi kekaluargaan , kebangsaan atau kultural tetapi karena kesadaran bahwa
manusia bermartabat sebagai manusia lepas dari pertimbangan apap pun
(Adisusilo, S, 2013 : 349).
Salah satu pemikiran yang menjadi mendunia, akibat pengaruh
modernisasi dan globalisasi, adalah mencuatnya pemikiran atau kesadaran
adanya nilai-nilai hak asasi manusia. Namun sayang, ketika bangsa Indonesia
berada di tengah-tengah gegap gempitanya modernisasi dan adanya tuntutan
hak asasi manusia, ternyata masih terjebak dalam budaya korupsi, kolusi dan
nespotisme. Bukankah modernisasi yang dilakukan adalah dengan memodifikasi
apa yang dilakukan bangsa lain yang lebih dulu modern seperti Eropa, Amerika,
Jepang, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong dan lain-lain? Mengapa
mereka berhasil, sementara bangsa Indonesia mengalami banyak kendala? Jika
kita telusuri, ada banyak sebab mereka sukses, salah satunya adalah kebijakan
pemerintah bahwa modernisasi pertama-tama adalah pembangunan sumber
daya manusia. Modernisasi pertama-tama adalah perombakan pola pikir dan

1
pola tingkah laku manusianya. Dari pola pikir dan tingkah laku yang kolot, feodal,
korup, santai, magis, kolektif dan minta dilayani, dirombak menjadi pola pikir dan
tingkah laku yang modern demokratis, jujur, kerja keras, rasional, individual,
otonom dan melayani (Adisusilo.S,JR, 2013 : v).
Dalam konteks ini, kelompok agama dan persatuan-persatuan organisasi
masa yang berasaskan keagamaan dapat memberikan kontribusi yang nyata
dalam menanggulangi permasalahan tersebut diatas. Mengapa? Karena Negara
kita adalah Negara yang bersifat demokratis, suatu Negara yang bertumpu
kepada kedaulatan rakyat. Dalam sistem demokrasi, partisipasi rakyat
merupakan esensi dari sistem ini. Dengan kata lain, Negara hukum harus
ditopang dengan sistem demokrasi, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan
kehilangan bentuk arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan
makna (Azis Hakim A, 2010 : 160).
Di sisi lain, bangsa Indonesia sesuai dengan konstitusi UUD 1945, telah
menetapkan diri bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara yang
berdasarkan hukum (rechstaat) bukan berlandaskan atas kekuasaan
(machstaat). Federich Julius Stahl, seperti yang dikutip Aziz Hakim A,
menyatakan bahwa suatu Negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok,
yaitu :
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia,
2. Negara didasarkan pada teori trias politica,
3. Pemerintah didasarkan pada undang-undang (wetmatig bestuur),
4. Ada peradilan administrasi Negara yang bertugas menangani
kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (Aziz Hakim A,
2011 : 171).

Tulisan ini, akan menguraikan tentang apa hak asasi manusia itu?
Mengapa hak asasi manusia begitu menjadi penting dalam penyelenggaraan
bermasyarakat dan bernegara?.Dan bagaimana nilai-nilai hak asasi manusia
tersebut, jika ditinjau dari perspektif iman Kristiani?

B. Pengertian Hak Asasi Manusia

2
Pengertian hak asasi manusia menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum, pemerintahan dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
(pasal 1 ayat 1).
Dalam konteks sejarah, awal munculnya nilai-nilai hak asasi manusia
dapat diamati dalam sejarah Eropa Barat, khususnya upaya.untuk mengawasi
kedaulatan kekuasaan penguasa yang dispotik dan absolut.Sepert diketahui,
tradisi filosofis oksidental atau Eropa barat mengandung unsur campuran
pemikiran dan budaya dari Yunani, Romawi dan budaya Kristen yang
berorientasi pada motif kemanusiaan, kebebasan, kesetaraan dan kesemestaan.
Masyarakat Yunani pada jaman Aristoteles sudah mempunyai ketentuan
kesamaan hak untuk berbicara dan berada di tempat umum serta pengadilan.
Walaupun ketentuan itu masih terbatas, karena hanya diberikan kepada kelas
menengah perkotaan (Alkatiri Z, 2010 : 5).
Bahkan, sebelumnya, isi kitab Raja Hamurabi telah mengatur berbagai
hak warga Negara di kerajaan kuno Babylonia. Aturan yang serupa tentang hak
warga Negara juga ditemukan dalam undang-undang Yunani Romawi (ius
gentinum). Akan tetapi Undang-undang itu pun masih belum setara dan
sebanding antar hak warga Negara biasa dan hak yang dimiliki oleh para
penguasa.Pada jaman Kristen dan abad pertengahan, sistem pengaturan hak
diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang bersifat teokratis dan kali ini lebih
banyak pihak penguasa dan gereja, berbagai hak khusus dijadikan landasan
kenegaraan hal yang menyebabkan munculnya berbagai bencana bagi warga
masyarakat. Karena dengan hak khusus itu, bisa bertindak sewenang-wenang
tanpa mengindahkan hak dasar yang ada (Alkatiri. Z, 2010 : 6).
Atas dasar itu, bangsa Inggris melakukan perlawanan terhadap para Raja
yang berusaha untuk berkuasa secara mutlak. Pada tahun 1215 kaum
bangsawan memaksa raja John untuk memberikan Magna Charta Libertatum.

3
Dokumen ini tidak secara langsung berbicara tentang hak asasi manusia, sebab
baru berisi larangan penghukuman, penahanan, dan perampasan benda dengan
sewenang-wenang. Pada tahun 1679 lahirlah Habeas Corpus, suatu dokumen
hukum yang berisi bahwa orang yang ditahan harus dihadapkan pada hakim
dalam waktu tiga hari dan diberitahu atas tuduhan apa dia ditahan. Itu berarti
bahwa seseorang hanya boleh ditahan atas perintah hakim. Dan pada tahun
1688 ketika kaum bangsawan marah dan menentang raja James II dari wangsa
Stuart yang absolut, dan berakhir dengan terjadinya Glorious Revolution yang
berujung dengan ditandatanganinya “An Act Declarating the Right and
Liberaties of the Subyect and Setting the Succession of the Crown”. Akta ini,
yang dikenal dengan nama Bill of Right merupakan konstitusi modern pertama di
dunia. Di dalam akta ini ditandaskan bahwa raja tunduk kepada parlemen, raja
tidak dapat memungut pajak atau pun memiliki pasukan pada masa damai tanpa
persetujuan parlemen dan raja harus mengakui hak-hak parlemen
(Adisusilo.S,JR, 2013 : 327). Undang-undang ini menetapkan tata cara
penggantian raja dan merupakan keberhasilan rakyat Ingeris melawan raja
James II sehingga timbul adagium bahwa manusia sama di muka bumi (equality
before the law). Kini adagium ini menjadi dasar konsepsi Negara hukum dan
demokrasi yang mengakui dan menjamin asas persamaan dan kebebasan
sebagai warga Negara (Sabon, Max Boli, 2014 : 27).
Tak pelak bahwa perkembangan tersebut dipengaruhi oleh ajaran John
Locke, seorang filsuf politik, yang gagasannya dituangkan dalam buku Second
Trenties of the Government (1690).Buku ini dijadikan dasar dalam melihat hak
kebebasan individu dalam wacana kekuasan.Pemikiran ini dijadikan acuan bagi
dan oleh Parlemen di Ingris.Ia berpendapat bahwa, Negara dibentuk
berdasarkan kehendak rakyat yang bertujuan untuk dan memenuhi
kebutuhannya. Manusia dilahirkan Tuhan, diberikan hak yang tidak dapat
diingkari dan diambil oleh orang lain yaitu hak atas kehidupan, hak kebebasan
dan untuk mencapai kebahagiaan. Pihak penguasa tidak boleh sewenang-
wenang mempergunakan hak yang diberikan atasnya.Bahkan penguasa harus
menjamin setiap hak dan kepentingan rakyatnya.Ditambahkannya, bahwa suatu

4
pemerintahan harus didasarkan pada suatu kontrak sosial antara penguasa
dengan mereka yang dikuasai.Pandangan ini memperlihatkan bahwa rakyat
wajib tunduk kepada pemerintah, hanya apabila pemerintah melindungi hak-hak
mereka, yang secara moral lebih penting, dan mengatasi tuntutan dan
kepentingan pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa pemerintah menjadi sah,
sejauh sesuatu pemerintahan secara sistematika melindungi dan memajukan
pemanfaatan hak asasi manusia rakyatnya (Alkatiri,Z, 2010 : 8- 9). Pemikiran
John Locke tidak hanya berpengaruh di Inggris, tetapi juga di seluruh Eropa dan
Amerika, sehingga kemudian menjadi landasan lahirnya Deklarasi Universal
Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) tahun 1948.
Perkembangan selanjutnya, di Amerika Serikat instrument hak asasi
manusia termuat dalam Declaration of Independency yaitu deklarasi
kemerdekaan dari jajahan Ingris oleh tiga belas Negara bagian di Amerika
Serikat. Dua hal yang patut dicatat dari aline ke 2 deklarasi tersebut adalah (1)
bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajatnya oleh Maha
Pencipta; (2) bahwa semua manusia telah dianugerahi oleh Maha Pencipta hak-
hak untuk hidup, kebebasan, dan kemerdekaan untuk mencapai/menikmati
kebahagiaan.
Perkembangan di Perancis, yaitu dengan munculnya pernyataan hak-hak
manusia dan warga Negara Perancis pada tahun 1789 yang dimuat dalam The
French Declaration (Declation des Droits de L’homme et du Citoyen), yang pada
prinsipnya menekannkan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki ma-
nusia menurut kodratnya dan karena itu bersifat suci (Sabon, Max Boli, 2014 :
27).
Disebutkan juga bahwa semua orang lahir dengan bebas dan sama
haknya, semua orang mempunyai kebebasan (liberty), hak milik (property), hak
atas keamanan (safety), hak melakukan perlawanan terhadap penindasan
(ressisten to oppression), bebas beragama, dan sebagai warga Negara berhak
untuk ikut membuat undang-undang. Kebebasan (liberty) sebagai dapat
melakukan apa saja yang tidak merugikan orang lain; jadi pelaksanaan hak-hak
kodrati setiap manusia tidak dibatasi kecuali oleh batas-batas yang menjamin

5
pelaksanaan hak-hak yang sama ini bagi anggota masyarakat yang lain. Batas-
batas ini hanya dapat ditetapkan oleh undang-undang. Deklarasi Prancis juga
menjelaskan bahwa hak-hak itu secara kodrati melekat pada diri manusia,
universal dan tidak bisa dicabut. Hak-hak itu dimiliki setiap individu semata-mata
karena dia manusia. Hak-hak itu bersifat individualistis dan membebaskan
(libertarian) dirumuskan dengan kata-kata “bebas dari” dan bukan “berhak atas.
Karel Vasak (seperti yang dikutip Adisusilo) berdasarkan semboyan revolusi
Prancis “Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan” menggolongkan hak asasi
manusia menjadi tiga kelompok. Kata “kebebasan” mengantar pada penjabaran
hak asasi sipil dan politik, seperti hak-hak individu untuk bebas dari campur
tangan Negara yang sewenang-wenang. Kata “persamaan” mengantarkan ada
penjabaran hak asasi yang terkait bidang ekonomi, sosial dan budaya. Kata
“persaudaraan” mengantarkan pada perumusan hak asasi yang terkait dengan
solidaritas antar sesama manusia, seperti hak atas pembangunan, hak atas
perdamaian, dan lain-lain (Adisusilo.S,JR, 2013 : 330).
Meskipun asal usul hukum HAM dapat ditelusuri hingga masa
pembentukan Negara bangsa pada abad ke 17 (di Inggris) atau ke 18 (di
Amerika dan Prancis) namun perjuangan memasukan HAM sebagai bagian dari
hukum internasional baru tampak nyata pada akhir Perang Dunia II.
Perkembangan HAM menjadi bagian dari hukum internasional mencapai
puncaknya dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1946,
Sebagai traktat multirateral maka menciptakan kewajiban yang secara hukum
mengikat semua Negara anggota PBB amatlah penting (Adisusilo.S,JR, 2013 :
333).
Piagam PBB memuat beberapa ketetapan mengenai hak asasi manusia,
Mukadimahnya menyatakan tekad PBB untuk “menyatakan kembali keyakinan
pada hak asasi manusia, pada martabat dan nilai manusia, pada persamaan
harkat pria dan wanita, dan antar Negara besar dan Negara kecil” dan pada
Pasal 1 (3) mencantumkan bahwa salah satu tujuan PBB adalah “menggalakan
dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan

6
asasi bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau
agama” (Adisusilo.S,JR, 2013 : 334).
Peristiwa penting dalam gerakan memajukan hak asasi manusia adalah
disetujuinya oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Universal
Declaration of Human Right atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) pada tahun 1948. DUHAM sendiri secara legal tidak mengikat kepada
48 negara ketika disetujui, dan tidak dirancang sebagai dokumen legal yang
mengikat tetapi merupakan sebuah pernyataan bersama untuk mengakhiri
segala bentuk penindasan, perbudakan dan tindakan sewenang-wenang yang
menyebabkan penderitaan umat manusia terutama pada perang dunia I dan II
(Komnas HAM, 2003 : 32). Hal itu seperti dicantumkan dalam konsideran point 3
DUHAM yang menyatakan bahwa hak asasi manusia perlu dilindungi oleh
peraturan hukum, supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan
sebagai usaha terakhir guna menentang kedzaliman dan penindasan.
Mochtar Kusumaatmadja, seperti yang dikutip Sabon, menjelaskan bahwa
semula DUHAM dipandang kurang memiliki kekuatan mengikat yang andal
karena secara teoritis bentuk hukum sebuah deklarasi tergolong soft law dalam
hukum internasional, berbeda dengan kovenan, konvensi atau traktat yang
tergolong dalam hard law sehingga instrument tersebut hendak ditingkatkan
menjadi sebuah covenant. Akan tetapi, kemudian muncul perbedaan pendapat
yang sangat tajam dan perdebatan sengit antara blok timur dan blok barat
mengenai hak dan kebebasan mana yang lebih menjadi prioritas untuk diproteksi
dan dipromosikan. Blok timur menghendaki hak ekonomi yang diprioritaskan,
sedangkan blok barat menghendaki hak politik yang diprioritaskan. Akhirnya,
peningkatan DUHAM menjadi kovenan tidak dalam satu kovenan, tetapi dua
kovenan yaitu International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Right di
satu pihak, dan International Covenant on Civil and Politic Right di lain pihak.
Keduanya diterima Majelis Umum PBB pada hari yang sama, tanggal 16
Desember 1966. Indonesia telah meratifikasi kedua kovenan tersebut dengan
Undang-Undang No 11 dan No 12 Tahun 2005 (Sabon, Max Boli, 2014 : 29).

7
Sebelumnya, yaitu pada tahun 1999 negara Indonesia telah mengadopsi
nilai-nilai hak asasi manusia yang tercantum dalam DUHAM yang dianggap tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, ke dalam
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Adapun
yang menjadi dasar pemikiran dalam pembentukan undang-undang ini, adalah :
1. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta semesta alam dan segala
isinya.
2. Pada dasarnya manusia dianugrahi jiwa, bentuk, struktur,
kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh
Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya;
3. Untuk melindungi mempertahankan, dan meningkatkan martabat
manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi
manusia, karena tanpa hal tersebut manusia kan kehilangan sifat
dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi
serigala bagi sesamanya (homo homini lupus)
4. Karena manusia merupakan mahluk sosial, maka hak asasi
manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain,
sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa
batas.
5. Asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapa pun dan dalam
keadaan apapun
6. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk
menghormati hak asasi manusia orang lain sehingga di dalam hak
asasi manusia terdapat kewajiban dasar.
7. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan
ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur pemerintah dan
pejabat public lainnya mempunyai kewajiban dan tanggungjawab
menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan dan
penegakkan hak asasi manusia.

C. Penutup
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ideology hak asasi
manusia pada hakekatnya adalah upaya manusia untuk memanusiakan manusia
dengan jalan menghormati, melindungi dan menegakannya. Dan tugas itu
adalah menjadi tanggungjawab Negara utamanya pemerintah (pasal 28 Undang-
Undang Dasar Tahun 1945).
D. Kepustakaan.
1. Adisusilo, Sutarjo. JR, 2013, Sejarah Pemikiran Barat, Jakarta : PT
Grafindo Persada.
2. Alkatiri Zeffry, 2010, Belajar Memahami Ham, Depok : Ruas.

8
3. Azis Hakim A, 2010, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia,
Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar
4. Bagun Rikard dan Servas Pandur (penyunting), 1977, Hak Asasi dalam
Tajuk,Jakarta : Penebar Swadaya.
5. Gautama Chandra dan BN Marbun (editor) , 2000, Hak Asasi Manusia,
Penyelenggaraan Negara yang Baik dan Masyarakat Warga, Jakarta :
Komnas HAM
6. Sabon, Max Boboli, 2014, Hak Asasi Manusia, Bahan Pendidikan untuk
Perguruan Tinggi, Jakarta : Penerbit Universitas Atmajaya
7.

Anda mungkin juga menyukai