Anggota Kelompok :
Fathma Muthi’ah
Jacinda Takiyah
Keisya Dwinka
Kevin Aditya
Magna Charta atau Piagam Agung menjadi tanda bagi lahirnya perlindungan terhadap
HAM yang menjadi inspirasi munculnya perlindungan HAM di tempat lain. Sejarah
perkembangan Hak Asasi Manusia di dunia barat ditandai dengan tiga hal penting, yaitu Magna
Charta, terjadinya revolusi Amerika dan revolusi Prancis.
Sejarah telah mencatat bahwa inggris memberikan jaminan pada para bangsawan serta
keturunannya yang tidak memenjarakan mereka sebelum melalui proses pengadilan. Jaminan
tersebut diberikan bukan tanpa alasan, tapi dikarenakan para bangsawan telah berjasa dalam
membiayai kerajaan, sebagai bentuk balas budi, pihak kerajaan memberikan jaminan, yang
dinamakan Magnha Charta Liberium. Jaminan atau perjanjian tersebut dibuat pada masa raja
Jhon tahun 1215 Masehi.
Pada masa itu bangsawan meminta jaminan sebab kebanyakkan raja jaman dahulu
bertindak sesuka hati, membuat hukum sendiri sedangkan raja kebal terhadap hukum. Hampir
semua aturan yang dibuat menguntungkan raja. Meskipun Maghna Charta tidak berlaku untuk
semua, atau dalam artian hanya untuk para bangsawan, akan tetapi kita tidak bisa memungkiri
bahwa Maghna Charta merupakan tonggak awal perkembangan HAM di dunia.
Revolusi Amerika pada tahun 1776 merupakan peperangan rakyat Amerika melawan
penjajah Inggris. Hasil revolusi ini adalah kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 dari Inggris.
Pada tahun yang sama amerika membuat sejarah dengan menegakan Hak Asasi Manusia, yaitu
memasukannya aturan HAM kedalam perundangan negara.
Hak Asasi Manusia di Amerika dalam perkembangannya lebih komplek dari pada HAM di
Inggris. Bahkan HAM terus disuakan sampai saat ini baik oleh pemerintah maupun rakyat.
Revolusi Prancis setidaknya menghasilkan aturan tentang hak, yaitu hak atas kebebasan,
hak atas kesamaan dan hak atas persaudaraan.
Sebagai contoh, Budi Oetomo memperjuangkan hak masyarakat dan kemanusian lewat
petisi-petisi dan surat yang disampaikan kepada kolonial belanda waktu itu. Kemudian ada
Sarekat Islam yang berusa memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dan menghilangkan
diskriminasi secara rasial.
Ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang
tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM
dan menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada karena manusia mencetuskan dan
membicarakan konsep tersebut. Berbagai definisi tentang HAM memiliki penekanan aspek yang
berbeda, namun pada dasarnya adalah sama, yaitu bersifat kodrati, dimiliki oleh semua orang,
serta berlaku di mana pun dan kapan pun.
John Locke berpendapat Hak Asasi Manusia adalah hak yang langsung di berikan Tuhan
kepada manusia sebagai hak yang kodrati. Oleh sebab itu tidak ada kekuatan di dunia ini
yang bisa mencabutnya. HAM memiliki sifat yang mendasar dan suci.
Jan Materson adalah anggota komisi HAM di PBB. Menurutnya HAM adalah hak-hak
yang ada pada setiap manusia yang tanpanya manusia mustahil hidup sebagai manusia.
Miriam Budiarjo berpendat Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki setiap orang
sejak lahir didunia. Hak itu sifatnya universal, karena hak dimiliki tanpa adanya
perbedaan. Baik itu ras, jenis kelamin, suku dan agama.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa hak asasi
manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Prof. Darji Darmodiarjo mengatakan bahwa hak-hak asasi manusia adalah hak-hak dasar
yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah tuhan yang maha esa. Hak-hak asasi
itu menjadi dasar dari hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Kesimpulan dari berbagai pengertian HAM diatas adalah suatu kebutuhan mendasar
yang harus dimiliki oleh manusia sejak dirinya dalam kandungan. Tujuannya adalah menjamin
keberadaan harkat dan martabat manusia serta menjaga keharmonisan dengan lingkungannya.
Hak ini merupakan hak yang berhubungan dengan kehidupan pribadi setiap orang.
Contoh dari personal human rights ini adalah kebebasan untuk menyampaikan
pendapat, kebebasan untuk berpergian, bergerak, berpindah keberbagai tempat dan
lain sebagainya.
Hak ini menyangkut hak individu dalam hal perekonomian. Contohnya kebebasan dalam
hal jual-beli, perjanjian kontrak, penyelenggaraan sewa-menyewa, memiliki sesuatu dan
memiliki pekerjaan yang pantas.
Hak untuk mendapatkan kependudukan yang sama dalam hal hukum dan
pemerintahan. Contohnya adalah mendapatkan perlakuan yang sama dalam bidang
hukum dan pemerintahan, menjadi pegawai sipil, perlindungan dan pelayanan hukum.
Hak terkait dalam kehidupan masyarakat. Contonya adalah hak untuk menentukan,
memilih, dan melakukan pendidikan. Hak pengajaran untuk mendapatkan budaya sesuai
dengan bakat dan minat.
6. Hak Asasi Dalam Tata Cara Peradilan dan Perlindungan (Procedural Rights)
Hak dalam memperoleh perlakuan sama dalam tata cara pengadilan. Contonya adalah
hak untuk mendapatkan pembelaan hukum, hak untuk mendapatkan perlakuan
pemeriksaan, penyidikan, penangkapan, penggeledahan dan penyidikan antar muka.
Hak dan kewajiban merupakan dua hal yang saling berkaitan. Keduanya memiliki hubungan
sebab-akibat. Seseorang mendapatkan hak setelah menjalankan kewajibannya. Berikut pembahasan
mengenai hak dan kewajiban asasi manusia dalam nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis
pancasila.
1. Hak dan Kewajiban Asasi Manusia Dalam Nilai Dasar Pancasila
Nilai dasar merupakan suatu nilai yang bersifat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh
perubahan waktu. Nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, mencakup cita-cita, tujuan, tatanan
dasar, dan ciri khasnya. Jika disarikan, nilai-nilai dasar dari pancasila terdapat lima prinsip dasar yang
menjadi tolak ukur identitas bangsa Indonesia, yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan,
nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Hubungan antara hak dan kewajiban asasi manusia dalam nilai dasar
pancasila yaitu:
a) Nilai Ketuhanan yang Maha Esa memberikan jaminan dan hak bagi setiap warga Negara
untuk memeluk agama, beribadah, dan menghormati perbedaan agama.
b) Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memberikan jaminan dan hak bagi setiap warga
Negara untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan setara, baik di hadapan hukum dan
undang-undang maupun dalam kehidupan sehari-hari.
c) Nilai Persatuan Indonesia menuntut kewajiban bagi seluruh warga Negara untuk
memelihara persatuan dan kesatuan Indonesia.
e) Nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia menegaskan hak-hak yang harus diterima
oleh setiap warga Negara berupa keadilan dalam pendidikan, kesempatan mengembangkan
diri, kebebasan berpendapat, dan hal lainnya yang berkaitan dengan hak dasar manusia.
Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar untuk kurun waktu dan kondisi
tertentu. Nilai instrumental dapat disesuaikan dengan tuntunan zaman, namun tetap mengacu pada
nilai dasar yang dijabarkannya. Perwujudan nilai instrumental umumnya berbentuk peraturan, mulai
dari undang-undang dasar hingga peraturan daerah. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan hak asasi manusia yaitu:
a) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang maha esa
kepada orang lain.
b) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya terhadap Tuhan yang maha esa.
c) Membina kerukunan hidup diantara sesama umat beragama dan kepercayaan tuhan
yang maha esa.
Tragedi Tanjung Priok merupakan kerusuhan yang melibatkan tentara dan warga sipil di
Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 12 September 1984. Peristiwa ini merupakan salah satu
kerusuhan besar yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto. Menurut catatan Irfan S.
Awwas dalam Bencana Umat Islam di Indonesia 1980-2000, kerusuhan di Tanjung Priok berawal
dari cekcok antara Bintara Pembina Desa (Babinsa) dengan warga pada 10 September 1984.
Saat itu, Babinsa meminta warga mencopot spanduk dan brosur yang dianggap “tidak
bernapaskan Pancasila”. Sebagaimana diketahui, saat itu Pemerintah Orde Baru melarang
paham-paham yang dianggap anti-Pancasila. Selang dua hari, spanduk yang dipasang di Masjid
Baitul Makmur itu tidak juga dilepas oleh warga. Petugas Babinsa lantas mencopot spanduk itu
sendiri.
Petugas Babinsa juga disebut tidak melepas alas kaki saat masuk ke dalam Masjid Baitul
Makmur. Kabar ini membuat warga menjadi berang dan kemudian berkumpul di masjid.
Pengurus Masjid Baitul Makmur, Syarifuddin Rambe, Sofwan Sulaeman, dan Ahmad Sahi
mencoba menenangkan warga. Namun, warga yang sudah emosi membakar sepeda motor
petugas Babinsa.
Alhasil, Syarifuddin, Sofwan, Ahmad, dan warga yang diduga membakar motor, yakni
Muhammad Nur, ditangkap aparat. Keesokan harinya, pada 11 September 1984, beberapa
warga meminta bantuan tokoh masyarakat setempat yakni Amir Biki untuk menyelesaikan
permasalahan ini. Amir Biki dan sejumlah warga pun mendatangi Komando Distrik Militer
(Kodim) Jakarta Utara. Mereka meminta dengan baik-baik agar jemaah dan pengurus masjid
dilepaskan. Permintaan ini tak ditanggapi.
Sekembalinya dari Kodim, Amir Biki mengadakan pertemuan dengan para tokoh muslim se-
Jakarta untuk membahas masalah tersebut. Kepada aparat diminta untuk melepaskan keempat
jamaah yang ditahan dan segera diantar ke mimbar sebelum pukul 23.00 WIB. Tuntutan itu tak
juga dipenuhi. Massa dibagi menjadi dua kelompok untuk bergerak menuju Kodim dan Polsek.
Pada pagi harinya, tanggal 12 September 1984, sekitar 1.500 orang mulai bergerak.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS) berjudul “Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi
Priok”, kedatangan sekitar 1.500 orang massa mendapat hadangan aparat militer bersenjata
lengkap. "Saya melihat tentara mundur tetapi mengarahkan senjatanya ke arah massa," kata
Irta Sumitra, salah satu massa aksi dalam kesaksiannya di laporan KontraS.
Massa yang datang saat itu, meski dihadapkan dengan senjata api, tetap menuntut
pembebasan atas kawan-kawan mereka. Namun, tuntutan massa dibalas oleh aparat dengan
peringatan untuk membubarkan diri. Situasi semakin memanas, dan tentara langsung
melepaskan rentetan tembakan ke arah massa. Korban pun berjatuhan. Bahkan, masih
menurut laporan KontraS, beberapa massa yang selamat ditangkap dan disiksa oleh aparat.
Sementara itu, lokasi penembakan langsung dibersihkan sehingga tak terdapat tanda-tanda
kerusuhan. Angka pasti mengenai jumlah korban, baik yang tewas, luka-luka, maupun hilang,
dalam tragedi di Tanjung Priok tidak diketahui karena pemerintah Orde Baru saat itu menutupi
fakta yang sebenarnya.
Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang tewas dan 53 orang
luka-luka dalam insiden tersebut. Namun, pernyataan itu sangat berbeda dengan data dari
Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak), yang menyebut bahwa tidak kurang dari 400
orang tewas dalam tragedi berdarah itu, belum termasuk yang luka dan hilang.