Anda di halaman 1dari 3

ANALISIS TRAGEDI SUM KUNING

Pengantar Ilmu Politik


Disusun Oleh:
Multazam Akbar

Pemerkosaan Sum Kuning pernah mencoreng wajah penegakan hukum Indonesia. Abainya Polri
terhadap kejahatan seksual yang menimpa wanita penjual telur bernama Sumaridjen jadi
muasalnya. Sum dipojokkan sebagai “maling teriak maling.” Ia juga dituduh simpatisan Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Sumaridjem atau dikenal sum kuning,lahir pada tahun 1952/1953. Kejadian ini terjadi pada
tanggal 21 september 1970 umurnya baru mengijak sekitaran 18/19 tahunan. Dia membantu
pekerjaan ibu dan bapaknya berjualan telur dalam sehari 200 butir, karena pada jaman tersebut
belum menyediakan jasa antar sum kuning lantas berjalan kaki melewati jalan Patuk menuju
jalan Ngupasan Yogyakarta, dia berjualan sekitaran Kota Baru, Suryobrata, Ngaseem, Patuk,
Tegal Mulyo, dan sekitaran desa tersebut. Pada malam tanggal 21 September 1970 sum
terlambat pulang kerumahnya karena ketinggalan bis, hingga memutuskan untuk berjalan kaki
dalam susasana pinggiran kota Yogyakarta yang sepi untuk kembali kerumahnya Sum lalu
disekap.. Tampak olehnya pemuda-pemuda gondrong turun dari mobil itu dan dengan paksa
menarik Sumaridjem untuk masuk ke mobil. Ia berusaha dengan sekuat tenaga menolak paksaan
brandal-brandal itu, namun tak berhasil,
Sum ketakutan bukan main. Ia berontak tapi tak mampu berteriak. Berteriak sama dengan mati.
Mobil itu diisi empat laki-laki. Tiga di antaranya berambut gondrong dan satu cepak. Lama-
kelamaan, reaksi obat bius mulai dirasakan oleh Sum. Kesadarannya mulai terganggu. Tapi Sum
sempat merasakan bagaimana kain panjangnya disingkap. Kaki dan tangannya ditekan oleh
pemuda-pemuda sambil bernyanyi-nyanyi. Sum lalu diperkosa secara bergiliran hingga jatuh
pingsan.
Ketika sadar Sum merasakan kesakitan di selangkangannya. Kaki dan kain panjangnya
berlumuran darah. Sum benar-benar tak berdaya. Uang hasil jualan telur sebanyak Rp4.650 turut
digarong pemerkosa. Uang jerih payah untuk modal jualan esok hari dan menafkahi keluarga.
“Dalam kondisi masih setengah sadar, lelah, didera kesakitan fisik dan psikis, Sum didorong
keluar mobil. Tenyata Sum dibuang di pinggir jalan raya Wates-Purworejo, tepatnya di daerah
Palemgurih, Gamping, Sleman, sekitar 5 KM barat Kota Yogya.” Sambil menahan sakit, Sum
segera bangkit berjalan ke arah Kota Yogyakarta. Satu-satunya yang terpikirkan Sum adalah
rumah dari seorang langganannya di Bumijo, Nyonya Sulardi. Berbekal uang Rp100, ia naik
becak. Tangis Sum pecah ketika sampai di lokasi. Ia diinapkan di rumah sakit.
Peristiwa pemerkosaan itu membuat Sum kuning harus dirawat di rumah sakit selama empat
hari. Pihak Kepolisian Yogyakarta bukannya membantu tapi malah memainkan drama “Maling
teriak maling.” Sum sebagai korban tak saja diletakkan di kursi pesakitan tapi mulai digiring jadi
tersangka. Sum dituduh telah menyebarkan berita bohong. Selepas dari rumah sakit Sum ditahan.
Ruang geraknya dibatasi. Bahkan polisi mengancam Sum akan disetrum kalau ia tak mengakui
versi lain dari ceritanya.
“Konon, perkosaan ini dilakukan anak petinggi di Yogyakarta. Ironisnya, korban perkosaan
sendiri malah ditahan karena dituduh memberikan laporan palsu. Kasus ini semakin menarik
perhatian masyarakat karena persidangannya dilakukan secara tertutup. Bahkan wartawan yang
menulis berita peristiwa ini harus berurusan dengan militer. Kemudian peristiwa ini melebar,
sampai korban perkosaan ini dituduh sebagai anggota Gerwani, organisasi perempuan yang
dianggap berafiliasi dengan PKI.” “Kemudian dihadirkan pula seorang penjual bakso yang
disangkakan sebagai pelaku pemerkosaan, yang tentu saja dibantahnya di pengadilan. Lantas,
ada pula sepuluh pemuda yang disuruh mengaku sebagai pemerkosa, juga menyangkal
melakukan pemerkosaan, bahkan bersumpah rela mati jika memerkosa.
Kontroversi dari kasus Sum kian merebak karena muncul versi dari makelar mobil bernama
Budidono. Ia mengaku jadi salah satu dari empat pemuda yang memerkosa. Budidono kemudian
memaparkan fakta mencengangkan bahwa ada keterlibatan anak para penggede di Yogya
semakin memanaskan keadaan. Budidono, menjelaskan orang yang bersamanya tak lain
murpurta dari Brigjen Katamso. Sementara lainnya adalah Angling Putra dari Paku Alam VIII,
yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Yogyakarta. Terakahir, adalah Ismet. Laporan itu
segera membuat perhatian warga Yogyakarta dan Indonesia terfokus pada kasus Sum Kuning.
Khalayak tambah curiga lagi karena pada zaman itu hanya orang kaya dan sangat kaya saja yang
memiliki mobil. Sekalipun Sum sudah dibebaskan, Hukuman yang diberikan kepada Sum
Kuning membuat Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso (1968-1971) geram. Ia kemudian
menaruh perhatian lebih pada kasus Sum Kuning.

Polisi jujur itu menjadikan kasus Sum Kuning sebagai ajang pembuktiannya sebagai kapolri
yang tak pandang bulu. Hoegeng menyakini muara kasus Sum Kuning ada pada versi yang
menyebut terkait keterlibatan anak-anak pejabat. Bukan pada versi polisi Yogyakarta yang
menyebut pemerkosa adalah orang biasa. Hoegeng segera meminta pertanggunjawaban dari
Kepolisian Yogyakarta. Awal januari 1971, Hoegeng memerintahkan pembentukan sebuah tim
untuk menangani kasus Sum Kuning. Nama tim tersebut adalah Tim Pemeriksa Sum Kuning.
“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya
takut kepada Tuhan Yang Maha Ea. Jadi, walaupun keluarga sendiri kalau salah tetap kita tindak.
Geraklah, the sooner the better,” ungkap Hoegeng. Di bulan yang sama, Hoegeng menceritakan
perkembangan kasusnya kepada Presiden Soeharto. Dalam pertemuan yang berlangsung,
Soeharto justru tak begitu tertarik dengan kasus Sum Kuning. The Smiling General justru
menginstruksikan perkara Sum Kuning ditangani oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (Kopkamtip).
Sikap Soeharto dinilai janggal seraya kasus Sum Kuning lebih dari perkara kriminal biasa.
Sebelum kasus terungkap, Hoegeng justru diberhentikan oleh Soeharto pada 2 Oktober 1971.
Bersamaan dengan itu, gaung kasus Sum Kuning semenjak diambil oleh Kopkamptip hilang dari
permukaan. Pada akhirnya, pengungkapan pelaku sebenarnya tak tersentuh hukum, setidaknya
hingga saat ini. Hoegeng lalu menyesali tindakan pemerintah Orba yang melakukan pembiaran
urusan Polri dicampuri pihak lain.
“Harapan saya agar urusan Polri tidak dicampurtangani pihak lain, menjadi memprihatinkan
dalam penanganan kasus Sum Kuning di Yogya. Penanganan kasus it menjadi petanda buruk
bahwa mustahil dalam waktu dekat semua fungsi polisional diserahkan kepada Polri,” tutup
Hoegeng.
Lemahnya keadilan dinegeri ini membuat hukum tumpul keatas tajam kebawah,orang-orang
jujur berkeadilan tinggi justru dihilangkan, aneh penguasa-penguasa serakah demi kepentingan
sendiri.

KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA HANYALAH LISAN


DIATAS KERTAS.

Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai