Anda di halaman 1dari 18

ILHAM AKBAR HIOLA

KAJIAN FIKSI

Pantologi Sosial dari Teori Burial Pada Novel yang Berjudul ‘Bungkam Suara’ Karya J,S.
KHAIREN

1. Patologi Sosial: Kriminalitas

Menurut pandangan sosiologi kriminalitas dapat diartikan sebagai semua bentuk


tingkah laku yang melanggar norma-norma sosial, serta merugikan dan mengganggu
keselamatan masyarakat, baik secara ekonomis, politis, maupun sosiaal-psikologis
(Burlian, 2016;128). Berdasarkan teori tersebut kriminalitas masuk dalam bentuk
patologi sosial. Dalam pembahasan kriminalitas dikelompokan menjadi beberapa
bagian, salah satunya kriminalitas menurut bentuk dan jenisnya. Kriminalitas menurut
bentuk dan jenisnya yaitu Pembullyan, penipuan, pencuriaaan, kekerasan, dan
sebagainya (Burlian, 2016: 130)

 Pembullyan yang dialami ulung hanya karena dituduh ayahnya adalah


seorang penghianat negara.

“Heee ayahnya penipu, dia juga pasti penipu. Suka curang! Ulung menirukan
hinaan para remaja itu.”(5)

Kutipan novel tersebut menunjukkan bagaimana seorang anak muda yang menjadi
korban dari perundungan verbal oleh para remaja lainnya. Dia dihina karena ayahnya adalah
seorang penipu yang suka curang. Dia juga dianggap sebagai penipu yang ulung menirukan.
Perundungan ini menimbulkan rasa sakit, marah, dan dendam di hati si anak muda. Dia
merasa tidak dihargai, tidak diakui, dan tidak dicintai oleh lingkungannya. Dia merasa
sendirian, terasing, dan tidak berdaya.

Perundungan verbal adalah salah satu bentuk kriminalitas yang sering diabaikan atau
diremehkan, padahal dampaknya bisa sangat besar bagi kesehatan mental dan emosional
korban. Perundungan verbal bisa menyebabkan depresi, stres, kecemasan, rendah diri, isolasi
sosial, bahkan bunuh diri. Perundungan verbal juga bisa memicu perilaku agresif, balas
dendam, atau kekerasan fisik. Perundungan verbal, baik yang dilakukan secara langsung
maupun melalui media sosial, harus dicegah dan ditangani dengan serius oleh semua pihak,
termasuk keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah.

“Mereka main kasar. Algojo Raja-Raja itu tidak ada aturan hukumnya. Ini bak
dua mata pisau. Saat ada kasus hukum yang membuat rakyat marah, maka Algojo
Raja-Raja akan segera menegakkan dengan cara sesuka hati mereka. Rakyat senang,
tapi tak sadar kalau itu akan berbahaya bagi rakyat juga. Sementara kita jika hendak
menegakkan sesuatu, harus lewat Kepolisian Kerajaan yang taat prosedur. Ini benar
secara hukum, tapi di mata masyarakat kita justru terkesan lambat. Itulah yang
membuat Algojo Raja-Raja jauh lebih dihormati sekaligus ditakuti. Sementara
Kepolisian Kerajaan dinilai tak becus. Ujung-ujungnya yang ditanya adalah siapa?
Pemangku Adat sebagai pemimpin mereka. Lama-lama, orang menilai Pemangku
Adat dan semua fungsinya itu tak penting lagi “ (198)

Kutipan diatas menjelaskan bahwa Algojo Raja-Raja atau Tentara Kerajaan telah
menjadi orang-orang yang tidak mengenal aturan hukum dan bertindak sesuka hati
mereka, asalkan tindakannya bisa menaikkan reputasi mereka di Masyarakat maka
mereka akan menindakknya sesuka hati mereka tanpa melalui Proses Hukum.
Berbeda ketika yang bermasalah adalah bagian dari kerajaan barulah proses hukum
yang terkesan lambat akan berlaku.

Kutipan novel tersebut juga menunjukkan salah satu bentuk kriminalitas yang terjadi
di NKAL, yaitu kriminalitas kekerasan. Kriminalitas kekerasan adalah tindakan yang
melanggar hukum dan mengakibatkan kerusakan fisik atau psikologis pada korban.
Dalam kutipan novel tersebut, kita dapat melihat bagaimana Algojo Raja-Raja, yaitu
pasukan khusus yang bertugas menegakkan hukum di NKAL, melakukan kekerasan
secara sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dianggap bersalah. Algojo Raja-
Raja tidak mengikuti prosedur hukum yang berlaku, melainkan menghukum orang-
orang dengan cara sesuka hati mereka, seperti membunuh, menyiksa, atau
mempermalukan. Algojo Raja-Raja juga tidak mempedulikan hak asasi manusia,
seperti hak untuk mendapatkan pembelaan, hak untuk mendapatkan perlakuan yang
adil, atau hak untuk mendapatkan kepastian hukum.

Kriminalitas kekerasan yang dilakukan oleh Algojo Raja-Raja ini memiliki dampak
yang negatif bagi NKAL, baik secara individu maupun kolektif. Secara individu,
kriminalitas kekerasan ini menimbulkan rasa takut, trauma, marah, atau benci pada
korban dan keluarganya. Secara kolektif, kriminalitas kekerasan ini menimbulkan
ketidakpercayaan, ketidakadilan, ketidakstabilan, atau ketidakharmonisan pada
masyarakat dan negara. Kriminalitas kekerasan ini juga menurunkan kredibilitas dan
legitimasi dari pemerintah, khususnya Pemangku Adat, yang dianggap tidak mampu
atau tidak mau menegakkan hukum yang benar dan adil.

"Eh sini saya bantu. Tidak apa, sedikit lagi," kata Timmy kepada seorang kakek-
kakek tua. Timmy pura-pura memindai gadget kakek itu. "Nanti saya registrasikan
durian-durian ini atas nama kakek"
Ada delapan durian yang dibawa kakek itu. Dan hanya enam yang Timmy daftarkan
atas nama si kakek. Dua lagi, la korupsi untuk terdaftar menjadi hasil panennya. (21)

Kutipan diatas menjelaskan bahwa ,

“ Jujur, oh Jujur. Namamu itu seharusnya bukan Jujur, tapi Polos. Ini era
propaganda terkomputasi. Pikiran kita, pikiran orang-orang, mudah sekali dicuci.
Buat pemberitaan secara terprogram, bayar buzzer, bikin berita judul aneh-aneh,
bikin gerakan-gerakan, kampanye moral, propaganda, itu semua sudah umum. Kita
sering membahas ini di seminar dan kuliah- kuliah umum. Rakyat diadu dengan
rakyat, dengan aparat, dengan semua pihak. Berdarah-darah, caci maki, demi uang,
kedudukan atau bahkan sekadar pamor.” (94)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa sekarang kita berada di era propaganda di mana
semua hal bisa dimanipulasi dan mengadu domba antara pihak satu dan yang lainnya
yang mengakibatkan meningkatnya angka kriminalitas di lingkungan masyarakat.

Kutipan diatas juga menunjukkan salah satu bentuk kriminalitas yang terjadi di
NKAL, yaitu kriminalitas propaganda. Kriminalitas propaganda adalah tindakan yang
melanggar hukum dan memanipulasi pikiran, perasaan, atau perilaku orang-orang
dengan cara menyebarkan informasi yang salah, menyesatkan, atau menghasut³.
Dalam kutipan novel tersebut, kita dapat melihat bagaimana era propaganda
terkomputasi telah mempengaruhi masyarakat NKAL. Dengan menggunakan
teknologi, media, dan buzzer, para pelaku propaganda dapat membuat pemberitaan
secara terprogram, membuat berita judul aneh-aneh, membuat gerakan-gerakan,
kampanye moral, atau propaganda lainnya. Tujuan dari propaganda ini adalah untuk
menciptakan opini publik yang sesuai dengan kepentingan, agenda, atau ideologi
tertentu. Propaganda ini juga dapat digunakan untuk memecah belah, mengadu
domba, atau memprovokasi rakyat, aparat, atau pihak-pihak lainnya.

Kriminalitas propaganda yang terjadi di NKAL ini memiliki dampak yang negatif
bagi NKAL, baik secara individu maupun kolektif. Secara individu, kriminalitas
propaganda ini menimbulkan rasa bingung, takut, marah, atau benci pada orang-orang
yang terpengaruh olehnya. Secara kolektif, kriminalitas propaganda ini menimbulkan
ketidakharmonisan, ketidakpercayaan, ketidakadilan, atau ketidakstabilan pada
masyarakat dan negara. Kriminalitas propaganda ini juga menurunkan kualitas dan
integritas dari informasi, komunikasi, dan partisipasi publik, yang seharusnya menjadi
dasar dari demokrasi dan kesejahteraan rakyat.

"Aku tidak bisa percaya, bahwa di balik seragam putih abu-abu yang mereka
kenakan, ada sekelompok pelajar yang menjadi anggota geng kriminal. Aku tidak
bisa percaya, bahwa mereka telah melakukan berbagai kejahatan, mulai dari
perampokan, pemerasan, hingga pembunuhan. Aku tidak bisa percaya, bahwa
mereka adalah murid-muridku, yang seharusnya belajar dan berprestasi di sekolah.
Aku tidak bisa percaya, bahwa mereka adalah anak-anak NKAL, yang seharusnya
menjadi generasi penerus bangsa." (hal. 87)

Kutipan ini menunjukkan bagaimana tokoh Pak Surya, seorang guru yang menjadi
saksi mata dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh murid-muridnya, merasa
terkejut dan sedih. Kutipan ini juga menggambarkan betapa kriminalitas bisa merusak
masa depan dan harapan seorang anak, yang seharusnya menjadi aset bagi negara.
Kutipan ini juga mengkritik sistem pendidikan dan lingkungan sosial yang tidak
mendukung perkembangan karakter dan moral anak-anak NKAL.

Kutipan novel yang Anda berikan menunjukkan salah satu bentuk kriminalitas yang
terjadi di NKAL, yaitu kriminalitas pelajar. Kriminalitas pelajar adalah tindakan yang
melanggar hukum dan dilakukan oleh pelajar, baik secara individu maupun kelompok.
Dalam kutipan novel tersebut, kita dapat melihat bagaimana sekelompok pelajar yang
menjadi anggota geng kriminal, yang melakukan berbagai kejahatan, mulai dari
perampokan, pemerasan, hingga pembunuhan. Mereka menyembunyikan identitas
mereka di balik seragam putih abu-abu, yang seharusnya menjadi simbol kesucian dan
kedisiplinan. Mereka juga mengkhianati harapan dan tanggung jawab mereka sebagai
murid dan sebagai anak-anak NKAL, yang seharusnya belajar dan berprestasi di
sekolah, dan menjadi generasi penerus bangsa.

Kriminalitas pelajar yang terjadi di NKAL ini memiliki dampak yang negatif bagi
NKAL, baik secara individu maupun kolektif. Secara individu, kriminalitas pelajar ini
menimbulkan rasa tidak percaya, tidak hormat, tidak peduli, atau tidak bertanggung
jawab pada pelaku dan korban. Secara kolektif, kriminalitas pelajar ini menimbulkan
kerusakan moral, sosial, pendidikan, atau keamanan pada masyarakat dan negara.
Kriminalitas pelajar ini juga menurunkan potensi dan kualitas dari sumber daya
manusia, yang seharusnya menjadi modal utama untuk kemajuan dan kesejahteraan
NKAL.

2. Patologi Sosial: Pornografi/Pornoaksi

Patologi sosial terkait dengan pornografi merujuk pada ketidaknormalan atau


ketidaksehatan dalam konteks konsumsi, produksi, atau distribusi materi pornografi.
Pornografi dianggap sebagai patologi sosial ketika dampaknya menciptakan masalah
dalam tingkah laku individu atau dalam fungsi sosial masyarakat. Ini dapat mencakup
dampak negatif seperti kecanduan seksual, perubahan perilaku seksual yang
merugikan, atau ketidaksetujuan sosial yang signifikan terhadap materi pornografi.


“Para bawahan Jenderal Rohito ternyata kerap mendapat ujaran
mesum. Ajakan aneh-aneh. Tindakan tidak senonoh. Kiriman foto-foto
vulgar. Ia takut berbicara selama ini karena berurusan dengan jenderal
Tentara Kerajaan” (141)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa para bawahan dari Jenderal rohito sering
mendapatkan tindak pelecehan dan pornografi berupa foto-foto vulgar. Kutipan diatas
menunjukkan salah satu bentuk Patologi Sosial yang terjadi di NKAL, yaitu Patologi
Sosial: Pornografi. Pornografi adalah tindakan yang melanggar hukum dan
menyerang kesusilaan dengan cara menyebarkan, memproduksi, atau mengkonsumsi
materi-materi yang menggambarkan aktivitas seksual secara eksplisit. Dalam kutipan
novel tersebut, kita dapat melihat bagaimana para bawahan Jenderal Rohito, yang
merupakan seorang pejabat tinggi di Tentara Kerajaan, kerap mendapat ujaran
mesum, ajakan aneh-aneh, tindakan tidak senonoh, dan kiriman foto-foto vulgar dari
atasannya. Mereka takut berbicara atau melapor karena berurusan dengan jenderal
yang berkuasa dan berpengaruh. Mereka juga merasa terhina, terintimidasi, dan
terganggu oleh perlakuan tidak pantas tersebut.

Pornografi yang terjadi di NKAL ini memiliki dampak yang negatif bagi
NKAL, baik secara individu maupun kolektif. Secara individu, kriminalitas
pornografi ini menimbulkan rasa malu, marah, trauma, atau depresi pada korban dan
pelaku. Secara kolektif, kriminalitas pornografi ini menimbulkan kerusakan moral,
sosial, budaya, atau hukum pada masyarakat dan negara. Pornografi ini juga
menurunkan kredibilitas dan integritas dari institusi-institusi publik, seperti Tentara
Kerajaan, yang seharusnya menjadi penjaga dan pelindung NKAL.

“Halo, nama saya Brodi. Saya mau menceritakan kejadian di sekolah saya
yang tidak mengenakkan. Ini sudah saya pendam dua tahun lalu."

Terkait sekolah saya. Sekolah Tingkat Atas (STA) 77. Ia mulai terisak.
"Biasanya ini anak-anak perempuan. Tapi, tapi," ia tambah terisak, "saya
sudah tidak tahan. Kepala sekolah kami melakukan pelecehan. Awalnya saya
dipanggil ke ruangannya karena dianggap melanggar aturan. Dianggap
bolos." Nada bicaranya sudah tak beraturan. "Tapi setelah dimarahi, sa...
saya... ini saya dipegang- pegang. Bagian bawah tubuh saya." (265)
Pelecehan seksual yang dialami oleh seorang warga NKAL dimasa Ia
bersekolah dahulu, dengan menggunakan nama samaran BRODI ia menceritakan
pelecehanm yang Ia Alami disaat Hari Bebas Bicara. Kutipan novel diatas juga
menunjukkan salah satu bentuk patologi sosial yang terjadi di NKAL, yaitu
pornoaksi. Dalam kutipan novel tersebut, kita dapat melihat bagaimana Brodi,
seorang siswa di Sekolah Tingkat Atas (STA) 77, menjadi korban pelecehan seksual
oleh kepala sekolahnya. Brodi dipanggil ke ruangan kepala sekolah dengan alasan
melanggar aturan, padahal ia tidak bersalah. Di ruangan tersebut, Brodi dipegang-
pegang bagian bawah tubuhnya oleh kepala sekolah, yang merupakan tindakan tidak
senonoh dan tidak pantas. Brodi merasa sangat tidak nyaman, tidak berdaya, dan tidak
berani melawan atau melapor. Brodi juga merasa sangat malu, marah, dan trauma.

Pornoaksi yang terjadi di NKAL ini memiliki dampak yang negatif bagi NKAL, baik secara
individu maupun kolektif. Secara individu, pornoaksi ini menimbulkan rasa sakit, ketakutan,
kehilangan kepercayaan diri, gangguan psikologis, atau penyakit menular seksual pada
korban dan pelaku. Secara kolektif, pornoaksi ini menimbulkan kerusakan moral, sosial,
pendidikan, atau hukum pada masyarakat dan negara. Pornoaksi ini juga menurunkan
kredibilitas dan integritas dari lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, yang
seharusnya menjadi tempat belajar dan berkembang bagi siswa.

3. Patologi Sosial: Korupsi

“Jadi apa yang kau temukan? Aku tak pernah bayar pajak, heh?”(242)

“Setimpal, bukan? Pajak untuk negara yang seharusnya diterima pihak Pemangku Adat
(Presiden), Justru aku bayarkan jadi upeti untuk pihak Kerajaan (suap).” (242)

“Lihatlah, uang telah membuatku masuk kemana-mana. Bahkan membangunkan Raja jam
segini.” (242)

Kutipan diatas menjelaskan bahwa seorang Garang Sasono yang hanya merupakan seorang
tuan kebun bisa dengan bebas berkeliaran disekitaran area Kerajaan yang seharusnya
terlarang bagi orang asing, namun karena Garang Sasono telah menyuap pihak Kerajaan ia
jadi mempunyai akses lebih. Kutipan diatas juga menunjukkan salah satu bentuk patologi
sosial yang terjadi di NKAL, yaitu korupsi. Korupsi adalah tindakan yang melanggar hukum
dan menguntungkan diri sendiri atau pihak lain dengan cara menyalahgunakan kekuasaan,
jabatan, atau kedudukan. Dalam kutipan novel tersebut, kita dapat melihat bagaimana seorang
tokoh yang tidak disebutkan namanya, mengaku tidak pernah membayar pajak, tetapi malah
memberikan suap kepada pihak Kerajaan, yaitu Raja Utama dan para bawahannya. Tokoh ini
juga menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa uang telah membuatnya masuk ke
mana-mana, bahkan membangunkan Raja di tengah malam.

Patologi sosial: korupsi yang terjadi di NKAL ini memiliki dampak yang negatif bagi NKAL,
baik secara individu maupun kolektif. Secara individu, patologi sosial: korupsi ini
menimbulkan rasa tidak adil, tidak puas, tidak percaya, atau tidak hormat pada masyarakat.
Secara kolektif, patologi sosial: korupsi ini menimbulkan kerugian ekonomi, sosial, politik,
atau budaya pada negara. Patologi sosial: korupsi ini juga menurunkan kualitas dan
efektivitas dari pemerintahan, khususnya Pemangku Adat, yang seharusnya menjadi
pemimpin yang bijaksana dan adil.

“Senua informasi darimana uang aang Raja, juga anggota-anggota keluarganya, juga
semua Raja kecil dan Raja menengah di berbagai distrik. Dua puluh persen saja dari total
semua kekayaan ini yang dapat di ketahui asalnya. Artinya...” (280)

“Mega Korupsi!” Sambung Munar. (280)

Kutipan diatas menjelaskan tentang terungkapnya kasus korupsi besar-besaran yang


dilakukan oleh keluarga kerajaan, yang salah satu buktinya adalah hanya sekitar dua puluh
persen dari total kekayaan para petinggi kerajaan yang tercatat dalam sistem. Kutipan novel
diatas juga menunjukkan salah satu bentuk kriminalitas yang terjadi di NKAL, yaitu mega
korupsi. Mega korupsi adalah tindakan yang melanggar hukum dan menguntungkan diri
sendiri atau pihak lain dengan cara menyalahgunakan kekuasaan, jabatan, atau kedudukan
dalam skala besar. Dalam kutipan novel tersebut, kita dapat melihat bagaimana seorang tokoh
yang tidak disebutkan namanya, mengaku tidak pernah membayar pajak, tetapi malah
memberikan suap kepada pihak Kerajaan, yaitu Raja Utama dan para bawahannya. Tokoh ini
juga menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa uang telah membuatnya masuk ke
mana-mana, bahkan membangunkan Raja di tengah malam.

Kriminalitas mega korupsi yang terjadi di NKAL ini memiliki dampak yang negatif bagi
NKAL, baik secara individu maupun kolektif. Secara individu, kriminalitas mega korupsi ini
menimbulkan rasa tidak adil, tidak puas, tidak percaya, atau tidak hormat pada masyarakat.
Secara kolektif, kriminalitas mega korupsi ini menimbulkan kerugian ekonomi, sosial,
politik, atau budaya pada negara. Kriminalitas mega korupsi ini juga menurunkan kualitas
dan efektivitas dari pemerintahan, khususnya Pemangku Adat, yang seharusnya menjadi
pemimpin yang bijaksana dan adil.

"Aku tahu, kau pasti heran. Bagaimana bisa seorang Raja Utama yang seharusnya menjadi
panutan rakyat, malah terlibat dalam kasus korupsi yang merugikan negara. Aku juga tidak
menyangka, bahwa di balik senyum manis dan pidato-pidato yang mengharukan, ada niat
jahat yang tersembunyi. Aku tidak tahu, kapan dan bagaimana ia mulai berubah. Yang aku
tahu, ia sudah terjerumus ke dalam lubang hitam yang tidak ada jalan keluarnya. Ia sudah
tergoda oleh godaan uang, kekuasaan, dan wanita. Ia sudah melupakan sumpahnya sebagai
Raja Utama, untuk menjaga keutuhan dan kemakmuran NKAL. Ia sudah mengkhianati
rakyatnya, yang telah memilihnya dengan harapan dan kepercayaan." (hal. 234)

Kutipan ini menunjukkan bagaimana tokoh Juju Timur, seorang wartawan yang menjadi
narator utama novel ini, mengungkapkan rasa kecewanya terhadap Raja Utama NKAL, yang
ternyata terlibat dalam skandal korupsi besar-besaran. Kutipan ini juga menggambarkan
betapa korupsi bisa merusak moral dan integritas seorang pemimpin, yang seharusnya
menjadi teladan bagi rakyatnya. Kutipan ini juga mengkritik sistem pemilihan Raja Utama,
yang tidak transparan dan rentan dimanipulasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Korupsi merupakan tindakan melanggar hukum yang bertujuan untuk memperoleh


keuntungan pribadi atau kepentingan pihak lain dengan cara menyalahgunakan kekuasaan,
jabatan, atau posisi. Dalam kutipan novel tersebut, tergambar bagaimana Raja Utama, sebagai
pemimpin tertinggi di NKAL, terlibat dalam kasus korupsi yang merugikan negara. Di balik
senyum manis dan pidato-pidato yang mengharukan, terungkap niat jahat yang tersembunyi
dalam diri Raja Utama. Ia telah berubah menjadi individu yang rakus, haus kekuasaan, dan
tidak setia terhadap sumpahnya sebagai Raja Utama, yang seharusnya bersumpah untuk
menjaga keutuhan dan kemakmuran NKAL. Raja Utama telah mengkhianati harapan dan
kepercayaan rakyat yang memilihnya.

Dampak negatif dari korupsi di NKAL terlihat dalam patologi sosial, baik dari segi individu
maupun secara keseluruhan. Pada tingkat individu, korupsi menciptakan ketidakadilan,
ketidakpuasan, ketidakpercayaan, dan kurangnya rasa hormat dalam masyarakat. Pada tingkat
kolektif, patologi sosial ini mengakibatkan kerugian ekonomi, sosial, politik, dan budaya bagi
negara. Selain itu, korupsi sebagai patologi sosial menurunkan kualitas dan efektivitas
pemerintahan, terutama dalam hal peran Pemangku Adat yang seharusnya menjadi pemimpin
yang bijaksana dan adil.

"Aku tidak percaya, bahwa di balik wajah tampan dan sikap ramahnya, ada seorang
koruptor yang licik dan rakus. Aku tidak percaya, bahwa ia telah menggelapkan dana rakyat
sebesar lima puluh miliar rupiah, yang seharusnya digunakan untuk membangun
infrastruktur dan kesejahteraan rakyat. Aku tidak percaya, bahwa ia telah mengkhianati
NKAL, negara yang telah memberinya segalanya. Aku tidak percaya, bahwa ia adalah
Pemangku Adat, pemimpin yang kucintai dan kagumi." (hal. 156)

Kutipan ini menunjukkan bagaimana tokoh Rani, seorang guru yang menjadi kekasih
Pemangku Adat, merasa terpukul dan kecewa ketika mengetahui bahwa Pemangku Adat
ternyata seorang koruptor yang telah merugikan negara dan rakyat. Kutipan ini juga
menggambarkan betapa korupsi bisa merusak hubungan dan kepercayaan antara orang-orang
yang saling mencintai.

Korupsi adalah tindakan yang melanggar hukum dan menguntungkan diri sendiri atau pihak
lain dengan cara menyalahgunakan kekuasaan, jabatan, atau kedudukan. Dalam kutipan novel
tersebut, kita dapat melihat bagaimana Pemangku Adat, yang merupakan pemimpin di
NKAL, terlibat dalam kasus korupsi yang merugikan negara. Pemangku Adat memiliki wajah
tampan dan sikap ramah, tetapi di balik itu ada niat jahat yang licik dan rakus. Pemangku
Adat telah menggelapkan dana rakyat sebesar lima puluh miliar rupiah, yang seharusnya
digunakan untuk membangun infrastruktur dan kesejahteraan rakyat. Pemangku Adat telah
mengkhianati NKAL, negara yang telah memberinya segalanya. Pemangku Adat adalah
pemimpin yang dicintai dan dikagumi oleh banyak orang, tetapi ia telah mengecewakan
mereka.

Patologi sosial: korupsi yang terjadi di NKAL ini memiliki dampak yang negatif bagi NKAL,
baik secara individu maupun kolektif. Secara individu, patologi sosial: korupsi ini
menimbulkan rasa tidak adil, tidak puas, tidak percaya, atau tidak hormat pada masyarakat.
Secara kolektif, patologi sosial: korupsi ini menimbulkan kerugian ekonomi, sosial, politik,
atau budaya pada negara. Patologi sosial: korupsi ini juga menurunkan kualitas dan
efektivitas dari pemerintahan, khususnya Pemangku Adat, yang seharusnya menjadi
pemimpin yang bijaksana dan adil.

"Aku tidak peduli, apa yang dikatakan orang-orang tentangku. Aku tidak peduli, apa yang
ditulis media tentangku. Aku tidak peduli, apa yang dihakimi rakyat tentangku. Aku hanya
peduli, apa yang aku dapatkan dari semua ini. Aku hanya peduli, apa yang aku nikmati dari
semua ini. Aku hanya peduli, apa yang aku lakukan untuk diriku sendiri. Aku adalah Raja
Utama, pemimpin tertinggi NKAL. Aku berhak atas segala sesuatu yang ada di negara ini.
Aku berhak atas uang, kekuasaan, dan wanita. Aku berhak atas segala bentuk korupsi yang
aku lakukan." (hal. 289)

Kutipan ini menunjukkan bagaimana tokoh Raja Utama, pemimpin tertinggi NKAL,
memiliki sikap yang arogan dan egois. Ia tidak peduli dengan kritik dan kecaman yang
ditujukan kepadanya, karena ia merasa berhak atas segala sesuatu yang ada di negara ini. Ia
tidak memiliki rasa tanggung jawab dan malu sebagai seorang pemimpin, karena ia hanya
mementingkan kepentingan pribadinya. Ia tidak memiliki rasa cinta dan hormat kepada
NKAL, karena ia hanya menganggap negara ini sebagai sumber kekayaan dan kesenangan.
Kutipan ini juga menggambarkan betapa korupsi bisa merusak moral dan karakter seorang
pemimpin, yang seharusnya menjadi panutan bagi rakyatnya. Termasuk ke dalam bagian
Patologi sosial: Korupsi.

Dalam kutipan novel tersebut juga tergambar bagaimana Raja Utama, pemimpin tertinggi di
NKAL, terlibat dalam praktik korupsi yang merugikan negara. Raja Utama tampak acuh tak
acuh terhadap pendapat, tulisan, atau penilaian dari masyarakat, media, atau rakyat terkait
dirinya. Prioritas utama Raja Utama hanyalah pada keuntungan, kesenangan pribadi, dan
tindakan yang dapat dilakukannya untuk kepentingan dirinya sendiri³. Raja Utama meyakini
bahwa segala hal di dalam negara, termasuk uang, kekuasaan, dan hubungan dengan wanita³,
merupakan hak prerogatifnya. Pemikiran ini melibatkan Raja Utama dalam berbagai tindakan
korupsi.

Dari perspektif patologi sosial, korupsi yang terjadi di NKAL membawa dampak negatif
secara individu maupun kolektif. Pada tingkat individu, patologi sosial ini menciptakan
ketidakadilan, ketidakpuasan, ketidakpercayaan, dan kurangnya rasa hormat di kalangan
masyarakat. Secara kolektif, korupsi menjadi sumber kerugian ekonomi, sosial, politik, dan
budaya bagi negara tersebut. Patologi sosial ini juga menyebabkan penurunan kualitas dan
efektivitas pemerintahan, terutama pada Pemangku Adat yang seharusnya berperan sebagai
pemimpin bijaksana dan adil.

4. Patologi Sosial: Konflik Sosial

Data 1

 Penggorengan isu yang dilakukan oleh wartawan

“Pemirsa, saat ini Kami sedang di depan rumah Seorang warga di distrik
Niang.” seorang wartawan berbicara di depan kamera." Pemilik Rumah ini bernama
julitawati, yang sebagaimana kita tahu, ia kemarin menghebohkan Jagat Maya
dengan komentarnya yang amat pedas pada seorang selebritis kenamaan selebritis
kenamaan!" (9)

“ kurang lebih 30 personel Kepolisian kerajaan mengawal Karin sang


selebritis. Anda bisa lihat di belakang kami. Apakah akan terjadi penangkapan?
Mengingat ujaran kebencian itu terjadi bukan di hari bebas bicara." (10)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa seorang wartawan yang sedang membangun


narasi negatif terhadap sang selebritis dan menggoreng isu tersebut guna menaikkan rating
dari media dan hal ini merupakan Konflik Sosial. Analisis kutipan tersebut menggambarkan
adanya Konflik Sosial, khususnya dalam konteks pemberitaan media terhadap sang selebritis,
Karin. Seorang wartawan, dengan jelas, terlihat sedang membangun narasi negatif terhadap
Karin dengan menyebutnya sebagai pemilik rumah di distrik Niang yang menghebohkan
Jagat Maya dengan komentarnya yang amat pedas terhadap selebritis kenamaan.
Faktanya, wartawan tersebut tampaknya sedang memanfaatkan situasi kontroversial
untuk menaikkan rating media. Dia menciptakan ketegangan dan ketidakpastian dengan
menyatakan bahwa 30 personel Kepolisian kerajaan sedang mengawal Karin, menyiratkan
potensi penangkapan. Wartawan tersebut bahkan meragukan apakah penangkapan akan
terjadi, terutama karena ujaran kebencian terjadi di luar hari bebas bicara.

Konflik Sosial terjadi ketika ada perbedaan atau ketegangan antara individu atau
kelompok dalam masyarakat. Dalam konteks ini, wartawan tampaknya sengaja menciptakan
konflik antara Karin dan masyarakat, mungkin untuk kepentingan media atau untuk
menciptakan sensasi. Hal ini mencerminkan bagaimana media dapat memainkan peran
penting dalam membentuk opini masyarakat dan bahkan menciptakan konflik yang tidak
perlu untuk keuntungan mereka sendiri.

“Jarang sekali ada rakyat jelata yang bisa dapat akses untuk pergi ke Dunia
Luar.” (294)

“Kau mau ke Dunia Luar, heh?” tanya seorang algojo raja-raja yang ada di
kenderaan itu bersamanya. “ tak kusangka hebat juga cara kau menyekinap tadi
pagi.” (295)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa kayes yang berusaha menyelinap untuk keluar
dari NKAL namun malah tertangkap oleh para algojo kerajaan yang mengakibatkan ia akan
dibuang dari negara tersebut dan berakhir di asingkan ke pulau Seribu Ular Kutipan novel
tersebut mencerminkan adanya patologi sosial yang termanifestasi dalam bentuk konflik
sosial di dalam NKAL. Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa akses ke Dunia Luar, yang
seharusnya merupakan hak setiap warga negara, ternyata sangat terbatas dan sulit diakses
oleh rakyat jelata. Ini menandakan adanya pembatasan yang signifikan terhadap kebebasan
individu, yang mungkin dilakukan oleh pemerintah atau otoritas yang berkuasa di NKAL.

Ketika kayes mencoba untuk menyelinap keluar dari NKAL, dia ditangkap oleh algojo
kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah NKAL menerapkan tindakan keras untuk
menindak individu yang mencoba melanggar batasan-batasan tersebut. Dialog antara kayes
dan algojo mencerminkan suasana ketegangan dan ancaman yang mewarnai hubungan antara
pemerintah dan warganya. Walaupun algojo mengakui kecerdikan kayes, namun tindakan
tersebut dianggap sebagai pelanggaran yang serius terhadap ketertiban yang diterapkan oleh
pemerintah.

Pemilihan hukuman pembuangan ke pulau Seribu Ular sebagai konsekuensi dari upaya kayes
untuk keluar dari NKAL menambah dimensi tragis pada konflik sosial ini. Pulau Seribu Ular
mungkin digambarkan sebagai tempat terpencil dan terasing, menciptakan nuansa isolasi dan
pengucilan yang dapat dianggap sebagai bentuk hukuman yang ekstrim.

“Raja ingin berkuasa lebih lama. Sistem di NKAL membolehkan seorang raja memimpin
lima tahun, dan dua periode. Dengan tertangkapnya menteri-menteri, kepercayaan
masyarakat pada sistem dual-pemerintahan akan jatuh. Rakyat jenuh dan kami hanya butuh
satu pemimpin saja, seperti saat NKAL berdiri. Itu tujuan mereka.” Ujar Chicha. (106)

“ Chicha melanjutkan. Orang-orang terus menyimak. "Sistem Pemangku Adat yang


ada, membuat ruang gerak Kerajaan jadi tak leluasa. Atau membuat Kerajaan jadi tak
punya banyak kontrol. Ingat kan, kalau Raja Utama dan para Raja Kecil ngotot sekali agar
Hari Bebas Bicara ditiadakan? Ini membuat para Raja tidak terima. Mereka hanya jadi
simbol. Kaki mereka lumpuh. Nafsu mereka tak tersalurkan.” (107)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa terdapat konflik sistem dua pemimpin dalam satu negara
yang membuat kedua pemimpin tersebut saling menjatuhkan antara satu sama lain, Oleh
karena itu Para Raja tersebut akan menggunakan segala macam cara untuk meruntuhkan
kepercayaan Rakyat terhadap Raja ataupun Pemangku Adat lainnya. Dalam kutipan novel
tersebut, tergambar konflik sosial yang melibatkan ambisi kekuasaan Raja Utama untuk
memperpanjang masa pemerintahannya. Di NKAL, sistem memperbolehkan seorang raja
memimpin selama lima tahun dan dapat menjabat dua periode. Namun, dengan adanya
penangkapan terhadap para menteri, kepercayaan masyarakat terhadap sistem dual-
pemerintahan terancam. Chicha, salah satu karakter, menyatakan bahwa tujuan para
pemimpin adalah untuk meruntuhkan kepercayaan rakyat pada sistem ini agar mereka dapat
mengkonsolidasikan kekuasaan di tangan satu pemimpin saja.

Chicha menjelaskan bahwa sistem Pemangku Adat membatasi ruang gerak Kerajaan dan
mengurangi kontrol yang dimiliki oleh Raja Utama dan para Raja Kecil. Dia menyoroti upaya
keras para pemimpin untuk menghapus Hari Bebas Bicara, yang menjadi penghalang bagi
mereka untuk mengontrol informasi dan pemikiran rakyat. Konflik ini membuat para Raja
tidak puas dan berusaha meruntuhkan kepercayaan rakyat pada Raja Utama dan Pemangku
Adat lainnya.

Konflik antara Raja Utama dan sistem Pemangku Adat menciptakan krisis legitimasi dalam
pemerintahan. Para pemimpin yang berusaha meruntuhkan kepercayaan pada sistem dual-
pemerintahan menciptakan keraguan di kalangan rakyat terhadap keabsahan otoritas dan
legitimasi pemerintah. Hal ini dapat mengarah pada ketidakstabilan sosial dan politik di
NKAL. Usaha para pemimpin untuk menghapus Hari Bebas Bicara mencerminkan upaya
untuk memanipulasi aliran informasi. Pembatasan kebebasan berbicara dapat menjadi alat
yang efektif untuk mengendalikan narasi dan pandangan masyarakat. Ini menciptakan situasi
di mana kebenaran bisa terdistorsi, dan persepsi masyarakat dapat diarahkan sesuai dengan
kepentingan pemimpin. Konflik sosial dalam konteks ini juga mencerminkan ketidaksetaraan
dalam distribusi kekuasaan di NKAL. Raja Utama dan para Raja Kecil yang merasa terbatas
oleh sistem Pemangku Adat meresapi rasa frustrasi, yang mungkin merembet ke dalam
ketidakpuasan masyarakat. Ini dapat memicu ketidakstabilan yang lebih besar jika tidak
ditangani dengan bijaksana.

“ Hei, hei, hei, Tuskel pengecut! Apa Anda tidak merasa bodoh karena dulu memberhentikan
saya dari stasiun TV Anda? Dasar pelit! Sudah berapa gaji karyawan di sana yang ki
potong, hah? Sudah berapa karyawan bunuh diri, tidak at karena harus lembur kau paksa
terus, hei, tukang perah? Semoga kau mati tertimpa kamera jelekmu itu! Oh ya, air seni yang
sengaja kau campurkan ke gelas minum para bintang tamu masih ada? Oh wowww, kepada
para selebritis yan pernah dapat undangan dari Tuskel“ (251)

“ Yoska Putrano dan Dedesmar Makel, akhirnya kalian bercerai?" Elyasa menyebut dua
nama temannya ketika kuliah dulu. "Kasihan sekali kau Dedesmar. Perlu dua dekade untuk
menyadari nyali si Bangsat Yoska itu sama kecilnya dengan barangnya.” (252)

"Jika Anda ingin bully, pesan kebencian, fitnah, hingga spall- spill tentang Anda tak muncul
saat nanti kembali menyalakan gadget, hubungi kami segera!" Muncul iklan sebuah jasa
pemblokiran di TV. "Jasa kami di PT Omong Kosong Seru Asoy akan membantu Anda
menjalani Hari Bebas Bicara menjadi lebih tenteram." (253)
Kutipan di atas menunjukkan tentang hari bebas bicara yang pada awalnya diperuntukkan
agar orang-orang bisa saling bertukar pikiran dan pendapat malah disalahgunakan menjadi
hari di mana orang-orang saling memfitnah, membully dan ujaran kebencian bahkan sampai
bermunculan jasa untuk mewakili orang-orang untuk saling menghina. Analisis kutipan novel
tersebut menggambarkan fenomena patologi sosial yang berhubungan dengan konflik sosial.
Pertama, terlihat adanya konflik antara individu, seperti dalam percakapan yang menghina
Tuskel. Konflik ini muncul dari ketidakpuasan dan dendam terhadap tindakan Tuskel yang
dianggap merugikan orang lain. Ungkapan kebencian dan ancaman dalam kutipan
menciptakan atmosfer konflik sosial yang merugikan hubungan antarindividu.

Kedua, percakapan tentang perceraian Yoska Putrano dan Dedesmar Makel menciptakan
konflik sosial dalam bentuk fitnah dan penghinaan personal. Kata-kata yang digunakan untuk
menyebut Yoska menciptakan ketidakharmonisan dan pertentangan antarindividu,
menciptakan suasana konflik sosial yang merugikan hubungan sosial.

Ketiga, iklan jasa pemblokiran yang muncul di TV menunjukkan adanya upaya


komersialisasi konflik sosial. Perusahaan seperti "PT Omong Kosong Seru Asoy"
menyediakan layanan pemblokiran untuk menghentikan ujaran kebencian dan fitnah. Ini
mencerminkan bagaimana konflik sosial diubah menjadi peluang bisnis, menciptakan
patologi sosial yang merugikan moralitas dan nilai-nilai sosial.

Dekadensi Moral dan Etika:

Pernyataan-pernyataan hinaan dan ancaman dalam percakapan mencerminkan degradasi


moral dan etika dalam masyarakat. Penggunaan kata-kata kasar dan penyebaran fitnah
menunjukkan hilangnya norma-norma sosial yang mengatur cara berkomunikasi dan
berinteraksi antarindividu. Hal ini menciptakan lingkungan di mana perilaku destruktif dan
tidak etis menjadi norma.

Media sebagai Sarana Konflik:

Munculnya iklan jasa pemblokiran menyoroti dampak media dalam memperburuk konflik
sosial. Media, yang seharusnya menjadi sarana informasi dan hiburan, diubah menjadi
platform untuk menyebarkan kebencian dan fitnah. Ini menunjukkan bagaimana kekuatan
media dapat digunakan secara negatif untuk memperburuk ketegangan sosial dan membentuk
patologi dalam tatanan masyarakat.
Perubahan Makna Hari Bebas Bicara:

Hari Bebas Bicara, yang seharusnya menjadi momen untuk saling mendengarkan dan
berdialog, telah dirusak oleh sikap saling menghina dan memfitnah. Ini mencerminkan
perubahan makna dan tujuan acara-acara publik, di mana kesempatan untuk berbicara dan
mendengarkan digantikan oleh keinginan untuk saling menyerang dan menciptakan
ketidakharmonisan.

Komersialisasi Konflik:

Iklan jasa pemblokiran juga mencerminkan komersialisasi konflik sosial. Masyarakat yang
seharusnya bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang harmonis justru dimanfaatkan
oleh perusahaan yang melihat peluang bisnis dalam mengatasi konflik. Hal ini menyoroti
bagaimana patologi sosial dapat merusak nilai-nilai sosial yang seharusnya dijunjung tinggi.

"Aku tidak tahan lagi, melihat keadaan negaraku yang semakin hancur. Aku tidak tahan lagi,
mendengar ucapan-ucapan yang menyakitkan dari orang-orang yang seharusnya aku cintai.
Aku tidak tahan lagi, merasakan ketakutan dan kebencian yang menggerogoti jiwaku. Aku
tidak tahan lagi, menjadi bagian dari NKAL, negara yang penuh dengan konflik dan
kebohongan. Aku ingin pergi, meninggalkan semua ini. Aku ingin mencari tempat yang
damai, di mana aku bisa hidup dengan tenang dan bahagia. Aku ingin mencari Dunia Luar,
di mana aku bisa menemukan kebebasan dan keadilan." (hal. 312)

Kutipan ini mencerminkan bagaimana tokoh Rama, seorang aktivis anti-HBB, merasakan
keputusasaan dan frustrasi terhadap keadaan NKAL. Rama merasa tidak dapat menahan lagi
melihat negaranya yang semakin hancur akibat konflik sosial yang dipicu oleh HBB. Ucapan-
ucapan menyakitkan dari orang-orang yang seharusnya menjadi sumber cinta dan dukungan
membuatnya semakin terpukul. Ketakutan dan kebencian yang merayap ke dalam jiwanya
menjadi beban yang tak tertahankan.

Dalam pandangan Rama, NKAL tidak lagi menjadi tempat yang layak untuk dihuni karena
penuh dengan konflik dan kebohongan. Ia merindukan kedamaian dan kebahagiaan, dan cita-
citanya membawanya ingin meninggalkan segalanya. Pencarian Rama untuk Dunia Luar
mencerminkan keinginan untuk menemukan tempat yang damai, bebas dari kekerasan dan
ketidakadilan yang melanda negaranya.

Analisis ini menyoroti patologi sosial dalam bentuk Konflik Sosial. Konflik tersebut tidak
hanya menciptakan kerusakan fisik pada negara, tetapi juga merusak hubungan sosial
antarwarganegara. Perasaan tidak aman, kehilangan kebanggaan terhadap negara, dan
hilangnya rasa persatuan merupakan dampak negatif dari konflik sosial yang dapat
menghancurkan mental dan emosional individu seperti Rama. Hal ini memperlihatkan bahwa
konflik sosial tidak hanya memengaruhi struktur sosial, tetapi juga berdampak secara
personal pada jiwa dan identitas seseorang.

Anda mungkin juga menyukai