Anda di halaman 1dari 6

Studi Kriminologi Tindak KDRT pada Publik Figur Ditinjau Dari Sudut

Pandang KPI (Komisi Penyiaran Indonesia)

Octavia Tri Widaryati 2006806


Octa0401vi@upi.edu
Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan

Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak
Kehidupan berumah tangga selalu merupakan tempat yang aman. Tetapi menurut penelitian
kekerasan banyak terjadi di dalam kehidupan keluarga. Dari 217 juta penduduk, setidaknya 24
juta penduduk perempuan mengalami kekerasan termasuk kepada para publik figur. Kekerasan
dalam rumah tangga diantaranya penganiayaan, pemerkosaan dan pelecehan seksual. Kekerasan
dalam rumah tangga umumnya sulit untuk terungkap dan jarang dilaporkan dan diperiksa
sebagai tindak pidana. Selain dianggap urusan internal dan pelaporan membuat malu keluarga,
masyarakat cenderung pula menyalahkan korban. Tulisan ini akan menyoroti fenomena
kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap publik figur, baik dari sudut pandang
pengaturannya di dalam hukum maupun dari perspektif kriminologis serta tindakan yang pantas
diambil oleh KPI untuk keduabelah pihak.

Kata Kunci : Kekerasan, Publik Figur, KPI.

Abstract
Home life is always a safe place. But according to research violence occurs a lot in family life.
Of the 217 million population, at least 24 million women experience violence, including to public
figures. Domestic violence includes assault, rape and sexual harassment. Domestic violence is
generally difficult to uncover and is rarely reported and investigated as a crime. Apart from
being considered an internal matter and reporting embarrassing the family, the community also
tends to blame the victim. This paper will highlight the phenomenon of domestic violence,
especially against public figures, both from the point of view of its regulation in law and from a
criminological perspective and appropriate actions taken by KPI to both parties.

Keywords : Violence, Public Figure, KPI.


Pendahuluan

Selama ini rumah tangga dianggap sebagai tempat yang aman karena seluruh anggota
keluarga merasa damai dan terlindungi. Padahal sesungguhnya penelitian mengungkapkan
betapa tinggi intensitas kekerasan dalam rumah tangga. Dari penduduk berjumlah 217 juta, 11,4
persen di antaranya atau sekitar 24 juta penduduk perempuan, terutama di pedesaan mengaku
pernah mengalami tindak kekerasan, dan sebagian besar berupa kekerasan domestik, seperti
penganiayaan, perkosaan, pelecehan, atau suami berselingkuh (Kompas, 27 April 2000). Jauh
sebelumnya, Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta tahun 1997 telah menangani
188 kasus kekerasan terhadap perempuan, di antaranya 116 kasus menyangkut kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT).

Bagai gunung es, data kekerasan yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang seharusnya
dilaporkan karena tidak semua perempuan yang mengalami kekerasan bersedia melaporkan
kasusnya. Di samping itu kasus kekerasan dalam rumah tangga dianggap persoalan privat.
Karena merupakan persoalan pribadi maka masalah-masalah KDRT dianggap sebagai rahasia
keluarga. Padahal, justru anggapan ini membuat masalah ini sulit dicarikan jalan pemecahannya.
Yang memilukan, nasib naas kaum perempuan dan kekejaman oknum kaum lelaki
seringkali juga dimainkan oleh para public figure (pf), seperti artis dan aktor. Sejatinya mereka
dapat mewadahi harapan ideal memberikan suri tauladan terbaik pada para fans-nya, bukan
sebaliknya memberikan pembelajaran buruk. Tampaknya drama KDRT di film-film dan
sinetron-sinetron, belum cukup jika tidak mereka mainkan dalam kehidupan nyata. Seharusnya,
para pf paham dengan ajaran Dramaturgis Ervin Goffman (1959) bahwa mereka harus pandai
mengelola diri.

Pada setiap front stage (panggung depan), mereka harus menampilkan sikap, pemikiran,
dan perilaku yang positif. Karena penampilan front stage tidak hanya menyangkut citra diri
mereka, tetapi juga berdampak pada perilaku publik, terutama fans mereka. Apalagi, Teori
Psikologi Modelling Miller dan Dollard (1941) pun menegaskan, sifat pembawaan manusia
adalah perilaku meniru. Yang dalam pendekatan filsafat Aristoteles disebutkan mahluk mimesis.
Manusia sejak lahir dianugerahi karakteristik untuk selalu meniru, sehingga karakter yang
dimilikinya bukan karakter dirinya sejati, tetapi hasil perpaduan dengan lingkungan.
Lingkunganlah yang membentuk jati diri manusia.

Pf merupakan subjek lingkungan paling dominan berpengaruh pada karakteristik


seseorang, selain orang tua dan orang terdekat lainnya. Dari pf yang dikagumi; dibanggakan, dan
dicintai, orang-orang belajar me-mimesis-kan dirinya, sehingga sikap, pikiran, dan perilakunya
seperti, mirip, atau bahkan menjadi pf. Oleh karena itu, ketika sikap, pikiran, dan
perilaku pf buruk, misalnya, menjadi pelaku KDRT, bukan hal yang mustahil berpengaruh pada
perilaku publik.

Pembahasan

Pertama-tama perlu ditekankan bahwa kajian ini merupakan kajian Kriminologi. Karena
merupakan kajian kriminologi, maka kriminologi akan mendominasi pemaparan selanjutnya. Ini
dimaksudkan agar ada batasan yang jelas mengenai kajian tersebut. Menurut Romli
Atmasasmita, jika kekerasan dikaitkan dengan kejahatan, maka kekerasan sering merupakan
pelengkap dari kejahatan itu sendiri, bahkan, ia telah membentuk ciri tersendiri dalam khasanah
tentang studi kejahatan. Semakin menggejala dan menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti
dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting
dan seriusnya kejahatan semacam ini.
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Secara etimologis kriminologi
berasal dari kata crimen berarti kejahatan dan logos yang artinya pengetahuan atau ilmu
pengetahuan. Istilah kriminologi pertama kali digunakan oleh P. Topinard, seorang ahli
antropologi Perancis. Terjadinya kejahatan dan penyebabnya telah menjadi subyek yang banyak
mengundang perdebatan, dengan spekulasi, teoritisasi, penelitian di antara para ahli maupun
masyarakat. Banyaknya teori yang berusaha menjelaskan tentang masalah kejahatan walaupun
teori-teori tersebut banyak dipengaruhi oleh agama, ekonomi, filsafat dan politik.
Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari
kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk di dalamnya proses pembuatan Undang-Undang,
pelanggaran Undang-Undang, dan reaksi terhadap pelanggaran Undang-Undang. Para filosof
Yunani kuno seperti Aristoteles dan Plato sudah menjelaskan studi tentang kejahatan ini di
jaman mereka, khususnya usaha untuk menjelaskan sebab-sebab kejahatan. Walaupun studi
tentang kejahatan (kriminologi) secara ilmiah dianggap baru lahir pada abad 19, yaitu dengan
ditandai lahirnya statistik kriminal di Perancis pada tahun 1826 atau dengan diterbitkannya buku
L'Uomo Delinguente tahun 1876 oleh Cesare Lombroso. Pemahaman dan analisa kriminologi
dapat didayagunakan untuk kepentingan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan nasional sesuai
dengan tuntutan rakyat indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukurn Pidana (KUHP) kita merumuskan kejahatan kekerasan ke
dalam berbagai pasal yaitu 285-301 (kejahatan susila), 310-321 (penistaan), 324-337
(penghilangan kemerdekaan), 338-340 (pembunuhan), 351-356 (penganiayaan), dan lain-lain.
Sedangkan pengertian kejahatan kekerasan itu sendiri dalam KUHP tidak diberikan definisinya.
Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP
atau Konsep KUHP), kekerasan adalah setiap penggunaan kekuatan fisik, baik dengan tenaga
badan maupun dengan menggunakan alat, termasuk membuat orang pingsan atau tidak berdaya
(Pasal 159 Konsep 1999/2000). Sedangkan ancaman kekerasan adalah suatu hal atau keadaan
yang menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir pada orang yang diancam (Pasal 160). Luka
berat adalah (Pasal 175):
a. sakit atau luka yang tidak ada harapan untuk sembuh dengan sempurna atau yang dapat
menimbulkan bahaya maut;
b. terus-menerus tidak cakap lagi melakukan tugas, jabatan, atau pekerjaan;
c. tidak dapat menggunakan lagi salah satu panca indera atau salah satu anggota tubuh;
d. cacat berat (kudung);
e. lumpuh;
f. daya pikir terganggu selama lebih dari ernpat minggu; atau
g. gugur atau matinya kandungan.

Masih tingginya angka tindak KDRT di Indonesia dan di antaranya banyak dilakukan
oleh pf, tidak hanya memerlukan keseriusan Pemerintah, tetapi juga peran serta semua
pihak. Pemerintah harus merevisi peraturan perundang-undangan sehingga sanksinya teruji dapat
menjerakan para pelaku. Selain itu, pihak Pemerintah pun harus masif mempublish betapa
beratnya hukuman yang dijatuhkan pada pelaku KDRT, sehingga masyarakat mendapat literasi
bahwa tindak KDRT bukan hanya menyangkut hubungan privat dalam keluarga, atau tindak
pidana ringan, tetapi merupakan bagian dari tindak pidana berat yang sanksinya pun cukup berat.

Setiap warga negara, baik secara personal maupun institusi resmi harus ikut serta
memberikan bobot bagi kejeraan sanksi untuk pelaku KDRT. Seperti halnya, inisiatif Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) yang meminta kepada semua lembaga penyiaran untuk mem-
blacklist, para artis, aktor, talen, apalagi sudah menjadi public figure, untuk tampil di layar kaca.
Kendati dalam UU Penyiaran atau pun P3-SPS tidak diatur secara tersurat, tetapi sebagai bentuk
kepedulian terhadap korban KDRT, inisitif tersebut sangat positif.

Hukum sosial seperti itu terkadang lebih efektif ketimbang sanksi melalui penegakan
hukum positif. Hukuman masyarakat terkadang lebih kejam ketimbang hukuman penjara.
Namun, yang lebih baik keduanya bersinergi untuk menegakkan tujuan suci bahwa menghukum
bukan untuk menyiksa, tetapi membuat jera, sehingga para pelaku tidak mengulangi
perbuatannya lagi dan masyarakat pun enggan, takut, dan berniat melakukan tindakan KDRT.

KPI menghimbau dengan tegas pada seluruh lembaga penyairan supaya tidak
menampilkan pelaku kekerasan dalam rumah tangga, baik sebagai pengisi acara, penampil
maupun pemeran. "Jadi ini adalah permintaan yang bersifat imbauan, memang secara eksplisit
tertulis tidak disampaikan, tapi ini menjadi komitmen dari Komisi Penyiaran Indonesia," ujar
Komisioner KPI Pusat Nuning Rodyah saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu. Kabarnya,
imbauan ini muncul setelah pemberitaan mengenai KDRT di kalangan public figure mencuat
viral.

Jika seorang public figure terbukti sebagai pelaku KDRT, tetapi masih kerap tampil di
televisi dianggap berbahaya bila memaksa diberikan ruang dalam program penyiaran.
KPI menilai kalau tetap diberikan ruang dapat menimbulkan persepsi buruk di masyarakat
bahwa tindakan KDRT adalah sebuah kejahatan yang lumrah, dikarenakan pelakunya masih
bebas tampil di televisi. Komisioner KPI pusat menganggap seorang pelaku KDRT tidak pantas
dipuja-puja meskipun seorang publik figur.

Kesimpulan

Berkembangnya Kriminologi dan semakin maraknya pemikiran-pemikiran kritis yang


mengarah pada studi untuk mempelajari proses-proses pembuatan undang-undang, maka penting
bagi mahasiswa fakultas hukum untuk mempelajari kriminologi, agar dapat diperoleh
pemahaman yang baik tentang fenomena kejahatan dan juga masalah hukum pada umumnya.
Kekerasan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih sangat umum,
dimana terjadi bukan hanya di lingkup rumah tangga dan bisa menimpa siapa saja. Sehingga
upaya hukum pada kasus kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan KUHP belum maksimal,
karena banyak kasus KDRT yang masih tersembunyi dan tidak dilaporkan kepada pihak
kepolisian

Beredarnya isu KDRT di kalangan public figure belakangan ini, banyak masyarakat yang
mengklaim pelaku kekerasan dalam rumah tangga akan anjlok karirnya. Siapa sangka, respon
masyarakat terhadap isu tersebut ternyata sesuai dengan kebijakan Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). Masalah sanksi, KPI akan merujuk pada UU Penyiaran 32 Tahun 2002 yang
mengamanatkan bahwa penyiaran harus mempunyai peranan untuk mengedukasi, memberikan
informasi dan hiburan bagi masyarakat. Fungsi edukasi itulah yang menjadi dasar, KPI meminta
ke semua lembaga penyiaran agar tidak menampilkan atau memberi ruang bagi pelaku KDRT.
DAFTAR RUJUKAN

Atmasasmita Romli. H, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Refika Aditama,


Bandung, 2007.

Jurnal Hukum, perlindungan terhadap perempuan melalui undang-undang


kekerasan dalam rumah tangga: analisa perbandingan antara Indonesia
dan India.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga

Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja


Grafindo Perkasa, Jakarta, Cet.ke-13, 2014

Fakih, Mansour; Perubahan Sosial Perspektif Gender; Bahan Lokakarya


”Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Hukum Pidana Suatu
Pembahasan Kritis Terhadap Rancangan KUHP”; diselenggarakan atas
kerjasama Fakutlas Hukum UGM dan LHB APIK; Yogyakarta; 11-13
Maret 1999

Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan Tentang Kekerasan Dalam


Rumah Tangga, LBH APIK & Pusat Pengembangan Hukum dan Gender
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang; Juli 2000

https://kpi.go.id/id/umum/16-kajian/36742-mem-blacklist-public-figure-pelaku-
kdrt

https://sragenupdate.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1845618884/bagaimana-
nasib-publik-figur-pelaku-kdrt-di-ranah-lembaga-penyiaran-begini-
penjelasan-dan-himbauan-kpi?page=2

Anda mungkin juga menyukai