Anda di halaman 1dari 9

HAK-HAK KORBAN PEMERKOSAAN DITINJAU DARI HAK ASASI

MANUSIA (HAM)
Verania Hedi Permata

Veraniaprmtr@students.unnes.ac.id

Abstrak
Dunia tengah dihebohkan dengan maraknya kasus pelecehan seksual
atau pemerkosaan yang semakin banyak terjadi di lingkungan berkehidupan.
Pelecehan seksual pada dasarnya merupakan kenyataan yang ada dalam
masyarakat bahwa ini merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan
banyak dan seringkali terjadi di mana-mana, demikian juga dengan kekerasan
atau pelecehan seksual yang lebih dikenal dengan perkosaan. Kekerasan
terhadap perempuan adalah merupakan suatu tindakan yang sangat tidak
manusiawi, padahal perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi di segala bidang bahkan
perlindungan perempuan itu di khususkan. Pemerkosaan dapat dilakukan ke
semua wanita dari yang masih dibawah umur hingga yang sudah dewasa.
Kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan
dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk
yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perlindungan hukum yang
dapat diberikan terhadap perempuan yang menjadi korban tindak
kekerasan/pelecehan seksual dapat diberikan melalui Undang-undang No. 23
Tahun 2004 tentang PKDRT dan KUHP yang menyangkut ’perkosaan’ Pasal 285
KUHP yang merupakan tindak kekerasan seksual yang sangat mengerikan dan
merupakan tindakan pelanggaran hak-hak asasi yang paling kejam terhadap
perempuan, juga oleh UU No. 13 Tahun 2006 khususnya dalam Pasal 5, Pasal
8, dan Pasal 9 yang merupakan hak dari seorang perempuan yang menjadi
korban. Kekerasan terhadap perempuan adalah merupakan suatu tindakan
yang sangat tidak manusiawi, padahal perempuan berhak untuk menikmati
dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi di
segala bidang.

Kata kunci: Pemerkosaan, Pelecehan seksual, Kekerasan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kasus


Kejahatan kesusilaan atau pemerkosaan merupakan kejahatan yang
cukup mendapat
perhatian dikalangan masyarakat. Di koran atau majalah diberitakan terjadi
tindak pidana pemerkosaan. Sebenarnya kejahatan ini sudah sejak dulu, atau
dapat dikatakan juga sebagai suatu kejahatan klasik yang akan selalu
mengikuti perkembangan kebudayaan pada manusia sendiri, ia akan selalu
ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak berbeda jauh
dengan yang sebelumnya. Kejahatan pemerkosaan di kota-kota besar yang
relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya,
tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang tradisi dan adat
istiadat.
Kejahatan kesusilaan atau moral offences dan pelecehan seksual atau
sexual harassment merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang
bukan saja merupakan masalah hukum nasionl suatu negara melainkan sudah
merupakan masalah hukum semua negara di dunia atau merupakan masalah
global. Di antara manusia Indonesia yang rawan menjadi korban kejahatan
kekerasan adalah kaum perempuan. Beragam persoalan sensitif menimpa
kehidupan kaum perempuan, Perempuan sedang menjadi obyek pengebirian
dan pelecehan hak-haknya. Perempuan sedang tidak berdaya menghadapi
kebiadaban individual, kultural dan struktural yang dibenarkan nilai-nilai
kesusilaan yang seharusnya dijaga kesuciannya sedang dikoyak dan dinodai
oleh naluri kebinatangan yang diberikan tempat untuk berlaku sebagai
seenaknya. Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual, bukan hanya
menimpa perempuan dewasa juga perempuan yang tergolong di bawah umur
(anak-anak).
Kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual sudah muncul hingga
meresahkan serta mencemaskan masyarakat. Kejahatan ini tidak muncul
secara tiba-tiba, tetapi melalui proses pelecehan yang pada mulanya dianggap
biasa, namun kemudian bermuara pada kejahatan. Pelecehan seks adalah
penyalahgunaan hubungan perempuan dan laki-laki yang merugikan salah satu
pihak (karena dilecehkan maka direndahkan martabatnya). Di negara dan
daerah konflik, kedudukan perempuan bahkan makin terpuruk dengan adanya
berbagai tindakan kekerasan yang menciptakan korban-korban perempuan
baru dalam jumlah yang cukup banyak, baik secara fisik (misalnya perkosaan,
perbuatan cabul) maupun psikologis (pelecehan, teror).
Sebagai perempuan yang menjadi korban kejahatan kesusilaan atau
pelecehan seksual mendapatkan perlindungan HAM. Apabila berbicara tentang
HAM maka akan memasuki suatu bidang yang teramat luas dan ketakjelasan
batas-batas yang terkandung didalamnya.1 HAM menurut pendapat Muladi,
secara universal diartikan sebagai those rights which are inherent in our nature
and without which we cannot live as human being, oleh masyarakat di dunia
perumusan dan pengakuannya telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang
sangat panjang. Bahkan, sampai saat ini pun hal tersebut masih berlangsung
dengan berbagai dimensi permasalahan yang muncul karena berbagai
spektrum penafsiran yang terkait di dalamnya.2
Setiap manusia pada dasarnya memiliki hak asasi manusia yang tidak
memandang jenis kelamin atau kedudukan sosial atau kecerdasan sosial.
Semua sama di mata hukum. Menurut UNIFEM, Hak asasi bertujuan menjamin
martabat setiap orang. Hak asasi memberikan kekuatan moral untuk menjamin
dan melindungi martabat manusia berdasarkan hukum, bukan atas dasar
kehendak, keadaan, ataupun kecenderungan politik tertentu. Hak-hak dan
kebebasan tersebut memiliki ciri-ciri berikut tidak dapat dicabut/dibatalkan
(inalienable), universal, saling terkait satu sama lain (interconnected) dan tidak
dapat dipisah-pisahkan (indivisible). Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa
setiap manusia memiliki sekaligus hak atas kebebasan, rasa aman, dan
standar hidup yang layak (UNIFEM, 2004:11) Memahami hal tersebut
sesungguhnya tidak boleh dibeda-bedakan antara pemberian hak-hak baik
kepada laki-laki ataupun perempuan, dewasa ataupun anak-anak, tua ataupun
muda, dengan sebuah pemahaman bahwa hak-hak masing-masing adalah hak
yang akan membentuk perlindungan secara utuh bagi pribadi-pribadi tersebut.
Namun demikian yang terjadi seringkali muncul sebuah pembedaan perlakuan,

1
Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan KedudukanDalam
Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007) hlm.38
2
Ibid.
secara khusus yang terjadi pada perempuan dan anak (dalam hal ini yang
kemudian dibicarakan adalah kekerasan terhadap perempuan).3
Munculnya diskriminasi itu telah dimulai dari zaman Ulpianus (200 SM)
yang menyatakan hones vivere, alterum non leadere, suum cuique triburere,
yang artinya sikap batin yang yang sesuai dengan kesusilaan, tidak merugikan
orang lain secara sewenang-wenang, memberikan pada semua orang
bagiannya masing-masing. Maksim atau rumusan ini kemudian diambil alih
oleh kode Justisianus yang menyatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang
tetap untuk memberikan pada masing-masing bagiannya. Maksim yang dibuat
oleh Ulpianus ini kemudian mengilhami aristoteles yang menyatakan bahwa
adil adalah apa yang menurut hukum atau apa yang sebanding atau
semestinya. Van Apeldorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur
pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Menurut
Apeldorn perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan
melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan,
kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya.4 Dengan demikian dari sudut
pandang manapun, kejahatan pemerkosaan tidak bisa dianggap remeh. Oleh
karenanya negara maupun masyarakat seharusnya memberikan perhatian
yang lebih besar dalam menanggulangi kejahatan itu.
Dalam konteks perlindungan dalam korban kejahatan, adanya upaya
preventif maupun respensif yang dilakukan, baik di masyarakat meaupun
pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian
perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat
membahayakannyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum
secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku
kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dan perlindungan
hak asasi manusia serta instrument penyeimbang.
Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya
menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat
dikemukakan oleh Muladi saat menyatakan: korban kejahatan perlu dilindungi
karena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem
kepercayaan yang melembaga. Kedua, adanya argument kontrak sosial dan
solidaritas sosial karena boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial
terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Jika
terdapat korban kejahatan maka negara memperhatikan kebutuhan korban
dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga,
perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan
pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik maka tindak pidana akan memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.5

B. Kronologi kasus
Pada hari kamis, 24 Agustus 2017 terjadi perampokan dan pemerkosaan
terhadap D (27) karyawati BUMN dirumahnya dengan pelaku bernama Baihazi
Salkom (34) alias Boy. D saat itu sedang tinggal sendirian dirumah karena
kedua orang tuanya sedang menjalankan ibadah haji. Saat sedang berada
dirumahnya dikawasan Cilodong, Depok, Jawa Barat. Saat D sedang tidur di
kamarnya tiba-tiba pelaku masuk kedalam kamarnya sambil memegang pisau,
3
Go Lisanawati, “Pendidikan Tentang Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Dimensi Kejahatan Siber”,
Pandecta, Vol 9. No 1. (Januari, 2014), hlm. 5
4
M. Ali Zaidan, “Perempuan dalam Perspektif Hukum Pidana”, Jurnal Yuridis, Vol. 1 No. 2 (Desember, 2014), hlm. 218
5
Mansur, Didik M. Arief dan Gultom, Elisatris, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Antara Norma dan Realita).
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 161
Pelaku mengancam membunuh korban jika berteriak. Dibawah ancaman
Pelaku yang siap menghunuskan pisau, kemudian Pelaku mengikat kedua
tangan korban setelah terikat pelaku kemudian memperkosa korban. Selain
memperkosa pelaku juga melakukan perampokan di dalam rumah D, Pelaku
mengambil dua ponsel merek Samsung milik Korban dan uang tunai sebesar
Rp 1 juta. Setelah mengambil ponsel dan uang pelaku kemudian melarikan diri,
hingga diamankan oleh polisi, walaupun pelaku tidak melawan tetapi Pelaku
berupaya untuk kabur dari polisi, polisi terpaksa melakukan tindakan tegas
kepada Pelaku yang mencoba kabur dengan cara menembak betis kiri Pelaku
(Boy) saat akan di amankan. Polisi menjerat pelaku dengan dua pasal, yakni
Pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan, dan pasal 285 KUHP
tentang pemerkosaan.

C. Rumusan masalah
1. Apa saja hak-hak perempuan dalam perspektif hak asasi manusia?
2. Perlindungan hukum apa yang dapat diberikan terhadap perempuan
yang menjadi korban kekerasan/pelecehan seksual?

PEMBAHASAN
1. Hak Perempuan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) dalam tatanan Nasional dan Global telah mengakui
bahwa persamaan drajat laki-laki dan perempuan merupakan tuntutan hukum
yang tidak boleh diabaikan, segala bentuk diskriminasi merupakan
pelanggaran HAM.6 Pada hakikatnya HAM tidak membedakan hak-hak asasi
dari sudut jenis kelamin (perepuan atau laki-laki). Kedua-duanya adalah
manusia yang mempunyai hak asasi yang sama. Penegasan hak ini dilihat
dalam UDHR (Universal Declaration of Human Right) HAM yang terdapat dalam
UDHR dikategorikan kedalam dua kelompok, yaitu:7
1. Civil and Political Rights, meliputi:
a. Hak hidup, kemerdekaan, dan keamanan
b. Bebas dari perbudakan dan kerja paksa
c. Bebas dari penganiayaan dan tindakan/perlakuan atau penghukuman
yang kejam, tidak berperikemanusiaan atau bersifat
merendahkan/menghina
d. Hak atas pengakuan sebagai manusia pribadi dihadapan hukum
e. Semua orang sama dihadapan hukum dan berhak mendapat
perlindungan hukum yang sama.
f. Hak atas pengadilan yang efektif terhadap perbuatan-perbuatan yang
melanggar hak-hak asasi/fundamental yang diberikan kepadanya oleh
UUD atau UU
g. Bebas dari penahanan atau pembuangan/pengasingan yang
sewenang-wenang
h. Berhak mendapat pemeriksaan yang adil dan terbuka (untuk umum)
oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak
i. Hak untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti kesalahannya
j. Hak untuk tidak dipersalahkan atas perbuatan yang tidak merupakan
tindak pidana menurut hukum yang berlaku pada saat perbuatan
dilakukan

6
M. Ali Zaidan, loc.cit
7
Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,
(Semarang: Kencana, 2010), hlm.65
k. Bebas dari gangguan/campur tangan yang sewenang-wenang dalam
urusan pribadi, keluarganya, rumah tangganya, atau urusan surat
menyurat
l. Bebas bergerak/berpindah dan menetap, termasuk hak meninggalkan
dan memasuki kembali suatu negeri
m. Hak untuk mendapat tempat pelarian
n. Hak atas kewarganegaraan
o. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga
p. Hak untuk memiliki sendiri atau bersama orang lain
q. Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama
r. Kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat
s. Kebebasan melakukan pertemuan dan membentuk perkumpulan
t. Hak untuk ambil bagian dalam pemerintahan dinegerinya sendiri
u. Hak atas kesempatan yang sama dalam jabatan pemerintahan
negerinya.

2. Economic, Sosial, and Culture Rights, meliputi:


a. Hak atas jaminan sosial
b. Hak atas pekerjaan dan bebas memilih pekerjaan
c. Hak mendapatkan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama
d. Hak atas pengupahan yang adil dan baik untuk menjamin kehidupan
yang layak susai dengan martabat manusia
e. Hak mendirikan dan memasuki serikat kerja
f. Hak untuk istirahat dan liburan
g. Hak atas standar hidup yang sesuai untuk kesehatan dan
kesejahteraan
h. Hak atas jaminan kesejahteraan dalam keadaan penggangguran,
sakit, cacat, janda/duda, usia lanjut, atau kekurangan nafkah lainnya
karena keadaan diluar kekuasaannya
i. Hak memperoleh perawatan dan bantuan khusus bagi ibu dan anak-
anak
j. Hak tiap orang untuk mendapat pendidikan, dan orang tua punya hak
utama untuk memilih jenis pendidikan bagi anak-anaknya
k. Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyarakat
l. Hak mendapat perlindungan kepentingan moral dan material dari
hasil produksinya di bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan karya seni.
Dari uraian diatas kita dapat memahami bahwa hak asasi manusia sangat
banyak, dan dalam kasus pemerkosaan ini akan dibahas
a. Hak hidup, kemerdekaan, dan keamanan (pasal 3)
Disini dimaksud setiap orang mempunyai hak untuk hidup dan mempunyai hak
keamanan dalam berkehidupan, dalam kasus ini korban (D) dapat meminta
hak keamanan berkehidupannya, karena terjadi kasus yang dapat membuat
hidupnya tidak nyaman atau bahkan bisa mengalami trauma karena kasus
yang dialaminya. Korban sebagai warga negara wajib mendapatkan
perlindungan hukum dari Negara.
b. Bebas dari penganiayaan dan tindakan/perlakuan atau penghukuman
yang kejam, tidak berperikemanusiaan atau bersifat
merendahkan/menghina (pasal 5)
Disini dimaksud tidak seorangpun boleh disiksa atau mendapat
perlakuan/hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau bersifat
menghina/merendahkan. Karena D disini mendapatkan perlakuanya yang tidak
menyenangkan yaitu pemerkosaan oleh pelaku sehingga membuat dia merasa
direndahkan/dihina hingga bisa membuat korban menjadi trauma atau
gangguan psikologis.

2. Kekerasan/Pelecehan Seksual terhadap Perempuan


Kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan adalah setiap
perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik,
seksual, atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut,
pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang
terjadi di ruang publik maupun didalam kehidupan pribadi. Perkosaan adalah
suatu bentuk hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak bersama,
dipaksakan oleh salah satu pihak pada pihak lainnya. Korban dapat berada di
bawah ancaman fisik dan/atau psikologis, kekerasan, dalam keadaan tidak
sadar atau tidak beradaya, berada di bawah umur, atau mengalami
keterbelakangan mental dan kondisi kecacatan lain, sehingga tidak dapat
menolak apa yang terjadi, tidak mengerti, atau tidak dapat bertanggungjawab
atas apa yang terjadi padanya.8
Kejahatan pemerkosaan merupakan salah satu kejahatan yang memiliki
implikasi negatif jangka panjang terhadap para korban (baik dari segi fisik
maupun psikologis), kerugian juga dialami secara signifikan baik terhadap
korban maupun masyarakat secara keseluruhan, misalnya menurunkan
persepsi wanita terhadap keamanan pribadi di ruang publik. 9 Menurut E.Kristi
Poerwandari, perkosaan adalah tindakan pseudo-sexual, dalam arti merupakan
perilaku seksual yang tidak selalu dimotivasi dorongan seksual sebagai
motivasi primer, melainkan berhubungan dengan penguasaan dan dominasi,
agresi dan perendahan pada satu pihak (korban) oleh pihak lainnya (pelaku). 10
Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perempuan yang
menjadi korban tindak kekerasan/pelecehan seksual dapat diberikan melalui
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dan KUHP yang
menyangkut ’perkosaan’ Pasal 285 KUHP yang merupakan tindak kekerasan
seksual yang sangat mengerikan dan merupakan tindakan pelanggaran hakhak
asasi yang paling kejam terhadap perempuan, juga oleh UU No. 13 Tahun 2006
khususnya dalam Pasal 5, Pasal 8, dan Pasal 9 yang merupakan hak dari
seorang perempuan yang menjadi korban.
Korban tindak kekerasan seksual memiliki hak-hak yang wajib
ditegakkan, rasa sakit hati, penderitaan, ketakutan, dan berbagai macam
dampak buruk yang menimpa dirinya pasca itu mendapat perhatian serius.
Korban tidak boleh dibiarkan sendirian memperjuangkan nasib yang
menimpanya namun wajib dijembatani oleh penegak hukum dalam
memperjuangkan nasibnya.11 hak atas perlindungan tersebut diatur dalam
pasal 5 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 yaitu:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman

8
Marcheyla Sumera, “Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan”, Lex et Societatis, Vol 1, No. 2,
(April, 2013), hlm. 46
9
Pramudya A. Oktavinanda, “Pendekatan Hukum dan Ekonomi Terhadap Kejahatan Pemerkosaan: Suatu Pengantar”,
Jurnal Jentera, Vol. 22, (2012), hlm. 27
10
E.Kristi Poerwandari, Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan Psikologi dan Feministik, (Bandung : Alumni, 2000),
hlm. 14
11
Wahid, Abdul dan Irfan, Muhammad, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi
Perempuan), (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hlm. 96
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan
c. Memberikan keterangan tan tekanan
d. Mendapat penerjemah
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
i. Mendapat identitas baru
j. Mendapatkan tempat kediaman baru
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
l. Mendapat nasihat hukum
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai
batas waktu perlindungan berakhir.
Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi
Manusia (HAM) khususnya Pasal 45 menyebutkan bahwa ”Hak asasi
perempuan adalah hak asasi manusia”. 12 Dengan demikian karena hak asasi
perempuan adalah hak asasi manusia, maka hak asasi perempuan ini harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau
dirampas oleh siapapun. Merupakan suatu kenyataan bahwa tindak kekerasan
terhadap perempuan merupakan ancaman terus menerus bagi perempuan di
manapun di dunia dan tindak kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi
isu global. Sebagai negara yang beradab, Indonesia telah meratifikasi
“Konvensi Pengahpusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan”
dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, dan membuat sebuah
UndangUndang yang diharapkan dapat menghapus semua tindak kekerasan
yang terjadi terhadap perempuan di dalam lingkup rumah tangga yaitu UU No.
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT).

KESIMPULAN

Kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan


dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk
yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki, perempuan masih
dipandang sebelah mata dan ditempatkan dalam posisi subordinasi dan
12
Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 & PPRI Tahun 2010 Tentang Hak Asasi Manusia”
(Bandung: Citra Umbara, 2010), hlm. 15
marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak oleh laki-laki.
Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perempuan yang menjadi
korban tindak kekerasan/pelecehan seksual dapat diberikan melalui Undang-
undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dan KUHP yang menyangkut
’perkosaan’ Pasal 285 KUHP yang merupakan tindak kekerasan seksual yang
sangat mengerikan dan merupakan tindakan pelanggaran hakhak asasi yang
paling kejam terhadap perempuan, juga oleh UU No. 13 Tahun 2006 khususnya
dalam Pasal 5, Pasal 8, dan Pasal 9 yang merupakan hak dari seorang
perempuan yang menjadi korban.
Negara harus bisa menegaskan dan dapat memberikan hukuman yang
sebanding atau yang berat kepada pelaku tindakan kekerasan yang dilakukan
terhadap perempuan, karena perempuan yang mengalami tindak kekerasan
harus diberi akses kepada mekanisme peradilan dan dijamin oleh perundang-
undangan nasional untuk memperoleh perlindungan hukum yang adil dan
efektif atas kerugian-kerugian yang diderita. Harusnya para pelaku
kekerasan/pelecehan seksual mendapatkan hukuman yang berat, karena aib
yang diderita seorang perempuan tidak terhapuskan sepanjang hidupnya.
Negara juga harus memberikan perlindungan khusus terhadap korban
pelecehan seksual atau pemerkosaan

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Arief Barda Nawawi. 2010. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan. Semarang: Kencana.
Poerwandari E. Kristi. 2000. Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan
Psikologi dan Feministik.
Bandung: Alumni.
Rukmini Mien. 2007. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah
dan Asas Persamaan
KedudukanDalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Bandung: Alumni.
Mansur, Didik M. Arief dan Gultom, Elisatris. 2007. Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan
(Antara Norma dan Realita). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Wahid, Abdul dan Irfan, Muhammad. 2001. Perlindungan Terhadap Korban
Kekerasan Seksual
(Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Bandung: PT Refika Aditama.

Jurnal
Pramudya A. Oktavinanda. 2012. “Pendekatan Hukum dan Ekonomi Terhadap
Kejahatan
Pemerkosaan: Suatu Pengantar”. JENTERA. Vol. 22
Zaidan M. Ali. 2014. “Perempuan dalam Perspektif Hukum Pidana”. Jurnal
Yuridis Vol. 1 No. 2
Go Lisnawati. 2014. “Pendidikan Tentang Pencegahan Kekerasan Terhadap
Perempuan dalam
Dimensi Kejahatan Siber”. Pandecta. Vol 9. No. 1
Marcheyla Sumera. 2013. “Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap
Perempuan”.
Lex et Societatis. Vol. 1 No. 2

Undang-undang
Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 & PPRI Tahun
2010
Tentang Hak Asasi Manusia. Bandung

Anda mungkin juga menyukai