Anda di halaman 1dari 6

DAMPAK TINDAK KEKERASAN

TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA SOLUSINYA

Oleh : John Dirk Pasalbessy

A. LATAR BELAKANG.
Sukacita yang sesungguhnya bagi manusia adalah saling berperilaku ramah kepada
sesama, sehingga masing-masing mendapatkan kemurahan hati (Marcus Aurelius)
Pesan di atas menarik untuk dirujuk dalam perbincangan tentang tindak kekerasan
terhadap perempuan dan anak. Betapa tidak, karena saat ini kekerasan merupakan manifestasi
perilaku emosional manusia, ketimbang perilaku rasionalnya. Ini beralasan, karena di mana-
mana banyak dihadapi berbagai kasus tindak kekerasan yang korbannya adalah perempuan dan
anak-anak. Persoalannya sejauhmana kita semua ikut merasa bertanggungjawab untuk mencari
solusi pemecahan masalah ini.
Dari topik di atas, ada beberapa hal yang dapat dipercakapkan, yakni (a) apa itu
kekerasan; (b) kenapa korban kekerasan itu cenderung dialami oleh kelompok yang rentang,
seperti perempuan dan anak; dan (c) bagaimana solusinya. Ketiga hal ini patut mendapat
perhatian, karena selama ini dilihat dari segi etika, moral maupun hukum, semua orang pasti
tahu bahwa tindak kekerasan merupakan suatu perilaku manusia yang tidak pantas dilakukan.
Menariknya, diantara mereka yang tahu tentang kekerasan itu, ada diantaranya yang justru
sengaja dan pernah melakukannya, bahkan korban yang timbul terkesan dibiarkan, entah itu
disengajakan atau memang merupakan sebuah fenomena kemanusiaan di abad ini.
A. PEMBAHASAN
Menarik dari topik ini adalah, bahwa ternyata tindak kekerasan tidak hanya merupakan
masalah individual atau masalah nasional saja, tetapi sudah merupakan masalah global, bahkan
transnasional. Karena itu di dalam masyarakat dikenal berbagai istilah, seperti “violence against
women, “gender based violence”, “gender violence”, “domestic violence” yang korbannya
adalah peremuan, sementara bagi anak-anak dikenal juga istilah, “working children”, “street
childern”, “childern in Jhon D. Pasalbessy, Dampak Tindak Kekerasan…………………. Jurnal Sasi
Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 9 armed conflict”, “urban war zones”, dan sebagainya.

Dalam konteks perlindungan HAM, sebagai manusia, perempuan dan anak juga memiliki
hak yang sama dengan manusia lainnya dimuka bumi ini, yakni hak yang dipahami sebagai hak-
hak yang melekat (inherent) secara alamiah sejak ia dilahirkan, dan tanpa itu manusia
(perempuan dan anak) tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar.
Atas pengakuan ini, tampak pelbagai pernyataan bahwa kekerasan terhadap perempuan
dan anak merupakan rintangan terhadap keberhasilan pembangunan. Bagaimanapun juga
tindak kekerasan akan berdampak pada kurangnya rasa percaya diri, menghambat kemampuan
perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, mengganggu kesehatannya, mengurangi
otonomi, baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya serta fisik. Demikian juga dengan anak,
kepercayaan pada diri sendiri dalam pertumbuhan jiwanya akan terganggu dan dapat
menghambat proses perkembangan jiwa dan masa depannya. Padahal Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memberikan kewajiban bagi semua pihak termasuk
negara untuk melindunginya.

Apa itu kekerasan ?


Kekerasan merupakan sebuah terminologi yang sarat dengan arti dan makna “derita”,
baik dikaji dari perspektif psikologik maupun hukum, bahwa di dalamnya terkandung perilaku
manusia (seseorang/kelompok orang) yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain,
(pribadi/ kelompok).
Tindak kekerasan atau “violence” oleh Jerome Skolncik didefinsikan sebagai “... an
ambiguous term whose meaning is established throught political process”. Dalam arti tingkah
laku, Michael Levi lalu menyebutkan kekerasan sebagai “... its content and cuase are socially
constructed”.
Dari pandangan demikian, tampaknya perumusan tindak kekerasan sangat terkait
dengan tingkah laku manusia yang bersifat kejam dan tidak manusiawi, namun tidak jelas
apakah perumusan itu juga menampung aspirasi kaum minoritas (perempuan dan anak) yang
selama ini rentang terhadap kekerasan.
Pada tahun 1993 Sidang Umum PBB mengadopsi deklarasi yang menentang kekerasan
terhadap perempuan yang telah dirumuskan tahun 1992 oleh Komisi Status Perempuan PBB, di
mana dalam pasal 1 disebutkan bahwa, “kekerasan terhadap perempuan mencakup setiap
perbuatan kekerasan atas dasar perbedaan kelamin, yang mengakibatkan atau dapat
mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap perempuan baik fisik, seksual maupun
psikhis, termasuk ancaman perbuatan tersebut, paksaan dan perampasan kemerdekaan secara
sewenangwenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik maupun privat”.
Bahkan secara jelas pengertian kekerasan ini kemudian dapat dilihat di dalam Konvensi
Tentang Penyiksaan dan Perilaku Kejam, Tak berperikemanusiaan dan Merendahkan, yang
diratifikasi pada bulan Nopember 1998, disebutkan bahwa, “... Torture ... means any act by
which severe pain or suffering whether physical or mental, is intentionally inflicted on a
person ...”. Demikian juga di dalam laporan Wolrd Conference (1995) di Beijing, pada butir 113
dirumuskan bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagai “setiap tindakan berdasarkan
gender yang menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual
atau psikoloogis terhadap perempuan, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan tersebut,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan, baik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau
pribadi”.
Dalam kaitannya dengan penggunaan hukum (pidana), jika terjadi tindak kekerasan
terhadap perempuan dan anak, maka terminologinya tidak boleh samar. Ini dimaksudkan agar
tidak timbul “multiintepretasi” yang pada gilirannya dapat menimbulkan kesulitan baik pada
masyarakat maupun penegak hukum. Jhon
KUHP Indonesia misalnya, hanya merumuskan kekerasan sebagai perbuatan membuat
orang pingsan atau tidak berdaya (pasal 89). Jelaslah bahwa perumusan ini membatasi perilaku
kekerasan pada perilaku fisik belaka, padahal bila dilihat dari kenyataan di dalam masyarakat
tindak kekerasan dapat meliputi pula :
(a) fisik; (b) seksual; (c) psikologis; (d) politis; dan (e) ekonomi. Selanjutnya KUHP
merumuskan beberapa tingkah laku kekerasasn yang korbannya adalah perempuan dan anak,
seperti : (a) pornografi (Pasal 282 dst); (b) perkosaan (Pasal 285 dst); (c) perbuatan cabul (Pasal
290 dst); (d) perdagangan wanita (Pasal 297); (e) penculikan (Pasal 328); (f) penganiayaan (Pasal
351 dst); (g) pembunuhan (Pasal 338) dan; (h) perampokan (Pasal 363).
Perilaku kekerasan di atas sebahagian besar merupakan kekerasan fisik, kecuali
pornografi, di mana ancaman pidananya berkisar antara 1 tahun pidana penjara hingga pidana
mati. Dari sekian banyak ketentuan tentang kekerasan, hanya sedikit saja yang menyebutkan
jenis kelamin korban perempuan. Pasal yang secara eksplisit menyebutkannya antara lain, Pasal
285 KUHP tentang perkosaan dan Pasal 297 KUHP tentang perdagangan perempuan.
Sama halnya dengan tindak kekerasan terhadap perempuan, perilaku kekerasan
sebagaimana dikemukakan di atas juga memiliki pengertian yang sama dengan anak, karena
pengertian tersebut bersifat multidimensi, mulai dari yang bersifat struktural dan sistematik
hingga kekerasan karena perang, perselisihan komunal, perpecahan keluarga dan kekerasan
interpersonal. Tindak kekerasan mana secara hakiki berakar pada apa yang dinamakan
penyalahgunaan, penelantaraan dan eksploitasi anak, di mana pelakunya bisa saja negara,
sektor swasta, personal petugas hukum, keluarga atau perorangan.
Perempuan dan Anak Sebagai Korban Tindak Kekerasan
Kekerasan yang telah, sementara bahkan mungkin akan dialami oleh bangsa Indonesia
selama ini merupakan masalah sosial dan kemanusiaan yang pelu mendapat perhatian. Di mana-
nama kini berjatuhan korban tindak kekerasan yang umumnya kalangan perempuan dan anak-
anak.
Fenomena ini mengingatkan kita pada jaman jahilliah yang berlandaskan hukum rimba
atau jaman Herodes yang membenarkan hukum penguasa, serta jaman-jaman lainnya yang
dikenal dengan jaman kegelapan. Pertanyaannya, apakah telah terjadi kemunduran moral dan
nilai dalam masyarakat kita yang katanya menyukai harmoni dan membenci konflik, apalagi
kekerasan. Perempuan dan anak sebagai korban tindak kekerasan bukan merupakan fenomena
baru, kitab sejarah mengungkapkan praktek-praktek masa lalu yang mengorbankan perempuan,
baik dewasa (pengorban depan altar) maupun korban anak-anak (pembunuhan bayi berjenis
kelamin perempuan).
Cerita tentang korban tindak kekerasan dikalangan perempuan dan anak memang
sedikit sekali ditemukan di dalam berbagai literatur yang ada, karena itu jarang terungkap
bahwa viktimisasi terhadap perempuan melalui tindak kekerasan diajukan ke peradilan pidana.
Masalahnya mungkin pada persepsi masyarakat, baik secara keseluruhan maupun kaum
perempuan itu sendiri, bahwa kekerasan yang dialaminya adalah lebih baik untuk
disembunyikan saja. Ini tentu ada kaitannya dengan nilai-nilai yang berkembang dalam
masyarrakat mengenai kedudukan perempuan selama ini dalam masyarakat. Kalangan
perempuan terkadang menyembunyikan viktimisasi terhadap dirinya karena berbagai alasan,
namun yang utama adalah karena mereka tidak ingin dirinya diketahui orang lain atau mungkin
akan mencoreng harga sendiri, terlepas dari ada tidaknya konstribusi perempuan terhadap
tindak kekerasan yang dialaminya.
Sebagai akibat persepsi (mungkin juga mispersepsi) semacam ini, media massa juga
terkadang juga terkadang melakukan hal yang sama, sehingga terjadi apa yang disebut dengan
“selctive inattention”, yakni Jhon D. Pasalbessy, Dampak Tindak Kekerasan…………………. Jurnal
Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 11 memilih berita tertentu untuk dijadikan
informasi bagi konsumsi masyarakat. Ekspose semacam ini setidaknya melahirkan proses
viktimisasi terhadap perempuan dan anak yang pada umumnya difokuskan pada : (a) tindak
kekerasan seksual; (b) tindak kekerasan yang menimbulkan luka berat; dan (c) tindak kekerasan
yang mengakibatkan kematian.
Sering juga muncul persepsi bahwa seorang perempuan yang menjadi korban akan
berpikir bahwa ia mempunyai andil terhadap suatu kejahatan, walaupun sebenarnya tidak
demikian. Contohnya perkosaan, seorang perempuan korban perkosaan cenderung untuk
menyimpan dukanya (psikis dan fisik), karena mungkin ia menganggap bahwa kedatangannya ke
lembaga penegak hukum hanya akan menimbulkan viktimisasi ganda pada dirinya.
Berbagai tindak kekerasan yang sering terjadi dan menimbulkan korban dikalangan
perempuan seperti, (a) serangan seksual; (b) kasus pembunuhan terhadap ibu atau nenek baik
karena motif ekonomi maupun karena rasa marah yang tidak terkendali; (c) pornografi; (d)
tindak kekerasan oleh majikan terhadap pembantu rumah tangga yang sering terjadi dan
umumnya dilandasi oleh rasa jengkel bahkan benci, serta beberapa tindak kekerasan lainnya.
Demikian juga korban tindak kekerasan terhadap anak dalam kasus seksual, di mana
posisi anak sering dianggap sebagai derivat dari orang tua yang sering membuatnya tidak
berdaya. Contohnya, perilaku “incest” yang mengakibatkan sang anak terpaksa melahirkan bayi
yang merupakan hasil hubungan “insestuos” dengan ayah kandungnya sendiri. Di samping itu,
dikenal beberapa kasus yang berkaitan dengan eksploitasi, penganiayaan dan pembunuhan
terhadap anak oleh orang tuanya.
Secara garis besar, anak yang mengalami tindak kekerasan dapat terjadi karena : (a)
Working Children, di mana banyak anak-anak yang menjadi pekerja penuh, (full time child
labour) perdagangan anak (sale fo children), prostitusi anak (child prostitution), perbudakan
anak (child bondage), ponografi anak (child pornography) akibat meningkatnya “sex tourism”’;
(b) Street Childern, di mana diperkirakan terdapat sekitar kurang lebih 100 hingga 150 juta anak
jalanan diseluruh dunia saat ini. Yang memprihatinkan adalah, bahwa di samping mereka
berjuang untuk mempertahankan hidup secara materiil, juga menjadi sasaran penyalahgunaan
dan eksploitasi, seperti street theieves, street prostitution, drug trade, dan aktivitas kejahatan
terorganiser lainnya; (c) Childern in Armed Conflict, di mana dalam sutiasi konflik, banyak anak-
anak yang menjadi korban, seperti terbunuh, cacat, mengungsi bahkan ada yang hilang. Belum
lagi yang menjadi korban perkosaan dan menderita tekanan kejiwaan (stress dan trauma).
Permasalahan yang sulit dihadapi adalah bagaimana melakukan pembinaan dan
reorientasi mereka dari situasi/budaya konflik ke budaya damai (culture of peace); (d) Urban
war zones, di mana suasana kekerasaan dan ketidak-terntraman dalam lingkungan kehidupan
sehari-hari baik di kota maupun pada wilayah “zona peperangan” yang menempatkan anak-anak
dalam resiko yang sangat gawat (grave risk), terutama jika timbul kemelaratan, penggunaan
obat bius dan senjata serta kejahatan sebagai kenyataan hidup seharihari.
Yang menarik untuk diperbincangkan selanjutnya adalah, apakah tindak kekerasan
terhadap perempuan dan anak ini merupakan imbas dari kekacauan norma (anomie) yang kini
telah dialami oleh berbagai komunitas di Indonesia. Ini butuh penelitian yang akurat untuk
menjawabnyaa secara akademik.

Solusi Pemcehannya
Tampaknya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah
interdispliner, baik politis, sosial, budaya, ekonomis maupun aspek lainnya. bahwa tindak
kekerasan akan banyak terjadi, di mana ada kesengjangan ekonomis antara laki-laki dan
perempuan, penyelesaian konflik dengan kekerasan, dominasi lakilaki dan ekonomi keluarga
serta pengambilan keputusan yang berbasis pada laki-laki. Sebaliknya, jika perempuan memiliki
kekuasaan diluar rumah, maka intervensi masyarakat secara aktif disamping perlindungan dan
kontrol sosial yang kuat memungkinan perempuan dan anak menjadi korban kekerasan semakin
kecil.
Dari berbagai pengalaman selama ini, maka solusi terhadap penanggulangan tindak
kekerasan terhadap perempuan mesti mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Meningkatkan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di dalam hukum
melalui latihan dan penyuluhan (legal training).
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya usaha untuk mengatasi
terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan ana, baik di dalam konteks individual, sosial
maupun institusional;
3. Meningkatkan kesadaran penegak hukum agar bertindak cepat dalam mengatasi
kekerasan terhadap perempuan maupun anak;
4. Bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan anak;
5. Melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan
secara sistematis dan didukung oleh karingan yang mantap.
6. Pembaharuan hukum teristimewa perlindungan korban tindak kekerasan yang
dialami oleh perempuan dan anakanak serta kelompok yang rentang atas pelanggaran HAM.
7. Pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondusif guna menanggulangi
kekerasan terhadap perempuan dan anak;
8. Bagi anak-anak diperlukan perlindungan baik sosial, ekonomi mauoun hukum bukan
saja dari orang tua, tetapi semua pihak, termasuk masyarakat dan Negara
. 9. Membentuk lembaga penyantum korban tindak kekerasan dengan target khusus
kaum perempuan dan anak untuk diberikan secara cuma-cuma dalam bentuk konsultasi,
perawatan medis maupun psikologis
10. Meminta media massa (cetak dan elektronik) untuk lebih memperhatikan masalah
tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam pemberitaannya, termasuk memberi
pendidikan pada publik tentang hak-hak asasi perempuan dan anak-anak.
B. P E N U T U P
Upaya untuk mencegah dan atau menanggulangi berbagai perilaku kekerasan yang
dialami perempuan dan anak sudah mesti mendapat perhatian dan penanganan yang serius.
Oleh sebab itu, pendekatan dalam penanganan masalah ini mesti bersifat terpadu (integrated),
di mana selain pendekatan hukum juga harus mempertimbangkan pendekatan non hukum yang
justru merupakan penyebab terjadinya kekerasan. Dengan cara meningkatkan kesadaran
perempuan akan hak dan kewajibannya di dalam hukum, meningkatkan kesadaran masyarakat
betapa pentingnya usaha untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak,
meningkatkan kesadaran penegak hukum agar bertindak cepat dalam mengatasi kekerasan
terhadap perempuan maupun anak, memberikan bantuan dan konseling terhadap korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak, melakukan pembaharuan sistem pelayanan
kesehatan yang kondusif guna menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak, Bagi
anak-anak diperlukan perlindungan baik sosial, ekonomi maupun hukum. Disampin itu bantuan
media massa (cetakdan elektronik) untuk lebih memperhatikan masalah tindak kekerasan
terhadap perempuan dan anak dalam pemberitaannya, termasuk memberi pendidikan publik
tentang hak-hak asasi perempuan dan anakanak.

Anda mungkin juga menyukai