Anda di halaman 1dari 7

VICTIM BLAMING PEREMPUAN DALAM KORAN

(Studi Analisis Etika Jurnalisme dalam Kasus Pemerkosaan di Lampu Hijau)


Reza Agung Pratama (1405898)

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN


Memahami 'bahaya' tidaklah sesederhana kelihatannya. Membuktikan
kausalitas dalam aksi manusia sangat sulit. Apakah berita yang bersifat seksual
gambaran eksplisit wanita dapat mengubah beberapa pria menjadi pemerkosa?

Beberapa jenis komunikasi dapat dianggap tidak bijaksana karena kerugian


yang mungkin mereka timbulkan orang lain mungkin dianggap secara intrinsik
bertentangan dengan rasa hormat terhadap sesama manusia. Perspektif ini didirikan
pada pemahaman tentang manusia lebih dari sekedar jumlah ras mereka, gender,
tubuh, seksualitas, kelompok etnis atau agama mereka.

Stigmatisasi seluruh kelompok orang berdasarkan perbedaan gender,


kebangsaan, seksualitas atau yang disebut karakteristik 'rasial' menunjukkan
kesalahan dan kurangnya kebijaksanaan moral. Di Inggris ada hukum yang
mencegah manifestasi terburuk dari rasisme dan seksisme, sekali lagi menunjukkan
bahwa kita setuju bahwa batasan harus ditetapkan pada pelaksanaan kebebasan.
Tapi dimana batasnya?

Banyak dari cakupan media berita terkait kekerasan seksual pada akhirnya
memunculkan mitos dan stereotip mengenai perkosaan, pemerkosa dan korban
perkosaan. Hal ini menjadi masalah, dikarenakan media berita sebagai pembentuk
opini publik mengenai perkosaan terkadang memengaruhi. Media berita sering
membingkai para pemerkosa dengan cara mengerikan, korban mereka terkadang
terklasifikasikan sebagai seorang perawan polos ataupun wanita penggoda yang
mengundang perkosaan. Hal ini bisa berbahaya bagi para korban perkosaan ketika
secara tidak sengaja individu tersebut melekat dengan stereotipe yang beredar.
Mitos perkosaan, yang bisa didefinisikan sebagai praduga, stereotipe atau
kepercayaan yang salah(Burt, 1980: 217). Beberapa mitos yang populer adalah
‘hanya wanita nakal yang diperkosa, si korban ‘meminta untuk itu’ (Burt, 1980:
213) dengan cara mabuk di pesta atau memakai pakaian provokatif, dan wanita
yang mengaku bahwa dirinya diperkosa dapat dikatakan pembohong. Mitos ini
berubah menjadi tudingan kepada para korban. Terdapat juga mitos lain seperti
anggapan bahwa pelaku adalah makhluk yang ‘gila seks’ tidak bisa diberhentikan
karena didorong naluri. Seperti serigala melihat domba.

Pers mempunyai kekuatan untuk memperkukuh ketidaksamarataan gender


melalui penyebaran stereotipe. Isu ini adalah isu yang multidimensi dan melibatkan
representasi gender dalam konten berita.

Para feminis praktisi media setuju bahwa media tidak mempunyai netralitas
gender; keadaan patriarki dianggap sebagai buntut diskriminasi terhadap
perempuan, bahwa media adalah alat yang memberikan informasi nilai—nilai
patriarki (Blazquez, 2008; Castano, 2005)

Menurut Castano (2005: 28) tatanan sosial dibangun oleh dikotomi seperti
budaya/alam, pikiran/tubuh, akal/emosi, objektifitas/subjektifitas; publik/pribadi,
yang dimana pada elemen kedua dari setiap pasang adalah yang terburuk dan
disangkutpautkan dengan wanita. Dalam tatanan sosial tersebut patriarki diperkuat
melalui hubungan antara pria di atas wanita. Gagasan ini semakin meluas dan mulai
diterapkan oleh berbagai institusi-pemerintahan, partai, sekolah dan media-juga
melalui berbagai mekanisme-hukum dan kebijakan, kurikulum dan budaya.
Patriarki akhirnya membakukan peran sosial dalam masyarakat, denga
mengasosiasikan perempuan dengan “kurang mampu” dibandingkan pria dalam
segala bidang-politik, ekonomi, media, pendidikan, dan sebagainya (Vega Montiel,
2015).

Media memiliki peran kunci dalam mematangkan sistem sosial itu, sekalipun
mempunyai kapasitas untuk membantu memperkuat wanita, secara sosial, politik,
dan ekonomi dengan mengurangi kemiskinan, kurangnya literasi, segregasi sosial
dan kekerasan seksual (Martin 2002: 54). Kenyataannya media memproduksi
stereotipe seksis yang mendiskriminasi.

Feminist political economy of communication (FOEC) membangun jembatan


dari konten dan struktur media untuk melihat bagaimana sistem tersebut membantu
patriarki dan neoliberalisme. Para politis feminis beranggapan bahwa media dan
industri informasi teknologi bukanlah merupakan efek alami dari perkembangan
sosial belainkan adalah produk dari kepentingan hegemoni. Tidak ada yang netral,
tapi disusun oleh struktur yang merepresentasikan kekuatan pria. Hal ini
menunjukan bagaimana ideologi memainkan peran penting dalam mendukung
kekuatan androsentrik yang mendominasi media.

Melalui komodifikasi tubuh wanita, media berkontribusi dalam


“mengabsahkan” kekerasan seksual dan bagaimana media memperkuat
ketidaksamarataan gender. Berita selalu merepresentasikan wanita sebagai korban-
terkait dengan kelemahan. Adapun ketika pelaku adalah lelaku maka mereka
diperlakukan seperti maniak atau berbeda dari pria pada umumnya. Kekerasan
seksual baiasanya dianggap sebagai isu domestik saja dan bukanlah sebuah struktur
fenomena dengan implikasi terhadap hak asasi manusia wanita (Diez, 2002; Vega
Montiel, 2014a).

Kekerasan seksual merupakan tindakan serius, insiden traumatic yang terjadi


sangat sering di masyarakat. Menelisik fenomena tersebut, terkadang korban justru
disalahkan, victim blaming terjadi ketika beberapa tuduhan tertuju bukan pada
pelaku melainkan kepada korban. Penelitan ini bertujuan untuk mencari
perhitungan yang menentukan nilai apa yang mengacu pada tindakan victim
blaming.

Perilaku victim blaming terjadi ketika korban dari suatu tindakan kriminal
dituduh bertanggung jawab terhadap tindakan kriminal tersebut dan terkadang
terjadi dalam kasus perkosaan (Maier, 2012, Perilloux, Duntley, & Buss, 2014).
Perilaku victim blaming dapat terjadi dalam perilaku yang tidak setara antara pria
dan wanita. Para peneliti menyatakan bahwa ada dua jenis sexism: hostile sexism
(sexism yang membahayakan) dan benevolent sexism (Glick & Fiske, 1996).
Beneveolent sexism (sexism yang baik) dapat dikatakan lebih rumit dan mengacu
pada hal positif yang mencakup gagasan wanita, akan tetapi terkadang masih
terdapat reaksi negative (Glick & Fiske, 1996). Adapun, keduanya terkait dengan
bentuk objektifikasi kepada perempuan, termasuk objektifikasi diri oleh wanita.

Memandang dari sudut pandang feminis yang berarti menantang gagasan yang
memberikan pria dominasi ketimbang wanita. Sementara itu kekerasan seksual
menurut Leveson Inquiry yang dilihat dari sudut pandang pria meberikan perspektif
terhadap mitos dan stereotipe kepada wanita ketika sambil dipermainkan dan
diremehkan. End Violence Against Women (EVAW) memberikan satu laporan
yang menyatakan adanya fenomena tentang media dan seksualitas sebagai konteks
dimana kekerasan terhadap perempuan berkembang.

Penting untuk diingat bahwa media mempertahankan kebebasan sebanyak


mungkin untuk menyelesaikan fungsi pusatnya; 'kebebasan untuk melaporkan dan
mendiskusikan masalah kepentingan umum'. Menurut Barendt and Hitchens, ini
penting untuk surat kabar, lembaga penyiaran, dan cabang media lainnya untuk
memainkan peran vital mereka dalam kehidupan politik dan sosial masyarakat
liberal '(Barendt & Hitchens 2001:1). Pasal 10 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa; 'Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi. Hak
ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat dan menerima dan
menyampaikan informasi dan gagasan tanpa campur tangan oleh otoritas publik
dan tanpa memandang batas-batasnya. '

Sementara pers tidak boleh melampaui batas yang ditetapkan tetap saja ada
kewajiban untuk menyampaikan informasi dan gagasan mengenai masalah
kepentingan umum. Pers tidak hanya memiliki tugas untuk menyampaikan
informasi dan gagasan semacam itu: publik juga memiliki hak untuk menerimanya.
Jika tidak, pers tidak akan bisa memainkan peran vitalnya sebagai 'pengawas
publik'.

Di Inggris, korban pemerkosaan atau serangan seksual serius memiliki


anonimitas dan perlindungan yang tegas dari gangguan media. Artinya nama
korban pemerkosaan atau penyerangan seksual tidak bisa diliput oleh media.
Sementara di Amerika Serikat, tidak ada hukum setara; korban serangan seksual
hanya bisa tutup mulut di media untuk melindungi privasi mereka menurut. Hal ini
didasarkan pada perspektif media bahwa pemerkosaan lebih bersifat 'pribadi,
traumatis, dan stigmatisasi daripada kebanyakan kejahatan (Denno 1992).
Mahkamah Agung AS, sampai saat ini, selalu melindungi hak media untuk
memperlihatkan nama korban kekerasan seksual di bawah Amandemen Pertama.

Banyak korban kejahatan disalahkan. Satu area tertentu dimana menyalahkan


korban dan sikap negatif lainnya terhadap korban telah mendapat cukup banyak
Perhatian adalah dalam mempelajari sikap individu terhadap korban perkosaan.
Penelitian semacam itu Telah dilakukan karena korban perkosaan sering dipandang
sebagai pihak yang bertanggung jawab dan bertanggung jawab kesalahan pidana
pemerkosaan. Apalagi pemerkosaan adalah kejahatan yang sering diminimalisir.
Artinya, pemerkosaan bisa dilihat sebagai kurang berbahaya (yaitu, kurang
psikologis traumatis; Simonson & Subich, 1999) dan kurang mengandung tindak
kekerasan (Newcombe, Van Den Eynde, Hafner, & Jolly, 2008), dan korban
mungkin tidak dapat dipercaya bahwa telah diperkosa (Yamawaki, 2007).

Khususnya, penelitian telah menunjukkan bahwa jenis sikap negatif terhadap


hal ini korban perkosaan (seperti, menyalahkan) muncul untuk meningkatkan
korban lebih jauh menyimpang dari persepsi prasangka individu. Betapa korban
pemerkosaan "sebenarnya". Korban pemerkosaan "nyata" ini secara stereotip
adalah seseorang yang tiba-tiba diperkosa di tempat umum yang sepi,luka fisik
yang nyata dan tekanan emosional yang nyata, dan segera melaporkan kejahatan
tersebut ke polisi, memberikan bukti yang jelas tentang serangan tersebut dan
tentang diaresistensi aktif terhadapnya (mis., Maier, 2008; Williams, 1984). Jadi,
misalnya korban perkosaan oleh kerabat dipandang lebih negatif daripada korban
pemerkosaan orang asing (misalnya,Newcombe et al., 2008; Simonson & Subich,
1999; Yamawaki, 2007).Konsep sempit tentang apa yang merupakan korban
pemerkosaan "sebenarnya" sebagian besar diinformasikan oleh keyakinan individu
dalam mitos pemerkosaan.

B. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN


Adapaun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pemahaman orangtua terhadap pendidikan seks?
2. Bagaimana model komunikasi orangtua dalam pendidikan seks?
3. Bagaimana respon remaja terhadap pendidikan seks dari orangtua?
4. Apa saja materi dalam pendidikan seks yang disampaikan orangtua pada
remaja?

C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1 Untuk mengetahui pemahaman orangtua tentang pendidikan seks
2 Untuk mengetahui bagaimana model komunikasi orangtua dalam
pendidikan seks kepada remaja.
3 Untuk mengetahui respon remaja terhadap pendidikan seks dari orangtua.
4 Untuk mengetahui materi apa saja yang layak disampaikan orangtua terkait
pendidikan seks terhadap remaja.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Segi Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan dalam


bidang kajian ilmu komunikasi khususnya mengenai komunikasi orangtua
bagaimana komunikasi orangtua dan anak dapat mencegah terjadinya
kekerasan seksual pada remaja.

2. Segi Kebijakan

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah daerah untuk


lebih optimal dalam sosialisasi pentingnya pendidikan seks bagi orangtua
dan remaja

3. Segi Praktis
Penelitian ini diharapkan sebagai bahan acuan bagi para mahasiswa atau
praktisi untuk mempermudah berkomunikasi dengan keluarga dan
mengurangi resiko kekerasan seksual pada remaja.

4. Segi Isu serta aksi sosial


Penelitian ini diharapkan menjadi perhatian dalam kehidupan sehari-
hari bagaimana peran komunikasi keluarga dalam memberikan pemahaman
kepada remaja pentingnya pendidikan seksual oleh orangtua.

Anda mungkin juga menyukai