Banyak dari cakupan media berita terkait kekerasan seksual pada akhirnya
memunculkan mitos dan stereotip mengenai perkosaan, pemerkosa dan korban
perkosaan. Hal ini menjadi masalah, dikarenakan media berita sebagai pembentuk
opini publik mengenai perkosaan terkadang memengaruhi. Media berita sering
membingkai para pemerkosa dengan cara mengerikan, korban mereka terkadang
terklasifikasikan sebagai seorang perawan polos ataupun wanita penggoda yang
mengundang perkosaan. Hal ini bisa berbahaya bagi para korban perkosaan ketika
secara tidak sengaja individu tersebut melekat dengan stereotipe yang beredar.
Mitos perkosaan, yang bisa didefinisikan sebagai praduga, stereotipe atau
kepercayaan yang salah(Burt, 1980: 217). Beberapa mitos yang populer adalah
‘hanya wanita nakal yang diperkosa, si korban ‘meminta untuk itu’ (Burt, 1980:
213) dengan cara mabuk di pesta atau memakai pakaian provokatif, dan wanita
yang mengaku bahwa dirinya diperkosa dapat dikatakan pembohong. Mitos ini
berubah menjadi tudingan kepada para korban. Terdapat juga mitos lain seperti
anggapan bahwa pelaku adalah makhluk yang ‘gila seks’ tidak bisa diberhentikan
karena didorong naluri. Seperti serigala melihat domba.
Para feminis praktisi media setuju bahwa media tidak mempunyai netralitas
gender; keadaan patriarki dianggap sebagai buntut diskriminasi terhadap
perempuan, bahwa media adalah alat yang memberikan informasi nilai—nilai
patriarki (Blazquez, 2008; Castano, 2005)
Menurut Castano (2005: 28) tatanan sosial dibangun oleh dikotomi seperti
budaya/alam, pikiran/tubuh, akal/emosi, objektifitas/subjektifitas; publik/pribadi,
yang dimana pada elemen kedua dari setiap pasang adalah yang terburuk dan
disangkutpautkan dengan wanita. Dalam tatanan sosial tersebut patriarki diperkuat
melalui hubungan antara pria di atas wanita. Gagasan ini semakin meluas dan mulai
diterapkan oleh berbagai institusi-pemerintahan, partai, sekolah dan media-juga
melalui berbagai mekanisme-hukum dan kebijakan, kurikulum dan budaya.
Patriarki akhirnya membakukan peran sosial dalam masyarakat, denga
mengasosiasikan perempuan dengan “kurang mampu” dibandingkan pria dalam
segala bidang-politik, ekonomi, media, pendidikan, dan sebagainya (Vega Montiel,
2015).
Media memiliki peran kunci dalam mematangkan sistem sosial itu, sekalipun
mempunyai kapasitas untuk membantu memperkuat wanita, secara sosial, politik,
dan ekonomi dengan mengurangi kemiskinan, kurangnya literasi, segregasi sosial
dan kekerasan seksual (Martin 2002: 54). Kenyataannya media memproduksi
stereotipe seksis yang mendiskriminasi.
Perilaku victim blaming terjadi ketika korban dari suatu tindakan kriminal
dituduh bertanggung jawab terhadap tindakan kriminal tersebut dan terkadang
terjadi dalam kasus perkosaan (Maier, 2012, Perilloux, Duntley, & Buss, 2014).
Perilaku victim blaming dapat terjadi dalam perilaku yang tidak setara antara pria
dan wanita. Para peneliti menyatakan bahwa ada dua jenis sexism: hostile sexism
(sexism yang membahayakan) dan benevolent sexism (Glick & Fiske, 1996).
Beneveolent sexism (sexism yang baik) dapat dikatakan lebih rumit dan mengacu
pada hal positif yang mencakup gagasan wanita, akan tetapi terkadang masih
terdapat reaksi negative (Glick & Fiske, 1996). Adapun, keduanya terkait dengan
bentuk objektifikasi kepada perempuan, termasuk objektifikasi diri oleh wanita.
Memandang dari sudut pandang feminis yang berarti menantang gagasan yang
memberikan pria dominasi ketimbang wanita. Sementara itu kekerasan seksual
menurut Leveson Inquiry yang dilihat dari sudut pandang pria meberikan perspektif
terhadap mitos dan stereotipe kepada wanita ketika sambil dipermainkan dan
diremehkan. End Violence Against Women (EVAW) memberikan satu laporan
yang menyatakan adanya fenomena tentang media dan seksualitas sebagai konteks
dimana kekerasan terhadap perempuan berkembang.
Sementara pers tidak boleh melampaui batas yang ditetapkan tetap saja ada
kewajiban untuk menyampaikan informasi dan gagasan mengenai masalah
kepentingan umum. Pers tidak hanya memiliki tugas untuk menyampaikan
informasi dan gagasan semacam itu: publik juga memiliki hak untuk menerimanya.
Jika tidak, pers tidak akan bisa memainkan peran vitalnya sebagai 'pengawas
publik'.
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1 Untuk mengetahui pemahaman orangtua tentang pendidikan seks
2 Untuk mengetahui bagaimana model komunikasi orangtua dalam
pendidikan seks kepada remaja.
3 Untuk mengetahui respon remaja terhadap pendidikan seks dari orangtua.
4 Untuk mengetahui materi apa saja yang layak disampaikan orangtua terkait
pendidikan seks terhadap remaja.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Segi Teoretis
2. Segi Kebijakan
3. Segi Praktis
Penelitian ini diharapkan sebagai bahan acuan bagi para mahasiswa atau
praktisi untuk mempermudah berkomunikasi dengan keluarga dan
mengurangi resiko kekerasan seksual pada remaja.