Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Data dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kekerasan seksual, utamanya

pemerkosaan, meningkat setiap tahunnya. Tahun 2014 kasus yang dilaporkan

adalah 293.22 kasus. Tahun 2015 terdapat 16.217 kasus. Tahun 2016 terdapat

326.742 kasus sedangkan tahun 2017 terdapat 259.150 kasus. Data dari Komnas

Perempuan juga menyebutkan antara tahun 1998-2010 jumlah kekerasan seksual

mencapai 22.284 kasus. Dengan demikian, di Indonesia rata-rata dalam sehari

terjadi 12 kali pemerkosaan. Artinya, Indonesia berada dalam darurat kekerasan

seksual.

Di Jawa Tengah, kekerasan seksual yang terjadi didominasi oleh

pemerkosaan, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Legal Resources

Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pada 2016 kekerasan terhadap perempuan

jumlahnya mencapai 871 kasus yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota di Jateng

dengan kasus pemerkosaan sebanyak 144 atau 29,3 persen. Pelakunya biasanya

adalah orang terdekat yang kenal dengan korban.

Daerah dengan kasus pemerkosaan tertinggi adalah di Kota Semarang

dengan 33 kasus. Kabupaten Boyolali 15 kasus dan Wonogiri 12 kasus. Data

LRC-KJHAM pada periode Januari sampai Februari 2017 mencatat sudah ada 58

kasus kekerasan tehadap perempuan di Jawa Tengah dengan kasus pemerkosaan

sebanyak 12 kasus atau 6,96 persen.


1
Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah tindak kekerasan terhadap

perempuan di Provinsi Jawa Tengah (Jateng) masih tergolong tinggi sehingga

perlu mendapat perhatian dari semua pihak.

Pada kenyataannya, data tersebut tidak mewakili jumlah seluruh korban

kekerasan seksual. Survei yang dilakukan Lentera Sintas Indonesia, Majalah

Magdalene dan situs petisi online Change.org menyatakan bahwa 90 persen

korban pemerkosaan di Indonesia bungkam karena rasa malu akan tekanan sosial.

Rasa malu tersebut semakin diperkuat dengan pemberitaan kekerasan

terhadap perempuan yang menyalahkan korban (blaming the victim) yang

mengarah pada sadisme seksual. Penyebaran informasi pemerkosaan menjadi

vulgar dengan dramatisasi situasi yang justru menyudutkan dan membuat malu

korban. Banyak pemberitaan di media massa menggiring masyarakat untuk lebih

menyalahkan korban pemerkosaan dan berempati pada pelaku yang berdalih tak

mampu menahan gairah seksualnya karena ada perempuan berdiri sendirian di

tengah malam menunggu kendaraan umum.

Pemilihan diksi pemberitaan juga seringkali semakin membuat malu korban

pemerkosaan. Penelitian mengenai pemberitaan pemerkosaan pernah dilakukan

oleh Winarko (2000: 50). Ia meneliti mengenai pemberitaan pada surat kabar

Kedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka, ditemukan 22 kata yang digunakan untuk

menggantikan kata “pemerkosaan”, yaitu: (1) merenggut kegadisan, (2)

mencabuli, (3) menggauli, (4) menggagahi, (5) menakali, (6) dianui, (7)

dikumpuli, (8) menipu luar dalam, (9) digilir, (10) dinodai, (11) digarap, (12)

dihamili, (13) korban cinta paksa, (14) dipaksa berhubungan intim, (15) berbuat

2
tidak senonoh, (16) memaksa bersetubuh, (17) korban kuda-kudaan, (18)

memaksa memenuhi nafsu birahi, (19) dipaksa melayani, (20) melakukan

perbuatan asusila, (21) digelandang, dan (20) dipaksa melakukan permainan ibu-

ibuan. Pilihan atau pemakaian istilah tersebut jelas akan menimbulkan bias dan

semakin mempermalukan korban pemerkosaan.

Ironisnya, setelah 17 tahun berselang, pemberitaan pemerkosaan di media

massa masih bias gender. Bahkan, semakin parah karena berani menyalahkan

korbannya.

Sebagai contohnya adalah berita dari Detiknews.com yang diunggah pada

Senin, 16 Feb 2015 pukul 15:13 WIB, berjudul, “Penganiayaan Brutal Siswi SMA

di Bantul Ternyata Didasari Tato Hello Kitty”. Lead beritanya adalah sebagai

berikut:

“Bantul - LA (18), siswi-siswi SMA di Yogyakarta menjadi korban


penyekapan dan penyiksaan. Selain dipukuli dan disundut rokok, dia juga'
dianiaya' di bagian kemaluannya. Aksi brutal yang dilakukan 9 siswi (sebelumnya
ditulis 8) orang ini dilatarbelakangi persoalan tato.”

Berita tersebut, mengungkap kronologi kejadian dengan detail yang

kemudian menggiring pembaca membayangkan secara runut peristiwa biadab

yang “menyakitkan,” menempatkan korban untuk ditelanjangi berkali-kali oleh

media dan ribuan pembacanya. Selain itu, berita tersebut justru menyalahkan

korban yang mengalami kekerasan seksual karena mempunyai tato Hello Kitty.

Blaming the victim yang diarahkan kepada korban menimbulkan reviktimisasi.

Reviktimisasi artinya korban kembali diperkosa melalui pemberitaan media

karena berulang kali mengingatkannya pada peristiwa traumatis yang

menimpanya dan menyalahkannya atas terjadinya peristiwa tersebut.


3
Contoh lain berita yang mempersalahkan korban adalah berita dari

Sindonews.com, yang ditulis oleh Frans Marbun yang diunggap pada Selasa, 1

Maret 2016, berjudul “Pakai Rok Mini, kesucian Karyawan Cantik Hampir Hilang

di Lift.” Berikut potongan beritanya:

“Diduga, pelaku yang tak tahan melihat kemolekan tubuh korban, langsung
memeluknya (korban) dari belakang, kemudian menciuminya. Apalagi, korban
mengenakan pakaian seksi dengan rok mini di atas lutut dan ketat.”

Berita tersebut mengindikasikan bahwa pakaian seksi dan rok mini yang

dikenakan perempuan seolah menjadi pembenaran bagi pelaku yang

memerkosanya. Ironisnya, pelaku justru dibela dan memperoleh empati dari

berbagai pihak, termasuk media massa.

Anggapan perempuan sebagai sumber penggoda pemerkosaan terjadi

hampir di seluruh negeri, misalnya di India. Kementrian Pariwisata India

mengeluarkan peringatan terhadap turis perempuan untuk tidak memakai rok mini

saat mengunjungi kota atau desa di negara itu untuk menghindari pemerkosaan,

sebagaimana dilansir Bangkapos.com.

Di Indonesia, Pejabat pemerintah juga turut menyalahkan korban atas

peristiwa pemerkosaan yang telah terjadi, sebagaimana dinyatakan oleh Fauzi

Bowo ketika marak terjadi pemerkosaan di transportasi umum di Jakarta tahun

2011. Fauzi Bowo, selaku Gubernur Jakarta kala itu justru membela pelaku

pemerkosaan dengan mengatakan,

“Bayangkan saja kalau orang naik mikrolet duduknya pakai rok mini, kan
agak gerah juga. Sama kayak orang naik motor, pakai celana pendek, ketat lagi,
itu yang dibelakangnya bisa goyang-goyang,” ujarnya sebagaimana dilansir
JPNN.com pada 16 September 2011.

4
Dari pemaparan berbagai pemberitaan media tersebut, semuanya

menggambarkan bahwa perempuan korban kekerasan seksual di media massa

disoroti sebagai sumber penggoda. Perempuan dituding menimbulkan gairah laki-

laki yang melihatnya sehingga pantas disalahkan atas kasus pemerkosaan yang

menimpanya.

Pada tingkat nasional, berdasarkan data dari Komnas Perempuan tahun

2015, disebutkan bahwa emberitaan media massa mengenai kasus kekerasan

seksual terhadap perempuan tidak sensitif gender. Komnas perempuan meneliti 9

media yakni: Indo Pos, Jakarta Post, Jakarta Globe, Kompas, Koran Sindo, Pos

Kota, Republika, Koran Tempo dan Media Indonesia. Kesimpulan dari penelitian

tersebut bahwa secara umum, media-media tersebut tidak sensitif gender dalam

hal: menggunakan diksi yang bias (24,21%), mengungkap identitas korban

(23,15%), stigmatisasi korban sebagai pemicu kekerasan atau blaming the victim

(15,89%). Apabila digambarkan adalah sebagai berikut:

Gambar 1.1.
Sumber: Komnas Perempuan 2015

Porsi Bias Gender Media Massa


1.2
Nasional

Diksi Bias
15.89
24.21
Mengungkap identitas
Korban
Stigma Korban Adalah
23.15 Pemicu Kekerasan
Hal lain

5
Tingginya kasus kekerasan seksual di Jawa Tengah harusnya memang

mendapat perhatian dari berbagai pihak, terutama media massa yang umumnya

digunakan sebagai kaca mata oleh pembacanya untuk melihat “realita.”

Namun, pada kenyatannya, praktik jurnalisme sensitif gender masih belum

banyak diterapkan oleh media massa. Suaramerdeka.com sebagai salah satu

media online lokal di Jawa Tengah diharapkan mampu membuat berita sensitif

gender sehingga tidak memicu pembaca menyalahkan korban pemerkosaan dan

menyadarkan seluruh masyarakat untuk menekan angka pemerkosaan. Namun,

Suaramerdeka.com justru turut mengasilkan berita pemerkosaan dengan sudut

pandang blaming the victim..

Misalnya saja pada berita yang tayang di Suaramerdeka.com tertanggal 1

Juni 2016, berjudul “Kasus Dugaan Pemerkosaan di Semarang Perlu Digali Lebih

Dalam.” Lead dan potongan beritanya adalah sebagai berikut:

“SEMARANG, suaramerdeka.com – Perlu digali lagi apakah kasus dugaan


pemerkosaan kepada anak di bawah umur yang dialami PL (12) di daerah
Plamongan Kota Semarang, murni pemerkosaan atau ada unsur lainnya.”

“Anak masih labil, akan mencoba menggali lagi. Jika suka sama suka,
seperti apa. Saya masih perlu waktu untuk bersama-sama psikolog menggali ada
apa sebenarnya. Jika ada.”

Berita tersebut mengindikasikan mempersalahkan korban (blaming the

victim) yang mencurigai korban tidak diperkosa. Menurut pandangan narasumber

berita yang dipilih Suaramerdeka.com, ada kemungkinan mereka berhubungan

intim karena suka sama suka (sexual consent).

6
Konsep blaming the victim yang digunakan sebagai sudut pandang

pemberitaan bisa dilihat sebagai kekerasan simbolik yang ditujukan pada korban

kekerasan. Dari sudut pandang gender, hal ini tentu saja merupakan ketidakadilan.

Sejatinya, kekerasan terhadap perempuan, utamanya pemerkosaan,

melibatkan rasa hormat dan kesetaraan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Kausar Rafika Sari tahun 2013 menyebutkan, dampak psikologis yang dialami

oleh korban pemerkosaan adalah mengalami kejadian traumatik yang dialami

kembali. Ironisnya, justru bayak pemberitaan kasus pemerkosaan yang justru

‘memerkosa’ korban kembali dengan mengulang kronologi kejadian secara rinci

serta mempersalahkan korban (blaming the victim).

Dari pemaparan tersebut diketahui bahwa sebagian besar pemberitaan di

media massa menyalahkan korban terhadap peristiwa traumatik tersebut.

Mengingat besarnya angka kekerasan seksual di Jawa Tengah dan pemberitaan

yang menyalahkan korban memiliki potensi merusak psikologis korban sehingga

memiliki efek yang besar, maka penelitian ini fokus pada berita kekerasan seksual

yang menyalahkan korban pada media online lokal berbasis media cetak pertama

di Indonesia, Suaramerdeka.com.

Adapun definisi kekerasan seksual dapat meliputi upaya dan atau

pemerkosaan, pemaksaan hubungan seksual dan pelecehan, kontak seksual

dengan paksaan atau ancaman menggunakan kekuatan, serta ancaman

pemerkosaan (Fisher et al, 2000: WHO, 2002).

Kekerasan seksual utamanya selalu ditujukan kepada perempuan

sebagaimanya termaktub dalam Convention on the Elimination of all Forms of

7
Discrimination Against Women (CEDAW) dalam Rekomendasi Umum Nomor 19

Tahun 1992 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan yang menyatakan:

“Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang


merupakan hambatan serius bagi perempuan untuk menikmati hak-hak dan
kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki....Tindak kekerasan
berbasis gender sebagai tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada
perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan.”

Kemudian, apabila merujuk pada Deklarasi Penghapusan Kekerasan

Terhadap Perempuan 1993, kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk dari

kekerasan terhadap perempuan. Pasal 1 deklarasi ini menegaskan bahwa

kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan

berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau

penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman

terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara

sewenang-wenang baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan

pribadi.

Sedangkan definisi pemerkosaan secara khusus, menurut Statuta Roma

adalah serangan yang diarahkan pada bagian seksualitas, seringan apapun, dengan

menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut

atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual

ataupun benda-benda lainnya. Serangan ini dilakukakan dengan pemaksaan atau

menyerang seseorang yang tidak mampu memberikan ketidaksetujuan yang

sesungguhnya (Statuta Roma, 2016: 107).

Selanjutnya, arti penting pemberitaan secara berimbang dan berkeadilan

gender terdapat pada pasal 28-I (Ayat 1 dan 2) UUD 1945. Selain itu,

8
ketidakadilan representasi perempuan di media bertentangan dengan Kode Etik

Jurnalistik (KEJ) sebagai landasan moral dan etika profesi wartawan pada Pasal 1.

Selanjutnya, pada Pasal 2, terdapat kewajiban bahwa wartawan harus

menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto

dan suara. Selain itu, pada Pasal 4, disebutkan bahwa wartawan tidak

diperkenankan cabul. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis

dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan semata-mata untuk membangkitkan

nafsu birahi. Selain itu pada Pasal 8 juga menyatakan pelarangan diskriminasi

berdasarkan jenis kelamin.

Setelah dicermati, di Jawa Tengah, khususnya Semarang, banyak terjadi

kekerasan terhadap perempuan, utamanya kasus pemerkosaan. Suaramerdeka.com

sebagai koral lokal di Jawa Tengah dipilih dalam penelitian ini terkait konsep

blaming the victim pada berita pemerkosaan. Sudut pandang blaming the victim

pada berita pemerkosaan yang lolos ke Suaramerdeka.com pastilah terkait erat

dengan kebijakan redaksinya.

Kebijakan redaksi menjadi dasar pertimbangan media sebagai penentu

berita apa saja yang akan dimunculkan dan tidak dimunculkan. Penentuan berita

ini terkait dengan proses struktur yang mempengaruhi kebijakan yang diambil

dalam media tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Kasus kekerasan terhadap perempuan utamanya pemerkosaan di Semarang adalah

yang tertinggi di Jawa Tengah. Peristiwa tersebut banyak diberitakan oleh koran

9
lokal setempat. Ironisnya, banyak pemberitaan yang justru menimpakan kesalahan

kepada korban (blaming the victim) sehingga menambah trauma bagi korban dan

menggiring masyarakat (pembaca) untuk ikut menyalahkan korban.

Untuk itu, permasalahan yang akan dimunculkan dari penelitian ini adalah:

Bagaimana gambaran blaming the victim pada berita kekerasan seksual di

Suaramerdeka.com? Bagaimana kebijakan Suaramerdeka.com terkait penayangan

berita blaming the victim?

Oleh karena itu, penelitian ini fokus pada bagaimana kebijakan

Suaramerdeka.com dan struktur yang beroperasi di dalamnya berperan

menghasilkan berita kekerasan seksual yang justru menyalahkan korban dan

bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Dengan demikian, penelitian kebijakan yang akan dilakukan adalah

melakukan analisa kritis terhadap pemberitaan kekerasan seksual di

Suaramerdeka.com dengan unsur blaming the victim yang melakukan

peminggiran (alienasi) terhadap korban pemerkosaan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan kekerasan simbolik berupa

blaming the victim; (2) mendeskripsikan blaming the victim berupa alienasi

korban kekerasan seksual di Suaramerdeka.com; (3) mendeskripsikan kebijakan

Suaramerdeka.com terkait blaming the victim; (4) mendeskripsikan beroperasinya

ideologi dominan dibalik kebijakan Suaramerdeka.com terkait blaming the victim.

10
1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Signifikansi Akademis

Penelitian ini memiliki novelty atau kebaruan secara akademis. Penelitian yang

saat ini dilakukan merupakan penelitian kebijakan yang melakukan analisa kritis

terhadap pemberitaan kekerasan seksual dengan unsur blaming the victim yang

melakukan peminggiran (alienasi) terhadap korban pemerkosaan. Dengan

demikian, kebaruan (novelty) penelitian ini karena adanya analisis sensitivitas

gender kebijakan industri media massa yang melakukan praktik blaming the

victim berupa alienasi gender korban kekerasan seksual pada berita yang

diproduksi dan direproduksi.

1.4.2. Signifikansi Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan kepada media

massa, utamanya media online. Media massa apabila dilihat sebagai agen

perubahan, sebenarnya bisa mengusahakan nilai-nilai kesetaraan gender di

masyarakat, bukan sekadar penyedia berita dramatis bagi pembaca.

1.4.3. Signifikansi Sosial

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi masyarakat agar lebih kritis

menyikapi berita kekerasan seksual di media massa yang justru membela pelaku

dan malah menyalahkan korban. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa

meningkatkan kesadaran gender bagi pembaca berita kekerasan seksual di media.

11
1.5. Kerangka Pemikiran Teoritis

1.5.1. Paradigma Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis. Asumsi yang mendasari

digunakannya paradigma ini adalah bahwa ketidakadilan gender merupakan hal

yang diperjuangkan oleh penganut paradigma ini.

Unsur “kritis” pada paradigma ini adalah mempertanyakan relasi kekuasaan

yang timpang sehingga mengakibatkan dominasi dalam proses komunikasi.

Dengan demikian, tradisi kritis mencoba mengungkap kondisi sosial yang opresif

dan pengaturan kekuasaan yang timpang (asimetris).

Teori-teori kritis dalam tradisi ini berani melontarkan kritik terhadap

penguasa atau pihak-pihak yang berkepentingan untuk kemakmuran dirinya

sendiri. Konsep penting dalam tradisi ini adalah ideologi penguasa mendominasi

masyarakat. Perlu adanya penyetaraan agar distribusi kekuasaan bisa seimbang.

Teori kritis membela kelompok terpinggirkan. Dalam ranah komunikasi,

pendekatan kritis secara khusus mengkaji mengenai bagaimana suatu pesan bisa

memperkuat opresi di masyarakat.

Paradigma kritis dalam komunikasi menekankan pada struktur sosial yang

lebih luas di mana komunikasi massa itu terjadi dan fokus pada isu siapa

mengontrol suatu sistem komunikasi (Severin dan Tankard, 2005: 18).

Inti dari tradisi kritis adalah pertama, mencari taken for granted system,

stuktur kuasa, kepercayaan atau ideologi yang mendominasi masyarakat. Kedua,

tradisi ktiris mengungkap kondisi sosial dan pengaturan kekuasaan yang opresif

12
untuk mewujudkan emansipasi atau masyarakat bebas dari penindasan. Ketiga,

teori-teori kritis memadukan teori dan tindakan (Foss dan Littlejohn, 2008: 46).

Apabila dikaitkan dengan penelitian yang saat ini dilakukan, komunikasi

massa yang terjadi adalah di koran online lokal Jawa Tengah yang fokusnya

adalah siapa mengontrol sistem pemberitaan kekerasan seksual terhadap

perempuan di media tersebut. Beberapa berita menyalahkan korban, hal tidak

wajar yang coba digali dalam penelitian ini.

Sedangkan menurut Guba & Lincoln (2011), secara filosofis, tiga persoalan

mendasar dalam penelitian meliputi (1) aspek ontology, yakni mempersoalkan

bentuk dan sifat dari realita yang diteliti; (2) aspek epistemology yang

mempersoalkan hubungan antara peneliti dengan apa yang ditelitinya; (3)

sementara dalam aspek metodology, mempersoalkan cara bagaimana peneliti

dapat menemukan apapun yang ingin diketahuinya.

Secara ontologis, penelitian ini menggunakan paradigma kritis yang

menekankan pada realisme historis. Dalam pendekatan ini, realita diasumsikan

bersifat semu dan plastis yang dibentuk oleh kesatuan faktor-faktor sosial, politik,

budaya, ekonomi, etnik, dan gender. Faktor-faktor ini selanjutnya dikristalisasikan

ke dalam sebuah struktur yang nyata. Bagi pendekatan ini, struktur merupakan

realitas historis yang virtual. Paradigma kritis memahami realitas bukan dibentuk

oleh alam (nature), bukan alami, tetapi dibentuk oleh manusia. Ini tidak berarti

setiap orang membentuk realitasnya sendiri-sendiri, tetapi orang yang berada

dalam kelompok dominan merupakan pihak yang menciptakan realitas, dengan

13
memanipulasi, mengondisikan orang lain agar mempunyai penafsiran atas

pemaknaan seperti yang mereka inginkan.

Sedang secara epistemologis, paradigma kritis melihat hubungan antara

peneliti dan realitas yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu

(transactionalist/subjectivist). Dalam rangka memahami suatu realitas si peneliti

mesti menggunakan perspektif si pelaku (pembentuk) realitas. Realitas harus

dipahami sebagai kenyataan yang telah diperantarai oleh nilai-nilai (value

mediated findings) antara si subyek dengan realitas yang sebenarnya (struktur

dominasi media).

Sementara secara metodologis, paradigma kritis bersifat dialogis dan

dialektis. Sifat transaksional dari penelitian ini mempersyaratkan sebuah dialog

antara peneliti dan subyek-subyek yang diteliti. Dialog itu haruslah bersifat

dialektik untuk mengubah ketidaksadaran dan ketidakmengertian ke dalam

kesadaran yang lebih diinformasikan (melihat bagaimana struktur-struktur itu bisa

diubah dan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memengaruhi

perubahan itu).

Salah satu teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Strukturasi

Gender yang masuk ke dalam tradisi kritis. Teori Strukturasi Gender ditempatkan

dalam paradigma kritis karena adanya kesadaran melawan hegemoni ideologi

gender dominan (Sunarto, 2007: 153).

Selain itu, teori Feminisme Radikal Kultural juga digunakan dalam

penelitian ini. Teori Feminisme Radikal Kultural menyatakan bahwa akar dari

14
ketertindasan perempuan adalah dari sturktur patriarki yang menyakiti seksualitas

perempuan.

Asumsi yang dibangun adalah bahwa patriarki, yaitu sistem kekuasaan

dalam keluarga dan masyarakat memberikan posisi dominan kepada kaum laki-

laki, menyebabkan keterbelakangan kaum perempuan (Sunarto, 2009: 39).

Patriarki bukan taken for granted sistem, melainkan dibentuk oleh sistem sosial

untuk melanggengkan kuasa laki-laki atas perempuan.

1.5.2. State of The Art

1.5.2.1. Penelitian Sunarto (2007): Kekerasan Televisi Terhadap Wanita: Studi

Strukturasi Gender Industri Televisi Dalam Naturalisasi Kekerasan Terdahap

Wanita Melalui Program Televisi Untuk Anak-anak di Indonesia.

Penelitian tersebut mengkaji proses strukturasi media khususnya media televisi,

yaitu dengan melihat bentuk-bentuk kekerasan, dominasi, gender, struktur gender

dalam praktiknya di institusi media televisi, dan posisi kekerasan atas perempuan

dalam proses strukturasi gender di media televisi. Penelitian ini menggunakan

paradigma kritis dengan metode Analisis Wacana Kritis dan kajian feminis, yang

didukung dengan analisis isi feminis dan etnografi feminis. Hasil penelitian

menyatakan, terdapat suatu proses naturalisasi kekerasan atas perempuan melalui

program siaran televisi dengan melibatkan struktur gender agen perempuan dan

struktur televisi beserta struktur sosial di belakangnya yang bersifat resiprokal.

15
1.5.2.2. Penelitian Hapsari Dwiningtyas Sulistyani: “Korban dan Kuasa di dalam

Kajian Kekerasan terhadap Perempuan”

Penelitian yang dilakukan Hapsari pada tahun 2011 ini merupakan studi gender

tentang kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan cara perempuan korban

dominasi kekuasaan patriarkal. Penelitian ini mulai melihat potensi perempuan

dalam memperoleh kekuasaan dan menantang posisi mereka sebagai korban.

Penelitian ini menunjukkan kemungkinan pergeseran perspektif dominan pada

studi perempuan dengan cara menjelajahi tulisan perempuan. Menjelajahi tulisan

perempuan merupakan salah satu cara mencari titik alternatif pandangan yang

mampu menantang dominasi patriarki guna membangun peran sosial perempuan.

1.5.2.3.Penelitian Hyu Sisca dan Clara Moningka (2008): Resiliensi Perempuan

Dewasa Muda yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual di Masa Kanak-

kanak.

Meneliti tentang kemampuan relisiensi anak agar dapat tumbuh kembali rasa

percaya dirinya setelah dirusak oleh peristiwa kekerasan seksual yang

menimpanya. Subjek penelitian adalah 3 orang, dua di antaranya memperoleh

resiliensi dari lingkungan serta segi spriritual. Sedangkan satu subjek penelitian

tidak mengalami resilien karena selalu menyalahkan dirinya sehingga sulit

menerima masa lalunya.

16
1.5.2.4.Penelitian Esra Ozgun Unal, Sermet Koc, Volkan Unal, Ramazan (2016):

Violence Againts Women: A Series of Autopsy studies form Istanbul Turkey.

Penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya perempuan di Turki yang

meninggal karena kekerasan seksual. Data otopsi yang dilakukan dari tahuan 2006

hingga 2010 menyatakan korban meninggal mencapai 20.486 jiwa. Hasil

penelitian menyatakan kekerasan terhadap perempuan dikarenakan karakteristik

budaya patriarkhi di Istanbul.

1.5.2.5.Penelitian Erika M. Redding, Maria Teresa Ruiz-Cantero, Jose Fernandez-

Saez, Marta Guijarro-Garvi (2016): Gender Inequality and Violence Againts

Woman in Spain, 2006-2014 Towards a Civilized Society.

Meneliti mengenai hubungan posisi gender asimetris Spanish Autonomous

Communities (AC) dan relasi hubungan romantis (pacaran) berdasarkan

karakteristik sosio-demografi. Hasil penelitian menyatakan bahwa kebijakan

sensitif gender mengurangi angka kematian korban kekerasan seksual di Spain.

1.5.2.6. Penelitian Janet Farlow (2017): Intimate Partner Violence and Woman’s

Reproductive Health

Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa sebanyak 30 persen perempuan di

dunia mengalami kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh suami, pacar

17
dan mantan pacar. Hasil penelitian menyatakan bahwa perlu disediakan fasilitas

kesehatan IPV (Intimate Partner Violence) dan disediakan dukungan yang

diperlukan bagi korban.

1.5.2.7. Penelitian Silvia Galdi, Anne Maass, dan Mara Cadinu (2014):

Objectifying Media: Their Effect on Gender Role Norms and Sexual Harrasment

of Women

Tipe yang dipakai dalam penelitian tersebut adalah Riset Eksperimen. Sampel

beragam terdiri dari 141 orang laki-laki yang tinggal di Italia Utara, termasuk

siswa dan laki-laki yang telah bekerja. Penelitian melakukan eksperimen pada

kelompok laki-laki yang terkena paparan tayangan yang mengandung konten

obyektifikasi seksual perempuan terhadap kemungkinan peningkatan perilaku

melecehkan dan juga eksperimen pada kelompok laki-laki yang tidak mendapat

perlakuan sama (mereka diberi paparan konten tayangan yang menggambaran

perempuan dalam peran profesional).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta laki-laki memiliki niat lebih

besar untuk terlibat dalam pemaksaan seksual dan cenderung terlibat dalam

perilaku melecehkan gender setelah melihat penggambaran tayangan TV tentang

perempuan sebagai obyek seksual dibandingkan peserta yang melihat tayangan

TV dengan konten tentang perempuan sebagai subyek mandiri dan profesional.

18
1.5.2.8. Penelitian Eran Shor, Arnout van de Rijt, Alex Miltsov, Vivek Kulkarni,

and Steven Skienab (2015): A Paper Ceiling: Explaining the Persistent

Underrepresentation of Women in Printed News.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan uji beda. Uji

beda ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan keterwakilan perempuan di media

massa yang dipimpin oleh editor perempuan dibanding editor laki-laki. Penelitian

ini melihat fenomena “glass ceiling” dalam berita-berita media cetak. Matafora

glass ceiling (perempuan kompeten tidak bisa mencapai jabatan puncak) menjadi

ciri gender realitas pekerjaan di awal abad 21. Tingkat cakupan yang rendah pada

surat kabar (yaitu, di antara individu-individu yang sering tampil di media),

mengakibatkan stagnasi bagi perempuan untuk berkarir di bidang politik,

pemerintahan, manajerial, profesional olahraga, dan posisi eksekutif.

Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa Editor perempuan ternyata juga

menutupi keterwakilan perempuan di media. Hasil penelitian juga menyebutkan

bahwa surat kabar liberal dan konservatif dengan editor laki-laki maupun

perempuan semuanya secara signifikan cenderung menutupi keterwakilan

perempuan di media.

1.5.2.9. Penelitian Bettina Spencer (2016): The Impact of Class and Sexuality-

Based Stereotyping on Rape Blame.

19
Penelitian tersebut merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan mengetahui

pengaruh persepsi tentang kekerasan seksual pada stereotip tentang seksualitas.

Partisipan pada penelitian tersebut diminta membaca sebuah skenario arsip polisi

yang menggambarkan situasi ketika seorang perempuan dilaporkan diperkosa.

Hasil penelitian menyatakan bahwa secara keseluruhan, partisipan lebih

banyak menyalahkan dan menunjukkan lebih banyak sikap negatif terhadap

perempuan korban dari kalangan SES rendah. Partisipan juga menilai korban

pemerkosaan yang selamat (hidup) dari golongan SES rendah sebagai orang yang

menyukai perceraian, dan stereotip ini berkorelasi dengan sikap menyalahkan dan

sikap negatif yang dimoderasi oleh tingkat kelas sosial partisipan. Patisipan

dengan kelas sosial tinggi mendeskripsikan kejadian pemerkosaan dengan singkat.

Partisipan dengan kelas sosial rendah mendeskripsikan kejadian pemerkosaan

secara panjang lebar. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan kelas sosial

berpengaruh secara berbeda dalam membentuk bagaimana seseorang

membicarakan mengenai pemerkosaan.

1.5.3.0. Penelitian Nick J. Fox dan Clare Bale (2017): Bodies, pornography and

the circumscription of sexuality: A new materialist study of young people’s sexual

practices.

Tipe yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode

New Materialist. New Materialist melihat pengalaman seseorang dengan

20
kelompok dan juga hubungan mereka dengan badan, benda (material) dan

gagasan.

Pengambilan sampel dengan teknik purposif sampling dengan pendekatan

Maximum Variation Sampling. Pendekatan variasi maksimum diterapkan untuk

memperoleh keragaman dalam hal latar belakang sosial dan keluarga, tempat lahir

dan sekolah, etnisitas, kepentingan sosial, penampilan fisik dan 'gaya',

kemampuan akademik dan mata pelajaran yang diteliti. Selanjutnya, diperoleh

informan sebagai berikut: 22 remaja (11 laki-laki dan 11 perempuan) berusia 16-

19 tahun. Sementara semua peserta berkuliah di perguruan tinggi yang sama.

Analisis yang telah dilakukan menunjukkan luasnya berbagai hubungan

afektif dalam kumpulan seksualisasi, termasuk keluarga, teman dan teman sebaya;

hal-hal materi seperti alkohol, kondom, acara sosial, uang, mobil dan materi

pendidikan seks, formasi sosial seperti standar moral, norma dan budaya jalanan,

serta elemen istimewa seperti selebritis atau skateboard, juga terlibat pada

kapasitas seksual, dan karenanya 'seksualitas' dari orang-orang muda ini, muncul

dari campuran berbagai hal yang kompleks tersebut.

Hasil penelitian menyatakan, media dan pornografi berkontribusi

memengaruhi kemungkinan untuk membuka atau memunculkan seksualitas kaum

muda (misalnya, sebagai sumber informasi tentang seksualitas atau sebagai

kesempatan untuk mengeksplorasi kemungkinan sumber kenikmatan seksual).

Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa media dan materi

pornografi mengandung konsepsi seksualitas yang sangat sempit. Praktik stereotip

dan imajinatif sering dilukiskan di beberapa media pornografi dan seksual secara

21
bermasalah karena media-media tersebut memaksakan definisi seks dan

seksualitas yang sempit dan terbatas: tubuh menjadi formulasi preskriptif gender

dan seksualitas. Mereka (para informan) akibatnya mereproduksi dan memperkuat

misogyny, objektivitas seksual dan konsumerisme seksual neoliberal, serta

membatasi tumbuhnya keragaman sudut pandang praktik seksual.

Berdasarakan state of the art sepuluh tahun terakhir yang dipaparkan di atas,

terdapat kesamaan dengan penelitian yang saat ini dilakukan, yakni sama-sama

mengkaji mengenai diskriminasi perempuan. Namun, penelitian yang mengkaji

mengenai praktik alienasi gender pada penulisan berita blaming the victim belum

pernah ada sebelumnya. Dengan demikian, kebaruan (novelty) penelitian ini

adalah menganalisa sensitivitas gender kebijakan industri media massa yang

melakukan praktik blaming the victim berupa alienasi gender korban kekerasan

seksual pada berita yang diproduksi dan direproduksi.

1.5.3. Teori Strukturasi Gender

Dalam menjelaskan topik atau isu pada penelitian ini, digunakan pendekatan

ekonomi politik kritis dengan strukturasi sebagai entry point-nya. Alasan yang

mendasarinya, berita kekerasan seksual yang menyalahkan korbannya dipengaruhi

agen-agen sebagai bagian dari struktur industri media massa. Agen-agen tersebut

terlibat praktik penindasan terhadap perempuan. Penindasan perempuan bersifat

struktural dan penyelesaiannya pun hanya akan terjadi apabila ada perubahan

struktur kelas (Fakih, 2013: 105).

22
Adapun definisi struktur adalah aturan-aturan dan sumberdaya-sumberdaya

dalam suatu lembaga. Suatu lembaga memiliki sifat struktural, ketika hubungan-

hubungan antara aktor dalam struktur dimantapkan sepanjang waktu dan di

sembarang ruang (Giddens, 2011: xxxix). Ruang dalam penelitian ini

didefinisikan sebagai ruang redaksi di Suaramerdeka.com yang bersifat struktural.

Dalam menjelaskan struktur yang berkaitan dengan masalah gender,

digunakan Teori Strukturasi Gender. Strukturasi Gender adalah teori dari Sunarto,

Doktor Ilmu Komunikasi di Universitas Diponegoro Semarang. Teori Strukturasi

Gender adalah perpaduan antara Teori Strukturasi dengan Teori Feminis. Dalam

penciptaan Teori Strukturasi gender, Sunarto dipengaruhi oleh pemikiran Anthony

Giddens dan Wolffensperger dalam menjelaskan konsep pokok teori tersebut.

Teori Strukturasi Gender mempunyai dua konsep pokok terkait dengan

struktur yang digenderkan (engendered structrure) dan reproduksi ganda (2009:

65-75). Struktur yang digenderkan artinya terjadi dominasi gender dalam struktur

manakala struktur signifikansi dan legitimasi memberikan justifikasi terhadap

kekuasaan kaum laki-laki atas kaum perempuan melalui mekanisme kursif dan

persuasif.

Mekanisme kursif terkait dengan kekerasan simbolik (ideologis) apabila

menggunakan istilah Bourdieu. Sedangkan kekerasan simbolik merupakan

intimidasi yang dilakukan oleh bahasa (Bourdieu, 1991: 51).

Reproduksi ganda artinya, dalam strukturasi terjadi produksi dan reproduksi

sistem sosial melalui penggunaan aturan dan sumber daya aktor dalam interaksi.

23
Dalam Strukturasi Gender, dibutuhkan teori feminis untuk menggambarkan

ketimpangan gender dalam sebuah struktur. Penelitian ini menggunakan Teori

Feminisme Radikal Kultural. Asumsi yang medasari digunakannya Teori Feminis

Radikal dalam penelitian ini adalah bahwa feminis tersebut concern terhadap

masalah seksualitas perempuan.

Apabila dijabarkan, pendekatan Feminis Radikal masuk dalam teori

strukturasi melalui: (1) konsep sistem sosial dengan memberi definisi sistem

sosial sebagai relasi gender asimetris yang dipengaruhi patriarkisme; (2) konsep

aktor dengan membedakannya menjadi agen laki-laki dan perempuan; (3) konsep

interaksi dengan menunjukkan lokasi terjadinya interaksi di ranah domestik dan

ranah publik melalui tindakan-tindakan represif terkait seksualitas; (4) konsep

aturan melalui pengetahuan tentang sistem tanda dan norma-norma seksualitas;

dan (5) konsep sumber daya melalui kekuasaan terkait dengan kepemilikan

fasilitas alokatif dan otoritatif yang mendiskriminasikan kaum perempuan dari

kepemilikan sumber daya di ranah publik.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sunarto. Dalam

penelitiannya, Sunarto melihat bahwa kapitalisme bersama-sama dengan

patriarkisme (dan misoginisme) merupakan ideologi gender dominan di balik

terjadinya konstruksi relasi gender asimetris (sistem sosial) antara aktor laki-laki

dan perempuan. Sedangkan dalam penelitian ini, menekankan persoalan

seksualitas sebagai akar ketertindasan perempuan. Perempuan disalahkan atas

kekerasan seksual yang menimpanya. Tentu saja, sistem patriarkhi dominan

memiliki peran besar mencederai seksualitas perempuan.

24
Seksualitas perempuan diusung oleh Feminisme Radikal Kultural. Gerakan

feminisme tersebut menyatakan bahwa hubungan heteroseksual pada umumnya

dikarakterisasi dengan ideologi obyektivikasi seksual (laki-laki sebagai

subjek/tuan; perempuan sebagai obyek/budak), yang mendukung kekerasan

seksual laki-laki terhadap perempuan (Brenner dan Ramas dalam Tong, 2004: 94).

Apabila digambarkan, modalitas Struktur Gender melakukan dominasi adalah

sebagai berikut:

Gambar 1.2.
Modalitas Struktur Gender (Sunarto, 2007: 138)

Struktur
Signifikansi Dominasi Legitimasi Gender

Modalitas Skema Fasilitas Norma Seks


Interpretif

Interaksi Komunikasi Kekuasaan Sanksi Kekerasan

Mengacu pada pendekatan Feminis Radikal melebur dalam Teori

Strukturasi, bagan tersebut dapat ditasfirkan sebagai berikut: Agen perempuan dan

laki-laki terlibat produksi dan reproduksi relasi gender asimetris melalui

penggunaan aturan semantika dan norma seksualitas (pengetahuan), serta sumber

daya alokatif dan otoritatif (kekuasaan) yang dimiliki agen laki-laki dan

perempuan dalam interaksi komunikasi dan sanksi yang bersifat represif terhadap

kaum perempuan di ranah domestik dan publik untuk menciptakan struktur

dominasi gender melalui pemanfaatan struktur signifikansi dan legitimasi.

25
Dominasi gender tersebut selanjutnya menaturalisasikan kekerasan seksual

terhadap perempuan.

Dalam struktur di industri media massa, naturalisasi kekerasan seksual

diwujudkan ke dalam berita yang mengandung kekerasan simbolik karena

terdapat intimidasi terhadap perempuan melalui penggunaan bahasa media massa.

Intimidasi melalui bahasa, sebagaimana dinyatakan Pierre Bourdieu

merupakan kekerasan simbolik. Salah satu wujud kekerasan simbolik adalah

berita kekerasan seksual dengan unsur blaming the victim di media massa.

Blaming the victim adalah korban kekerasan seksual dianggap bertanggung jawab

atas musibah yang menimpanya.

Sebelumnya, penelitian yang pernah dilakukan Anna Puji Lestari dan

Sunarto (2017) menyatakan bahwa perempuan korban pemerkosaan tidak bisa

menyatakan pengalaman traumatisnya karena yang menetukan keadaan tubuhnya

diperkosa atau tidak adalah polisi, dokter atau pun psikolog yang tidak berpihak

pada korban.

Sedangkan pada berita blaming the victim, narasumber yang dihadirkan

dalam berita justru yang tidak berpihak pada korban. Korban juga tidak diberikan

ruang untuk menyatakan pendapatnya dalam berita tersebut. Dengan demikian,

bisa dinyatakan bahwa berita blaming the victim merupakan berita yang

mengandung kekerasan simbolik yang mengalienasi perempuan korban

pemerkosaan.

Dalam konteks media, para pekerja media berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan (sebagai agen sosial), bersama-sama melakukan tindakan bekerja

26
untuk memenuhi kepentingan masing-masing dengan memanfaatkan semaksimal

mungkin properti sosial mereka (struktur sebagai media interaksi). Mereka

bekerja dalam sebuah aturan main (struktur sebagai hasil interaksi) yang telah

ditetapkan oleh pihak dominan dalam media (biasanya laki-laki yang bertindak

sebagai pimpinan, pendiri, atau pemegang saham dominan). Aturan main tersebut

merupakan perwujudan dari ideologi pihak dominan karena kemampuannya

dalam memanfaatkan modalitas struktur mereka.

Institusi media didominasi oleh pekerja laki-laki dan pemilik modal, maka

ideologi yang dominan dalam media adalah ideologi yang mendukung pemenuhan

kebutuhan bagi laki-laki, yakni patriarki. Melalui mobilisasi struktur pemaknaan

dan legitimasi kepentingan pekerja laki-laki dan pemilik modal maka ideologi

gender tersebut menjadi bersifat dominatif terhadap pekerja perempuan. Pekerja

perempuan ini tidak mampu menghancurkan struktur dominasi tersebut

disebabkan setiap tindakan yang dilakukannya akan selalu mereproduksi struktur

dominasi tersebut.

Dalam sebuah industri media, seorang aktor (wartawan) pastilah mengikuti

struktur (pola kerja) tempatnya bekerja. Pola kerja antara satu perusahaan media

dengan perusahaan media lain tentulah berbeda. Implikasinya, karakter para

pekerjanya berbeda pula, hal tersebut menjadikan tulisan yang dihasilkannya

berbeda dari tulisan yang dihasilkan oleh industri media massa lain.

Apabila dikaitkan dalam penelitian ini, gaya penulisan blaming the victim

yang mengalienasi (meniadakan) pendapat korban kekerasan seksual diproduksi

27
dan direproduksi di Suaramerdeka.com. Hal tersebut terjadi karena struktur

dominasi gender, sebagaimana terlihat pada gambar berikut:

Gambar 1.3.
Struktur Dominasi Gender Perusahaan Media Massa

Teknologi Posisi Sebagai Pengambil Keputusan


Penyimpanan
Produksi Ekonomi Dikuasai Laki-laki
Dikuasi Laki-laki
(1a)
Kebijakan Redaksi: Pola pikir
laki-laki

Kekuasaan laki-laki atas perempuan. Sumberdaya


Otoritatif & Alokatif.
DOMINASI REPRESIF LAKI-LAKI

IDEOLOGI
Patriarkhi
Sistem Organisasi
Dikuasi laki-laki

SIGNIFIKANSI ATAS
Komunikasi
Skema Interpretif (Aturan Semantik) KEKUASAAN LAKI-
LAKI

LEGITIMASI PADA
Sanksi
Norma (Aturan Moral) KEKUASAAN LAKI-LAKI
(6)

KONSTRUKSI GENDER
Kekerasan Simbolik Pada Berita ASIMETRIS : Menghasilkan Berita
Kekerasan Seksual Blaming The Victim: Alienasi
Gender Korban Pemerkosaan

Keterangan gambar: Tanda panah menunjukkan pengaruh langsung; Tanda panah


putus-putus menunjukkan kesatuan inheren; Tanda panah timbal balik
menunjukkan saling pengaruhi.

Untuk lebih lengkapnya, penjelasan gambar tersebut adalah sebagai berikut:

pada seleksi karyawan, keberadaan pekerja laki-laki lebih diutamakan daripada

28
perempuan, tidak mengherankan apabila terdapat lebih banyak wartawan laki-laki

dari pada perempuan.

Banyaknya pekerja laki-laki di media massa menyebabkan posisi pengambil

keputusan dikuasai laki-laki. Posisi tersebut adalah jabatan sebagai Pemimpin

Redaksi, Redaktur Pelaksana dan Redaktur (desk). Hal tersebut, tentu saja

menyebabkan dominasi represif laki-laki atas perempuan karena kekuasaan dan

sumber daya dikuasai laki-laki.

Posisi pengambil keputusan yang dikuasai laki-laki menyebabkan kebijakan

redaksi dengan pola pikir laki-laki dominan, suara perempuan dikesampingkan.

Hal tersebut menyebabkan sistem organisasi media massa dikuasai laki-laki

hingga kemudian meneguhkan kekuasaan laki-laki dan legitimasi keputusan di

ruang redaksi. Dominasi pekerja laki-laki atas perempuan menyebabkan

konstruksi gender asimetris.

Konstruksi gender asimetris merupakan perwujudan kekuasaan dengan

dominasi pekerja laki-laki atas perempuan menyebabkan bahasa redaksi (aturan

semantik) dan norma dikuasai laki-laki sehingga menghasilkan kekerasan

simbolik (blaming the victim) pada berita kekerasan seksual.

Aturan semantik (bahasa redaksi) dan norma yang dikuasai laki-laki

menyebabkan para aktor perempuan dan laki-laki melakukan produksi dan

reproduksi berita kekerasan seksual dengan unsur blaming the victim sebagai

aturan main yang ditetapkan pihak dominan untuk tujuan tertentu. Berita blaming

the victim merupakan berita yang mengalienasi perempuan korban pemerkosaan

29
karena menyingkirkan pendapatnya dari berita, justru meghadirkan narasumber

yang tidak berpihak pada korban.

1.5.4. Teori Feminis Radikal Kultural

Pemberitaan kekerasan terhadap perempuan di media massa perlu dilihat dari

sudut pandang feminis. Feminisme bukanlah suatu gerakan yang melawan atau

memusuhi kaum laki-laki. Sebaliknya, gerakan ini mau menentang ketidakadilan

yang diciptakan oleh suatu masyarakat yang bersifat patriarki (Raho, 2016: 224).

Istilah feminis sebagai teori merupakan kerangka pengetahuan yang

menawarkan penjelasan-penjelasan kritis terhadap subordinasi perempuan.

Meminjam istilah Simone de Beaviour, kritis berarti menentang perempuan

diajadikan the second sex.

Sedangkan Stacey menyoroti patriarki sebagai salah satu isu yang secara

sistematik menindas perempuan yang disebabkan oleh struktur masyarakat yang

memberi kuasa lebih bagi laki-laki sebagai dominan dan menjadikan perempuan

tidak dominan, harus tunduk pada laki-laki (Dalam Sunarto, 2009: 33).

Feminisme memiliki perspektif yang lain dalam mendefinisikan masalah

pemerkosaan. Feminisme tidak hanya menjelaskannya dari sisi hukum, tetapi

melibatkan persoalan sosial. Feminis menyatakan bahwa pemerkosaan adalah

kesalahan berat, terlalu sering diabaikan, disalah artikan, dan dilegitimasi

(Anonimous, Jurnal Perempuan No. 71, 2011: 120).

Pandangan yang paling sering diidentifikasi oleh aktivis feminis bahwa

pemerkosaan adalah kejahatan kekerasan, bukan sekadar aktivitas seksual.

30
Sejumlah besar sebab mengapa laki-laki melakukan pemerkosaan

dikarenakan struktur masyarakat patriarki memberikan ruang bagi laki-laki untuk

melakukan dominasi. Secara psikologis, laki-laki kemudian merasa bebas

melakukan sesuatu yang dia mau, termasuk memaksakan kehendaknya dalam hal

seksual. Oleh karena itu, tantangan terbesar feminis adalah menentang pandangan

tradisional bahwa pemerkosaan merupakan kesalahan korban sendiri (Anonimous,

Jurnal Perempuan No. 71, 2011: 121).

Penelitian ini menggunakan Teori Feminisme Radikal Kultural untuk

menjelaskan mengenai kompleksitas seksualitas perempuan. Asumsi yang

mendasari digunakannya teori ini adalah karena feminis ini concern pada masalah

seksualitas perempuan.

Sumbangan Feminisme Radikal sangatlah besar pada gerakan perempuan

secara umum karena telah melakukan analisis mengenai personal is political yang

memberi peluang politik bagi kaum perempuan (Fakih, 2013: 86).

Politik dalam konteks ini diartikan sebagai kekuatan terstruktur yang

mengatur suatu kelompok/jenis kelamin tertentu, sementara kelompok yang diatur

dan tersubordinasi mengalami penindasan.

Mengenai hal tersebut, Gayle Rubin menekankan bahwa represi seks

dibangun atas dasar doktrin esensialisme seksual. Esensialisme seksual

merupakan kepercayaan bahwa hubungan seksual adalah kekuatan yang alamiah,

yang hadir sebelum adanya kehidupan sosial dan harus dikendalikan, karena kalau

tidak, hal itu akan mengancam struktur, yang dihadapkan oleh peradaban terhadap

manusia (Remick dalam Tong, 2008: 95).

31
Kebudayaan kita yang fobia terhadap seks, juga terus menerus menawarkan

gambaran perempuan sebagai penggoda seksual yang manipulatif, yang

menggunakan pesona ragawinya untuk mendapatkan kendali atas hati, dan

terutama dompet seorang laki-laki (Tong, 2008: 97).

Penggambaran perempuan sebagai penggoda seksual di media massa lantas

menjadikan perempuan sebagai pihak yang kemudian disalahkan atas peristiwa

pemerkosaan yang menimpanya. Perempuan sebagai korban yang tersakiti

disalahkan dan diabadikan dalam berita kekerasan seksual sehingga mereproduksi

sistem patriarkal mengenai konsep blaming the victim di benak masyarakat

(pembaca).

Media massa memaksa kita menyalahkan korban pemerkosaan dan

menjelaskan kronologis erotis seolah-olah korban telah “menjerat” sang predator.

Hal tersebut disebut Baudrillard sebagai pornografi informasi dan komunikasi

(dalam Ritzer, 2010: 185).

Pornografi informasi oleh Feminis Radikal Kultural diklaim membahayakan

perempuan melalui tiga cara: (1) mendorong laki-laki untuk berperilaku

berbahaya bagi perempuan secara seksual; (2) menistakan perempuan sebagai

manusia yang tidak mempunyai penghargaan terhadap diri sendiri karena

perempuan dinilai secara aktif mencederai, atau secara pasif menerima

penganiayaan seksual; dan (3) dengan mengarahkan laki-laki untuk tidak saja

berfikir bahwa perempuan adalah manusia yang kurang, tetapi juga dengan

memperlakukannya sebagai warga negara kelas dua, yang tidak layak mendapat

32
proses serta perlakuan yang setara dengan apa yang biasa didapat laki-laki (Tong,

2008: 99).

Sedangkan Andrea Dworkin dan Catharine MacKinnon mendefinisikan

pornografi sebagai subordinasi perempuan yang eksplisit secara seksual, dan

grafis melalui gambar atau kata-kata yang juga melingkupi perempuan yang

didehumanisasi sebagai obyek seksual, benda, atau komoditi yang menikmati rasa

sakit, rasa malu, atau pemerkosaan yang ditampilkan dalam skenario yang

merendahkan, melukai dan menyiksa. Perempuan dipertunjukkan sebagai kotor

dan inferior: berdarah, memar, atau terluka di dalam konteks yang membuat

semua itu seksual (dalam Tong, 2008: 99).

1.5.5. Blaming the Victim: Penjahat Seksual Dibela, Korban Disalahkan

Konsep Blaming the victim yang digunakan dalam penelitian ini mendeskripsikan

bahwa korban pemerkosaan disalahkan dan dituduh sebagai penyebab peristiwa

traumatis yang menimpanya. Korban disalahkan karena dianggap pasif (pasrah

dan menerima serta menikmati perlakukan seksual dari pemerkosa). Sedangkan

penjahat dianggap tidak bersalah karena tidak mungkin bisa menahan hawa nafsu.

Hawa nafsu, dalam pandangan masyarakat patriarki merupakan sesuatu yang

dianggap tidak bisa dikontrol oleh manusia.

Konsep blaming the victim pertama kali dikemukakan oleh Ryan William

(1971: 31-5). Ryan mengkritisi Iklan poster sebuah perusahaan farmasi besar pada

saat itu. Iklan tersebut memuat gambar dan tulisan tentang peringatan akan bahaya

cat timah yang tertelan oleh anak-anak karena dapat menyebabkan kematian. Iklan

33
tersebut mendesak para orang tua untuk mencegah anaknya memakan cat (cat

untuk mewarnai coloring book). Iklan tersebut memberikan label akan kelalaian

para ibu dalam menjaga balitanya karena dianggap tidak memberikan pengawasan

konstan. Para ibu dinilai bersalah karena tidak bisa mencegah balitanya memakan

remahan-remahan tinta.

Ryan menjelaskan, iklan tersebut membebankan rasa bersalah pada para ibu

atas kematian atau sakit parah yang menimpa anak-anak mereka akibat memakan

cat. Hal tersebut, menurut Ryan, merupakan distorsi realitas yang mengerikan.

Menyalahkan para ibu atas kematian anaknya merupakan kedok bagi perusahaan

farmasi seolah memiliki jiwa kemanusiaan dan berpihak pada publik. Tentu saja,

hal tersebut tidak dapat ditoleransi. Selanjutnya, oleh Ryan, fenomena tersebut

diterjemahkan sebagai blaming the victim.

Ryan juga menjelaskan konsep blaming the victim dalam penerapannya

pada masyarakat miskin di Amerika pada saat itu. Masyarakat miskin disalahkan

karena dinilai miskin motivasi untuk bekerja dan kekurangan informasi kesehatan.

Ryan menyatakan bahwa setiap peristiwa kejahatan, sakit mental,

penyimpangan masyarakat, pengangguran, selalu dibangun berdasarkan kerangka

ideologi blaming the victim. Ryan William mendeskripsikan blaming the victim

sebagai sebuah cara untuk mempertahankan kepentingan kelompok berkuasa.

Konsep blaming the victim kemudian diadopsi oleh para advokat untuk

korban kriminal, khususnya kasus pemerkosaan. Konsep blaming the victim pada

korban kejahatan seksual adalah menyatakan bahwa korban pemerkosan dianggap

sebagai pendosa (Schoellkopf, 2012).

34
Selain itu, blaming the victim menunjukkan tendensi bahwa para korban

serangan seksual bertanggung jawab atas serangan yang menimpanya (Eigenberg

& Garland, 2008; Ryan, 1971). Lebih lanjut, korban pemerkosaan yang diserang

oleh orang yang dikenal cenderung disalahkan daripada perempuan yang

diperkosa oleh orang yang tidak dikenal (Amir,1971; Bieneck & Krahé, 2011).

Terdapat sejumlah alasan mengapa orang-orang menyalahkan korban atas

tindak kriminal yang dialaminya. Menurut The Canadian Resource Centre for

Victims of Crime (2009), alasan tersebut adalah berawal dari miskonsepsi

mengenai peran korban dan pelaku aksi kekerasan. Korban seringkali secara salah

digambarkan sebagai individu pasif dan menerima kekerasan yang dialaminya.

Sedangkan pelaku pemerkosaan dianggap sebagai pihak yang melakukan tindak

kekerasan karena diarahkan oleh kekuatan yang tidak dapat dikontrol olehnya.

Misalnya saja, nafsu birahi.

Ryan menyatakan bahwa sebab korban disalahkan karena erat kaitannya

dengan mitos (1971: 35). Mitos adalah suatu keyakinan yang beredar luas

menyangkut suatu hal yang belum tentu kebenarannya (Widyarini, 2009: 11).

Mitos-mitos tentang pemerkosaan mempunyai sejarah yang panjang dan

berasal dari hukum-hukum yang berlaku di masa lalu. Pada masa lalu,

pemerkosaan adalah sebuah ritual yang dilakukan laki-laki untuk memperoleh

istri, apabila laki-laki memerkosa seorang perempuan, maka ia akan mendapatkan

hak untuk mengambil perempuan tersebut (Damayanti, 1999).

Begitu pula mitos yang hidup dan berkembang selama ribuan tahun

menyatakan bahwa perempuan pada dasarnya adalah penggoda sebagaimana

35
Hawa menggoda Adam. Mitos ini terus menerus diyakini masyarakat sehingga

laki-laki kemudian tidak disalahkan atas tindak pemerkosaan yang dilakukannya.

Mitos yang menyatakan bahwa perempuan menggoda gairah laki-laki untuk

memerkosanya, telah terbantahkan oleh berbagai riset. Faktanya, ditemukan

bahwa mayoritas pemerkosaan direncanakan. Artinya, pemerkosaan bukan

tindakan impulsif dan spontan, melainkan tindakan yang disadari dan

direncanakan (Bagus Takwin, 2011: 12). Dengan demikian, pemerkosaan

merupakan tanggung jawab pemerkosa, bukan korban. Pemerkosalah yang

seharusnya disalahkan atas tindak kejahatan yang dilakukannya.

Mitos lain tentang pemerkosaan tersebut ada dalam mitologi Yunani.

Tersebutlah kisah, Poseidon (Dewa Laut) memerkosa Medusa. Tetapi dewa laut

itu dibebaskan penguasa Athena. Tuduhan justru berbalik: Medusalah

pengundang birahi Poseidon! Hukuman jatuh pada Medusa. Ia dikutuk menjadi

monster. Wajahnya dirubah menjadi bengis. Setiap helai rambutnya tumbuh

menjadi ular. Bola matanya berubah menjadi bola api dan sorot matanya

menyembur lidah-lidah api. Seluruh kota gemetar ketakutan. Sidang Dewan kota

memutuskan untuk memburu dan membunuh Medusa. Selanjutnya, tersebutlah

Pricles, yang dinobatkan sebagai pahlawan perang karena telah berhasil menebas

leher Medusa ketika sedang tertidur lelap. Medusa tewas (Rocky Gerung, 2011: 4-

5).

Feminis kemudian mengingat kematian Medusa dengan cara lain: pada leher

yang ditebas, pada genangan darah yang mengalir, terdapat cerita panjang tentang

kekuasaan, tipu muslihat dan kepengecutan politik. Pemerkosaan adalah

36
konspirasi politik patriarki. Dalam tindak pemerkosaan, perempuan diobyekkan

sebagai mangsa yang tak mungkin melawan. Ia mutlak milik sang predator. Pada

tindak pemerkosaan, motif dasarnya adalah penguasaan tubuh perempuan sebagai

hak alamiah laki-laki. Tubuh perempuan menjadi lokasi alamiah pelaksanaan

kekuasaan. Itulah sebabnya Poseidon tak mungkin bersalah. Alam melindunginya.

Justru, Medusa, korban pemerkosaan yang salah.

Mitos yang tak berdasar dan terverifikasi asal usulnya tersebut diyakini

masyarakat patriarki hingga sekarang. Masyarakat lantas mengharuskan

perempuan korban pemerkosaan menanggung kesalahan dan dituduh sebagai

sumber penggoda. Lebih spesifik lagi, tidak jarang media massa menyorot baju

yang dipakai oleh korban sebagai penyebab tindak pemerkosaan yang dialaminya.

Tidak jarang, berbagai artikel media massa meneguhkan bahwa baju perempuan

yang terlalu terbuka bisa meyulut nafsu pemerkosa.

Berita kekerasan seksual terhadap perempuan yang menyalahkan korban

(blaming the victim) merupakan terjadinya simbol seksualitas perempuan yang

dikendalikan oleh laki-laki. Kaitannya dengan peristiwa pemerkosaan yang

dialami oleh korban, banyak pihak menganggap mereka sebagai emosional dan

irasional. Lebih parah lagi, para korban merasa ‘seolah-olah’ diperkosa.

Pandangan gender dominan kerap mengaitkan tindak pemerkosaan sebagai

peristiwa seksual wajar karena sexual consent atau suka sama suka. Berbagai hal

tersebut lantas membuat korban semakin tersudut dan kemudian disalahkan.

Berkenaan dengan hal tersebut, Caplan (1987) dalam The Cultural

Construction of Sexuality menguraikan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki

37
dan perempuan tidaklah sekadar biologis. Namun, melalui proses sosial dan

kultural (dalam Fakih, 2013: 72).

Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat

bahkan dari kelas ke kelas. Sedangkan jenis kelamin (seks), selalu tetap.

Perbedaan gender pada proses berikutnya melahirkan peran gender. Banyak

struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender

tersebut.

Manifestasi ketidakadilan tersebut menimbulkan kekerasan seksual terhadap

perempuan. Perbedaan gender dan sosialisasi gender yang salah telah

menganggap perempuan secara fisik lemah dan laki-laki umumnya lebih kuat.

Pandangan keliru tersebut menimbulkan masalah apabila kelemahan perempuan

mendorong laki-laki boleh dan bisa seenaknya memukul dan memerkosa

perempuan.

1.5.6. Alienasi Gender: Penyingkiran Pendapat Korban Sebagai Narasumber

Berita

Konsep alienasi yang digunakan dalam penelitian ini dimunculkan untuk

mendeskripsikan alienasi (penyingkiran) pendapat korban kekerasan seksual pada

berita blaming the victim. Penyingkiran yang dimaksud adalah meniadakan

kehadiran pendapat korban sebagai narasumber berita.

Berbagai berita pemerkosaan justru menghadirkan pendapat dari para

narasumber berita yang tidak berpihak pada korban. Tak jarang, narasumber

38
menyatakan bahwa tidak terdapat tindakan perkosaaan, melainkan hubungan

seksual yang didasari rasa saling suka (sexual consent).

Adapaun istilah alienasi merupakan istilah yang pertama kali digunakan

oleh Hegel. Hegel menyerap konsep alienasi dari teologi Protestan yang biasanya

digunakan berkaitan dengan alienasi seseorang dari Tuhan (dalam Feuer, 1962:

117).

Alienasi (alienation) berasal dari kata berbahasa Latin alienatio. Kata benda

ini menderivasi maknanya dari kata kerja alienare (untuk menjadikan sesuatu

milik orang lain, membawa pergi melepaskan). Salah satu penggunaan pokok

dalam bahasa Latin terhadap alienare berhubungan dengan kepemilikan. Dalam

konteks ini, alienare berarti ‘mengalihkan kepemilikan sesuatu kepada orang lain’

(Kaufman, 1965: 143).

Selanjutnya, Karl Marx menggunakan konsep alienasi untuk berbicara

mengenai eksistensi hubungan alienasi antara pekerja dan produknya oleh

kekuatan-kekuatan ekonomi asing dan bermusuhan. Marx memikirkan antara lain

dominasi terhadap produk yang merupakan dominasi terhadap pekerja itu sendiri

karena pekerja tidak bisa menikmati produk tersebut. Bagi Marx, seharusnya,

karakteristik esensial manusia adalah individualitas, sosialitas dan inderawi,

bukannya dominasi (Marx, 1963).

Konsep alienasi yang dikemukakan oleh Marx telah memunculkan

penggunaan istilah tersebut oleh sejumlah besar tokoh-tokoh dalam kaitannya

dengan ketidakmampuan untuk mengontrol atau bahkan memahami berbagai

39
peristiwa dan struktur sosial, ekonomi, dan yang paling utama politik yang

memengaruhinya (Richard Schacht, 2009: 222).

Konsep alienasi merupakan konsep multidimensi sehingga harus

diperhitungkan fakta bahwa istilah tersebut dewasa ini memang digunakan dalam

kaitannya dengan berbagai fenomena (Schacht, 2009: 134).

Dalam Buku Alienasi Pengantar Paling Komprehensif (terjemahan) (2009,

160-290), Richard Schacht memaparkan penggunaan konsep alienasi oleh

sejumlah tokoh, berikut pemaparannya:

Erich Fromm menggunakan istilah alienasi untuk mengkarakterisasikan

berbagai relasi yang mungkin dari seseorang dengan dirinya sendiri, orang lain,

alam, pekerjaan, dan berbagai hal. Lebih lanjut, Fromm menyatakan bahwa

kapanpun seseorang merasa sesuatu berlangsung tidak seperti seharusnya, maka

orang tersebut bisa dikatakan mengalami alienasi. Fromm menerapkan konsep

alienasi pada hal-hal yang berkaitan dengan cinta, pikiran, harapan, pekerjaan,

bahasa, hubungan manusia dengan dunia, budaya atau masyarakat kontemporer,

serta proses konsumsi dan produksi.

Selanjutnya, Karen Horney membahas ‘alienasi dari diri’ yang cukup sering

digunakan dalam berbagai tulisan sejumlah teoritisi psikoanalisis. Buku pertama

Horney yang berbicara mengenai ‘alienasi dari diri’ berjudul “New Ways in

Psychoanalysis.” Dalam buku tersebut, kondisi alienasi dinyatakan menyangkut

tertekannya spontanitas atau individualitas yang spontan. Jika individu spontan

dari seseorang telah terhalang, teralihkan, atau tersumbat, maka ia dikatakan

berada dalam kondisi teralienasi dari diri sendiri atau alienasi dari diri. Horney

40
memahami ‘diri individu spontan’ dalam kaitannya dengan pernyataan spontan

dari inisiatif, perasaan, harapan, dan opini individu.

Konsep alienasi juga digunakan oleh sejumlah tokoh sebagai berikut,

Middleton menganggap alienasi dapat diterapkan ketika menjumpai pernyataan

‘saya sering merasa kesepian’. Demikian juga McClosky dan Schaar

menggunakan istilah tersebut untuk menyebut ‘perasaan kesepian dan rindu

terhadap hubungan primer yang suportif. Mereka berpendapat bahwa teralienasi

adalah merasakan kekurangan hubungan yang bermakna dengan orang lain dan

merasa tidak bahagia dengan kekurangan itu.

Aiken dan Hage menerapkan alienasi sebagai ketidakpuasan dalam

hubungan sosial. Aiken dan Hage mengkarakterisasikan alienasi dalam kaitannya

dengan ketidakpuasan dalam hubungan-hubungan sosial. Kriteria mereka bagi

eksistensi alienasi itu terdapat pada tuntutan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ terhadap

pertanyaan apakah seseorang terpuaskan dengan orang-orang tempat ia bergaul.

Orang-orang dalam konteks ini merupakan ‘pengawas’ dan ‘sesama pekerja’.

Heidegger membahas alienasi dalam bukunya yang berjudul Being and

Time. Heidegger membedakan apa yang ia sebut sebagai dua cara mengisi hidup

secara fundamental, yang pertama disebutnya sebagai ‘autentik’ dan yang lainnya

sebagai ‘inautentik’. Eksistensi autentik adalah eksistensi yang ditentukan oleh

diri sendiri (self-determinated), dibentuk dan diarahkan oleh berbagai keputusan

dan pilihan yang benar-benar merupakan milik orang itu sendiri, dan dibuat dalam

kesadaran yang penuh atas berbagai kondisi fundamental kehidupan manusia

(antara lain keniscayaan menjumpai kematian dan bertanggung jawab atas

41
eksistensi dan perbuatannya sendiri). Sedangkan eksistensi ‘inautentik’ adalah

eksistensi yang terabsorbsi pada masa sekarang, yang dideterminasi oleh berbagai

konvensi dan ekspektasi sosial yang impersonal, dan yang memanggungkan suatu

penolakan sistematis dalam menghadapi kondisi-kondisi yang telah disebutkan di

atas.

Tillich membicarakan alienasi dalam kaitannya dengan ketidakpercayaan.

Ketidakpercayaan dikaitkan dengan pengakuan terhadap keterbatasan seseorang,

tetapi tidak harus disertai oleh hasrat yang berlebihan. Hasrat berlebihan dipahami

Tillich sebagai ‘hasrat yang tidak terbatas untuk menyeret keseluruhan realitas ke

dalam diri.’

Selanjutnya, Sartre menggunakan istilah alienasi dalam hubungannya

dengan pengalaman individu terhadap dirinya sendiri sebagai suatu objek (bukan

sebagai subjek murni) melalui mediasi individu yang lain. Penggunaan istilah

alienasi oleh Sartre tersebut merupakan satu-satunya terminologi yang tidak

dipengaruhi oleh Marx.

Sedangkan konsep alienasi yang digunakan dalam penelitian ini dekat

dengan konsep yang dikemukakan oleh Sartre. Konsep alienasi dalam penelitian

ini digunakan untuk menggambarkan korban pemerkosaan yang teralienasi.

Bebagai pengalaman traumatis korban pemerkosaan didefinisikan melalui mediasi

individu yang lain (polisi) yang justru tidak berpihak pada mereka. Seringkali

polisi hadir sebagai narasumber berita pemerkosaan. Para narasumber tersebut

kemudian memberikan pendapat mengenai peristiwa pemerkosaan yang dialami

perempuan dari sudut pandangnya (sudut pandang laki-laki). Sudut pandang

42
tersebut seringkali menyatakan peristiwa asusila yang terjadi merupakan sexual

consent.

Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian Anna Puji Lestari dan Sunarto

yang telah disampaikan pada International Post-Graduate Conference on Media

and Communication di Surabaya, 13 November 2017 menyatakan bahwa

perempuan korban pemerkosaan tidak diberi ruang untuk menjelaskan peristiwa

traumatis yang menimpanya. Pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritaslah

yang menentukan kondisi tubuh korban, yakni polisi. Korban pemerkosaan

seringkali tidak dihadirkan sebagai narasumber atau dimintai pendapat oleh

wartawan ketika menuliskan berita pemerkosaan yang menimpanya. Justru, media

massa menghadirkan narasumber berita yang tidak berpihak pada korban (Anna

Puji Lestari dan Sunarto, 2017).

Dengan demikian, perempuan korban pemerkosaan bisa dikatakan

mengalami alienasi karena yang menilai dan menentukan kondisi tubuhnya adalah

pihak lain (polisi). Para korban tidak diberi ruang mengemukakan pengalaman

traumatisnya. Ketidakberdayaan korban membuktikan secara penuh bahwa

mereka diperkosa dan kekuasaan untuk membuktikan adanya pemerkosaan

dilakukan oleh pihak lain menyebabkan para korban teralienasi. Hukum dan

pandangan masyarakat semuanya berjenis kelamin laki-laki yang tentu saja

memihak laki-laki. Hal tersebut terkait erat dengan kesalahan pandangan

mengenai sexual consent.

Seharusnya, memahami sexual consent adalah untuk menjaga seseorang

agar tidak mengalami pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual lainnya. Namun,

43
ironisnya, prinsip sexual consent sering kali malah dipelintir maknanya untuk

membela pelaku pemerkosaan dengan mengatakan bahwa peristiwa seksual

terjadi karena suka sama suka, bukan pemaksaan seksual.

Berkaitan dengan sexual consent, Carol Hensell yang bekerja di

Departemen Pelayanan Kesehatan Biro Perempuan dan Kesehatan Anak Arizona,

menyatakan bahwa pemerkosaan adalah hubungan seksual yang dilakukan tanpa

persetujuan (consent) termasuk dalam hubungan pernikahan (Carol Hensell, 2011:

115).

Lebih lanjut, Hensell menjelaskan, consent adalah kedua belah pihak harus

bersepakat jika mereka ingin berhubungan seks. Kedua belah pihak harus

sepenuhnya sadar dan waspada. Kedua pasangan sama-sama bebas untuk

bertindak dan mengomunikasikan dengan jelas keinginan mereka dan meminta

izin. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka terjadi kekerasan seksual.

Terdapat alasan mengapa konsep alienasi yang dimunculkan untuk

menjelaskan fenomena blaming the victim, bukannya konsep tentang represi.

Istilah represi, sebagaima dinyatakan Michael Foucault, tidak cukup

mengungkapkan makna sebenarnya dari aspek produktif kekuasaan (2002: 147).

Konsep alienasi yang dimunculkan dalam penelitian ini erat kaitannya

dengan masalah gender karena menyangkut pembebasan seksualitas perempuan

dari ketertindasan struktur dan aturan yang diciptakan laki-laki dan hanya

mewakili suara dan kepentingan laki-laki.

Ideologi gender yang digunakan untuk melawan ketertindasan merupakan

ideologi feminis yang menentang segala bentuk penindasan terhadap perempuan.

44
Ideologi feminis merupakan ideologi baik yang bisa digunakan untuk melawan

ideologi gender dominan karena ia menginginkan kesetaraan mengenai segala hal

antara laki-laki dan perempuan.

Pengertian ideologi menurut Althusser merupakan suatu reaksi terhadap

dominasi, setiap penindasan akan menghasilkan suatu usaha pada pihak tertindas

untuk melepaskan diri. Salah satu alat penting dalam upaya pembebasan ini

adalah ideologi (2008: xxv). Artinya, sebagai sebuah ideologi, feminis mutlak

diperlukan dalam penelitian ini sebagai jawaban akan adanya dominasi maskulin

yang menindas seksualitas perempuan.

Oleh karena itu, dimunculkan konsep alienasi gender. Alienasi gender

mencoba menjawab pandangan ideologi dominan yang meniadakan pendapat

korban pemerkosaan sebagai narasumber berita. Ideologi dominan dalam berita

pemerkosaan selalu menghadirkan narasumber yang tidak berpihak pada korban.

Seringkali para narasumber yang dihadirkan justru menyatakan bahwa korban

pemerkosaan bertanggung jawab terhadap serangan seksual yang menimpanya

(blaming the victim).

Blaming the victim sendiri bisa terjadi karena adanya kekuatan simbolik

(symbolic power). Bourdieu menjelaskan bahwa power ada dimana-mana.

Namun, ironisnya, kita semua tidak bisa mengenalinya. Bourdie menjelaskan, kita

semua dituntut untuk mengenali power yang tidak terlihat yang ia sebut symbolic

power. Symbolic power merupakan power yang tidak terlihat, bahkan oleh subjek

power tersebut (1991: 163-4). Selanjutnya, symbolic power erat kaitannya dengan

symbolic violence.

45
1.5.7. Kekerasan Simbolik: Dominasi Bahasa Berita

Bourdieu berpandangan bahwa bahasa merupakan hubungan komunikasi yang

kompleks dan merupakan hubungan kuasa simbolik antara si pembicara.

Dari Max Weber, Bourdieu memperoleh kesadaran tentang pentingnya

dominasi dan sistem simbolik dalam kehidupan sosial, serta gagasan tatanan

sosial yang bertransformasi menjadi teori arena (fields). Bourdieu kemudian

mengembangkannya menjadi tindakan bermakna, yaitu tindakan terkait reaksi

atau perilaku orang lain. Oleh karena itu, menurut Bourdieu, penjelasan sosial

harus selalu memperhitungkan dimensi simbolis yang berkaitan dengan legitimasi

kekuasaan (tradisional, karismatik, legal-rasional) (Haryatmoko, 2011; 3).

Menurut Bourdieu, bahasa tidak pernah bebas nilai. Ketika seseorang

mengatakan sesuatu hal, orang yang menerima akan menangkap maksud yang

berbeda. Setiap kata dan setiap ekspresi memiliki ancaman ‘antagonis’ yang

dicerminkan oleh cara yang hanya dipahami si pengirim dan penerima pesan.

Dalam setiap percakapan ada pihak yang mendominasi dan didominasi (Bourdieu,

1991: 39).

Dalam kaitannya dengan patriarki, merupakan sistem yang mendominasi

(menunjukkan kuasa simbolik) atau melegitimasi kekuasaannya kepada

perempuan. Dalam proses tersebut, legitimasi bahasa resmi melalui sistem

pendidikan memiliki peran penting. Sebab, bahasa dipopulerkan lewat sekolah.

Dominasi bahasa di sekolah akan dibawa ke rumah dan menjadi pembiasaan

(habitus). Orang cenderung tidak menyadari intimidasi atau kekerasan simbolik

(symbolic violence) lewat dominasi bahasa (Bourdieu, 1991: 40).

46
Kaitannya dengan para pekera di industri media, mereka telah mengalami

pembiasaan (habitus) pada penggunaan bahasa bias gender dari sistem sosial

patriarki yang disosialisasikan terus menerus melalui struktur budaya organisasi

media massa tempatnya bekerja. Bahasa bias gender ini sangat mendominasi,

terutama dominasi bahasa yang digunakan media massa untuk menyalahkan

korban pemerkosaan pada berita yang ditayangkannya.

Perempuan korban kekerasan seksual di media massa mengalami kekerasan

simbolik karena disalahkan atas tragedi pemerkosaan yang menimpanya. Lewat

bahasa yang mengintimidasi dan tidak sensitif gender, perempuan dituding

sebagai pihak yang memprovokasi terjadinya pemerkosaan yang menimpaya

melalui kekuasaan simbolik bahasa.

Bahasa menjadi bagian dari sistem simbolik selain seni, agama, dan mitos.

Bahasa menjadi instrumen mempertahankan dominasi atau instrumen untuk

mendapatkan kekuasaan (power). Bahasa adalah kekuasaan simbolik. Pertukaran

bahasa selalu berhubungan dengan kekuasaan simbolik (Bourdieu, 1991: 37).

Banyak orang tidak sadar akan adanya intimidasi, kekerasan simbolik lewat

dominasi bahasa. Ucapan tidak hanya disampaikan untuk dipahami tetapi juga

sebagai tanda otoritas yang harus diyakini dan dipatuhi (Bourdieu, 1991: 66).

Selanjutnya, mereka yang menguasai kapital yang lebih besar (laki-laki) akan

menjadi kelas yang dominan.

Bourdieu melihat sistem simbolik (melalui bahasa) sebagai instrumen

dominasi. Tradisi fungsionalisme ini menjelaskan produksi simbol dengan

47
mengaitkannya dengan kepentingan kelas dominan. Kepentingan kelas dominan

mewakili ideologi kelompok tertentu yang di-share ke masyarakat luas.

Kultur dominan membentuk integrasi di antara kelompok atau kelas

dominan. Budaya dominan juga berperan dalam membentuk integrasi masyarakat

yang semu, kesadaran palsu, legitimasi kepada aturan yang sudah mapan,

menciptakan perbedaan hierarkhis dan melegitimasi perbedaan ini.

Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaknaan kategori-kategori

pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian

menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang “adil.” Ini adalah

penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur

tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang

posisi pihak yang dominan ini sebagai yang “benar.” Kekerasan simbolik dalam

arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik karena kekerasan simbolik itu

melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan

memaksakan legitimasi pada tatanan sosial.

Kuasa simbolik Bourdieu hadir dalam arena dari relasi dialektiknya dengan

habitus dan modal (kapital), terutama kapital simbolik. Seseorang yang menguasai

kapital dengan habitus yang memadai akan menguasai arena dan memenangkan

pertarungan sosial karena di dalam arena selalu terjadi pertarungan sosial.

Mekanisme dominasi simbolik nantinya memuncak pada pemikiran

Bourdieu tentang doxa. Doxa merupakan pandangan penguasa yang dianggap

sebagai pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap

kritis pada pandangan penguasa. Pandangan penguasa itu biasanya bersifat

48
sloganistik, sederhana, populer, dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak,

walaupun secara konseptual pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan.

Misalnya pandangan penguasa (ideologi dominan) mengenai blaming the victim.

1.5.8. Kebijakan Media Sensitif Gender

Kebijakan media massa kaitannya dengan masalah seksual dinilai oleh Frasser

Bond cenderung hanya sebagai rangsangan untuk menarik perhatian pembaca. Hal

tersebut mendorong agen-agen industri media meliput peristiwa atau cerita-cerita

kejahatan maupun roman-roman tak sehat (dalam Suhandang, 2016: 155).

Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar

dan dasar rencana dalan pelaksaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara

bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya); pernyataan cita-

cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam

usaha mencapai sasaran; garis haluan (Kbbi.web.id).

Dalam kaitannya dengan kebijakan, media diharuskan bersifat terbuka dan

memuat informasi yang benar sesuai dengan fakta. Media harusnya melakukan

tugasnya sesuai dengan fungsinya. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan sensitif

gender dalam memberitakan berita pemerkosaan yang dialami perempuan untuk

pencerahan publik. Menurut Abrar, sebagai kebijakan komunikasi, kebijakan

media massa merupakan kebijakan publik (Abrar, 2008: 13).

Tujuan kebijakan media massa, bisa dilihat dari dua segi, sosiologi dan

komunikasi. Dari sisi sosiologi, tujuan kebijakan komunikasi adalah

menempatkan proses komunikasi sebagai salah satu bagian dari dinamika sosial

49
yang tidak merugikan masyarakat. Sementara dari sisi komunikasi, kebijakan

komunikasi bertujuan untuk melancarkan sistem komunikasi (Abrar, 2008: 16).

Dengan demikian, seharusnya media massa tidak merugikan para korban

pemerkosaan dengan menimpakan kesalahan pada mereka. Tegasnya, dari sudut

sosiologi, kebijakan komunikasi yang sensitif gender bisa memberdayakan

masyarakat dalam melakukan proses komunikasi.

Pemberdayaan masyarakat dalam komunikasi perlu dilakukan agar

masyarakat menjadi sadar gender. Banyak para praktisi media belum memiliki

sensitivitas gender sehingga menghasilkan berita blaming the victim. Berita

tersebut sebenarnya telah melanggar aturan atau kesetaraan gender yang telah

diatur oleh Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Konteks kebijakan media massa adalah keterkaitan kebijakan tersebut

dengan sesuatu yang melingkupi dirinya, misalnya ekonomi politik, politik

komunikasi dan sebagainya.

Konteks ini begitu penting sehingga bisa menentukan domain kebijakan

media massa. Sebagai pedoman, kebijakan media massa merupakan kumpulan

prinsip-prinsip dan norma-norma yang sengaja diciptakan untuk mengatur

perilaku sistem komunikasi (Abrar, 2008: 3).

Media massa merupakan media penyampai infomasi perubahan kepada

masyarakat sehingga bisa dikatakan sebagai alat konstruksi sosial yang paling

ampuh. Pada sebuah industri media massa, biasanya CEO memiliki andil dalam

membentuk kebijakan medianya. Selain itu, ruang redaksi media tersebut juga

memiliki kebijakan tersendiri dalam bentuk atau format dari pemberitaan.

50
Selanjutnya, segmentasi pemberitaan biasanya ditentukan oleh redaksi media

tersebut.

Kaitannya dengan pemuatan berita blaming the victim, pastilah diseleksi

terlebih dahulu di meja redaksi. Banyak kebijakan media yang tidak sensitif

gender sehingga berita yang dimuat/ditayangkan mengandung unsur blaming the

victim. Dengan tidak adanya kebijakan sensitif gender di media massa, tidak

mengherankan apabila berita pemerkosaan dikemas dengan sudut pandang

blaming the victim disertai gaya penulisan yang didramatisasi.

Idealnya, kebijakan seharusnya memperlihatkan bentuk perhatian pada

kesetaraan gender pada masyarakat. Kebijakan dalam media massa diharapkan

mengatur atau membentuk media agar memberikan informasi yang benar tanpa

ada yang dilebih-lebihkan atau berpihak bahkan menyakiti masyarakat, utamanya

perempuan korban kekerasan seksual.

Terkait dengan hal tersebut, peran media massa seharusnya bisa menyentuh

persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat secara aktual sebagaimana

disebutkan oleh Subiakto (dalam Bungin, 2006: 86-7), yakni: (1) harus lebih

spesifik dan proporsional dalam melihat sebuah persoalan sehingga menjadi

media informasi dan edukasi yang diharapkan masyarakat (tidak mencederai

kepentingan publik); (2) dalam memotret realitas, media massa harus fokus pada

realitas sehingga tidak menjadi propaganda kekuasaan, potret figur kekuasaan; (3)

media harus dapat mencerahkan dan mengutamakan fungsinya sebagai lembaga

edukasi, bukan lembaga produksi. Sehingga, tidak terjadi pengarutan berita (bias)

dan kelebihan porsi iklan. Sehingga, masyarakat tidak dirugikan; (4) media massa

51
harus menjadi early warning system. Media massa menjadi sebuah sistem dalam

sistem besar peringatan terhadap ancaman lingkungan.

Apabila media bisa menjalankan keempat peran tersebut, maka bias pada

pemberitaan kekerasan seksual terhadap perempuan bisa diminimalisir hingga

kemudian dihilangkan sama sekali. Berita kekerasan seksual dengan unsur

blaming the victim bisa dihilangkan sama sekali, terutama jika media massa

berani berperan sebagai early warning system. Artinya, media harus mau

menyuarakan peringatan bahaya besar yang diakibatkan bias media dan

diskriminasi gender pada pemberitaan. Bahaya diskriminasi gender yang

memihak kelompok dominan akan semakin mengukuhkan peran patriarki di

masyarakat dan semakin merugikan perempuan sebagai pihak yang ditindas.

1.6. Asumsi Penelitian

Terjadinya berita blaming the victim diasumsikan karena kebijakan redaksi di

Suaramerdeka.com belum sensitif gender dan masih beroperasinya ideologi

dominan (patriarki) apabila merujuk berdasarkan Feminisme Radikal Kultural.

1.7.Operasionalisasi Konsep-konsep

Konsep blaming the victim menunjukkan tendensi bahwa para korban serangan

seksual bertanggung jawab atas serangan yang menimpanya (Eigenberg &

Garland, 2008; Ryan, 1971). Para Korban pemerkosaan yang diserang oleh orang

yang dikenal cenderung disalahkan daripada perempuan yang diperkosa oleh

orang yang tidak dikenal (Amir,1971; Bieneck & Krahé, 2011).

52
Terdapat sejumlah alasan mengapa orang-orang menyalahkan korban atas

tindak kriminal yang dialaminya. Menurut The Canadian Resource Centre for

Victims of Crime (2009), alasan tersebut adalah berawal dari miskonsepsi

mengenai korban dan pelaku aksi kekerasan. Korban seringkali secara salah

digambarkan sebagai individu pasif dan menanggung kekerasan yang dialaminya.

Sedangkan pelaku pemerkosaan dianggap sebagai pihak yang melakukan tindak

kekerasan karena diarahkan oleh kekuatan yang tidak dapat dikontrol olehnya.

Kekuatan yang tidak dapat dikontrol misalnya saja adalah nafsu birahi.

Dengan demikian, berita dikatakan blaming the victim manakala korban

pemerkosaan dianggap bersalah dan harus bertanggung jawab atas serangan yang

menimpanya. Berbagai berita di media massa selalu menampilan pemerkosaan

seolah sebagai sesuatu yang beralasan dilakukan atas dasar kebutuhan alami

seksual laki-laki.

Konsep blaming the victim adalah konstruksi negatif sosok perempuan di

media massa. Hal tersebut merupakan kekerasan simbolik yang ditujukan pada

korban kekerasan (perempuan) yang terlihat dari pemberitaan di media.

Selanjutnya, bisa dijelaskan bahwa berita blaming the victim merupakan berita

yang mengalienasi korban pemerkosaan karena tidak mengadirkannya sebagai

narasumber dalam berita. Berita justru menghadirkan pendapat polisi atau orang-

orang yang justru tidak berpihak pada korban.

Sedangkan definisi kekerasan simbolik, menurut Bourdieu, terjadi manakala

terdapat pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan)

terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai

53
sesutu sah (dalam Jenkins, 2016: 157). Implikasinya, meneguhkan legitimasi

relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Para korban

pemerkosaan lantas diharuskan menanggung kesalahan atas pemerkosaan yang

menimpanya.

Penelitian ini meneliti mengenai kebijakan media online lokal kaitannya

dengan strukturasi gender dominatif sehingga menghasilkan berita blaming the

victim.

Blaming the victim berkaitan erat dengan konstruksi gender asimetris.

Berkenaan dengan hal tersebut, feminis Judith Butler menjelaskan terdapat

hubungan antara subyek, kekuasaan, dan seks. Butler berargumen bahwa seks

berhubungan dengan konstruksi gender (dalam Gadis Arivia, 2011: 63). Artinya,

seks adalah tentang bagaimana masyarakat mendefinisikan perempuan atau laki-

laki.

Selama ini, masyarakat selalu mendefinisikan laki-laki sebagai “bernafsu”

dan tidak bisa mengendalikan nafsunya. Sedangkan perempuan didefinisikan

sebagai pasif dan aseksual. Banyak pandangan yang menyatakan bahwa laki-laki

sebagai makhluk yang secara alamiah tidak bisa mengendalikan nafsunya dan

karenanya perempuan harus menutup bagian tubuhnya secara rapat dengan tidak

mengenakan rok mini yang bisa mengundang birahi laki-laki (Gadis Arivia, 2011:

63). Implikasinya, ketika perempuan secara kebetulan mengenakan rok mini

kemudian ia diperkosa, lantas serta merta seluruh dunia menyalahkannya.

Adapun arti kata pasif yang terus dilekatkan kepada korban pemerkosaan

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bersifat menerima saja;

54
tidak giat; tidak aktif. Selanjutnya, definisi konsep-konsep tersebut diturunkan ke

dalam definisi operasional sebagai berikut:

Tabel 1.1.
Operasionalisasi Konsep-konsep

Konsep Operasionalisasi
Kekerasan Simbolik Kasat mata (terlihat bentuknya): kekerasan
seksual.
Tidak kasat mata (tak terlihat bentuknya): blaming
the victim, alienasi gender.

Korban dinilai sebagai pasif (pasrah dan


Blaming the victim menerima kekerasan seksual) dan sumber
penggoda (mengundang birahi laki-laki).
Korban dinilai ikut menikmati hubungan seks
dengan pemerkosa.
Pelaku dinilai sebagai secara alamiah tidak dapat
mengendalikan nafsunya.

Penyingkiran pendapat korban pemerkosaan atau


Alienasi Geder yang mewakili sebagai narasumber berita
pemerkosaan. Alienasi gender merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan terjadinya blaming
the victim.

Kebijakan Internal Media Berdasarkan panduan kebijakan internal di


Suaramerdeka.com

Ideologi dominan Ideologi patriarki dalam relasi gender asimetris


yang menganggap bahwa perempuan sebagai
obyek seks, sebagaimana pernyataan feminisme
Radikal Kultural.

1.8. Metodologi Penelitian

1.8.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang dipakai yaitu deskriptif kualitatif perspektif kritis dengan

desain Analisis Wacana Kritis. Analisis Wacana Kritis (critical discourse

analysis/CDA) berarti peneliti menganalisis wacana pada level teks beserta

55
sejarah dan konteks terjadinya suatu wacana. Oleh karena itu, telaah atas wacana

tidak hanya dilakukan pada level teks, tetapi juga dilanjutkan pada faktor-faktor

yang memengaruhi suatu teks dihasilkan.

Penelitian ini fokus pada kebijakan Suaramerdeka.com menghasilkan berita

blaming the victim sehingga pada level teks (mikro) akan dianalisis 5 berita

kekerasan seksual yang memiliki derajat blaming the victim yang dinilai paling

tinggi menurut peneliti selama periode Januari 2016 - Desember 2017.

Selanjutnya, untuk mengetahui kebijakan internal redaksi di

Suaramerdeka.com yang menghasilkan berita blaming the victim dilakukan

analisis level meso (observasi dan wawancara dengan Pemimpin Redaksi dan

Redaktur Pelaksana selaku pembuat kebijakan). Selain itu, di level meso juga

dilakukan analisis praktik konsumsi teks oleh pembaca.

Selanjutnya, di level makro, dilakukan analisis kebijakan eksternal terkait

kultur dominan yang berlaku sehingga terbit berita blaming the victim. Bahasan

ini akan memfokuskan pada aspek di luar media yang mempunyai pengaruh

terhadap keberadaan isi media massa.

Bahasan mengenai analisis sosio-kultural dalam penelitian ini akan lebih

menekankan pada aspek ideologi dominan yang menindas kaum perempuan. Hal

tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kondisi sosial dan kultural yang

mendominasi sehingga memengaruhi kebijakan redaksional penayangan berita

blaming the victim di Suaramerdeka.com.

Dengan demikian, analisis sosio-kultural diharapkan mampu membongkar

relasi kekuasaan yang mendasari kemunculan dan keberlangsungan macam-

56
macam wacana tertentu, pengaruh ideologi yang mungkin terjadi pada macam-

macam wacana tersebut, cara-cara ketika ideologi melakukan konstruksi atas

identitas sosial tertentu, nilai-nilai kultural yang diproyeksikan dan sebagainya.

Pada tahapan ini, peneliti melakukan pemaknaan secara komprehensif, peneliti

mencoba menemukan relasi-relasi kekuasaan dalam wacana media.

Fokus analisis wacana kritis yaitu praktik kewacanaan yang mengonstruk

representasi dunia dan subjek sosial, dan hubungan kekuasaan dan peran yang

dimainkan praktik-praktik kewacanaan dominatif. Tujuan analisis wacana kritis

yaitu menjelaskan hubungan antara penggunaan bahasa dengan praktik sosial.

Analisis wacana CDA yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

Norman Fairclough yang melihat teks (naskah) memiliki konteks. Menurut

Fairclough, setiap penggunaan bahasa merupakan peristiwa komunikatif yang

terdiri atas tiga dimensi berikut ini: (1) teks (tuturan, pencitraan, visual, atau

gabungan ketiganya); (2) praktik kewacanaan yang melibatkan produksi dan

pengonsumsian teks; dan (3) praktik sosial (Fairclough, 2010: 132).

CDA Norman Fairclough melihat teks sebagai hal yang memiliki konteks

baik berdasarkan “process of production” atau “text production”; maupun

berdasarkan praktik sosio-kultural. Dengan demikian, untuk memahami wacana

(naskah/ teks) kita tidak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan

”realitas” di balik teks diperlukan penelusuran atas konteks produksi teks, dan

aspek sosial dan kultural yang memengaruhi pembuatan teks.

Proses pengumpulan data yang multilevel dalam CDA Fairlough dalam

penelitian ini dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Pada Level Mikro dilakukan

57
analisis teks dengan Framing Entman. Robert M. Entman menjelaskan (1993: 51-

2), secara umum, teori framing menunjukkan bagaimana bingkai yang

termanifestasi dalam teks sehingga memengaruhi pemikiran pembaca. Konsep

utama framing adalah cara untuk mendeskripsikan kuasa suatu teks (media)

sebagai komunikasi. Tujuan dilakukan analisis framing adalah untuk

mengidentifikasi dan memperjelas tendensi di antara banyak teks yang ada.

Melalui framing, tendensi media dipahami secara lebih tepat dan berlaku

universal.

Tahap Kedua, analisis Praktik Wacana Meso. Pada level ini dilakukan

analisis pada praktik produksi dan konsumsi teks blaming the victim. Analisis

paraktik produksi teks dilakukan melalui pengamatan dengan terlibat langsung

pada produksi teks dan melakukan indepth interview dengan pengambil kebijakan

redaksi (pimpinan) di Suaramerdeka.com (Pemimpin Redaksi dan Redaktur

Pelaksana). Sedangkan analisis praktik konsumsi teks dilakukan dengan

wawancara pada pembaca berita blaming the victim di Suaramerdeka.com.

Analisis praktik konsumsi dilakukan dengan metode analisis resepsi.

Tahap Ketiga, Analisis Makro (praktik sosio-kultural). Dilakukan analisis

pada ideologi dominan yang membenarkan pelanggaran pasal-pasal Kode Etik

Jurnalistik. Pada tahap ini dilakukan pula analisis secondary data yang relevan

dengan tema penelitian serta penelusuran literatur yang relevan dengan tema

penelitian. Praktik sosiokultural adalah dimensi yang berhubungan dengan

konteks di luar teks. Konteks memasukkan banyak hal seperti konteks situasi,

lebih jauh lagi konteks yang berhubungan dengan konteks institusi dan budaya.

58
Oleh karena itu, penelitian ini akan fokus pada analisis sosio-kultural kaitannya

dengan ideologi patriarki yang turut memengaruhi penayangan berita blaming the

victim di Suaramerdeka.com.

Pada level sosio-kultural teks dilihat dalam sebuah konteks yang

melingkupinya dari kondisi sosial dan politik yang berlatar belakang historis.

Penggalian data dipusatkan pada tahun 2016-2017, ketika Presiden RI Joko

Widodo menyatakan bahwa pemerkosaan merupakan kejahatan luar biasa dan

pelaku harus dihukum seberat-beratnya. Pernyataan presiden tersebut tentu saja

memengaruhi perubahan struktur media kaitannya dengan gaya komunikasi

gender. Apabila sebelumnya gaya komunikasi media masih diwarnai dominasi

maskulin, diharapkan setelah pernyataan Presiden tersebut, dapat menuju ke era

gender equality.

Dengan demikian, pada level makro, harus dilihat bahwa media

merepresentasikan kekuatan-kekuatan yang memengaruhinya. Dalam penelitian

ini akan diidentifikasi kekuatan ideologi dominan yang memengaruhi kebijakan

internal berita blaming the victim di Suaramerdeka.com.

Hal tersebut dilakukan karena Analisis Wacana Kritis tidak hanya

menggambarkan struktur diskursif tetapi juga menunjukkan bagaimana wacana

dibentuk oleh hubungan kekuasaan, ideologi, dan efek yang terjadi dari wacana

menjadi identitas sosial, hubungan sosial dan sistem kepercayaan dan sistem

pengetahuan (Mills, 1997: 149-150). Adapun kerangka kerja penelitian yang akan

dilakukan digambarkan sebagai berikut:

59
Gambar 1.4.
Kerangka Kerja Penelitian

Faktor Internal
(Kebijakan Media):
Strukturasi (relasi gender
asimetris); Produksi dan
reproduksi teks.
Studi literatur ,
Depth Hasil: Relasi-
CDA: -- Kekuasaan
Sosiocultural interview
dalam
Berita Blaming the Discourse; dengan diskurusus
Victim di Discourse Practice; narasumber media-
Teks terkait
suaramerdeka.com dominasi
kebijakan diskriminatif
media, & resistensi
Faktor Eksternal: Analisis isi
Ideological level

1.8.2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, diperoleh dari:

1.8.2.1. Data Primer

Tahapan penelitian ini dimulai dengan pengumpulan bahan berupa teks-teks berita

kekerasan seksual di Suaramerdeka.com untuk kemudian dianalisis dengan

metode Framing Entman. Analisis framing Entman dimaksudkan untuk

menunjukkan adanya parktik penulisan berita blaming the victim.

Entman menyatakan, (1993: 52), membingkai atau framing berarti memilih

(seleksi) beberapa aspek realitas dan membuatnya lebih menonjol (salient) dalam

mengomunikasikan teks. Hal-hal tersebut kemudian mengarahkan kepada, defined

problems (pendefinisian masalah), diagnose cause (memperkirakan masalah atau

sumber masalah), make moral judgement (membuat keputusan moral), suggest

remedies (menekankan penyelesaian) yang pengungkapan treatment yang

diberikan media terhadap korban.


60
1.8.2.2. Data Sekunder

Data sekunder meupakan referensi penunjang berupa tulisan/gambar. Data ini

merupakan studi literatur tentang kajian analisis wacana kritis dikaitkan dengan

konteks komunikasi massa, yang mana datanya dapat diperoleh dari buku, jurnal

penelitian, artikel, serta penelitian terdahulu. Data sekunder bermanfaat untuk

pengkajian, penelaahan, analisis masalah penelitian dan juga untuk

pengembangan kerangka berpikir. Secara keseluruhan jenis dan sumber data yang

akan digunakan digambarkan dalam tabel berikut ini:

Tabel 1.2
Jenis dan Sumber Data Penelitian

Level Jenis Sumber Data

Mikro Primer Analisis framing berita blaming the victim


dengan model Entman.

Sekunder Analisis isi kuantitatif berita-berita


blaming the victim di Suaramerdeka.com.
Hasil penelitian lain yang relevan, jurnal.

Meso Primer Wawancara mendalam dengan pengambil


kebijakan di suaramerdeka.com
(Pemimpin Redaksi dan Redaktur
Pelaksana).

Sekunder Hasil pengamatan dan dokumentasi


tertulis pada interaksi pekerja dalam
situasi keseharian di Suaramerdea.com
(selama satu minggu).
Dokumentasi tertulis dan visual terkait
sistem organisasi perusahaan
suaramerdeka.com (profil perusahaan,
peraturan perusahaan, budaya organisasi,
dan lain-lain yang relevan).

Makro Primer Analisis dominasi budaya patriarki


sehingga membenarkan pelanggaran pada
perundang-undangan dan peraturan
61
pemerintah yang relevan dengan fokus
penelitian.

Sekunder Dokumentasi kepustakaan dan data


sekunder yang relevan dengan fokus
penelitian.

1.8.3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah berita-berita kekerasan seksual di Suaramerdeka.com

dengan unsur blaming the victim dari dua tahun terakhir, yakni periode Januari

2016 sampai dengan Desember 2017. Alasan yang mendasari penelitian dilakukan

di periode tersebut yakni keputusan Presiden Jokowi sebagai kepala negara telah

menetapkan kejahatan seksual sebagai kejahatan yang luar biasa sejak Agustus

2016 karena banyaknya angka kejahatan seksual di periode tersebut. Berikut

adalah tabel subjek penelitian:

Tabel 1.3.
Subjek Penelitian

Level Jenis Subjek Penelitian


Mikro Primer Teks berita di suaramerdeka.com dengan isu kekerasan
seksual terkait blaming the victim periode Januari 2016
sampai dengan Desember 2017.
Sekunder Dokumentasi dan literatur lain yang relevan dengan
penelitian.

Meso Primer Wawancara mendalam pada Pemimpin Redaksi dan


Redaktur Pelaksana di Suaramerdeka.com.
Sekunder Dokumentasi dan literatur lain yang relevan dengan
penelitian.

Makro Primer Analisis ideologi dominan yang membenarkan


pelanggaran perundang-undangan dan peraturan
pemerintah yang relevan dengan fokus penelitian.
Sekunder Dokumentasi dan literatur lain yang relevan dengan
penelitian ini.
62
1.8.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

pendokumentasian isi komunikasi yang diteliti, dengan cara mengetik ulang,

mengumpulkan dan meng-copy berita-berita kekerasan yang akan diriset.

1.8.5. Unit Analisis

Unit analisis dari studi ini adalah berita kekerasan seksual dengan unsur blaming

the victim di Suaramerdeka.com.

1.8.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data kualitatif yang dipakai dalam penelitian ini adalah Critical

Discourse Analysis Norman Fairclough (Analisis Texts, Discourse Practice dan

Analisis Sociocultural Practice) (Fairclough, 2010: 132-3). Fairclough

memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana

menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas

individu.

63
Gambar 1.5.
Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough (2010: 133)

Process of production

Text
Description (text analysis)

Interpretation (processing analysis)


Process of Interpretation

Discourse Practice

Explanation (societal analysis)


Sociocultural Practice

(Situasional: institusional: societal)

Dimension of discourse Dimension of discourse analysis

Fairclough juga membangun suatu model yang mengintegrasikan secara

bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik serta pemikiran

sosial dan politik, atau secara umum diintegrasikan pada perubahan sosial. Oleh

karena itu, model yang dikemukakan oleh tokoh ini sering disebut sebagai model

perubahan sosial (social change). Fairclough membagi analisis wacananya dalam

tiga dimensi, meliputi:

Pertama, analisis Texts; Menurut Fairclough, analisis texts ini disebut pula

dengan ‘linguistic analysis’. Teks di sini dianalisis secara linguistik, dengan

melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan

kohesivitas, bagaimana antarkata atau antarkalimat digabung sehingga

membentuk pengertian/wacana.
64
Kedua, analisis Discourse Practice; merupakan dimensi yang

berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks/berita. Sebuah berita

pada dasarnya dihasilkan lewat proses produksi teks media, seperti bagaimana

pola kerja, bagan kerja dan rutinitas dalam menghasilkan berita. Berita diproduksi

dalam cara-cara yang spesifik, dengan rutinitas dan pola kerja yang telah

terstruktur berdasarkan laporan wartawan di lapangan, atau dari sumber berita

yang akan ditulis oleh editor dan sebagainya. Sedangkan distribusi teks/berita,

tergantung pada pola dan jenis teks, serta bagaimana sifat institusi yang melekat

dalam berita tersebut.

Selanjutnya, pada discourse practice, diperlukan adanya wawancara

mendalam (indepth interview) dengan Pemimpin Redaksi dan Redaktur Pelaksana

mengenai kebijakan penayangan berita blaming the victim di Suaramerdeka.com,

serta melakukan penelitian newsroom. Penelitian newsroom dilakukan dengan

mengamati proses produksi berita.

Setelah dilakukan wawancara mendalam, berikutnya akan dilakukan reduksi

data dengan teknik analisis data Spardley. Spardley (1999) merangkum “Alur

Penelitian Maju Bertahap” yang terdiri atas lima prinsip, yaitu: (1) Peneliti

dianjurkan hanya menggunakan satu teknik pengumpulan data; (2) Mengenali

langkah-langkah pokok dalam teknik tersebut, misalnya 12 langkah pokok dalam

wawancara etnografi dari Spardley; (3) Setiap langkah pokok dijalankakn secara

berurutan; (4) Praktik dan latihan harus selalu dilakukan; (5) Memberikan

problem solving sebagai tanggung jawab sosialnya, bukan lagi ilmu untuk ilmu.

65
Inti dari teknik analisis data Spardley ini adalah upaya memperhatikan

makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami

melalui kebudayaan mereka. Dalam melakukan kerja lapangan, peneliti membuat

kesimpulan dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang; (2) dari cara

orang bertidak; (3) dari berbagai artefak yang digunakan. Namun dalam buku ini

Spradley memfokuskan secara khusus pembuatan kesimpulan dari apa yang

dikatakan orang. Wawancara dianggap lebih mampu menjelajah susunan

pemikiran masyarakat atau budaya yang sedang diamati. Budaya yang dimaksud

di sini adalah budaya organisasi media di Suaramerdeka.com.

Pada penelitian kualitatif tidak dipersoalkan jumlah informannya. Dalam hal

ini, jumlah informan bisa sedikit tetapi juga bisa banyak, tergantung sampai

tercapainya/terjawabnya tujuan penelitian (Kanto dalam Bungin, 2003: 53).

Ketiga, analisis Sociocultural Practice; berasumsi bahwa konteks sosial

yang ada di luar media memengaruhi bagaimana wacana muncul dalam media.

Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah

konteks dari praktik institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan

masyarakat atau ekonomi media atau budaya atau politik tertentu. Oleh karena itu,

ruang redaksi atau wartawan bukanlah profesi yang steril, tetapi sangat ditentukan

oleh faktor diluar dirinya.

Sociocultural practice ini tidak berhubungan langsung dengan produksi

teks, tetapi menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Untuk studi ini,

sebuah teks blaming the victim berarti merepresentasikan ideologi patriarkal yang

ada dalam masyarakat.

66
Lebih lanjut, Fairclough memaparkan tiga level analisis pada sociocultural

practice, di antaranya: (1) Level Situasional tentang bagaimana teks diproduksi

dengan memperhatikan aspek situasional ketika teks tersebut diproduksi. Teks

berita dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas dan unik; (2) Level

Institusional yang melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi dalam praktik

produksi wacana. Institusi ini bisa berasal dari dalam diri media sendiri, bisa juga

berasal dari kekuatan eksternal di luar media yang menentukan proses produksi

berita. Produksi berita di media saat ini tidak mungkin terlepas dari tiga masalah

ekonomi media yang bisa berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam

pemberitaan. Pertama, pengiklan yang menentukan kelangsungan hidup media.

Kedua, khalayak pembaca yang dalam indutri modern ditunjukkan dengan data-

data seperti oplah atau rating. Ketiga, persaingan antarmedia; (3) Level Sosial;

Fairclough menegaskan wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh

perubahan masyarakat. Apabila aspek situasional lebih mengarah pada waktu atau

suasana yang mikro (konteks peristiwa saat teks berita kekerasan dibuat), aspek

sosial lebih melihat pada aspek makro seperti sistem politik, sistem ekonomi atau

sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem itu menentukan siapa yang

berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat serta bagaimana nilai

dan kelompok yang berkuasa itu memengaruhi dan menentukan industri media.

Misalnya, masyarakat yang kental ideologi patriarkal melihat perempuan sebagai

kelas kedua di bawah laki-laki, nilai-nilai ini akan turut mempengaruhi isi

pemberitaan media. Adapun teknik analisis data dipaparkan pada tabel berikut ini:

67
Tabel 1.4
Teknik Analisis Data Fairclough

Level Jenis Teknik Analisis Data

Mikro Primer Analisis isi kuantitatif berita blaming the victim di


suaramerdeka.com
Analisis teks dengan Framing Model Entman yang
meliputi defined problems (pendefinisian masalah),
diagnose cause (memperkirakan masalah atau
sumber masalah), make moral judgement (membuat
keputusan moral), suggest remedies (menekankan
penyelesaian) yakni pengungkapan treatment yang
diberikan media terhadap korban.

Sekunder Analisis data legal tentang panduan penulisan berita


di Suaramerdeka.com

Meso Primer Mengamati proses produksi teks blaming the victim.


(Discourse Wawancara dengan Pemimpin Redaksi dan
Practice) Redaktur pelaksana di Suaramerdeka.com kemudian
dilakukan reduksi data penelitian kualitatif model
Spardley.

Sekunder Analisis Data legal perusahaan dari bidang redaksi


yang terkait dengan penelitian.

Makro Primer Analisis kultur patriarki yang membenarkan


(Socioclutural pelanggaran pasal-pasal perundang-undangan dan
Practice) peraturan pemerintah pada berita blaming the victim.

Sekunder Analisis kualitatif kebijakan eksternal melalui


dokumentasi kepustakaan mengenai artikel atau
data-data yang relevan dengan topik penelitian;

Analisis sosio-budaya diharapkan mampu


membongkar relasi kekuasaan yang mendasari
kemunculan dan keberlangsungan wacana tertentu,
pengaruh ideologi yang mungkin terjadi pada
wacana tersebut.

68
1.9. Kualitas Penelitian

Guba & Lincoln (dalam Denzin dan Lincoln, 2005: 196) mengevaluasi sebuah

penelitian kualitatif dari paradigma kritis bisa dilihat dari kriteria goodness atau

quality. Dalam paradigma kritis, kriteria yang digunakan adalah; pemberian

konteks historis (historical situadness); pengikisan kebodohan/ketidaktahuan

atau salah pengertian (erosion of ignorance and misapprehension); serta

merangsang tindakan (action stimulus).

Pada penelitian ini, untuk mengukur goodness of quality maka diajukan

historical situadness, yaitu tidak mengabaikan konteks historis, politik-ekonomi

serta sosial-budaya yang melatarbelakangi.

Goodness Criteria yang mewakili kredibilitas penelitian ini adalah

penempatan historical situadness sebagai bagian dari upaya untuk menjelaskan

struktur dominasi patriarki dalam industri media yang memengaruhi kebijakan

industri media dalam proses penayangan berita blaming the victim.

Penelitian menempatkan proses produksi relasi kuasa melalui dominasi

diskriminatif bahasa dalam surat kabar online lokal di Jawa Tengah dalam

konteks historis yang menunjukkan terdapat berita blaming the victim. Konteks

historis yang kental budaya patriarki kemudian dipertanyakan ketika terdapat

pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa pemerkosaan merupakan kejahatan luar

biasa dan diperlukan upaya membela korban dengan cara menghukum pelaku

seberat-beratnya. Merujuk pada pernyataan presiden tersebut, seharusnya upaya

membela korban juga dilakukan media massa, tak terkecuali media massa online

di Jawa Tengah.

69
1.10. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini meliputi teori dan metodologi yang digunakan. Teori

Strukturasi Gender yang digunakan dalam penelitian ini melihat struktur asimetris

dalam relasi gender, sedangkan relasi ras atau etnis tidak dilihat dalam teori ini.

Sedangkan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Critical

Discourse Analysis. Sebagai penelitian dalam kerangka tradisi kritis, penelitian ini

memiliki keterbatasan karena meniadakan interpretasi atau pengalaman sadar

individu yang menjalani aktivitas rutin bekerja di perusahaan media massa,

sebagaimana yang dilakukan tradisi fenomenologi. Anderson menyatakan,

pendekatan fenomenologi menitikberatkan pada pengalaman sadar seseorang

(dalam Littlejohn dan Foss, 2008: 38). Tradisi fenomenologi berasumsi bahwa

seseorang secara aktif menginterpretasi pengalaman mereka dan memahami dunia

dengan pengalaman pribadinya (Littlejohn dan Foss, 2008: 38).

70

Anda mungkin juga menyukai