PENDAHULUAN
adalah 293.22 kasus. Tahun 2015 terdapat 16.217 kasus. Tahun 2016 terdapat
326.742 kasus sedangkan tahun 2017 terdapat 259.150 kasus. Data dari Komnas
seksual.
Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM). Hasil
dengan kasus pemerkosaan sebanyak 144 atau 29,3 persen. Pelakunya biasanya
LRC-KJHAM pada periode Januari sampai Februari 2017 mencatat sudah ada 58
korban pemerkosaan di Indonesia bungkam karena rasa malu akan tekanan sosial.
vulgar dengan dramatisasi situasi yang justru menyudutkan dan membuat malu
menyalahkan korban pemerkosaan dan berempati pada pelaku yang berdalih tak
oleh Winarko (2000: 50). Ia meneliti mengenai pemberitaan pada surat kabar
Kedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka, ditemukan 22 kata yang digunakan untuk
mencabuli, (3) menggauli, (4) menggagahi, (5) menakali, (6) dianui, (7)
dikumpuli, (8) menipu luar dalam, (9) digilir, (10) dinodai, (11) digarap, (12)
dihamili, (13) korban cinta paksa, (14) dipaksa berhubungan intim, (15) berbuat
2
tidak senonoh, (16) memaksa bersetubuh, (17) korban kuda-kudaan, (18)
perbuatan asusila, (21) digelandang, dan (20) dipaksa melakukan permainan ibu-
ibuan. Pilihan atau pemakaian istilah tersebut jelas akan menimbulkan bias dan
massa masih bias gender. Bahkan, semakin parah karena berani menyalahkan
korbannya.
Senin, 16 Feb 2015 pukul 15:13 WIB, berjudul, “Penganiayaan Brutal Siswi SMA
di Bantul Ternyata Didasari Tato Hello Kitty”. Lead beritanya adalah sebagai
berikut:
media dan ribuan pembacanya. Selain itu, berita tersebut justru menyalahkan
korban yang mengalami kekerasan seksual karena mempunyai tato Hello Kitty.
Sindonews.com, yang ditulis oleh Frans Marbun yang diunggap pada Selasa, 1
Maret 2016, berjudul “Pakai Rok Mini, kesucian Karyawan Cantik Hampir Hilang
“Diduga, pelaku yang tak tahan melihat kemolekan tubuh korban, langsung
memeluknya (korban) dari belakang, kemudian menciuminya. Apalagi, korban
mengenakan pakaian seksi dengan rok mini di atas lutut dan ketat.”
Berita tersebut mengindikasikan bahwa pakaian seksi dan rok mini yang
mengeluarkan peringatan terhadap turis perempuan untuk tidak memakai rok mini
saat mengunjungi kota atau desa di negara itu untuk menghindari pemerkosaan,
2011. Fauzi Bowo, selaku Gubernur Jakarta kala itu justru membela pelaku
“Bayangkan saja kalau orang naik mikrolet duduknya pakai rok mini, kan
agak gerah juga. Sama kayak orang naik motor, pakai celana pendek, ketat lagi,
itu yang dibelakangnya bisa goyang-goyang,” ujarnya sebagaimana dilansir
JPNN.com pada 16 September 2011.
4
Dari pemaparan berbagai pemberitaan media tersebut, semuanya
laki yang melihatnya sehingga pantas disalahkan atas kasus pemerkosaan yang
menimpanya.
media yakni: Indo Pos, Jakarta Post, Jakarta Globe, Kompas, Koran Sindo, Pos
Kota, Republika, Koran Tempo dan Media Indonesia. Kesimpulan dari penelitian
tersebut bahwa secara umum, media-media tersebut tidak sensitif gender dalam
(23,15%), stigmatisasi korban sebagai pemicu kekerasan atau blaming the victim
Gambar 1.1.
Sumber: Komnas Perempuan 2015
Diksi Bias
15.89
24.21
Mengungkap identitas
Korban
Stigma Korban Adalah
23.15 Pemicu Kekerasan
Hal lain
5
Tingginya kasus kekerasan seksual di Jawa Tengah harusnya memang
mendapat perhatian dari berbagai pihak, terutama media massa yang umumnya
media online lokal di Jawa Tengah diharapkan mampu membuat berita sensitif
Juni 2016, berjudul “Kasus Dugaan Pemerkosaan di Semarang Perlu Digali Lebih
“Anak masih labil, akan mencoba menggali lagi. Jika suka sama suka,
seperti apa. Saya masih perlu waktu untuk bersama-sama psikolog menggali ada
apa sebenarnya. Jika ada.”
6
Konsep blaming the victim yang digunakan sebagai sudut pandang
pemberitaan bisa dilihat sebagai kekerasan simbolik yang ditujukan pada korban
kekerasan. Dari sudut pandang gender, hal ini tentu saja merupakan ketidakadilan.
melibatkan rasa hormat dan kesetaraan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kausar Rafika Sari tahun 2013 menyebutkan, dampak psikologis yang dialami
memiliki efek yang besar, maka penelitian ini fokus pada berita kekerasan seksual
yang menyalahkan korban pada media online lokal berbasis media cetak pertama
di Indonesia, Suaramerdeka.com.
7
Discrimination Against Women (CEDAW) dalam Rekomendasi Umum Nomor 19
Terhadap Perempuan 1993, kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk dari
pribadi.
adalah serangan yang diarahkan pada bagian seksualitas, seringan apapun, dengan
menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut
atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual
gender terdapat pada pasal 28-I (Ayat 1 dan 2) UUD 1945. Selain itu,
8
ketidakadilan representasi perempuan di media bertentangan dengan Kode Etik
Jurnalistik (KEJ) sebagai landasan moral dan etika profesi wartawan pada Pasal 1.
dan suara. Selain itu, pada Pasal 4, disebutkan bahwa wartawan tidak
dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan semata-mata untuk membangkitkan
nafsu birahi. Selain itu pada Pasal 8 juga menyatakan pelarangan diskriminasi
sebagai koral lokal di Jawa Tengah dipilih dalam penelitian ini terkait konsep
blaming the victim pada berita pemerkosaan. Sudut pandang blaming the victim
berita apa saja yang akan dimunculkan dan tidak dimunculkan. Penentuan berita
ini terkait dengan proses struktur yang mempengaruhi kebijakan yang diambil
yang tertinggi di Jawa Tengah. Peristiwa tersebut banyak diberitakan oleh koran
9
lokal setempat. Ironisnya, banyak pemberitaan yang justru menimpakan kesalahan
kepada korban (blaming the victim) sehingga menambah trauma bagi korban dan
Untuk itu, permasalahan yang akan dimunculkan dari penelitian ini adalah:
blaming the victim; (2) mendeskripsikan blaming the victim berupa alienasi
10
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki novelty atau kebaruan secara akademis. Penelitian yang
saat ini dilakukan merupakan penelitian kebijakan yang melakukan analisa kritis
terhadap pemberitaan kekerasan seksual dengan unsur blaming the victim yang
gender kebijakan industri media massa yang melakukan praktik blaming the
victim berupa alienasi gender korban kekerasan seksual pada berita yang
massa, utamanya media online. Media massa apabila dilihat sebagai agen
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi masyarakat agar lebih kritis
menyikapi berita kekerasan seksual di media massa yang justru membela pelaku
dan malah menyalahkan korban. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa
11
1.5. Kerangka Pemikiran Teoritis
Dengan demikian, tradisi kritis mencoba mengungkap kondisi sosial yang opresif
sendiri. Konsep penting dalam tradisi ini adalah ideologi penguasa mendominasi
pendekatan kritis secara khusus mengkaji mengenai bagaimana suatu pesan bisa
lebih luas di mana komunikasi massa itu terjadi dan fokus pada isu siapa
Inti dari tradisi kritis adalah pertama, mencari taken for granted system,
tradisi ktiris mengungkap kondisi sosial dan pengaturan kekuasaan yang opresif
12
untuk mewujudkan emansipasi atau masyarakat bebas dari penindasan. Ketiga,
teori-teori kritis memadukan teori dan tindakan (Foss dan Littlejohn, 2008: 46).
massa yang terjadi adalah di koran online lokal Jawa Tengah yang fokusnya
Sedangkan menurut Guba & Lincoln (2011), secara filosofis, tiga persoalan
bentuk dan sifat dari realita yang diteliti; (2) aspek epistemology yang
bersifat semu dan plastis yang dibentuk oleh kesatuan faktor-faktor sosial, politik,
ke dalam sebuah struktur yang nyata. Bagi pendekatan ini, struktur merupakan
realitas historis yang virtual. Paradigma kritis memahami realitas bukan dibentuk
oleh alam (nature), bukan alami, tetapi dibentuk oleh manusia. Ini tidak berarti
13
memanipulasi, mengondisikan orang lain agar mempunyai penafsiran atas
peneliti dan realitas yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu
dominasi media).
antara peneliti dan subyek-subyek yang diteliti. Dialog itu haruslah bersifat
perubahan itu).
Salah satu teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Strukturasi
Gender yang masuk ke dalam tradisi kritis. Teori Strukturasi Gender ditempatkan
penelitian ini. Teori Feminisme Radikal Kultural menyatakan bahwa akar dari
14
ketertindasan perempuan adalah dari sturktur patriarki yang menyakiti seksualitas
perempuan.
dalam keluarga dan masyarakat memberikan posisi dominan kepada kaum laki-
Patriarki bukan taken for granted sistem, melainkan dibentuk oleh sistem sosial
dalam praktiknya di institusi media televisi, dan posisi kekerasan atas perempuan
paradigma kritis dengan metode Analisis Wacana Kritis dan kajian feminis, yang
didukung dengan analisis isi feminis dan etnografi feminis. Hasil penelitian
program siaran televisi dengan melibatkan struktur gender agen perempuan dan
15
1.5.2.2. Penelitian Hapsari Dwiningtyas Sulistyani: “Korban dan Kuasa di dalam
Penelitian yang dilakukan Hapsari pada tahun 2011 ini merupakan studi gender
perempuan merupakan salah satu cara mencari titik alternatif pandangan yang
kanak.
Meneliti tentang kemampuan relisiensi anak agar dapat tumbuh kembali rasa
resiliensi dari lingkungan serta segi spriritual. Sedangkan satu subjek penelitian
16
1.5.2.4.Penelitian Esra Ozgun Unal, Sermet Koc, Volkan Unal, Ramazan (2016):
meninggal karena kekerasan seksual. Data otopsi yang dilakukan dari tahuan 2006
1.5.2.6. Penelitian Janet Farlow (2017): Intimate Partner Violence and Woman’s
Reproductive Health
dunia mengalami kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh suami, pacar
17
dan mantan pacar. Hasil penelitian menyatakan bahwa perlu disediakan fasilitas
1.5.2.7. Penelitian Silvia Galdi, Anne Maass, dan Mara Cadinu (2014):
Objectifying Media: Their Effect on Gender Role Norms and Sexual Harrasment
of Women
Tipe yang dipakai dalam penelitian tersebut adalah Riset Eksperimen. Sampel
beragam terdiri dari 141 orang laki-laki yang tinggal di Italia Utara, termasuk
siswa dan laki-laki yang telah bekerja. Penelitian melakukan eksperimen pada
melecehkan dan juga eksperimen pada kelompok laki-laki yang tidak mendapat
besar untuk terlibat dalam pemaksaan seksual dan cenderung terlibat dalam
18
1.5.2.8. Penelitian Eran Shor, Arnout van de Rijt, Alex Miltsov, Vivek Kulkarni,
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan uji beda. Uji
massa yang dipimpin oleh editor perempuan dibanding editor laki-laki. Penelitian
ini melihat fenomena “glass ceiling” dalam berita-berita media cetak. Matafora
glass ceiling (perempuan kompeten tidak bisa mencapai jabatan puncak) menjadi
ciri gender realitas pekerjaan di awal abad 21. Tingkat cakupan yang rendah pada
bahwa surat kabar liberal dan konservatif dengan editor laki-laki maupun
perempuan di media.
1.5.2.9. Penelitian Bettina Spencer (2016): The Impact of Class and Sexuality-
19
Penelitian tersebut merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan mengetahui
Partisipan pada penelitian tersebut diminta membaca sebuah skenario arsip polisi
perempuan korban dari kalangan SES rendah. Partisipan juga menilai korban
pemerkosaan yang selamat (hidup) dari golongan SES rendah sebagai orang yang
menyukai perceraian, dan stereotip ini berkorelasi dengan sikap menyalahkan dan
sikap negatif yang dimoderasi oleh tingkat kelas sosial partisipan. Patisipan
secara panjang lebar. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan kelas sosial
1.5.3.0. Penelitian Nick J. Fox dan Clare Bale (2017): Bodies, pornography and
practices.
Tipe yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode
20
kelompok dan juga hubungan mereka dengan badan, benda (material) dan
gagasan.
memperoleh keragaman dalam hal latar belakang sosial dan keluarga, tempat lahir
informan sebagai berikut: 22 remaja (11 laki-laki dan 11 perempuan) berusia 16-
afektif dalam kumpulan seksualisasi, termasuk keluarga, teman dan teman sebaya;
hal-hal materi seperti alkohol, kondom, acara sosial, uang, mobil dan materi
pendidikan seks, formasi sosial seperti standar moral, norma dan budaya jalanan,
serta elemen istimewa seperti selebritis atau skateboard, juga terlibat pada
kapasitas seksual, dan karenanya 'seksualitas' dari orang-orang muda ini, muncul
dan imajinatif sering dilukiskan di beberapa media pornografi dan seksual secara
21
bermasalah karena media-media tersebut memaksakan definisi seks dan
seksualitas yang sempit dan terbatas: tubuh menjadi formulasi preskriptif gender
Berdasarakan state of the art sepuluh tahun terakhir yang dipaparkan di atas,
terdapat kesamaan dengan penelitian yang saat ini dilakukan, yakni sama-sama
mengenai praktik alienasi gender pada penulisan berita blaming the victim belum
melakukan praktik blaming the victim berupa alienasi gender korban kekerasan
Dalam menjelaskan topik atau isu pada penelitian ini, digunakan pendekatan
ekonomi politik kritis dengan strukturasi sebagai entry point-nya. Alasan yang
agen-agen sebagai bagian dari struktur industri media massa. Agen-agen tersebut
struktural dan penyelesaiannya pun hanya akan terjadi apabila ada perubahan
22
Adapun definisi struktur adalah aturan-aturan dan sumberdaya-sumberdaya
dalam suatu lembaga. Suatu lembaga memiliki sifat struktural, ketika hubungan-
digunakan Teori Strukturasi Gender. Strukturasi Gender adalah teori dari Sunarto,
Gender adalah perpaduan antara Teori Strukturasi dengan Teori Feminis. Dalam
65-75). Struktur yang digenderkan artinya terjadi dominasi gender dalam struktur
kekuasaan kaum laki-laki atas kaum perempuan melalui mekanisme kursif dan
persuasif.
sistem sosial melalui penggunaan aturan dan sumber daya aktor dalam interaksi.
23
Dalam Strukturasi Gender, dibutuhkan teori feminis untuk menggambarkan
Radikal dalam penelitian ini adalah bahwa feminis tersebut concern terhadap
strukturasi melalui: (1) konsep sistem sosial dengan memberi definisi sistem
sosial sebagai relasi gender asimetris yang dipengaruhi patriarkisme; (2) konsep
aktor dengan membedakannya menjadi agen laki-laki dan perempuan; (3) konsep
dan (5) konsep sumber daya melalui kekuasaan terkait dengan kepemilikan
terjadinya konstruksi relasi gender asimetris (sistem sosial) antara aktor laki-laki
24
Seksualitas perempuan diusung oleh Feminisme Radikal Kultural. Gerakan
seksual laki-laki terhadap perempuan (Brenner dan Ramas dalam Tong, 2004: 94).
sebagai berikut:
Gambar 1.2.
Modalitas Struktur Gender (Sunarto, 2007: 138)
Struktur
Signifikansi Dominasi Legitimasi Gender
Strukturasi, bagan tersebut dapat ditasfirkan sebagai berikut: Agen perempuan dan
daya alokatif dan otoritatif (kekuasaan) yang dimiliki agen laki-laki dan
perempuan dalam interaksi komunikasi dan sanksi yang bersifat represif terhadap
25
Dominasi gender tersebut selanjutnya menaturalisasikan kekerasan seksual
terhadap perempuan.
berita kekerasan seksual dengan unsur blaming the victim di media massa.
Blaming the victim adalah korban kekerasan seksual dianggap bertanggung jawab
diperkosa atau tidak adalah polisi, dokter atau pun psikolog yang tidak berpihak
pada korban.
dalam berita justru yang tidak berpihak pada korban. Korban juga tidak diberikan
bisa dinyatakan bahwa berita blaming the victim merupakan berita yang
pemerkosaan.
Dalam konteks media, para pekerja media berjenis kelamin laki-laki dan
26
untuk memenuhi kepentingan masing-masing dengan memanfaatkan semaksimal
bekerja dalam sebuah aturan main (struktur sebagai hasil interaksi) yang telah
ditetapkan oleh pihak dominan dalam media (biasanya laki-laki yang bertindak
sebagai pimpinan, pendiri, atau pemegang saham dominan). Aturan main tersebut
Institusi media didominasi oleh pekerja laki-laki dan pemilik modal, maka
ideologi yang dominan dalam media adalah ideologi yang mendukung pemenuhan
dan legitimasi kepentingan pekerja laki-laki dan pemilik modal maka ideologi
dominasi tersebut.
struktur (pola kerja) tempatnya bekerja. Pola kerja antara satu perusahaan media
berbeda dari tulisan yang dihasilkan oleh industri media massa lain.
Apabila dikaitkan dalam penelitian ini, gaya penulisan blaming the victim
27
dan direproduksi di Suaramerdeka.com. Hal tersebut terjadi karena struktur
Gambar 1.3.
Struktur Dominasi Gender Perusahaan Media Massa
IDEOLOGI
Patriarkhi
Sistem Organisasi
Dikuasi laki-laki
SIGNIFIKANSI ATAS
Komunikasi
Skema Interpretif (Aturan Semantik) KEKUASAAN LAKI-
LAKI
LEGITIMASI PADA
Sanksi
Norma (Aturan Moral) KEKUASAAN LAKI-LAKI
(6)
KONSTRUKSI GENDER
Kekerasan Simbolik Pada Berita ASIMETRIS : Menghasilkan Berita
Kekerasan Seksual Blaming The Victim: Alienasi
Gender Korban Pemerkosaan
28
perempuan, tidak mengherankan apabila terdapat lebih banyak wartawan laki-laki
Redaksi, Redaktur Pelaksana dan Redaktur (desk). Hal tersebut, tentu saja
reproduksi berita kekerasan seksual dengan unsur blaming the victim sebagai
aturan main yang ditetapkan pihak dominan untuk tujuan tertentu. Berita blaming
29
karena menyingkirkan pendapatnya dari berita, justru meghadirkan narasumber
sudut pandang feminis. Feminisme bukanlah suatu gerakan yang melawan atau
yang diciptakan oleh suatu masyarakat yang bersifat patriarki (Raho, 2016: 224).
Sedangkan Stacey menyoroti patriarki sebagai salah satu isu yang secara
memberi kuasa lebih bagi laki-laki sebagai dominan dan menjadikan perempuan
tidak dominan, harus tunduk pada laki-laki (Dalam Sunarto, 2009: 33).
30
Sejumlah besar sebab mengapa laki-laki melakukan pemerkosaan
melakukan sesuatu yang dia mau, termasuk memaksakan kehendaknya dalam hal
seksual. Oleh karena itu, tantangan terbesar feminis adalah menentang pandangan
mendasari digunakannya teori ini adalah karena feminis ini concern pada masalah
seksualitas perempuan.
secara umum karena telah melakukan analisis mengenai personal is political yang
yang hadir sebelum adanya kehidupan sosial dan harus dikendalikan, karena kalau
tidak, hal itu akan mengancam struktur, yang dihadapkan oleh peradaban terhadap
31
Kebudayaan kita yang fobia terhadap seks, juga terus menerus menawarkan
(pembaca).
penganiayaan seksual; dan (3) dengan mengarahkan laki-laki untuk tidak saja
berfikir bahwa perempuan adalah manusia yang kurang, tetapi juga dengan
memperlakukannya sebagai warga negara kelas dua, yang tidak layak mendapat
32
proses serta perlakuan yang setara dengan apa yang biasa didapat laki-laki (Tong,
2008: 99).
grafis melalui gambar atau kata-kata yang juga melingkupi perempuan yang
didehumanisasi sebagai obyek seksual, benda, atau komoditi yang menikmati rasa
sakit, rasa malu, atau pemerkosaan yang ditampilkan dalam skenario yang
dan inferior: berdarah, memar, atau terluka di dalam konteks yang membuat
Konsep Blaming the victim yang digunakan dalam penelitian ini mendeskripsikan
penjahat dianggap tidak bersalah karena tidak mungkin bisa menahan hawa nafsu.
Konsep blaming the victim pertama kali dikemukakan oleh Ryan William
(1971: 31-5). Ryan mengkritisi Iklan poster sebuah perusahaan farmasi besar pada
saat itu. Iklan tersebut memuat gambar dan tulisan tentang peringatan akan bahaya
cat timah yang tertelan oleh anak-anak karena dapat menyebabkan kematian. Iklan
33
tersebut mendesak para orang tua untuk mencegah anaknya memakan cat (cat
untuk mewarnai coloring book). Iklan tersebut memberikan label akan kelalaian
para ibu dalam menjaga balitanya karena dianggap tidak memberikan pengawasan
konstan. Para ibu dinilai bersalah karena tidak bisa mencegah balitanya memakan
remahan-remahan tinta.
Ryan menjelaskan, iklan tersebut membebankan rasa bersalah pada para ibu
atas kematian atau sakit parah yang menimpa anak-anak mereka akibat memakan
cat. Hal tersebut, menurut Ryan, merupakan distorsi realitas yang mengerikan.
Menyalahkan para ibu atas kematian anaknya merupakan kedok bagi perusahaan
farmasi seolah memiliki jiwa kemanusiaan dan berpihak pada publik. Tentu saja,
hal tersebut tidak dapat ditoleransi. Selanjutnya, oleh Ryan, fenomena tersebut
pada masyarakat miskin di Amerika pada saat itu. Masyarakat miskin disalahkan
karena dinilai miskin motivasi untuk bekerja dan kekurangan informasi kesehatan.
ideologi blaming the victim. Ryan William mendeskripsikan blaming the victim
Konsep blaming the victim kemudian diadopsi oleh para advokat untuk
korban kriminal, khususnya kasus pemerkosaan. Konsep blaming the victim pada
34
Selain itu, blaming the victim menunjukkan tendensi bahwa para korban
& Garland, 2008; Ryan, 1971). Lebih lanjut, korban pemerkosaan yang diserang
diperkosa oleh orang yang tidak dikenal (Amir,1971; Bieneck & Krahé, 2011).
tindak kriminal yang dialaminya. Menurut The Canadian Resource Centre for
mengenai peran korban dan pelaku aksi kekerasan. Korban seringkali secara salah
kekerasan karena diarahkan oleh kekuatan yang tidak dapat dikontrol olehnya.
dengan mitos (1971: 35). Mitos adalah suatu keyakinan yang beredar luas
menyangkut suatu hal yang belum tentu kebenarannya (Widyarini, 2009: 11).
berasal dari hukum-hukum yang berlaku di masa lalu. Pada masa lalu,
Begitu pula mitos yang hidup dan berkembang selama ribuan tahun
35
Hawa menggoda Adam. Mitos ini terus menerus diyakini masyarakat sehingga
Tersebutlah kisah, Poseidon (Dewa Laut) memerkosa Medusa. Tetapi dewa laut
menjadi ular. Bola matanya berubah menjadi bola api dan sorot matanya
menyembur lidah-lidah api. Seluruh kota gemetar ketakutan. Sidang Dewan kota
Pricles, yang dinobatkan sebagai pahlawan perang karena telah berhasil menebas
leher Medusa ketika sedang tertidur lelap. Medusa tewas (Rocky Gerung, 2011: 4-
5).
Feminis kemudian mengingat kematian Medusa dengan cara lain: pada leher
yang ditebas, pada genangan darah yang mengalir, terdapat cerita panjang tentang
36
konspirasi politik patriarki. Dalam tindak pemerkosaan, perempuan diobyekkan
sebagai mangsa yang tak mungkin melawan. Ia mutlak milik sang predator. Pada
Mitos yang tak berdasar dan terverifikasi asal usulnya tersebut diyakini
sumber penggoda. Lebih spesifik lagi, tidak jarang media massa menyorot baju
yang dipakai oleh korban sebagai penyebab tindak pemerkosaan yang dialaminya.
Tidak jarang, berbagai artikel media massa meneguhkan bahwa baju perempuan
dialami oleh korban, banyak pihak menganggap mereka sebagai emosional dan
peristiwa seksual wajar karena sexual consent atau suka sama suka. Berbagai hal
37
dan perempuan tidaklah sekadar biologis. Namun, melalui proses sosial dan
Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat
bahkan dari kelas ke kelas. Sedangkan jenis kelamin (seks), selalu tetap.
struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender
tersebut.
menganggap perempuan secara fisik lemah dan laki-laki umumnya lebih kuat.
perempuan.
Berita
narasumber berita yang tidak berpihak pada korban. Tak jarang, narasumber
38
menyatakan bahwa tidak terdapat tindakan perkosaaan, melainkan hubungan
oleh Hegel. Hegel menyerap konsep alienasi dari teologi Protestan yang biasanya
digunakan berkaitan dengan alienasi seseorang dari Tuhan (dalam Feuer, 1962:
117).
Alienasi (alienation) berasal dari kata berbahasa Latin alienatio. Kata benda
ini menderivasi maknanya dari kata kerja alienare (untuk menjadikan sesuatu
milik orang lain, membawa pergi melepaskan). Salah satu penggunaan pokok
konteks ini, alienare berarti ‘mengalihkan kepemilikan sesuatu kepada orang lain’
dominasi terhadap produk yang merupakan dominasi terhadap pekerja itu sendiri
karena pekerja tidak bisa menikmati produk tersebut. Bagi Marx, seharusnya,
39
peristiwa dan struktur sosial, ekonomi, dan yang paling utama politik yang
diperhitungkan fakta bahwa istilah tersebut dewasa ini memang digunakan dalam
berbagai relasi yang mungkin dari seseorang dengan dirinya sendiri, orang lain,
alam, pekerjaan, dan berbagai hal. Lebih lanjut, Fromm menyatakan bahwa
alienasi pada hal-hal yang berkaitan dengan cinta, pikiran, harapan, pekerjaan,
Selanjutnya, Karen Horney membahas ‘alienasi dari diri’ yang cukup sering
Horney yang berbicara mengenai ‘alienasi dari diri’ berjudul “New Ways in
berada dalam kondisi teralienasi dari diri sendiri atau alienasi dari diri. Horney
40
memahami ‘diri individu spontan’ dalam kaitannya dengan pernyataan spontan
adalah merasakan kekurangan hubungan yang bermakna dengan orang lain dan
eksistensi alienasi itu terdapat pada tuntutan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ terhadap
Time. Heidegger membedakan apa yang ia sebut sebagai dua cara mengisi hidup
secara fundamental, yang pertama disebutnya sebagai ‘autentik’ dan yang lainnya
dan pilihan yang benar-benar merupakan milik orang itu sendiri, dan dibuat dalam
41
eksistensi dan perbuatannya sendiri). Sedangkan eksistensi ‘inautentik’ adalah
eksistensi yang terabsorbsi pada masa sekarang, yang dideterminasi oleh berbagai
konvensi dan ekspektasi sosial yang impersonal, dan yang memanggungkan suatu
atas.
tetapi tidak harus disertai oleh hasrat yang berlebihan. Hasrat berlebihan dipahami
Tillich sebagai ‘hasrat yang tidak terbatas untuk menyeret keseluruhan realitas ke
dalam diri.’
dengan pengalaman individu terhadap dirinya sendiri sebagai suatu objek (bukan
sebagai subjek murni) melalui mediasi individu yang lain. Penggunaan istilah
dengan konsep yang dikemukakan oleh Sartre. Konsep alienasi dalam penelitian
individu yang lain (polisi) yang justru tidak berpihak pada mereka. Seringkali
42
tersebut seringkali menyatakan peristiwa asusila yang terjadi merupakan sexual
consent.
Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian Anna Puji Lestari dan Sunarto
massa menghadirkan narasumber berita yang tidak berpihak pada korban (Anna
mengalami alienasi karena yang menilai dan menentukan kondisi tubuhnya adalah
pihak lain (polisi). Para korban tidak diberi ruang mengemukakan pengalaman
dilakukan oleh pihak lain menyebabkan para korban teralienasi. Hukum dan
agar tidak mengalami pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual lainnya. Namun,
43
ironisnya, prinsip sexual consent sering kali malah dipelintir maknanya untuk
115).
Lebih lanjut, Hensell menjelaskan, consent adalah kedua belah pihak harus
bersepakat jika mereka ingin berhubungan seks. Kedua belah pihak harus
izin. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka terjadi kekerasan seksual.
dari ketertindasan struktur dan aturan yang diciptakan laki-laki dan hanya
44
Ideologi feminis merupakan ideologi baik yang bisa digunakan untuk melawan
dominasi, setiap penindasan akan menghasilkan suatu usaha pada pihak tertindas
untuk melepaskan diri. Salah satu alat penting dalam upaya pembebasan ini
adalah ideologi (2008: xxv). Artinya, sebagai sebuah ideologi, feminis mutlak
diperlukan dalam penelitian ini sebagai jawaban akan adanya dominasi maskulin
Blaming the victim sendiri bisa terjadi karena adanya kekuatan simbolik
Namun, ironisnya, kita semua tidak bisa mengenalinya. Bourdie menjelaskan, kita
semua dituntut untuk mengenali power yang tidak terlihat yang ia sebut symbolic
power. Symbolic power merupakan power yang tidak terlihat, bahkan oleh subjek
power tersebut (1991: 163-4). Selanjutnya, symbolic power erat kaitannya dengan
symbolic violence.
45
1.5.7. Kekerasan Simbolik: Dominasi Bahasa Berita
dominasi dan sistem simbolik dalam kehidupan sosial, serta gagasan tatanan
atau perilaku orang lain. Oleh karena itu, menurut Bourdieu, penjelasan sosial
mengatakan sesuatu hal, orang yang menerima akan menangkap maksud yang
berbeda. Setiap kata dan setiap ekspresi memiliki ancaman ‘antagonis’ yang
dicerminkan oleh cara yang hanya dipahami si pengirim dan penerima pesan.
Dalam setiap percakapan ada pihak yang mendominasi dan didominasi (Bourdieu,
1991: 39).
46
Kaitannya dengan para pekera di industri media, mereka telah mengalami
pembiasaan (habitus) pada penggunaan bahasa bias gender dari sistem sosial
media massa tempatnya bekerja. Bahasa bias gender ini sangat mendominasi,
Bahasa menjadi bagian dari sistem simbolik selain seni, agama, dan mitos.
Banyak orang tidak sadar akan adanya intimidasi, kekerasan simbolik lewat
dominasi bahasa. Ucapan tidak hanya disampaikan untuk dipahami tetapi juga
sebagai tanda otoritas yang harus diyakini dan dipatuhi (Bourdieu, 1991: 66).
Selanjutnya, mereka yang menguasai kapital yang lebih besar (laki-laki) akan
47
mengaitkannya dengan kepentingan kelas dominan. Kepentingan kelas dominan
yang semu, kesadaran palsu, legitimasi kepada aturan yang sudah mapan,
menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang “adil.” Ini adalah
tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang
posisi pihak yang dominan ini sebagai yang “benar.” Kekerasan simbolik dalam
arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik karena kekerasan simbolik itu
melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan
Kuasa simbolik Bourdieu hadir dalam arena dari relasi dialektiknya dengan
habitus dan modal (kapital), terutama kapital simbolik. Seseorang yang menguasai
kapital dengan habitus yang memadai akan menguasai arena dan memenangkan
48
sloganistik, sederhana, populer, dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak,
Kebijakan media massa kaitannya dengan masalah seksual dinilai oleh Frasser
Bond cenderung hanya sebagai rangsangan untuk menarik perhatian pembaca. Hal
Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana dalan pelaksaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam
memuat informasi yang benar sesuai dengan fakta. Media harusnya melakukan
tugasnya sesuai dengan fungsinya. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan sensitif
Tujuan kebijakan media massa, bisa dilihat dari dua segi, sosiologi dan
menempatkan proses komunikasi sebagai salah satu bagian dari dinamika sosial
49
yang tidak merugikan masyarakat. Sementara dari sisi komunikasi, kebijakan
masyarakat menjadi sadar gender. Banyak para praktisi media belum memiliki
tersebut sebenarnya telah melanggar aturan atau kesetaraan gender yang telah
masyarakat sehingga bisa dikatakan sebagai alat konstruksi sosial yang paling
ampuh. Pada sebuah industri media massa, biasanya CEO memiliki andil dalam
membentuk kebijakan medianya. Selain itu, ruang redaksi media tersebut juga
50
Selanjutnya, segmentasi pemberitaan biasanya ditentukan oleh redaksi media
tersebut.
terlebih dahulu di meja redaksi. Banyak kebijakan media yang tidak sensitif
victim. Dengan tidak adanya kebijakan sensitif gender di media massa, tidak
mengatur atau membentuk media agar memberikan informasi yang benar tanpa
Terkait dengan hal tersebut, peran media massa seharusnya bisa menyentuh
disebutkan oleh Subiakto (dalam Bungin, 2006: 86-7), yakni: (1) harus lebih
kepentingan publik); (2) dalam memotret realitas, media massa harus fokus pada
realitas sehingga tidak menjadi propaganda kekuasaan, potret figur kekuasaan; (3)
edukasi, bukan lembaga produksi. Sehingga, tidak terjadi pengarutan berita (bias)
dan kelebihan porsi iklan. Sehingga, masyarakat tidak dirugikan; (4) media massa
51
harus menjadi early warning system. Media massa menjadi sebuah sistem dalam
Apabila media bisa menjalankan keempat peran tersebut, maka bias pada
blaming the victim bisa dihilangkan sama sekali, terutama jika media massa
berani berperan sebagai early warning system. Artinya, media harus mau
1.7.Operasionalisasi Konsep-konsep
Konsep blaming the victim menunjukkan tendensi bahwa para korban serangan
Garland, 2008; Ryan, 1971). Para Korban pemerkosaan yang diserang oleh orang
52
Terdapat sejumlah alasan mengapa orang-orang menyalahkan korban atas
tindak kriminal yang dialaminya. Menurut The Canadian Resource Centre for
mengenai korban dan pelaku aksi kekerasan. Korban seringkali secara salah
kekerasan karena diarahkan oleh kekuatan yang tidak dapat dikontrol olehnya.
Kekuatan yang tidak dapat dikontrol misalnya saja adalah nafsu birahi.
pemerkosaan dianggap bersalah dan harus bertanggung jawab atas serangan yang
seolah sebagai sesuatu yang beralasan dilakukan atas dasar kebutuhan alami
seksual laki-laki.
media massa. Hal tersebut merupakan kekerasan simbolik yang ditujukan pada
Selanjutnya, bisa dijelaskan bahwa berita blaming the victim merupakan berita
narasumber dalam berita. Berita justru menghadirkan pendapat polisi atau orang-
terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai
53
sesutu sah (dalam Jenkins, 2016: 157). Implikasinya, meneguhkan legitimasi
menimpanya.
victim.
hubungan antara subyek, kekuasaan, dan seks. Butler berargumen bahwa seks
berhubungan dengan konstruksi gender (dalam Gadis Arivia, 2011: 63). Artinya,
laki.
sebagai pasif dan aseksual. Banyak pandangan yang menyatakan bahwa laki-laki
sebagai makhluk yang secara alamiah tidak bisa mengendalikan nafsunya dan
karenanya perempuan harus menutup bagian tubuhnya secara rapat dengan tidak
mengenakan rok mini yang bisa mengundang birahi laki-laki (Gadis Arivia, 2011:
Adapun arti kata pasif yang terus dilekatkan kepada korban pemerkosaan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bersifat menerima saja;
54
tidak giat; tidak aktif. Selanjutnya, definisi konsep-konsep tersebut diturunkan ke
Tabel 1.1.
Operasionalisasi Konsep-konsep
Konsep Operasionalisasi
Kekerasan Simbolik Kasat mata (terlihat bentuknya): kekerasan
seksual.
Tidak kasat mata (tak terlihat bentuknya): blaming
the victim, alienasi gender.
Tipe penelitian yang dipakai yaitu deskriptif kualitatif perspektif kritis dengan
55
sejarah dan konteks terjadinya suatu wacana. Oleh karena itu, telaah atas wacana
tidak hanya dilakukan pada level teks, tetapi juga dilanjutkan pada faktor-faktor
blaming the victim sehingga pada level teks (mikro) akan dianalisis 5 berita
kekerasan seksual yang memiliki derajat blaming the victim yang dinilai paling
analisis level meso (observasi dan wawancara dengan Pemimpin Redaksi dan
Redaktur Pelaksana selaku pembuat kebijakan). Selain itu, di level meso juga
kultur dominan yang berlaku sehingga terbit berita blaming the victim. Bahasan
ini akan memfokuskan pada aspek di luar media yang mempunyai pengaruh
menekankan pada aspek ideologi dominan yang menindas kaum perempuan. Hal
56
macam wacana tertentu, pengaruh ideologi yang mungkin terjadi pada macam-
representasi dunia dan subjek sosial, dan hubungan kekuasaan dan peran yang
Analisis wacana CDA yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
terdiri atas tiga dimensi berikut ini: (1) teks (tuturan, pencitraan, visual, atau
CDA Norman Fairclough melihat teks sebagai hal yang memiliki konteks
(naskah/ teks) kita tidak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan
”realitas” di balik teks diperlukan penelusuran atas konteks produksi teks, dan
penelitian ini dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Pada Level Mikro dilakukan
57
analisis teks dengan Framing Entman. Robert M. Entman menjelaskan (1993: 51-
utama framing adalah cara untuk mendeskripsikan kuasa suatu teks (media)
Melalui framing, tendensi media dipahami secara lebih tepat dan berlaku
universal.
Tahap Kedua, analisis Praktik Wacana Meso. Pada level ini dilakukan
analisis pada praktik produksi dan konsumsi teks blaming the victim. Analisis
pada produksi teks dan melakukan indepth interview dengan pengambil kebijakan
Jurnalistik. Pada tahap ini dilakukan pula analisis secondary data yang relevan
dengan tema penelitian serta penelusuran literatur yang relevan dengan tema
konteks di luar teks. Konteks memasukkan banyak hal seperti konteks situasi,
lebih jauh lagi konteks yang berhubungan dengan konteks institusi dan budaya.
58
Oleh karena itu, penelitian ini akan fokus pada analisis sosio-kultural kaitannya
dengan ideologi patriarki yang turut memengaruhi penayangan berita blaming the
victim di Suaramerdeka.com.
melingkupinya dari kondisi sosial dan politik yang berlatar belakang historis.
gender equality.
dibentuk oleh hubungan kekuasaan, ideologi, dan efek yang terjadi dari wacana
menjadi identitas sosial, hubungan sosial dan sistem kepercayaan dan sistem
pengetahuan (Mills, 1997: 149-150). Adapun kerangka kerja penelitian yang akan
59
Gambar 1.4.
Kerangka Kerja Penelitian
Faktor Internal
(Kebijakan Media):
Strukturasi (relasi gender
asimetris); Produksi dan
reproduksi teks.
Studi literatur ,
Depth Hasil: Relasi-
CDA: -- Kekuasaan
Sosiocultural interview
dalam
Berita Blaming the Discourse; dengan diskurusus
Victim di Discourse Practice; narasumber media-
Teks terkait
suaramerdeka.com dominasi
kebijakan diskriminatif
media, & resistensi
Faktor Eksternal: Analisis isi
Ideological level
Tahapan penelitian ini dimulai dengan pengumpulan bahan berupa teks-teks berita
(seleksi) beberapa aspek realitas dan membuatnya lebih menonjol (salient) dalam
merupakan studi literatur tentang kajian analisis wacana kritis dikaitkan dengan
konteks komunikasi massa, yang mana datanya dapat diperoleh dari buku, jurnal
pengembangan kerangka berpikir. Secara keseluruhan jenis dan sumber data yang
Tabel 1.2
Jenis dan Sumber Data Penelitian
dengan unsur blaming the victim dari dua tahun terakhir, yakni periode Januari
2016 sampai dengan Desember 2017. Alasan yang mendasari penelitian dilakukan
di periode tersebut yakni keputusan Presiden Jokowi sebagai kepala negara telah
menetapkan kejahatan seksual sebagai kejahatan yang luar biasa sejak Agustus
Tabel 1.3.
Subjek Penelitian
Unit analisis dari studi ini adalah berita kekerasan seksual dengan unsur blaming
Teknik analisis data kualitatif yang dipakai dalam penelitian ini adalah Critical
menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas
individu.
63
Gambar 1.5.
Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough (2010: 133)
Process of production
Text
Description (text analysis)
Discourse Practice
sosial dan politik, atau secara umum diintegrasikan pada perubahan sosial. Oleh
karena itu, model yang dikemukakan oleh tokoh ini sering disebut sebagai model
Pertama, analisis Texts; Menurut Fairclough, analisis texts ini disebut pula
melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan
membentuk pengertian/wacana.
64
Kedua, analisis Discourse Practice; merupakan dimensi yang
pada dasarnya dihasilkan lewat proses produksi teks media, seperti bagaimana
pola kerja, bagan kerja dan rutinitas dalam menghasilkan berita. Berita diproduksi
dalam cara-cara yang spesifik, dengan rutinitas dan pola kerja yang telah
yang akan ditulis oleh editor dan sebagainya. Sedangkan distribusi teks/berita,
tergantung pada pola dan jenis teks, serta bagaimana sifat institusi yang melekat
data dengan teknik analisis data Spardley. Spardley (1999) merangkum “Alur
Penelitian Maju Bertahap” yang terdiri atas lima prinsip, yaitu: (1) Peneliti
wawancara etnografi dari Spardley; (3) Setiap langkah pokok dijalankakn secara
berurutan; (4) Praktik dan latihan harus selalu dilakukan; (5) Memberikan
problem solving sebagai tanggung jawab sosialnya, bukan lagi ilmu untuk ilmu.
65
Inti dari teknik analisis data Spardley ini adalah upaya memperhatikan
makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami
kesimpulan dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang; (2) dari cara
orang bertidak; (3) dari berbagai artefak yang digunakan. Namun dalam buku ini
pemikiran masyarakat atau budaya yang sedang diamati. Budaya yang dimaksud
ini, jumlah informan bisa sedikit tetapi juga bisa banyak, tergantung sampai
yang ada di luar media memengaruhi bagaimana wacana muncul dalam media.
Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah
konteks dari praktik institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan
masyarakat atau ekonomi media atau budaya atau politik tertentu. Oleh karena itu,
ruang redaksi atau wartawan bukanlah profesi yang steril, tetapi sangat ditentukan
teks, tetapi menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Untuk studi ini,
sebuah teks blaming the victim berarti merepresentasikan ideologi patriarkal yang
66
Lebih lanjut, Fairclough memaparkan tiga level analisis pada sociocultural
berita dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas dan unik; (2) Level
produksi wacana. Institusi ini bisa berasal dari dalam diri media sendiri, bisa juga
berasal dari kekuatan eksternal di luar media yang menentukan proses produksi
berita. Produksi berita di media saat ini tidak mungkin terlepas dari tiga masalah
ekonomi media yang bisa berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam
Kedua, khalayak pembaca yang dalam indutri modern ditunjukkan dengan data-
data seperti oplah atau rating. Ketiga, persaingan antarmedia; (3) Level Sosial;
perubahan masyarakat. Apabila aspek situasional lebih mengarah pada waktu atau
suasana yang mikro (konteks peristiwa saat teks berita kekerasan dibuat), aspek
sosial lebih melihat pada aspek makro seperti sistem politik, sistem ekonomi atau
sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem itu menentukan siapa yang
berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat serta bagaimana nilai
dan kelompok yang berkuasa itu memengaruhi dan menentukan industri media.
kelas kedua di bawah laki-laki, nilai-nilai ini akan turut mempengaruhi isi
pemberitaan media. Adapun teknik analisis data dipaparkan pada tabel berikut ini:
67
Tabel 1.4
Teknik Analisis Data Fairclough
68
1.9. Kualitas Penelitian
Guba & Lincoln (dalam Denzin dan Lincoln, 2005: 196) mengevaluasi sebuah
penelitian kualitatif dari paradigma kritis bisa dilihat dari kriteria goodness atau
diskriminatif bahasa dalam surat kabar online lokal di Jawa Tengah dalam
konteks historis yang menunjukkan terdapat berita blaming the victim. Konteks
biasa dan diperlukan upaya membela korban dengan cara menghukum pelaku
membela korban juga dilakukan media massa, tak terkecuali media massa online
di Jawa Tengah.
69
1.10. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini meliputi teori dan metodologi yang digunakan. Teori
Strukturasi Gender yang digunakan dalam penelitian ini melihat struktur asimetris
dalam relasi gender, sedangkan relasi ras atau etnis tidak dilihat dalam teori ini.
Discourse Analysis. Sebagai penelitian dalam kerangka tradisi kritis, penelitian ini
(dalam Littlejohn dan Foss, 2008: 38). Tradisi fenomenologi berasumsi bahwa
70