Anda di halaman 1dari 3

Meneropong Obyek Kekerasan di Layar Kaca

Di manakah akar kekerasan yang dialami oleh perempuan? Ternyata, semua itu merupakan sejarah
panjang kehidupan perempuan. Mulai dari pembahasan mengenai jender dulu saja. Istilah perempuan
mempunyai makna lebih superior karena berasal dari kata “empu” yang bermakna ahli plus imbuhan
per/an. Kata ini bisa berarti ibu, induk, pangkal. Sebuah posisi yang mencerminkan ketidaksetaraan
karena sebagai ibu atau induk mengandaikan posisi suplemen pria dan pangkal mengandaikan sumber
segalanya. Padahal dalam realitanya, keberadaan wanita dan pria sama-sama sederajat dalam
penurunan generasi berikutnya.

Oleh media massa, baik iklan atau dalam format berita, wanita selalu digambarkan sangat tipikal, yakni
hanya selalu tinggal di rumah, berperan sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh, tergantung pada pria,
tidak mampu membuat keputusan penting, menjalani profesi terbatas, selalu melihat dirinya sendiri,
sebagai obyek seksual/simbol seks, obyek fetish, obyek peneguhan pola kerja patriarkhi, obyek
pelecehan dan kekerasan, selalu disalahkan dan bersikap pasif serta menjalankan fungsi sebagai
pengkonsumsi barang atau jasa dan sebagai alat pembujuk.

Judul Buku : Televisi, Kekerasan & Perempuan

Penulis : Sunarto

Penerbit : Penerbit Buku Kompas

Tahun : 2009

Tebal : xvi + 238

Dengan segala tipologi predikat yang disandang seperti di atas, kemudian yang terjadi adalah,
perempuan selalu menjadi obyek. Melalui penggambaran semacam itu, kaum wanita telah mengalami
kekerasan dan penindasan oleh suatu jaringan kekuasaan dalam berbagai bentuk. Misalnya berupa
diskriminasi kerja, diskriminasi upah, pelecehan seksual, ketergantungan pada suami, pembatasan peran
sosial sebagai wanita, istri dan ibu rumah tangga.

Melalui fungsi mediasinya media massa menunjukkan pada khalayak, bagaimana semua kekerasan itu
diketahui sebagaimanya adanya. Misalnya pada liputan tentang perkosaan. Selain mengetahui
bagaimana terjadinya kekerasan itu, khalayak juga diarahkan untuk ikut menyalahkan korban. Khalayak
menerima informasi tentang kekerasan simbolik yang menimpa wanita, misalnya melalui informasi atau
limitasi fungsi sosial di masyarakat.
Tak dapat dimungkiri, tindak kekerasan terhadap kaum wanita akhir-akhir ini menunjukkan tingkat yang
mengkhawatirkan, baik kekerasan di lingkungan domestik maupun di masyarakat. Tingginya tindak
kekerasan tersebut ternyata berimbas pada media massa umum yang diperuntukkan bagi penikmat
dewasa (hal 6).

Memang, data mengenai tindak kekerasan terhadap kaum wanita pada media massa khusus untuk
anak-anak selama ini relatif belum banyak diketahui. Namun, adanya peran limitatif yang dilakukan oleh
kaum wanita pada cerita anak-anak mengindikasikan adanya tindak kekerasan tersebut. Diduga isi
media televisi untuk anak-anak di Indonesia juga serupa dengan media untuk orang dewasa, yaitu
merepresentasikan kekerasan tertentu terhadap kaum wanita. Terlebih bila mengacu pendapat bahwa
kekerasan di televisi merupakan bagian integral dan sistem pemasaran global. Buku yang dibagi dalam
enam bab ini menyoroti kekerasan terhadap wanita di televisi, bahkan dimulai sejak anak-anak
Mengutip hasil penelitian, diungkapkan bahwa berdasarkan riset di Indonesia, anak-anak menonton
televisi rata-rata 35 jam seminggu. Anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi
daripada untuk kegiapat apapun lainnya, kecuali tidur.

Kembali pada televisi, dalam konteks industri, isi televisi tidak semata-mata ditentukan oleh para
pekerja profesional di dalamnya, misalnya reporter, editor, produser program, pemilik dan lain-lain,
tetapi juga oleh struktur ekonomi dan sosial lain yang mengatur interaksi sosial para agen tersebut
dalam rutinitas keseharian industri media massa. (hal 10).

Secara menyeluruh, kajian tentang jender dalam pendekatan ekonomi-politik media, dibahas dalam bab
II. Dari aspek politik, media massa memberikan ruang dan arena bagi terjadinya diskusi aneka
kepentingan berbagai kelompok sosial di tengah kehidupan masyarakat.

Dalam varian strukturalisme, demikian penulis buku ini, isi media ditentukan oleh struktur ekonomi yang
berlaku. Struktur kapitalisme sebagai penentu kehidupan industri media televisi berlapis-lapis mulai dari
lokal, nasilnal, regional dan global. Struktur kapitalisme ini demikian dominan dalam menentukan
kehidupan industri media televisi dan menjadikan peran agen dinihilkan. Para pekerja media dipandang
sebagi sosok yang tidak berjiwa karena semua gerak langkahnya ditentukan oleh struktur kapitalisme
global tersebut.

Kupasan tentang kekerasan untuk anak-anak di televisi secara khusus diteropong melalui beberapa
program –Crayon Sinchan, Doraemon, P-Man—sekadar menyebut nama, juga telah memberi gambaran
betapa kekerasan itu terjadi secara struktural bahkan sama sekali tidak disadari telah merasuk hingga ke
dalam ruang privat sekalipun.

Program itu, barangkali sekarang sudah tidak lagi populer karena berbagai tayangan film khusus untuk
anak sudah datang silih berganti, namun, melalui kajian yang dibahas dalam bab IV itu, pembaca dibawa
kembali menghayati betapa kekerasan itu dimulai sejak dini.
Di tengah arus globalisasi dan persaingan antarstasiun televisi di negeri ini dalam memperebutkan rating
demi perolehan kapital, banyak program yang dibuat telah mengabaikan kaidah-kaidah penghormatan
terhadap perempuan. Berbagai tayangan sinetron, misalnya, sarat dengan cercaan, kata kasar, makian,
dan ekspresi tindakan kekerasan bahkan perendahan martabat perempuan. Namun, demi mendapatkan
nilai jual itu, stasiun televisi justru mengekalkannya dengan berbagai kiat cerdik, antara lain justru
mengeksploitasi berbagai kekerasan terhadap perempuan itu sebagai tontonan. Cucuran air mata, kata
makian, bahkan tak jarang juga terdapat darah akibat kekerasan itu serta dialog bertele-tele, dianggap
tidak lagi sebagai bumbu, tetapi justru sebagai syarat utama pengkomodifikasian kekerasan terhadap
perempuan. Tentu saja, semua itu lebih sering berada di luar konteks alur pengkisahan bahkan sama
sekali tidak membangun rasionalitas.

Sebagai referensi, buku ini disusun atas dasar penelitian ilmiah. Konsekuensi yang terjadi di sana adalah,
bertebarannya berbagai istilah teoteris mengutip para ilmuwan. Tentu saja, hasil riset penulis yang
bergelar doktor di bidang ilmu komunikasi yang kemudian dibukukan, ini secara menyeluruh terasa
berat untuk dibaca, terutama oleh kalangan awam. Akan tetapi, bagi mereka yang sudah memiliki
pemahaman cukup mengenai ilmu komunikasi, tentang media massa dan juga mengenai persoalan
jender, misalnya, tidak begitu kesulitan untuk mengunyah buku ini. Justru di sinilah kelebihannya,
sebuah buku yang ditulis berawal dari penelitian ilmiah, bisa disajikan kepada khalayak luas dalam
bentuk buku yang secara fisik dikemas lebih populer, ramah dan menarik minat untuk membacanya.
(agoes widhartono)

Anda mungkin juga menyukai